Upload
irham-yarhamka
View
29
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Batubara
Batubara merupakan salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari
endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.
Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan
lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan
tahun sehingga membentuk lapisan batubara.
Proses Pembentukan batubara itu sendiri dimulai sejak zaman batubara
pertama (Carboniferous Period/ Periode Pembentukan Karbon atau Batubara), yang
berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu.
Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta
lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya
gambut berubah menjadi lignite (batubara muda) atau ‘brown coal (batubara coklat)’
– Ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan
batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari
hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Akibat pengaruh suhu dan tekanan yang
terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang
secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda
menjadi batubara ‘sub-bitumen’.
Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi
lebih keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’.
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membentuk antrasit.
3.2 Genesa Batubara
Endapan batubara terbentuk dari 2 tahap pembentukan, yaitu pembentukan
gambut dan pembentukan batubara. Dalam pembentukannya, batubara akan
melalui beberapa tahap dari bahan asalnya terbentuk. Proses tersebut meliputi,
pembentukan gambut (peatification) dan pembentukan batubara (coalification).
Proses penggambutan mencakup proses mikrobial, perubahan kimia (biochemical
coalification), geochemical coalification dan humifikasi. Proses pembatubaraan
merupakan perkembangan gambut menjadi lignit, sub bituminous dan bituminous
coal, hingga antrasit dan meta-antrasit.
Batubara dapat digunakan sebagai alat ukur untuk diagenesa sedimen
dengan melihat perubahan temperatur. Reaksi yang terjadi dapat meliputi
perubahan struktur kimia ataupun fisik. Proses pembatubaran terutama dikontrol
oleh temperatur, tekanan, dan waktu. Tekanan makin tinggi maka proses
pembatubaraan makin cepat, terutama di daerah patahan, terlipat, dan sebagainya.
Sumber : http://www.jendelaexplorasi.net
Gambar 3.1Tipe Cekungan Pembentukan Batubara Pulau Sumatera
Tipe cekungan pembawa batubara utama di Indonesia adalah intermontana
basin paleogen,foreland basin, dan delta basin neogen. Pada cekungan muka
daratan (foreland basin) terjadi pengendapan yang cepat pada zaman tersier dalam
lingkungan laut yang setengah tertutup dan diikuti oleh perlipatan lemah sampai
sedang pada akhir tersier. Umur cekungan batubara Indonesia merupakan batubara
tersier yang dibedakan oleh kondisi transgresi dan regresi. Umur batubara Indonesia
tertua adalah batubara paleogen, yaitu 68 juta tahun hingga 23 juta tahun. Batubara
neogen yang terbentuk setelah regresi berumur 23 juta tahun hingga 1 juta tahun
lalu. Di Indonesia, cekungan pembawa batubara terdiri dari beberapa cekungan
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Secara umum, pembentukan batubara di Indonesia dibagi menjadi daerah
Indonesia barat dan Indonesia timur. Pembentukan batubara di Indonesia barat,
pengendapan sedimen terjadi secara sempurna sebelum terjadinya transgresi pada
akhir paleogen. Di Indonesia Timur, pengisian sedimen tidak terjadi sempurna
hingga transgresi terjadi. Akibatnya, sedimentasi yang terjadi
berupa platform karbonatan. Siklus regresi mulai terjadi pada miosen tengah,
dengan sedimentasi berubah dari laut dalam, laut dangkal, paludal, delta
hingga continental.
Sumber : http://godamaiku.blogspot.com
Gambar 3.2
Proses Penggambutan
Pengendapan pada masa neogen terjadi secara luas dan di bagian back
deep. Regresi dihipotesiskan terjadi karena adanya proses orogenesa dan adanya
sedimentasi yang lebih cepat dibandingkan penurunan basin sehingga garis pantai
bergerak. Berdasarkan hipotesis kedua ini, terbentuk adanya delta. Proses
sedimentasi terhenti memasuki masa kuarter pada pleistosen, dengan dicirikan
adanya endapan tuff.
Hal inilah yang menjadi dasar pembagian batubara ekonomis yang ada di
Indonesia. Batubara di Indonesia disebutkan sebagai endapan batubara eosen dan
endapan batubara miosen. Endapan batubara eosen merupakan bagian dari
endapan paleogen dan terbentuk di sepanjang tepian Paparan Sunda, di sebelah
barat Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Batubara
eosen dicirikan sebagai batubara yang ketebalan bervariasi dan banyak lapisan,
berkadar sulfur dan abu tinggi, penyebaran terbatas, pengendapan bersamaan
dengan aktivitas tektonik, berkaitan dengan busur vulkanik dan hampir
seluruhnya autochton. Cekungan Paleogen di Indonesia terdiri dari intermontana
basin dan continental margin. Endapan Paleogen penting di Indonesia antara lain
adalah di Ombilin (Sumatera Barat), Bayah (Jawa Barat), Pasir (Kalimantan bagian
Tenggara), Pulau Sebuku (Kalimantan Tengah), Melawi (Kalimantan Barat).
Endapan miosen merupakan endapan batubara yang terjadi setelah fase
regresi. Endapan ini memiliki ciri endapan batubara yang relatif tebal secara lokal
dengan kadar abu dan sulfur rendah. Batubara ini umumnya terdeposisi pada
lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai. Cekungan utama batubara Eosen
antara lain adalah Cekungan Kutai bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan
Barito (Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera bagian selatan. Endapan
batubara miosen banyak terjadi pada cekungan foreland/backdeep dan delta.
Kondisi regresi dicirikan oleh mundurnya laut yang lambat dan pendangkalan
lingkungan pengendapan dari laut dalam ke laut dangkal, rawa – rawa, delta hingga
daratan. Penutupan dari proses sedimentasi pada kala ini terjadi pada pleistosen
oleh pengendapan tuff. Sebagai contoh adalah Cekungan Sumatera Selatan dan
Sumatera Tengah. Kedua cekungan ini terjadi setelah fase regresif dengan
pengendapan dari laut dalam hingga ke laut dangkal dan lingkungan delta yang
ditutupi oleh endapan rawa – rawa. Endapan batubara yang dihasilkan merupakan
endapan batubara khas formasi regresif.
Karakteristik batubara Eosen umumnya sangat masif, berwarna hitam, kilap
gelas, jenis batubara bituminous – subbituminous, dan kadar kalori tinggi. Batubara
Eosen sering tersingkap baik berupa lapisan dan membentuk seam batubara.
Batubara Miosen sebagian besar berupa lignit, sangat lunak, kadar air tinggi, kadar
debu rendah, dan kadar kalori rendah. Batubara Miosen umumnya menunjukkan
bentuk lapisan yang kurang baik dalam singkapan. Hal ini terjadi karena kadar air
dalam batubara tinggi, tekanan kompaksi rendah serta lapisan lempung sering kali
ada dalam lapisan batubara tersebut.
Ada dua teori yang menerangkan terjadinya batubara, yaitu :
Teori In-situ
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori
in-situ lazimnya terjadi di hutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan
tersebut pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut,
dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan secara sempurna, dan
akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen organik.
Sumber : http://godamaiku.blogspot.com
Gambar 3.3Ilustrasi Pembentukan Batubara In-Situ
Teori Drift
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan yang
bukan di tempat dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk
sesuai dengan teori drift biasanya terjadi di delta-delta, mempunyai ciri-ciri lapisan
batubara tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya (multiple seam), banyak
pengotor (kandungan abu cenderung tinggi). Proses pembentukan batubara terdiri
dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia
(pembatubaraan).
Sumber : http://godamaiku.blogspot.com
Gambar 3.4Ilustrasi Pembentukan Batubara Drift
Faktor yang berpengaruh dalam pembentukan batubara antara lain adalah :
Posisi Geotektonik
Suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik
lempeng dalam pembentukan batubara merupakan faktor yang dominan akan
mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan pengendapan dan kecepatan
penurunan cekungan Pada fase akhir, posisi geotektonik mempengaruhi proses
metamorfosa organik dan struktur lapangan batubara melalui masa sejarah setelah
pengendapan akhir
Topografi (morfologi)
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting
karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk
Iklim
Kelembaban mengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai
tergantung posisi geografi dan dipengaruhi oleh posisi geotektonik Tropis dan
subtropis sesuai untuk pertumbuhan yang optimal hutan rawa tropis mempunyai
siklus pertumbuhan setiap 7-9 tahun dengan ketinggian pohon mencapai 30 m.
Sedang iklim yanng lebih dingin ketinggian pohon hanya mencapai 5-6 meter dalam
waktu yang sama.
Penurunan Cekungan
Penurunan cekungan dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik jika penurunan
dan pengendapan gambut seimbang maka akan dihasilkan endapan batubara yang
tebal. Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan
pengendapannya. Menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang
mempengaruhi mutu dari batubara yang terbentuk.
Umur Geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan tumbuhan
Makin tua umur suatu batuan akan memiliki kemungkinan makin dalam penimbunan
yang terjadi hingga mampu terbentuk batubara bermutu tinggi
Tumbuh-tumbuhan
Unsur utama pembentuk batubara dengan lingkngan tertentu dan sebagai
faktor penentu tipe batubara, evolusi kehidupan menciptakan kondisi yang berbeda
selama masa sejarah geologi
Dekomposisi
Merupakan bagian dari tansformasi biokimia material organik yang
merupakan titik awal seluruh alterasi
Sejarah Setelah Pengendapan
Sejarah cekungan tergantung pada posisi geotektonikterjadi proses geokimia
dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut bertanggung jawab
terhadap pembentukan struktur cekungan batubara baik berupa sesar, lipatan,
intrusi danlainnya.
Struktur cekugan pembentuk
Struktur cekungan pembentukan batubara yang berbeda akan menghasilkan
bentuk endapan yang berbeda sesuai bentuk cekungan yang ada.
Metamorfosis organik
Selama proses ini terjadi pengurangan kandungan air, oksigen dan zat
terbang (CO2, CO, CH4 dll) akan mempengaruhi pembentukan batubara.
3.3 Lingkungan Pengendapan Batubara
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi
lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-
pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh
tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang
bervariasi.
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral,
ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan
yag berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas
organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi
dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga
oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi
diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di
dunia terbentuk di lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan
pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga
fluviatil.
Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama
pembentuk batubara yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and
upper delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap
lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara
yang berbeda.
Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan
fluvial flood plain dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah
pantai akan membentuk delta dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen &
Chambers, 1998).
Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta
yang terletak di atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di
lingkungan delta plain ialah endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan
swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur
sedimen.
Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross
bedding, graded bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa
laminasi karbonan. Kontak di bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat
bagian deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara dan plagioklas. Secara
lateral endapan channel akan berubah secara berangsur menjadi endapan flood
plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam (natural levee)
yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee yang
dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan batulanau dengan struktur sedimen ripple
lamination dan paralel lamination.
Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan
membentuk crevase play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus –
sedang dengan struktur sedimen cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi.
Laminasi batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum ditemukan. Ukuran
butir berkurang semakin jauh dari channel utamanya dan umumnya memperlihatkan
pola mengasar ke atas.
Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi
endapan flood plain. Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang
diendapkan secara suspensi dari air limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan
oleh batulanau, batulempung, dan batubara berlapis.
Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa
batubara karena lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana
lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi gambut.
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh
pohon-pohon keras dan akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan
tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang
menghasilkan batubara berlapis (Allen, 1985).
3.4 Tipe dan Bentuk Endapan Batubara
Tipe dan bentuk endapan batubara di alam dapat berbeda bentuknya sesuai
dengan faktor yang mempengaruhinya. Bentuk tersebut antara lain :
1. Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang
menutupinya melengkung kearah atas yang diakibatkan oleh besarnya gaya
kompresi
akibat pelengkungan itu, batubara terlihat terpecah-pecah, akibatnya batubara
mejadi kurang kompak.
Pengaruh air hujan, yang selanjutnya menjadi air tanah, akan mengakibatkan
sebagian dari butiran batuan sedimen yang terletak di atasnya, bersama air tanah
akan masuk diantara rekahan lapisan batubara, kejadian ini saat di tambang
mengakibatkan batubara mengalami pengotoran (terkontaminasi) dalam bentuk
butiran-butiran batuan sedimen sebagai kontaminan anorganik, sehingga batubara
menjadi tidak bersih dan hal tersebut tidak diinginkan apabila batubara terebut akan
dipergunakan sebagai bahan bakar.
Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com
Gambar 3.5Endapan Batubara Berbentuk Horse Back
2. Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. pada
umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan yang
plastis misalnya batulempung sedang di atas lapisan batubara secara setempat
ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur.
Sangat dimungkinkan, bentuk pinch ini bukan merupakan penampakan
tunggal, melainkan merupakan penampakan yang berulang-ulang. ukuran bentuk
pinch bervariasi dari beberapa meter sampai puluhan meter. Dalam proses
penambangan batubara, batupasir yang mengisi pada alur-alur tersebut tidak
terhindarkan ikut tergali, sehingga keberadaan fragmen-fragmen batupasir tersebut
juga dianggap sebagai pengotor anorganik. Keberadaan pengotor ini tidak
diinginkan apabila batubara tersebut akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com
Gambar 3.6Endapan Batubara Berbentuk Pinch
3. Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila di antara dua bagian lapisan batubara terdapat urat
lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan batubara
mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan
terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.
Apabila batubaranya ditambang, bentukan clay vein ini dipastikan ikut
tertambang dan merupakan pengotor anorganik (mineral matter) yang tidak
diharapkan. Pengotor ini harus dihilangkan apabila batubara tersebut akan
dikonsumsi sebagai bahan bakar.
Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com
Gambar 3.7Endapan Batubara Berbentuk Clay Vein
4. Bentuk Burried Hill
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk suatu
kulminasi sehingga lapisan batubara seperti “terintrusi”. Sangat dimungkinkan
lapisan batubara pada bagian yang “terintrusi” menjadi menipis atau hampir hilang
sama sekali.
Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari beberapa meter sampai puluhan
meter. Data hasil pemboran inti pada saat eksplorasi akan banyak membantu dalam
menentukan dimensi bentukan tersebut. Apabila bentukan intrusi tersebut
merupakan batuan beku, pada saat proses penambangan dapat dihindarkan, tetapi
apabila bentukan tersebut merupakan tubuh batupasir, dalam proses penambangan
sangat dimungkinkan ikut tergali.
Òleh sebab itu, ketelitian dalam perencanaan penambangan sangat
diperlukan, agar fragmen-fragmen intrusi tersebut dalam batubara yang dihasilkan
dari kegiatan penambangan dapat dikurangi sehingga keberadaan pengotor
anorganik tersebut jumlahnya dapat diperkecil.
Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com
Gambar 3.8Endapan Batubara Berbentuk Burried Hill
5. Bentuk Fault (Patahan)
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami
beberapa seri patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan
perhitungan cadangan batubara. Hal ini disebabkan telah terjadi pergeseran
perlapisan batubara ke arah vertikal.
Dalam melaksanakan eksplorasi batubara di daerah yang memperlihatkan
banyak gejala patahan, diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, tidak dibenarkan
hanya berpedoman pada hasil pemetaan geologi permukaan saja. Oleh sebab itu, di
samping kegiatan pemboran inti, akan lebih baik bila ditunjang oleh data hasil
penelitian geofisika.
Dengan demikian rekonstruksi perjalanan lapisan batubara dapat diikuti
dengan bantuan hasil interpretasi dari data geofisika. Apabila patahan-patahan
secara seri didapatkan, keadaan batubara pada daerah patahan akan ikut hancur.
Akibatnya keberadaan kontaminan anorganik pada batubara tidak terhindarkan.
Makin banyak patahan yang terjadi pada satu seri sedimentasi endapan batubara,
makin banyak kontaminan anorganik yang terikut pada batubara pada saat
ditambang.
Sumber : http://mheea-nck.blogspot.com
Gambar 3.9Endapan Batubara karena Pengaruh Sesar (Fault)
3.5 Klasifikasi Batubara
Untuk mengetahui tingkat (rank) dari batubara maka diperlukan analisis
klasifikasi batubara . klasifikasi yang saat ini umum digunakan yaitu klasifikasi yang
dibuat oleh ASTM (American Society for Testing and Materials) (ASTM, 1981, dalam
Wood dkk, 1983).
Tabel 3.1Klasifikasi Batubara Berdasarkan Tingkatnya
(ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)
Class Group
Fixed Carbon ,% , dmmf
Volatile Matter
Limits, % , dmmf
Calorific Value Limits BTU per pound (mmmf)
Equal or
Greater Than
Less Than
Greater
Than
Equal or
Less Than
Equal or
Greater Than
LessThan
Agglomerating Character
I.
Anthracite
1.Meta-anthracite 98 2Non-
agglomerating
2.Anthracite 92 98 2 8
3.Semianthracite 86 92 8 14
II.
Bituminous
1.Low volatile bituminous coal
78 86 14 22
2.Medium volatilebituminous coal
69 78 22 31
3.High volatile Abituminous coal
69 31 14000 commonly
4.High volatile Bbituminous coal
130001400
0agglomerating
5.High volatile Cbituminous coal
115001300
0
105001150
0agglomerating
III. Sub-
bituminou
s
1.SubbituminousA coal 105001150
0
2.SubbituminousB coal 95001050
0
3.SubbituminousC coal 8300 9500Non-
agglomerating
IV. Lignite1.Lignite A 6300 8300
1.Lignite B 6300Sumber : ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan,
panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas, yaitu :
1. Antrasit
Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan
(luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan
kadar air kurang dari 8%.
2. Bituminus
Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10%
dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
3. Sub-bituminus
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh
karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan
bituminus.
4. Lignit atau Batubara Cokelat
Lignit adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari
beratnya.
5. Gambut
Gambut berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang
paling rendah.