Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG
Pada dasarnya UUD 1945 memang secara eksplisit menjelaskan wewenang
Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang, jadi yang menjadi dasar untuk
pengujiannya adalah Undang-Undang, sedangkan yang memiliki peran untuk
melakukan pengujian konstitusional yaitu Mahkamah Konstitusi, dengan memakai
UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya. Namun akan terjadi kesulitan apa bila nanti
di kasus yang dipegang oleh MA ternyata Undang-Undang yang menjadi dasar
ternyata bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri. Ketika hal tersebut terjadi, sudah
kewajiban MA sebagai lembaga yudikatif, dalam rangka menegakkan UUD 1945
harus melakukan tindakan dengan tidak memakai Undang-Undang tersebut karena
inkonstitusional seperti pendapat John Marshall Undang-Undang buatan Kongres,
apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land
harus dinyatakan null and void.
Untuk itu bab ini secara keseluruhan disusun untuk memberikan argumen penulis
untuk mendukung pendapat diatas. Oleh karena itu untuk sampai pada hasil tersebut,
bab ini akan membahas sebagai berikut, Pertama, perbandingan kewenangan
MA dengan Supreme Court Amerika Serikat dalam melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan; Kedua, kewenangan MA melakukan pengujian konstitusional;
Ketiga, kelemahan mekanisme pengujian oleh MA.
A. Perbandingan Kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat Dengan
Indonesia Dalam Melakukan Pengujian Konstitusional
Dalam sub bab ini, pada intinya akan memaparkan mengenai perbandingan
kewenangan dalam melakukan praktik pengujian konstitusional yang dimiliki oleh
Supreme Court dengan MA, poin-poin yang menjadi perbandingan melihat dari
sistem hukum, posisi lembaga yudisial dalam sistem ketatanegaraan serta sistem
pengujian di kedua negara. Lalu dalam sub bab ini dipaparkan juga mengenai praktik
MA dan Supreme Court, dalam melakukan pengujian konstitusional.
1. Supreme Court Of The United States
Sebelum memasuki pembahasan mengenai kewenangan, akan dijelaskan terlebih
dahulu mengenai sistem atau tradisi hukum serta struktur ketatanegaraan di negara
Amerika Serikat (AS).
Supreme Court dengan Sistem hukum AS yang menganut tradisi “Common
Law”, dalam tradisi ini dikenal yang namanya “judge-made law”, atau hukum buatan
hakim1, dimana dianggap lazim jika seorang hakim Supreme Court dapat
mengesampingkan peraturan perundang-undangan apabila dianggap bertentangan
1 King Faisal Sulaiman, Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujiannya, Thafa
Media, Yogyakarta, 2017, Hal. 127.
dengan konstitusi, dikarenakan peraturan perundang-undangan bukan lah acuan
utama2.
Judge-made law menunjukan peranan hakim penting dalam proses pembentukan
hukum menurut Asas “precedent”. Asas “precedent” menekankan putusan-putusan
hakim tersebut telah berkekuatan hukum tetap sehingga bersifat mengikat bagi
pengadilan-pengadilan dibawahnya ataupun pengadilan-pengadilan yang
terkemudian3. Dengan demikian putusan hakim menjadi acuan bagi hakim
selanjutnya jika menemukan kasus yang sejenis.
Sebagai negara maju yang besar, negara republik yang berbentuk Federasi
(federal) dan teridiri dari 50 negara bagian, penganut sistem pemerintahan
presidensial dengan teori Trias Politika dari Montesquieu mengenai pemisahan
kekuasaan yang tegas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagaimana
tergambar dalam gambar dibawah
2 Ade Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal.
121. 3 Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, Hal.
152.
Gambar 3.1 (pembagian kekuasaan di AS menurut konstitusi)
Lembaga eksekutif sendiri dikepalai oleh Presiden seperti dalam konstitusi AS
Article II Section 1, ”kekuasaan eksekutif akan diberikan kepada seorang Presiden AS
bersama sama dengan Wakil Presiden”. Sedangkan kekuasaan legislatif, konstitusi
AS meletakkan kekuasaan untuk memberlakukan Undang-Undang pada kongres,
seperti yang dikatakan pada konstitusi AS Article I Section 1 “semua kekuasaan
legislatif diberikan kepada sebuah Kongres AS, yang terdiri dari Senat dan House Of
Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat)4.
Kekuasaan Yudikatif di AS dalam konstitusinya menyebutkan bahwa kekuasaan
peradilan dibawah satu atap Supreme Court, dan pada pengadilan-pengadilan lebih
rendah (District Courts; Courts of Appeals; Courts of Appeals for the Federal
Circuit; Courts of Military Appeals and Other Legislative Courts; State Courts of
Last Resort).
4 “Garis Besar Sistem Hukum Amerika Serikat”, Biro Program Informasi Internasional Departemen
Luar Negeri A.S, Washington, 2001, Hal. 8-10
Konstitusi AS membagi secara jelas kewenangan dari Supreme Court seperti
dalam Article III Section 2 “kekuasaan peradilan akan menjangkau semua Perkara
dalam Hukum dan Keadilan; …. Semua Perkara yang menyangkut Duta Besar; Duta
lain dan konsul semua perkara yang menyangkut hukum laut dan maritim; sengketa
yang salah satu pihaknya adalah Amerika Serikat; sengketa antar dua Negara Bagian
atau lebih; antara warga Negara-Negara Bagian; antara sesama warga sebuah Negara
Bagian yang mengklaim tanah di bawah hibah Negara-Negara bagian yang
berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”.
Dalam semua perkara yang menyangkut Duta Besar, Duta lain dan Konsul, dan yang
menyangkut sebuah Negara Bagian sebagai salah satu pihaknya. Dalam semua
perkara yang lain yang disebut tadi, Supreme Court akan memiliki Yurisdiksi asli,
baik mengenai hukum maupun fakta, dengan perkecualian, serta dibawah peraturan
yang dibuat oleh kongres.
Dijabarkan kembali Menurut U.S Code : Title 28 - Judiciary and Judicial
Procedure, Part IV Chapter 81 (1251), “Supreme Court harus memiliki yurisdiksi
asli dan eksklusif dari semua kontroversi antara dua atau lebih Negara;
Supreme Court memiliki yurisdiksi asli tetapi tidak eksklusif mencakup:
(1) Semua tindakan atau proses di mana para duta besar, menteri publik
lainnya, konsul, atau wakil konsul negara asing adalah pihak-pihak;
(2) Semua kontroversi antara Amerika Serikat dan Negara;
(3) Semua tindakan atau proses oleh suatu Negara terhadap warga Negara
lain atau terhadap orang asing”.
2. Kewenangan Pengujian Konstitusional oleh Supreme Court of the United States
Memang secara eksplisit peraturan perundang-undangan dan konstitusi Amerika
Serikat tidak mengatur kewenangan Supreme Court untuk melakukan pengujian
konstitusional. Meski demikian, Article IV konstitusi 1787 menyatakan bahwa “the
constitutional, laws, and the treaties of United States merupakan Supreme Law of
Land….”. Hal demikian, menjadi landasan bagi hakim melakukan judicial review
untuk menjaga agar tidak ada pertentangan antara peraturan dengan the
constitutional, laws, and the treaties of United States. Article IV konstitusi 1787
menjadi landasan bagi kekuasaan yudikatif dalam melakukan judicial review untuk
menegakkan nilai-nilai Konstitusi 1787.
Dalam menjalankan praktik “judicial review” berdasarkan konstitusi 1787
Supreme Court menganut model ”unity of jurisdiction” dengan demikian antara
“judicial review” dan pemeriksaan perkara biasa dilaksanakan satu atap Supreme
Court, model “unity of Jurisdiction” dalam pelaksanaan kewenangan tersebut
Supreme Court membawahi pengadilan-pengadilan yang berada di negara bagian
AS5, maka dari itu pelaksanaan “judicial review” tidak hanya dilaksanakan oleh
Supreme Court tetapi memberikan kewenangan kepada pengadilan biasa dibawah
Supreme Court di setiap tingkat pengadilan atau biasa disebut dengan sistem
desentralisasi6.
5 King Faisal Sulaiman,Op.Cit, Hal. 87
6 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung, 2010, Hal. 191.
Sistem desentralisasi di AS membuat setiap hakim di pengadilan federal dan
negara bagian memungkinkan untuk melakukan Judicial Review, jadi memberikan
kompetensi absolut kepada setiap hakim dalam hal pemeriksaan suatu perkara secara
konkret untuk melakukan pengujian, tidak terbatas di satu lembaga saja7. Pemberian
kewenangan kepada semua organ yudisial untuk melakukan kontrol konstitusional
Undang-Undang dilakukan karena fungsi dasar dari lembaga peradilan memang
untuk menafsirkan hukum dan menerapkannya dalam kasus-kasus konkret, lalu
norma konstitusional berlaku atas norma legislatif biasa, setiap hakim dalam sistem
desentralisasi, memutuskan kasus dimana norma legislatif yang berlaku bertentangan
dengan konstitusi, harus mengabaikan Undang-Undangnya dan menerapkan yang
hukum yang seharusnya8.
Kemudian, pengujian yang dilakukan oleh hakim tingkat banding untuk menilai
vonis pengadilan tingkat pertama atau pengujian kasasi oleh Mahkamah Agung
terhadap putusan pengadilan di bawahnya juga disebut sebagai “judicial review”.
Begitu juga halnya dengan pengujian terhadap keputusan-keputusan administrasi
negara (beschikking) juga disebut “judicial review”9.
Seperti sudah disinggung di atas model pengujian peraturan perundang-undangan
yang diterapkan Amerika serikat merupakan sistem desentralisasi, semua paradigma
tersebut di prakasai dengan tulisan Alexander Hamilton yang pada intinya
7 Ibid, Hal. 191
8 Danielle Finck, 1997, Judicial Review: The United States Supreme Court Versus the German
Constitutional Court, Boston College International and Comparative Law Review, 20(5): 126. 9 King Faisal Sulaiman, Op.Cit, Hal. 125.
menyatakan “penafsiran Undang-Undang merupakan bagian khas dari lembaga
peradilan, lalu seorang hakim harus tahu bahwa konstitusi merupakan hukum dasar,
karena itu hakim harus menafsirkan Undang-Undang buatan legislatif untuk
memastikan makna dari konstitusi tetap ada dalam Undang-Undang tersebut” tulisan
tersebut memberikan inspirasi kepada Supreme Court pada kasus Madison v Marbury
(1803)10
.
“Dalam pemilihan umum tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya, John Adams
dikalahkan oleh Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic. Setelah kalah,
dalam masa peralihan untuk serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas
Jefferson, John Adams membuat keputusan-keputusan yang di antaranya, John
Marshall diangkat menjadi Ketua Supreme Court (Chief Justice). Bahkan sampai
menjelang detik-detik saat-saat menjelang jam 00:00 tengah malam tanggal 3 bulan
Maret 1801, masa peralihan pemerintahan ke presiden baru, Presiden John Adams,
dengan dibantu oleh John Marshall yang ketika itu sudah resmi menjadi Ketua
Supreme Court dengan tetap merangkap sebagai Secretary of State, masih terus
menyiapkan dan menandatangani surat-surat pengangkatan pejabat, termasuk
beberapa orang diangkat menjadi duta besar dan hakim. Sayangnya, copy surat
pengangkatan mereka tidak sempat lagi diserahterimakan sebagaimana mestinya.
Pada keesokan harinya, surat-surat tersebut masih berada di kantor kepresidenan.
Karena itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari
10
Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi ke 2, Alumni, Bandung, 1997, Hal. 53.
pertama, surat-surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat oleh Presiden
Thomas Jefferson sebagai the Secretary of State menggantikan John Marshall.
Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dkk melalui kuasa
hukum mereka, mengajukan tuntutan langsung ke Supreme Court yang dipimpin oleh
John Marshall agar sesuai dengan kewenangannya memerintahkan Pemerintah
melaksanakan tugas yang dikenal sebagai “writ of mandamus‟ dalam rangka
penyerahan surat-surat pengangkatan tersebut. Karena pengangkatan mereka menjadi
hakim telah mendapat persetujuan kongres sebagaimana mestinya.
Supreme Court menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar
Supreme Court mengeluarkan „writ of mandamus‟ sebagaimana ditentukan oleh
Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan, karena ketentuan
Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2
Konstitusi AS. Oleh karena itu, dalil yang dipakai oleh Supreme Court di bawah
pimpinan Chief Justice John Marshall untuk memeriksa perkara Marbury versus
Madison itu, bukanlah melalui pintu Judiciary Act tahun 1789 tersebut, melainkan
melalui kewenangan yang ditafsirkannnya dari dari konstitusi. Dari sinilah
kemudian berkembang pengertian bahwa Supreme Court pada pokoknya
merupakan lembaga pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution of the
United States of America) yang bertanggung jawab menjamin agar norma dasar
yang terkandung di dalamnya sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan dengan
sendirinya. Menurut John Marshall, segala undang-undang buatan Kongres, apabila
bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land harus
dinyatakan null and void”11
. Dengan putusan Supreme Court di atas praktek tersebut
menunjukan telah dilakukannya pengujian konstitusional dengan membatalkan
Undang-Undang buatan kongres karena bertentangan dengan konstitusi AS itu
sendiri.
3. Mahkamah Agung Republik Indonesia
Indonesia menganut sistem hukum Civil Law, dengan prinsip dasar Civil Law
bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan yang
berbentuk Undang-Undang yang tersusun secara sistematis12
, jadi adanya
pengodifikasian peraturan perundang-undangan yang akan menjadi acuan hakim
dalam membuat putusan. Maka kekuasaan kehakiman tidak terlalu bebas dalam
menciptakan hukum baru, karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan
peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya.
Dalam UUD 1945 telah menjelaskan secara jelas bentuk negara Indonesia,
seperti dalam Pasal 1 ayat 1 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk Republik”. Kemudian mengenai sistem pemerintahan, Indonesia
menerapkan sistem pemerintahan presidensial, dimana kepala negara menjadi kepala
pemerintahan, serta menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada
presiden13
.
11
Jimly Asshiddiqie. 2012. Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi. Makalah. Dalam : The Three “E” Lecture Series, @america di Pasific Place level 3, 18
Juni, Hal. 2-3. 12
Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Prenhalindo, Jakarta, 2001, Hal. 36. 13
Mahfud M D, Dasar &Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, Hal. 74.
Gambar 3.2 (Pembagian kekuasaan di Indonesia menurut UUD 1945)
Seperti yang dilakukan Amerika Serikat, Indonesia pun juga menganut konsep
Trias Politika dari Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan pemerintahannya. Di
kekuasaan Eksekutif dikepalai oleh Presiden, seperti dalam Pasal 4 ayat (1) UUD
1945 dapat diketahui bahwa, Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan
(Kepala Eksekutif), hal ini menyatakan bahwa “Presiden ialah kepala Eksekutif
dalam negara”14
itu semua menjelaskan kembali bahwa Presiden sebagai Kepala
Negara juga menjadi Kepala Pemerintahan dalam sistem Presidensial. Dalam
kekuasaan Legislatif sebagai pembentuk Undang-Undang, kekuasaan tersebut
dipegang oleh DPR, DPD serta MPR, seperti diterapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD
1945, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rayat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah”, lalu mengenai kewenangannya
sendiri dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1), “Majelis Permusyawaratan Rakyat
14
Ibid, Hal. 113.
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”, serta Pasal 20 ayat
(1) “ Dewan Perwailan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Kekuasaan Yudikatif di Indonesia dijelaskan melalui Pasal 24 ayat (2) UUD
1945 “ kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”, Jadi ada dua lembaga dalam kekuasan yudikatif di Indonesia,
yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
4. Kewenangan Pengujian Oleh MA dan MK
Terkait kewenangan MK dalam pengujian konstitusional, MK memiliki
wewenang yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C Ayat (1) bahwa MK menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, dalam Pasal 10 Ayat (1a) Undang-
Undang Nomor.24 Tahun 2003 tentang MK pun menyebutkan hal yang sama
terkhusus kewenangan MK dalam pengujian konstitusionalnya.
Dalam praktiknya MK sudah banyak melakukan pengujian konstitusional karena
memang kewenangan yang diberi oleh peraturan perundang-undangan memang
menguji konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan, menjadikan
konstitusi sebagai dasar pengujiannya, seperti pada yang telah disinggung diatas pada
putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011, yang menyatakan Inkonstitusional beberapa
pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah,
dikarenakan bertentangan dengan UUD 1945. Mekanisme dalam pengujian
konstitusional oleh MK merupakan pengujian konstitusional melalui kasus abstrak
yang dimana pemohon yang merasa dirugikan karena suatu peraturan perundang-
undangan bertentangan dengan konstitusi, mengajukan permohonan dengan uraian
“pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945” seperti yang telah dituliskan dalam
Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2003 tentang MK.
MA kewenangannya diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, menguji
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,
dalam Pasal 20 Ayat (2a) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 mengenai kekuasaan
kehakiman pun menyebutkan hal yang sama mengenai wewenang MA terkhususnya
dalam pengujian peraturan perundang-undangan.
Seperti yang telah dituliskan oleh konstitusi serta peraturan perundang-undangan,
MA memiliki wewenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
Undang terhadap Undang-Undang, jadi dalam melakukan pengujian MA memakai
peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengujiannya. Namun pada praktiknya
MA pernah juga melakukan pengujian konstitusional, Memang peraturan perundang-
undangan dan konstitusi telah mengatur wewenang MA untuk menguji peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, namun
ternyata ada praktik MA yang melakukan pengujian konstitusional, seperti yang
Supreme Court A.S lakukan.
Dalam Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 MA membatalkan hukuman
mati dalam suatu perkara psikotropika dan mengubah hukumannya menjadi 15 tahun
penjara, dalam satu pertimbangan MA berbunyi
“Hukuman MATI bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang
Dasar 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1989
tentang HAM yang berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan dan oleh siapa pun15
”.
Yang pada intinya mengatakan hukuman mati untuk terpidana narkotika adalah
inkonstitusional, dimana sebelumnya dalam Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 telah
dinyatakan bahwa, ancaman pidana mati dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Praktik diatas menunjukkan MA telah melakukan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 melalui kasus konkrit yang dimana
kewenangan pengjian konstitusional merupakan kewenangan dari MK, karena dalam
putusan tersebut MA memutuskan tidak memakai dan menyatakan tidak sah Undang-
Undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, jadi MA telah melakukan
praktik pengujian konsitusional.
Dengan adanya dua lembaga dalam kekuasaan yudikatif maka akan berbeda pula
jenis putusan yang dikeluarkan, jika kita melihat pembagian wewenang diatas bisa
disimpulkan bahwa Indonesia seperti pada beberapa negara yang menganut sistem
15
Putusan Peninjauan Kembali Nomor 39 K/Pid.Sus/2011, hal 53-54.
hukum Eropa Kontinental (civil law), dilakukan oleh suatu lembaga sendiri yang
dikenal sebagai lembaga Mahkamah Konstitusi atau Constitutional Court. Tata cara
pengujian yang hanya dilakukan oleh satu Mahkamah dikenal sebagai sistem
sentralisasi16
.
Sistem sentralisasi dikenal dengan ciri khasnya yaitu dalam pelaksanaan
pengujian Konstitusional memiliki lembaga tersendiri di luar dari peradilan umum
yang ada17
. Sistem sentralisasi memiliki lembaga-lembaga pelaksana pengujian
bersifat Independen, dan didirikan diluar peradilan biasa, kemudian mekanisme
dalam penyelesaian perkara-perkara yang menyangkut “Constitutional Complaint”
dilakukan dengan mengadakan pemisahan antara mekanisme “Constitutional
Review” dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa18
.
Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini memiliki hakim-hakim
khusus yang mempunyai keahlian di bidang ini, dalam menjalankan wewenangnya
MK melakukan pengujian konstitusional tertutama atas norma-norma yang bersifat
abstrak, sistem sentralisasi mengkhususkan tersendiri hakim dan juga lembaganya
dalam melakukan kontrol konstitusional Undang-Undang dikarenakan pandangan
bahwa untuk menjamin nilai dari kepastian hukum konstitusi apabila semua lembaga
yudisial dapat melakukan kontrol konstitusional Undang-Undang maka akan
menimbulkan resiko pertentangan putusan pengadilan satu dengan yang lain lebih
16
Fatmawati, Hak Menguji (TOETSINGSRECHT), Cetakan 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005,
Hal. 37. 17
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hal. 80 18
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006, Hal. 55
banyak, jika hal tersebut terjadi dampaknya membuat hukum menjadi tidak pasti
untuk masyarakat dan juga untuk otoritas pemerintah, sebaliknya jika memiliki
lembaga khusus dalam pelaksanaan kontrol konstitusional Undang-Undang maka
tidak akan ada resiko pertentangan kontrol konstitusional Undang-Undang, dan lebih
menjamin kepastian hukumnya19
.
Dengan demikian, praktik MA di atas lah yang menjadi starting point dalam
pembahasan kewenangan MA untuk melakukan judicial review Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar.
B. Kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia Melakukan Pengujian
Konstitusional
1. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Pengujian Konstitusional
Sebelum mengenal lebih jauh tentang pengujian konstitusional, perlunya
kejelasan peristilahan antara constitutional review atau pengujian konstitusional
dengan Judicial Review, constitutional review selain dilakukan oleh hakim dapat pula
dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga
mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya, kemudian dalam konsep
judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup
legalitas peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang, sedangkan
constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu
19
Victor Ferreres, 2004, THE CONSEQUENCES OF CENTRALIZING CONSTITUTIONAL REVIEW
IN A SPECIAL COURT. SOME THOUGHTS ON JUDICIAL ACTIVISM, Yale Law School SELA
Papers, 1(1) : 1-2.
terhadap UUD. Jadi berkenaan dengan hal tersebut, bisa kita katakan jika ukuran
pengujian itu dilakukan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur, maka
kegiatan pengujian semacam itu dapat disebut sebagai constitutional review atau
pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma
hukum yang sedang diuji20
. Pengujian konstitusional itu perlu untuk dilakukan dalam
rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik
sehari-hari, mengingat juga bahwa konstitusi sendiri merupakan hukum dasar,
tertinggi, sebuah Supreme Law of the Land21
.
Dalam sistem pengujian konstitusionalitas (Constitutional Review), terkandung
pengertian bahwa yang supreme itu adalah konstitusi, bukan parlemen22
. Dikatakan
sebagai Supreme atau Supreme Law of the Land dikarenakan pertama dilihat dari
posisi “konstitusi” sebagai “hukum dasar” (basic law), mengandung norma-norma
dasar yang mengarahkan bagaimana pemerintah mendapatkan kewenangan
mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam kedudukan sebagai
basic law, konstitusi dapat dijadikan instrumen efektif mencegah timbulnya
penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, segi hirarki peraturan perundang-undangan,
konstitusi sebagai “hukum tertinggi” kedudukannya “kuat”, artinya produk hukum
lainnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, dan kalau bertentangan harus
dibatalkan. Ketiga, konstitusi sebagai dokumen hukum dan politik (politico-legal
20
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, KonPress, Jakarta,
2006, Hal. 6-7. 21
Ibid, Hal.8 22
Ibid, Hal. 31
document) menempati kedudukan “istimewa”, selain subtansi atau materi muatannya
memuat norma hukum dasar, juga berisi piagam kelahiran suatu negara baru, inspirasi
merealisasi cita-cita negara dan cita-cita hukum, karena itu norma konstitusi juga
mengendalikan norma-norma lainnya.23
Di Indonesia dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya, menjadi dasar segala
peraturan perundang-undangan , dijelaskan oleh Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang -undangan”, kemudian
dijabarkan kembali melalui hirarki peraturan perundang-undangan, di Pasal 7 ayat 1
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, sebagai berikut
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Kemudian sistem hirarki tersebut dijabarkan kembali pada penjelasan umum
Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, “penjenjangan setiap jenis
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”, yang menjelaskan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak dimungkinkan untuk bertentangan dengan peraturan yang
23
Dewa Gede Atmaja, Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, 2010, Hal.39-40.
susunan hirarkinya berada diatasnya, yang dapat di simpulkan juga bahwa tidak boleh
ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945, lalu pada
Pasal 7 ayat 2 berbunyi UU No. 12 Tahun 2011 : “Kekuatan peraturan perundang-
undangan sesuai dengan hierarki…” dikarenakan UUD 1945 merupakan yang paling
puncak di susunan hirarki peraturan perundang-undangan, maka paling kuat lah
kekuatan untuk mengikat seluruh lembaga negara, maka dari itu sudah seharusnya
hakim dan lembaga negara lain menjunjung supremasi UUD 1945 yang merupakan
kedudukan peraturan perundang-undangan tertinggi serta konstitusi negara Indonesia.
Keuntungan secara eksplisit dari penerapan hirarki peraturan perundang-
undangan tersebut adalah adanya kepastian hukum secara jelas mana peraturan
perundang-undangan yang paling tinggi atau paling mendasar, sehingga jikalau ada
dua peraturan perundang-undangan yang bermateri muatan bertentangan satu dengan
yang lain, jelas mana yang harus dipakai sebagai dasar pegangan pengujiannya.
Dibandingkan dengan negara yang tanpa konstitusi tertulis, seperti inggris, akan lebih
sulit untuk menentukan mana peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar,
karena dilihat dari materi muatan peraturan perundang-undangannya, ada lebih dari
satu peraturan perundang-undangan di Inggris yang materi muatannya merupakan
Basic Law 24
.
Dalam rangka menjunjung supremasi konstitusi, menjamin kedudukan tertinggi
konstitusi, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
24
Lutfi Ansori, Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Malang, 2018, Hal.37
Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD
1945 lebih tinggi dari Undang-Undang, oleh karenanya setiap ketentuan dari Undang-
Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam
Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka hal tersebut dapat
dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme Judicial Review, seperti diatur dalam
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”, lalu ada
pula di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar” memang secara umum mekanisme
pengujian ada 2, seperti yang telah dijelaskan diatas, di Indonesia menerapkan sistem
Judicial Review, dan Constituional Review, yang perbedannya ada pada dasar
pengujiannya.
Dualisme pengujian tersebut secara kasat mata, terdapat perbedaan dalam dasar
pengujiannya, tetapi walaupun seperti itu, sebetulnya itu merupakan satu kesatuan
yang dimana untuk menerapkan tertib hukum, tertib hirarki hukum, yang dimana
UUD 1945 sebagai puncaknya dan terus kebawah, dilakukan berjenjang agar
peraturan perundang-undangan satu dengan yang lain saling bergantung, saling
berkaitan, dan tidak bertentangan, seperti peraturan dibawah Undang-Undang
diujikan kepada Undang-Undang, agar peraturan dibawahnya bisa bergantung kepada
Undang-Undang dan tidak terjadi pertentangan, dan lebih lagi, seluruh peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang diujikan dan ditafsirkan serta di
batasi semua dengan UUD 1945 yang merupakan hirarki tertinggi.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa Indonesia menganut dualisme
praktik pengujian peraturan perundang-undangan, praktik Judicial Review yang
menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-
Undang adalah pada putusan uji materil No. 10 P/HUM//2012, MA menyatakan
bahwa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Nomor 07 Tahun
2012, bertentangan dengan beberapa pasal, di Undang-Undang No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sehingga membatalkan Peraturan
Menteri tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa yang menjadi dasar pengujian MA
pada saat itu adalah Undang-Undang No, 4 Tahun 2009 jadi ada beberapa pasal
dalam Peraturan Menteri yang bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya, maka
dari itu dilakukan pengujian materiil terhadap peraturan menteri tersebut, berbeda
dengan Constitutional Review, yang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945
seperti contoh yang terdapat pada putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011, yang
menyatakan Inkonstitusional beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Pemerintah Daerah, dikarenakan bertentangan dengan UUD 1945, di
kasus ini hakim memakai UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya, di kasus ini
menandakan adanya beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang
bertentangan dengan UUD 1945 sehinga dilakukanya praktik Constitutional Review
dalam rangka menegakan UUD 1945 itu sendiri.
UUD 1945 sebagai suatu dokumen yang mengandung aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan yang pokok-pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan
suatu negara yang lazim kepadanya diberikan sifat luhur dan kekal dan apabila akan
mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau
dibandingkan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan dan
ketetapan lainnya, sebagai sumber hukum formil, UUD 1945 memiliki arti,
merupakan sebuah hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan,
kemudian merupakan hukum dasar bagi pengembangan peraturan, undang-undang
atau penetapan-penetapan lainnya mengenai suatu yang khusus yang berkaitan
dengan kepentingan negara dan masyarakat harus berintikan pada UUD 1945 atau
pasal-pasalnya25
, terlebih lagi UUD 1945 merupakan cerminan langsung dari hasrat
rakyat untuk mengendalikan tingkah laku penguasa, serta mempertahankan hak-
haknya sebagai masyarakat sebuah negara26
oleh karena itu jelaslah bahwa UUD
1945 menjadi inti, menjadi sumber hukum-hukum lainnya dengan kata lain UUD
1945 merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang memuat
ketentuan pokok dan menjadi dasar semua peraturan perundang-undangan dalam
negara, serta menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan27
.
Dengan demikian, karena UUD 1945 dapat menjadi dasar pengujian maka,
secara eksplisit tertulis pun UUD 1945 merupakan hukum tertinggi, maka dari itu
25
Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Permata Aksara, Jakarta, 2014, Hal. 19- 18. 26
Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal. 63. 27
Nomensen Sinamo, Op.Cit, Hal. 19- 18
lembaga Yudisial haruslah menjunjung tinggi UUD 1945 dengan menjaga tiada
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945, terlebih lagi
UUD 1945 lah yang merupakan konstitusi di Indonesia.
2. “Prinsip Departementalisme” sebagai Legitimasi Praktik Constitutional Review
oleh MA Melalui Kasus Konkrit
Dikarenakan Indonesia menganut asas supremasi konstitusi, maka di Indonesia
diwajibkan bahwa setiap lembaga negara berhak untuk menafsir konstitusi, tidak
mengamini apa yang Undang-Undang katakan begitu saja, karena itu dalam rangka
menjunjung supremasi konstitusi, Indonesia menganut prinsip departementalisme
yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, yang membuat setiap lembaga negara
memliki wewenang untuk menafsirkan konstitusi.
Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai prinsip departementalisme yang akan
digunakan sebagai landasan argumen untuk menjustifikasi kewenangan pengujian
konstitusional Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui kasus konkrit, akan
dijelaskan mengenai posisi hakim dalam memandang supremasi konstitusi yaitu
kepada UUD 1945. Lalu dilanjutkan mengenai argument bahwa UUD 1945
menghendaki penafsiran konstitusional berdasarkan prinsip departementalisme yakni
penegasan bahwa tidak hanya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dapat
menafsir UUD, sehingga membuka kemungkinan penafsiran konstitusional oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Paradigma hakim dalam caranya melakukan intepretasi hukum ada 2, ada cara
berhukum yang mengikuti bunyi pasal-pasal teks Undang-Undang atau biasa disebut
menjadi corong dari Undang-Undang, tetapi ada juga yang bukan sebagai corong
Undang-Undang, jadi tidak menelaah secara langsung bunyi dari Undang-Undang,
melainkan menafsirkan hukumnya seperti apa. Pilihan-pilihan ini perlu dimanfaatkan,
negara hukum Indonesia menjadi terlalu mahal kalau hanya menjadi negara yang
menerapkan kalimat Undang-Undang belaka28
.
Hakim sebagai corong Undang-Undang menganggap pernyataan “Undang-
Undang yang tidak konstitusional karena bertentangan dengan konstitusi” adalah
tidak sah atau tidak berlaku, hal ini yang dinamakan sebagai “asas praduga
konstitusional”, dasar pemikiran validitasnya adalah Undang-Undang tersebut telah
dibuat menurut suatu cara yang diterapkan oleh konstitusi29
. Jadi pendapat diatas bisa
disimpulkan bahwa tiada Undang-Undang yang inkonstitusional, tidak ada Undang-
Undang yang bertentangan dengan Konstitusi, jika ada, maka Undang-Undang
tersebut pasti belum terbentuk, atau belum dijadikan sebuah Undang-Undang,
dikarenakan validitas suatu Undang-Undang dinyatakan konstitusional karena telah
dibuat sesuai dengan apa yang konstitusi telah terapkan.
Kemudian hakim-hakim yang sebagai corong dari Undang-Undang memandang
hukum sebagai apa yang sudah ditetapkan (diperintahkan, diputuskan, dilaksanakan,
28
Sajtipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, Hal. 168 29
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia, Bandung, 2016, Hal. 223
dsb), yang mengandalkan legalitas (keabsahan) dari suatu objek atau situasi hukum
semata-mata pada pembacaan dan intepretasi naskah-naskah regulasi, mulai dari
konstitusi sampai kepada peraturan yang tertulis30
. Aliran seperti ini sudah ada dari
Era Montesqieu, dengan pernyataan “para hakim hanyalah mulut yang mengucapkan
kata-kata Undang-Undang, mereka adalah mahluk yang tidak bernyawa yang tidak
boleh melemahkan kekuatan dan kekerasan Undang-Undang”, kemudian pengaruh
legisme ini terasa dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar peraturan berkekuatan Undang-Undang
yang terlebih dahulu ada dari perbuatan tersebut”31
.
Di sisi lain, terdapat perspektif bahwa hakim bukanlah corong Undang-Undang,
dimana penelitian ini akan menerapkan perspektif tersebut. Hakim bukan sebagai
corong Undang-Undang berprinsip, bahwa tidak semua yang ada dan legal itu benar,
semua yang ada dan sah sekarang tidak menjamin kebenaran absolut dan/atau
terakhir, serta mengkritisi segala produk hukum yang ada sehingga mendapatkan
apakah hukum yang seharusnya, apa hukum yang harus diterapkan32
, hakim dalam
paradigma ini bisa dikatakan mencari hukum tidak hanya pada dokumen dokumen
yang ada melainkan lebih dari itu, hakim dalam paradigma ini akan mencari hukum
yang seharusnya bukan yang hanya terdapat pada Undang-Undang saja karena tidak
semua yang pada Undang-Undang saja dianggap benar.
30
Budiono Kusumohamidjojo, Teori Hukum, Yrama Widya, Bandung,2016, Hal. 36 31
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivsme Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta,
2011, Hal.27 32
Ibid, Hal. 94
Selain itu, tidak ada satupun Undang-Undang yang sempurna. Mungkin pada saat
Undang-Undang itu dibuat, orang berpendapat bahwa Undang-Undang tersebut baik
dan sempurna, akan tetapi tidak lama setelah diundangkan akan dihadapkan pada
masalah konkret yang tidak terpikirkan pada saat Undang-Undang tersebut dibahas di
parlemen, dan ada kalanya pula ketentuan Undang-Undang menimbulkan akibat yang
tidak layak karena Undang-Undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana
dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian33
. Maka dari itu
Hakim sebagai penegak hukum sangat dituntut untuk mencari hukum yang
sebenarnya seperti apa, bukan peraturannya seperti apa, karena itu jika hakim telah
mengerti seperti apa hukumnya, telah mencari hukumnya seperti apa, maka hakim
tidak akan menelaah Undang-Undang begitu saja, terlebih lagi tidak ada Undang-
Undang yang sempurna. Kemudian karena hakim MA bukanlah sebagai corong
Undang-Undang, maka seharusnya hakim MA tidak langsung menelaah semua
Undang-Undang yang di hadapannya adalah konstitusional, hal seperti itu tidak
seharusnya berlaku bagi hakim yang melakukan interpretasi konstitusi dikarenakan
Undang-Undang tidak ada yang sempurna dan hakim memiliki kewenangan untuk
melakukan intepretasi konstitusi.
Dengan demikian Hakim MA, seharusnya bukanlah sebagai corong dari Undang-
Undang, dikarenakan seorang hakim harus menggali lebih dalam apa hukum yang
seharusnya, dengan cara mengkritisi peraturan perundang-undangan yang ada,
33
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Cetakan 1, Prenada Media, Jakarta, 2012, Hal. 210
mencari hukum yang tertinggi bukan hanya peraturan perundang-undangan saja
dalam rangka untuk menyatakan “seperti apakah hukumnya”, ”hukum yang
seharusnya itu apa”.
Dalam rangka pencarian hukum oleh seorang hakim, hakim dituntut mencari ke
dalam hukum yang bersifat dasar-dasar atau Basic Law nya, karena di dalam Basic
Law mengandung dasar-dasar dari materi muatan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sehingga dapat mengurangi pertentangan antar peraturan perundang-
undangan, karena hakim mencari hukum hingga ke dasarnya34
.
Hakim dapat mencari hukum yang seharusnya dengan cara melakukan
Interpretasi Konstitusi, hakikat dari pengujian yudisial konstitusionalitas Undang-
Undang, seperti ajudikasi yudisial pada umumnya, adalah ketika memberikan judicial
reasoning terhadap putusannya, dengan makna ketentuan-ketentuan konstitusi
sebagai dasar dalam pengujian yudisialnya35
. Jadi apabila MA melakukan pengujian
konstitusionalitas, melalui interpretasi konstitusi seharusnya sah sah saja, dikarenakan
dalam melakukan interpretasi konstitusi, MA akan mencari apa hukum yang
sebenarnya, yang seharusnya dan seperti yang telah dikatakan Pasal 24 ayat 1 UUD
1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, jadi bisa
dikatakan apa yang MA lakukan merupakan penegakan hukum, pencarian hukum,
34
Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-Undangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, Hal. 28 35
Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, Hal. 103
yang seharusnya diperbolehkan dalam rangka kemerdekaan menyelenggarakan
peradilan untuk menegakkan hukum serta keadilan.
Interpretasi Konstitusi adalah proses melakukan interpretasi terhadap ketentuan-
ketentuan konstitusi. Sebagai proses, interpretasi konstitusi pada hakikatnya tidak
berbeda dengan interpretasi pada secara umum, perbedaannya hanya berkenaan
dengan aspek ontologisnya sebagai Interpretandum36
. Jadi seperti yang telah
dijelaskan diatas dalam rangka menegakan hukum, mencari hukumnya seperti apa,
bukan Undang-Undangnya seperti apa, melalui interpretasi konstitusi MA juga
berhak untuk melakukan pengujian konstitusional, bukan hanya MK saja walau tidak
dituliskan wewenangnya secara eksplisit.
Dikarenakan sistem hukum di Indonesia menganut sistem sentralisasi dalam
praktik pengujiannya, maka Indonesia memiliki MK sebagai lembaga yang
berwenang dalam melakukan pengujian konstitusional, sehingga munculah pendapat
bahwa “MK sebagai penafsir tunggal konstitusi”, seharusnya dalam hal menafsirkan
konstitusi, tidak hanya MK saja yang bisa menafsir, untuk menjaga nilai-nilai
fundamental dalam konstitusi haruslah setiap lembaga negara mengambil peran
dalam menjunjung konstitusi, terlebih lagi MA sebagai lembaga yudisial37
.
Sebagai contoh, seperti dalam kasus Henky Gunawan dimana hakim dalam dasar
putusannya tidak memakai Undang-Undang yang dianggapnya inkonstitusional,
36
Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2015, Hal. 11 37
Tanto Lailam, Op.Cit, Hal. 218
dikarenakan bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak mengenal adanya hukuman
mati, praktik tersebut seharusnya sah saja dikarenakan hakim MA mencari hukum
yang tertinggi, melakukan interprertasi konstitusi dalam rangka mencari hukumnya
seperti apa, dikarenakan MA yang bukan sebagai corong Undang-Undang, serta
bukan sebagai penganut asas praduga konstitusi walau sudah ada putusan yang MK
keluarkan, yang menyatakan Undang-Undang tersebut konstitusional
Maka dari itu hakim dalam menemukan sebuah hukum sampai penyelesaian
sebuah kasus seharusnya bukanlah sebagai corong dari Undang-Undang dalam
melandasi putusan atau penemuan hukum tersebut, dikarenakan tidak semua hukum
dapat ditemukan dalam Undang-Undang, karena bukan corong dari Undang-Undang
seharusnya hakim mempunyai kebebasan yang luas dalam menemukan hukum, tidak
sekedar menerapkan Undang-Undang38
, sehingga bilamana seorang hakim
memandang ada sesuatu Undang-Undang yang dianggap inkonstitusional, sudah
sewajarnya tidak memakai Undang-Undang tersebut, serta hakim dapat menemukan
hukum dan keadilan tertinggi.
Dalam rangka untuk menegakan supremasi konstitusi di Indonesia, yang dimana
konstitusi merupakan sebuah hukum tertinggi, setiap lembaga negara di Indonesia,
harus menegakan konstitusi itu apabila ada sesuatu Undang-Undang dianggap
inkonstitusional, seperti ada pengertian bahwa konstitusi mempunyai kedudukan
tertinggi dalam tertib hukum suatu negara, dikarenakan dibentuk atas nama rakyat,
38
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Penemuan Hukum Hakim,Prenadamedia, 2018, Hal. 38.
berasal dari rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka, superioritas konstitusi mempunyai daya ikat bukan saja bagi
rakyat/warga negara tetapi termasuk juga bagi penguasa dan bagi badan pembuat
konstitusi itu sendiri, setiap penyelenggara negara, lembaga negara, wajib menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan secara konstitusional, sejalan dengan
konstitusi, sebab bagaimanapun baiknya konstitusi tetapi apabila penyelenggaranya
tidak mempunyai kesadaran dalam penegakkan konstitusi itu sendiri dapat
mengurangi kedudukan supremasi konstitusi dalam arti haikatnya39
.
Kemudian setiap sumpah jabatan pejabat negara, pejabat pemerintahan, termasuk
hakim, hakim MA, antara lain berisi kewajiban memegang teguh UUD,seperti pada
Pasal 9 Ayat (3) Undang-Undang nomor 3 tahun 2009 mengenai Mahkamah Agung,
pada bagian sumpah pengaktan Hakim Agung menyebutkan:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim
agung atau Ketua Muda Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-
lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
yang mengandung makna, UUD 1945 harus senantiasa menjadi sumber pertama
pembentukan, penerapan dan penegakan hukum, lalu mengembangkan UUD 1945
agar menjadi the living constitution, sebagai konstitusi yang hidupartinya tetap aktual
sehingga senantiasa mampu tetap menjadi dasar pengelolaan negara, bangsa dan
39
Ibid, Hal.59-60
masyarakat40
. Menurut Prof. Bagir Manan sendiri hakim dalam mengadili dan
memutus perkara harus senantiasa memperhatikan asas, kaidah, dan pandangan-
pandangan yang mendasari UUD 1945, lalu tidak ada perkara yang tidak bersentuhan
dengan UUD 194541
.
Memang UUD 1945 tidak menuliskan wewenang MA dalam melakukan
pengujian konstitusional, tetapi sebagai bagian lembaga Yudikatif yang menegakkan
hukum sudah seharusnya menjadi penjaga konstitusi, yang berarti menegakkan UUD
1945, tidak hanya MK saja yang hanya boleh menafsirkan Konstitusi, seperti
pernyataan diatas tadi, MA jika dihadapkan dengan Undang-Undang yang
bertentangan dengan UUD 1945 sudah seharusnya menolak memakai dan
menyatakan tidak sah Undang-Undang tersebut melalui putusan hakim dalam kasus
konkrit, dikarenakan UUD 1945 yang merupakan Supreme Law of the Land,
konstitusi negara Indonesia, tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk,
konstitusi menempatkan posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan
suatu negara, UUD 1945 merupakan pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus
tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan42
. Karena kedudukan
konstitusi dalam negara merupakan kedudukan tertinggi, dasar dan krusial, dalam
menegakkan konstitusi itu sendiri seharusnya tidak hanya dimiliki oleh satu lembaga
saja, melainkan seharusnya semua penyelenggara negara, termasuk MA, dan apabila
40
Bagir Manan, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014
Hal. 164 41
Ibid 42
Jazim Hamidi, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 2013, Hal. 56
MA tidak boleh untuk menegakan konstitusi sama saja untuk membatasi MA dalam
menafsirkan hukum dan sebagai lembaga yudisial di persulit untuk menegakan
hukum, yang dimana mandat dari Pasal 24 UUD 1945, kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menegakan hukum dan keadilan.
Dengan demikian, praktik MA dalam melakukan pengujian konstitusional
merupakan praktik yang legal, karena praktik tersebut dalam maksud menjunjung
supremasi konstitusi dengan cara melakukan intepretasi konstitusi, walau akibat
hukum yang dikeluarkan berbeda dengan MK.
MA dalam praktiknya melakukan pengujian konstitusional selain dikarenakan
memang kewajiban untuk menjunjung supremasi konstitusi sebagai hukum dasar,
dalam desain UUD 1945 tidak menganut asas supremasi parlemen ataupun yudisial
supremasi oleh MK, sehingga memang membuat MA dapat memutus suatu perkara
lebih luas, mencari hukum lebih dalam lagi, dan berpendapat seperti MK walau
berbeda kewenangan yang diberikan.
UUD 1945 tidak menganut yudisial supremasi oleh MK ataupun parlemen, tidak
seperti konstitusi Belanda yang sangat jelas menulis pada Art. 120 UUD Belanda
yang ketentuannya menyatakan: “The constitutionality of Acts of Parliament and
treaties shall not be reviewed by the courts”, yang pada intinya ketentuan ini
menyatakan bahwa “Undang-Undang tidak boleh di ganggu-gugat”43
. Atau bisa
43
Titon Slamet Kurnia, “Peradilan Konstitusional Oleh Mahkamah Agung Melalui Mekanisme
Pengujian Konkret”, Jurnal Konstitusi. Vol.16. No. 1, Maret 2019, Hal. 67.
dikatakan karena menganut asas supremasi parlemen, maka konstitusi bukanlah
bahan konsumsi dari lembaga Yudikatif, itu merupakan khusus untuk parlemen,
karena khusus untuk parlemen maka hal itu menghasilkan makna bahwa Undang-
Undang produk parlemen sudah pasti konstitusional sebagai produk dari parlemen
yang supreme dan tidak boleh dinyatakan inkonstitusional oleh lembaga yudisial44
.
Demikian juga dengan prinsip yudisial supremasi oleh MK, konstitusi Indonesia tidak
menganut prinsip tersebut, yang membuat MA dapat memberi keputusan yang
berbeda dengan MK namun dapat berpendapat seperti MK walau memang
mekanisme pengujian yang dilakukan berbeda.
Karena asas demikian tidak dianut dalam konstitusi Indonesia, maka MA sebagai
badan peradilan tentu saja dapat menganut konstitusi sebagai sumber hukum dalam
menjalankan proses peradilan45
, bisa dikatakan tidak menganut seperti belanda dan
tidak menganut supremasi MK, dikarenakan pada Pasal 24 Ayat (1) yang berbunyi
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan", dalam pasal
tersbut konstitusi dengan jelas memberi kewenangan yang luas kekuasaan kehakiman
dalam menegakkan hukum dan keadilan, bisa dikatakan bahwa dalam peradilan
konstitusional Indonesia menganut prinsip departementalisme, dibanding supremasi
parlemen ataupun yudisial supremasi oleh MK.
44
Ibid 45
Ibid, Hal. 68
Prinsip Departementalisme ini praktiknya sudah pernah dilakukan di Indonesia,
seperti dalam kasus Henky Gunawan, MK sudah memberikan putusan dalam
pengujian konstitusionalnya bahwa sanksi hukuman mati merupakan sanksi yang
legal untuk pidana narkotika, tetapi MA pada tingkat kasasi saat mengadili kasus
tersebut menyatakan bahwa sanksi pidana narkotika yang merupakan hukuman mati
merupakan tidak sah serta tidak memakai Undang-Undang narkotika tersebut menjadi
dasar putusan dan mengkonversi vonis kepada terpidana menjadi penjara. Praktik MA
tersebut selaras dengan pandangan departementalisme yang dimana setiap cabang
kekuasaan berhak untuk mengintepretasi konstitusi, setiap lembaga wajib
menegakkan konstitusi walaupun melalui mekanismenya masing-masing yang telah
diberikan konstitusi itu sendiri.
Kemudian praktik pengujian konstitusional melalui kasus konkrit oleh MA
tersebut merupakan praktik yang legal, memang putusan MK bersifat “final and
binding” namun tidak berarti bahwa putusan tersebut niscaya benar. Untuk
menjunjung supremasi konstitusi, melalui prinsip departementalisme, badan-badan
pemerintahan yang lain, termasuk MA dalam menyikapi peraturan perundang-
undangan dapat melakukan penafsiran konstitusi dengan mengesampingkan peraturan
yang bertentangan dengan konstitusi46
.
46
Titon Slamet Kurnia, “Peradilan Konstitusional Oleh Mahkamah Agung Melalui Mekanisme
Pengujian Konkret”, Jurnal Konstitusi. Vol.16. No. 1, Maret 2019, Hal. 76
C. Kelemahan Mekanisme Oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
Seperti yang sudah di singgung sebelumnya, dalam kekuasaan Yudikatif di
Indonesia memiliki 2 lembaga, yaitu MA dan MK, dikarenakan berbeda lembaga dan
berbeda wewenangnya, maka berbeda pula jenis putusan dan pengaruh yang akan
dikeluarkan serta diberikan MA dan MK terkhusus sehubungan dengan kewenangan
hak menguji yang dimiliki kedua lembaga tersebut. kewenangan dalam melakukan
pengujian konstitusional memang dimiliki MK yang dalam pelaksanaannya
melakukan pengujian konstitusional terutama atas norma norma bersifat abstrak, yang
dimaksud abstrak ialah norma-norma yang bersifat umum mengandung kurang atau
lebih aturan-aturan abstrak yang ditujukan kepada subjek hukum secara umum
misalnya dalam bentuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, ataupun peraturan
perundang-undangan lainnya47
dengan jenis putusan erga omnes, dan memberikan
akibat “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”, yang menandakan Undang-
Undang tersebut dari muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-Undang
bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan mengikat, serta berlaku
untuk umum48
.
Berbeda dengan MK, model pengujian yang dilakukan MA tidak bersifat
institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam
perkara lain yang sedang diperiksa di pengadilan, atau bisa dikatakan melalui kasus
47
Jimly Asshiddiqie 17, Op.Cit, Hal. 52. 48
Fatmawati, Op.Cit, Hal.103.
konkrit dalam pengujiannya49
, MA mengeluarkan jenis putusan Inter Parties, dan
memberikan akibat “tidak sah” terhadap suatu Undang-Undang melalui kasus
konkrit, yang berarti Undang-Undang yang inkonstitusional dinyatakan tidak berlaku
dan putusan tersebut berakibat untuk pada pihak yang berperkara saja50
. Memang
berbeda sifat putusan MA dan MK, , walau memiliki kelemahan di dalam aibat
putusan yang dikeluarkan MA tetapi kembali lagi, dalam hal menegakkan supremasi
konstitusi, menjalankan tertib hukum, merupakan kewajiban penting oleh MA untuk
menolak memakai Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Jadi pada intinya seharusnya MA, tidak seharusnya menjadi corong Undang-
Undang apabila menemukan Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi
dalam kasus konkritnya, seharusnya MA dapat menolak memakai Undang-Undang
tersebut, dan mencari hukum dasarnya seperti apa, dengan melakukan intepretasi dan
mencari hukumnya ke konstitusi yang dimana di dalam konstitusi berisi basic law di
Indonesia. Memang negara Indonesia menganut sistem sentralisasi dalam sistem
pengujian konstitusionalnya, ada lembaga khusus untuk melakukan pengujian
konstitusionalnya yaitu MK, peraturan perundang-undangan pun jelas mengatur
kewenangan-kewenangan yang dimiliki MK dan MA, tetapi dalam rangka
menegakan supremasi konstitusi MA harus bisa mengambil tindakan apabila ada
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945 yang
49
Jimly Asshiddiqie 17, Op.Cit, Hal. 48 50
Fatmawati, Op.Cit, Hal. 105
merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dan merupakan konstitusi negara
Indonesia.