Upload
trinhcong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
38
BAB III
DASAR DAN PROSES PEMBENTUKAN MODAL SOSIAL DI ASRAMA
MANSINAM SALATIGA
Hal terpenting dalam membahas dasar serta proses terbentuknya Modal Sosial
adalah mengajukan pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa Modal Sosial itu terjadi.
Berbicara tentang dasar dan proses pembentukan Modal Sosial, maka tentu saja lingkungan
di sekitar individu atau komunitas tersebut ikut memberikan kontribusi pada pembentukan
Modal Sosial tersebut. Maka, pada penelitian ini, akan dibahas tentang Salatiga, terutama
tentang Universitas Kristen Satya Wacana yang turut memberi sumbangsih pada
pembentukan Modal Sosial mahasiswa. Selanjutnya, juga sedikit digambarkan tentang
profil mahasiswa, juga dibahas tentang sejarah Asrama Mansinam. Pada sub bab
berikutnya, dideskripsikan tentang dasar dan proses pembentukan Modal Sosial Mahasiswa
penghuni Asrama Mansinam.
3.1 Salatiga, Kota Persemaian Tentang Indonesia.
Salatiga, kota kecil di bawah kaki gunung Merbabu berada di antara sudut
segitiga Jogja – Solo – Semarang (JOGLOSEMAR), dengan cuacanya yang sejuk dipilih
oleh pendiri Universitas Kristen Satya Wacana sebagai tempat untuk mempersiapkan
tenaga pendidik, khususnya guru-guru agama dan guru-guru lain dalam rangka untuk
mengisi kemerdekaan yang telah diperoleh Indonesia kala itu.1
Sebagai wujud komitmen UKSW, maka pada waktu itu, berdasarkan kesepakatan
dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), UKSW mengkonsentrasikan dirinya untuk
1R. Gultom: Sejarah, Visi dan Misi Universitas Kristen Satya Wacana: Datang Untuk Bebas dan
Menang, OMB 2016. Buku Orientasi Mahasiswa Baru, (Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 22.
39
mengambil menata pendidikan di Indonesia, di mana komitmen UKSW ini juga
memperoleh dukungan dari gereja-gereja yang juga ada di beberapa wilayah timur
Indonesia termasuk Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI).2
Kesadaran pendiri UKSW memilih Salatiga sebagai tempat menyemaikan dan
mempersiapkan para calon pendidik bagi daerahnya bukan tanpa alasan. Secara geografis,
kota ini memiliki posisi strategis karena berada di antara beberapa kota besar lainnya di
Jawa Tengah. Sementara sisi lain yang dipikirkan bahwa kota ini tepat untuk
mempersiapkan para calon pendidik adalah karena kota ini sesungguhnya merupakan kota
para pensiunan, sehingga kota ini cenderung tenang. Bagaimanapun, ketenangan adalah
syarat yang tepat untuk belajar.
Disadari oleh pendiri UKSW kala itu, bahwa upaya untuk menyatukan
beberapa daerah di wilayah timur menjadi Indonesia adalah pekerjaan yang tidak mudah.
Benturan yang paling terasa adalah benturan-benturan kultural dan perbedaan pandangan
politik soal bentuk negara Indonesia3. Menyadari situasi yang demikian, maka memilih
Salatiga menjadi lokasi untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang mempersiapkan
tenaga-tenaga pengajarnya, untuk kemudian kembali dan bercerita tentang Indonesia yang
ditemui selama menempuh studi adalah strategi yang tepat.4
Dikatakan bahwa Salatiga adalah kota yang tepat karena kota ini sangat berbeda
dengan kota-kota lainnya yang berada di sekitar pertigaan JOGLOSEMAR ini. Sebagai
2 Pidato Rektor UKSW, Prof John A Titaley, Th. D pada acara Lustrum UKSW XI, di Balairung
Utama UKSW, 2011. 3 R. Gultom: Sejarah, Visi dan Misi Universitas Kristen Satya Wacana, 20
4Pidato Rektor UKSW, Prof. John, A. Titaley, Th. D pada acara Lustrum UKSW XI di Balairung
Utama UKSW 2011.
40
sebuah kota istirahat, Salatiga hampir-hampir tidak memiliki fasilitas-fasilitas hiburan yang
bisa mengarah kepada individualisme dan hedonism.5
Sebagai makhluk bermain, manusia tentunya membutuhkan hiburan. Minimnya
fasilitas hiburan di Salatiga kala ini, mendorong satu kultur baru yang tidak pernah ada
dimanapun yaitu berinteraksi dan berkumpul satu sama lainnya. Namun begitu, agar
interaksi ini berjalan harmonis, maka muncul sebuah kesepakatan yang tidak disadari,
namun turun temurun diwariskan menjadi semacam budaya di Salatiga, yaitu penerimaan
semua suku yang datang darimana saja untuk duduk bersama secara setara.6
Penerimaan setiap suku yang datang di Salatiga untuk studi di UKSW, paling
nyata nampak dalam penerimaan identitas primordial masing-masing suku – dimana
identitas ini adalah identitas yang paling murni, yaitu bahasa. Ada sebuah beban psikologis
dari setiap, ketika berada di ruang publik, maka menggunakan bahasa primordial/bahasa
ibu, itu identik dengan bahasa orang desa; dalam istilah Jawa disebut katro katau ndeso.7
5 Refleksi penulis atas pertanyaan mengapa Salatiga dipilih. Bisa dibayangkan jika yang dipilih
waktu itu adalah kota Jogja, Solo atau Semarang, dimana kota-kota ini terus bertumbuh menjadi kota-kota
yang tidak lagi berorientasi pada pendidikan, tetapi pada hiburan. Yang terjadi adalah setiap orang akan
menghabiskan waktunya “menjadi diri sendiri” di mal-mal ataupun pusat-pusat hiburan lainnya, dan akan
mengurangi interaksi baik antar sesama suku, maupun dengan suku-suku lain. Maka Visi untuk membuat
Indonesia menjadi “konkrit” mungkin menjadi pekerjaan yang lebih sulit untuk digapai. 6 Refleksi atas pertanyaan penulis: mengapa UKSW disebut Indonesia Mini. Penyebutan UKSW
sebagai Indonesia Mini, tidak saja karena perbedaan suku dan kultur setiap mahasiswa yang datang
menempuh studi, karena jika itu batasannya, maka tentu saja universitas lain juga memiliki hal itu. Namun
satu kepastian bahwa UKSW adalah Indonesia mini: miniaturnya Indonesia, karena hanya di UKSW ada
pengakuan kesetaraan pada tiap suku dan juga kultur yaitu setiap bahasa ibu masing-masing suku boleh hidup
berdampingan, tanpa konflik. 7 Hal ini sangat nampak ketika orang berada misalnya di Jakarta. Ada sebuah pengkondisian untuk
menggunakan kata Lo – Gue, saat berada di ruang publik, dibandingkan dengan menggunakan bahasa ibunya
sendiri, meskipun Jakarta memiliki keragaman etnik yang tinggi.
41
3.2 Sejarah Asrama Mansinam Salatiga
Dalam rangka memahami Modal Sosial Mahasiswa yang menjadi penghuni
Asrama Mansinam, maka pada sub bab ini, perlu dibahas tentang sejarah dibentuknya
Asrama Mansinam Salatiga. Sebelum dibeli oleh Sinode GKI, tempat ini adalah tempat
pemandian mayat. Namun, karena sepi dan tidak terawat, tempat ini kemudian dibeli
Sinode GKI yang waktu itu sedang mencari tempat untuk hunian Mahasiswa yang dikirim
dan diberi beasiswa oleh GKI untuk studi di Universitas Kristen Satya Wacana.8
Asrama Mansinam yang berlokasi di Jl Damarjati Salatiga memiliki sejarah
yang khas. Gagasan awal pembentukan asrama ini sejalan dengan sejarah pembentukan
organisasi Himpunan Mahasiswa Pelajar Papua Barat, dimana karena mahasiswa yang
dikirimkan dan diberikan beasiswa oleh GKI tersebar kemana-mana dan hampir tidak
terorganisir dan tidak dapat dikoordinasi, maka gagasan untuk membentuk sebuah hunian
agar mempermudah koordinasi diantara Mahasiswa penerima beasiswa GKI. Lebih dari itu,
membentuk hunian ini dimaksudkan agar ada satu wadah untuk membentuk karakter, serta
mental kemandirian mahasiswa penerima beasiswa itu.9
Harapannya adalah mereka yang dikirimkan untuk studi, setelah selesai
menempuh studi di UKSW dapat menjadi pelayan-pelayan di wilayah layanan GKI, baik
8 Wawancara penulis dengan salah satu alumni penghuni Asrama Mansinam Periode 2000-an. Wawancara
dilakukan tanggal 3 Juni 2017 Pukul 14.00 wib. 9 Lihat dan bandingkan dengan catatan Bedes, M. Dessy, 2013, dalam Bedes, Dessy Musina, Modal Sosial
dalam Perspektif Orang Papua: Studi Terhadap Dimensi dan Tipologi Modal Sosial yang Dimiliki
HIMPPAR.(Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 2013),
35.
42
sebagai pelayan gereja maupun sebagai tenaga guru, maka ide untuk membentuk
kemandirian sejak awal yaitu sejak bermahasiswa perlu untuk dibentuk.10
Agar kemandirian itu tercapai, maka mereka yang menjadi penghuni Asrama
Mansinam waktu itu, dibekali dengan pembinaan-pembinaan sewaktu mereka menjadi
penghuni Asrama Mansinam. Bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan antara lain: (1)
kedisplinan waktu, di mana pintu pagar depan Asrama Mansinam sudah harus ditutup tepat
pk 21.00 WIB. Sebelum tahun 2004, tidak ada penetapan jam malam, sehingga pada jam-
jam yang sudah larut, Asrama Mansinam masih tampak ramai, di mana orang masih
tampak lalu-lalang pada jam-jam yang sudah larut. (2) tidak mengijinkan menerima tamu di
kamar. Hal ini dimaksudkan karena kamar adalah wilayah privat, tempat dimana penghuni
belajar dan beristirahat, maka para tamu yang datang berkunjung, tidak diijinkan untuk
masuk ke dalam kamar, karena disediakan ruang tamu. (3) penghuni baru wajib menempati
kamar yang berisikan dua orang, selama satu tahun dan setelah itu boleh secara mandiri
memiliki kamar sendiri. Hal ini dimaksudkan agar penghuni baru, dapat terbiasa hidup
berbeda dengan yang lain, belajar mengkompromikan perbedaan, dimulai dari dalam
kamar. (4) menjalankan ritual-ritual harian yaitu doa pagi dan malam. Hal ini merupakan
salah satu dari sekian kesepakatan yang dibuat oleh sesama penghuni Asrama Mansinam,
untuk menjadikan doa bersama berdasarkan keyakinan Kristiani, menjadi sebuah kebiasaan
atau pola hidup berasrama. (4) pengelolaan dan pemeliharaan Asrama Mansinam,
sepenuhnya merupakan tanggungjawab penghuni Asrama Mansinam. Pengelolaan dalam
pengertiaan pembiayaan untuk pemeliharaan, diputuskan oleh Sinode GKI untuk dibiayai
10
Bedes, M. Dessy, 2013, dalam Bedes, Dessy Musina, Modal Sosial dalam Perspektif Orang
Papua: Studi Terhadap Dimensi dan Tipologi Modal Sosial yang Dimiliki HIMPPAR.(Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 2013), 35.Ibid, 36.
43
sendiri oleh penghuni Asrama Mansinam, tanpa ada dukungan dari sinode ataupun dari
pemerintah daerah Papua.11
Melalui perjalanannya, Asrama Mansinam mengalami dinamika tersendiri.
Selagi penghuninya waktu itu adalah dominan para mahasiswa laki-laki, ada banyak hal-hal
diluar proses pembinaan terjadi. Asrama Mansinam mengalami periode surut pada masa
ini, karena fungsinya menjadi tidak maksimal. Hal ini terjadi karena penyerahan
sepenuhnya hak pengelolaan sepenuhnya kepada penghuninya. Tampak sekilas dari luar,
Asrama Mansinam menjadi terkesan angker karena tidak terawatt.12
Melihat kondisi Asrama Mansinam yang demikian, salah satu penghuni Asrama
Mansinam perempuan di tahun 1980-an, Ibu Yosina Wospakrik mengadakan pertemuan
dengan beberapa senior yang dahulunya juga adalah alumnus Asrama Mansinam, agar
fungsi Asrama seperti awal terbentuk agar lebih dimaksimalkan lagi. Namun, revitalisasi
fungsi Asrama Mansinam juga membawa konsekuensi.13
Beberapa konsekuensi di antaranya adalah: (1) agar Asrama Mansinam benar-
benar menjadi tempat pembinaan, maka perlu diberlakukan jam malam dimana pada jam 9
malam, pintu pagar masuk Asrama Mansinam sudah harus ditutup; (2) tidak dalam maksud
untuk melakukan diskriminasi, tetapi agar aturan pertama berlaku, maka hunian Asrama
Mansinam pun harus dibatasi di mana penghuninya hanya diijinkan untuk perempuan; (3)
agar fungsi sebagai pembentukan kemandirian itu terjadi, maka Asrama Mansinam perlu
benar-benar dijadikan rumah bagi para penghuninya. Maksudnya ialah, GKI yang selama
11
Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama
Mansinam pukul 16.00 WIB 12
Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama
Mansinam.Pukul 16.0 WIB 13
Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama
Mansinam pukul 17.00 WIB
44
ini sebagai pendukung finansial bagi keberlangsungan perawatan Asrama Mansinam, tidak
lagi memberikan dukungan itu. Karena itu, biaya perawatan, melalui biaya kamar yang
dikenakan kepada penghuni Asrama Mansinam, harus dikelola secara mandiri oleh
penghuni Asrama Mansinam, salah satunya untuk perawatan Asrama Mansinam dan (4)
agar hal ketiga benar-benar dapat terjadi, maka keseluruhan tata kelola Asrama Mansinam
dipercayakan sepenuhnya kepada penghuni Asrama Mansinam.14
3.3. Dasar dan Proses Pembentukan Modal Sosial Mahasiswa Penghuni Asrama
Mansinam
Dalam membicarakan Modal Sosial, maka tiga unsur dalam Modal Sosial yaitu
nilai atau norma, rasa saling percaya dan jejaring menjadi sentral untuk dibahas. Artinya,
nilai atau norma seperti apa yang melahirkan rasa saling percaya di antara individu atau
komunitas, di mana rasa saling percaya ini yang membentuk komitmen mereka untuk
membentuk jejaring, baik itu jejaring di antara mereka, maupun jejaring di luar mereka.
Terkait penelitian ini, sub bab ini akan membicarakan dasar pembentuk modal
sosial, di mana dasar itu terbentuk awalnya karena ada nilai atau norma yang berlaku di
Asrama Mansinam, serta implementasi atau peleburan nilai (norma) itu dalam kehidupan
keseharian penghuni Asrama yang terwujud dalam kegiatan-kegiatan rutin keseharian
mereka, dimana karena intensitas kebersamaan dalam rutinitas itu, secara perlahan
membentuk rasa saling percaya di antara mereka, yang juga secara perlahan membentuk
ikatan jejaring di antara mereka juga jejaring di luar mereka.
14
Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama
Mansinam Pukul 17.00 WIB
45
Mengacu pada hasil wawancara, ditemukan bahwa nilai yang menjadi dasar
pembentuk Modal Sosial adalah nilai kemandirian, kemandirian ini diimplementasikan
dalam kehidupan bersama mereka. Dalam kondisi yang diarahkan untuk mandiri, maka
kebutuhan untuk bertahan hidup sebagai sesama penghuni mendorong mereka secara
perlahan membentuk rasa saling percaya di antara mereka. Kebutuhan untuk bertahan hidup
inilah yang melahirkan kesadaran rasa menimbulkan rasa saling membutuhkan, dimana
rasa saling membutuhkan ini mengkondisikan mereka untuk membangun jejaring, baik
jejaring di antara mereka maupun jejaring di luar mereka.
3.3.1. Kemandirian Sebagai Nilai
Nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi
kehidupan manusia. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, ideal, nilai bukan benda
konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian
empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki, disenangi, dan tidak disenangi15
.
Dengan begitu, nilai adalah esensi yang diharapkan dapat diwujudkan demi kebaikan-
kebaikan bersama.
Kemandirian dianggap sebagai sebuah nilai, karena kemandirian ketika
terbentuk pada seseorang, mampu membuat seseorang benar-benar hidup mengandalkan
semua sumber daya yang ada padanya, bergantung sepenuhnya pada dirinya, dan membuat
seseorang mampu menjalani hubungan yang sehat dengan orang lain.16
Kemandirian juga
15
Mansur, Isna, 2001. Diskursus Pendidikan. Yogyakarta, (Global pustaka Utama, 2110), 98. 16
Steinberg, Adolescence. Sixth Edition, New York, (McGraw Hill Inc, 2002), 67
46
dianggap sebagai sebuah nilai, karena kemandirian dapat mendorong seseorang untuk lebih
siap menghadapi dunia nyata dengan berbagai tantangannya yang ada.17
Dalam studi-studi psikologi sosial, ditemukan bahwa terdapat korelasi kuat
antara memberikan kebebasan untuk mengatur segala sesuatu secara sendiri, dengan
membentuk kemandirian18
. Dalam relasi dengan orangtua dengan anak misalnya, orangtua
yang terlalu banyak mengekang, dan tidak banyak memberikan kebebasan bagi anak untuk
dapat menentukan secara bebas apa yang harus dilakukan, maka yang terjadi adalah akan
menimbulkan ketergantungan yang tinggi pada anak terhadap orang lain. Demikian juga
pada mereka yang cenderung otoriter19
. Tetapi, pada mereka yang mampu memberikan
arahan, baik itu lewat aturan tertulis, maupun tidak tertulis, dan mempercayakan
sepenuhnya bagi anak ataupun pelaksana melakukan apa yang diminta, ada kecenderungan
bagi si anak atau si pelaksana, untuk bisa lebih mandiri, lebih percaya pada kemampuannya
sendiri, dan lebih siap menghadapi tantangan yang ada di depannya.20
Sejak awal Asrama Mansinam dibentuk, telah disepakati bersama bahwa
Asrama ini dibentuk dalam rangka pembinaan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari
Sinode Gereka Kristen Injili ditanah Papua. kala itu. Agar pembinaan ini tercapai, maka
Asrama Mansinam dijadikan sebagai miniatur pelatihan kemandirian di dunia nyata yang
akan dihadapi oleh para mahasiswa ini. Konsep miniatur pelatihan kemandirian ini
17
Steinberg, Adolescence. Sixth Edition, New York, (McGraw Hill Inc, 2002), 68 18
Santrock, J.W.. Perkembangan Remaja, Edisi Keenam. Penerj: Shinto B Adelaar dan Sherly
Saragih. (Jakarta. Erlangga. 2003), 46. 19
Santrock, J.W.. Perkembangan Remaja, Edisi Keenam. Penerj: Shinto B Adelaar dan Sherly
Saragih. (Jakarta. Erlangga. 2003)47 20
Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama
Mansinam Pukul 19.20 WIB
47
dipertegas lagi pada tahun 200421
ketika Asrama Mansinam direvitalisasi fungsinya,
dipertegas segala aturan yang terkait dengan menjadi penghuni untuk mondok di Asrama
Mansinam.
Sejak awal pula, agar kemandirian ini terjadi, maka ketika Sinode GKI membeli
bangunan ini untuk dijadikan sebagai Asrama yang diberi nama Asrama Mansinam ini,
menyerahkan secara penuh/memberikan otonomi agar seluruh tata pengelolaan dilakukan
langsung oleh penghuni Asrama Mansinam. Meskipun, sempat terjadi bahwa kebebasan
mengelola ini disalahgunakan, dan sempat terjadi masa di mana Asrama Mansinam
kelihatan tidak terurus sama sekali, hingga pada tahun 2004, terjadi revitalisasi fungsi
Asrama Mansinam.
Dengan menyerahkan secara penuh agar seluruh pengelolaan dan perawatan
Asrama Mansinam kepada penghuni Asrama Mansinam, maka penghuni Asrama
Mansinam, sepenuhnya bertanggungjawab bagi keberlangsungan dan keberadaan Asrama
Mansinam ini. Sejak terjadi revitalisasi, maka secara interal diantara penghuni Asrama
Mansinam, tanggungjawab ini benar-benar terekspresikan melalui aktivitas harian, yang di
atur dalam job description para penghuni Asrama Mansinam.
Kemandirian, menjadi pengikat bersama di antara para penghuni Asrama
Mansinam, atau dengan kata lain, kemandirian menjadi tujuan komunitas penghuni Asrama
Mansinam. Dalam kondisi ini, kemandirian adalah sebuah kewajiban yang harus dicapai,
demi tercapainya tujuan pendirian Asrama Mansinam. Dalam praktiknya, agar nilai-nilai
kemandirian ini tertanam, maka Sinode GKI menaruh kepercayaan penuh kepada seluruh
21
Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama
Mansinam Pukul 19.20 WIB
48
penghuni Asrama Mansinam, agar merumuskan nilai ini dalam bentuk-bentuk yang konkrit,
berupa tugas-tugas harian mereka sebagai penghuni, ketrampilan-ketrampilan apa saja yang
perlu mereka pelajari, dan terpenting adalah bagaimana mereka sendiri belajar saling
percaya, demi kelangsungan kehidupan mereka di Asrama dan kelangsungan Asrama
Mansinam itu.
3.3.2 Keberlangsungan Hidup Sebagai Dasar Trust
Studi-studi tentang strategi survive atau bertahan hidup demi keberlangsung
hidup, banyak dibahas dalam literatur, tetapi terutama dibahas terkait dengan mereka yang
berada pada posisi marginal, baik secara sosial, ekonomi dan politik22
. Strategi bertahan
disebutkan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya, strategi ini juga disebut
sebagai kemampuan dalam mengelola asset yang dimilikinya.
Tetapi, dalam pembahasan strategi bertahan demi keberlangsungan hidup,
sehingga juga menimbulkan rasa saling bergantung terhadap yang lain, dan akhirnya harus
membangun rasa percaya demi mempertahankan kehidupan, lebih karena mereka memiliki
aset dan juga akses yang terbatas, sehingga pilihan yang harus dilakukan adalah
memaksimalkan aset dan akses yang dimiliki disekitarnya.23
Kata lainnya adalah, rasa
percaya yang dibangun di antara kelompok-kelompok yang marginal ini, lebih karena
mereka tidak memiliki pilihan yang banyak yang tersedia bagi mereka untuk bisa bertahan
hidup, karena itu, mereka harus membangun ikatan yang erat (bounding) di antara
komunitas mereka sendiri, demi keberlangsungan mereka sendiri.
22
Suharto, E. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama.
2009), 29 23
Baiquni, Strategi Penghidupan di Masa Krisis. Yogyakarta, (Ideas Media, 2007), 47
49
Hal lain yang jarang diperhatikan tentang trust adalah, bahwa bukan karena
kondisi harus bergantung pada orang lain, karena kurangnya aset dan akses, tetapi empati,
sebuah kapasitas mengambil peran orang lain dan mengadopsi persepsi orang lain
dihubungkan dengan diri sendiri24
. Rousseu, misalnya mengungkapkan bahwa kepercayaan
(trust) merupakan kesediaan seseorang untuk bertumpu dan memiliki perasaan yakin yang
kemudian diberikan kepada orang lain dan dasarnya adalah ketidakpaksaan dan perasaan
menerima apa adanya.25
Meskipun di awal, motivasi dari tiap-tiap penghuni ketika awal masuk Asrama
Mansinam berbeda-beda, dimana motivasi tersebut benar-benar motivasi individual, dan
bukan motivasi kelompok, namun demikian, agar tanggungjawab keberlangsungan Asrama
Mansinam ini terjadi, maka para penghuni Asrama, dikondisikan untuk saling mempercayai
satu sama lain. Hal ini terkait dengan keberadaan mereka sebagai sesama penghuni. Dengan
kata lain, motivasi yang mendasari mereka yang awalnya adalah motivasi individual, harus
dirubah menjadi motivasi kelompok, atau motivasi komunitas.
Hal ini perlu dilakukan, karena setelah menjadi penghuni, dan mengetahui
bahwa secara penuh, pengelolaan Asrama Mansinam diserahkan kepada mereka sebagai
penghuni Asrama Mansinam, maka dalam kondisi demikian, ada sebuah kesadaran dari
tiap-tiap individu penghuni Asrama yang kemudian menjadi kesadaran komunitas bahwa
keberadaan yang lain, menentukan keberadaan dirinya, demikian juga sebaliknya,
keberadaannya menentukan keberadaan yang lain.
24
Eisenberg,N, et.al “Dispositional Emotionally and Regulation” 136-157. 25
Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik terj Husein I.S dan Hidayat
R. (Jakarta: Dian Rakyat, 2007), 22.
50
Diharuskan survive dengan sumber daya (ekonomi dan juga jejaring) yang
sepenuhnya hanya ada di antara mereka, tidak ada pilihan lain, selain mempercayai yang
lain, dan benar-benar membangun hubungan tidak saja sebagai sesama penghuni semata
yang sama-sama mondok di Asrama Mansinam, namun ada sebuah pilihan yang harus
dibuat untuk menjadikan yang lain sebagai saudaranya.
Agar semua penghuni Asrama Mansinam merasa menjadi saudara bagi sesama
penghuni yang lain, dan agar itu terjadi, maka perlu dilakukan pengkondisian.
Pengkondisian itu antara lain dengan melibatkan setiap penghuni menjadi bagian dari
struktur kepengurusan, melibatkan mereka dalam setiap aktivitas harian, termasuk
menjadikan kesusahan/kesulitan individu menjadi kesusahan komunitas untuk ditanggung
bersama.
Situasi semacam demikian, tentu sangat berbeda dengan kondisi yang
terjadinya Modal Sosial yang disampaikan Coleman maupun Bourdieu, dan juga Putnam.
Coleman dan Bourdieu memandang bahwa individu memiliki Modal Sosial bukan karena
merasa ada relasi yang saling bergantung dengan yang lain, tetapi yang lain ada untuk
dimanfaatkan demi tujuan-tujuan individu.
Situasi yang dialami penghuni Asrama Mansinam, pada kondisi tertentu hampir
menyerupai apa yang menginspirasi Putnam melalui tulisan-tulisan de Tocqueville tentang
pembentukan komunitas-komunitas di Amerika, namun demikian perbedaannya adalah
pada sifat Modal Sosial tersebut. Pada kondisi yang digambarkan Putnam, Modal Sosial
bersifat menjembatani, tidak terbatas pada mengikat individu dalam komunitas tersebut.
Pada situasi pembentukan Modal Sosial yang digambarkan Putnam melalui
catatan de Tocqueville, individu-individu tidak perlu menciptakan situasi persaudaraan,
51
atau dalam istilah penghuni Asrama Mansinam tidak perlu membuat nyaman yang lain,
karena asosiasi yang dibentuk murni berdasarkan kebebasan, bukan kesukarelaan. Artinya,
jika asosiasi itu juga mampu menampung dan menyalurkan tujuan-tujuan bersama yang
telah dirumuskan, maka asosiasi itu dapat terus bertahan. Tetapi jika asosiasi itu tidak lagi
memperjuangkan atau mencerminkan nilai-nilai bersama, maka setiap individu memiliki
kebebasan untuk menemukan asosiasi yang baru, atau membentuk asosiasi yang lain selain
yang telah ada sebelumnya.
Pada situasi mereka yang menjadi penghuni Asrama Mansinam, mereka telah
terkondisikan sebelumnya. Mereka dalam pilihan kebebasannya untuk boleh indekos telah
memilih untuk menjadi penghuni Asrama Mansinam. Ketika awal menjadi penghuni,
belum ada terpapar gambaran bahwa mereka dikondisikan sepenuhnya untuk mengelola
diri sendiri, mengelola secara mandiri Asrama Mansinam. Gambaran yang ada dalam benak
mereka waktu menjadi penghuni adalah gambaran yang serupa dengan pemondokan-
pemondokan yang lain, bahwa tempat tersebut tidak lebih daripada sekedara menampung
untuk tinggal, bukan tempat untuk membina kemandirian.
Tetapi, setelah menjadi penghuni dengan segala aturan yang telah dibuat,
akhirnya para individu-individu penghuni Asrama Mansinam disadarkan bahwa ada sebuah
kondisi yang telah ditetapkan, dan jika kondisi itu harus dicapai, maka syaratnya adalah
sama-sama harus menyadari bahwa mereka saling membutuhkan, demi keberlangsungan
hidup mereka dan keberlangsungan Asrama Mansinam. Karena itu, membuat nyaman yang
lain menjadi prakondisi dan prasyarat, karena ketika yang lain merasa nyaman, merupakan
alasan yang kuat baginya untuk terus bertahan, dan terus tinggal di Asrama Mansinam.
52
Dihadapi dengan kondisi ini, maka kesadaran sebagai komunitas itu muncul;
individualisme mereka melebur demi mencapai tujuan-tujuan bersama, yaitu tujuan untuk
keberlangsungan hidup bersama. Meskipun terlihat sebagai sebuah kondisi paksaan, namun
yang menarik adalah dalam kondisi demikian, dan dalam kebebasan mereka untuk boleh
keluar dan memilih indekos, penghuni Asrama Mansinam memilih tetap bertahan dan terus
menjadi penghuni Asrama Mansinam, hingga mereka menyelesaikan studinya di UKSW.
Inilah yang membedakan komunitas ini dengan komunitas dalam bentuk asosiasi dalam
temuan-temuan Putnam.
Menariknya lagi adalah proses pengkondisian dalam situasi yang terkesan
dipaksakan kemudian diubah oleh penghuni Asrama Mansinam untuk menjadi sebuah
kondisi kesukarelaan. Disini juga yang membedakan komunitas ini dengan apa yang
menjadi paparan Coleman maupun Bourdieu juga Putnam. Disini juga yang menjadi
harapan Coleman, Bourdieu maupun Putnam, bahwa kerelaan benar-benar diperlukan bagi
dasar terbentuknya trust sebagai salah satu syarat terciptanya Modal Sosial. Hal ini benar-
benar terjadi pada penghuni Asrama Mansinam.
Dari hasil temuan, diketahui bahwa pengkondisian ini tidak saja terjadi karena
penghuni Asrama Mansinam sama-sama berasal dari Papua, tetapi yang paling penting dari
hal tersebut adalah kesadaran akan hidup bersama dengan yang lain. pengkondisian yang
dipaksakan dengan segala aturan yang melekat pada mereka saat menjadi penghuni,
mengubah individualitas mereka masing-masing, dan timbul sebuah situasi sadar sebagai
sosial sebagai sesama yang saling membutuhkan yang lain.
Temuan juga memperlihatkan bahwa konflik karena individualitas dari masing-
masing penghuni merupakan hal yang tak terhindarkan. Namun upaya-upaya penyelesaian
53
dengan memposisikan semua memiliki hak yang setara, dengan memperlakukan yang lain
sebagai sama-sama memiliki kebenaran, namun mencari jalan tengah terbaik diantara
mereka, tanpa ada upaya untuk menghakimi siapa yang bersalah dan siapa yang benar,
menjadi sebuah pendekatan yang lain, yang benar-benar tidak ditemukan dalam kondisi
indekos, yang mana salah satu pengkondisian inilah yang membuat para penghuni betah
menjadi penghuni Asrama Mansinam.
3.3.3 Kebutuhan akan Keberadaan Yang Lain Sebagai Dasar Membentuk Jejaring
Dalam relasi interpersonal, sebuah relasi berjejaring akan berjalan harmonis
mencapai kadar hubungan yang baik ditandai dengan adanya kebersamaan apabila setiap
individu bertindak sesuai dengan ekspektasi peranan, tuntutan peran, dan terhindar dari
konflik peran. Artinya, hubungan interpersonal berjalan baik apabila masing-masing
individu dapat memainkan peranan tertentu, meskipun tidak menginginkannya.26
Ekspektasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas, dan hal yang berkaitan dengan posisi
tertentu dalam kelompok. Tuntutan peranan adalah desakan sosial yang memaksa individu
untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan kepadanya. Desakan sosial dapat
berwujud sebagai sanksi sosial dan dikenakan bila individu menyimpang dari peranannnya.
Dalam hubungan interpersonal, desakan halus atau kasar dikenakan pada orang lain agar ia
melaksanakan peranannya.27
Dalam hasil wawancara juga temuan penulis dengan penghuni, tidak tampak
bahwa Asrama Mansinam ini menjalin hubungan kerjasama atau membentuk jejaring
dengan institusi/organisasi lain diluar Asrama Mansinam, selain Himpunan Mahasiswa
26
Suranto, Aw, Komunikasi Interpersonal, Yogyakarta, Gr(aha Ilmu, 2011), 38. 27
Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung, (Remaja Rosdakarya, 1991), 122
54
Pelajar Papua Barat (HIMPPAR). Bentuk kerjasama atau jejaring dengan HIMPPAR pun
semata-mata karena penghuni Asrama Mansinam adalah juga anggota dari organisasi
tersebut, selain bahwa secara turun-temurun, sejak awal Asrama Mansinam ada, telah
terjalin sebuah ikatan kekerabatan diantara mereka untuk menggunakan Asrama Mansinam
sebagai penyelengaraan kegiatan-kegiatan organisasi HIMPPAR.
Kerjasama atau saling membentuk jejaring, murni terjadi diantara mereka
sendiri sebagai sesama penghuni Asrama Mansinam. Sebagaimana telah tercatatkan di atas,
kesadaran berjejaring dengan sesama penghuni lebih terutama karena kesadaran: yang lain
ada dan terus ada menentukan juga keberadaan yang lain.
Awalnya, yang lain tidak lebih dari pada sekedar penghuni biasa sama seperti
para penghuni indekos yang lain. Tetapi egoisme “saya juga bayar koq” melebur dan
menjadi kesadaran membutuhkan yang lain. Hal sederhana misalnya yang tidak kita temui
sewaktu indekos adalah kesadaran untuk menjadikan salah satu penghuni menjadi bagian
dari komunitas. Pada temuan penulis, kesadaran ini terjadi karena kesadaran dari yang lain
bahwa satu saja penghuni tidak merasa betah dan memilih keluar indekos, berakibat fatal
pada keberlangsungan keseluruhan yang lain.
Berdasarkan hasil temuan, situasi yang penulis temukan sangat berbeda dengan
situasi kos-kosan, yang meskipun sama-sama juga diatur dengan aturan-aturan tertentu,
namun kesadaran dan kepekaan akan kehadiran yang lain sebagai bagian yang tidak
terpisahkan sangatlah kecil bahkan hampir tidak ada.
Dalam kebebasan mereka pada sebuah situasi yang terkondisikan, pada mereka
yang biasanya indekos, ada sebuah kebebasan untuk benar-benar menjadi individualis tanpa
memperhitungkan keberadaan yang lain, dengan menggunakan prinsip-prinsip egoisme
55
yang paling sering kelihatan adalah dirinya hadir benar-benar untuk dirinya sendiri, dengan
slogan yang terkenal yaitu: “saya membayar dengan uang saya sendiri, dengan uang
orangtua saya sendiri, mau apapun itu terserah saya sendiri”.
Temuan ini berbeda dengan penulis temui ketika melakukan wawancara dan
observasi dengan penghuni Asrama Mansinam. Kesadaran untuk melebur segala
individualitas mereka secara perlahan ketika mereka menjadi penghuni karena kehadiran
satu orang penghuni menentukan keberadaan mereka secara keseluruhan. Ada semboyan
yang tidak tertulis yang ada dalam benak masing-masing penghuni Asrama Mansinam
bahwa: satu menentukan yang lain.
Tetapi, bagaimana agar yang satu ini merasa menjadi bagian dari yang lain?
Disini, yang penulis temukan ialah, situasi yang hampir serupa dengan yang digambarkan
de Tocqueville yang menginspirasi Putnam dalam menulis modal sosialnya. Kira-kira
demikian:
Dalam asosiasi-asosiasi politik, bangsa Amerika, dengan segala kondisi,
pikiran, dan usia, sehari-hari merasakan nikmat umum dari asosiasi dan
semakin terbiasa dengan penggunaan hal ini. Disana mereka berkumpul dalam
jumlah banyak, mereka berbicara, mereka mendengar satu sama lain, dan
secara timbal balik mereka tergerak untuk berbuat. Pada akhirnya mereka
memasukkan ke dalam kehidupan warga pemahaman-pemahaman yang telah
mereka peroleh dan menjadikannya melayani seribu tujuan28
.
Namun demikian, pembedanya adalah bahwa asosiasi ini bersifat longgar dan
bukan bersifat mengikat. Dalam temuan penelitian Putnam khususnya pada asosiasi yang
dibentuk bangsa Amerika, siapa saja boleh dengan segala kebebasannya untuk turut serta
dalam posisi yang setara dengan yang lain, terlibat dan menjadi bagian dari asosiasi itu
demi kepentingan-kepentingan bersama.
28
Tocqueville, de, Alexis, Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat, Terj (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1993), ix
56
Pada komunitas berskala kecil seperti penghuni Asrama Mansinam ini, ikatan
jejaring ini bersifat mengikat yang lain karena, masing-masing menyadari bahwa satu orang
penghuni adalah penentu: penentu bagi keberlangsungan hidup yang lain. Karena itu,
jejaring yang dibentuk dengan sesama penghuni adalah jejaring karena dirinya
membutuhkan keberadaan penghuni lain.
Meskipun menggunakan cara-cara yang hampir sama dengan yang dikatakan
Putnam tentang temuan de Tocqueville, yaitu dengan menggunakan media-media seperti
pertemuan rutin bulanan, juga melibatkan setiap penghuni dalam aktivitas-aktivitas harian
mereka, tetapi pembedanya adalah, setiap aktivitas dialog bulanan ini, tidak diserahkan
kepada pihak lain untuk dilaksanakan atau dinyatakan baik dalam bentuk peraturan-
peraturan dan akhirnya mereka hanya mengikutinya, namun mereka sendiri yang sebagai
pembuat kebijakan itu, mereka yang merumuskan kebijakan-kebijakan itu, dan mereka
sendiri yang melaksanakan dan mematuhinya. Dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka
tanpa menggunakan media “perwakilan” seperti dalam temuan-temuan Putnam.
Namun begitu, agar semua dialog melalui rapat rutin bulanan ini dijadikan
kesadaran bersama yang bersifat mengikat, juga memaksa namun dapat dilakukan dengan
sukarela, ada sebuah pembeda yang membedakan temuan penelitian ini dengan yang telah
dikaji terdahulu oleh Putnam.
Agar penghuni merasakan bagaimana dirinya adalah benar-benar bagian dan di
dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam, maka dalam keseharian mereka, kesadaran
untuk memperlakukan penghuni lain sebagai saudara menjadi titik penting, dan ini yang
menjadi temuan penting penulis. Hal ini terekspresikan dalam beberapa hal, dan yang