21
BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Batubara Batubara merupakan salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batubara. Proses Pembentukan batubara itu sendiri dimulai sejak zaman batubara pertama (Carboniferous Period/ Periode Pembentukan Karbon atau Batubara), yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batubara muda) atau ‘brown coal (batubara coklat)’ – Ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Akibat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan

Bab III Landasan Teori

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab III Landasan Teori

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Batubara

Batubara merupakan salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari

endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.

Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan

lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan

tahun sehingga membentuk lapisan batubara.

Proses Pembentukan batubara itu sendiri dimulai sejak zaman batubara

pertama (Carboniferous Period/ Periode Pembentukan Karbon atau Batubara), yang

berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu.

Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta

lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya

gambut berubah menjadi lignite (batubara muda) atau ‘brown coal (batubara coklat)’

– Ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan

batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari

hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Akibat pengaruh suhu dan tekanan yang

terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang

secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda

menjadi batubara ‘sub-bitumen’.

Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi

lebih keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’.

Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus

berlangsung hingga membentuk antrasit.

Page 2: Bab III Landasan Teori

3.2 Genesa Batubara

Endapan batubara terbentuk dari 2 tahap pembentukan, yaitu pembentukan

gambut dan pembentukan batubara. Dalam pembentukannya, batubara akan

melalui beberapa tahap dari bahan asalnya terbentuk. Proses tersebut meliputi,

pembentukan gambut (peatification) dan pembentukan batubara (coalification).

Proses penggambutan mencakup proses mikrobial, perubahan kimia (biochemical

coalification), geochemical coalification dan humifikasi. Proses pembatubaraan

merupakan perkembangan gambut menjadi lignit, sub bituminous dan bituminous

coal, hingga antrasit dan meta-antrasit. 

Batubara dapat digunakan sebagai alat ukur untuk diagenesa sedimen

dengan melihat perubahan temperatur. Reaksi yang terjadi dapat meliputi

perubahan struktur kimia ataupun fisik. Proses pembatubaran terutama dikontrol

oleh temperatur, tekanan, dan waktu. Tekanan makin tinggi maka proses

pembatubaraan makin cepat, terutama di daerah patahan, terlipat, dan sebagainya.

Sumber : http://www.jendelaexplorasi.net

Gambar 3.1Tipe Cekungan Pembentukan Batubara Pulau Sumatera

Page 3: Bab III Landasan Teori

Tipe cekungan pembawa batubara utama di Indonesia adalah intermontana

basin paleogen,foreland basin, dan delta basin neogen. Pada cekungan muka

daratan (foreland basin) terjadi pengendapan yang cepat pada zaman tersier dalam

lingkungan laut yang setengah tertutup dan diikuti oleh perlipatan lemah sampai

sedang pada akhir tersier. Umur cekungan batubara Indonesia merupakan batubara

tersier yang dibedakan oleh kondisi transgresi dan regresi. Umur batubara Indonesia

tertua adalah batubara paleogen, yaitu 68 juta tahun hingga 23 juta tahun. Batubara

neogen yang terbentuk setelah regresi berumur 23 juta tahun hingga 1 juta tahun

lalu. Di Indonesia, cekungan pembawa batubara terdiri dari beberapa cekungan

yang tersebar di seluruh Indonesia.

Secara umum, pembentukan batubara di Indonesia dibagi menjadi daerah

Indonesia barat dan Indonesia timur. Pembentukan batubara di Indonesia barat,

pengendapan sedimen terjadi secara sempurna sebelum terjadinya transgresi pada

akhir paleogen. Di Indonesia Timur, pengisian sedimen tidak terjadi sempurna

hingga transgresi terjadi. Akibatnya, sedimentasi yang terjadi

berupa platform karbonatan. Siklus regresi mulai terjadi pada miosen tengah,

dengan sedimentasi berubah dari laut dalam, laut dangkal, paludal, delta

hingga continental.

Sumber : http://godamaiku.blogspot.com

Gambar 3.2

Page 4: Bab III Landasan Teori

Proses Penggambutan

Pengendapan pada masa neogen terjadi secara luas dan di bagian back

deep. Regresi dihipotesiskan terjadi karena adanya proses orogenesa dan adanya

sedimentasi yang lebih cepat dibandingkan penurunan basin sehingga garis pantai

bergerak. Berdasarkan hipotesis kedua ini, terbentuk adanya delta. Proses

sedimentasi terhenti memasuki masa kuarter pada pleistosen, dengan dicirikan

adanya endapan tuff. 

Hal inilah yang menjadi dasar pembagian batubara ekonomis yang ada di

Indonesia. Batubara di Indonesia disebutkan sebagai endapan batubara eosen dan

endapan batubara miosen. Endapan batubara eosen merupakan bagian dari

endapan paleogen dan terbentuk di sepanjang tepian Paparan Sunda, di sebelah

barat Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Batubara

eosen dicirikan sebagai batubara yang ketebalan bervariasi dan banyak lapisan,

berkadar sulfur dan abu tinggi, penyebaran terbatas, pengendapan bersamaan

dengan aktivitas tektonik, berkaitan dengan busur vulkanik dan hampir

seluruhnya autochton. Cekungan Paleogen di Indonesia terdiri dari intermontana

basin dan continental margin. Endapan Paleogen penting di Indonesia antara lain

adalah di Ombilin (Sumatera Barat), Bayah (Jawa Barat), Pasir (Kalimantan bagian

Tenggara), Pulau Sebuku (Kalimantan Tengah), Melawi (Kalimantan Barat). 

Endapan miosen merupakan endapan batubara yang terjadi setelah fase

regresi. Endapan ini memiliki ciri endapan batubara yang relatif tebal secara lokal

dengan kadar abu dan sulfur rendah. Batubara ini umumnya terdeposisi pada

lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai. Cekungan utama batubara Eosen

antara lain adalah Cekungan Kutai bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan

Barito (Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera bagian selatan. Endapan

batubara miosen banyak terjadi pada cekungan foreland/backdeep dan delta. 

Kondisi regresi dicirikan oleh mundurnya laut yang lambat dan pendangkalan

lingkungan pengendapan dari laut dalam ke laut dangkal, rawa – rawa, delta hingga

daratan. Penutupan dari proses sedimentasi pada kala ini terjadi pada pleistosen

oleh pengendapan tuff. Sebagai contoh adalah Cekungan Sumatera Selatan dan

Sumatera Tengah. Kedua cekungan ini terjadi setelah fase regresif dengan

Page 5: Bab III Landasan Teori

pengendapan dari laut dalam hingga ke laut dangkal dan lingkungan delta yang

ditutupi oleh endapan rawa – rawa. Endapan batubara yang dihasilkan merupakan

endapan batubara khas formasi regresif.

Karakteristik batubara Eosen umumnya sangat masif, berwarna hitam, kilap

gelas, jenis batubara bituminous – subbituminous, dan kadar kalori tinggi. Batubara

Eosen sering tersingkap baik berupa lapisan dan membentuk seam batubara.

Batubara Miosen sebagian besar berupa lignit, sangat lunak, kadar air tinggi, kadar

debu rendah, dan kadar kalori rendah. Batubara Miosen umumnya menunjukkan

bentuk lapisan yang kurang baik dalam singkapan. Hal ini terjadi karena kadar air

dalam batubara tinggi, tekanan kompaksi rendah serta lapisan lempung sering kali

ada dalam lapisan batubara tersebut.

Ada dua teori yang menerangkan terjadinya batubara, yaitu :

Teori In-situ

Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan

dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori

in-situ lazimnya terjadi di hutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan

tersebut pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut,

dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan secara sempurna, dan

akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen organik.

Sumber : http://godamaiku.blogspot.com

Gambar 3.3Ilustrasi Pembentukan Batubara In-Situ

Page 6: Bab III Landasan Teori

Teori Drift

Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan yang

bukan di tempat dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk

sesuai dengan teori drift biasanya terjadi di delta-delta, mempunyai ciri-ciri lapisan

batubara tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya (multiple seam), banyak

pengotor (kandungan abu cenderung tinggi). Proses pembentukan batubara terdiri

dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia

(pembatubaraan).

Sumber : http://godamaiku.blogspot.com

Gambar 3.4Ilustrasi Pembentukan Batubara Drift

Faktor yang berpengaruh dalam pembentukan batubara antara lain adalah :

Posisi Geotektonik

Suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik

lempeng dalam pembentukan batubara merupakan faktor yang dominan akan

mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan pengendapan dan kecepatan

penurunan cekungan Pada fase akhir, posisi geotektonik mempengaruhi proses

Page 7: Bab III Landasan Teori

metamorfosa organik dan struktur lapangan batubara melalui masa sejarah setelah

pengendapan akhir

Topografi (morfologi)

Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting

karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk

Iklim

Kelembaban mengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai

tergantung posisi geografi dan dipengaruhi oleh posisi geotektonik Tropis dan

subtropis sesuai untuk pertumbuhan yang optimal hutan rawa tropis mempunyai

siklus pertumbuhan setiap 7-9 tahun dengan ketinggian pohon mencapai 30 m.

Sedang iklim yanng lebih dingin ketinggian pohon hanya mencapai 5-6 meter dalam

waktu yang sama.

Penurunan Cekungan

Penurunan cekungan dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik jika penurunan

dan pengendapan gambut seimbang maka akan dihasilkan endapan batubara yang

tebal. Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan

pengendapannya. Menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang

mempengaruhi mutu dari batubara yang terbentuk.

Umur Geologi

Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan tumbuhan

Makin tua umur suatu batuan akan memiliki kemungkinan makin dalam penimbunan

yang terjadi hingga mampu terbentuk batubara bermutu tinggi

Tumbuh-tumbuhan

Unsur utama pembentuk batubara dengan lingkngan tertentu dan sebagai

faktor penentu tipe batubara, evolusi kehidupan menciptakan kondisi yang berbeda

selama masa sejarah geologi

Dekomposisi

Merupakan bagian dari tansformasi biokimia material organik yang

merupakan titik awal seluruh alterasi

Page 8: Bab III Landasan Teori

Sejarah Setelah Pengendapan

Sejarah cekungan tergantung pada posisi geotektonikterjadi proses geokimia

dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut bertanggung jawab

terhadap pembentukan struktur cekungan batubara baik berupa sesar, lipatan,

intrusi danlainnya.

Struktur cekugan pembentuk

Struktur cekungan pembentukan batubara yang berbeda akan menghasilkan

bentuk endapan yang berbeda sesuai bentuk cekungan yang ada.

Metamorfosis organik

Selama proses ini terjadi pengurangan kandungan air, oksigen dan zat

terbang (CO2, CO, CH4 dll) akan mempengaruhi pembentukan batubara.

3.3 Lingkungan Pengendapan Batubara

Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi

lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-

pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh

tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang

bervariasi.

Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral,

ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan

yag berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas

organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi

dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga

oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi

diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).

Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di

dunia terbentuk di lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan

pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga

fluviatil.

Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama

pembentuk batubara yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and

Page 9: Bab III Landasan Teori

upper delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap

lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara

yang berbeda.

Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan

fluvial flood plain dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah

pantai akan membentuk delta dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen &

Chambers, 1998).

Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta

yang terletak di atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di

lingkungan delta plain ialah endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan

swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur

sedimen.

Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross

bedding, graded bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa

laminasi karbonan. Kontak di bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat

bagian deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara dan plagioklas. Secara

lateral endapan channel akan berubah secara berangsur menjadi endapan flood

plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam (natural levee)

yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee yang

dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan batulanau dengan struktur sedimen ripple

lamination dan paralel lamination.

Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan

membentuk crevase play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus –

sedang dengan struktur sedimen cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi.

Laminasi batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum ditemukan. Ukuran

butir berkurang semakin jauh dari channel utamanya dan umumnya memperlihatkan

pola mengasar ke atas.

Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi

endapan flood plain. Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang

diendapkan secara suspensi dari air limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan

oleh batulanau, batulempung, dan batubara berlapis.

Page 10: Bab III Landasan Teori

Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa

batubara karena lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana

lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi gambut.

Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh

pohon-pohon keras dan akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan

tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang

menghasilkan batubara berlapis (Allen, 1985).

3.4 Tipe dan Bentuk Endapan Batubara

Tipe dan bentuk endapan batubara di alam dapat berbeda bentuknya sesuai

dengan faktor yang mempengaruhinya. Bentuk tersebut antara lain :

1. Bentuk Horse Back

Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang

menutupinya melengkung kearah atas yang diakibatkan oleh besarnya gaya

kompresi

akibat pelengkungan itu, batubara terlihat terpecah-pecah, akibatnya batubara

mejadi kurang kompak.

Pengaruh air hujan, yang selanjutnya menjadi air tanah, akan mengakibatkan

sebagian dari butiran batuan sedimen yang terletak di atasnya, bersama air tanah

akan masuk diantara rekahan lapisan batubara, kejadian ini saat di tambang

mengakibatkan batubara mengalami pengotoran (terkontaminasi) dalam bentuk

butiran-butiran batuan sedimen sebagai kontaminan anorganik, sehingga batubara

menjadi tidak bersih dan hal tersebut tidak diinginkan apabila batubara terebut akan

dipergunakan sebagai bahan bakar.

Page 11: Bab III Landasan Teori

Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com

Gambar 3.5Endapan Batubara Berbentuk Horse Back

2. Bentuk Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. pada

umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan yang

plastis misalnya batulempung sedang di atas lapisan batubara secara setempat

ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur.

Sangat dimungkinkan, bentuk pinch ini bukan merupakan penampakan

tunggal, melainkan merupakan penampakan yang berulang-ulang. ukuran bentuk

pinch bervariasi dari beberapa meter sampai puluhan meter. Dalam proses

penambangan batubara, batupasir yang mengisi pada alur-alur tersebut tidak

terhindarkan ikut tergali, sehingga keberadaan fragmen-fragmen batupasir tersebut

juga dianggap sebagai pengotor anorganik. Keberadaan pengotor ini tidak

diinginkan apabila batubara tersebut akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

Page 12: Bab III Landasan Teori

Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com

Gambar 3.6Endapan Batubara Berbentuk Pinch

3. Bentuk Clay Vein

Bentuk ini terjadi apabila di antara dua bagian lapisan batubara terdapat urat

lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan batubara

mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan

terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.

Apabila batubaranya ditambang, bentukan clay vein ini dipastikan ikut

tertambang dan merupakan pengotor anorganik (mineral matter) yang tidak

diharapkan. Pengotor ini harus dihilangkan apabila batubara tersebut akan

dikonsumsi sebagai bahan bakar.

Page 13: Bab III Landasan Teori

Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com

Gambar 3.7Endapan Batubara Berbentuk Clay Vein

4. Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk suatu

kulminasi sehingga lapisan batubara seperti “terintrusi”. Sangat dimungkinkan

lapisan batubara pada bagian yang “terintrusi” menjadi menipis atau hampir hilang

sama sekali.

Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari beberapa meter sampai puluhan

meter. Data hasil pemboran inti pada saat eksplorasi akan banyak membantu dalam

menentukan dimensi bentukan tersebut. Apabila bentukan intrusi tersebut

merupakan batuan beku, pada saat proses penambangan dapat dihindarkan, tetapi

apabila bentukan tersebut merupakan tubuh batupasir, dalam proses penambangan

sangat dimungkinkan ikut tergali.

Òleh sebab itu, ketelitian dalam perencanaan penambangan sangat

diperlukan, agar fragmen-fragmen intrusi tersebut dalam batubara yang dihasilkan

dari kegiatan penambangan dapat dikurangi sehingga keberadaan pengotor

anorganik tersebut jumlahnya dapat diperkecil.

Page 14: Bab III Landasan Teori

Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com

Gambar 3.8Endapan Batubara Berbentuk Burried Hill

5. Bentuk Fault (Patahan)

Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami

beberapa seri patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan

perhitungan cadangan batubara. Hal ini disebabkan telah terjadi pergeseran

perlapisan batubara ke arah vertikal.

Dalam melaksanakan eksplorasi batubara di daerah yang memperlihatkan

banyak gejala patahan, diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, tidak dibenarkan

hanya berpedoman pada hasil pemetaan geologi permukaan saja. Oleh sebab itu, di

samping kegiatan pemboran inti, akan lebih baik bila ditunjang oleh data hasil

penelitian geofisika.

Dengan demikian rekonstruksi perjalanan lapisan batubara dapat diikuti

dengan bantuan hasil interpretasi dari data geofisika. Apabila patahan-patahan

secara seri didapatkan, keadaan batubara pada daerah patahan akan ikut hancur.

Akibatnya keberadaan kontaminan anorganik pada batubara tidak terhindarkan.

Makin banyak patahan yang terjadi pada satu seri sedimentasi endapan batubara,

makin banyak kontaminan anorganik yang terikut pada batubara pada saat

ditambang.

Page 15: Bab III Landasan Teori

Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com

Gambar 3.9Endapan Batubara karena Pengaruh Sesar (Fault)

3.5 Klasifikasi Batubara

Untuk mengetahui tingkat (rank) dari batubara maka diperlukan analisis

klasifikasi batubara . klasifikasi yang saat ini umum digunakan yaitu klasifikasi yang

dibuat oleh ASTM (American Society for Testing and Materials) (ASTM, 1981, dalam

Wood dkk, 1983).

Tabel 3.1Klasifikasi Batubara Berdasarkan Tingkatnya 

(ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)

Class Group

Fixed Carbon ,% , dmmf

Volatile Matter

Limits, % , dmmf

Calorific Value Limits BTU per pound (mmmf)

Equal or

Greater Than

Less Than

Greater

Than

Equal or

Less Than

Equal or

Greater Than

LessThan

Agglomerating Character

I.

Anthracite

1.Meta-anthracite 98 2Non-

agglomerating

2.Anthracite 92 98 2 8

3.Semianthracite 86 92 8 14

II.

Bituminous

1.Low volatile bituminous coal

78 86 14 22

Page 16: Bab III Landasan Teori

2.Medium volatilebituminous coal

69 78 22 31

3.High volatile Abituminous coal

69 31 14000 commonly

4.High volatile Bbituminous coal

130001400

0agglomerating

5.High volatile Cbituminous coal

115001300

0

105001150

0agglomerating

III. Sub-

bituminou

s

1.SubbituminousA coal 105001150

0

2.SubbituminousB coal 95001050

0

3.SubbituminousC coal 8300 9500Non-

agglomerating

IV. Lignite1.Lignite A 6300 8300

1.Lignite B 6300Sumber : ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan,

panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas, yaitu :

1. Antrasit

Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan

(luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan

kadar air kurang dari 8%.

2. Bituminus

Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10%

dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.

3. Sub-bituminus

Page 17: Bab III Landasan Teori

Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh

karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan

bituminus.

4. Lignit atau Batubara Cokelat

Lignit adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari

beratnya.

5. Gambut

Gambut berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang

paling rendah.