Upload
duongcong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
44
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Rumusan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP dan
Undang-undang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Di Indonesia, Pasal penghinaan ini masih dipertahankan. Alasannya, selain
menghasilkan character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak
sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat
dan budaya timur. Karena itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk
rechtsdelicten dan bukan wetdelicten. Artinya, pencemaran nama baik sudah
dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam Undang-
Undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu,
pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi
pencemaran itu terdapat fitnah.
Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal
27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 tahun 2008 sebenarnya dibuat untuk melindungi
hak-hak individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan di
publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar yang
bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan perbuatan dan bisa mempertanggung
jawabkannya. Selain Pasal 27 dan 28 UU ITE No. 11 Tahun 2008 tentang
pencemaran nama baik, dalam kitab-kitab undang hukum pidana juga mengatur
tentang pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.
Bentuk Pencemaran Nama Baik, dibagi menjadi sebagai berikut :
a. Penghinaan materiil, Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang
meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun
45
secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari
pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada
kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi
kepentingan umum.
b. Penghinaan formil, dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari
penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu
dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan.
Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak
objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak
ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.
Tindak pidana pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang
penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena
atau yang dirugikan / korban. Dengan demikian, apabila tidak ada pengaduan,
terhadap tindak pidana tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan. Tindak pidana
aduan dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu :
a) Delik aduan absolute.
Yakni perbuatan pidana yang mana hanya bisa dituntut apabila ada
pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan dari perbuatan pidana tersebut
misalnya :
1) Tindak pidana perzinahan dalam pasal 284 KUHP
2) Tindak pidana pencemaran nama baik dalam pasal 310,311 KUHP.
46
Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana yang merupakan delik
aduan karna perupakan tindak pidana relative. Oleh karena yang dituntut itu
peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk,
membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat
dibelah, contohnya :
Jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap
perzinahan Pasal 284 yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat
menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu
dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan
penuntutan.
Kasus pencemaran nama baik seperti, si A mencemarkan nama baik si B
dengan cara menyebarluaskan keburukan yang ada pada si B tentang suatu rahasia
untuk di ketahui umum yang mengikabatkan tercemarnya nama baik si B maka ,
dapat melakuka adua untuk menuntut perbuatn si A sesuai dalam pasal 310 KUHP
b) Delik aduan relatife.
Ialah delik-delik atau peristiwa pidana yang biasanya bukan merupakan delik
aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam
Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam
pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu
diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut
orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan inidapat
dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri Pasal 362 oleh dua
47
orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya
seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat
dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus meminya:
“saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.
1. Rumusan tindak pidana pencemaran nama baik dalam KUHP
Pasal pencerman nama baik dalam KUHP (Kitab Undang – undang Hukum
Pidana) di atur dalam BAB XVI TENTANG PENGHINAAN, yang termuat
dalam Pasal 310 s.d 321 R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) SERTA Komentar-komentarnya lengkap Pasal
demi Pasal dalam penjelsannya terhadap pasal Pasal 310 KUHP menjelaskan
bahwa Menghina adalah Penyerangan Kehormatan Dan Nama Baik Seseorang.
Dalam perbuatan tersbut yang merasa diserang nama baiknya merasa
Malu.Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang
Nama Baik bukan Kehormatan dalam konteks Seksual. Dalam KUHP memuat
pasal penghinaan dengan enam macam bentuk penghinaan antara lain :
1. Penistaan ( Pasal 310 ayat (1) KUHP) dengan bunyi pasal :
“Barang siapa dengan saengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud yang jelas agar
hal itu diketahui umum, diancam karea pencemran nama dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun atau pidana dendan paling banyak
empat ribu lima ratur rupiah”
Dari pemaparan kasus diatas bisa di uraikan unsur – usnurnya sebagai berikut :
1) Unsur objektif :
a. Barang siapa ;
b. Menyerang nama baik “sesorang”
48
c. Dengan menuduh suatu hal
2) Unsur subjektif ;
a. Dengan maksud yang jelas agar hal itu di ketahui umum
b. Dengan sengaja
Dari unsur unsur di atas dapat di artikan sperti apa perbuatan pencemrana nama
baik dapat dipidana :
1. Unsur barang siapa
Unsur ini melipiuti seseorang atau pun perkumpulan orang melkukan suatu
perbutan yang mna perbutan itu dilarang oleh ketentuan dalam pidana.
2. Unsur menyerang nama baik seseorng
Unsur Perbuatan menyerang aanranden, bukan bersifat fisik, karna pada
dasarnya yang di serang hanya mengenai kehormatan dan perasaan
mengenai nama baik orang yang di serang. Perbuatan yang menurut
ketentuan menyerang dalam ayat 1 berupa perbuatan ucapan.
3. Unsur menuduh suatu hal
Dalam artian sebgai perbuatn yang dituduhkan terhadap orang lain, dengan
menuduhkan suatu hal sperti kata – kata yang kurang sopan.
Unsur subjektif sendiri yang dapat di definisikan dalam kejahatan pencemaran
nama baik terdapat dua unsur kesalahan, yakni sengaja (ofzettelijk) dan maksud
(opzet als oogmerk) atau tujuan (doel). Dalam artian doktrin , maksud itu adalah
juga kesengajaan dalam arti sempit bisa disebut juga dengan kesengajaan sebagai
maksud atau opzet als oogmerk, akan teteapi fungsi dari unsdur sengaja dan
maksud dalam pencemaran nama baik berbeda. Sikap batin sengaja yang
49
ditujukan pada perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang. Sikap
batin maksud ditujukan pada unsur “diketahuio oleh umum” mengenai perbuatan
apa yng dituduhkan pada orang lain.
2. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
“ jika dilakukan dengan tulisa atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan
atau ditempelkan dimuka umum, maka diancam dengan penceran tertulis
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Pencemaran dengan menuduhkan suatu perbutan tertentu yang dilakukan
dengan tulisan dan gambar yang disiarkan atau pun di publikasikan dipan umum.
Disbeut dengan pencemaran scara tertulis yang dirumuskan pada pasal 310 ayat 2
dengan unsur sebagai berikut :
Unsur objektfi dan subjektif pada pasal 310 ayat (2) ini sama dengan
halnya pasal 310 ayat (1) dengan ucapan yang berari terdiri dari perkataan atau
kalimat yang memang ditujukan kepada orang lain dengan maksud dan tujuan
menyerang kehormatan atau nam baik orang lain. Dan maksud dari pencemaran
tertulis, pada dasarnya tulisan adalah wujud nyata dari kata-kata atau kalimat yang
diucapkan.
a. Menuduhkan melakukan perbuatan dengan cara / melalui : tulisan, gambar:
a. Yang disiarkan.
b. Yang dipertunjukan dan atau
c. Yang di tempel.
b. Secara terbuka.
50
Unsur-unsur di atas itulah yang secara kumulatif mengandung sifat yang
memberatkan pidana si pembuat. Sifat pencemaran melalui benda tulisan dinilai
oleh pembentuk undang-undang sebagai faktor memperberat. Karena dari benda
tulisan, isi perbuatan yang dituduhkan yang sifatnya mencemarkan, dapat meluas
sedemikian rupa dan dalam jangka waktu yang lama (selama tulisan itu ada dan
tidak dimusnahkan). Sifat yang demikian amat berbeda dengan sifat pencemaran
secara lisan. Oleh sebab itu wajar saja pencemaran dengan tulisan ini dipidana
yang lebih berat dari pada pencemaran lisan.
Pencemaran dilakukan dengan menggunakan “tulisan dan gambar”,
Tulisan adalah hasil dari pekerjaan menulis baik dengan tangan maupun alat
apapun yang wujudnya berupa rangkaian kata-kata/kalimat dalam bahasa apapun
yang isinya mengandung arti tertentu (in casu menyerang kehormatan dan nama
baik orang), diatas sebuah kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat ditulisi
misalnya: kertas, papan, kain dsb.
Sedangkan gambar atau gambaran atau lukisan adalah tiruan dari benda
yang dibuat dengan coretan tangan melalui alat tulisan: pensil, kuas dan cat,
dengan alat apapun di atas kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat
digambari/ditulisi. Gambar ini harus mengandung suatu makna yang sifatnya
mencemarkan nama baik atau kehormatan orang tertentu yang dituju.
Adapun dengan cara yang dilakukan yakni disiarkan, dipertunjukkan, atau
ditempelkan secara terbuka. Disiarkan , maksudnya ialah bahwa tulisan atau
gambar tersebut dibuat dalam jumlah yang cukup banyak, dapat dicetak atau di
51
photo copy, yang kemudian disebarkan dengan cara apapun. Misalnya
diperjualbelikan, dikirim ke berbagai pihak, atau dibagi-bagikan kepada siapapun
(umum). Oleh sebab itu verspreiden dapat pula diterjemahkan dengan kata
menyebarkan. Dalam cara menyebarkan sekian banyak tulisan atau gambar
kepada khalayak ramai, telah nampak maksud si penyebar agar isi tulisan atau
makna dalam gambar yang disiarkan, yang sifatnya penghinaan diketahui umum.
Dipertunjukkan adalah memperlihatkan tulisan atau gambar yang isi atau
maknanya menghina tadi kepda umum, sehingga orang banyak mengetahuinya.
Menunjukkan bisa terjadi secara langsung. Pada saat menunjukkan pada umum
ketika itu banyak orang, tetapi bisa juga secara tidak langsung. Misalnya
memasang spanduk yang isinya bersifat menghina di atas sebuah jalan raya,
dilakukan pada saat malam hari yang ketika itu tidak ada seorangpun yang
melihatnya.
Sedangkan ditempelkan, maksudnya ialah tulisan atau gambar tersebut
ditempelkan pada benda lain yang sifatnya dapat ditempeli, misalnya papan,
dinding gedung, pohon dan sebagainya.
3. Fitnah (Pasal 311 ayat (1) KUHP)
Dengan bunyi pasal sebagau berikut :
(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemran tertulis
dibolehkan untuk memembuktikan kebenaran tuduhanya itu banub dia
tidak dapat memebuktikannya, dan tuduhan dilakukan
bertentangandengan apa yang diketahuinya, maka dia diancam karena
melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
1. Semua unsur (objektif dan subjektif) dari :
52
pencemaran Pasal 310 ayat (1) atau
pencemaran tertulis Pasal 310 ayat (2)
2. Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya itu
benar;
3. Tetapi si pembuat tidak dapat membuktian kebenaran tuduhannya;
4. Apa yang menjadi isi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang
diketahuinya.
Merujuk pada penjelasan pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak
termasuk menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu
dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri .
dalam kondisi sperti ini hakim akan mengadakan pemerikasaan apakah betul –
betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karna terdorong membela
kepentingan umum atau memebela diri, jikalau terdakwa meminta diperiksa
merujuk pada Pasal 312 KUHP.
Apabila pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim sedangkan dalam
pemeriksaan ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar.
Maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan pasal 311
KUHP.
4. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau
pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik dimuka umum
dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan
atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan
kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah”
53
Unsur-unsur yang terdapat Pasal 315 KUHP yakni sebagai berikut:
1. Unsur objektif:
a. Perbuatan: menyerang
b. Objeknya adalah (a) kehormatan orang (b) nama baik orang
c. Caranya:
Dengan lisan dimuka umum
Dengan tulisan di muka umum
Dengan lisan di muka orang itu sendiri
Dengan perbuatan di muka orang itu sendiri
Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya
Tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis
2. Unsur subjektif: kesalahan dengan sengaja
Pada rincian unsur penghinaan ringan di atas, ada lima cara dalam melakukan
penghinaan ringan. Cara tersebut sebagai ciri/indikator yang membedakan
penghinaan ringan dengan pencemaran.
a) Dengan lisan di muka umum.
Dengan lisan (mondeling) di muka umum (in het openbaar), artinya
perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang dilakukan dengan
cara mengungkapkan kata atau kalimat, dan dihadapan orang banyak. Orang
banyak ini tidaklah ada batas berapa banyaknya, dihadapan dua atau tiga
orangpun sudahlah cukup.
b) Dengan tulisan di muka umum.
54
Dengan tulisan dapat juga disebut dengan surat . Bahwa kata atau kalimat
yang bersifat menyerang kehormatan dan nama baik orang itu diwujudkan
dengan tulisan di atas kertas, kain atau spanduk, atau benda lainnya yang
sifatnya dapat ditulisi. Dengan cara menunjukkan tulisan pada banyak orang,
atau menempelkannya di tempat umum, atau dengan menyebarkan dengan
cara apapun pada siapapun. Tulisan disni termasuk juga gambar, yang di
dalamnya mengandung makna menghina orang tertentu.
c) Dengan lisan di muka orang itu sendiri.
Si pembuat mengucapkan kata atau kalimat secara langsung di hadapan orang
yang dituju itu sendiri. Disini tidak diperlukan di muka umum atau di tempat
umum (in het openbaar), yang diperlukan adalah didengar secara langsung
ucapan itu oleh orang yang dituju.
d) Dengan perbuatan di muka orang itu sendiri.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan adalah dengan perbuatan aktif atau
perbuatan jasmani (perbuatan materil), artinya dengan menggunakan gerakan
dari tubuh atau bagian dari tubuh si pembuat. Gerakan tubuh itu ada 2 (dua)
kemungkinan, yaitu:
1. Kemungkinan pertama, diarahkan pada orang yang dituju, misalnya
meludahi muka korban atau meludah di muka korban, menekan atau
mendorong kepala korban, atau menginjaknya. Tapi perbuatan ini tidak
boleh menimbulkan rasa sakit fisik.
2. Kemungkinan kedua, perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang secara
fisik tidak ditujukan pada korban, tetapi jelas mengandung sifat
55
penghinaan terhadap korban. Perbuatan seperti ini bisa disebut dengan
isyarat, tetapi maksudnya adalah penghinaan yang dipandang bagi orang
pada umumnya suatu penghinaan. Misalnya, seorang yang menghina
dengan menempelkan telunjuknya pada keningnya sendiri, dengan maksud
menyatakan bahwa orang yang dituju itu adalah gila.
e) Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan.
Dengan surat, bisa surat terbuka dan bisa juga dengan surat tertutup, yang
dikirimkan baik melalui perentaraan (orag atau pos), bisa diserahkannya atau
diterimakannya sendiri. Isinya surat itu adalah bersifat menghina yang tidak
bersifat pencemaran tertulis. Bahwa apa yang dituliskan itu tidaklah berupa
tuduhan melakukan perbuatan tertentu, atau tidak ditujukan pada khalayak
umum, tetapi semata-mata ditujukan pada orang itu sendiri.
Unsur tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, bahwa unsur ini
dirumuskan secara negatif, artinya harus tidak terdapatnya sesuatu yang in casu
sesuatu yang menjadi sifat atau ciri penistaan atau penistaan tertulis. Hal apakah
yang menjadi sifat atau ciri pencemaran? Sifat pencemaran sesungguhnya
tertumpu pada 2 (dua) hal atau unsur, yaitu:
1) Pada cara menyerang kehormatan atau nama baik orang, yakni dengan
menuduhkan suatu perbuatan tertentu.
2) Pada maksud menuduhkan suatu perbuatan tertentu diarahkan pada agar
diketahui umum.
56
Oleh karena unsur penghinaan ringan yang sehubungan dengan sifat
pencemaran dirumuskan secara negatif, artinya berlawanan dengan sifat
pencemaran. Maka unsur/kalimat yang tidak bersifat pencemaran atau
pencemaran tertulis, ialah harus memenuhi 2 (dua) syarat negatif, yaitu:
1. Perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang oleh si pembuat
penghinaan ringan haruslah bukan berupa menuduhkan suatu perbuatan
tertentu.
2. Perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan salah
satu atau beberapa cara diantara lima cara di atas tadi, tidaklah ditujukan
pada maksud agar diketahui umum, melainkan langsung pada maksud
menyakitkan hati orang, menyinggung perasaan orang yang dituju saja.
Penghinaaan ini biasanya dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata
makian yang sifatnya menghina. R. Soesil,. dalam penjelasnya mengatakan bahwa
jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain Menuduh suatu perbuatan.
Misalnya dengan mengatakan Anjin !! , Asu !!, Sundel !!, Bajingan !! dan
sebagainya. Termasuk dalam perbuatan dalam pasal 315 KUHP dan dinamakan
Penghinaan ringan.
5. Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP)
(1)Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan
palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang
seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam
karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
Pengaduan fitnah seperti dalam rumusan di atas, jika dirinci maka terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
57
1. Unsur objektif:
a. Perbuatan (a) mengajukan pengaduan (b) mengajukan pemberitahuan.
b. Caranya: (a) tertulis, (b) dituliskan
c. Objeknya tentang seseorang
d. Yang isinya palsu
e. Kepada penguasa
f. Sehingga kehormatannya atau nama baiknya terserang
2. Unsur subjektif: dengan sengaja
R. Sugandhi., S,H dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Berikut Penjelasnnya, memebrikan uraian pasal tersebut, yakni
diancam hukuman dalam pasal ini ialah :
Memasukan surat pengaduan palsu tentang seseorang kepada pembesar
negeri.
Menyuruh menulisakan surat pengaduan yang palsu tenatang seseorang
kepada pembesar negeri. Sehingga kehormatan orang tersebut terserang.
Ada dua bentuk tingkah laku dalam pengaduan fitnah, ialah mengadukan
pengaduan atau mengadukan (klachte), dan mengajukan pemberitahuan atau
melaporkan (aangifte). Kedua perbutaan ini mempunyai sifat yang sama, ialah
menyampaikan informasi kepada penguasa tentang seseorang yang isinya palsu.
Perbedaan antara dua perbuatan itu diadakan berhubung dengan sistem KUHP
yang membedakan antara tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan
yang buasa disebut tindak pidana biasa.
Unsur tertulis dan dituliskan, merupakan dua cara mengajukan pengaduan
atau pemberitahuan itu. Secara tertulis maksudnya si pembuat yang mengadukan
58
atau melaporkan dengan membuat tulisan (surat), ditanda tanganinya kemudian
disampaikan kepada pejabat/penguasa. Mengajukan secara tertulis ini tidak saja
berarti menyampaikan langsung oleh si pemb uat kepada penguasa, tetapi bisa
juga disampaikan dengan perantaraan kurir atau melalui kantor pos, atau
telegram, bahkan juga dapat melalui pesan SMS atau mengirimkan rekaman
kaset.
Sedangkan yang dimaksud menyampaikan dengan dituliskan, ialah si
pembuat datang menghadap kepada penguasa yang berwenang. Kemudian
menyampaikan pengaduan atau pemberitahuan tentang seseorang yang disertai
permintaan pada pejabat tersebut agar supaya isi pengaduan atau
pemberitahuannya dituliskan. Inisiatif untuk dituliskannya pengaduan atau
pemberitahuan harus dari si pembuat, bukan dari pejabatnya. Tentang apa yang
diadukan atau diberitahukan adalah mengenai seseorang tertentu, bukan perbuatan
seseorang, dan isinya adalah palsu. Jadi yang palsu atau tidak benar bukanlah
perbuatan yang dilaporkan, tetapi orangnya yang dilaporkan atau diadukan itu
yang palsu. Misalnya ada pencurian, si A mengajukan pelaporan tentang adanya
pencurian dirumahnya dan dia menyebut si B sebagai pembuatnya, padahal
diketahuinya bukan si B, ini palsu karena yang benar adalah si C. Tentu saja
kehormatan atau nama baik si B tercemarkan karena itu. Bisa saja terjadi bahwa
pencurian yang dilaporkan memang benar-benar ada.
Perbuatan apa yang dilaporkan itu adalah segala perbuatan yang
memalukan orang, maka pejabat yang menerima pengaduan atau pemberitahuan
itu tidaklah harus pejabat kepolisian, atau pejabat kejaksaan. Boleh pejabat
59
administratif, asalkan pejabat administratif tersebut oleh aturan atau kebiasaan
umum diperkenankan atau berwenang untuk menerima pengaduan atau
pemberitahuan serta berwenang menanganinya.
6. Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP)
“Barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu
persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan
pidana, diancam, karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”
Adapun unsur dari pasal 318 KUHP sebagai berikut :
1. Unsur Objektif:
a. Perbuatannya: suatu perbuatan
b. Akibat: menimbulkan secara palsu persangkaan pada seseorang bahwa
dia melakukan suatu tindak pidana.
2. Unsur subjektif:Kesalahan: dengan sengaja
R. Sugandhi., S.H. memebrikan penjelasan yang di ancam dalam
ketentuan pasal ini adalah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan
yang menyebabkan orang lain secar tidak benar terlibat dalam suatu tidak pidana
misalnya : dengan menaruh diam-diam suatu barang yang asal dari kejahatan ,
dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan perbuatan yang di tuduhka.
Dalam ketentuan pasal tersebut hanya menyebutkan bahwa perbuatan
pencemaran nama baik tersebut dilakukan dengan cara baik secar lisan maupun
dengan secara tertulis tanpa menggunaka alat yang berbasis elektronik. Unsur
60
Objektif: Sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan
terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana.
Unsur Subjektif: Dengan sengaja.
Perbuatan yang dilarang adalah Dengan sengaja melakukan perbuatan
dengan maksud menuduh seseorang secara palsu, bahwa ia telah melakukan
perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana), tuduhan mana ternyata
palsu. Dalam kejahatan ini, terhadap seseorang yang tidak ada hubungannya
dengan seseuatu tindak pidana yang telah terjadi, dilakukan suatu perbuatan,
hingga ia dicurigai sebagai pelaku dari tindak pidana itu.Semua penghinaan ini
hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang atau korban, yang dikenal
dengan delik aduan, kecuali bila penghinaan ini dilakukan terhadap seseorang
pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan tugasnya secara sah. Objek dari
penghinaan-penghinaan diatas haruslah manusia perorangan, maksudnya bukan
instansi pemerintah, pengurus suatu organisasi, segolongan penduduk, dan
sebagainya. Supaya dapat dihukum dengan pasal menista atau pencemaran nama
baik, maka penghinaan harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah
melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan diketahui
oleh banyak orang baik secara lisan maupun tertulis, atau kejahatan menista ini
tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa
terdakwa bermaksud menyiarkan tuduhan itu.
7. Penghinaan terhadap orang yang sudah meninggal Pasal 320 KUHP.
“Barangsiapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan
yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau
pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan
2 minggu atau pidana denda paling banyak
61
Unsur lebih jelasnya unsur-unsur pencemaran terhadap orang yang sudah
meninggal (Pasal 320 ayat 1) juncto Pasal 310 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a) Unsur objektif:
Perbuatan: menyerang
Objeknya (1) kehormatan orang yang sudah meninggal (2) nama baik
orang yang sudah meninggal
Caranya: dengan menuduhkan suatu perbuatan
Yang merupakan pencemaran jika orang itu masih hidup.
b) Unsur subjektif: Kesalahan (dengan sengaja)
Penghinaan mengenai orang yang meninggal dengan perbuatan menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar dimuka umum yang
isinya mencemarkan nama baiknya dirumuskan dalam Pasal 321 ayat (1).
“Barangsiapa menyiarkan, secara terbuka mempertunjukan atau
menempelkan tuliasan atau gambar yang isinya menghina atau mencemarkan
bagi orang yang sudah meninggal dunia, dengan maksud supaya isi surat
atau gambar itu diketahui atau lebih di ketahui umum, diancam dengan
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Mengenai kehajatan penghinaan terhadap orang yng meinggal dimuat dalam ayat
(1) yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur objektif:
1. Pembuatanya
Menyiarkan
Mempertunjukkan secara terbuka
Menempelkan
62
2. Secara terbuka
3. Objeknya :
Tulisan
Gambar yang isinya menghina atau mencemarkan orang yang
sudah meninggal
Unsur-unsur subjektif adalah Kesalahan yang dimana dengan maksud upaya isi
surat atau gambar diketahui atau lebih diketahui umum.
2. Rumusan Tindak pidana pencemaran nama baik dalam Undang-undang
Informasi dan transaksi elektronik
a. Undang – undang Nomer 19 tahun 2016 Perubahan atas Undang - undang
Nomer 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektroni sebelum
revisi
Sedangkan bunyi pasal 27 ayat 3 Jo pasal 45 setelah adanya revisi terhadap
UU ITE sebagai berikut :
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/
atau mentransmisikan dan / atau membuat dapat diaksesnya informasi
Elektronik dan / atau dokumen elektronik yang memeliki muatan
penghinaan dan / atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 27 ayat (3), dengan ketentuan pidana penjara palig lama 4
(empat) tahun dan / atau denda paling banyak Rp750.000.00,00 (Tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
Dengan unsur ojketif dan subjektifnya berikut pengurainnya :
1. Perbuatan:
Mendistribusikan
Mentransmisikan
Membuat dapat diaksesnya suatu data elektronik.
63
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan Tanpa hak.
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur subyektifnya adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan
Dengan sengaja. Ketiga perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan
membuat dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen elektronik tidak
dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU ITE tersebut baik dari sisi yuridis
maupun sisi IT.
Seperti halnya unsur perbuatan, objek tindak pidana selalu dicantumkan
secara tegas dalam setiap rumusan tindak pidana. mengetahui unsur objek tidak
sulit. Karena hampir pasti diletakkan di depan unsur perbuatnnya. Ada tiga (3) hal
yang perlu dipahami mengenai anak kalimat “ yang memiliki muatan penghinaan
dan / atau pencemaran nama baik” dalam rumusan tindak pidana pasal 27 ayat
(3) UU ITE .
1) Unsur tersbut merupakan unsur keadaan yang menyertai yang melekat
pada objek informasi dan/atau dokumen elektronik. meski pun dua
unsur ini dapat dibedakan, namun tidak dapat di pisahkan.
2) Kedua pada unsur inilah melekat /letak sifat melawan hukum
perbuatan mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/atau
memebuat dapat diaksesnya informasi elektronik. sekaligus
didalamnya diletakkan maksud dan tujuan dibentukanya tindak pidana
ini. Sebagai memeberi perlindungan hukum terhadap harga diri,
martabat mengenai nama baik dan kehormatan orang.
64
3) Sebagai indikator bahwa tindak pidana ini merupakan lex specialis
dari bentuk – bentuk penghinaan umum, utamanya pencemaaran nama
baik dalam KUHP.
Ada 6 indikator lex spesialis, penghinaan dalam pasal 27 ayat (3) jo 45 ayat
(1) UU ITE merupaka lex spesialis dari macam – macam bentuk penghinaan
dalam KUHP, khususnya pencemaran. Unsur lex generalis yang harus ada dalam
penghinaan UU ITE, ialah salah satu bentuk – bentuk penghinaan dalam
penghinaan UU ITE, beikut merupakan frasa penghinaan dalam UU ITE :
a. Dalam frasa yang memeliki muatan penghinaan, khususnya kata/unsur
penghinaan dalam kalimat rumusan pasal 27 ayat (3) tersbut mengandug
makna yuridis adalah semua bentuk penghinaan dalam Bab XVI buku II
KUHP. Mulai pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah,
menimbulkan prasangka palsu sampai penghinaan pada orang mati.
b. Dalam frasa pencemran nama baik sudah dapat dipastikan, bahwa
maksudnya adalah pencemaran dalam pasal 210 ayat (1) KUHP. Hanya
saja rumusan dalam pasal 27 ayat (3) tersebut kurang lengkap. Tidak
penyebutkan objek pencemaran yang lain ialah kehormatan (eer). Harga
diri dibidang nama baik (goeden namm) itu merupakan salah satu saja dari
objek pencemaran, selain kehormatan (eer).44
Kejanggalan dalam penulisan frasa “penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”. Dikarnakan kurang tepatnya penempatan frasa tersebut. Bahwa penghinaan
(beleeding) bukan nama/kualifikasi sebuah tindak pidana. tapi merupakan suatu
44 Adam chazawi,2009. Hukum pidana positif penhinaan tindak pidana menyerang
kepentingan hukum mengenai martabat kehormatan dan martabat nama baik orang bersifat
pribadi maupun komunal. Surabaya CV. Putra media nusantara . Hal.291
65
kelompok tindak pidana yang memilik kesamaan sifat maupun arti. Terutama
dalam kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kejahatan – kejahatan
tersbut.
Kata “ atau pencemaran nama baik “ setelah kata penghinaan, tidak dibedakan
namaun dalam penhinaan terdapay pencemran nama baik. Akan tetapi maksud
dari pembentuk UU ITE dari banyaknya nemtuk penghinaan dalam Bab XVI
buku II KUHP tersbut, yang di maksud dan diutamakan adalam pencemaran.
Dalam KUHP terdapat juga tindak pidana penhhinaan khusus, yang terdapat
dalam pasal : 134, 136 bis, 137 (ketiga pasal tersbut sudah dicabut), 142, 142a,
143, 144, 154a, 154 dan 155 (tidak berlaku), 156, 156a, 157, 207, 208 KUHP.
Penyebutan dalam pasal pasal KUHP tersbut tidak menggunakan 6 indikator lex
spesialis. Melainkan berdasarkan sifat umum dalam penghinaan, sifat umum
tersbut adalah, bahwa penghinaan merupakan menyerang rasa harga diri mengenai
kehormatan dan nama baik invidu atau sekelompok orang. Semua prasaan tersbut
membuat orang tidak nyaman dan menyakitkan berdasarkan sifat umum
penghinaan, maka penghinaan dalam pasal tersbut dengan alasan apapun harus di
terima sebagai bagian dari bentuk – bentuk penghinaan.
Tidak ada alasan yang kuat untuk menolak bahwa penghinaan khusus dalam
UU ITE ini dapat juga diberlakukan pada bentuk – bentuk penghinaan khusus
yang terdapat dalam KUHP asalkan dapat terpenuhinya semua unsur – unsur
khusus dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE. Baik perbuatnnya maupun objeknya,
perbuatn mendistribusikan, menstranmisikan, memebuat dapat diaksesnya,
66
objeknya adalah informasi elektronik atau dokumen elektronik, dimana isinya
bersifat menghina perorangan maupun kelompik.
Perubahan hanya menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan
ayat (4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di
Indonesia. Dan perubahan yang signifikan terdapat pada sanksi pidananya yang
sebelumnya pidana kurungan 6 tahun menjadi 4 tahun penjara, dan pidana denda
yang sebelumnya Rp1000.0000.000,00 (satu milyar rupiah) menjadi
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh rupiah. Dalam revisi undang – udang
Informasi dan transaksi elektronik tersbur terdapat beberpa poin – poin antara lai :
a. Pencemaran nama baik melalui informasi dan transaksi elektroni adalah
delik aduan.
b. Ancaman pidana pencemaran nama baik turun dari 6 tahn menjadi 4 tahun
penjara.
c. Informasi atau dokumen elektronik bisa menjadi alat bukti hukum yang
sah.
d. Tata cara pengeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahan disesuaikan
dengan KUHP.
e. PPNS berwenang memutus akses terkait dengan tindak pidana teknologi
iformasi.
f. Penyelenggaraan sistem elektronik wajib menghapus konten yang tidak
relevan atas permintaan pihak terkait berdasarkan ketetpan pengadilan.
g. Pemerintah wajib memutus akses terhadap informasi yang memeliki
muatan yang melanggar undang – undang.45
Secara esensi penghinaan atau pencemaran nama baik merupakan perbuatan
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang
tersebut tercemar atau rusak. Dalam menentukan adanya penghinaan atau
pencemran nama baik, yang perlu di pahami adalah konteks dan konten dari
pencemran nama baik. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara
hakiki hanya bisa disrasakan oleh seorang yang merasa nama baiknya tercemar.
45 Kominfo.go.id diakses tanggal 17 juni 2017 pukul 01.12 WIB
67
Dengan kata lain korbanlah yang dapat menilai subyektif tentang konteks atau
bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang dirasa telah menyerang
kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi memeberikan perlindungan terhadap
harkat martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu,
perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain.
Sebab orang lain tidak bisa menilai sama seperti penilaian korban.
Konteks berperan memberikan nilai obyektif terhadap konten. Pemahaman
akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku,
maksud dan tujuan pelaku dalam menyebarluaskan informasi, serta kepentingan –
kepentingan yang ada di dalam penyebarluasan konten. Oleh karena itu dalam
memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli.
Secara historis ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan
penghinaan atau pencemaran nama baik yang di atur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Khususnya pasal 310 dan pasal 311 KUHP.
Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan.
Tidak adanya ketentuan yang tegas bahwa pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan
delik aduan, kerap dipermasalahkan dalam menerapkan ketentuan ini, dari
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusional
pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam dalam pertimbangan
mahkamah konstitusi butir [3.17.1] di nyatakan:
Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam
paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE
tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal
311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan
68
(klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan
yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga
harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk
dapat dituntut di depan Pengadilan;
3. Perbandingan pasal tindak pidan pencemaran nama baik dalam KUHP
dengan UU ITE .
Dari pemapara penjelasan pasal tindak pidan pencemaran nama baik dalam
ketenuan yang dalam KUHP dengan UU ITE yakni :
Dalam KUHP pasal pencemaran nama baik terdapa dalam beberapa pasal
antara lain Pasal 310 s.d 321 KUHP dengan bebrapa pembagian tindak pidana
pencemaran nama baik menurut R.Soesilo ada 6 (enam) antara lain : 1) Penistaan.
2) Penistaan dengan Surat. 3) Fitnah 4) Penghinaan Ringan 5) Pengaduan palsu
ata pengaduan Fitnah. 6) Perbuatn fitnah 7) menghina mengenai orang yang
meninggal.
69
Tabel.1 Perbandingan Rumusan Pasal Pencemaran Nam Baik Dalam KUHP Dan Dalam Undang-Undang Informasi Dan Transaksi
Elektronik
No. KUHP Unsur Objektif Unsur Subyketif UU
ITE
Unsur Objektif Unsur
Objektif
1. Pasal 310 ayat
(1) (Pencemaran)
1. Barang siapa.
2. Menyerang nama
baik “sesorang”
3. Dan menuduh
suatu hal
1. Dengan maksud
yang jelas agar
hal itu di
ketahui umum
2. Dengan sengaja
Pasal
27
Ayat 3
1. Perbuatan.
a. Mendistribusikan
b. Menstransmisikan
c. Membuat dapat di
aksesnya suatu data
elektronik.
Berupa
kesalahan
yakni
“Dengan
Sengaja “
2. Pasal 310 ayat
(2) (Penistaan
dengan surat)
Terdapat pada pasal
310 ayat 1
1. Menuduhkan
melakukan
perbuatan
dengan cara /
melalui tulisan,
gambar
a. Yang
disiarkan
b. Yang
dipertunjuk
an
c. Yang di
tempel
2. Secara terbuka
3. Pasal 311
(Fitnah)
Semua unsur yang
terdapat dalam pasal
Semua unsur yang
terdapat dalam
70
310 ayat (1)
Semua unsur yang
terdapat dalam pasal
311 ayat (2)
pasal 310 ayat (1)
Semua unsur yang
terdapat dalam
pasal 311 ayat (2)
4. Pasal 315
(Penghinaan
ringan)
1. Perbuatan
“menyerang”
2. Kehormatan dan
nama baik orang
3. Caranya :
Dengan lisan di
muka umum
Tulisan di muka
umum
Lisan di korban
Perbuatan di
depan korban
Dengan surat
yang dikirm ke
korban
Tidak bersifat
pencemaran
atau
pencemaran
tertulis.
Dengan sengaja
71
5. Pasal 317
(Pengaduan Palsu
atau pengaduan
fitnah)
a. Perbuatan,
mengajukan
pengaduan,
mengajukan
pemberitahuan
b. Caranya, tertulis,
dituliskan
c. Tentang sesorang
d. Yang isinya palsu
e. Kepada penguasa.
f. Sehingga
kehormatannya
atau nama baiknya
terserang
Dengan sengaja
6. Pasal 318
(Perbuatan
Fitnah)
1. Perbuatnnya :
suatu perbuatan
2. Akibat :
menimbulkan
secara palsu
persangkaan pada
sesorang bahwa
dia melakukan
suatu perbuatan
Dengan sengaja
7. Pasal 320
(Penghinaan
terhadap orang
yang sudah
a. Perbuatan
menyerang
b. Kehormatan
orang yang
sudah
Dengan sengaja.
72
meninggal) meninggal.
c. Dengan
menuduhkan
suatu
perbuatan
d. Yang
merupakan
pencemaran
jika orang itu
masih hidup
Sumber KUHP BAB XIV dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
73
Banyak pakar yang menggunakan istilah Menista. Perkataan Menista
berasal dari kata Nista. Sebagian pakar menggunakan kata Celaan. Perbedaan
istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata
Smaad dari Bahasa Belanda. Kata Nista dan kata Celaan merupakan kata sinonim.
Perbedaan antara pasal yang tertera dalam KUHP dan UU ITE terletak
hanya pada tata letak atau urutan pengaturan berbagai perbuatan tersebut. Jika
konvensi memulai dengan perbuatan yang terkategorikan sebagai cyber crime
dalam arti sempit (murni), maka pengaturan dalam UU ITE tidak mengikuti pola
tersebut. Perbedaan pendapat soal substansi Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ada
pendapat bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE berkaitan dengan Pasal 310
KUHPidana, yang mana unsur “di muka umum” berlaku pula dalam penyebaran
informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,
misalnya informasi elektronik yang disebarkan lewat email dikatakan tidak
memenuhi unsur di muka umum karena sifatnya tertutup antar individu.
Sementara, pendapat lain bahwa unsur di muka umum tidak dapat digunakan
dalam penyebaran informasi elektronik karena kekhususan penyebaran informasi
elektronik: cepat, berbagai jalur (seperti email, web, sms), dan jangkauan yang
lebih luas, sehingga informasi elektronik yang disebarkan lewat email tidak perlu
dipersoalkan dan dikaitkan dengan unsur di muka umum, dan UU ITE
menjangkau semua jenis penyebaran informasi elektronik baik tertutup (misalnya
lewat email), ataupun terbuka (misalnya lewat website).
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 atas Judicial
Review Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008, Mahkamah
74
Konstitusi berpendapat bahwa “penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan
off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik
yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka
umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan
“disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia
maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di
muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang
memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata
“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat
diakses” muatan pencemaran nama baik”.
Berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut dapat disimpulkan
bahwa unsur ‘di muka umum’ tidak menjadi unsur dalam penyebaran informasi
elektronik. Dalam UU ITE telah diatur rumusan khusus yang bersifat ekstensif
yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat
dapat diakses”. Ketiga istilah tersebut dapat dijelaskan pengertiannya sebagai
berikut:
Mendistribusikan adalah perbuatan menyebarluaskan informasi atau dokumen
elektronik melalui media elektronik, seperti web, mailing list.
Mentransmisikan adalah perbuatan mengirimkan, memancarkan, atau
meneruskan informasi melalui perangkat telekomunikasi, seperti Handphone,
Email.
Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan
dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah
75
satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-
VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan
seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3)
UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-
prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak
sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang
lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk
pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak
terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310
ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum. Disini penulis mencoba
memabndingkan subtansi pembuktian dari pencemaran nama baik dalam KUHP
dan Undang – undang Informasi dan Transaksi elektronik:
Table 2. Perbandingan subtansi pembuktian pencemaran nama baik dalam KUHP
maupun dalam Undang – undang Informasi dan transaksi elektronik
Pencemaran nama baik dalam KUHP Pencemaran nama baik dalam UU ITE
A. Pencemaran nama baik secara
lisan dapat dibuktikan dengan:
1. Delik aduan oleh korban
pencemaran nama baik.
2. Keterangan saksi sesui dengan
ketentuan pasal 1 angka 27
KUHAP.
a. Yang saksi lihati sendiri;
b. Saksi dengar sendiri;
c. Dan saksi alami sendiri;
Yang bisa membuktikan pencemaran
nama baik dalam ketentuan pasal 27
ayat 3 UU ITE ini mengacu pada
ketentuan pasal 5 UU IT E sebagai
berikut :
(1) Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah.
76
d. Serta dengan menyebutkan
alasan dari pengetahuannya
itu
B. Penceraman nama baik secara
tertulis dapat di buktikan
dengan alat bukti yang sah
sesuai dengan ketentuan pasal
184 KUHAP ayat (1) :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
(2) Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat(1)
merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dinyatakan
sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam
Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk:
Surat yang menurut
Undang-Undang harus
dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
Surat beserta
dokumennya yang
menurut Undang-
Undang harus dibuat
dalam bentuk akta
notaris atau akta yang
dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
Sumber dari KUHP, UU ITE No.11 tahun 2008. Dan UU No.19 Tahun 2016 atas
perubahan UU ITE nomer 11 tahun 2008
Dari pemaparan alat bukti di atas perlunya keterangan ahli dan uji forensik
terhadap alat bukti yang di paparkan oleh pasal 5 tersbut.
Hal ini terlihat bahwa pasal pertama yang mengatur tentang cybercrime
tersbut, justru mengatur perbuatan yang sebenarnya merupakan tindak pidana
77
konvensional (ada dalam ketentuan KUHP). Hanya saja sekarang dilakukan
dengan media komputer berikut jaringannya, berikut ini merupakan tabel dari
perbandingan antara tindak pidana dalam kentuan KUHP dan dalam ketentuan
Undang-undang
Nomer 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektroni.Dan
Undang-undang Nomer 19 tahun 2016 atas perubahan Undang – undang Nomer
11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektroni:
78
Tabel 3. Perbandingan Sanksi Pidana Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP Dan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi
Elektronik
No
BAB XVI PENGHINAAN
KUHP
SANKSI UU ITE
SEBELUM
REVISI
SANKSI UU ITE
SESUDAH
REVISI
SANKSI
1. PASAL 310 KUHP, barang
siapa dengan sengaja
menyerang atau nam abaik
seseorang dengan
menuduhkan suatu hal dengan
maksud yang jelas agar hal itu
diketahui umum
Pidana 9
(sembilan)
bulan penjara
atau pidana
sebanyak
Rp.4500
Setiap Orang
dengan sengaja
dan tanpa hak
mendistribusikan
dan/atau
mentransmisikan
dan/atau
membuat dapat
diaksesnya
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen
Elektronik yang
memiliki muatan
penghinaan
dan/atau
pencemaran
nama baik.
Pidana 6 (enam)
tahun penjara atau
denda
Rp.1000.0000.000
(1miliyar rupiah)
Setiap Orang
dengan sengaja
dan tanpa hak
mendistribusikan
dan/atau
mentransmisikan
dan/atau
membuat dapat
diaksesnya
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen
Elektronik yang
memiliki muatan
penghinaan
dan/atau
pencemaran
nama baik.
Pidana 4
(empat) tahun
penjara atau
denda
Rp.750.000.000
(tujuh ratus lima
puluh juta
rupiah)
79
2. PASAL 310 AYAT (2), Jika
hal itu dilakukandengan
tulisan atau gambaran yang
disiarkan,dipertunjukkan atau
ditempelkan di mukaumum
Penjara1
(satu) Tahun 4
(empat) bulan
atau denda
paling banyak
Rp.4500,-
3. Pasal 311 Jika yang
melakukankejahatan
pencemaran ataupencemaran
tertulis dibolehkan
untukmembuktikan apa
yangdituduhkan itu
benar, tidakmembuktikannya,
dantuduhan
dilakukanbertentangan dengan
apayang diketahui,
Penjara 4
(empat) tahun
4. Pasal 316 Jika yang dihina
adalahseorang pejabat
padawaktu atau
karenamenjalankan
tugasnyayang sah
Pidana pokok
di tambah
sepertiga
80
6. Pasal 317 Barang siapa
dengansengaja
mengajukanpengaduan
ataupemberitahuan
palsukepada penguasa,
baiksecara tertulis
maupununtuk dituliskan,
tentangseseorang
sehinggakehormatan atau
namabaiknya terserang
Penjara 4
tahun
7. Pasal 318 Barang siapa
dengansesuatu perbuatan
sengajamenimbulkan secara
palsupersangkaan
terhadapseseorang bahwa
diamelakukan suatuperbuatan
pidana
Penjara 4
tahun
81
8. Pasal 319 Penghinaan yang
diancamdengan pidana
menurutbab ini, tidak dituntut
jikatidak ada pengaduan
dariorang yang
terkenakejahatan itu,
kecualiberdasarkan pasal 316.
9. Pasal 320 Barang siapa
terhadapseseorang yang sudah
mati melakukan perbuatan
yangkalau orang itu masih
hidup akan merupakan
pencemaran atau pencemaran
tertulis
Penjara 4
(empat) bulan
2 (dua)
minggu atau
denda paling
banyak
Rp.4500,-
82
10. Pasal 321 Barang siapa
menyiarkan,mempertunjukkan
ataumenempelkan di
mukaumum tulisan
ataugambaran yang
isinyamenghina atau bagi
orangyang sudah
matimencemarkan
namanya,dengan maksud
supaya isisurat atau gambar
ituditahui atau lehihdiketahui
oleh umum
Penjara 1
(satu) bulan
2 (dua)
minggu
atau denda
paling
banyak Rp.
4500,-
Sumber KUHP dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebelum dan sesudah revisi
82
Dari tabel diatas bisa penulis simpulkan bahwa sebenarnya dalam KUHP
sendiri, Penghinaan sudah dianggap sebagai perbuatan yang dikriminalisasi,
dengan kata lain bahwa perbuatan tersebut meupakan perbuatan yang dibenci oleh
masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan korban. Dengan demikian
sudah tidak perlu lagi dilakukan upaya mengkriminalisasian ulang atas perbuatan
tersebut.
Penerapan sanksi dalam, KUHP mengklasifikasikan sanksi sesuai dengan
tingkatan tindak pidana penghinaan yang dilakukan, misalnya penistaan lisan
(Pasal 310 ayat (1)), dikenakan hukuman penjara maksimal 9 (sembilan) bulan
atau denda Rp. 4500., sedangkan penistaan tertulis (Pasal 310 ayat (2)) dikenakan
hukuman penjara maksimal 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda Rp. 4500.
Dasar penjatuhannya sanksinya disesuaikan dengan tingkatan dari perbuatan yang
larang. Berbeda dengan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik dalam
Pasal 27 ayat (3) UU ITE, setiap perbuatan yang diklasifikasikan sebagai
perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik, diancam dengan penjara 6 (enam)
tahun dan atau denda Rp. 1Milyar.
Dalam ketentuan KUHP memberikan pemidanaan berdasarkan tingkatan
dari kejahatan atas tindak pidana penghinaan, bahkan dalam beberapa kejahatan,
pilihan pemidanaannya tidak komulatif, melainkan alternatif antara pidana penjara
atau pidana denda. Berbeda dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, atas tindak pidana
penghinaan, sanksi pidananya bersifat komulatif, antara penjara dan atau
denda.KUHP menjelaskan siapa yang menjadi subjek/korban penghinaan, yaitu
orang, berbeda dengan Pasal 27 ayat (3), tidak dijelaskan siapa yang menjadi
83
subjek/korban dari penghinaan itu sendiri, apakah hanya orang saja atau dapat
selain orang. Hal ini jelas dapat menimbulkan tafsir yang beragam.
Selain itu KUHP juga memberikan alasan pembenar terkait dengan
penghinaan, yaitu jika perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau
karena terpaksa untuk membela diri. Selain itu, KUHP juga memberikan hak
untuk membuktikan tuduhan/fitnah tersebut (Pasal 312 KUHP), serta hanya bisa
dituntut jika ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan. Namun tidak
demikian dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang tidak memberikan alasan
pembenar, tidak memberikan hak untuk pembuktian, bahkan kategori deliknyapun
adalah tindak pidana biasa yang bisa dilaporkan oleh siapapun.
Secara yuridis, ketentuan pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), mengatur tentang penghinaan dan atau
pencemaran nama baik yang dilakukan dengan menggunakan media sistem
elektronik. Adapun rumusan norma dari pasal a quo menegaskan sebagai berikut :
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik". Secara substansi pasal 27 ayat (3) Undang-Undang a quo
hampir memiliki kesamaan dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
yang diatur dalam pasal 10 KUHP. Hanya saja pasal 27 ayat (3) tersebut
dikhususkan untuk penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik dalam dunia
media elektronik.
84
Namun perjalanannya keberadaan UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3)
tersebut, akhirnya dirasakan jauh panggang dari api, ketika proses demokratisasi
di Indonesia yang hendak mengedepankan perlindungan atas hak-hak
konstitusional warganya seperti perlindungan dari rasa takut, kebebasan
berpendapat mengeluarkan pikiran, kebebasan berekspresi. Dengan alasan
tersebut, pada tahun 2008 pasca di Undangkan UU No. 11 Tahun 2008,
Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang melalui kuasanya Nugraha Abdulkadir,
S.H., M.H, dkk. Mengajukan uji materiil terhadap legalitas konstitusional Pasal 27
ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik kepada Mahkamah Konstitusi, yang
tergambar dalam putusan Nomor 50/PUU-VI/2008. Dalam putusan a quo, lewat
pertimbangan hukumnya (ratio recidendi). Mahkamah Konstitusi memberikan
catatanterkait pasal 27 ayat (3).
Adapun bunyi pertimbangan hukum dalam putusan a quo adalah sebagai
berikut : Menimbang bahwa baik DPR maupun Ahli yang diajukan Pemerintah
telah menerangkan di depan persidangan Mahkamah bahwa Pasal 27 ayat (3) UU
ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas
berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-
Undang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan
di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus. Oleh
karena itu, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo
mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari
norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang
85
termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal
27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP;
Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam
paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak
dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP
sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat
dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal
27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik
yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan;
Menurut penulisi, berdasarkan pertimbanga hukum dalam putusan a quo, unsur-
unsur dalam pasal 3010 dan 311 KUHP sebagai genus delict dari pasal 27 ayat (3)
UU ITE, harus terlebih dahulu dapat dibuktikan. Hal ini didasarkan bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat Final and Bindding, serta
melekatnya asas Erga Omnes(putusan mengikat semua pihak). Dalam pasal 310
KUHP mengatur tentang pencemaran nama baik secara lisan ataupun tulisan.
Adapun rumusan deliknya adalah sebagai berikut : 1) Barangsiapa sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu
hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umu, diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 2) Jika hal itu dilakukan dengan
tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan dimuka
umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyka empat ribu lima
86
ratus rupiah. 3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri. Sementara pasal 311 KUHP mengatur tentang tindak pidana fitnah,
dengan rumusan delik sebagai berikut : 1) Jika yang melakukan kejahatan
pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang
dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan
dengan apa yang diketahui, maka dia adiancam melakukan fitnah dengan pidana
penjara paling lama empat tahun. 2) Pencabutan hak-hak berdasarkan Pasal 35
No. 1-3 dapat dijatuhkan. Adapun unsur-unsur dari pasal 310 KUHP adalah
sebagai berikut : 1. Unsur subjektif : barangsiapa 2. Unsur objektif : a. Sengaja b.
Menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. c. Dengan menuduhkan
sesuatu hal d. Yang maksudnya supaya diketahui umum Jadi, delik ini adalah
delik kesengajaan, artinya pelaku memang berkehendak mencemarkan nama baik
orang itu. Yang menjadi catatan menurut Prof. Andi Hamzah dalam bukunya yang
berjudul Delik-delik tertentu didalam KUHP , Jika yang dicemarkan nama
baiknya itu memang melakukan delik yang dituduhkan, maka tidak dapat dipidana
sebagai pelaku penghinaan.
Sehingga, ketika orang yang dituduhkan itu benar-benar melakukan apa
yang dituduhkan, maka kepada penuduh dibebaskan dari sifat melawan hukum
dan pertanggungjawaban pidana pasal 310 KUHP diatas. Unsur menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang. Menurut Adami Chazawi dalam blog
pribadi beliau yang khusus membahas kekeliruan penghinaan dalam UU
ITE,Dalam unsur ini mengharuskan dan mewajibkan kejelasan nama
87
orang/pribadi (identitas) tertentu sebagai pihak yang tertuduh. Identitas subjek
hukum orang/pribadi tertentu adalah, siapa namanya, apa jenis kelaminnya,
dimana dan kapan ia dilahirkan, berapa umurnya, dimana tempat tinggalnya, dan
lain sebagainya. Hal ini penting untuk menentukan siapa sebenarnya yang
menjadi korban delik dalam pasal 310 KUHP tersebut. Ketidakjelasan nama
pribadi (identitas) dalam objek hinaan, menjadikan objek hinaan tersebut menjadi
kabur, dan berimplikasi tidak terpenuhinya unsur kehormatan atau nama baik
seseorang sebagai unsur penting dalam pasal 310 KUHP. Unsur dengan
menuduhkan sesuatu hal. Sekali lagi yang harus dibuktikan dalam unsur ini adalah
ketidak benaran dari objek tuduhan yang dituduhkan kepada orang yang merasa
tertuduh.
Jika bisa dibuktikan isi/objek hinaan dari penuduh tersebut tidak benar
adanya, maka pelaku (penuduh) bisa dikenakan pasal 310 atau 311 KUHP tentang
fitnah. Namun apabila sebaliknya, dalam proses pembuktian ternyata isi/objek
hinaan dapat dibuktikan, atau bahkan diakui sendiri oleh korban selaku tertuduh,
maka terhadap pelaku tidak dapat dikenakan pasal 310 KUHP, sebagaimana
pendapat Prof. Andi Hamzah diatas.
Unsur yang maksudnya supaya diketahui umum. Adapun maksud dari
unsur delik ini adalah si pelaku ketika menuduhkan sesuatu hal yang tidak benar
tersebut, memiliki motif agar tuduhan tersebut tersebar ke khalayak ramai. Atau
dalam kata lain berita/ tuduhan tersebut menjangkau banyak orang dan tidak
terbatas. Sebab, jika tuduhan tersebut terbatas diketahui oleh orang lain, maka
menurut Simons dalam bukunya Lamintang, konten/isi hinaan tersebut bukan
88
termasuk penghinaan. 3 catatan penting terkait dengan delik pencemaran nama
baik. pertama, delik itu bersifat amat subjektif. artinya, penilaian terhadap
pencemaran bernama baik amat bergantung pada orang atau pihak yang diserang
nama baiknya. kedua, pencemaran nama baik adalah delik pencemaran. artinya,
substansi yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau dilakukan
didepan umum oleh pelaku. ketiga, orang yang melakukan pencemaran nama baik
dengan menuduh sesuatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau
pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu.
Menjadi catatan juga dalam unsur ini adalah ayat 3 dari pasal 310 KUHP
yang mengatur tentang penghapusan pertanggungjawaban pidana penghinaan,
apabila si penuduh melakukannya demi untuk kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk membela diri. Ahli memberikan contoh, misalnya A
menyebarkan/menggunakan uang palsu dalam transaksi jual beli/ semisalnya,
kemudian si B karena mengetahui bahwa uang tersebut adalah uang palsu,
menyebarkan kepada masyarakat umum bahwa si A menyebarkan/menggunakan
uang palsu. Alasan si B dalam penyebaran berita tersebut dimaksudkan agar
masyarakat berhati-hati dan tidak menjadi korban dari penyebaran/penggunaan
uang palsu dari si A. Kaitannya dengan unsur, dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Menurut ahli, secara hukum dengan menggunakan logika hukum terbalik, ada
juga orang punya hak dalam mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau
89
membuat dapat diakssnya informasi elektronik/dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Namun
problemnya siapa yang punya hak yang dimaksud dalam unsur tersebut. Dengan
menggunakan konstruksi hukum terbalik diatas, yang dimaksud orang yang punya
hak adalah orang yang mencemarkan kehormatan/ nama baik orang lain, tetapi
dimaksudkan/dilakukan demi kepentingan umum/ karena terpaksa untuk membela
diri sebagaimana pasal 310 ayat (3) KUHP.
B. Implementasi hukum dan implikasi terhadap pasal tindak pidana
pencemaran nama baik dalam ketentuan UU ITE maupun KUHP
a. Analisa penerapan Pasal 27 ayat (3) dalam UU ITE
Disini penulis mencoba menganalisa pengimplementasia atau penerapan
pasal pencemaran namabaik dengan memasukan kasus – kasus yang terkait
dengan pelanggaran tindak pidana pencemran nam baik melalui sarana media
sosial yang melanggar ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE berikut analisanya:
90
Tabel. 4 Contoh Kasus Dalam Putusan Pengadilan
No. Contoh kasus dalam
Putusan
Pertimbangan Majelis Hakim Penerapan Pasal Ketentuan pasal
seharusnya
1. Kasus Fajrika Mirza,
S.H (Perkara
No.1882/Pid.B/2012/Pn
.Jkt.sel)
Bahwa menenurut majelis hakim nama pada
suatu akun twitter bisa saja dibuat oleh orang
lain dengan membuat nama orang tertentu
maka dalam hal ini majelis sependapat
dengan tim Penasihat Hukum Terdakwa
dalam Pledoinya yang menyatakan bahwa
tidak terbukti akun twitter @fajriska adalah
milik terdakwa sehingga tidak terbukti pula
bahwa terdakwa telah sengaja dan tanpa hak
mendistirbusikan dan atau mentransmisikan
dan atau dapat diaksesnya informasi
elektronik dan atau dokumen elektronik
Fajriska Mirza menurut
hakim terbukti
melakukan tindak
pidana sebagai mana
dakwaan kesatu
Subsider yaitu
melanggar Pasal 317
ayat (1) KUHP dan
dipidana penjara 7
(tujuh) bulan.
Sudah terbukti
bahwasannya perbuatan
yang dilakukan adalah
mendistibusikan dan
menstransmisikan dan
atau dapat di aksesya
informasi elektronik
dan tau dokumen
elektronik.
2. Kasus Ende Mulyana
Aliyudin (Perkara
No.16/Pid.B/2014/PN.P
WK)
Menimbang, bahwa sesuai fakta tulisan-
tulisan terdakwa tersebut dipersidangan tidak
dapat dibuktikan kebenarannya dan sesuai
pertimbangan dalam unsur ke-2 merupakan
kata-kata dalam bahasa sunda yang kasar
merupakan kata-kata yang menghina dan
mencemarkan nama baik orang lain yaitu
saksi Dedi Mulyadi serta membuat isu
pertanyaan PKI adalah mencemarkan nama
Terdakwa terbukti
melakukan tindak
pidana sebagaimana
yang di atur dalam pasal
27 ayat (3) UU ITE
Penerepan sesui dengan
rumusan dalam pasal 27
ayat (3) yang memiliki
muatan
mendistribusikan dan
menstransmisikan dan
atau dapat di aksesnya
informasi elektronik
dan tau dokumen
91
baik dari saksi Dedi Mulyadi elektronik. karna
terdakwa membuat
setatus dalam sosial
media facebook.
3. Kasus M. Arsyad
(Perkara
No.390/Pid.B/2014/PN.
MKS)
Pertimbangan hakim bahwasannya terdakwa
tidak bersalah .
Ketidak mampuan
penuntut umum untuk
membuktikan dalam
kasus tersebut
Bahwasannya
pembukita dari kasus ini
sanyat dan harus teliti,
dan perlunya pendapat
ahli dan uji forensik
terhadap siapa yang
menjadi pemilik atas
akun BBM tersbut
4. Kasus Ervani Emy H.
(Perkara No.
196/Pid.Sus/2014/PN.B
TL)
Menimbang berdasarkan uraian
pertimbangan tersebut Majelis berpendapat
perbuatan terdakwa termasuk kesengajaan
secara keinsyafan kemungkinan (opzet bij
mogelijkheid-bewustzijn) yaitu terdakwa
memposting status facebook dengan maksud
menuangkan keluh kesahnya dan kritiknya
kemudian akan menyinggung orang lain dan
ternyata status tersebut telah menyinggung
saksi Diah Sarastuty alias Ayas namun
Majelis berpendapat perbautan terdakwa
memposting status di facebook bukan
bermuatan penghinaan, pencemaran nama
Terdakwa terbukti
melakukan tindak
pidana sebagaimana
yang di atur dalam pasal
27 ayat (3) UU ITE.
Akibat curhatannya di
sosial media facebook
Unsur terpenuhi dan
terdakwa di dakwa
dengan pasal 27 ayat 3
Jo pasal 45 UU ITE dan
pasal 310 ayat 1 KUHP
dan pasal 311 ayat 1
KUHP
92
baik ataupun fitnah
5. Kasus Rima Taha
(Perkara No.
199/Pid.B/2013/PN.GT
LO)
Menimbang, bahwa dalam delik pencemaran
atau penghinaanharus jelas dan kongkret
subyek hukum yang menjadi korban dantidak
bisa digeneralisir secara umum. selanjutnya
setelah MajelisHakim mencermati kata-kata
yang di-Upload terdakwa tersebut,yaitu
“dikota Gorontalo telah terjadi
penyimpangan dana DPIDsebesar RP
9.604.776.073 Tahun Anggaran 2010”,
Majelis Hakim berpendapat bahwa kata-kata
tersebut sama sekali tidak menujukkan
adanya subyek hukum yang dituju dengan
jelas atau konkret, kata-kata “di kota
Gorontalo” tidaklah serta merta
menunjukkan Pemerintah Kota yang saat itu
dipimpin oleh Walikota Adhan Dambea,
melainkan bermakna majemuk, yaitu dapat
bermakna siapa saja yang ada di kota
Gorontalo, baikperorangan maupun
organisasi
Beralasan karna
lemahnya unsur, hemat
penulis bahwasannya
unsurnya terpenuhi dan
menggunaka sosial
media untu melakukan
pecemaran tersbut
Unsur terpenuhi namun
alasan dari siapa yang
menjadi pelaku dan
korban .kembali lagi ke
delik aduan. Dan
pembuktian secara
terperinci dan ahli
forensik.
6. Kasus Lely Bahrudin
(Perkara
No.40/Pid.B/2012/PN.S
Menimbang, bahwa selain itu juga Terdakwa
mengirimkan sms kepada orang tua Angri
Syariati, SH yang kalimatnya sebagai berikut
“bapakmu itu germo kenapa bukan kau
Di terapkan pasal 311
aya (1) KUHP
Nyatanya perbuatan yag
di lakukan oleh
terdakwa merupakan
pelanggaran terhadap
93
RG) sajayang dijual ke teman-temannya,“ jadi
bukan Angri Syariati, SH saja yang merasa
tidak enak dan malu tetapi juga Bapak Angri
Syariati,SH, selain itu sms tersebut suami
Angri Syariati, SH juga mengetahuinya dan
keluarga suami juga Mengetahuinya”
ketentuan ITE yang
mana menggunakan
sarana komunikasi SMS
lewat telepon genggam.
7. Kasus Syamsuddin
(Perkara
No.53/Pid.B/2012/PN.
RGT.TLK)
Majelis hakim yang menyidangkan perkara
aquo menyatakan Terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana memfitnah. Dalam
pertimbangannya, Majelis hakim
menyebutkan bahwa SMS yang dikirim oleh
Terdakwa telah menyebar kemana-mana,
yaitu ke Prof. Dr. Isjoni Ishaq, Asmar
Rasyid, H. Sukarmis, Nedi Yasman dan
Zulwasman, sehingga unsur maksudnya
terang supaya diketahui oleh umum
terpenuhi. Selanjutnya, Kata “Sukamis”
dalam SMS tersebut jelas merujuk kepada
orang yang bernama Sukarmis, yaitu Bupati
Kuantan Singgingi, dan tuduhan melalui
SMS tersebut tidaklah dapat dibuktikan
kebenarannya oleh Terdakwa,
Di terapkan pasal 311
aya (1) KUHP
Nyatanya perbuatan yag
di lakukan oleh
terdakwa merupakan
pelanggaran terhadap
ketentuan ITE yang
mana menggunakan
sarana komunikasi SMS
lewat telepon genggam.
Sumber putusan pengadila
94
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat persoalan
ketidak jelasan subjek hukum yang menjadi korban dalam tindak pidana
penghinaan UU ITE, sehingga majelis hakim merujuk pada tindak pidana
Penghinaan dalam KUHP dengan memberikan catatan bahwa korban penghinaan
haruslah jelas dan konkret. Dalam pembuktian unsurpun terlihat bahwa majelis
hakim menggunakan interpretasi tindak pidana penghinaan KUHP.
Dari beberapa kasus tersebut di atas, setidaknya dapat dilihat beberapa
persoalan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang semakin
memperkuat bahwa keberadaan Pasal ini sebagai “Pasal karet” yang dapat ditarik
sesuai dengan kepentingan, yaitu:
1. Lemahnya niat atau unsur sengaja dalam rumusan.
Dalam kaitan dengan pasal 310 KUHPidana, maka dalam pasal-
pasaltentang pencemaran/penistaan (penghinaan) atau “smaad”, seperti
halnya Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHPidana, terdapat kata-kata sebagai
unsur tindak pidana, yaitu “dengan sengaja” di muka kata-kata
“menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Walaupun pelaku
pencemaran nama baik memberikan alasan pembelaan bahwa Pelaku tidak
mempunyai “maksud” (niat) atau tidak terbukti secara “sengaja” untuk
melakukan penghinaan, yang seakan akan untuk menghindari adanya
“opzet” (sengaja) sebagai salah satu unsur dari pasal 310 KUHPidana.
2. Tidak jelas bestanddeel delict dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Beberapa elemen penting lainnya dalam mengartikan pasal ini justru tidak
dijelaskan dalam UU ITE yakni pengertian“mendistribusikan”, pengertian
95
”mentranmisikan” dan juga pengertian “membuat dapat diaksesnya” juga
tidak dijelaskan dalam UU ini.
3. Unsur penghinaan dan pencemaran nama baik kabur.
Tidak ada kejelasan Muatan penghinaan atau pencemaran nama baik maka
untuk menghindari subyektifitas maka akhirnya frase itu kemudian mau
tidak mau harus menginduk atau merujuk ke norma awal dari pasal pidana
yang terkait yakni yang diatur dalam Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan
pasal 315 KUHP, yang kerap di sebut sebagai “genus crime” pidana
penghinaan dan pencemaran nama baik. Jadi apa yang pengertian dasarnya
penghinaan dan pencemaran nama baik haruslah di uji dengan pengertian
yang sama dengan 310 ayat (2) dan 311, mencakup pula
ketentuanketentuan khusus pasal tersebut seperti: unsur kejahatannya,
alasan pembenarnya, maupun doktrin doktrin umum dalam
penggunaannya.
4. Ketidakjelasan siapa yang menjadi sasaran pengaturan.
Norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, memperlihatkan ketidakjelasan siapa
yang menjadi sasaran pengaturan, apakah mereka yang membuat dapat
diaksesnya informasi ataukan mereka yang membuat muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik (dader).3
Disini penulis juga menambah kan dua putusan Pengadilan yang memutus
perkara penyebaran informasi elektronikmenggunakan Short Message Service
(SMS), paska lahirnya UU ITE dan Putusan Mahkamah Konstitusi:
3 Pendapat Ahli Soetandiyo Wignjosoebroto, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-
VII/2009
96
b. Penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencemaran nama baik
dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Penentuan sanksi merupakan masalah sentral kedua menurut Barda Nawawi
dalam penggunaan Sarana Penal, setelah ditentukannya perbuatan yang dapat di
pidana. Pidana sampai saat kinimasih digunakan sebagai sarana penanggulangan
kejahata. Pidana akan bermakna jika tujuan pidana sudah ditetapkan, bukan
sebaliknya. Maksudnya, tujuan pidana baru mempunyai relevansi apabila
diketahui dasar berpijak untuk mencapai tujuan tersebut, Oleh karena itu tujuan
harus dirumuskan dengan baik.4
Sejauh ini perkembangan teori tujuan pemidanaan yang ada dipengaruhi
oleh perkembangan dalam masyarakat. Disamping itu, dipengaruhi pula oleh
kritik terhadap tujuan pelaksanaan pidana yang telah berjalan. Secara simultan
teori dan konsep pemidanaan berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan, seperti
tujuan pemidanaan pembalasan (retribution), utilitarian (deterence), reformasi dan
rehabilitasi, gabungan (integrative), perlindungan masyarakat (social defence),
pembebasan, bahkan ada tujuan pemidanaan yang berkeinginan untuk menghapus
pidana (gerakan abosionis).5
Dalam hukum pidana, dikenal ada 2 (dua) asas dalam penjatuhan sanksi
pidana, yaitu ultimum remedium dan primum remedium. Asas tersebut berbicara
tentang pilihan posisi pemidanaan sebagai alat pertahanan. Terkait dengan
pengenaan sanksi pidana terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (3) dapat dilihat bahwa
4Barda Nawai Arief, 2011, op.cit, hlm. 81 5TJ. Gunawan, 2015, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi,
Yogyakarta, Genta Press, hlm. 69-70
97
pemidanaan menjadi primum remedium dengan pencantuman sanksi pidana 6
(enam) tahun dan/atau denda Rp. 1 Milyar.
Pilihan penetapan sanksi yang relatif tinggi tersebut, tidak ditemukan
alasannya dalam pembahasan RUU ITE, namun Mahkamah Konstitusi memberi
alasan bahwa distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif
lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif.6 Alasan tersebut
menurut hemat penulis berlaku jika Indonesia hanya menganut tujuan pemidanaan
hanya sebagai bentuk pembalasan belaka.
Dalam hal tindak pidana penghinaan di internet atau tindak pidana
penghinaan secara umum, penulis memberikan tawaran yang berbeda terkait
dengan pemidanaan yang dapat dipilih sebagai alternatif pemidanaan dengan
menggabungkan sistem restorative justice sebagai konsep pemidanaan dengan
teori keseimbangan sebagai tujuan pemidanaan dengan poin-poin sebagai berikut:
1. Semua tindak pidana berakhir dengan munculkan kerugian terhadap
negara;
2. Tindak pidana penghinaan, baik penghinaan tradisional maupun
penghinaan siber tidak saja akan menimbulkan kerugian kepada negara
tetapi juga menimbulkan kerugian kepada korban baik berupa kerugian
atas nama baik maupun kerugian berupa materil.
3. Tujuan pemidanaan adalah untuk mengembalikan keseimbangan
keadaan akibat perbuatan pidana sipelaku sebagai tujuan utama,
dengan tetap tidak mengenyampingkan tindakan prefensi agar
6Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009
98
kejahatan yang sama tidak kembali dilakukan oleh pelaku (special
detteren) atau orang-orang lain (general detteren)
4. Perbuatan pelaku dianggap sebagai tindakan yang telah menimbulkan
hutang bagi dirinya baik kepada negara maupun kepada korban.
5. Mengadopsi nilai-nilai restorative justice system, dalam konsep pidana
baru yang mengutamakan pengembalian kerugian yang dialami oleh
korban.
Kelima poin tersebut di atas dapat diasosiasikan dalam 3 (dua) bentuk
Pidana, yaitu pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian atau denda dan
pemulihan keadaan. Terkait dengan pidana kerja sosial sudah diakomodir dalam
Pasal 66 RUU KUHP tahun pembahasan 2015 sebagai salah satu pidana pokok.
Terkait dengan pembayaran ganti kerugian-pun juga telah diakomodir dalam
Pasal 68 RUU KUHP tahun pembahasan 2015 sebagai salah satu pidana
tambahan.7 Namun untuk pemulihan keadaan belum ada di dalam RUU KUHP,
dan menurut hemat penulis perlu dijadikan pemulihan keadaan sebagai salah satu
jenis dari pidana tambahan.
Pencemaran nama baik dalam UU ITE di atur dalam ketentuan pasal 27
ayat (3) yang menyebutkan:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Untuk dapat mengetahui bahwa untuk dapat di jerat dengan pasal tersebut
maka dapat di uraikan unsurnya sebagi berikut :
7 RUU KUHP Tahun Pembahasan 2015
99
1. Setiap orang ;
Dalam Pasal 1 angka 21 disebutkan bahwa orang yang dimaksudkan
dalam UU ITE melingkupi orang perseorangan baik WNI maupun WNA,
dan badan hukum. Jadi orang perseorangan baik WNI maupun WNA dan
badan hukum yang melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE diancam dengan
pidana jika memenuhi unsur delik.
2. Sengaja ;
Dalam UU ITE tidak dijelaskan mengnai unsur sengaja. Dalam KUHP
sebagai lex generalis dari peraturan perundang – undangan pidana pun
tidak dijelaskan.8 Dalam teori kesengajaan ada dua teori
a. Teori kehendak.
Menurut Moeljatno, untuk menentukan bahwa suatu perbuatan
dikehendaki oleh terdakwa harus memenuhi":
Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya
untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai.
Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal
dalam batin terdakwa.
b. Teori pengertahuan
Menurut Moeljatno, untuk menentukan bahwa suatu perbuatan
dikehendaki oleh terdakwa harus memenuhi":
Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya
untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai.
8 Moeljatno. 1993. Asas – asas Hukum Pidan. Jakarta. Rineka Cipta. Hal 171
100
Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal
dalam batin terdakwa.
Perbedaan teori kehendak dan teori pengetahuan, yaitu pada teori
kehendak mengharuskan memenuhi kesesuaian antara perbuatan, motif dan tujuan
yang hendak dicapai. Sedangkan pada teori pengetahuan mengharuskan terbukti
adanya keinsyafan atau pengertian terhadap perbuatan yang dilakukan, akibat
perbuatan, dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Lawan dari sengaja adalah kealpaan. Kealpaan untuk melakukan
penghinaan atau pencemaran nama baik tidak mungkin terjadi. Namun
mungkinkah kealpaan itu terjadi dalam perbuatan mendistribusi dan atau
mentransmisikannya ke dalam media TIK? Misalnya apabila A meminta tolong B
untuk mengunggah (upload) sebuah dokumen ke dalam suatu situs yang dapat
diakses secara bebas untuk diunduh (download), dan karena A diminta tolong,
maka A langsung mengunggah dokumen tanpa
dibuka dan dibaca terlebih dahulu. Konsekuensi dari adanya unsur sengaja dalam
pasal ini adalah perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan tidak dapat dijerat
atau diancamkan sanksi.
3. Tanpa hak.
Istilah ini dipakai untuk menyinggung anasir “melawan hukum” yang biasa
disebut “wederrechtelijk”".9 Hazewinkel-Suringa dengan gigih berpend apat
bahwa perkataan “ wederrechtelijk” ditinjau dari penempatannya dalam suatu
rumusan delik menunjukkan bahwa perkataan tersebut haruslah ditafsirkan
9E.Utrecht, 1986.Hukum Pidana 1.Bandung Pustaka Tinta Mas. Hal. 269
101
sebagai “zonder eigen recht” atau “tanpa adanya suatu hak yang ada pada diri
seseorang”". Menurut Memori Penjelasan dari rencana Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Negeri Belanda, istilah “melawan hukum” itu setiap kali
digunakan, apabila dikhawatirkan, bahwa orang yang didalam melakukan sesuatu
perbuatan yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang, padahal
didalam hal itu ia menggunakan haknya, nanti akan terkena juga oleh larangan
dari pasal undang-undang yang bersangkutan." Jika ia menggunakan haknya maka
ia tidak “melawan hukum” dan untuk ketegasan bahwa yang diancam hukuman
itu hanya orang yang betul-betul melawan hukum saja, maka di dalam pasal yang
bersangkutan perlu dimuat ketegasan “melawan hukum” sebagai unsur perbuatan
terlarang itu." Misalnya Seorang Polisi karena perintah atasan mengunggah
(upload) daftar pencarian orang atau DPO ke website agar diketahui oleh publik,
tidak dipidana karena Polisi tersebut tidak melawan hukum.10
4. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Mengenai
unsur ini sudah cukup jelas mengatur tindakan konkrit yang dilakukan.
5. Memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Konsep
“penghinaan” dan “pencemaran” nama baik dalam Pasal ini masih belum
jelas. Jika kita melihat dalam penjelasan pasal ini hanya dikatakan cukup
jelas. Sehingga perlu ada penafsiran dalam mengartikan konsep
pencemaran nama baik.
10R. Tresna. 1994. Azas-azas Hukum Pidana. Pustaka Tinta Mas. Hal . 71
102
Pada unsur-unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE masih ada beberapa proposisi yang
belum jelas. Misalnya adalah apa yang dimaksud dengan proposisi “tanpa hak”,
kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan “penghinaan” dan
“pencemaran”nama baik, dalam Penjelasan Pasal hanya dinyatakan cukup jelas.
Oleh karena itu norma dalam Pasal ini dapat dikatakan sebagai norma kabur
(vague norm) yang hanya mengatur perbuatan pencemaran nama baik dan/atau
penghinaan secara tanpa hak yang dilakukan menggunakan media TIK, namun
tidak menjelaskan perbuatan yang dimaksud untuk disiarkan dalam TIK yang
dilarang itu apa.
c. Keterkaitan antara pencemaran nama baik dalam kententuan Undang –
undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Karakteristik UU ITE adalah peraturan yang terdapat sanksi pidana namun
bukan murni dari undang – undang tersbut. KUHP merupakan acuan utama dari
lex generalis dari semua peraturan perundang – undangan yang mengikutkan
saknsi maupun unsur pidan dalam ketentuannya. Dalam Pasal 103 KUHP
dinyatakan bahwa Bab I sampai dengan Bab VIII Buku Kesatu KUHP juga
diberlakukan untuk undang-undang yang bersanksi pidana, kecuali oleh undang-
undang tersebut diatur lain atau menyimpangi KUHP. Lalu bagaimana dengan
konsep pencemaran nama baik? Konsep pencemaran diatur oleh KUHP dalam
buku Kedua, bukan Buku Kesatu. Dan dalam UU ITE sama sekali tidak
disebutkan bahwa pengertian pencemaran nama baik mengacu pada KUHP.
Pengertian ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ dalam Pasal 27
ayat 3 UU ITE haruslah diketahui terlebih dahulu sebelum menerapkan pasal ini.
103
Aturan hukum dalam rumus yang membingungkan hanya dapat diterapkan
apabila kebingungan itu sudah teratasi.
Menurut van Hamel, tujuan suatu penafsiran adalah selalu untuk
memastikan arti keputusan kehendak atau wilsbesluit pembentuk undang-
undang.11 Dikatakan lebih lanjut oleh van Hattum, bahwa perkataan-perkataan
yang terdapat dalam undang-undang seringkali tidak cukup jelas, hingga setiap
kali orang merasa perlu mengetahui maksud atau artinya dengan cara menyelidiki
maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang, dengan cara
menghubung-hubungkan secara sistematis suatu peraturan tertentu dengan
peraturan-peraturanpidana selebihnya atau dengan cara menyelidiki sejarah
pertumbuhan suatu lembaga yang terdapat dalam hukum pidana.
Oleh karena itu untuk membaca pengertian dari proposisi “penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik” dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, kita harus
mengaitkannya dengan Pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur tentang
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP pengaturan tersebut
ada di Bab XVI tentang Penghinaan. Dalam Bab Penghinaan ini mengatur tentang
tindak pidana:
1. Pencemaran (Pasal 310 ayat 1 KUHP)
2. Pencemaran tertulis (Pasal 310 ayat 2 KUHP)
3. Fitnah (Pasal 311 KUHP)
4. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
5. Penghinaan terhadap pejabat negara (Pasal 316 KUHP)
6. Pengaduan fitnah kepada penguasa (Pasal 317 KUHP)
7. Menimbulkan Persangkaan palsu (Pasal 318 KUHP)
8. Pencemaran terhadap orang yang sudah mati (Pasal 320 KUHP)
11P.A.F. Lamintang.1993. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung Citra Aditya
Bakti. Hal. 53
104
d. Fungsi ketentuan pidana dalam suatu undang – undang
Ketentuan pidana dalam UU ITE berfungsi sebagai sarana mencegah
terjadinya perbuatan tindak pidana dengan menimbulkan ketakutan
denganancaman sanksi, dan pemberi efek jera kepada pelanggar UU. Selain itu
dalam hukum pidana, secara umum menganut asas legalitas yang dirumuskan oleh
von Feuerbach dengan adagium: “nullum delictum sine praevialege poenali”.
Perumusan dan UU ITE sangat penting, perumusan sanksi pidana membuat
klasifikasi perbuatan yang dilarang dalam UU ITE sebagai tindak pidana.
Sanksi pidana dalam UU ITE tergolong sebagai ultimum remedium. Hal
ini dapat dilihat dari sistematika UU ITE yang meletakkan penyelesaian
menggunakan hukum pidana sebagai hal yang terakhir. UU ITE masih
mengedepankan cara penyelesaian yang lain. Penegakan hukum pidana
merupakan cara represif untuk menanggulangi tindak pidana pencemaran nama
baik. Cara yang lain yang dapat digunakan untuk menanggulangi hal ini adalah
dengan cara preventif. Pendidikan merupakan salah satu sarana strategis yang
dapat digunakan sebagai alat penegakan hukum preventif, dengan penanaman
nilai-nilai akhlak dan pengetahuan tentang ITE sejak dini dalam masa pendidikan
dapat mengurangi terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik.
e. Implikasi terhadap pencemaran nama baik dan revisi Pasal 27 Ayat (3) Jo
pasal 45 UU ITE.
Pada tanggal 28/11/2016, dimana disahkannya atas revisi Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik yakni Undang-undang No. 19 tahun 2016
perubahan atas undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan
105
Transaksi Elektronik, adapun yang dilakukan oleh legislatif terhadap revisi UU ite
yakni :
a. Yang dimaksud dengan "mendiskibusikan" adalah mengirimkan
dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen
Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui
Sistem Elektronik.
b. Yang dimaksud dengan "mentransmisikan" adalah mengirimkan
Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang
ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.
c. Yang dimaksud dengan "membuat dapat diakses" adalah semua
perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan
melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau
publik.
d. Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran
nama baik dan/ atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam kiprahnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di
bidangTeknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi
yangsangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar
pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan TransaksiElektronik.
106
Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dariUU ITE
mengalami persoalan-persoalan antara lain :
1. Undang-Undang ini telah diajukan beberapa kali uji materiil di Mahkamah
Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50 / PUU-VI /
2008, Nomor 2/PUU –VII/2009, Nomor 50/ PUU-VII / 2010, dan Nomor
20/PUU-X.IV /2016.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2010 dan
Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik
dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata
sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan
mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas'kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan
merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak
asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena
itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan
diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa
karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin
menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara harrrslah
107
menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk
peraturan pemerintah.
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-
XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya
perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah
menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi
dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar
putusannya menambahkan kata atau frasa "khususnya" terhadap frasa "Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik". Agar tidak terjadi penafsiran bahwa
putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal
5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu
dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.
2. Ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan,dan
penahanan yang diatur UU ITE menimbulkan permasalahln bagi
penyidik karena tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku dapat dengan mudah
mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.
3. karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti
Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik,
pemerasan dan/ atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan
menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau
permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi
dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk
didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja. Dalam rangka
melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik,
diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan
konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap
Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki
108
muatan yang melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi
Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta
informasi yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk
kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.
4. Penggunaan setiap informasi melalui media atau Sistem Elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan
Orang yang bersangkutan. Untuk itu, dibutuhkan jaminan pemenuhan
perlindungan diri pribadi dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem
Elektronik untuk menghapus Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen
Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas
permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.12
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang- Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1l Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5,
menambah ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/ atau
Dokumen Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan
Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penJrusunan tata cara intersepsi ke
dalam unding-unilang, menambah peran Pemerintah dalam melakukan
pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40,
mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaah
tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dahm Pasal
43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) agar lebih
harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di Indonesia.
Bahwa dalam revisi UU ITE ini ada penekanan terhadap delik aduan dan
sebelum ada nya revisi, sudah ada Dalam putusan MK No.50/PUU-VI/2008 lebih
12 Salinan revisi Undang-undang No.19 tahun 2016 perubahan atas undang-undang No.11
tahun 20188 tentang informasi dan transaksi elektronik
109
dahulu menekankan bahwa pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai delik aduan.
Sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE masuk dalam kategori delik aduan absolut ini,
termasuk perbuatan dalam KUHP seperti perzinahan, bersetubuh diluar
perkawinan dengan seorang wanita berumur di bawah lima belas tahun atau
belum waktunya untuk kawin, perbuatan cabul, penghinaan, penghinaan terhadap
orang yang telah meninggal dunia, perbuatan membuka rahasia, melarikan wanita,
pengancaman terhadap kebebasan individu, serta dan pasal 485 KUHP yang
mengatur delik pers.
Sedangkan delik aduan relatif merupakan sebuah delik yang pada
mulanya delik biasa, namun karena ada hubungan keluarga (istimewa) yang dekat
sekali antara korban dan pelaku atau yang membantu kejahatan, maka sifatnya
berubah menjadi delik aduan (hanya bisa dituntut, jika diadukan pihak korban).
Dalam delik ini, yang diadukan sebatas orangnya saja, meskipun dalam perkara
tersebut terlibat beberapa orang lain. Delik aduan relatif terdapat dalam pasal
pencurian dalam keluarga, pemerasan dan pengancaman dalam keluarga,
penggelapan dalam keluarga, penipuan dalam keluarga dan perusakan barang
dalam keluarga.
Secara eksplisit ketentuan mengenai delik aduan terdapat dalam Bab VII
KUHP, yang intinya mengenai siapa yang berhak melakukan pengaduan terhadap
korban yang masih berumur dibawah 15 tahun dan belum dewasa; siapa yang
berhak melakukan pengaduan apabila korban yang dirugikan telah meninggal,
penentuan waktu dalam mengajukan pengaduan, serta bisa atau tidaknya
pengaduan dapat ditarik kembali.
110
Dengan adanya penegasan mengenai delik aduan dalam pasal 27 ayat (3)
UU ITE versi revisi, maka penegak hukum dalam hal ini penyidik dan penuntut,
serta pengadilan melalui hakim wajib untuk menerapkan ketentuan UU ITE yang
telah direvisi setelah ditetapkan dalam lembar negara. Hal ini sebagaimana yang
telah ditegaskan dalam bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP,
"Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya".
Dalam hukum pidana yang penulis pahami, terdapat dua jenis delik aduan yakni
delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut merupakan delik
yang baru ada penuntutan, jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Namun,
catatan khususnya yang diadukan sifatnya hanya perbuatannya saja, sehingga
perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang
bermuara pada kejahatan yang dilakukan.
Pencemaran nama baik pada dasarnya terdiri dari dua unsur, tindakan
pencemaran dan objek tindakan berupa nama baik seseorang. Kata pencemaran
dapat dimaknai sebagai perbuatan/tindakan seseorang terhadap suatu objek yang
mengakibatkan perubahan kualitas terhadap objek tersebut. Sedangkan nama baik
dapat dimaknai sebagai suatu keadaan yang dimiliki seseorang berkaitan dengan
eksistensi seseorang dalam masyarakat. Eksistensi tersebut mencakup harkat dan
martabat seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Pencemaran terhadap
nama baik seseorang merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan nama baik
seseorang menjadi tercemar atau tidak lagi baik dalam pandangan orang lain,
menimbulkan opini secara umum mengenai reputasi seseorang yang kurang baik,
111
mengakibatkan kredibilitas seseorang menjadi turun dan lain-lain. Perbuatan
pencemaran yang dilakukan terhadap nama baik seseorang selalu didasari oleh
niat pelaku untuk menimbulkan suatu akibat terhadap orang lain, dalam hal ini
reputasi/nama baik seseorang. Pencemaran nama baik oleh KUHP diartikan
sebagai serangan yang ditujukan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum. Tindak pidana pencemaran nama baik dapat dikelompokkan berdasarkan
sarana yang digunakan, diantaranya:
a. Pencemaran nama baik yang dilakukan secara konvensional
Pencemaran nama baik seperti ini cenderung dilakukan dengan cara-
cara biasa, baik secara lisan maupun tertulis. Pencemaran nama baik
secara lisan dilakukan dengan mengucapkan kata-kata yang
dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
didepan orang lain. Pencemaran nama baik secara tertulis dilakukan
dengan membuat tulisan atau gambar manual yang ditujukan untuk
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang pada sebuah media
yang kemudian di sebarkan dengan maksud untuk diketahui oleh orang
lain.
b. Pencemaran nama baik yang dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi.
Pencemaran nama baik seperti ini dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi secara lisan maupun tertulis. Pencemaran nama
baik secara lisan dapat dilakukan melalui telepon atau pentransmisian
112
pesan suara dengan mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan untuk
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pencemaran nama
baik tertulis dilakukan dengan mentransmisikan tulisan atau gambar
berupa dokumen elektronik yang dimaksudkan untuk menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang.
f. Karakteristik Pencemaran Nama Baik Menggunakan Media Elektronik.
Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat
dikenali dengan mencermati beberapa hal, diantanya :
a. Perbuatan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi
b. Objek tindak pidananya berupa dokumen elektronik dan/atau informasi
elektonik
c. Objek tindak pidana tersebut didistribusikan atau ditransmisikan,
melalui jaringan dan dapat atau telah diakses oleh orang lain
d. Isi dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik tersebut
bertujuan untuk menyerang kehormatan seseorang
e. Perbuatan tersebut telah melanggar kepentingan hukum orang lain.
Pencemaran nama baik dikatakan sebagai cybercrime apabila memenuhi
kriteria tersebut di atas. Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media
elektronik tidak dapat dilepaskan dari peran teknologi informasi sebagai sarana
dalam melaksanakan tindak pidana. Pemanfaatan teknologi informasi ini
menimbulkan kosekuensi adanya perubahan objek tindak pidana yang semula
berupa nama baik/ kehormatan seseorang menjadi dokumen elektronik dan/atau
informasi elektronik yang mempunyai muatan pencemaran. Perbedaan objek
113
tindak pidana tersebut, mengakibatkan perubahan cara pengungkapan tindak
pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik. Pengungkapan tindak
pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik harus dilakukan dengan
menggunakan metode tertentu yang mendasarkan kepada teori telematika karena
tindak pidana yang terjadi dilakukan dengan teknik khusus dan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi.
g. Konsep aturan pencemaran nama baik melalui media elektronik dan
perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap potensi pencemaran
nama baik
Pencemaran nama baik melalui media elektronik merupakan perbuatan
pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 310 ayat (1) namun dilakukan dengan menggunakan media elektronik.
Pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur tersendiri menggunakan
pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sehingga kedua ketentuan tersebut tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Unsur pidana dalam kedua pasal tersebut yang kemudian dijadikan
dasar untuk mengklasifikasikan apakah suatu perkara pencemaran nama baik yang
terjadi merupakan pencemaran nama baik biasa atau pencemaran nama baik yang
dilakukan melalui media elektronik. Tahap mengklasifikasikakn perkara harus
dilakukan secara tepat agar tidak terjadi kekeliruan menerapkan hukum.
Upaya penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media
elektronik merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan hukum individu.
Kepentingan hukum individu meliputi:
a. Jiwa manusia (leven);
114
b. Keutuhan tubuh manusia (lyf);
c. Kehormatan seseorang (eer);
d. Kesusilaan (zede);
e. Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
f. Harta benda/kekayaan (vermogen).13
Menurut Tom Palmer, prinsip kebebasan dan tanggung jawab merupakan
prinsip dimana kita menyadari harkat dan martabat sebagai manusia untuk hidup
bersama secara damai dan harmonis dengan orang lain. Artinya, kebebasan dan
tanggung jawab seharusnya lahir karena kesadaran manusia untuk mengendalikan
dirinya (self control) dalam rangka menjaga kedamaian dan keharmonisan hidup.
Jika kita dihadapkan pada state control atau kontrol dari negara, melalui undang-
undang misalnya, yang lahir bukanlah kesadaran yang muncul dari diri kita
sendiri, melainkan rasa taat, tunduk dan takut.
Hal ini sedikit banyak dapat kita kaitkan dengan keberadaan Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Keberadaan UU ITE selama ini tidak disepakati oleh seluruh publik karena
dipandang membatasi kebebasan berekspresi. Beberapa ketentuan UU ITE,
khususnya Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, sering dianggap sebagai penyebab orang memilih
bungkam atau “self censorship” atas kondisi sosial politik yang ada di masyarakat.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa keberadaan UU ITE tidak serta-merta
membuat masyarakat sadar akan kebebasan dan tanggung jawab. Keberadaan UU
ini membuat masyarakat menjadi takut untuk bersuara mengenai ketidakadilan di
13 Satochid Kartanegara. 1954-1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun
oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V.Hal. 275-276.
115
sekelilingnya dan berteriak terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasa karena
khawatir dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik.
Di satu sisi, kita memang menghendaki adanya kebebasan berekspresi.
Namun, kita juga harus mengakui bahwa masih ada bagian dari masyarakat kita
yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan kebebasan itu. Dengan
demikian, pemerintah cenderung menyikapinya dengan mengeluarkan sebuah
aturan dalam bentuk undang-undang untuk membuat (baca: memaksa) masyarakat
bertanggung jawab. Mengingat jumlah pengguna internet yang cukup besar, yakni
sekitar 88,1 juta orang, tentu membutuhkan batasan untuk menjamin kenyamanan
dan keselamatan setiap pengguna internet. Misalnya dari bahaya penipuan,
informasi yang tidak benar, situs-situs yang mengandung konten negatif dan lain
sebagainya.
Prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan perlindungan bagi masyarakat
terhadap potensi pencemaran nama baik Indonesia sebagai negara hukum
sekaligus negara demokrasi yang terdiri dari berbagai budaya telah memberikan
jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara yang dituangkan dalam UUD
1945. Setiap warga negara mempunyai hak :
a. Dalam Memilih/Memberikan Suara,
b. Berbicara/Kebebasan Pers,
c. Beragama,
d. Bergerak,
e. Berkumpul
Hukum sebagai sebuah sistem memberikan kebebasan sekaligus batasan
terhadap aktivitas sosial. Salah satu pembatasan aktivitas individu dituangkan
dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang memuat
116
larangan aktivitas sosial yang disosiatif berupa pencemaran nama baik dengan
cara menyerang kehormatan seseorang secara lisan maupun tertulis. Ketentuan
KUHP mengatur pencemaran nama baik secara konvensional sedangkan Pasal 27
ayat (3) mengatur pencemaran nama baik yang dilakukan dengan cara modern.
Ketentuan pencemaran nama baik dibuat untuk melindungi kepentingan hukum
(eer) individu dari dampak interaksi sosial yang disosiatif. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, tindak pidana pencemaran nama
baik dalam Undang-Undang ITE merupakan jenis delik aduan sehingga
keberadaan unsur pengaduan bersifat mutlak. Pengaturan mengenai pencemaran
nama baik ini berkaitan dengan sifat privat yang dimiliki oleh objek pidana dalam
perkara.
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama
oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan
melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua
masyarakat (William H. Haviland). Tatanan norma yang terdiri nilai-nilai luhur
suatu bangsa secara tidak langsung membentuk karakter bangsa itu sendiri dan
menjadi acuan bagi individu yang ada didalamnya.
Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat kearah modernisasi yang cepat
berpotensi menimbulkan pola interaksi disosiatif dalam masyarakat. Interaksi
disosiatif tersebut diatur dalam Undang-Undang ITE berupa perbuatan
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
konten yang dilarang salah satunya adalah konten pencemaran. Pencemaran nama
baik merupakan perbuatan seseorang menyerang kehormatan orang lain dimana
117
perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja sehingga dapat dikatakan sebagai
dampak interaksi disosiatif. Dampak perkembangan Teknologi Informasi tersebut
dapat diminimalisir apabila nilai-nilai tata krama ketimuran tetap menjadi
guidance dalam pola interaksi modern.
Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, perkembangan teknologi
informasi dapat menimbulkan dampak disosiatif dalam masyarakat. Keberadaan
nilai-nilai tata krama ketimuran di Indonesia merupakan salah satu guidance
dalam interaksi masyarakat. Kegiatan interaksi masyarakat sebagai sebuah
kebutuhan individu akan selalu berhubungan dengan prinsip-prinsip kebebasan
berekspresi sebagai bentuk pengakuan terhadap kepentingan hukum individu.
Kebebasan berekspresi dalam masyarakat sebagai prinsip dasar interaksi sosial
harus diimbangi dengan regulasi hukum yang memberikan perlindungan terhadap
kepentingan hukum individu. Keberadaan ketentuan hukum dalam masyarakat
sangatlah penting untuk menghindari munculnya dampak disosiatif dari interaksi
sosial. Dampak disosiatif tersebut dapat berupa pencemaran nama baik yang
dilakukan dengan cara-cara konvensional maupun dengan cara-cara modern
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Ketentuan Pasal 27 ayat (3)
Undang-Undang ITE secara khusus mengatur mengenai tindak pidana
pencemaran nama baik yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi
melalui media elektronik. Ketentuan tersebut dirumuskan sebagai berikut :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
118
Rumusan tindak pidana pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3)
Undang-Undang ITE tersebut masih harus dikritisi, karena masih memuat
beberapa hal yang kurang jelas diantaranya mengenai perumusan perbuatan
pencemaran nama baik, klasifikasi antara pencemaran dan penghinaan, serta
perumusan unsur perbuatan yang tidak akurat. Rumusan Pasal 27 ayat (3)
Undang-Undang ITE memuat unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif
dan subjekif ketentuan Undang-Undang ITE membentuk suatu kondisi tertentu
yang dimaksudkan oleh hukum sebagai suatu cara/ metode dalam melakukan
tindak pidana pencemaran nama baik.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 50/PUU-VI/2008
poin [3.17], penerapan ketentuan Pasal 45 ayat (1) Jo. Pasal 27 ayat (3) Undang-
Undang ITE tidak dapat dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam
Bab XVI tentang penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311
KUHP.7 Berdasarkan uraian diatas, diperoleh pemahaman bahwa sesungguhnya
ketentuan Undang-Undang ITE tidak boleh bertentangan dengan ketentuan KUHP
sebagai norma hukum pokoknya. Ketentuan KUHP sebagai norma hukum pokok
telah mengatur mengenai tindak pidana pencemaran nama baik namun belum
mencakup perbuatan yang dilakukan melalui media elektronik, sedangkan
ketentuan Undang-Undang ITE tentang pencemaran nama baik masih belum
dapat dijadikan satu-satunya acuan untuk menanggulangi tindak pidana
pencemaran. Kedua persoalan diatas dapat diakomodasi melalui adanya rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana
tahun 2012 sudah mencantumkan mengenai pencemaran nama baik. Rumusan
119
pencemaran nama baik tersebut diatur dalam Bab XIX tentang Tindak Pidana
Penghinaan pada Pasal 537 dengan rumusan sebagai berikut :
(1) Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik
orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut
diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di
tempat umum, pembuat tindak pidana dipidana karena pencemaran
tertulis, dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori III.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) nyata-nyata dilakukan
untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri
Rumusan Pasal 537 rancangan KUHP diatas mengatur perbuatan pencemaran
nama baik secara konvensional, sehingga tidak dapat menjangkau perbuatan yang
dilakukan melalui media elektronik. Kedudukan rancangan KUHP sebagai ius
constituendum masih memberi peluang untuk terjadi perubahan karena belum
diundangkan sehingga belum memiliki kekuatan hukum. Peluang terjadinya
perubahan pada draf rancangan KUHP dapat dijadikan alternatif untuk
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat berkaitan dengan terjadinya
tindak pidana pencemaran nama baik. Alternatif yang dapat dilakukan untuk
mengatur tindak pidana pencemaran nama baik adalah memberikan memberikan
120
pengaturan tambahan pada Pasal 537 draf rancangan KUHP untuk mengatur
perbuatan yang dilakukan melalui media elektronik. Ketentuan Pasal 537 terdiri
dari 2 (dua) ayat yang mengatur tindak pidana pencemaran secara konvensional
dan 1 (satu) ayat pengecualian. Rancangan KUHP yang baru merupakan bentuk
unifikasi hukum sehingga ketentuan hukum pidana akan diintergrasikan menjadi
sebuah kesatuan. Proses unifikasi tersebut telah menintegrasikan sebagian
ketentuan Undang-Undang ITE kedalam draft rancangan KUHP misal, Paragraf 3
Pasal 379 tentang pornografi anak melalui computer. Integrasi ketentuan ITE
dalam Pasal 379 merupakan bentuk upaya antisipatif dan proaktif dalam mengatur
Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi didunia maya dan Tindak Pidana tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (cybercrime).14Berdasarkan uraian diatas,
integrasi ketentuan ITE kedalam KUHP merupakan integrasi ketentuan
cybercrime termasuk didalamnya mengenai Tindak Pidana pencemaran nama baik
melalui media elektronik. Proses integrasi ketentuan ITE kedalam draf rancangan
KUHP masih belum komprehensif karena dalam ketentuan Pasal 537 tentang
pencemaran nama baik belum mengakomodir tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE tentang pencemaran nama
baik. Tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27
ayat (3) Undang-Undang ITE merupakan tindak pidana informasi dan transaksi
elektronik, sehingga sudah selayaknya diintegrasikan kedalam rancangan KUHP
Pasal 537.
14 Lihat Penjelasan Buku Kedua poin ke 2 draf rancangan KUHP
121
Berdasarkan uraian tersebut, pengaturan pencemaran melalui media elektronik
dapat dimasukkan sebagai ayat sebelum ayat pengecualian sehingga konstruksi
pasalnya menjadi sebagai berikut :
(1) Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik
orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal
tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di
tempat umum, pembuat tindak pidana dipidana karena pencemaran
tertulis, dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori III.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi, dipidana karena
pencemaran, dengan pidana penjara paling lama … (…) tahun atau
pidana denda paling banya ….
(4) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) nyata-nyata dilakukan
untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri
Proses penyusunan KUHP membutuhkan waktu yang panjang, oleh karena itu
untuk tetap dapat memberikan perlindungan terhadap kepentingan hukum
individu diperlukan regulasi hukum yang efektif. Upaya penanggulangan
122
pencemaran nama baik haruslah mempertimbangkan asas kemanfaatan dengan
mengklasifikasikan suatu perbuatan tidak hanya berdasarkan aspek hukum yang
ada namun juga harus mempertimbangkan upaya penyelesaian yang konservatif.
Mengacu pada konsep restorative justice, upaya penyelesaian perkara
pencemaran nama baik dapat dilakukan melalui proses mediasi ditingkat
kepolisian dengan mempertemukan pelaku dan korban untuk mencari atau
memutuskan cara terbaik mengatasi dampak atau akibat dari kejahatan (decide
how best to repair the harm).9 Upaya penyelesaian perkara pencemaran nama
baik tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak
untuk menyampaikan hal-hal yang terkait dengan perkara sehingga dapat
dilakukan upaya memperbaiki untuk kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana
yang terjadi. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) huruf k dan Pasal 16 ayat (1) huruf l,
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisisan RI, penyelesaian
perkara pencemaran nama baik ditingkat peyidikan dapat dilakukan sebagai
bentuk pelaksanaan kewenangan mengadakan tindakan lain menurut hukum
sesuai dengan tugas pokok Kepolisian RI. Berdasarkan uraian diatas, pelaksanaan
konsep restorative justice dapat digunakan sebagai alternatif penyelesaian perkara
pencemaran nama baik melalui media elektronik saat ini.
Meskipun sudah dilakukan perubahan, UU ITE tampaknya masih
mengundang kritik terutama berkaitan dengan pasal penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Secara
umum, baik sebelum direvisi maupun setelah direvisi, Pasal 27 ayat (3) UU ITE
tetap dinilai oleh banyak pihak membatasi kebebasan berpendapat atau
123
berekspresi. Dengan kata lain pasal tersebut dianggap bertentangan dengan
hakekat kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945.
Salah satu implikasi yuridis dari revisi UU ITE ini adalah tidak ada lagi
tersangka pencemaran nama baik yang akan ditahan. Namun, menurut Donny
Budi Utoyo, dari kelompok pengawas informasi dan teknologi (ICT Watch), tetap
ada resiko pengguna internet dikenakan pencemaran nama baik akibat urusan
sepele. Sehingga Donny menilai sebaiknya pasal pencemaran nama baik ini
dihapuskan karena dianggap dapat membatasi kebebasan berekspresi.
h. Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Dunia Maya
UU ITE dapat disebut sebagai cyber law karena muatan dan cakupannya luas
membahas pengaturan di dunia maya. Kehadiran UU ITE dilatarbelakangi oleh
semakin berkembangnya kejahatan dalam masyarakat, tidak hanya di dunia nyata
tetapi juga dunia maya. Sehingga hukum juga harus dinamis agar fungsinya
sebagai pemberi rasa aman dapat terpenuhi.
Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara seperti Malaysia, Singapore dan
Amerika sudah lebih dulu mengembangkan dan menyempurnakan cyber law yang
mereka miliki. Malaysia memiliki Computer Crime Act (Akta Kejahatan
Komputer) 1997, Communication and Multimedia Act (Akta Komunikasi dan
Multimedia) 1998, dan Digital Signature Act (Akta Tanda Tangan Digital) 1997.
Singapore juga sudah memiliki The Electronic Act (Akta Elektronik) 1998,
Electronic Communication Privacy Act (Akta Privasi Komunikasi Elektronik)
1996. Kemudian Amerika juga memiliki US Child Online Protection Act
124
(COPA), US Child Pornography Protection Act, US Child Internet Protection Act
(CIPA), US New Laws and Rulemaking, untuk memerangi child pornography.
Di sisi lain, undang-undang ini memiliki kelebihan yakni mengantisipasi
kemungkinan penyalahgunaan internet. Misalnya, pembobolan situs-situs tertentu
milik pemerintah dan transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet yang
disalahgunakan dan berbagai bentuk penipuan melalui jejaring media sosial.
Selain itu, undang-undang ini juga tidak hanya membahas mengenai konten
pornografi atau masalah asusila, melainkan ada banyak konten lainnya mengenai
aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya yang diatur
dengan rinci dalam UU ITE.
Harus diakui bahwa tidak semua pengguna internet atau media sosial tahu atau
memahami tentang ketentuan pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan
tindakan lainnya yang dilarang oleh UU ITE. Banyak juga dari mereka yang
mungkin awam dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, langkah yang harus
diambil pemerintah tidak serta-merta melalui sebuah undang-undang. Pemerintah
bersama organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap penggunaan media dan
teknologi, seharusnya dapat bersama-sama mengkampanyekan digital literacy
kepada seluruh anggota masyarakat agar tidak salah kaprah dalam menggunakan
teknologi.
Sebab di setiap hak asasi masing-masing dari kita dibatasi oleh hak asasi orang
lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
125
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.”
Akhirnya, sebagai bagian dari masyarakat, penulis sepakat bahwa kebebasan
berekspresi perlu dijamin dan dilindungi. Namun, yang kita inginkan adalah
kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab. Lebih jauh, bukan kebebasan
berekspresi yang bertanggung jawab yang lahir dari ketakutan dan paksaan
undang-undang, melainkan kesadaran dan pemahaman (self control).