Upload
ns-gunawan-muhaemin-skep
View
215
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
contoh skripsi
Citation preview
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Puskesmas Cisaga
1. Keadaan Geografi
Puskesmas Cisaga di wilayah perbatasan dengan wilayah Kota Banjar,
dengan jarak dari Kota Kabupaten Ciamis sekitar kurang lebih 19 km.
Puskesmas Cisaga lebih dekat ke wilayah kota Banjar yang berjarak kurang
lebih 4 km.
Dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rancah
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeungjing
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Purwaharja Kota Banjar
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karangpucung Kecamatan Banjar
Kota Banjar.
Luas wilayah kecamatan Cisaga yaitu : 7.252.155 ha yang terdiri dari:
a. Tanah Sawah : 1.718 ha
b. Tanah Kering : 2.267 ha
c. Tanah Basah : 71 ha
d. Tanah Hutan : 1.325 ha
e. Perkebunan : 417 ha
f. Keperlusan Fasilitas Umum : 57 ha
g. Lain-lain/Tandus/Pasir : 417 ha
Kondisi daerah Kecamatan Cisaga daerah daratan sekitar 10% dan
sekitar 90% termasuk daerah pesawahan.
Kecamatan Cisaga Kabupaten Ciamis tahun 2010 terbagi menjadi 11
Desa yaitu: Cisaga, Mekarmukti, Kepel, Karyamulya, Danasari, Mangunjaya,
Sidamulya, Sukahurip, Bangunharja, Tanjungjaya, Girimukti. Semua Desa
termasuk dalam kualifikasi kategori Desa Swakarsa. Kesebelas desa tersebut
dapat terjangkau dengan kendaraan roda dua dan roda empat.
2. Keadaan Demografi
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Cisaga yaitu 23.022 jiwa,
terdiri dari laki-laki 11.241 jiwa dan perempuan11.741 jiwa. Tingkat
pendidikan sebagian besar adalah tamat SD yang mencapai 56.28%, tamatan
SMP sebanyak 31,73%, tamatan SMA sebanyak 10,64%, dan perguruan
tinggi sebanyak 1,35% . Jenis pekerjaan penduduk Kecamatan Cisaga
meliputi petani, buruh tani, pedagang, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau
TNI Polri. Pekerjaan petani menempati urutan pertama dengan presentasi
57%, kemudian sopir dengan presentasi 19%, kemudian buruh tani 8%,
pekerjaan lain-lain/tidak tetap 7%, pedagang 5%, PNS ABRI/pensiunan dan
pegawai swasta masing-masing 2%.
B. Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Lingkungan Fisik Rumah
Lingkungan fisik rumah dalam penelitian ini dapat penulis uraikan
sebagai berikut:
1) Ventilasi Rumah
Keadaan ventilasi rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan
tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4.1Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden
Berdasarkan Ventilasi Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
Tahun 2011
No Ventilasi Rumah f %1 Tidak Standar 42 39,32 Standar 65 60,7
Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.1 terlihat bahwa ventilasi rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
lebih banyak yang standar yaitu 65 orang (60,7%), dan yang tidak
standar sebanyak 42 orang (39,3%).
2) Dinding Rumah
Keadaan dinding rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan
tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.2 berikut ini:
Tabel 4.2Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden
Berdasarkan Dinding Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
Tahun 2011
No Dinding Rumah f %1 Tidak Standar 26 24,32 Standar 81 75,7
Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.2 terlihat bahwa dinding rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
lebih banyak yang standar yaitu 81 orang (75,7%), dan yang tidak
standar sebanyak 26 orang (24,3%).
3) Atap Rumah
Keadaan atap rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan
tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.3 berikut ini:
Tabel 4.3Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden
Berdasarkan Atap Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
Tahun 2011
No Atap Rumah f %1 Tidak Standar 24 22,42 Standar 83 77,6
Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.3 terlihat bahwa atap rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
lebih banyak yang standar yaitu 83 orang (77,6%), dan yang tidak
standar sebanyak 24 orang (22,43%).
4) Lantai Rumah
Keadaan lantai rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan
tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden
Berdasarkan Lantai Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
Tahun 2011
No Lantai Rumah f %1 Tidak Standar 29 27,12 Standar 78 72,9
Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.4 terlihat bahwa lantai rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
lebih banyak yang standar yaitu 78 orang (72,9%), dan yang tidak
standar sebanyak 29 orang (27,1%).
5) Rekapitulasi Lingkungan Fisik Rumah
Lingkungan fisik rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori standar dan
tidak standar seperti terlihat pada tabel 4.5 berikut ini:
Tabel 4.5Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah Responden
Berdasarkan Lantai Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
Tahun 2011
Lingkungan Fisik Rumah
Kategori Tidak Standar StandarF % f %
Ventilasi Rumah 42 39,3 65 60,7Dinding Rumah 26 24,3 81 75,7Atap Rumah 24 22,4 83 77,6Lantai Rumah 29 27,1 78 72,9Rata-Rata 30 28.0 77 72.0
Sumber : Data Primer Tahun 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.5 terlihat bahwa lingkungan fisik
rumah di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis rata-
rata memenuhi standar yaitu 77 orang (72%) dan yang tidak standar
sebanyak 30 orang (28%).
6) Kejadian ISPA pada Balita
Kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dikelompokkan berdasarkan kategori ya dan tidak
seperti terlihat pada tabel 4.6 berikut ini:
Tabel 4.6Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA di Wilayah Kerja
Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011
No Kejadian ISPA f %1 Ya 32 29,92 Tidak 75 70,1
Total 107 100Sumber : Data Primer Tahun 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.6 terlihat bahwa kejadian ISPA
di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis sebanyak 32
orang (29,9%), dan yang tidak ISPA sebanyak 75 orang (70,1%).
2. Analisa Bivariat
a. Hubungan Antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA
Hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA di wilayah
kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011 dapat dilihat pada
tabel 4.7 sebagai berikut:
Tabel 4.7Hubungan Antara Ventilasi Rumah Dengan Kejadian ISPA
Di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten CiamisTahun 2011
Ventilasi RumahKejadian ISPA
p-valueYa Tidak JUMLAHF % F % F %
Tidak Standar 30 71,4 12 28,6 42 1000,000Standar 2 3,1 63 96,9 65 100
Total 32 29,9 75 70,1 107 100Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.7 terlihat bahwa dari 42 responden
yang ventilasi rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian
ISPA yaitu 30 orang (71,4%) dan yang tidak hanya 12 orang (28,6%).
Sedangkan responden yang mempunyai ventilasi rumah standar paling
banyak tidak mengalami ISPA yaitu 63 orang (96,9%) dan yang
mengalami ISPA hanya 2 orang (3,1%). Hasil uji hipotesis dengan
menggunakan chi square diperoleh p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Angka
ini menunjukkan bahwa Ha diterima yang berarti ada hubungan antara
ventilasi rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis.
b. Hubungan Antara Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA
Hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA di wilayah
kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011 dapat dilihat pada
tabel 4.8 sebagai berikut:
Tabel 4.8Hubungan Antara Dinding Rumah Dengan Kejadian ISPA
Di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten CiamisTahun 2011
Dinding RumahKejadian ISPA
p-valueYa Tidak JUMLAHF % F % F %
Tidak Standar 23 88,5 3 11,5 26 1000,000Standar 9 11,1 72 88,9 81 100
Total 32 29,9 75 70,1 107 100Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.8 terlihat bahwa dari 26 responden
yang dinding rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian
ISPA yaitu 23 orang (88,5%) dan yang tidak hanya 3 orang (11,5%).
Sedangkan responden yang mempunyai dinding rumah standar paling
banyak tidak mengalami ISPA yaitu 72 orang (88,9%) dan yang
mengalami ISPA hanya 9 orang (11,1%). Hasil uji hipotesis dengan
menggunakan chi square diperoleh p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Angka
ini menunjukkan bahwa Ha diterima yang berarti ada hubungan antara
dinding rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis.
c. Hubungan Antara Atap Rumah dengan Kejadian ISPA
Hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja
Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel
4.9 sebagai berikut:
Tabel 4.9Hubungan Antara Atap Rumah Dengan Kejadian ISPA Di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
Tahun 2011
Atap RumahKejadian ISPA
p-valueYa Tidak JUMLAHF % F % F %
Tidak Standar 22 91,7 2 8,3 24 1000,000Standar 10 12 73 88 83 100
Total 32 29,9 75 70,1 107 100Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.9 terlihat bahwa dari 24 responden
yang atap rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian ISPA
yaitu 22 orang (91,7%) dan yang tidak hanya 2 orang (8,3%). Sedangkan
responden yang mempunyai atap rumah standar paling banyak tidak
mengalami ISPA yaitu 73 orang (889%) dan yang mengalami ISPA hanya
10 orang (12%). Hasil uji hipotesis dengan menggunakan chi square
diperoleh p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Angka ini menunjukkan bahwa
Ha diterima yang berarti ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian
ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis.
d. Hubungan Antara Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA
Hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA di wilayah
kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis Tahun 2011 dapat dilihat pada
tabel 4.10 sebagai berikut:
Tabel 4.10Hubungan Antara Lantai Rumah Dengan Kejadian ISPA Di Wilayah Kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis
Tahun 2011
Lantai RumahKejadian ISPA
p-valueYa Tidak JUMLAHF % F % F %
Tidak Standar 22 75,9 7 24,1 29 1000,000Standar 10 12,8 68 87,2 78 100
Total 32 29,9 75 70,1 107 100Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.10 terlihat bahwa dari 29 responden
yang lantai rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian
ISPA yaitu 22 orang (75,9%) dan yang tidak hanya 7 orang (24,1%).
Sedangkan responden yang mempunyai lantai rumah standar paling banyak
tidak mengalami ISPA yaitu 68 orang (87,2%) dan yang mengalami ISPA
hanya 10 orang (12,8%). Hasil uji hipotesis dengan menggunakan chi
square diperoleh p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Angka ini menunjukkan
bahwa Ha diterima yang berarti ada hubungan antara lantai rumah dengan
kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis.
C. Pembahasan
1. Lingkungan Fisik Rumah
a. Ventilasi Rumah
Berdasarkan data pada tabel 4.1 terlihat bahwa ventilasi rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis lebih
banyak yang standar yaitu 65 orang (60,7%), dan yang tidak standar
sebanyak 42 orang (39,3%).
Menurut Sukar (2001), ventilasi adalah proses pergantian udara
segar kedalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup
secara alamiah maupun buatan.
Banyaknnya balita yang tinggal diruangan yang mempunyai
ventilasi yang sesuai standar dapat mengurangi terjadinnya penularan
penyakit melalui udara. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat
racun akan meningkat. Tidak cukupnya ventilasi juga akan menyebabkan
kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Pertukaran hawa (ventilasi)
yaitu proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara
alamiah atau mekanis harus cukup.
b. Dinding Rumah
Berdasarkan data pada tabel 4.2 terlihat bahwa dinding rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis lebih
banyak yang standar yaitu 81 orang (75,7%), dan yang tidak standar
sebanyak 26 orang (24,3%).
Dinding merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk
mendirikan sebuah rumah (Anonim, 2003). Dinding rumah yang baik
menggunakan tembok, tetapi dinding rumah didaerah tropis khususnya di
pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan bambu.
Banyaknya dinding rumah yang sesuai standar dapat mencegah
terjadinya ISPA. Dinding rumah selain berfungsi sebagai penyangga
atap juga untuk melindungi rumah dari gangguan serangan hujan dan
angin, juga melindungi dari pengaruh panas. Konstruksi dinding yang
tidak permanen dan terbuat dari anyaman bambu dapat merupakan faktor
yang berpengaruh terjadinya ISPApada bayi dan balita.
Bahan untuk dinding yang baik adalah dari pasangan batu bata.
Selain tahan api juga dapatmencegah hawa/udara dingin masuk ke dalam
rumah terutama pada malam hari yang dapat menimbulkan masuk angin
untuk balita dapat dihindari dari kedinginan yang lama kelamaandapat
menimbulkan batuk atau pilek (Prabu, 2008).
c. Atap Rumah
Berdasarkan data pada tabel 4.3 terlihat bahwa atap rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis lebih
banyak yang standar yaitu 83 orang (77,6%), dan yang tidak standar
sebanyak 24 orang (22,43%).
Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu
dalam rumah. Atap sebaiknya diberi palfon atau langit-langit, agar debu
tidak langsung masuk ke dalam rumah (Nurhidayah, 2007). Menurut
Suryanto (2003), atap juga berfungsi sebagai cahaya alamiah dengan
menggunakan genting kaca. Genting kacapun dapat dibuat secara
sederhana, yaitu denggan melubangi genting, bisanya dilakukan pada
waktu pembuatannya, kemudian lubang pada genting ditutup oleh kaca.
Banyaknya rumah yang mempunyai atap standar dapat mengurangi
masuknya debu ke dalam rumah. Oleh karena itu rumah yang sehat
hendaknya mempunyai plafon. Plafon yang memenuhi sarat kesehatan
adalah yang terbuat dari bahan triplek. Plafon yang tidak memenuhi sarat
adalah yang terbuat dari bahan geribik dan rumah yang tidak memiliki
plafon. Tinggi minimum 2,4 meter, sebaiknya 3-4 meter (WHO)
berfungsi agar matahari tidak dirasakan langsung. Jenis atap yang baik
adalah atap yang tidak menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit
serta suhu panas didalam rumah.
d. Lantai Rumah
Berdasarkan data pada tabel 4.4 terlihat bahwa lantai rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis lebih
banyak yang standar yaitu 78 orang (72,9%), dan yang tidak standar
sebanyak 29 orang (27,1%). Banyaknya balita yang tinggal dirumah yang
memiliki jenis lantai yang sesuai standar dapat mengurangi penularan
penyakit yang diakibatkan kelembaban lantai.
Lantai merupakan salah satu bangunan rumah untuk melengkapi
sebuah rumah (Dinata, 2007). Lantai rumah dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit ISPA krena lantai yang tidak memenuhi standar
merupakan media yang baik untuk perkembangan bakteri atau virus
penyebab ISPA. Lantai yang baik lantai yang dalam keadaan kering dan
tidak lembab. Bahkan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi
paling tidak lantai perlu di plester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin
atau keramik yang mudah dibersihan.
Jenis lantai setengah plester dan tanah akan banyak mempengaruhi
kelembaban rumah. Lantai yang tidak rapat air dan tidak didukung
dengan ventilasi yang baik dapat menimbulkan peningkatan kelembaban
dan kepengapan yang akan memudahkan penularan penyakit.
2. Kejadian ISPA pada Balita
Berdasarkan data pada tabel 4.6 terlihat bahwa kejadian ISPA di wilayah
kerja Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis sebanyak 32 orang (29,9%), dan
yang tidak ISPA sebanyak 75 orang (70,1%).
ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang
disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau
lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran
pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ
Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut
adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai
jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan proses infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho
pneumonia
Adanya balita yang menderita pneumonia menunjukkan bahwa balita
tersebut harus segera mendapatkan perawatan karena ISPA sering kali
mengakibatkan kematian. ISPA adalah proses infeksi akut yang mengenai
jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus.
3. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita
a. Hubungan Antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA
Berdasarkan data pada tabel 4.7 terlihat bahwa ada hubungan antara
ventilasi rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dengan p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa ventilasi rumah yang sesuai standar sangat dibutuhkan
guna mencegah terjadinya ISPA.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnyaoksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan
dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab
penyakit, misalnya kuman ISPA dan TB ( Prabu, 2008).
Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian dimana dari 42 responden
yang ventilasi rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian
ISPA yaitu 30 orang (71,4%) dan yang tidak hanya 12 orang (28,6%).
Sedangkan responden yang mempunyai ventilasi rumah standar paling
banyak tidak mengalami ISPA yaitu 63 orang (96,9%) dan yang
mengalami ISPA hanya 2 orang (3,1%). Selanjutnya nilai odds ratio
sebesar 78,750 yang menunjukkan bahwa ventilasi rumah yang tidak
standar mempunyai resiko 78,750 kali terkena ISPA daripada yang
ventilasi rumahnya standar.
Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan
hasil – hasil penelitian terdahulu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Priyo Santoso mendapatkan hasil bahwa balita yang tinggal di rumah
dengan ventilasi buruk mempunyai risiko sebesar 9,067 kali lebih
besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah denganventilasi baik
(Santoso, 2002). Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno
Widyaningtyas di Kabupaten Kebumen mendapatkan hasil bahwa balita
yang tinggal dirumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syaratmempunyai risiko menderita ISPA 223,889 kali lebih
besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi
yang memenuhi syarat (Widyningtyas, 2008).
Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar
masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah. Rumah yang tidak
dilengkapi sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar dalam
rumah ini sangat dibutuhkan untuk kehidupan bagi penghuninya,
karena ketidakcukupan suplai udara akan berpengaruh pada fungsi
fisiologis alat pernafasan bagi penghuninya, terutama bagi bayi dan balita.
Berkaitan dengan aspek kecukupan suplai udara dalam ruang /rumah,
beberapa faktor perlu mendapat perhatian yaitu berapa volume ruang
sebagai tempat menampung udara, dan berapa banyak orang yang
menempati ruang sebagai tempat tidur ataupun rumah sebagai tempat
tinggal.
Peraturan Menteri Kesehatan yang sering dijadikan referensi
menyatakan bahwa luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Kondisi ini
menurut penulis masih belum cukup untuk menjamin kondisi dalam rumah
menjadi sehat dan nyaman bagi penghuninya. Tidak akan berarti, luas
ventilasi rumah telah memenuhi syarat sesuai peraturan Menteri Kesehatan
tetapi rumah tersebut mempunyai volume – volume ruang yang sempit atau
ruang/rumah dihuni oleh anggota keluarga yang berlebih (over crowding).
Oleh karena itu dalam menilai kondisi ventilasi rumah juga perlu
mempertimbangkan volume udara ruang dan kepadatan huniannya.
b. Hubungan Antara Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA
Berdasarkan data pada tabel 4.8 terlihat bahwa ada hubungan antara
dinding rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dengan p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa risiko balita terkena ISPA akan meningkat jika tinggal
di rumah yang kondisi dinding rumahnya tidak memenuhi syarat.
Kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat ini disebabkan
karena status sosio ekonomi yang rendah, sehingga keluarga hanya mampu
membuat rumah dari dinding yang terbuat dari anyaman bambu atau belum
seluruhnya terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar. Dinding rumah
yang yang terbuat dari anyaman bambu maupun dari kayu umumnya
banyak berdebu yang dapat menjadi media bagi virus atau bakteri untuk
terhirup penghuni rumah yang terbawa oleh angin.
Hal ini terlhat juga dari hasil penelitian yaitu dari 26 responden yang
dinding rumahnya tidak standar paling banyak mengalami kejadian ISPA
yaitu 23 orang (88,5%) dan yang tidak hanya 3 orang (11,5%). Sedangkan
responden yang mempunyai dinding rumah standar paling banyak tidak
mengalami ISPA yaitu 72 orang (88,9%) dan yang mengalami ISPA hanya
9 orang (11,1%). Selanjutnya nilai odds ratio sebesar 61,333 yang
menunjukkan bahwa dinding rumah yang tidak standar mempunyai resiko
61,333 kali terkena ISPA daripada yang dinding rumahnya standar.
Dinding rumah selain berfungsi sebagai penyangga atap juga untuk
melindungi rumah dari gangguan serangan hujan dan angin, juga
melindungi dari pengaruh panas. Konstruksi dinding yang tidak permanen
dan terbuat dari anyaman bambu dapat merupakan faktor yang berpengaruh
terjadinya ISPA pada bayi dan balita. Bahan untuk dinding yang baik
adalah dari pasangan batu bata. Selain tahan api juga dapat mencegah
hawa/udara dingin masuk ke dalam rumah terutamapada malam hari yang
dapat menimbulkan masuk angin untuk balita dapat dihindari dari
kedinginan yang lama kelamaandapat menimbulkan batuk atau pilek
(Prabu, 2008).
Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Duni
Ramdani di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa jenis dinding
mempunyai hubungan dengan kejadian ISPApada balita dimana resiko
relatifnya sebesar 2,05 (Ramdani, 2006).
Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno
Widyaningtyas di Kabupaten Kebumen menunjukkan bahwa balita yang
tinggal di rumah dengan jenis dinding yang bukan tembok mempunyai
risiko menderita ISPA 2,214 kali lebih besar dibanding dengan balita yang
tinggal di rumah permanen dengan jenis dinding seluruhnya tembok
( Widyaningtyas, 2008).
Kondisi dinding sebagai salah satu komponen penilaian terhadap
jenis rumah perlu mendapat perhatian. Dinding merupakan komponen
rumah yang mampu mencegah panas pada siang hari dan menahan panas
pada malam hari,s ehingga menyebabkan kondisi suhu maupun
kelembaban dalam rumah relatif sama. Dinding rumah yang tidak
memenuhi syarat menyebabkan kondisi udara dalam ruang menjadi
lembab. Pada gilirannya, kondisi lembab ini akan menjadi prakondisi
pertumbuhan kuman maupun bakteri pathogen yangdapat menimbulkan
penyakit bagi penghuninya.
c. Hubungan Antara Atap Rumah dengan Kejadian ISPA
Berdasarkan data pada tabel 4.9 terlihat bahwa ada hubungan antara
atap rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dengan p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa atap rumah merupakan bagian yang paling penting
dan berguna untuk mencegah terjadinya ISPA.
Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu
dalam rumah. Atap sebaiknya diberi palfon atau langit-langit, agar debu
tidak langsung masuk ke dalam rumah (Nurhidayah, 2007). Menurut
Suryanto (2003), atap juga berfungsi sebagai cahaya alamiah dengan
menggunakan genting kaca. Genting kacapun dapat dibuat secara
sederhana, yaitu denggan melubangi genting, bisanya dilakukan pada
waktu pembuatannya, kemudian lubang pada genting ditutup oleh kaca.
Hasil penelitian ini ada kesamaan dengan hasil penelitian
Nurhidayah (2007) bahwa ada hubungan atap rumah (p=0,026) dengan
kejadian ISPA, sedangkan kelembaban rumah (p=0,883) tidak ada
hubungandengan kejadian ISPA (Nurhidayah, 2007). Pada penelitian ini
ditemukan dari 24 responden yang atap rumahnya tidak standar paling
banyak mengalami kejadian ISPA yaitu 22 orang (91,7%) dan yang tidak
hanya 2 orang (8,3%). Sedangkan responden yang mempunyai atap rumah
standar paling banyak tidak mengalami ISPA yaitu 73 orang (889%) dan
yang mengalami ISPA hanya 10 orang (12%). Selanjutnya nilai odds ratio
sebesar 80,300 yang menunjukkan bahwa atap rumah yang tidak standar
mempunyai resiko 80,300 kali terkena ISPA dari pada yang atap rumahnya
standar.
Hal ini disebabkan faktor lain seperti pencahayaan yang tidak
memenuhi syarat, dinding rumah yang tidak memenuhi syarat, dan
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Atap rumah responden
terbuat dari asbes yang dapat mengakibatkan panas. Responden rajin
membuka jendela sehingga pencahayaan baik di dalam rumah. Atap yang
cocok digunakan untuk daerah tropis baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan adalah atap yang terbuat dari genteng karena selain terjangkau,
masyarakat juga dapat membuatnya sendiri
d. Hubungan Antara Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA
Berdasarkan data pada tabel 4.10 terlihat bahwa ada hubungan antara
lantai rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cisaga
Kabupaten Ciamis dengan p-value sebesar 0,000 < α 0,05. Hal ini
dikarenakan lantai rumah yang terbuat dari tanah yang tidak dipadatkan,
pada musim kemarau lantai tersebut berdebu, hal tersebut dapat menjadi
sarang dan berkembangbiaknya penyakit. Jenis lantai rumah tidak
permanen (misalnya lantai dari tanah) cenderung mengakibatkan balita
yang tinggal di rumah tersebut akan menderita ISPA. Karena lantai rumah
yang terbuat dari tanah akan menyebabkan kondisi dalam rumah menjadi
berdebu. Keadaan berdebu ini sebagai salah satu bentuk terjadinya polusi
udara dalam rumah (indoor air poolution). Debu dalam udara apabila
terhirup akan menempel pada saluran nafas bagian bawah. Akumulasi
penempelan debu tersebut akan menyebabkan balita sulit bernafas ataupun
sesak nafas.
Seperti dalam penelitian ini dari 29 responden yang lantai rumahnya
tidak standar paling banyak mengalami kejadian ISPA yaitu 22 orang
(75,9%) dan yang tidak hanya 7 orang (24,1%). Sedangkan responden yang
mempunyai lantai rumah standar paling banyak tidak mengalami ISPA
yaitu 68 orang (87,2%) dan yang mengalami ISPA hanya 10 orang
(12,8%). Selanjutnya nilai odds ratio sebesar 21,371 yang menunjukkan
bahwa lantai rumah yang tidak standar mempunyai resiko 21,371 kali
terkena ISPA daripada yang lantaii rumahnya standar.
Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Duni
Ramdani di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa jenis lantai
mempunyai hubungan dengan kejadian ISPA pada balita dimana resiko
relatifnya sebesar 2,83 (Ramdani, 2006).
Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaningtyas
(2008) di Kabupaten Kebumen menunjukkan bahwa balita yang tinggal di
rumah dengan jenis lantai yang tidak seluruhnya semen/plester/ keramik
mempunyai risiko menderita ISPA 50,543 kali lebih besar dibanding
dengan balita yang tinggal di rumah permanen.
Dalam membangun suatu rumah konstruksi lantaiharus benar-benar
diperhatikan, karena lantai merupakan bagian yang penting untuk
membangun rumah yang sehat. Bahan untuk lantai sebaiknya dipilih bahan
yang kedap air, misal : di semen, dipasang tegel/keramik dan lain-lain.
Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan
kira-kira 20 cm dari permukaan tanah. Lantai tanah sebaiknya tidak
digunakan lagi, bila sebab musim hujan akan lembab sehingga dapat
menimbulkan gangguan atau penyakit terhadap penghuninya, adapun
pengaruh yang dapat ditimbulkan akibat pemakaian lantai tanah.