Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
40
BAB III
TINJAUAN TENTANG PARTISIPASI POLITIK PEMILIH
PEMULA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
PROVINSI BANTEN TAHUN 2017
A. Sejarah Pemilu
Sejarah Pemilu di Indonesia
Pemilihan umum sebagai salah satu sarana untuk merealisasikan
demokrasi guna mengikutsertakan rakyat dalam menentukan wakil dan
pemimpinnya belum dapat dselenggarakan diawal kemeredekaan.
Karena revolusi dan tujuan besar negara pada saat itu belum
memungkinkan untuk mewujudkannya, negara lebih berfokus pada
hal-hal yang berkaitan dengan mempertahankan kemerdekaan. Dan
gejolak politik pada saat itu menjadi alasan lain sehingga proses
penerapan sistem demokrasi belum sempurna.
Pada tanggal 29 September 1955 barulah bisa terlaksana
pemilihan umum untuk DPR dengan tertib dan lancar. Lebih dari 39
juta pemilih atau sekitar 91,5 % pemilih yang terdaftar di 16 daerah
pemilihan (208 kabupaten, 2.139 kecamatan dan 43. 429 desa) terlibat
untuk memilih anggota 272 anggota DPR. Peristiwa ini merupakan
peristiwa terbesar setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17
41
Agustus 1945, sehingga dalam pelaksanaannya masyarakat Indonesia
banyak terlibat dan antusias menyambutnya. Ditambah lagi dengan
tuntutan dan harapan besar rakyat pada pemilu untuk dapat merubah
gejolak politik dan permasalahan negara yang terjadi pada saat itu.
Seiring dengan perjalanan waktu Pemilihan umum di Indonesia
sudah dilaksanakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan terakhir tahun
2014. Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya adalah
ditujukan untuk memilih anggota pada lembaga perwakilan, yaitu DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen
keempat UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan umum diberlakukan
untuk memilih presiden dan wakil presiden atau sering disebut pilpres.
Pada mulanya pemilihan presiden dilakukan oleh lembaga perwakilan
MPR RI, karena adanya desakan maka disepakatilah pemilihan
presiden dan wkil presiden secara langsung oleh rakyat dan dari rakyat
sebagai bentuk perwujudan dari negara demokrasi modern.
Pilpres sebagai bagian dalam rangkaian pemilu pertama kali
dilaksanakan pada pemilu tahun 2004. Dan pada tahun 2007 setelah
ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) pun dimasukkan
42
sebagai rangkaian dan bagian dari pemilu. Setelah fase ini, istilah
pemilu pada umumnya lebih sering merujuk kepaada pemilihan
anggota legislatif dan eksekutif yang diadakan setiap lima tahun sekali.
Pemilu harus dilaksanakan secara berkala, karena memiliki fungsi
sebagai sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya dan terhadap
pemerintahnya. Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sebagai perwujudan
dari sistem demokrasi yang mewajibkan keterlibatan dan kedaulatan
rakyat sepenuhnya. Dan pemilihan umum kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia adalah
Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 01 Juni 20051.
Sejarah Pemilu dalam Islam
Dalam sejarah Islam dikenal beberapa macam model pemilihan
umum, khususnya dalam hal memilih pemimpin (Khalifah). Peran
khalifah dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam memiliki peran
yang sangat signifikan. Umat Islam pun diwajibkan untuk memilih dan
mentaati pemimpin diantara mereka, sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. Annisa ayat 59:
:
1 https://id.m.wikipedia.org/wiki/pemilihan_umum_di_Indonesia diakses
pada tanggal 03 Mei 2018 pukul 02:42 wib
43
يا أيها الذين آمنىا أطيعىا اللو وأطيعىا الرسىل وأولي
الؤمر منكم فئن تنازعتم في شيء فردوه إلى اللو والرسىل إن
تم تؤمنىن باللو واليىم الآخر ذلك خير وأحسن تؤويلاكن
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs Annisa ayat 59).
Pemilihan pemimpin (khalifah) dalam Islam ini diawali setelah
wafatnya Rasulullah SAW dan digantikan oleh Khalifah Abu Bakar
Siddiq, pemilihan tersebut berdasarkan musyawarah para sahabat baik
dari kalangan Muhajirin maupn Anshar yang dilakukan di balai
pertemuan Saqifah Bani Saidah. Hal inilah yang menjadi bukti para
sahabat dalam merumuskan istilah Ahlu Al Halli Wa Al „Aqd, yang
memiliki tugas sebagai pengganti kenabian yag menjadin wakil dan
memimpin ummat Islam untuk menuju masyarakat Islam yang madani.
44
Dalam prosesi pengangkatan khalifah Abubakar ini terjadi
silang pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar. Karena ada sabda
Nabi yang mengatakan agar mendahulukan orang-orang keturunan
Quraisy untuk menjadi Khalifah, dan kaum yang berasal dari golongan
lainnya agar menjadi Wuzara (Pembantu Khalifah). Maka setelah
melalui proses seleksi dan diskusi untuk menentuan Khalifah pengganti
Rasulullah tersebut terpilihlah Khalifah Abu Bakar Siddiq sebagai
Khalifah pengganti Rasulullah SAW. 2
Selain daripada itu, pertemuan para sahabat tersebut juga turut
membicarakan perihal perlu terbentuknya sistem pemerintahan
Khilafah dengan menentukan beberapa Wuzara‟ dan batas wilayah
kekuasaan kekhalifahan Islam. Dan pada peristiwa inilah yang menjadi
peristiwa pengangkatan Khalifah (Pemimpin) Ummat Islam pertama
yang dilakukan berdasarkan hasil pemilihan dengan system
musyawarah dalam konteks Daulah Islamiyah.
B. Pengertian Pemilu
Pemilihan umum (pemilu) secara sederhana dapat diartikan
sebagai bentuk pemberian suara oleh rakyat yang diatur dalam undang-
2 Imam Al Mawardi, Al Ahkam Al Sulthaniyah Terjemahan (Jakarta: Qisthi
Press, 2014) hal, 9-10.
45
undang untuk memilih calon-calon yang dianggap layak untuk
menempati jabatan struktural di parlemen maupun di pemerintahan.
Selain daripada itu, pemilu juga merupakan salah satu sarana
bagi rakyat dalam menyampaikan aspirasi secara langsung. Negara
dengan sistem demokrasi menolak adanya kepemimpinan yang turun-
menurun, dan pemilu dapat menghindarkan negara dari model
kepemimpinan seperti itu. Pemilu diharapkan dapat menegakkan
tatanan politik dan pemerintahan yang demokratis. Pemilu menjadi
sarana penting bagi tegaknya demokrasi yang sehat dan baik dalam
sebuah negara3.
Menurut undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang
pemilihan umum, menjelaskan bahwa “Pemilu adalah sarana
kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat,
anggota dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan
untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat daerah, yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam negara kesatuan republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
3 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Umat Beragama Cerdas
Berdemokrasi (Jakarta)
46
Pemilu pun memiliki beberapa asas yang patut dipertimbangkan
guna terwujudnya pelaksanaan pemilu yang sesuai dengan amanat
Undang-undang. Adapun asas-asas dalam pemilu yaitu:
a) Langsung
b) Umum
c) Bebas
d) Rahasia
e) Jujur, dan
f) Adil
Pemilu di Indonesia mempunyai tujuan untuk menghasilkan
pemimpin di parlemen maupun pemerintahan berdasarkan asas
demokratis dengan melibatkan rakyat secara langsung. Dan tujuan
lainnya agar melaksanakan kedaulatan rakyat dengan sepenuhnya,
perwujudan hak politik rakyat, melaksanakan pergantian personal
pemerintahan secara konstitusional, merealisasikan aspirasi rakyat.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat
merupakan sebuah hal sentral dalam diskursus politik sebagai bagian
terpenting dalam proses perwujudan otonomi daerah. Pelaksanaannya
menjadi momentum yang sangat penting bagi proses realisasi
demokratisasi politik ditingkat lokal. Pilkada merupakan proses yang
47
tidak bisa berdiri sendiri. Baik dan buruknya pelaksanaan dan hasil dari
proses tersebut berkaitan langsung dengan subyek yang terlibat
langsung didalamnya. Keberhasilan penyelenggaraan Pilkada, baik
secara prosedural maupun substansial tergantung sinergitas antara tiga
faktor, yaitu: (a) pemilih yang memiliki hak pilih, (b) penyelenggara
Pilkada (KPUD, PANWASLU, pemantau dan pemerintah, (c) lembaga
steakholders lainnya. Dari ketiga faktor tersebut harus saling
berkesinambungan agar dapat menghasilkan tolak ukur dan acuan
tentang sejauhmana keterlibatan masyarakat yang memiliki hak pilih,
dan bagaimana peran dan persiapan yang dilakukan pihak
penyelenggara dalam Pilkada.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya
disebut pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu
gubernur dan wakil gubernur atau bupati dan wakil bupati dan wali
kota dan wakil wali kota untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Repubik Indonesia.
Pemilihan tersebut dilakukan oleh penduduk daerah setempat yang
telah memenuhi syarat. Perjalanan pembahasan mengenai
penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah di Indonesia
48
memakan waktu yang sangat panjang. Adapun penjelasan tentang
pemilihan kepala daerah menurut PP 49 Tahun 2008 ialah:
“Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya
disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Repubik
Indonesia Tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah”.4
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
momentum yang paling strategis untuk memilih pemimpin daerah yang
berkualitas. Keberhasilan Pilkada langsung tidak bisa diukur melalui
proses penyelenggaraannya yang berlangsung secara damai dan lancar
saja, tetapi juga memperhatikan manfaat dan hasil yang diperoleh dari
proses tersebut. Bila Pilkada langsung hanya digunakan sebagai proses
perebutan kekuasaan melalui mekanisme voting, dan tidak
mempertimbangkan kualitas calon pemimpin, maka dapat dikatakan
proses demokrasi yang melibatkan kedaulatan politik rakyat itu belum
berhasil.
4 Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2008 Tentang perubahan ketiga atas
peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
49
Hal ini menjadi sangat kontras sekarang dimana rakyatlah yang
menjadi eksekutor. Siapa yang berhak untuk duduk menjadi pemerintah
eksekutif di daerahnya. Pertanyaan itulah yang menguatkan bahwa
pemilihan kepala daerah langsung merupakan sebuah langkah besar
dalam proses demokratisasi yang memberikan ruang yang luas untuk
menyalurkan aspirasi dan kebutuhan masing-masing. Diharapkan
kebijakan-kebijakan dari pemerintah nantinya sesuai dengan harapan
dan keinginan rakyat pada umumnya dan dengan lain mendekatkan
pemerintah kepada rakyat. Hal inilah yang disebut dengan
akuntabilitas publik, sesuai dengan pendapat Hungtinton bahwa
akuntabilitas publik ini merupakan salah satu dari parameter
terwujudnya demokrasi, disamping adanya pemilihan umum, rotasi
kekuasaan dan rekutmen secara terbuka.
C. Sistem Pemilu di Indonesia
Pada cabang ilmu politik dikenal berbagai macam sistem
pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi pada
umumnya selalu bertumpu pada dua prinsip pokok, yaitu:
a. Single member constituency (satu daerah pemilihan, memilih
satu wakil, sistem ini biasa disebut dengan sistem Distrik).
50
b. Multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih
beberapa wakil, sistem ini biasanya disebut dengan sistem
perwakilan berimbang atau sistem Proporsional).
Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (distrik pemilihan)
memilih satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak).
Sistem ini merupakan sistem pemilihan tertua yang didasarkan atas
kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis kecil yang biasanya
disebut distrik memperoleh satu kursi dalam parlemen. Untuk
keperluan tersebut negara membagi kelompok pemilih ini kedalam
beberapa distrik pemilihan dengan menyesuaikan jumlah penduduk
agar jumlah penduduknya sama di masing-masing distriknya.
Dalam sistem distrik, satu distrik hanya berhak atas satu kursi,
dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang
tunggal. Hal seperti ini dinamakan the first past the post (FPTP), hal ini
tetap berlaku sekalipun selisih suara dengan partai lain hanya kecil saja
dan suara yang mendukung kontestan lain dianggap gugur dan tidak
akan bisa membantu partainya untuk mendapatkan kursi.
Berbeda dengan sistem distrik, pada sistem pemilu proporsional
satu daerah besar (daerah pemilihan) memilih beberapa wakil. Dalam
sistem ini setiap perolehan suara dapat menentukan perbedaan dalam
51
komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai
politik yang memperoleh suara. Dalam sistem proporsional, satu
wilayah dianggap sebagai satu kesatuan dan dalam wilayah itu jumlah
kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan
secara nasional dan tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Contoh dari perbedaan kedua sistem diatas yaitu misalkan
dalam suatu wilayah pemilihan terdapat 100.000 penduduk yang
mempunyai hak pilih, terdapat tiga partai yang bersaing
memperebutkan 10 kursi di parlemen. Jika daerah tersebut memekain
sistem distrik dengan jumlah wilayah 10 distrik setiap distrik berhak
atas 1 kursi dari jumlah 10 kursi yang diperebutkan. Calon A
memperoleh 60% suara, calon B memperoleh 30% suara, dan calon C
memperoleh 10% suara. Pemenangnya adalah partai A memeperoleh 1
kursi, sedangkan 30% suara calon B dan 10% suara calon C dianggap
gugur atau hilang.
Apabila wilayah tersebut memakai sistem proporsional hasilnya
akan berbeda. Jumlah suara yang diperoleh secara nasional oleh setiap
partai menentukan jumlah kursi yang berhak diperolehnya di parlemen.
Misalnya, partai A memperoleh 60% suara dalam wilayah pemilihan
itu, maka partai A tersebut berhak atas 6 kursi di parlemen. Demikian
52
juga dengan partai B yang memperoleh suara 30 % maka ia berhak atas
3 kursi di parlemen, dan begitupun dengan partai C yang memperoleh
10% suara maka ia berhak atas 1 kursi di parlemen.
Dilihat dari pengertian dan contoh dari kedua sistem pemilu
diatas, tentu tidak terhindar dari kelebihan dan kekurangan dari masing-
masing sitem tersebut. Perbandingan antara kelebihan dan kekurangan
diantara kedua sistem tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sistem Distrik
a) Kelebihan sistem Distrik
Sistem ini lebih mendorong kepada integrasi partai-
partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam
masing-asing distriknya hanya satu kursi.
Fragmentasi dan kecenderungan pembentukan partai
baru akan lebih terbendung. karena efektifitas kekuatan
salahsatu parpol lah yang akan lebih diperhatikan dalam
sistem ini. Bahkan sistem ini lebih pas menggunakan
sistem dwi partai dibandingkan sistem multi partai.
Hubungan antara anggota parlemen dan konstituennya
akan lebih harmonis. Karena kecilnya wilayah distrik
53
memjungkinkan sosok calon mudah dikenali dan lebih
dekat dengan rakyatnya.
Sistem ini lebih sederhana dan lebih efisien dari segi
anggaran.
b) Kelemahan sistem Distrik
Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan partai-
partai kecil dan golongan minoritas.
Sistem ini kurang efektif diterapkan dalam lingkungan
masyarakat yang cenderung plural.
Wakil rakyat di parlemen cendeerung untuk lebih
mementingkan kepentingan warga di distriknya daripada
kepentingan warga secara nasional.
2. Sistem Proporsional
a) Kelebihan sistem Proporsional
Sistem ini dianggap representatif, karena jumlah kursi di
parlemen sesuai dengan perolehan jumlah suara pada
pemilu.
Sistem proporsional dianggap sebagai sistem yang lebih
demokratis dan lebih egalitarian. Karena baik kaum
54
mayoritas maupun kaum minoritas mendapatkan hak
yang sama dalam hasil pemilu.
b) Kelemahan sistem proporsional
Sistem ini memudahkan frgamentasi dan memunculkan
partai-partai baru
Wakil yang terpilih di parlemen cenderung renggang
dengan konstituennya, karena wilayah pemilihannya
cenderung lebih luas.
Wakil yang terpilih cenderung akan lebih mementingkan
kepentigan pribadi dan partainya dibandingkan dengan
kepentingan rakyat di daerah pemilihannya5
Sejak tahun 1955, Indonesia sudah beberapa kali
menyelenggarakan pemilihan umum. Dari awal pelaksanaannya sampai
sekarang tentu mengalami pasang surut dan gejolak yang berbeda
sehingga mengalami beberapa perubahan dari segi sistem maupun
teknisnya. Oleh karena itu penulis coba memisahkan beberapa macam
sistem pemilu di Indonesia kedalam beberapa fase. Diantaranya yaitu:
5 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama 2008) hal, 461-469
55
a. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Sebenarnya konsepsi soal pemilihan umum di Indonesia sudah
direncanakan sejak Oktober 1945, akan tetapi baru terealisasi pada
tahun 1955. Pada pelaksanaan pemilu pertama ini pemungutan suara
dialksanakan dua kali, pertama untuk memilih anggota DPR pada
September, dan yang kedua pada bulan Desember untuk memilih
anggota konstituante. Sistem pemilu yang diterapkan adalah sistem
proporsional dengan jumlah peserta sebanyak 27 partai dan satu calon
perseorangan dengan jumlah total 257 kursi parlemen.
b. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi
otoriter, muncul harapan besar di kalangan masyarakat untuk dapat
menerapkan suatu sistem politik yang demokratis dan stabil. Banyak
diskusi besar dari kalangan akademisi dan militer membahas tenang
sistem pemilihan umum yang tepat untuk diterapkan, pengkajian dan
perbandingan antara sistem distrik ataukah sistem proporsional.
Pada masa ini sistem pemilu yang diterapka adalah sistem
proporsional dengan stelsel daftar tertutup. Pemilih memberikan
suaranya hanya kepada partai politik yang terdaftar sebagai peserta
pemilu, dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan
56
nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila
calon dengan nomor urut teratas sudah mendapatkan suara yang cukup
untuk memperoleh satu kursi di parlemen.
Untuk pemilihan umum DPR Daerah, pemilihannya adalah
untuk wilayah Provinsi, sedangkan untuk DPRD I daerah pemilihannya
adalah satu provinsi yang bersangkutan, dan untuk DPRD II daerah
pemilihannya adalah wilayah Dati II (kabupaten/kota) yang
bersangkutan. Dalam penyelenggaraan pemilu ini terdapat sedikit
warna sistem distrik, karena setiap wilayah kabupaten diberi jatah 1
kursi anggota DPR di parlemen untuk mewakili daerah tersebut. Pada
pemilu masa demokrasi pancasila ini setiap anggota DPR mewakili
400.000 penduduk.
c. Zaman Reformasi
Reformasi merupakan suatu peristiwa besar yang selalu
membawa beberapa perubahan yang fundamental dalam berbagai
aspek, salah satunya adalah tentang sistem pemilu. Pertama, pada masa
ini diberlakukan kembali kebijakan untuk bergeraknya partai politik
secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Kedua, untuk pertama
kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan Presiden dan wakil
Presiden secara langsung. Ketiga, adanya pemilihan umum untuk suatu
57
badan baru parlemen yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan
mewakili kepentingan daerah secara khusus. Dan keempat diadakan
ketentuan untuk pemilihan legislatif dimna setiap partai politik harus
meraih minimal 3% jumlah kursi anggota badan legislatif pusat. Untuk
pemilihan Presiden dan wakil Presiden, partai politik harus
memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan
atau 5% dari jumlah perolehan suara sah secara nasional.
Pemilihan umum legislatif dilaksanakan berdasarkan UU No 12
Tahun 2003, dan diikuti oleh 24 partai. Dan pemilihan Presiden dan
wakil Presiden dilaksanakan secara langsung melalui dua putaran
pemilihan. Jika pada putaran pertama tidak ada calon yang memperoleh
suara minimal yang telah ditentukan, maka akan diadakan putaran
kedua dengan peserta dua pasang calon yang memperoleh suara
terbanyak. Pemilihan Presiden dan wakil Presiden ini dilaksanakan
berdasarkan UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden6.
6 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama 2008) hal, 473-488
58
D. Partisipasi Politik
Pemikiran yang mendasari adanya partisipasi politik warga
negara di sebuah negara yang menganut sistem demokrasi seperti
Indonesia adalah karena kedaulatan berada ditangan rakyat dijamin
secara konstitusional. Karena itu keterlibatan dan peran serta
masyarakat dalam kehidupan politik berbangsa secara bebas dan aktif
sangatlah diperlukan. Hal ini merupakan sebuah syarat utama untuk
membangun masyarakat yang memiliki kesadaran dan kemandirian
dalam berpolitik. Keikutsertaan warga negara dalam kontestasi politik
merupakan bentuk usaha untuk mencapai tujuan negara demokrasi.
Bentuk partisipasi politik warga negara dapat mempengaruhi kebijakan
atau keputusan yang diambil oleh pemerintah. Apabila masyarakat ikut
berpartisipasi dalam ranah politik, maka unsur-unsur yang dapat
mempengaruhi perubahan kebijakan tentang kenegaraan akan tercapai7.
Partisipasi politik merupakan penentuan sikap dan penggunaan
hak setiap individu dalam situasi dan kondisi dalam rangka
mewujudkan kepentingan dan kebutuhan, sehingga pada akhirnya dapat
mendorong setiap perjalanan dan pertanggungjawaban negara. Menurut
Huntington, partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warga negara
7 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1998), hal. 3
59
preman (private citizen) yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi
proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Serta didalamnya
terdapat pula proses pemilihan yang akan menentukan pemimpin dalam
sebuah pemerintahan8.
Pada umumnya partisipasi politik masyarakat ada yang sifatnya
lebih mandiri, dimana setiap individu dalam melakukan kegiatan atas
dasar inisiatif dan dorongan atas keinginan sendiri tanpa adanya
tekanan dan dorongan dari pihak manapun. Walaupun terkadang yang
melatarbelakangi munculnya partisipasi politik mereka adalah faktor-
faktor yang ada disekelilingnya. Hal ini bisa saja terjadi karena
munculnya rasa tanggung jawab dari dalam dirinya untuk
menghidupkan politik, atau karena adanya keinginan untuk
mewujudkan kepentingannya ataupun kepentingan kelompoknya.
Partisipasi politik masyarakat biasanya muncul dan lahir oleh basis-
basis sosial-politik tertentu. Meskipun ada pula bentuk partisipasi
politik masyarakat yang muncul karena adanya dorongan atau bahkan
paksaan dari pihak lain untuk mewujudkan kepentingannya. Partisipasi
politik semacam ini merupakan bentuk partisipasi yang digerakkan atau
disebut dengan mobilized political participation. Partisipasi politik
8 Samuel P. Huntington dan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara
Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta 1990), hal. 6
60
harus pula dibedakan dengan mobilisasi politik, karena dalam
partisipasi politik didalamnya terkandung unsur paksaan, baik secara
halus maupun secara terbuka.
Kecenderungan ke arah partisipasi politik warga negara secara
lebih luas dalm politik sebetulnya telah muncul pada masa renaisance
dan reformasi abad ke-15 sampai abd ke-17 dan telah memperoleh
dorongan kuat pada masa revolusi industri pada abad ke-18 dan abad
ke-19. Akan tetapi bagaimana keterlibatan berbagai kelas golongan
masyarakat seperti kaum pedagang, buruh, petani dan kaum profesi
lainnya yang menuntut hak mereka untuk berpartisipasi lebih jauh
dalam proses pembuatan keputusan politik akan sangat berbeda di
setiap negara. Tergantung dari latar belakang sistem pemerintahan dan
tergantung pada kondisi sosio-politik di setia negara tersebut.
Myron Weiner mengemukakan setidaknya ada lima hal yang
menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi yang lebih jauh
dalam politik, yaitu:
a. Modernisasi; adanya komersialisasi pertanian,
industrialisasi, urbanisasi yang meningkat, meyebarkan
kepandaian literasi dalam dunia pendidikan, dan adanya
perkembangan media komunikasi masa.
61
b. Perubahan-perubahan struktul kelas sosial; ketika
munculnya kelas baru dan kelas menengah yang luas dan
berubah selama proses industrialisasi. Menmunculkan
masalah tentang siapa yang lebih berhak berpartisipasi atas
proses pembuatan keputusan politik menjadi sangat penting
dan bergejolak sehingga menyebabkan perubahan-
perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi masa modern;
kaum intelektual seperti mahasiswa, sarjana, wartawan dan
penulis sering menggelorakan gagasan dan ide kepada
masyarakat umum untuk membangkitkan tuntutan akan
partisipasi politik masa yang luas dalam pembuatan
keputusan politik. Dan perkembangan media komunikasi
masa yang semakin modern menjadi penunjang penting
sehingga menyebabkan proses penyebaran informasi dan
propaganda lebih masif.
d. Konflik yang terjadi diantara para petinggi politik; apabila
muncul kompetisi yang memeperebutkan kekuasaan,
salahsatu strategi yang sering digunakan adalah dengan
mencari banyak dukungan rakyat agar strategi yang mereka
62
terapkan mendapatkan legitimasi melalui gerakan-gerakan
rakyat tersebut.
e. Intervensi pemerintah dalam masalah sosial; apabila
pemerintah terlalu mengintervensi keberangsungan hidup
rakyat dalam kontek sosial budaya dan ekonomi, dan
pemerintah terlalu mengkooptasi masalah lain tentang sosial
masyarakat, maka lambat laun akan merangsang timbulnya
gerakan-gerakan rakyat yang ingin terlibat pula dalam hal
tersebut.9
Tingkat partisipasi politik masyarakat merupakan suatu hal
yang penting sebagai tolak ukur tinggi dan rendahnya legitimasi
pemerintahan yang terpilih. Apabila tingkat pasrtisipasi politik
masyarakat tinggi, dapat dikatakan bahwa keterlibatan masyarakat
tersebut terdorong atas dasar kepercayaan terhadap pemerintah. Dan
sebliknya, apabila tingkat partisipasi politik masyarakat rendah, maka
masyarakat tersebut dapat dikatakan tidak percaya dan perduli terhadap
9 Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik,
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008) hal. 56-57
63
kegiatan kenegaraan karena ketidak percayaannya terhadap pemerintah
yang berkuasa.10
Bentuk partisipasi politik dipengaruhi berdasarkan sistem
politik yang berlaku di negara tersebut. Partisipasi politik masyarakat
dapat dialkukan secara langsung maupun secara tidak langsung.
Partisipasi politik secara langsung dilakukan melalui kontak langsung
dengan para pejabat negara yang ikut menentukan perihal kebijakan-
kebijakan publik. Sedangkan partisipasi politik secara tidak langsung
merupakan kegoatan partisipasi politik yang dilakukan melalui media
masa yang ada dengan membuat tulisan seperti opini dan pandangan
tentang hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik.
Partisipasi politik masyarakat secara umum dapat dikategorikan
kedalam beberapa bentuk, sebagai berikut:
Electoral activity, yaitu segala bentuk kegiatan yang berkaitan
dengan pemilihan umum, baik dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Yang termasuk dalam kategori ini adalah keikutsertaan
masyarakat dalam memberikan sumbangan atau kontribusinya dalam
kampanye, menjadi relawan dalam proses kampanye partai politik,
memberikan suara pada pemilihan umum, mengawasi pemberian dan
10 Sumarsono Soemardjo, Peran Televisi dalam Meningkatkan Partisipasi
Politik Masyarakat pada Pemilu Presiden Tahun 2014, (Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Komunikasi dan Informatika, Vol. 5) Maret 2015
64
proses penghitungan suara, meniali beberapa calon yang terlibat dalam
kontestasi pemilu, dan lain sebaginya.
Lobbying, yaitu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
maupun kelompok tertentu untuk menghubungi pejabat pemerintah
ataupun tokoh politik dengan tujuan untuk mempengaruhinya dalam hal
permasalahan politik tertentu.
Organizational activity, yaitu sebuah keterlibatan masyarakat
ke dalam organisasi sosial dan politik, baik sebagai pemimpin
struktural, aktivis (pengurus), maupun sebagai anggota.
Contacting, yaitu suatu partisipasi politik yang dilakukan oleh
masyarakat dengan pejabat pemerintah atau dengan tokoh politik secara
langsung, baik secara personal maupun dengan kelompok kecil.
Biasanya, kegiatan semacam ini akan melahirkan manfaat strategis bagi
pihak yang melakukannya.
Violence, yaitu bentuk partisipasi politik yang dilakukan dengan
cara-cara kekerasan atau mempengaruhi pemerintah. Kegiatan
semacam ini selalu diwarnai dengan kerusuhan, pengrusakan, dan aksi
huru-hara yang radikal lainnya.
Secara garis besar, bentuk-bentuk pasrtisipasi politik
diklasifikasikan kedalam dua bagian yaitu partisipasi politik
65
konvensional dan partisipasi politik non-konvensional. Partisipasi
politik konvensional adalah sebuah bentuk partisipasi politik yang
normal dalam tatanan demokrasi modern yang berupa kegiatan
kampanye, pemberian hak suara pada pemilu, diskusi politik,
membentuk dan tergabung dalam kelompok kepentingan, dan
komunikasi politik. Sedangkan bentuk pasrtisipasi politik non-
konvensional merupakan beberapa kegiatan yang dilakukan baik secara
legal maupun ilegal dan cenderung revolusioner. Kegiatan dalam
bentuk pasrtisipasi politik semacam ini biasanya berupa aksi
demonstrasi, pemberian petisi, konfrontasi, tindakan anarkis, dan
melakukan kegiatan revolusioner lainnya.11
Kegiatan politik yang tercakup dalam konteks partisipasi politik
mempunyai bermacam-macam bentuk dan intensitasnya. Jumlah orang
maupun kelompok yang terlibat dalam kegiatan yang tidak insentif
yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu seperti memberikan
suara dalam pemilihan umum besar sekali jumlahnya. Namun
sebaliknya, jumlah orang maupun kelompok yang terlibat secara aktif
dan sepenuh waktu terlibat dalam kegiatan politik sangatlah sedikit.
Aktivitas yang dilakukan oleh aktivis politik ini dilakukan oleh
11
Mohtar Mas’oed dan Collin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hal. 57-59
66
pimpinan partai atau dari kelompok yang berkepentingan tertentu. Hal
tersebut dapat digambarkan dalam bentuk piramida partisipasi politik
yang basisnya lebar tetapi menyempit keatas sejalan dengan
meningkatnya intensitas kegiatan politik.
Keterangan:
1. Aktivis
a. Pejabat
b. Pemimpin Partai
c. Kelompok Kepentingan
2. Partisipan
a. Petugas Kampanye
b. Anggota aktif dari Partai/Kelompok Kepentingan
c. Aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial
1
2
3
4
67
3. Pengamat
a. Menghadiri rapat umum
b. Diskusi politik
c. Penggiat media masa
d. Memberikan suara dalam pemilu
4. Golongan apolitis12
Dilihat dari bagan daitas terdapat hal mencolok yang dapat kita
nilai berdasrkan pengelompokan beberapa kalangan dalam konteks
partisipasi politik. Di sebuah negara demokrasi yang berkembang
seperti kita, analisa modern yang berkaitan dengan partisipasi politik
merupakan suatu kelayakan studi yang sangat penting. Karena latar
belakang tatanan sistem pemerintahan dan gejolak yang terjadi dalam
tubuh negara merupakan aspek yang akan mempengaruhi terhadap
sistem politik dan terhadap oartisipasi politik masyarakat.
E. Pemilih Pemula
Menurut Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum, warga negara yang berhak menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu ialah mereka yang sudah menginjak usia 17
tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin dan tercantum
12
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 8
68
dalam daftar pemilih tetap (DPT). Dan yang termasuk kedalam kategori
pemilih pemula ialah mereka yang baru pertama kali menggunakan hak
pilihnya khususnya mereka yang berusia 17-21 tahun.13
Pemilih pemula yang dianggap belum memiliki pengalaman
partisipasi politik dalam pemilu dan cenderung masih berada pada
sikap dan pilihan politik yang belum jelas seringkali menjadi target
utama di setiap penyelenggaraan pemilu, baik oleh pihak
penyelenggara maupun peserta pemilu. Pemilih pemula kebanyakan
belum memiliki jangkauan politik yang luas untuk menentukan kemana
mereka harus memilih. Sehingga, terkadang dalam menggunakan hak
pilihnya untuk menentukan calon pemimpin daerah mereka cenderung
tanpa melalui proses pertimbangan yang matang. Alasan inilah yang
menyebabkan pemilih pemula sangat rawan untuk dipengaruhi dan
didekati melalui pendekatan materi politik kepentingan partai-partai
politik peserta pemilu. Kurangnya pengetahuan politik praktis membuat
pemilih pemula sering tidak berfikir rasional dan lebih memikirkan
kepentingan jangka pendek.
Meskipun pada umumnya para pemilih pemula cenderung
kurang pengethauan terhadap dunia pollitik, pada fase ini mereka
13
Undang-undang Negara Repblik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum
69
merupakan golongan yang sangat memiliki potensi dalam
perkembangan aktifitas kognitif. Karena faktor usia yang tergolong
masih muda (remaja) menimbulkan dampak terhadap perkembangan
berfikir, mental dan lainnya. Pada masa remaja inilah proses periodisasi
kehidupan dimana kapasitas untuk memperoleh dan menggunakan
kemampuan dan pengetahuan secara efisien mencapai pada titik
puncaknya. Hal ini disebabkan karena pada masa ini proses
perkembangan otak manusia mencapai kesempurnaan. Sehingga
perubahan aktifitas kognitif mencapai pada perubahan tingkat tinggi,
seperti kemampuan merumuskan perencanaan strategis atau mengambil
keputusan14
.
Dalam konteks pemilihan umum setiap warga Negara yang
sudah memenuhi syarat sebagai pemilih diberikan keleluasaan untuk
berpartisipasi politik baik secara mandiri maupun terorganisir, termasuk
pemilih pemula pun diberikan kebebasan untuk terlibat aktif
didalamnya. Dan tentu saja setiap partisipasi politik yang dilakukan
oleh masyarakat bukanlah tanpa alasan. Alasan pertama, alasan rasional
nilai, yaitu alasan yang didasarkan pada penerimaan secara rasional
akan nilai-nilai terhadap suatu kelompok. Kedua, alasan emosional
14
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung,: PT. Remaja Rosdakarya,
2005), hal.194
70
efektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau kesukarelaan
terhadap suatu ide, organisasi, ataupun individu. Ketiga, alasan
tradisional, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan suatu norma
tingkah laku individu suatu kelompok sosial. Keempat, alasan rasional
instrumental, yaitu alasan yang didasarkan pada kalkulasi untung dan
rugi secara ekonomi.15
Karena persoalan latarbelakang seseorang dalam berpartisipasi
tersebut diatas, penulis melihat bahwa kebanyakan dari pemilih pemula
yang terlibat dalam partisipasi politik atas alasan tradisional. Meskipun
ada beberapa golongan pemilih pemula yang berpartisipasi aktif atas
dasar rasional nilai dan kepercayaan terhadap kelompok tertentu, tapi
lebih banyaknya berpartisipasi dalam pemilu hanya dijadikan ajang
untuk menggugurkan kewajiban sebagai warga Negara yang baik saja.
Karena kepercayaan dan kesadaran mereka tidak seimbang. Kesadaran
yang tinggi dan kepercayaan yang tingggi, akan menghasilkan
partisipasi aktif.
Pemilihan umum yang adil dan bersih merupakan harapan besar
negara dalam hal melibatkan masyarakat dalam proses demokrasi.
Salah satu aspek yang akan menunjang terciptanya pemilu yang adil an
15
KPU Prov. Banten, Partisipasi Pemilih dalam Pemilihan Gubernur
Banten Tahun 2017, (KPU Banten, 2017) hal. 51
71
bersih tersebut adalah adanya pemilih yang mempunyai pengetahuan,
kesadaran dan bebas dari intimidasi berbagai pihak. Berangkat dari
kesadaran itulah maka KPU sebagai penyelenggara pemilu senantiasa
melakukan upaya melaui berbagai regulasi serta melakukan kegiatan-
kegiatan dalam rangka meningkatkan kualitas dan partisipasi pemilih,
khususnya terhadap pemilih pemula. Karena pemilih pemula
merupakan pilar penting yang mempunyai pengaruh besar terhadap
kehidupan demokrasi di masa mendatang. Selain karena jumlahnya
yang terus meningkat, potensi perkembangan daya kritis pada usia
pemilih pemula merupakan suatu yang tepat dan dapat menentukan
sebuah hasil yang positif bagi pemilu.
Karena pemilih pemula adalah pemilih yang baru menggunakan
hak pilihnya dalam pemilihan umum. Maka pembekalan dan
pengenalan mengenai proses pemilu sangat penting untuk dilakukan,
terutama kepada mereka yang baru berusia 17 tahun. KPU bersama
dengan pihak terkait lainnya dalam pelaksanaan pemilihan umum
berusaha mampu memberikan kesan awal yang baik tentang pentingnya
suara pemilih dan dampak besarnya keterlibatan dalam pemilu. Setiap
suara dan keterlibatan pemilih dalam pemilihan umum dapat
menentukan pemerintahan selanjutnya dan dapat berdampak terhadap
72
kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman yang
baik inilah yang diharapkan dapat menjadi motivasi untuk menjadi
pemilih yang cerdas dalam menggunakan hak pilihnya.16
16
Hasil wawancara dengan Iing Ikhwanuddin, staf KPU Kota Serang. Selasa,
10 Juli 2018 Pukul 12:45 wib