Upload
votruc
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN NADZIR DAN MANAJEMEN
PENDAYAGUNAAN TANAH WAKAF DI YAYASAN PENDIDIKAN
ISLAM AL KHOIRIYYAH SEMARANG
A. Analisis Tentang Hak dan Kewajiban Nadzir di Yayasan Pendidikan
Islam Al Khoiriyyah Semarang
Dalam rangka menjamin agar tanah wakaf berfungsi sesuai dengan
tujuan wakaf, diperlukan manajemen (pengelolaan) dan pengurusan yang baik.
Pengelola wakaf yang dikenal sebagai nadzir harus berusaha maksimal untuk
mengelola dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran Islam.
Seperti halnya yang terjadi di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang, dimana nadzir dapat mengelola tanah wakaf untuk
lembaga pendidikan. Agar tanah wakaf tersebut menjadi produktif,
pengelolaannya harus dilaksanakan dengan baik dan perlu diupayakan tanah
wakaf itu menjadi sumber daya ekonomi.
Dalam pengelolaan tanah wakaf, pihak yang paling berperan berhasil
tidaknya pemanfaatan tanah wakaf adalah nadzir wakaf, yaitu orang atau
kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif untuk
mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-kitab fiqih wakaf, para ulama tidak
mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf
sebagai ibadah tabarru’ (pemberian yang bersifat sunnah). Namun demikian,
setelah memperhatikan tujuan wakaf yaitu ingin melestarikan manfaat dari
81
82
hasil tanah wakaf, maka keberadaan nadzir profesional sangat dibutuhkan,
bahkan menempati pada peran sentral, sebab di pundak nadzirlah tanggung
jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta
menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.
Untuk itu sebagai instrumen penting dalam perwakafan, nadzir harus
memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan agar wakaf bisa diperdayakan
sebagaimana mestinya.
Menurut Eri Sudewo, CEO Dompet Dhuafa, Republika, dari
persyaratan minimal seseorang atau lembaga nadzir dalam pandangan fiqih
tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut :
a. Syarat Formal
- Paham terhadap hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’at
maupun perundang-undangan Republik Indonesia.
- Jujur, amanah, adil, dan ihsan sehingga dapat dipercaya dalam proses
pengelolaan dan pentasarufan kepada sasaran wakaf.
- Tahan godaan terutama menyangkut perkembangan usaha.
- Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan.
- Punya kecerdasan baik emosional maupun spiritual.
b. Syarat Manajemen
- Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership
(kepemimpinan).
- Visioner.
83
- Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual sosial dan
pemberdayaan.
- Profesional dalam bidang pengelolaan harta.
c. Syarat Bisnis
- Mempunyai keinginan.
- Mempunyai keinginan dan atau siap dimagangkan.
- Mempunyai ketajaman meliputi peluang usaha sebagaimana layaknya
entrepreneur.1
Dari bab terdahulu banyak sekali telah dijelaskan tentang syarat-syarat
sebagai nadzir baik menurut ulama madzhab yang diantaranya : berakal,
dewasa, adil, mampu atau kecakapan hukum, dan Islam, maupun menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
pasal 6, yang menyatakan :
1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pasal 1 yang terdiri dari
perorangan harus memiliki syarat berikut :
a. Warga negara Republik Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Sudah dewasa;
d. Sehat jasmani dan rohani;
e. Tidak berada di bawah pengampunan;
f. Bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan.
1 Departemen Agama R.I., Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf, 2004, hlm. 38-39.
84
2) Jika berbentuk badan hukum, maka nadzir harus memenuhi persyaratan
berikut :
a. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan.
3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.
4) Jumlah nadzir yang diperolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud
dalam ayat (3), ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.
Dari persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan di atas
menunjukan bahwa nadzir menempati pada pos yang sangat sentral dalam
pola pengelolaan tanah wakaf, ditinjau dari segi tugas nadzir, dimana dia
berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari
tanah yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya, jelas
bahwa berfungsi dan tidaknya suatu wakaf tergantung dari peran nadzir.
Dan juga tentang syarat pengangkatan dan pemberhentian nadzir yang
secara tersurat tidak ada ketentuan yang jelas oleh peraturan perundangan,
siapa yang berhak untuk mengangkat dan menunjuk nadzir, apakah wakif atau
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat sebagai Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf.
Sedangkan dalam kitab fiqih menyebutkan siapapun bisa menjadi
nadzir asal memenuhi kriteria atau syarat-syarat untuk menjadi nadzir, seorang
wakif pun bisa menunjuk dirinya sendiri atau orang lain menjadi nadzir. Maka
85
masa kerja nadzir tidak seumur hidup, seorang nadzir bisa berhenti kapanpun
apabila disebabkan oleh hal-hal yang bisa membatalkan dia sebagai nadzir,
seperti :
a. Meninggal dunia,
b. Mengundurkan diri,
c. Dibatalkan kedudukannya sebagai nadzir oleh Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan karena :
1) Tidak memenuhi syarat seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah dan
peraturan pelaksanaannya.
2) Melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan
jabatannya sebagai nadzir.
3) Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir.2
Sedangkan di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang dari
mulai berdirinya sampai sekarang telah mengalami empat kali pergantian
kepengurusan (nadzir) dikarenakan udzur atau meninggal dunia dan nadzir
diambilkan dari kalangan keluarga pendiri yayasan, yang dimaksudkan agar
mudah dalam pengelolaan yayasan dan memang benar-benar mempunyai
loyalitas yang tinggi terhadap yayasan, dan pemilihannya pun disesuaikan
dengan ketentuan syarat-syarat sebagai nadzir. Diantara ketentuan syarat-
syarat tersebut yang terpenting adalah nadzir memiliki sifat adil dan mampu.
Adil dalam arti mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang
menurut syari’at Islam.
2 Suparman Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta: Darul Ulum Press, 1999,
hlm. 79.
86
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam menyatakan “Ulama mensyaratkan
harus: (a) Adil dalam arti orang yang selalu mawas diri dari perbuatan-
perbuatan terlarang, tetapi menurut ulama Hambali, orang fasik boleh menjadi
nadzir, asal ia bertanggung jawab dan memegang amanah. (b) Memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola harta wakaf, termasuk
kecakapan terhadap tindak hukum. (c) Menurut ulama mazhab Hambali
apabila harta wakaf berasal dari orang muslim maka disyaratkan nadzirnya
juga muslim”.3
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa apa yang terjadi dengan
nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang baik mengenai
syarat-syarat sebagai nadzir maupun pengangkatan dan pemberhentian nadzir
telah sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah dan ulama fiqih,
walaupun yang diangkat sebagai nadzir adalah dari kalangan keluarga pendiri
yayasan sendiri, namun itu tidak menjadi masalah karena ulama fiqih
menyatakan seorang wakif bisa menjadi nadzir asal memenuhi syarat-syarat
sebagai nadzir dan itu bisa dilihat pada kecakapan nadzir di Yayasan
Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang dalam pengelolaan tanah wakaf,
sehingga tidak ada sedikitpun tanah yang sia-sia dan selalu meningkatkan
hasil tanah wakaf tersebut.
Tentang syarat nadzir yang berbentuk badan hukum, misalnya yayasan
keagamaan atau lembaga sosial, nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang yang berbentuk badan hukum merupakan sebuah
3 Abdul Azis Dahlan , et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
Cet. ke-1, 1996, hlm. 1910.
87
yayasan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman, dengan mempunyai
tujuan yang jelas dalam usahanya yaitu untuk kepentingan umum berupa
lembaga pendidikan.
Dalam pemanfaatan tanah wakaf yang diembannya, penulis juga
berpendapat nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
harus bertanggung jawab secara sungguh dan semangat yang didasarkan
kepada :
a. Tanggung jawab kepada Allah SWT atas perilaku dan perbuatannya.
Segala tindakan dan tugas yang dilakukan para pihak yang terkait dengan
perwakafan memiliki konsekuensi transendental, yaitu harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Al Qur’an dengan tegas
mengatakan bahwa setiap orang akan diperiksa dan dimintai
pertanggungjawaban. Sebagaimana firman Allah SWT:
ولتسئلن عما كنتم تعملون
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu akan ditanyai dari hal sesuatu yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nahl : 93)4
Pertanggungjawaban kepada Allah SWT ini mendasari seluruh
pertanggungjawaban berikutnya. Sehingga jika seseorang sudah memiliki
tanggung jawab kepada Allah SWT, dalam posisi apapun maka dia akan
mendasarkan niatan secara ikhlas. Namun, ketulusan seseorang nadzir
tidak selalu dipahami sebagai amal sosial yang tidak perlu diberi imbalan
4 Departemen Agama R.I., Al Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota, 1986,
hlm. 416.
88
secara pantas. Karena ketulusan bagi seorang nadzir terletak pada aspek
niatan baik, profesionalitas dan timbal balik yang pantas dalam porsi yang
seimbang.
b. Tanggung jawab kelembagaan.
Yaitu tanggung jawab kepada pihak yang memberikan wewenang, yaitu
lembaga yang lebih tinggi sesuai dengan jenjang organisasi kenadziran.
Sehingga fungsi-fungsi kontrol organisasi dapat berjalan dengan baik agar
amanah yang diemban dapat dipenuhi secara optimal. Mekanisme
kelembagaan ini sebagai sebuah upaya mengeliminir penyimpangan
terhadap tanah wakaf.
c. Tanggung jawab hukum.
Yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan saluran-saluran dan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Seorang nadzir atau orang yang
diberi wewenang dalam pengelolaan tanah wakaf selaku pemegang
amanah harus mempertanggungjawabkan tindakannya, bahwa apa yang
dilakukan itu benar-benar sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pertanggungjawaban secara hukum, memiliki aspek yang luas, tidak
terbatas pada hukum positif selama ini yang ada, tapi juga hukum syari’at
yang secara khusus mengatur perwakafan. Sehingga ibadah wakaf yang
sifatnya sosial, tapi tetap memiliki kerangka dan landasan hukum yang
jelas.
d. Tanggung jawab sosial.
89
Yaitu tanggung jawab yang terkait dengan moral masyarakat. Seorang
nadzir dalam melakukan tindakannya harus dapat dipertanggungjawabkan
pula pada masyarakat secara moral bahwa perbuatannya itu bisa aman
secara sosial yaitu tidak mencindrai norma-norma sosial yang ada di
masyarakat.
Nadzir wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam adalah harus
warganegara Indonesia dan tinggal di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkan. Menurut penulis ini wajar mengingat Sistem Administrasi
Indonesia agar lebih teratur dan lebih mudah dipantau serta mudah
diselesaikan secara hukum jika suatu saat terjadi sengketa. Berbeda halnya
dengan nadzir wakaf menurut para ulama madzhab yang sama sekali tidak
mensyaratkan hal tersebut, tetapi lebih kepada faktor ikhlas dan tidak
mensyaratkan secara administratif dan jarak pengelola dan benda-benda wakaf
yang dikelola. Selain perbedaan tersebut juga dalam pendapat ulama madzhab
tidak menyebutkan nadzir terdiri dari badan hukum tertentu, sebab badan
hukum menurutnya bukan orang yang dapat pengelola tetapi fungsionaris
didalamnya yang mengelola. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam
memperbolehkan badan hukum, seperti yayasan maupun lembaga untuk
mengelola benda wakaf. Meskipun sebenarnya tidak ada perbedaan yang
signifikan mengingat badan hukum yang menjadi nadzir wakaf pada
hakikatnya adalah para pengurus badan hukum tersebut yang mengelolanya.
Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat hukum di Indonesia yang mengatur
dan memperbolehkan wakaf untuk dilembagakan, baik yang memberikan
90
wakaf (wakif) maupun secara pengelolaannya (nadzir) dikarenakan aspek
pengawasan dan keamanan lebih terjamin dibanding perorangan atau
kelompok orang. Walaupun dalam pendapat ulama fiqih tidak mengenal
wakaf yang dilembagakan.
Oleh karena itu, agar tujuan perwakafan tercapai, peran pengelola
sebagai satu kesatuan organisasi dapat mengurus dan merawat tanah wakaf
dengan baik, penting sekali dilakukan pembagian tugas, wewenang dan
tanggung jawab yang jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam
pembagian tugas tersebut, seperti yang terjadi di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang sendiri yang merupakan suatu organisasi yang cukup
profesional dengan pembagian tugas-tugas (program kerja) yang jelas dari
masing-masing personal dan telah dijalankan dengan baik oleh masing-masing
anggota nadzir.
Nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
memiliki kewajiban yang cukup besar, seperti :
a) Pengelolaan dan pemeliharaan wakaf
Kewajiban utama bagi seorang nadzir adalah melakukan
pengelolaan dan pemeliharaan barang yang diwakafkannya, sebab
mengabaikan pengelolaan dan pemeliharaan berakibat pada kerusakan dan
kehancuran, dan berlanjut pada hilangnya fungsi wakaf itu sendiri.
Seorang nadzir dalam bertugas mengelola harta (tanah) wakaf
bekerja sama dengan masyarakat dalam mengembangkannya juga dengan
orang-orang yang berhak menerima wakaf, untuk membagikan dan
91
mendistribusikan hasilnya serta harus menjaga harta tersebut memajukan,
memperbaiki (jika ada kerusakan) dan mempertahankan keberadaannya.
Dalam hal ini keberadaan benda wakaf yang berupa tanah
diperuntukan bagi Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
yang otomatis di atasnya terdapat bangunan gedung serta sarana prasarana,
yang membutuhkan pembangunan, pemeliharaan dan renovasi, untuk itu
nadzir yang bertindak sebagai pengelola harus memperhatikan
pemeliharaan dan pembangunan ketimbang membagikan hasilnya, hal itu
dilakukan jika menunda pembangunan dan renovasi terhadap tanah wakaf
akan membahayakan kondisinya. Sebab pengelolaan tanah wakaf
diharapkan bisa memberikan manfaat yang diabaikan dari sekian banyak
manfaat.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, seorang nadzir harus
mengelola tanah wakaf agar bisa bertahan selama mungkin, maka
dibutuhkan dana agar keberadaan tanah wakaf itu bisa kekal. Hal ini
karena tujuan dalam mewakafkan tanah adalah untuk melanggengkan
keberadaannya dan manfaatannya, dan semua itu tercapai jika keuntungan
diserahkan pada para mustahik, padahal tanah wakaf itu sendiri masih
sangat membutuhkan biaya perawatan.
92
Menurut kitab Muhadzab disebutkan pembiayaan wakaf diambil
dari sumber yang disyaratkan oleh wakif, sebab apa yang disyaratkan oleh
wakif harus diikuti sebagaimana tindakan pemilik terhadap hartanya.5
Apabila dari tanah wakaf tidak ada pemasukan sedikitpun maka
penyelesaiannya ada dua pendapat, yang pertama: jika harta menjadi milik
Allah SWT maka perawatannya diambil dari baitul maal, dan yang kedua:
jika harta itu menjadi milik penerima maka dana dari para penerima wakaf
tersebut.6
Dan boleh juga dana diambil dari para donatur seperti kata Asy-
Syaih Abu Muhamad “Demikian juga apabila seseorang minta sumbangan
untuk membangun zawiyah (musholla) atau pondok pesantren, maka
menjadilah sebagai barang wakaf dengan semata-mata telah didirikan
bangunannya”.7
Sehubungan dengan ini pembiayaan di Yayasan Pendidikan Islam
Al Khoiriyyah Semarang diperoleh dari dana Syahriyyah (SPP), yang
merupakan pemanfaatan dari tanah wakaf sebagai lembaga pendidikan dan
bantuan yang tidak mengikat dari para donatur.
b) Melaksanakan syarat dari wakif
Nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
diharuskan melaksanakan dan mengikuti syarat-syarat yang diakui secara
5 Al-Syekh Al-Imam Abi Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Kitab Muhadzab, Jilid 1,
Bairut: Darul Fikr, t.th., hlm. 445. 6 Ibid. 7 Aliy As’ad, Terjemah Fathul Muin, Kudus: Menara Kudus, Jilid 2, 1979, hlm. 349.
93
hukum, atau syarat yang tertulis saat serah terima wakaf. Dan nadzir boleh
melebihi atau mengurangi sistem penentuan pembagian kepada yang
berhak, karena jatah masing-masing berbeda berdasarkan kebutuhan yang
disesuaikan dengan kondisinya. Yang terpenting tujuan dari pokok wakaf
yaitu menyalurkan hasil wakaf kepada yang berhak dan membutuhkannya,
dapat tercapai setiap waktu, dimana hal tersebut akan terlaksana dengan
penambahan atau pengurangan jatah yang diberikan sesuai tingkat
kebutuhan diantara para mustahik.
c) Membela dan mempertahankan kepentingan tanah wakaf
Wakaf sebagai satu aktivitas yang diakui dalam hukum dan agama
dapat menyebabkan suatu ikatan atau hubungan resmi dengan pihak lain
baik orang tersebut para mustahik, atau mereka yang melampaui batas
dalam mengambil hasil dan manfaat tanah wakaf, ataupun mereka yang
menuntut bahwa dirinya berhak mendapat bagian dari tanah wakaf.
Karena itu, nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah
Semarang sebagai pengelola dan pemegang amanat wakaf harus berusaha
sekuat tenaga dalam menjaga keberlangsungan wakaf dan hak-hak dari
mereka yang berhak menerimanya.
d) Melunasi hutang wakaf
Nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
berkewajiban melunasi segala hutang yang berkaitan dengan tanah wakaf
yang diambil dari pendapatan atau hasil produksi harta wakaf tersebut.
94
Pelunasan hutang-hutang itu harus didahulukan ketimbang pembagian
kepada para mustahik.
e) Menunaikan hak-hak mustahik dari tanah wakaf
Nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
harus menunaikan dan menyerahkan hak-hak mustahik dari tanah wakaf
dan tidak boleh menundanya, kecuali terjadi sesuatu yang mengakibatkan
pembagian tersebut tertunda, misalnya ada kebutuhan mendesak guna
merenovasi dan memperbaiki tanah wakaf atau melunasi hutang yang
terkait dengan tanah wakaf.
Melihat fenomena diatas penulis berpendapat bahwa kewajiban-
kewajiban yang telah dilakukan nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang sudah sesuai dengan hukum fiqih maupun ketentuan-
ketentuan yang berlaku dalam peraturan pemerintah walaupun masih belum
lengkap pembukuan dalam pencatatan keadaan tanah wakaf, namun hal itu
tidak begitu menjadi masalah mengingat tidak ada perubahan status keadaan
tanah wakaf maupun penggunaannya, dari awal berdirinya Yayasan
Pendidikan Islam Al Khoiriyyah ini sampai sekarang semua sudah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh wakif yaitu untuk lembaga pendidikan.
Di samping dibebani kewajiban-kewajiban, menurut ulama madzhab
Hanafi nadzir berhak menerima upah yang wajar, sebab dia bertugas
mengurus dan mengelola tanah wakaf dengan mengembangkan, memperbaiki,
menginvestasikan dan menjual hasil produknya, sudah sepantasnya
95
mendapatkan upah yang setimpal atas apa yang telah diupayakan mengingat
dengan usahanya yang keras dan waktu yang tersisa.
Tetapi mengenai ketentuan upah nadzir, para ulama fuqoha tidak
memberikan batasan tertentu dikarenakan perbedaan tempat dan kondisi juga
disesuaikan dengan kemampuan dan kecakapan nadzir. Hal itu juga dijelaskan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, bahwa “nadzir berhak
mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya
ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama”. Jadi dalam penentuan upah
nadzir masih ada penjelasan lagi mengingat kedudukan nadzir adalah seorang
yang diserahi amanah untuk memanfaatkan benda (tanah) wakif, bukan
seorang pegawai atau buruh yang akan mendapatkan upah dari hasil
pekerjaannya, maka nadzir yang bersangkutan boleh dan berhak untuk
mendapatkan bagian dan menerima penghasilan yang pantas dari hasil tanah
wakaf sebagai imbalannya.
Sedangkan pemberian imbalan yang dimaksud, kadar dan jumlahnya
ditetapkan tidak boleh melebihi dari jumlah sepuluh persen (10%) dari hasil
bersih tanah wakafnya. Selain nadzir berhak menerima imbalan yang pantas
sebagaimana tersebut di atas, dia juga di dalam menjalankan dan menunaikan
tugasnya berhak menggunakan fasilitas sepanjang diperlukan dari tanah wakaf
atau hasilnya dengan mengingat hasil tanah wakaf dan tujuannya.
Adapun nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
ada yang menerima upah dan ada yang tidak mengambil upah dari
96
pekerjaannya, mereka bekerja dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT,
sedang yang menerima upah disesuaiakan dengan upah standar.
Dari hal tersebut di atas penulis berpendapat apa yang diambil oleh
nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang sebagai upah
dari pekerjaannya telah sesuai dengan Menteri Agama yaitu sesuai dengan
upah standar dan tidak melebihi dari sepuluh persen (10 %), sedangkan
sumber upah diambil dari pemberdayaan tanah wakaf yang dijadikan sebagai
lembaga pendidikan, dan juga sesuai dengan hukum fiqih seperti yang terdapat
dalam haditsnya Umar tentang wakaf bahwa nadzir boleh mengambil upah
dari hasilnya pemberdayaan wakaf. , sebagaimana yang terdapat dalam
haditsnya Umar, seperti berikut:
ال جناح على من وليها ان يأآل منها بالمعروف
Artinya: “Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusi untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf”.8
هناهللا ع ضير رمقة عدص قال فيو رمع نع :كل ليؤيأكل وأن ي احنلي جلى الوع س
)رواه البخاري(صديقا غير متأثل ماال
Artinya: “Dari Umar dan Nabi bersabda pada shadaqahnya Umar: Tidaklah
berdosa seorang wali memakan harta dan memberi makan kepada temannya dengan tidak berlebihan”. (H.R. Bukhari)9
8 Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunnah, Juz 3, Beirut: Dar al Fikr, t.th., hlm. 520. 9 Abi Abdullah Mohammad Bin Ismail Al Bukhari, Matan Al Bukhari Masykul, Juz 2,
Semarang: Toha Putra, t.th. hlm. 44.
97
Adapun nadzir yang tidak mengambil upah dari pekerjaannya, penulis
rasa lebih baik karena wakaf merupakan ibadah tabarru’ dan mengelolanya
pun merupakan ibadah juga
B. Analisis Terhadap Nadzir dan Manajemen Pendayagunaan Tanah Wakaf
di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
Manajemen atau pengelolaan menempati pada posisi yang paling
urgen dalam dunia perwakafan, karena yang paling menentukan benda (tanah)
wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaannya,
maka dalam pengelolaan wakaf harus menonjolkan pada sistem profesional
agar keberadaan tanah wakaf tidak tersia-sia dan pengambilan kemanfaatan
bagi masyarakat luas bisa lestari. Dalam hadist Bukhori menyebutkan:
:قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم: رضي اهللا عنه قالعن أبي هريرة إذاوسد األمر إلى
)رواه البخاري(غير أهله فانتظر الساعة
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila sesuatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.10
Dalam bab terdahulu dijelaskan nadzir dalam pengelola dan
mengembangkan tanah wakaf dapat melakukan dan menerapkan prinsip
manajemen kontemporer dengan menjunjung tinggi dan memegang kaidah al
maslahah (kepentingan umum) sesuai dengan ajaran islam, sehingga tanah
wakaf dapat dikelola secara professional, dan terorganisir dengan baik. Dan
10 Ibid, Juz 1, hlm. 21.
98
hal ini menurut penulis yang terjadi di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang keprofesionalan dari nadzir dapat dilihat dengan
penanganan yang baik terhadap keberadaan yayasan yang bergerak dibidang
pendidikan sehingga dapat dimanfaatkan masyarakat luas, karena kontribusi
lembaga wakaf dalam bidang pendidikan adalah mampu menyediakan sarana
pendidikan secara kuantitatif maupun kualitatif. Dari aspek ini sangat jelas
dampak yang dihasilkan pada bidang pendidikan adalah semakin terbukanya
peluang untuk memperoleh pendidikan yang luas, sehingga lebih banyak
anggota masyarakat yang mampu mengakses fasilitas pendidikan tersebut,
yang pada akhirnya kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi lebih baik
dan mampu meningkatkan produktifitas mereka dalam berkarya dan
kesejahteraan masyarakat otomatis akan terangkat.
Pola manajemen atau pengelolaan wakaf yang selama ini berjalan
adalah manajemen yang terhitung masih tradisional, misalnya dari beberapa
aspek :
1. Kepemimpinan
Selama ini kepemimpinan dalam lembaga kenadziran masih bersifat
sentralistik-otoriter (paternalistik) dan tidak ada sistem kontrol yang
memadai.
2. Rekuitmen sumber daya manusia (SDM) kenadziran
Sering kali kita temukan bahwa kebanyakan nadzir wakaf yang hanya
didasarkan pada aspek ketokohan seperti ulama, kyai, ustadz dan lain-lain,
99
bukan dari aspek profesionalisme atau kemampuan mengelola. Sehingga
banyak benda-benda wakaf yang tidak terurus atau terkelola secara baik.
3. Operasionalisasi pemberdayaan
Pola yang digunakan ini lebih kepada sistem yang tidak jelas (tidak
memiliki standar operasional) karena lemahnya sumber daya manusia
(SDM), visi dan misi pemberdayaan.
4. Pola pemanfaatan hasil
Dalam menjalankan upaya pemanfaatan hasil wakaf masih banyak yang
bersifat konsumtif-statis sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat banyak.
5. Sistem kontrol dan pertanggungjawaban
Sebagai resiko dari kepemimpinan yang sentralistik dan lemahnya
operasionalisasi pemberdayaan mengakibatkan pada lemahnya sistem
kontrol, baik yang bersifat kelembagaan, pengembangan usaha maupun
keuangan.11
Sedang yang terjadi di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah
Semarang dalam kepemimpinannya bersifat situasional untuk kepentingan
umat serta memiliki kontrol yang cukup memadai dengan mengadakan
evaluasi setiap bulannya, dan dalam pengelolaan operasional sudah ada
batasan atau garis kebijaksanaan yang nyata, yaitu meliputi seluruh rangkaian
program kerja dan memiliki visi yang jelas sehingga menghasilkan produk
yang lebih, yaitu lembaga pendidikan
11 Departemen Agama R.I., Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Pengembangan
Zakat dan Wakaf, 2004, hlm. 105-106.
100
.Menanggapi sistem manajemen atau pengelolaan dan kenadziran di
Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang, penulis berpendapat
bahwa pola pengelolaan tanah dan manajemen nadzirnya sudah profesional
dilihat dari komitmen, tanggung jawab yang tinggi dari nadzir dengan
berusaha menjalankan program kerja dan visi yang ada serta melaksanakan
sesuai dengan pekerjaannya, sehingga manfaat dari tanah wakaf dapat
dirasakan masyarakat luas.
Pengelolaan tanah wakaf di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah
Semarang meskipun dikelola oleh nadzir yang bertanggung jawab, menurut
penulis, sebaiknya nadzir selanjutnya juga diberi bekal pembinaan atau nadzir
memiliki keahlian khusus dibidangnya, agar nadzir lebih dapat menjalani
tugasnya secara produktif dan berkualitas, seperti :
a. Pendidikan formal.
Seharusnya nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang
adalah lulusan sekolah teknik menengah atau perguruan tinggi (arsitektur,
pemasaran) yang kelak bisa mengelola tanah wakaf di Yayasan Pendidikan
Islam Al Khoiriyyah Semarang secara produktif. Atau juga lulusan
sekolah dan perguruan tinggi jurusan ekonomi, seperti akuntansi, yang
bisa diarahkan untuk meningkatkan pengembangan tanah wakaf.
b. Pendidikan non formal.
Nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang, agar lebih
berpotensi lagi sebaiknya mengadakan kursus-kursus atau pelatihan-
pelatihan sumber daya manusia (SDM) kenadziran baik yang terkait
101
dengan manajerial organisasi atau meningkatkan keterampilan dalam
bidang profesi, seperti administrasi, teknik pengelolaan tanah dan lain
sebagainya.
c. Pembinaan mental
Untuk meningkatkan semangat kerja nadzir di Yayasan Pendidikan Islam
Al Khoiriyyah Semarang, alangkah baiknya ada pembinaan mental budi
pekerti (akhlak) yang luhur dibina melalui berbagai kesempatan, seperti
ceramah agama, simulasi pengembangan diri dan organisasi untuk
menjaga dan meningkatkan ketahanan mental supaya sumber daya
manusia (SDM) kenadziran bisa mengemban amanat untuk kesejahteraan
masyarakat banyak. Meskipun nadzir memilki kehandalan dalam
pengelolaan tanh wakaf, tetapi karena mentalnya sangat lemah
mengakibatkan terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang, misalnya
korupsi. Jika kondisi mental para nadzir lemah atau buruk, maka
pengelolaan wakaf tidak akan menghasilkan secara maksimal.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa nadzir adalah orang yang
diserahi tugas untuk mengurus dan memelihara tanah wakaf, dimana dia
berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan, membudidayakan potensi
wakaf dan melestarikan manfaat dan tanah yang diwakafkan bagi orang-orang
yang berhak menerimanya. Demikian juga, peran nadzir di Yayasan
Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang adalah sebagai pengelola dan
pengembangan tanah wakaf agar fungsi yang dikehendaki wakif yaitu sebagai
lembaga pendidikan, maka nadzir berusaha mengembangkan, memperdayakan
102
tanah wakaf dengan cara mengelola, membangun, melengkapi sarana
prasarana yang dibutuhkan agar kualitas dan kuantitas pendidikan semakin
meningkat.
Melihat hal itu, penulis berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan
nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang dalam
peranannya mengelola dan memanfaatkan tanah wakaf sudah sesuai dengan
apa yang dikehendaki wakif, sehingga kedepannya banyak calon-calon wakif
yang berkeinginan mewakafkan tanahnya di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang.
Selain peranannya sebagai pengelola tanah wakaf, nadzir juga berperan
sebagai pengawas tanah wakaf. Hal tersebut juga terjadi di Yayasan
Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang, di samping sebagai pengawas
yang bertugas mengawasi pemanfaatan tanah wakaf dan menyimpan arsip-
arsip akta tanah wakaf agar tidak beralih fungsi dari tujuan wakaf, dan juga
mengawasi aktifitas pendidikan dan selalu mengadakan evaluasi, di samping
itu juga memberikan motivasi terhadap semua aspek yang berkecipung
didalam lembaga pendidikan.
Sehubungan dengan peranan nadzir dalam pengawasan tanah wakaf
yang terjadi di Yayasan Pendidikan Islam Al Khoiriyyah Semarang, penulis
berpendapat bahwa yang dilakukan nadzir di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia maupun hukum fiqih, kalau kita lihat dari pengertian nadzir pada
bab sebelumnya bahwa nadzir adalah orang yang bertanggung jawab
103
mengelola, mendayagunakan, mengawasi, memperbaiki dan mempertahankan
tanah wakaf dari gugatan orang atau pihak lain yang ingin mengaburkan,
menghilangkan obyek wakaf. Memang setiap sebulan sekali nadzir melakukan
pengawasan terhadap tanah wakaf di Yayasan Pendidikan Islam Al
Khoiriyyah Semarang dengan mengadakan rapat kepengurusan (nadzir), ini
merupakan bentuk program kerja yang sangat bagus dan harus tetap
dipertahankan, agar tanah wakaf tetap terjaga.