48
80 BAB III KHILAFAH MENURUT PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA Era setelah wafatnya Muhammad SAW, khilafah menjadi isu krusial dan tema sentral dalam perpolitikan Islam. Sedemikian krusialnya isu tersebut membuat para sabahat menunda pemakaman Muhammad SAW untuk berkumpul di bani Tsaqifah. Mereka bermusyawarah untuk memilih khalifah (pengganti) Muhammad SAW. Hingga era sekarang setelah runtuhnya Khilafah Turki Utsmani tahun 1918 M, khilafah masih menjadi tema sentral bagi kalangan tokoh Islam. Salah satu tokoh tersebut adalah Hasan Al-Banna yang berusaha membangkitkan kembali Islam dengan berupaya menegakkan Khilafah Islamiyyah melalui gerakannya Ikhwanul Muslimin. Maka dalam bab ini, akan dibahas mengenai konsep-konsep khilafah secara umum, kemudian khilafah menurut pemikiran Hasan Al-Banna dan strategi yang digunakannya dalam upaya memperjuangkan eksistensi Khilafah Islamiyyah. Sebelum dijelaskan mengenai konsep khilafah secara umum, akan dijelaskan sedikit mengenai dasar politik Islam atau dasar pembentukan negara Islam. Harun Nasution mengemukakan pendapat bahwa Al-Qur‟an sebagai pedoman Islam tidak mengandung segala-galanya. Yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur‟an menurutnya adalah sistem pemerintahan atau bentuk negara. Begitu pula dengan Hugson mengatakan hal yang senada ia mengatakan bahwa Al- Qur‟an tidak menetapkan sistem sosial tertentu. Hal ini diserahkan kepada Muhammad SAW tersendiri untuk mengambil kebijakan. Meskipun Al-Qur‟an tidak menyebutkan dengan tegas tentang pembentukan pemerintahan, tetapi

BAB III KHILAFAH MENURUT PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA · 80 BAB III KHILAFAH MENURUT PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA Era setelah wafatnya Muhammad SAW, khilafah menjadi isu krusial dan tema

Embed Size (px)

Citation preview

80

BAB III

KHILAFAH MENURUT PEMIKIRAN

HASAN AL-BANNA

Era setelah wafatnya Muhammad SAW, khilafah menjadi isu krusial dan

tema sentral dalam perpolitikan Islam. Sedemikian krusialnya isu tersebut

membuat para sabahat menunda pemakaman Muhammad SAW untuk berkumpul

di bani Tsaqifah. Mereka bermusyawarah untuk memilih khalifah (pengganti)

Muhammad SAW. Hingga era sekarang setelah runtuhnya Khilafah Turki

Utsmani tahun 1918 M, khilafah masih menjadi tema sentral bagi kalangan tokoh

Islam. Salah satu tokoh tersebut adalah Hasan Al-Banna yang berusaha

membangkitkan kembali Islam dengan berupaya menegakkan Khilafah

Islamiyyah melalui gerakannya Ikhwanul Muslimin.

Maka dalam bab ini, akan dibahas mengenai konsep-konsep khilafah

secara umum, kemudian khilafah menurut pemikiran Hasan Al-Banna dan strategi

yang digunakannya dalam upaya memperjuangkan eksistensi Khilafah

Islamiyyah. Sebelum dijelaskan mengenai konsep khilafah secara umum, akan

dijelaskan sedikit mengenai dasar politik Islam atau dasar pembentukan negara

Islam.

Harun Nasution mengemukakan pendapat bahwa Al-Qur‟an sebagai

pedoman Islam tidak mengandung segala-galanya. Yang tidak dijelaskan dalam

Al-Qur‟an menurutnya adalah sistem pemerintahan atau bentuk negara. Begitu

pula dengan Hugson mengatakan hal yang senada ia mengatakan bahwa Al-

Qur‟an tidak menetapkan sistem sosial tertentu. Hal ini diserahkan kepada

Muhammad SAW tersendiri untuk mengambil kebijakan. Meskipun Al-Qur‟an

tidak menyebutkan dengan tegas tentang pembentukan pemerintahan, tetapi

81

dikehidupan nyata Muhammad SAW mempunyai pemerintahan dan sekaligus

menjadi Kepala Negara di samping menjadi seorang Nabi dan Rasul (Sukardja,

1995: 102).

Pemerintahan Muhammad SAW dimulai dengan adanya Piagam Madinah.

Piagam atau perjanjian itu disebut oleh Nabi dengan istilah shahi>fat (lembaran

tertulis) dan kita>b (Pulungan, 1994: 87). Piagam Madinah dapat disebut undang-

undang atau konstitusi karena menurut Marmaduke Pickhtal, naskah itu

mencerminkan perhatian Muhammad sebagai seorang pemimpin untuk

menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai the constitution of the state

(undang-undang negara). Di dalamnya terdapat ketetapan mengenai dasar-dasar

negara Islam yang bekerja untuk mengatur satu umat dan membentuk suatu

masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan (1994: 110).

Menurut Hugson Konstitusi Madinah yang menentukan posisi berbagai

elemen di Madinah ketika Muhammad berada di sana, adalah karya Nabi

Muhammad SAW, bukan bagian dari Al-Qur‟an (Sukardja,1995: 103). Senada

dengan Hugson, kata Gibb, undang-undang legislatif Islam yang pertama itu telah

meletakkan dasar-dasar sosio-politik untuk mempersatukan penduduk Madinah,

dan ia merupakan hasil dari inisiatif Nabi, bukan dari wahyu (Pulungan, 1994:

110). Sehingga dapat dikatakan bahwa Piagam Madinah merupakan Hadits Nabi

Muhammad karena segala perkataan, perbuatan, dan persetujuan Muhammad

SAW adalah hadits darinya. Hadits Rasul merupakan dasar pedoman umat Islam

setelah Al-Qur‟an. Maka jika dilihat dari sifat isinya mengenai tatanan kehidupan

politik, Piagam Madinah adalah hadits siya>sah (politik) yang menjadi dasar bagi

umat Islam untuk mendirikan negara Islam (Sukardja,1995: 175).

82

Pada dasarnya, Harun Nasution dan Hugson memberikan pernyatan bahwa

Al-Qur‟an tidak memberikan dasar hukum negara Islam karena mereka hanya

mengkaji secara eksplisit. Akan tetapi secara implisit dalam Al-Qur‟an terdapat

pembahasan mengenai dasar negara Islam seperti yang disebutkan pada surat A‟n-

Nisa‟ ayat 59, Al-Anbiya‟ ayat 92, Al-Mu‟minun ayat 52, Al-Imran ayat 28, 103

dan 105. Sehingga Piagam Madinah dijadikan dasar hukum yang realistis dalam

mendirikan negara Islam.

A. Khilafah Secara Umum

Pengertian khilafah secara bahasa berarti mengganti atau suksesi, yang

berasal dari bahasa arab khalafa-yakhlufu-khalafan wa

khilafah (Munawwir, 1997: 361). Kata khilafah dalam struktur gramatika bahasa

Arab merupakan bentuk gramatika verbal yang mensyaratkan adanya subjek atau

pelaku aktif yang disebut khalifah. Kata khali>fah merupakan ism fa>’il

(subjek) dari kata kerja yang sama yaitu khalafa yang bermakna orang yang

menggantikan atau orang yang menepati posisi sebagai pengganti. Oleh karena itu

tidak ada suatu khilafah tanpa adanya seorang khalifah.

Menurut Ganai secara literal, khilafah berarti penggantian terhadap

pendahulu, baik bersifat individual maupun kelompok. Sedangkan secara teknis,

khilafah adalah lembaga pemerintahan Islam yang berdasarkan pada Al-Qur‟an

dan Sunnah. Khilafah merupakan medium untuk menegakkan din (agama) dan

memajukan syariah (Sudrajat, 2009: 3).

Pengertian khilafah dalam semboyan politik Islam Sunni, merujuk pada

wewenang seseorang yang berfungsi sebagai pengganti Nabi dalam kapasitasnya

83

sebagai pemimpin masyarakat, namun bukan dalam fungsi kenabiannya. Kata

imam juga pernah digunakan dengan arti yang serupa kecuali Syiah. Kata imamah

dalam prespektif Sunni merujuk pada negara Islam dalam arti yang umum dan

dianggap mencerminkan masa pemerintahan Nabi yang sesudahnya (Jidan, 1994:

9).

Ibnu Khaldun (2012: 336) dalam karyanya Mukaddimah memberikan

penjelasan tentang pengertian khilafah. Ia menjelaskan bahwa karakter kekuasaan

cenderung memerintah masyarakatnya berdasarkan tujuan dan berdasarkan

keinginan naluriah mereka. Adapun kekuasaan politik cenderung memerintah

masyarakatnya berdasarkan akalnya. Sedangkan kekuasaan dari suatu

kekhilafahan memerintah masyarakatnya berdasarkan syariat Islam, baik dalam

urusan akhirat maupun kepentingan agama. Karena menurutnya apa yang

datangnya dari Allah SWT jauh lebih baik dari pada jangkauan akal manusia.

Kekhalifahan ini pada hakikatnya merupakan pengganti atau wakil Allah yang

menjaga agama dan kehidupan dunia.

Al-Mawardi (2000: 14) juga menjelaskan bahwa Allah SWT telah

menggariskan dalam umat manusia harus ada pemimpin yang menjadi pengganti

dan pelanjut fungsi kenabian menjaga terselengaranya ajaran agama, kendali

politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat Islam, dan menyatukan umat

dalam kepemimpinan tunggal. Ia telah mendefinisikan bahwa khilafah adalah

dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal dari

terwujudnya kemaslahatan umat sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman

sejahtera.

84

Khilafah dalam pandangan ahli fiqih adalah kepemimpinan umum dalam

urusan agama dan dunia sebagai pengganti Muhammmad SAW. Khilafah juga

diartikan sebagai pengganti Rasulullah dalam menegakkan agama dan menjaga

eksistensi agama (Hawwa, 2002: 64). Pada dasarnya khilafah tidak hanya terfokus

pada kekuasaan saja, tetapi memang harus memeperhatikan syariat Islam di

dalamnya.

Menurut ijma‟ para ulama, umat Islam tidak dibenarkan wujud tanpa

Imam. Kemudian Imamah yang disepakati umat Islam ini disebut khilafah. Sistem

khilafah bersifat unik berbeda dengan sistem pemerintahan manapun. Yang

menjadikan berbeda pada sistem khilafah ini adalah karena berasal dari Allah

untuk para Rasul (2002:47).

Sa‟id Hawwa (2002: 48) menjelaskah bahwa imamah yang dimaksud

merupakan khilafah nubuwwah. Artinya hakikat sistem khilafah ialah mewakili

kenabian, sedangkan Rasul sendiri merupakan Khalifatullah. Karena khalifah

berfungsi sebagai pewaris kenabian dan menegakkan hukum-hukumnya. Dengan

demikian tugas Rasulullah adalah menunjukkan manusia kepada kekuasaan Allah.

Sedangkan tugas para khalifah-nya adalah melanjutkan gerak Rasulullah dalam

mengajarkan manusia tentang dua warisan Rasul; Al-Qur‟an dan Sunnah.

Ringkasnya khilafah sebagai sistem pemerintah yang mewakili Rasulullah SAW

dalam menegakkan syariat Allah. Pengertian imamah menurut Sa‟id Hawwa ini

merupakan prespeksif golongan Sunni.

Berdasarkan penjelasan di atas, secara umum khilafah merupakan

pengganti Nabi Muhammad setelah ia wafat dalam beberapa hal, pertama;

sebagai penerus kepemimpinan umat Islam baik dalam hal dunia maupun agama

85

sehingga harus dibentuk sebuah pemerintahan. Kedua; untuk menjaga eksistensi

hukum Islam sebagai pedoman hidup. Ketiga; menjaga persatuan dan

kemaslahatan umat manusia. Seorang pengganti itu hanya meneruskan tugas Nabi

Muhammad bukan meneruskan kenabian atau kerasulannya, karena Muhammad

SAW merupakan nabi dan rasul terakhir.

Terdapat beberapa unsur yang menyertai kekhilafahan seseorang. Unsur-

unsur tersebut adalah orang yang diberi kekuasaan atau mandat, wilayah

kekuasaan, dan hubungan antara khalifah dengan wilayah beserta hubungan

khalifah dengan pemberi kekuasaan yakni Allah. Kekhalifahan seseorang dengan

demikian dapat dinilai dari sejauhmana seorang khalifah memperhatikan

hubungan-hubungan tersebut. Ketika seorang khalifah mempraktikkan semua

tindakan-tindakannya itu, maka yang demikian itu dinamakan khalifah. Dalam

konteks politik yang lebih populer, kata khilafah dapat diartikan dengan

pemerintahan. Jadi, kalau ada istilah Khilafah Islamiyyah, itu berarti

pemerintahan Islam atau lebih tepatnya pemerintahan yang ditegakkan

berdasarkan syariat Islam.

Beberapa pemikir Muslim mengatakan bahwa bentuk pemerintahan Islam

dapat berupa kerajaan maupun republik. Hal tersebut terlihat dari praktek bentuk

pemerintahan Islam secara historis. Bentuk pemerintahan pada masa sepeninggal

nabi yaitu pada masa Khulafa>u’r-ra>syidi>n, barangkali sepadan dengan bentuk

pemerintahan republik dalam konsep politik modern. Kemudian masa

pemerintahan Ummayah, Abbasiyah, hingga Turki Ustmani bercorak kerajaan

atau monarki (Sudrajat, 2009: 4).

86

Suatu pemerintahan dapat disebut sebagai Khilafah Islamiyyah harus

memenuhi beberapa prinsip dan kriteria. Prinsip utama yang harus dipegang

adalah bahwa seluruh kekuasaan di bumi ini ada pada Allah SWT. Prinsip yang

kedua adalah hukum Islam ditetapkan oleh Allah untuk membimbing manusia

dalam menjalakan fungsi khilafah-nya di bumi. Berdasarkan kedua prinsip

tersebut, suatu negara yang diatur menurut syariat Islam maka secara teknis

disebut Khilafah Islamiyyah.Qamaruddin Khan menyebut negara yang demikian

dengan sebutan negara agama (religious state) (2009: 6)

Gelar-gelar simbolik utama yang digelarkan pada orang yang melakukan

tugas kekhalifahan tesebut yaitu; gelar imam, khalifah, dan amirul mu‟minin.

Kata imam berarti “pemimpin” seperti ketua atau yang lainnya, baik yang

membawa petunjuk ataupun yang menyesatkan (As-Salus, 1997: 15). Sering kali

kata imam dihubungkan dengan shalat, sehingga mendapatkan suatu makna

konotasi yang spesifik. Kemudian meluas mencakup kepemimpinan dalam

melaksanakan kewajiban agama (red: Islam). Seperti halnya Rais (2001: 77)

mengutip pengertian imam menurut Ar-Razi yang telah mendefinisikan bahwa

imam merupakan “semua orang yang diteladani secara agama”, sehingga

kepemimpinan dalam hal ini bersifat khusus seperti halnya sebutan imam Bukhari

sebagai teladan hadist, imam Ghazali sebagai teladan tauhid, dan lainnya. Adapun

kepemimpinan kubra atau umum lingkupnya mencakup semua aspek tersebut baik

agama maupun dunia, maka yang seperti itu merupakan kepemimpinan imam,

yaitu imam sebagai pemimpin umat dan superior yang menjalankan pemerintahan

diatas pilar syariat Islam. Hal yang seperti itulah yang dinamakan Imamah „Uzma

yang berarti kepemimpinan kubra atau umum adapun orang yang memipin disebut

87

Imam A‟zham (Hawwa, 2002; 63). Sementara imam shalat dinamakan keimaman

syugra atau bersifat khusus.

Selanjutnya tentang gelar khalifah, awal penyebutan gelar ini ketika

terpilihnya Abu Bakar sebagai pengganti Muhammad SAW dalam baiat Ats-

Tsaqifah. Abu Bakar menyebut jabatan ini sebagai Khalifah Rasulullah, dan ia

menolak isitilah Khalifah Allah. Meskipun sebagian orang menyebutnya dengan

Khalifah Allah dengan argumen bahwa Muhammad SAW bertugas menegakan

perintah Allah dan Abu Bakar juga bertugas sama. Akan tetapi bukan berarti Abu

Bakar meneruskan kenabian Muhammad SAW, sehingga ia menolaknya dan

jumhur ulama melarang menggunakan istilah Khalifah Allah (Hawwa, 2002: 64.

Khaldun, 2012: 339. Rais, 2001: 78).

Sedangkan gelar amirul mu‟minin untuk pertama kalinya diberikan kepada

Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua. Istilah amirul mu‟minin merupakan ciri

khas yang diciptakan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada masa

tersebut kepala negara disebut amirul mu‟minin. Sehingga Umar bin Khattab juga

mendapat julukan tersebut, akan tetapi fungsinya tidak berubah sama seperti Abu

Bakar sebagai seorang khalifah (Hawwa, 2002: 65). Jika dilihat dari sisi historis,

pada saat itu mereka menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir,

yaitu bentuk fai‟il (subjek) dari imarah. Sa‟ad bin Abi Waqqash pun mendapat

gelar sebagai amirul mu‟minin karena ia sebagai pemimpin tentara Islam

dalamsuatu perperangan. Hal tersebut bertepatan masanya ketika sebagian sahabat

memanggil Umar bin Khattab dengan sebutan amirul mu‟minin, lantas orang-

orang menganggapnya baik dan benar. Kronologi detailnya, ada seorang kurir

yang membawa berita kemenangan kemudian masuk Madinah dan menanyakan

88

keberadaan khalifah Umar bin Khhattab, “Mana Amirul Mukminin?” dan

didengar oleh para sahabat. Mereka merespon dengan baik dan menganggapnya

benar, dan mengatakan, “Demi Allah kamu tepat sekali menyebut namanya,

sesungguhnya dia benar-benar Amirul Mukminin”. Semenjak itu mereka

memanggil Umar bin Khattab dengan gelar tersebut dan gelar tesebut menyebar

luas dikalangan masyarakat serta diwarisi oleh khalifah-khalifah setelahnya (Rais,

2001: 82).

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat dijadikan jalan untuk

mengetahui muatan sinonim keimamahan dan kekhilafahan. Karena, para ulama

banyak yang menyinonimkan kata khilafah dengan imamah. Dari ketiga gelar

itulah yang diberikan kepada kepala pemerintahan Islam. Semuanya menunjuk

pada orang yang sama dan mengindikasikan pada makna yang sama pula, serta

menunjukkan pada orang yang duduk dijabatan yang sama. Oleh karena itu

penulisan sekarang boleh menggunakan istilah “Khilafah, Imamah Uzmma ,dan

Imaratul Mukminin tiga kata yang menunjukkan satu makna (2001: 82).

Meskipun, pada prakteknya istilah ini digunakan oleh dua sekte atau kelompok

Islam yang bersebrangan, yaitu Sunni dan Syiah. Konsep pemahaman tentang

khilafah menurut Sunni dan imamah menurut Syiah pun berbeda pula.

Istilah Imamah muncul dan dikenal dikalangan luas disebabkan oleh kaum

Syiahlah yang pertama kali mengkaji tentang ilmu ini, mereka pula yang

merumuskannya dan memilih istilah ini. Syiah mengkhususkan Ali bin Abi Thalib

dengan gelar imam dengan alasan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak

memimpin shalat dari pada Abu Bakar. Rais menukil pendapat At-Taftazani

bahwa Syiah beropini bahwa keimamah itu lebih spesifik dari pada khilafah.

89

Makna imam bagi mereka hanya berlaku untuk orang yang mempunyai hak legal

yang padaan dengan istilah de jure dalam konteks undang-undang modern.

Adapun khalifah menunjuk pada pemangku jabatan sebenarnya dan bisa saja

orang yang bukan berhak dengan istilah kekiniannya adalah de facto. Jika

seseorang yang tidak mempunyai hak tetapi menjabat khalifah tidak dapat

bergelar imam. Namun, jika seorang khalifah yang menjabat pada realitasnya

mempunyai hak, khalifah tersebut sederajat dengan imam. Oleh karena itu Syiah

menamakan pemimpin yang tidak mereka akui dengan khalifah (2001: 83).

Pengertian Imamah menurut Syiah sendiri sangat berbeda dengan

pengertian Imamah dalam prespektif Sunni seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya. Kaum Syiah berpendapat bahwa Imamah tidak hanya merupakan

suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan tuhan, suatu kepercayaan yang

dianggap sebagai penegas keimanan. Aspek kemutlakan konsep tersebut

didasarkan pada asumsi bahwa syariat takkan berjalan tanpa adanya kekuasaan

mutlak yang berfungsi menafsirkan pengertian yang benar dan murni pada syariat.

Orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagi pelindung dan penafsir

hukum Tuhan hanyalah perantara supra-manusia yang diberi pentunjuk oleh Allah

yang menciptakan hukum tersebut. Jadi kaum Syiah dalam teori imamahnya

mejelaskan ketetuan imam itu dipilih oleh Allah SWT, dan bukan dipilih oleh

umat. Perilaku Allah disebut dengan lutf yang berarti rahmat, sedangkan urutan-

urutan imam itu disebut imamah. Berdasarkan penafsirannnya terhadap perilaku

tuhan tersebut, Syiah mengklaim bahwa Muhammad SAW, atas perintah Allah

menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam yang pertama, kemudian Ali

menunjuk penerusnya imam yang keduabelas (Jidan, 1994: 8).

90

1. Hukum Menegakkan Khilafah Islamiyyah

Terdapat beberapa pandangan dari para ahli mengenai tingkatan hukum

dalam penegakkan Khilafah Islamiyyah, diantaranya terdapat madzhab al-wujub,

madzhab al-jawwaz, dan mazhab syi‟ah.

Barometer yang menjadi batasan makna wajib dan jaiz adalah istilah

dalam fiqh. Para ulama fiqh memandang bahwa perbuatan manusia akan jatuh

pada tingkatan wajib, sunnah, mubah/ jaiz, makruh, dan haram. Pada hakikatnya

perbedaan itu perbedaan seputar tanggung jawab hukum ataupun moral umat

Islam dalam hal yang berhubungan dengan ditegakkannya Khilafah Islamiyyah

(Rais, 2001: 93). Jadi bukan pemahaman yang mengira pendapat hukum jaiznya

khilafah merupakan hal yang tidak penting bahkan tidak harus sama sekali. Dalam

pendangan mereka pada dasarnya khilafah tidak dibutuhkan baik secara praktis

maupun operasional.

a. Madzhab Al-Wujub

Golongan ini memandang bahwa hukum menegakkan Khilafah

Islamiyyah adalah wajib. Eksistensi pemerintahan sangat penting sehingga

menegakkan hukum (red: Islam) adalah suatu kewajiban bagi masyarakat

dalam komunitasnya. Mayoritas umat Islam meyakini bahwa menegakkan

kekhilafan yang legal dan benar merupakan salah satu kewajiban agama yang

fundamental, bahkan menjadi kewajiban termulia yang menjadi landasan

pelaksanaan seluruh kewajiban agama.

Mengenai kewajiban pengangkatan khalifah Al-Mawardi (2000: 15)

menjelaskan bahwa hukumnya wajib. Akan tetapi dasar kewajiban itu masih

diperselisihkan, berdasarkan rasio atau syariah. Sebagian ulama berpendapat

91

hal itu wajib berdasarkan rasio karena rasio manusia mempunyai

kecenderungan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada seorang pemimpin

yang dapat menghalangi terjadinya kezaliman dan menuntaskan berbagai

perselisihan dan permusuhan. Seandainya tidak ada pemimpin dan

pemerintahan, manusia akan hidup dalam ketidakteraturan tanpa hukum.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hal itu wajib berdasarkan

syariat, bukan rasio, karena kepala negara menjalankan tugas-tugas agama

yang bisa saja rasio tidak dapat menjangkaunya.

Keharusan untuk menegakkan kekhilafahan merupakan pendapat semua

pengikut Ahlus Sunnah, begitu juga kelompok minoritas seperti Murji‟ah,

Mu‟tazilah serta Khawarij. Pendapat ini dianggap mewakili Islam dan tidak

ada yang menyimpang dari pendapat utama tersebut. Bahkan pendapat Syi‟ah

secara umum pun termasuk dalam kategori mewajibkannya, tetapi mereka

memiliki makna khusus dalam memaknai wajibnya (Rais, 2001: 91, 2001:

124).

Al-Mawardi (2000: 16) dan para ulama pada umumnya menjelaskan

bahwa hukum menegakan khilafah adalah fardhu khifayah, seperti berjihad

dan mencari ilmu pengetahuan. Hal ini berarti tidak semua muslim wajib

untuk berupaya menegakkan kekhilafahan, cukup diwakili oleh beberapa

Muslim untuk menggugurkan kewajiban tersebut. Tetapi jika belum ada yang

menegakkannya maka seluruh Muslim berkewajiban menegakkannya sampai

persoalan khilafah ini ditegaskan oleh ahlinya (2001: 92). Sebagian lainnya

berpendapat, orang yang terkena dosa karena belum terbentuknya khilafah

terdapat dua golongan. Pertama, para Ahlu Ar-Ra‟yi (semacam badan

92

pemilihan pemimpin) sampai mereka mampu memilih khilafah. Kedua,

orang-orang yang memenuhi persyaratan dan kriteria sebagai khilafah

sehingga salah satu dari mereka dipilih menjadi khilafah. Kemudian Sa‟id

Hawwa menganalisis bahwa dosa atas belum terwujudnya khilafah dipikul

oleh seluruh umat Muslim, karena hal tersebut perintah Allah maka sudah

menjadi kewajiban bagi mereka untuk menegakkannya (Hawwa, 2002: 65).

b. Madzhab Al-Jawwaz

Golongan ini mengatakan bahwa khilafah adalah jaiz “boleh” bukan

wajib, berarti hukumnya adalah seperti hukum segala sesuatu atau perbuatan

yang mubah, yang tidak ada nash qath‟i dari syar‟i yang mewajibkannya,

dan manusia diberi hak memilih untuk melakukan atau meninggalkannya.

Jika ditinggalkan tidak akan mengakibatkan tanggung jawab yang signifikan,

baik individu maupun kelompok tidak akan berdosa jika meninggalkannya.

Akan tetapi, individu maupun kelompok dituntut untuk mengkaji

permasalahannya sesuai kondisi dan kebutuhan dari segi ilmiah. Karena

merealisasikan perbuatan itu bisa menjadi keharusan yang harus diperhatikan.

Namun, terjadi kelailaian dalam perealisasian, akan terjadi dharar

(kekacauan) tanpa harus disertai tanggung jawab secara hukum maupun etika.

Contoh konkret perbuatan mubah yang menjadi kewajiban adalah makan dan

minum yang menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Maka hal tersebut

menunjukan bahwa hal yang bersifat jaiz dalam agama bukan berarti tidak

penting atau tidak harus direalisasikan (Rais, 2001: 93).

Golongan yang berpendapat penegakan khilafah bersifat jaiz adalah

mereka golongan minoritas yaitu, Mahkamah Ula> dan An-Najda>t yang

93

merupakan sekte Khawarij. Mahkamah Ula> adalah perintis Khawarij ketika

mereka memisahkan diri dari Khalifah Ali bin Abi Thalib, sedangkan An-

Najda>t adalah pengikut Najdah yaitu Athiyah bin Amir Al-Hanafi. Selain itu

juga terdapat golongan minoritas dari Mu‟tazilah yang dipelopori oleh Abu

Bakar Al-Ashamm, Hisyam bin Amr Al-Fu>thi berserta muridnya Ubad Bin

Sulaiman (2001: 104).

Abu Bakar Al-Ashamm berasumsi bahwa jika manusia tidak saling

menganiaya maka tidak memerlukan seorang imam. Sedangkan Hisyam bin

Amr Al-Fu>thi berpendapat jika umat bersatu di atas kebenaran maka pada

saat itu membutuhkan imam, adapun ketika umat berbuat keji dan membunuh

imam maka tidak wajib mengadakan imam. Artinya Hisyam bin Amr Al-

Fu>thi membolehkan khilafah pada saat kondisi kacau dan perselisihan,

sedangkan dalam kondisi aman dan kedamaian maka wajib berdirinya

Khilafah karena adanya manusia yang bersatu padanya. Berbeda halnya

dengan Ubad Bin Sulaiman, ia mengatakan bahwa tidak boleh ada imam

setelah Ali binAbi Thalib ia beralasan bahwa umat telah sepakat pada masa

Khulafa>u’r-ra>syidi>n diperbolehkan adanya imam namun setelah kekhalifahan

Ali bin Abi Thalib umat Islam berselisih, apakah boleh ada imam maupun

tidak.

Golongan An-Najda>t mengatakan imamah tidak wajib dalam agama,

jika umat dalam kondisi aman tidak memerlukan imam, manusia tidak perlu

menfardhukan imamah, namun wajib bagi mereka untuk menyebarkan

kebenaran. Namun, jika mereka membutuhkan pemimpin yang menjaga

perbatasan wilayah Islam dan mempersatukan umat, mereka membuat

94

kedudukan pemimpin tersebut lebih tinggi di atas mereka dengan syarat

dalam muamalahnya pemimpin itu harus adil dan bijaksana (2001: 105).

Pemahaman madzhab ini mendapat tanggapan dari Ibnu Khaldun, ia

menjelaskan bahwa mereka berpendapat seperti itu karena mereka berupaya

untuk melepaskan diri dari kekuasaan, dan karakternya yang cenderung

merebut, menguasai, dan menginginkan kenikmataan duniawi. Pendapat

madzhab ini tidak lebih sekedar hipotesis, yang dalam praktek dan realitanya

identik dengan kemustahilan, karena setiap individu tidak akan mungkin

sama dalam menegakan keadilan dan merealisasikan hukum Islam. Maka

pada akhirnya jelaslah bahwa terjadinya perbedaan madzhab merupakan

perbedaan yang sifatnya teoritis, sehingga dapat dikatakan pada dasarnya

seluruh madzhab Islam bersepakat untuk wajib merealisasikan Khilafah

Islamiyyah (Khaldun, 2012: 340. Rais, 2001: 125).

c. Madzhab Syiah

Syiah juga berpendapat tentang wajibnya imamah. Namun, mereka

memiliki pemahaman sendiri terhadap konotasi wajib, yaitu mereka

memandang wajibnya imamah ini bukan untuk umat melainkan imamah

wajib bagi Allah. Rais (2001: 115) menjelaskan pemahaman tersebut

merupakan pecahan teori yang bersumber dari teori Muktakzilah. Itu terjadi

karena mereka berpendapat bahwa fi‟lu as-shalah (melakukan yang baik)

wajib bagi Allah, serta berbuat adil dan memelihara hikmah wajib bagi-Nya.

Hal tersebut merupakan ide filosofi yang kembali pada prinsip merekayang

berpegang pada hukum aqli, dan bahwa akal lah yang dapat mengetahui baik

dan buruk, serta kebaikan dan keburukan. Hukum aqli ini selamanya bersifat

95

umum dan tidak akan melepas objek cakupannya, sekalipun objek tersebut

adalah perbuatan Allah SWT, maka wajib tidak terpisah dari hukum Allah.

Ketika banyak dari kalangan Syiah memeluk mazhab Muktazilah, pada saat

itu juga banyak kalangan Muktazilah menjadi orang Syiah. Perkembangan

tersebut telah terjadi sejak abad ke-3 karena adanya pembataian Khilafah

Abbasiyah terhadap mereka, atau karena mereka memberontak terhadap

khilafah. Dengan demikian telah terjadi perkawinan antara kedua mazhab

tersebut, dan Syiah telah menyadur pemahaman Mu‟tazilah. Mereka bertahan

dengan menggunakan mantiq mereka sendiri yang mereka jadikan sebagai

dalil bagi madzhab mereka (2001: 116).

Kelompok Syiah bahkan berpendapat dan berkeyakinan bahwa hukum

keimamahan bukan hanya wajib, bahkan merupakan salah satu fondasi

keimanan, fondasi syariat, dan sendi agama. Mereka berpendapat imamah

merupakan unsur terpenting dalam beragama Islam, sebagaimana beriman

kepada Allah, Rasul-Nya dan kitab-Nya. Hal tersebut dapat disimpulkan

dalam aqidah Syi‟ah, imamah termasuk dalam rukun iman dalam agama

Islam (2001: 126).

Terlepas dari berbagai perbedaan madzhab tersebut, pada dasarnya

manusia diberi amanah oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.

Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk memilih seorang

pemimpin untuk mereka. Maka demi menjaga kepentingan syariah dan umat

Islam, seharusnya masalah khilafah ini harus benar-benar diperhatikan oleh umat

Islam sendiri. Karena pemimpin non-muslim tidak akan pernah bisa menjamin

keberlangsungan hukum Islam itu sendiri.

96

2. Kriteria Khalifah

Tidak semua orang layak untuk menjadi seorang imam atau khalifah.

Karena hal tersebut merupakan jabatan dengan amanah yang sangat besar.

Seorang khilafah harus memiliki syarat dan kriteria tertentu yang dianggap

mampu mengemban tugas sebagai pemimpin.

Said Hawwa (2002: 71) menjelaskan khalifah harus memiliki syarat dan

kriteria-kriteria tertentu yaitu; pertama, harus beragama Islam karena tugas

utamanya menegakan syariat Islam sehingga tidak pantas jika diserahkan pada

non Muslim. Kedua, laki-laki karena kodrat seorang wanita berbeda dengan laki-

laki. Ketiga, seorang khalifah harus sudah akil dan baligh. Keempat, seorang

khalifah harus berilmu terutama pengetahuan tentang keislaman. Kelima, seorang

khalifah harus bersifat adil karena khalifah merupakan kedudukan yang tinggi

sehingga memerlukan sifat keadilan dalam menghadapi berbagai perkara-perkara

umat. Keenam, cukup mampu karena seorang imam haruslah mampu memimpin

manusia dan menggerakannya serta mampu mengendalikan managemen dan

politik. Ketujuh, seorang khalifah tidak boleh cacat mental, serta indera seperti

buta, tuli, dan lainnya sebagainya. Kedelapan, jumhur ulama mensyaratkan

seorang imam harus berasal dari orang Quraisy namun syarat ini masih

diperselisihkan oleh para ulama.

Ibnu Khaldun (2012: 342) juga menetukan kriteria-kriteria seseorang yang

dapat menduduki jabatan khalifah. Pertama, berilmu pengetahuan sebab khalifah

bertanggung jawab menerapkan hukum-hukum Islam, menurut Ibnu Khaldun

orang yang berilmu sudah mencapai tingkatan mujtahid. Kedua, memiliki sifat

adil. Ketiga, berkompetensi untuk mengemban amanah sebagai khalifah.

97

Keempat, sehat jasmani dan rohani. Keempat syarat tersebut berpengaruh pada

pengambilan keputusan dan pelaksaan tugas serta kewajiban. Kelima, memiliki

garis keturunan dari suku Quraisy.

Adapun menurut Al-Mawardi (2000: 17), orang yang berhak dicalonkan

sebagai kepala negara harus memenuhi tujuh syarat. Pertama, keseimbangan (al-

„adalah) yang memenuhi semua kriteria. Kedua, memiliki ilmu pengetahuan yang

memadai untuk ijtihad untuk berbagai kejadian yang ada dan untuk mebuat

kebijakan hukum. Ketiga, memiliki panca indera yang lengkap dan sehat, baik

dari penglihatan, pendengan, lidah dan sebagainya, sehingga inderanya dapat

merespon dengan benar dan tepat. Keempat, tidak ada kekurangan anggota

tubuhnya yang menghalangi untuk bergerak. Kelima, visi pemikirannya baik agar

dapat mewujudkan kemaslahatan rakyat. Keenam, mempunyai keberanian yang

memadai untuk melindungi rakyat dan memerangi musuh. Ketujuh, berasal dari

keturunan Quraisy.

Berbeda dengan ketiga tokoh teserbut, Hasan Al-Banna hanya

memberikan penjelasan kriteria khalifah secara umum tanpa menyebutkan nasab

Quraisy di dalamnya. Kriteria-kriteria tersebut adalah pertama, seorang khalifah

harus beragama Islam seperti perkatannya bahwa pemerintahan Islam adalah

pemerintahan yang anggotanya terdiri dari kaum muslim. Kedua, tidak melakukan

maksiat secara terang-terangan. Ketiga, konsisten menerapkan hukum serta ajaran

Islam. Keempat, mempunyai rasa tanggung jawab, rasa kasih sayang terhadap

rakyat dan adil. Kelima, tidak tamak terhadap kekayaan negara (Al-Banna, 2013:

304).

98

Kriteria dan syarat calon khalifah harus keturunan Quraisy masih

diperdebatkan oleh para ahli. Jumhur ulama mendasarkan syarat Quraisy ini

kepada kesepakatan para sahabat. Abu Bakar pada peristiwa Tsaqifah

mengemukakan alasan bahwa imam-imam itu dari kaum Quraisy kepada

golongan Anshar yang ingin membaiat Sa‟ad bin Ubaidah, maka adilah kalau

mereka menuntut imamah. Ketika itu orang-orang Anshor berkata “Dari kami ada

Amir dan dari kalian ada Amir”. Tetapi akhirnya mereka menerima dengan rela

ucapan Abu Bakar, “Kami Amir dan kalian wazir-wazirnya” (Hawwa, 2002: 76).

Namun, ketika kaum superioritas kaum Quraisy mulai melemah akibat

kemewahan hidup dan segala kenikmatannya membuat mereka tidak mampu

memegang kendali dan tugas kekhilafahan. Sehingga menjadi pertimbangan oleh

para ulama hingga mereka berpendapat bahwa memiliki garis keturunan Quraisy

tidak termasuk kriteria lagi (Khaldun, 2012: 344).

Berbeda dengan jumhur ulama, golongan Khawarij dan Mu‟tazilah tidak

mensyaratkan seorang imam harus Quraisy. Orang yang berhak memangku

jabatan khalifah ini adalah orang yang mampu menegakkan hukum Islam, tidak

peduli apakah seorang Arab maupun bukan Arab (Hawwa, 2002: 77).

Ibnu Khaldun memberikan penjelasan mengenai hikmah dengan

disyaratkannya sorang khalifah harus bernasab Quraisy, yaitu agar khalifah yang

diangkat berusaha menjaga kesatuan umat dan kesatuan pendapat umat agar

terhindar dari perselisihan dan tetap menaati khalifah. Hal tersebut disebabkan

karena suku Quraisy merupakan suku yang terhormat dengan jumlah anggota

yang memiliki anggota dan fanatisme yang banyak, dengan begitu seluruh suku

99

bangsa Arab mengakui kemuliaan, kewibawaan, dan menyegani khalifah. Dengan

demikian mudahlah tercapai suatu kesatuan dan persatuan (Khaldun, 2012: 346).

Berdasarkan pemikiran Ibnu Khaldun tersebut dapat diambil kesimpulan

bahwa pencantuman kaum Quraisy sebagai syarat kekhalifahan, karena dipandang

sebagai kaum terkuat dan termayoritas. Haknya mendapat jabatan kekhalifahan

akan hilang dengan hilangnya keotoritasan dan kemayoritasannya. Sehingga

Sai‟id Hawwa (2002: 78) menafsirkan syarat Quraisy itu sebagai kaum terkuat

dan mayoritas. Ia juga menjelaskan pendapat mayoritas ulama yang menetukan

Quraisy sebagai syarat kekhalifahan memperbolehkan mengangkat khalifah yang

bukan nasab Quraisy dengan alasan darurat.

Jika dilihat dari sisi historis, seorang khalifah harus bernasab Quraisy

karena pada saat itu suku Quraisy merupakan suku terkuat dan terhormat di

kalangan bangsa Arab. Namun, untuk saat ini mungkin seorang khalifah tidak

diwajibkan harus memiliki nasab Quraisy karena umat Islam pada saat ini sudah

mendunia dan keagungan suku Quraisy hanya berlaku untuk kalangan bangsa

Arab sendiri saat itu.

3. Pemilihan dan Pengangkatan Khalifah

Khalifah dipilih oleh kaum Muslimin. Seorang khalifah atau imam tidak

boleh memaksa kaum Muslimin untuk memilihnya menjadi seorang khalifah.

Jabatan ini harus atas dasar kerelaan kaum Muslimin dengan pemilihan langsung

maupun perwakilan. Sebab, kerelaan dalam masalah ini adalah Hak seluruh kaum

Muslim.

Memilih imam bagi kaum Muslim merupakan urusan yang paling utama.

Oleh karena itu jika pengangkatan imam tanpa menyertakan pendapat umat Islam

100

dipandang tidak sah. Selain itu, seseorang tidak boleh mencalonkan diri untuk

menduduki jabatan tersebut. Sehingga, dalam pemerintahan Islam umat Muslim

lah yang memilih dan mencalonkan seseorang yang mereka hendaki untuk

dijadikan imam. Sistem ini berlaku pada pemilihan empat khalifah yaitu

Khulafa>u’r-ra>syidi>n (Hawwa, 2002:49).

Jika seorang khalifah dipilih dan kemudian dibaiat, berarti seluruh kaum

Muslimin menyetujui kekhalifahannya. Jabatan ini akan terus disandang seumur

hidup, kecuali jika tidak mampu menjalankan tugas-tugas kekhilafahannya atau

menyeleweng dari aturan Islam. Setiap pembangkang dan pemeberontak terhadap

kekhilafahan yang sah maka dipandang sebagai perbuatan yang sesat dan fasik.

Pemberontak disebut dengan istilah bughat atau khawarij. Selain itu seorang

pemimpin boleh meminta kepada rakyat untuk membatalkan baiat jika ia

menghendaki dan melihat ketidaksukaan seseorang terhadap pengangkatan

dirinya, atau jika ia ingin mendapat kepastian kepercayaan seseorang, atau ingin

mengundurkan diri (2002: 52).

Al-Mawardi (2000: 19) menjelaskan bahwa sahnya pengangkatan kepala

khalifah melalui dua cara yaitu dengan dipilih oleh kalangan Ahlu Al-Hilli wa

Aqdi (instituisi yang bertugas memilih calon khilafah) dan dengan penyerahan

mandat dari khalifah sebelumnya. Selain itu Said Hawwa (2002: 78)

menambahkan, pengangkatan resmi menuju pengangkatan khalifah selain melalui

pemilihan Ahlu Al-Hilli wa Aqdi juga harus disertai dengan kesediaan calon

khalifah untuk menduduki jabatan tersebut.

Mengenai pengangkatan kepala negara, Al-Mawardi (2000: 23)

menyatakan tidak boleh mengangkat dua pemimpin dalam satu negara Islam. Jika

101

dua kepala negara diangkat dari satu negara Islam maka kepemimpinan keduanya

tidak sah. Jabatan kepala negara tersebut menurutnya akan jatuh kepada orang

yang paling dahulu dibaiat. Akan tetapi jika akad keduanya terjadi dalam waktu

yang bersamaan akad tersebut batal dan harus dilakukan akad baru.

Dalam pemilihan khalifah terdapat tiga tahap yang harus dilalui,

diantaranya adalah:

a. Tahap pencalonan khalifah

Berhubungan dengan tahap pencalonan khalifah yang baru, khalifah

terdahulu atau salah satu dari Ahlu Ar-Ra‟yi atau sering disebut Ahlu Al-Hilli

wa Aqdi oleh Al-Mawardi mencalonkan khilafah yang layak mengemban

amanah sebagai seorang khilafah atau pemilihan umum umat dan aspirasi

umat (Rais, 2001: 128,176). Seperti halnya para sahabat yang berkumpul

pada hari Tsaqifah, pencalonam Abu Bakar kepada Umar bin Khattab dan

Abu Ubaidah. Kemudian pencalonan Umar bin Khattab kepada Abu Bakar,

setelah keduanya menolak dicanlonkan oleh Abu Bakar. Demikian pula

pencalonan Umar oleh Abu Bakar sebagai gantinya ketika ia menjelang wafat

dan pencalonan enam orang setelah Umar bin Khattab ditikam (Hawwa,

2002: 90).

b. Tahap pemilihan dan penerimaan calon khilafah

Pada tahab ini, Majelis Syura memainkan peranan penting untuk

menentukan pilihan umat tentang orang yang dipandang paling tepat untuk

diterima sebagai khalifah. jika calon yang diajukan lebih dari satu maka

anggota Majelis Syura memilih seseorang saja dari mereka. Namun, jika

hanya ada satu calon khalifah maka tugas Majelis Syura membuat keputusan

102

persetujuan atau penolakan. Misalkan, pemilihan Abdurrahman bin Auf

kepada Ustman bin Affan yang disusul dengan persetujuan seluruh umat

Islam (2002: 91).

Sepatutnya anggota Majelis Syura tidak memilih seseorang yang

menuntut jabatan khalifah atau yang berambisi untuk menjadi pemimpin.

Karena berambisi dalam suatu jabatan dalam Islam merupakan sesuatu yang

tidak disukai. Karena orang yang menginginkan jabatan hanya untuk

dijadikan kebanggaan yang akan menimbulkan kerusakan. Maka dari itu

lebih baik jika orang yang mempunyai ambisi terhadap jabatan khalifah,

permohonan atas jabatan tersebut harus ditolak. Sebab, pada hakikatnya orang

seperti itu lemah dan tidak akan mampu mengamban kewajiban dalam

amanahnya (2002: 93).

c. Tahap pembaiatan

Tahap ini merupakan realisasi dan pembuktian dari tahap sebelumnya.

Pada tahap pembaiatan harus beriringan setelah tahab pemilihan dan

penerimaan calon khalifah. Baiat merupakan tradisi Islam yang dicontohkan

langsung oleh Muhammad Rasulullah. Baiat pertama kali yang dilakukan

oleh kaum Islam adalah baiat aqobah, ketika itu sekitar 70 orang Anshor

berbaiat kepada Muhammad SAW di Mekah (2002: 93).

Ibnu Taimiyah mendiskripsikan pengertian Baiat adalah ikrar atau

sumpah setia yang mempertalikan pemimipin dan masyarakat. Ia menjelaskan

baiat indentik dengan sebuah perjanjian. Sebagaimana layaknya sebuah

perjanjian maka melibatkan kedua belah pihak, disatu sisi pihak pemimpin

dan masyarakat, disisi lain tidak hanya para ulama yang berperan peting

103

dalam proses konsultasi sebelum baiat, akan tetapi semua pihak yang

berpengetahuan, berbakat, berpengaruh, dan mempunyai kekuasaan juga turut

terlibat dalam proses itu (Jidan, 1994: 82).

Jika baiat sudah berlangsung seolah-olah seseorang atau masyarakat

mengadakan kontrak dengan pemimpinnya dengan menyerahkan semua

urusannya beserta urusan umat kepadanya. Tanpa ada keinginan sedikitpun

untuk merebut kekusaan tersebut dan senantiasa taat terhadap semua perintah

pemimimpin baik yang disenangi maupun yang menyusahkan. Ibnu Khaldun

menyerupakan aktivitas baiat dengan aktivitas jual beli, ia berkata, “Dahulu,

jika mereka membaiat seseorang pemimpin dan mengadakan perjanjian

kepadanya, mereka meletakan tangan-tangan mereka (berjabat tangan) yang

memperkuat ikrar tersebut. Maka ikrar ini dinamakan bai‟ah bentuk infinitif

dari ba‟a dan bai‟ah dapat diartikan sebagai jabat tangan (Khaldun, 2012:

372. Rais, 2001: 168).

Arti penting dalam baiat khalifah adalah akan mematuhi hukum Islam,

menegakkan kebenaran dan keadilan dari pihak pemimpin. Akan mematuhi

ketentuan yang yang bait dari Majelis Syura. Pembaiatan akan sempurna jika

dilakukan oleh seluruh mayoritas anggota Majelis Syura yang mewakili restu

seluruh umat manusia. Jika pembaiatan telah dilakukan secara sempurna

maka khilafah telah berdiri secara resmi. Setelah terjadi pembaiatan bagi

pemipin wajib menegakan syariat Islam, sedangkan para anggota Majelis

Syura dan seluruh umat harus mematuhi pemimpin dan berkomitmen atas

baiat yang mereka lakukan.

104

Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang

menunjukan bahwa restu masyarakat yang terungkap dalam baiat menjadi

dasar dalam keabsahan pemerintahan Islam. Karena baiat merupakan hal

yang urgen, maka pelaksaannya harus menjamin kebebasan berpendapat dan

kemungkinan adanya pihak oposisi. Ia juga mengaitkan keabsahan

pemerintah dengan faktor kekuasaan tanpa mengabaikan tujuan-tujuan

pemerintahan. Menurutnya negara maupun khilafah tidak dibentuk oleh pada

ulama, namun ditegakkan oleh kerjasama masyarakat karena kekuasaan

politik tidak dapat tegak tanpa didukung kekuatan fisik. Jadi meskipun

dianggap penting isi baiat tidak cukup untuk mendukung tegaknya lembaga

khilafah, hanya saja baiat sebagai dasar bagi keabsahan penggunaan kekuatan

fisik (Jidan, 1994: 84).

Pemilihan dan pengangkatan khalifah ini nampaknya secara umum mirip

seperti pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi Barat. Akan tetapi, jika

dikaji secara mendalam keduanya berbeda. Karena dalam sistem demokrasi

seseorang yang ambisi pada jabatan diperbolehkan untuk mengajukan diri sebagai

calon pemimpin akan tetapi hal tersebut tidak dilarang dalam hukum Islam.

Seseorang calon khalifah dilarang untuk meminta atau ambisi terhadap jabatan

karena serorang calon khalifah harus dipilih oleh Ahlu Al-Hilli wa Aqdi ataupun

ditunjuk oleh khalifah sebelumnya. Selain itu, dalam demokrasi biasanya kandidat

pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, adapun dalam pengangkatan khalifah

dipilih oleh anggota Majelis Syura yang mewakili umat.

105

B. Khilafah dalam Pandangan Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna merupakan tokoh reformis muslim fenomenal pada abad

ke 20 M. Ia sebenarnya bukanlah seorang pemikir yang menghasilkan gagasan-

gagasan keislamannya melalui konsep teoritis, akan tetapi ia

mengimplementasikan pemikirannya dalam bentuk tindakan dan gerakan.

Gerakannya, Ikhwanul Muslimin telah sukses mendunia sebagai bentuk

presentasi dari hasil pemikirannya. Pandangan Hasan Al-Banna mengenai Islam

yang holistik dan universal, menjadikan Islam sebagai ideologi dalam prinsip

hidupnya dan ideologi dalam gerakannya Ikhwanul Muslimin.

Memang, di era sekarang ini Hasan Al-Banna tidak begitu dikenal sebagai

tokoh Islam yang selalu memproklamirkan sistem khilafah dalam dakwahnya

sepertinya halnya Taqiyyudin An-Nabhani yang sangat dikenal sebagai tokoh

pelopor khilafah melalui gerakannya Hizbut Tahrir. Akan tetapi jika ditinjau dari

sisi historis, Hasan Al-Banna melalui gerakannya Ikhwanul Muslimin lah yang

telah mengawali dan merintis konsep kekhilafahan setelah runtuhnya Khilafah

Turki Utsmani pada tahun 1918 M.

Pemikiran Hasan Al-Banna mengenai Khilafah Islamiyyah, tertulis dalam

risalahnya Mu’tamar Kha>mis pada bab Minhajul Ikhwanul Muslimim dengan

judul Ikhwanul Muslimin wa Khilafah. Dalam risalah tersebut Hasan Al-Banna

mengunggkapkan sikap Ikhwanul Muslimin terhadap khilafah dan hal-hal yang

berkaitan. Ia berkata:

106

Wa baya>nu dzalika anna Al-Ikhwa>na ya’taqidu>na anna Al-Khilafata ramzul-wahdatil-Islamiyyah, wa mazhharul-irtiba>thi baina umamil-Islam. Wa innaha> sya’iratun islamiyyatun yajibu ‘alal-muslimi>na’t-tafakkuru fi> amriha> wal-ihtima>mu bisya„niha>. Wa Al-Khali>fatu mana>thun katsi>run minal-achka>mi fi> di>ni’l-La>hi, wa lihadza> qaddama’s-shachabatu ridhwa>na’l-La>hi ‘alaihim A’n-nazhara fi> sya„niha> ‘alal-nazhari fi> tajhi>zi’n-Nabiyyi wa dafnihi, chatta> faraghu> ila> tilkal-muhimmati wa ithma„annu> ila> inja>ziha>.

“Sebagai penjelasan Ikhwanul Muslimin berkeyakinan bahwa khilafah

adalah lambang kesatuan Islam dan bukti adanya keterikatan antar

bangsa muslim. Ia merupakan identitas Islam yang wajib dipikirkan dan

diperhatikan oleh kaum muslimin. Khalifah adalah tempat rujukan bagi

pemberlakuan sebagian besar hukum agama Allah. Oleh karena itu, para

sahabat lebih mendahulukan penangannnya dari pada mengurus dan

memakamkan jenazah Nabi SAW sampai mereka benar-benar

menyelesaikan tugas tersebut (memilih khalifah)”(Al-Banna, 2013: 259).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui khilafah dalam pandangan

Hasan Al-Banna merupakan simbol persatuan umat Islam antar bangsa dan

negara-negara Islam di berbagai belahan bumi. Sehingga, khilafah wajib

dipikirkan dan dikembalikan oleh umat Islam seluruh dunia, dengan tegaknya

Khilafah Islamiyyah di muka, maka secara otomatis hukum Islam dapat terlaksana

secara maksimal. Akan tetapi, dalam upaya menegakkan khilafah tersebut

memerlukan perjuangan yang panjang dan persiapan yang matang.

Hasan Al-Banna menegaskan, khilafah menjadi tumpuan hukum-hukum

Islam. Ia mengikuti mayoritas ulama bahwa menunjuk atau memilih seorang

imam merupakan kewajiban dan menerangkan hukum keimamahan atau

kekhilafahan tidak memberi ruang bagi keraguan bahwa diantara kewajiban kaum

muslimin adalah memperhatikan dengan berfikir serius dalam urusan khilafah

sejak dikaburkannya tentang kewajiban Khilafah Islamiyyah (Ishaq, 2012: 84).

107

Berdasarkan hal itu, Ikhwanul Muslimin menjadikan penting pemikiran

tentang khilafah dan bekerja keras untuk mengembalikan eksistensinya pada

posisi puncak. Sehingga, upaya untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah

oleh Ikhwanul Muslimin menjadi agenda utama dalam gerakannya. Mereka

meyakini telah melakukan berbagai persiapan yang banyak dan menyeluruh.

Langkah-langkah awal, menurut Hasan Al-Banna yang harus ditempuh

dalam mengembalikan eksistensi khilafah harus didahului oleh: Pertama, harus

ada kerja sama yang sempurna antara bangsa-bangsa muslim dalam bidang

wawasan, sosial, dan ekonomi masyarakat. Setelah itu, membentuk persekutuan

dan koalisi, serta menyelenggarakan berbagai pertemuan. Seperti halnya

pertemuan yang membahas masalah palestina di London yang mengundang

berbagai utusan kerajaan-kerajaan Islam untuk menyerukan kembali hak-hak

bangsa Arab di Palestina. Terakhir, membentuk persekutuan bangsa-bangsa

Muslim yang akan membentuk kondisi yang solid. Jika hal ini dapat diwujudkan

secara sempurna maka akan dihasilkan sebuah kesepakatan untuk menunjuk

seorang imam untuk mengemban amanah dalam sistem Khilafah Islamiyyah (Al-

Banna, 2013: 261. Ishaq, 2012: 85).

Hasan Al-Banna berpendapat, sebelum terbentuknya Khilafah Islamiyyah

harus didahului dengan berdirinya pemerintahan Islam di negara-negara kaum

Muslim. Ketika semua umat memilih pemerintahan Islami untuk mengatur

mereka dengan syariat Islam, kemudian terjadi ikatan kuat antara pemerintah, dan

mematangkan negeri Islam Internasional. Hasan Al-Banna menyebutnya dengan

istilah al-kiya>nu’d-dauli> lil „ummatil-isla>miyyati yang

berarti ‚eksistensi negara untuk seluruh umat”.

108

Seperti yang tercantum dalam rukun amal pada riasalah A’t-ta’li >m.

Dimulai dari perbaikan pribadi, pembentukan keluarga muslim, membentuk

masyarakat muslim, membebaskan negeri dari kekuasaan asing, memperbaiki

pemerintah dengan menjadi pemerintahan Islam, kemudian mengembalikan

eksistensi negara bagi seluruh umat dengan membebaskan negerinya dan

keagungannya, mendekatkan wawasannya dan menghimpun suaranya, sehingga

semua itu mampu mengembalikan khilafah yang hilang dan persatuan dalam

bingkaian Khilafah Islamiyyah (Ishaq, 2012: 84).

Pesan singkat Hasan Al-Banna dalam ‚Risalah Ikhwan di Bawah Bendera

Al-Qur’an‛ menegaskan keinginan terbentuknya ‚Pribadi Muslim, Rumah

Tangga Muslim, Masyarakat Muslim, Pemerintahan Muslim‛. Dengan

terbentuknya pemerintahan Islam dapat menghimpun kaum muslimin dan

mengembalikan tanah air atas kedudukan asing, sehingga dunia menjadi aman

dan damai sebagai wujud presentasi Islam sebagai rahmat seluruh alam (2012:

8\6). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode yang digunakan

Hasan Al-Banna dalam upaya menegakkan khilafah dengan menggunakan metode

Ishla>h yang berarti perbaikan atau reformasi. Ide perbaikan ini disandarkan pada

kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan semangat Islam karena Ikhwanul Muslimin

berpendapat bahwa satu-satunya jalan dalam mengadakan perbaikan adalah

kembali ke ajaran Islam dan menerapkannya secara konsekuen (Al-Banna, 2006:

406). Karena Hasan Al-Banna selalu menegaskan untuk mencapai tujuannya,

Ikhwanul Muslimin menentang cara revolusi dan kekerasan (Al-Banna, 2013:

235).

109

Abdul Mukti telah menganalisis pemikiran Hasan Al-Banna mengenai

sifat khilafah, ia mengatakan bahwa menurut Hasan Al-Banna khilafah bersifat

universal itu, dalam arti perserikatan antar negera Islam, dengan argumennya

bahwa tidak mungkin dapat menyatukan seluruh umat Islam di dunia dalam satu

kekhilafahan, dikarenakan perbedaan kultur, latar belakang wilayah, dan negara-

negara resmi yang telah merdeka. Sehingga konsep khilafah dalam pemikiran

Hasan Al-Banna, dikenal dengan istilah khilafah kolektif. Konsep khilafah

kolektif tersebut mewajibkan negara Islam satu dengan lainnya membentuk

kerjasama antar negara dalam rangka menciptakan Khilafah Islamiyyah yang

resmi dan bersifat Universal (Abdul Mukti, 2009: 92). Jika umat sudah berada di

bawah kekuasaan Khilafah Islammiyyah, maka Hasan Al-Banna mewajibkan

umat Islam harus bersatu di bawah kepemimpinan seorang khalifah atau imam

yaitu kepala negara negeri-negeri Islam dan mengharamkan khalifah tandingan

jika sudah ada Khilafah Islamiyyah yang sah (Ishaq, 2012: 86).

Dengan adanya konsep khilafah kolektif ini, menunjukan bahwa Hasan

Al-Banna juga memperhatikan konsep nasionalisme dan kekuasaan setiap negara-

negara Islam. Namun pandangan nasionalisme Hasan Al-Banna berbeda dengan

pandangan sekuler. Jika nasionalisme yang dimaksud adalah cinta tanah air,

membebaskan tanah air, dan memperkuat masyarakat menurut Hasan Al-Banna

sudah tertanam dalam fitrah manusia (Al-Banna, 2013: 31). Memang salah satu

faktor runtuhnya Khilafah Turki Ustmani merupakan paham nasionalisme yang

dipropagandakan Barat. Akan tetapi Hasan Al-Banna sendiri menolak

nasionalisme sekuler Barat tersebut.

110

Nasionalisme sekuler menurut Hasan Al-Banna adalah rasa cinta tanah air

yang dibatasi oleh batas-batas geografis dan teritorial negara. Seluruh perhatian

kaum nasionalis sekuler hanya tertuju pada kemerdekaan negaranya saja tanpa

memperhatiakan bangsa lain. Adapun nasionalisme yang benar menurut

pandangan Hasan Al-Banna adalah akidah (keyakinan) menjadi batas

nasionalismenya, baginya setiap jengkal tanah yang dihuni muslim juga

merupakan tanah air mereka. Dan tujuan nasionalisme bagi Hasan Al-Banna

adalah untuk mengemban amanah dengan membimbing manusia ke jalan Islam

dan mengibarkan bendera Islam di seluruh Penjuru dunia. Secara aplikatif jika ada

sebuah bangsa muslim ingin memperkuat kuat tanah airnya dengan cara

merugikan bangsa muslim lainnya, maka Hasan Al-Banna tidak membenarkan

rasa nasionalisme yang semacam itu (2013: 36).

Hasan Al-Banna telah menjelaskan dalam risalahnya Muktamar Khamis

bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan thariqat Sunniyah, sehingga pemahaman

Hasan Al-Banna mengenai khilafah tidak jauh berbeda pemahaman mazhab Sunni

(Al-Banna, 2013: 193). Seperti halnya golongan Sunni yang mewajibkan (madhab

al-wujub) penegakkan Khilafah Islamiyyah, Hasan Al-Banna juga berpendapat

bahwa hukum menegakkan Khilafah Islamiyyah merupakan kewajiban bahkan

menjadi agenda utama dalam gerakan dakwahnya, Ikhwanul Muslimin. Seperti

perkataannya dalam risalahnya: ,

Anna min wa>jibil-muslimi>na an yahtammu> bi’t-tafki>ri fi> amri khila>fatihim, yang

memiliki arti “di antara kewajiban kaum muslimin adalah serius memikirkan

masalah khilafah” (Al-Banna, 2013: 260).

111

Mengenai bentuk pemerintahan, Hasan Al-Banna fleksibel dan tidak kaku,

karena baginya tidak terlalu penting mengenai bentuk dan jenis pemerintahan

yang diambil, selama sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam sistem

pemerintahan Islam (Al-Banna, 2013: 260). Namun, harapannya adalah

menerapkan khilafah seperti saat masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafa>u’r-

ra>syidi>n.

Hal ini diperjelas lagi oleh Yusuf Qaradhawi sebagai tokoh Ikhwanul

Muslimin era sekarang, ia menegasakan “Khilafah Islamiyyah yang didirikan

pada zaman ini bisa dibentuk dari beberapa negara yang menerapkan syariah

Islam sesuai dengan kehendak penguasa dan rakyat negara-negara itu. Bentuknya

bisa federasi atau konfederasi. Tidak harus seperti khilafah zaman dulu.” Yusuf

Qaradhawi juga menyebutkan adanya negara besar seperti Cina yang jumlah

penduduknya mencapai 1.5 miliar jiwa. Sedangkan jumlah umat Islam seluruh

dunia mencapai 1.7 miliar. Oleh karena itu, umat Islam sebenarnya bisa

membentuk semacam union. Tapi hal itu menuntut adanya para pemimpin yang

adil, bisa melihat permasalahan dengan realistis, dan bekerja sama dengan

rakyatnya. Mereka itulah orang-orang yang bisa membangun uni negara Islam

tersebut (dakwatuna.com/31/05/2016).

Hasan Al-Banna sendiri juga telah memperhatikan tentang nasionalisme

dan kekuasaan negara-negara Islam dan provinsi juga diakui berdiri sendiri

olehnya sebagai khilafah kolektif. Konsep dari khilafah kolektif tersebut akan

bekerjasama membentuk Khilafah Islamiyyah sehingga bentuk kekhilafahan

dalam konsep Hasan Al-Banna adalah gabungan dari berbagai negeri-negeri Islam

seperti persatuan atau perserikatan bangsa-bangsa muslim (Anshori, 2008: 36).

112

Tindakan nyata yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna demi menegakkan Khilafah

Islamiyyah, ia membentuk tim formatur pada tahun 1941 M, untuk merumuskan

anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang pertama bagi Ikhwanul

Muslimin untuk menopang cita-cita Hasan Al-Banna menuju tegaknya khilafah.

Namun, sangat disayangkan Hasan Al-Banna sudah wafat pada tahun 1949 M,

sebelum merealisasikan cita-citanya tersebut (2008: 17).

Berdasarkan berbagai penjelasan yang dipaparkan sebelumnya, dapat

diketahui bagaimana habitus dalam diri Hasan Al-Banna yang mendasari doxa

(ideologi) dalam kehidupannya. Habitus (skema persepsi dan tindakan) seseorang

terbentuk melalui lingkungan dan perjalan waktu yang ditempuh sehingga

memepengaruhi matrik dari persepsi, apresiasi dan juga tindakan atau perilaku.

Lingkungan terdekat Hasan Al-Banna sangat mempengaruhi habitusnya. Kondisi

lingkungan yang terbentuk dalam keluarga Hasan Al-Banna adalah lingkungan

yang religius, tertutama pengaruh didikan dari ayahnya yang menekankan nila-

nilai Islam ditambah lagi pendidikan formal dari Madrasah Dinniyah hingga

kuliah di Darul-‘Ulum membentuk struktur kognitif dalam diri Hasan Al-Banna

sebagai bekalnya dalam memahami Islam secara subjektif.

Dogama-dogma Islam telah menjadi habitus dalam diri seorang Hasan Al-

Banna. Sehingga, persepsi yang terbentuk dalam diri Hasan Al-Banna akan

cenderung memandang bahwa syariat Islam merupakan hukum yang paling

sempurna dan menjadi solusi bagi kemaslahatan manusia di bumi ini, karena

hukum tersebut bukan berasal dari manusia melainkan dari tuhan Allah SWT.

Pandangannya tidak akan terlepas dari agama dan selalu mengait-ngaitkan

113

peristiwa apapun yang terjadi dengan agama. Begitu pula, apresiasi Hasan Al-

Banna tidak akan terlepas dari habitus yang ada, saat menghadapi masalah dalam

hidupnya, ia akan menjadikan Islam sebagai solusinya, ia akan senantiasa

berikhtiar dan bertawakal kepada Allah SWT jika berada pada batas kemampuan

manusia. Tindakan yang dilakukan Hasan Al-Banna pun akan selalu

diindikatorkan pada aturan agama (red: Islam). Ia akan selalu mempertimbangkan

perbuatan yang dilakukanya, apakah sesuai dengan aturan agama atau bahkan

melanggar agamanya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, pemahaman holistik tentang Islam terbentuk

dalam diri Hasan Al-Banna, ia tidak memberikan perbedaan antara urusan dunia

dan agama, ia menganggap bahwa islam itu menyeluruh. Keuniversalan Islam

tersebut menjadi doxa (ideolog) Hasan Al-Banna karena ia telah menerimanya

begitu saja menjadi kebenaran umum tanpa dipertanyakan lagi. Melalui habitus

(sekama persepsi dan tindakan) tersebut, menyarankan dalam benak Hasan Al-

Banna untuk memikirkan tentang konsep Khilafah sebagai representasi

keuniversalan Islam dan menggerakkan dalam dirinya untuk melakukan tindakan

sebagai upaya tegaknya Khilafah Islamiyyah.

1. Tahapan Ikhwanul Muslimin dalam Penegakan Khilafah

Upaya awal Hasan Al-Banna dalam menegakkan khilafah melalui ishla>h

(perbaikan). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam rukun baiat pada

bagian “Al-„Amal”, Hasan Al-Banna menetapkan tugas kepada anggota Ikhwanul

Muslimin untuk melakukan ishla>h, sehingga cita-cita menegakkan Khilafah

Islamiyyah dapat terealisasi. Adapun tahapan-tahapan amal yang harus dilakukan

114

oleh anggota Ikhwanu Muslimin dalam rangka melakukan ishla>h diantaranya

adalah:

a. Ishla>h A’n-Nafs

Tahapan pertama yang harus dilakukan anggota Ikhwanul Muslimin

adalah ishla>h a’n-nafs, yaitu dimulai dari meperbaiki diri pribadi sehingga

akan menjadi kuat fisiknya, berakhlak mulia, sopan, beraqidah lurus, dan

beribadah sesuai ajaran Nabi Muhammad. Juga selalu melakukan mujahadah

terhadap dirinya sendiri, selalu memperhatikan waktunya, teratur urusannya,

dan bermanfaat bagi orang lain.

b. Ishlah Al-Bait Al-Muslim

Tahapan yang kedua meningkat berawal dari pribadi kemudian

membentuk keluarga muslim. Upaya membentuk keluarga muslim yaitu

dengan mengkondisikan keluarga agar menghargai setiap pemikiran

(Ikhwanul Muslimin), memelihara etika Islam dalam setiap aktivitas

kehidupan rumah tangga, baik dalam memilih istri dan memposisikan istri

sesuai hak dan kewajibannya, baik dalam mendidik anak-anak serta

membimbing mereka dengan dasar-dasar Islam. Rumah tangga muslim harus

beranggotakan orang-orang yang berpegang teguh kepada penampilan Islami.

Seperti seorang wanita muslimah, hendaknya berpakaian rapi yang menutup

auratnya.

c. Ishla>h Al-Mujtama’

Tahap selanjutnya adalah membimbing masyarakat dengan menyerukan

kepada kebaikan dan memerangi berbagai perilaku maksiat dan

kemungkaran. Selalu menumbuhkan karakteristik Islam ditengah-tengah

115

masyarakat umum dan menumbuhkan akhlak-akhlak mulia sebagai bentuk

presentasi dari agama Islam. Berusaha memmbentuk akal pikiran, hati, dan

perilaku masyarakat yang Islami. Saling menasehati satu sama lain dengan

menegakkan amar ma‟ruf nahi mungkar. Dan yang paling penting adalah

membangun silahturahmi antar masyarakat.

d. Tahrir Al-Wathan

Kondisi Mesir saat Hasan Al-Banna melakukan dakwah di sana, berada

pada kekuasaan kolonial Inggris. Sehingga ia berpendapat bahwa tahapan

yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan memerdekakan tanah air.

Setiap anggota harus berusaha membebaskan tanah airnya dari penguasa

asing nonmuslim, baik melakukan perlawanan secara politik, ekonomi

maupun mental. Sehingga negara Muslim bisa mendapatkan kembali

kedaulatannya baik dalam bidak politik, ekonomi, serta sosial budaya.

Sebagai anggota yang berideologikan ajaran Islam harus menolak pemikiran-

pemikiran yang bertentangan dengannya, seperti kapitalisme, komunisme,

dan lain-lain.

e. Ishla>h Al-Chuku>mah

Tahap selanjutnya adalah membenahi pemerintahan agar hukum-hukum

Islam dapat berlaku didalamnya. Dengan begitu pemerintahan dapat

melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pelayan umat dan bekerja untuk

kemaslahatan masyarakat. Jadi perbaikan pemerintahan yang di ingikan oleh

Hasan Al-Banna adalah menjadikan pemerintahan menjadi Pemerintahan

Islam. Ia berpendapat bahwa pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang

anggota-anggotanya terdiri dari kaum muslimin dengan menerapkan hukum

116

Islam dan melarang segala laranganya. Hasan Al-Bana juga membolehkan

memimilih atau meminta bantuan nonmuslim apabila dalam keadaan yang

darurat dan tidak menempati pada jabatan-jabatan yang utama. Menurutnya

nonmuslim juga berhak menunaikan hak dan kesepakatan politik dan

sederajat dengan kaum muslim kecuali pada kepemimpinan puncak.

Mengenai bentuk pemerintahan Hasan Al-Banna tidak terlalu kaku

dalam menetapkan pemerintahan Islam harus berbentuk seperti. Baginya

tidak terlalu penting mengenai bentuk dan jenis pemerintahan yang diambil,

selama sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam sistem pemerintahan Islam.

f. Iqa>mah Al-Khila>fah Al-‘A>mmah

Tahap selanjutnya adalah menegakan khilafah dalam jangkauan

internasional. Berkaitan dengan hal ini, Hasan Al-Banna berpendapat bahwa

semua negara Islam harus terbebas dari cengkraman asing. Dengan wilayah

yang bebas dari Asing maka memungkinkan untuk mendirikan Negara Islam

(Daulah Islam). Ia berkata: “Dalam rangka mengembalikan eksistensi

kenegaraan, bagi umat Islam harus memerdekakan negeri-negerinya,

menghidupkan kembali kejayaannya, dan menyatukan kata-katanya sehingga

itu semua dapat mengembalikan khilafah yang telah hilang dan persatuan

yang diidam-idamkan.” Menurut Hasan Al-Banna semua itu merupakan

kewajiban yang telah diabaikan oleh umat pada saat itu.

g. Ustadziyatul ‘Alam

Ustadziyatul ‘Alam memiliki pengertian penegakan kepemimpinan

dunia sebagai kepeloporan internasional. Tahap terakhir ini merupakan ciri

khas dari gerakan Ikhwanul Muslimin. Banyak gerakan Islam dalam konsep

117

gerakannya, berhenti pada tahap pendirian khilafah. Berbeda dengan gerakan

lainnya, pada gerakan Ikhwanul Muslimin setelah pendirian Khilafah

berupaya untuk menjadikan peradaban Islam sebagai pusat peradaban dunia

dengan cara menyebarkan dakwah Islam keseluruh penjuru dunia. Sehingga

Islam dapat dimenangkan atas segala agama dan dapat membimbing manusia

sedunia dan negara-negara diluar pemerintahan Islam untuk menjalankan

amar ma‟ruf nahi mungkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran)

(Al-Banna, 2013: 302-306).

2. Strategi Hasan Al-Banna Menuju Khilafah Islamiyyah

Strategi yang telah dilakukan hasan Al-Banna dalam mencapai Khilafah

Islamiyyah terdapat dualisme orientasi dalam fatwa-fatwanya. Pada satu sisi ia

mengambil langkah damai seperti pada perjuangannya melalui institusi-institusi

yang memberikan pelayanan masyarakat. Tetapi pada sisi lain, juga mengambil

langkah-langkah militeristik, seperti pembentukan pasukan khusus bersenjata dan

dinas rahasia (Anshori, 2008: 28).

a. Strategi Melalui Perdamaian

Strategi yang digunakan Hasan Al-Banna dalam mencapai terbentuknya

Khilafah Islamiyyah adalah dengan memberikan komando dakwah kepada

anggota Ikhwanul Muslimin, yang terdiri dari empat tahapan yaitu;

Pertama, al-da’wah al-‘a>mmah yang berarti dakwah secara umum.

Tujuannya adalah mendidik umat, mengajak kepada kebaikan, meluruskan

tradisi yang rusak, meluruskan cara berfikir, menebarkan semangat jihad dan

berakhlaq mulia, serta melarang pada kemungkaran. Adapun cara

penyampaian al-da’wah al-‘a>mmah diantaranya melalui kajian, diskusi,

118

pamflet. Selain itu juga memilih anggota Ikhwanul Muslimin yang

memenuhi kriteria untuk mengemban tugas jihad dan persatuan dengan

kelompok-kelompok cabang dalam berbagai bidang. Dan al-da’wah al-

‘a>mmah juga dapat disampaikan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan

sosial seperti membangun masjid, sekolahan, dan fasilitas umum lainya

(2008: 31).

Dalam dakwah ini, Ikhwanul Muslimin menegaskan menjauhi partai

politik, tidak berniat menyaingi partai politik, dan tidak mempunyai

hubungan dengan para politisinya. Pelaksanaan pada dakwah ini berlangsung

selama sepuluh tahun yaitu dari tahun 1928 M sampai dengan 1938 M.

selama periode tersebut Ikhwanul Muslimin memiliki kantor pusat dan

kantor perwakilan di setiap tempat. Mempunyai corong dakwah dalam

berbagai bahasa sehingga misi dakwah menyebar dengan cepat. Lebih dari

300 lembaga cabang dari Ikhwanul Muslimin siap bekerja sama

menyebarkan agenda dan konsep organisasi yang dapat ditransmisikan

secara cepat. Hal demikian menjadikan gerakan Ikhwanul Muslimin

berkembang sabgat cepat dalam waktu yang relatif singkat.

Kedua, al-dakwah al-kha>shssah (dakwah secara khusus), tujuannya

adalah menyampaikan misi dakwah organisasi kepada para pejabat,

pemimpin negara, panglima, menteri, birokrat, anggota parlemen, dan para

tokoh partai politik. Dalam dakwah ini, Ikhwanul Muslimin mengajak mereka

kembali kepada jalan Islam dengan metode dakwah Ikhwanul Muslimin,

mengenalkan progam-progam Ikhwanul Muslimin, dan meminta untuk

menjalankan hukum Islam di Mesir. Jika pemerintahan Mesir mau

119

menerapkan syariat Islam setelah mendapatkan dakwah dari Ikhwanul

Muslimin, maka Ikhwanul Muslimin akan menjadi pendukung utama

pemerintahan. Akan tetapi jika pemerintah Mesir menggunakan sistem

sekuler, maka Ikhwanul Muslimin akan menjadi oposisi utama pemerintahan

(2008: 33).

Cara penyampaian dalam al-dakwah al-kha>shshah adalah dengan

menyebarkan misi dakwah organisasi dan perbaikan sosial kemasyarakatan,

melakukan kaderisasi dengan mendidik agar loyal pada konsep Ikhwanul

Muslimin, mengupayakan sistem bermasyarakat dan bernegara secara Islam,

dan berperan aktif dalam masyarakat, lembaga-lemabaga negara, parlemen

dan sebagainya. Tujuan berperan aktif dalam lembaga negara adalah

memberikan gambaran terhadap sistem-sistem yang berlaku kemudian

mengkomparasikannya dengan sistem Islam. Setelah itu merekomendasikan

kepada pemerintahan untuk melakukan perbaikan terhadap sistem-sistem

yang berjalan agar sesuai dengan Islam. Pelaksanaan dakwah ini dimulai

sejak tahun 1938 M sampai 1947/ 1948 M. Bagi gerakan Ikhwanul Muslimin

masa ini dimulai dengan penentuan para pengurus organisasi secara lengkap

dengan kesatuan kepengurusan yang bernama Lajnah Al-Arba’in atau komisi

empat puluh (2008: 34).

Ketiga,iqa>mah a’d-daulah yang berarti pendirian negara Islam. Dalam

hal ini Ikhwanul Muslimin berupaya untuk memperbaiki sistem pemerintahan

yang berdiri tanpa harus melakukan pemberontakan, perlawanan, dan kudeta

terhadap pemimpinnnya. Namun, Hasan Al-Banna sendiri belum sempat

120

menyelesaikan tugasnya dalam mendirikan negara Islam karena ia telah wafat

dalam tragedi penembakan pada 12 Februari 1949 M (2008: 35).

Keempat,Iqa>mah al-khila>fah al-isla>miyyah al-‘a>mmah yang berarti

pendirian Khilafah Islamiyyah secara global. Berkaitan dengan hal ini, Hasan

Al-Banna hanya memberikan penjelasan mengenai teori khilafah karena

sebelum pelaksanaan ia telah wafat terlebih dahulu. Teorinya menjelaskan

bahwa apabila berdiri pemerintahan-pemerintahan Islam, maka secara

otomatis bangsa-bangsa Islam akan saling kerja sama membantu dalam

berbagai bidang seperti sosial budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.

Bangsa-bangsa muslim tersebut akan membentuk persyarikatan atau koalisi

yang diawali dengan koferensi-koferensi internasional negara-negara Islam.

Maka, berawal dari koferensi tersebut akan terbentuk sebuah “Perserikatan

Umat Islam Dunia” seperti halnya PBB (Peserikatan Bangsa-Bangsa) pada

era sekarang. Apabila telah terbentuk perserikatan muslim tersebut maka

akan terjadi kesepakatan untuk memilih seorang khalifah atau pemimpin yang

akan menjadi penengah, simbol pemersatu, dan otoritas kekhilafahan tertinggi

(2008: 36)

b. Strategi Secara Militeristik

Selain menggunakan strategi secara damai, Hasan Al-Banna juga

mengambil langkah-langkan militeristik. Akan tetapi bukan berarti melalui

militeristik, Hasan Al-Banna menggunakan cara-cara kekerasan dan revolusi

dalam upayanya menegakkan Khilafah Islammiyah.

Pada tahun 1940 Hasan Al-Banna membentuk satuan khusus pasukan

rahasia yang dinamakan Nidzam Khas (pasukan khusus). Yang terdiri dari

121

kader Ikhwanul Muslimin yang memiliki kriteria khusus seperti berbadan

kuat, sanggup menjaga rahasia dan lain sebagainya. Tujuan didirikannya

pasukan ini adalah melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga

pasukan ini mengambil sikap total anti Barat dan anti kolonial (Syamakh,

2011: 72). Hasan Al-Banna berpendapat bahwa untuk menghadapi penjajah

dalam upaya memerdekakan negara Mesir, sama sekali tidak dapat dilakukan

dengan perundingan melaikan denga jihad dan cara-cara lain yang legal

(Anshori, 2008: 39).

Hasan Al-Banna menyadari bahwa masalah yang dihadapi palestina

adalah konspirasi internasional yang didalamnya terdapat berbagai pihak.

Semua itu membutuhkan kekuatan untuk membebaskan bumi Palestina.

Sehingga ia mengirimkan Nidzam Khas untuk membantu perjuangan

palestina pada tahun 1947 M (2008: 38).

Berdasarkan penjelasan tersebut pembentukan Nidzam Khas ini

ditujukan kepada para penjajah untuk melakukan pembebasan negeri Mesir

saat itu. Sehingga ketika suatu bangsa merdeka dari tekanan penjajah maka

iqa>mah a’d-daulah dapat direalisasikan dan upaya menuju tegaknya khilafah

semakin nyata. Karena Hasan Al-Banna selalu menegaskan untuk mencapai

tujuannya, Ikhwanul Muslimin menentang cara revolusi dan kekerasan.

Tentunya hal tersebut menunjukan Ikhwanul Muslimin tidak akan melakukan

tindakan kekerasan terhadap pemerintahan yang resmi. Ikhwanul Muslimin

hanya melakukannya dengan cara-cara Isla>h atau perbaikan (Al-Banna, 2013:

235).

122

Seperti yang sudah dijelaskan tujuan Hasan Al-Banna mendirikan

Nidzam Khas adalah untuk melaksanakan tugas khusus untuk berperang

melawan Inggris dan Zionisme. Untuk itu ketika pasukan khusus ini mulai

terjadi penyimpangan yang dilakukan pemimpinnya, Hasan Al-Banna telah

membubarkannya. Hingga penerusnya setelah ia wafat, Hasan Hudaibi juga

menyempurnakan pembubaran Nidzam Khas ini (Syamakh, 2011: 74)

Sebelumnya, telah diuraikan mengenai habitus yang terbentuk dalam diri

Hasan Al-Banna. Habitus adalah skema persepsi dan tindakan seseorang

terbentuk melalui lingkungan dan pengalaman. Habitus sangat berkaitan erat

dalam posisi sosial tertentu dalam sebuah field (arena perjuangan), dalam

pengertian Bourdieu sebuah arena sosial di mana orang bermanuver dan berjuang

dalam mengejar sumber daya yang didambakan. Habitus dalam diri Hasan Al-

Banna, mendorongnya untuk berjuang (melalui Ikhwanul Muslimin) merebutkan

posisi sosial tertentu dan demi memperoleh akses yang dekat dengan hirearki

kekuasaan. Arena-arena perjuangan Ikhwanul Muslimin, diantaranya yaitu; arena

berbasis instittusi (seperti kampus) dan komunitas dalam masyarakat umum

melalui al-da’wah al-‘a>mmah, dan lembaga pemerintahan (birokrasi) melalui al-

dakwah al-kha>shssah dan Nidzam Khas.

Dalam field ini, terdapat berbagai habitus sehingga habitus-habitus

tersebut saling bertemu dan saling bertarung untuk mendapatkan pengaruh dan

mendominasi. Proses interaksi dengan pihak luar (habitus lain) menyebabkan

terbentuknya jaringan relasi posisi objektif dalam diri Hasan Al-Banna. Sebagai

ilustrasinya; Hasan Al-Banna yang lahir dari keluarga Islam fanatik, awalnya

memiliki habitus bahwa ia seorang yang fundamentalis, dengan kemudian ia

123

belajar sampai tingkat universitas yang terdiri dari masyarakat yang multikultur,

belajar memahami perbedaan saat bersinggungan dengan habitus-habitus lain.

Maka hal tersebut akan meningkatkan pola pikir Hasan Al-Banna, seperti halnya

dalam konsep khilafah kolektif, ia tidak hanya memperhatikan sisi agama saja

tetapi ia juga memperhatikan aspek kultural dalam setiap bangsa sehingga ia

mengusulkan konsep tersebut dalam pandangannya mengenai Khilafah

Islammiyyah. Selain itu Hasan Al-Banna juga tidak terlalu kaku dalam

menentukan bentuk kekhilafahan, karena baginya tidak terlalu penting mengenai

bentuk dan jenis pemerintahan yang diambil, selama sesuai dengan kaidah-kaidah

umum dalam sistem pemerintahan Islam.

3. Sarana-sarana Menuju Khilafah Islamiyyah

Jika kita berbicara tentang Ikhwanul Muslimin, berarti kita juga akan

membahas tentang tarbiyah. Hasan Al-Banna bersama Ikhwanul Muslimin

mencanangkan idealisme yang demikian tinggi untuk mengembalikan kejayaan

Islam dan menegakkan khilafah. Tetapi untuk menuju kesana menurutnya hanya

bermodal pada kualitas personal terutama pemuda. Sehingga jalan satu-satunya

adalah mentarbiyah (mendidik) mereka. Akhirnya tarbiyah menjadi jargon utama

dan “trade mark” bagi jamaah Ikhwanul Muslimin (Anis Matta dalam Mahmud,

2011: 6).

Adapun, pengertian Tarbiyah Islamiyyah adalah proses penyiapan manusia

yang shalih, agar tercapai suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan

tindakannya secara keseluruhan (2011: 25). Pada dasarnya Tarbiyah Islamiyyah

ini ingin membentuk kualitas pribadi, keluarga, dan masyarakat yang unggul

dalam rangka ishla>h pada tahap awal.

124

Diantara salah satu tujuan Tarbiyah Islamiyyah ini adalah tegaknya

khilafah di bumi ini (2011: 27). Sehingga sarana-saran dalam tarbiyah Ikhwanul

Muslimin berperan penting dalam menuju kembalinya kekhilafahan Islam secara

khusus dan kembalinya kejayaan Islam di muka bumi secara umum. Sarana-

sarana tersebut adalah:

a. Usrah

Usrah secara bahasa berarti keluarga. Adapun secara umum

pemahaman Ikhwanul Muslimin mengenai usrah adalah pondasi pertama

dalam bangunan gerakan dan perkumpulan kader yang jumlahnya sedikit.

Usrah juga sebagai landasan bagi pembentukan kepribadian anggota dan

perangkat paling penting untuk mentarbiyah kader secara integral (2011:

123). Usrah juga dapat dikatakan sebagai wadah perlindungan yang kokoh

bagai kader Ikhwanul Muslimin. Dalam konteks keanggotaan, sistem usrah

seperti keluarga dan kerabatnya. Terlebih lagi, usrah dijadikan wadah untuk

saling mengenal, memahami, dan saling menanggung. Selain itu usrah juga

membebankan beberapa kewajiban finansial karena setiap usrah memiliki kas

yang diisi dengan iuran para anggotanya dan dibelanjakan untuk kepentingan

usrah, Ikhwanul Muslimin, dan umat (2011: 126)

b. Katibah

Katibah merupakan sebuah agenda bersama yang diadakan oleh

perkumpulan dari beberapa usrah. Katibah secara bahasa bermakna pasukan.

Katibah menurut Ikhwanul Muslimin memiliki pengertian yang bersifat

gerakan, karena dengan katibah tersebut anggota-anggota Ikhwanul Muslimin

berlatih hidup bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Dalam agenda

125

katibah ini bertumpu pada tarbiyah rohani, penyucian jiwa, melawan hawa

nafsu dan melawan berbagai godaan. Kegiatan yang dilakukan dalam katibah

ini semacam bermuhasabah diri, beristigfar, dan berbagai training (2011:

250).

c. Richlah

Richlah merupakan perangkat tarbiyah yang bersifat kolektif

sebagaimana katibah. Apabila usrah dan katibah merupakan perangkat

tarbiyah yang fokus pada hal ruhani, maka richlah adalah perangkat tarbiyah

yang lebih memperhatikan kepada aspek fisik. Richlah menurut Ikhwanul

Muslimin sangat penting untuk menciptakan iklim sosial antar kader yang

dipandu oleh nilai-nilai Islam dan kedisiplinan secara fisik (2011: 280).

d. Mukhayam

Hasan Al-Banna melihat bahwa jihad harus dimunculkan dalam bentuk

yang kongkret, yakni menyiapkan para pemuda di kelompok kepanduan. Saat

itu di Mesir tidak mengizinkan pembentukan kelompok militer, kecuali

sekedar grub yang aktivitasnya berdekatan dengan itu, yakni kepanduan.

Kepanduan itu pun harus menginduk kepada kepanduan nasional Mesir.

Sehingga, Imam Muasis mencari argumentasi agar kelompok ikhwan dapat

bergabung dengan kepanduan nasional tersebut. Sejak saat itu Ikhwanul

Muslimin memiliki grup kepanduan yang berafiliasi kepada kepanduan

nasional. Ikhwanul Muslimin berpandangan kritis terhadap kepanduan

nasional tersebut, mereka berusaha mengubah hal-hal yang dipandang

bertentangan dengan Islam (2011: 298). Jadi, mukhayan ini merupakan

126

perangkat tarbiyah yang berupa pelatihan kader melalui pendekatan seperti

militer.

e. Daurah

Dinamakan daurah oleh Ikhwanul Muslimin karena perangkat tarbiyah

ini merupakan aktivitas belaka, yakni dilaksanakan pada setiap waktu tertentu

secara rutin. Daurah merupakan aktivitas yang mengumpulkan sejumlah

ikhwan yang relatif banyak di suatu tempat untuk mendengarkan ceramah,

kajian, penelitian, dan pelatihan tentang suatu masalah dengan mengangkat

tema tertentu yang dirasa penting saat itu. Daurah merupakan perangkat

tarbiyah yang sering dipergunakan oleh Ikhwanul Muslimin dengan maksud

meningkatkan kadar wawasan dan pelatihan pada diri anggota Ikhwanul

Muslimin baik secara individu maupun pemimpin, untuk kepentingan

aktivitas gerakan dan dakwah (2011: 323).

f. Nadwah

Nadwah berarti suatu majelis di mana banyak orang yang diundang

untuk berkumpul disekelilingnya, nadwah juga berarti sekumpulan orang

untuk melakukan kajian atau musyawarah untuk suatu urusan. Ikhwanul

Muslimin mengenal nadwah dengan istilah kekinian yaitu, berarti sebuah

pertemuan yang menghimpun sejumlah pakar spesialis untuk mengkaji suatu

tema ilmiah, dimana setiap mereka memberikan pendapatnya dengan

argumentasi dan bukti-bukti. Dalam nadwah tersebut Ikhwanul Muslimin

mengundang para ulama, pakar, spesialis untuk membahas persoalan tertentu

baik dari dalam gerakan atau orang luar yang tidak memiliki hubungan

dengan Ikhwanul Muslimin. Yang dilontarkan dalam nadwah untuk dikaji

127

adalah persoalan yang memiliki urgensi khusus bagi kaum muslimin atau

bagi aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin (2011: 336).

g. Muktamar

Muktamar secara bahasa adalah tempat untuk bermusyawarah atau

suatu forum untuk bermusyawarah mengkaji suatu persoalan. Muktamar

merupakan perangkat tarbiyah pada Ikhwanul Musllimin yang biasanya

membahas misi-misi kedepan dalam mencapai cita-cita. Muktamar dilakukan

Ikhwanul Muslimin secara periodik, di masa kepemimpinan Hasan Al-Banna

muktamar sudah dilakukan enam kali pertemuan (2011: 351).

Tarbiyah ini diprogramkan untuk setiap anggota Ikhwanul Muslimin.

Kader-kader Ikhwanul Muslimin tentu pada awalnya sesorang yang memiliki

habitus (skema persepsi dan tindakan) yang berbeda dengan Hasan Al-Banna.

jadi mereka adalah orang-orang yang terpengaruhi oleh habitus tokoh-tokoh

sebelumnya (senior) dalam sebuah arena perjuangan (field). Seperti teorinya

Bourdieu terdapat semacam aturan dalam setiap field yang disebut sebagai

kekerasan simbolik (symbolic violence), di mana kekerasan tersebut bersifat

sangat halus sehingga tidak disadari. Sehingga, menurut hemat penulis perangkat-

perangkat tarbiyah Ikhwanul Muslimin dari usrah hingga muktamar merupakan

contoh dari symbolic violence, karena secara halus Ikhwanul Muslimin (red:

Hasan Al-Banna dan pelopor Ikhwan lainnya) memaksa kader-kadernya untuk

menerima rumusan atau konsep pemikiran mereka dan para kader tersebut

dibentuk sesuai dengan progam-progam pemikirannya. Pemikiran maupun

program yang diterima begitu saja ini juga merupakan bentuk konkret dari doxa.