12
sBAB III ANALISIS KASUS Pada bab ini, kita membahas analisis kasus tentang An. AM, 9 tahun, laki-laki, datang dengan keluhan utama mau transfusi dan keluhan tambahan berupa pucat, mudah lelah dan lemas. Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didapatkan konjungtiva palpebra pucat dan Hb = 7,3 g/dL. Dari hasil tersebut, bisa kita simpulkan bahwa An. AM anemia. Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia ini harus kita bedakan apakah anemia akut atau kronik. Penyebab anemia akut adalah perdarahan yang terjadi secara mendadak, misalkan pada kecelakaan, operasi bedah maupun perdarahan saluran cerna yang massif. Sedangkan, penyebab anemia kronik adalah kekurangan nutrisi seperti zat besi, asam folat dan B12, cacingan, perdarahan kronik. Penyebab anemia yang lainnya adalah gagal ginjal, kanker hingga gangguan produksi darah di sumsum tulang . Jadi, pada kasus ini, An. AM mengalami anemia kronik karena keadaan ini (pucat, mudah lelah, lemas) sudah dialaminya sejak usia 9 tahun dan juga pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pun, tidak ditemukan ciri ataupun

BAB III Case Dr. Aditya

Embed Size (px)

DESCRIPTION

g

Citation preview

Page 1: BAB III Case Dr. Aditya

sBAB III

ANALISIS KASUS

Pada bab ini, kita membahas analisis kasus tentang An. AM, 9 tahun, laki-

laki, datang dengan keluhan utama mau transfusi dan keluhan tambahan berupa

pucat, mudah lelah dan lemas. Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang, didapatkan konjungtiva palpebra pucat dan Hb = 7,3 g/dL. Dari hasil

tersebut, bisa kita simpulkan bahwa An. AM anemia.

Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit (red cell mass) sehingga tidak

dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke

jaringan perifer. Anemia ini harus kita bedakan apakah anemia akut atau kronik.

Penyebab anemia akut adalah perdarahan yang terjadi secara mendadak, misalkan

pada kecelakaan, operasi bedah maupun perdarahan saluran cerna yang massif.

Sedangkan, penyebab anemia kronik adalah kekurangan nutrisi seperti zat besi,

asam folat dan B12, cacingan, perdarahan kronik. Penyebab anemia yang lainnya

adalah gagal ginjal, kanker hingga gangguan produksi darah di sumsum tulang.

Jadi, pada kasus ini, An. AM mengalami anemia kronik karena keadaan ini (pucat,

mudah lelah, lemas) sudah dialaminya sejak usia 9 tahun dan juga pada anamnesis

dan pemeriksaan fisik pun, tidak ditemukan ciri ataupun tanda perdarahan akut

ditambah lagi dengan riwayat transfusi darah rutin sejak usia 9 tahun. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa pasien an. AM menderita anemia kronik.8,15

Setelah itu, kita harus mencari tahu penyebab anemia kronik yang dialami

An. AM. Menurut penyebabnya, anemia dibagi menjadi 3 yakni: 1. gangguan

pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang yaitu anemia yang diakibatkan karena

adanya gangguan pembentukaan eritrosit, ada 3 penyebabnya kekurangan bahan

essensial pembentukan eritrosit yaitu anemia defisiensi besi, anemia akibat

gangguan penggunaan besi (contoh :anemia akibat penyakit kronik), dan anemia

akibat kerusakan sumsum tulang (contoh: anemia aplastik), 2. kehilangan darah

keluar tubuh (perdarahan), dan 3. proses penghancuran eritrosit dalam tubuh

sebelum waktunya (hemolisis). Anemia akibat hemolitik dibagi menjadi anemia

Page 2: BAB III Case Dr. Aditya

intrakorpuskular (contoh: gangguan hemoglobin yakni thalassemia), dan anemia

ekstrakorpuskular (contoh anemia hemolitik autoimun). 8,15

Pada anamnesis, pasien mengeluh pucat, mudah lelah dan lemas, dan juga

mengeluh perut membesar. Demam tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada,

nyeri sendi dan nyeri tulang tidak ada. Tidak terdapat trauma dan riwayat

perdarahan, dan juga tidak terjadi penurunan berat badan yang drastis, sehingga

dapat disingkirkan anemia akibat perdarahan, anemia aplastik, dan anemia akibat

penyakit kronik (kanker). Karena, pada anemia aplastik ditemukan tanda-tanda

perdarahan seperti memar, perdarahan pada mukosa. Sedangkan anemia akibat

penyakit kronik (kanker) juga kadang terdapat manifestasi klinis perdarahan

seperti mimisan, memar, timbul bercak pada tangan dan kaki, dan terjadi

penurunan berat badan yang drastis, selain itu, biasanya dapat ditemukan tanda-

tanda infeksi seperti demam, flu dan batuk. sehingga DD kasus ini tinggal anemia

defisiensi besi, thalassemia dan anemia hemolitik autoimun. Dari riwayat

keluarga, terdapat keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien

dan juga melakukan transfusi rutin. Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan

bahwa dari anamnesis, diagnosis kita lebih mendukung ke arah thalassemia.15,16,17

Selanjutnya, pada pemeriksaan fisik khusus, didapatkan Facies Cooley,

konjungtiva palpebra pucat, bibir pucat, perut cembung, hepar teraba 2 jari bawah

arcus costae, lien teraba di schuffner 3, palmar pucat sehingga kecurigaan

terhadap thalasemia semakin kuat. Karena pada anemia defisiensi besi, tanda yang

khas itu berupa koilonychia (kuku sendok), atrofi papil, stomatitis angularis, dan

pica. Tanda khas tersebut tidak ditemukan pada kasus An. AM ini. Selain itu,

biasanya anemia defisiensi besi tidak disertai hepatospleenomegali. Pada anemia

penyakit kronik (kanker), tidak terdapat tanda khas, Cuma terdapat tanda anemia

seperti konjungtiva palpebra pucat, bibir pucat, karena untuk diagnosis pada

anemia akibat penyakit kronik (kanker) lebih tergantung pada hasil pemeriksaan

laboratorium. Anemia aplastik disingkirkan, karena pada pemeriksaan fisik

anemia aplastik itu tidak ditemukan hepatospleenomegali. Anemia perdarahan

biasanya, ditemukan tanda perdarahan seperti ptechiae, hemoroid. Sedangkan,

pada anemia hemolitik, pada pemeriksaan fisiknya, ditemukan ikterik pada sklera,

Page 3: BAB III Case Dr. Aditya

hepatospleenomegali bisa ditemukan. Yang membedakan anemia hemolitik

autoimun dan thalassemia itu adalah riwayat penyakit dalam keluarga dan riwayat

transfusi rutin. Sehingga dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pada

kasus ini mengarah ke thalassemia.15,16,17

Dari hasil pemeriksaan laboratorium, kadar hemoglobin pasien saat ini

adalah 7,3 g/dL, Ht 22%, MCV 67,3fl, MCH 23 pg, MCHC 34 g/dL, 60 mm/jam,

dan DC 0/2/0/50/43/5 sehingga kesannya adalah anemia hipokromik mikrositer

dengan ht yang rendah. Dari hasil gambaran darah tepi, didapatkan anemia

hipokromik mikrositer, dimana DD dari penyakit tersebut adalah thalassemia,

anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik dan anemia sideroblastik.

Selanjutnya, yang harus kita lakukan yakni memeriksa kadar besi serum. Pada

kasus, kadar besi serum sebesar 98µg/L, yang menunjukkan hasil normal.

Sehingga dapat menyingkirkan DD anemia defisiensi besi dan anemia akibat

penyakit kronik. Selanjutnya dilihat kadar feritinnya, jika normal lakukan Hb

elektroforesis (Hb analisa). Pada kasus, An. AM melakukan Hb analisa dan

hasilnya Hb A2 dan HbF meningkat sehingga dapat ditegakkan diagnosis sebagai

Thalassemia.15,16,17

Tatalaksana yang diberikan pada penderita thlasemia mayor sangatlah

kompleks. Secara umum tatalaksana pada thalasemia adalah pemberian transfusi,

assesment dan tatalaksana kelebihan besi dalam darah, dan pencegahan serta

penanganan komplikasi dari kadar besi yang berlebih.

Transfusi darah dilakukan secara rutin untuk mengkoreksi anemia. Kadar

Hb yang dipertahankan dapat mencapai 10 g/dl sehingga pasien mendapatkan

keuntungan klinis yang nyata untuk memungkinkan aktifitas yang normal dengan

nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang, dan masalah kosmetik yang terkait

dengan perubahan tulang-tulang muka, serta meminimalkan dilatasi jantung dan

osteoporosis. Untuk memungkinkan aktifitas yang nyaman dan normal,

dibutuhkan kadar Hb sekitar 10 g/dl, namun biasanya transfusi dilakukan jika

kadar Hb dibawah 6. Hal ini dapat mempertimbangkan kualitas hidup pasien

sehinnga patokan mulai transfusi dapat disesuaikan kebutuhan. Transfusi PRC

Page 4: BAB III Case Dr. Aditya

sebanyak 15-20 ml/KgBB biasanya dibutuhkan setiap 3-4 minggu. Diberikan

dengan kecepatan 3ml/kgbb/jam.16, 18

Komplikasi yang ditimbulkan dari transfusi darah adalah ancaman infeksi,

reaksi imun hingga kesalahan dalam transfusi yang menyebabkan reaksi

hemolitik. Darah yang didapat akan pecah sehingga akan meningkatkan kadar

bilirubin dan besi dalam darah (hemosiderosis). Maka dari itu, uji silang harus

dikerjakan sebelum transfusi untuk mencegah alloimunisasi dan mencegah reaksi

transfusi. Jika terjadi hiperbilirubinemia, maka akan terjadi gangguan neurologis,

kehilangan kesadaran bahkan kejang diikuti dengan sklera serta badan yang

menguning. Hal tersebut terjadi akibat rusaknya sel saraf karena bilirubin yang

tinggi akibat pemecahan sel darah merah (bilirubin indirek) yang bersifat lipofilik.

Kemudian komplikasi berikutnya adalaah hemosiderosis, hemosiderosis terjadi

akibat terapi transfusi jangka panjang.16, 18

Assement tambahan yang perlu dilakukan pada penderita thalasemia adalah

assesment kelebihan besi. Terdapat perubahan klinis yang diketahui karena

kelebihan besi, antara lain: hipogonadisme (33-55%), hipotiroid (9-11),

hipoparatiroid (4%), diabetes (610%), fibrosis hati dan disfungi jantung (33%).

Pengecekkan kadar besi yang akurat harus dilakukan secara berkala sehingga

dapat dilakukan tatalaksana yang cepat untuk diberikan terapi kelasi besi.

Kelainan pada hati akibat penumpukan besi berebih dapat di cek dengan

melakukan biopsi hati. Sekarang teknologi MRI dapat membantu mendeteksi

kelebihan besi dalam organ R2 MRI digunakan untuk menentukan konsentrasi

besi hati. Selain pada hati, hemosiderosis cardiomiopathy yang merupakan salah

satu penyebab penderita thalasemia meninggal dunia, dapat terjadi akibat

penumpukan besi yang berlebih. MRI T2* dapat digunakan untuk mengukur

tingkat kadar besi jantung. 16, 18

Kelebihan besi juga dapat mengganggu sekresi hormon pertumbuhan

(growth hormone (GH)) hal ini akan menyebabkan pertumbuhan yang terhambat

dan perawakan pendek pada penderita thalasemia. Kemudian pada penderita

thalasemia juga sering terjadi pubertas terhambat akibat kadar besi yang berlebih

sehingga diperlukan assemen hormonal dan tatalaksana lanjut. Pemberian ethinyl

Page 5: BAB III Case Dr. Aditya

estradiol (2.5-5 μg perhari) selama 6 bulan pada perempuan atau pemberian

kombinasi hCG (human chorionic gonadotrophin) dan hMG (human menopausal

gonadotrophin) dapat memperbaiki masalah ini. Kemudian pengecekan berkala

kadar hormon tiroid, paratiroid dan kadar kalsium darah juga perlu dilakukan

karena adanya kecendrungan terjadi hipotiroidisme, hipoparatiroidsme, diabetes

dan toleransi gula terganggu serta osteoporosis. Pada kasus ini, kadar feritin 1.872

mg/dL, sehingga diperlukan pemberian obat pengkelasi besi. 16, 18

Pemberian obat pengkelasi besi (iron chelating drugsi) diperlukan untuk

membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan secara fisiologiss.

Pemberian terapi kelasi besi dapat berupa peberian obat deferoksamin secara

subkutan dan atau deferiprone secara oral. Kadar agen kelasi besi darah harus

dipertahankan tinggi sehingga ekskresi besi memadai. Obat ini diberikan secara

subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil

(selama tidur). Hal ini dapat mempertahankan kadar feritin serum kurang dari

1000 ng/mL yang benar-benar di bawah nilai toksis selama 5-6 minggu. Secara

umum pemberian kelasi besi dilakukan jika pasien sudah 10-20 transfusi darah

atau kadar feritin diatas 1000 mg/dl. Dosis yang diberikan adalah 20-40 mg/KgBB

pada anak-anak atau 30-50 mg/KgBB pada dewasa. Efek samping yang sering

terjadi pada pemberian deferoksamin adalah reaksi lokal pada tempat injeksi

seperti nyeri, bengkak, muncul indurasi, hingga gatal dan eritem. Komplikasi

yang berhubungan dengan kadar deferoksamin yang tinggi disertai dengan kadar

feritin rendah antara lain kelainan sensurineural telinga, toksisitas pada mata,

perubahan pada tulangdan infeksi. Sehingga diperlukannya pemeriksaan

audiometri dan ophthalmologi pada pasien yang menerima deferoksamin berkala

secara rutin. Selain deferoksamin ada juga deferiprone, yaitu obat kelasi besi yang

diberikan secara oral. Dosisnya 25-33 mg/kg Peroral dengan dosis 75-99

mg/kg/hari. Namun perlu dipikirkan pemberiannya karena kekhawatiran terhadap

kemungkinan toksisitas (agranulositosis, neutropeni, artritis, artralgia). 16, 18

Pada pasien thalasemia, pembesaran limpa terjadi akibat penghancuran sel

darah merah yang berlebihan. Apabila limpa semakin membesar, fungsi limpa

menjadi tidak terkontrol, sel darah akan lebih banyak dihancurkan dan limpa yang

Page 6: BAB III Case Dr. Aditya

besar dan menekan abdomen akan mangganggu fungsi organ abdomen lainnya.

Splenoktomi dapat dilakukan jika sesuai indikasinya indikasi untuk dilakukan

splenoktomi pada thalasemia yaitu: meningkatnya kebutuhan transfusi (> 200-

220 ml/kg/tahun) untuk mempertahankan hemoglobin >10 g/dl dan leukopenia

dan trombositopenia. Namun komplikasi yang perlu diperhatikan jika limpa

diangkat adalah sering terjadinya infeksi. Maka dari itu, pemberian antibiotik dan

imunisasi pada penderita yang telah melakukan splenoktomi perlu dilakukan.

Tapi, pada kasus, An. AM belum mengalami keluhan berupa pendeknya jangka

transfusi, pembesaran perut yang signifikan, sehingga splenoktomi belum

diindikasikan pada kasus ini.16, 18

Tindakan penatalaksanaan terbaik justru ada pada cangkok sumsum tulang,

dimana jaringan sumsum tulang penderita diganti dengan susum tulang donor

yang cocok dari anggota keluarga, meskipun hal ini masih cukup sulit dan biaya

cukup mahal.16, 18

Secara non-farmakologis, penderita thalasemia di anjurkan untuk membatasi

aktifitas. Hal tersebut disebabkan akibat dari anemia kronik yang dideritanya

sehingga mencegah terjadinya perubahan pada jantung (dekompensasi jantung).

Baik penderita maupun orang tua penderita thalasemia harus mendapat edukasi

tentang penyakitnya. Perlunya penjelasan bahwa terapi utama penyakit thalasemia

adalah transfusi dan perlu juga penjelasan terhadap komplikasinya seperti: tulang

rapuh, keracunan bilirubin, keracunan besi, dll. Pada masa pertumbuhan, asupan

energi yang sama dengan orang yang sehat dapat diberikan, namun pada dewasa,

diet karbohidrat kompleks mungkin lebih berguna demi mencegahnya diabetes

maupun toleransi gula terganggu. Dikarenakan penderita thalasemia cenderung

memiliki kadar besi darah yang tinggi maka di anjurkan pada pasien untuk

menghindari makanan yang memiliki kandungan besi yang tinggi (makanan bayi,

beberapa sayuran hijau, hati dan produk sereal). Meminum segelas teh hitam

dapat menurunkan absorpsi besi dari makanan yang berada di saluran cerna.

karena banyak faktor yang menyebabkan deplesi kalsium pada penderita

thalasemia, diet kalsium yang adekuat sangat di anjurkan. Saat penderita

thalasemia sudah tidak lama transfusi maka akan terjadi peningkatan konsumsi

Page 7: BAB III Case Dr. Aditya

asam folat sehingga akan terjadi defisiensi relatif dari asam folat. Supplementasi

sebanyak 1 mg/hari dapat diberikan. Kemudian kelebihan besi membuat vitamin

C teroksidasi sehingga tubuh akan kekurangan vitamin C. Konsumsi 50 mg

vitamin C untuk anak umur 10 tahun kebawah dan 100 mg untuk anak di atas

umur10 tahun saat pemberian deferoksamin. Vitamin C juga dapat meningkatkan

efisiensi kelasi besi pada tubuh. namun bellum ada bukti yang mendukung untuk

pemberian vitamin C pada pasien thalasemia dengan terapi kelasi besi deferiprone

maupun kombinasi.kemudian vitamin E sebanyak 200-400 IU setiap hari dapat

diberikan sebagai antioksidan yang diperkirakan dapat memperpanjang umur sel

darah merah. Pasien thalasemia juga tidak di anjurkan mengkonsumsi alkohol

dan merokok karena dapat memfasilitasikan kerusakan oksidatif dari besi.16, 18

Prognosis untuk thalasemia mayor dapat menjadi baik dengan adanya terapi

kelasi besi. Namun tubuh pasien yang bergantungan terhadap transfusi darah

akan senantiasa terjadi akumalasi besi. Hal ini dapat memicu kerusakan jaringan

hingga kematian terutama pada penyakit jantung akibat hemosiderosis.

Disebutkan bahwa sekitaar 71% penyebab kematian pada penderita thalasemia

mayor diakibatkan oleh komplikasi jantung. Maka dari itu, prognosis functionam

dan sanationam lebih ke arah prognosis malam (buruk) karena komplikasi yang

terjadi.16, 18