52
45 BAB III. PERJALANAN MIGRASI BALI NUSA Salah satu kendala proses transmigrasi adalah keterikatan para transmigran dengan tempat asal atau tanah kelahirannya. Identitas sosial- budaya yang melekat pada tanah kelahiran dikhawatirkan akan hilang setelah mereka bermigrasi dan bertransmigrasi. Berbeda dengan orang Jawa dan Madura, orang Bali memiliki ikatan yang lebih kuat terhadap tanah kelahirannya. Hal inilah yang menyebabkan orang Bali sulit untuk bermigrasi dan bertransmigrasi 68 . Orang Bali yang berasal dari Pulau Nusa Penida biasa disebut Bali Nusa merupakan pengecualian. Bali Nusa adalah orang Bali yang sudah akrab dengan proses migrasi meskipun dengan cara-cara terpaksa 69 . Generasi pertama Bali Nusa “sepakat” mengatakan bahwa faktor alam Pulau Nusa Penida yang kering dan tandus menjadi faktor utama mereka bertransmigrasi ke Lampung 70 . Tujuan 68 Geertz (1959) dalam “Form and Variation in Bali Village Structure”, dalam American Antropologist Vol. 61. Pp.991-1012, menyebutkan bahwa segi-segi kehidupan sosial yang mengikat masyarakat Bali ke dalam sistem sosialnya antara lain: kewajiban agama dan kultural terhadap Pura tertentu ( dadya, paibon, kahyangan tiga), banjar, subak, status sosial (kasta tertentu), ikatan kekerabatan atas dasar ikatan darah dan perkawinan, keanggotaan terhadap seka tertentu dan keperbekelan (satu kesatuan administrasi tertentu). 69 Secara umum gambaran proses migrasi orang Bali-Nusa dibagi menjadi tiga masa: 1. Pada masa kerajaan-kerajaan (pra-kolonial) orang Bali “bermigrasi” atau dibuang oleh pihak kerajaan (Kerajaan Gianyar dan Klungkung) sebagai tahanan politik dan adat ke Pulau Nusa Penida. Ini menjadi salah satu cikal bakal Bali-Nusa. 2. Pada masa kolonial (1935) mereka dimigrasikan (transmigrasi lokal) oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena terjadinya gagal panen dan resesi global. Mereka dipindahkan dari Pulau Nusa Penida ke daerah Jembrana. 3. Pada masa pasca-kolonial (Orde Lama dan Orde Baru) bencana alam meletusnya Gunung Agung (1963) dan gagal panen menjadi titik tolak mereka untuk bertransmigrasi ke luar wilayah Bali, salah satu tujuannya adalah Sumatera Bagian Selatan (sekarang menjadi Propinsi Sumtera Selatan dan Lampung). Pada tahun ini, mereka bertransmigrasi bersama- sama dengan orang Bali di Pulau Bali. 70 Hasil wawancara dari generasi pertama (yang menjadi tokoh di Kampung Bali) Bali-Nusa di Lampung. Pertama, di Desa Joharan, Lampung Tengah 2006-2009. Kedua, Balinuraga, Lampung Selatan, 2008-2010.

BAB III. PERJALANAN MIGRASI BALI NUSA€¦ · 69 Secara umum gambaran proses migrasi orang Bali-Nusa dibagi menjadi tiga masa: 1. Pada masa kerajaan-kerajaan (pra-kolonial) orang

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 45

    BAB III. PERJALANAN MIGRASI BALI NUSA

    Salah satu kendala proses transmigrasi adalah keterikatan para

    transmigran dengan tempat asal atau tanah kelahirannya. Identitas sosial-

    budaya yang melekat pada tanah kelahiran dikhawatirkan akan hilang

    setelah mereka bermigrasi dan bertransmigrasi. Berbeda dengan orang

    Jawa dan Madura, orang Bali memiliki ikatan yang lebih kuat terhadap

    tanah kelahirannya. Hal inilah yang menyebabkan orang Bali sulit untuk

    bermigrasi dan bertransmigrasi68

    . Orang Bali yang berasal dari Pulau Nusa

    Penida – biasa disebut Bali Nusa – merupakan pengecualian. Bali Nusa

    adalah orang Bali yang sudah akrab dengan proses migrasi meskipun

    dengan cara-cara terpaksa69

    . Generasi pertama Bali Nusa “sepakat”

    mengatakan bahwa faktor alam Pulau Nusa Penida yang kering dan tandus

    menjadi faktor utama mereka bertransmigrasi ke Lampung70

    . Tujuan

    68

    Geertz (1959) dalam “Form and Variation in Bali Village Structure”, dalam

    American Antropologist Vol. 61. Pp.991-1012, menyebutkan bahwa segi-segi

    kehidupan sosial yang mengikat masyarakat Bali ke dalam sistem sosialnya antara

    lain: kewajiban agama dan kultural terhadap Pura tertentu (dadya, paibon,

    kahyangan tiga), banjar, subak, status sosial (kasta tertentu), ikatan kekerabatan

    atas dasar ikatan darah dan perkawinan, keanggotaan terhadap seka tertentu dan

    keperbekelan (satu kesatuan administrasi tertentu). 69

    Secara umum gambaran proses migrasi orang Bali-Nusa dibagi menjadi tiga

    masa:

    1. Pada masa kerajaan-kerajaan (pra-kolonial) orang Bali “bermigrasi” atau

    dibuang oleh pihak kerajaan (Kerajaan Gianyar dan Klungkung) sebagai

    tahanan politik dan adat ke Pulau Nusa Penida. Ini menjadi salah satu

    cikal bakal Bali-Nusa.

    2. Pada masa kolonial (1935) mereka dimigrasikan (transmigrasi lokal) oleh

    Pemerintah Kolonial Belanda karena terjadinya gagal panen dan resesi

    global. Mereka dipindahkan dari Pulau Nusa Penida ke daerah Jembrana.

    3. Pada masa pasca-kolonial (Orde Lama dan Orde Baru) bencana alam –

    meletusnya Gunung Agung (1963) – dan gagal panen menjadi titik tolak

    mereka untuk bertransmigrasi ke luar wilayah Bali, salah satu tujuannya

    adalah Sumatera Bagian Selatan (sekarang menjadi Propinsi Sumtera

    Selatan dan Lampung). Pada tahun ini, mereka bertransmigrasi bersama-

    sama dengan orang Bali di Pulau Bali. 70

    Hasil wawancara dari generasi pertama (yang menjadi tokoh di Kampung Bali)

    Bali-Nusa di Lampung. Pertama, di Desa Joharan, Lampung Tengah 2006-2009.

    Kedua, Balinuraga, Lampung Selatan, 2008-2010.

  • 46

    utamanya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi keluarga,

    baik keluarga inti yang di Lampung maupun keluarga besar dan komunitas

    yang ada di Nusa Penida71

    .

    Pulau Nusa Penida

    Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan

    merupakan gugus Kepulauan Nusa Penida – Nusa Penida sebagai pulau

    terbesar dalam gugus kepulauan ini – dengan panjang pantai 70 km dan

    luas wilayah 202,84 km2. Kepulauan Nusa Penida secara administratif

    merupakan Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, terdiri dari 16

    Desa Dinas dengan jumlah penduduk 46.749 jiwa (8.543 KK)72

    . Puncak

    Mundi atau Gunung Mundi adalah gunung tertinggi di Pulau Nusa Penida

    dan Kabupaten Klungkung dengan ketinggian 600 meter di atas

    permukaan laut. Puncak Mundi ini dipercaya memiliki kekuatan magis

    (tempat suci) yang kekuatannya terhubung melalui Pura Ped menuju ke

    Besakih (pura utama di Bali), dan puncak tertinggi di Bali, Gunung

    Agung73

    .

    71

    Ikatan yang kuat dengan tanah kelahiran (Nusa Penida), khususnya di bidang

    keagamaan dan komunitas, menyebabkan mereka yang sudah mapan secara

    ekonomi membantu secara finansial pembangunan atau renovasi tempat

    peribadatan (pura-pura, diantaranya pura besar dan pura keluarga) dan banjar

    yang ada di Nusa Penida. 72

    Lihat: Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Klungkung (2010). 73

    Konon, Puncak Mundi (Bukit Mundi) merupakan tempat orang-orang dulu

    (zaman kerajaan) yang memiliki ilmu magis tinggi. Salah satu contohnya adalah

    Sang Aji Dukut – seorang penguasa bumi Nusa / Nusa Penida yang lalim dalam

    menggunakan kesaktiannya (lihat: Dunia 2009 dalam Kumpulan Ringkasan

    Lontar). Kekuatan magis yang tinggi di tempat ini menjadikan tempat yang tepat

    bagi orang-orang dulu untuk mendalami ilmu kebatinannya – umumnya praktisi

    ilmu hitam. Jika latihan dan meditasi dilakukan dengan disiplin dan tekad yang

    kuat, bukan tidak mungkin, kesaktian akan dicapai. Salah satu contohnya adalah

    Agung Mayun yang dibuang oleh Dinasti Mengwi ke Nusa Penida. Dia

    dianugerahi kesaktian setelah bermeditasi dengan khusuk di Nusa Penida (lihat:

    Nodholt 2009).

  • 47

    Peta 1. Peta Komprehensif Pulau Bali dan Nusa Penida

    (Sumber: Microsoft Encarta 2009)

    Peta 2. Peta Satelit Pulau Nusa Penida

    (Sumber: Google Earth, 2009)

    Pulau Nusa Penida – dan pulau-pulau kecil lainnya – termasuk

    daerah yang tidak subur di Bali. Kondisi tanah yang gersang, berbatu cadas

    dan debit air yang kurang menjadikan pulau ini tidak cocok untuk

    dijadikan daerah pertanian74

    , khususnya sawah basah dengan sistem

    74

    Ada yang menyebutnya sebagai pulau berbatu kapur kering.

  • 48

    pengairan75

    . Di pulau ini tidak ada sungai yang mengalir (termasuk Nusa

    Lembongan dan Nusa Ceningan). Sumber air didapatkan penduduk

    setempat dengan mengandalkan air hujan – menampung air hujan ke dalam

    cubang76

    . Kondisi cuaca yang berbeda dengan daratan Klungkung77

    karena perbedaan alam – menyebabkan curah hujan di Pulau Nusa Penida

    tidak dapat menghasilkan sumber air yang besar bagi penduduk setempat.

    Kondisi ini sangat kontras bila dibandingkan dengan Bali Selatan yang

    lebih subur. Meskipun padi ladang atau padi gogo memungkinkan untuk

    ditanam, namun masyarakat di daerah ini cenderung untuk menanam

    jagung78

    . Tanaman jagung tidak membutuhkan air yang banyak dan

    bonggolnya dapat digunakan penduduk setempat untuk menunjang

    peternakan sapi dalam skala rumah tangga79

    .

    75

    Jenis padi yang bisa ditanam di pulau ini adalah padi gogo atau padi ladang,

    karena tidak membutuhkan asupan air yang konsisten sepanjang masa tanam. 76

    Tempat penampungan air hujan. 77

    Bila dibandingkan dengan pulau ibu, Pulau Bali, keadaan alam Pulau Nusa

    Penida (Kecamatan Nusa Penida umumnya) lebih condong (mirip) dengan

    kepulauan di bagian Timur dalam kepulauan Nusa Tenggara. 78

    Bulir jagung dari Nusa Penida berwarna putih. Dalam skala kecil bibit jagung

    ini ditanam oleh transmigran Bali di Lampung. Tujuannya bukan untuk dijual di

    pasar, tapi untuk dikonsumsi sendiri, di mana ketika mengonsumsinya ada

    kenangan-kenangan ketika berada di tanah kelahiran. Ada pun jagung yang biasa

    mereka tanam setelah masa tanam padi atau singkong bukan untuk konsumsi, tapi

    dijual ke pasar sebagai bahan baku pakan ternak. Biasanya bibit dibawa ketika

    mereka pulang kampung ke Nusa Penida. Kasus ini penulis temukan ketika

    melakukan penelitian pada transmigran Bali Nusa di Desa Joharan (Lampung

    Tengah) dan Balinuraga (Lampung Setalan). 79

    Meskipun jagung menjadi salah satu komoditas pertanian, namun yang menjadi

    produk andalan dalam transaksi ekonomi adalah Sapi Bali. Bonggol jagung

    menjadi pakan utama peternakan Sapi Bali, atau jika tidak ada, dapat sapi-sapi

    tersebut diberikan bongkol pisang atau sampah, mengingat curah hujan yang

    sedikit dan cuaca yang relatif panas mengakibatkan rumput menjadi kering dalam

    kemarau yang panjang. Sejak masa kolonial sampai sekarang, peternakan menjadi

    andalan di pulau ini, khususnya Sapi Bali (Putrawan 2008). Salah satu

    keistimewaan Sapi Bali – sehingga bisa dibiakan di Nusa Penida – adalah

    ketahanan fisiknya yang bagus, cepat berkembang biak (tingkat kesuburan tinggi),

    mudah beradaptasi di lingkungan / iklim tropis dan tidak mengkonsumsi air yang

    banyak (Soeharsono 2004). Dagingnya yang lebih gurih (enak) menjadikan Sapi

    Bali ini mudah untuk dijual di pasaran. Sapi Bali di Nusa Penida tidak gemuk, tapi

  • 49

    Penduduk di pesisir pantai pulau ini umumnya berprofesi sebagai

    nelayan80

    . Profesi ini merupakan salah satu profesi utama bagi penduduk di

    Nusa Penida, selain petani. Panjang pantai di Kecamatan Nusa Penida

    yang mencapai 70 km – lebih dari dua per tiga dari total panjang pantai

    wilayah Kabupaten Klungkung – sangat mendukung profesi nelayan

    sebagai salah satu profesi utama penduduk setempat, khususnya bagi yang

    menetap di daerah pesisir pantai seperti di Desa Suasana, Batununggul,

    Kutampi Kaler, Ped dan Toyapakeh. Umumnya hasil tangkapan dijual

    untuk kebutuhan domestik Kecamatan Nusa Penida, sedangkan sisanya

    dijual di tempat lain (masih dalam wilayah Klungkung). Ada pula

    budidaya rumput laut yang belum lama dikembangkan untuk

    meningkatkan pendapatkan masyarakat di pesisir. Hasilnya cukup

    menjanjikan secara ekonomi bagi para petani, dan skala produksinya

    menjadikan Bali sebagai salah satu daerah penghasil rumput laut selain

    Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi

    Tengah dan Sulawesi Selatan81

    .

    cukup sehat dan berisi ketika dijual di pasaran. Sapi ini biasanya dijual di daerah

    Kusamba (Klungkung) dengan diangkut melalui perahu jukung. Dari Kusamba

    Sapi Bali ini dipasarkan ke berbagai daerah melalui para penampung di Bali,

    seperti di wilayah Jawa maupun wilayah Timur Indonesia. Pada dekade awal

    transmigrasi orang Bali ke Lampung, tepatnya pada tahun 1970-an ketika

    transportasi laut sudah memadai dari Bali-Jawa-Sumatera, Sapi Bali ini turut

    “diekspor” ke Lampung. Pada masa itu, Sapi Bali ini diturunkan di Pelabuhan

    Panjang Bandar Lampung – Pelabuhan Bakauhuni di Lampung Selatan belum

    beroperasi. 80

    Bali Nusa yang bertransmigrasi ke Lampung di antaranya berprofesi sebagai

    nelayan ketika berada di Nusa Penida. Keterampilan dan teknik bertani baru

    mereka pelajari setelah berada di Lampung, baik secara otodidak atau pun

    berkonsultasi dengan transmigran Bali Nusa yang profesinya bertani ketika berada

    di Nusa Penida (hasil wawancara 2006-2010). 81

    Lihat: Siagian “Nusa Lembongan, Pulau Rumput Laut” (Sinar Harapan 2008).

  • 50

    Gambar 1. Jukung dan Perahu Nelayan di Nusa Penida

    (Sumber: Yulianto, 2009)

    Komposisi masyarakat di daerah pesisir lebih hetoregen.

    Umumnya dihuni oleh pendatang dari Jawa Timur dan Madura82

    .

    Perekonomian kedua pendatang ini umumnya lebih baik daripada

    penduduk lokal Nusa Penida. Pendatang umumnya menguasai

    perekonomian. Kondisi ini berbanding terbalik ketika Bali Nusa

    bertransmigrasi ke Lampung, di mana perekonomian mereka umumnya

    lebih baik daripada penduduk lokal Lampung83

    .

    Meskipun sektor pariwisata mulai digalakkan, namun geliatnya

    masih kalah dengan pulau tetangga, Nusa Lembongan. Turis asing dan

    domestik lebih menjadikan Nusa Lembongan sebagai kunjungan pertama

    daripada Nusa Penida. Travel agent biasanya lebih dahulu membawa turis

    ke Nusa Lembongan baru kemudian ke Nusa Penida. Fasilitas turisme di

    Nusa Lembongan, seperti hotel dan villa, umumnya lebih lengkap dan

    mumpuni daripada yang ada di Nusa Penida – meskipun potensi wisata

    alam di Nusa Penida dan Nusa Ceningan tidak kalah baiknya dengan Nusa

    Lembongan84

    .

    82

    Pendatang umumnya berdagang di pasar. Rata-rata berdagang makanan atau pun klontongan skala kecil. Ada pula yang berbisnis rongsokan. Mereka yang

    dipesisir pantai ikut mengembangkan budidaya rumput laut (berdasarkan hasil

    wawancara dan observasi di Pulau Nusa Penida 2009). 83

    Berdasarkan hasil obeservasi dan wawancara dengan responden berbagai etnik

    di Lampung (terutama di Lampung Tengah dan Selatan) dalam kurun waktu 2006-

    2010. 84

    Lihat: Thomasson-Croll, Mary Justice. (2010), Frommer’s®: Bali & Lombok,

    USA: Wiley Publishing; dan Hitchcock, Michael & Putra, I Nyoman Darma.

    (2007), Tourism, Development and Terrorism in Bali, England: Ashgate.

  • 51

    Pura terpenting dan banyak dikunjungi di Nusa Penida oleh

    masyarakat Bali adalah Pura Penataran Agung Ped85

    yang terletak di Desa

    Ped, Sampalan, Kecamatan Nusa Penida. Terletak di sebelah utara jalan

    utama, kurang lebih lima puluh meter dari tepi laut. Konon pura ini

    didirikan untuk mengingat roh jahat terkenal bernama Jero Gede86

    .

    Kunjungan ke pulau ini umumnya didominasi oleh orang Bali untuk

    menyelenggarakan upacara tahunan, odalan Pura Penataran Agung Ped

    setiap 210 hari sesuai kalender Bali. Pura ini merupakan salah satu objek

    wisata spiritual yang paling diminati oleh masyarakat Bali. Mereka yang

    berkunjung ke pura ini biasanya untuk memohon keselamatan,

    kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan87

    . Pura-pura dalam kompleks

    Pura Penataran Agung Ped adalah Pura Segara (sebelah utara dekat bibir

    pantai) yang dipersembahkan (didedikasikan) kepada Batara Baruna, yang

    terkait dengan kegiatan maritim penduduk di pulau ini. Di sebelah barat

    terdapat Pura Ratu Gede (atau Penataran Ratu Gede Mecaling) yang

    menjadi pura utama. Di sebelah selatan terdapat Pura Taman, yang

    terdapat kolam yang mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Fungsi

    pura ini adalah sebagai tempat penyucian. Kemudian di sebelah timur,

    terdapat pelebaan Ratu Mas, dan Bale Agung di jaba tengah.

    85

    Sebutan lainnya adalah Pura Dalem Penataran Ped, biasa disebut para Balian

    (sebutan paranormal di Bali). Pura Dalem yang dimaksudkan adalah “Dalem”

    untuk sebutan raja yang berkuasa pada masa itu, Ratu Gede Mecaling; bukan

    “Dalem” yang menjadi bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem, dan Bale

    Agung). Perdebatan dalam penamaan Pura Penataran Agung Ped ini adalah

    seputar apakah pura ini kategorikan kedudukannya sebagai “Pura Dalem” atau

    “Pura Khayangan Jagat” – tanpa mengabaikan sisi penting dan historis keberadaan

    pura ini bagi masyarakat Bali. Kemudian, pura ini disepakati sebagai sebagai Pura

    Kahyangan Jagat. 86

    Sebutan lainnya adalah Ratu Gede Mecaling atau Jero Gede Mecaling. Orang

    Bali mengenalnya sebagai kekuatan (menakutkan) sebagai penyebar penyakit

    kolera, dan dipercaya (kekuatannya dan ujudnya) masih ada beserta pasukan bala

    samar (pasukan tak nampak atau wong samar), di mana kekuatan tersebut dapat

    ditangkal dengan tarian Barong Landung seputar / sekitar Galunggang. 87

    Lihat: Bali Post, “Pujawali” di Pura Penataran Ped “Masineb” Senin

    Mendatang, Rabu Kliwon, 7 Juni 2006.

  • 52

    Untuk saat ini, perjalanan ke Nusa Penida dapat ditempuh melalui

    empat tempat. Dua tempat dari wilayah Bali Selatan (Jimbaran dan

    Denpasar), yaitu dari Benoa menumpang quicksilver / Balihai88

    dengan

    waktu tempuh ± 1 jam perjalanan, dan dari Sanur dengan waktu tempuh ±

    1,5 jam perjalanan. Dua tempat dari Kabupaten Klungkung, yaitu dari

    Kusamba menumpang jukung89

    ± 1,5 jam perjalanan, dan dari Padangbai

    menumpang kapal feri / roro ± 1 jam perjalanan. Bagi turis atau wisatawan

    asing biasanya melalui jalur Benoa dan Sanur, karena relatif dekat dengan

    Denpasar, Legian dan Kuta. Penyeberangan melalui Klungkung umumnya

    didominasi penumpang dari penduduk setempat (Bali Nusa) yang ingin

    melakukan aktivitas ekonomi atau pun keperluan lain di Klungkung.

    Pelabuhan Padangbai biasanya menjadi pilihan utama, karena kapalnya

    yang relatif lebih luas dan stabil di laut jika cuaca buruk, serta dapat

    memuat barang lebih banyak, termasuk mobil pribadi90

    . Menggunakan

    jukung dari Kusamba biasanya akan menjadi alternatif utama

    88

    Quicksilver dan Balihai adalah perusahaan swasta yang menyediakan

    armadanya untuk mengangkut turis asing dan turis domestik (umumnya dari kelas

    menengah ke atas) ke Pulau Nusa Lembongan (tujuan utama) dan Nusa Penida

    (tujuan kedua). 89

    Jukung: perahu yang terbuat dari (papan) kayu dengan dua kitir (sejenis sayap

    kapal) di sisi kanan dan kiri kapal untuk menjaga keseimbangan dari terpaan angin

    dan gelombang laut. Biasanya jukung dilengkapi dengan dua sampai empat motor

    tempel, agar dapat mengangkut beban angkutan yang lebih besar. Puluhan ekor

    babi dan Sapi Bali pun bisa terangkut dari Nusa Penida ke Kusamba (Klungkung),

    serta bahan-bahan bangunan yang berat (seperti semen, pasir, beci cor, dan lain-

    lain) dari Kusamba ke Nusa Penida (hasil observasi 2009). 90

    Untuk kasus transmigran Bali Nusa di Lampung, ketika pulang kampung ke

    Nusa Penida, umumnya akan menyeberang melalui Padangbai. Padangbai menjadi

    alternatif utama jika mereka berangkat dari Lampung ke Nusa Penida dengan

    membawa mobil pribadi atau mobil kelas pribadi sewaan. Kapal roro dari

    Padangbai memungkinkan mobil pribadi sampai ke Nusa Penida. Atau, melalui

    Sanur jika mereka naik bis umum dari Lampung ke Bali, karena lebih dekat dari

    Denpasar. Biasanya mereka menginap semalam dahulu di Denpasar untuk

    memulihkan kebugaran tubuh setelah menempuh perjalanan darat selama tiga hari

    dua malam, dan keesokan harinya baru ke Nusa Penida melalui Sanur. Atau, jika

    ada kerabat dan saudara di Klungkung, keesokan harinya bisa mampir terlebih

    dahulu di Klungkung, dan berangkat ke Nusa Penida melalui Padangbai

    (berdasarkan hasil wawancara, 2006-2010).

  • 53

    penyeberangan jika kapal roro di pelabuhan Padangbai rusak, atau ada

    perbaikan teknik di pelabuhan dan kapal. Pada masa pra-kolonial

    (kerajaan), Pelabuhan Kusamba (serta Pantai Jumpai dan Cedokan Oga)

    merupakan salah satu alternatif utama bagi armada dan pasukan Kerajaan

    Gelgel ke Nusa Penida91

    .

    Gambar 2. Pelabuhan Kusamba, Klungkung

    (Sumber: Yulianto, 2009)

    Secara ekonomis pulau ini mengandalkan perekonomiannya pada

    daerah lain, khususnya Klungkung. Jumlah dan jenis barang yang masuk

    dari Klungkung lebih besar daripada barang yang keluar untuk dipasarkan

    ke luar Nusa Penida. Mulai dari bahan makanan pokok sampai bahan

    bangunan dipasok dari Klungkung, seperti beras, gula, minuman dan

    makanan ringan, kain dan baju, dupa, alat pertanian, susu, semen, besi cor,

    asbes, dan lain-lain; sedangkan komoditas yang dijual ke luar Nusa Penida

    umumnya oleh masyarakat adalah Sapi Bali dan babi – yang nilai jualnya

    91

    Dalam Kumpulan Ringkasan Lontar (Dunia 2009) disebutkan bahwa: “I Gusti

    Ngurah Jelantik Tenganan bersama pasukannya berangkat ke Nusa Penida melalui

    Pelabuhan Kusamba dengan manaiki jukung dan perahu, turun di Jungutbatu”.

    Tujuan I Gusti Ngurah Jelantik Tenganan waktu itu adalah untuk menaklukkan

    Sang Aji Dukut (sebutan lain: Dalem Dukut, Dalem Bungkut, Sri Aji Dukut) yang

    dalam pemerintahannya rakyat di Nusa Penida hidup dalam ketakutan dan

    kecemasan.

  • 54

    lebih tinggi daripada hasil pertanian yang minim untuk dijual ke luar Nusa

    Penida.

    Gambar 3. Proses Pengiriman Sapi Bali dari Nusa Penida ke Kusamba,

    Klungkung; dan Proses Penurunan Penumpang dari Kusamba ke Nusa

    Penida

    (Gambar pertama: Sapi Bali diangkut manual ke jukung oleh “ojek orang”;

    gambar kedua: proses penurunan penumpang dari jukung ke Nusa Penida

    menggunakan jasa “ojek”).

    (Sumber: Yulianto, 2009)

  • 55

    Gambar 4. Pasar Mentigi dan Jalan Utama Pelabuhan Mentigi Nusa Penida

    (gambar pertama: Pasar Mentigi; gambar kedua: jalan utama di Pelabuhan

    Mentigi).

    (Sumber: Yulianto, 2009)

    Arus keluar-masuk barang dari dan ke Nusa Penida tidak bersifat

    stabil. Sewaktu-waktu bisa terhenti bila cuaca atau keadaan alam tidak

    mendukung, seperti angin barat, gelombang tinggi, dan hujan. Akibatnya

    roda perekonomian bisa terhenti atau tersendat, karena secara ekonomi

    sangat tergantung dari interaksi ekonomi daerah tetangga. Hal ini

    menyebabkan wabah kelaparan bisa terjadi kapan saja dalam setiap

    periode. Faktor alam memungkinkan gagal panen potensial terjadi, curah

    hujan yang sedikit dan pasokan air yang kurang. Wabah kelaparan menjadi

    semakin memprihatinkan jika daerah tetangga yang menjadi pemasok

    beras turut mengalami gagal panen. Dalam keadaan normal pun, beras

  • 56

    termasuk barang mahal karena tanahnya tidak dapat menghasilkan padi

    untuk kebutuhan domestik pulau ini dan harus impor dari daerah tetangga.

    Kasus resesi global tahun 1930-an dan meletusnya Gunung Agung (1963)

    dapat menjadi contoh kasus, bagaimana penduduk mengalami wabah

    kelaparan karena daerah tetangga mengalami gagal panen dan harus impor

    beras dari daerah tetangga, seperti Jawa. Keadaan ini menimbulkan

    inisiatif dan tekad yang kuat untuk bermigrasi timbul, baik dengan bantuan

    pemerintah (kolonial dan republik), atau pun secara mandiri yang lebih

    dominan92

    . Kondisi alam Nusa Penida yang tidak menguntungkan ini

    menyebabkan masyarakat Bali di Nusa Penida lebih akrab dengan proses

    migrasi daripada masyarakat Bali pada umumnya93

    .

    Sejarah Migrasi Bali Nusa

    Bali Nusa memiliki proses sejarah migrasi yang panjang. Pertama,

    pada masa pra-kolonial (zaman kerajaan), di mana orang Bali yang

    bermasalah dengan pihak kerajaan (penguasa) dibuang atau diasingkan ke

    Pulau Nusa Penida. Orang Bali yang diasingkan ini menjadi salah satu

    cikal bakal Bali Nusa, selain penduduk asli yang sebelumnya sudah ada di

    pulau itu (Bali Aga). Mereka sudah menjadi Bali Nusa ketika sudah

    menetap dan berkeluarga di Nusa Penida. Identitas tempat asal pun hilang,

    termasuk kedudukan dan status sosialnya yang tinggi sewaktu di Bali.

    Kedua, pasa masa Pemerintahan Kolonial Belanda, tepatnya pada tahun

    1935, ketika mereka dipindahkan ke Jembarana – daerah di Bali Utara

    92

    Migrasi pertama terjadi pada tahun 1935 di bawah pemerintah kolonial, masih

    dalam wilayah Bali. Mereka dipindahkan ke Jembarana yang wilayahnya sebagian

    besar masih kosong (tingkat huniannya jarang). Migrasi kedua – transmigrasi –

    secara masif terjadi saat momentum meletusnya Gunung Agung (1963). Migrasi

    kedua ini umumnya dilakukan atas inisiatif dan biaya sendiri (transmigrasi

    swakarsa). 93

    Daerah tujuan migrasi lokal masyarakat Bali Nusa atas inisiatifnya sendiri

    biasanya di daerah Klungkung. Mereka biasanya bekerja sebagai petani penggarap

    atau sebagai buruh kasar. Bagi yang kondisi perekonomian keluarganya

    mendukung, migrasi ke Klungkung biasanya untuk bersekolah. Lihat: Wirawan,

    A. A. Bagus. (2008), Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di Sumbawa, 1952-

    1997, Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III, No.6 Desember

    2008.

  • 57

    yang tingkat huniannya jarang – karena tingkat hunian penduduk di Nusa

    Penida yang padat, kondisi alam yang tidak menguntungkan yang

    menyebabkan gagal panen dan wabah kelaparan, dan ketergantungan

    wilayah ini akan kebutuhan pokok dari daerah tetangga. Ketiga, pada masa

    Pemerintahan Republik Indonesia (Orde Lama) – yang melanjutkan proses

    transmigrasi dari pemerintahan kolonial, kemudian dilanjutkan kembali

    oleh pemerintahan Orde Baru. Momen penting dari proses transmigrasi di

    masa ini adalah terjadinya bencana alam – meletusnya Gunung Agung

    tahun 1963 – yang disertai oleh krisis ekonomi karena inflasi yang tinggi

    (hyperinflation), serta efek domino letusan Gunung Agung, seperti gagal

    panen dan wabah kelaparan.

    Migrasi Terpaksa Orang Bali ke Pulau Nusa Penida Pra-

    Kolonial

    Pada masa pra-kolonial Pulau Nusa Penida dikenal sebagai tempat

    pembuangan94

    . Hukuman pembuangan atau pengasingan di masa itu

    termasuk jenis hukuman yang ringan bagi para lawan politik kekuasan

    94

    Salah satu bukti bahwa Nusa Penida dijadikan sebagai tempat pembuangan bagi

    kelangan kerajaan adalah pada masa kepemimpinan Gusti Agung Ngurah Made

    Agung Putra atau biasa disebut Agung Putra. Dia adalah seorang Raja Mengwi,

    1829-1836, anak kedua Gusti Ngurah Made. Pada masa kepempinan Agung Putra,

    sepupunya yang bernama Agung Mayun diasingkan ke Pulau Nusa Penida dengan

    didampingi kemenakannya bernama Agung Mayun Merta. Selama pengasingan

    Agung Mayun berada di bawah pengawasan Kerajaan Klungkung. Konon, selama

    pengasingan di Nusa Penida menjadi momen penting bagi kematangan Agung

    Mayun, dia dianugerahi kekuatan untuk melindungi diri terhadap roh jahat. Kelak

    Agung Mayun – sebutan lainnya adalah Gusti Agung Nyoman Munggu, dan

    Cokorda Agung Gede Mayun menjelang akhir hidupnya – menjadi pemimpin

    Dinasti Mengwi (Lihat: Schulte Nordholt, Henk. (2009), The Spell of Power:

    Sejarah Politik Bali 1650-1940, Denpasar: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta).

    Sebagai catatan, pengasingan yang tercatat di dalam sejarah atau babad adalah

    orang-orang penting yang berasal dari kalangan puri, di mana posisi pentingnya di

    kerajaan. Berbeda dengan kalangan jaba yang “mungkin” tidak tercatat secara

    jelas berapa jumlah dan kapan diasingkan, karena kedudukan atau pengaruhnya

    tidak signifikan pada masa kekuasaan yang mengasingkan mereka.

  • 58

    puri, pelanggar adat, dan praktisi ilmu hitam95

    . Bila kategori kesalahannya

    tergolong berat atau tidak termaafkan, maka para pelanggar dihukum mati

    oleh pihak kerajaan. Di masa itu, diperkirakan hanya ada dua jenis

    hukuman bagi mereka, yang terberat dihukum mati, dan yang teringan

    dibuang ke Nusa Penida. Dilihat dari hukumannya, bukan tidak mungkin

    para terhukum tersebut adalah orang-orang yang memiliki kedudukan dan

    status sosial di dalam masyarakat dan kekuasaan kerajaan. Posisinya yang

    mengancam kekuasaan kerajaan secara politik menyebabkan mereka

    diasingkan atau dibuang ke Pulau Nusa Penida.

    Pengasingan atau pembuangan orang-orang terhukum ini – dari

    Bali ke Nusa Penida – merupakan sebuah proses migrasi yang dilakukan

    secara terpaksa. Intervensi kekuasaan terhadap orang-orang terhukum ini

    memaksa mereka untuk dipindahkan atau diasingkan secara politik.

    95

    Berdasarkan pengamatan penulis ketika melakukan perjalanan ke Nusa Penida

    (2009), ada beberapa faktor teknis yang menyebabkan pulau ini pantas dijadikan

    tempat pembuangan bagi pihak kerajaan, yaitu faktor akses (transportasi) dan

    faktor alam Nusa Penida. Di masa sekarang, dibutuhkan waktu kurang lebih satu

    jam perjalanan dari daerah Klungkung (Kusamba dan Padang Bai) menggunakan

    perahu bermotor tempel atau kapal roro dengan asumsi cuaca dan gelombang (dan

    arus bawah laut di Nusa Penida) layak untuk melakukan perjalanan laut, atau

    kurang lebih dua jam perjalanan dari Pantai Sanur menggunakan perahu bermotor

    tempel. Dapat diperkirakan bagaimana sulitnya akses atau transportasi ke Nusa

    Penida pada masa kerajaan. Ketika transportasi laut masih (teknologi) tradisional,

    menggunakan angin dan dayung, cuaca, gelombang laut, dan arus bawah laut di

    Pulau Nusa Penida. Perjalanan pulang-pergi dari Nusa Penida-Klungkung pun

    tidak bisa dilakukan setiap saat mengingat faktor alam – saat sekarang pun

    perjalanan pulang-pergi Nusa Penida-Klungkung dapat terhambat jika cuaca tidak

    mendukung. Kedua, faktor alam Pulau Nusa Penida itu sendiri. Tanah yang kering

    dan tandus dengan cuaca yang relatif panas, serta sulit mendapatkan air

    (kekeringan) dirasakan cukup memberikan hukuman bagi orang buangan kerajaan.

    Bencana kelaparan dan gagal panen setiap waktu bisa terjadi. Beras harus dikirim

    dari Klungkung, di mana pengirimannya sangat tergantung dengan cuaca dan

    sarana transpostasi yang ada. Teknologi transportasi dan pemompaan air yang

    modern sekarang pun belum dapat mengatasi permasalahan kekeringan di Nusa

    Penida. Suplai beras masih mengandalkan dari daerah tetangga. Oleh karena itu,

    catatan sejarah mengenai gagal panen, kelaparan, dan kekeringan selalu

    mencatatnya dari masa pra-kolonial sampai pasca-kolonial. Uraian ini diperkuat

    dengan keterangan dari sesepuh dan masyarakatBali Nusa yang ada di Lampung

    (2006-2010) dan wawancara dengan beberapa masyarakat di Nusa Penida (2009).

  • 59

    Tujuannya agar mereka tidak mencemari atau mengganggu tatanan sosial

    yang ada dalam wilayah kekuasaan kerajaan. Setelah dibuang ke Nusa

    Penida, status sosial atau kedudukan penting sewaktu di Bali akan menjadi

    hilang. Posisi mereka menjadi setara dengan penduduk setempat. Ini

    menyebabkan masyarakat di Nusa Penida pada masa itu lebih egaliter.

    Selain disebabkan banyaknya orang-orang buangan – yang sebelum

    dibuang memiliki status dan kedudukan sosial tinggi – faktor jarak yang

    jauh dari pusat atau kontrol kekuasaan (pihak kerajaan atau puri) terhadap

    wilayah buangan ini menyebabkan keegaliteran tumbuh. Faktor lain yang

    tidak kalah penting adalah penduduk asli yang menempati Nusa Penida.

    Penduduk aslinya diperkirakan memiliki kemiripan dengan Bali Aga96

    , di

    mana dalam struktur masyarakatnya tidak mengenal sistem kasta seperti

    mayoritas BaliHindu di Bali yang berasal dari Kerajaan Majapahit.

    Pembuangan atau pengasingan orang Bali ke Nusa Penida

    menyebabkan identitas asalnya menjadi hilang, baik itu status sosial

    (kasta) atau pun kedudukan sosialnya. Setelah berada di Nusa Penida,

    status sosial dan identitasnya mengikuti penduduk setempat, yaitu dengan

    menjadi orang Bali Nusa, orang Bali yang berasal dari Nusa Penida.

    Perubahan identitas terjadi pada pengidentifikasikan tempat asal, yang

    sebelumnya dari (Pulau) Bali, kini menjadi (Pulau) Nusa Penida. Namun,

    identitas etniknya sebagai orang Bali dan sebagai (pemeluk) Hindu Bali

    tetap dipertahankan, karena Nusa Penida merupakan bagian dari Bali dan

    penduduk setempat pun adalah orang Bali-Hindu. Oleh karena itu,

    meskipun pada masa kerajaan mereka bisa melakukan perjalanan ke luar

    Nusa Penida (menjadi buruh tani di wilayah kerajaan Klungkung atau

    melakukan transaksi perdagangan, khususnya beras), identitas asal yang

    telah hilang sebelumnya akibat diasingkan, mau-tidak-mau dalam

    interaksinya di luar komunitas Nusa Penida, mereka akan

    mengidentifikasikan dirinya sebagai Bali-Nusa. Pengidentifikasikan diri

    sebagai Bali-Nusa dinilai lebih baik ketika mereka berinteraksi di luar

    Nusa Penida, daripada memaksakan diri mengidentifikasikan diri dengan

    daerah asalnya sebelum diasingkan, karena akan mengentarakan sejarah

    96

    Lihat: Hobart, A., Ramseyer, U., & Leeman, A., (1996), The Peoples of Bali

    (Oxford: Blackwell).

  • 60

    pengasingan mereka ke Nusa Penida sebagai orang terhukum pihak

    kerajaan.

    Proyek Politik Etis Pemerintah Kolonial: Kolonisasi

    (Transmigrasi)

    Kekejaman politik pemerintah kolonial terhadap penduduk di

    wilayah koloninya, memuncak kurun waktu abad ke-18 dan akhir abad ke-

    19, mendapatkan kritik keras dari pihak reformis. Pemerintah Kolonial

    Hindia Belanda dianggap tidak berterimakasih terhadap penduduk wilayah

    koloni dengan menerapkan sistem kerja paksa (cultuurstelsel97

    ) untuk

    mengatasi kebangkrutan ekonomi akibat pendudukan Perancis (di bawah

    kekuasaan Napoleon) atas Kerajaan Belanda98

    , dan menutup defisit

    keuangan Hindia99

    – yang salah satu penyebab utamanya adalah perang

    berkepanjangan sebagai akibat dari ketidakadilan dan ketidakpuasan

    masyarakat atas kebijakan pemerintah: Perang Padri di Sumatera Barat

    97

    Cultuurstelsel” (dalam Bahasa Belanda) dapat diartikan “sistem pertanian yang

    dikontrol pemerintah”, sedangkan dalam Bahasa Inggris “cultivation System”

    (Sistem Pembudidayaan). Pulau Jawa merupakan titik berat pelaksanaan sistem

    ini. Van den Bosch tidak secara eksplisit memformulasikan kebijakannya. Intinya,

    petani Jawa harus dibimbing oleh penguasa, dan mereka harus diajar untuk

    bekerja, dan kalau tidak mau belajar, mereka harus dipaksa bekerja (Vlekke 2008).

    Caranya adalah pemerintah menuntut pembayaran sewa tanah (dua per lima hasil

    panen) atau seperlima tanah sawah (tanah garapan) untuk membudidayakan

    tananam yang ditentukan oleh pemerintah melalui Direktur Kultur (lihat: Vlekke

    2008, Ricklefs 2001, Cribb & Kahin 2004, Drakeley 2005). 98

    Perang Napoleon terhadap koalisi pertama atau “Persekutuan Eropa” (Austria,

    Prussia, Britania Raya, Spanyol, Belanda dan Kerajaan Sardinia) terjadi pada

    tahun 1793-1797. Pada masa inilah Belanda dianeksasi oleh Perancis. Kesempatan

    ini digunakan oleh Inggris untuk mencaplok wilayah koloni Belanda dan berhasil

    menguasainya (sementara) pada tahun 1811-1817. Tahun 1813, setelah Belanda

    memberontak atas dominansi Perancis, kemerdekaan Belanda dipulihkan. Dalam

    perjanjiannya dengan pihak Inggris, Belanda meminta agar wilayah koloninya

    dikembalikan. Pada tahun 1816 Belanda mulai kembali menguasai Hindia melalui

    pejabat sementara dari Belanda, sampai Inggris angkat kaki dari Hindia pada

    tahun 1917. 99

    Defisit keuangan Pemerintah Hindia Belanda terjadi pada masa kepemimpinan

    Gubernur Jenderal G. A. Baron Van der Capellen 1818-1826, yaitu dengan

    menghabiskan 24 juta gulden – lebih besar daripada pendapatan pemerintah

    (Vlekke 2008).

  • 61

    1821-1838 dan Perang Jawa 1925-1830100

    . Kebijakan ini diterapkan pasa

    masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada

    tahun 1930. Cakupan wilayah kebijakannya meliputi Jawa, Bangka dan

    Sumatera dengan mengabaikan potensi-potensi pulau-pulau lainnya

    (diantaranya Bali101

    ), karena ketiga pulau ini menghasilkan laba paling

    besar bagi pemerintah kolonial, dan kekhawatiran pengaruh Pemerintah

    Kolonial Inggris di daerah ini102

    .

    Kritik keras dari kaum liberal atas kebijakan sistem tanam paksa

    mencapai klimaksnya melalui buku karangan Eduard Douwes Dekker

    (nama samaran “Multatuli103

    ”) yang ditulis tahun 1859 dengan judul Max

    Havelaar104

    . Buku ini merupakan kritik terhadap pemerintah kolonial

    melalui karya sastra atas ketidakadilaan dan pemerasan terhadap penduduk

    pribumi (Jawa). Buku ini menjadi best seller dalam waktu singkat dan

    100

    Perang Padri di Sumatera Barat adalah perang pertama yang diusung oleh

    gerakan Islam radikal dengan paham wahabi yang dipimpin oleh Tuanku Imam

    Bonjol. Semangat pertemuran dan ideologinya kemudian diadoptasi oleh

    Diponegoro untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda, yang dikenal dengan

    Perang Jawa. 101

    Bali pada masa itu tidak dimasukkan dalam sistem tanam paksa sebagai upaya

    untuk meningkatkan laba pemerintah kolonial Belanda. Ini disebabkan, pertama,

    Bali dan Lombok masih berstatus negara merdeka. Kedua, sumberdaya alam yang

    ada di Bali tidak dapat memberikan keuntungan yang besar. Ekspor utama Bali

    waktu itu yang dominan adalah budak – para tawanan perang atau rakyat dari

    Negara atau kerajaan yang ditaklukan oleh kerajaan lain – ekspor budak Bali sejak

    abad ke-17 hingga abad ke-19 diperkirakan 2000 budak per tahun selama abad ke-

    17 (Robinson 2006, Cribb & Kahin 2004). Di samping itu, pemerintah kolonial

    berpikir dua kali untuk melakukan ekspansi ke Bali karena kegemaran rakyatnya

    untuk berperang – perang antar kerajaan, selain tidak ada sumberdaya alam yang

    potensial untuk diperdagangkan di pasar internasional (Vlekke 2008). Ketika

    Inggris mulai bersaing dengan pemerintah kolonial dalam perebutan kekuasaan

    dagang di wilayah Nusantara dan sempat menguasai Nusantara pada 1811-1817

    kepemimpinan Thomas Stamford Rafless, Inggris melalui kebijakannya mulai

    melarang atau mengilegalkan perdagangan budak yang didominasi oleh Bali di

    pasar Batavia (lihat: Cribb & Kahin 2004; Robonsin 2006). 102

    Lihat: Reid, Anthony. (2007), Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19 (terj. Masri

    Maris), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 103

    “Multatuli” diartikan “dia yang telah banyak menderita”. 104

    Lihat: Multatuli. (2008), Max Havelaar (terj.), Yogyakarta: Penerbit Narasi.

  • 62

    menarik minat pembaca non Belanda setelah diterjemahkan ke berbagai

    bahasa umum yang digunakan di Eropa. Melalui buku ini khalayak dapat

    mengetahui bagaimana politik kolonial yang diterapakan oleh Pemerintah

    Hindia Belanda terhadap pribumi. Tulisan berikutnya yang lebih menohok

    – kritik keras atas pemerintah kolonial – ditulis oleh Mr. Conrad Th. van

    Deventer dalam artikel yang berjudul “A Debt of Honors” – diterbitkan

    tahun 1899 di majalah “De Gids”. Dalam tulisannya Van Deventer

    (Vlekke 2008: 372) berargumen bahwa “Belanda telah memperoleh

    berjuta-juta dari Indonesia dengan cara tanam paksa tanaman-tanaman

    berharga dan, karena itu, pada masa ketika koloni itu sangat

    membutuhkan dana untuk menyediakan pendidikan bagi penduduk asli,

    Belanda terikat “demi kehormatan" untuk membalas budi atas dana

    berjuta-juta itu”105

    . Kedua tulisan tersebut mendapat perhatian dari Ratu

    Wilhelmina yang juga turut membacanya, dan pada tahun 1901 kebijakan

    “politik etis106

    ” mulai diberlakukan di Hindia, yang diklarasikan dengan

    pernyataan Ratu (Cribb & Kahin 2004): “As a Christian power, the

    Netherlands is obliged to carry out government policy in the Indies in the

    consciousness that the Netherlands has a moral duty to the people of these

    regions”. Pokok-pokok kebijakan ini adalah perbaikan dan pengembangan

    kesehatan (health), perluasan pendidikan (education), perluasaan fasilitas

    jaringan komunikasi, irigasi dan infrastruktur penunjangnya, dan

    transmigrasi (kolonisasi107

    ) – di mana transmigrasi dinilai dapat

    memberikan keuntungan besar bagi pemerintah kolonial untuk

    meningkatkan kapasitas produksi dengan membuka lahan baru di daerah

    transmigran, sekaligus mengurangi tingkat kepadatan penduduk,

    khususnya di Jawa, dan transfer teknik (pengetahuan) pertanian ke

    penduduk lokal.

    105

    Lihat: Cribb & Kahin (2004). 106

    “Politik Etis” dalam Bahasa Belanda “ethische politiek”, dan dalam Bahasa

    Inggris “Ethical Policy”. 107

    Kolonisasi adalah istilah “transmigrasi” yang digunakan pada masa kolonial.

    “Transmigrasi” digunakan pemerintah republik (pasca kemerdekaan) untuk

    mengganti istilah “kolonisasi” yang dinilai identik dengan Pemerintah Kolonial

    Belanda.

  • 63

    Realisasi pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera baru

    terlaksana pada tahun 1905. Tanggungjawab ini dipegang oleh seorang

    Asisten Gubernur (Residen) Sukabumi bernama H. G. Heyting sejak masa

    persiapan pada tahun 1902. Kolonisasi ini harus segera dilakukan sebagai

    bagian dari proyek politik etis. Pertanyaan mendasar yang digunakan –

    pada tahun 1902 – untuk menganalisa pentingnya pelaksanaan kolonisasi

    pasca politik etis diberlakukan adalah mengapa atau apa yang

    menyebabkan penurunan kesejahteraan penduduk di Jawa.

    Permasalahannya adalah meningkatnya jumlah penduduk di Jawa –

    termasuk Madura dan Bali. Terdapat fakta (Vlekke 2008) bahwa penduduk

    Jawa telah meningkat lima kali lipat atau lebih sejak awal abad ke-19.

    Jumlah total penduduk Jawa dan Madura naik dari lima juta pada tahun

    1815 menjadi 11 juta pada 1860, 28 juta pada 1900. Akibatnya, tanah yang

    seabad lalu digunakan untuk menghidupi satu keluarga sekarang harus

    menghidupi lima keluarga. Pada tahun 1905, ketika kolonisasi akan

    direalisasikan, jumlah penduduk Jawa diperkirakan 28,4 juta jiwa dengan

    kepadatan penduduk rata-rata sekitar 226 juta per km2, sedangkan pulau-

    pulau lainnya, jumlah penduduk tidak lebih dari 7 juta jiwa dengan

    kepadatan penduduk rata-rata sekitar 4 jiwa per km2 (Davis 1976).

    Setelah persiapan matang – anggaran dan lokasi transmigrasi di

    Sumatera – pada bulan November 1905, Asisten Gubernur Heyting

    memberangkatkan 155 KK (815 jiwa) dari Kabupaten Karanganyar,

    Kebumen, dan Purworejo (Keresidenan Kedu, Jawa Tengah) menuju

    lokasi transmigrasi di Gedong Tataan108

    , Lampung, Sumatera Bagian

    Selatan (Keresidenan Lampung)109

    . Agar identitas tempat asalnya tidak

    hilang dan kerasan (betah) di daerah transmigran, maka desa transmigran

    pertama itu diberi nama Desa Bagelan – sesuai dengan nama tempat asal.

    108

    Gedong Tataan terletak di sebelah Barat Tanjung Karang (atau sekarang

    Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung). 109

    Lihat: Hoogerwerf, E., (1997), Transmigratie en kerkvorming: Het ontstaan en

    de ontwikkeling van de Christelijke Kerk van Zuid-Sumatra (Gereja Kristen

    Sumatera Bagian Selatan – GKSBS) 1932-1987, Uitgeverij Boekencentrum,

    Zoetermeer; Davis, Gloria. (1976). Parigi: A Social History at the Balinese

    Movement to Central Sulawesi 1907-1974, Disertasi Doktor Stanford University;

    Suparno, Erman. (2008), Paradigma Baru Transmigrasi: Menuju Kemakmuran

    Rakyat, Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

  • 64

    Pola penamaan daerah transmigran menggunakan nama asal nantinya juga

    digunakan transmigran Bali ketika berada di Lampung, dengan

    menggunakan nama banjar atau nama klan (soroh, warga) untuk

    menunjukkan identitasnya.

    Pasca proyek politik etis diberlakukan, dan salah satu proyek

    utamanya kolonisasi atau transmigrasi berhasil dilaksanakan di Lampung,

    proses transmigrasi pada tahun-tahun berikutnya terus dilakukan

    pemerintah kolonial untuk penduduk di Pulau Jawa, Madura, dan Bali,

    serta daerah tujuan transmigrasi bertambah ke sebagian Pulau Kalimantan,

    Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Proyek kolonisasi ini kemudian

    diteruskan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan nama transmigrasi

    – karena keberhasilan dan keefektifannya, tidak hanya meningkatkan

    kesejahteraan dan pemerataan jumlah penduduk, tapi secara politik

    berfungsi sebagai faktor integrasi kebangsaan – pada masa pemerintahan

    Orde Lama, Orde Baru, dan pemerintahan sekarang.

    Pada masa kolonial ini penduduk Bali mulai diperkenalkan dengan

    program pemindahan penduduk (transmigrasi). Meskipun pada masa ini

    penduduk Bali belum dapat ditransmigrasikan – dipindahkan ke luar pulau

    secara masif – transmigrasi lokal yang berhasil direalisasikan pemerintah

    kolonial terhadap penduduk Bali di Nusa Penida pada tahun 1935 ke

    Jembrana, menjadi titik tolak bagi Bali Nusa dengan inisitifnya sendiri

    untuk bertransmigrasi ke luar Bali dengan daerah tujuan Pulau Sumatera,

    Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa serta Kepulauan Maluku. Transmigrasi

    lokal terhadap Bali Nusa ini memberikan pengalaman lebih bagi mereka

    untuk bertransmigrasi – pengalaman migrasi dalam konsep menyeberangi

    laut (antar pulau) – daripada penduduk Bali di pulau induk (Bali).

    Migrasi Masa Kolonial: Transmigrasi Lokal dari Nusa Penida

    ke Jembarana

    Kebijakan transmigrasi – kolonisasi – tidak dapat dilepaskan dari

    kebijakan politik etis Pemerintah Hindia Belanda. Bali adalah salah satu

    wilayah yang tingkat huniannya tinggi, selain Jawa dan Madura. Namun,

    selama pemerintahan kolonial, belum ada orang Bali yang berhasil

    dipindahkan atau ditransmigrasikan keluar wilayahnya. Proses migrasi

    yang dilakukan adalah transmigrasi lokal. Hal ini disebabkan karena

  • 65

    masyarakat Bali memiliki ikatan-ikatan sosial yang sangat kuat terhadap

    tanah kelahirannya. Ketika orang Jawa sudah berhasil ditransmigrasikan

    pada tahun 1905 ke Sumatera Bagian Selatan (Lampung) oleh pemerintah

    kolonial, orang Bali baru berhasil dipindahkan pada tahun 1935. Proses

    migrasinya pun masih dalam skala lokal. Transmigrasi lokal – dari daerah

    dengan tingkat hunian tinggi ke tingkat hunian rendah di daerah yang sama

    – ini berhasil karena mereka dalam wilayah yang secara historis dan

    kebudayaan sama, masih dalam wilayah Bali. Migrasi lokal yang terjauh –

    karena perpindahan antar pulau dalam wilayah yang sama – adalah migrasi

    Bali Nusa ke Jembrana. Mereka dimigrasikan bersama-sama dengan orang

    Bali di bagian selatan yang memiliki tingkat hunian yang tinggi.

    Peta 3. Kabupaten Jembrana

    (Sumber: website Kabupaten Jembrana, 2010)

    Ada beberapa alasan mengapa Jembrana (Bali Utara) menjadi

    wilayah bagi transmigrasi lokal pemerintah kolonial. Pertama, pada tahun

    1930-an daerah ini tingkat huniannya masih sangat jarang bila

    dibandingkan dengan wilayah Bali Selatan – termasuk Pulau Nusa Penida,

    pulau kecil yang tingkat huniannya tinggi meskipun tanahnya tidak subur.

    Tingginya jumlah penduduk di Nusa Penida diperkirakan – untuk ukuran

    sebuah pulau dengan tanah yang tidak subur – karena adanya pengasingan

  • 66

    pada masa kerajaan110

    . Dengan demikian, pertambahan penduduk terjadi

    pada kelompok pendatang dari Bali (pulau induk) dan penduduk setempat

    Nusa Penida.

    Kedua, untuk memperluas area pertanian di Bali dengan

    melakukan ekspansi ke Bali Utara. Pada masa itu, Bali Selatan merupakan

    daerah sentra pertanian karena tanahnya yang subur. Akibatnya tingkat

    huniannya di daerah ini menjadi tinggi, dan berdampak pada hasil produksi

    pertanian yang menurun. Jumlah lahan pertanian menjadi berkurang

    karena naiknya jumlah penduduk. Transmigrasi lokal ini ditujukan sebagai

    salah satu cara atau solusi akibat efek domino krisis ekonomi global –

    disertai krisis pangan akibat gagal panen di Bali – yang terjadi pada tahun

    1930-an. Resesi ekonomi global telah berdampak terhadap perekonomian

    Bali. Jika tidak dibuka lahan baru, maka krisis ekonomi dan pangan akan

    semakin buruk bagi perekonomian Bali. Realisasi program transmigrasi

    lokal ke daerah Jembrana ini tidak mudah. Orang Bali Selatan enggan

    untuk ditransmigrasikan ke sana. Alasannya karena daerah tersebut relatif

    kurang subur dibandingkan dengan Bali Selatan, dan merupakan daerah

    yang angker. Namun, karena ada alasan-alasan tertentu yang bersifat

    memaksa menyebabkan mereka mau bertransmigrasi lokal ke Jembrana.

    Keterpaksaan perpindahan orang di Bali Selatan berbeda dengan

    Bali Nusa. Salah satu keterpaksaan orang Bali Selatan untuk

    bertransmigrasi lokal lebih disebabkan faktor sosial politik yang

    berkembang di Bali Selatan, sedangkan Bali Nusa lebih disebabkan faktor

    alam – tanah yang tidak subur dan potensi wabah kelaparan secara

    periodik – dan tingginya tingkat kepadatan penduduk untuk daerah yang

    tidak subur ini dengan perkiraan di tahun 1930-an mencapai 12.000 orang

    dengan tingkat hunian 54 jiwa per kilometer persegi,111

    serta pengaruh

    resesi ekonomi global112

    .

    110

    Lihat: Putrawan (2008). 111

    Ibid. 112

    Resesi ekonomi global yang menimpa Bali secara sistematis akan

    memperparah penduduk Nusa Penida, karena ketergantungannya, khususnya pada

    bahan-bahan kebutuhan pokok seperti beras, pada daerah tetangga di pulau induk

    (Bali).

  • 67

    Orang Bali Selatan yang “terpaksa” bertransmigrasi lokal adalah

    mereka yang beragama Kristen Protestan dan Katolik113

    . Selain adanya

    tekanan secara sosial, tekanan secara politik ini diberikan oleh pemerintah

    kolonial – diperhalus dengan proyek transmigrasi lokal dengan

    memberikan tanah garapan pertanian di Jembarana – agar menjaga Bali

    tetap ajeg, tidak ada proyek kristenisasi terhadap orang-orang Bali114

    .

    Secara sosial dan politik, perpindahan sebagian dari mereka ke Jembarana

    dimaksudkan agar penyebaran agama nasrani tidak berkembang secara

    113

    Kegiatan misioner di Bali dimulai pada tahun 1864, yang diemban oleh tiga

    misionaris dari Utrecht Mission Society (UZV) setibanya di Buleleng. Orang Bali

    pertama dan satu-satunya yang berhasil dikristenkan adalah I Gusti Karangasem

    pada tahun 1873. Kemudian pada tahun 1881, J. de Vroom, satu dari tiga

    misionaris pertama yang tinggal di Bali, akhirnya dibunuh oleh I Gusti

    Karangasem. Pada periode ini pula, tahun 1870, misionaris Khatolik pertama

    datang di Bali. Izin misinya baru dikeluarkan pemerintah kolonial pada 1891.

    Dapat dikatakan, pada periode ini, sangat sedikit sekali kegiatan misioner di Bali.

    Mulai pada abad ke-20 kegiatan misonaris diizinkan di Bali dari seorang

    misionaris kebangsaan Tiongkok bernama Tsang Kam Fuk (biasa disebut Tsang

    To Hang), karena ia bertugas mengabarkan Injil untuk orang Tionghua (migran) di

    Bali. Lambat laun, Tsang To Hang melakukan pengabaran Injil kepada orang Bali,

    di mana telah melanggar kesepatan kerjanya dengan pemerintah kolonial bahwa

    hanya melakukan kegiatan misioner terhadap orang Tionghua perantauan di Bali.

    Ucapannya yang kontorversial – dan tentunya menyinggung perasaan orang Bali –

    adalah that food offerings should be given to dogs rather than presented in the

    temples and at other places for offering. Lihat: Aritonang, Jan Sihar & Steenbrink,

    Karel (edt.) (2008), A History of Christianity in Indonesia, Leiden & Boston:

    BRILL). 114

    Kegiatan misionaris dilarang melakukan kegiatan penyeberan agama nasrani

    (kristenisasi) sejak akhir abad ke 19, khususnya setelah seorang misionaris

    Belanda dibunuh oleh orang Bali pertama dan satu-satunya yang dikristenkannya

    (Robinson 2006). Penghentian kegiatan misionaris ini baru efektif (di masa

    kolonial) sejak pertengahan tahun 1930-an (Lihat: Aritonang, Jan Sihar &

    Steenbrink, Karel (edt.) 2008). Residen Bali dan Lombok, H. T. Damste

    mengungkapakan pada 28 Mei 1923 (dalam Robinson 2006, hlm. 62) menolak

    keniscayaan hancurnya budaya dan agama Bali, dan menandaskan pendapat

    yang berpihak pada “pelestarian” budaya dan agama Bali melalui intervensi aktif

    pemerintah. Dia mendukung kebijakan keagamaan yang ada, yang melarang

    kegiatan misioner di Bali, dengan alasan bahwa pengkristenan akan

    mengacaukan hubungan yang sangat halus antara keyakinan religius dan tatanan

    politik, yang sudah cukup untuk menjamin lestarinya perdamaian dan ketertiban.

  • 68

    meluas di Bali, khususnya di Bali Selatan yang tingkat huniannya tinggi

    dan keadaan ekonomi yang sulit waktu itu (keadaan ekonomi yang sulit

    dapat menjadi salah satu faktor keberhasilan kristenisasi di Bali Selatan)115

    .

    Wilayah pemukiman untuk transmigran lokal yang beragama

    Protestan dan Katolik, dan Bali Nusa dibuat terpisah, tidak menjadi satu.

    Daerah Blimbingsari untuk Bali Protestan, Palasari untuk Bali Katolik, dan

    Nusasari untuk Bali Nusa (Nusa Penida). Penduduk Nusa Penida berhasil

    dipindahkan ke Jembarana, di daeerah Mendoyo dengan disediakan tanah

    sekitar 3000 hektar, tepatnya pada bulan November 1935 dengan

    berjumlah kira-kira 300 jiwa.

    Dengan demikian, proyek transmigrasi lokal pemerintah kolonial

    bisa mengatasi beberapa persoalan sekaligus, yaitu krisis ekonomi dan

    menyempitnya lahan pertanian di Bali Selatan, pemerataan jumlah

    penduduk, meningkatkan taraf hidup dan ekonomi khususnya di Bali

    Selatan dan Nusa Penida, serta permasalahan sosial-politik yang

    disebabkan hadirnya agama baru (nasrani).

    Migrasi Pasca Kolonial: Bertransmigrasi ke Sumatera

    Realisasi perpindahan orang Bali ke pulau lain – transmigrasi –

    secara masif terjadi pada tahun 1953. Transmigrasi ini berlangsung pada

    masa pemerintahan Orde Lama. Mereka yang bertransmigrasi pada tahun

    tersebut berasal dari wilayah Jembrana, di mana umumnya adalah para

    keluarga transmigran lokal di masa pemerintah kolonial tahun 1935.

    Daerah tujuan transmigrasi mereka adalah daerah Belitang, Sumatera

    Bagian Selatan. Perpindahan ini menjadi titik tolak bagi mereka yang

    berasal dari Jembrana untuk bertransmigrasi ke Pulau lainnya selain

    Sumatera pada tahun-tahun berikutnya, seperti Kalimantan Selatan,

    Sumbawa, Sulawesi Tengah, dan Seram. Hal ini disebabkan tingkat hunian

    di wilayah Jembrana sudah meningkat, dan tanah garapan yang ada sudah

    115

    Pada kasus di Mengwi, ada rumor yang mengatakan bahwa kelompok

    masyarakatnya berasal dari kasta rendah yang miskin dan buta huruf, yang mau

    melepaskan diri dari kewajiban dalam sosial dan keagamaan yang banyak dan

    mahal, dan kewajiban untuk bekerja sukarela (tanpa bayaran / ngayah ) untuk

    pembangunan dan perbaikan pura (lihat: Aritonang, Jan Sihar & Steenbrink, Karel

    (edt.) 2008).

  • 69

    tidak dapat memenuhi taraf kehidupan mereka, yaitu selama delapan belas

    tahun sejak transmigrasi lokal di masa pemerintah kolonial tahun 1935.

    Diperkirakan meningkatnya jumlah penduduk di lokasi transmigrasi lokal

    ini dalam kurun waktu delapan belas tahun disebabkan migrasi swakarsa –

    dalam jumlah yang tidak besar, dari kerabat dan saudara di tempat asal di

    Bali bagian Selatan dan Nusa Penida – yang bermigrasi atas inisiatif dan

    biaya sendiri tanpa adanya sponsor dari pemerintah, baik pemerintah

    kolonial maupun pemerintah republik.

    Penduduk di Desa Nusa Sari, Jembarana, adalah salah satu dari

    kelompok transmigran lokal yang bertransmigrasi ke Belitang, Sumatera

    Bagian Selatan mulai tahun 1953. Ini merupakan transmigrasi pertama

    bagi Bali Nusa ke luar wilayah Bali. Sebelumnya pada tahun 1935 (masa

    kolonial) mereka sudah bermigrasi dari Pulau Nusa Penida ke Jembrana,

    Bali. Tidak seperti orang Bali lainnya yang berasal dari Pulau Bali, orang

    Bali Nusa secara psikologis tidak terbeban untuk bertransmigrasi ke pulau

    lain di luar Pulau Bali. Saat bertransmigrasi lokal mereka sudah berpindah

    pulau, dari Pulau Nusa Penida ke pulau induk, Bali. Pada saat-saat tertentu

    pun mereka kerap ke Pulau Bali dari Nusa Penida untuk bertransaksi

    ekonomi, bekerja sebagai petani penggarap, atau pun bersekolah. Para

    tetua Bali Nusa yang ada di Lampung mengatakan bahwa jika orang Bali –

    yang berasal dari Pulau Bali – bertransmigrasi ke luar pulau (Sumatera)

    menyeberangi dua laut, maka orang Bali Nusa sudah menyeberangi tiga

    laut116

    . Mereka mempunyai pengalaman menyeberangi satu laut, yaitu dari

    Nusa Penida ke Bali (Selat Badung). Melalui pengalaman tersebut, mereka

    tidak ragu lagi ketika bertransmigrasi ke luar pulau.

    116

    Hasil wawancara penelitian 2006-2010.

  • 70

    Peta 4. Peta Komprehensif Nusa Penida, Bali, Jawa dan Sumatera Bagian

    Selatan

    (Sumber: Microsoft Encarta, 2009)

    Pada tahun ini, 1953, untuk pertama kalinya orang Bali (dan Bali

    Nusa) bertransmigrasi ke luar Bali (Belitang, Sumatera Bagian Selatan)

    dengan sponsor dari pemerintah bersama orang Bali lainnya yang ada di

    Jembrana – jumlahnya diperkirakan 154 KK (Davis 1976). Sumber lain

    menyebutkan jumlah migran Bali yang bertransmigrasi ke Belitang

    diperkirakan 140 KK atau sekitar 652 jiwa117

    . Perinciannya, rombongan

    pertama dari swapraja Jembarana di Desa Pulukan Tetelan sebanyak 50

    KK atau 221 jiwa. Rombongan kedua, dari Desa Pulukan dan Nusasari

    sebanyak 50 KK atau 251 jiwa, berangkat tanggal 14 Agustus 1951.

    Rombongan ketiga, dari Desa Nusasari dan Melaya 40 KK atau 180 jiwa

    berangkat tanggal 9 Oktober 1953. Total ketiga rombongan tersebut 140

    KK atau 652 jiwa. Kemudian tahun berikutnya, 1954, Bali Nusa dari Desa

    Nusasari diberangkatkan kembali untuk kedua kalinya ke Belitang,

    Sumatera Selatan, sebanyak 40 KK atau sekitar 250 jiwa.

    Sampai akhir tahun 1952 belum ada orang Bali yang

    ditransmigrasikan ke luar daerah (pulau). Penyebabnya adalah belum

    tersedianya anggaran bagi transmigran asal Bali yang mengakibatkan

    Daerah Bali belum tercantum dalam rencana pemindahan penduduk dari

    117

    Sarimin, Memorie Penjerahan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Nusa

    Tenggara Jilid II, 1957, pp. 9-10 (dalam Putrawan 2008).

  • 71

    jawatan (departemen) transmigrasi. Di masa ini, mereka tidak ragu lagi

    untuk bertransmigrasi ke luar Bali118

    . Hal ini terlihat dari usaha mereka

    untuk mendapatkan sponsor dari pemerintah agar ditransmigrasikan atau

    dipindahkan ke luar daerah, yang baru terealisasikan pada tahun 1953119

    .

    Upaya untuk mencari daerah lain – dengan ketersediaan tanah yang luas

    dan cocok untuk pertanian – dilakukan atas usaha dan inisiatif sendiri,

    seperti mencari informasi tentang daerah tujuan transmigrasi dari orang

    Bali yang pernah ke daerah tersebut, maupun dari kantor transmigrasi di

    Melaya, Jembrana, sambil mengajukan permohonan transmigrasi untuk

    mendapatkan sponsor.

    Pada tahun-tahun berikutnya, pasca realisasi transmigran Bali

    pertama tahun 1953, jumlah transmigran Bali terus meningkat. Daerah

    tujuan transmigrasi sudah tidak terpaku pada wilayah Pulau Sumatera, tapi

    sudah ke pulau-pulau lainnya yang penduduknya masih jarang, seperti di

    Pulau Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Kepulauan Maluku. Pasca

    tahun 1953 dan 1954, Bali Nusa yang pindah ke Sumatera didominasi oleh

    transmigran spontan atau swakarsa. Jumlah mereka diperkirakan lebih

    besar daripada transmigran resmi sponsor pemerintah – serta tidak tercatat

    besaran jumlahnya di kantor transmigrasi – dan dalam beberapa kasus,

    seperti di Sulawesi Selatan dan Sumatera, mereka lebih berhasil daripada

    transmigran dengan sponsor pemerintah. Selain faktor sulitnya

    mendapatkan sponsor dari pemerintah – harus mengantri dan kepastian

    yang mengambang – faktor internal komunitas Bali Nusa menjadi

    pendukung utama, yaitu ketertarikan meningkatkan kesejahteraan di

    Sumatera karena adanya ajakan dari kerabat dan saudara yang telah dahulu

    bertransmigrasi di Sumatera. Sudah terbentuknya komunitas Bali di daerah

    transmigrasi, secara psikologis mempertipis keraguan mereka untuk

    bertransmigrasi ke Sumatera. Artinya, faktor keterikatan sosial yang

    selama ini membatasi mereka untuk bermigrasi sudah teratasi setelah ada

    komunitas mereka yang bertahan dan berhasil di Sumatera, yaitu sarana

    dan prasarana komunitas dan agama telah terbentuk meskipun dalam

    118

    Ibid. 119

    Lihat: Davis (1976) dan Putrawan (2008).

  • 72

    bentuk yang sederhana dan dibangun secara kolektif, seperti banjar dan

    pura120

    .

    Pada periode Pemerintahan Orde Lama, sebelum kudeta berdarah

    tahun 1965 yang membidani lahirnya Orde Baru, ada dua momen penting

    bertransmigrasinya Bali Nusa ke Sumatera, yaitu tahun 1953 dan 1963.

    Tahun 1953 untuk pertama kalinya Bali Nusa di Jembrana diikutsertakan

    dalam program transmigrasi pemerintah. Tepat sepuluh tahun berikutnya,

    Gunung Agung meletus sebanyak dua kali – 17 Maret dan 16 Mei 1963 –

    yang diperparah dengan gagal panen dan kelaparan karena rusaknya

    sebagian besar sawah akibatan letusan Gunung Agung dan krisis ekonomi

    nasional yang menyebabkan hyperinflations. Peristiwa meletusnya Gunung

    Agung merupakan momen penting bagi Bali Nusa – yang ada di Nusa

    Penida – untuk bertransmigrasi ke Lampung, Sumatera Bagian Selatan.

    Pada saat itu mereka sudah mantap untuk bertransmigrasi, selain faktor

    alam dan ekonomi-politik waktu itu tidak memungkinkan, yang tidak kalah

    pentingnya adalah sudah adanya kerabat atau komuntias Bali Nusa di

    Sumatera. Setelah transmigrasi pertama tahun 1953, transmigrasi tahun

    1963 menjadi momen penting bagi Bali Nusa untuk bertransmigrasi

    swakarsa di tahun-tahun berikutnya pasca 1963. Sudah tidak ada yang

    perlu diragukan lagi karena transmigran Bali Nusa sudah tersebar di

    berbagai daerah transmigrasi di Indonesia. Namun, catatan yang harus

    diperhatikan adalah kondisi ekonomi, sosial dan politik Bali tahun 1962-

    1963. Meletusnya Gunung Agung tahun 1963 merupakan momen penting

    bagi orang Bali secara umum untuk bertransmigrasi, tapi di tahun-tahun

    sebelumnya kondisi ekonomi, sosial dan politik Bali sangat

    memprihatinkan. Dengan kata lain, meletusnya Gunung Agung adalah

    klimaks bagi mereka untuk bertransmigrasi, dan menjadi acuan bagi calon

    transmigran lainnya pasca 1963. Tahun 1962 hiperinflasi menerpa ke

    berbagai kebutuhan pokok, khususnya beras yang kenaikannya mencapai

    120

    Faktor sosio-kultural ini juga mempengaruhi perpindahan orang Bali ke

    Sumbawa pasca perpindahan orang Bali pertama ke pulau ini, yaitu telah adanya

    komunitas Bali di Sumbawa dan pranata-pranata adat dan agamanya. Lihat:

    Wirawan, A. A. Bagus. (2008), Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di

    Sumbawa, 1952-1997, Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III,

    No.6 Desember 2008.

  • 73

    sepuluh kali lipat dalam kurun waktu 1950-1964. Kekeringan, wabah tikus,

    serangan hama dan gagal panen sudah terjadi di Bali, sebelum Gunung

    Agung meletus, puncaknya antara 1962 dan 1963 yang telah terjadi pada

    sekitar tahun 1957 saat paceklik dan gagal panen kembali menerpa Bali.

    Belum lagi dampak yang diakibatkan letusan Gunung Agung: merenggut

    kira-kira 1500 nyawa, 62.000 hektar lahan produktif rusak parah, lebih dari

    10. 000 orang menderita kekurangan gizi parah, dan 75.000 orang eksodus

    ke distrik-distrik tetangga121

    . Wilayah Karangasem, Klungkung, Bangli

    dan Giayar adalah wilayah yang paling parah dari akibat letusan Gunung

    Agung (Robinson 2006).

    Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa perekonomian

    penduduk Nusa Penida sangat tergantung pada daerah tetangga di pulau

    induk, khususnya bahan kebutuhan pokok beras, karena kondisi alam di

    Nusa Penida tidak memungkinkan memproduksi beras untuk kebutuhan

    domestiknya. Dalam keadaan normal pun, secara periodik karena kondisi

    alamnya, Nusa Penida berpotensi terserang kelaparan dan gizi buruk. Sejak

    tahun 1950-an sampai 1960-an, secara umum Bali mengandalkan pasokan

    distribusi beras dari pemerintah pusat, karena gagal panen, di mana kondisi

    ekonomi nasional di masa itu sedang mengalami masa suram dan situasi

    politik yang memanas antara nasionalis pro kanan dan kiri. Jika kondisi

    penduduk pulau induk (Bali) memprihatinkan, maka kondisi penduduk

    Nusa Penida dapat dipastikan lebih memprihatinkan lagi. Hal ini

    diperparah dengan letusan Gunung Agung yang dampaknya menimpa

    daerah tetangga Nusa Penida (bagian timur Bali), di mana perekonomian

    Nusa Penida menggantungkan diri pada daerah tersebut, khususnya

    Klungkung. Fakta ini diperjelas dalam laporan Suara Indonesia

    (Denpasar): “Nusa Penida Kering – 30.578 Orang Terantjam Bahaja

    Kelaparan”, 2 Agustus 1963122

    .

    Faktor lain yang turut mendorong transmigrasi Bali Nusa ke

    Lampung adalah kepemilikan tanah. Di tahun 1963 sebanyak 89% dari

    seluruh kepemilikan tanah di Bali lebih kecil dari 2 hektar, dan lebih dari

    121

    Lihat: Booth, Windsor P. & Mathews, Samuel. (1963), “Disaster in Paradise”,

    National Geographic, September 1963, hlm. 436-458.dan Robinson (2006). 122

    Lihat: Robinson (2006) dalam catatan kaki No.19.

  • 74

    separuh di bawah 0,5 hektar123

    . Lebih spesifik di Kabupaten Klungkung

    (mencakup Nusa Penida), kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar sekitar

    66%, lebih dari 2 hektar 4 %, dengan rata-rata kepemilikan tanah 0,78

    hektar. Permasalahannya adalah dengan rata-rata kepemilikan tanah 0,78

    hektar untuk di daerah Nusa Penida tidak dapat memberikan hasil

    maksimal seperti di daratan Klungkung di pulau induk – tanahnya gersang

    berbatu kapur dan sumber air terbatas. Jika bertransmigrasi ke Lampung,

    tanah minimal seluas 2 hektar bisa mereka dapatkan sebagai modal, dan

    dengan tanah yang relatif mudah untuk digarap dan subur, serta sumber air

    yang cukup.

    Transmigrasi Bali Nusa di tahun 1963 merupakan transmigrasi

    pertama bagi Bali Nusa yang masih berada di Nusa Penida ke Lampung.

    Ini bukan berarti mereka tidak mempunyai informasi mengenai lokasi

    transmigrasi di Lampung. Transmigran lokal Bali Nusa di Jembrana adalah

    sumber informasi bagi Bali Nusa di Nusa Penida. Selepas perpindahan

    mereka ke Jembrana tahun 1935, transmigran Bali Nusa tidak kehilangan

    identitasnya. Mereka tetap secara rutin mengunjungi Nusa Penida untuk

    melaksanakan kewajiban adat dan agamanya di tempat asal. Selama masa

    1935 – 1953 sebelum mereka diberangkatkan ke Sumatera, jalinan

    informasi tetap terbina karena adanya ikatan sosial tersebut. Meningkatnya

    tingkat hunian Bali Nusa di Jembrana diperkirakan karena adanya jalinan

    informasi dari transmigran lokal Bali Nusa yang secara rutin mengunjungi

    Nusa Penida. Kerabat dan keluarga yang berminat untuk mengikuti

    kesuksesan mereka di Jembrana lambat laun akan ikut bertransmigrasi

    secara swakarsa ke Jembrana. Begitu juga setelah kepindahan Bali Nusa ke

    Belitang, Sumatera Selatan, informasi tersebut tidak terputus, karena

    jaringan informasi yang terbentuk bertambah menjadi Belitang (Sumatera

    Selatan)–Jembrana–Nusa Penida. Informasi mengenai lahan transmigrasi

    di Lampung akan mudah didapatkan waktu itu karena Lampung masih

    bagian dari Sumatera Selatan. Meskipun Bali Nusa dari Jembrana telah

    bertransmigrasi ke Sumatera, hubungannya dengan Nusa Penida sebagai

    123

    Berdasarkan “Kepemilikan tanah di Bali, 1963, berdasarkan jumlah hektar”

    (dalam Robinson 2006), sumber: Provinsi Bali, Kantor Sensus dan Statistik,

    Himpunan Hasil2 Sensus dan Survey 1961-1967 (Singaraja, 1968).

  • 75

    tanah kelahiran dan tanah leluhur tidak terlepaskan. Otomatis ketika Bali

    Nusa bertransmigrasi ke Lampung, contact person kerabat mereka sesama

    Bali Nusa dari Jembrana sudah mereka kantongi, untuk membantu mereka

    selama berada di lokasi transmigrasi.

    Dalam konsep yang lebih luas, modal sosial yang terbentuk

    melalui jaringan informasi sesama Bali Nusa antara Sumatera-Jembrana-

    Nusa Penida ikut andil dalam mendorong transmigrasi Bali Nusa124

    . Dalam

    kasus transmigran Bali Nusa, jaringan migran yang membentuk modal

    sosial, merupakan bentukan dari kuatnya ikatan sosial terhadap tanah

    leluhur atau tanah kelahirannya. Oleh karena itu, (istilah) pulang kampung

    ke tanah leluhur, baik langsung maupun tidak langsung, telah menciptakan

    dan memperkuat jaringan transmigran Bali Nusa yang memudahkan

    mereka ketika akan bertransmigrasi.

    Transmigrasi Bali Nusa dari Nusa Penida ke Lampung tahun 1963

    – dan dari Jembrana pasca tahun 1963 – menjadi titik berangkat untuk

    membahas komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga di Lampung Selatan.

    Jaringan yang telah terbentuk memungkin pasca tahun 1963 Bali Nusa

    yang berasal dari Jembrana ikut bergabung dengan komunitas Bali Nusa di

    Balinuraga, bersama kerabat dan saudara di Nusa Penida. Transmigrasi

    pasca 1963 tidak dapat diidentifikasikan kepastian jumlahnya, karena

    mereka bertransmigrasi secara spontan dan swakarsa, dalam jumlah yang

    kecil dengan intensitas migrasi yang rutin. Ini tidak terlepas dari jaringan

    informasi yang telah terjalin berdasarkan ikatan sosial mereka di tanah

    leluhur. Penulis memperkirakan perpindahan pasca tahun 1963 Bali Nusa

    di Jembrana, khususnya pasca kudeta Gerakan 30 September 1965 dan

    pembunuhan massal di Bali, sedikit banyak dipengaruhi oleh kekerasan

    politik yang terjadi di Bali pada waktu itu. Meskipun tidak terdapat banyak

    bukti yang memperkuatnya, karena belum banyak ahli yang mengkajinya

    dan terbatasnya informasi dari para narasumber yang secara psikologis

    mengalami trauma, namun dari data sekunder yang terbatas dan data

    primer yang didapatkan, ada indikasi dalam kasus kecil kepindahan Bali

    124

    D. S. Massey (2001) dalam Theory of Migration sebagai yang pertama

    mengidentifikasikan jaringan migran sebagai sebuah bentuk modal sosial – yang

    turut mempengaruhi proses proses migrasi individu atau kelompok melalui

    informasi yang tersedia dalam jaringan tersebut.

  • 76

    Nusa dari Jembrana disebabkan tragedi berdarah tersebut – mayoritas

    transmigran Bali Nusa di Balinuraga berasal dari Nusa Penida dan sedikit

    dari Jembrana. Robinson (2006) menunjukkan fakta bahwa PKI (Partai

    Komunis Indonesia) dan BTI (Barisan Tani Indonesia) mendapatkan

    kesuksesan di Bali pada tahun 1963, khususnya di Jembrana, dengan

    program land reform-nya. Kepemilikan tanah yang kecil pada sebagian

    penduduk Bali menyebabkan isu land reform menaikkan pamor PKI dan

    BTI. Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, tepatnya awal

    Desember 1965 kekerasan massal terjadi125

    , Desa Nusasari di Jembrana

    yang menjadi pemukiman Bali Nusa, menjadi sasaran dari militer dengan

    meminta bantuan penduduk dari desa tetangga (Palasari dan

    Belimbingsari) untuk membantai penduduk desa itu dengan tuduhan

    diindikasikan terlibat atau aktivis PKI dan berbagai ormasnya (Organisasi

    Masyarakat) – namun, permintaan itu ditolak oleh penduduk Palasari dan

    Belimbingsari karena dalam agama mereka (nasrani) tidak mengajarkan

    atau membunuh sesamanya126

    . Salah satu informan – Bali Nusa dari

    Jembrana – menyebutkan bahwa tekanan dan kekerasan politik sangat kuat

    sekali di Jembrana, khususnya di komunitas Bali Nusa yang dituduh

    sebagai kaum komunis127

    . Salah satu cara untuk melepaskan diri dari

    tekanan politik, yang secara psikologis sangat menekan, mereka yang

    terlepas dari tuduhan tersebut memilih untuk “pindah” dari wilayah

    tersebut. Jumlahnya dapat dikatakan sedikit sekali, karena kuatnya peran

    militer berkolaborasi dengan masyarakat sekitar yang pro kanan, belum

    lagi tuduhan PKI dialamatkan secara membabi-buta untuk menyelesaikan

    sengketa atau dendam pribadi untuk menghabiskan musuhnya.

    125

    Lihat: Robinson (2006); dan Roosa, John. (2008), Dalih Pembunuhan Massal:

    Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial

    Indonesia dan Hasta Mitra. 126

    Lihat: Farram, Stevan & Webb, R.A.F. Paul. (2005), Di-PKI-kan Tragedi 1965

    dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur (terjemahan), Syarikat Indonesia. 127

    Hasil wawancara (2009 – 2010), identitas informan penulis rahasikan sebagai

    etika penelitian, dan atas permintaan nara sumber. Secara psikologis, trauma dan

    ketakutan itu masih kuat melekat dalam diri mereka, khususnya mereka yang

    secara langsung melihat bagaimana teman, tetangga atau pun saudaranya dibantai

    oleh sekelompok orang.

  • 77

    Balinuraga

    Jika paparan di atas merupakan gambaran sejarah (trans-migrasi)

    Bali Nusa yang bersifat makro dan komprehensif (dalam konteks

    memberikan gambaran masyarakat Bali di Nusa Penida), maka pada pada

    bagian ini sejarah singkat Balinuraga lebih bersifat mikro, terbatas pada

    komunitas transmigran Bali Nusa yang menjadi cikal bakal Desa

    Balinuraga, dengan batasan waktu di tahun 1963. Untuk menguraikan sub-

    bab ini penulis akan menarasikan proses bertransmigrasinya transmigran

    Bali Nusa yang menjadi pendiri Desa Balinuraga sampai terbentuknya

    desa ini.

    Dari Nusa Penida ke Lampung

    Proses transmigrasi dari Nusa Penida ke Sumatera (Lampung)

    bukan hal yang mudah, meskipun kepindahannya dilandaskan oleh tekad

    bulat. Berbeda dengan masyarakat Bali di Pulau Bali, Bali Nusa harus

    menyeberangi satu laut lebih banyak dari mereka jika mereka

    bertransmigrasi ke Sumatera. Ada tiga selat yang harus mereka lalui

    selama perjalanan, yaitu Selat Badung (selat antara Nusa Penida dan Bali),

    Selat Bali (selat antara Bali dan Jawa), dan Selat Sunda (selat antara Jawa

    dan Sumatera).

    Keterikatan yang kuat terhadap tanah kelahiran tetap tidak bisa

    dilepaskan dari transmigran Bali Nusa. Walaupun kondisi tanah tandus dan

    tidak subur, bagi transmigran Bali Nusa, pulau ini merupakan pulau yang

    terbaik dan terindah. Di pulau ini leluhur mereka berasal, dan di pulau ini

    juga ikatan sosial mereka sebagai Bali Hindu melekat dalam diri mereka.

    Ini yang menyebabkan setelah mereka cukup berhasil di Lampung sebagai

    transmigran, tradisi pulang kampung tetap mereka laksanakan sebagai

    kewajiban dan wujud ketaatnya sebagai Bali Hindu yang diejawantahkan

    melalui upacara dan ritual adat dan keagamaan. Hanya mereka yang

    mempunyai kebulatan tekad yang kuat yang sanggup mengatasi

    keterikatan sosial ini, dan bertransmirasi ke Lampung. Mereka telah

    memperhitungkan, bahwa jika mereka tetap berada di Nusa Penida dengan

    segala hambatan alam, akses ekonomi dan transportasi, maka tidak ada

    perbaikan ekonomi yang signifikan. Transmigrasi adalah solusi pertama

    dan utama untuk memperbaiki kondisi perekonomian mereka.

  • 78

    Mentransmigrasikan penduduk dari Nusa Penida ke Sumatera

    merupakan hal yang sulit. Berkunjung ke Pulau Induk, Pulau Bali, pun

    belum tentu dapat mereka lakukan secara rutin, khususnya mereka yang

    berada di daerah pegunungan dan pedalaman pulau – apalagi harus

    bertransmigrasi ke Sumatera yang harus melewati Pulau Bali dan Jawa,

    dan menyeberangi tiga laut (selat). Nama “Sumatera” dan kondisi

    pulaunya sebatas diketahui dan dikenal oleh mereka berdasarkan informasi

    dari mulut ke mulut, dari kerabat, teman atau rekan sesama Bali Nusa asal

    Jembarana yang telah bertransmigrasi ke sana ketika pulang kampung ke

    Nusa Penida. Sulit sekali untuk meyakinkan calon transmigran bahwa

    bertransmigrasi adalah solusi yang tepat untuk memperbaiki kondisi

    perekonomian mereka. Belum lagi adanya desas-desus yang mengatakan

    bahwa penduduk asli di Sumatera (Lampung) yang perilakunya kasar dan

    tidak menerima kedatangan transmigran. Ada lagi yang pesimis

    mengatakan:

    “Jika hanya mencari sesuap nasi, untuk apa pergi jauh-jauh

    menyeberang tiga laut (selat). Di sini (Nusa Penida) juga masih

    bisa diusahakan, tanpa harus ke sana (Sumatera, Lampung)”.

    Sistem patron-klien tidak dapat dilepaskan dalam masyarakat Bali.

    Patron merupakan pusat dan acuan bagi para klien untuk bersikap,

    bertindak dan beraksi. Patron yang dipercaya adalah seorang patron yang

    mempunyai kredibilitas yang handal, baik sekala maupun niskala. Seorang

    patron yang cerdas dan visioner bisa membawa perubahan bagi para klien

    setianya. Dalam kasus transmigrasi penduduk Nusa Penida ke Lampung,

    patron itu bernama Sri Mpu Suci. Sebagai seorang pemimpin sekala

    dengan kekuatan niskala-nya, Sri Mpu Suci berusaha meyakinkan para

    calon transmigran untuk bertransmigrasi ke Lampung. Inisiatif ini muncul

    berdasarkan kepedulian dan kesedihannya atas nasib yang menimpa

    masyarakat Nusa Penida yang tidak kunjung membaik, bahkan semakin

    memprihatinkan di periode 1950-an sampai 1960-an yang mencapai

    klimaks saat meletusnya Gunung Agung. Jaringan dan akses informasi

    yang dimiliki, Sri Mpu Suci akhirnya memutuskan bahwa daerah tujuan

    transmigrasi bagi calon transmigrasi Nusa Penida adalah di Sumatera,

  • 79

    Lampung. Salah satu alasan utamanya adalah di Sumatera sudah terdapat

    transmigran Bali Nusa asal Jembrana dan transmigran Bali lainnya yang

    berasal dari Pulau Bali. Dengan adanya transmigran Bali di Sumatera,

    maka (dalam pemikirannya waktu itu) berbagai kesulitan yang akan

    dihadapi di Lampung, setidaknya, sedikit dapat teratasi dengan bantuan

    transmigran Bali yang telah berada di sana. Bantuan yang diharapkan tentu

    bukan bantuan finansial karena pendahulu mereka (transmigran Bali yang

    sudah berada di Sumatera) masih sedang merintis perekonomiannya, tapi

    berupa saran dan informasi penting tentang apa dan bagaimana yang harus

    dilakukan dan tidak boleh (jangan) dilakukan ketika berada di tanah

    Sumatera.

    Bertransmigrasi ke Lampung

    Keadaan para transmigran dari Nusa Penida sebelum

    bertransmigrasi umumnya sangat memprihatinkan. Faktor alam Nusa

    Penida dan akses transportasi ke Pulau Bali menjadi salah satu penyebab

    utama. Sebagian besar buta huruf (tidak bisa baca tulis). Hal ini bisa

    dimaklumkan karena di pulau induk sendiri, Bali, jumlah sekolah dan yang

    bisa menikmati sekolah masih sedikit. Hal ini tidak dapat terlepas dari

    kebijakan kolonial terdahulu di mana hanya golongan triwangsa yang

    mendapatkan akses secara bebas untuk bersekolah. Pada masa itu, orang-

    orang tertentu yang dapat bersekolah di Nusa Penida, khususnya yang

    memiliki kemampuan ekonomi baik. Sekolah atau pendidikan yang terbaik

    dan terdekat bisa mereka dapatkan di wilayah Klungkung. Belum lagi

    tempat tinggal para transmigran yang berada di pelosok Nusa Penida, yang

    jika ingin bersekolah (sekolah dasar) – mampu secara ekonomi - berarti

    mereka harus berjalan kaki ke pesisir.

    Pertengahan tahun 1963, pasca meletusnya Gunung Agung kedua,

    Sri Mpu Suci memberangkatkan 200 KK transmigran dari Nusa Penida ke

    Sumatera, Lampung. Di dalamnya terdapat sejumlah orang-orang tua dan

    anak anak yang turut disertakan bertransmigrasi ke Lampung. Sri Mpu

    Suci bertindak sebagai pemimpin para transmigran. Mereka

    bertransmigrasi secara swakarsa atau spontan. Semua biaya dan kebutuhan

    selama perjalanan ditanggung sendiri, tidak ada sponsor dari pemerintah.

    Apa yang ada di Nusa Penida digadaikan atau dijual sebagai modal untuk

  • 80

    bertransmigrasi. Mencermati kondisi ekonomi Indonesia di tahun 1963, di

    mana hiperinflasi mulai merajalela, keadaan finansial dan uang yang

    mereka bawa sangat minim sekali atau pas-pas-an – dari hasil penjualan

    harta benda. Perkakas rumah tangga yang masih layak pakai dan peralatan

    pertanian turut dibawa, serta logistik pangan selama perjalanan.

    Sri Mpu Suci tidak sendirian dalam menjalankan tugasnya. Sri

    Mpu (sebutan Sri Mpu Suci) dibantu oleh anak laki-lakinya yang bernama

    I Made Gedah. Membawa 200 KK dari Nusa Penida ke Sumatera,

    menyeberangi tiga selat, tentu tidak dapat dilakukan seorang diri.

    Memperhatikan latar belakang para transmigran tersebut yang buta huruf

    dan sangat tradisional. Hilangnya anggota keluarga transmigran selama

    perjalanan sangat mungkin terjadi. I Made Gedah bertugas membantu

    ayahnya untuk mengkoordinasikan para transmigran dengan dibantu

    beberapa tetua atau sepuh dari keluarga transmigran yang mahir dalam

    mengkordinasikan kelompok.

    Perjalanan panjang transmigran Bali Nusa ke Lampung dimulai

    pertengahan tahun 1963 pasca letusan kedua Gunung Agung. Lokasi

    tempat tinggal transmigran yang berada di pelosok Nusa Penida, di daerah

    pegunungan sebelah selatan pulau, wilayah Desa Tonglat Dusun Soyor dan

    sekitarnya, membutuhkan waktu setidaknya satu sampai dua hari

    perjalanan untuk sampai ke pesisir untuk menyeberang ke Klungkung.

    Setelah sebelumnya Sri Mpu memastikan penyeberangan dari Mentigi

    (Nusa Penida) ke Kusamba (Klungkung). Paling tidak sudah ada orang

    yang stand by di Mentigi dan Kesumba untuk mengatur pemberangkatan.

    Perjalanan ke pesisir pantai atau pelabuhan Mentigi ditempuh dengan

    berjalan kaki. Waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama lagi karena di dalam

    rombongan terdapat orang tua dan anak kecil, serta sebagian dari mereka

    banyak membawa perkakas dapur dan alat tani sederhana (yang bisa

    dibawa tangan seperti parang dan pacul).

    Sesampainya di pelabuhan, di sekitar wilayah Mentigi sampai

    Toyapakeh, mereka harus beristirahat sejenak sambil menunggu arus dan

    angin yang baik. Para transmigran menyeberang ke Klungkung

    menggunakan atau menumpang jukung (perahu tradisional Bali). Tidak

    seperti sekarang di mana jukung dilengkapi dengan motor tempel (mesin

    perahu), pada masa itu masih mengandalkan angin. Penyeberangan baru

  • 81

    terlaksana jika cuaca baik (tidak hujan), gelombang dan arus bawah laut

    kecil, dan angin yang baik.

    Perjalanan laut menyeberangi Selat Badung selama kurang lebih

    tiga jam menggunakan jukung merupakan awal dari perjalanan panjang ke

    Sumatera yang berliku. Mabuk laut adalah tantangan awal yang harus

    dihadapi oleh sebagian transmigran. Tidak semua terbiasa menyeberangi

    laut karena mereka termasuk orang pegunungan, bukan orang pesisir yang

    akrab dengan laut, meskipun mereka tinggal di sebuah pulau kecil. Latar

    belakang profesi mereka adalah pertanian, bukan nelayan. Wajar jika

    sebagian dari transmigran mengalami mabuk laut, khususnya para orang

    tua dan anak-anak yang secara fisik lemah.

    Setelah sampai di wilayah daratan pelabuhan Klungkung,

    Kusamba, dibutuhkan istirahat beberapa waktu sambil melakukan

    koordinasi dan persiapan menuju pelabuhan Gilimanuk di Jembrana.

    Dibutuhkan waktu kurang lebih satu minggu di Pulau Bali. Mengapa

    membutuhkan waktu selama itu? Situasi di Bali pasca meletusnya Gunung

    Agung dapat dikatakan cukup parah. Banyak infrastruktur yang rusak,

    khususnya jalan. Sarana dan prasarana transportasi harus berbagi dengan

    korban bencana letusan Gunung Agung, seperti penyaluran bantuan korban

    dan pengungsian. Di sisi lain, mereka harus mengadakan koordinasi atau

    kontak dengan transmigran Bali lainnya di Denpasar. Transmigran Bali ini

    adalah transmigran Bali yang mendapat sponsor dari pemerintah. Mereka

    adalah para korban letusan Gunung Agung. Transmigran Bali ini disebut

    transmigran Bali lain yang swakarsa atau spontan sebagai Bali KoOGA.

    KoOGA adalah Komando Operasi Gunung Agung. Sebuah lembaga atau

    organisasi pemerintah yang bertugas dan bertanggungjawab menangani

    dan membantu para korban bencana letusan Gunung Agung.

    Meskipun tidak mendapatkan sponsor dari pemerintah,

    transmigran Bali Nusa memiliki keunggulan yang tidak dimiliki

    transmigran Bali KoOGA, yaitu akses informasi dari sesama Bali Nusa,

    baik yang berada di Bali atau di Sumatera. Untuk penyeberangan ke Pulau

    Jawa melalui Pelabuhan Gilimanuk, informasi dan bantuan didapatkan dari

    rekan atau kerabat sesama Bali Nusa di Jembrana. Keberangkatan menuju

    Pelabuhan Gilimanuk melalui Denpasar. Jalan raya Denpasar-Tabanan-

    Negara-Gilimanuk merupakan jalur yang ramai dan umum dilalui untuk

  • 82

    pengangkutan orang dan barang pada tahun 1950-an, yaitu ketika jalan ini

    sudah fix atau permanen. Kondisi jalan yang berliku-liku dan sempit, serta

    sarana transportasi pada masa itu, memungkinkan memakan waktu

    perjalanan sedikitnya setengah hari. Paling tidak dibutuhkan beberapa

    kelompok transmigran yang diberangkatkan menuju Jembarana.

    Mengingat keterbatasan sarana dan prasana transportasi pasca letusan

    Gunung Agung. Daerah Jembrana, Negara, merupakan daerah transmigran

    lokal Bali Nusa, menjadi tempat rehat dan persinggahan sementara bagi

    para transmigran sebelum menyeberang ke Gilimanuk. Persinggahan inilah

    yang nantinya, orang Bali Nusa