Upload
phamkien
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
37
BAB III
PENGATURAN TERKAIT UNRULY PASSENGER DALAM HUKUM
NASIONAL INDONESIA
3.1. Kasus Unruly Passenger di Indonesia
Jumlah unruly passenger dalam penerbangan bertambah setiap tahun.
Keberadaan unruly passenger dapat membahayakan keselamatan dan keamanan
penerbangan, mengganggu ketertiban selama penerbangan dan merugikan
maskapai. Indonesia merupakan negara kepulauan dan pesawat merupakan salah
satu transportasi yang dibutuhkan untuk menghubungkan antar pulau, sehingga
kejadian yang berkaitan dengan unruly passenger sangat mungkin terjadi karena
bisnis penerbangan yang berkembang pesat.
Pada tanggal 5 Juni 2013 dalam pesawat Sriwijaya Air Penerbangan SJ078
dari Cengkareng menuju Pangkalpinang, Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung, Zakaria Umar Hadi, menggunakan
handphone pada saat pramugari memberikan instruksi cara membuka jendela
darurat. Seorang pramugari lain menginstruksikan untuk mematikan handphone.
Pada saat pesawat akan mendarat pramugari tersebut melihat Zakaria masih
menyalakan handphone-nya, sehingga pramugari tersebut menegurnya kembali.
Pada saat pesawat mendarat, Zakaria memukul pramugari yang menegurnya
dengan gulungan koran. Zakaria memukulnya lagi ketika pramugari tersebut akan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
38
memberitahukan kejadian tersebut kepada kapten penerbang. Zakaria ditangkap
ketika berlari setelah turun dari pesawat tersebut dan diserahkan kepada polisi.98
Pada tanggal 30 Desember 2009 dalam pesawat Mandala RI103 dari
Pekanbaru menuju Batam, beberapa orang penumpang diturunkan dari pesawat
karena dianggap melakukan tindakan yang dapat mengganggu penerbangan. Salah
satu penumpang bernama Herawati menggunakan handphone-nya sampai saat
pesawat akan lepas landas meskipun telah ditegur beberapa kali oleh kru.
Herawati bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kokpit, dia
menggedor-gedor pintu kokpit dan meminta agar pesawat berhenti karena
suaminya tertinggal di bandara. Kapten penerbang pun menghentikan pesawat dan
menurunkan paksa Herawati dan keluarganya untuk diserahkan kepada polisi.99
Dalam kasus Virgin Australia pada tanggal 24 April 2014 yang dipaparkan
dalam bab I, Lockley juga diturunkan paksa di Bandara Ngurah Rai, Bali, karena
mabuk dan menggedor-gedor pintu kokpit. Kapten penerbang pesawat tersebut
melakukan pendaratan darurat untuk menyerahkannya kepada pihak berwenang di
Bali karena mengira bahwa Lockley akan melakukan hijacking. Kejadian tersebut
membuat lalu lintas udara di Bandara Ngurah Rai terhambat dan pesawat lain
yang akan mendarat terpaksa dialihkan.100
98 Maria Yuniar, “Kronologi Pemukulan Pramugari Sriwijaya Air,”
(http://www.tempo.co/read/news/2013/06/07/063486506/Kronologi-Pemukulan-Pramugari-Sriwija
ya-Air) 7 Juni 2013, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
99 Banda Harrudin Tanjung, “6 Penumpang Mandala Mengamuk di Pesawat,”
(http://news.okezone.com/read/2009/12/30/340/289504/6-penumpang-mandala-mengamuk-di-pesa
wat) 30 Desember 2009, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
100 Australian Associated Press, “Plane passenger who sparked a terror alert after knocking
on the cockpit door while looking for the toilet cleared of attempted hijacking,”
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
39
Dalam pesawat Jetstar Penerbangan JQ35 dari Melbourne ke Bali pada
tanggal 28 Mei 2014, seorang pria menyerang 3 (tiga) orang kru pesawat. Semua
penumpang Jetstar diturunkan di Bali. Indonesia tidak mengizinkan unruly
passenger tersebut untuk masuk ke Indonesia dan mendeportasinya kembali ke
Australia. Penerbangan kembali dari Bali ke Brisbane dibatalkan. Kru pesawat
mengalami luka sehingga tidak dapat melanjutkan pekerjaan dan masa kerja
seorang kru telah habis. Pesawat Jetstar tersebut kembali ke Australia tanpa
membawa penumpang karena kekurangan kru pesawat. Kejadian tersebut
membuat para penumpang terlantar di Bali, sehingga maskapai memberi
kompensasi terhadap para penumpang tersebut.101
3.2. Proses Penanganan terhadap Unruly Passenger di Indonesia
Dalam kasus pemukulan pramugari Sriwijaya Air, Zakaria tidak dituntut
berdasarkan aturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Meskipun Zakaria juga melakukan pelanggaran terhadap keselamatan
penerbangan. Kasus tersebut diproses di Pengadilan Negeri Sungailiat dengan
nomor registrasi 548/Pid.B/2013/PN.SGT, Zakaria dituntut dengan Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan dengan Subsider 335 KUHP tentang perbuatan tidak
(http://www.dailymail.co.uk/news/article-2870987/Australian-plumber-sparked-international-hijac
k-scare-plane-Bali-suffering-medical-condition.html) 12 Desember 2014, diakses pada tanggal 8
Januari 2015.
101 Travelmail Reporter, “Air rage incident leaves 267 passengers stranded in Bali
overnight after man 'attacks three flight attendants' in mid air,”
(http://www.dailymail.co.uk/travel/article-2642459/Air-rage-Jetstar-plane-bound-Bali.html) 29
Mei 2014, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
40
menyenangkan.102 Hakim Pengadilan Negeri Sungailiat yang mengadili kasus
tersebut memutus 5 (lima) bulan kurungan terhadap Zakaria berdasarkan Pasal
335 KUHP. 103 Sementara, di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
terdapat aturan yang berkaitan dengan hal-hal yang dilarang dalam penerbangan
dalam Pasal 54 dan juga ketentuan pidananya dalam Pasal 412. Dalam prinsip lex
specialis derogat legi generali,104 jika ada dua undang-undang mengatur hal yang
sama, maka peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang
bersifat umum. Berdasarkan prinsip lex specialis derogat legi generali,
seharusnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 digunakan untuk menuntut
Zakaria. Ketentuan yang berkaitan dengan unruly passenger terdapat dalam Pasal
54, sementara itu ketentuan sanksi pidananya terdapat dalam Pasal 412. Dalam
Pasal 54 tertulis:
Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan: a. perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;
c. pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat
membahayakan keselamatan;
d. perbuatan asusila;
e. perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau
f. pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.105
102 Servio Maranda, “Pemukul Pramugari Tidak Dikenakan UU Penerbangan,”
(http://www.tempo.co/read/news/2013/06/08/058486756/Pemukul-Pramugari-Tidak-Dikenakan-U
U-Penerbangan) 8 Juni 2013, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
103 Putri Artika R, “Pemukul Pramugari Sriwijaya Air Divonis 5 Bulan Penjara,”
(http://www.merdeka.com/peristiwa/pemukul-pramugari-sriwijaya-air-divonis-5-bulan-penjara.ht
ml) 20 September 2013, diakses pada tanggal 2 Februari 2015.
104 Boleslaw Adam Boczek, Op.Cit., hal. xxi. “lex specialis derogat legi generali: A
specific rule of law prevails over a general law.”
105 Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
41
Dalam kasus pesawat Mandala Penerbangan RI103, para penumpang yang
diturunkan karena salah satu dari mereka menggedor pintu kokpit untuk
menghentikan pesawat tidak ditahan oleh polisi karena penumpang tersebut telah
mengaku bersalah dan meminta maaf. Polisi memberikan kesempatan bagi para
penumpang tersebut untuk berdamai dengan maskapai Mandala.106 Maskapai
Mandala menganggap bahwa perbuatan tersebut dapat mengganggu penerbangan
dan tindakan kapten penerbang tepat. Seharusnya penumpang tersebut dapat
diproses secara hukum karena hal tersebut merupakan pelanggaran yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Sementara itu, dalam kasus pesawat Virgin Australia, Indonesia
beranggapan tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Indonesia beralasan
bahwa berdasarkan Konvensi Tokyo 1963 negara yang berwenang untuk
menangani kasus tersebut adalah negara registrasi pesawat, yakni Australia.107
Kasus tersebut diproses di Pengadilan Brisbane dan Lockley dinyatakan tidak
bersalah.108
Dalam kasus Jetstar, pemerintah Indonesia menolak untuk menerima unruly
passenger yang diturunkan di Bali dan mendeportasinya. Pemerintah Indonesia
106 Chaidir Anwar Tanjung, “Herawati Tidak Ditahan Polisi,” (http://news.detik.com/
read/2009/12/30/170642/1268764/10/herawati-tidak-ditahan-polisi) 30 Desember 2009, diakses
pada tanggal 2 Januari 2015.
107 Dewa Wiguna, “Hasil Investigasi Pesawat Virgin Diserahkan ke Australia,”
(http://www.antaranews.com/berita/431320/hasil-investigasi-pesawat-virgin-diserahkan-ke-austra
lia) 26 April 2014, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
108 Australian Associated Press, “Virgin passenger Matt Lockley who sparked terror alert
knocking on cockpit cleared,” (http://www.dailymail.co.uk/news/article-2650270/Man-faces-
court-causing-mid-air-security-alert-mistook-cockpit-toilet-faces-court.html) 12 Desember 2014,
diakses pada tanggal 8 Januari 2015.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
42
semestinya bisa menerapkan yurisdiksinya terhadap kedua kasus tersebut jika
mengacu kepada Pasal 4 Konvensi Tokyo 1963.
3.3. Implementasi Ketentuan terkait Unruly Passenger dalam Hukum
Indonesia
Perlu adanya instrumen hukum yang dapat menjangkau kasus-kasus unruly
passenger. Konvensi Tokyo 1963 dan Protokol Montreal 2014 dibuat agar negara
anggota dapat mengimplementasikan yurisdiksi hukum pidananya terhadap kasus
unruly passenger. Dalam Pasal 1 Konvensi Tokyo 1963, negara peserta konvensi
dapat menerapkan hukum nasionalnya, sehingga adanya hukum nasional yang
sejalan dengan Konvensi Tokyo 1963 akan berpengaruh dalam penanganan
terhadap unruly passenger.109 Negara memiliki kewajiban untuk menjalankan
perjanjian internasional yang diratifikasinya dengan itikad baik (good faith)
seperti yang tercantum dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 2 (2)
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.110 Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Tokyo 1963 melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976, sehingga Indonesia
perlu mengimplementasikannya ke dalam hukum nasional.
3.3.1. Pemberlakuan Ketentuan Nasional
Penanganan terhadap unruly passenger di Indonesia didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Namun demikian, beberapa ketentuan
109 Pasal 1 (1) Konvensi Tokyo 1963.
110 Anthony Aust, Handbook of International Law (Second Edition), Cambridge University
Press, New York, 2010, hal. 8; Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties ditandatangani
di Wina pada tanggal 23 Mei 1969 (selanjutnya disebut sebagai Konvensi Wina 1969); Pasal 2 (2)
The Charter of the United Nations, ditandatangani di San Fransisco pada tanggal 26 Juni 1945
(selanjutnya disebut sebagai Piagam Bangsa-Bangsa).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
43
terkait juga diatur dalam KUHP, seperti beberapa pasal di dalam KUHP yang telah
ditambahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976.
Ketentuan-ketentuan kejahatan penerbangan dimasukkan ke dalam KUHP karena
ketentuan hukum pidana pada saat itu belum berlaku dalam pesawat udara yang
didaftarkan di Indonesia.111
Di dalam KUHP terdapat prinsip extraterritorial. Hukum pidana Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air
atau pesawat udara Indonesia, termasuk ketika kendaraan air atau pesawat udara
Indonesia tersebut berada di luar wilayah Indonesia.112 Ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku terhadap Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum dan Pasal 479 huruf l sampai dengan Pasal 479 huruf o
tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
3.3.1.1. Ketentuan State of registration dan State of operator
Pesawat harus diregistrasikan dan nasionalitas pesawat dilihat dari negara
tempat pesawat diregistrasi dalam Pasal 17 Konvensi Chicago 1944. Pendaftaran
pesawat dilakukan agar negara bertanggung jawab atas keselamatan operasi
pesawat dan setiap negara harus memastikan bahwa pesawat yang didaftarkan di
negaranya mematuhi peraturan yang berlaku dalam penerbangan.113 Dalam Pasal
18 Konvensi Chicago 1944, pesawat tidak dapat didaftarkan di lebih dari satu
111 Menimbang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976.
112 Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976.
113 ICAO Circular 295, hal. 4.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
44
negara, hal tersebut diatur agar tidak terjadi konflik yurisdiksi.114 Meskipun tidak
dapat didaftarkan di lebih dari satu negara, pesawat dapat berganti nasionalitas
dengan cara melakukan deregistrasi (mencabut registrasi dari negara asal) dan
kemudian melakukan reregistrasi (mendaftarkan ulang) di negara lain.115
State of operator harus mengeluarkan air operator certificate116 untuk
pesawat agar pesawat tersebut dapat terbang ke negara lain. Apabila state of
operator berbeda dengan state of registration, maka state of registration akan
memiliki kesulitan untuk menerapkan hukumnya terhadap pesawat yang
dioperasikan di negara lain tersebut.117 Selain itu, state of registration juga akan
memiliki kesulitan untuk mengeluarkan certificate of airworthiness 118 dan
mengeluarkan lisensi untuk kru pesawat asing dalam pesawat yang dioperasikan
oleh negara lain.119
Pada tahun 2014, sekitar 40% (empat puluh persen) pesawat dioperasikan di
negara yang berbeda dari state of registration dan jumlahnya diprediksikan akan
bertambah setiap tahun. 120 Jadi, state of registration dan state of operator
114 Ruwantissa Abeyratne, Convention on International Civil Aviation: A Commentary,
Springer, Cham, 2013.
115 Ibid.
116 ICAO Circular 295, hal. 1. “Air operator certificate: … a certificate authorizing an
operator to carry out specified commercial air transport operations.”
117 Ibid, hal. 4.
118 Ibid, hal. 1. “Certify as Airworthy: … to certify that an aircraft or parts thereof comply
with current airworthiness requirements after maintenance has been performed on the aircraft or
parts thereof.”
119 Ibid.
120 ICAO DCTC Doc No. 18, Comments on the Issue of the State of Operator Jurisdiction.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
45
seharusnya dibedakan.121 Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 membedakan state
of registration dan state of operator, pasal ini merupakan aturan terkait transfer
fungsi dan kewajiban dari state of registration ke state of operator.122 Transfer
fungsi tidak langsung terjadi ketika negara meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi
Chicago 1944, pasal ini hanya memberi dasar bagi negara-negara untuk membuat
perjanjian terkait transfer fungsi tersebut.123 Transfer fungsi dilakukan karena
state of operator merupakan negara yang memiliki keterkaitan langsung dengan
maskapai yang mengoperasikan pesawat, sehingga state of operator seharusnya
dapat menerapkan hukumnya secara efektif terhadap pesawat tersebut.124 Dengan
melakukan transfer fungsi state of registration ke state of operator melalui
perjanjian, maka negara tidak perlu melakukan deregistrasi dan reregistrasi
terhadap pesawat.
Dalam KUHP, ketentuan state of registration dan state of operator pesawat
dibedakan. Hal ini tertulis dalam Pasal 95a: “(1) Yang dimaksud dengan pesawat
udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia; (2)
Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa
tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.”
Pasal 95a (1) merupakan Indonesia sebagai state of registration dan Pasal 95a (2)
merupakan Indonesia sebagai state of operator.
121 Ibid.
122 ICAO Circular 295, hal. 5.
123 Ibid.
124 Ibid, hal. 6.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
46
Di dalam Konvensi Tokyo 1963, tidak diatur yurisdiksi state of operator.
Indonesia meratifikasi Konvensi Tokyo 1963 bersamaan dengan Konvensi Den
Haag 1970125 dan Konvensi Montreal 1971126 melalui Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1976. Di dalam kedua konvensi tersebut sudah terdapat yurisdiksi state of
operator. Definisi yang digunakan oleh Indonesia dalam KUHP tersebut sama
dengan definisi state of operator dalam Pasal 4 (1) Konvensi Den Haag 1970 dan
Pasal 5 (1) Konvensi Montreal 1971, yakni: “... an aircraft leased without crew to
a lessee who has his principal place of business or, if the lessee has no such place
of business, his permanent residence, in that State..”127 Hal ini juga sesuai dengan
ketentuan Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 yang membebankan kewajiban
state of registration kepada state of operator.128
Indonesia telah meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 melalui
Keppres Nomor 21 Tahun 1987.129 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009,
definisi pesawat udara Indonesia adalah: “... pesawat udara yang mempunyai
tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.”130 Ketentuan ini
125 Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, ditandatangani di Den
Haag pada tanggal 16 Desember 1970 (selanjutnya disebut sebagai Konvensi Den Haag 1970).
126 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation,
ditandatangani di Montreal pada tanggal 23 September 1971 (selanjutnya disebut sebagai
Konvensi Montreal 1971).
127 Pasal 4 (1) Konvensi Den Haag 1970; Pasal 5 (1) Konvensi Montreal 1971.
128 Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944.
129 Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1987 tentang Pengesahan Protocol Relating to an
Amendment to the Convention on International Civil Aviation (83 bis) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1987 Nomor 26).
130 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
47
bertentangan dengan Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 dan Protokol Montreal
2014 karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak terdapat
ketentuan terkait state of operator.
Dalam penerbangan haji, maskapai Indonesia harus menyewa pesawat
khusus haji karena pesawat milik Garuda digunakan untuk penerbangan berjadwal
reguler. 131 Salah satu contoh adalah PT. Garuda Indonesia yang menyewa
pesawat yang diregistrasikan di Spanyol. Apabila Indonesia
mengimplementasikan Pasal 83 bis terhadap pesawat haji, maka pesawat haji
yang disewa untuk sementara waktu tersebut tidak perlu dideregistrasikan dari
Spanyol dan direregistrasikan di Indonesia sehingga tidak memakan waktu,
namun ketentuan hukum Indonesia sebagai state of operator akan tetap berlaku
terhadap pesawat haji tersebut.
Gambar 1: Pesawat haji yang disewa oleh Garuda Indonesia merupakan
pesawat yang diregistrasikan di Spayol. (sumber: merdeka.com)
131 Ahmad Rafiq, “Garuda Sewa Pesawat untuk Angkut Jemaah Haji,”
(http://www.tempo.co/read/news/2008/11/05/058144151/Garuda-Sewa-Pesawat-untuk-Angkut-Je
maah-Haji) 5 November 2008, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
48
Apabila dikaitkan dengan definisi pesawat udara Indonesia dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, maka pesawat yang disewa oleh Garuda
Indonesia tersebut bukan merupakan pesawat udara Indonesia. Apabila terdapat
unruly passenger dalam pesawat yang disewa, maka Indonesia sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak dapat menerapkan yurisdiksinya
terhadap pelanggaran yang terjadi.
3.3.1.2. Definisi In Flight dalam KUHP
Dalam KUHP memiliki definisi in flight yang berlaku ketika terjadi
pelanggaran atau kejahatan di dalam pesawat. Definisi tersebut terdapat di dalam
Pasal 95b:
Yang dimaksud dalam penerbangan adalah sejak saat pintu luar pesawat udara
ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk
penurunan penumpang (disembarkasi). Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung
sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas
pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.
Indonesia tidak menggunakan definisi yang ada di dalam Pasal 1 (3)
Konvensi Tokyo 1963. Definisi in flight yang ada di dalam KUHP mengambil
definisi in flight bagi kapten penerbang untuk menjalankan kewenangannya di
dalam Pasal 5 (2) Konvensi Tokyo 1963 yang sama dengan definisi in flight di
dalam Pasal 3 (1) Konvensi Den Haag 1970 dan Pasal 2 Konvensi Montreal 1971.
3.3.2. Pemberlakuan Ketentuan Internasional
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tokyo 1963, tetapi belum
meratifikasi Protokol Montreal 2014. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Pasal
83 bis Konvensi Chicago 1944 dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1987. Apabila
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
49
Indonesia meratifikasi Protokol Montreal 2014, maka Indonesia perlu mengubah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, terutama terkait definisi pesawat udara
Indonesia dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Ketentuan dalam
Protokol Montreal 2014 yang telah memberikan yurisdiksi terhadap state of
operator dan state of landing, namun Indonesia belum mengimplementasikan
Pasal 83 bis Chicago Convention 1963 ke dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009.
3.3.2.1. Ketentuan IFSO dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Indonesia memiliki ketentuan terkait IFSO yang diterjemahkan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai petugas keamanan dalam
penerbangan. Dalam Pasal 340, salah satu tanggung jawab maskapai terhadap
keamanan pengoperasian pesawat adalah memberitahukan kapten penerbang
apabila terdapat IFSO.132 Penempatan IFSO dalam penerbangan berjadwal asing
dari dan ke wilayah Indonesia membutuhkan perjanjian bilateral.133
Indonesia telah memiliki dua Memorandum of Understanding (MOU)
terkait IFSO sebelum amandemen Konvensi Tokyo 1963, yakni dengan Singapura
dan Australia. Apabila Indonesia meratifikasi Protokol Montreal 2014, maka
Indonesia dapat memberi perlindungan terhadap IFSO yang dikirim ke Singapura
dan Australia karena Protokol Montreal 2014 memberikan imunitas terhadap
IFSO.
132 Pasal 340 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
133 Pasal 341 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI
50
3.3.2.2. Perjanjian bilateral IFSO Indonesia dengan Australia
Indonesia dan Australia memiliki perjanjian bilateral terkait IFSO. 134
Perjanjian ini dibuat berdasarkan standar 4.7.5 dalam Annex 17 Konvensi Chicago
1944 dalam Bilateral Air Service Agreement antara Indonesia dan Australia.
Dalam Pasal 2 (6), Indonesia dan Australia dapat menerapkan yurisdiksi secara
eksklusif selama pesawat dalam penerbangan. IFSO yang ditempatkan dalam
penerbangan memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas sesuai dengan hukum
nasional masing-masing negara. Selain itu, terdapat ketentuan persenjataan yang
dapat dibawa oleh IFSO dalam Pasal 3. Dalam Pasal 6 terdapat kewajiban bagi
IFSO untuk melakukan penanganan terhadap kejadian dalam penerbangan sesuai
dengan Konvensi Tokyo 1963.
Dalam Pasal 2 (3), perjanjian ini hanya berlaku dalam penerbangan pesawat
yang didaftarkan di masing-masing negara. ISO (Indonesian In-Flight Security
Officer) hanya dapat ditempatkan dalam pesawat yang didaftarkan di Indonesia
dan ASO (Australian Air Security Officer) hanya dapat ditempatkan dalam
pesawat yang didaftarkan di Australia.
134 Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia
and the Government of Australia on the Deployment of In-Flight Security Officer.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER
ARDYTA PRAMUDYA WARDANI