Upload
lykiet
View
262
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
97
BAB III
LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA
3.1. Pendahuluan
Istilah Liturgi Gereja Kristen Jawa (GKJ) di dalam Bab I telah
dijelaskan sebagai tatanan dalam ibadah yang dimiliki oleh GKJ dengan
berbagai unsur pokok beserta dengan susunan dan pengertiannya sebagai
suatu rumusan yang berlaku. Adapun GKJ itu sendiri adalah merupakan
kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah di
dalam Yesus Kristus Tuhan yang ada di suatu tempat tertentu, yang
dipimpin oleh majelis gereja, dan yang telah mampu mengatur diri sendiri,
mengembangkan diri sendiri, serta membiayai diri sendiri berdasarkan
Alkitab, Pokok-Pokok Ajaran dan Tata Gereja serta Tata Laksana yang
disusunnya.
Sehubungan dengan tujuan kajian pada tulisan ini, ada berbagai sisi
yang dapat dicermati dari rumusan tata peribadahan GKJ. Selain meng-
ungkapkan isi maupun susunan yang terdapat di dalamnya, awal mula
keberadaan liturgi GKJ dengan berbagai latar belakang dan tindakan-
tindakan pengembangan di waktu kemudian di tengah tantangan dan
pergumulan kebutuhan jaman, juga merupakan sisi penting lain yang perlu
dikemukakan. Karena itu dalam bagian kajian data ini akan disampaikan
berturut-turut tentang gambaran liturgi umat Kristen Jawa sebelum GKJ,
98
kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ, beserta
tantangan dan pegumulan di dalam pengembangannya.
3.2. Liturgi Umat Kristen Jawa Pra-GKJ
Yang dimaksudkan dengan Umat Kristen Jawa Pra-GKJ di sini adalah
umat Kristen yang sebelum menjadi GKJ sebagai buah asuhan GKN
(Gerefor-meerde Kerken in Nederland) pernah menjadi umat Kristen di
bawah asuhan penginjil bernama Sadrach. Dalam tulisan Sigit Heru
Soekotjo, sang penginjil itu memberi nama jemaat asuhannya dengan
sebutan Gôlôngane Wông Kristên Kang Mārdikâ (Ind. Golongannya Orang
Kristen Yang Merdeka).142
Alasan penting untuk mengungkap gambaran liturgi umat Kristen
Jawa pada masa waktu sebelum keberadaan GKJ di bagian ini adalah karena
meskipun intinya mengarah pada tujuan keselamatan atas iman yang sama
di dalam Yesus Kristus Tuhan, tetapi bentuk pengungkapannya berbeda
dengan liturgi GKJ yang dikenal pada masa kini. Dalam tulisan sejarah yang
disusun oleh Soekotjo tadi, sewaktu kumpulan umat Kristen Jawa di daerah
Jawa Tengah (bahkan ada juga yang di wilayah Yogyakarta) dikelola oleh
pendiri yang sekaligus seorang penginjil pribumi yang bernama Sadrach,
ibadah mereka menampakkan adanya nuansa sentuhan kebudayaan Jawa
yang cukup kuat. Bukan hanya penggunaan bahasa Jawa, pakaian adat,
142
S. H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1: Di Bawah Bayang-
Bayang Zending 1858-1948 (Salatiga, Yogyakarta: LSP GKJ, TPK, 2009), 179, 184, 204-
205.
99
ataupun bangunan peribadahan berbentuk joglo dengan puncak atap ter-
pasang senjata anak panah dan senjata cakra yang lekat dengan lambang
filosofi kepercayaan hidup orang Jawa, tetapi ada sisi perilaku maupun sisi
seni Jawanya pula.
Gambaran yang demikian itu jelas di dalam keterangan lanjut dari
Soekotjo yang digali dari versi Pendeta Heyting dan Pendeta Adriaanse.
Menurut versi pertama, pada waktu ibadah umat duduk lesehan beralas
klâsâ (tikar pandan) maupun blékêtepe (anyaman daun kelapa). Kaum
wanita mengenakan kerudung dan duduknya terpisah dengan kaum laki-
laki. Saat pelayan ibadah datang menempatkan diri, para laki-laki berdiri.
Selanjutnya umat mengucapkan Doa Bapa Kami yang diteruskan dengan
doa syukur oleh imam. Setelah itu dilantunkan kidûng pujian bersama, dan
setelah itu dibacakan Alkitab serta dilayankan khotbah atau disaksian.
Akhirnya, ibadah ditutup dengan kidûng pula. Adapun versi kedua yang
ditulis 15 tahun kemudian, dinyatakan bahwa sebelum ibadah dimulai umat
duduk-duduk sambil menikmati hidangan minum di pêndâpâ. Selanjutnya
ketika ibadah akan dimulai mereka berdiri di depan pintu sambil mengucap-
kan doa pendek secara pelan, dan berjalan ke arah mimbar yang disusul
persembahan serta doa syukur. Setelah itu mereka kemudian mengambil
tempat duduk. Berikutnya umat melakukan doa pribadi atau pelayanan Doa
Bapa Kami yang dibacakan oleh imam, diteruskan nyanyian jemaat dan
pembacaan Sepuluh Hukum Tuhan atau ringkasannya, pengucapan
100
Pengakuan Iman Rasuli, pembacaan Alkitab dan khotbah, doa syukur, dan
penyampaian berkat.143
Formasi duduk umat pada peibadahan itu pun mirip dengan pola
padepôkan (sekolahan ala Jawa). Seperti diungkapkan oleh Soetarman
Soediman Partanadi, dalam peribadahan itu umat duduk dengan formasi
setengah lingkaran di depan pengkotbah atau sang pemimpin ibadah yang
menghadap Alkitab di atas meja kecil sebagai mimbar.144
Dari penjelasan-
nya pula, nuansa Jawa dalam liturgi para pengikut Sadrach itu terlihat jelas
dengan adanya nyanyian yang disebut sêkar (têmbang atau kidûng) yang
dilantunkan tidak hanya sebagai pujian kepada Tuhan, tetapi juga untuk doa
maupun pengakuan iman mereka. Nyanyian-nyanyian itu dikenal dengan
istilah “Rêrêpénìng Tiyang Kristên” (Nyanyiannya Orang Kristen), yang
meliputi Sêkar Kinanthi Pêpakên Sādâsâ Prākawìs (Nyanyian Kinanthi
Sepuluh Hukum), Sêkar Sinôm Pāngakênìng Pitadôs Rasuli (Nyanyian
Sinom Pengakuan Iman Rasuli), Sêkar Pucûng Dongâ Râmâ Kawulâ
(Nyanyian Pucung Doa Bapa Kami), Sêkar Dhandhang Gulâ Pandongâ
Badhe Nampéni Piwulang (Nyanyian Dhandhang Gula Doa Hendak
Menerima Pengajaran), Sêkar Mas Kumambang Rêrêpén Pandongâ Íng
Wanci Enjang (Nyanyian Mas Kumambang Lantunan Doa Di Waktu Pagi),
Sêkar Mijìl Rêrêpén Pandongâ Badhe Nêdhâ (Nyanyian Mijil Lantunan
143
Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 226-229. 144
Soetarman Soedirman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstual:
Suatu Eskpresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 151-162.
101
Doa Hendak Makan), Sêkar Gambûh Rêrêpén Pamuji Íng Wanci Sôntên
(Nyanyian Gambuh Lantunan Pujian Di Waktu Sore atau Petang).145
Data di atas memiliki kesesuaian dengan penuturan Petrus dan
Soegeng Soegiarto yang merupakan para generasi penerus Jotham
Martoredjo, satu-satunya pewaris Sadrach. Dalam wawancara dengan
mereka, jalannya peribadahan umat Kristen Jawa pada waktu itu, dijelaskan
sebagai berikut:
“Sewaktu warga Gereja memasuki gerbang yang ada di sebelah
Utara itu, kemudian duduk istirahat bersama beberapa saat sambil
berbincang di pendapa sini. Lalu ketika hendak masuk ke Gereja
atau dulu yang disebut masjid, semua membasuh diri bersama. ...
Ada padasan dekat gerbang sebelah dalam sana untuk berbasuh.
... Setelah itu bersama menuju pintu Gereja dengan tenang.
Sampai di depan pintu itu kemudian membungkung, berjalan
masuk dengan jongkok dan tertunduk, hingga duduk dengan
batin hening. ... Semua tidak boleh ngobrol lagi dan harus berdoa
dalam hati. ... Karena di dalam semuanya harus sudah siap meng-
hadap Tuhan. ... Formasi yang bersama duduk tersebut ber-
keliling di depan dan di kiri kanan pengajar duduk. ... Ketika
pendeta atau pengajar telah duduk dan siap di depan meja
mimbar kecil untuk menempatkan Alkitab, kebaktian dimulai
dengan mengajak warga persembahan bersama. ... setelah
terkumpul, persembahan dihaturkan dengan doa. ... Disertai juga
Doa Bapa Kami. Tetapi Doa Bapa Kaminya berupa nyanyian,
seperti pengakuan Sahadat Rasuli setelah Doa Bapa Kami
tersebut. ... Membaca Alkitab dan khotbah dilakukan setelah
sahadat. ... Terkadang khotbahnya uraian, tetapi ada juga
145
Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstual, 159-163, 295-302.
102
nyanyian yang isinya petunjuk. ... Selesai khotbah diteruskan doa
maupun pujian dengan nyanyian. ... akhirnya, sebelum ditutup
dan dibubarkan, pendeta atau pengajar menghantarkan berkat.”146
Disayangkan bahwa liturgi peribadahan Gôlôngane Wông Kristên
Kang Mārdikâ di atas hanya untuk Ibadah Hari Minggu biasa. Untuk
pelaksanaan Sakramen Perjamuan yang menjadi pusat atau inti peribadahan
Kristen itu sendiri tidak mereka singgung. Dimungkinkan hanyalah C.
Guillot yang menyinggungnya, dan hal itu pun singkat sekali. Dinyatakan-
nya bahwa pada tanggal 30 April 1899, untuk pertama kalinya di Gereja
Karangjoso, Sadrach menyelenggarakan ekaristi.147
Selain pernyataan itu,
tidak ada penjelasan lain secara khusus ataupun lanjutan. Artinya seperti apa
wujud sakramen tersebut tidak jelas. Unsur-unsur pokok apa saja yang
menjadi susunannya, piranti apa saja yang dipergunakan, dan bagaimana
tatacara pelaksanaan serta maknanya, semuanya itu belum dapat diketahui.
Yang pasti, secara umum liturgi peribadahan yang dilaksanakan umat
Kristen Jawa pra-GKJ itu punya perbedaan khas. Sebagaimana telah
diungkapkan, bila awalnya memiliki wujud yang kental dengan nuansa
budaya pribumi, maka ketika telah menjadi GKJ wujudnya cenderung
menonjol dalam nuansa budaya Eropa yang khas dengan gaya resmi ala
sidang pengadilan pemerintah Hindia-Belanda. Misalnya dari segi penam-
pilan seperti pakaian, cara penyampaian ajaran, kebiasaan persiapan masuk
146
Lampiran 6. 147
C. Guillot, Kyai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers,
1985), 166.
103
peribadahan, formasi tempat duduk, dan lain sebagainya. Selain penampilan
ada juga sisi dari dalam dasar pemikiran dan makna yang dapat dirumuskan
dari apa yang ada pada sisi kelihatan itu. Misalnya gagasan teologis sebagai
dasar ajaran maupun tradisi gereja yang lebih banyak dipengaruhi
pandangan luar, yaitu ajaran Calvinis dari GKN yang pada tahun 1933
menjadi Gereja mitra resmi semenjak penerus Sadrach, yaitu Jotham
Martoredjo membuat pendekatan terbuka bagi kehidupan jemaat terhadap
kenyataan suasana perkembangan dan kemajuan yang terus berlanjut hingga
sekarang sebagai GKJ.148
Tentunya bukan hanya hubungan pengaruh langsung dari sejarah
ajaran itu saja sehingga bisa dibedakan wujud liturgi peribadahan umat
Kristen Jawa di masa lalu dengan sekarang yang disebut GKJ. Ada sisi
penting lain yang ikut mewarnai perkembangan dan perbedaan liturgi GKJ
dengan masa sebelumnya, yaitu berbagai perubahan kehidupan masyarakat
Jawa dalam kesatuan Negera Republik Indonesia, seperti berikut ini.
3.3. Kelahiran Liturgi GKJ
Keberadaan liturgi GKJ tidak lepas dari status kedewasaannya yang
ditandai dengan wadah kesatuan gereja-gereja seasas dalam ikatan sinode
pada tanggal 17 Februari 1931 di Kebumen. Dilihat dari waktu kedewasaan
tersebut liturgi yang berlaku secara umum di tengah umat GKJ memang
dapat dikatakan unik. Sebab, liturgi GKJ yang masih berlaku hingga hari ini
148
Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 238-252.
104
adalah liturgi awal yang secara resmi ada pada tahun 1961.149
Padahal, bila
dilihat dari rumusan ajaran iman (dogma) yang dimiliki GKJ sendiri sebagai
sumber untuk merumuskan liturginya, baru ada pada tahun 1996.
Dalam artikel 65, Akta Sinode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa, butir
1-4 dinyatakan bahwa: “Setelah mendengarkan laporan Seksi III mengenai
Laporan Deputat Liturgie yang ditambah penjelasan lisan oleh Mr. Dr. D.
C. Mulder tentang Liturgi Persekutuan Ibadah Pagi150
: (1) Menerima
Susunan Liturgi Ibadah Pagi secara utuh setelah diadakan perubahan-
perubahan secukupnya. (2) Pelaksanaan liturgi ini direncanakan besuk Hari
Raya Pentakosta, tanggal 21 Mei 1961. (3) Sebelum liturgi ini dilaksanakan/
dimulai, jemaat-jemaat berkenan mempelajari terlebih dulu rancangan tata
peribadatan tadi. (4) Menugasi Deputat Liturgie memperbanyak susunan
liturgi dengan keterangannya dan menyebarluaskan kepada jemaat-jemaat
secepatnya.”151
Meskipun liturgi GKJ yang berlaku umum di tengah umatnya muncul
tigapuluh tahun semenjak kelahirannya sebagai gereja dewasa, bukan berarti
bahwa sebelum masa itu tidak ada liturgi di dalam kehidupan peribadatan
mereka. Kenyataan ini nampak tersirat dengan jelas dalam bahan per-
cakapan sidang sinode GKJ nomor 33 pada tahun 1938, di kota Kebumen.
149
Acta Synode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa, tanggal 20-24 Februari 1961 ing
Magelang. 150
Ibadah Pagi yang dimaksud adalah Ibadah Minggu. Disebut Ibadah Pagi, karena
Peribadahan umat GKJ pada hari Minggu pada waktu itu memang diselenggarakan hanya
satu kali dengan waktu pagi hari. Adapun kegiatan persekutuan umat di gedung Gereja
pada waktu sore harinya tidak dimaksudkan peribadatan tetapi menjadi kesempatan untuk
mengadakan pelayanan pengajaran (katekisasi) bagi para warga anggota majelis dan warga
persiapan baptis maupun sidhi. 151
Acta Synode VII Geredja-Geredja Kristen Djawa Artikel 65.
105
Dalam bahan tersebut dinyatakan bahwa, Klasis Ngayogyakarta usul supaya
ada panitia untuk meneliti dan mengumpulkan serta mengkaji tentang tata
peribadatan yang ada di tengah Jemaat Kristen Jawa.152
Dari akta sidang tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan
peribadatan umatnya, di lingkup GKJ ada jemaat-jemaat yang telah mem-
punyai dan menggunakan liturgi milik mereka masing-masing. Pengertian
itu sekaligus menunjukkan pula bahwa liturgi yang dimiliki oleh masing-
masing jemaat dilingkup GKJ dimungkinkan berbeda-beda. Formula liturgi
yang dimiliki oleh jemaat GKJ yang satu berbeda dengan formula liturgi
jemaat GKJ yang lainnya. Karena kemungkinan itulah, liturgi mereka
pandang penting untuk diangkat menjadi percakapan bersama di lingkup
sinode pada usia tujuh tahun setelah lahir menjadi Gereja dewasa.
Adapun percakapan-percakapan lain berkaitan dengan tata peribadatan
umat di dalam persidangan-persidangan sinode sebelum maupun sesudah
tahun 1938 tersebut lebih mengarah pada persoalan perlengkapan maupun
pengembangan yang dibutuhkan untuk peristiwa-peristiwa penting gerejawi.
Misalnya, seperti nyanyian-nyanyian jemaat, musik untuk peribadatan,
Baptisan dan Perjamuan Kudus beserta dengan rumusan yang digunakan
dalam peribadatan maupun surat keterangan pelayanan baptis, pengakuan
iman GKJ, tata cara atau teknis pelaksanaan liturgi, dan lain sebagainya.153
152
Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetoesanipoen Pasamoewan-
Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 4-7 Juli 1938, Wonten
ing Keboemen, no. 33. 153
Lih., Akta persidangan Sinode GKJ tahun 1931-1936, 1964, dan seterusnya.
106
Seperti dijelaskan dalam petunjuk pelaksanaan liturgi yang dicontoh-
kan dari hasil penelitian yang terdapat pada akta persidangan berikutnya154
setelah tahun 1938, persidangan sinode GKJ pada tahun 1940 di Magelang,
Jawa Tengah, disampaikan sebagai berikut:155
“(1) Gereja diharapkan ke-
tenangannya. (2) Masuknya warga jemaat ke gereja jangan terlambat.
Sebab, persekutuan pada waktu itu tadi hendak menghadap kepada Tuhan
yang diharap-harapkan berkatnya. (3) Selama duduk menanti keluarnya
pendeta, bersama-sama perlu keheningan supaya khidmat. Sewaktu pendeta
tampak keluar, jemaat bersama-sama berdiri, layaknya seperti orang meng-
hormati datangnya utusannya raja yang menjunjung perintah, yang akan
dicurahkan. Berdirinya jemaat tadi hingga sampai selesainya pendeta
mencurahkan berkat pembukaan persekutuan (Ibadah). (4) Pendeta keluar
dari ruang belakang diiring anggota majelis. Pendeta naik mimbar, anggota
majelis dan jemaat berdoa pribadi sesaat. Pendeta kemudian mengajak
jemaat dengan kalimat, “Marilah kita berbuat dalam hati demikian.
Pertolonganku itu berasal dari kuasa Nama TUHAN yang menciptakan
154
Acta Kakantjingan-Kakantjingan Rembag-Rembag Synode (Rapat Agoeng)
Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel kala tanggal 29-31
Juli 1940 ing Magelang Artikel 9, menyatakan: “Panitia telah membuat rancangan liturgi
sementara, tetapi hanya memberikan satu Tata Ibadah Minggu ini. Percakapan tentang isi
dan urutannya telah disepakati semua. Namun karena tempatnya berbeda-beda, maka
membuat keputusan: Diserahkan kepada jemaat-jemaat supaya kemudian dicoba, kelak
kemudian bisa melihat kekurangannya, sehingga kemudian bisa membuat tatanan yang
baku, dengan mengingat penerapan dan tempat.” (Terjemahan). 155
Acta Kakantjingan-Kakantjingan Rembag-Rembag Synode (Rapat Agoeng)
Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 29-31
Juli 1940 ing Magelang, Artikel 9.
107
langit dan bumi. Amin.” (5) Setelah mengucapkan votum156
tadi, pendeta
kemudian berkata kepada jemaat dengan kalimat, “Saudara-saudara, silakan
saudara terima berkat Tuhan Allah. Kasih karunia dan damai sejahtera dari
Allah, Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus kiranya ada pada saudara. Amin.”
(6) Setelah bersama-sama menyanyi, pendeta kemudian berkata kepada
jemaat dengan kalimat, “Saudara-saudara. Silakan saudara terima hukum
perintahnya Tuhan Allah.” Dengan suara lantang dan pelan, “Akulah
TUHAN, Allahmu ...,” seterusnya hingga sampai hukum yang kesepuluh.
Sehabis pembacaan hukum-hukum, anggota majelis (yang duduk di depan)
membaca nyanyian yang dipakai untuk memberikan jawabannya jemaat
terhadap perintah tadi, kemudian mengajak jemaat menyanyikan nyanyian
tadi. (7) Apabila pendeta mengambil pengakuan iman, demikian, “Marilah
bersama-sama mengakui iman kita di tengah dunia. Aku ...,” seterusnya.
Sehabis pengakuan iman, dilanjutkan menyanyi nyanyian yang ber-
hubungan dengan kepercayaan iman. (8) Setelah menyanyi, pendeta mem-
baca ayat Alkitab. Kemudian mengajak jemaat berdoa. Sebelum berdoa,
kalau perlu, pendeta menyatakan ringkasan yang akan diberikan di dalam
doa tadi. (9) Setelah berdoa, jemaat diajak menyanyi. Selama jemaat
menyanyi, kantong persembahan diedarkan. (10) Sehabis itu, pedeta mulai
khotbah. Setelah khotbah, pendeta menutup ajaran dengan Doa Bapa Kami
atau doa lainnya. Setelah berdoa, jemaat diajak menyanyi penutup.
156
Votum, artinya janji yang khidmat atau ikrar., Sinode GKJ, Liturgi GKJ,
(Salatiga: Percetakan Sinode GKJ, 1994), hal. 10. Bnd., Dr. J. L. Ch. Abineno, Unsur-
Unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011), 2-6.
108
(11) Selesai menyanyi, jemaat diajak berdiri kembali untuk menerima
berkat. Kalimatnya pendeta, “Saudara-saudara. Saudara terimalah berkat
Tuhan Allah. Kasih karunia dari Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah, dan
persekutuan Roh Kudus kiranya ada pada saudara sekalian. Amin. (12)
Bubarnya para anggota jemaat menunggu turunnya pendeta dari mimbar.”
Dari uraian kelahiran liturgi GKJ di atas ada persoalan menarik.
Sewaktu rancangan liturgi peribadahan GKJ hendak disahkan, selain
laporan dari Deputat Liturgie yang beranggotakan para teolog Jawa ada
sebuah sumber lain yang berkaitan dengan keputusan itu, yaitu penjelasan
lisan dari D. C. Mulder yang ditugaskan GKN untuk berpelayanan di GKJ.
Nampaknya pembentukan liturgi GKJ belum memiliki hubungan dengan
konteks Jawa sebagai kebudayaan tradisi maupun masyarakat yang ber-
kembang di tengah perubahan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi
nasional, melainkan terdapat pengaruh konteks Belanda sebagai bangsa
yang berbudaya Barat.
Persoalan tersebut dapat dibandingkan dengan liturgi umat Kristen
pra-GKJ yang menurut keterangan dari Soetarman157
dan Soekotjo158
bukan
saja dirumuskan oleh Sadrach karena dirinya beserta umat asuhannya adalah
orang Jawa, tetapi juga dikarenakan adanya kepentingan penyetaraan jati
diri budaya dan pribadi masyarakatnya terhadap berbagai pengaruh asing,
khususnya budaya bangsa Arab melalui Islam dan budaya bangsa Eropa
melalui Belanda.
157
Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, 252-254, 158
Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 204-206.
109
3.4. Penyebab Lahirnya Liturgi GKJ
Sesuai dengan pilahan dokumen liturgi yang terekam pada akta-akta
persidangan sinode GKJ sejak awal hingga sekarang, ada dua butir
penyebab penting yang dapat ditemukan secara langsung dalam kelahiran
liturgi GKJ.
3.4.1. Penyebab pertama: dorongan dari semangat kedewasaan di
dalam diri GKJ sendiri
Tujuh tahun setelah lahir menjadi Gereja dewasa, semangat yang
nampak pada persidangan sinode GKJ tahun 1938 memperlihatkan adanya
kesadaran bersama tentang kebutuhan liturgi yang penting di dalam
peribadatan umatnya. Karena itu pada persidangan sinode tahun 1938 ini
dicetuskan gagasan untuk mengadakan penelitian, penghimpunan, serta
pengkajian aneka liturgi yang sebelumnya telah ada dan digunakan oleh
beberapa jemaat GKJ pada waktu itu (misalnya: Ngayogyakarta, Kebumen,
Kedu). Artinya, upaya yang dilakukan melalui persidangan sinode oleh GKJ
pada waktu itu menunjukkan adanya semangat kemandirian di dalam ikatan
kehidupan bersama mereka sebagai Gereja yang merasa memiliki jati diri.
Dorongan itu tercermin pula dalam percakapan-percakapan per-
sidangan sinode yang dilakukan oleh GKJ sejak awal pada tahun 1931,
terkait dengan perlengkapan penting di dalam peribadatan. Contohnya, salah
satu perlengkapan penting yang dibutuhkan pada peribadatan waktu itu
adalah nyanyian yang digunakan oleh jemaat. Walaupun tidak bisa seketika
110
terwujud, namun upaya mandiri berikutnya untuk memenuhi kebutuhan itu
dinyatakan secara jelas dengan serangkaian tindakan secara bertahap untuk
menyusun Nyanyian Mazmur 150 dan Nyanyian Kidung dalam bahasa Jawa
maupun bahasa Indonesia, serta Nyanyian Pelengkap (Kidung Suplemen).
Bahkan, dikemudian waktu berkembang juga wacana untuk nyanyian-
nyanyian rohani populer.159
3.4.2. Penyebab kedua: dorongan dari semangat kesatuan para jemaat
(oikumene) di kalangan GKJ itu sendiri
Terlepas dari bentuk kepemimpinan GKJ yang bersifat presbiterial
sinodal, atau yang akhirnya ditegaskan hanya presbiterial saja, keinginan
untuk memiliki satu liturgi yang sama dan berlaku untuk semua umat di
kalangan jemaat-jemaat GKJ terasa begitu kuat. Kenyataan ini nampak dari
kecenderungan bahan percakapan maupun keputusan yang diambil dalam
percakapan-percakapan persidangan sinode oleh GKJ itu sendiri sejak awal
kelahirannya sebagai Gereja dewasa hingga waktu-waktu selanjutnya.
Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetosanipoen Rembag-
Rembaging Synodenipoen Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing
Djawi Tengah Kidoel tahun 1939 di Kebumen, nomor 33, dalam hal ini
menjadi pijakan untuk dilakukannya perumusan satu liturgi yang sama dan
159
Lih., Akta sidang: Synode Keboemen 1931, Synode Ngajogjokarta 1932, Synode
Soerakarta 1934, Synode Magelang 1935, Synode Poerwakerta 1936, Synode Keboemen
1938, Synode Magelang 1940, Synode Poerworedja 1942, Synode Ngajogjakarta 1946,
Synode Magelang 1948, Sinode GKD III 1951, Sinode GKD IV 1954, Sinode GKD V
1956, Sinode GKD VI 1958, Sinode GKD X 1967, Sinode GKD XI 1969, Sinode GKJ XIII
1974, Sinode GKJ XIV 1975, Sinode GKJ XV 1978, Sinode GKJ XVI 1981, Sinode GKJ
XVII 1984, Sinode GKJ XIX 1989, Sinode GKJ XX 1991, Sinode GKJ XXII 1998, Sinode
GKJ XIII 2002, Sinode GKJ Antara 2004, Sinode GKJ XXIV 2006, Sinode XXV 2009.
111
berlaku untuk semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ.160
Sebab akta ini
kemudian ditindaklanjuti dengan munculnya susunan liturgi sementara
untuk peribadatan hari Minggu pada persidangan sinode oleh GKJ pada
tahun 1940 di Kebumen, dengan pokok-pokok bagian liturgi yang berurutan
sebagai berikut: (1) Pendeta keluar dari ruang belakang diiringi oleh warga
majelis. (2) Pendeta berdiri di mimbar, berdoa pribadi, mengucapkan votum
dan membagi berkat. (3) Bernyanyi bersama. (4) Pembacaan hukum-hukum,
atau mengucapkan pengakuan iman rasuli 12. (5) Bernyanyi bersama.
(6) Pendeta membacakan ayat Alkitab. (8) Bernyanyi bersama bersamaan
beredarnya kantong persembahan. (9) Khotbah. (10) Doa Bapa Kami, atau
yang lainnya. (11) Bernyanyi bersama. (12) Membagikan berkat.
Supaya liturgi sementara untuk hari Minggu ini dapat dijalankan
secara seragam oleh semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ, maka
susunan liturgi yang sudah tersusun dengan pokok-pokok bagian di atas
juga diberikan penjelasan tentang petunjuk pelaksanaannya pula.161
Bahkan
pada persidangan sinodenya yang dilakukan kembali di Magelang pada
tahun 1948, petunjuk pelaksanaan liturgi GKJ ini semakin ditekankan dalam
artikel 48 nomor 4, butir a-h. Dalam artikel tersebut dinyatakan usulan
160
Isi dari Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetoesanipoen Pasamoewan-
Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 4-7 Juli 1938, di
Kebumen, no 33 adalah: “Klasis Ngayogyakarta usul supaya ada panitia untuk meneliti
dan mengumpulkan serta mengkaji tentang tata peribadatan yang ada di tengah-tengah
Jemaat Kristen Jawa. Utusan kepada persidangan Majelis Zending menambahkan pen-
jelasan bahwa di dalam persidangan Majelis Zending yang baru terlaksana juga membahas
persoalan ini dan sekarang belum ada penyelesaiannya. Putusan: Sinode menugasi Majelis
Gereja Kristen Jawa di Gandakusuman Ngayogyakarta supaya meneliti dan mengkaji, serta
menghimpun tentang adanya tata peribadatan di tengah Jemaat Kristen Jawa, serta mem-
pertimbangkan persoalan ini dengan sebaik-baiknya.” (Terjemahan). 161
Lih., bagian lahirnya liturgi GKJ.
112
bahwa, sinode menentukan liturgi untuk daerah yang masuk dalam lingkup
Sinode Jawa Tengah sebelah Selatan. Keputusannya, Sinode menerima
usulan ini. Sedang alasannya, karena setelah Sinode 1940 hingga sekarang
tata peribadatan berjalan belum sama dan berulang-ulang selalu menimbul-
kan kekisruhan,162
maka Sinode XII memutuskan menentukan pelaksanaan-
nya seperti di berikut ini: “(a) Yang membuka pintu ialah penatua yang
memimpin doa. (b) Sebelum pendeta naik mimbar, diadakan acara meng-
angguk. (c) Di dalam menerima hukum, umat duduk. (d) Kemudian diterima
dengan menyanyi bersama dengan berdiri atas ajakan salah satu penatua.
(e) Bila menyatakan pengakuan iman, umat berdiri. (f) Nyanyian setelah
pengakuan iman dinyanyikan dengan berdiri atas ajakan pendeta. (g) Per-
sembahan dihaturkan setelah khotbah bersama dengan bernyanyi. (h) Peng-
umuman warta jemaat dilakukan setelah tata peribadatan oleh salah seorang
penatua.”
Upaya untuk kesamaan tata cara pelaksanaan liturgi itu pun ternyata
belum selesai. Sebab Dalam persidangan sinode berikutnya pada tahun
1950, kembali muncul penambahan-penambahan aturan, khususnya yang
terkait tindakan yang dilakukan oleh pendeta dan yang bukan pendeta.
Dalam Akta Sinode GKD II 1950 artikel 52 dinyatakan bahwa, setelah
membahas dan mengadakan perubahan secukupnya, uruturutan liturgi
menjadi seperti yang disebutkan di bawah (berikut) ini.163
“(1) Votum
(krama). (2) Berkat; Bunyi-nya seperti II Korintus 1:2. Apabila yang
162
Lih., Akta Synode Poerworedja 1942, Synode Ngajogjakarta 1946 no. 34. 163
Akta Sinode GKD 1950 Artikel 52.
113
mengucapkan bukan pendeta, bunyi berkat lalu, “... ada pada kita sekalian.”
(3) Memuji. (4) Pembacaan hukum atau pengucapan pengakuan iman.
(5) Memuji sesuai dengan no. 4. (6) Pembacaan Alkitab. (7) Berdoa.
(8) Memuji dan menghaturkan persembahan. (9) Khotbah. (10) Berdoa.
(11) Memuji. (12) Kepyakan. (13) Berkat; Apabila bukan pendeta,
bunyinya, “... kita sekalian.” Liturgi ini sebagai contoh yang disarankan oleh
Sinode.”
Kedua penyebab penting lahirnya liturgi GKJ itu selalu memberi
warna dalam perkembangan yang ada hingga sekarang. Selain tampak
dalam nyanyian pujian umat maupun tata aturan dalam petunjuk pe-
laksanaan liturgi, kenyataan ini tampak pula dalam persoalan pengakuan
iman yang terkait dengan meningkatnya kesadaran akan keberadaan dan jati
diri GKJ dalam pergumulan di tengah ladang dunianya,164
pelayanan Baptis
dan Perjamuan Kudus dengan piranti dan rumusan-rumusannya,165
pe-
numpangan tangan,166
pakaian liturgi dan simbol-simbol liturgi,167
bahasa
Indonesia sebagai pengantar pelayanan peribadatan ataupun dalam liturgi,168
dan lain sebagainya.
164
Lih., Synode Keboemen 1931, Synode Ngajogjakarta 1945, Sinode GKD II 1950,
Sinode GKJ XVIII 1987 Artikel 137, Sinode GKJ XIX 1989 Artikel 148. 165
Lih., Synode Magelang 1935 no. 22., Sinode GKD IV 1954 Artikel 101., Sinode
GKD VII 1961 Artikel 66. 166
Akta Sinode GKD VI 1958 Artikel 103. 167
Akta Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 26. 168
Akta Sinode GKD IX 1964 Artikel 69, Akta Sinode GKD XI 1969 Artikel 133.
114
Kesadaran oikumenis dalam berjemaat maupun sebagai gereja dewasa
yang ingin tidak tergantung pihak lain di dalam memiliki liturgi peribadahan
umat merupakan kewajaran yang baik. Namun, gagasan liturgi GKJ yang
oikumenis itu bukan tidak ada persoalan bila di dalam pelaksanaannya tidak
berakar pada konteks kehidupan umat. Demikian pula dengan ketidak-
tergantungan pada pihak lain untuk melengkapi pelaksanaan liturgi per-
ibadahan yang masih hanya sebatas bisa membuat sendiri barang-barang
yang sama dengan pihak lain namun dengan gagasan dan pola-pola mereka
tentu belum menuntaskan masalah. Sebab untuk kepentingan kemandirian
maupun kebersamaan yang berdaya guna bagi umat harus berpijak pada
gagasan dan pola-pola dari konteksnya sendiri.
Perbandingan terhadap masalah di atas dapat disandingkan dengan
liturgi umat Kristen pra-GKJ dalam peribadahan beserta tata cara maupun
nyanyian-nyanyian pujian mereka sendiri yang didasarkan pada gagasan-
gagasan serta pola-pola yang mengakar pada kehidupan mereka sebagai
orang Jawa sehingga dapat berdaya guna dalam perkembangan kehidupan
umat karena mudah diterima dan dihayati secara lebih sesuai.
3.5. Pokok-Pokok Bagian Liturgi GKJ
Bentuk liturgi GKJ yang disahkan pada tahun 1961 untuk berlaku
umum di kalangan umat GKJ itu tersusun dari pokok-pokok bagian,
sebagaimana berikut ini:
115
Pokok bagian yang pertama adalah adiutorium169
dan salam. Pada
bagian adiutorium digunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab
Mazmur 124:8, yaitu: Pertolongan kita ada di dalam nama TUHAN, yang
menciptakan langit dan bumi. Sedangkan untuk salam, digunakan rumusan
kalimat yang diambil dari Kitab Surat I Korintus 1:3 ataupun Kitab Wahyu
1:4b-5
a, yang demikian: Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah,
Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus kiranya ada pada saudara. Setelah
duduk, dilanjutkan dengan pokok bagian yang kedua, yaitu nyanyian pujian
yang dilakukan oleh umat secara bersama-sama.
Setelah umat menyanyikan pujian, pokok bagian yang ketiga adalah
perintah-perintah menurut ringkasan Kitab Injil Matius 22:37-40. Pada
bagian ini, umat melakukan pengakuan dosa dengan nyanyian, yang
kemudian disusul dengan berita anugerah dan petunjuk hidup baru yang
dibacakan dari ayat-ayat Alkitab yang dirujuk. Bacaan-bacaan tersebut
kemudian disanggupi oleh umat melalui nyanyian.
Usai umat menyanyikan nyanyian kesanggupan kemudian diteruskan
dengan pokok bagian yang keempat, yaitu pelayanan doa. Pelayanan doa ini
terdiri dari ucapan syukur dan syafaat. Setelah selesai, pokok bagian
keempat ini disambung dengan pokok bagian yang kelima, yaitu pelayanan
per-sembahan. Pelayanan persembahan ini diawali dengan pembacaan ayat-
ayat Alkitab yang memberikan ajakan kepada umat untuk mengumpulkan
persembahan beserta dengan tujuannya. Ketika persembahan telah dilaku-
169
Adiutorium, artinya pertolongan. Lih., Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 10. Bnd.,
Abineno, Unsur-Unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, 1-2.
116
kan, kemudian menghaturkannya kepada Tuhan dengan doa, sekaligus
pemanjatan doa untuk pelayanan Sabda Tuhan itu.
Pokok bagian yang keenam adalah pelayanan Sabda Tuhan. Pelayanan
Sabda Tuhan di sini terdiri dari pembacaan Alkitab dan nats, kemudian
khot-bah. Selesai pelayanan Sabda Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan
pokok bagian ketujuh, yaitu doa dan nyanyian penutup. Dan sebelum ibadah
ber-akhir, ada pokok bagian yang kedelapan, yaitu pengakuan iman yang
dilaku-kan oleh umat secara bersama-sama. Pada akhirnya, ibadah ditutup
dengan pokok bagian yang kesembilan, yaitu berkat. Di dalam pokok bagian
ini dipergunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab Bilangan 6:24-
26, atau Kitab Surat II Korintus 13:13. “TUHAN memberkati saudara dan
melindungi saudara. TUHAN menyinari saudara dengan wajahNya dan
memberi saudara kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajahNya kepada
saudara dan memberi saudara damai sejahtera”. Atau, “Kasih karunia
Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus
menyertai saudara”.
Yang penting di dalam tata peribadatan tersebut, keutuhan liturgi GKJ
bukan hanya persoalan terlaksananya seluruh urut-urutan pokok-pokok
bagian yang telah disebutkan tadi. Di dalam peribadatan GKJ, yang disebut
dengan liturgi juga mencakup tindakan penting pada bagian awal dan pada
bagian akhir peribadatan. Tindakan yang dianggap penting itu adalah
penyerahan Alkitab oleh pejabat penatua kepada pejabat pendeta atau
pemimpin yang akan mengajar dan menuntun seluruh jalannya peribadatan
117
sebelum adiutorium; demikian pula sebaliknya, ketika pejabat pendeta atau
pemimpin peribadatan hendak undur dari tempat peribadatan setelah
berkat.170
Inilah liturgi formula I, atau liturgi baku awal yang berlaku di
kalangan umat GKJ.
3.6. Tantangan-Tantangan Terhadap Pelaksanaan Liturgi GKJ
Keberadaan liturgi formula I yang berlaku bagi seluruh umat di
kalangan jemaat GKJ tersebut nampaknya secara umum diterima dengan
baik. Hanya saja, di dalam perjalanan liturgi tersebut di waktu-waktu
kemudian bukannya tidak ada masalah. Paling tidak, adanya masalah di
dalam perjalanan liturgi formula I dari tahun 1961 itu diberlakukan adalah
nampak dengan adanya pengembangan yang dilakukan di kemudian hari,
hingga akhirnya muncullah liturgi-liturgi variatif yang diterbitkan pada
tahun 1993.171
Berdasarkan penggalian data yang tercatat pada dokumen akta-akta
persidangan sinode yang dilakukan semenjak tahun 1961 hingga sekarang,
ada beberapa persoalan yang dapat diistilahkan sebagai tantangan dari
dalam maupun tantangan dari luar.
170
Artikel 65, Acta Synode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa (Terjemahan). 171
Liturgi-liturgi variatif ini merupakan sebutan untuk Liturgi Kebaktian Minggu II
dan Liturgi Kebaktian Minggu III.
118
3.6.1. Tantangan Liturgi GKJ dari dalam
Pada awalnya, tantangan dari dalam atas liturgi formula I adalah ber-
kaitan dengan persoalan keterlibatan umat untuk mengambil bagian di
dalam liturgi dipandang kurang, karena hanya diterima sebatas pemahanan
lahiriah saja. Sementara para petugas yang memimpin peibadatan juga
dipandang belum memberi penjelasan liturgi maupun tata cara pelaksanaan-
nya. Karena itu di dalam butir-butir keputusan yang terdapat pada artikel 69
akta persidangan sinode GKJ IX tahun 1964, dinyatakan bahwa supaya
jemaat berpartisipasi di dalam liturgi dan tidak menerima liturgi sebagai tata
cara lahiriah saja, dan para liturgos (yang memimpin ibadah) supaya
memberi keterangan dalam melakukan liturgi.
Persoalan selanjutnya di waktu-waktu awal berlakunya liturgi formula
I tersebut adalah kejenuhan. Untuk itu, dalam artikel yang sama terdapat
butir keempat yang isinya menyatakan keputusan bahwa persidangan
menyetujui liturgi tambahan sebagai variasi yang dapat digunakan berganti-
ganti. Adapun pokok-pokok bagian di dalam liturgi variasi tersebut adalah
sebagai berikut: (a) Votum/Salam Berkat. (b) Njanjian. (c) Sahadat.
(d) Sepuluh Hukum Tuhan (atau ringkasannja). (e) Njanjian Pengakuan
Dosa. (f) Berita Anugerah. (g) Persembahan. (h) Pembacaan Kitab Suci.
(i) Doa Sjafaat. (j) Khotbah. (k) Saat Teduh. (l) Doa Penutup. (m) Berkat.
119
Persoalan kejenuhan ini semakin menonjol, karena beberapa waktu
kemudian, di dalam kesempatan sidang berikutnya kembali diangkat.172
Puncak pergumulan terhadap persoalan ini muncul usulan agar ada ibadah
atau liturgi Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Kenyataan ini nampak
tersirat dengan jelas dalam pernyataan Artikel 86 Akta Sidang Sinode GKJ
XVIII 1987. Dalam pembahasan usul dari Sinode Wilayah II tentang
Kebaktian Kebangunan Rohani, dan nampaknya ada gejala kejenuhan di
kalangan Warga Gereja mengenai penyelenggaraan liturgi GKJ, sidang
memutuskan menugasi Deputat Studi untuk meninjau ulang liturgi yang
sudah dibakukan dengan mencari kemungkinan bentuk liturgi yang bersifat
variatif. Pada akhirnya, tanggapan GKJ tentang KKR ini, dalam Sidang
Sinode GKJ Antara yang dilaksanakan pada tahun 1992 cukup sederhana.
Dalam persidangan tersebut, keputusan dari usulan Deputat Kesaksian
Pelayanan dan Pembinaan tentang KKR versi GKJ adalah bahwa KKR tidak
perlu ada. Untuk melaksanakan KKR sebagai sarana menampung aspirasi
anggota gereja, tetap dapat memberlakukan Akta XVIII GKJ artikel 95.
Selaras dengan persoalan kejenuhan di atas, terdapat persoalan lain
yang terkait dengan keberadaan pemuda di kalangan umat GKJ. Keterkaitan
ini terletak pada keinginan akan kebutuhan bahasa pengantar yang mudah
dimengerti penggunaannya atau praktis di dalam liturgi.173
Kecenderungan
akan kebutuhan bahasa pengantar yang dipandang mudah bagi pemuda di
172
Lih., Akta Sidang Sinode GKJ XV tahun 1978 Artikel 81 173
Sejak awal, penggunaan bahasa pengantar liturgi yang berlaku di tengah jemaat-
jemaat kalangan umat GKJ adalah bahasa Jawa.
120
kalangan umat GKJ itu adalah bahasa Indonesia. Petunjuk adanya per-
masalahan pemuda di kalangan umat GKJ tersebut tersirat secara langsung
dalam usulan-usulan adanya KKR seperti keterangan di atas, dan pen-
terjemahan nyanyian pujian yang telah dimiliki GKJ ke dalam bahasa
Indonesia,174
sekaligus pengadaan pujian populer berbahasa Indonesia pula
untuk petemuan-pertemuan kaum pemuda dan kaum lainnya dalam akta
persidangan-persidangan sinode GKJ hingga saat ini.
Untuk permasalahan itu, pada tahun 1964 terdapat artikel persidangan
sinode dari GKJ yang menyatakan bahwa: “(d) ... di mana mungkin dan
perlu supaja diadakan ibadah dalam bahasa Indonesia, di samping bahasa
daerah. Maka djemaat-djemaat di kota-kota besar diandjurkan untuk
menjelenggarakan ibadah dalam bahasa Indonesia. (e) Memberi tugas
kepada Deputat jang bersangkutan untuk selekas mungkin menjalin
formulir-formulir dan liturgi dalam bahasa Indonesia, supaja salinan-salinan
tersebut diperbanjak dan dikirimkan kepada djemaat-djemaat jang
membutuhkannja. ...”175
Hanya saja, kebutuhan nyanyian pujian milik GKJ berbahasa Indo-
nesia maupun nyanyian populer yang diwacanakan dan diusulkan di atas
dipandang masih berat dalam pelaksanaan liturgi GKJ. Seperti dalam artikel
yang sama dengan di atas, pada butir selanjutnya dinyatakan: “(f) bahwa
Njanjian Mazmur/Rohani didjadikan njanjian resmi dalam ibadah dalam
174
Nyanyian pujian yang dimiliki oleh GKJ yaitu Mazmur 150 dan Kidung Pujian
dalam bahasa Jawa. 175
Akta sidang Sinode GKD IX 1964 Artikel 72 butir d-e.
121
bahasa Indonesia.” Selanjutnya, dalam Artikel 133 Akta Sidang Sinode
GKD XI 1969 nampak bahwa ada usul dari Klasis Surakarta Timur untuk
menterjemahkan Kidung Pasamuwan Kristen Djawi dalam bahasa Indonesia
yang ditanggapi dengan keputusan: “(a) Terdjemahan tersebut di atas
dipandang tidak perlu. (b) Mengandjurkan kepada djemaat-djemaat agar
untuk sementara menggunakan buku Njanjian Mazmur dan Njanjian Rohani
dari Perbendaharaan Djemaat Segala Abad—karangan I. L. Kijne, terbitan
Stichting Geestelijke Liederen uit de Schat van de Kerk der eeuwen—
s’Gravenhage.” Masalah penterjemahan itu nampak berat untuk piranti
kelengkapan peribadatan dengan bahasa Indonesia, apalagi dengan wacana
pengadaan nyanyian populer untuk kebutuhan pemuda GKJ itu sendiri. Dari
Artikel 56 Akta Sidang Sinode XXII 2002, keputusan atas usulan dari
Klasis Salatiga terhadap hasil studi Deputat Pembinaan Warga Gereja
(PWG) tentang identitas dan lagu-lagu pujian populer yang digunakan kaum
pemuda Gereja, dinyatakan bahwa: “(1) Klasis-Klasis melakukan kajian-
kajian nyanyian pemuda sesuai kebutuhannya. (2) Menugasi Deputat PWG
untuk membentuk Tim Musik dan Liturgi, yang bertugas mengkaji nyanyian
populer pemuda.”
Persoalan terakhir yang menjadi tantangan yang berasal dari dalam
atas liturgi formula I itu sendiri adalah tekat kemauan yang sungguh-
sungguh para jemaat di kalangan umat GKJ secara menyeluruh untuk
mempergunakan liturgi formula I tersebut di dalam peribadatan umat.
Ternyata seiring dengan wacana liturgi variasi maupun KKR di atas terdapat
122
pula jemaat-jemaat yang tidak, ataupun yang masih belum menggunakan
liturgi yang sudah ditetapkan serta diberlakukan bagi umat di kalangan GKJ.
Seperti ditemukan dalam Artikel 136 Akta Sidang Sinode GKJ XII tahun
1974 yang membahas adanya pemakaian liturgi yang tidak seragam dengan
liturgi hasil keputusan sidang Sinode. Keputusan artikel sidang tersebut
menyatakan: “(1) Menganjurkan kepada jemaat-jemaat GKJ untuk tetap
menggunakan liturgie yang telah diputuskan Sinode, demi memelihara per-
sekutuan. (2) Hanya dalam kebaktian-kebaktian istimewa dapat diperguna-
kan liturgie lain.”
3.6.2. Tantangan Liturgi GKJ dari luar
Sebagai bahasa pengantar percakapan yang mudah dimengerti peng-
gunaannya, pengaruh bahasa Indonesia ke dalam tata kebiasaan percakapan
di kalangan umat GKJ telah merasuk ke dalam kehidupan Gereja. Secara
sederhana, kenyataan itu dapat dikenali melalui pembahasan di dalam
sidang sinode GKJ tahun 1964 tentang penggunaan bahasa Indonesia. Pada
artikel 72 Akta Sidang GKD IX 1964 dinyatakan: “(1) Bahwa untuk
melajani Pemerintah dan masjarakat perlu mempergunakan bahasa resmi,
jalah bahasa Indonesia. (2) Bahwa dalam lapangan kebudajaan bahasa
Indonesia mendjadi media jang utama. (3) Bahwa gerakan oikumenis
mendorong Gredja-Gredja kita membuka pintu bagi saudara-saudara Kristen
dari suku lain, lagi pula mengingat pembentukan Gredja-Gredja Kristen
Indonesia Jang Esa j.a.d., maka penggunaan bahasa Indonesia merupakan
123
media jang penting sekali. (4) Bahwa dipandang dari sudut praktis, banjak
para pemuda jang makin hari makin biasa mempergunakan bahasa Indo-
nesia, sehingga khotbah dalam bahasa tersebut lebih mudah diterimanja.”
Dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai sarana percakapan yang
praktis di kalangan umat GKJ, maka Artinya pada dirinya menjadi terbuka
terhadap berbagai hal, dan dimungkinkan pula bisa berdampak pada
berbagai tata jalinan dan pola-pola kehidupan yang dimiliki; termasuk di
dalamnya adalah liturgi sebagai bagian dari kehidupan peribadatan umatnya.
Dari sudut pengalaman lapangan, tantangan liturgi GKJ dari luar di
sini adalah adanya gerakan kharismatik. Kenyataan adanya gerakan
kharismatik yang menjadi tantangan liturgi GKJ tersebut diungkapkan
dalam persidangan Sinode GKJ pada tahun 1984. Dalam persidangan
tersebut dinyatakan bahwa, “Menanggapi usulan Sinode Wilayah II tentang
perlunya GKJ mengambil sikap terhadap Gerakan Kharismatik, sidang
memutuskan: (1) Menganjurkan agar Gereja-Gereja mengambil sikap hati-
hati terhadap Gerakan Kharismatik. (2) Agar Gereja-Gereja meningkatkan
penggembalaannya kepada warga gerejanya dan meningkatkan kegiatan-
kegiatan yang dapat menampung aspirasi warga, sehingga warga tidak ter-
pengaruh untuk memasuki Gerakan Kharismatik.”176
Sebagai pengaruh dari luar, nampaknya gerakan kharismatik tersebut
cukup kuat sehingga memunculkan penegasan sikap, seperti yang di-
nyatakan dalam Artikel 9 Akta Sidang Sinode GKJ Kontrakta 1992:
176
Akta Sidang Sinode GKJ XVII 1984 Artikel 42.
124
“Menanggapi usulan Deputat Kesaksian, Pelayanan, dan Pembinaan Sinode
GKJ XIX tentang penentuan sikap GKJ terhadap kelompok kharismatik,
sidang memutuskan, (1) GKJ tidak perlu bersikap konfrontatif terhadap
kelompok kharismatik, tetapi hati-hati dan bijaksana, namun tegas.
(2) Gereja perlu meningkatkan pembinaan dan penggembalaan anggota
gerejanya agar tidak terpengaruh akibat negatif kelompok kharismatik,
bahkan kalau perlu diberlakukan pamerdi.”
Kedua keputusan di atas memiliki keselarasan dengan persoalan yang
menjadi tantangan dari dalam terhadap liturgi GKJ, seperti telah diungkap-
kan pada bagian di atas. Keselarasan itu adalah mengenai kejenuhan yang
pada akhirnya memunculkan usul maupun wacana adanya liturgi variatif
serta KKR. Tujuan usulan dan wacana diadakannya liturgi variatif maupun
KKR tersebut adalah untuk menampung aspirasi warga gereja. Karena itu,
di dalam serangkaian upaya untuk pengembangan hingga terwujudnya
liturgi yang ada sekarang ini, tantangan-tantangan berbagai persoalan di atas
menjadi bagian sumber pergumulan yang penting. Seperti dinyatakan oleh
Novembri Choeldahono, salah seorang pendeta GKJ yang ditunjuk Deputat
Studi dan Penelitian Sinode XX GKJ, menyatakan:
“Jadi kebutuhan awalnya itu bukan dari tantangan realitas dan
transformasi kultural. Tantangannya adalah ... dari kehidupan
internal; kejenuhan, kejenuhan liturgi! Maka Cuma ditambahkan
125
liturgi alternatif I, II, III; Minggu Pertama, Minggu Kedua,
Minggu Ketiga, dan lebih partisipatif. Begitu, itu saja!”177
Pernyataan Novembri itu diperkuat oleh Siman Widyatmanta, salah
seorang pendeta GKJ yang ditunjuk sebelumnya oleh Deputat Studi dan
Penelitian Sinode XVIII GKJ. Dalam wawancara dengan beliau, diungkap-
kan bahwa:
“... tetapi sejak pemuda merasa bosan dengan liturgi yang selama
ini berjalan—coba itu dari ’61 sampai ... hampir’ 2000, itu
liturgi-nya itu-itu saja. Lalu Sinode membentuk komisi liturgi
variasi, muncul liturgi variasi Minggu Pertama, Minggu Kedua,
Minggu Keempat (maksudnya: Ketiga). Tetapi itu sifatnya
fakultatif. Artinya, bagi yang merasa bosan bisa mengunakan
variasi itu, bagi yang lain itu ya mânggâ, terserah. ..., liturgi ini
dalam kebaktian hari Minggu. ...”178
Singkatnya, berbagai tantangan terhadap pelaksanaan liturgi GKJ di
atas dapat dikatakan masih bersifat subjektif. Kurangnya penjelasan dan
petunjuk pelaksanaan liturgi di tengah peribadahan umat GKJ memungkin-
kan terjadinya penggunaan yang kurang bersungguh-sungguh, maupun
pengertian akan keterlibatan warga jemaat yang kurang, bahkan menimbul-
kan kejenuhan; walaupun kejenuhan atas liturgi GKJ di sini dimungkinkan
pula terkait adanya pengaruh gerakan kharismatik yang menggejala.
Sementara kejelasan persoalan, khususnya terkait dengan budaya yang dapat
menjadi objek penting pembentuk jati diri umat di dalam berliturgi baru
177
Lampiran 7. 178
Lampiran 8.
126
nampak melalui sisi bahasa yang itu pun terbatas sebagai kebutuhan praktis
berkomunikasi.
3.7. Upaya Pengembangan Liturgi GKJ
Penanganan atas berbagai persoalan yang menjadi tantangan-tantangan
liturgi GKJ tersebut, sejak semula ada tindak lanjutnya, yaitu upaya untuk
pengembangan liturgi GKJ itu sendiri. Dasar dari langkah tindak lanjut itu
tersurat di dalam artikel-artikel akta persidangan sinode yang telah di-
lakukan. Seperti telah disebutkan dalam paparan data di atas, paling tidak
terdapat dua buah persoalan penting yang menjadi dasar tindak lanjut
pengembangan liturgi GKJ. Pertama adalah keinginan warga gereja supaya
bisa ikut berperan serta di dalam jalannya pelaksanaan liturgi. Kedua adalah
gerakan kharismatik yang perlu ditanggulangi dalam kehidupan peribadatan
umat GKJ.179
Kesempatan langkah tindak lanjut yang tegas mengenai upaya
pengembangan liturgi GKJ tersebut terjadi pada Sidang Sinode GKJ
Kontrakta tahun 1992. Dalam artikel 13 dinyatakan: “Setelah sidang mem-
bahas konsep Deputat Ketenagaan dan Studi Sinode GKJ XIX tentang
liturgi/tata ibadah GKJ, dengan mempertimbangkan usul klasis-klasis dan
pokok-pokok pikiran peserta sidang, sidang memutuskan: (1) Secara
prinsipial menyetujui liturgi GKJ. (2) Penyempurnaan secara redaksional
diserahkan kepada tim, ... (3) Jika penyempurnaan secara redaksional telah
179
Akta Sidang Sinode GKJ XVII 1984 Artikel 42.
127
selesai dan dicetak, Aktuarius harap memberitahukan kepada gereja-gereja
tentang pemberlakuannya. (4) Liturgi yang diterima secara prinsipial
tersebut tidak dilampirkan dalam akta ini, demi efisiensi akan langsung
dibukukan dalam bentuk jadi setelah dikerjakan.”
Keputusan tentang liturgi dalam persidangan tersebut tidak terlepas
dari liturgi GKJ yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu liturgi baku yang
diresmikan pada tahun 1961, dan contoh liturgi tambahan sebagai variasi
yang dapat digunakan secara bergantian, seperti yang telah dijelaskan dalam
bagian tantangan dari dalam mengenai kejenuhan warga gereja dengan
liturgi GKJ dan upaya menanggulanginya. Artinya, bahwa langkah tindak
lanjut persidangan sinode tahun 1992 tersebut menjadi perangkum dari hasil
kerja beberapa tim penyempurna liturgi sebelumnya setelah pemberlakuan
liturgi baku tahun 1961 itu, yaitu: tim pertama yang bentuk di dalam Sidang
Sinode GKJ XVIII 1987, tim kedua yang dibentuk dalam Sidang Sinode
GKJ XIX 1989, dan tim ketiga yang dibentuk dalam Sidang Sinode GKJ
XX 1991.180
Usaha tentang penyempurnaan atau pengembangan liturgi GKJ itu
pada akhirnya menghasilkan buku liturgi yang diterbitkan pada tahun 1993,
dengan isi yang dapat dibilang memadahi dibandingkan dengan terbitan
liturgi tahun-tahun sebelumnya. Buku liturgi terbitan tahun 1993 itu berisi:
(1) Pengantar. (2) Penjelasan liturgi secara umum. (3) Penjelasan khusus
mengenai liturgi GKJ (4) Tata urutan pokok-pokok bagian liturgi (ibadah
180
Sinode GKJ, Liturgi GKJ, i-ii.
128
Minggu) yang berlaku bagi kalangan umat GKJ dalam bahasa daerah (Jawa)
maupun bahasa nasional (Indonesia), (5) Liturgi khusus untuk: sakramen
penjamuan, sakramen baptis, mengakuan percaya (sidhi), peneguhan dan
pemberkatan nikah, peneguhan dan pelerehan majelis gereja, pentahbisan
pendeta, pendewasaan jemaat, peresmian gedung gereja, bahkan untuk
penerimaan kembali (warga yang dikucilkan).
Isi buku liturgi GKJ di atas terdapat beberapa pokok penting dalam
perkembangan liturgi GKJ. Pokok-pokok penting yang tercakup dalam buku
liturgi GKJ itu adalah sebagai berikut.
3.7.1. Penjelasan Pandangan GKJ tentang Liturgi181
3.7.1.1. Tata Ibadah
Menurut GKJ, liturgi adalah tata ibadah dan bahkan ibadah itu sendiri.
Karena, ibadah dengan tata ibadah itu menjadi satu. Di sini yang hidup dan
berdaulat adalah ibadah. Tata ibadah itu keluar atau timbul dari ibadah, dan
bukan sebaliknya; jangan sampai “tata” yang mati menguasai “ibadah” yang
hidup. Tatanya sangat tergantung kepada ibadahnya. Karena tata itu me-
rupakan pernyataan atau perwujudan ibadah. Tidak dapat mengadakan tata
lebih dahulu untuk mengatur ibadah, tetapi ibadah ada dulu lalu diwujudkan
dalam tata cara. Ibadah yang diwujudnyatakan tentu harus teratur (I Korin-
tus 14:40). Ibadah pribadi juga dilaksanakan dengan teratur, demikian juga
181
Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 1-9.
129
ibadah keluarga. Apalagi ibadah dalam perkumpulan jemaat. Oleh karena
yang utama adalah ibadah, maka perlu diterangkan dulu tentang ibadah.
3.7.1.2. Arti Liturgi
Penjelasan tentang arti kata liturgi pada buku liturgi GKJ ini merunut
etimologi di dalam penggunaannya yang berasal dari pengertian umum
hingga penerapannya di dalam Alkitab. Intinya bahwa liturgi adalah kata
dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia yang artinya pekerjaan atau pelayanan
untuk berbakti kepada negara atau pemerintahan, maupun masyarakat;
khususnya bagi masalah politik yang di dalamnya juga bisa mengandung
tindakan pelayanan pengorbanan bagi negara ataupun bangsa.
Liturgi dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan tindakan pelayanan
kaum Lewi di Bait Allah. Arti kata ini juga ditemukan di dalam Perjanjian
Baru. Meskipun demikian makna liturgi atau ibadah di dalam Perjanjian
Lama berbeda dengan makna yang ada pada Perjanjian Baru. Liturgi di
dalam Perjanjian Lama telah digenapi di dalam Yesus Kristus, Tuhan.
Karena itu di dalam Tuhan Yesus Kristus liturgi atau ibadah bermakna baru.
Tidak ada pengurbanan berulang-ulang lagi seperti pada Perjanjian Lama,
melainkan lebih mengarah kepada makna mendasar yang menyeluruh,
seperti: masalah pemerintahan, penyembahan kepada Allah, kehidupan
kudus di dalam karya Tuhan Yesus Kristus, pelayanan pelayanan di antara
umat.
130
Intinya, liturgi yang berarti kebaktian atau ibadah tidak dapat dipisah-
kan dengan perbuatan sehari-hari. Ibadah yang benar adalah ibadah yang
merupakan perwujudan dari apa yang hidup di dalam hati (Yohanes 4:23-
24) dan juga terwujud di dalam perbuatan sehari-hari.
3.7.1.3. Isi Liturgi
Liturgi berguna untuk mewujudkan bentuk ibadah tertentu, yang di
dalamnya menunjukkan persatuan jemaat, baik dengan Tuhan maupun
dengan anggota-anggota jemaat dan sesamanya. Dengan demikian di dalam
liturgi berlaku asas: Tindakan dari pihak Tuhan bersama dengan tindakan
dari umat (actus aparte Dei, actus aparte populi). Dengan kata lain di dalam
liturgi menunjukkan adanya perwujudan pertemuan antara Tuhan dan umat-
Nya. Isi dalam pertemuan antara umat dengan Tuhan tersebut secara pokok
berisi: (1) memecah-mecahkan roti dan perjamuan malam Tuhan, (2) peng-
ajaran, (3) doa, (4) memuji Allah, maupun (5) berkat. Pokok-pokok isi di
dalam peribadatan tersebut didasarkan pada adat kebiasaan umat Kristen
mula-mula maupun para bapa gereja di masa awal.
3.7.1.4. Kebebasan Pernyataan Roh dan Ikatan Liturgi
Terkait dengan masalah ini, liturgi GKJ memberi penjelasan sangat
mendasar. Ada dua segi yang perlu diperhatikan dalam peribadatan, yaitu
kebebasan mengatakan karunia Roh dan ikatan liturgi. Menurut Paulus,
yang penting untuk dipegang teguh ialah tujuan ibadah. Segala sesuatu
131
harus dilihat dan diuji dalam terang tujuan itu, yaitu oikumene dalam makna
pembangunan jemaat. Karena itu karunia lidah juga harus digunakan untuk
membangun jemaat, sehingga harus diterangkan. Sebaliknya, kekakuan
ikatan liturgi jangan mematikan karunia Roh. Kedua unsur itu harus di-
kombinasikan secara harmonis, sebagaimana jemaat purba. Akan tetapi
Paulus tidak memotong atau mengurangi kehidupan dalam ibadah oleh tata
cara ibadah, dan juga tidak jatuh ke dalam kebebasan tanpa tujuan seperti
sektarianisme. Di sini harus dijelaskan akan tujuan ibadah, yaitu untuk
membangun persekutuan sebagai tubuh Kristus, Tuhan. Gereja sebagai
tubuh Kristus dibangun dalam kedatangan para anggota yang berkumpul.
Sebagai tubuh Kristus, Gereja mesti saling melayani satu dengan lainnya,
seperti umat Kristen purba disatukan dalam satu peristiwa perjamuan malam
dan satu Roh yang hidup dalam semua umat percaya (Yohanes 4:23).
3.7.1.5. Penyusunan Liturgi
Pada akhirnya, liturgi yang tersusun di dalam peribadatan mesti mem-
perhatikan asas dialogis. Sebab sebagai pewujudan pertemuan Tuhan
dengan umatNya itu, ada keyakinan iman bahwa di dalamnya terdapat sabda
Allah, sekaligus juga ditanggapi oleh umatNya. Misalnya: pernyataan
Sepuluh Hukum Tuhan, berita anugerah, pengajaran, berkat, yang di-
tanggapi dengan penyesalan dosa, kesanggupan, pengakuan iman pujian
syukur, persembahan, doa, dan lain sebagainya.
132
3.7.2. Formula Pengembangan Liturgi GKJ
Selain penjelasan dasar, pengembangan liturgi GKJ terlihat juga
dengan adanya dua buah liturgi baru yang digunakan sebagai variasi pada
peribadatan hari Minggu, selain formula I. Kedua liturgi baru GKJ tersebut
pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan liturgi formula I. Sebab, asas
pengakuan prinsipial liturgi GKJ tidak bisa ditinggalkan. Yang membeda-
kan kedua liturgi baru itu dengan liturgi formula I adalah terdapatnya
rumusan-rumusan kalimat yang diucapkan secara bergantian oleh jemaat
dan pemimpin peribadatan (litani) dan peran jemaat di dalam pelaksanaan
liturgi.
3.7.2.1. Liturgi GKJ Formula I (Kebaktian Minggu I)
Sebagaimana dapat disimak di dalam Lampiran 1, asas dialogis dalam
peran Tuhan dan peran umat, serta kebebasan bagi penyataan kuasa Roh dan
ikatan liturgi bagi bangunan tubuh Kristus dijabarkan menjadi beberapa
pokok. Pertama, pengakuan dan dasar pelaksanaan ibadah dalam rumusan
votum, maupun penyampaian salam yang didasarkan pada kasih karunia
Tuhan bagi umat. Rangkaian adiutorium yang dilakukan sambil berdiri itu
kemudian ditanggapi umat dengan seruan “Amin”, pemuliaan atau pujian
umat kepada Tuhan sambil duduk. Kedua, pengakuan dosa umat kepada
Tuhan yang dijawab dengan penyampaian pengampunan melalui berita
anugerah serta perintah hidup baru dari Tuhan kepada umat. Jawaban Tuhan
itu lalu ditanggapi umat dengan kesanggupan, doa syukur umat bagi Tuhan
133
dan syafaat agar umat secara umum maupun khusus dapat hidup setia dalam
pimpinan Tuhan untuk melaksanakan segenap perintahNya, demikian pula
dengan penyerahan persembahan syukur dari umat kepada Tuhan. Ketiga,
penyampaian firman Tuhan dengan pembacaan Alkitab yang disambut oleh
umat dengan seruan “Haleluya”, penjabaran dalam khotbah atau pengajaran
firman Tuhan yang ditanggapi umat dengan perenungan (saat teduh). Yang
keempat, mengakhiri ibadah dengan doa dan nyanyian akhir ibadah oleh
umat sambil berdiri untuk menyiapkan diri menerima perutusan dan berkat
Tuhan. Namun sebelum penyampaian berkat Tuhan, ada pengakuan iman
percaya umat kepada Tuhan.182
Jabaran asas-asas yang menjadi pandangan
GKJ atas liturginya itu memperlihatkan bentuk yang sederhana.
3.7.2.2. Liturgi GKJ Formula II (Kebaktian Minggu II)
Asas-asas yang menjadi pandang GKJ pada liturgi formula II tetap
sama dengan liturgi formula I. Meskipun demikian, bila diperhatikan
terdapat perbedaan bentuk, yaitu ada litani yang menjadi variasi untuk
memperlihatkan peran umat dan pemimpin, maupun dialog di dalam
peribadahan. Seperti nampak dalam lampiran 4, pada bagian adiutorium,
votum tidak hanya diserukan oleh pemimpin, tetapi juga oleh umat secara
bersama-sama melalui ajakan pemimpin. Setelah itu penyampaian salam
atas kasih karunia Tuhan dan tanggapan umat yang sama dengan liturgi
formula I. Selanjutnya, litani ditonjolkan pada waktu sebelum pemuliaan
182
Lampiran 1.
134
atau pujian umat kepada Tuhan dengan petikan ayat dari Kitab Mazmur
100:3; 95:6; 100:4-5, demikian pula pada bagian pengakuan dosa umat
kepada Tuhan dengan petikan Mazmur 51:3-15 yang dijawab sama persis
dengan pengampunan melalui berita anugerah dan perintah hidup baru dari
Tuhan, maupun tanggapan umat dengan kesanggupan, doa syukur dan
syafaat sebagai-mana liturgi formula sebelum-nya. Sampai tahap ini muncul
variasi lagi, yaitu tidak dilanjutkan dengan penyerahan persembahan seperti
dalam liturgi formula I, melainkan diteruskan dengan penyampaian firman
Tuhan beserta dengan tangapan umat melalui perenungan. Demikian pula
usai penyampaian firman Tuhan tidak langsung masuk ke bagian penutup,
tetapi pengakuan iman percaya umat kepada Tuhan dan penyerahan
persembahan. Setelah semua itu barulah masuk akhir ibadah dengan
nyanyian akhir dan berkat Tuhan bagi perutusan umat, yang disambut
dengan kata “Amin”.183
3.7.2.3. Liturgi GKJ Formula III (Kebaktian Minggu III)
Pada liturgi formula III ini, asas-asasnya juga sama dengan formula-
formula sebelumnya. Meskipun memiliki variasi litani seperti liturgi
formula II, tetapi urutan unsur-unsur pokok di dalam rangkaian liturginya
persis seperti liturgi formula I. Namun demikian bentuk liturgi formula III
ini tetap memiliki perbedaan dibandingkan dengan liturgi formula I. Apabila
liturgi formula I berbentuk sederhana, maka di dalam liturgi formula III
183
Lampiran 2.
135
terdapat pembagian peran antara para pelayan bersama dengan umat. Hal itu
dapat dicermati dalam lampiran Liturgi Kebaktian Minggu III. Dimulai
dengan litani ringkas pada bagian pertama dalam adiutorium oleh pemimpin
yang mengajak umat mengucapkan votum dan disusul dengan penyampaian
salam atas kasih karunia Tuhan kepada umat beserta tanggapan mereka
dengan kata “Amin”, kemudian salah seorang petugas (kantor) sebagai
wakil umat mengajak semua hadirin untuk memuliakan Tuhan dengan
nyanyian pujian. Pengakuan dosa umat kepada Tuhan dipimpin secara
khusus oleh seorang majelis dengan litani pendek yang mengajak hadirin
mengucapkan pengakuan dosa secara bersama-sama. Pengakuan itu dijawab
dengan penyampaian pengampunan melalui berita anugerah dan perintah
hidup baru dari Tuhan kepada umat, yang disambut dengan kesanggupan
oleh umat dengan litani pendek melalui panduan pemimpin ibadah maupun
melalui nyanyian yang dipimpin oleh seorang kantor, dilanjutkan doa
syukur dan syafaat, serta penyerahan persembahan umat kepada Tuhan.
Setelah itu disampaikan firman Tuhan dengan pembacaan Alkitab yang
disambut oleh umat dengan seruan “Haleluya”, dan diteruskan penjabaran
dalam khotbah atau pengajaran firman Tuhan yang ditanggapi umat dengan
perenungan, persis liturgi formula I. Akhirnya, ibadah ditutup dengan doa
akhir ibadah dan pengucapan Doa Bapa Kami bersama-sama, nyanyian
akhir umat sambil berdiri untuk persiapan menerima perutusan dan berkat
136
Tuhan yang disisipi penyataan pengakuan iman percaya umat kepada
Tuhan. Ketika berkat disampaikan umat menerima dengan “Amin”.184
3.7.3. Prinsip liturgi GKJ Terkait Liturgi Variasi maupun Liturgi
Pelayanan Khusus.
Adanya pokok-pokok bagian yang terangkai menjadi perwujudan
makna pertemuan antara Tuhan dan umatNya dengan dialog yang merupa-
kan bentuk keterlibatan umat di dalam kedua liturgi baru tersebut me-
nunjukkan adanya persamaan-persamaan yang mengacu pada pengakuan
prinsipial liturgi seperti penjelasan ringkas pokok-pokok bagian liturgi GKJ
berikut ini.185
Votum (Adiutorium), berarti janji yang khidmat atau ikrar.
Pelaksanaan bagian ini selalu ada di awal peribadatan. Sebab votum
berisikan rumusan untuk meneguhkan pengabsahan peribadatan yang
dilaksanakan. Sumber yang diambil untuk rumusan votum adalah Mazmur
124:8, maupun Mazmur 138, atau Mazmur 146:6. Akan tetapi, yang diguna-
kan biasanya adalah Mazmur 124:8 saja, seperti yang diwajibkan oleh
Sinode Dordrecht (1574) dari kebiasaan Calvin. Rumusan votum itu ialah,
“Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan
bumi.” Karena peneguhan di sini menyatakan pengakuan adanya per-
tolongan, maka votum disebut juga adiutorium, yang artinya pertolongan.
184
Lampiran 3. 185
Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 10-14.
137
Pelaksanaan votum di dalam bahasa Jawa dapat diucapkan dengan “ngoko”
ataupun “krâmâ”.
Salam. Sumber untuk rumusan salam GKJ adalah salam rasuli (Roma
1:7b; I Korintus 1:3, dst.), yang diambil dari adat kebiasaan peribadatan
Yahudi (Immamat 19:20; I Samuel 25:6). Bagian ini terangkai dengan
votum. Pelaksanaan salam dilakukan oleh pemimpin peribadatan setelah
votum, dengan mengangkat tangan kanan lurus ke atas. Sesuai keputusan
Sinode GKJ, salam disampaikan dengan mengangkat tangan hanya apabila
yang melayankan pendeta. Apabila yang melayankan bukan pendeta, tidak
dengan mengangkat tangan.
Pujian, yaitu pemuliaan Tuhan dengan nyanyian atau dibarengi dengan
bacaan Mazmur; Bagian ini sebenarnya biasa disebut introitus, yang terdiri
dari nyanyian masuk dengan, atau tanpa nats pendahuluan sebagai pem-
bimbing. Nats pembimbing harus sesuai dengan khotbah. Nyanyian pujian
sebagai jawab jemaat.
Pengakuan Dosa. Pengakuan dosa terdiri lima bagian. (1) Pembacaan
Hukum Kasih. (2) Setelah menerima Hukum Kasih, jemaat mengakui dan
menyesali dosanya dengan doa atau nyanyian penyesalan, bahkan keduanya.
(3) Sesudah itu, jemaat menerima berita anugerah pengampunan dari
Alkitab. (4) Setelah menerima pengampunan dosa, jemaat masuk ke dalam
persekutuan hidup baru di dalam Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu,
jemaat diberi petunjuk atau perintah hidup baru dari Alkitab. Kalau menurut
Calvin tahap ini dibacakan Sepuluh Hukum. Itu bukan untuk cermin
138
mengetahui dosa, tetapi berisi petunjuk-petunjuk menurut perintah Tuhan,
agar orang yang telah diperbaharui hidupnya menjadi anak-anak Tuhan,
yang dapat mengetahui dan mentaati kehendak Tuhan. (5) Kesanggupan,
yang menjadi wujud jemaat yang sudah bergembira di dalam persekutuan
Tuhan Yesus Kristus dengan seruan tekat berwujud komitmen dan nyanyian
yang tepat.
Doa. Doa di sini adalah doa syukur dan doa syafaat. Supaya tidak
terlalu panjang, berputar-putar, dan diulang-ulang, maka di dalam doa ini
pelayan harus menentukan apa saja yang didoakan. Boleh juga ada orang-
orang sakit tertentu yang disebutkan dalam doa. Demikian juga hal-hal lain.
Dalam doa ini tidak dimasukkan doa untuk pengampunan dosa, sebab sudah
dilakukan sebelumnya di dalam bagian pengakuan dosa. Doa ini juga bisa
dilakukan oleh pelayan dan jemaat. Misalnya: Doa syukur untuk permulaan
doa itu disampaikan oleh pemimpin lalu disambung dengan syafaat yang
dilakukan oleh beberapa anggota jemaat atau penatua. Tentu saja ditunjuk
lebih dulu siapa yang berdoa untuk hal ini, dan seterusnya. Kemudian
ditutup oleh pelayan.
Persembahan. Bagian ini terdiri dari tiga bagian. (1) Pembacaan ayat-
ayat dari Alkitab untuk mendorong, atau dasar dan tujuan persembahan.
(2) Pengumpulan persembahan. Tentang banyak dan macam kantong, harus
dijelaskan kepada jemaat tentang apa perlunya, supaya jemaat dengan
kesadaran penuh menghaturkan persembahannya. Tentu saja tidak tiap-tiap
kali diterangkan. Tetapi jangan terlalu lama tidak pernah diterangkan. Ada-
139
pun yang mengumpulkan persembahan dengan kantong itu tidak harus
majelis. (3) Doa untuk menghaturkan persembahan yang sudah terkumpul
kepada Tuhan. Hal ini boleh juga dilakukan oleh anggota majelis. Dan
dalam doa itu disambung juga dengan doa untuk pelayanan Firman yang
segera akan dilakukan.
Pelayanan Firman. Pokok bagian ini terdiri dari tiga bagian. (1) Pem-
bacaan Firman dari Alkitab. (2) Pembacaan nats Khotbah. (3) Khotbah.
Setelah pelayanan Firman, selanjutnya adalah pokok bagian Penutup. Dalam
pokok bagian penutup, ada dua hal. (1) Doa penutup, dan lebih baik bila doa
ini diakhiri dengan Doa Bapa kami. (2) Nyanyian penutup.
Sebelum pelayanan berkat ada pokok bagian lain, yaitu Pengakuan
Iman. Pokok bagian ini diucapkan bersama-sama oleh seluruh jemaat, bukan
hanya pelayan sendiri, dengan cara berdiri. Selesai pelaksanaan Pengakuan
Iman, yang terakhir adalah pokok bagian Berkat. Sumber yang diambil
untuk rumusan berkat adalah Bilangan 6:24-26, atau dapat juga dari II
Korintus 13:13. Oleh karena rumus berkat ini diambil dari ayat Alkitab,
maka sebaiknya tidak tambahi atau diubah menurut selera sendiri, yang
kadang-kadang malah isinya salah (tidak sesuai dengan kepercayaan yang
diimani melalui Gereja). Penyampaian berkat pelayan mengedangkan kedua
tangan setinggi pundak.
Hal yang tidak kurang penting ialah bahwa pada permulaan ibadah,
wakil majelis jemaat menyerahkan Alkitab kepada pelayan, dan pada akhir
ibadah, wakil majelis yang tadi menyerahkan Alkitab kepada pelayan
140
kemudian menerima kembali Alkitab tadi dari pelayan. Ini melambangkan
pemberian mandat untuk melayani ibadah (termasuk di dalamnya penyam-
paian ajaran) sesuai dengan Firman Tuhan dan pada akhir ibadah mandat
tersebut dikembalikan lagi.
Jadi, penanganan persoalan yang berasal dari tantangan-tantangan
pelaksanaan liturgi GKJ di atas adalah berupa pemberian pengertian mau-
pun teknis pelaksanaan agar mudah disampaikan kepada umat, sekaligus
dapat dipelajari dan dipraktikan oleh mereka. Bisa jadi persoalan ini mirip
dengan apa yang dilakukan oleh umat Kristen pra-GKJ dengan serangkaian
ritual persiapan saat hendak hingga memasuki peribadahan menurut cara
yang mereka terima dan hayati sebagai orang Jawa. Itu artinya, persoalan
liturgi sebagai cara penghayatan iman umat bukanlah pekerjaan sambil lalu,
melainkan harus ada tanggung jawab penyampaian yang dikerjakan khusus.
3.8. Perkembangan Pergumulan Liturgi GKJ Baru
Terbitnya buku Liturgi GKJ dengan muatan yang memadai tersebut
menjadi awalan baru bagi kehidupan peribadatan umat GKJ. Hingga kini,
kiranya secara berangsur-angsur formula-formula liturgi yang terhimpun di
dalam buku Liturgi GKJ itu mampu mendorong umat GKJ semakin dapat
terbuka untuk menyadari dan mengerti akan inti penghayatan iman yang
harus diwujudkan melalui dan sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhan di
tengah kenyataan kehidupan dunia di mana dia berada.
141
Menurut data yang dapat dicermati, terdapat dua sisi kenyataan
kehidupan dunia yang mendorong perkembangan di dalam pergumulan
pelaksanaan liturgi GKJ lebih lanjut. Sisi-sisi itu adalah kesadaran akan
kebutuhan yang berasal dari pergumulan kehidupan umat GKJ di aras
jemaat setempat (lokal) dan sinodal (oikumenikal), terkait dengan kenyataan
ke-masyarakatan yang bersifat majemuk beserta dengan berbagai macam
kebudayaan yang ada di dalamnya.
Kesadaran-kesadaran akan kebutuhan yang berasal dari pergumulan
kehidupan umat GKJ di aras lokal maupun sinodal tersebut sebetulnya
bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Tetapi seiring dengan proses
waktu, jaman, maupun kenyataan kemasyarakatan yang terus berubah dan
sungguh berbeda, secara pasti GKJ mulai melepaskan diri dari keter-
gantungannya terhadap faham-faham yang dimiliki oleh Gereja inangnya,
yaitu Heidelbergsche Catechismus. GKJ mulai berusaha memandang ber-
bagai kenyataan yang ada di tengah keberadaannya sebagai pijakan
sekaligus tempat untuk mewujudkan iman yang membumi.186
3.8.1. Kesadaran Akan Kebutuhan dari Pergumulan Umat GKJ di
Aras Jemaat Lokal
Semenjak diberlakukannya Liturgi GKJ baru, pada tahun 1996 mulai
nampak adanya pergumulan atas perjumpaan iman umat GKJ yang senan-
tiasa diresapi melalui liturgi dengan kenyataan budaya yang setiap hari ada
186
Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, (Salatiga:
Percetakan Sinode GKJ, 2009), vii-x.
142
di tengah kehidupan masyarakatnya. Perjumpaan itu makin menyadarkan
umat akan kebutuhan budaya sebagai ruang bagi mereka bertumbuh
sekaligus mewujudkan imannya di dalam kehidupan nyata. Karena itu, pada
Sidang Sinode Terbatas GKJ 1996 dinyatakan bahwa: “Setelah membahas
rekomendasi Aktuarius tentang perlunya setiap keluarga warga GKJ ikut
memelihara dan melestarikan budaya serta bahasa Jawa, sidang memutus-
kan agar warga GKJ terlibat secara kritis dalam kegiatan pelestarian budaya
dan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun dalam
kebaktian, dengan cara antara lain menggunakan renungan harian dalam
bahasa Jawa.”187
Keputusan sidang sinode tersebut menjadi pintu bagi umat GKJ di
dalam menembus penghalang kerinduan mereka untuk memijakkan kaki di
atas dunia nyata yang menjadi kehidupannya sendiri secara utuh. Misalnya,
pada masa kelahirannya penggunaan bahasa Jawa sedikit atau banyak telah
memberi topangan bagi keberadaan GKJ. Bahkan, sempat dipegang kuat,
khususnya di dalam acara-acara resmi, seperti bahasa pengantar yang sah
untuk persidangan gereja.188
Namun seiring dengan perubahan yang ada di
tengah masyarakatnya, seakan bahasa Jawa mulai terpinggirkan oleh bahasa
Indonesia. Karena tetap dipandang penting, maka keputusan Sidang Sinode
Terbatas GKJ 1996 itu menjadi penggiat bagi umat GKJ menumbuhkan dan
187
Akta Sidang Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 41. 188
Bnd., Acta Synode Magelang 1948 Artikel 11. Ada usulan oleh tamu persidangan
dari kalangan gereja di luar GKJ supaya dalam sidang sinode yang senantiasa diselenggara-
kan diijinkan pula menggunakan bahasa Indonesia, tetapi usulan itu ditolak oleh peserta
sidang.
143
mempergunakannya kembali. Demikian juga dengan gamelan yang dulu
dikesampingkan dari peribadatan karena belum bisa dianggap punya nilai
kristiani,189
maka dengan keputusan Sidang Sinode Terbatas GKJ 1996 ter-
sebut memiliki peluang besar untuk dipergunakan sebagai mana mestinya.
Secara mendasar, contoh-contoh di atas memberikan pengertian pula
bahwa sisi-sisi budaya lainnya di dalam kemajemukan masyarakat yang ada
di tengah kehidupan umat GKJ memiliki peluang juga untuk dijadikan
pijakan sekaligus tempat bagi pewujudan iman yang mengakar; termasuk
ungkapan iman melalui liturgi. Karena itulah, di dalam proses pergumulan
lanjutan tentang Liturgi GKJ baru, selain diadakan upaya sosialisasi hasil
kajian liturgi dan nyanyian gerejawi pada persidangan Sinode Antara GKJ
2004 diadakan sarana penunjang bagi kebutuhan yang dipergumulkan di
aras lokal itu, yaitu: Pelatihan Bahasa Jawa, pembentukan Wadah Konsul-
tasi Bahasa dan Budaya Jawa.190
Kebutuhan dari pergumulan aras lokal umat GKJ tersebut nyata
dengan adanya berbagai upaya tindak lanjut yang (secara langsung ataupun
tidak langsung dapat dikaitkan dengan liturgi) menjangkau banyak segi
yang berasal dari keberadaan masyarakat beserta dengan budaya yang ada di
dalamnya. Perluasan jangkauan segi-segi keberadaan masyarakat beserta
dengan budayanya itu meliputi pembentukan Tim Liturgi dan Musik Gereja-
wi maupun Komisi Liturgi, Lembaga Kajian Budaya Jawa (LEMKABUJA),
mengadakan kajian teologi kontekstual dan berteologi lokal serta teologi
189
Lih., Acta Synode Poerwokerto 1936, no. 13. 190
Akta Sidang Sinode GKJ Antara 2004 Artikel 25, 26, 27.
144
bencana, kajian agama-agama maupun hubungan dialogis dan kerja sama
dengan penganut agama lain, teologi lintas iman, Studi Intensif Tentang
Islam (SITI), kajian Pancasila sebagai asas bernegara dan berbangsa di
Indonesia, kajian jender, kajian lingkungan hidup,191
dan lain sebagainya.
Sebelum perluasan segi-segi pemahaman sekaligus pengungkapan
iman umat GKJ atas pijakannya sendiri pada masa-sama tersebut di atas
hingga kini, jauh sebelum Liturgi GKJ baru disusun dan diterbitkan sebetul-
nya sudah ada upaya yang dilakukan bersamaan dengan lahirnya liturgi GKJ
formula I. Salah satu keputusan dari Sindang Sinode GKJ VII tahun 1961
dinyatakan bahwa: “Membahas usulnya Klasis Banyumas Utara tentang
Seminar Kebudayaan Nasional, sinode memutuskan mengangkat suatu
panitia pemerhati kebudayaan nasional dipandang dari iman Kristen. ...”192
Keputusan itu kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan Sidang Sinode
GKJ IX tahun 1964.
Terkait dengan perluasan pemahaman dan pengungkapan iman di awal
sebelum adanya Liturgi GKJ Baru tersebut, terdapat dua keputusan penting
dari Sidang Sinode GKJ IX tahun 1964 ini. Yang pertama dinyatakan
bahwa: “Setelah membahas laporan Komisi Kebudajaan Nasional yang
berisi (1) Ang-gauta Komisi terdiri dari 7 orang, (2) Susunan organisasi
191
Akta Sindang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 110, 111, 112., Akta Sindang
Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 41, 49, 63., Akta Sindang Sinode GKJ Antara 2000
Artikel 11., Akta Sindang Sinode GKJ XXIII 2002 Artikel 22, 35., Akta Sindang Sinode
GKJ Antara 2004 Artikel 67., Akta Sindang Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 11, 18, 44,
67., Akta Sindang Sinode GKJ XXV 2009 Artikel 15, 16, 17, 43, 56., Akta Sindang Sinode
GKJ XXVI 2012 Artikel 18, 48, 55, 62. 192
Acta Sidang Synode VII 1961 Artikel 92.
145
komisi jang lalu terdiri dari ketua, penulis, anggauta, ditambah Seksi Tata
Panembah, Seksi Mazmur/Kidung, Seksi Karawitan/Beksan/Pedalangan,
(3) Hasil pekerdjaan seksi, antara lain: tjeramah, ekspresi kebudajaan nasio-
nal, dan lain sebagainja, sinode memutuskan menerima baik laporan-laporan
tersebut, serta usul-usulnya dengan ketentuan (1) Membentuk Deputat
Kebudajaan jang tetap dengan seksi-seksi penelitian dan penggiat. Deputat
diberi tugas: a) Mengadakan penelitian terhadap perkembangan di bidang
kebudajaan, b) Memberikan pandangan-pandangan tentang kebudajaan,
c) Menggiatkan lembaga-lembaga kebudajaan Kristen jang ada agar dapat
dipimpin kepada pertobatan dan kemurnian kebudajaan nasional jang
menuju kepada ethos dan escathos Keradjaan Surga, d) Membentuk Panitia
Kebudajaan di tiap djemaat, e) Berusaha menjediakan anggaran belandja
jang tjukup untuk melaksanakan tugas tersebut.”193
Yang kedua dinyatakan bahwa: “Dalam membitjarakan usul Klasis
Sala Timur mengenai penindjauan kembali Pengadjaran Agama Kristen
(Heidelbergsche Catechismus), mengingat (1) Kebutuhan menjelaraskan
pengadjaran agama dengan keadaan jang terdapat di Indonesia pada
umumnja, dan suku Djawa pada chususnja jang menganut aliran Islam dan
Kedjawen (mistik), (2) Bahwa Heidelbergsche Catechismus diterima
sebagai keterangan tentang Firman Tuhan dalam Perdjanjian Lama dan Baru
dalam lingkungan GKD, (3) Memandang penting bahwa Pengadjaran
Agama Kristen perlu diberikan dengan mengingat latar belakang keagamaan
193
Acta Sindang Sinode GKD IX 1964 Artikel 83.
146
masyarakat, sinode memutuskan memberi tugas kepada Deputat
Penjelidikan untuk: a) Mempeladjari Heidelbergsche Catechismus, apakah
membutuhkan perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan berhubung
dengan kepentingan di atas, b) Mengusulkan perobahan dan tambahan-
tambahan kepada Sinode, bilamana dipandang perlu, c) Melaporkan hasil
penjelidikan tersebut kepada sindang Sinode jang akan datang.”194
Disayangkan, semenjak ada LEMKABUJA upaya kajian kebudayaan
Jawa yang sudah dilakukan dari waktu-waktu awal keberadaan GKJ dalam
wadah Adat-Recht menjadi semakin tidak dikenal lagi dan tidak diketahui
juga hubungannya dengan sarana penunjang yang baru itu. Bahkan pada
Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 105, diputuskan bahwa Adat-
Recht tidak perlu dilestarikan dan tidak dilanjutkan, dengan anggapan
sebagian isinya sudah dimasukkan dalam Tata Gereja yang tengah disusun.
3.8.2. Kesadaran Akan Kebutuhan dari Pergumulan Umat GKJ di
Aras Sinodal
Apabila wujud sisi kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat
GKJ di aras lokal di atas bersifat gagasan-gagasan mendasar berlandaskan
budaya sebagai cara pandang di dalam kehidupan peribadatan, maka pada
kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ di aras sinodal di sini
cenderung lebih bersifat atributif dan teknis dalam menyampaikan sumber
yang digunakan sebagai wahana untuk menghantarkan gagasan-gagasan
194
Acta Sindang Sinode GKD IX 1964 Artikel 87.
147
dasar beserta nilai-nilainya bagi kehidupan umat melalui pengajaran
(khotbah). Demikian pula, bahwa kesadaran akan kebutuhan dari per-
gumulan umat GKJ pada aras sinodal di sini juga memiliki sifat pastoral.
Yang dimaksudkan dengan kebutuhan dari pergumulan di aras sinodal
dalam liturgi di atas adalah kelengkapan yang berupa lambang-lambang.
Misalnya seperti benda-benda atau barang-barang aksesori dan warna-warna
liturgis, hingga gerakan-gerakan isyarat (gesture) yang digunakan pada
liturgi. Pergumulan tersebut dapat dilihat dalam hasil-hasil persidangan-
persidangan Sinode GKJ pasca dimulainya pemberlakuan Liturgi GKJ baru.
Seperti dinyatakan dalam Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel
30 bahwa: “Setelah membahas laporan Deputat Keesaan Sinode GKJ XX
tentang pemakaian toga bagi para pendeta GKJ, dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan bahwa pendeta mempunyai pakaian jabatan yaitu toga
dan clerical colar, sidang memutuskan untuk upacara-upacara khusus antara
lain pelayanan sakramen, peneguhan, diseyogyakan para pendeta mengena-
kan toga, sedangkan untuk acara/keperluan lain menyesuaikan.” Dari per-
nyataan tersebut jelas sekali bahwa pakaian pendeta merupakan lambang
liturgis yang dianggap penting dan dibutuhkan umat di dalam pelaksanaan
pelayanan peribadatan.
Untuk menegaskan kebutuhan ini, pergumulan pakaian pendeta
sebagai lambang liturgis tersebut ditindaklanjuti pada Sidang Sinode GKJ
Non Reguler tahun 2005. Dalam Artikel 14 dinyatakan bahwa: “Setelah
membahas Draft Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ tentang pakaian liturgis
148
pendeta GKJ dan kelengkapannya, antara lain berupa toga dan stola, sidang
memutuskan (1) Menugasi Lembaga Studi dan Pengembangan (LSP) GKJ
melalui Deputat Keesaan untuk: a) Melakukan studi tentang pakaian liturgis
yang mencakup i) Sejarah penggunaan pakaian liturgis, ii) Dasar teologis
dan makna. b) Melaporkan hasil studi tersebut ke Sidang Sinode GKJ
XXIV. (2) Menugasi Deputat Penatalayanan untuk menganggarkan biaya
studi tersebut.”
Hasil dari kerja LSP GKJ yang diputuskan dalam Sidang Sinode GKJ
Non Reguler 2005 tersebut tertuang pada Akta Sidang Sinode GKJ XXIV
2006 Artikel 26 yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari
Klasis Sragen dan laporan LSP Sinode GKJ tentang penggunaan simbol-
simbol dan pakaian liturgi, sidang memutuskan (1) Menerima laporan LSP.
(2) Tetap memberikan kebebasan Majelis Gereja untuk memutuskan peng-
gunaan simbol-simbol lokal serta pakaian lokal dalam ibadah. (3) Menugasi
BAPELSIN untuk menyusun pedoman penggunaan simbol-simbol dan
pakaian liturgi beserta maknanya serta menjemaatkan ke Gereja-Gereja.”
Masih berhubungan dengan pergumulan lambang liturgis di dalam
peribadatan umat GKJ yang lainnya adalah pengangkatan tangan. Setelah
pemberlakuan Liturgi GKJ baru, pergumulan tentang pengangkatan tangan
di dalam salah satu pokok bagian yang terdapat pada awal dan akhir liturgi
terungkap pada Akta Sidang Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 22. Pada
artikel itu dinyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari Klasis Salatiga
tentang pengangkatan tangan oleh pejabat gerejawi selain Pendeta dalam
149
ibadah ketika salam dan berkat, sidang memutuskan menugasi BAPELSIN
untuk melakukan pengkajian tentang hal ini, dengan memperhatikan Akta
Sidang Sinode GKJ XIII tahap II/1974 Artikel 153.”195
Selanjutnya karena
dianggap belum tuntas dan penting bagi peribadatan umat GKJ pada
umumnya, maka muncul lagi dalam Akta Sidang Sinode GKJ XXVI 2012
Artikel 91, yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari Klasis
Salatiga Utara tentang pernah adanya penugasan kepada LSP untuk meng-
kaji pengangkatan tangan non Pendeta dalam ibadah namun belum pernah
ada publikasinya; sidang memper-timbangkan Akta Sidang Sinode XXIV
2006 Artikel 22 tentang pengangkatan tangan dalam ibadah, sidang
memutuskan menugasi BAPELSIN GKJ XXVI melakukan kajian dikaitkan
dengan teologi jabatan serta menjemaatkan.”
Sedangkan sebagai sifat teknis dalam menyampaikan sumber yang
digunakan untuk menghantarkan gagasan-gagasan mendasar beserta nilai-
nilainya bagi kehidupan umat melalui pengajaran sebagaimana juga disebut-
kan di atas adalah tata cara dalam rupa penataan bacaan ayat-ayat Alkitab
dengan pola daftar (leksionari) yang disesuaikan pula dengan penataan masa
penghayatan iman umat disepanjang tahunnya (kalender gerejawi).
195
Akta Sidang Sinode GKJ XIII 1974 Artikel 153, menyatakan: “Setelah sidang
membahas laporan seksi E yang telah menggumuli usul Klasis Yogyakarta Timur tentang:
mengangkat tangan dalam mengucapkan I Kor 1:3 dalam liturgie kebaktian, maka sinode
memutuskan: Dalam mengucapkan Firman yang tersebut dalam I Kor. 1:3 (“Kasih karunia
dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu
…”) tidak dibenarkan dengan mengangkat tangan selain Pendeta, mengingat bahwa Firman
tersebut adalah salam berkat.”
150
Sebelum menggunakan leksionari, penyampaian pengajaran dalam
rangkaian liturgi di tengah umat GKJ dilakukan dengan cara membacakan
ayat-ayat Alkitab yang dipilih menurut masing-masing pengkhotbah sendiri
(lectio colecta) dan cenderung kurang memperhatikan masa-masa peng-
hayatan iman yang bisa dilihat sepanjang tahun. Namun semenjak pember-
lakuan Liturgi GKJ baru, bacaan ayat-ayat Alkitab sebagai sumber peng-
ajaran bagi umat pada akhirnya menjadi semakin tertata menurut kalender
gerejawi secara urut dan menyeluruh (lectio continua) yang meliputi kitab-
kitab Injil, Perjanjian Lama (termasuk Mazmur), dan Surat-Surat Rasuli
(epistel).
Kebutuhan dari pergumulan umat akan persoalan itu nyata seperti ter-
gambar dalam pernyataan Akta Sidang Sinode GKJ XXV 2009 Artikel 75
yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas usul dari (1) Klasis Banyumas
Utara tentang revisi liturgi ibadah. (2) Purworejo agar sinode mengkaji
secara serius penggunaan bacaan leksionari. (3) Yogyakarta Selatan tentang
penjelasan penggunaan bacaan leksionari di dalam liturgi. (4) Pekalongan
Barat agar sinode menetapkan penggunaan bacaan leksionari dalam ibadah.
(5) Semarang Timur tentang dasar penggunaan bacaan leksionari dan
kaitannya dengan liturgi I, II, III. (6) Semarang Selatan tentang pengkajian
ulang penggunaan leksionari. (7) Kartasura agar sinode menyusun Tata
Ibadah berdasarkan bacaan leksionari dan menetapkan penggunaan simbol,
warna, dan pakaian liturgi. (8) Boyolali agar sinode mempersiapkan liturgi
yang mengarah kepada bacaan leksionari. (9) Klaten Barat tentang meng-
151
gunaan liturgi secara sinodal yang menggunakan bacaan leksionari dan
tambahan dokumen gereja pada kalender gerejawi. (10) Pertanyaan dari
Klasis Semarang Timur tentang kalender gerejawi; sidang mempertimbang-
kan (1) Keterlibatan GKJ dalam Gerakan Oikumene melalui keesaan
bacaan, (2) Sejarah keselamatan yang utuh diharapkan mampu dihayati oleh
jemaat, maka sidang memutuskan: (1) Menetapkan penggunaan bacaan
leksionari (Revised Commond Lectionary) dalam ibadah GKJ. (2) Menugasi
tim liturgi sinode untuk menyelenggarakan kajian tentang bacaan leksionari
dan menyusun tata ibadah yang sesuai bagi penggunaan bacaan leksionari
dalam tata ibadah GKJ dengan mempertimbangkan kalender gerejawi,
kekayaan budaya, dan pergumulan lokal. (3) Memberikan kesempatan
kepada tim selama 12 bulan untuk menyelesaikan kajian dan liturgi, dan
disosialisasikan. (4) Hasil kajian disosialisasikan kepada jemaat oleh gereja
masing-masing.”
Ada beberapa hasil yang sudah bisa diwujudkan dari keputusan Sidang
Sinode GKJ XXV 2009 di atas. Pertama adalah pendistribusian leksionari
setiap tahun ke seluruh jemaat GKJ. Kedua, tulisan-tulisan khotbah untuk
setiap peribadatan hari Minggu maupun renungan harian yang disusun oleh
Sinode GKJ telah dibuat sesuai dengan bahan leksionari yang diambil dari
Revised Commond Leksionary (RCL). Ketiga adalah dibuatnya dua buah
152
ragam bentuk rancangan liturgi untuk penggunaan leksionari dengan
penjelasan ringkas dan lengkap.196
Akhirnya, yang dimaksudkan dengan kesadaran akan kebutuhan dari
pergumulan umat GKJ pada aras sinodal yang juga memiliki sifat pastoral
adalah berupa nyanyian-nyanyian pujian umat, yang sesungguhnya sangat
berhubungan erat dengan persoalan tantangan-tantangan dalam per-
kembangan liturgi sekaligus tanggung jawab keberadaan umat GKJ sebagai
Gereja yang dewasa, sebagimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya.
Yang pasti, kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ
pada aras sinodal yang bersifat penggembalaan itu semakin jelas semenjak
proses kehidupan peribadatan pasca pemberlakuan Liturgi GKJ baru. Tanpa
harus kehilangan kekhasannya sebagai Gereja Jawa yang harus berkembang
dan dapat menampung aspirasi umatnya, maka ditetapkanlah keputusan
dalam beberapa Sidang Sinode GKJ untuk memperkuat peribadatan umat
yang di-lakukan dengan liturgi GKJ baru tersebut.
Pada Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 98, 99, 100, ditegas-
kan bahwa Mazmur dan Kidung yang diubah menjadi Kidung Pasamuwan
Kristen (KPK) ditetapkan sebagai nyanyian resmi di GKJ.197
Demikian pula
dengan Kidung Pujian yang telah disusun dan waktu itu tengah diadakan
perbaikan sebagai nyanyian tambahan (suplemen) bagi umat ditetapkan
196
Sinode GKJ, Menuju Pembaruan Liturgi Gereja Kristen Jawa, (Salatiga:
Percetakan Sinode GKJ, 2011), 23-24. 197
Bahkan, ketika KPK di kemudian waktu juga mengalami pembaruan, maka
muncul pula Akta Sidang Sinode GKJ XXIII 2002 Artikel 23 yang menyatakan bahwa:
“Menanggapi usulan Klasis Salatiga untuk memberlakukan KPK lama dan baru karena
keduanya sama-sama memiliki kelebihan, sidang memutuskan memberlakukan keduanya.”
153
sebagai nyanyian resmi di GKJ. Adapun Kidung Jemaat juga boleh di-
pergunakan dalam peribadatan Minggu dengan pertimbangan untuk me-
numbuhkan semangat oikumene seperti anjuran Sidang Raya PGI X 1984.
Seluruh pergumulan yang berkembang atas pelaksanaan liturgi GKJ
yang baru tersebut, selaras pula dengan upaya perumusan PPAGKJ yang
semestinya menjadi dasar liturgi bagi umat GKJ itu sendiri. PPAGKJ yang
memiliki benih jauh sebelum waktu proses perumusan yang secara pasti
dilakukan setelah tersusunnya liturgi GKJ baru tersebut,198
pada akhirnya
selain berusaha mempertahankan warisan ajaran iman yang dipandang
masih memiliki relevansi dengan konteks kehidupan umat,199
juga mampu
memperlihatkan pandangan imannya yang khas.
Kekhasan pandangan iman yang pada akhirnya dapat dimiliki oleh
GKJ tersebut adalah: (1) Acuan PPAGKJ hanya Alkitab. Karena itu literatur
acuan disendirikan pada Buku Penjelasan Pokok-Pokok Ajaran Gereja
Kristen Jawa. (2) Titik tolak PPAGKJ berasal dari pendekatan soteriologi,
di mana keselamatan dikerjakan oleh Allah. Karena itu Kristologi dipandang
198
Lih., Acta Synode GKD XI 1969 Artikel 78 butir (1) dan (3). Dalam artikel ini
dinyatakan bahwa: “Setelah mendengar dari Seksi I jang membahas laporan dari Deptutat
Penjelidikan hal pemindjauan kembali Pengadhajaran Agama Kristen (Heidelbergsche
Catechismus), sidang menerima dan memutuskan: Mengingat bahwa jang disebut Heidel-
bergsche Catechismus jalah suatu document dan bahwa jang berhak merubah/
merubah/mengurangi hanjalah penulisnja sendiri, sinode berpendapat bahwa sinode GKD
tidak mungkin merubah/mengurangi, baik isi maupun sistem dan bentuknja. ... Untuk
menjusun buku pegangan akatekisasi jang sesuai dengan keadaan di sini dengan ketentuan:
(a) memuat peladjaran mengenai pokok-pokok kepertjajaan Kristen, (b) memasukkan lebih
banjak lagi pengertian mengenai etika Kristen (kemasjarakatan dan politik), (c)
memperhati-kan konfrontasi Indjil dengan isme-isme dan aliran-aliran kepertjajaan lain... .” 199
Warisan ajaran iman yang masih dipertahankan oleh GKJ dalam pembaruan
rumusan yang tersusun di dalam PPAGKJ adalah: (1) Dasa Titah. (2) Doa. (3) Pengakuan
Iman Rasuli. Lih., Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, (Salatiga:
Percetakan Sinode GKJ, 1997), 6, 102-125.
154
sebagai salah satu dari kesatuan dan puncak dari cara kerja Allah untuk
menyelamatkan manusia di dalam wujud Trinitas. (3) Pandangan iman
tentang Alkitab sebagai firman Tuhan. (4) Panggilan Kristen ataupun Gereja
yang sesungguhnya terletak pada kegunaannya sebagai pemberitaan
keselamatan dan memeliharaannya. (5) Pandangan sikap dan tangung jawab
orang percaya di tengah dunia dengan berbagai macam kenyataan bentuk
dan perkembangan kehidupan manusia, yang meliputi sikap terhadap: a) Ke-
hidupan di dunia. b) Etika. c) Alam. d) Kebudayaan. e) Ilmu pengetahuan
teknologi dan teknik. f) Sekularisme. g) Negara. h) Agama-agama.200
3.9. Penutup
Kesimpulan dari paparan dan analisa himpunan data di atas adalah
bahwa liturgi GKJ lahir tidak berasal dari benih pergumulan budaya beserta
perubahan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakatnya sendiri,
melainkan oleh sejarah ekspansi missionaris Gereja Calvinis Belanda
(GKN) bagi jemaat Jawa. Karena itu, liturgi GKJ adalah liturgi yang
benihnya diturunkan dari pandangan dan tradisi Gereja Calvinis Belanda.
Liturgi GKJ lahir oleh dorongan kenyataan umat sebagai jemaat
dewasa, sekaligus tuntutan oikumenis gereja-gereja seasas yang tersebar dan
berkembang di daerah-daerah Jawa pada khususnya. Meskipun benih liturgi
GKJ berasal dari warisan faham Gereja Calvinis Belanda, namun keberada-
200
Bnd., Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, 7-125., Sinode
GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, (Salatiga: Percetakan Sinode
GKJ, 2009), 1-101., Akta Sidang Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 24.
155
annya belum dikembangkan secara kreatif dengan berbagai wacana dan
kajian sejarah dan budaya yang telah banyak dilakukan sesuai konteks
masyarakatnya. Bahkan sebagai keputusan sidang, hasilnya belum mampu
diwujudkan dengan sepenuh hati, sehingga liturgi GKJ terkesan terkoloni.
Walaupun pada akhirnya GKJ memiliki pandangan iman sendiri yang
ditumbuhkan dari konteks masyarakatnya, tetapi teologi GKJ itu kurang
teresap dalam liturgi GKJ. Sebab liturgi GKJ terlanjur kuat mengakar secara
mapan dalam pandangan dan tradisi yang diwarisi sebelumnya, yaitu GKN.
Kenyataan itu nampak pada pendekatan yang dilakukan sebagai jalan keluar
persoalan yang dihadapi, maupun pada pengembangannya hingga sekarang.
Pendekatan tersebut adalah pendekatan teknis dan praktis yang cenderung
berkiblat pada warisan GKN, daripada pandangan dari PPAGKJ maupun
dari khazanah tradisi budaya yang menjadi akar serta jiwa perikehidupan
umat sehari-hari di tengah masyarakatnya. Misalnya masalah dan pengem-
bangan nyanyian umat, musik peribadahan, pakaian liturgis, lambang-
lambang peribadahan, tata cara peribadahan dan keikutsertaan umat di
dalam pelaksanaannya, dan lainnya.
Secara teologis, liturgi dipahami oleh GKJ sebagai sarana mewujud-
kan ibadah dalam perbuatan sehari-hari, sekaligus untuk menyatakan
pertemuan umat dengan Allah yang memberi anugerah penyelamatan dan
manusia menanggapinya. Di dalam penerapan dan pengembangannya,
pengertian liturgi GKJ itu belum menampakkan langkah membumi, melain-
kan masih cenderung menekankan pendekatan prakmatik.
156