Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 1
BAB III
TINJAUAN TEORITIS
3.1 Migrasi Penduduk
3.1.1 Definisi Migrasi Penduduk
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah tujuan
dengan maksud menetap. Sedangkan migrasi sirkuler ialah gerak penduduk dari
suatu tempat ke tempat lain tanpa ada maksud untuk menetap. Migrasi sirkuler
inipun bermacam macam jenisnya ada yang ulang alik, periodik, musiman, dan
jangka panjang. Migrasi sirkuler dapat terjadi antara desa desa, desa kota dan
kota kota (Ida Bagus Mantra, 2000).
Dalam kamus geografi, PBB memberikan batasan migrasi sebagai bentuk
dari mobilitas geografi atau mobilitas keruangan dari suatu unit geografi ke unit
geografi lainnya, yang menyangkut suatu perubahan tempat tinggal secara
permanen dari tempat asal ke tempat tujuan (Alatas, 1995). Perpindahan yang
melewati batas desa/kelurahan saja disebut sebagai migrasi antar desa/kelurahan.
Perpindahan yang melewati batas kecamatan disebut migrasi antar kecamatan,
yang melewati batas kabupaten/ kota disebut migrasi antar kabupaten/kota dan
yang melewati batas provinsi disebut migrasi antar provinsi. Penduduk yang
melakukan perpindahan disebut migran.
Berdasarkan jenisnya, migrasi dapat dibedakan ke dalam tiga kategori,
yaitu :
1. Migrasi seumur hidup (life time migrant) adalah mereka yang pindah dari
tempat lahir ke tempat tinggal sekarang, atau mereka yang tempat tinggalnya
sekarang bukan di wilayah provinsi tempat kelahirannya. Penghitungan jumlah
migran masuk dan migran ke luar seumur hidup menggunakan matrik tabel
silang antara tempat tinggal sekarang dengan tempat lahir. Jumlah migran
masuk seumur hidup ke suatu provinsi adalah banyaknya penduduk yang
tempat lahirnya di luar provinsi tersebut. Sedangkan jumlah migran ke luar
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 2
seumur hidup dari suatu provinsi adalah banyaknya penduduk provinsi lain
yang tempat lahirnya di provinsi tersebut.
2. Migran risen (risen migrant) adalah mereka yang pindah melewati batas
provinsi dalam kurun 5 tahun terakhir sebelum pencacahan.
Jumlah migran masuk risen ke suatu provinsi adalah banyaknya penduduk
yang tempat tinggalnya 5 tahun lalu di luar provinsi tersebut. Sedangkan
jumlah migran ke luar risen dari suatu provinsi adalah banyaknya penduduk
provinsi lain yang 5 tahun yang lalu tinggal di provinsi tersebut.
3. Migran total (total migrant) adalah mereka yang pernah pindah antar provinsi
tanpa memperhatikan kapan pindahnya, sehingga provinsi tempat tinggal
sebelumnya berbeda dengan provinsi tempat tinggal sekarang.
Menurut Everett S. Lee (Mantra, 2000), volume migrasi di suatu wilayah
berkembang sesuai dengan tingkat keragaman daerah-daerah di wilayah tersebut.
Di daerah asal dan di daerah tujuan, menurut lee, terdapat faktor-faktor yang
disebut sebagai :
1. Faktor positif (+) yaitu faktor yang memberikan nilai keuntungan bila
bertempat tinggal di tempat tersebut.
2. Faktor negatif (-) yaitu faktor yang memberikan nilai negatif atau
merugikan bila tinggal di tempat tersebut sehingga seseorang merasa perlu
untuk pindah ke tempat lain.
3. Faktor netral (0) yaitu yang tidak berpengaruh terhadap keinginan seorang
individu untuk tetap tinggal di tempat asal atau pindah ke tempat lain.
Selain ketiga faktor diatas terdapat faktor rintangan antara. Rintangan
Antara adalah hal-hal yang cukup berpengaruh terhadap besar kecilnya arus
mobilitas penduduk. Rintangan Antara dapat berupa : ongkos pindah, topografi
wilayah asal dengan daerah tujuan atau sarana transportasi.
Faktor yang tidak kalah penting yang mempengaruhi mobilitas
penduduk adalah faktor individu, karena faktor individu pula yang dapat menilai
positif atau negatifkah suatu daerah dan memutuskan untuk pindah atau
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 3
bertahan di tempat asal, jadi menurut Everett S. Lee (Mantra, 2000) arus
migrasi dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :
1. Faktor individu.
2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, seperti : keterbatasan
kepemilikan lahan, upah di desa rendah, waktu luang (Time lag) antara
masa tanam dan masa panen, sempitnya lapangan pekerjaan di desa,
terbatasnya jenis pekerjaan di desa.
3. Faktor di daerah tujuan, seperti : tingkat upah yang tinggi, luasnya
lapangan pekerjaan yang beraneka ragam.
4. Rintangan antara daerah asal dengan daerah tujuan, seperti : sarana
transportasi, topografi desa ke kota dan jarak desa kota.
Di negara-negara berkembang gerak perpindahan penduduk yang paling
menonjol adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Hal ini bukan hanya
karena perbedaan pertumbuhan antara desa dan kota, juga karena menyangkut
perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dimana terjadi
kesenjangan pertumbuhan antara masyarakat desa dan masyarakat kota.
Sehingga migrasi atau mobilitas penduduk dianggap sebagai mekanisme yang
membawa masyarakat dari kehidupan yang tradisional ke kehidupan yang modern
(Zelinsky, 1971 yang dikutip Saefullah, 1999).
Todaro (2000) menjelaskan tentang teori migrasi yaitu sebagai berikut:
Teori ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota. Pada dasarnya
merupakan suatu fenomena ekonomi. Keputusan seorang individu untuk
melakukan migrasi ke kota merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan
secara rasional. Teori Todaro mendasarkan pada pemikiran bahwa arus migrasi
desa ke kota berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan
pendapatan antara desa dengan kota. Pendapatan disini bukanlah pendapatan
aktual namun “penghasilan yang diharapkan” (expected income).
Adapun premis dasar yang dianut dalam teori ini adalah bahwa para migran
senantiasa mempertimbangkan pasar-pasar tenaga kerja yang tersedia bagi
mereka di sektor pedesaan dan perkotaan. Serta kemudian memilih salah satu di
antaranya yang sekiranya akan dapat memaksimumkan keuntungan yang
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 4
diharapkan. Besar kecilnya keuntungan-keuntungan yang mereka harapkan
(expected gain) itu diukur berdasarkan (identik dengan) besar kecilnya angka
selisih antara pendapatan riil dari pekerjaan dikota dan dari pekerjaan di desa.
Angka selisih tersebut juga senantiasa diperhitungkan terhadap besar kecilnya
peluang migran yang bersangkutan untuk mendapatkan pekerjaan di kota.
3.1.2 Jenis – Jenis Migrasi
Migrant dan migrasi sangat erat kaitannya. Karena migrasi adalah proses
yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau seorang indvidu yang disebut
sebagai Migran. Berdasarkan dari pengertian migrasi yang telah dibahas
sebelumnya, konsep migrasi memiliki dua dimensi penting, yaitu masalah waktu
dan daerah. Dalam dimensi ruang atau spasial atau daerah dan dimensi waktu.
Jika ditinjau dari dimensi ruang/daerah, secara garis besar migrasi dibagi dua yaitu
migrasi internal dan migrasi internasional (Rusli, 1994).
Migrasi internal merupakan perpindahan penduduk dari satu wilayah ke
wilayah lain dalam satu negara. Migrasi Nasional atau internal terdiri atas beberapa
jenis, yaitu sebagai berikut :
1. Transmigrasi
Transmigrasi adalah suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia
untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota)
ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia dengan upaya untuk
mengembangkan wilayah.
2. Ruralisasi
Ruralisasi adalah perpindahan penduduk dari kota ke desa.
3. Urbanisasi
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Terdapat perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk. Menurut
Tjiptoherijanto (2000) mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan
penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat
menetap di daerah yang baru, sedangkan migrasi didefinisikan sebagai
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 5
perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II dan sekaligus
berniat menetap di daerah yang baru tersebut.
Mobilitas penduduk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, mobilitas
penduduk vertikal, yang sering disebut dengan perubahan status.Contohnya
adalah perubahan status pekerjaan, dimana seseorang semula bekerja dalam
sektor pertanian sekarang bekerja dalam sektor non-pertanian. Kedua, mobilitas
penduduk horizontal, yaitu mobilitas penduduk geografis, yang merupakan gerak
(movement) penduduk yang melewati batas wilayah menuju wilayah lain dalam
periode waktu tertentu (Mantra, 2000).
Selanjutnya (Mantra, 2000) menjelaskan bila dilihat dari ada tidaknya
niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula dibagi
menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen atau migrasi, dan mobilitas
penduduk non-permanen, Jadi menurut (Mantra, 2000) migrasi adalah gerak
penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan
niatan menetap. Sebaliknya, mobilitas penduduk non-permanen adalah gerak
penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di
daerah tujuan.
Tabel 3.1 Bentuk-Bentuk Migrasi Penduduk
No Bentuk Migrasi Batas Wilayah Batas Waktu
1 Commuting Dukuh (Dusun) 6 jam atau lebih
dan kembali
pada hari yang
sama
2 Menginap / mondok di
daerah tujuan
Dukuh (Dusun) Lebih dari satu hari
dan Lebih dari 6
bulan
3 Permanen/menetap di
daerah tujuan
Dukuh (dusun) 6 bulan atau lebih
menetap di
daerah tujuan
Sumber : Ida Bagoes Mantra 2000
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 6
3.1.3 Faktor – Faktor Penyebab Migrasi
Pada umumnya, banyak faktor yang mempengaruhi terjadiya migrasi,
disamping adanya faktor utama, terdapat juga faktor klasik berupa kondisi
kemiskinan di daerah pedesaan. Menurut Lee, terdapat empat faktor yang
menyebabkan seseorang atau penduduk mengambil keputusan untuk bermigrasi.
Faktor-faktor tesebut adalah :
a. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
b. Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan
c. Rintangan antara daerah asal dan daerah tujuan
d. Faktor-faktor daerah asal dan daerah tujuan.
Lee mengungkapkan bahwa volume migrasi di satu wilayah berkembang
sesuai dengan keanekaragaman daerah-daerah di dalam wilayah tersebut. Bila
melukiskan di daerah asal dan daerah tujuan ada faktor-faktor positif, negatif dan
adapula faktor-faktor netral. Faktor positif adalah faktor yang memberi nilai yang
menguntungkan kalau bertempat tinggal di daerah tersebut, misalnya di daerah
tersebut terdapat sekolah, kesempatan kerja, dan iklim yang baik. Sedangkan
faktor negatif adalah faktor yang memberi nilai negatif pada daerah yang
bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah dari tempat tersebut. Perbedaan
nilai kumulatif antara kedua tempat cenderung menimbulkan arus imigrasi
penduduk.
Berikut ini merupakan bagan atau gambaran mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya migrasi menurut Lee :
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 7
Gambar 3.1 Faktor Penyebab Terjadinya Migrasi
(Lee, dalam Mantra, 2000:181)
Keterangan :
Tanda “+” merupakan simbol faktor penarik
Tanda “-“ merupakan simbol faktor pendorong
Tanda “0” merupakan simbol faktor netral.
Menurut Lee, dalam setiap daerah banyak sekali faktor yang
mempengaruhi orang untuk tinggal atau menetap di situ atau menarik orang untuk
pindah ke situ, atau ada faktor-faktor lain yang memaksa mereka untuk
meninggalkan daerah itu. Faktor-faktor tersebut digambarkan dalam diagram
berbentuk tanda + dan – (positif dan negatif), sedangkan faktor-faktor yang pada
dasarnya tidak berpengaruh sama sekali terhadap penduduknya digambarkan
dengan tanda 0. Beberapa faktor itu mempunyai pengaruh yang sama terhadap
beberapa orang, sedangkan ada faktor berpengaruh yang berbeda terhadap
seseorang.
Di setiap tempat atau daerah yang menjadi daerah asal maupun tujuan,
yang terkait dengan perpindahan penduduk atau kegiatan mobilitas, akan selalu
terdapat faktor positif dan negatif. Yang mana merupakan faktor yang
menyebabkan seseorang meninggalkan daerah tersebut.
--
--
+ +
--
-- --
+
+ --
+ -- +
+ +
--
-- --
+
+ --
+ -- +
+
Rintangan Antara
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 8
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lee dapat disimpulkan bahwa di
setiap tempat asal maupun tujuan, terdapat sejumlah faktor yang baik (positif)
yang menjadi faktor penarik, cenderung menahan orang atau penduduk agar tidak
pindah dari daerah asalnya, namun terdapat juga faktor negatif yang
mempengaruhi untuk tetap melaksanakan keputusan seseornag atau masyarakat
untuk melakukan migrasi.
Menurut Rozy Munir (2000), pada dasarnya terdapat 2 pengelompokan
besar tentang faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi. Faktor
tersebut adalah faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).
a) Faktor Pendorong Migrasi (Push Factor)
Menurut Marbun (dalam Haryana), orang desa terdorong pindah atau
bermigrasi ke kota adalah proses kemiskinan di desa, lapangan pekerjaan yang
hampir tidak memadai / tidak tersedia, jika ada pendapatannya masih rendah, adat
istiadat yang masih megikat ketat serta sulitnya melanjutkan pendidikan.
Dalam konteks yang lebih luas, meningkatnya arus migrasi dapat
mempengaruhi terjadinya perubahan komposisi penduduk di daerah yang terkait
dan juga mempengaruhi pola komunikasi baik individu maupun kolektif dalam
komunitas yang berbeda. Ini berarti dalam intensitas yang tinggi migarsi dapat
memberikan pengaruh modernisasi pada daerah tujuan migrasi. Sehingga
mendorong percepatan modernisasi dan pengalihan teknologi di daerah tersebut.
Dengan begitu dapat terjadi peningkatan kesejahteraan. Berikut beberapa faktor-
faktor pendorong terjadinya migrasi di daerah asal :
1. Semakin berkurangnya sumber dayar alam, menurunnya permintaan atas
barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin sulit diperoleh seperti hasil
tambang, kayu atau bahan dari pertanian.
2. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal akibat masuknya teknologi
yang menggunakan mesin-mesin.
3. Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal
4. Tidak cocok lagi dengan adat, budaya dan kepercayaan di tempat asal
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 9
5. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa
mengembangkan karir pribadi.
6. Bencana alam, baik banjir, kebakaran, gempa bumi, musim kemarau panjang
atau adanya wabah penyakit.
Pendapat lain diungkapkan oleh Waridin (2002) menyebutkan bahwa ada
beberapa teori yang mengungkapkan mengapa seseorang melakukan mobilitas
atau migrasi, diantaranya adalah teori kebutuhan dan stres. Setiap individu
mempunyai beberapa macam kebutuhan yang berupa kebutuhan ekonomi, sosial,
budaya dan psikologis. Semakin besar kebutuhan yang tidak terpenuhi, semakin
besar stres yang dialami seseorang. Apabila stres sudah berada di atas batas
toleransi, maka seseorang akan berpindah ke tempat lain yang mempunyai nilai
kefaedahan atau supaya kebutuhannya dapat terpenuhi. Perkembangan teori
migrasi ini kemudian dikenal sebagai model ”stress treshold” atau model ”place
utility”.
Spare (1975) juga menyatakan, bahwa migrasi dipengaruhi oleh faktor
structural, seperti karakteristik sosio-demografis, tingkat kepuasan terhadap
tempat tinggal, kondisi geografis daerah asal serta karakteristik komunitas. Pada
umumnya, ketidakpuasan pada latar belakang yang berdimensi structural ini akan
dapat mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi. Sebagai contoh, daerah lahan
pertanian yang tandus, biasanya akan ditinggalkan oleh masyarakatnya, dan
mencari tempat lain yang lebih subur atau pekerjaan lainnya yang banyak peluang
ekonominya, khususnya pada sektor on-pertanian, seperti bidang perdagangan,
jasa atau industri.
b) Faktor Penarik Migrasi (Pull Factor)
Faktor penarik merupakan faktor yang ada dan terdapat di daerah tujuan
perantauan atau migrasi. Menurut Kartomo (2000), bahwa daya tarik kota adalah
adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki
lapangan, pekerjaan yang cocok, kesempatan untuk mendapatan pendidikan yang
lebih tinggi, keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang lebih menyenangkan.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 10
Misalnya, iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya,
tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung.
Kebanyakan migrasi dilakukan guna mendapatkan kesejahteraan yang
lebih baik lagi dibanding daerah asal. Berikut ini adalah beberapa faktor-faktor
penarik yang mendorong terjadinya migrasi :
1. Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki
lapangan pekerjaan yang cocok.
2. Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik
3. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi
4. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya :
iklim, perumahan, sekolah, dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya.
5. Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat
kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang dari desa atau kota kecil.
Adapun Migran pemula atau pionir akan dianggap sebagai penarik
penduduk dari daerah asal yang mengakibatkan timbulnya pola migrasi berantai
(chain migration).
3.2 Transmigrasi
3.2.1 Definisi Transmigrasi
Kepadatan penduduk di Indonesia ternyata secara tidak langsung
memberikan dampak yang bersifat negatif. Terutama pada sektor kependudukan
di Indonesia. Pulau Jawa, adalah salah satu pulau di Indonesia, yang memiliki
kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. Sehingga, peluang pekerjaan di Pulau
Jawapun tidak dapat mengakomodir seluruh masyarakat yang ada di Pulau Jawa.
Sehingga, angka pengangguran di Pulau Jawa sendirpun sangat tinggi.
Tingkat pengangguran yang tinggi ini, memiliki ekuivalen dengan tingkat
kejahatan pada suatu wilayah. Karena dalam berbagai cabang ilmu mengenai
kejahatan juga menyebutkan bahwa kejahatan tersebut dapat terjadi dikarenakan
faktor ekonomi. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk membentuk berbagai
kebijakan, guna mengatasi permasalahan pembangunan dan kependudukan.
Salah satunya adalah kebijakan transmigrasi.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 11
Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari daerah yang padat
penduduknya ke daerah yang kurang padat penduduknya dalam batas negara,
dalam rangka kebijaksanaan nasional untuk terwujudnya penyebaran penduduk
yang lebih seimbang (HJ Heeren 1979:6). Sedangkan menurut Collins Mac Andrew,
(1995) transmigran merupakan perpindahan penduduk dari daerah yang padat
penduduknya ke daerah yang kurang padat penduduknya, sebagian besar
direncanakan dan dibiayai oleh pemerintah, guna memindahkan masyarakat dari
Jawa, Bali dan Lombok ke perkampungan-perkampungan baru yang dipusatkan di
pulau-pulau di luarnya.
Dalam Undang – Undang Transmigrasi No.29 tahun 2009, disebutkan
bahwa Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk
meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah. Interpretasi terhadap definisi tersebut bahwa
pembangunan transmigrasi pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk
merekayasa ruang atau wilayah agar mempunyai nilai tambah dan daya tarik bagi
penduduk untuk mendatanginya, bertempat tinggal di dalamnya, dan untuk
bekerja-berusaha guna peningkatkan kesejahteraan. Masyarakat transmigrasi,
baik para pendatang ataupun masyarakat (penduduk lokal), yang berada di
satuan-satuan permukiman dalam kawasan transmigrasi, merupakan entitas
kehidupan sosial sebagai subyek, pionir, sekaligus pemanfaat pembangunan
transmigrasi.
Transmigrasi dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, yaitu sebagai berikut
(Warsito, dkk., 1995) :
1. Transmigrasi Umum
Transmigrasi umum adalah program transmigrasi yang disponsori dan
dibaiayai secara keseluruhan oleh pihak pemerintah melalui depnakertrans
(departemen tenaga kerja dan transmigrasi).
2. Transmigrasi Spontan / Swakarsa
Transmigrasi spontan adalah perpindahan penduduk dari daerah padat ke
pulau baru sepi penduduk yang didorong oleh keinginan diri sendiri namun
masih mendapatkan bimbingan serta fasilitas penunjang dari pemerintah.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 12
3. Transmigrasi Bedol Desa
Transmigrasi bedol desa adalah transmigrasi yang dilakukan secara masal
dan kolektif terhadap satu atau beberapa desa beserta aparatur desanya
pindah ke pulau yang jarang penduduk. Biasanya transmigrasi bedol desa
terjadi karena bencana alam yang merusak desa tempat asalnya.
4. Transmigrasi Khusus
Transmigrasi khusus adalah transmigrasi yang diselenggarakan dengan
tujuan-tujuan tertentu, misalnya penduduk yang tertimpa bencana alam,
pengangguran dan tunawisma di kota-kota besar. Transmigrasi semacam ini
disebut transmigrasi sektoral, penyelenggaraannya diurusi pemerintah daerah
asal bekerja sama dengan Departemen Transmigrasi.
Transmigrasi di Indonesia telah berjalan selama lebih dari satu abad.
Transmigrasi di Indonesia telah memiliki sejarah panjang. Sebagai program
pembangunan yang khas Indonesia, awalnya merupakan program politik etis
Pemerintah Hindia Belanda, dengan memberikan kesempatan bagi penduduk
miskin Jawa, untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan swasta di Sumatera.
Program ini dinamakan kolonisatie, yang dimulai sejak tahun 1905. Selama tahun
1905 hingga 1941, sejumlah besar penduduk telah dipindahkan ke Lampung dan
Sumatera Bagian Selatan.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia, dengan menggantikan istilah
kolonisatie dengan transmigrasi, melanjutkan program ini dengan cara-cara yang
relatif sama. Transmigrasi merupakan salah satu program khas Pemerintah
Indonesia, yang diselenggarakan dalam bentuk pemindahan (perpindahan)
penduduk secara besar-besaran dari dan keluar pulau Jawa, Madura, Bali, dan
Lombok, untuk bekerja sebagai petani. Selama masa Orde Baru, atau sebelum
tahun 2000-an, program transmigrasi pernah dilaksanakan secara besar-besaran
untuk menangani problem kemiskinan perdesaan Jawa.
Transmigrasi diselenggarakan Pemerintah pasca kemerdekaan atas alasan-
alasan: Demografis (ketimpangan penduduk Indonesia), ideologis (persatuan dan
kesatuan bangsa), ekonomis (pengentasan kemiskinan), politis (pemerataan
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 13
pembangunan antar-wilayah), dan kultural, yaitu terjadinya akulturasi dalam
hubungan lintas etnis, bagi masyarakat lokal dan pendatang dalam setting budaya
masyarakat Indonesia yang plural.
Sosiologi transmigrasi sebagai fenomena khas Indonesia, telah diakui dan
dirasakan oleh masyarakat, sebagai sarana [alternatif] pemecahan masalah
ketiadaan pekerjaan, sekaligus pencapaian kesejahteraan. Transmigrasi telah
begitu popular, dikenal masyarakat, karena jasa-jasanya dalam membentuk
komunitas/ masyarakat, yang bermukim di desa-desa baru di berbagai belahan
negeri ini. Banyak entitas kehidupan sosial-ekonomi dan kultural, yang terbentuk
melalui transmigrasi, yang kini telah maju dan berkembang.
3.2.2 Transmigrasi dari Masa Ke Masa
Dari waktu ke waktu, sejarah transmigrasi diwarnai beberapa perubahan
baik dari sisi aturan legal, kebijakan dan paradigma, serta orientasi pragmatis
pelaksananya. Sejak masa pra-Pelita hingga kini, setidaknya ada 4 (empat)
kategori “generasi transmigrasi”, yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Puslitbang
Ketransmigrasian, 2013) :
1. Generasi Pertama
Adalah transmigrasi yang dilaksanakan di masa pra-Pelita dan berakhir
hingga pertengahan tahun 1980-an (Pelita III). Dasar legalnya adalah UU No. 3
tahun 1972 (tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi). Ciri utama transmigrasi
generasi ini adalah pemindahan penduduk secara besar-besaran dari dan keluar
Pulau Jawa, Madura, Bali (Jambal), dan Lombok, dengan sepenuhnya biaya
ditanggung pemerintah. Tema-tema utama transmigrasi saat itu adalah
pengurangan kepadatan penduduk Jawa dan kelangkaan penduduk luar Jawa.
Pola usaha dan permukiman transmigrasi hampir seluruhnya dibangun dengan
orientasi pengembangan pertanian (padi-sawah) baik lahan basah maupun lahan
kering.
Produk akhir transmigrasi generasi ini adalah kesatuan-kesatuan sosial,
atau komunitas-komunitas administratif desa, yang dalam jangka panjang telah
terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan wilayah dan
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 14
ekonomi regional sebagai pusat-pusat produksi pertanian dan menjadi wilayah
belakang (hinterland) dari kota-kota yang secara tradisional sudah ada di wilayah
provinsi yang bersangkutan. Komunitas desa-desa eks transmigrasi umumnya
berskala besar, dan berkembang pesat baik secara politis maupun administratif.
2. Generasi Kedua
Adalah transmigrasi yang dilaksanakan di masa Pelita IV hingga berakhir di
akhir tahun 1990-an (Pelita VII). Dalam era ini transmigrasi ditandai salah satunya
oleh keterlibatan pihak swasta untuk berinvestasi di sektor perkebunan. Sekalipun
pola usaha tanaman pangan (padi sawah) masih dipertahankan, pola-pola
kemitraan perkebunan dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR-Trans)
dikembangkan secara besar-besaran. Program transmigrasi mendapat berkah
dengan dikucurkannya dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada
swasta, sehingga banyak swasta yang kemudian berinvestasi membangun
perkebunan sawit dan karet dalam bentuk PIR-Trans.
Tema-tema demografis transmigrasi di era ini kemudian ditinggalkan,
karena efek-efek pengurangan penduduk di daerah asal (Jambal) ternyata tidak
tercapai. Transmigrasi kemudian dilakukan dengan orientasi pengembangan
wilayah di daerah. Maka lahirlah UU No. 15 tahun 1997 (tentang Ketransmigrasian,
sebagai pengganti UU Nomor 3 tahun 1972). Secara konseptual, orientasi
transmigrasi generasi kedua bukan lagi membangun komunitas administratif desa
atau desa definitif, melainkan pembangunan proyek-proyek berbasis spasial yaitu
WPT (Wilayah Pengembangan Transmigrasi) dan LPT (Lokasi Permukiman
Transmigrasi).
3. Generasi ketiga
Adalah transmigrasi yang dilaksanakan sejak berakhirnya pemerintahan
sentralistik Orde Baru, dan berakhir di penghujung tahun 2004. Dengan demikian,
dalam prakteknya UU nomor 15/1997 belum sempat diimplementasikan secara
utuh dan orientasi pengembangan wilayah praktis belum sempat dilaksanakan,
karena ketika itu transmigrasi lebih difokuskan atau mendapat mandate yang
bersifat ad hoc untuk menangani secara permanen korban konflik baik horisontal
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 15
maupun konflik vertikal melalui upaya pemukiman kembali di berbagai wilayah
(termasuk daerah asal Jawa, Madura, dan Bali).
Pada era ini, transmigrasi mengalami stagnasi. Tahun 2000-2001,
misalnya, tidak ada penempatan transmigrasi. Di beberapa propinsi, program
transmigrasi dihentikan. Sejak saat itulah maka citra (syi’ar) transmigrasi mulai
meredup. Kondisi ini semakin sulit, karena otonomi daerah yang mulai
diberlakukan menjadikan dikotomi yang begitu kuat antara kepentingan daerah
tujuan dan daerah asal transmigrasi, serta perolehan lahan pun untuk permukiman
transmigrasi berskala luas (yang bersifat eksklusif) menjadi semakin sensitif untuk
dibicarakan. Satuan-satuan permukiman transmigrasi dibangun dalam skala yang
relatif lebih kecil, sehingga sulit untuk menjadi embrio pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah.
Transmigrasi kembali normal menjadi program reguler pemerintah yang
teratur di tahun 2005. Namun transmigrasi di era ini sebagian masih mewarisi
problematik di era generasi ketiga. Dalam paruh kedua pemerintahan SBY Jilid I,
upaya untuk membenahi transmigrasi sebagai program reguler-sektoral, telah
berhasil dilakukan. Maka muncullah paradigma baru transmigrasi, yang bukan lagi
berorientasi demografis melalui pemindahan dan penempatan penduduk secara
besar-besaran, tetapi lebih pada pembangunan transmigrasi dengan membangun
dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan baru dan atau pusat pertumbuhan yang
sudah ada melalui skema Kota Terpadu Mandiri (KTM) dengan basis kawasan
transmigrasi (dimulai tahun 2007), yang tujuannya untuk mengurangi
ketimpangan dan mempercepat pembangunan daerah dalam rangka
memperkukuh pelaksanaan otonomi.
Tetapi dalam era ini, transmigrasi masih tetap harus dilakukan dalam
bentuk perpindahan penduduk dari dan keluar daerah pengirim (asal), dengan
tetap menyertakan masyarakat setempat sebagai Transmigran Penduduk
Setempat (TPS), dan dengan dengan porsi dan komposisi yang lebih seimbang,
bahkan lebih besar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan perlindungan hak-hak
masyarakat lokal agar tidak terjadi marginalisasi, karena mereka adalah pemilik
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 16
territorial atau daerah kebudayaan, masyarakat penerima, atau bahkan sebagai
pemberi lahan untuk lokasi pembangunan.
4. Generasi Keempat
Era baru transmigrasi akan menjadi transmigrasi yang mendapat tugas
lebih kompleks, yaitu: Pertama, merencanakan infrastruktur kawasan transmigrasi
sebagai kawasan yang memiliki fungsi-fungsi perkotaan atau ciri fungsi perkotaan
baru. Maka transmigrasi dihadapkan pada tantangan untuk memperoleh dukungan
aparat birokrasi yang memahami betul planologi wilayah perkotaan. Kedua,
transmigrasi harus mempersiapkan para calon transmigran, baik dari daerah
pengirim maupun dari daerah tujuan atau penempatan (transmigran penduduk
setempat), untuk menjadi calon masyarakat transmigrasi yang mampu menopang
pertumbuhan budaya perkotaan dengan basis pertanian.
Selain tugas membangun prasarana dan sarana fisik kawasan perkotaan
guna melayani kebutuhan masyarakat, tugas baru transmigrasi adalah membuat
program-program pengembangan kultur perkotaan bagi masyarakat transmigran,
atau model transformasi kultural yang diperlukan guna menopang kemajuan
kawasan yang berciri atau berfungsi perkotaan. Pada generasi ini (saat ini)
diperlukan aparat birokrasi (pusat maupun daerah) yang mampu melakukan
rekayasa transformasi budaya dari tradisional ke modernitas pendukung kehidupan
kota. Ketiga, memberikan pemahaman kepada publik bahwa transmigrasi kedepan
bukan lagi hanya membangun desa, melainkan membangun masyarakat kota yang
dicirikan oleh kultur kerja keras, kompetitif, dan reseptif terhadap nilai-nilai
moderen yang mendukung kemajuan.
Di era baru ini, transmigrasi akan memasuki babak baru, sebagai program
yang sangat prestisius, tetapi tetap berciri populis, dan akan mendapat simpati
rakyat (publik), bagi siapapun rezim pelaksana dan berkuasa di negeri ini.
Apa yang menjadi ciri khas (“trademark”) dari program transmigrasi,
adalah bahwa melalui transmigrasi, atau dengan mengikuti program ini, seseorang
atau suatu unit keluarga, dapat memperoleh bantuan sarana produksi, berupa
tanah, pangan untuk bekerja (food for work), dan perlakuan pembinaan
kemasyarakatan setelah bertempat tinggal (pasca penempatan) di permukiman
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 17
baru transmigrasi. Dengan kata lain, program transmigrasi memberikan akses
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk bekerja dan berusaha di daerah baru,
dengan memanfaatkan sumber daya alam (lahan pertanian).
3.3 Urbanisasi
3.3.1 Definisi Urbanisasi
Urbanisasi secara harfiah berarti pengkotaan, yaitu proses menjadi kota
(Pontoh dan Kustiawan, 2008). Urbanisasi dipahami secara umum sebagai proses
menjadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, perubahan pekerjaan dari
bertani berubah menjadi non-petani, dan juga menyangkut perubahan pola
perilaku manusia (Daldjoeni, dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Pengkotaan
juga dapat diterapkan pada suatu negara, sehingga dapat meningkatkan proporsi
penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan.
Ditinjau dari aspek demografis, urbanisasi yang diartikan sebagai
mengalirnya penduduk dari desa ke kota yang disebabkan oleh adanya perbedaan
signifikan tingkat kehidupan antara desa dan kota. Dalam konteks ini, para pakar
mengidentifikasikan faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull
factors) yang berkaitan dengan bangkitan urbanisasi (Khairuddin, dalam Pontoh
dan Kustiawan, 2008).
Harjoko (2010) pengertian urbanisasi diartikan sebagai suatu proses
perubahan masyarakat dan kawasan dalam suatu wilayah yang non-urban menjadi
urban. Secara spasial, hal ini dikatakan sebagai suatu proses diferensiasi dan
spesialisasi pemanfaatan ruang dimana lokasi tertentu menerima bagian pemukim
dan fasilitas yang tidak proporsional.
Shogo kayono dalam Abbas (2002) memberikan pengertian urbanisasi
sebagai perpindahan dan pemusatan penduduk secara nyata yang memberi
dampak dalam hubungannya dengan masyarakat baru yang dilatar belakangi oleh
faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sementara Keban dalam Abbas (2002)
berpendapat bahwa urbanisasi jangan hanya dalam konteks demografi saja karena
urbanisasi mengandung pengertian yang multidimensional. Urbanisasi dari
pendekatan demografis berarti sebagai suatu proses peningkatan konsentrasi
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 18
penduduk diperkotaan sehingga proporsi penduduk yang tinggal menjadi
meningkat yang biasanya secara sederhana konsentrasi tersebut diukur dari
proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan, kecepatan perubahan proporsi
tersebut, dan perubahan jumlah pusat-pusat kota.
Sedangkan urbanisasi menurut pendekatan ekonomi politik didefenisikan
sebagai transformasi sosial ekonomi yang timbul sebagai akibat dari
pengembangan dan ekspansi kapitalisme (capitalist urbanization). Dalam konteks
modernisasi, urbanisasi mengandung pengertian sebagai perubahan nilai dari
orientasi tradisional ke orientasi modern sehingga terjadi difusi modal, teknologi,
nilai-nilai, pengelolaan kelembagaan dan orientasi dari masyarakat tradisional ke
dunia barat (kota).
3.3.2 Faktor Pendorong Urbanisasi
Faktor-faktor pendorong terjadinya urbanisasi dapat ditinjau dalam
beberapa perspektif, yaitu kemajuan di bidang pertanian, industrialisasi, potensi
pasar, peningkatan kegiatan pelayanan, kemajuan transportasi, tarikan sosial dan
kultural, kemajuan pendidikan dan pertumbuhan penduduk alami (Hammond,
1979 diacu dalam Rustiadi et al., 2009). Alasan penduduk melakukan migrasi
dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang berkaitan dengan alasan pekerjaan ataupun
alasan non ekonomi yang berkaiatan dengan sosial, budaya, pendidikan, politik
dan keamanan.
Faktor pendorong lainnya adalah semakin terbatasnya lapangan kerja di
pedesaan, kemiskinan di pedesaan akibat bertambahnya jumlah penduduk,
transportasi desa-kota yang semakin lancar, tingginya upah buruh di kota dari
pada di desa, meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat desa, dan tata cara
serta adat istiadat yang kadang kala dianggap sebagai beban oleh masyarakat
desa. Sementara faktor penarik antara lain adalah kesempatan kerja yang lebih
luas dan bervariasi di kota, tingkat upah yang lebih tinggi, lebih banyak
kesempatan untuk maju (diferensiasi pekerjaan dan pendidikan dalam segala
bidang), tersedianya barang-barang kebutuhan yang lebih lengkap, terdapatnya
berbagai kesempatan untuk rekreasi dan pemanfaatan waktu luang, dan bagi
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 19
orang-orang atau kelompok tertentu di kota memberikan kesempatan untuk
menghindari diri dari kontrol sosial yang ketat.
Analisis hubungan keterkaitan antara urbanisasi dengan pembangunan
ekonomi menurut ahli ekonomi dan sosial dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek
pertama berkaitan dengan peran urbanisasi terhadap pembangunan ekonomi dan
aspek kedua tentang pengaruh dari pembangunan ekonomi terhadap urbanisasi
(Sukirno, 1985 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Kedua aspek analisis
tersebut menunjukkan bahwa diantara urbanisasi dan pembangunan ekonomi
terdapat hubungan sebab akibat yang timbal balik sifatnya, dimana pembangunan
ekonomi dapat mempercepat proses urbanisasi dan sebaliknya proses urbanisasi
dapat pula mempercepat proses pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang kian pesat berdampak pada
kebutuhan sarana dan prasarana/infrastruktur perkotaan (urban infrastructure).
Penduduk kota dipandang dalam konteks permintaan (demand), sedangkan
penyediaan infrastruktur kota merupakan penawaran (suplly) (Adisasmita dan
Sakti, 2010). Dalam pembangunan perkotaan yang berkesinambungan, maka sisi
permintaan dan sisi penawaran harus diupayakan mencapai titik keseimbangan,
sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang berujung pada terjadinya
kelangkaan ataupun kesulitan dalam pelayanan terhadap masyarakat.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Urbanisasi timbul oleh adanya
usaha untuk mempertinggi efisiensi kegiatan tukar menukar, karena usaha
tersebut akan mengembangkan pusat-pusat perdagangan yang nantinya dapat
berfungsi sebagai tempat pengumpulan barang produksi suatu wilayah yang akan
dipersiapkan untuk didistribusikan ke wilayah lainnya. Untuk menjamin kelancaran
usaha pengumpulan dan pendistribusian barang oleh pusat-pusat perdagangan
tersebut, maka secara tidak langsung akan berkembang pula kegiatan-kegiatan
yang merupakan suplemen/tambahan dari kegiatan perdagangan seperti kegiatan
pengangkutan, komunikasi, dan badan-badan keuangan. Perkembangan dari
berbagai kegiatan tersebut mendorong orang untuk berpindah ke kota-kota yang
berfungsi sebagai pusat perdagangan dalam suatu wilayah tertentu.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 20
3.4 Ruralisasi
Ruralisasi adalah kebalikan dari urbanisasi, yaitu proses perpindahan
penduduk dari suatu daerah di perkotaan yang padat penduduknya ke daerah lain
di pedesaan yang masih jarang penduduknya. Pada umumnya mereka yang
melakukan ruralisasi dulunya pernah juga melakukan urbanisasi, tapi cukup
banyak juga masyarakat kota yang melakukan ruralisasi. Ruralisasi pada umumnya
banyak dilakukan oleh mereka yang dulu pernah melakukan urbanisasi, namun
banyak juga pelaku ruralisasi yang merupakan orang kota asli (Todaro, 2000).
Ruralisasi dilakukan ketika kepadatan masyarakat di perkotaan sudah
sangat tinggi dan keseimbangan populasi sudah terganggu. Sebagian masyarakat
kota tersebut akhirnya pindah ke daerah pedesaan untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik dan berkualitas. Selain karena di daerah pedesaan masih tersedia
ruang yang cukup banyak untuk tempat tinggal, daerah pedesaan juga dianggap
lebih sehat ketimbang di perkotaan.
Mengacu pada pengertian ruralisasi di atas, berikut ini adalah beberapa
faktor pendorongnya (Pratiwi, 2012) :
1. Masyarakat kota yang jenuh dengan situasi dan kondisi di perkotaan,
2. Semakin mahalnya lahan di perkotaan sehingga banyak masyarakat kota
yang tidak dapat memiliki lahan di kota.
3. Adanya keinginan masyarakat kota untuk kembali ke desa asalnya dan
memajukan desanya tersebut.
4. Sebagian masyarakat kota pindah ke pedesaan karena merasa tidak
sanggup lagi mengikuti dinamika kehidupan di perkotaan.
Selain faktor pendorong, ada juga faktor yang membuat masyarakat kota
tertarik untuk pindah ke pedesaan, diantaranya adalah (Pratiwi, 2012) :
1. Harga lahan di daerah pedesaan relatif masih murah dan terjangkau.
2. Biaya hidup dan pola kehidupan masyarakat di desa lebih sederhana.
3. Suasana dan kondisi di pedesaan jauh lebih tenang ketimbang di
perkotaan. Sangat cocok untuk mereka yang ingin menghabiskan masa tua
dan pensiun dengan tenang.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 21
4. Adanya kenangan masa kecil di pedesaan dan perasaan terhubung dengan
desa asalnya.
5. Masyarakat di desa lebih bersahabat, kekeluargaan, dan sopan sehingga
merasa lebih nyaman tinggal di desa.
Berikut ini adalah beberapa keuntungan ruralisasi:
1. Masyarakat dapat menciptakan usaha sendiri, misalnya berjualan.
Hal ini cenderung sulit dilakukan di perkotaan karena persaingan
yang sangat ketat.
2. Udara pedesaan yang jauh lebih sehat ketimbang di perkotaan
membantu tubuh tetap bugar.
3. Masyarakat yang melakukan ruralisasi pada umumnya dapat
mempengaruhi kehidupan masyarakat di desa, sehingga masyarakat
desa mengalami modernisasi.
4. Penduduk kota yang melakukan ruralisasi dapat membeli lahan di
pedesaan dengan harga yang lebih terjangkau.
3.5 Pengembangan Wilayah
3.5.1 Definisi Wilayah
Rustiadi, dkk (2009) mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan
batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen didalamnya memiliki
keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya.. Batasan wilayah
tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-
komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan,
manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah
menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya
dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Hagget, Cliff dan Frey, (1977) dalam Rustiadi dkk., (2009)
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah
homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3)
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 22
wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Dalam
pendekatan klasifkasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah
satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep
wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah adminsitratif-politis dan wilayah
perencanaan fungsional.
Pada pewilayahan yang menggunaakan konsep wilayah homogeny
mendefinisikan wilayah homogen berdasarkan basis kesamaan internal, yaitu
wilayah yang memiliki karakteristik serupa atau seragam. Keseragaman ciri
tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti sumberdaya alam (iklim dan
sumber mineral), sosial (agama, suku, dan budaya), dan ekonomi (mata
pencharian).
Wilayah heterogen (nodal region), yaitu wilayah yang saling berhubungan
secara fungsional disebabkan faktor heterogenitas (perbedaan komponen). Tiap
komponen mempunyai peran tersendiri terhadap pembangunan daerah. Hal ini
tercermin dalam perilaku para pelaku ekonomi yang saling tergantung terhadap
yang lain. Menurut Blair (1991) wilayah nodal adalah satu tipe penting dari wilayah
fungsional. Wilayah nodal terutama didasarkan atas suatu sistem hirarkis dari
hubungan perdagangan. Hubungan tersebut berlangsung antara sub-wilayah
pusat (core) dan wilayah pinggiran (periphery atau hinterland).
Wilayah perencanaan (planning region), yaitu wilayah yang berada dalam
kesatuan kebijakan atau administrasi. Wilayah ini selalu dikaitkan dengan
pemerintah dalam rangka pengelolaan organisasi kepemerintahan dan umum
digunakan untuk menyatakan kesatuan administratif seperti desa, kecamatan,
kabupaten/kota, dan propinsi. Blair (1991) mengemukakan bahwa wilayah
perencanaan atau wilayah administratif ini dibentuk untuk tujuan manajerial atau
organisasional.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 23
Secara teoritik, seluruh nomenklatur yang antara untuk istilah wilayah,
kawasan dan daerah, semuanya secara umum diistilahkan dengan wilayah
(region). Istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan
fungsional suatu unit wilayah, dengan demikian, kawasan pada dasarnya adalah
istilah khusus untuk istilah wilayah berdasarkan konsep wilayah fungsional/system.
Karena itu, definisi kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-
fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan
sistemnya ditentukan berda-sarkan aspek fungsional (Rustiadi,dkk. 2009).
Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Bappenas (2004)
mendefinisikan kawasan sebagai wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik
Wilayah Sistem/
Fungsional
Homogen
Perencanaan / Pengelolaan
Sistem Sederhana
Desa – Kota
Budidaya – Lindung
Sistem Kompleks
Sistem Ekonomi : Kawasan Produksi, Kawasan Industri
Sistem Ekologi : DAS, hutan, pesisir
Sistem Sosial-Politik : Kawasan Adata, Wilayah Etnik
Wilayah Perencanaan Khusus : Jabodetabekjur, KAPET
Wilayah Administrasi Politik : Provinsi, Kabupaten, kota
Konsep Alamiah
Nodal (Pusat-Hinterland)
Konsep Non Alamiah
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 24
dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain
secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
3.5.2 Pengembangan Wilayah
Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya
yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik”. Istilah pembangunan seringkali digunakan dalam hal
yang sama dengan pengembangan, sehingga dapat saling dipertukarkan. Namun
berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah
pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya
secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-
proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau
development (Rustiadi dkk, 2009).
Dalam istilah di dalam bahasa Indonesia, kata “pengembangan” memiliki
berbagai penekanan atau konotasi tertentu. Pertama, istilah pengembangan lebih
menekankan “proses meningkatkan dan memperluas”. Dalam pengertian bahwa
pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari “nol”, atau tidak
membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang
sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas
(Rustiadi, 2009). Kedua, istilah pengembangan menekankan adanya pendekatan
yang khusus dan bahkan cenderung bersikap melawan mainstream. Akibat
perlunya pendekatan yang sangat khusus dan berdeda, para akademisi maupun
praktisi pembangunan yang menekankan pemberdayaan dan peningkatan
kapasitas masyarakat lebih memilih istilah “pengembangan masyarakat” dibanding
pembangunan masyarakat.
Demikian juga para akademisi dan praktisi di bidang kewilayahan, dengan
alasan yang mirip lebih memilih istilah “pengembangan wilayah” dibandingkan
istilah pembangunan wilayah. Hal ini terutama karena di dalam pengembangan
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 25
wilayah memberikan berbagai penekanan tujuan yang berbeda dibandingkan
tujuan pembangunan sekala makro (nasional).
Menurut Murty (2000), pembangunan regional yang berimbang merupakan
sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan
pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti
bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan, tingkat industrialisasi,
pola ekonomi, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi
yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari
potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan
demikian, diharapkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan
merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat di antara
semua wilayah yang terlibat.
Riyadi dan Bratakusumah, (2006) membedakan antara pembangunan
dengan pengembangan dengan mengemukakan bahwa pembangunan adalah
semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan
terencana, sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi
secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan. Pembangunan dan
pengembangan itu dapat berupa fisik dan non-fisik.
Riyadi (2002) secara terperinci mengemukakan bahwa pengembangan
wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan
sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian
lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan
karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara
suatu wilayah dengan wilayah lainnya.
Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan
keterpaduan penggunaan sumber daya dengan penyeimbangan dan penyerasian
pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku pembangunan dalam
mewujudkan tujuan pembangunan daerah (Anwar, 2005). Zen (1999)
menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan
secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan
memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 26
Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling
berkaitan. Dari sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya
memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat. Di sisi lain secara ekologis,
pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan
sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo,
1999).
Perencanaan pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pada pendekatan
sektoral dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di
wilayah tersebut, sedangkan pada pendekatan regional melihat pemanfaatan
ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah (Tarigan, 2008).
Menurut Hoover dan Giarratani (1985) dalam Nugroho dan Dahuri (2004),
terdapat tiga pilar penting perencanaan pembangunan wilayah yang berkaitan
dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi.
1. Keunggulan Komperatif
Pilar ini berhubungan dengan keaadan sumberdaya yang spesifik dan khas,
yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar
wilayah, sehingga wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Karakter
tersebut umumnya berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya
alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan
kelompok usaha sektor primer lain. Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), dengan
adanya pemahaman tentang comparative advantage, maka pengembangan
suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan
yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan wilayah tersebut.
2. Aglomerasi
Aglomerasi sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. hal ini terjadi
karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam
bahan baku dan distribusi produk.
3. Biaya transport
Pilar ini terkait dengan jarak dan lokasi. Ketiga pilar tersebut selanjutnya akan
berimplikasi pada pengambilan keputusan terhadap lokasi kegiatan.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 27
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut
mendorong lahirnya berbagai konsep pengembangan wilayah. Berbagai konsep
pengembangan wilayah yang pernah diterapkan adalah:
1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumberdaya, yaitu: (1)
pengembangan wilayah berbasis sumberdaya; (2) pengembangan wilayah
berbasis komoditas unggulan; (3) pengembangan wilayah berbasis efisiensi;
(4) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan.
2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi
wilayah ke dalam: (1) pusat pertumbuhan; (2) integrasi fungsional; (3)
desentralisasi. Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya
melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau
wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan
wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke
bawah (trickle down effect). Konsep integrasi fungsional mengutamakan
adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat
pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini
menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat
pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep
desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari
sumberdana dan sumberdaya manusia.
3. Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan kerjasama
antarsektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah tertinggal.
4. Konsep pengembangan wilayah berdasarkan cluster. Konsep ini terfokus pada
keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi
sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Cluster
yang berhasil adalah cluster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan
keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal.
Dalam konteks pengembangan wilayah tersebut, Bappenas (2006)
mengemukakan prinsip-prinsip dalam ruang lingkup sebagai berikut:
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 28
1. Pengembangan wilayah harus berbasis pada sektor unggulan. Prioritas pada
sektor unggulan akan mengarahkan sumber-sumber daya pada sektor yang
diunggulkan melalui pemetaan antara sektor unggulan dengan sektor-sektor
yang menjadi pendukungnya.
2. Pengembangan wilayah dilakukan atas dasar karakteristik daerah yang
bersangkutan, baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Suatu program
hanya dapat tepat dilakukan pada suatu daerah tertentu dan tidak pada daerah
dengan karakteristik berbeda lainnya. Dalam hal ini pengenalan terhadap
karakter daerah mutlak dilakukan, sehingga perencanaan dan implementasi
program sesuai dengan kelompok sasaran daerah yang bersangkutan.
3. Pengembangan wilayah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.
Pengembangan wilayah tidak dapat didasarkan pada satu sektor saja, atau
pengembangan masing-masing sektor tidak dapat dilakukan secara terpisah.
4. Pengembangan wilayah mutlak harus mempunyai keterkaitan ke depan dan ke
belakang (forward and backward linkage) secara kuat. Atau pengembangan
kawasan produktif di hinterland harus dikaitkan dengan pengembangan
kawasan industri pengolahan di perkotaan, untuk memberikan nilai tambah
yang lebih tinggi terhadap pertumbuhan perekonomian suatu wilayah.
5. Pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan
desentralisasi. Dengan demikian, pemerintah daerah mempunyai wewenang
penuh dalam mengembangkan kelembagaan pengelolaan pengembangan
ekonomi di daerah, mengembangkan sumber daya manusianya, menciptakan
iklim usaha yang dapat menarik
Dengan demikian, pengembangan suatu wilayah atau kawasan harus
didekati berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus
mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor kunci yang menjadi syarat
perkembangan kawasan dari sisi internal adalah pada pola-pola pengembangan :
(1) sumber daya manusia, (2) informasi, (3) sumbersumber daya modal dan
investasi, (4) kebijakan dalam investasi, (5) pengembangan infrastruktur, (6)
pengembangan kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan, serta (7)
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 29
berbagai kerjasama dan kemitraan yang harus digalang untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Di lain pihak, faktor-faktor kunci yang menjadi syarat perkembangan
kawasan dari sisi eksternal adalah perhatian pada : (1) masalah kesenjangan
wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah; (2) perdagangan bebas
terutama masalah pengembangan produk dalam pasar bebas untuk meningkatkan
daya saing seperti peningkatan kualitas unsurunsur sumber daya manusia, (3)
pengembangan riset dan teknologi termasuk teknologi informasi, (4)
pengembangan sumber-sumber daya modal untuk membiayai investasi berbagai
inovasi pengembangan produk; serta (5) otonomi daerah dengan fokus berbagai
kebijakan yang mendukung iklim usaha investasi, kerjasama dan kemitraan dalam
pengembangan produk antar berbagai pelaku, daerah, secara vertikal dan
horisontal, serta pengembangan kemampuan kelembagaan pengelolaan ekonomi
di daerah secara profesional.
3.5.3 Pembangunan Kawasan
Pembangunan Kawasan tidak lain adalah usaha untuk mengembangkan
dan meningkatkan kesalingtergantungan dan interaksi antara sistem ekonomi
(economic system), manusia atau masyarakat (social system), dan lingkungan
hidup beserta sumber daya alam (ecosystem) yang ada didalamnya.
Di Indonesia, aspek fungsional dan administratif dari wilayah dijelaskan
dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mendefinisikan
wilayah sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. (Pasal 1 Ayat 17). Selanjutnya dalam UU
tersebut juga dinyatakan kawasan sebagai wilayah yang memiliki fungsi utama
lindung atau budi daya (Pasal 1 Ayat 20).
Dalam pengembangan wilayah, salah satu unsur fundamentalnya adalah
keberadaan pusat kegiatan dan atau pusat pertumbuhan. Dalam konteks ini,
konsep titik pertumbuhan (growth point concept) merupakan mata rantai antara
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 30
struktur daerah-daerah nodal yang berkembang dengan sendirinya dan
perencanaan fisik dan regional.
Teori kutub pertumbuhan berasal dari pengalaman negara-negara Barat
dalam pengembangan wilayahnya. Konsep kutub pertumbuhan ini diperkenalkan
pertama kali oleh Fancois Perroux pada tahun 1949 (Mercado, 2002) yang
mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal
dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut Haruo (2000), selanjutnya dalam rangka
mendorong pertumbuhan di negara-negara berkembang, berdasarkan teori ini
maka disarankan strategi pengembangan wilayah dalam bentuk
pengkonsentrasian investasi pada sejumlah kutub pertumbuhan yang terbatas.
Gambar 3.2 Model Teori Kutub Pertumbuhan
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 31
Terkait dengan kutub pertumbuhan ini, Friedman dan Alonso (1964) dalam
Stimson, dkk 2002) melahirkan konsep yang dikenal dengan sebutan interaksi
antara inti dan tepi (core and 31ngags3131a interaction). Pembangunan berawal
dari sejumlah relatif sedikit pusat-pusat perubahan (centre of change) yang
terletak di titik-titik interaksi berpotensi tinggi dalam batas atau bidang jangkauan
komunikasi. Daerah-daerah inti (core regions) tersebut merupakan pusat-pusat
utama dari pembaharuan. Sementara wilayah-wilayah territorial lainnya
merupakan daerah-daerah tepi/pinggiran yang berada jauh dari pusat perubahan,
yang tergantung kepada daerah-daerah inti.
Pengkonsentrasian investasi pada sejumlah kutub pertumbuhan yang
terbatas, pada dasarnya mengacu pada konsep aglomerasi yang berkaitan dengan
konsentrasi spasial dari penduduk dan kegiatan-kegiatan ekonomi (Malmberg dan
Maskell, 2001). Ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Montgomery (1988)
bahwa aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan
perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of
proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja
dan konsumen.
Keuntungan-keuntungan konsentrasi spasial sebagai akibat dari ekonomi
skala disebut dengan ekonomi aglomerasi (Mills dan Hamilton, 1989). Ekonomi
aglomerasi juga berkaitan dengan eksternalitas kedekatan geografis dari kegiatan-
kegiatan ekonomi, bahwa ekonomi aglomerasi merupakan suatu bentuk dari
eksternalitas positif dalam produksi yang merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya pertumbuhan kota (Bradley and Gans, 1996). Ekonomi
aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi karena kegiatan-kegiatan
ekonomi berlokasi pada tempat yang sama. Keuntungan-keuntungan aglomerasi
telah menyebabkan konsentrasi produksi lebih efisien dari pada terpencar-pencar,
sedangkan keseimbangan antara keuntungan-keuntungan skala dalam penyediaan
pelayanan-pelayanan sentral dan keinginan akan kemudahan hubungan telah
mengakibatkan konsentrasi penduduk yang tersusun dalam suatu hirarki
difokuskannya pusat-pusat sub-regional bagi pertumbuhan telah membantu
menjembatani celah antara teori lokasi dan teori ekonomi regional.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 32
Komponen dasar dari sistem tempat sentral adalah hirarki, penduduk
ambang dan lingkup pasar. Penduduk ambang adalah jumlah minimum penduduk
yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Lingkup pasar dari suatu
kegiatan jasa adalah kesediaan orang untuk menempuh jarak tertentu untuk
mencapai tempat penjualan jasa tersebut. Tingkat tempat sentral tergantung pada
jasa yang tersedia di lokasi tersebut sehingga membentuk tingkat rendah sampai
tingkat tinggi.
Dengan demikian konsep titik pertumbuhan itu merupakan mata rantai
penghubung antara struktur wilayah-wilayah nodal yang berkembang dengan
sendirinya dengan perencanaan fisik dan wilayah. Akan tetapi, kutub pertumbuhan
tidak hanya merupakan lokalisasi dari industri-industri inti. Kutub pertumbuhan
harus juga mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitar, dan karenanya efek
polarisasi strategi adalah lebih menentukan dari pada perkaitan-perkaitan antar
industri.
Pendapatan di daerah pertumbuhan secara keseluruhan akan mencapai
maksimum apabila pembangunan dikonsentrasikan pada titik-titik pertumbuhan
dibandingkan jika terpencar di seluruh daerah. Dengan demikian, interaksi antara
masing-masing titik pertumbuhan dan. Daerah pengaruhnya adalah unsur yang
panting dalam teori ini.
Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah maupun antar sub-
wilayah, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-
optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan
pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter-regional
yang sinergis (saling memperkuat). Ketidakseimbangan pembangunan inter-
regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-
optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan
pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter-regional
yang sinergis (saling memperkuat). Untuk memperkuat keterkaitan internal,
investasi sarana-prasarana fisik merupakan faktor penting yang dapat
menjamin akses masyarakat lokal berinterksi dan mengakses sumberdaya-
sumberdaya ekonomi baru yang dikembangkan. Namun tanpa disertai
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 33
investasi yang yang memadai di bidang social capital yang menumbuhkan
rasa saling percaya (trust), norma dan networking baru yang efektif
menjembatani masyarakat pendatang dan masyarakat asli maka hubungan
dan interaksi yang positif, transfer knowledge, dan keberimbangan internal
tidak akan terwujud.
3.5.4 Supply and Demand Side Strategy
Pengembangan wilayah dapat dianggap sebagai suatu bentuk intervensi
positif terhadap pembangunan di suatu wilayah. Di samping strategi-strategi untuk
wilayah yang tengah berkembang, strategi pengembangan wilayah-wilayah baru
seperti di luar Pulau Jawa menjadi sangat penting.
Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru dapat digolongkan
dalam dua kategori strategi, yaitu demand side strategi dan supply side strategy
(Rustiadi dkk (2009). Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan
wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari
masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan
wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduk.
Di dalam pendekatan demand side strategy, tujuan pengembangan wilayah
dilakukan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di
suatu wilayah. Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan akan meningkatkan
permintaan terhadap barang-barang non-pertanian. Adanya peningkatan
permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa-
jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut.
Selanjutnya, pengertian dari strategi supply side adalah suatu strategi
pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi model untuk
kegiatan-kegiatan produksi yang beriorientasikan keluar. Tujuan penggunaan
strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya
diproses dari sumberdaya alam lokal. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk
ekspor yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal. Selanjutnya hal ini
akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut. Contoh dari strategi
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 34
ini adalah strategi pengembangan eksplorasi sumber daya alam melalui
penambangan, loging (HPH) dan lain-lain.
Keuntungan penggunaan strategi supply-side adalah prosesnya cepat
sehingga efek yang ditimbulkannya cepat terlihat. Beberapa permasalahan yang
sering muncul dari digunakannya strategi ini adalah: (1) timbulnya enclave karena
keterbatasan kapasitas (pengetahuan, keahlian dan kompetensi) penduduk lokal,
sehingga seringkali hanya masyarakat tertentu dengan jumlah yang terbatas atau
pendatang dari luar kawasan saja yang menikmatinya, dan (2) sangat peka
terhadap perubahan-perubahan ekonomi di luar wilayah (faktor eksternal).
3.5.5 Agropolitan
Agropolitan terdiri dari kata “agro” = pertanian dan “politan” = kota,
sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah
lahan pertanian (Departemen pertanian, 2002 dalam Pranoto, 2005). Agropolitan
merupakan salah satu pendekatan pembangunan yang relevan dengan wilayah
perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya
alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi sebagian besar
masyarakat perdesaan.
Pendekatan pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan
dikembangkan oleh Friedman dan Douglas (1975). Keduanya bahkan menekankan
pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangkan perdesaan di kawasan
Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan
perdesaan secara beriringan dapat dilakukan dengan pembangunan wilayah
perkotaan pada tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat
tiga issu utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan
pertanian dan penyediaan pengairan, (2). Desentralisasi politik dan wewenang
administrasi dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma
atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk
pertanian. Melihat kota-kota sebagai site utama untuk fungsi-fungsi politik dan
administrasi, pendekatan pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok
dilakukan pada skala kabupaten (Douglass, 1998).
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 35
Selanjutnya Mercado (2002) mengemukakan bahwa gambaran agropolitan
adalah sebagai berikut: (1) skala geografi relatif kecil; (2) proses perencanaan dan
pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi koperatif pada tingkat
lokal; (3) diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian dan kegiatan non-
pertanian; (4) pemanfaatan teknologi dan sumberdaya lokal; (5) berfungsi sebagai
urban-rural industrial.
Dengan skala luasan kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai
berikut : (1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2)
cukup luas untuk mening-katkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan
ekonomi dan cukup luas dalam upaya mengembangkan diversifikasi produk dalam
rangka mengatasi keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3)
pengetahuan lokal akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika
proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan.
Menurut Rustiadi (2004) pembangunan agropolitan memerlukan terjadinya
re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini dapat dilakukan
melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan.
Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan pemerintah agar
mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan seperti redistribusi aset,
terutama yang menyangkut lahan dan irigasi.
3.5.6 Peran Transmigrasi dalam Pengembangan Wilayah
Transmigrasi secara nyata telah menunjukkan peran yang penting dalam
pengembangan wilayah, khususnya daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Dalam
pelaksanaannya selama ini, program transmigrasi telah berhasil mengembangkan
sekitar 3.000-an Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dengan berbagai
infrastrukturnya, 945 diantaranya telah berkembang menjadi desa baru. Desa-
desa baru tersebut sekarang dihuni oleh kurang lebih 12 juta jiwa dan telah
tumbuh mendorong terbentuknya kecamatan dan kabupaten baru. Data eks UPT
yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan
sebanyak 240 kecamatan dan 88 kabupaten. (Pusdatintrans dan P4Trans, 2009).
Beberapa diantara kawasan transmigrasi seperti Kurotidur di Bengkulu
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 36
Utara, Metro di Lampung, Sangkala di Kalimantan Timur bahkan di tetapkan
sebagai kawasan Agropolitan. Lokasi yang demikian biasanya menjadi daya tarik
transmigran swakarsa yang memiliki bekal dan keterampilan sejak dari daerah
asal.
Sebagian desa transmigrasi juga telah berkembang menjadi hinterland bagi
pusat-pusat kegiatan ekonomi di daerah. Kebutuhan akan jenis pangan tertentu di
beberapa perkotaan dicukupkan oleh hasil usaha tani transmigran. Beras, sayur,
dan ternak merupakan bentuk produk pertanian yang banyak dihasilkan oleh
transmigran untuk konsumsi penduduk perkotaan (Soegiharto dan Najiyati, 2004).
Dalam hal pengembangan akses terhadap faktor-faktor produksi,
transmigrasi telah membangun sarana fisik transportasi berupa jalan, jembatan,
gorong-gorong dan saluran drainase yang telah membuka isolasi wilayah yang
selama ini tidak tersentuh pertumbuhan. Menurut Bank Dunia (1986), transmigrasi
memberikan sumbangan pada perluasan jaringan jalan di beberapa provinsi,
dengan besaran sekitar 20 % di kepulauan luar Jawa, Madura dan Bali dan bahkan
mencapai 50 % di empat provinsi yaitu Lampung, Kalbar, Kalteng dan Kaltim.
Perluasan jaringan jalan tersebut berupa jalan masuk ke permukiman transmigrasi.
Di bidang pendidikan, transmigrasi telah membangun ribuan sekolah dasar.
Selain bangunan fisik, juga dilengkapi dengan peralatan dan penempatan tenaga
pengajar. Demikian pula di bidang kesehatan, transmigrasi telah membangun
ribuan unit balai pengobatan disertai dengan penempatan tenaga para medis dan
distribusi obat-obatan selama masih dalam pembinaan. Fasilitas sosial semacam
itu bisa dimanfaatkan oleh semua penduduk sehingga turut mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
3.6 Model dan Arah Kebijakan Pembangunan Kawasan
Tertinggal
Ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia
masih merupakan tantangan yang harus diselesaikan dalam pembangunan ke
depan. Ketimpangan pembangunan yang terjadi, baik antara desa-kota, antar
wilayah perdesaan-perkotaan dan antar wilayah KBI-KTI perlu ditangani secara
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 37
serius untuk mencegah terjadinya dampak negatif dari urbanisasi dan
ketidakmerataan pembangunan.
Penentuan intervensi program kegiatan akselerasi pembangunan di daerah
tertinggal terintegrasi tersebut dapat menggunakan konsep gabungan antara
development from above dan development from below.
Menurut Bappenas (2016), Konsep development from above merupakan
konsep yang berbasis pada akselerasi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah.
Dasar dari adanya konsep ini dikarenakan adanya perkembangan wilayah yang
tidak terjadi di seluruh bagian yang ada. Hal tersebut menjadikan perencanaan
program akan difokuskan kepada wilayah yang memiliki sektor dinamis sehingga
diharapkan dapat menjalar ke sektor / wilayah lainnnya. Dengan kata lain,
pemilihan wilayah intervensi akan melihat kepada lokasi yang memiliki pusat
pertumbuhan baru.
Adapun konsep development from below merupakan konsep yang berbasis
pada pemerataan, utamanya kebutuhan pokok masyarakat di suatu wilayah.
Konsep ini diwujudkan dengan kegiatan pembangunan yang difokuskan kepada
wilayah yang paling memerlukan pengembangan (dalam hal ini berupa desa-desa
tertinggal). Program pembangunan yang difokuskan di desa tertinggal dilakukan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar/standar pelayanan minimum di
wilayah tersebut.
Gabungan antara konsep development from above dan development from
below diwujudkan dengan intervensi program kegiatan yang dilakukan secara
terfokus pada kawasan tertentu (bukan tersebar di seluruh wilayah) yang memiliki
sektor dinamis berupa potensi kawasan agar memberikan hasil yang signifikan dan
memberikan spillover effect kepada wilayah sekitar khususnya desa-desa
tertinggal. Dengan adanya integrasi program kegiatan di daerah tertinggal
terintegrasi, diharapkan dapat mengentaskan desa tertinggal menjadi desa mandiri
atau berkembang (Bappenas, 2016).
Sebagai upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal, maka dalam
Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, Daerah Tertinggal dijadikan sebagai
Prioritas Nasional yang akan berfokus kepada empat kegiatan prioritas. Apabila
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 38
diurutkan maka kegiatan prioritas paling utama ialah kegiatan pemenuhan
pelayanan dasar publik, lalu peningkatan aksesibilitas/ konektifitas di daerah,
pengembangan ekonomi lokal, serta yang terakhir terkait peningkatan kapasitas
SDM maupun IPTEK.
Maksud dari penentuan urutan program prioritas nasional ialah sebagai
dasar dalam penentuan proporsi perencanaan kegiatan yang akan dilakukan.
Disebabkan karena adanya keterbatasan anggaran, maka intervensi kegiatan
terhadap lokus lokasi harus harus ditangani secara bertahap agar memiliki dampak
yang lebih signifikan. Berikut adalah arah kebijakan pembangunan kawasan
tertinggal :
PENGEMBANGAN
EKONOMI LOKAL
(3)
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 39
Gambar 3.3 Skema Program Prioritas Pembangunan Wilayah Tertinggal
(Bappenas, 2016)
Kegiatan pemenuhan pelayanan dasar publik di prioritas nasional daerah
tertinggal menjadi urutan program prioritas yang pertama disebabkan karena
pelayanan dasar publik merupakan kebutuhan yang paling utama untuk
menunjang kehidupan masyarakat di suatu wilayah. Seperti yang diketahui bahwa
pada daerah tertinggal hampir sebagian besar masyarakatnya masih mengalami
kesulitan dalam mengakses layanan dasar baik itu berupa listrik, air bersih dan
sanitasi, sarpras pendidikan, sarpras kesehatan, serta permukiman yang layak
huni. Dengan menempatkan kegiatan pemenuhan layanan dasar publik sebagai
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 40
program prioritas utama maka diharapkan dapat mengurangi ketimpangan antar
wilayah yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah
tertinggal.
Prioritas program Pemenuhan Pelayanan Dasar Publik adalah sebagai
berikut :
1. Pembangunan Ketenagalistrikan
2. Pembangunan Sarana dan Prasarana Pendidikan
3. Pembangunan sarana dan Prasarana Kesehatan
4. Pemenuhan Perumahan dan Pemukiman Layak Huni
5. Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi, dan
6. Penguatan Kelembagaan pemerintah daerah.
Program prioritas kedua dalam prioritas nasional pembangunan daerah
tertinggal adalah peningkatan aksesibilitas/konektifitas. Program ini diwujudkan
dalam bentuk pembangunan jalan & jembatan, pembangunan dermaga,
pengadaan moda transportasi darat, udara, laut dan ASDP serta pelayanan
angkutan keperintisan maupun penyediaan akses telekomunikasi. Peningkatan
aksesibilitas maupun konektifitas juga mutlak diperlukan bagi setiap daerah
tertinggal karena dengan adanya aksesibilitas maupun konektifitas yang terbangun
akan membuka keterisolasian masyarakat serta menghubungkan antar wilayah
satu dengan wilayah lainnya.
Program prioritas ketiga berupa pengembangan ekonomi lokal dalam
bentuk kegiatan yang berbasis pada penyediaan bahan baku & sarana prasarana
produksi, peningkatan kapasitas nelayan/petani/pelaku usaha mikro & ekonomi
kreatif, pengolahan pasca panen & home industry, pemberian bantuan permodalan
& pemberian fasilitas kredit usaha ekonomi produktif/UMKM, pemberian bantuan
dalam hal promosi dan pemasaran serta pemberian kemudahan dalam hal
perijinan usaha maupun penguatan kelembagaan usaha. Program pengembangan
ekonomi lokal diarahkan kepada masyarakat agar mampu mengolah sumberdaya
yang ada di lingkungannya dengan melihat potensi yang ada, sehingga mampu
menumbuhkan kegiatan perekonomian yang berasal dari potensi masyarakat itu
sendiri.
LAPORAN AKHIR
KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL
2018 III- 41
Program prioritas keempat berupa peningkatan SDM dan IPTEK yang
diwujudkan dalam bentuk penyediaan tunjangan tenaga pendidikan maupun
kesehatan. Penyediaan tunjangan bagi tenaga pendidikan maupun kesehatan
dimasukkan dalam program prioritas dikarenakan di daerah tertinggal segala
fasilitas penunjang untuk pelayanan tenaga kependidikan maupun kesehatan
masih sangat terbatas. Selain itu juga dari segi aksesibilitas maupun kondisi
geografis di daerah tertinggal yang sebagian besar masih sulit untuk dijangkau
sehingga dari adanya pemberian tunjangan diharapkan akan mengurangi beban
dalam menjalankan tugas serta mampu mendorong minat bagi para tenaga
pendidikan maupun kesehatan untuk terjun ke daerah tertinggal. Dalam proses
perencanaan kegiatan yang dilakukan pada keempat program prioritas tersebut
tidak akan lepas dari proses koordinasi sehingga ada keterkaitan antara program
yang satu dengan program lainnya demi mendukung percepatan pembangunan
daerah tertinggal di seluruh Indonesia.
Pencapaian Daerah Tertinggal perlu dilakukan secara terintegrasi melalui
peningkatan pelayanan dasar publik, peningkatan aksesibilitas, dan
pengembangan ekonomi lokal serta didukung oleh Sumberdaya Manusia yang
berkualitas, dan seterusnya (kombinasi berbagai program/kegiatan).
Pembangunan daerah tertinggal juga harus mempertimbangkan keterkaitan
dengan daerah lainnya serta dengan pusat pertumbuha agar pembangunan lebih
efektif dan efisien.