20
38 BAB III DASAR DAN PROSES PEMBENTUKAN MODAL SOSIAL DI ASRAMA MANSINAM SALATIGA Hal terpenting dalam membahas dasar serta proses terbentuknya Modal Sosial adalah mengajukan pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa Modal Sosial itu terjadi. Berbicara tentang dasar dan proses pembentukan Modal Sosial, maka tentu saja lingkungan di sekitar individu atau komunitas tersebut ikut memberikan kontribusi pada pembentukan Modal Sosial tersebut. Maka, pada penelitian ini, akan dibahas tentang Salatiga, terutama tentang Universitas Kristen Satya Wacana yang turut memberi sumbangsih pada pembentukan Modal Sosial mahasiswa. Selanjutnya, juga sedikit digambarkan tentang profil mahasiswa, juga dibahas tentang sejarah Asrama Mansinam. Pada sub bab berikutnya, dideskripsikan tentang dasar dan proses pembentukan Modal Sosial Mahasiswa penghuni Asrama Mansinam. 3.1 Salatiga, Kota Persemaian Tentang Indonesia. Salatiga, kota kecil di bawah kaki gunung Merbabu berada di antara sudut segitiga Jogja Solo Semarang (JOGLOSEMAR), dengan cuacanya yang sejuk dipilih oleh pendiri Universitas Kristen Satya Wacana sebagai tempat untuk mempersiapkan tenaga pendidik, khususnya guru-guru agama dan guru-guru lain dalam rangka untuk mengisi kemerdekaan yang telah diperoleh Indonesia kala itu. 1 Sebagai wujud komitmen UKSW, maka pada waktu itu, berdasarkan kesepakatan dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), UKSW mengkonsentrasikan dirinya untuk 1 R. Gultom: Sejarah, Visi dan Misi Universitas Kristen Satya Wacana: Datang Untuk Bebas dan Menang, OMB 2016. Buku Orientasi Mahasiswa Baru, (Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 22.

BAB III DASAR DAN PROSES PEMBENTUKAN MODAL SOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13350/3/T2_752016002_BAB... · Kesadaran pendiri UKSW memilih Salatiga sebagai ... namun

Embed Size (px)

Citation preview

38

BAB III

DASAR DAN PROSES PEMBENTUKAN MODAL SOSIAL DI ASRAMA

MANSINAM SALATIGA

Hal terpenting dalam membahas dasar serta proses terbentuknya Modal Sosial

adalah mengajukan pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa Modal Sosial itu terjadi.

Berbicara tentang dasar dan proses pembentukan Modal Sosial, maka tentu saja lingkungan

di sekitar individu atau komunitas tersebut ikut memberikan kontribusi pada pembentukan

Modal Sosial tersebut. Maka, pada penelitian ini, akan dibahas tentang Salatiga, terutama

tentang Universitas Kristen Satya Wacana yang turut memberi sumbangsih pada

pembentukan Modal Sosial mahasiswa. Selanjutnya, juga sedikit digambarkan tentang

profil mahasiswa, juga dibahas tentang sejarah Asrama Mansinam. Pada sub bab

berikutnya, dideskripsikan tentang dasar dan proses pembentukan Modal Sosial Mahasiswa

penghuni Asrama Mansinam.

3.1 Salatiga, Kota Persemaian Tentang Indonesia.

Salatiga, kota kecil di bawah kaki gunung Merbabu berada di antara sudut

segitiga Jogja – Solo – Semarang (JOGLOSEMAR), dengan cuacanya yang sejuk dipilih

oleh pendiri Universitas Kristen Satya Wacana sebagai tempat untuk mempersiapkan

tenaga pendidik, khususnya guru-guru agama dan guru-guru lain dalam rangka untuk

mengisi kemerdekaan yang telah diperoleh Indonesia kala itu.1

Sebagai wujud komitmen UKSW, maka pada waktu itu, berdasarkan kesepakatan

dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), UKSW mengkonsentrasikan dirinya untuk

1R. Gultom: Sejarah, Visi dan Misi Universitas Kristen Satya Wacana: Datang Untuk Bebas dan

Menang, OMB 2016. Buku Orientasi Mahasiswa Baru, (Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 22.

39

mengambil menata pendidikan di Indonesia, di mana komitmen UKSW ini juga

memperoleh dukungan dari gereja-gereja yang juga ada di beberapa wilayah timur

Indonesia termasuk Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI).2

Kesadaran pendiri UKSW memilih Salatiga sebagai tempat menyemaikan dan

mempersiapkan para calon pendidik bagi daerahnya bukan tanpa alasan. Secara geografis,

kota ini memiliki posisi strategis karena berada di antara beberapa kota besar lainnya di

Jawa Tengah. Sementara sisi lain yang dipikirkan bahwa kota ini tepat untuk

mempersiapkan para calon pendidik adalah karena kota ini sesungguhnya merupakan kota

para pensiunan, sehingga kota ini cenderung tenang. Bagaimanapun, ketenangan adalah

syarat yang tepat untuk belajar.

Disadari oleh pendiri UKSW kala itu, bahwa upaya untuk menyatukan

beberapa daerah di wilayah timur menjadi Indonesia adalah pekerjaan yang tidak mudah.

Benturan yang paling terasa adalah benturan-benturan kultural dan perbedaan pandangan

politik soal bentuk negara Indonesia3. Menyadari situasi yang demikian, maka memilih

Salatiga menjadi lokasi untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang mempersiapkan

tenaga-tenaga pengajarnya, untuk kemudian kembali dan bercerita tentang Indonesia yang

ditemui selama menempuh studi adalah strategi yang tepat.4

Dikatakan bahwa Salatiga adalah kota yang tepat karena kota ini sangat berbeda

dengan kota-kota lainnya yang berada di sekitar pertigaan JOGLOSEMAR ini. Sebagai

2 Pidato Rektor UKSW, Prof John A Titaley, Th. D pada acara Lustrum UKSW XI, di Balairung

Utama UKSW, 2011. 3 R. Gultom: Sejarah, Visi dan Misi Universitas Kristen Satya Wacana, 20

4Pidato Rektor UKSW, Prof. John, A. Titaley, Th. D pada acara Lustrum UKSW XI di Balairung

Utama UKSW 2011.

40

sebuah kota istirahat, Salatiga hampir-hampir tidak memiliki fasilitas-fasilitas hiburan yang

bisa mengarah kepada individualisme dan hedonism.5

Sebagai makhluk bermain, manusia tentunya membutuhkan hiburan. Minimnya

fasilitas hiburan di Salatiga kala ini, mendorong satu kultur baru yang tidak pernah ada

dimanapun yaitu berinteraksi dan berkumpul satu sama lainnya. Namun begitu, agar

interaksi ini berjalan harmonis, maka muncul sebuah kesepakatan yang tidak disadari,

namun turun temurun diwariskan menjadi semacam budaya di Salatiga, yaitu penerimaan

semua suku yang datang darimana saja untuk duduk bersama secara setara.6

Penerimaan setiap suku yang datang di Salatiga untuk studi di UKSW, paling

nyata nampak dalam penerimaan identitas primordial masing-masing suku – dimana

identitas ini adalah identitas yang paling murni, yaitu bahasa. Ada sebuah beban psikologis

dari setiap, ketika berada di ruang publik, maka menggunakan bahasa primordial/bahasa

ibu, itu identik dengan bahasa orang desa; dalam istilah Jawa disebut katro katau ndeso.7

5 Refleksi penulis atas pertanyaan mengapa Salatiga dipilih. Bisa dibayangkan jika yang dipilih

waktu itu adalah kota Jogja, Solo atau Semarang, dimana kota-kota ini terus bertumbuh menjadi kota-kota

yang tidak lagi berorientasi pada pendidikan, tetapi pada hiburan. Yang terjadi adalah setiap orang akan

menghabiskan waktunya “menjadi diri sendiri” di mal-mal ataupun pusat-pusat hiburan lainnya, dan akan

mengurangi interaksi baik antar sesama suku, maupun dengan suku-suku lain. Maka Visi untuk membuat

Indonesia menjadi “konkrit” mungkin menjadi pekerjaan yang lebih sulit untuk digapai. 6 Refleksi atas pertanyaan penulis: mengapa UKSW disebut Indonesia Mini. Penyebutan UKSW

sebagai Indonesia Mini, tidak saja karena perbedaan suku dan kultur setiap mahasiswa yang datang

menempuh studi, karena jika itu batasannya, maka tentu saja universitas lain juga memiliki hal itu. Namun

satu kepastian bahwa UKSW adalah Indonesia mini: miniaturnya Indonesia, karena hanya di UKSW ada

pengakuan kesetaraan pada tiap suku dan juga kultur yaitu setiap bahasa ibu masing-masing suku boleh hidup

berdampingan, tanpa konflik. 7 Hal ini sangat nampak ketika orang berada misalnya di Jakarta. Ada sebuah pengkondisian untuk

menggunakan kata Lo – Gue, saat berada di ruang publik, dibandingkan dengan menggunakan bahasa ibunya

sendiri, meskipun Jakarta memiliki keragaman etnik yang tinggi.

41

3.2 Sejarah Asrama Mansinam Salatiga

Dalam rangka memahami Modal Sosial Mahasiswa yang menjadi penghuni

Asrama Mansinam, maka pada sub bab ini, perlu dibahas tentang sejarah dibentuknya

Asrama Mansinam Salatiga. Sebelum dibeli oleh Sinode GKI, tempat ini adalah tempat

pemandian mayat. Namun, karena sepi dan tidak terawat, tempat ini kemudian dibeli

Sinode GKI yang waktu itu sedang mencari tempat untuk hunian Mahasiswa yang dikirim

dan diberi beasiswa oleh GKI untuk studi di Universitas Kristen Satya Wacana.8

Asrama Mansinam yang berlokasi di Jl Damarjati Salatiga memiliki sejarah

yang khas. Gagasan awal pembentukan asrama ini sejalan dengan sejarah pembentukan

organisasi Himpunan Mahasiswa Pelajar Papua Barat, dimana karena mahasiswa yang

dikirimkan dan diberikan beasiswa oleh GKI tersebar kemana-mana dan hampir tidak

terorganisir dan tidak dapat dikoordinasi, maka gagasan untuk membentuk sebuah hunian

agar mempermudah koordinasi diantara Mahasiswa penerima beasiswa GKI. Lebih dari itu,

membentuk hunian ini dimaksudkan agar ada satu wadah untuk membentuk karakter, serta

mental kemandirian mahasiswa penerima beasiswa itu.9

Harapannya adalah mereka yang dikirimkan untuk studi, setelah selesai

menempuh studi di UKSW dapat menjadi pelayan-pelayan di wilayah layanan GKI, baik

8 Wawancara penulis dengan salah satu alumni penghuni Asrama Mansinam Periode 2000-an. Wawancara

dilakukan tanggal 3 Juni 2017 Pukul 14.00 wib. 9 Lihat dan bandingkan dengan catatan Bedes, M. Dessy, 2013, dalam Bedes, Dessy Musina, Modal Sosial

dalam Perspektif Orang Papua: Studi Terhadap Dimensi dan Tipologi Modal Sosial yang Dimiliki

HIMPPAR.(Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 2013),

35.

42

sebagai pelayan gereja maupun sebagai tenaga guru, maka ide untuk membentuk

kemandirian sejak awal yaitu sejak bermahasiswa perlu untuk dibentuk.10

Agar kemandirian itu tercapai, maka mereka yang menjadi penghuni Asrama

Mansinam waktu itu, dibekali dengan pembinaan-pembinaan sewaktu mereka menjadi

penghuni Asrama Mansinam. Bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan antara lain: (1)

kedisplinan waktu, di mana pintu pagar depan Asrama Mansinam sudah harus ditutup tepat

pk 21.00 WIB. Sebelum tahun 2004, tidak ada penetapan jam malam, sehingga pada jam-

jam yang sudah larut, Asrama Mansinam masih tampak ramai, di mana orang masih

tampak lalu-lalang pada jam-jam yang sudah larut. (2) tidak mengijinkan menerima tamu di

kamar. Hal ini dimaksudkan karena kamar adalah wilayah privat, tempat dimana penghuni

belajar dan beristirahat, maka para tamu yang datang berkunjung, tidak diijinkan untuk

masuk ke dalam kamar, karena disediakan ruang tamu. (3) penghuni baru wajib menempati

kamar yang berisikan dua orang, selama satu tahun dan setelah itu boleh secara mandiri

memiliki kamar sendiri. Hal ini dimaksudkan agar penghuni baru, dapat terbiasa hidup

berbeda dengan yang lain, belajar mengkompromikan perbedaan, dimulai dari dalam

kamar. (4) menjalankan ritual-ritual harian yaitu doa pagi dan malam. Hal ini merupakan

salah satu dari sekian kesepakatan yang dibuat oleh sesama penghuni Asrama Mansinam,

untuk menjadikan doa bersama berdasarkan keyakinan Kristiani, menjadi sebuah kebiasaan

atau pola hidup berasrama. (4) pengelolaan dan pemeliharaan Asrama Mansinam,

sepenuhnya merupakan tanggungjawab penghuni Asrama Mansinam. Pengelolaan dalam

pengertiaan pembiayaan untuk pemeliharaan, diputuskan oleh Sinode GKI untuk dibiayai

10

Bedes, M. Dessy, 2013, dalam Bedes, Dessy Musina, Modal Sosial dalam Perspektif Orang

Papua: Studi Terhadap Dimensi dan Tipologi Modal Sosial yang Dimiliki HIMPPAR.(Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 2013), 35.Ibid, 36.

43

sendiri oleh penghuni Asrama Mansinam, tanpa ada dukungan dari sinode ataupun dari

pemerintah daerah Papua.11

Melalui perjalanannya, Asrama Mansinam mengalami dinamika tersendiri.

Selagi penghuninya waktu itu adalah dominan para mahasiswa laki-laki, ada banyak hal-hal

diluar proses pembinaan terjadi. Asrama Mansinam mengalami periode surut pada masa

ini, karena fungsinya menjadi tidak maksimal. Hal ini terjadi karena penyerahan

sepenuhnya hak pengelolaan sepenuhnya kepada penghuninya. Tampak sekilas dari luar,

Asrama Mansinam menjadi terkesan angker karena tidak terawatt.12

Melihat kondisi Asrama Mansinam yang demikian, salah satu penghuni Asrama

Mansinam perempuan di tahun 1980-an, Ibu Yosina Wospakrik mengadakan pertemuan

dengan beberapa senior yang dahulunya juga adalah alumnus Asrama Mansinam, agar

fungsi Asrama seperti awal terbentuk agar lebih dimaksimalkan lagi. Namun, revitalisasi

fungsi Asrama Mansinam juga membawa konsekuensi.13

Beberapa konsekuensi di antaranya adalah: (1) agar Asrama Mansinam benar-

benar menjadi tempat pembinaan, maka perlu diberlakukan jam malam dimana pada jam 9

malam, pintu pagar masuk Asrama Mansinam sudah harus ditutup; (2) tidak dalam maksud

untuk melakukan diskriminasi, tetapi agar aturan pertama berlaku, maka hunian Asrama

Mansinam pun harus dibatasi di mana penghuninya hanya diijinkan untuk perempuan; (3)

agar fungsi sebagai pembentukan kemandirian itu terjadi, maka Asrama Mansinam perlu

benar-benar dijadikan rumah bagi para penghuninya. Maksudnya ialah, GKI yang selama

11

Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama

Mansinam pukul 16.00 WIB 12

Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama

Mansinam.Pukul 16.0 WIB 13

Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama

Mansinam pukul 17.00 WIB

44

ini sebagai pendukung finansial bagi keberlangsungan perawatan Asrama Mansinam, tidak

lagi memberikan dukungan itu. Karena itu, biaya perawatan, melalui biaya kamar yang

dikenakan kepada penghuni Asrama Mansinam, harus dikelola secara mandiri oleh

penghuni Asrama Mansinam, salah satunya untuk perawatan Asrama Mansinam dan (4)

agar hal ketiga benar-benar dapat terjadi, maka keseluruhan tata kelola Asrama Mansinam

dipercayakan sepenuhnya kepada penghuni Asrama Mansinam.14

3.3. Dasar dan Proses Pembentukan Modal Sosial Mahasiswa Penghuni Asrama

Mansinam

Dalam membicarakan Modal Sosial, maka tiga unsur dalam Modal Sosial yaitu

nilai atau norma, rasa saling percaya dan jejaring menjadi sentral untuk dibahas. Artinya,

nilai atau norma seperti apa yang melahirkan rasa saling percaya di antara individu atau

komunitas, di mana rasa saling percaya ini yang membentuk komitmen mereka untuk

membentuk jejaring, baik itu jejaring di antara mereka, maupun jejaring di luar mereka.

Terkait penelitian ini, sub bab ini akan membicarakan dasar pembentuk modal

sosial, di mana dasar itu terbentuk awalnya karena ada nilai atau norma yang berlaku di

Asrama Mansinam, serta implementasi atau peleburan nilai (norma) itu dalam kehidupan

keseharian penghuni Asrama yang terwujud dalam kegiatan-kegiatan rutin keseharian

mereka, dimana karena intensitas kebersamaan dalam rutinitas itu, secara perlahan

membentuk rasa saling percaya di antara mereka, yang juga secara perlahan membentuk

ikatan jejaring di antara mereka juga jejaring di luar mereka.

14

Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama

Mansinam Pukul 17.00 WIB

45

Mengacu pada hasil wawancara, ditemukan bahwa nilai yang menjadi dasar

pembentuk Modal Sosial adalah nilai kemandirian, kemandirian ini diimplementasikan

dalam kehidupan bersama mereka. Dalam kondisi yang diarahkan untuk mandiri, maka

kebutuhan untuk bertahan hidup sebagai sesama penghuni mendorong mereka secara

perlahan membentuk rasa saling percaya di antara mereka. Kebutuhan untuk bertahan hidup

inilah yang melahirkan kesadaran rasa menimbulkan rasa saling membutuhkan, dimana

rasa saling membutuhkan ini mengkondisikan mereka untuk membangun jejaring, baik

jejaring di antara mereka maupun jejaring di luar mereka.

3.3.1. Kemandirian Sebagai Nilai

Nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi

kehidupan manusia. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, ideal, nilai bukan benda

konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian

empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki, disenangi, dan tidak disenangi15

.

Dengan begitu, nilai adalah esensi yang diharapkan dapat diwujudkan demi kebaikan-

kebaikan bersama.

Kemandirian dianggap sebagai sebuah nilai, karena kemandirian ketika

terbentuk pada seseorang, mampu membuat seseorang benar-benar hidup mengandalkan

semua sumber daya yang ada padanya, bergantung sepenuhnya pada dirinya, dan membuat

seseorang mampu menjalani hubungan yang sehat dengan orang lain.16

Kemandirian juga

15

Mansur, Isna, 2001. Diskursus Pendidikan. Yogyakarta, (Global pustaka Utama, 2110), 98. 16

Steinberg, Adolescence. Sixth Edition, New York, (McGraw Hill Inc, 2002), 67

46

dianggap sebagai sebuah nilai, karena kemandirian dapat mendorong seseorang untuk lebih

siap menghadapi dunia nyata dengan berbagai tantangannya yang ada.17

Dalam studi-studi psikologi sosial, ditemukan bahwa terdapat korelasi kuat

antara memberikan kebebasan untuk mengatur segala sesuatu secara sendiri, dengan

membentuk kemandirian18

. Dalam relasi dengan orangtua dengan anak misalnya, orangtua

yang terlalu banyak mengekang, dan tidak banyak memberikan kebebasan bagi anak untuk

dapat menentukan secara bebas apa yang harus dilakukan, maka yang terjadi adalah akan

menimbulkan ketergantungan yang tinggi pada anak terhadap orang lain. Demikian juga

pada mereka yang cenderung otoriter19

. Tetapi, pada mereka yang mampu memberikan

arahan, baik itu lewat aturan tertulis, maupun tidak tertulis, dan mempercayakan

sepenuhnya bagi anak ataupun pelaksana melakukan apa yang diminta, ada kecenderungan

bagi si anak atau si pelaksana, untuk bisa lebih mandiri, lebih percaya pada kemampuannya

sendiri, dan lebih siap menghadapi tantangan yang ada di depannya.20

Sejak awal Asrama Mansinam dibentuk, telah disepakati bersama bahwa

Asrama ini dibentuk dalam rangka pembinaan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari

Sinode Gereka Kristen Injili ditanah Papua. kala itu. Agar pembinaan ini tercapai, maka

Asrama Mansinam dijadikan sebagai miniatur pelatihan kemandirian di dunia nyata yang

akan dihadapi oleh para mahasiswa ini. Konsep miniatur pelatihan kemandirian ini

17

Steinberg, Adolescence. Sixth Edition, New York, (McGraw Hill Inc, 2002), 68 18

Santrock, J.W.. Perkembangan Remaja, Edisi Keenam. Penerj: Shinto B Adelaar dan Sherly

Saragih. (Jakarta. Erlangga. 2003), 46. 19

Santrock, J.W.. Perkembangan Remaja, Edisi Keenam. Penerj: Shinto B Adelaar dan Sherly

Saragih. (Jakarta. Erlangga. 2003)47 20

Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama

Mansinam Pukul 19.20 WIB

47

dipertegas lagi pada tahun 200421

ketika Asrama Mansinam direvitalisasi fungsinya,

dipertegas segala aturan yang terkait dengan menjadi penghuni untuk mondok di Asrama

Mansinam.

Sejak awal pula, agar kemandirian ini terjadi, maka ketika Sinode GKI membeli

bangunan ini untuk dijadikan sebagai Asrama yang diberi nama Asrama Mansinam ini,

menyerahkan secara penuh/memberikan otonomi agar seluruh tata pengelolaan dilakukan

langsung oleh penghuni Asrama Mansinam. Meskipun, sempat terjadi bahwa kebebasan

mengelola ini disalahgunakan, dan sempat terjadi masa di mana Asrama Mansinam

kelihatan tidak terurus sama sekali, hingga pada tahun 2004, terjadi revitalisasi fungsi

Asrama Mansinam.

Dengan menyerahkan secara penuh agar seluruh pengelolaan dan perawatan

Asrama Mansinam kepada penghuni Asrama Mansinam, maka penghuni Asrama

Mansinam, sepenuhnya bertanggungjawab bagi keberlangsungan dan keberadaan Asrama

Mansinam ini. Sejak terjadi revitalisasi, maka secara interal diantara penghuni Asrama

Mansinam, tanggungjawab ini benar-benar terekspresikan melalui aktivitas harian, yang di

atur dalam job description para penghuni Asrama Mansinam.

Kemandirian, menjadi pengikat bersama di antara para penghuni Asrama

Mansinam, atau dengan kata lain, kemandirian menjadi tujuan komunitas penghuni Asrama

Mansinam. Dalam kondisi ini, kemandirian adalah sebuah kewajiban yang harus dicapai,

demi tercapainya tujuan pendirian Asrama Mansinam. Dalam praktiknya, agar nilai-nilai

kemandirian ini tertanam, maka Sinode GKI menaruh kepercayaan penuh kepada seluruh

21

Wawancara Penulis dengan penghuni Asrama Mansinam pada 29 Mei 2017 bertempat di Asrama

Mansinam Pukul 19.20 WIB

48

penghuni Asrama Mansinam, agar merumuskan nilai ini dalam bentuk-bentuk yang konkrit,

berupa tugas-tugas harian mereka sebagai penghuni, ketrampilan-ketrampilan apa saja yang

perlu mereka pelajari, dan terpenting adalah bagaimana mereka sendiri belajar saling

percaya, demi kelangsungan kehidupan mereka di Asrama dan kelangsungan Asrama

Mansinam itu.

3.3.2 Keberlangsungan Hidup Sebagai Dasar Trust

Studi-studi tentang strategi survive atau bertahan hidup demi keberlangsung

hidup, banyak dibahas dalam literatur, tetapi terutama dibahas terkait dengan mereka yang

berada pada posisi marginal, baik secara sosial, ekonomi dan politik22

. Strategi bertahan

disebutkan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk

mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya, strategi ini juga disebut

sebagai kemampuan dalam mengelola asset yang dimilikinya.

Tetapi, dalam pembahasan strategi bertahan demi keberlangsungan hidup,

sehingga juga menimbulkan rasa saling bergantung terhadap yang lain, dan akhirnya harus

membangun rasa percaya demi mempertahankan kehidupan, lebih karena mereka memiliki

aset dan juga akses yang terbatas, sehingga pilihan yang harus dilakukan adalah

memaksimalkan aset dan akses yang dimiliki disekitarnya.23

Kata lainnya adalah, rasa

percaya yang dibangun di antara kelompok-kelompok yang marginal ini, lebih karena

mereka tidak memiliki pilihan yang banyak yang tersedia bagi mereka untuk bisa bertahan

hidup, karena itu, mereka harus membangun ikatan yang erat (bounding) di antara

komunitas mereka sendiri, demi keberlangsungan mereka sendiri.

22

Suharto, E. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama.

2009), 29 23

Baiquni, Strategi Penghidupan di Masa Krisis. Yogyakarta, (Ideas Media, 2007), 47

49

Hal lain yang jarang diperhatikan tentang trust adalah, bahwa bukan karena

kondisi harus bergantung pada orang lain, karena kurangnya aset dan akses, tetapi empati,

sebuah kapasitas mengambil peran orang lain dan mengadopsi persepsi orang lain

dihubungkan dengan diri sendiri24

. Rousseu, misalnya mengungkapkan bahwa kepercayaan

(trust) merupakan kesediaan seseorang untuk bertumpu dan memiliki perasaan yakin yang

kemudian diberikan kepada orang lain dan dasarnya adalah ketidakpaksaan dan perasaan

menerima apa adanya.25

Meskipun di awal, motivasi dari tiap-tiap penghuni ketika awal masuk Asrama

Mansinam berbeda-beda, dimana motivasi tersebut benar-benar motivasi individual, dan

bukan motivasi kelompok, namun demikian, agar tanggungjawab keberlangsungan Asrama

Mansinam ini terjadi, maka para penghuni Asrama, dikondisikan untuk saling mempercayai

satu sama lain. Hal ini terkait dengan keberadaan mereka sebagai sesama penghuni. Dengan

kata lain, motivasi yang mendasari mereka yang awalnya adalah motivasi individual, harus

dirubah menjadi motivasi kelompok, atau motivasi komunitas.

Hal ini perlu dilakukan, karena setelah menjadi penghuni, dan mengetahui

bahwa secara penuh, pengelolaan Asrama Mansinam diserahkan kepada mereka sebagai

penghuni Asrama Mansinam, maka dalam kondisi demikian, ada sebuah kesadaran dari

tiap-tiap individu penghuni Asrama yang kemudian menjadi kesadaran komunitas bahwa

keberadaan yang lain, menentukan keberadaan dirinya, demikian juga sebaliknya,

keberadaannya menentukan keberadaan yang lain.

24

Eisenberg,N, et.al “Dispositional Emotionally and Regulation” 136-157. 25

Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik terj Husein I.S dan Hidayat

R. (Jakarta: Dian Rakyat, 2007), 22.

50

Diharuskan survive dengan sumber daya (ekonomi dan juga jejaring) yang

sepenuhnya hanya ada di antara mereka, tidak ada pilihan lain, selain mempercayai yang

lain, dan benar-benar membangun hubungan tidak saja sebagai sesama penghuni semata

yang sama-sama mondok di Asrama Mansinam, namun ada sebuah pilihan yang harus

dibuat untuk menjadikan yang lain sebagai saudaranya.

Agar semua penghuni Asrama Mansinam merasa menjadi saudara bagi sesama

penghuni yang lain, dan agar itu terjadi, maka perlu dilakukan pengkondisian.

Pengkondisian itu antara lain dengan melibatkan setiap penghuni menjadi bagian dari

struktur kepengurusan, melibatkan mereka dalam setiap aktivitas harian, termasuk

menjadikan kesusahan/kesulitan individu menjadi kesusahan komunitas untuk ditanggung

bersama.

Situasi semacam demikian, tentu sangat berbeda dengan kondisi yang

terjadinya Modal Sosial yang disampaikan Coleman maupun Bourdieu, dan juga Putnam.

Coleman dan Bourdieu memandang bahwa individu memiliki Modal Sosial bukan karena

merasa ada relasi yang saling bergantung dengan yang lain, tetapi yang lain ada untuk

dimanfaatkan demi tujuan-tujuan individu.

Situasi yang dialami penghuni Asrama Mansinam, pada kondisi tertentu hampir

menyerupai apa yang menginspirasi Putnam melalui tulisan-tulisan de Tocqueville tentang

pembentukan komunitas-komunitas di Amerika, namun demikian perbedaannya adalah

pada sifat Modal Sosial tersebut. Pada kondisi yang digambarkan Putnam, Modal Sosial

bersifat menjembatani, tidak terbatas pada mengikat individu dalam komunitas tersebut.

Pada situasi pembentukan Modal Sosial yang digambarkan Putnam melalui

catatan de Tocqueville, individu-individu tidak perlu menciptakan situasi persaudaraan,

51

atau dalam istilah penghuni Asrama Mansinam tidak perlu membuat nyaman yang lain,

karena asosiasi yang dibentuk murni berdasarkan kebebasan, bukan kesukarelaan. Artinya,

jika asosiasi itu juga mampu menampung dan menyalurkan tujuan-tujuan bersama yang

telah dirumuskan, maka asosiasi itu dapat terus bertahan. Tetapi jika asosiasi itu tidak lagi

memperjuangkan atau mencerminkan nilai-nilai bersama, maka setiap individu memiliki

kebebasan untuk menemukan asosiasi yang baru, atau membentuk asosiasi yang lain selain

yang telah ada sebelumnya.

Pada situasi mereka yang menjadi penghuni Asrama Mansinam, mereka telah

terkondisikan sebelumnya. Mereka dalam pilihan kebebasannya untuk boleh indekos telah

memilih untuk menjadi penghuni Asrama Mansinam. Ketika awal menjadi penghuni,

belum ada terpapar gambaran bahwa mereka dikondisikan sepenuhnya untuk mengelola

diri sendiri, mengelola secara mandiri Asrama Mansinam. Gambaran yang ada dalam benak

mereka waktu menjadi penghuni adalah gambaran yang serupa dengan pemondokan-

pemondokan yang lain, bahwa tempat tersebut tidak lebih daripada sekedara menampung

untuk tinggal, bukan tempat untuk membina kemandirian.

Tetapi, setelah menjadi penghuni dengan segala aturan yang telah dibuat,

akhirnya para individu-individu penghuni Asrama Mansinam disadarkan bahwa ada sebuah

kondisi yang telah ditetapkan, dan jika kondisi itu harus dicapai, maka syaratnya adalah

sama-sama harus menyadari bahwa mereka saling membutuhkan, demi keberlangsungan

hidup mereka dan keberlangsungan Asrama Mansinam. Karena itu, membuat nyaman yang

lain menjadi prakondisi dan prasyarat, karena ketika yang lain merasa nyaman, merupakan

alasan yang kuat baginya untuk terus bertahan, dan terus tinggal di Asrama Mansinam.

52

Dihadapi dengan kondisi ini, maka kesadaran sebagai komunitas itu muncul;

individualisme mereka melebur demi mencapai tujuan-tujuan bersama, yaitu tujuan untuk

keberlangsungan hidup bersama. Meskipun terlihat sebagai sebuah kondisi paksaan, namun

yang menarik adalah dalam kondisi demikian, dan dalam kebebasan mereka untuk boleh

keluar dan memilih indekos, penghuni Asrama Mansinam memilih tetap bertahan dan terus

menjadi penghuni Asrama Mansinam, hingga mereka menyelesaikan studinya di UKSW.

Inilah yang membedakan komunitas ini dengan komunitas dalam bentuk asosiasi dalam

temuan-temuan Putnam.

Menariknya lagi adalah proses pengkondisian dalam situasi yang terkesan

dipaksakan kemudian diubah oleh penghuni Asrama Mansinam untuk menjadi sebuah

kondisi kesukarelaan. Disini juga yang membedakan komunitas ini dengan apa yang

menjadi paparan Coleman maupun Bourdieu juga Putnam. Disini juga yang menjadi

harapan Coleman, Bourdieu maupun Putnam, bahwa kerelaan benar-benar diperlukan bagi

dasar terbentuknya trust sebagai salah satu syarat terciptanya Modal Sosial. Hal ini benar-

benar terjadi pada penghuni Asrama Mansinam.

Dari hasil temuan, diketahui bahwa pengkondisian ini tidak saja terjadi karena

penghuni Asrama Mansinam sama-sama berasal dari Papua, tetapi yang paling penting dari

hal tersebut adalah kesadaran akan hidup bersama dengan yang lain. pengkondisian yang

dipaksakan dengan segala aturan yang melekat pada mereka saat menjadi penghuni,

mengubah individualitas mereka masing-masing, dan timbul sebuah situasi sadar sebagai

sosial sebagai sesama yang saling membutuhkan yang lain.

Temuan juga memperlihatkan bahwa konflik karena individualitas dari masing-

masing penghuni merupakan hal yang tak terhindarkan. Namun upaya-upaya penyelesaian

53

dengan memposisikan semua memiliki hak yang setara, dengan memperlakukan yang lain

sebagai sama-sama memiliki kebenaran, namun mencari jalan tengah terbaik diantara

mereka, tanpa ada upaya untuk menghakimi siapa yang bersalah dan siapa yang benar,

menjadi sebuah pendekatan yang lain, yang benar-benar tidak ditemukan dalam kondisi

indekos, yang mana salah satu pengkondisian inilah yang membuat para penghuni betah

menjadi penghuni Asrama Mansinam.

3.3.3 Kebutuhan akan Keberadaan Yang Lain Sebagai Dasar Membentuk Jejaring

Dalam relasi interpersonal, sebuah relasi berjejaring akan berjalan harmonis

mencapai kadar hubungan yang baik ditandai dengan adanya kebersamaan apabila setiap

individu bertindak sesuai dengan ekspektasi peranan, tuntutan peran, dan terhindar dari

konflik peran. Artinya, hubungan interpersonal berjalan baik apabila masing-masing

individu dapat memainkan peranan tertentu, meskipun tidak menginginkannya.26

Ekspektasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas, dan hal yang berkaitan dengan posisi

tertentu dalam kelompok. Tuntutan peranan adalah desakan sosial yang memaksa individu

untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan kepadanya. Desakan sosial dapat

berwujud sebagai sanksi sosial dan dikenakan bila individu menyimpang dari peranannnya.

Dalam hubungan interpersonal, desakan halus atau kasar dikenakan pada orang lain agar ia

melaksanakan peranannya.27

Dalam hasil wawancara juga temuan penulis dengan penghuni, tidak tampak

bahwa Asrama Mansinam ini menjalin hubungan kerjasama atau membentuk jejaring

dengan institusi/organisasi lain diluar Asrama Mansinam, selain Himpunan Mahasiswa

26

Suranto, Aw, Komunikasi Interpersonal, Yogyakarta, Gr(aha Ilmu, 2011), 38. 27

Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung, (Remaja Rosdakarya, 1991), 122

54

Pelajar Papua Barat (HIMPPAR). Bentuk kerjasama atau jejaring dengan HIMPPAR pun

semata-mata karena penghuni Asrama Mansinam adalah juga anggota dari organisasi

tersebut, selain bahwa secara turun-temurun, sejak awal Asrama Mansinam ada, telah

terjalin sebuah ikatan kekerabatan diantara mereka untuk menggunakan Asrama Mansinam

sebagai penyelengaraan kegiatan-kegiatan organisasi HIMPPAR.

Kerjasama atau saling membentuk jejaring, murni terjadi diantara mereka

sendiri sebagai sesama penghuni Asrama Mansinam. Sebagaimana telah tercatatkan di atas,

kesadaran berjejaring dengan sesama penghuni lebih terutama karena kesadaran: yang lain

ada dan terus ada menentukan juga keberadaan yang lain.

Awalnya, yang lain tidak lebih dari pada sekedar penghuni biasa sama seperti

para penghuni indekos yang lain. Tetapi egoisme “saya juga bayar koq” melebur dan

menjadi kesadaran membutuhkan yang lain. Hal sederhana misalnya yang tidak kita temui

sewaktu indekos adalah kesadaran untuk menjadikan salah satu penghuni menjadi bagian

dari komunitas. Pada temuan penulis, kesadaran ini terjadi karena kesadaran dari yang lain

bahwa satu saja penghuni tidak merasa betah dan memilih keluar indekos, berakibat fatal

pada keberlangsungan keseluruhan yang lain.

Berdasarkan hasil temuan, situasi yang penulis temukan sangat berbeda dengan

situasi kos-kosan, yang meskipun sama-sama juga diatur dengan aturan-aturan tertentu,

namun kesadaran dan kepekaan akan kehadiran yang lain sebagai bagian yang tidak

terpisahkan sangatlah kecil bahkan hampir tidak ada.

Dalam kebebasan mereka pada sebuah situasi yang terkondisikan, pada mereka

yang biasanya indekos, ada sebuah kebebasan untuk benar-benar menjadi individualis tanpa

memperhitungkan keberadaan yang lain, dengan menggunakan prinsip-prinsip egoisme

55

yang paling sering kelihatan adalah dirinya hadir benar-benar untuk dirinya sendiri, dengan

slogan yang terkenal yaitu: “saya membayar dengan uang saya sendiri, dengan uang

orangtua saya sendiri, mau apapun itu terserah saya sendiri”.

Temuan ini berbeda dengan penulis temui ketika melakukan wawancara dan

observasi dengan penghuni Asrama Mansinam. Kesadaran untuk melebur segala

individualitas mereka secara perlahan ketika mereka menjadi penghuni karena kehadiran

satu orang penghuni menentukan keberadaan mereka secara keseluruhan. Ada semboyan

yang tidak tertulis yang ada dalam benak masing-masing penghuni Asrama Mansinam

bahwa: satu menentukan yang lain.

Tetapi, bagaimana agar yang satu ini merasa menjadi bagian dari yang lain?

Disini, yang penulis temukan ialah, situasi yang hampir serupa dengan yang digambarkan

de Tocqueville yang menginspirasi Putnam dalam menulis modal sosialnya. Kira-kira

demikian:

Dalam asosiasi-asosiasi politik, bangsa Amerika, dengan segala kondisi,

pikiran, dan usia, sehari-hari merasakan nikmat umum dari asosiasi dan

semakin terbiasa dengan penggunaan hal ini. Disana mereka berkumpul dalam

jumlah banyak, mereka berbicara, mereka mendengar satu sama lain, dan

secara timbal balik mereka tergerak untuk berbuat. Pada akhirnya mereka

memasukkan ke dalam kehidupan warga pemahaman-pemahaman yang telah

mereka peroleh dan menjadikannya melayani seribu tujuan28

.

Namun demikian, pembedanya adalah bahwa asosiasi ini bersifat longgar dan

bukan bersifat mengikat. Dalam temuan penelitian Putnam khususnya pada asosiasi yang

dibentuk bangsa Amerika, siapa saja boleh dengan segala kebebasannya untuk turut serta

dalam posisi yang setara dengan yang lain, terlibat dan menjadi bagian dari asosiasi itu

demi kepentingan-kepentingan bersama.

28

Tocqueville, de, Alexis, Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat, Terj (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1993), ix

56

Pada komunitas berskala kecil seperti penghuni Asrama Mansinam ini, ikatan

jejaring ini bersifat mengikat yang lain karena, masing-masing menyadari bahwa satu orang

penghuni adalah penentu: penentu bagi keberlangsungan hidup yang lain. Karena itu,

jejaring yang dibentuk dengan sesama penghuni adalah jejaring karena dirinya

membutuhkan keberadaan penghuni lain.

Meskipun menggunakan cara-cara yang hampir sama dengan yang dikatakan

Putnam tentang temuan de Tocqueville, yaitu dengan menggunakan media-media seperti

pertemuan rutin bulanan, juga melibatkan setiap penghuni dalam aktivitas-aktivitas harian

mereka, tetapi pembedanya adalah, setiap aktivitas dialog bulanan ini, tidak diserahkan

kepada pihak lain untuk dilaksanakan atau dinyatakan baik dalam bentuk peraturan-

peraturan dan akhirnya mereka hanya mengikutinya, namun mereka sendiri yang sebagai

pembuat kebijakan itu, mereka yang merumuskan kebijakan-kebijakan itu, dan mereka

sendiri yang melaksanakan dan mematuhinya. Dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka

tanpa menggunakan media “perwakilan” seperti dalam temuan-temuan Putnam.

Namun begitu, agar semua dialog melalui rapat rutin bulanan ini dijadikan

kesadaran bersama yang bersifat mengikat, juga memaksa namun dapat dilakukan dengan

sukarela, ada sebuah pembeda yang membedakan temuan penelitian ini dengan yang telah

dikaji terdahulu oleh Putnam.

Agar penghuni merasakan bagaimana dirinya adalah benar-benar bagian dan di

dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam, maka dalam keseharian mereka, kesadaran

untuk memperlakukan penghuni lain sebagai saudara menjadi titik penting, dan ini yang

menjadi temuan penting penulis. Hal ini terekspresikan dalam beberapa hal, dan yang

57

paling nyata adalah penghuni yang lain dengan semangat kesukarelaan ikut merasakan

kesusahan atau kesulitan yang dialami oleh penghuni yang lain.