41
60 BAB III PENCAPAIAN KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA MELALUI IAFCP Pencapaian kepentingan nasional Indonesia untuk menurunkan emisi negaranya melalui IAFCP dalam proyek KFCP adalah berhasil. Kegiatan-kegiatan yang telah disusun dan dikerjakan selama proyek berlangsung telah mendukung tercapainya kepentingan nasional tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri jika selama kegiatan KFCP dipraktikkan masih terdapat beberapa kekurangan karena mengingat bahwa KFCP merupakan proyek uji coba penerapan mekanisme REDD+ pertama di dunia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang yang menerangkan bahwa “adanya kekurangan maupun kelemahan pelaksanaan program KFCP sebenarnya wajar dan tidak perlu dipermasalahkan secara berlarut-larut”. 88 Kemitraan yang berlangsung kurang lebih selama lima tahun tersebut telah memberikan pengalaman yang berarti bagi Indonesia dalam upaya penanganan perubahan iklim melalui DA REDD+. Indonesia dengan mitranya Australia telah berani melakukan uji coba REDD+, yang padahal dalam forum internasional mekanisme tersebut belum memiliki komponen yang matang. Pendanaan yang disediakan Australia digunakan Indonesia untuk menunjang keperluan selama 88 Jaya Wirawana Manurung, antarakalteng.com, Gubernur Kalteng Surati Australia terkait Program KFCP, diakses dalam http://kalteng.antaranews.com/berita/233306/gubernur-kalteng- surati-australia-terkait-program-kfcp (13/12/2016, 12:37 WIB).

BAB III PENCAPAIAN KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA … · PENCAPAIAN KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA MELALUI IAFCP ... 92 INCAS, Inventarisasi Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Nasional

Embed Size (px)

Citation preview

60

BAB III

PENCAPAIAN KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA MELALUI

IAFCP

Pencapaian kepentingan nasional Indonesia untuk menurunkan emisi

negaranya melalui IAFCP dalam proyek KFCP adalah berhasil. Kegiatan-kegiatan

yang telah disusun dan dikerjakan selama proyek berlangsung telah mendukung

tercapainya kepentingan nasional tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri jika

selama kegiatan KFCP dipraktikkan masih terdapat beberapa kekurangan karena

mengingat bahwa KFCP merupakan proyek uji coba penerapan mekanisme

REDD+ pertama di dunia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gubernur

Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang yang menerangkan bahwa “adanya

kekurangan maupun kelemahan pelaksanaan program KFCP sebenarnya wajar

dan tidak perlu dipermasalahkan secara berlarut-larut”.88

Kemitraan yang berlangsung kurang lebih selama lima tahun tersebut telah

memberikan pengalaman yang berarti bagi Indonesia dalam upaya penanganan

perubahan iklim melalui DA REDD+. Indonesia dengan mitranya Australia telah

berani melakukan uji coba REDD+, yang padahal dalam forum internasional

mekanisme tersebut belum memiliki komponen yang matang. Pendanaan yang

disediakan Australia digunakan Indonesia untuk menunjang keperluan selama

88 Jaya Wirawana Manurung, antarakalteng.com, Gubernur Kalteng Surati Australia terkait

Program KFCP, diakses dalam http://kalteng.antaranews.com/berita/233306/gubernur-kalteng-

surati-australia-terkait-program-kfcp (13/12/2016, 12:37 WIB).

61

kegiatan DA REDD+ berlangsung, yakni mulai dari persiapan, pelaksanaan,

sampai dengan evaluasi kegiatan.

Selama proyek KFCP, Indonesia telah berhasil melaksanakan beragam

kegiatan dengan melibatkan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar wilayah

proyek. Masyarakat dinilai memiliki andil cukup besar dalam menyukseskan

program tersebut, sehingga keterlibatan mereka sudah dimulai sejak penyusunan

kegiatan KFCP. Keikutsertaan masyarakat dari awal proyek bisa dijadikan

pengalaman jika nantinya terdapat proyek dengan mekanisme yang sama.

Terlebih, masyarakat yang berada di sekitar hutan memiliki kapabilitas untuk

menjaga dan melestarikan hutan sebagai sumber penghidupan mereka, di samping

menjaga dan melestarikan hutan adalah wewenang dari pemerintah.

Pencapaian kepentingan yang didapatkan Indonesia selama proyek KFCP

berlangsung akan diuraikan dalam tiga kategori berikut: 1) Penurunan emisi GRK

dari deforestasi dan degadasi hutan, 2) Uji coba penerapan REDD+ di Indonesia,

dan 3) Pembangunan kapasitas Indonesia.

3.1 Penurunan Emisi GRK dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

Target Indonesia untuk mampu menurunkan emisi melalui kemitraan

IAFCP adalah berhasil. Indonesia memiliki hutan terbesar ketiga di dunia,

sehingga memang tidak mudah untuk bisa menurunkan jumlah emisi dalam kurun

waktu yang sebentar. Kegiatan yang direncanakan sebagai upaya penurunan emisi

sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Meskipun penurunan

jumlah emisi GRK di lokasi proyek KFCP tidak stabil, namun jumlah emisi telah

62

berkurang jauh lebih sedikit dibandingkan sebelum dilaksanakannya proyek

tersebut.

Mengingat kembali tentang komitmen yang diucapkan Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi GRK Indonesia hingga 26% atau

bahkan 41% pada tahun 2020 jika mendapat dukungan dari tingkat

internasional.89 Komitmen tersebut turut menjadi landasan Indonesia untuk

menurunkan emisi secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan negara lain.

IAFCP merupakan salah satu contoh kemitraan yang diupayakan untuk bisa

memenuhi target tersebut.

IAFCP memiliki sebuah program yang digunakan untuk memantau besaran

jumlah emisi secara berkala yang disebut Indonesia National Carbon Accounting

System (INCAS). Keberadaan INCAS dimulai tahun 2008 dengan tujuan

membangun sistem yang akuntabel, dapat dipertanggungjawabkan, dan

berkelanjutan guna menghitung emisi GRK dari sektor kehutanan di seluruh

wilayah Indonesia. Program tersebut terdiri dari dua komponen teknis utama

yakni penginderaan jauh dan estimasi emisi.90

Pendekatan awal program tersebut dilakukan dengan menyesuaikan metode,

pengetahuan dan pengalaman dari sistem NCAS Australia untuk membangun

sistem operasional dan peningkatan kapasitas Indonesia. Kementerian Kehutanan

(Kemenhut) bertindak sebagai koordinator utama dalam komponen estimasi emisi.

Sedangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) ditunjuk

sebagai institusi pelaksana utama komponen penginderaan jauh yang bekerja sama

89 Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 120. 90 Program Penginderaan Jauh INCAS: Metodologi dan Hasil, hal. 8, diakses dalam

https://issuu.com/esthikd/docs/incas-lapan_exec_sum_-_bhs (2/9/2016, 12:45 WIB).

63

dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan

(UKP4), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kemenhut,

Badan Informasi Geospasial (BIG), IAFCP, dan pihak lainnya. INCAS juga telah

mendapat banyak masukan dari Profesor Matthew Hansen dari Universitas

Mayland beserta timnya melalui lokakarya dan pelatihan tentang penginderaan

jauh.91 IAFCP mendukung pengembangan metodologi serta peningkatan

kapabilitas, kapasitas, dan insfrastruktur di LAPAN agar INCAS bisa menjadi

program berkelanjutan di LAPAN.

Berikut merupakan hasil pendugaan dari penginderaan jauh INCAS untuk

tahun 2008-2012:

Tabel 3.1 Emisi GRK Hutan Berdasarkan Aktivitas REDD+92

Tahun Deforestasi

(tCO2-eq)

Degradasi

Hutan

(tCO2-eq)

SMF

(tCO2-eq)

Peningkatan

Stok Karbon

Hutan

(tCO2-eq)

Total

(tCO2-eq)

2008 45,753,467 19,689,305 2,483,697 (1,168,052) 66,758,417

2009 29,334,836 51,918,583 2,587,985 (1,311,365) 82,530,039

2010 19,878,519 13,204,419 2,136,367 (1,410,933) 33,808,372

2011 15,402,373 23,105,075 2,068,269 (1,480,451) 39,095,266

2012 20,799,174 22,916,355 2,010,262 (1,560,249) 44,165,541

Berdasarkan data tersebut terjadi peningkatan jumlah emisi dari tahun 2008

sampai dengan tahun 2009 yakni tercatat dari 66,758,417 tCO2-eq menjadi

82,530,039 tCO2-eq. Pada periode tersebut, proyek KFCP memang sudah

dimulai, namun masih dalam tahap persiapan dan perencanaan. Sehingga KFCP

belum bisa memberikan sumbangan yang berarti untuk penurunan emisi di area

91 Ibid., hal. 9. 92 INCAS, Inventarisasi Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Nasional pada Hutan dan Lahan

Gambut di Indonesia, 2015, diakses dalam http://www.incas-indonesia.org/id/data/central-

kalimantan/ (15/8/2016, 03:09 WIB).

64

Kalimantan Tengah. Selain itu, peningkatan jumlah emisi tersebut disebabkan

oleh kebakaran pada lahan gambut yang sangat besar di Kalimantan Tengah.

Estimasi luas daerah bekas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah

untuk Kabupaten Pulau Pisang adalah luas areal terbakar 31.500 ha, Kabupaten

Kapuas 27.700 ha, Kabupaten Katingan 14.600 ha, Kabupaten Kotawiringin

Timur 10.000 ha, Kabupaten Seruyan 5.900 ha, dan Kabupaten Lamandau dengan

luas areal kebakaran 300 ha.93

Lahan gambut yang dimaksud merupakan lahan-lahan tidur yang memiliki

kedekatan dengan akses jalan sehingga api yang berkobar merambat ke jalan dan

merambat ke lahan yang lain. Api yang membakar hutan gambut sebagian besar

tidak bisa dipadamkan karena jarak lokasi kebakaran yang sangat jauh dan tidak

ada sumber air yang berada di sekitar lokasi tersebut. Kebakaran di area

Kalimantan Tengah memang kerap terjadi, terlebih saat memasuki musim

kemarau di mana titik hotspot bisa meningkat secara drastis.

Menuju tahun 2010, estimasi emisi tercatat turun sampai dengan angka

33,808,372 tCO2-eq. Penurunan emisi secara drastis di wilayah Kalimantan

Tengah tersebut dipengaruhi oleh faktor cuaca. Musim kemarau pada periode

tersebut berlangsung selama tiga bulan (Juli-September 2010), namun pada

musim tersebut masih sering terjadi hujan sehingga disebut kemarau basah.

Menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya

Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah bahwa tidak ada kebakaran hutan dan lahan

di tahun 2010 karena dukungan dari faktor cuaca. Walaupun memasuki musim

93 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Gambaran Umum Kalimantan Tengah, diakses

dalam http://www.umpalangkaraya.ac.id/perpustakaan/digilib/files/disk1/9/123-dfadf-marsiyanan-

422-4-perhut.m-4.pdf (11/10/2016, 07:02 WIB).

65

kemarau, namun tetap masih memiliki curah hujan di atas normal. Selain itu,

beragam kegiatan dari proyek KFCP sudah mulai dilaksanakan, mulai dari

pelatihan sampai dengan praktik langsung oleh masyarakat untuk pengelolaan

hutan secara lestari sehingga mampu mengurangi pemicu kebakaran.94

Pada tahun 2011 terjadi kenaikan emisi sehingga tertotal berjumlah

39,095,266 tCO2-eq. Faktor yang mempengaruhi karena terjadinya kebakaran

pada musim kemarau di Kabupaten Kapuas yakni seluas 2.333,5 ha di sejumlah

lahan kosong milik masyarakat yang tidak dikelola. Tidak hanya karena faktor

kebakaran, pada tahun 2011 telah diterbitkan 1.296 Surat Ijin Usaha yang meliputi

konsesi perkebunan, pertambangan, dan pengusahaan hutan. Banyaknya konsesi

yang dikeluarkan menjadi alasan peningkatan emisi karena alih fungsi lahan

ataupun eksploitasi hutan tersebut.95

Pada tahun 2012, tetap terjadi kenaikan emisi menjadi sejumlah 44,165,541

tCO2-eq. Kebakaran yang terjadi di antaranya adalah seluas 57 ha lahan gambut,

alang-alang, dan beberapa lahan kosong milik masyarakat di Kabupaten

Kotawaringin Timur. Kemudian tercatat terjadi kebakaran seluas 15 ha di

Kabupaten Pulau Pisau dan 107 ha di Kabupaten Kapuas pada kebun karet

masyarakat.96

Analisa yang dilakukan dengan menggunakan data pendugaan emisi GRK

yang didapatkan penulis dari publikasi INCAS, maka kepentingan nasional

Indonesia untuk mengurangi emisi karbonnya sampai dengan kemitraan IAFCP

berakhir adalah berhasil. Walaupun pada tiga tahun terakhir jumlah emisi GRK

94 Ibid. 95 Ibid. 96 Ibid.

66

mengalami kenaikan, namun kenaikan yang terjadi tidak melebihi jumlah emisi

GRK sebelum adanya kemitraan IAFCP. Penulis berasumsi bahwa jumlah emisi

yang tidak stabil disebabkan oleh proyek yang masih berada dalam tahap uji coba,

faktor cuaca, dan terjadinya kebakaran di sekitar area proyek KFCP.

Penurunan emisi GRK di lokasi proyek KFCP yang dimulai tahun 2008-

2012 mengalami penurunan dengan kisaran persentase sebesar 33%. Persentase

tersebut perlu mendapat pujian mengingat target Indonesia dalam penurunan emisi

GRK negaranya adalah sebesar 41% pada tahun 2020 jika mendapat bantuan

internasional. Kegiatan yang dilaksanakan selama KFCP berlangsung sebagai

upaya pendukung dalam mengurangi emisi GRK adalah berupa uji coba

penerapan REDD+ dalam beberapa program yang dirancang staf KFCP seperti

reforestasi, penabatan tatas, maupun pengembangan mata pencaharian alternatif.

3.2 Uji Coba Penerapan REDD+ di Indonesia

Indonesia adalah negara yang ikut menginisiasi pengurangan emisi melalui

penanganan deforestasi dan degradasi hutan. Komitmen Indonesia dalam

pengurangan emisi GRK ditunjukkan melalui pelaksanaan DA REDD+ bersama

dengan Australia di hutan Indonesia. Uji coba penerapan REDD+ sebagai upaya

pendukung dalam mengurangi emisi GRK dilaksanakan dalam beberapa kegiatan

antara lain reforestasi, penabatan tatas, dan pengembangan mata pencaharian

alternatif. Walaupun selama melaksanakan kegiatan menemui tantangan dan

kesulitan, Indonesia telah berhasil menguji coba mekanisme REDD+ di Indonesia.

Uji coba tersebut memberikan pengalaman dan pembelajaran yang bisa digunakan

67

untuk melaksanakan proyek dengan mekanisme yang sama. Hal tersebut selaras

dengan pernyataan yang disampaikan Koordinator KFCP Nick Mawdsley bahwa

“Program KFCP itu sendiri karena baru uji coba. Tujuannya adalah belajar. Jadi,

jika dikatakan berhasil atau tidak program KFCP sendiri lebih kepada

pembelajaran”.97

REDD+ adalah pendekatan yang digunakan untuk mengurangi emisi GRK

dari deforestasi dan degradasi hutan dengan cara memberikan dukungan pada

negara-negara berkembang baik secara finansial maupun teknis. Mekanisme resmi

untuk implementasi REDD+ di tingkatan internasional memang belum ada,

namun demonstrasi untuk REDD+ sudah bisa dilaksanakan seperti yang

dilakukan Indonesia dengan mitranya Australia dalam IAFCP. Kemitraan tersebut

diharapkan mampu menjadi pembelajaran tentang pengurangan emisi dari

deforestasi dan degradasi hutan sehingga implementasi REDD+ di Indonesia bisa

menjadi percontohan di tataran internasional.

KFCP adalah proyek yang dikelola secara mandiri oleh desa dengan

dukungan teknis dari staf KFCP. Segala bentuk kegiatan yang dilakukan di tingkat

desa diatur dalam kerangka kerja sama antara desa dan staf KFCP yang dinamai

“Perjanjian Desa”. Sebenarnya, perjanjian desa bukan hal baru dalam pengelolaan

program pembangunan desa karena beberapa daerah di Indonesia sudah pernah

menerapkan program tersebut. KFCP memfasilitasi penyusunan perjanjian

tersebut dengan melakukan konsultasi kepada warga untuk memperoleh

persetujuan. Agenda tersebut juga melibatkan dinas pemerintah dan kelembagaan

97 Lokakarya Tematik REDD+ Oleh KFCP, Borneoclimate.info, diakses dalam

http://berita.borneoclimate.info/2012/10/11/lokakarya-tematik-redd-oleh-kfcp/ (10/12/2016, 01:39

WIB).

68

adat daerah untuk mengembangkan strategi, pendekatan, dan instrumen konsultasi

perjanjian desa.98

Tabel 3.2 Strategi, Pendekatan, dan Instrumen Perjanjian Desa99

Strategi, Pendekatan, dan

Instrumen

Uraian

Memahami kondisi desa 1. Kajian dan studi tentang desa di awal

program, sebelum kegiatan dijalankan.

2. Lokakarya para ahli yang membahas

temuan kajian dan studi.

3. Memperbarui informasi tentang situasi dan

kondisi desa, pada saat perpanjangan

Perjanjian Desa.

Koordinasi dengan pemerintah

daerah

1. Membentuk Kelompok Kerja (Pokja)100

REDD+ dan berkoordinasi dengannya

secara berkala.

2. Membentuk Forum Komunikasi Antar

Daerah (FKAD) dan berkoordinasi

dengannya secara berkala.

Mengidentifikasi dan

memetakan kelompok warga

1. Memetakan kelompok informal (termasuk

kelompok berkumpul) dan formal warga.

2. Memetakan warga berdasarkan kelompok

kepentingan.

Memetakan kelompok rentan101 1. Melakukan Social Wealth Ranking

(SWR)102

Membentuk tim konsultasi 1. Membentuk tim konsultasi yang berasal

dari warga desa dan dipilih oleh warga.

2. Melatih tim konsultasi untuk melakukan

konsultasi.

Diskusi khusus dengan 1. Diskusi khusus dengan kelompok

98 KFCP, Pelibatan Masyarakat dalam Konsultasi dan Perumusan Perjanjian Desa, hal. 3, diakses

dalam https://issuu.com/iafcp/docs/pelibatan-masyarakat-dalam-konsulta (2/9/2016, 11: 37 WIB) 99 Ibid., hal. 52. 100 Pokja KFCP adalah kelompok kerja yang terdiri dari perwakilan dinas-dinas pemerintah di

tingkat kabupaten yang diketuai oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)

yang bertujuan sebagai forum koordinasi dan advokasi program di tingkat kabupaten. Ibid., hal.

29. 101 Kelompok rentan adalah kumpulan orang-orang dengan risiko tinggi ketika menghadapi

bencana. Ibid., hal. 18. 102 SWR adalah survei mengenai tingkat kesejahteraan warga di desa-desa di wilayah KFCP.

Survei dilakukan pada 2011 dengan cara yang partisipatif, di mana standar kesejahteraan

didiskusikan dan dikonsultasikan dengan warga, sehingga standar yang digunakan sesuai dengan

kondisi di wilayah survei. Hasil survei tersebut membantu KFCP untuk mengidentifikasi

kelompok rentan untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam program. KFCP, Pengembangan

Mata Pencahariaan Alternatif, hal. 60, diakses dalam

https://issuu.com/iafcp/docs/pengembangan_mata_pencaharian_alter (2/9/2016, 11:30 WIB).

69

kelompok perempuan dan rentan perempuan.

2. Diskusi khusus dengan kelompok rentan.

Berdasarkan pengalaman KFCP, desa dapat

memulai konsultasi dengan diskusi

kelompok atau Musyawarah Desa

(Musdes). Keputusan mengenai itu

diserahkan kepada desa.

Masa sanggah Memberikan masa sanggah antara 18-25 hari,

tergantung dari kesepakatan desa dan rentan

waktu rencana kerja program.

Finalisasi Perjanjian Desa 1. Pertemuan internal KFCP.

2. Musdes finalisasi Perjanjian Desa.

Perjanjian desa merupakan kerangka dan prinsip yang mengatur kerja sama

dan pengelolaan kegiatan KFCP di desa. Prinsip yang mendasari perjanjian desa

adalah kesetaraan dan keadilan. Perjanjian tersebut menyediakan mekanisme

pengelolaan program yang harus diterapkan oleh kedua belah pihak, baik pihak

desa maupun staf KFCP. Untuk melaksanakan perjanjian desa, KFCP telah

melakukan berbagai strategi dan pendekatan seperti yang sudah disebutkan dalam

tabel. Beberapa di antaranya yakni mengadakan kajian dan lokakarya untuk

memetakan kondisi awal desa, memetakan kelompok kepentingan ataupun

kelompok berkumpulnya warga, koordinasi dengan pemerintah daerah, pelibatan

perempuan dan kelompok rentan, serta menggunakan beragam produk komunikasi

seperti booklet dan video untuk memudahkan penyampaian informasi kepada

warga.103

Sedangkan beberapa kegiatan yang dilakukan selama proyek KFCP

berlangsung adalah: reforestasi, penutupan tatas, dan pengembangan mata

pencaharian alternatif bagi warga desa yang tinggal di sekitar wilayah program.

103 Ibid., hal. 62.

70

3.2.1 Reforestasi

Reforestasi atau disebut penghutanan kembali yang dilakukan oleh KFCP

terdiri dari dua cara, 1) Reforestasi buatan (artificial reforestation) yaitu

menanami hutan yang terdegradasi dengan tanaman yang sesuai dengan tipe

ekosistem hutan, dan 2) Reforestasi alamiah (natural reforestation) yaitu kegiatan

penghutanan kembali dengan membebaskan anakan atau semai yang ada di hutan

dari tanaman pengganggu melalui penyelenggaraan release, yaitu pembebasan

pohon dari tumbuhan pengganggu.104

Intervensi reforestasi KFCP terdiri dari release di lahan seluas 59 hektar

serta pembibitan dan penanaman di lahan seluas 1.911 hektar. Release

dilaksanakan satu kali di tahun 2013 sebagai uji coba. Sedangkan pembibitan

dilakukan dalam dua tahap, tahap I tahun 2011-2012, dan tahap II tahun 2012-

2013 dengan menggunakan produksi bibit yang lebih besar. Selanjutnya, kegiatan

penanaman dilakukan dalam tiga tahap, yakni tahap I tahun 2010 sebagai uji coba,

tahap II tahun 2011-2012 dalam skala besar, dan tahap III tahun 2012-2013

dengan skala yang besar pula.105

Pelaksanaan proyek-proyek KFCP menggunakan pendekatan berbasis

masyarakat dengan mengedepankan prinsip learning by doing dan kemandirian.

Pengelolaan diserahkan kepada desa melalui Tim Pengelola Kegiatan (TPK)/ Tim

Pengawas (TP), dengan warga desa sudah mulai dilibatkan dari proses

perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan kegiatan reforestasi. Keikutsertaan

warga desa dari awal proses perencanaan merupakan pembelajaran agar mereka

104 KFCP, Reforestasi Berbasis Masyarakat di Hutan Rawa Gambut, hal. 49, diakses dalam

https://issuu.com/iafcp/docs/reforestasi_berbasis_masyarakat_di_ (2/9/2016, 11: 50 WIB) 105 Ibid.

71

memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan reforestasi sehingga

nantinya bisa digunakan untuk mengelola program-program REDD+ lainnya.

Sebagian warga desa memang sudah memiliki pengalaman dalam mengelola

kebun maupun hutan. Namun cara yang digunakan dalam pengelolaan tersebut

masih sederhana. Oleh sebab itu, KFCP menyusun berbagai panduan untuk

membantu warga desa agar lebih memahami teknik reforestasi yang lebih baik.

Panduan yang disediakan oleh KFCP meliputi panduan pembibitan dan

penanaman. Selain itu, dalam melakukan kegiatan reforestasi, KFCP menyediakan

pendampingan dan asistensi teknis yang intensif untuk meningkatkan kualitas

teknik penanaman warga desa.

3.2.1.1 Pembibitan

Teknik pembibitan yang digunakan untuk reforestasi dalam KFCP mengacu

pada protokol pembibitan yang terdiri dari: 1) Pembangunan persemaian bibit,

persemaian tersebut digunakan untuk mengembangbiakkan dan memelihara bibit

dari anakan (vegetatif) sampai bibit sudah siap untuk ditanam. 2) Pengambilan

bibit, bibit yang digunakan oleh warga desa adalah bibit anakan alami dari areal

hutan di mana proses pengambilannya meliputi pencabutan anakan, pengepakan

(pengemasan), serta pengangkutan ke lokasi persemaian bibit. 3) Penyiapan

media, warga desa menyiapkan media dengan menyediakan bahan-bahan yang

akan digunakan untuk produksi bibit seperti tanah gambut yang dicampur dengan

pasir keras dan serbuk gergaji untuk meningkatkan porositas tanah sebagai media

tanam. 4) Pemeliharaan bibit di persemaian, pemeliharaan yang dilakukan seperti

72

dengan melakukan pemupukan, penyiraman, dan aklimatisasi bibit (mengurangi

naungan pohon agar sinar matahari menjangkau bibit dalam intensitas yang

cukup). 5) Pengangkutan bibit, bibit yang sudah memenuhi persyaratan

penanaman sudah bisa dipindahkan ke lokasi tanam. Persyaratan yang dimaksud

antara lain bibit sudah memiliki ketinggian 30 cm, jumlah daun sudah mencapai

lima helai, dan bibit dalam keadaan yang sehat dan tidak sedang terkena hama

penyakit.106

3.2.1.2 Penanaman

Kegiatan penanaman dilakukan pada lahan hutan yang terdegradasi yakni di

lima desa bagian selatan PLG. Sedangkan pada bagian utara PLG masih memiliki

lahan hutan yang bagus sehingga tidak dilakukan reforestasi. Dalam melakukan

penanaman, staf KFCP juga memberikan teknik penanaman kepada warga desa

agar penanaman berjalan dengan efektif. Teknik penanaman yang dimaksud

adalah 1) Penataan area tanam, proses tersebut bertujuan untuk membatasi dan

memberikan tanda area penanaman untuk setiap kelompok warga. 2) Pembuatan

lubang tanam dan pemasangan ajir, lubang tanam dibuat dengan ukuran 20x20x20

cm yang bertujuan agar akar bibit yang ditanam bisa mencapai lapisan tanah di

bawahnya sehingga mudah untuk memperoleh makanan. 3) Penanaman bibit,

kegiatan penanaman bibit dimulai dari proses pengangkutan bibit yang telah

diseleksi dari persemaian lapangan yang kemudian ditanam di lokasi penanaman

yang sudah ditentukan. 4) Perawatan dan penyulaman, kegiatan perawatan

106 Ibid., hal. 32

73

dilakukan dengan membersihkan area sekitaran bibit dari gulma atau tanaman

pengganggu, sedangkan penyulaman adalah kegiatan mengganti bibit yang sudah

mati dengan bibit yang baru.107

Program yang sudah disusun secara matang dan terstruktur tersebut ternyata

masih memiliki kekurangan sehingga menuai kritik dari beberapa pihak, antara

lain:

Pertama, keterbatasan informasi tentang kegiatan reforestasi kepada warga

desa. Pihak KFCP sudah menyebarluaskan informasi tentang kegiatan reforestasi

yang akan digalakkan di wilayah sekitar desa. Namun, ternyata warga desa hanya

menerima informasi sekadarnya saja tanpa mengetahui seluk-beluk maupun

informasi yang lebih terperinci tentang kegiatan reforestasi seperti lokasi yang

akan digunakan untuk proyek, izin pemanfaatan lokasi, bahkan terkait dampak

kegiatan terhadap aktivitas warga desa.

Kedua, keterbatasan keterlibatan warga desa dalam kegiatan reforestasi.

Selama kegiatan reforestasi masyarakat turut berpartisipasi sebagai pekerja

pembibitan, pemeliharaan bibit, penyiapan lahan, dan penanaman. Semua

pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan tenggang waktu dan dana yang disediakan

oleh proyek. Namun, yang menjadi masalah adalah keterlibatan warga desa hanya

sampai di situ saja, mereka tidak lagi dipekerjakan dalam pemeliharaan tanaman

reforestasi. Kegiatan reforestasi yang sudah dilaksanakan, selanjutnya hanya

mengandalkan perawatan alamiah saja. Akibatnya, tidak sedikit tanaman yang

sudah ditanam akhirnya layu dan mati.

107 Ibid., hal. 39.

74

Ketiga, Ketidakpekaan KFCP terhadap proyek pembangunan perkebunan

sawit, pembalakan kayu, dan pertambangan. Sekitaran lokasi kegiatan reforestasi

terdapat perusahaan perkebunan kelapa sawit seperti PT Rezki Alam Semesta

Raya (RASR), PT. Graha Inti Jaya, PT. Global Agro Lestari, dan PT Usaha

Handalan Perkasa yang mana keberadaan dan kegiatan perusahaan tersebut

merusak hutan dan kawasan hutan gambut, namun pihak KFCP sama sekali tidak

melakukan teguran atau bahkan tindakan yang berarti untuk mengatasi

permasalahan tersebut.108

Gambar 3.1 Dokumentasi Proyek Reforestasi KFCP109

108 Joint Factsheet, 2014, KFCP, Datang Tak Diundang, Pulang Tinggalkan Utang

Mempertanyakan Pertanggungjawaban KFCP Pasca Proyek, hal. 3. 109 Ibid., hal 4

Dari kiri ke kanan: Bibit yang akan ditanam di lokasi penanaman, bibit yang

tidak tumbuh dengan baik, bibit yang mati, lokasi penanaman yang terbakar

(Desa Katunjung).

75

3.2.2 Penabatan Tatas (Kanal Kecil)

Penabatan atau penutupan tatas adalah kegiatan menutup atau membendung

tatas, yakni saluran air yang dibuat oleh warga yang tinggal di sekitar PLG.

Keberadaan tatas merupakan salah satu faktor yang bisa mengakibatkan lahan

gambut menjadi kering. Akibatnya, lahan menjadi teroksidasi dan sangat rentan

terhadap kebakaran hutan yang bisa menambah jumlah emisi GRK. Program

penabatan tatas diharapkan mampu meningkatkan tinggi muka air yang akan

membantu proses rewetting (pembasahan kembali) pada lahan gambut sehingga

bisa mengurangi oksidasi di lahan gambut, mengurangi risiko kebakaran, dan

mampu menurunkan emisi GRK.110

Uji coba program penabatan tatas berlokasi di sebagian besar wilayah

selatan PLG di mana lokasi tersebut telah mengalami degradasi sangat hebat

akibat pembangunan tatas pada proyek sebelumnya yang menguras air dari lahan

gambut. Setelah PLG ditutup, ternyata warga desa setempat membangun sendiri

kanal-kanal kecil yang dimanfaatkan untuk jalur transportasi dari desa menuju

hutan. Kepemilikan atas tatas yang dibangun oleh masing-masing dari mereka

tidak memiliki dokumen resmi, namun hal tersebut diakui oleh lembaga adat desa

dan tertulis dalam buku aturan Dayak Ngaju Kabupaten Kapuas.111

Penabatan tatas dimulai dengan melakukan praktik uji coba pada beberapa

tatas untuk mengetahui respons masyarakat, mekanisme pengelolaan, dan teknik

penabatan yang efektif. Pembelajaran yang didapatkan dari uji coba tersebut

110 KFCP, Pengelolaan Penabatan Tatas Berbasis Komunitas, Sebuah Pembelajaran untuk

Merehabilitasi Sistem Hidrologi Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah, hal. 9, diakses

dalam https://issuu.com/sayastella/docs/penabatan_tatas_pa5 (2/9/2016, 12:02 WIB). 111 Ibid., hal. 12.

76

nantinya akan digunakan untuk menyempurnakan metode penabatan tatas

sehingga bisa diterapkan pada tatas-tatas yang lainnya.112 Namun, uji coba

penabatan tatas yang dilakukan oleh KFCP juga memunculkan protes dari warga

desa, antara lain:113

Pertama, kegiatan penutupan tatas hanya memberitahu warga pemilik tatas,

sedangkan warga lain yang berada di sekitar lokasi kegiatan tidak mendapatkan

informasi apapun selain keuntungan yang akan didapatkan bagi pemilik tatas,

yakni kompensasi sebesar Rp. 10.000.000 sampai Rp. 15.000.000 untuk setiap

tabat114 yang dihitung berdasarkan lebar atau sempitnya tatas.

Kedua, rehabilitasi penabatan tatas telah menutup akses transportasi

masyarakat menuju area kebun, tempat menangkap ikan, atau bahkan lahan usaha

lainnya. Warga desa pemilik tatas memang sudah mendapatkan kompensasi atas

penjualan tatas miliknya, namun pelaksanaan kegiatan penutupan tatas tanpa

persetujuan warga desa sekitar telah merugikan warga desa tersebut. Selain akses

warga tertutup, kegiatan tersebut juga mengakibatkan air meluap sampai

menggenangi kebun tanaman karet sehingga menjadikannya mati.115

112 Ibid. 113 Joint Factsheet, Op. Cit., hal. 4. 114 Tabat adalah istilah Dayak untuk menyebut bendungan yang terbuat dari kayu. 115 Ibid., hal. 5.

77

Gambar 3.2 Dokumentasi Penabatan Tatas KFCP116

3.2.3 Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif

Sebagian warga desa sebenarnya mengetahui jika kegiatan-kegiatan

eksploitasi hutan seperti menebang kayu, memancing ikan dengan menggunakan

listrik, dan mengambil hasil hutan non-kayu secara berlebihan bisa memperburuk

kerusakan hutan. Namun, warga desa di sekitar hutan memiliki keterbatasan

pilihan mata pencaharian sehingga tidak ada pilihan lain selain mengerjakan

pekerjaan-pekerjaan tersebut. Fenomena tersebut telah membuat staf KFCP

menginisiasi program mata pencaharian alternatif untuk memperkenalkan pilihan

sumber mata pencaharian yang mendukung potensi lokal, memiliki nilai ekonomi

tinggi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan kepada warga desa.117

116 Ibid., hal. 4 117 KFCP, Pengembangan Mata Pencahariaan Alternatif, hal. 3.

Dari kiri ke kanan: Tabat yang masih berdiri tinggi, tabat yang rusak, tabat

yang tenggelam.

78

Penyelenggaraan paket pekerjaan dinaungi oleh Perjanjian Desa.

Penyelenggaraan paket pekerjaan merupakan upaya KFCP membantu desa

menyiapkan diri untuk menerima dan mengelola manfaat REDD+ melalui sistem

berbasis kinerja (performance-based system). Istilah paket pekerjaan digunakan

untuk menjelaskan kegiatan yang disepakati antara warga desa dengan KFCP

yang mana warga desa akan berperan dalam kegiatan tersebut. Beberapa hal yang

tercantum dalam paket pekerjaan adalah jenis kegiatan, biaya, dan insentif bagi

desa. Program mata pencaharian alternatif merupakan manfaat tambahan dari

REDD+ yang membantu upaya penurunan tingkat kemiskinan. Program tersebut

disinyalir mampu menjadi kemanfaatan utama bagi REDD+, melihat penyebab

utama degradasi lingkungan hutan adalah kegiatan ekonomi masyarakat.118

Tabel 3.3 Tahapan Kegiatan Program Mata Pencaharian Alternatif119

Tahapan

Tahun Tahap satu:

Meningkatkan

kualitas dan rantai

nilai karet

Tahap dua: Pelaksanaan mata pencaharian

alternatif.

A. Pelatihan dan

sekolah lapang-

persiapan lahan dan

demonstrasi

B. Pelaksanaan

2010 Fase satu: Uji coba

Sekolah Lapangan

(Budidaya dan

Pemasaran) Karet

(SLK) (dua desa).

Fokus dalam:

kualitas dan rantai

nilai karet

118 Ibid., hal. 14. 119 Ibid., hal. 17.

79

2011-2012 Fokus dua: SLK

(tujuh desa). Fokus

dalam: kualitas dan

rantai nilai karet

Akhir 2012 Fase satu: SL-

Praktik lapangan

(tujuh desa). Fokus

dalam: persiapan

lahan, pelatihan

penanaman karet,

agroforestri120, dan

beje121.

Januari-Juli

2013

Fase satu: Uji coba

budidaya (1/3 dari

total paket). 1/3 ha

untuk karet, serta

agroforestri dan beje

dalam jumlah yang

setara.

September-

Oktober

2013

Fase dua: Sekolah

lapang-praktik

lapang (tujuh desa).

Fokus dalam:

persiapan lahan,

pelatihan penanaman

karet, agroforestri,

dan beje.

Desember

2013-April

2014

Fase dua:

Implementasi yang

lebih luas (2/3 dari

total paket). 2/3 ha

karet, serta

agroforestri dan beje

dalam jumlah setara.

Paket penuh bagi

partisipan yang

belum bergabung

pada tahap dua-fase

satu, dan ingin

bergabung pada

tahap dan fase ini.

120 Agroforestri adalah budidaya tanaman kehutanan bersama dengan tanaman pertanian. 121 Beje adalah kolam yang dibangun dengan cara menggali tanah untuk menangkap ikan yang

dialirkan oleh luapan air sungai pada saat musim hujan. Ikan yang tertangkap di kolam biasanya

langsung dipanen oleh warga setelah luapan air sungai menyusut. Ibid., hal. 40.

80

Program pengembangan mata pencaharian alternatif juga menuai

permasalahan karena ketidakpuasan warga terhadap pekerjaan yang dialihkan

tersebut. Awalnya, setiap harinya masyarakat bekerja menyadap karet dengan

penghasilan minimum Rp 200.000/ hari. Namun, saat masyarakat ikut bekerja

untuk program KFCP, upah yang didapatkan dalam sehari maksimal hanya Rp

100.000.122

Ikut bekerja sebagai buruh di proyek KFCP sangat merugikan saya,

saya tidak mendapatkan untung malah saya yang berutang. Bekerja

ikut penanaman dengan upah 1,8 juta/ha, yang dikerjakan dalam

waktu 2 minggu yang tidak ada hasilnya bagi saya lebih baik saya

menyadap karet.123

Berbagai kegiatan yang diinisiasi oleh KFCP memang tidak seluruhnya

sempurna dan bisa diterima dengan baik oleh warga desa. Hal lain yang

mempengaruhi adanya kekurangan dalam proyek yang dilaksanakan adalah

karena berbagai proyek tersebut masih dalam tahap proses uji coba. Selama

proyek KFCP berlangsung, KFCP tidak hanya melakukan uji coba beberapa

proyek yang sudah direncanakan saja, namun KFCP juga memberikan bekal

dalam hal peningkatan kapasitas bagi warga desa. Upaya peningkatan kapasitas

untuk warga desa diharapkan bisa menjadi dasar pembelajaran dan pengalaman

untuk nantinya dipraktikkan pada proyek REDD+ selanjutnya.

122 Joint Factsheet, hal 5. 123 Kutipan wawancara buruh perempuan pada proyek KFCP pada 22 April 2013, Ibid.

81

3.3 Pembangunan Kapasitas Indonesia

Kategori terakhir dari capaian kemitraan IAFCP yaitu membangun kapasitas

Indonesia adalah berhasil. Dukungan pembangunan kapasitas tersebut

diimplementasikan dalam upaya mempelajari dan memajukan REDD+ melalui

pelatihan, data, hasil penelitian, dan materi-materi sumber informasi lainnya yang

diberikan kepada warga yang berada di lokasi proyek KFCP. Tujuannya adalah

untuk memberikan kontribusi pada pelaksanaan DA-REDD+ di Indonesia

sehingga bermanfaat untuk mendukung implementasi REDD+ selanjutnya.

Selama proyek KFCP dilaksanakan, KFCP memberikan bantuan teknis,

pelatihan, penguatan kapasitas, dan pemantauan untuk membantu desa dalam

mengelola berbagai kegiatan tersebut. Prinsip dan mekanisme yang diterapkan

dalam setiap kegiatan berfungsi sebagai uji coba guna melihat sejauh mana

pendekatan dan metode dapat digunakan untuk REDD+ sekaligus sebagai ajang

membantu desa untuk memiliki kapasitas dalam mengelola program yang masuk

ke desa secara mandiri.124

Dukungan KFCP terhadap pembangunan kapasitas Indonesia terealisasi

dalam penguatan kelembagaan desa yang diberikan melalui, 1) Pembentukan dan

penguatan kapasitas tim pengelola kegiatan KFCP di desa, 2) Penguatan kapasitas

kelembagaan adat, 3) Fasilitasi pembentukan forum koordinasi dan komunikasi

desa, dan 4) Bantuan kepada desa yang ingin mengajukan pengelolaan hutan desa.

124 KFCP, Dukungan Penguatan Kelembagaan bagi Desa dalam Mengelola Kegiatan REDD+,

hal. 17, diakses dalam https://issuu.com/sayastella/docs/penabatan_tatas_pa5 (2/9/2016, 12:15

WIB).

82

3.3.1 Pembentukan dan Penguatan Kapasitas Tim Pengelola Kegiatan KFCP

di Desa

Guna membentuk dan menguatkan kapasitas tim pengelola kegiatan KFCP

di desa, maka staf KFCP menyusun langkah untuk merealisasikan hal tersebut.

Tahapan yang dilakukan oleh staf KFCP yaitu:

1. Menentukan Bentuk Tim Pengelola

Staf KFCP dalam menentukan lembaga yang akan ditugaskan untuk

mengelola program KFCP dimulai dengan menggelar kajian dan pertemuan

bersama para ahli. Selanjutnya, staf KFCP melakukan kajian kelembagaan lokal

desa secara partisipatif untuk mengidentifikasi dan menilai kapasitas lembaga

yang ada, baik yang formal maupun informal. KFCP tidak memposisikan diri

sebagai pihak yang mengatur, namun hanya berperan memberikan dukungan agar

desa menggunakan lembaga yang sudah dikenal oleh sebagian besar warga desa.

Pemilihan untuk lembaga yang sudah dikenal bertujuan untuk memperkuat

kelembagaan sehingga dapat merepresentasikan warga desa, termasuk dari

kelompok rentan.125

Musyawarah pembentukan tim pengelola kegiatan KFCP terus berlanjut

hingga ditetapkan beberapa kriteria dan persyaratan untuk lembaga pengelola.

Syarat yang dimaksud antara lain memiliki komunikasi yang baik dengan

pemerintah daerah dan warga desa, memiliki sistem administrasi yang baik,

melibatkan warga di semua tahapan kegiatan, mengelola kesepakatan secara

partisipatif, dan memiliki manajemen pengelolaan yang transparan dan akuntabel

125 Ibid., hal 18.

83

di seluruh tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan

verifikasi. Namun, dari peserta musyawarah muncul ketidakpercayaan terhadap

lembaga lokal yang sudah teridentifikasi. Beberapa tanggapan yang muncul dari

peserta musyawarah antara lain: 1) Beberapa kelompok yang teridentifikasi dalam

penilaian lembaga lokal cenderung berpihak kepada kelompok tertentu yang

memiliki kekuasaan di desa. 2) Beberapa kelompok yang ada kurang melibatkan

warga dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan. 3) Pemberdayaan

beberapa lembaga berfokus pada anggota-anggotanya saja, dan kurang

mengembangkan kebutuhan warga desa secara luas.126

Berdasarkan pertimbangan dari tanggapan yang telah diutarakan, maka

ketujuh desa memutuskan membentuk kelompok baru untuk mengelola kegiatan

KFCP di desa. Seluruh warga desa berharap dengan terbentuknya kelompok baru

maka bisa meminimalisir dominasi beberapa pihak yang ada di desa terhadap

pemerataan manfaat kegiatan KFCP. KFCP mengeluarkan rekomendasi untuk

menggunakan struktur yang sama dengan TPK yang digunakan oleh Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) karena struktur tersebut dianggap

yang paling sederhana dan warga desa sudah terbiasa dengan keberadaan TPK

tersebut.

Perbedaannya, TPK untuk KFCP akan lebih disesuaikan dengan kebutuhan

desa untuk program KFCP. Penyesuaian yang dimaksud antara lain terkait

penambahan TP sebagai pengawas TPK agar program bisa berjalan dengan lebih

transparan dan akuntabel. Selanjutnya juga terkait pengelolaan dana kegiatan yang

126 Ibid., hal. 20.

84

diserahkan langsung kepada TPK, hal tersebut berbeda dengan TPK-PNPM yang

dikelola oleh Unit Pengelola Keuangan (UPK) di kecamatan. Mekanisme tersebut

diterapkan agar desa memiliki kewenangan yang lebih luas dalam mengelola dana

program. Desa menetapkan bahwa tim TPK/TP akan disahkan melalui Surat

Keputusan Kepala Desa. Walaupun kedua tim hanya bersifat sementara, namun

memiliki kesempatan untuk menjadi lembaga pengelola REDD+ yang permanen

di tingkat desa.127

2. Menyusun Struktur, Fungsi, dan Tugas TPK/TP

TPK berperan sebagai pengelola kegiatan, sedangkan TP bertugas untuk

mengawasi pengelolaan TPK terhadap program KFCP. Selanjutnya, kedua tim

berkewajiban melaporkan pekerjaannya kepada Kepala Desa. Struktur TPK/TP

adalah sebagai berikut:

Gambar 3.3 Struktur TPK/TP

127 Ibid.

85

Gambar di atas menunjukkan struktur TPK yang terdiri dari ketua,

sekretaris, dan bendahara. Sedangkan TP terdiri dari anggota-anggota saja dan

tidak memiliki struktur berjenjang. Desa berwenang menambah jumlah anggota

TPK maupun TP yang disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan desa.

Penambahan anggota tersebut dilakukan jika jumlah kegiatan semakin bertambah

ataupun jika wilayah yang dikelola semakin luas. Gambar di atas juga

menunjukkan bahwa staf KFCP berfungsi sebagai bagian yang bertugas

memberikan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan pendampingan insentif

kepada TPK/TP, lembaga desa, pemerintah desa, FKAD, maupun Pokja

REDD+.128

Berikut merupakan persyaratan keanggotaan TPK/TP: 1) Anggota TPK

harus berasal dari warga desa yang terpilih dalam forum desa. 2) Anggota TP

berasal dari kalangan yang dihormati di desa dan disegani oleh warga desa, seperti

pemerintah desa, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya. 3) Jumlah anggota

yang ditetapkan untuk TPK/TP adalah masing-masing berjumlah minimal tiga

orang. Namun, jumlah anggota bisa bertambah jika sedang dilaksanakan kegiatan

dalam skala yang lebih besar atau pada wilayah yang lebih luas. 4) Jumlah kuota

keterwakilan perempuan sebagai anggota TPK/TP yang ditetapkan oleh KFCP

adalah sebesar 30%.

3. Menguatkan Kapasitas Tim Pengelola

KFCP membantu mengembangkan kapasitas dari TPK/TP dengan berbagai

macam cara, antara lain melalui pelatihan, praktik lapangan (on the job training),

128 Ibid., hal. 22.

86

penyediaan buku-buku panduan, serta pendampingan insentif. Pelatihan yang

diberikan mencakup konsep REDD+, tugas pokok dan fungsi TPK/TP, resolusi

konflik, mekanisme keluhan (grievance mechanism), verifikasi teknis, sosial dan

lingkungan, serta pelatihan administrasi dan pengelolaan keuangan. Narasumber

didatangkan dari berbagai instansi seperti dinas pemerintahan dari Kabupaten

Kapuas, lembaga adat, LSM, universitas, dan staf ahli KFCP.

Kegiatan praktik lapangan merupakan media yang bisa digunakan oleh

TPK/TP untuk berlatih mengelola kegiatan secara langsung. Beberapa hal yang

dipelajari oleh TPK/TP selama praktik lapangan adalah penggunaan media

informasi untuk menyebarkan berita kepada warga desa, pengorganisasian warga

desa ke dalam kelompok-kelompok kerja, koordinasi dengan pemerintahan desa

dan dinas pemerintahan lain, pengadaan material, pengelolaan dana kegiatan

beserta pendistribusiannya, pembuatan laporan kegiatan dan laporan keuangan,

dan cara mengawasi dan memverifikasi kegiatan sebelum pembayaran

dilakukan.129

Pendampingan teknis diberikan untuk mendampingi TPK/TP di desa. KFCP

menempatkan staf lapangan di setiap desa, sedangkan desa yang wilayahnya luas

akan diberikan staf untuk setiap dusunnya. Selain staf lapangan, juga ada staf

teknis yang bertugas memberikan pendampingan insentif kepada warga terkhusus

untuk bidang teknis seperti teknik penanaman, pembibitan, penabatan tatas, dan

lainnya. Staf KFCP juga menyediakan buku panduan untuk memperluas informasi

dan meningkatkan pengetahuan warga desa mengenai teknik-teknik kegiatan yang

129 Ibid., hal 28.

87

dilakukan selama proyek KFCP dilaksanakan. Buku panduan yang disusun seperti

buku panduan penanaman, pembibitan, dan penabatan tatas.

Seiring dengan bertambahnya kegiatan dan meningkatnya kapasitas

TPK/TP, maka peranan dan tugas dari TPK/TP pun semakin berkembang. Berikut

ringkasannya:

Tabel 3.4 Peranan dan Tugas TPK/TP130

Tahun Peranan dan Tugas

TPK TP

Tahun 2010

(dua desa)

-Sosialisasi dan merencanakan

pekerjaan.

-Melakukan pengadaan bahan-

bahan.

-Mencari partisipan kegiatan

secara adil.

-Melaksanakan pembayaran.

-Manajemen keuangan.

-Tata kearsipan.

-Memastikan bahwa semua

pekerjaan dan kegiatan

dilaksanakan dengan aman serta

mengelola asuransi bagi

partisipan kegiatan.

-Melakukan pengadaan

transportasi dan jasa-jasa

lainnya.

Tugas pengawasan yang

dilakukan oleh TP mencakup:

-Keuangan.

-Pengadaan.

Tahun 2011 Selain tugas-tugas yang telah

dilakukan sejak tahun 2010,

pada tahun 2011, terdapat

tambahan tugas bagi TPK, yaitu:

-Memfasilitasi konsultasi

Perjanjian Desa.

-Memediasi (bertindak sebagai

penengah) perselisihan dan

ketegangan di antara masyarakat

desa dengan dibantu oleh tokoh

adat dan pemerintah desa, serta

KFCP jika diperlukan.

Sama dengan tahun 2010

Tahun Pada tahun ini, Perjanjian Desa Sama dengan tahun 2011,

130 Ibid., hal. 29.

88

2012-2013 telah ditandatangani. Tugas-

tugas yang sudah dilakukan

sejak tahun 2010-2011

dicantumkan dalam perjanjian.

Adapun tambahan tugas bagi

TPK adalah:

-Memastikan bahwa semua

pekerjaan dan kegiatan

dilaksanakan dengan aman serta

mengelola asuransi bagi

partisipan kegiatan.

-Memastikan bahwa persyaratan

Perjanjian Desa dipenuhi.

dengan penambahan tugas

bagi TP:

-Sosialisasi

-Verifikasi safeguards

Tahun

2013-2014

Sama dengan tahun 2012-2013 Sama dengan tahun 2012-

2013

Berbagai tugas yang dilaksanakan TPK/TP tentunya masih mengalami

kendala. Hal tersebut mengingat sebagian besar dari anggota TPK belum pernah

terlibat dalam pengelolaan program sehingga proses maupun mekanisme yang

berlaku merupakan hal baru bagi mereka. Beberapa kendala yang dimaksud

seperti pengadaan barang melalui tender, pelaporan keuangan, fasilitasi

perselisihan antar warga/ pihak di desa, mengikuti safeguards, dan verifikasi

safeguards.131

3.3.2 Penguatan Kapasitas Kelembagaan Adat

Pertama kali KFCP datang dan memperkenalkan programnya di desa,

Peraturan Daerah (Perda) tentang keberadaan kelembagaan adat baru disahkan

sekitar satu tahun sebelumnya. Sebagian besar desa juga masih belum memilih

Mantir Adat yang sesuai dengan Perda tersebut. Tidak hanya itu, KFCP juga

menemukan bahwa ternyata para pemerintah dan lembaga desa belum sepenuhnya

131 Ibid., hal. 32.

89

memahami peran dan tugasnya masing-masing yang sesuai dengan Perda.

Berdasarkan fenomena tersebut, KFCP mulai berfokus pada penguatan kapasitas

kelembagaan adat yang ada di desa. Tujuannya adalah untuk menyiapkan

keterlibatan kelembagaan adat dalam program REDD+ agar bisa tepat sasaran.

Dukungan yang diberikan KFCP dalam penguatan kelembagaan adat antara lain:

1. Mengadakan pelatihan kelembagaan adat kabupaten dan desa mengenai

peran dan fungsi kelembagaan adat yang sesuai dengan Perda No. 16

Tahun 2008132

Sebelum dilaksanakannya pelatihan kelembagaan adat, KFCP telah

melakukan survei untuk mengetahui kondisi desa, keberadaan lembaga formal dan

informal, serta kelembagaan dan kepemimpinan adat desa. Temuan yang

dihasilkan dari survei tersebut adalah masih melemahnya kelembagaan yang ada

di tingkat desa, masih belum jelasnya tumpang tindih status dan klaim lahan di

beberapa wilayah program KFCP, masih adanya ikatan yang kuat antara budaya

Dayak dan hutan, beberapa desa masih belum memilih Mantir Adat sesuai dengan

Perda No. 16 Tahun 2008, hutan pehewan (hutan keramat) perlu dikembalikan ke

fungsi aslinya, dan keberadaan tanah, hutan adat, serta kebijakan lokal perlu

dilindungi.133

Temuan dari hasil survei kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan

diskusi bersama kelembagaan adat dan pemerintah daerah dari tingkat desa hingga

132 Perda No. 16 Tahun 2008 bermaksud untuk mendorong upaya pemberdayaan Lembaga Adat

Dayak agar mampu membangun karakter Masyarakat Adat Dayak melalui upaya pelestarian,

pengembangan, dan pemberdayaan adat-istiadat. Kebiasaan-kebiasaan dan menegakkan hukum

adat dalam masyarakat demi mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat,

menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan kelangsungan pembangunan, serta

meningkatkan Ketahanan Nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 133 Ibid., hal. 42.

90

provinsi agar mendapatkan masukan untuk penguatan kelembagaan adat desa.

Masukan tersebut dijadikan pertimbangan untuk menginisiasi kegiatan penguatan

kelembagaan desa yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM)-Desa.

Proses penyusunan RPJM-Desa melewati beberapa tahapan yang cukup

memakan waktu. Dimulai dengan pelatihan mengenai penetapan prioritas

pembangunan desa yang dilaksanakan sepanjang minggu. Setelah itu, dilanjutkan

dengan pertemuan yang membahas tentang rencana kerja tahunan desa selama

berhari-hari. Guna mendukung peran dan fungsi kelembagaan adat desa, para

tokoh adat di desa mendukung penguatan kelembagaan desa sebagai prioritas

pembangunan desa di mana program yang dibentuk meliputi penguatan

pemahaman peran dan tugas kelembagaan adat desa sesuai Perda No. 16 Tahun

2008 dan pemetaan wilayah kelola adat.134

KFCP mengadakan pelatihan yang diadakan sepanjang minggu pada bulan

Februari 2012 di Desa Sei Ahas, Kecamatan Mantangai dengan jumlah peserta

yang hadir sebagai berikut:

Tabel 3.5 Daftar Narasumber dan Peserta Kegiatan Kelembagaan Adat135

No Lembaga L P Jumlah

1 Narasumber dari Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi 1 3 4

2 Narasumber dari Dewan Adat Dayak Kabupaten - 2 2

3 Narasumber dari Universitas Palangkaraya - 1 1

4 Wakil dari Dusun/RT - 6 6

5 Kecamatan - 6 6

6 Fasilitator KFCP 1 4 5

7 Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat - 21 21

8 Damang Kepala Adat - 2 2

134 Ibid., hal 43. 135 Ibid., hal 45.

91

9 Sekretaris Damang Kepala Adat - 2 2

Total 2 47 49

KFCP melalui kegiatan pelatihan yang digelar bermaksud untuk mengetahui

tingkat pemahaman damang dan mantir adat mengenai kelembagaan adat. Pada

pelatihan tersebut, selain membahas tentang peran dan fungsi, juga membahas

tentang jenis tanah adat136 dan hak adat di atas tanah137 yang ada di wilayah kerja

KFCP. Pemahaman tersebut berguna untuk menjadi dasar pengetahuan mereka

sebelum nantinya memetakan wilayah kelola adat. Selanjutnya, pelatihan

dilanjutkan dengan pembahasan tentang Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA).

2. Memperjelas kerangka kerja pembuatan SKTA

Mayoritas dari warga desa belum mengurus surat keterangan kepemilikan

tanah, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: perusahaan besar

swasta dan Kuasa Pertambangan (KP), konflik tanah warisan, tumpang tindih

kepemilikan lahan, kepentingan pemerintah desa dan adat, kepemilikan lahan

dengan segel atau verklaring, jadwal kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan

masyarakat, pemahaman tentang istilah tanah adat di masyarakat, dan batasan

desa yang belum jelas. Menindaklanjuti kendala-kendala yang dirasakan oleh

warga desa, maka narasumber dalam pelatihan mengajak peserta untuk berdiskusi

136 Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan atau di

wilayah desa/ kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan

hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang

keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13

Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan

Tengah, Jdihprovkalteng, hal. 3, diakses dalam http://jdih.kalteng.go.id/uploads/prokum-

2012082710355416.pdf (10/12/2016, 05:42 WIB). 137 Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak perorangan untuk mengelola,

memungut, dan memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas

tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat. Ibid., hal. 4.

92

terkait penyusunan alur pembuatan SKTA yang digambarkan pada diagram

berikut:

Gambar 3.4 Alur Penerbitan SKTA138

138 KFCP, Dukungan Penguatan Kelembagaan bagi Desa dalam Mengelola Kegiatan REDD+,

Op. Cit., hal. 49.

Keterangan Diagram:

1. Masyarakat mengajukan permohonan kepada mantir untuk pembuatan SKTA, kemudian

mantir bertugas membuat surat pengajuan SKTA kepada Damang kepala adat.

2. Menanggapi surat permohonan mantir, kepala adat (damang) dan sekretaris adat

mengadakan rapat kedamangan di tingkat kecamatan. Tujuan dari pertemuan ini adalah

untuk membentuk komisi adat, yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah

desa yang mengetahui/ mengenal lokasi dari usulan SKTA masyarakat (berdasarkan

rekomendasi dari mantir adat desa).

3. Langkah selanjutnya dikoordinir oleh damang kepala adat, yaitu melakukan pertemuan

di kecamatan/ desa untuk menyusun langkah/ strategi untuk melakukan peninjauan ke

lapangan. Selain itu, juga dibahas mengenai: biaya anggaran, kesiapan lapangan, dan

pihak-pihak yang akan terlibat.

4. Hasil peninjauan lapangan dilaporkan dalam berita acara yang akan diletakkan di depan

umum selama 1 minggu untuk mendapat masukan atau sanggahan dari masyarakat.

5. Melihat apakah terdapat gugatan dari masyarakat lain terkait usulan pembuatan SKTA.

6. Damang Kepala Adat adalah pengambil keputusan tertinggi.

93

Prosedur penyusunan SKTA yang dibuat selama pelatihan berhasil

mempermudah kedamangan dan mantir dalam memproses SKTA. Prosedur yang

sudah disusun tersebut akhirnya dijadikan sebagai prosedur tetap dalam

penyusunan SKTA. Setelah pemahaman kepada peserta tentang identifikasi tanah

adat dan hak adat di atas tanah sudah diberikan, maka proses selanjutnya adalah

pemetaan wilayah kelola.

3. Melaksanakan pemetaan wilayah kelola adat yang mengacu pada Pergub

No. 9 Tahun 2010

Tahapan pemetaan terdiri dari dua tahap yakni pembuatan batasan luar tanah

adat milik perorangan139 dan pembuatan batasan dalam tanah adat milik

bersama140. Pemetaan dilakukan oleh tim pemetaan desa yang terdiri dari mantir

adat, warga desa, dan pemerintah desa yang kurang lebih berjumlah total 150

orang.141

Uji coba metode pemetaan dilakukan dengan teknik overlay. Tim pemetaan

membuat titik-titik terjauh wilayah kelola adat. Titik-titik yang teridentifikasi

tersebut ditentukan posisinya dengan menggunakan Global Positioning System

(GPS). Dilanjutkan dengan survei lokasi sekaligus melakukan justifikasi titik-titik

terjauh wilayah kelola adat yang dilakukan dengan menelusuri sejarah

pengelolaan lahan yang dituturkan oleh Mantir Adat, tokoh adat, dan warga desa.

139 Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka hutan

atau berladang, jual beli, hibah, atau warisan secara adat, dapat berupa kebun atau tanah yang ada

tanam tumbuhnya maupun tanah kosong belaka. Jdihprovkalteng, Op. Cit., hal. 3. 140 Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurun yang dikelola dan

dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat

disejajarkan maknanya dengan Hak Ulayat. Ibid. 141 KFCP, Dukungan Penguatan Kelembagaan bagi Desa dalam Mengelola Kegiatan REDD+,

Op. Cit., hal. 51.

94

Setelah itu, tim pemetaan akan menempelkan hasil pemetaan sementara di desa

dan mendiskusikannya dengan warga desa yang memahami sejarah tanah adat

desanya.

Seusai dilakukan uji coba metode pemetaan, KFCP melakukan evaluasi

sehingga mendapatkan pembelajaran dan masukan selama proses berlangsung,

antara lain142:

1. Penggunaan sketsa dengan peta citra satelit dapat lebih menghemat waktu,

tenaga, dan biaya.

2. Kecurigaan warga terhadap program-program KFCP, utamanya pemetaan yang

mengakibatkan berubahnya status dan kepemilikan lahan telah hilang dengan

adanya penempelan hasil sementara pemetaan dan diskusi kelompok yang

digelar dengan warga desa.

3. Pemahaman bahwa batas sebaran tanah adat milik perorangan dan milik

bersama memiliki perbedaan di setiap desa. Walaupun pada sisi budaya dan

demografi, desa-desa tersebut berasal dari betang143 yang sama dan memiliki

batas yang sama.

4. Budaya tutur di antara masyarakat adat Dayak sudah mulai menghilang

sehingga nyaris tidak ada dokumentasi sama sekali. Hal tersebut

mengakibatkan sebagian besar batas wilayah selama pemetaan berlangsung

masih melalui perkiraan tanpa runutan sejarah kepemilikan dan pengelolaan

lahan yang lengkap. Akibatnya, dasar klaim kepemilikan tanah adat menjadi

142 Ibid., hal. 52-53. 143 Betang adalah rumah panjang khas suku Dayak yang digunakan sebagai tempat pertemuan

damai. Kamus Besar Bahasa Indonesia diakses dalam http://kbbi.web.id/betang (10/12/2016, 10:26

WIB).

95

lemah. Hal tersebut membuktikan bahwa penting untuk melakukan

dokumentasi sejarah.

5. Seluruh Mantir dan Damang sepakat bahwa batas sebaran tanah adat milik

perorangan dan milik bersama ditentukan oleh kemampuan warga untuk

mengakses lahan tempatnya melakukan kegiatan usaha atau disebut konsep

tradisional eka malan manana satiar.144

6. Adanya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah membuat daya jelajah

Masyarakat Adat Dayak dalam satu hari menjadi lebih jauh dan risiko ketidak

pastian lahan semakin tinggi.

7. Setelah dilakukan uji coba pemetaan pertama, ternyata masih ditemui

kesalahan penentuan lokasi titik-titik terjauh wilayah kelola dengan

menggunakan GPS. Solusi yang ditawarkan adalah dengan melakukan

pembersihan data dan pemeriksaan ulang.

Seusai digelar evaluasi, maka tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah

proses debugging (pembersihan) data hasil pemetaan tahap pertama. Peta yang

sudah dibersihkan akan dikembalikan kepada Mantir Adat di setiap desa yang

selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan ulang terhadap kesalahan dalam

pemetaan. Barulah pemetaan tahap kedua dilakukan untuk memetakan batasan

tanah adat milik bersama. Pemetaan tersebut bertujuan untuk memperbarui peta

yang sudah dimiliki, memetakan status Tanah Adat Milik Perorangan yang tidak

144 Konsep eka malan manana satiar tersebut menjelaskan bila suatu kawasan dapat ditempuh

pulang pergi dalam satu hari dan warga berusaha di kawasan tersebut, misalnya menangkap ikan,

maka kawasan itu dianggap sebagai batas eka malan manana satiar. Pada kawasan tersebut tanah

adat milik perorangan terkonsentrasi. Selebihnya, di luar kawasan itu, leboh banyak tanah adat

milik bersama.

96

terkelola, tanah-tanah yang tidak jelas kepemilikannya, dan memetakan hak-hak

adat di atas tanah.

Dukungan terhadap desa dalam mengelola kegiatan KFCP tidak hanya

dengan memberikan penguatan kepada TPK/TP dan kelembagaan adat seperti

yang sudah dijelaskan pada pembahasan di atas. Namun, KFCP juga memfasilitasi

pembentukan forum koordinasi dan komunikasi desa yang bermanfaat untuk

menghubungkan komunikasi antar desa maupun sebagai forum penengah atas

konflik yang kemungkinan terjadi selama proyek KFCP berlangsung.

3.3.3 Fasilitasi Pembentukan Forum Koordinasi dan Komunikasi Desa

KFCP membantu desa membentuk FKAD pada tahun 2012 yang

bermanfaat sebagai media bagi Kepala Desa, Mantir Adat, dan tokoh desa lain

untuk mendiskusikan dan menyepakati hal-hal terkait kegiatan KFCP dan desa.

Tidak hanya itu, FKAD juga berhasil menjadi mediator yang kuat dalam

menghadapi perubahan arah program KFCP di desa maupun meredam ketegangan

yang timbul di antara warga desa yang disebabkan oleh perubahan tersebut.145

Kepala desa dan kalangan adat memandang FKAD sebagai forum yang

mampu membantu menstabilkan berbagai gejolak yang sempat timbul selama

program KFCP berlangsung. Prestasi-prestasi yang diraih oleh FKAD dalam

menstabilkan situasi dan keamanan di desa telah menjadikan forum tersebut

sebagai forum pertemuan formal antar desa. Jika di waktu yang akan datang

145 Ibid., hal. 61

97

terdapat program-program yang berhubungan dengan REDD+ kembali, maka

FKAD juga akan ditunjuk sebagai forum yang menjembatani program tersebut.

3.3.4 Pengajuan Pengelolaan Hutan Desa

Hutan desa adalah hutan negara yang dapat dikelola oleh desa sekaligus

dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa namun hutan tersebut belum dibebani izin

atau hak. Pengelolaan hutan desa dianggap lebih menguntungkan daripada

pengelolaan hutan adat ataupun hutan kemasyarakatan. Beberapa keuntungan

yang didapatkan desa dalam mengelola hutan desa adalah hutan desa bisa dikelola

dalam jangka waktu yang lebih lama, yakni 35 tahun. Kuasa atas pengelolaan

hutan desa pun dipegang langsung oleh desa. Hal tersebut sesuai dengan prinsip

KFCP di mana pengelolaan diserahkan langsung kepada kelembagaan desa.146

Selain itu, hutan desa memungkinkan digunakan untuk keperluan komersial

seperti REDD+. Regulasi dan pengaturan administrasi terhadap hutan desa juga

sudah ditetapkan serta penetapan status hutan desa atau lisensi yang dibutuhkan

untuk bisa mengelola kawasan hutan desa tidak perlu mendapat penentuan status

dari hukum adat. Tata cara permohonan hak pengelolaan hutan desa akan

dijelaskan dalam tabel berikut.

146 Ibid., hal. 64.

98

Tabel 3.6 Tata Cara Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa147

KFCP mendukung pengelolaan hutan desa bagi warga desa yang memang

ingin dan berniat mengajukan proposal hutan desa. Dukungan yang diberikan

KFCP meliputi penyusunan dan pengajuan proposal hutan desa dan pembentukan

serta penguatan unit pengelola hutan desa. Tidak semua desa yang bekerja sama

dengan KFCP mengajukan proposal untuk hutan desa, dan pada kesempatan

tersebut ada enam desa yang mengajukan proposal yakni desa Petak Puti,

Tumbang Muroi, Katunjang, Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang, dan Mantangai

Hulu. Sedangkan desa yang tidak ikut mengajukan proposal disebabkan kondisi

politik desa ataupun karena adanya intervensi bisnis dari pihak swasta.148

Selanjutnya, dukungan pembentukan pengelolaan hutan desa adalah

mempersiapkan unit pengelola di tingkat desa untuk menjalankan hutan desa.

Penentuan unit pengelola itu diawali dengan pengadaan lokakarya yang dihadiri

147 Ibid., hal. 65. 148 Ibid., hal. 6.

Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa diajukan oleh Lembaga Desa kepada

Gubernur melalui Bupati/walikota dengan melampirkan persyaratan:

-Peraturan desa tentang penetapan lembaga desa.

-Surat pernyataan dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi desa yang

bersangkutan yang diketahui camat.

-Luas area kerja yang dimohon.

-Rencana kegiatan dan bidang usaha lembaga desa.

Bupati/Walikota meneruskan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada

Gubernur dengan melampirkan surat rekomendasi yang menerangkan bahwa

Lembaga Desa telah:

-Mendapatkan fasilitas.

-Siap mengelola hutan desa.

-Ditetapkan areal kerja oleh Menteri

Sumber: Permenhut No. 49 Tahun 2008

99

oleh LSM lokal, pemerintah daerah, dan perwakilan dari universitas untuk

mengkaji persyaratan kelembagaan yang tepat. Proses dilanjutkan dengan

mengadakan diskusi dan konsultasi dengan warga desa melalui musyawarah.

Hasil yang didapatkan selama proses tersebut adalah belum adanya kelembagaan

yang sesuai untuk menjadi tim pengelola hutan desa. Setelah melalui proses yang

panjang, akhirnya warga desa sepakat untuk menggandeng TPK.

TPK/TP merupakan unit atau kelompok kerja yang bersifat sementara

sehingga tidak bisa dijadikan unit pengelola hutan desa yang resmi, mengingat

salah satu persyaratan pengajuan hutan desa adalah desa harus memiliki unit

pengelola yang permanen. Namun, pengalaman warga desa dalam mengelola

program-program KFCP atas pendampingan yang dilakukan TPK/TP bisa

dijadikan dasar pembentukan unit pengelola hutan desa. Selanjutnya, setelah unit-

unit pengelola telah dibentuk oleh setiap desa, maka KFCP akan memberikan

pelatihan, penyusunan rencana kerja, dan lainnya.

Pembangunan kapasitas Indonesia yang dimulai dengan melaksanakan

kegiatan pembentukan dan penguatan kapasitas tim pengelola kegiatan KFCP di

desa, penguatan kapasitas kelembagaan adat, fasilitasi pembentukan forum

koordinasi dan komunikasi desa, dan bantuan kepada desa yang ingin mengajukan

pengelolaan hutan desa merupakan kegiatan pendukung yang turut membantu

Indonesia dalam mencapai kepentingannya mengurangi jumlah emisi GRK.

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tersebut bermanfaat dalam memberikan

pengetahuan dan pengalaman baru bagi warga yang berada di lokasi proyek

karena mereka adalah pelaku utama jika nanti muncul proyek baru dengan

100

mekanisme REDD+. Keberhasilan Indonesia dalam menguji coba mekanisme

tersebut juga tidak terlepas dari jerih payah warga di sekitar lokasi proyek yang

berjuang mengelola dan melaksanakan berbagai program yang telah disusun

bersama.