41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Puskesmas Cisaga 1. Keadaan Geografi Puskesmas Cisaga di wilayah perbatasan dengan wilayah Kota Banjar, dengan jarak dari Kota Kabupaten Ciamis sekitar kurang lebih 19 km. Puskesmas Cisaga lebih dekat ke wilayah kota Banjar yang berjarak kurang lebih 4 km. Dengan batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rancah Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeungjing Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Purwaharja Kota Banjar Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karangpucung Kecamatan Banjar Kota Banjar.

BAB IV

Embed Size (px)

DESCRIPTION

contoh skripsi

Citation preview

Page 1: BAB IV

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Puskesmas Cisaga

1. Keadaan Geografi

Puskesmas Cisaga di wilayah perbatasan dengan wilayah Kota Banjar,

dengan jarak dari Kota Kabupaten Ciamis sekitar kurang lebih 19 km.

Puskesmas Cisaga lebih dekat ke wilayah kota Banjar yang berjarak kurang

lebih 4 km.

Dengan batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rancah

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeungjing

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Purwaharja Kota Banjar

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karangpucung Kecamatan Banjar

Kota Banjar.

Luas wilayah kecamatan Cisaga yaitu : 7.252.155 ha yang terdiri dari:

a. Tanah Sawah : 1.718 ha

b. Tanah Kering : 2.267 ha

c. Tanah Basah : 71 ha

d. Tanah Hutan : 1.325 ha

e. Perkebunan : 417 ha

Page 2: BAB IV

f. Keperlusan Fasilitas Umum : 57 ha

g. Lain-lain/Tandus/Pasir : 417 ha

Kondisi daerah Kecamatan Cisaga daerah daratan sekitar 10% dan

sekitar 90% termasuk daerah pesawahan.

Kecamatan Cisaga Kabupaten Ciamis tahun 2010 terbagi menjadi 11

Desa yaitu: Cisaga, Mekarmukti, Kepel, Karyamulya, Danasari, Mangunjaya,

Sidamulya, Sukahurip, Bangunharja, Tanjungjaya, Girimukti. Semua Desa

termasuk dalam kualifikasi kategori Desa Swakarsa. Kesebelas desa tersebut

dapat terjangkau dengan kendaraan roda dua dan roda empat.

2. Keadaan Demografi

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Cisaga yaitu 23.022 jiwa,

terdiri dari laki-laki 11.241 jiwa dan perempuan11.741 jiwa. Tingkat

pendidikan sebagian besar adalah tamat SD yang mencapai 56.28%, tamatan

SMP sebanyak 31,73%, tamatan SMA sebanyak 10,64%, dan perguruan

tinggi sebanyak 1,35% . Jenis pekerjaan penduduk Kecamatan Cisaga

meliputi petani, buruh tani, pedagang, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau

TNI Polri. Pekerjaan petani menempati urutan pertama dengan presentasi

57%, kemudian sopir dengan presentasi 19%, kemudian buruh tani 8%,

pekerjaan lain-lain/tidak tetap 7%, pedagang 5%, PNS ABRI/pensiunan dan

pegawai swasta masing-masing 2%.

Page 3: BAB IV

B. Hasil Penelitian

1. Analisa Univariat

a. Lingkungan Fisik Rumah

Lingkungan fisik rumah dalam penelitian ini dapat penulis uraikan

sebagai berikut:

1) Ventilasi Rumah

Keadaan ventilasi rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan

tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.1 berikut ini:

Tabel 4.1Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden

Berdasarkan Ventilasi Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

Tahun 2011

No Ventilasi Rumah f %1 Tidak Standar 42 39,32 Standar 65 60,7

Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.1 terlihat bahwa ventilasi rumah

responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

lebih banyak yang standar yaitu 65 orang (60,7%), dan yang tidak

standar sebanyak 42 orang (39,3%).

Page 4: BAB IV

2) Dinding Rumah

Keadaan dinding rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan

tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.2Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden

Berdasarkan Dinding Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

Tahun 2011

No Dinding Rumah f %1 Tidak Standar 26 24,32 Standar 81 75,7

Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.2 terlihat bahwa dinding rumah

responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

lebih banyak yang standar yaitu 81 orang (75,7%), dan yang tidak

standar sebanyak 26 orang (24,3%).

3) Atap Rumah

Keadaan atap rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan

tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.3 berikut ini:

Page 5: BAB IV

Tabel 4.3Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden

Berdasarkan Atap Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

Tahun 2011

No Atap Rumah f %1 Tidak Standar 24 22,42 Standar 83 77,6

Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.3 terlihat bahwa atap rumah

responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

lebih banyak yang standar yaitu 83 orang (77,6%), dan yang tidak

standar sebanyak 24 orang (22,43%).

4) Lantai Rumah

Keadaan lantai rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan

tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden

Berdasarkan Lantai Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

Tahun 2011

No Lantai Rumah f %1 Tidak Standar 29 27,12 Standar 78 72,9

Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011

Page 6: BAB IV

Berdasarkan data pada tabel 4.4 terlihat bahwa lantai rumah

responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

lebih banyak yang standar yaitu 78 orang (72,9%), dan yang tidak

standar sebanyak 29 orang (27,1%).

5) Rekapitulasi Lingkungan Fisik Rumah

Lingkungan fisik rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan

tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.5 berikut ini:

Tabel 4.5Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden

Berdasarkan Lantai Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

Tahun 2011

Lingkungan Fisik Rumah

Kategori Tidak Standar StandarF % f %

Ventilasi Rumah 42 39,3 65 60,7Dinding Rumah 26 24,3 81 75,7Atap Rumah 24 22,4 83 77,6Lantai Rumah 29 27,1 78 72,9Rata-Rata 30 28.0 77 72.0

Sumber : Data Primer Tahun 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.5 terlihat bahwa lingkungan fisik

rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis rata-

rata memenuhi standar yaitu 77 orang (72%) dan yang tidak standar

sebanyak 30 orang (28%).

Page 7: BAB IV

6) Kejadian ISPA pada Balita

Kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori ya dan tidak

seperti terlihat pada tabel 4.6 berikut ini:

Tabel 4.6Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA di Wilayah Kerja

Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011

No Kejadian ISPA f %1 Ya 32 29,92 Tidak 75 70,1

Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.6 terlihat bahwa kejadian ISPA

di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis sebanyak 32

orang (29,9%), dan yang tidak ISPA sebanyak 75 orang (70,1%).

2. Analisa Bivariat

a. Hubungan Antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA

Hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA di wilayah

kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011 dapat dilihat pada

tabel 4.7 sebagai berikut:

Page 8: BAB IV

Tabel 4.7Hubungan Antara Ventilasi Rumah Dengan Kejadian ISPA

Di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten CiamisTahun 2011

Ventilasi RumahKejadian ISPA

p-valueYa Tidak JUMLAHF % F % F %

Tidak Standar 30 71,4 12 28,6 42 1000,000Standar 2 3,1 63 96,9 65 100

Total 32 29,9 75 70,1 107 100Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.7 terlihat bahwa dari 42 responden

yang ventilasi rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian

ISPA yaitu 30 orang (71,4%) dan yang tidak hanya 12 orang (28,6%).

Sedangkan responden yang mempunyai ventilasi rumah standar paling

banyak tidak mengalami ISPA yaitu 63 orang (96,9%) dan yang

mengalami ISPA hanya 2 orang (3,1%). Hasil uji hipotesis dengan

menggunakan chi square diperoleh p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Angka

ini menunjukkan bahwa Ha diterima yang berarti ada hubungan antara

ventilasi rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis.

b. Hubungan Antara Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA

Hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA di wilayah

kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011 dapat dilihat pada

tabel 4.8 sebagai berikut:

Page 9: BAB IV

Tabel 4.8Hubungan Antara Dinding Rumah Dengan Kejadian ISPA

Di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten CiamisTahun 2011

Dinding RumahKejadian ISPA

p-valueYa Tidak JUMLAHF % F % F %

Tidak Standar 23 88,5 3 11,5 26 1000,000Standar 9 11,1 72 88,9 81 100

Total 32 29,9 75 70,1 107 100Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.8 terlihat bahwa dari 26 responden

yang dinding rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian

ISPA yaitu 23 orang (88,5%) dan yang tidak hanya 3 orang (11,5%).

Sedangkan responden yang mempunyai dinding rumah standar paling

banyak tidak mengalami ISPA yaitu 72 orang (88,9%) dan yang

mengalami ISPA hanya 9 orang (11,1%). Hasil uji hipotesis dengan

menggunakan chi square diperoleh p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Angka

ini menunjukkan bahwa Ha diterima yang berarti ada hubungan antara

dinding rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis.

Page 10: BAB IV

c. Hubungan Antara Atap Rumah dengan Kejadian ISPA

Hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja

Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel

4.9 sebagai berikut:

Tabel 4.9Hubungan Antara Atap Rumah Dengan Kejadian ISPA Di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

Tahun 2011

Atap RumahKejadian ISPA

p-valueYa Tidak JUMLAHF % F % F %

Tidak Standar 22 91,7 2 8,3 24 1000,000Standar 10 12 73 88 83 100

Total 32 29,9 75 70,1 107 100Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.9 terlihat bahwa dari 24 responden

yang atap rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian ISPA

yaitu 22 orang (91,7%) dan yang tidak hanya 2 orang (8,3%). Sedangkan

responden yang mempunyai atap rumah standar paling banyak tidak

mengalami ISPA yaitu 73 orang (889%) dan yang mengalami ISPA hanya

10 orang (12%). Hasil uji hipotesis dengan menggunakan chi square

diperoleh p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Angka ini menunjukkan bahwa

Ha diterima yang berarti ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian

ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis.

Page 11: BAB IV

d. Hubungan Antara Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA

Hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA di wilayah

kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011 dapat dilihat pada

tabel 4.10 sebagai berikut:

Tabel 4.10Hubungan Antara Lantai Rumah Dengan Kejadian ISPA Di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis

Tahun 2011

Lantai RumahKejadian ISPA

p-valueYa Tidak JUMLAHF % F % F %

Tidak Standar 22 75,9 7 24,1 29 1000,000Standar 10 12,8 68 87,2 78 100

Total 32 29,9 75 70,1 107 100Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011

Berdasarkan data pada tabel 4.10 terlihat bahwa dari 29 responden

yang lantai rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian

ISPA yaitu 22 orang (75,9%) dan yang tidak hanya 7 orang (24,1%).

Sedangkan responden yang mempunyai lantai rumah standar paling banyak

tidak mengalami ISPA yaitu 68 orang (87,2%) dan yang mengalami ISPA

hanya 10 orang (12,8%). Hasil uji hipotesis dengan menggunakan chi

square diperoleh p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Angka ini menunjukkan

bahwa Ha diterima yang berarti ada hubungan antara lantai rumah dengan

kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis.

Page 12: BAB IV

C. Pembahasan

1. Lingkungan Fisik Rumah

a. Ventilasi Rumah

Berdasarkan data pada tabel 4.1 terlihat bahwa ventilasi rumah

responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis lebih

banyak yang standar yaitu 65 orang (60,7%), dan yang tidak standar

sebanyak 42 orang (39,3%).

Menurut Sukar (2001), ventilasi adalah proses pergantian udara

segar kedalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup

secara alamiah maupun buatan.

Banyaknnya balita yang tinggal diruangan yang mempunyai

ventilasi yang sesuai standar dapat mengurangi terjadinnya penularan

penyakit melalui udara. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan

kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat

racun akan meningkat. Tidak cukupnya ventilasi juga akan menyebabkan

kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses

penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Pertukaran hawa (ventilasi)

yaitu proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara

alamiah atau mekanis harus cukup.

Page 13: BAB IV

b. Dinding Rumah

Berdasarkan data pada tabel 4.2 terlihat bahwa dinding rumah

responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis lebih

banyak yang standar yaitu 81 orang (75,7%), dan yang tidak standar

sebanyak 26 orang (24,3%).

Dinding merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk

mendirikan sebuah rumah (Anonim, 2003). Dinding rumah yang baik

menggunakan tembok, tetapi dinding rumah didaerah tropis khususnya di

pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan bambu.

Banyaknya dinding rumah yang sesuai standar dapat mencegah

terjadinya ISPA. Dinding rumah selain berfungsi sebagai penyangga

atap juga untuk melindungi rumah dari gangguan serangan hujan dan

angin, juga melindungi dari pengaruh panas. Konstruksi dinding yang

tidak permanen dan terbuat dari anyaman bambu dapat merupakan faktor

yang berpengaruh terjadinya ISPApada bayi dan balita.

Bahan untuk dinding yang baik adalah dari pasangan batu bata.

Selain tahan api juga dapatmencegah hawa/udara dingin masuk ke dalam

rumah terutama pada malam hari yang dapat menimbulkan masuk angin

untuk balita dapat dihindari dari kedinginan yang lama kelamaandapat

menimbulkan batuk atau pilek (Prabu, 2008).

Page 14: BAB IV

c. Atap Rumah

Berdasarkan data pada tabel 4.3 terlihat bahwa atap rumah

responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis lebih

banyak yang standar yaitu 83 orang (77,6%), dan yang tidak standar

sebanyak 24 orang (22,43%).

Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu

dalam rumah. Atap sebaiknya diberi palfon atau langit-langit, agar debu

tidak langsung masuk ke dalam rumah (Nurhidayah, 2007). Menurut

Suryanto (2003), atap juga berfungsi sebagai cahaya alamiah dengan

menggunakan genting kaca. Genting kacapun dapat dibuat secara

sederhana, yaitu denggan melubangi genting, bisanya dilakukan pada

waktu pembuatannya, kemudian lubang pada genting ditutup oleh kaca.

Banyaknya rumah yang mempunyai atap standar dapat mengurangi

masuknya debu ke dalam rumah. Oleh karena itu rumah yang sehat

hendaknya mempunyai plafon. Plafon yang memenuhi sarat kesehatan

adalah yang terbuat dari bahan triplek. Plafon yang tidak memenuhi sarat

adalah yang terbuat dari bahan geribik dan rumah yang tidak memiliki

plafon. Tinggi minimum 2,4 meter, sebaiknya 3-4 meter (WHO)

berfungsi agar matahari tidak dirasakan langsung. Jenis atap yang baik

adalah atap yang tidak menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit

serta suhu panas didalam rumah.

Page 15: BAB IV

d. Lantai Rumah

Berdasarkan data pada tabel 4.4 terlihat bahwa lantai rumah

responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis lebih

banyak yang standar yaitu 78 orang (72,9%), dan yang tidak standar

sebanyak 29 orang (27,1%). Banyaknya balita yang tinggal dirumah yang

memiliki jenis lantai yang sesuai standar dapat mengurangi penularan

penyakit yang diakibatkan kelembaban lantai.

Lantai merupakan salah satu bangunan rumah untuk melengkapi

sebuah rumah (Dinata, 2007). Lantai rumah dapat mempengaruhi

terjadinya penyakit ISPA krena lantai yang tidak memenuhi standar

merupakan media yang baik untuk perkembangan bakteri atau virus

penyebab ISPA. Lantai yang baik lantai yang dalam keadaan kering dan

tidak lembab. Bahkan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi

paling tidak lantai perlu di plester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin

atau keramik yang mudah dibersihan.

Jenis lantai setengah plester dan tanah akan banyak mempengaruhi

kelembaban rumah. Lantai yang tidak rapat air dan tidak didukung

dengan ventilasi yang baik dapat menimbulkan peningkatan kelembaban

dan kepengapan yang akan memudahkan penularan penyakit.

Page 16: BAB IV

2. Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan data pada tabel 4.6 terlihat bahwa kejadian ISPA di wilayah

kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis sebanyak 32 orang (29,9%), dan

yang tidak ISPA sebanyak 75 orang (70,1%).

ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang

disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau

lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

(saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga

tengah dan pleura. Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran

pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ

Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut

adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil

untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang

dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14

hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai

jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak seringkali

bersamaan dengan proses infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho

pneumonia

Page 17: BAB IV

Adanya balita yang menderita pneumonia menunjukkan bahwa balita

tersebut harus segera mendapatkan perawatan karena ISPA sering kali

mengakibatkan kematian. ISPA adalah proses infeksi akut yang mengenai

jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali

bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus.

3. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

a. Hubungan Antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA

Berdasarkan data pada tabel 4.7 terlihat bahwa ada hubungan antara

ventilasi rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dengan p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Hal ini

menunjukkan bahwa ventilasi rumah yang sesuai standar sangat dibutuhkan

guna mencegah terjadinya ISPA.

Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnyaoksigen di dalam

rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban

udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan

dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang

baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab

penyakit, misalnya kuman ISPA dan TB ( Prabu, 2008).

Page 18: BAB IV

Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian dimana dari 42 responden

yang ventilasi rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian

ISPA yaitu 30 orang (71,4%) dan yang tidak hanya 12 orang (28,6%).

Sedangkan responden yang mempunyai ventilasi rumah standar paling

banyak tidak mengalami ISPA yaitu 63 orang (96,9%) dan yang

mengalami ISPA hanya 2 orang (3,1%). Selanjutnya nilai odds ratio

sebesar 78,750 yang menunjukkan bahwa ventilasi rumah yang tidak

standar mempunyai resiko 78,750 kali terkena ISPA daripada yang

ventilasi rumahnya standar.

Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan

hasil – hasil penelitian terdahulu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Priyo Santoso mendapatkan hasil bahwa balita yang tinggal di rumah

dengan ventilasi buruk mempunyai risiko sebesar 9,067 kali lebih

besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah denganventilasi baik

(Santoso, 2002). Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno

Widyaningtyas di Kabupaten Kebumen mendapatkan hasil bahwa balita

yang tinggal dirumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi

syaratmempunyai risiko menderita ISPA 223,889 kali lebih

besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi

yang memenuhi syarat (Widyningtyas, 2008).

Page 19: BAB IV

Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar

masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah. Rumah yang tidak

dilengkapi sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar dalam

rumah ini sangat dibutuhkan untuk kehidupan bagi penghuninya,

karena ketidakcukupan suplai udara akan berpengaruh pada fungsi

fisiologis alat pernafasan bagi penghuninya, terutama bagi bayi dan balita.

Berkaitan dengan aspek kecukupan suplai udara dalam ruang /rumah,

beberapa faktor perlu mendapat perhatian yaitu berapa volume ruang

sebagai tempat menampung udara, dan berapa banyak orang yang

menempati ruang sebagai tempat tidur ataupun rumah sebagai tempat

tinggal.

Peraturan Menteri Kesehatan yang sering dijadikan referensi

menyatakan bahwa luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Kondisi ini

menurut penulis masih belum cukup untuk menjamin kondisi dalam rumah

menjadi sehat dan nyaman bagi penghuninya. Tidak akan berarti, luas

ventilasi rumah telah memenuhi syarat sesuai peraturan Menteri Kesehatan

tetapi rumah tersebut mempunyai volume – volume ruang yang sempit atau

ruang/rumah dihuni oleh anggota keluarga yang berlebih (over crowding).

Oleh karena itu dalam menilai kondisi ventilasi rumah juga perlu

mempertimbangkan volume udara ruang dan kepadatan huniannya.

Page 20: BAB IV

b. Hubungan Antara Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA

Berdasarkan data pada tabel 4.8 terlihat bahwa ada hubungan antara

dinding rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dengan p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Hal ini

menunjukkan bahwa risiko balita terkena ISPA akan meningkat jika tinggal

di rumah yang kondisi dinding rumahnya tidak memenuhi syarat.

Kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat ini disebabkan

karena status sosio ekonomi yang rendah, sehingga keluarga hanya mampu

membuat rumah dari dinding yang terbuat dari anyaman bambu atau belum

seluruhnya terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar. Dinding rumah

yang yang terbuat dari anyaman bambu maupun dari kayu umumnya

banyak berdebu yang dapat menjadi media bagi virus atau bakteri untuk

terhirup penghuni rumah yang terbawa oleh angin.

Hal ini terlhat juga dari hasil penelitian yaitu dari 26 responden yang

dinding rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian ISPA

yaitu 23 orang (88,5%) dan yang tidak hanya 3 orang (11,5%). Sedangkan

responden yang mempunyai dinding rumah standar paling banyak tidak

mengalami ISPA yaitu 72 orang (88,9%) dan yang mengalami ISPA hanya

9 orang (11,1%). Selanjutnya nilai odds ratio sebesar 61,333 yang

menunjukkan bahwa dinding rumah yang tidak standar mempunyai resiko

61,333 kali terkena ISPA daripada yang dinding rumahnya standar.

Page 21: BAB IV

Dinding rumah selain berfungsi sebagai penyangga atap juga untuk

melindungi rumah dari gangguan serangan hujan dan angin, juga

melindungi dari pengaruh panas. Konstruksi dinding yang tidak permanen

dan terbuat dari anyaman bambu dapat merupakan faktor yang berpengaruh

terjadinya ISPA pada bayi dan balita. Bahan untuk dinding yang baik

adalah dari pasangan batu bata. Selain tahan api juga dapat mencegah

hawa/udara dingin masuk ke dalam rumah terutamapada malam hari yang

dapat menimbulkan masuk angin untuk balita dapat dihindari dari

kedinginan yang lama kelamaandapat menimbulkan batuk atau pilek

(Prabu, 2008).

Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Duni

Ramdani di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa jenis dinding

mempunyai hubungan dengan kejadian ISPApada balita dimana resiko

relatifnya sebesar 2,05 (Ramdani, 2006).

Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno

Widyaningtyas di Kabupaten Kebumen menunjukkan bahwa balita yang

tinggal di rumah dengan jenis dinding yang bukan tembok mempunyai

risiko menderita ISPA 2,214 kali lebih besar dibanding dengan balita yang

tinggal di rumah permanen dengan jenis dinding seluruhnya tembok

( Widyaningtyas, 2008).

Page 22: BAB IV

Kondisi dinding sebagai salah satu komponen penilaian terhadap

jenis rumah perlu mendapat perhatian. Dinding merupakan komponen

rumah yang mampu mencegah panas pada siang hari dan menahan panas

pada malam hari,s ehingga menyebabkan kondisi suhu maupun

kelembaban dalam rumah relatif sama. Dinding rumah yang tidak

memenuhi syarat menyebabkan kondisi udara dalam ruang menjadi

lembab. Pada gilirannya, kondisi lembab ini akan menjadi prakondisi

pertumbuhan kuman maupun bakteri pathogen yangdapat menimbulkan

penyakit bagi penghuninya.

c. Hubungan Antara Atap Rumah dengan Kejadian ISPA

Berdasarkan data pada tabel 4.9 terlihat bahwa ada hubungan antara

atap rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dengan p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Hal ini

menunjukkan bahwa atap rumah merupakan bagian yang paling penting

dan berguna untuk mencegah terjadinya ISPA.

Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu

dalam rumah. Atap sebaiknya diberi palfon atau langit-langit, agar debu

tidak langsung masuk ke dalam rumah (Nurhidayah, 2007). Menurut

Suryanto (2003), atap juga berfungsi sebagai cahaya alamiah dengan

menggunakan genting kaca. Genting kacapun dapat dibuat secara

Page 23: BAB IV

sederhana, yaitu denggan melubangi genting, bisanya dilakukan pada

waktu pembuatannya, kemudian lubang pada genting ditutup oleh kaca.

Hasil penelitian ini ada kesamaan dengan hasil penelitian

Nurhidayah (2007) bahwa ada hubungan atap rumah (p=0,026) dengan

kejadian ISPA, sedangkan kelembaban rumah (p=0,883) tidak ada

hubungandengan kejadian ISPA (Nurhidayah, 2007). Pada penelitian ini

ditemukan dari 24 responden yang atap rumahnya tidak standar paling

banyak mengalami kejadian ISPA yaitu 22 orang (91,7%) dan yang tidak

hanya 2 orang (8,3%). Sedangkan responden yang mempunyai atap rumah

standar paling banyak tidak mengalami ISPA yaitu 73 orang (889%) dan

yang mengalami ISPA hanya 10 orang (12%). Selanjutnya nilai odds ratio

sebesar 80,300 yang menunjukkan bahwa atap rumah yang tidak standar

mempunyai resiko 80,300 kali terkena ISPA dari pada yang atap rumahnya

standar.

Hal ini disebabkan faktor lain seperti pencahayaan yang tidak

memenuhi syarat, dinding rumah yang tidak memenuhi syarat, dan

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Atap rumah responden

terbuat dari asbes yang dapat mengakibatkan panas. Responden rajin

membuka jendela sehingga pencahayaan baik di dalam rumah. Atap yang

cocok digunakan untuk daerah tropis baik di daerah perkotaan maupun

pedesaan adalah atap yang terbuat dari genteng karena selain terjangkau,

masyarakat juga dapat membuatnya sendiri

Page 24: BAB IV

d. Hubungan Antara Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA

Berdasarkan data pada tabel 4.10 terlihat bahwa ada hubungan antara

lantai rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga

Kabupaten Ciamis dengan p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Hal ini

dikarenakan lantai rumah yang terbuat dari tanah yang tidak dipadatkan,

pada musim kemarau lantai tersebut berdebu, hal tersebut dapat menjadi

sarang dan berkembangbiaknya penyakit. Jenis lantai rumah tidak

permanen (misalnya lantai dari tanah) cenderung mengakibatkan balita

yang tinggal di rumah tersebut akan menderita ISPA. Karena lantai rumah

yang terbuat dari tanah akan menyebabkan kondisi dalam rumah menjadi

berdebu. Keadaan berdebu ini sebagai salah satu bentuk terjadinya polusi

udara dalam rumah (indoor air  poolution). Debu dalam udara apabila

terhirup akan menempel pada saluran nafas bagian bawah. Akumulasi

penempelan debu tersebut akan menyebabkan balita sulit bernafas ataupun

sesak nafas.

Seperti dalam penelitian ini dari 29 responden yang lantai rumahnya

tidak standar paling banyak mengalami kejadian ISPA yaitu 22 orang

(75,9%) dan yang tidak hanya 7 orang (24,1%). Sedangkan responden yang

mempunyai lantai rumah standar paling banyak tidak mengalami ISPA

yaitu 68 orang (87,2%) dan yang mengalami ISPA hanya 10 orang

(12,8%). Selanjutnya nilai odds ratio sebesar 21,371 yang menunjukkan

Page 25: BAB IV

bahwa lantai rumah yang tidak standar mempunyai resiko 21,371 kali

terkena ISPA daripada yang lantaii rumahnya standar.

Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Duni

Ramdani di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa jenis lantai

mempunyai hubungan dengan kejadian ISPA pada balita dimana resiko

relatifnya sebesar 2,83 (Ramdani, 2006).

Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaningtyas

(2008) di Kabupaten Kebumen menunjukkan bahwa balita yang tinggal di

rumah dengan jenis lantai yang tidak seluruhnya semen/plester/ keramik

mempunyai risiko menderita ISPA 50,543 kali lebih besar dibanding

dengan balita yang tinggal di rumah permanen.

Dalam membangun suatu rumah konstruksi lantaiharus benar-benar

diperhatikan, karena lantai merupakan bagian yang penting untuk

membangun rumah yang sehat. Bahan untuk lantai sebaiknya dipilih bahan

yang kedap air, misal : di semen, dipasang tegel/keramik dan lain-lain.

Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan

kira-kira 20 cm dari permukaan tanah. Lantai tanah sebaiknya tidak

digunakan lagi, bila sebab musim hujan akan lembab sehingga dapat

menimbulkan gangguan atau penyakit terhadap penghuninya, adapun

pengaruh yang dapat ditimbulkan akibat pemakaian lantai tanah.

Page 26: BAB IV