41
LAPORAN AKHIR KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL 2018 III- 1 BAB III TINJAUAN TEORITIS 3.1 Migrasi Penduduk 3.1.1 Definisi Migrasi Penduduk Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah tujuan dengan maksud menetap. Sedangkan migrasi sirkuler ialah gerak penduduk dari suatu tempat ke tempat lain tanpa ada maksud untuk menetap. Migrasi sirkuler inipun bermacam macam jenisnya ada yang ulang alik, periodik, musiman, dan jangka panjang. Migrasi sirkuler dapat terjadi antara desa desa, desa kota dan kota kota (Ida Bagus Mantra, 2000). Dalam kamus geografi, PBB memberikan batasan migrasi sebagai bentuk dari mobilitas geografi atau mobilitas keruangan dari suatu unit geografi ke unit geografi lainnya, yang menyangkut suatu perubahan tempat tinggal secara permanen dari tempat asal ke tempat tujuan (Alatas, 1995). Perpindahan yang melewati batas desa/kelurahan saja disebut sebagai migrasi antar desa/kelurahan. Perpindahan yang melewati batas kecamatan disebut migrasi antar kecamatan, yang melewati batas kabupaten/ kota disebut migrasi antar kabupaten/kota dan yang melewati batas provinsi disebut migrasi antar provinsi. Penduduk yang melakukan perpindahan disebut migran. Berdasarkan jenisnya, migrasi dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu : 1. Migrasi seumur hidup (life time migrant) adalah mereka yang pindah dari tempat lahir ke tempat tinggal sekarang, atau mereka yang tempat tinggalnya sekarang bukan di wilayah provinsi tempat kelahirannya. Penghitungan jumlah migran masuk dan migran ke luar seumur hidup menggunakan matrik tabel silang antara tempat tinggal sekarang dengan tempat lahir. Jumlah migran masuk seumur hidup ke suatu provinsi adalah banyaknya penduduk yang tempat lahirnya di luar provinsi tersebut. Sedangkan jumlah migran ke luar

BAB III TINJAUAN TEORITIS · 2018. 11. 12. · bertahan di tempat asal, jadi menurut Everett S. Lee (Mantra, 2000) arus migrasi dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu : 1. Faktor individu

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 1

    BAB III

    TINJAUAN TEORITIS

    3.1 Migrasi Penduduk

    3.1.1 Definisi Migrasi Penduduk

    Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah tujuan

    dengan maksud menetap. Sedangkan migrasi sirkuler ialah gerak penduduk dari

    suatu tempat ke tempat lain tanpa ada maksud untuk menetap. Migrasi sirkuler

    inipun bermacam macam jenisnya ada yang ulang alik, periodik, musiman, dan

    jangka panjang. Migrasi sirkuler dapat terjadi antara desa desa, desa kota dan

    kota kota (Ida Bagus Mantra, 2000).

    Dalam kamus geografi, PBB memberikan batasan migrasi sebagai bentuk

    dari mobilitas geografi atau mobilitas keruangan dari suatu unit geografi ke unit

    geografi lainnya, yang menyangkut suatu perubahan tempat tinggal secara

    permanen dari tempat asal ke tempat tujuan (Alatas, 1995). Perpindahan yang

    melewati batas desa/kelurahan saja disebut sebagai migrasi antar desa/kelurahan.

    Perpindahan yang melewati batas kecamatan disebut migrasi antar kecamatan,

    yang melewati batas kabupaten/ kota disebut migrasi antar kabupaten/kota dan

    yang melewati batas provinsi disebut migrasi antar provinsi. Penduduk yang

    melakukan perpindahan disebut migran.

    Berdasarkan jenisnya, migrasi dapat dibedakan ke dalam tiga kategori,

    yaitu :

    1. Migrasi seumur hidup (life time migrant) adalah mereka yang pindah dari

    tempat lahir ke tempat tinggal sekarang, atau mereka yang tempat tinggalnya

    sekarang bukan di wilayah provinsi tempat kelahirannya. Penghitungan jumlah

    migran masuk dan migran ke luar seumur hidup menggunakan matrik tabel

    silang antara tempat tinggal sekarang dengan tempat lahir. Jumlah migran

    masuk seumur hidup ke suatu provinsi adalah banyaknya penduduk yang

    tempat lahirnya di luar provinsi tersebut. Sedangkan jumlah migran ke luar

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 2

    seumur hidup dari suatu provinsi adalah banyaknya penduduk provinsi lain

    yang tempat lahirnya di provinsi tersebut.

    2. Migran risen (risen migrant) adalah mereka yang pindah melewati batas

    provinsi dalam kurun 5 tahun terakhir sebelum pencacahan.

    Jumlah migran masuk risen ke suatu provinsi adalah banyaknya penduduk

    yang tempat tinggalnya 5 tahun lalu di luar provinsi tersebut. Sedangkan

    jumlah migran ke luar risen dari suatu provinsi adalah banyaknya penduduk

    provinsi lain yang 5 tahun yang lalu tinggal di provinsi tersebut.

    3. Migran total (total migrant) adalah mereka yang pernah pindah antar provinsi

    tanpa memperhatikan kapan pindahnya, sehingga provinsi tempat tinggal

    sebelumnya berbeda dengan provinsi tempat tinggal sekarang.

    Menurut Everett S. Lee (Mantra, 2000), volume migrasi di suatu wilayah

    berkembang sesuai dengan tingkat keragaman daerah-daerah di wilayah tersebut.

    Di daerah asal dan di daerah tujuan, menurut lee, terdapat faktor-faktor yang

    disebut sebagai :

    1. Faktor positif (+) yaitu faktor yang memberikan nilai keuntungan bila

    bertempat tinggal di tempat tersebut.

    2. Faktor negatif (-) yaitu faktor yang memberikan nilai negatif atau

    merugikan bila tinggal di tempat tersebut sehingga seseorang merasa perlu

    untuk pindah ke tempat lain.

    3. Faktor netral (0) yaitu yang tidak berpengaruh terhadap keinginan seorang

    individu untuk tetap tinggal di tempat asal atau pindah ke tempat lain.

    Selain ketiga faktor diatas terdapat faktor rintangan antara. Rintangan

    Antara adalah hal-hal yang cukup berpengaruh terhadap besar kecilnya arus

    mobilitas penduduk. Rintangan Antara dapat berupa : ongkos pindah, topografi

    wilayah asal dengan daerah tujuan atau sarana transportasi.

    Faktor yang tidak kalah penting yang mempengaruhi mobilitas

    penduduk adalah faktor individu, karena faktor individu pula yang dapat menilai

    positif atau negatifkah suatu daerah dan memutuskan untuk pindah atau

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 3

    bertahan di tempat asal, jadi menurut Everett S. Lee (Mantra, 2000) arus

    migrasi dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :

    1. Faktor individu.

    2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, seperti : keterbatasan

    kepemilikan lahan, upah di desa rendah, waktu luang (Time lag) antara

    masa tanam dan masa panen, sempitnya lapangan pekerjaan di desa,

    terbatasnya jenis pekerjaan di desa.

    3. Faktor di daerah tujuan, seperti : tingkat upah yang tinggi, luasnya

    lapangan pekerjaan yang beraneka ragam.

    4. Rintangan antara daerah asal dengan daerah tujuan, seperti : sarana

    transportasi, topografi desa ke kota dan jarak desa kota.

    Di negara-negara berkembang gerak perpindahan penduduk yang paling

    menonjol adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Hal ini bukan hanya

    karena perbedaan pertumbuhan antara desa dan kota, juga karena menyangkut

    perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dimana terjadi

    kesenjangan pertumbuhan antara masyarakat desa dan masyarakat kota.

    Sehingga migrasi atau mobilitas penduduk dianggap sebagai mekanisme yang

    membawa masyarakat dari kehidupan yang tradisional ke kehidupan yang modern

    (Zelinsky, 1971 yang dikutip Saefullah, 1999).

    Todaro (2000) menjelaskan tentang teori migrasi yaitu sebagai berikut:

    Teori ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota. Pada dasarnya

    merupakan suatu fenomena ekonomi. Keputusan seorang individu untuk

    melakukan migrasi ke kota merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan

    secara rasional. Teori Todaro mendasarkan pada pemikiran bahwa arus migrasi

    desa ke kota berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan

    pendapatan antara desa dengan kota. Pendapatan disini bukanlah pendapatan

    aktual namun “penghasilan yang diharapkan” (expected income).

    Adapun premis dasar yang dianut dalam teori ini adalah bahwa para migran

    senantiasa mempertimbangkan pasar-pasar tenaga kerja yang tersedia bagi

    mereka di sektor pedesaan dan perkotaan. Serta kemudian memilih salah satu di

    antaranya yang sekiranya akan dapat memaksimumkan keuntungan yang

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 4

    diharapkan. Besar kecilnya keuntungan-keuntungan yang mereka harapkan

    (expected gain) itu diukur berdasarkan (identik dengan) besar kecilnya angka

    selisih antara pendapatan riil dari pekerjaan dikota dan dari pekerjaan di desa.

    Angka selisih tersebut juga senantiasa diperhitungkan terhadap besar kecilnya

    peluang migran yang bersangkutan untuk mendapatkan pekerjaan di kota.

    3.1.2 Jenis – Jenis Migrasi

    Migrant dan migrasi sangat erat kaitannya. Karena migrasi adalah proses

    yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau seorang indvidu yang disebut

    sebagai Migran. Berdasarkan dari pengertian migrasi yang telah dibahas

    sebelumnya, konsep migrasi memiliki dua dimensi penting, yaitu masalah waktu

    dan daerah. Dalam dimensi ruang atau spasial atau daerah dan dimensi waktu.

    Jika ditinjau dari dimensi ruang/daerah, secara garis besar migrasi dibagi dua yaitu

    migrasi internal dan migrasi internasional (Rusli, 1994).

    Migrasi internal merupakan perpindahan penduduk dari satu wilayah ke

    wilayah lain dalam satu negara. Migrasi Nasional atau internal terdiri atas beberapa

    jenis, yaitu sebagai berikut :

    1. Transmigrasi

    Transmigrasi adalah suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia

    untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota)

    ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia dengan upaya untuk

    mengembangkan wilayah.

    2. Ruralisasi

    Ruralisasi adalah perpindahan penduduk dari kota ke desa.

    3. Urbanisasi

    Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.

    Terdapat perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk. Menurut

    Tjiptoherijanto (2000) mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan

    penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat

    menetap di daerah yang baru, sedangkan migrasi didefinisikan sebagai

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 5

    perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II dan sekaligus

    berniat menetap di daerah yang baru tersebut.

    Mobilitas penduduk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, mobilitas

    penduduk vertikal, yang sering disebut dengan perubahan status.Contohnya

    adalah perubahan status pekerjaan, dimana seseorang semula bekerja dalam

    sektor pertanian sekarang bekerja dalam sektor non-pertanian. Kedua, mobilitas

    penduduk horizontal, yaitu mobilitas penduduk geografis, yang merupakan gerak

    (movement) penduduk yang melewati batas wilayah menuju wilayah lain dalam

    periode waktu tertentu (Mantra, 2000).

    Selanjutnya (Mantra, 2000) menjelaskan bila dilihat dari ada tidaknya

    niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula dibagi

    menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen atau migrasi, dan mobilitas

    penduduk non-permanen, Jadi menurut (Mantra, 2000) migrasi adalah gerak

    penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan

    niatan menetap. Sebaliknya, mobilitas penduduk non-permanen adalah gerak

    penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di

    daerah tujuan.

    Tabel 3.1 Bentuk-Bentuk Migrasi Penduduk

    No Bentuk Migrasi Batas Wilayah Batas Waktu

    1 Commuting Dukuh (Dusun) 6 jam atau lebih

    dan kembali

    pada hari yang

    sama

    2 Menginap / mondok di

    daerah tujuan

    Dukuh (Dusun) Lebih dari satu hari

    dan Lebih dari 6

    bulan

    3 Permanen/menetap di

    daerah tujuan

    Dukuh (dusun) 6 bulan atau lebih

    menetap di

    daerah tujuan

    Sumber : Ida Bagoes Mantra 2000

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 6

    3.1.3 Faktor – Faktor Penyebab Migrasi

    Pada umumnya, banyak faktor yang mempengaruhi terjadiya migrasi,

    disamping adanya faktor utama, terdapat juga faktor klasik berupa kondisi

    kemiskinan di daerah pedesaan. Menurut Lee, terdapat empat faktor yang

    menyebabkan seseorang atau penduduk mengambil keputusan untuk bermigrasi.

    Faktor-faktor tesebut adalah :

    a. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal

    b. Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan

    c. Rintangan antara daerah asal dan daerah tujuan

    d. Faktor-faktor daerah asal dan daerah tujuan.

    Lee mengungkapkan bahwa volume migrasi di satu wilayah berkembang

    sesuai dengan keanekaragaman daerah-daerah di dalam wilayah tersebut. Bila

    melukiskan di daerah asal dan daerah tujuan ada faktor-faktor positif, negatif dan

    adapula faktor-faktor netral. Faktor positif adalah faktor yang memberi nilai yang

    menguntungkan kalau bertempat tinggal di daerah tersebut, misalnya di daerah

    tersebut terdapat sekolah, kesempatan kerja, dan iklim yang baik. Sedangkan

    faktor negatif adalah faktor yang memberi nilai negatif pada daerah yang

    bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah dari tempat tersebut. Perbedaan

    nilai kumulatif antara kedua tempat cenderung menimbulkan arus imigrasi

    penduduk.

    Berikut ini merupakan bagan atau gambaran mengenai faktor-faktor yang

    mempengaruhi terjadinya migrasi menurut Lee :

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 7

    Gambar 3.1 Faktor Penyebab Terjadinya Migrasi

    (Lee, dalam Mantra, 2000:181)

    Keterangan :

    Tanda “+” merupakan simbol faktor penarik

    Tanda “-“ merupakan simbol faktor pendorong

    Tanda “0” merupakan simbol faktor netral.

    Menurut Lee, dalam setiap daerah banyak sekali faktor yang

    mempengaruhi orang untuk tinggal atau menetap di situ atau menarik orang untuk

    pindah ke situ, atau ada faktor-faktor lain yang memaksa mereka untuk

    meninggalkan daerah itu. Faktor-faktor tersebut digambarkan dalam diagram

    berbentuk tanda + dan – (positif dan negatif), sedangkan faktor-faktor yang pada

    dasarnya tidak berpengaruh sama sekali terhadap penduduknya digambarkan

    dengan tanda 0. Beberapa faktor itu mempunyai pengaruh yang sama terhadap

    beberapa orang, sedangkan ada faktor berpengaruh yang berbeda terhadap

    seseorang.

    Di setiap tempat atau daerah yang menjadi daerah asal maupun tujuan,

    yang terkait dengan perpindahan penduduk atau kegiatan mobilitas, akan selalu

    terdapat faktor positif dan negatif. Yang mana merupakan faktor yang

    menyebabkan seseorang meninggalkan daerah tersebut.

    --

    --

    + +

    --

    -- --

    +

    + --

    + -- +

    + +

    --

    -- --

    +

    + --

    + -- +

    +

    Rintangan Antara

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 8

    Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lee dapat disimpulkan bahwa di

    setiap tempat asal maupun tujuan, terdapat sejumlah faktor yang baik (positif)

    yang menjadi faktor penarik, cenderung menahan orang atau penduduk agar tidak

    pindah dari daerah asalnya, namun terdapat juga faktor negatif yang

    mempengaruhi untuk tetap melaksanakan keputusan seseornag atau masyarakat

    untuk melakukan migrasi.

    Menurut Rozy Munir (2000), pada dasarnya terdapat 2 pengelompokan

    besar tentang faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi. Faktor

    tersebut adalah faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).

    a) Faktor Pendorong Migrasi (Push Factor)

    Menurut Marbun (dalam Haryana), orang desa terdorong pindah atau

    bermigrasi ke kota adalah proses kemiskinan di desa, lapangan pekerjaan yang

    hampir tidak memadai / tidak tersedia, jika ada pendapatannya masih rendah, adat

    istiadat yang masih megikat ketat serta sulitnya melanjutkan pendidikan.

    Dalam konteks yang lebih luas, meningkatnya arus migrasi dapat

    mempengaruhi terjadinya perubahan komposisi penduduk di daerah yang terkait

    dan juga mempengaruhi pola komunikasi baik individu maupun kolektif dalam

    komunitas yang berbeda. Ini berarti dalam intensitas yang tinggi migarsi dapat

    memberikan pengaruh modernisasi pada daerah tujuan migrasi. Sehingga

    mendorong percepatan modernisasi dan pengalihan teknologi di daerah tersebut.

    Dengan begitu dapat terjadi peningkatan kesejahteraan. Berikut beberapa faktor-

    faktor pendorong terjadinya migrasi di daerah asal :

    1. Semakin berkurangnya sumber dayar alam, menurunnya permintaan atas

    barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin sulit diperoleh seperti hasil

    tambang, kayu atau bahan dari pertanian.

    2. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal akibat masuknya teknologi

    yang menggunakan mesin-mesin.

    3. Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal

    4. Tidak cocok lagi dengan adat, budaya dan kepercayaan di tempat asal

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 9

    5. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa

    mengembangkan karir pribadi.

    6. Bencana alam, baik banjir, kebakaran, gempa bumi, musim kemarau panjang

    atau adanya wabah penyakit.

    Pendapat lain diungkapkan oleh Waridin (2002) menyebutkan bahwa ada

    beberapa teori yang mengungkapkan mengapa seseorang melakukan mobilitas

    atau migrasi, diantaranya adalah teori kebutuhan dan stres. Setiap individu

    mempunyai beberapa macam kebutuhan yang berupa kebutuhan ekonomi, sosial,

    budaya dan psikologis. Semakin besar kebutuhan yang tidak terpenuhi, semakin

    besar stres yang dialami seseorang. Apabila stres sudah berada di atas batas

    toleransi, maka seseorang akan berpindah ke tempat lain yang mempunyai nilai

    kefaedahan atau supaya kebutuhannya dapat terpenuhi. Perkembangan teori

    migrasi ini kemudian dikenal sebagai model ”stress treshold” atau model ”place

    utility”.

    Spare (1975) juga menyatakan, bahwa migrasi dipengaruhi oleh faktor

    structural, seperti karakteristik sosio-demografis, tingkat kepuasan terhadap

    tempat tinggal, kondisi geografis daerah asal serta karakteristik komunitas. Pada

    umumnya, ketidakpuasan pada latar belakang yang berdimensi structural ini akan

    dapat mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi. Sebagai contoh, daerah lahan

    pertanian yang tandus, biasanya akan ditinggalkan oleh masyarakatnya, dan

    mencari tempat lain yang lebih subur atau pekerjaan lainnya yang banyak peluang

    ekonominya, khususnya pada sektor on-pertanian, seperti bidang perdagangan,

    jasa atau industri.

    b) Faktor Penarik Migrasi (Pull Factor)

    Faktor penarik merupakan faktor yang ada dan terdapat di daerah tujuan

    perantauan atau migrasi. Menurut Kartomo (2000), bahwa daya tarik kota adalah

    adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki

    lapangan, pekerjaan yang cocok, kesempatan untuk mendapatan pendidikan yang

    lebih tinggi, keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang lebih menyenangkan.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 10

    Misalnya, iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya,

    tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung.

    Kebanyakan migrasi dilakukan guna mendapatkan kesejahteraan yang

    lebih baik lagi dibanding daerah asal. Berikut ini adalah beberapa faktor-faktor

    penarik yang mendorong terjadinya migrasi :

    1. Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki

    lapangan pekerjaan yang cocok.

    2. Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik

    3. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi

    4. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya :

    iklim, perumahan, sekolah, dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya.

    5. Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat

    kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang dari desa atau kota kecil.

    Adapun Migran pemula atau pionir akan dianggap sebagai penarik

    penduduk dari daerah asal yang mengakibatkan timbulnya pola migrasi berantai

    (chain migration).

    3.2 Transmigrasi

    3.2.1 Definisi Transmigrasi

    Kepadatan penduduk di Indonesia ternyata secara tidak langsung

    memberikan dampak yang bersifat negatif. Terutama pada sektor kependudukan

    di Indonesia. Pulau Jawa, adalah salah satu pulau di Indonesia, yang memiliki

    kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. Sehingga, peluang pekerjaan di Pulau

    Jawapun tidak dapat mengakomodir seluruh masyarakat yang ada di Pulau Jawa.

    Sehingga, angka pengangguran di Pulau Jawa sendirpun sangat tinggi.

    Tingkat pengangguran yang tinggi ini, memiliki ekuivalen dengan tingkat

    kejahatan pada suatu wilayah. Karena dalam berbagai cabang ilmu mengenai

    kejahatan juga menyebutkan bahwa kejahatan tersebut dapat terjadi dikarenakan

    faktor ekonomi. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk membentuk berbagai

    kebijakan, guna mengatasi permasalahan pembangunan dan kependudukan.

    Salah satunya adalah kebijakan transmigrasi.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 11

    Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari daerah yang padat

    penduduknya ke daerah yang kurang padat penduduknya dalam batas negara,

    dalam rangka kebijaksanaan nasional untuk terwujudnya penyebaran penduduk

    yang lebih seimbang (HJ Heeren 1979:6). Sedangkan menurut Collins Mac Andrew,

    (1995) transmigran merupakan perpindahan penduduk dari daerah yang padat

    penduduknya ke daerah yang kurang padat penduduknya, sebagian besar

    direncanakan dan dibiayai oleh pemerintah, guna memindahkan masyarakat dari

    Jawa, Bali dan Lombok ke perkampungan-perkampungan baru yang dipusatkan di

    pulau-pulau di luarnya.

    Dalam Undang – Undang Transmigrasi No.29 tahun 2009, disebutkan

    bahwa Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk

    meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang

    diselenggarakan oleh Pemerintah. Interpretasi terhadap definisi tersebut bahwa

    pembangunan transmigrasi pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk

    merekayasa ruang atau wilayah agar mempunyai nilai tambah dan daya tarik bagi

    penduduk untuk mendatanginya, bertempat tinggal di dalamnya, dan untuk

    bekerja-berusaha guna peningkatkan kesejahteraan. Masyarakat transmigrasi,

    baik para pendatang ataupun masyarakat (penduduk lokal), yang berada di

    satuan-satuan permukiman dalam kawasan transmigrasi, merupakan entitas

    kehidupan sosial sebagai subyek, pionir, sekaligus pemanfaat pembangunan

    transmigrasi.

    Transmigrasi dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, yaitu sebagai berikut

    (Warsito, dkk., 1995) :

    1. Transmigrasi Umum

    Transmigrasi umum adalah program transmigrasi yang disponsori dan

    dibaiayai secara keseluruhan oleh pihak pemerintah melalui depnakertrans

    (departemen tenaga kerja dan transmigrasi).

    2. Transmigrasi Spontan / Swakarsa

    Transmigrasi spontan adalah perpindahan penduduk dari daerah padat ke

    pulau baru sepi penduduk yang didorong oleh keinginan diri sendiri namun

    masih mendapatkan bimbingan serta fasilitas penunjang dari pemerintah.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 12

    3. Transmigrasi Bedol Desa

    Transmigrasi bedol desa adalah transmigrasi yang dilakukan secara masal

    dan kolektif terhadap satu atau beberapa desa beserta aparatur desanya

    pindah ke pulau yang jarang penduduk. Biasanya transmigrasi bedol desa

    terjadi karena bencana alam yang merusak desa tempat asalnya.

    4. Transmigrasi Khusus

    Transmigrasi khusus adalah transmigrasi yang diselenggarakan dengan

    tujuan-tujuan tertentu, misalnya penduduk yang tertimpa bencana alam,

    pengangguran dan tunawisma di kota-kota besar. Transmigrasi semacam ini

    disebut transmigrasi sektoral, penyelenggaraannya diurusi pemerintah daerah

    asal bekerja sama dengan Departemen Transmigrasi.

    Transmigrasi di Indonesia telah berjalan selama lebih dari satu abad.

    Transmigrasi di Indonesia telah memiliki sejarah panjang. Sebagai program

    pembangunan yang khas Indonesia, awalnya merupakan program politik etis

    Pemerintah Hindia Belanda, dengan memberikan kesempatan bagi penduduk

    miskin Jawa, untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan swasta di Sumatera.

    Program ini dinamakan kolonisatie, yang dimulai sejak tahun 1905. Selama tahun

    1905 hingga 1941, sejumlah besar penduduk telah dipindahkan ke Lampung dan

    Sumatera Bagian Selatan.

    Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia, dengan menggantikan istilah

    kolonisatie dengan transmigrasi, melanjutkan program ini dengan cara-cara yang

    relatif sama. Transmigrasi merupakan salah satu program khas Pemerintah

    Indonesia, yang diselenggarakan dalam bentuk pemindahan (perpindahan)

    penduduk secara besar-besaran dari dan keluar pulau Jawa, Madura, Bali, dan

    Lombok, untuk bekerja sebagai petani. Selama masa Orde Baru, atau sebelum

    tahun 2000-an, program transmigrasi pernah dilaksanakan secara besar-besaran

    untuk menangani problem kemiskinan perdesaan Jawa.

    Transmigrasi diselenggarakan Pemerintah pasca kemerdekaan atas alasan-

    alasan: Demografis (ketimpangan penduduk Indonesia), ideologis (persatuan dan

    kesatuan bangsa), ekonomis (pengentasan kemiskinan), politis (pemerataan

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 13

    pembangunan antar-wilayah), dan kultural, yaitu terjadinya akulturasi dalam

    hubungan lintas etnis, bagi masyarakat lokal dan pendatang dalam setting budaya

    masyarakat Indonesia yang plural.

    Sosiologi transmigrasi sebagai fenomena khas Indonesia, telah diakui dan

    dirasakan oleh masyarakat, sebagai sarana [alternatif] pemecahan masalah

    ketiadaan pekerjaan, sekaligus pencapaian kesejahteraan. Transmigrasi telah

    begitu popular, dikenal masyarakat, karena jasa-jasanya dalam membentuk

    komunitas/ masyarakat, yang bermukim di desa-desa baru di berbagai belahan

    negeri ini. Banyak entitas kehidupan sosial-ekonomi dan kultural, yang terbentuk

    melalui transmigrasi, yang kini telah maju dan berkembang.

    3.2.2 Transmigrasi dari Masa Ke Masa

    Dari waktu ke waktu, sejarah transmigrasi diwarnai beberapa perubahan

    baik dari sisi aturan legal, kebijakan dan paradigma, serta orientasi pragmatis

    pelaksananya. Sejak masa pra-Pelita hingga kini, setidaknya ada 4 (empat)

    kategori “generasi transmigrasi”, yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Puslitbang

    Ketransmigrasian, 2013) :

    1. Generasi Pertama

    Adalah transmigrasi yang dilaksanakan di masa pra-Pelita dan berakhir

    hingga pertengahan tahun 1980-an (Pelita III). Dasar legalnya adalah UU No. 3

    tahun 1972 (tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi). Ciri utama transmigrasi

    generasi ini adalah pemindahan penduduk secara besar-besaran dari dan keluar

    Pulau Jawa, Madura, Bali (Jambal), dan Lombok, dengan sepenuhnya biaya

    ditanggung pemerintah. Tema-tema utama transmigrasi saat itu adalah

    pengurangan kepadatan penduduk Jawa dan kelangkaan penduduk luar Jawa.

    Pola usaha dan permukiman transmigrasi hampir seluruhnya dibangun dengan

    orientasi pengembangan pertanian (padi-sawah) baik lahan basah maupun lahan

    kering.

    Produk akhir transmigrasi generasi ini adalah kesatuan-kesatuan sosial,

    atau komunitas-komunitas administratif desa, yang dalam jangka panjang telah

    terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan wilayah dan

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 14

    ekonomi regional sebagai pusat-pusat produksi pertanian dan menjadi wilayah

    belakang (hinterland) dari kota-kota yang secara tradisional sudah ada di wilayah

    provinsi yang bersangkutan. Komunitas desa-desa eks transmigrasi umumnya

    berskala besar, dan berkembang pesat baik secara politis maupun administratif.

    2. Generasi Kedua

    Adalah transmigrasi yang dilaksanakan di masa Pelita IV hingga berakhir di

    akhir tahun 1990-an (Pelita VII). Dalam era ini transmigrasi ditandai salah satunya

    oleh keterlibatan pihak swasta untuk berinvestasi di sektor perkebunan. Sekalipun

    pola usaha tanaman pangan (padi sawah) masih dipertahankan, pola-pola

    kemitraan perkebunan dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR-Trans)

    dikembangkan secara besar-besaran. Program transmigrasi mendapat berkah

    dengan dikucurkannya dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada

    swasta, sehingga banyak swasta yang kemudian berinvestasi membangun

    perkebunan sawit dan karet dalam bentuk PIR-Trans.

    Tema-tema demografis transmigrasi di era ini kemudian ditinggalkan,

    karena efek-efek pengurangan penduduk di daerah asal (Jambal) ternyata tidak

    tercapai. Transmigrasi kemudian dilakukan dengan orientasi pengembangan

    wilayah di daerah. Maka lahirlah UU No. 15 tahun 1997 (tentang Ketransmigrasian,

    sebagai pengganti UU Nomor 3 tahun 1972). Secara konseptual, orientasi

    transmigrasi generasi kedua bukan lagi membangun komunitas administratif desa

    atau desa definitif, melainkan pembangunan proyek-proyek berbasis spasial yaitu

    WPT (Wilayah Pengembangan Transmigrasi) dan LPT (Lokasi Permukiman

    Transmigrasi).

    3. Generasi ketiga

    Adalah transmigrasi yang dilaksanakan sejak berakhirnya pemerintahan

    sentralistik Orde Baru, dan berakhir di penghujung tahun 2004. Dengan demikian,

    dalam prakteknya UU nomor 15/1997 belum sempat diimplementasikan secara

    utuh dan orientasi pengembangan wilayah praktis belum sempat dilaksanakan,

    karena ketika itu transmigrasi lebih difokuskan atau mendapat mandate yang

    bersifat ad hoc untuk menangani secara permanen korban konflik baik horisontal

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 15

    maupun konflik vertikal melalui upaya pemukiman kembali di berbagai wilayah

    (termasuk daerah asal Jawa, Madura, dan Bali).

    Pada era ini, transmigrasi mengalami stagnasi. Tahun 2000-2001,

    misalnya, tidak ada penempatan transmigrasi. Di beberapa propinsi, program

    transmigrasi dihentikan. Sejak saat itulah maka citra (syi’ar) transmigrasi mulai

    meredup. Kondisi ini semakin sulit, karena otonomi daerah yang mulai

    diberlakukan menjadikan dikotomi yang begitu kuat antara kepentingan daerah

    tujuan dan daerah asal transmigrasi, serta perolehan lahan pun untuk permukiman

    transmigrasi berskala luas (yang bersifat eksklusif) menjadi semakin sensitif untuk

    dibicarakan. Satuan-satuan permukiman transmigrasi dibangun dalam skala yang

    relatif lebih kecil, sehingga sulit untuk menjadi embrio pusat pertumbuhan ekonomi

    wilayah.

    Transmigrasi kembali normal menjadi program reguler pemerintah yang

    teratur di tahun 2005. Namun transmigrasi di era ini sebagian masih mewarisi

    problematik di era generasi ketiga. Dalam paruh kedua pemerintahan SBY Jilid I,

    upaya untuk membenahi transmigrasi sebagai program reguler-sektoral, telah

    berhasil dilakukan. Maka muncullah paradigma baru transmigrasi, yang bukan lagi

    berorientasi demografis melalui pemindahan dan penempatan penduduk secara

    besar-besaran, tetapi lebih pada pembangunan transmigrasi dengan membangun

    dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan baru dan atau pusat pertumbuhan yang

    sudah ada melalui skema Kota Terpadu Mandiri (KTM) dengan basis kawasan

    transmigrasi (dimulai tahun 2007), yang tujuannya untuk mengurangi

    ketimpangan dan mempercepat pembangunan daerah dalam rangka

    memperkukuh pelaksanaan otonomi.

    Tetapi dalam era ini, transmigrasi masih tetap harus dilakukan dalam

    bentuk perpindahan penduduk dari dan keluar daerah pengirim (asal), dengan

    tetap menyertakan masyarakat setempat sebagai Transmigran Penduduk

    Setempat (TPS), dan dengan dengan porsi dan komposisi yang lebih seimbang,

    bahkan lebih besar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan perlindungan hak-hak

    masyarakat lokal agar tidak terjadi marginalisasi, karena mereka adalah pemilik

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 16

    territorial atau daerah kebudayaan, masyarakat penerima, atau bahkan sebagai

    pemberi lahan untuk lokasi pembangunan.

    4. Generasi Keempat

    Era baru transmigrasi akan menjadi transmigrasi yang mendapat tugas

    lebih kompleks, yaitu: Pertama, merencanakan infrastruktur kawasan transmigrasi

    sebagai kawasan yang memiliki fungsi-fungsi perkotaan atau ciri fungsi perkotaan

    baru. Maka transmigrasi dihadapkan pada tantangan untuk memperoleh dukungan

    aparat birokrasi yang memahami betul planologi wilayah perkotaan. Kedua,

    transmigrasi harus mempersiapkan para calon transmigran, baik dari daerah

    pengirim maupun dari daerah tujuan atau penempatan (transmigran penduduk

    setempat), untuk menjadi calon masyarakat transmigrasi yang mampu menopang

    pertumbuhan budaya perkotaan dengan basis pertanian.

    Selain tugas membangun prasarana dan sarana fisik kawasan perkotaan

    guna melayani kebutuhan masyarakat, tugas baru transmigrasi adalah membuat

    program-program pengembangan kultur perkotaan bagi masyarakat transmigran,

    atau model transformasi kultural yang diperlukan guna menopang kemajuan

    kawasan yang berciri atau berfungsi perkotaan. Pada generasi ini (saat ini)

    diperlukan aparat birokrasi (pusat maupun daerah) yang mampu melakukan

    rekayasa transformasi budaya dari tradisional ke modernitas pendukung kehidupan

    kota. Ketiga, memberikan pemahaman kepada publik bahwa transmigrasi kedepan

    bukan lagi hanya membangun desa, melainkan membangun masyarakat kota yang

    dicirikan oleh kultur kerja keras, kompetitif, dan reseptif terhadap nilai-nilai

    moderen yang mendukung kemajuan.

    Di era baru ini, transmigrasi akan memasuki babak baru, sebagai program

    yang sangat prestisius, tetapi tetap berciri populis, dan akan mendapat simpati

    rakyat (publik), bagi siapapun rezim pelaksana dan berkuasa di negeri ini.

    Apa yang menjadi ciri khas (“trademark”) dari program transmigrasi,

    adalah bahwa melalui transmigrasi, atau dengan mengikuti program ini, seseorang

    atau suatu unit keluarga, dapat memperoleh bantuan sarana produksi, berupa

    tanah, pangan untuk bekerja (food for work), dan perlakuan pembinaan

    kemasyarakatan setelah bertempat tinggal (pasca penempatan) di permukiman

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 17

    baru transmigrasi. Dengan kata lain, program transmigrasi memberikan akses

    seluas-luasnya kepada masyarakat untuk bekerja dan berusaha di daerah baru,

    dengan memanfaatkan sumber daya alam (lahan pertanian).

    3.3 Urbanisasi

    3.3.1 Definisi Urbanisasi

    Urbanisasi secara harfiah berarti pengkotaan, yaitu proses menjadi kota

    (Pontoh dan Kustiawan, 2008). Urbanisasi dipahami secara umum sebagai proses

    menjadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, perubahan pekerjaan dari

    bertani berubah menjadi non-petani, dan juga menyangkut perubahan pola

    perilaku manusia (Daldjoeni, dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Pengkotaan

    juga dapat diterapkan pada suatu negara, sehingga dapat meningkatkan proporsi

    penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan.

    Ditinjau dari aspek demografis, urbanisasi yang diartikan sebagai

    mengalirnya penduduk dari desa ke kota yang disebabkan oleh adanya perbedaan

    signifikan tingkat kehidupan antara desa dan kota. Dalam konteks ini, para pakar

    mengidentifikasikan faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull

    factors) yang berkaitan dengan bangkitan urbanisasi (Khairuddin, dalam Pontoh

    dan Kustiawan, 2008).

    Harjoko (2010) pengertian urbanisasi diartikan sebagai suatu proses

    perubahan masyarakat dan kawasan dalam suatu wilayah yang non-urban menjadi

    urban. Secara spasial, hal ini dikatakan sebagai suatu proses diferensiasi dan

    spesialisasi pemanfaatan ruang dimana lokasi tertentu menerima bagian pemukim

    dan fasilitas yang tidak proporsional.

    Shogo kayono dalam Abbas (2002) memberikan pengertian urbanisasi

    sebagai perpindahan dan pemusatan penduduk secara nyata yang memberi

    dampak dalam hubungannya dengan masyarakat baru yang dilatar belakangi oleh

    faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sementara Keban dalam Abbas (2002)

    berpendapat bahwa urbanisasi jangan hanya dalam konteks demografi saja karena

    urbanisasi mengandung pengertian yang multidimensional. Urbanisasi dari

    pendekatan demografis berarti sebagai suatu proses peningkatan konsentrasi

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 18

    penduduk diperkotaan sehingga proporsi penduduk yang tinggal menjadi

    meningkat yang biasanya secara sederhana konsentrasi tersebut diukur dari

    proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan, kecepatan perubahan proporsi

    tersebut, dan perubahan jumlah pusat-pusat kota.

    Sedangkan urbanisasi menurut pendekatan ekonomi politik didefenisikan

    sebagai transformasi sosial ekonomi yang timbul sebagai akibat dari

    pengembangan dan ekspansi kapitalisme (capitalist urbanization). Dalam konteks

    modernisasi, urbanisasi mengandung pengertian sebagai perubahan nilai dari

    orientasi tradisional ke orientasi modern sehingga terjadi difusi modal, teknologi,

    nilai-nilai, pengelolaan kelembagaan dan orientasi dari masyarakat tradisional ke

    dunia barat (kota).

    3.3.2 Faktor Pendorong Urbanisasi

    Faktor-faktor pendorong terjadinya urbanisasi dapat ditinjau dalam

    beberapa perspektif, yaitu kemajuan di bidang pertanian, industrialisasi, potensi

    pasar, peningkatan kegiatan pelayanan, kemajuan transportasi, tarikan sosial dan

    kultural, kemajuan pendidikan dan pertumbuhan penduduk alami (Hammond,

    1979 diacu dalam Rustiadi et al., 2009). Alasan penduduk melakukan migrasi

    dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang berkaitan dengan alasan pekerjaan ataupun

    alasan non ekonomi yang berkaiatan dengan sosial, budaya, pendidikan, politik

    dan keamanan.

    Faktor pendorong lainnya adalah semakin terbatasnya lapangan kerja di

    pedesaan, kemiskinan di pedesaan akibat bertambahnya jumlah penduduk,

    transportasi desa-kota yang semakin lancar, tingginya upah buruh di kota dari

    pada di desa, meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat desa, dan tata cara

    serta adat istiadat yang kadang kala dianggap sebagai beban oleh masyarakat

    desa. Sementara faktor penarik antara lain adalah kesempatan kerja yang lebih

    luas dan bervariasi di kota, tingkat upah yang lebih tinggi, lebih banyak

    kesempatan untuk maju (diferensiasi pekerjaan dan pendidikan dalam segala

    bidang), tersedianya barang-barang kebutuhan yang lebih lengkap, terdapatnya

    berbagai kesempatan untuk rekreasi dan pemanfaatan waktu luang, dan bagi

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 19

    orang-orang atau kelompok tertentu di kota memberikan kesempatan untuk

    menghindari diri dari kontrol sosial yang ketat.

    Analisis hubungan keterkaitan antara urbanisasi dengan pembangunan

    ekonomi menurut ahli ekonomi dan sosial dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek

    pertama berkaitan dengan peran urbanisasi terhadap pembangunan ekonomi dan

    aspek kedua tentang pengaruh dari pembangunan ekonomi terhadap urbanisasi

    (Sukirno, 1985 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Kedua aspek analisis

    tersebut menunjukkan bahwa diantara urbanisasi dan pembangunan ekonomi

    terdapat hubungan sebab akibat yang timbal balik sifatnya, dimana pembangunan

    ekonomi dapat mempercepat proses urbanisasi dan sebaliknya proses urbanisasi

    dapat pula mempercepat proses pembangunan ekonomi.

    Pertumbuhan penduduk perkotaan yang kian pesat berdampak pada

    kebutuhan sarana dan prasarana/infrastruktur perkotaan (urban infrastructure).

    Penduduk kota dipandang dalam konteks permintaan (demand), sedangkan

    penyediaan infrastruktur kota merupakan penawaran (suplly) (Adisasmita dan

    Sakti, 2010). Dalam pembangunan perkotaan yang berkesinambungan, maka sisi

    permintaan dan sisi penawaran harus diupayakan mencapai titik keseimbangan,

    sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang berujung pada terjadinya

    kelangkaan ataupun kesulitan dalam pelayanan terhadap masyarakat.

    Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Urbanisasi timbul oleh adanya

    usaha untuk mempertinggi efisiensi kegiatan tukar menukar, karena usaha

    tersebut akan mengembangkan pusat-pusat perdagangan yang nantinya dapat

    berfungsi sebagai tempat pengumpulan barang produksi suatu wilayah yang akan

    dipersiapkan untuk didistribusikan ke wilayah lainnya. Untuk menjamin kelancaran

    usaha pengumpulan dan pendistribusian barang oleh pusat-pusat perdagangan

    tersebut, maka secara tidak langsung akan berkembang pula kegiatan-kegiatan

    yang merupakan suplemen/tambahan dari kegiatan perdagangan seperti kegiatan

    pengangkutan, komunikasi, dan badan-badan keuangan. Perkembangan dari

    berbagai kegiatan tersebut mendorong orang untuk berpindah ke kota-kota yang

    berfungsi sebagai pusat perdagangan dalam suatu wilayah tertentu.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 20

    3.4 Ruralisasi

    Ruralisasi adalah kebalikan dari urbanisasi, yaitu proses perpindahan

    penduduk dari suatu daerah di perkotaan yang padat penduduknya ke daerah lain

    di pedesaan yang masih jarang penduduknya. Pada umumnya mereka yang

    melakukan ruralisasi dulunya pernah juga melakukan urbanisasi, tapi cukup

    banyak juga masyarakat kota yang melakukan ruralisasi. Ruralisasi pada umumnya

    banyak dilakukan oleh mereka yang dulu pernah melakukan urbanisasi, namun

    banyak juga pelaku ruralisasi yang merupakan orang kota asli (Todaro, 2000).

    Ruralisasi dilakukan ketika kepadatan masyarakat di perkotaan sudah

    sangat tinggi dan keseimbangan populasi sudah terganggu. Sebagian masyarakat

    kota tersebut akhirnya pindah ke daerah pedesaan untuk mendapatkan kehidupan

    yang lebih baik dan berkualitas. Selain karena di daerah pedesaan masih tersedia

    ruang yang cukup banyak untuk tempat tinggal, daerah pedesaan juga dianggap

    lebih sehat ketimbang di perkotaan.

    Mengacu pada pengertian ruralisasi di atas, berikut ini adalah beberapa

    faktor pendorongnya (Pratiwi, 2012) :

    1. Masyarakat kota yang jenuh dengan situasi dan kondisi di perkotaan,

    2. Semakin mahalnya lahan di perkotaan sehingga banyak masyarakat kota

    yang tidak dapat memiliki lahan di kota.

    3. Adanya keinginan masyarakat kota untuk kembali ke desa asalnya dan

    memajukan desanya tersebut.

    4. Sebagian masyarakat kota pindah ke pedesaan karena merasa tidak

    sanggup lagi mengikuti dinamika kehidupan di perkotaan.

    Selain faktor pendorong, ada juga faktor yang membuat masyarakat kota

    tertarik untuk pindah ke pedesaan, diantaranya adalah (Pratiwi, 2012) :

    1. Harga lahan di daerah pedesaan relatif masih murah dan terjangkau.

    2. Biaya hidup dan pola kehidupan masyarakat di desa lebih sederhana.

    3. Suasana dan kondisi di pedesaan jauh lebih tenang ketimbang di

    perkotaan. Sangat cocok untuk mereka yang ingin menghabiskan masa tua

    dan pensiun dengan tenang.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 21

    4. Adanya kenangan masa kecil di pedesaan dan perasaan terhubung dengan

    desa asalnya.

    5. Masyarakat di desa lebih bersahabat, kekeluargaan, dan sopan sehingga

    merasa lebih nyaman tinggal di desa.

    Berikut ini adalah beberapa keuntungan ruralisasi:

    1. Masyarakat dapat menciptakan usaha sendiri, misalnya berjualan.

    Hal ini cenderung sulit dilakukan di perkotaan karena persaingan

    yang sangat ketat.

    2. Udara pedesaan yang jauh lebih sehat ketimbang di perkotaan

    membantu tubuh tetap bugar.

    3. Masyarakat yang melakukan ruralisasi pada umumnya dapat

    mempengaruhi kehidupan masyarakat di desa, sehingga masyarakat

    desa mengalami modernisasi.

    4. Penduduk kota yang melakukan ruralisasi dapat membeli lahan di

    pedesaan dengan harga yang lebih terjangkau.

    3.5 Pengembangan Wilayah

    3.5.1 Definisi Wilayah

    Rustiadi, dkk (2009) mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan

    batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen didalamnya memiliki

    keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya.. Batasan wilayah

    tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-

    komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan,

    manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah

    menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya

    dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

    Hagget, Cliff dan Frey, (1977) dalam Rustiadi dkk., (2009)

    mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah

    homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3)

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 22

    wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Dalam

    pendekatan klasifkasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah

    satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep

    wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah adminsitratif-politis dan wilayah

    perencanaan fungsional.

    Pada pewilayahan yang menggunaakan konsep wilayah homogeny

    mendefinisikan wilayah homogen berdasarkan basis kesamaan internal, yaitu

    wilayah yang memiliki karakteristik serupa atau seragam. Keseragaman ciri

    tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti sumberdaya alam (iklim dan

    sumber mineral), sosial (agama, suku, dan budaya), dan ekonomi (mata

    pencharian).

    Wilayah heterogen (nodal region), yaitu wilayah yang saling berhubungan

    secara fungsional disebabkan faktor heterogenitas (perbedaan komponen). Tiap

    komponen mempunyai peran tersendiri terhadap pembangunan daerah. Hal ini

    tercermin dalam perilaku para pelaku ekonomi yang saling tergantung terhadap

    yang lain. Menurut Blair (1991) wilayah nodal adalah satu tipe penting dari wilayah

    fungsional. Wilayah nodal terutama didasarkan atas suatu sistem hirarkis dari

    hubungan perdagangan. Hubungan tersebut berlangsung antara sub-wilayah

    pusat (core) dan wilayah pinggiran (periphery atau hinterland).

    Wilayah perencanaan (planning region), yaitu wilayah yang berada dalam

    kesatuan kebijakan atau administrasi. Wilayah ini selalu dikaitkan dengan

    pemerintah dalam rangka pengelolaan organisasi kepemerintahan dan umum

    digunakan untuk menyatakan kesatuan administratif seperti desa, kecamatan,

    kabupaten/kota, dan propinsi. Blair (1991) mengemukakan bahwa wilayah

    perencanaan atau wilayah administratif ini dibentuk untuk tujuan manajerial atau

    organisasional.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 23

    Secara teoritik, seluruh nomenklatur yang antara untuk istilah wilayah,

    kawasan dan daerah, semuanya secara umum diistilahkan dengan wilayah

    (region). Istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan

    fungsional suatu unit wilayah, dengan demikian, kawasan pada dasarnya adalah

    istilah khusus untuk istilah wilayah berdasarkan konsep wilayah fungsional/system.

    Karena itu, definisi kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-

    fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan

    sistemnya ditentukan berda-sarkan aspek fungsional (Rustiadi,dkk. 2009).

    Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Bappenas (2004)

    mendefinisikan kawasan sebagai wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik

    Wilayah Sistem/

    Fungsional

    Homogen

    Perencanaan / Pengelolaan

    Sistem Sederhana

    Desa – Kota

    Budidaya – Lindung

    Sistem Kompleks

    Sistem Ekonomi : Kawasan Produksi, Kawasan Industri

    Sistem Ekologi : DAS, hutan, pesisir

    Sistem Sosial-Politik : Kawasan Adata, Wilayah Etnik

    Wilayah Perencanaan Khusus : Jabodetabekjur, KAPET

    Wilayah Administrasi Politik : Provinsi, Kabupaten, kota

    Konsep Alamiah

    Nodal (Pusat-Hinterland)

    Konsep Non Alamiah

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 24

    dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain

    secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan

    meningkatkan kesejahteraan rakyat.

    3.5.2 Pengembangan Wilayah

    Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya

    yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat

    menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga

    yang paling humanistik”. Istilah pembangunan seringkali digunakan dalam hal

    yang sama dengan pengembangan, sehingga dapat saling dipertukarkan. Namun

    berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah

    pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya

    secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-

    proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau

    development (Rustiadi dkk, 2009).

    Dalam istilah di dalam bahasa Indonesia, kata “pengembangan” memiliki

    berbagai penekanan atau konotasi tertentu. Pertama, istilah pengembangan lebih

    menekankan “proses meningkatkan dan memperluas”. Dalam pengertian bahwa

    pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari “nol”, atau tidak

    membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang

    sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas

    (Rustiadi, 2009). Kedua, istilah pengembangan menekankan adanya pendekatan

    yang khusus dan bahkan cenderung bersikap melawan mainstream. Akibat

    perlunya pendekatan yang sangat khusus dan berdeda, para akademisi maupun

    praktisi pembangunan yang menekankan pemberdayaan dan peningkatan

    kapasitas masyarakat lebih memilih istilah “pengembangan masyarakat” dibanding

    pembangunan masyarakat.

    Demikian juga para akademisi dan praktisi di bidang kewilayahan, dengan

    alasan yang mirip lebih memilih istilah “pengembangan wilayah” dibandingkan

    istilah pembangunan wilayah. Hal ini terutama karena di dalam pengembangan

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 25

    wilayah memberikan berbagai penekanan tujuan yang berbeda dibandingkan

    tujuan pembangunan sekala makro (nasional).

    Menurut Murty (2000), pembangunan regional yang berimbang merupakan

    sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan

    pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti

    bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan, tingkat industrialisasi,

    pola ekonomi, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi

    yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari

    potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan

    demikian, diharapkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan

    merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat di antara

    semua wilayah yang terlibat.

    Riyadi dan Bratakusumah, (2006) membedakan antara pembangunan

    dengan pengembangan dengan mengemukakan bahwa pembangunan adalah

    semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan

    terencana, sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi

    secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan. Pembangunan dan

    pengembangan itu dapat berupa fisik dan non-fisik.

    Riyadi (2002) secara terperinci mengemukakan bahwa pengembangan

    wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan

    sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian

    lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan

    karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara

    suatu wilayah dengan wilayah lainnya.

    Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan

    keterpaduan penggunaan sumber daya dengan penyeimbangan dan penyerasian

    pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku pembangunan dalam

    mewujudkan tujuan pembangunan daerah (Anwar, 2005). Zen (1999)

    menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan

    secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan

    memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 26

    Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling

    berkaitan. Dari sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya

    memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat. Di sisi lain secara ekologis,

    pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan

    sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo,

    1999).

    Perencanaan pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan dua cara

    yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pada pendekatan

    sektoral dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di

    wilayah tersebut, sedangkan pada pendekatan regional melihat pemanfaatan

    ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah (Tarigan, 2008).

    Menurut Hoover dan Giarratani (1985) dalam Nugroho dan Dahuri (2004),

    terdapat tiga pilar penting perencanaan pembangunan wilayah yang berkaitan

    dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi.

    1. Keunggulan Komperatif

    Pilar ini berhubungan dengan keaadan sumberdaya yang spesifik dan khas,

    yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar

    wilayah, sehingga wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Karakter

    tersebut umumnya berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya

    alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan

    kelompok usaha sektor primer lain. Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), dengan

    adanya pemahaman tentang comparative advantage, maka pengembangan

    suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan

    yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan wilayah tersebut.

    2. Aglomerasi

    Aglomerasi sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. hal ini terjadi

    karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam

    bahan baku dan distribusi produk.

    3. Biaya transport

    Pilar ini terkait dengan jarak dan lokasi. Ketiga pilar tersebut selanjutnya akan

    berimplikasi pada pengambilan keputusan terhadap lokasi kegiatan.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 27

    Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut

    mendorong lahirnya berbagai konsep pengembangan wilayah. Berbagai konsep

    pengembangan wilayah yang pernah diterapkan adalah:

    1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumberdaya, yaitu: (1)

    pengembangan wilayah berbasis sumberdaya; (2) pengembangan wilayah

    berbasis komoditas unggulan; (3) pengembangan wilayah berbasis efisiensi;

    (4) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan.

    2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi

    wilayah ke dalam: (1) pusat pertumbuhan; (2) integrasi fungsional; (3)

    desentralisasi. Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya

    melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau

    wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan

    wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke

    bawah (trickle down effect). Konsep integrasi fungsional mengutamakan

    adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat

    pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini

    menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat

    pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep

    desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari

    sumberdana dan sumberdaya manusia.

    3. Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan kerjasama

    antarsektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

    penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah tertinggal.

    4. Konsep pengembangan wilayah berdasarkan cluster. Konsep ini terfokus pada

    keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi

    sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Cluster

    yang berhasil adalah cluster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan

    keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal.

    Dalam konteks pengembangan wilayah tersebut, Bappenas (2006)

    mengemukakan prinsip-prinsip dalam ruang lingkup sebagai berikut:

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 28

    1. Pengembangan wilayah harus berbasis pada sektor unggulan. Prioritas pada

    sektor unggulan akan mengarahkan sumber-sumber daya pada sektor yang

    diunggulkan melalui pemetaan antara sektor unggulan dengan sektor-sektor

    yang menjadi pendukungnya.

    2. Pengembangan wilayah dilakukan atas dasar karakteristik daerah yang

    bersangkutan, baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Suatu program

    hanya dapat tepat dilakukan pada suatu daerah tertentu dan tidak pada daerah

    dengan karakteristik berbeda lainnya. Dalam hal ini pengenalan terhadap

    karakter daerah mutlak dilakukan, sehingga perencanaan dan implementasi

    program sesuai dengan kelompok sasaran daerah yang bersangkutan.

    3. Pengembangan wilayah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.

    Pengembangan wilayah tidak dapat didasarkan pada satu sektor saja, atau

    pengembangan masing-masing sektor tidak dapat dilakukan secara terpisah.

    4. Pengembangan wilayah mutlak harus mempunyai keterkaitan ke depan dan ke

    belakang (forward and backward linkage) secara kuat. Atau pengembangan

    kawasan produktif di hinterland harus dikaitkan dengan pengembangan

    kawasan industri pengolahan di perkotaan, untuk memberikan nilai tambah

    yang lebih tinggi terhadap pertumbuhan perekonomian suatu wilayah.

    5. Pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan

    desentralisasi. Dengan demikian, pemerintah daerah mempunyai wewenang

    penuh dalam mengembangkan kelembagaan pengelolaan pengembangan

    ekonomi di daerah, mengembangkan sumber daya manusianya, menciptakan

    iklim usaha yang dapat menarik

    Dengan demikian, pengembangan suatu wilayah atau kawasan harus

    didekati berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus

    mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor kunci yang menjadi syarat

    perkembangan kawasan dari sisi internal adalah pada pola-pola pengembangan :

    (1) sumber daya manusia, (2) informasi, (3) sumbersumber daya modal dan

    investasi, (4) kebijakan dalam investasi, (5) pengembangan infrastruktur, (6)

    pengembangan kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan, serta (7)

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 29

    berbagai kerjasama dan kemitraan yang harus digalang untuk mencapai

    kesejahteraan masyarakat.

    Di lain pihak, faktor-faktor kunci yang menjadi syarat perkembangan

    kawasan dari sisi eksternal adalah perhatian pada : (1) masalah kesenjangan

    wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah; (2) perdagangan bebas

    terutama masalah pengembangan produk dalam pasar bebas untuk meningkatkan

    daya saing seperti peningkatan kualitas unsurunsur sumber daya manusia, (3)

    pengembangan riset dan teknologi termasuk teknologi informasi, (4)

    pengembangan sumber-sumber daya modal untuk membiayai investasi berbagai

    inovasi pengembangan produk; serta (5) otonomi daerah dengan fokus berbagai

    kebijakan yang mendukung iklim usaha investasi, kerjasama dan kemitraan dalam

    pengembangan produk antar berbagai pelaku, daerah, secara vertikal dan

    horisontal, serta pengembangan kemampuan kelembagaan pengelolaan ekonomi

    di daerah secara profesional.

    3.5.3 Pembangunan Kawasan

    Pembangunan Kawasan tidak lain adalah usaha untuk mengembangkan

    dan meningkatkan kesalingtergantungan dan interaksi antara sistem ekonomi

    (economic system), manusia atau masyarakat (social system), dan lingkungan

    hidup beserta sumber daya alam (ecosystem) yang ada didalamnya.

    Di Indonesia, aspek fungsional dan administratif dari wilayah dijelaskan

    dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mendefinisikan

    wilayah sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur

    yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

    administratif dan atau aspek fungsional. (Pasal 1 Ayat 17). Selanjutnya dalam UU

    tersebut juga dinyatakan kawasan sebagai wilayah yang memiliki fungsi utama

    lindung atau budi daya (Pasal 1 Ayat 20).

    Dalam pengembangan wilayah, salah satu unsur fundamentalnya adalah

    keberadaan pusat kegiatan dan atau pusat pertumbuhan. Dalam konteks ini,

    konsep titik pertumbuhan (growth point concept) merupakan mata rantai antara

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 30

    struktur daerah-daerah nodal yang berkembang dengan sendirinya dan

    perencanaan fisik dan regional.

    Teori kutub pertumbuhan berasal dari pengalaman negara-negara Barat

    dalam pengembangan wilayahnya. Konsep kutub pertumbuhan ini diperkenalkan

    pertama kali oleh Fancois Perroux pada tahun 1949 (Mercado, 2002) yang

    mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal

    dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut Haruo (2000), selanjutnya dalam rangka

    mendorong pertumbuhan di negara-negara berkembang, berdasarkan teori ini

    maka disarankan strategi pengembangan wilayah dalam bentuk

    pengkonsentrasian investasi pada sejumlah kutub pertumbuhan yang terbatas.

    Gambar 3.2 Model Teori Kutub Pertumbuhan

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 31

    Terkait dengan kutub pertumbuhan ini, Friedman dan Alonso (1964) dalam

    Stimson, dkk 2002) melahirkan konsep yang dikenal dengan sebutan interaksi

    antara inti dan tepi (core and 31ngags3131a interaction). Pembangunan berawal

    dari sejumlah relatif sedikit pusat-pusat perubahan (centre of change) yang

    terletak di titik-titik interaksi berpotensi tinggi dalam batas atau bidang jangkauan

    komunikasi. Daerah-daerah inti (core regions) tersebut merupakan pusat-pusat

    utama dari pembaharuan. Sementara wilayah-wilayah territorial lainnya

    merupakan daerah-daerah tepi/pinggiran yang berada jauh dari pusat perubahan,

    yang tergantung kepada daerah-daerah inti.

    Pengkonsentrasian investasi pada sejumlah kutub pertumbuhan yang

    terbatas, pada dasarnya mengacu pada konsep aglomerasi yang berkaitan dengan

    konsentrasi spasial dari penduduk dan kegiatan-kegiatan ekonomi (Malmberg dan

    Maskell, 2001). Ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Montgomery (1988)

    bahwa aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan

    perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of

    proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja

    dan konsumen.

    Keuntungan-keuntungan konsentrasi spasial sebagai akibat dari ekonomi

    skala disebut dengan ekonomi aglomerasi (Mills dan Hamilton, 1989). Ekonomi

    aglomerasi juga berkaitan dengan eksternalitas kedekatan geografis dari kegiatan-

    kegiatan ekonomi, bahwa ekonomi aglomerasi merupakan suatu bentuk dari

    eksternalitas positif dalam produksi yang merupakan salah satu faktor yang

    menyebabkan terjadinya pertumbuhan kota (Bradley and Gans, 1996). Ekonomi

    aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi karena kegiatan-kegiatan

    ekonomi berlokasi pada tempat yang sama. Keuntungan-keuntungan aglomerasi

    telah menyebabkan konsentrasi produksi lebih efisien dari pada terpencar-pencar,

    sedangkan keseimbangan antara keuntungan-keuntungan skala dalam penyediaan

    pelayanan-pelayanan sentral dan keinginan akan kemudahan hubungan telah

    mengakibatkan konsentrasi penduduk yang tersusun dalam suatu hirarki

    difokuskannya pusat-pusat sub-regional bagi pertumbuhan telah membantu

    menjembatani celah antara teori lokasi dan teori ekonomi regional.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 32

    Komponen dasar dari sistem tempat sentral adalah hirarki, penduduk

    ambang dan lingkup pasar. Penduduk ambang adalah jumlah minimum penduduk

    yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Lingkup pasar dari suatu

    kegiatan jasa adalah kesediaan orang untuk menempuh jarak tertentu untuk

    mencapai tempat penjualan jasa tersebut. Tingkat tempat sentral tergantung pada

    jasa yang tersedia di lokasi tersebut sehingga membentuk tingkat rendah sampai

    tingkat tinggi.

    Dengan demikian konsep titik pertumbuhan itu merupakan mata rantai

    penghubung antara struktur wilayah-wilayah nodal yang berkembang dengan

    sendirinya dengan perencanaan fisik dan wilayah. Akan tetapi, kutub pertumbuhan

    tidak hanya merupakan lokalisasi dari industri-industri inti. Kutub pertumbuhan

    harus juga mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitar, dan karenanya efek

    polarisasi strategi adalah lebih menentukan dari pada perkaitan-perkaitan antar

    industri.

    Pendapatan di daerah pertumbuhan secara keseluruhan akan mencapai

    maksimum apabila pembangunan dikonsentrasikan pada titik-titik pertumbuhan

    dibandingkan jika terpencar di seluruh daerah. Dengan demikian, interaksi antara

    masing-masing titik pertumbuhan dan. Daerah pengaruhnya adalah unsur yang

    panting dalam teori ini.

    Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah maupun antar sub-

    wilayah, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-

    optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan

    pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter-regional

    yang sinergis (saling memperkuat). Ketidakseimbangan pembangunan inter-

    regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-

    optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan

    pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter-regional

    yang sinergis (saling memperkuat). Untuk memperkuat keterkaitan internal,

    investasi sarana-prasarana fisik merupakan faktor penting yang dapat

    menjamin akses masyarakat lokal berinterksi dan mengakses sumberdaya-

    sumberdaya ekonomi baru yang dikembangkan. Namun tanpa disertai

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 33

    investasi yang yang memadai di bidang social capital yang menumbuhkan

    rasa saling percaya (trust), norma dan networking baru yang efektif

    menjembatani masyarakat pendatang dan masyarakat asli maka hubungan

    dan interaksi yang positif, transfer knowledge, dan keberimbangan internal

    tidak akan terwujud.

    3.5.4 Supply and Demand Side Strategy

    Pengembangan wilayah dapat dianggap sebagai suatu bentuk intervensi

    positif terhadap pembangunan di suatu wilayah. Di samping strategi-strategi untuk

    wilayah yang tengah berkembang, strategi pengembangan wilayah-wilayah baru

    seperti di luar Pulau Jawa menjadi sangat penting.

    Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru dapat digolongkan

    dalam dua kategori strategi, yaitu demand side strategi dan supply side strategy

    (Rustiadi dkk (2009). Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan

    wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari

    masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan

    wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduk.

    Di dalam pendekatan demand side strategy, tujuan pengembangan wilayah

    dilakukan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di

    suatu wilayah. Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan akan meningkatkan

    permintaan terhadap barang-barang non-pertanian. Adanya peningkatan

    permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa-

    jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut.

    Selanjutnya, pengertian dari strategi supply side adalah suatu strategi

    pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi model untuk

    kegiatan-kegiatan produksi yang beriorientasikan keluar. Tujuan penggunaan

    strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya

    diproses dari sumberdaya alam lokal. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk

    ekspor yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal. Selanjutnya hal ini

    akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut. Contoh dari strategi

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 34

    ini adalah strategi pengembangan eksplorasi sumber daya alam melalui

    penambangan, loging (HPH) dan lain-lain.

    Keuntungan penggunaan strategi supply-side adalah prosesnya cepat

    sehingga efek yang ditimbulkannya cepat terlihat. Beberapa permasalahan yang

    sering muncul dari digunakannya strategi ini adalah: (1) timbulnya enclave karena

    keterbatasan kapasitas (pengetahuan, keahlian dan kompetensi) penduduk lokal,

    sehingga seringkali hanya masyarakat tertentu dengan jumlah yang terbatas atau

    pendatang dari luar kawasan saja yang menikmatinya, dan (2) sangat peka

    terhadap perubahan-perubahan ekonomi di luar wilayah (faktor eksternal).

    3.5.5 Agropolitan

    Agropolitan terdiri dari kata “agro” = pertanian dan “politan” = kota,

    sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah

    lahan pertanian (Departemen pertanian, 2002 dalam Pranoto, 2005). Agropolitan

    merupakan salah satu pendekatan pembangunan yang relevan dengan wilayah

    perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya

    alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi sebagian besar

    masyarakat perdesaan.

    Pendekatan pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan

    dikembangkan oleh Friedman dan Douglas (1975). Keduanya bahkan menekankan

    pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangkan perdesaan di kawasan

    Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan

    perdesaan secara beriringan dapat dilakukan dengan pembangunan wilayah

    perkotaan pada tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat

    tiga issu utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan

    pertanian dan penyediaan pengairan, (2). Desentralisasi politik dan wewenang

    administrasi dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma

    atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk

    pertanian. Melihat kota-kota sebagai site utama untuk fungsi-fungsi politik dan

    administrasi, pendekatan pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok

    dilakukan pada skala kabupaten (Douglass, 1998).

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 35

    Selanjutnya Mercado (2002) mengemukakan bahwa gambaran agropolitan

    adalah sebagai berikut: (1) skala geografi relatif kecil; (2) proses perencanaan dan

    pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi koperatif pada tingkat

    lokal; (3) diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian dan kegiatan non-

    pertanian; (4) pemanfaatan teknologi dan sumberdaya lokal; (5) berfungsi sebagai

    urban-rural industrial.

    Dengan skala luasan kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai

    berikut : (1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2)

    cukup luas untuk mening-katkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan

    ekonomi dan cukup luas dalam upaya mengembangkan diversifikasi produk dalam

    rangka mengatasi keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3)

    pengetahuan lokal akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika

    proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan.

    Menurut Rustiadi (2004) pembangunan agropolitan memerlukan terjadinya

    re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini dapat dilakukan

    melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan.

    Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan pemerintah agar

    mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan seperti redistribusi aset,

    terutama yang menyangkut lahan dan irigasi.

    3.5.6 Peran Transmigrasi dalam Pengembangan Wilayah

    Transmigrasi secara nyata telah menunjukkan peran yang penting dalam

    pengembangan wilayah, khususnya daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Dalam

    pelaksanaannya selama ini, program transmigrasi telah berhasil mengembangkan

    sekitar 3.000-an Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dengan berbagai

    infrastrukturnya, 945 diantaranya telah berkembang menjadi desa baru. Desa-

    desa baru tersebut sekarang dihuni oleh kurang lebih 12 juta jiwa dan telah

    tumbuh mendorong terbentuknya kecamatan dan kabupaten baru. Data eks UPT

    yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan

    sebanyak 240 kecamatan dan 88 kabupaten. (Pusdatintrans dan P4Trans, 2009).

    Beberapa diantara kawasan transmigrasi seperti Kurotidur di Bengkulu

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 36

    Utara, Metro di Lampung, Sangkala di Kalimantan Timur bahkan di tetapkan

    sebagai kawasan Agropolitan. Lokasi yang demikian biasanya menjadi daya tarik

    transmigran swakarsa yang memiliki bekal dan keterampilan sejak dari daerah

    asal.

    Sebagian desa transmigrasi juga telah berkembang menjadi hinterland bagi

    pusat-pusat kegiatan ekonomi di daerah. Kebutuhan akan jenis pangan tertentu di

    beberapa perkotaan dicukupkan oleh hasil usaha tani transmigran. Beras, sayur,

    dan ternak merupakan bentuk produk pertanian yang banyak dihasilkan oleh

    transmigran untuk konsumsi penduduk perkotaan (Soegiharto dan Najiyati, 2004).

    Dalam hal pengembangan akses terhadap faktor-faktor produksi,

    transmigrasi telah membangun sarana fisik transportasi berupa jalan, jembatan,

    gorong-gorong dan saluran drainase yang telah membuka isolasi wilayah yang

    selama ini tidak tersentuh pertumbuhan. Menurut Bank Dunia (1986), transmigrasi

    memberikan sumbangan pada perluasan jaringan jalan di beberapa provinsi,

    dengan besaran sekitar 20 % di kepulauan luar Jawa, Madura dan Bali dan bahkan

    mencapai 50 % di empat provinsi yaitu Lampung, Kalbar, Kalteng dan Kaltim.

    Perluasan jaringan jalan tersebut berupa jalan masuk ke permukiman transmigrasi.

    Di bidang pendidikan, transmigrasi telah membangun ribuan sekolah dasar.

    Selain bangunan fisik, juga dilengkapi dengan peralatan dan penempatan tenaga

    pengajar. Demikian pula di bidang kesehatan, transmigrasi telah membangun

    ribuan unit balai pengobatan disertai dengan penempatan tenaga para medis dan

    distribusi obat-obatan selama masih dalam pembinaan. Fasilitas sosial semacam

    itu bisa dimanfaatkan oleh semua penduduk sehingga turut mendukung

    peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

    3.6 Model dan Arah Kebijakan Pembangunan Kawasan

    Tertinggal

    Ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia

    masih merupakan tantangan yang harus diselesaikan dalam pembangunan ke

    depan. Ketimpangan pembangunan yang terjadi, baik antara desa-kota, antar

    wilayah perdesaan-perkotaan dan antar wilayah KBI-KTI perlu ditangani secara

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 37

    serius untuk mencegah terjadinya dampak negatif dari urbanisasi dan

    ketidakmerataan pembangunan.

    Penentuan intervensi program kegiatan akselerasi pembangunan di daerah

    tertinggal terintegrasi tersebut dapat menggunakan konsep gabungan antara

    development from above dan development from below.

    Menurut Bappenas (2016), Konsep development from above merupakan

    konsep yang berbasis pada akselerasi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah.

    Dasar dari adanya konsep ini dikarenakan adanya perkembangan wilayah yang

    tidak terjadi di seluruh bagian yang ada. Hal tersebut menjadikan perencanaan

    program akan difokuskan kepada wilayah yang memiliki sektor dinamis sehingga

    diharapkan dapat menjalar ke sektor / wilayah lainnnya. Dengan kata lain,

    pemilihan wilayah intervensi akan melihat kepada lokasi yang memiliki pusat

    pertumbuhan baru.

    Adapun konsep development from below merupakan konsep yang berbasis

    pada pemerataan, utamanya kebutuhan pokok masyarakat di suatu wilayah.

    Konsep ini diwujudkan dengan kegiatan pembangunan yang difokuskan kepada

    wilayah yang paling memerlukan pengembangan (dalam hal ini berupa desa-desa

    tertinggal). Program pembangunan yang difokuskan di desa tertinggal dilakukan

    dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar/standar pelayanan minimum di

    wilayah tersebut.

    Gabungan antara konsep development from above dan development from

    below diwujudkan dengan intervensi program kegiatan yang dilakukan secara

    terfokus pada kawasan tertentu (bukan tersebar di seluruh wilayah) yang memiliki

    sektor dinamis berupa potensi kawasan agar memberikan hasil yang signifikan dan

    memberikan spillover effect kepada wilayah sekitar khususnya desa-desa

    tertinggal. Dengan adanya integrasi program kegiatan di daerah tertinggal

    terintegrasi, diharapkan dapat mengentaskan desa tertinggal menjadi desa mandiri

    atau berkembang (Bappenas, 2016).

    Sebagai upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal, maka dalam

    Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, Daerah Tertinggal dijadikan sebagai

    Prioritas Nasional yang akan berfokus kepada empat kegiatan prioritas. Apabila

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 38

    diurutkan maka kegiatan prioritas paling utama ialah kegiatan pemenuhan

    pelayanan dasar publik, lalu peningkatan aksesibilitas/ konektifitas di daerah,

    pengembangan ekonomi lokal, serta yang terakhir terkait peningkatan kapasitas

    SDM maupun IPTEK.

    Maksud dari penentuan urutan program prioritas nasional ialah sebagai

    dasar dalam penentuan proporsi perencanaan kegiatan yang akan dilakukan.

    Disebabkan karena adanya keterbatasan anggaran, maka intervensi kegiatan

    terhadap lokus lokasi harus harus ditangani secara bertahap agar memiliki dampak

    yang lebih signifikan. Berikut adalah arah kebijakan pembangunan kawasan

    tertinggal :

    PENGEMBANGAN

    EKONOMI LOKAL

    (3)

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 39

    Gambar 3.3 Skema Program Prioritas Pembangunan Wilayah Tertinggal

    (Bappenas, 2016)

    Kegiatan pemenuhan pelayanan dasar publik di prioritas nasional daerah

    tertinggal menjadi urutan program prioritas yang pertama disebabkan karena

    pelayanan dasar publik merupakan kebutuhan yang paling utama untuk

    menunjang kehidupan masyarakat di suatu wilayah. Seperti yang diketahui bahwa

    pada daerah tertinggal hampir sebagian besar masyarakatnya masih mengalami

    kesulitan dalam mengakses layanan dasar baik itu berupa listrik, air bersih dan

    sanitasi, sarpras pendidikan, sarpras kesehatan, serta permukiman yang layak

    huni. Dengan menempatkan kegiatan pemenuhan layanan dasar publik sebagai

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 40

    program prioritas utama maka diharapkan dapat mengurangi ketimpangan antar

    wilayah yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah

    tertinggal.

    Prioritas program Pemenuhan Pelayanan Dasar Publik adalah sebagai

    berikut :

    1. Pembangunan Ketenagalistrikan

    2. Pembangunan Sarana dan Prasarana Pendidikan

    3. Pembangunan sarana dan Prasarana Kesehatan

    4. Pemenuhan Perumahan dan Pemukiman Layak Huni

    5. Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi, dan

    6. Penguatan Kelembagaan pemerintah daerah.

    Program prioritas kedua dalam prioritas nasional pembangunan daerah

    tertinggal adalah peningkatan aksesibilitas/konektifitas. Program ini diwujudkan

    dalam bentuk pembangunan jalan & jembatan, pembangunan dermaga,

    pengadaan moda transportasi darat, udara, laut dan ASDP serta pelayanan

    angkutan keperintisan maupun penyediaan akses telekomunikasi. Peningkatan

    aksesibilitas maupun konektifitas juga mutlak diperlukan bagi setiap daerah

    tertinggal karena dengan adanya aksesibilitas maupun konektifitas yang terbangun

    akan membuka keterisolasian masyarakat serta menghubungkan antar wilayah

    satu dengan wilayah lainnya.

    Program prioritas ketiga berupa pengembangan ekonomi lokal dalam

    bentuk kegiatan yang berbasis pada penyediaan bahan baku & sarana prasarana

    produksi, peningkatan kapasitas nelayan/petani/pelaku usaha mikro & ekonomi

    kreatif, pengolahan pasca panen & home industry, pemberian bantuan permodalan

    & pemberian fasilitas kredit usaha ekonomi produktif/UMKM, pemberian bantuan

    dalam hal promosi dan pemasaran serta pemberian kemudahan dalam hal

    perijinan usaha maupun penguatan kelembagaan usaha. Program pengembangan

    ekonomi lokal diarahkan kepada masyarakat agar mampu mengolah sumberdaya

    yang ada di lingkungannya dengan melihat potensi yang ada, sehingga mampu

    menumbuhkan kegiatan perekonomian yang berasal dari potensi masyarakat itu

    sendiri.

  • LAPORAN AKHIR

    KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN TRANSMIGRASI LOKAL

    2018 III- 41

    Program prioritas keempat berupa peningkatan SDM dan IPTEK yang

    diwujudkan dalam bentuk penyediaan tunjangan tenaga pendidikan maupun

    kesehatan. Penyediaan tunjangan bagi tenaga pendidikan maupun kesehatan

    dimasukkan dalam program prioritas dikarenakan di daerah tertinggal segala

    fasilitas penunjang untuk pelayanan tenaga kependidikan maupun kesehatan

    masih sangat terbatas. Selain itu juga dari segi aksesibilitas maupun kondisi

    geografis di daerah tertinggal yang sebagian besar masih sulit untuk dijangkau

    sehingga dari adanya pemberian tunjangan diharapkan akan mengurangi beban

    dalam menjalankan tugas serta mampu mendorong minat bagi para tenaga

    pendidikan maupun kesehatan untuk terjun ke daerah tertinggal. Dalam proses

    perencanaan kegiatan yang dilakukan pada keempat program prioritas tersebut

    tidak akan lepas dari proses koordinasi sehingga ada keterkaitan antara program

    yang satu dengan program lainnya demi mendukung percepatan pembangunan

    daerah tertinggal di seluruh Indonesia.

    Pencapaian Daerah Tertinggal perlu dilakukan secara terintegrasi melalui

    peningkatan pelayanan dasar publik, peningkatan aksesibilitas, dan

    pengembangan ekonomi lokal serta didukung oleh Sumberdaya Manusia yang

    berkualitas, dan seterusnya (kombinasi berbagai program/kegiatan).

    Pembangunan daerah tertinggal juga harus mempertimbangkan keterkaitan

    dengan daerah lainnya serta dengan pusat pertumbuha agar pembangunan lebih

    efektif dan efisien.