34
41 BAB III PENDAPAT MAZHAB SYAFI’I TENTANG QADHA SHALAT YANG DITINGGAL DENGAN SENGAJA A. Biografi dan Sketsa Pemikiran Pendiri Mazhab Syafi’i Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris, lahir tepat pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah (tahun 150 H) dan wafat di Mesir tahun 204 H. Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf. 1 Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya pindah ke Mekkah. 2 Dalam usia kanak-kanak, sekitar tujuh tahun, ia sudah hafal Al- Qur'an di luar kepala. Sesudah itu ia menghafal hadis-hadis Nabi. Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang sedemikian besar pada bidang ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan. Sehubungan dengan kecenderungan-nya ini, Syafi’i berkata, "Saya selalu pergi ke pelosok-pelosok desa (badawah). Saya lama hidup di tengah-tengah masyarakat Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab ... Ketika kembali ke Mekkah, saya punya feeling sastra yang dalam. 3 Ibnu Katsir dalam salah satu keterangannya menyebutkan bahwa Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah 1 Abu Zahrah, Syafi 'i, Hayatuhu, Wa Asruhu Wa Ara-uhu Wa Fiqhuhu, Mesir: Dar Fikr Arabi, 1978, hlm. 14. 2 Saidus Sahar, Asas-Asas Hukum Islam, Bandung: alumni, 1983, hlm. 65. 3 Abu Zahrah, op. cit, hlm. 18.

BAB III RODI - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...44 orang, lima orang dari Mekkah, enam orang dari Madinah, empat orang dari Yaman

Embed Size (px)

Citation preview

41

BAB III

PENDAPAT MAZHAB SYAFI’I TENTANG QADHA SHALAT

YANG DITINGGAL DENGAN SENGAJA A. Biografi dan Sketsa Pemikiran Pendiri Mazhab Syafi’i

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris, lahir

tepat pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah (tahun 150 H) dan wafat di

Mesir tahun 204 H. Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i

lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan nasabnya

bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf.1

Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa

ibunya pindah ke Mekkah.2

Dalam usia kanak-kanak, sekitar tujuh tahun, ia sudah hafal Al- Qur'an

di luar kepala. Sesudah itu ia menghafal hadis-hadis Nabi. Syafi’i juga tekun

belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang sedemikian besar pada

bidang ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan.

Sehubungan dengan kecenderungan-nya ini, Syafi’i berkata, "Saya selalu

pergi ke pelosok-pelosok desa (badawah). Saya lama hidup di tengah-tengah

masyarakat Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab ... Ketika kembali

ke Mekkah, saya punya feeling sastra yang dalam.3 Ibnu Katsir dalam salah

satu keterangannya menyebutkan bahwa Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah

1Abu Zahrah, Syafi 'i, Hayatuhu, Wa Asruhu Wa Ara-uhu Wa Fiqhuhu, Mesir: Dar Fikr

Arabi, 1978, hlm. 14. 2Saidus Sahar, Asas-Asas Hukum Islam, Bandung: alumni, 1983, hlm. 65. 3Abu Zahrah, op. cit, hlm. 18.

42

masyarakat desa Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab selama

sepuluh tahun.

Barangkali hal inilah yang menyebabkan Syafi’i ahli dalam bidang

puisi dan sastra serta mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyusun

bahasa yang indah. Bidang itu pula yang mula-mula digeluti Syafi’i ketika di

Najran, Yaman, dengan mendapat sambutan baik dari gubernurnya. Tetapi

gubernur ini jugalah yang di kemudian hari menuduhnya bersama sembilan

orang lainnya sebagai pelaku tindak subversif menentang pemerintahan

Abbasiyah dan secara diam-diam membela kelompok Alawiyyin. Sembilan

orang itu akhirnya dihukum mati, sedangkan Syafi’i sendiri mendapat

pengampunan khalifah Harun Ar-Rasyid lantaran Harun sangat mengagumi

ilmu dan kecerdasan Syafi’i dalam bertutur kata.4

Dalam masalah fiqih, mula-mula ia belajar dari Syeikh Muslim bin

Khalid al-Zinji hingga mendapat kesaksian dari Syeikhnya ini untuk

memberikan fatwa. Saat itu Syafi’i berumur lima belas tahun. "Ya, Abu

Abdullah," kata al-Zinji menyebut panggilan Syafi’i, "Sudah sampai waktumu

untuk memberi fatwa."5

Imam Syafi'i memang telah sampai pada tingkat itu, tetapi

kemauannya yang keras untuk terus menuntut ilmu membuatnya tidak

berhenti hingga di situ saja. Ilmu memang tidak berbatas dan bertebing.

Karenanya, semakin dalam menyelaminya semakin tahu akan kedalamannya,

4 Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, Jakarta: P3M,

1998., hlm. 28-9. Lihat juga Abdul Halim al-Jundi, Al-Imam Syafi’i, Mesir: Dar Ma'rifah, tth, hlm. 16-24.

5 Husain Hamid Hasan, Al-Madhkal Li Dirasat al-Fiqh al-Islam, Beirut: Dar al-fikr, tth., hlm. 193.

43

atau meminjam istilah Syafi’i "Setiap kali ilmuku bertambah, bertambah pula

kebodohanku.

Ketika mendengar kealiman Imam Malik dengan buku

monumentalnya, Muwattha di Madinah, Syafi’i membatalkan untuk menuntut

ilmu ke Yatsrib. Sebelum berangkat ke Madinah, ia meminjam Muwattha

Malik kepada salah seorang temannya di Mekkah dan menghafalnya dalam

jangka waktu sembilan hari. Imam Malik benar-benar kagum terhadap

kealiman Syafi’i dalam ilmu hadis. "Ya Muhammad, bertakwalah kepada

Allah, jauhilah segala kemaksiatan... Sesungguhnya Allah telah membersitkan

cahaya di hatimu, maka jangan padamkan cahaya itu dengan maksiat," kata

Malik, kagum. "Besok kamu datang lagi kemari dan baca apa yang kamu baca

sekarang."6

Menurut pengakuan Syafi’i, Imam Malik sangat mengagumi

kemerduan bacaan Syafi’i dan keindahan untaian bahasanya sehingga ia selalu

menyuruh, "Bacalah sekali lagi." Selain kepada Malik, ia pun belajar hadis

dari Sufyan bin 'Uyainah, Fudhail bin lyadh dan pamannya sendiri,

Muhammad bin Syafi'.

Pada diri Syafi’i terkumpul pemikiran fiqih fuqaha Mekkah, Madinah,

Irak, Syam dan Mesir. Ar-Razi, seperti dikutip Abu Zahrah, mengatakan

bahwa hampir semua ulama terkemuka yang hidup di zamannya pernah

menjadi gurunya atau, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai persoalan

dengannya. Guru-gurunya yang betul-betul ahli fiqih sekitar sembilan belas

6 Ibid.

44

orang, lima orang dari Mekkah, enam orang dari Madinah, empat orang dari

Yaman dan empat orang dari Irak.

Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dalam berbagai aliran fiqih

dan hadis dan bahkan teologi, telah membuatnya berwawasan luas dengan

pisau analisisnya yang tajam. la mengerti letak kekuatan dan kelemahan, luas

dan sempitnya pandangan masing-masing mazhab tersebut. Memang agak

sulit untuk menebak arus pemikiran Syafi’i. Selain pemikiran tradisional

Imam Malik, ia pun mempelajari dengan sungguh-sungguh fiqih ulama-ulama

Irak. la datang kepada Muhammad bin Hasan, seorang murid Imam Abu

Hanifah yang banyak menyebarkan pemikiran-pemikiran fiqihnya,

mendiskusikan berbagai persoalan dengannya. Dengan demikian, Muhammad

bin Hasan juga guru Imam Syafi’i, sekalipun tidak disebutkan oleh ar-Razi.

Ada keterangan bahwa Imam Syafi’i tidak saja mengagumi pemikiran

rasionalisme Abu Hanifah, pemikiran tradisionalisme Malik, pemikiran

reformisme Auza'ie dan Laits, tetapi juga pemikiran-pemikiran

fundamentalisme Syi'ah dan Mu'tazilah. Dalam kajian-kajian sejarah Ibnu

Katsir disebutkan, bahwa Imam Syafi’i berkata secara sangat apresiatif,

"Barangsiapa yang ingin memperdalam fiqih ia harus menjadi anak asuh Abu

Hanifah, yang ingin memperdalam sejarah harus menjadi anak asuh

Muhammad bin Ishaq, yang ingin memperdalam hadis harus menjadi anak

asuh Imam Malik, dan yang ingin memperdalam tafsir harus menjadi anak

45

asuh Muqathil bin Sulaiman.7

Muqathil bin Sulaiman yang disebutkan Syafi’i sebagai ahli di bidang

tafsir adalah pemikir Syi'ah Zaidiyah sebagaimana diteliti oleh Ibnu Nadim.

Di antara karya-karya tafsir Ibnu Sulaiman ini adalah al-Tafsir al-Kabir, al-

Qiraat, dan Mutasyabih bil Qur 'an al Jawabat bil Qur 'an. Pemikiran-

pemikiran Ibnu Sulaiman ini telah dikaji secara mendalam oleh Syafi’i

sehingga ia pun berkesimpulan bahwa Ibnu Sulaiman adalah orang yang betul-

betul alim dalam bidang tafsir.

Keterangan ini tidak dimaksudkan untuk mendukung dugaan

sementara para pengamat tentang kecenderungan Imam Syafi’i terhadap

Syi'ah Zaidiyah, atau tuduhan beberapa pejabat pemerintahan Harun al-

Rasyid bahwa ia adalah Syi'ah dan secara diam-diam membaiat orang-orang

Alawiyyin. Keterangan ini tanpa ada keraguan lagi menunjukkan kesungguhan

Imam Syafi’i dalam menimba ilmu dan pengalaman. la tidak peduli siapa yang

memiliki ilmu tadi. Bahkan ar-Razi pernah melemparkan berita kontroversial

dalam masalah ini. "Imam Syafi’i," kata Razi, "pernah juga belajar dari orang-

orang yang mendalami ilmu pengetahuanYunani." Razi meriwayatkan bahwa

ketika Imam Syafi’i diajukan ke hadapan khalifah Al-Rasyid yang saat itu

disaksikan juga oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, karena tuduhan

membangkang kebijaksanaan pemerintah dan bahkan secara diam-diam

mendukung Syi'ah. Al-Rasyid bertanya, "Bagaimana ilmu kamu tentang

kedokteran?" Saya tahu apa yang dikatakan pakar-pakar kedokteran Romawi

7 Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, jilid V, bagian ke-10, Beirut: Dar Kutub, 1985,

hlm. 263

46

dan para ahli seperti Aristoteles, Hippocrates, Galenos dengan bahasa mereka

sendiri. Saya juga tahu apa yang dikaji oleh para filosof India dan ilmuwan

Persia."

Kisah ini memang dipertanyakan kevalidannya oleh para ahli terma-

suk Ibnu Qayyim dan Abu Zahrah karena kedatangan Syafi’i ke Baghdad

diperkirakan tahun 184 H. atau sesudah meninggalnya Abu Yusuf. Tetapi

bahwa pengembaraan ilmiah Syafi’i yang sedemikian jauh itu telah

membentangkan keluasan cakrawala dan kematangan pemikirannya, tidak

seorang pun yang dapat membantahnya.

Imam Ahmad bin Hanbal mengekspresikan keluasan cakrawala

pemikiran Syafi’i dengan pernyataannya, "Nabi bersabda, bahwa Allah

mengutus untuk ummat ini setiap penghujung seratus tahun seorang yang akan

memperbaharui perkara agamanya. Umar bin Abdil Aziz berada di

penghujung seratus tahun sebagaimana saya berharap Syafi’i akan juga berada

di penghujung seratus tahun berikutnya."

Daud bin Ali al-Dhahiri juga pernah berkata, "Pada diri Syafi’i

menyatu berbagai kelebihan yang tidak dimiliki ulama lainnya. la berasal dari

keturunan terhormat, berbudi luhur, hafal Al-Qur'an, Sunnah, sejarah khulafa'

dan memiliki kecakapan berbicara dan menulis.8

Dengan bekal ini Imam Syafi’i mulai melangkah membangun

pemikiran fiqihnya secara moderat. la mempelajari secara seimbang pemikiran

fiqih yang berkembang di Hijaz dan Irak, apalagi pada zaman Syafi’i,

8 Farouk Abu Zaid, op. cit, hlm. 34

47

perbedaan antara ahli hadis (Hijaz) dan ahli ra'y (Irak) tidak terlalu runcing.

Imam Syafi’i mempergunakan metode ahli hadis dalam kehati-hatiannya

menyeleksi hadis, dan pada saat yang sama mengembangkan pemikiran ahli

ra'y dalam menggali tujuan-tujuan moral dan 'illat dibalik hukum yang tampak

(literal), misalnya, dalam bentuk penggunaan teori qiyas.

la sependapat dengan mazhab gurunya, Imam Malik, dalam

mengambil ijma' sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi

ia memberikan persyaratan-persyaratan yang cukup ketat sehingga ijma' bukan

semata-mata hasil pemikiran para ahli tanpa ketentuan-ketentuan yang pasti.

Di lain pihak, Syafi’i sepakat dengan pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal

kecenderungan menggunakan ijtihad dan rasio, tetapi ia menolak penggunaan

teori istihsan Abu Hanifah dan dianggapnya sebagai mempermainkan agama.

"Barangsiapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah membuat-buat hukum

syariat," kata Syafi’i.9

Pada suatu ketika, demikian diceritakan oleh al-Muzani, Imam Syafi’i

sedang duduk-duduk bersamanya. Tiba-tiba datang seorang Syeikh berbaju

shuf dengan tongkat di tangannya. Syeikh itu mendekat dan duduk di dekat

Syafi’i. "Apa hujjah (dalil) dalam agama Allah?" tanya orang itu.

"Kitabullah,"jawab Syafi’i.

"Lalu apa?"

"Sunnah Rasulullah."

"Lalu apa?"

9 Ibid

48

"Kesepakatan ummat."

"Dari mana kamu mendapatkan yang terakhir ini? Apakah itu ada

dalam Kitabullah?" tanya orang itu kemudian.

Imam Syafi’i tidak menjawab.

"Saya beri kamu waktu tiga hari tiga malam. Kamu harus mempunyai

alasan dari Kitabullah. Jika tidak, kamu harus menyingkir dari manusia," kata

Syeikh sembari beranjak pergi meninggalkan Syafi’i dalam keterpakuannya.

Selama tiga hari tiga malam Imam Syafi’i tidak keluar rumah. Pada

hari keempat ia keluar antara waktu Dhuhur dan Ashar. Syeikh itu pun datang

di tempat pertemuan semula.

"Mana permintaanku?"

"Baiklah," jawab Imam Syafi’i. Kemudian ia membaca Surat An-Nisa'

ayat 15, yang artinya: "Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas

baginya kebenaran, dan mengikuti jalan-jalan yang bukan jalan orang-orang

yang beriman, niscaya Kami akan hadapkan mereka kepada tujuannya dan

akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahanam." Dalam ayat ini, demikian

kata Syafi’i, Allah menegaskan bahwa bagi orang-orang yang berbuat sesuatu

yang bertentangan dengan "jalan orang-orang yang beriman" akan dimasukkan

ke dalam neraka. Dengan demikian adalah wajib hukumnya mengikuti "jalan

orang-orang beriman."

"Kamu benar," lalu Syeikh itu, pergi meninggalkannya. Fakhrur Razi

membenarkan kisah ini. Bahkan ia meriwayatkan bahwa ketika Syafi’i ditanya

tentang ayat yang menerangkan kebenaran ijma' sebagai sumber hukum dalam

49

Islam, ia membaca Al-Qur'an sebanyak 300 kali, kemudian menemukan ayat

di atas.10

Cerita ini menggambarkan sikap Syafi’i yang sangat hati-hati dalam

menyikapi hukum Islam. Kehidupan ilmiahnya bersama Imam Malik di Hijaz

selama tiga tahun, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana, membuat

Imam Syafi’i cenderung pada aliran hadis, bahkan mengaku sebagai pengikut

mazhab Maliki. Tetapi sesudah ia mengembara ke Baghdad, Irak, dan menetap

di sana untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari fiqih Abu Hanifah

dan pemikiran rasional ahli ra'y, maka mulailah ia condong pada aliran

rasionalisme. Apalagi setelah dirasakan sendiri tingkat kebudayaan di Irak

sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka ragam masalah kehidupan

berikut problematikanya yang seringkali tidak ditemukan ketentuan

jawabannya dalam Al-Qur'an dan Sunnah.11

Kedua kondisi yang berbeda ini dapat diikuti dengan cermat sehingga

melahirkan suatu sintesa pemikiran fiqih moderat antara fiqih ahli hadis dan

fiqih ahli ra'y yang benar-benar orisinil. Sebagaimana yang disimpulkan oleh

al-Dahlawi dalam bukunya Hujjatullah al-Balighah memang benar, bahwa

perkembangan Imam Syafi’i pada masa-masa awal perumusan dua mazhab

(mazhab Hanafi dan mazhab Maliki) itu telah banyak mewarnai pemikiran

fiqih mazhab Syafi’i yang moderat (tawassuth) dan cenderung pada sikap

jalan tengah.

10 Abdul Fattah, al-Ijma, Mesir: TP, 1979, hlm. 73. 11 Abu Zahrah, op. cit, hlm. 79.

50

Imam Syafi’i dalam beberapa hal, berbeda pendapat dengan Imam

Malik, dan perbedaan itu berkembang sedemikian rupa sehingga ia menulis

buku Ikhtilaf Malik (Tanggapan terhadap Malik) yang sebagian besar berisi

kritikan terhadap pemikiran fiqih gurunya itu. Ia juga terjun dalam perdebatan-

perdebatan sengit dengan pengikut mazhab Hanafi, dan banyak melontarkan

koreksi terhadapnya. Dari kritik-kritik Imam Syafi’i terhadap kedua mazhab

tersebut akhirnya ia muncul dengan mazhab baru yang merupakan sintesa

antara fiqih ahli hadis dan fiqih ahli ra'y.

Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa

sebagaimana dijelaskan di atas, fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksi

zamannya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan

zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran

dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa dia amat

dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Munculnya dua kecenderungan dalam

mazhab Syafi’i yang disebut qaul jadid dan qaul qadim (mazhab baru dan

mazhab lama) akan sangat menguatkan kesimpulan ini.

Penelitian yang mendalam tentang munculnya istilah qaul jadid dan

qaul qadim ini akan membuktikan fleksibilitas fiqih dan adanya ruang gerak

dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut para ahli

sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak, tahun 195 H.

Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-

Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih

rasional Irak.

51

Di tengah-tengah pergumulan intelektual itu, Syafi’i menulis buku al-

Hujjah (Argumentasi) yang secara komprehensif memuat sikapnya terhadap

berbagai persoalan yang berkembang. Selama dua tahun di Irak, ia telah

berhasil mempengaruhi pemikir-pemikir Irak seperti Ahmad bin Hanbal, Abu

Tsaur, al-Za'farani dan al-Karabisi, kemudian pulang kembali ke Hijaz untuk

beberapa waktu lamanya. Pada tahun 198 H, Syafi’i datang lagi ke Irak untuk

yang ketiga kalinya dan menetap selama beberapa bulan kemudian pindah ke

Mesir.12

Sedangkan mazhab jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir

yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya.

Pemikiran-pemikiran baru Syafi’i itu di antaranya dimuat dalam bukunya Al-

Umm, yang disampaikannya secara lisan kepada murid-muridnya di Mesir.

Lahirnya mazhab jadid ini, demikian kesimpulan para ahli, merupakan

dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis,

pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemui sebelumnya di Hijaz

dan Irak.13

Kajian lebih mendalam tentang hal ini akan membuktikan bahwa

lahirnya mazhab qadim dan mazhab jadid bukan merupakan tahapan dari

perkembangan "kematangan" pemikiran Syafi’i, sebagaimana didakwakan

oleh sebagian para ahli, tetapi lebih sebagai suatu refleksi dari kehidupan

sosial yang berbeda. Sebagaimana dua Imam sebelumnya, pemikiran fiqih

Imam Syafi’i dipengaruhi faktor sosial budaya di mana ia hidup.

12 Muhammad Ali Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islam, Mesir: Dar al Fikr al Arabi, 1978, hlm. 104

13 Ibid

52

Sebelum pergi ke Baghdad untuk yang pertama kalinya (tahun 184 H),

Imam Syafi’i belum merumuskan pemikiran mazhab barunya. la bahkan

mengaku sealiran dengan mazhab gurunya, Imam Malik. Saat itu ia mendapat

gelar nashir al-sunnah (penyelamat hadis) karena kegigihannya membela

pemikiran fiqih ahli hadis di Madinah. Pada tahun 184 H. untuk yang pertama

kalinya ia pergi ke Baghdad karena tuduhan mendukung kelompok Alawiyyin

dan menganut paham Syi'ah.

Selama di Baghdad ia sering terlibat perdebatan sengit dengan ulama-

ulama Irak yang cenderung pada pemikiran rasional. Ia juga berdiskusi dengan

Muhammad bin Hasan al-Syaibani dan darinya ia mempelajari fiqih Abu

Hanifah.

Rupaya kedatangannya di Irak memberikan kesan tersendiri.

Pemikiran rasionalisme, tingginya tingkat kebudayaan dan peradaban di Irak

menyadarkan Syafi’i akan perlunya sikap kritis dalam mengkaji berbagai

aliran pemikiran yang berkembang. Pemikiran rasionalisme yang berkembang

di Irak sebagai suatu tesa dan munculnya antitesa pemikiran tradisionalisme di

Madinah merupakan feed back (umpan balik) munculnya sintesa pemikiran

moderat Syafi’i, antara fiqih ahli ra'y dan fiqih ahli hadis. Sejak itulah Syafi’i

mulai mengkaji pendapat-pendapat Imam Malik secara kritis dan analitis, dan

mengoreksi pemikiran ulama-ulama Irak dengan sangat argumentatif.

Setelah beberapa lama di Irak, Syafi’i pergi ke Mekkah, dan di sana

untuk pertama kali ia membentuk semacam pengajian {halaqah) di masjid al-

Haram. Itulah awal mulanya terbentuknya mazhab Syafi’i. Karenanya, jika

53

kita melihat secara kronologis tentang pembentukan mazhab fiqih Syafi’i, kita

akan menemukan mazhab ini melewati tiga tahapan. Tahapan pertama di

Mekkah, kedua di Baghdad ketika berdiam untuk kedua kalinya, dan ketiga di

Mesir. Dari ketiga tahapan ini lahir pengikut-pengikut mazhab yang

menyebarkan pemikiran fiqih Syafi’i sesuai kecenderungan umum dari tiap-

tiap tahapan. Batasan-batasan waktu dari ketiga tahapan tadi memang belum

ada data pasti. Pengelompokan ini didasarkan pada karakteristik dan

kecenderungan umum yang menandai perbedaan antara satu tahapan dengan

tahapan lainnya.

Imam Syafi’i berada di Mekkah selama kurang lebih sembilan tahun.

Saat itu adalah masa kehidupan ilmiah yang paling kreatif dan enerjik. Saat itu

usianya kira-kira empat puluhan, dan baru saja mempelajari berbagai pendapat

dan aliran pemikiran. Kegemarannya melakukan pengembaraan ilmiah ke

berbagai daerah membuatnya bercakrawala luas, memiliki kedalaman ilmu

dan kaya pengalaman. Di Mekkah inilah ia mulai merumuskan pemikirannya,

khususnya dalam bidang fiqih, secara sungguh-sungguh dan mendalam.

Barangkali karena sifatnya yang global, pemikiran Syafi’i di Mekkah

menarik perhatian berbagai kalangan. Ahmad bin Hanbal adalah termasuk

ulama yang sangat apresiatif terhadap pemikiran global Syafi’i. la

meninggalkan pengajian gurunya, Ibnu 'Ubaidah, dan pindah ke pengajian

Imam Syafi’i di masjid al-Haram. Ketika ada orang yang menganggapnya

plin-plan dalam menentukan tempat belajar, Ahmad bin Hanbal menjawab,

"Diam kamu! Apabila kamu ketinggalan suatu hadis kamu akan

54

menemukannya di tempat lain. Itu tidak jadi persoalan. Tapi jika kamu

ketinggalan orang ini (sambil menunjuk Syafi’i) saya khawatir kamu tidak

akan mendapatkannya yang serupa sampai hari Kiamat. Saya tidak pernah

menjumpai orang yang lebih paham tentang Al-Qur'an dari orang ini."

Mungkin pemikiran fiqih global itu pula yang menyebabkan Ahmad bin

Hanbal berkesimpulan, "Fiqih adalah kunci, dan Allah telah membukanya

lewat Syafi’i."

Dapat dinyatakan bahwa tahapan pertama ini merupakan periode

perumusan metode berpikir dan kaidah-kaidah dasar, Syafi’i, terbukti belum

banyak memasuki masalah-masalah far'iyyah. Dengan kata lain, karakteristik

pemikiran fiqih Syafi’i pada tahapan ini lebih bersifat global dan perumusan

kaidah-kaidah dasar yang akan menjadi pijakannya dalam melakukan ijtihad

dan kajian-kajian fiqih. Bukunya al-Risalah yang ditulis kepada Abdur

Rahman bin Mahdi, adalah bukti sejarah yang nyata dari karakteristik

pemikiran fiqih global Syafi’i pada tahapan ini. Abdur Rahman bin Mahdi

memang pernah menyarankan agar Syafi'i menulis suatu buku yang membahas

tentang pengertian Al-Qur'an, hadis, ijma', nasikh dan mansukh. Memang ada

riwayat yang menyebutkan bahwa buku al-Risalah itu ditulis di Baghdad

ketika ia datang untuk yang kedua kalinya. Tidak perlu memperdebatkan

apakah buku al-Risalah itu ditulis di Mekkah atau Baghdad, sebab yang sudah

pasti jika benar ditulis di Baghdad buku itu merupakan hasil dari kajian-kajian

Syafi’i di masjid al-Haram.

55

Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama

tiga tahun. Kiranya pemikiran-pemikiran globalnya mendapat sambutan

positif dari ulama-ulama Irak. Al-Karabisi pernah berkata, "Saya tidak tahu

bagaimana melakukan istidlal dari Al-Qur'an, hadis dan ijma', sehingga

mendapat penjelasan dari Syafi’i."

Di Baghdad ini ia mulai memperlihatkan sikapnya terhadap pendapat-

pendapat fuqaha yang hidup di zamannya dan bahkan pendapat para sahabat

dan tabi'ien. Imam Syafi’i mempraktekkan kaidah-kaidah ushuliyahnya

terhadap berbagai pendapat yang berkembang saat itu dan menjelaskan letak

perbedaan dan alasannya, seperti perbedaannya dengan pendapat Ali bin Abi

Thalib, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit, kemudian

mengemukakan perbedaannya dengan Abu Hanifah dan Abu Laila yang

diperoleh dari keterangan Abu Yusuf.

Tanggapan Syafi’i itu disebut Ikhtilaf al-'Iraqiyyin (Sanggahan

terhadap orang-orang Irak). Kemudian ia mengoperasikan kaidah-kaidah

ushuliyahnya tadi terhadap pendapat-pendapat al-Waqidi, al-Auza'ie dan

pendapat-pendapat ulama lainnya. Dari situ Imam Syafi’i seringkali

mengemukakan "pendapat alternatifnya" di antara berbagai pendapat yang

berkembang saat itu.

Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat

pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-

masalah far’iyyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama

yang menyebabkan kematangan pemikiran fiqih Syafi’i.

56

Kemudian ia pindah ke Mesir pada tahun 199 H. hingga wafat tahun

204 H. Selama empat tahun di Mesir, ia berusaha melangkah lebih jauh dalam

suatu situasi yang berbeda. Tahun-tahun terakhir di Mesir hingga saat

wafatnya, ia gunakan untuk menulis sebagian besar buku-bukunya, bahkan

juga untuk merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya al-Risalah

yang ditulis ketika di Mekkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai

perkembangan baru yang ia temui di Mesir. Di negeri ini ia meletakkan dasar-

dasar mazhab barunya (qaul jadid).

Inilah tahapan ketiga dari pembentukan mazhab Syafi’i. Agaknya

masyarakat Mesir telah memberikan anugerah dan pengaruh yang besar ke

arah posisi "tengah" fiqih Syafi’i di antara fiqih Maliki dan fiqih Hanafi. Mesir

merupakan negeri yang kaya dengan warisan adat-istiadat, tradisi dan kaya

dengan warisan budaya, peradaban dan pemikiran seperti kebudayaan Fir'aun,

Yunani, Persia, Romawi dan Arab.14

Karakteristik yang paling menonjol dari tahapan ketiga ini terletak

pada kajian-kajian analitis Syafi’i terhadap berbagai pemikiran yang

berkembang dan bahkan terhadap pemikirannya sendiri sekalipun. Pada

tahapan ketiga ini ia meninjau ulang pemikiran-pemikirannya. Kadang-kadang

ia menguatkan pendapat barunya dan tidak jarang pula membiarkan kedua

pendapat (qaul qadim dan qaul jadid) tersebut menjadi rujukan sesuai kondisi

di mana ia akan praktekkan. Sikap ini harus dipahami dengan baik agar kita

dapat mendudukkan masalah-masalah fiqih dan pemikiran pada porsi yang

14 Abu Zahrah, Syafi'i, Hayatuhu, Wa Asruhu Wa Ara-uhu Wa Fiqhuhu, Mesir: Dar Fikr

Arabi, 1978, hlm. 145-149

57

sebenarnya. Artinya, masalah-masalah fiqih dan pemikiran bukanlah sesuatu

yang abadi (eternal), melainkan merupakan refleksi kehidupan sosial. la akan

terus berkembang dan berubah sejalan dengan perubahan masyarakat dan

zamannya.

B. Pendapat Mazhab Syafi’i tentang Qadha Shalat yang Ditinggal dengan

Sengaja

Imam Nawawi, seorang mujtahid fatwa dalam lingkungan madzhab

Syafii, menerangkan dalam kitab Syarah Muslim, bahwa seseorang yang

ketinggalan sembahyang yang fardhu wajib diqadha. Andaikata ketinggalan

itu karena udzur yang memaksa, maka qadha boleh dilambatkan, tetapi sunnat

menyegerakan. Jika ketinggalan itu tanpa uzur, umpamanya ketinggalan itu

karena disengaja, maka wajib qadha dengan segera. Membayar shalat yang

banyak tertinggal harus dibayar menurut tertib cara tinggalnya, yang dahulu

didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan, tertib ini hukumnya sunnat.

Kalau yang ditinggal itu sembahyang sunnat rawatib, yakni sembahyang

sunnat yang biasa dikerjakan sebelum dan sesudah sembahyang harus juga

diqadha.15

Adapun sembahyang sunnat yang dikerjakan karena sebab khusus,

umpamanya sembahyang kusuf matahari, sembahyang khusuf bulan,

sembahyang istisqa, maka tidaklah disyari'atkan mengqadhanya, kalau sudah

15Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, juz 5, Beirut: Daar al-

Fikr, tth, hlm. 181.

58

terlepas dari waktunya. Demikianlah hukum fiqih dalam Madzhab Syafi'i yang

bertalian dengan ketinggalan sembahyang.16

Dalil-dalil Madzhab Syafi’i itu:

Pertama

Tersebut dalam kitab hadits

م حين قفل من غزوة سارليله . عن ابى هريرة لرضي اهللا عنه اّن رسول اهللا ص

قّدرله ونام فصّلى بالل ما اآالء لناالليل : حّتى اذاادرآه الكرى عّرس وقال لبالل

حابه فلّماتقرب الفجراستندبالل الى راحلته مواجه م واص.رسول اهللا ص

م والبالل . صالفجرفغلبت بالل عيناه وهومستندالى راحلته فلم يستقظ رسول اهللا

م اّولهم .وال احدمن اصحابه حّتى ضربتهم الشمس وآان رسول اهللا ص

اخذبنفسى الذى : باللفقال! اى بالل : م فقال.استقاظاففزع رسول اهللا ص

اقتادوا فاقتادوا رواحلهم شيأ ثّم توضأ :ك قال بنفسرسول اهللا بأبى انت واّمى يا اخذ

: فلّماقضى الصالة قال . م فأمربالالفأقام الصالة فصّلى بهم الصبح .رسول اهللا ص

17 )رواه مسلم(اقم الصالة لذآرى : ذآرهافاّن اهللا قالمن نسي صالة فليصّلهااذا Artinya: "Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Nabi Muhammad Saw.

ketika kembali dari peperangan Khaibar, beliau berjalan malam hari, sampai beliau mengantuk dan lain herhenti untuk tidur. Nabi memerintahkan kepada sahabat beliau bernama Bilal (tukang adzan) supaya berjaga-jaga, jangan tidur, dikhawatirkan jangan tertidur semuanya. Nabi terus tidur dan Bilal terus sembahyang pada malam buta itu. Tetapi setelah dekat fajar. Bilal pun mengantuk pula, tidak tahan matanya, maka beliau bersandar pada kendaraannya dan lalu tertidur pulas pula. Maka Rasulullah dan sahabat-sahabat, begitu juga Bilal yang disuruh berjaga-jaga, dibangunkan oleh matahari

16 Ibid 17Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2003, hlm. 148

59

yang sudah tinggi, dan waktu subuh luputlah. Rasulullah Saw. mula-mula terbangun dan beliau sangat susah, lalu berkata kepada Bilal: Hai Bilal, bagalmana ini ? Bilal menjawab: Wah, sayapun tertidur pula ya Rasulullah, saya tak kuat menahan mata saya. Lalu Nabi memerintahkan supaya seluruh sahabatnya berangkat, naik onta semuanya. Tidak jauh dari tempat itu beliau berhenti lagi dan langsung berwudhu', memerintahkan kepada Bilal supaya qamat. Maka Nabi sembahyang Subuh bersama-sama mereka, mengqadha sembahyang yang luput. Setelah selesai mengqadha sembahyang Nabi bersabda : Barangsiapa kelupaan sembahyang, maka hendaklah la bayar (qadha) sembahyang itu kapan dia ingat, karena Tuhan berfirman: "Tegakkanlah sembahyang untuk mengingat Aku"

Dari rangkaian hadits ini dapat dipetik beberapa hukum;

1. Berjalan pada malam hari boleh, tidak apa-apa.

2. Kalau mengantuk boleh tidur, tetapi kalau fajar sudah dekat haruslah

diadakan seorang penjaga yang tidak tidur untuk membangunkan kalau

Subuh sudah datang.

3. Qadha sembahyang boleh dilambatkan sedikit, karena dalam hadits ini

Nabi setelah bangun tidak langsung sembahyang, tetapi berangkat dulu

dan setelah beberapa lama berjalan berhenti lagi untuk sembahyang. Di

dalam hadits Muslim yang lain diterangkan pula, bahwa sebabnya beliau

berangkat, tidak langsung sembahyang, karena tempat beliau tertidur itu

adalah tempat syaithan. Tetapi qadha yang boleh dilambatkan itu adalah

qadha sembahyang yang ditinggalkan tersebab udzur, yaitu tertidur,

sebagai keadaannya Nabi itu.

60

4. Mengqadha sembahyang itu boleh dilakukan di luar waktunya karena Nabi

sembahyang Subuh yang tertinggal itu seketika matahari sudah naik, sudah

di luar waktu Subuh.

5. Dalam hadits Muslim juga, bertalian dengan masalah ini juga, diterangkan,

bahwa Nabi sebelum mengqadha Subuh beliau sembahyang sunnat dua

raka'at, sebagai Qadha Sunnat Subuh. Ini berarti bahwa sembahyang

sunnat rawatib dianjurkan juga mengqadhanya kalau tertinggal.

6. Perkataan "barang siapa yang lupa" dalam hadits ini, maksudnya ialah

"barang siapa yang tertinggal sembahyangnya", bukan karena lupa betul-

betul, karena sebab hadits ini ditetapkan Nabi ialah pada ketika

sembahyang tertinggal karena tertidur, bukan karena lupa. Maka dapat

dikeluarkan hukum dari hadits ini, bahwa sekalian sembahyang yang

tertinggal wajib diqadha, yakni dibayar setelah tiba kesempatan, biar

tertinggal itu karena lupa, karena tidur, atau karena disengaja

meninggalkannya.

7. Qadha itu wajib hukumnya, karena Nabi memerintahkan di sini dengan

perkataan suruh, yaitu : "hendaklah ia sembahyang setelah ingat".

8. Sembahyang itu untuk mengingat Tuhan dan untuk jangan melupakan Dia.

Kedua.

Tersebut dalam Kitab Sahih Muslim juga:

اّمااّنه ليس فى النوم تفريط اّنماالتفريط على من لم يصّل الصالة حتى يجئ

18 )رواه مسلم( فمن فقدذالك فليصّلهاحين ينتبه لها وقت الصالة

18Ibid, hlm. 150

61

Artinya: "Ketahuilah bahwasanya dalam keadaan tertidur tidak ada sia-

sia; Yang sia-sia (yang akan dapat hukuman) ialah orang yang tidak mengerjakan sembahyang sampai datang waktu Sembahyang yang lain. Maka barang siapa yang memperbuat demikian hendaklah ia bayar ketika ia Ingat akan sembahyang itu".(HR. Muslim)

Dari hadits ini dapat dipetik hukum :

1. Sembahyang yang tertinggal karena tertidur tidaklah berdosa. Yang

berdosa ialah meninggalkan sembahyang dengan sengaja.

2. Waktu sembahyang itu selain subuh adalah panjang; Waktu Zuhur sampai

sembahyang 'Ashar, waktu 'Ashar sampai sembahyang Magrib. waktu

Magrib sampai sembahyang Isya, waktu Isya sampai sembahyang Subuh,

kecuali Subuh yang pendek waktunya, yaitu dan mulai terbit fajar shiddiq

sampai terbit matahari.

Setiap orang mesti sembahyang pada waktunya, kalau tak dapat pada

awal waktu di tengahnya atau di akhirnya. Tidak boleh sama sekali

ditinggalkan.

Ketiga.

Tersebut dalam kitab hadits:

19)رواه مسلم( من نسي صالة اونام عليهافليّصلهااذاذآرهاالآّفارة لهااّال ذالك

Artinya; "Barang siapa yang lupa sembahyang atau tertidur maka ia harus membayarkan sembahyangnya itu apabila ia ingat, ada bayaran bagi mereka selain dari itu." (H.R. Imam Muslim).

19Ibid, hlm. 151

62

Dari hadits ini dapat dipetik hukum:

1. Meninggalkan sembahyang dengan sebab tertidur atau karena lupa tidak

berdosa, karena lupa atau tidur di luar kekuasaan manusia. Tetapi tentu

asal jangan dilupa-lupakan atau ditidur-tidurkan.

2. Membayar sembahyang yang tinggal itu ialah mengqadha sembahyang itu

apabila sudah mgat atau sudah bangun.

3. Sebaliknya, kalau ia meninggalkan sembahyang dengan sengaja maka ia

mendapat hukuman dua; 1. Berdosa dan ke 2. Mengqadha.

Keempat

Tersebut dalam kitab hadits begini:

اّمي نذرت: م فقالْت.أّن امرأة من جهينة جأت الى النبّي ص عن ابن عباس

حّجى عنهاأرأيت لوآان اّمك دين : ماتت أفأحّج عنها؟ قال اْن تحّج حّتى

20 )رواه البخارى(أقضواهللا فاهللا احّق بالوفاء أآنت قاضيه Artinya: "Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata: Bahwasannya seorang

wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu ia bertanya: bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat sebelum membayarkan nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan nadzarnya itu, yakni naik haji ? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau pengganti dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus membayar utangnya itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibayar" (H.R. Imam Bukhari).

20 Ibid, hlm. 152

63

Dari dalam hadits ini dapat-diambil hukum-hukum:

1. Ibadat haji boleh dijadikan nadzar, umpamanya dinadzarkan, kalau ia

sembuh dari penyakit ia akan naik haji tahun di muka. Haji nadzar itu

menjadi haji wajib, karena nadzar itu.

2. Kalau kewajiban nadzar yang belum terbayar karena wafat boleh dibayar

oleh anaknya, dengan arti bahwa ibu yang bernadzar tidak berdosa lagi

karena meninggalkan pembayaran nadzar itu.

3. Utang kepada manusia mesti dibayar, dan utang kepada Allah yang lebih

mesti untuk dibayar.

4. Sembahyang yang ditinggalkan, dengan sebab apapun atau dengan tidak

sebab apapun wajib dibayar, karena sembahyang itu adalah utang yang

wajib dibayar oleh manusia kepada Allah

5. Barangsiapa yang berfatwa bahwa sembahyang yang ditinggalkan dengan

sengaja tidak wajib dibayar, maka ia menentang hadits ini.

6. Bukan saja utang nadzar atau utang sembahyang, sekalian utang kepada

Allah umpamanya puasa, zakat, haji dll. wajib diqadha kalau tertinggal.

7. Dalam hadits ini Nabi Muhammad Saw. memakai qiyas, memakai

perbandingan, yaitu dibandingkan oleh Nabi nadzar haji yang wajib

dibayar dengan sekalian utang kepada Tuhan yang wajib dibayar atau

diqadha.

8. Hadits ini menjadi dalil juga, bahwa qiyas itu (perbandingan) adalah salah

satu sumber hukum fiqih.

Kelima

64

Tersebut dalam kitab hadits begini:

اّن عمر ابن الخّطاب جاء يوم الخندق : قالعن جابربن عبداهللا رضي اهللا عنه

م ماآدت .رسول اهللا ص: قريش وقالمس فجعل يسّب آّفاربعد ماغربت الش

فتوضاء م واهللا ماصليتها.اصّلى العصر حّتى آادت الشمس تغرب فقال الّنبي ص

رواه (فتوضاءنا فصّلى العصربعدماغربت الشمس ثّم صّلى بعدها المغرب

21 )البخارى ومسلم

Artinya: "Jabir bin Abdillah beliau berkata: bahwasanya Sayidina Umar datang kepada Rasulullah Saw. ketika peperangan Khandaq, sesudah terbenam matahari, Saidina Umar ketika itu memaki-maki kafir Quraisy dan berkata kepada Rasulullah : Hai Rasulullah, saya hampir tidak sembahyang 'Ashar sampai matahari terbenam, maka Nabi menjawab: Demi Allah, saya juga belum sembahyang 'Ashar. (Berkata Jabir). Maka kami semuanya berangkat he Balkan maka berwudhulah Nabi dan kami berwudhu pula, lalu Nabi sembahyang 'Ashar sesudah terbenam matahari dan sesudah itu baru Nabi sembahyang magrib" (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Hadits ini diletakkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya pada 3

tempat dengan judul yang berlain-lainan, yaitu:

1. Bab menyatakan sembahyang jama'ah sesudah habis waktu (Fathul Bari,

Juz’u II, halaman 208).

2. Bab mengqadha sembahyang (Fathul Bari, Juzu' II, halaman 212).

3. Bab perang Khandak (Fathul Bari, Juz’u VIII, halaman 409).

Dalam hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan

Muslim ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. meninggalkan

21Ibid, hlm. 153.

65

sembahyang 'Ashar ketika sibuk-sibuknya peperangan. Nabi meninggalkan

sembahyang ketika itu bukan karena lupa, karena tidak mungkin lupa bagi

orang sebanyak itu, yaitu Nabi dan sahabat-sahabat, tetapi sengaja

ditinggalkan demi untuk melayani peperangan lebih dahulu.

Juga bukan karena tertidur, karena bagaimana orang bisa tertidur

dalam perang yang berkecamuk. Maka sembahyang yang ditinggalkan beliau

dan sahabat-sahabat beliau dengan sengaja itu, lantas diqadha pada waktu

Magrib dalam suatu tempat yang agak jauh dari medan pertempuran, setelah

matahari terbenam dan waktu 'Ashar tidak ada lagi. Beliau ketika itu

mengqadha sembahyang yang tinggal lebih dahulu dan, kemudian baru

sembahyang Magrib. Terang-benderang dalam hadits ini, bahwasanya

sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja wajib diqadha, sama juga

keadaannya dengan sembahyang yang ditinggalkan karena lupa atau karena

tertidur.

Hadits ini sudah cukup kuat untuk menolak fatwa orang yang

mengatakan, bahwa sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak

wajib diqadha. Dari hadits ini dapat diambil 3 pengertian, seperti yang diambil

oleh Imam Bukhari, yaitu:

1. Sembahyang yang ditinggalkan wajib diqadha, baik yang ditinggalkan

karena lupa, karena tertidur atau karena disengaja.

2. Dalam mengqadha sembahyang yang ditinggal boleh dilakukan

berjama'ah.

66

3. Untuk membayar sembahyang yang ditinggal dengan berjama'ah

disyari'atkan juga adzan.

4. Mengqadha atau meninggalkan sembahyang yang ditinggalkan dengan

sangaja wajib bersegera, dan harus didahulukan dari mengerjakan

sembahyang yang ada (tunai).

5. Dalam waktu yang sangat sulit seperti dalam peperangan yang

berkecamuk itu, boleh meninggalkan sembahyang dan tidak berdosa sesuai

dengan hukum "darurat", tetapi wajib diqadha dalam satu kesempatan

yang pertama.

Keenam.

Tersebut dalam kitab hadits begini:

م امر المجامع فى نهار رمضان.عن ابى هريرة رضي اهللا عنه اّن البي ص

22 )رواه البيهق(ان يصوم يومامع الكّفارة اى بدل اليوم اّلذى افسده بالجماع عمدا

Artinya: "Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Nabi mengatakan kepada seseorang yang menyetubuhi isterinya siang hari bulan Ramadhan, bahwa harus berpuasa satu hari (untuk Qadha) serta ia harus membayar denda, karena ia melanggar hukum yaitu merusakkan puasanya yang wajib baginya dengan bersetubuh dengan isterinya" (Hadits riwayat Imam Baihaqi).

Hadits yang serupa ini artinya terdapat juga dalam kitab hadits Abu

Daud bunyinya:

23 )رواه ابو داود(آله انت واهل بيتك وصم يوماواستغفر اهللا

22Ibid, hl. 155

67

Artinya: "Engkau dan famili engkau boleh memakan tamar denda dan puasalah satu hari penggantinya dan mintalah ampun kepada Tuhan" (H.R. Abu Daud).

Dari kedua hadits ini ternyatalah bahwa puasa yang ditinggalkan

dengan sengaja wajib diqadha, di samping harus membayar denda, memberi

makan 60 orang miskin. Kalau meninggalkan puasa dengan sengaja wajib

diqadha, scsuai dengan kedua hadits yang akhir ini, maka sembahyang yang

ditinggalkan dengan sengaja wajib juga diqadha, karena puasa dan

sembahyang sama-sama rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan.

C. Metode Istimbat Hukum Mazhab Syafi’i tentang Qadha Shalat yang

Ditinggal dengan Sengaja

Posisi "tengah" Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar mazhabnya.

Dalam buku metodologisnya, al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-

dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum-hukum

far'iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Baginya, Al-Qur'an dan

Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu-kesatuan

sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan,

istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan

menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.

Pemahaman integral Al-Qur'an-Sunnah ini merupakan karakteristik

menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. Menurut Syafi’i, kedudukan Sunnah,

dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari

23Ibid, hlm. 155..

68

Al-Qur'an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan

membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Karenanya,

Sunnah Nabi saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan

Al-Qur'an. Hal itu dapat dipahami karena Al-Qur'an dan Sunnah adalah

Kalamullah; Nabi Muhammad saw. tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua

ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah.

Hipotesis menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafi’i adalah

pernyataannya, "Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan

hukumnya dalam Al-Qur'an." Untuk membuktikan hipotesanya itu Syafi’i

menyebut empat cara Al-Qur'an dalam menerangkan suatu hukum.

Pertama, Al-Qur'an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash

hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa dan haji,

atau nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah

dan lainnya.

Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur'an dan

dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu

pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus

dikeluarkan. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur'an dan Nabilah

yang menerangkan secara terinci.

Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan suatu hukum

yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur'an. Bentuk penjelasan Al-Qur'an

untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan

menjauhi larangannya. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Barangsiapa yang taat

69

kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah." Dengan demikian, suatu hukum

yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena

Al-Qur'an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi

menjauhi yang dilarang.

Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad

terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-

Qur'an dan hadis. Penjelasan Al-Qur'an terhadap masalah seperti ini yaitu

dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas

pemahaman terhadap maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan umum syariat),

misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam Al-Qur'an disebutkan,

yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan

orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka apabila kamu

berselisih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul."

Menurut Imam Syafi’i, "Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul",

artinya kembalikan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya

dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, dan ayat- ayat

lainnya, ia ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah Al-Qur'an itu

sendiri dan bukan merekayasa hukum.

Dari keterangan di atas dapat diketahui "posisi tengah" pemikiran

metodologis Syafi’i. la begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur'an dan

Sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan

ijtihad.

70

Menurut Syafi’i, struktur hukum Islam dibangun di atas empat dasar

yang disebut "sumber-sumber hukum". Sumber-sumber hukum tersebut

adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga

menggunakan keempat dasar di atas, tetapi rumusan Syafi’i punya nuansa dan

paradigma baru. Penggunaan ijma', misalnya, tidak sepenuhnya mencaplok

rumusan Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas.

Bagi Syafi’i, ijma' merupakan metode dan prinsip, dan karenanya, ia

tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma', sebagaimana

dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ini dengan jelas

terlihat dalam percakapan dengan sekelompok ahli hukum Madinah dalam

bukunya Al-Umm dan dikutip lengkap oleh Fazlur Rahman:

Al-Syafi’i:

"Akankah kita katakan bahwa anda menganggap, misalnya Ibnu

Musayyib sebagai ulama yang otoritatif di Madinah, Atha' yang otoritatif di

Mekkah, Hasan di Bashrah dan Sya'bi di Kufah semuanya dari generasi

tabi'ien dan memandang apa yang mereka sepakati sebagai ijma'?"

Lawan: "Ya."

Al-Syafi’i:

"Tetapi anda menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertemu dalam

pertemuan mana pun yang anda ketahui. Karena itu, anda menyimpulkan ijma'

mereka dari laporan-laporan tentang mereka, dan, sesungguhnya, karena anda

telah melihat bahwa ulama-ulama tersebut membuat pernyataan-pernyataan

mengenai masalah-masalah yang tidak anda temui pembahasannya dalam Al-

71

Qur'an dan Sunnah, maka anda menyimpulkan bahwa mereka telah melakukan

qiyas terhadap masalah-masalah tersebut dan anda berargumentasi bahwa

qiyas adalah kumpulan pengetahuan yang benar dan mapan yang disepakati

oleh para ulama."

Lawan: "Itulah yang kami katakan. Pengetahuan datang dalam

beberapa bentuk.

Pertama, apa yang dituturkan oleh seluruh masyarakat dari seluruh

masyarakat generasi-generasi yang telah lalu (pengetahuan yang dibentuk)

dengan kepastian yang dapat saya sumpahkan dengan nama Allah dan Rasul-

Nya. Contoh dari pengetahuan semacam ini adalah kewajiban-kewajiban

agama.

Kedua, bagian dari Al-Qur'an yang mengakui perbedaan-perbedaan

penafsiran haruslah diterima dalam artinya yang langsung dan sesuai dengan

akal sehat: ia tidak bisa diberi "batiniyah" dan allegoris walaupun ia mungkin

dapat menerima arti seperti itu kecuali bila hal itu menjadi konsensus

masyarakat.

Ketiga, pengetahuan yang disepakati oleh kaum Muslimin dan mereka

telah menyatakan persetujuan sebelumnya terhadapnya. Bahkan apabila yang

disebut terakhir ini mungkin tidak datang dari Al-Qur'an ataupun Sunnah, bagi

saya ia memiliki kedudukan yang sama dengan Sunnah yang telah disepakati.

Ini disebabkan karena kesepakatan kaum Muslimin tidak dapat dicapai

semata-mata dengan pendapat-pendapat pribadi (tapi hanya dengan melalui

qiyas), karena pendapat-pendapat pribadi hanya membawa pada perselisihan.

72

Keempat, pengetahuan para ahli yang merupakan argumen yang

konklusif kecuali bila disampaikan dengan cara kebal terhadap kekeliruan.

Terakhir, qiyas. Tidak ada perselisihan yang dapat memasuki

pengetahuan dalam bentuk-bentuk yang telah saya uraikan tadi, dan segala

sesuatu akan tetap berakar pada prinsip-prinsipnya kecuali bila masyarakat

umum setuju untuk melepaskannya dari prinsip-prinsipnya. Ijma' adalah

argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan."

Al-Syafi’i: "Mengenai jenis pengetahuan yang pertama yang anda

jelaskan tadi, yakni transmisi dari seluruh masyarakat generasi sebelumnya,

memang dapat diterima. Tapi apakah anda tahu, dan dapatkah anda

menjelaskan pengetahuan jenis kedua yang sehubungan dengannya, di mana

anda mengatakan bahwa seluruh masyarakat bersepakat atasnya dan

mentransmisikan kesepakatan umum yang sama mengenai hal itu pada

generasi-genarasi sebelumnya? Dan apa yang anda maksud dengan seluruh

masyarakat itu? Apakah ia meliputi baik ulama maupun non-ulama...?

Lawan: "Ini adalah ijma' para ulama saja ... karena hanya merekalah

orang- orang yang dapat mengetahui dan bersepakat pendapat tentang masalah

itu. Jadi, ketika mereka bersepakat pendapat, maka hal ini menjadi otoritatif

bagi mereka yang tidak mengetahuinya (yakni bagi non-ulama); tetapi jika

mereka tidak bersepakat pendapat, maka pendapat-pendapat mereka tidak

mempunyai otoritas bagi siapa pun, dan masalah-masalah seperti itu harus

dirujuk pada suatu qiyas (penalaran analogis) yang baru berdasarkan apa yang

telah disepakati bersama ... Tidaklah penting apakah ijma' didasarkan pada

73

sebuah hadis verbal yang mereka riwayatkan ataukah tanpa sebuah hadis pun

..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah hadis verbal

yang sesuai dengan pendapat sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena

saya tidak menerima sesuatu hadis pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih,

tidaklah penting apakah ada hadis verbal yang sesuai dengan sebagian dari

mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun

kecuali ada kesepakatan pendapat atasnya ..."

Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma'

dipandang tidak sebagai sebuah prinsip yang statis, tapi sebagai suatu proses

asimilasi, interpretasi dan adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat

dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang, walaupun agak

berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut

dan mengungkapkan sikap sebenarnya dan yang serba meliputi dari ijma'.

Nuansa dan paradigma pemikiran Syafi’i itu selalu terlihat dalam

pemikiran-pemikirannya yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran ulama

sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Imam Syafi’i, juga, menawarkan

pernahaman baru. Apa yang dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya oleh

Syafi’i disebut qiyas bilfuru', penalaran analogis terhadap masalah-masalah

partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam

suatu preseden.

Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau

disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial

umum yang disebut 'illat. Sedangkan metode-metode yang lain, seperti

74

istihsan, istishab, sadd al-zarai' dan metode lainnya dimasukkan ke dalam

qiyas bil qawa'id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkandung

dalam suatu preseden itu sendiri).