16
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Anatomi dan Fisiologi Adenoid dan Tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsilaris pada kanan kiri orofaring. Batas fosa tonsilaris adalah bagian depan plika anterior yang dibentuk oleh otot-otot palatoglosus dan bagian belakang plika posterior yang dibentuk oleh otot palatofaringeus terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer 2 . Fungsi tonsil yang sesungguhnya belum jelas diketahui tetapi ada beberapa teori yang dapat diterima antara lain 1 : a. Membentuk zat-zat anti dalam sel plasma pada waktu terjadi reaksi seluler b. Mengadakan limfositosis dan limfositolisis c. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan hidung. 13

BAB III Tinjauan Pustaka New

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB III Tinjauan Pustaka New

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Adenoid dan Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsilaris pada

kanan kiri orofaring. Batas fosa tonsilaris adalah bagian depan plika anterior yang

dibentuk oleh otot-otot palatoglosus dan bagian belakang plika posterior yang

dibentuk oleh otot palatofaringeus terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal

(adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran

yang disebut cincin Waldeyer2. Fungsi tonsil yang sesungguhnya belum jelas

diketahui tetapi ada beberapa teori yang dapat diterima antara lain1 :

a. Membentuk zat-zat anti dalam sel plasma pada waktu terjadi reaksi seluler

b. Mengadakan limfositosis dan limfositolisis

c. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun mikroorganisme

yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan hidung.

Gambar 3.1 Anatomi Tonsil dan Adenoid yang membentuk cincin waldeyer

13

Page 2: BAB III Tinjauan Pustaka New

Gambar 3.2 Tonsil dan Organ Sekitarnya

Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid sepanjang dinding

posterior nasofaring di atas batas palatum mole. Adenoid terletak postero-superior

dinding nasofaring di antara basis tengkorak dan dinding belakang nasofaring pada

garis media, termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer. Permukaan bebasnya dilapisi

epitel pseudo kompleks kolumner bersilia, permukaan dalamnya tidak berkapsul.

Permukaan bebasnya mempunyai celah-celah (kripte) yang dangkal seperti lekukan

saja1,2.

Adenoid merupakan jaringan limfoid yang pada keadaan normal berperan

membantu sistem imunitas tetapi bila telah terjadi infeksi kronis maka akan terjadi

pengikisan dan fibrosis dari jaringan limfoid. Pada penyembuhan jaringan limfoid

tersebut akan diganti oleh jaringan parut yang tidak berguna2. Secara fisiologik

adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan

hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran pernapasan

atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan timbul

sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius2.

14

Page 3: BAB III Tinjauan Pustaka New

3.2. Adenotonsilitis Kronis

3.2.1 Definisi

Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatina. Penyebaran infeksi infeksi

melalui udara (air borne droplet), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur

terutama pada anak. Adenoiditis adalah peradangan pada adenoid. Adenotonsilitis

kronis adalah peradangan yang menetap atau berulang dari tonsil dan adenoid.

Definisi adenotonsilitis kronis yang berulang terdapat pada pasien dengan infeksi 3x

atau lebih per tahun. Ciri khas dari adenotonsilitis kronis adalah kegagalan dari terapi

dengan antibiotik2,5.

3.2.2 Etiologi

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis

akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat

terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis

ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut

yang buruk, pengaruh cuaca kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak

adekuat kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut yang paling sering adalah

kuman gram positif tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan

gram negatif2,6.

Penyebab yang tersering pada adenotonsilitis kronis adalah bakteri

Streptococcus ß hemoliticus grup A, selain karena bakteri tonsillitis dapat disebabkan

oleh virus. Kadang-kadang tonsillitis dapat disebabkan oleh bakteri seperti

spirochaeta, dan Treponema Vincent1,7.

15

Page 4: BAB III Tinjauan Pustaka New

3.2.3 Patofisiologi dan Patogenesis

Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid di sepanjang dinding

posterior dan nasofaring, fungsi utama dari adenoid adalah sebagai pertahanan tubuh,

dalam hal ini apabila terjadi invasi bakteri melalui hidung yang menuju ke nasofaring,

maka sering terjadi invasi sistem pertahanannya berupa sel-sel leucosit. Apabila

sering terjadi invasi kuman maka adenoid semakin lama akan membesar karena

sebagai kompensasi bagian atas maka dapat terjadi hipertrofii adenoid, akibat dari

hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius.

akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi fasien

adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi incivus ke depan (prominen), arcus faring

tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang bodoh; faringitis

dan bronchitis; gangguan ventilasi dan dreinase sinus paranasal sehingga

menimbulkan sinusitis kronik. Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis

media akut berulang, otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media

supuratif kronik. Akibat hiperplasia adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur,

tidur ngorok, retardasi mental dan pertumbuhan fisik berkurang1,2.

Pada tonsillitis kronis karena proses radang yang berulang maka epitel

mukosa dan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami

pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinik kripte tampak diisi oleh detritus,

proses ini berjalan terus sampai menembus kapsul dan terjadi perlekatan dengan

jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran

kelenjar limfa submandibula2.

Peradangan pada tonsil yang menimbulkan gejala berupa nyeri menelan

atau disebut juga odinofagia merupakan rasa nyeri di tenggorokan sewaktu gerakan

menelan. Adapun penyakit-penyakit yang berhubungan dengan nyeri menelan dan

sakit tenggorokan adalah8,9 :

16

Page 5: BAB III Tinjauan Pustaka New

Tabel : Infeksi Tenggorokan pada Nasofaring dan Orofaring

Penyakit Frekuensi

Faringitis akut Tonsillitis akutTonsillitis lingualisAbses peritonsilarAngina VincentDifteri

Sangat sering pada semua usiaSangat sering pada anak-anakSedang pada dewasaPaling sering pada usia 13-20 tahunBiasa pada dewasa mudaJarang

3.2.4 Gejala dan Tanda Klinik

Gejala adenotonsilitis kronis adalah sering sakit menelan, hidung

tersumbat sehingga nafas lewat mulut, tidur sering mendengkur karena nafas lewat

mulut sedangkan otot-otot relaksasi sehingga udara menggetarkan dinding saluran

nafas dan uvula, sleep apnea symptoms, dan maloklusi. Facies adenoid : mulut selalu

membuka, hidung kecil tidak sesuai umur, tampak bodoh, kurang pendengaran karena

adenoid terlalu besar menutup torus tubarius sehingga dapat terjadi peradangan

menjadi otitis media, rhinorrhea, batuk-batuk, palatal phenamen negatif. Pasien yang

datang dengan keluhan sering sakit menelan, sakit leher, dan suara yang berubah,

merupakan tanda-tanda terdapat suspek abses peritonsiler1,4.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak

rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang

mengganjal ditenggorokan, dirasakan kering ditenggorokan, dan nafas berbau2.

Tonsillitis kronis dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya

berupa rhinitis kronik, sinusitis, atau otitis media secara perkontinuitatum.

Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul

endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,

urtikaria, dan furunkulosis2.

17

Page 6: BAB III Tinjauan Pustaka New

Gambar 3.3 Tonsilitis Kronis

Gambar 3.4 Hipertrofi adenoid

3.2.5 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan radiologi x-foto soft tissue nasofaring radio adenoid, untuk melihat

adanya pembesaran pada adenotonsilitis kronis.

2. Pemeriksaan mikrobiologi

3.2.6 Diagnosa

Diagnosa ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan Fisik:

a. Pemeriksaan Rinoskopi anterior : untuk melihat tertahannya gerakan palatum

mole pada waktu fonasi.

b. Pemeriksaan Rinoskopi Posterior untuk melihat hipertrofi adenoid.

18

Page 7: BAB III Tinjauan Pustaka New

c. Pemeriksaan tenggorokan, terutama tonsil. Pada pemeriksaan tonsil, mulut

dibuka lebar-lebar, lidah ditarik kedalam, kemudian ditekan ke bawah dengan

tang spatel, penderita disuruh bernapas dan santai. Yang dinilai pada

pemeriksaan tonsil yaitu:

1. Inspeksi warna tonsil, normalnya berwarna merah muda, bila terjadi

infeksi maka akan menjadi hiperemis;

2. Inspeksi muara kripti, apakah ada detritus;

3. Adakah perlengketan dengan pilar, ditentukan dengan lidi kapas;

4. Menilai adakah pembesaran tonsil, berdasarkan rasio perbandingan tonsil

dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior

dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi

pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

a. T0  : Tonsil masuk di dalam fossa, tonsil sudah diangkat

b. T1  : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring,

Tonsil masih di dalam fossa tonsilaris

c. T2  : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring,

Tonsil sudah melewati pilar posterior belum melewati garis para median

d. T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring,

Tonsil melewati garis paramedian belum lewat garis median (pertengahan

uvula)

e. T4  : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring,

Tonsil melewati garis median, biasanya pada tumor

Gambar 3.4 Ukuran Pembesaran Tonsil

19

Page 8: BAB III Tinjauan Pustaka New

3. X-foto Soft Tissue Nasofaring.

4. Pemeriksaan mikrobiologi

3.2.7 Penatalaksanaan

Terapi yang dapat diberikan pada tonsillitis kronis berupa terapi local

pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap dan dapat disertai dengan terapi

simptomatis. Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan

mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam

parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan pemilihan antibiotic. Penatalaksanaan yang tepat

yaitu dengan pemberian antibiotik sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat

pada penderita tonsilitis kronis Cephaleksin ditambah Metronidazole, klindamisin

(terutama jika disebabkan mononucleosis atau absees), amoksisilin dengan asam

clavulanat (jika bukan disebabkan mononucleosis). Amoxilin clavulanat merupakan

kombinasi amoxicillin dan asam klavulanat. Amoxicillin turunan Penisilin yang

bersifat bakterisidal dan berspektrum luas, dengan Asam Klavulanat sebagai

penghambat progresif yang poten dan irreversibel terhadap enzim b-laktamase.

Parasetamol hanya pengobatan simptomatis pada demam. Sedangkan obat kumur

ditujukan pada hygiene oral dan mengurangi peradangan. Pada beberapa keadaan

dimana terdapat indikasi pembedahan maka tindakan pembedahan menjadi pilihan

terapi definitive6,7.

Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology

Head and Neck and Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 yaitu2 :

1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan

terapi yang adekuat.

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofasial.

3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan

napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor

pulmonale.

20

Page 9: BAB III Tinjauan Pustaka New

4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak

berhasil hilang dengan pengobatan.

5. Napas berbau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus ß

hemoliticus.

7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

8. Otitis media efusa/otitis media supuratif.

Sedangkan indikasi adenoidektomi yaitu2 :

a. Sumbatan

1. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut

2. Sleep apnea

3. Gangguan menelan

4. Gangguan berbicara

5. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)

b. Infeksi

1. Adenoiditis berulang/kronik

2. Otitis media efusa berulang/kronik

3. Otitis media akut berulang

c. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

Terdapat beberapa teknik operasi tonsilektomi, antara lain cara guillotine,

diseksi, electrosurgery, radiofrekuensi, skalpel harmonik, coblation, tonsilektomi

parsial intraskapular, dan teknik laser (CO2-KTP). Teknik tersering yang dilakukan

di Indonesia adalah teknik guillotine dan diseksi. Sedangkan adenoidektomi

dilakukan dengan cara kuretase memakai adenotom.

21

Gambar 3.5 Tonsilektomi

Page 10: BAB III Tinjauan Pustaka New

3.2.8 Komplikasi

Komplikasi adenoiditis kronik dapat berupa faringitis, bronkitis, sinusitis

kronik, otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan akhirnya terjadi otitis

media supuratif kronik2,6.

Sedangkan komplikasi Tonilitis kronik dapat berupa Rinitis kronis,

sinusitis, otitis media secara perkotinuitatum, dan komplikasi secara hematogen atau

limfogen (endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis,

furunkulosis)2,9.

Komplikasi lain dari tonsilitis kronis yang dapat terjadi secara

perkontinuitatum ke daerah sekitar adalah sebagai berikut :

a. Peritonsilitis, Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa

adanya trismus dan abses;

b. Abses Peritonsilar (Quinsy), kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang

peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang

mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal, infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui

aliran getah beningatau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil,

faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os

petrosus.

d. Abses Retrofaring, merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring.

Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang

retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

e. Krista Tonsil, sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh

jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil

berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil), terjadinya deposit kalsium fosfat dan

kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang  membentuk bahan keras seperti

kapur.

22

Page 11: BAB III Tinjauan Pustaka New

Komplikasi tindakan adenotonsilektomi adalah perdarahan bila

pengerukan adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi

kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus

tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan akan timbul

tuli konduktif2,8.

Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf

glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan

iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-

21 hari setelah operasi. Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien

pascatonsilektomi. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika

pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral

yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi6.

23