84
BAB IV DALIL HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN (AL-ADILLAT AL-MUKHTALAF FIHA) Dalil-dalil hukum syara’ yang menjadi materi pokok pembahasan ushul fiqh itu terdiri dari dalil yang sudah disepakati para ulama (al-muttafaq ‘alaiha) dan dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama (al- mukhtalaf fiha). Dalil yang disepakati terdiri dari ; al-quran, al-sunnah, al- ijma’, dan al-qiyas yang sudah dipaparkan pada bab III di muka. Sedangkan dalil yang masih diperselisihkan terdiri dari ; al- istihsan, al-mashlahat al-mursalah, al- istish-hab, al-‘urf, dan al-dzari’ah. Lima macam dalil yang diperselisihkan inilah yang akan dibahas pada bab IV ini. A. DALIL V : AL-ISTIHSAN Pada bagian ini akan dipaparkan ta’rif istihsan, macam-macamnya, sikap ulama 51

Bab IV Book Fold

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

Page 1: Bab IV Book Fold

BAB IV

DALIL HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN

(AL-ADILLAT AL-MUKHTALAF FIHA)

Dalil-dalil hukum syara’ yang menjadi materi pokok

pembahasan ushul fiqh itu terdiri dari dalil yang sudah

disepakati para ulama (al-muttafaq ‘alaiha) dan dalil yang

masih diperselisihkan oleh para ulama (al-mukhtalaf fiha).

Dalil yang disepakati terdiri dari ; al-quran, al-sunnah, al-

ijma’, dan al-qiyas yang sudah dipaparkan pada bab III di

muka. Sedangkan dalil yang masih diperselisihkan terdiri dari ;

al-istihsan, al-mashlahat al-mursalah, al-istish-hab, al-‘urf, dan

al-dzari’ah. Lima macam dalil yang diperselisihkan inilah yang

akan dibahas pada bab IV ini.

A. DALIL V : AL-ISTIHSAN

Pada bagian ini akan dipaparkan ta’rif istihsan, macam-

macamnya, sikap ulama terhadap dalil istihsan, relevansi

metode istihsan di masa kini dan mendatang, dan khotimah.

1. Ta’rif Istihsan

Ada banyak ta’rif istihsan yang dikemukakan oleh para

ulama ushul fiqh, diantaranya ta’rif yang dikemukakan oleh

Abd.Wahhab Khallaf :

الى قياسجلي مقتضى عن المجتهد عدول هو

حكم الى كلي حكم عن او قياسخفي مقتضى

51

Page 2: Bab IV Book Fold

هذا يه لد رجح عقله فى انقدح لدليل ئي استثنا

78العدول

Artinya : seorang mujtahid berpindah/beralih dari tuntutan qiyas jali ke qiyas khofi, atau dari hukum kulli ke hukum pengecualiannya karena ada dalil yang lebih kuat untuk berpindah/beralih

Dalam praktek ijtihad istihsan, seorang mujtahid

menghadapi satu persoalan hukum yang belum diatur oleh

nash al-quran atau sunnah, sedangkan untuk menentukan

hukum terhadap persoalan itu ditemukan dua cara yang

berbeda, kemudian mujtahid memilih salah satu cara dalam

bentuk ;

a. Dua pilihan antara ‘illat jali dan ‘illat khofi, kemudian

memilih ‘illat yang khofi

b. Dua pilihan antara hukum kulli dan hukum juz’i, kemudian

memilih hukum yang juz’i.

Pemilihan itu didasarkan pada dalil atau argumen yang

dianggap lebih kuat. Itulah gambaran sederhana tentang

praktek metode istihsan.

Maka kata kunci untuk memahami istihsan ialah ; pertama

“al-‘udul” artinya berpindah atau beralih. Kedua,

perpindahan/peralihan itu dari ‘illat jali ke ‘illat khofi, atau

dari hukum umum ke hukum khusus. Dan ketiga, perpindahan

itu didukung oleh alasan yang kuat.

78 Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956), hlm. 79

52

Page 3: Bab IV Book Fold

KH.Ma’ruf Amin menjelaskana bahwa hakekat istihsan

terdiri dari dua hal;79 pertama, mentarjih qiyas khofi daripada

qiyas jali, karena ada dalil yang mendukungnya. Dan kedua,

memberlakukan hukum juz’i (khusus) dari hukum kulli atau

kaidah umum didasarkan pada dalil khusus yang

mendukungnya.

2. Macam Macam Istihsan

Pembagian istihsan ini dapat terjadi dengan melihat pada

dalil pendukungnya, dalil pendukung itu oleh sebagian ulama

dinamakan “sanad al-istihsan”. Oleh kerena itu para ulama

Hanafiyyah membagi istihsan menjadi 6 (enam) macam, yaitu

istihsan bi al-nash, istihsan bi al-ijma’, istihsan bi al-qiyas

khofi, istihsan bi al-mashlahah, istihsan bi al-‘urf, dan istihsan

bi al-dlarurah.

a. Istihsan bi al-nash, ialah istihsan berdasarkan ayat al-quran

atau hadis Nabi. Maksudnya ada ayat al-quran atau hadis

Nabi tentang hukum suatu masalah yang berbeda dengan

ketentuan kaidah umum. Contoh istihsan berdasarkan nsh

al-quran ialah berlakunya ketentuan wasiat setelah

seseorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika

orang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap hartanya,

kaena telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya

ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh ayat al-quran,

QS an-nisa : 12

79 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 173

53

Page 4: Bab IV Book Fold

Artinya : sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya

atau sesudah dibayar utangnya80

b. Istihsan bi al-ijma’, ialah istihsan yang didasarkan pada

ijma’, maksudnya pengalihan hukum dari ketentuan umum

kepada ketentuan lain karena ada ijma’. Contohnya boleh

melakukan transaksi istishna’ (seseorang bertransaksi

dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga

tertentu, padahal menurut ketentuan umum jual beli,

dilarang melakukan transaksi terhadap barang yang belum

ada. Rasulullah saw bersabda :

................ “la tabi’ ma laysa ‘indaka”

Artinya, jangan jual belikan sesuatu yang belum ada

padamu.

c. Berdasarkan hadis di atas, seharusnya transaksi tersebut

batal, karena ketika transaksi berlangsung, objek transaksi

belum ada. Akan tetapi ulama menetapkan kebolehan

istishna’ dengan ijma’ sebagai pengecualian dari ketentuan

umum.81

d. Itihsan bi al-qiyas al-khofi, ialah istihsan yang didasarkan

pada qiyas yang ‘illatnya tersembunyi. Contohnya seperti

80 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 200

81 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 201

54

Page 5: Bab IV Book Fold

mewakafkan lahan pertanian yang memerlukan pengairan

atau jalan lewat. Berdasarkan qiyas jali wakaf itu

disamakan dengan jual beli, tetapi berdasarkan qiyas khofi

wakaf tersebut disamakan dengan sewa menyewa.82

e. Istihsan bi al-mashlahat, ialah istihsan berdasarkan

kemaslahatan, maksudnya mengecualikan ketentuan hukum

yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan

memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip

kemaslahatan. Dalam hal ini ulama Malikiyyah

mecontohkan kebolehan seorang dokter melihat aurat

wanita yang dalam berobat. Menurut ketentuan atau kaidah

umum, seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi

dalam keadaan tertentu seorang dokter harus membuka

bajunya untuk mendiagnosa penyakitnya. Maka untuk

kemaslahatan diri orang itu, menurut kaidah istihsan

seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat

kepadanya.83 (Ma’ruf A, h 176)

f. Istihsan bi al-‘urf, ialah istihsan berdasarkan adat kebiasaan

yang berlaku umum, maksudnya pengecualian hukum dari

prinsip syari’ah yang umum berdasarkan kebiasaan yang

berlaku. Contohnya menurut ketentuan umum, menetapkan

ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara

pukul rata tanpa membedakan jauh dan dekatnya jarak

82 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 175

83 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 176

55

Page 6: Bab IV Book Fold

tempuh itu tidak boleh. Sebab transaksi upah harus

berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan

tetapi transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan

yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan dan

terpeliharanya kebutuhan masyarakat terhadap transaksi

tersebut.84

g. Istihsan bi al-dlarurah, ialah istihsan berdasarkan keadaan

dlarurat, maksudnya keadaan darurat yang menyebabkan

seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau

qiyas. Contohnya menghukumi sucinya air sumur atau

kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras

airnya. Menurut ketentuan umum tidak mungkin

mensucikan air sumur atau air kolam hanya dengan

mengurasnya. Sebab ketika air sedang dikuras, mata air

akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan

bercampur dengan air yang bernajis. Akan tetapi demi

kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan

istihsan, air sumur atau air kolam dipandang suci setelah

dikuras.85

3. SikapUlama Tertahap Dalil Istihsan

Garis besarnya sikap ulama terhadap istihsan sebagai dalil

hukum syara’ terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

yang memakai dan kelompok yang menolak.

84 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 202

85 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 202

56

Page 7: Bab IV Book Fold

a. Ulama Hanafiyyah, ulama Malikiyyah, dan sebagian ulama

Hanabilah, berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil

yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Mereka

menggunakan istihsan dengan argumen berupa : pertama

ayat-ayat al-quran antara lain, QS al-Baqarah : 185, QS al-

Zumar : 55. Kedua, hadis riwayat Ahmad bin Hanbal “ma

ro ahu al-muslimuna hasanan, fahuwa ‘indallahi hasanun”.

Ketiga, hasil penelitian berbagai ayat dan hadis terhadap

berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa

memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan

qiyas ada kalanya membawa kesulitan bagi umat manusia,

sedangkan syariat Islam ditujukan untuk menghasilkan dan

mencapai kemaslahatan manusia. Oleh karena itu apabila

seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang

bahwa kaidah umum atau qiyas tidak dapat diberlakukan,

maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan

menghasilkan hukum yang lebih sesuai dengan

kemaslahatan umat manusia.86

b. Imam al-Syafi’i beserta ulama Syafi’iyyahnya, ulama

Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima

istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum

syara’. Alasan mereka sebagaimana yang dikemukakan

Imam al-Syafi’i ialah : pertama, bahwa hukum syara’ harus

berdasarkan nash (quran atau sunnah) dan pemahaman

terhadap nash hanya melalui qiyas. Istihsan itu bukan nash

86 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 177

57

Page 8: Bab IV Book Fold

dan bukan qiyas. Kedua, sejumlah ayat menuntut umat

Islam taat dan patuh kepada Allah dan Rasulnya, melarang

secara tegas mengikuti hawa nafsu, sedangkan istihsan itu

mengikuti akal fikiran dan hawa nafsu. Ketiga,

meninggalkan nash dan qiyas dengan pertimbangan akal

fikiran, akan mengakibatkan orang yang tidak mampu

memahami nash dan qiyas bisa melakukan istihsan, karena

mereka juga memiliki akal. Keempat, Rasulullah tidak

pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan. Kelima,

istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas

dan dapat dipertanggung-jawabkan, oleh sebab itu pula

tidak bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i. Dan masih

ada lagi alasan lain yang bisa ditemukan dalam buku/kitab

ushul fiqh.87

c. Muhammad Abu Zahrah menyampaikan komentar, menilai

alasan penolakan Imam al-Syafi’i atas kehujjahan istihsan

di atas, tidak bersifat menyeluruh kepada seluruh bentuk

istihsan yang dikemukakan ulama Hanafiyyah dan

Malikiyyah. Alasan-alasan itu menurutnya hanya berlaku

bagi istihsan yang didasarkan atas ‘urf dan mashlahat

mursalah. Hal ini memang sejalan dengan prinsip Imam al-

Syafi’i yang menolak ‘urf dan mashlahat mursalah.

Sedangkan untuk istihsan yang didasarkan pada nash, ijma’

dan keadaan dlarurat, alasan yang dikemukakan Imam al-

Syafi’i di atas, tidak tepat dan tidak berlaku.

87 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 179-181

58

Page 9: Bab IV Book Fold

Muhammad Abu Zahrah juga memberikan komentar,

bahwa al-Ghozali dalam kitabnya “al-mankhul fi ta’liqat al-

ushul” ketika membahas istihsan menyatakan bahwa

perpalingan dari kehendak qiyas kepada dalil lain tersebut,

disepakati oleh seluruh ulama ushul, namun perpalingan itu

tidak dinamakan istihsan. Ini artinya, secara konsep

istihsan itu diterima oleh al-Ghazali, tapi penamaan konsep

itu dengan istihsan tidak diterimanya.

Komentar lain disampaikan A. Wahhab Khallaf, ia

mengatakan bahwa apabila diteliti perbedaan dalam

menerima atau menolak istihsan sebagai dalil syara’, maka

akan ditemui perbedaan tersebut hanyalah merupakan

perbedaan istilah, secara subtsansi tidak ada perbedaan.

Oleh sebab itu Ibnu Quddamah mengatakan, tidak ada

alasan untuk menolak istihsan apabila dilakukan

berdasarkan dalil yang didukung oleh syara’.88

4. Khotimah

a. Perkembangan kehidupan dan peradaban yang didorong

oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terus

memunculkan masalah aktual yang mungkin rumit dan

komplek. Maka diperlukan metode ijtihad yang mampu

mengatasi masalah tersebut, tidak cukup hanya dengan

metode yang biasa dan konvensional. Diantara metode

yang lentur dan terbuka adalah metode istihsan. Maka

metode ini perlu/harus menjadi alternatif metode ketika 88 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta:

Elsas, 2008), hlm. 181-18259

Page 10: Bab IV Book Fold

metode lain, terutama nash al-quran, al-sunnah, ijma’ dan

qiyas tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas,

memuaskan dan dirasa kurang membawa mashlahat.

b. Sesungguhnya metode istihsan bukanlah metode

penetapan hukum yang berdiri sendiri, sama halnya

dengan dalil ijma’ dan qiyas, melainkan bergantung pada

sandaran dalil lain. Dalil-dalil yang dapat menjadi

sandaran adalah nash quran/hadis, ijma’, qiyas khofi,

keadaan dlarurat, ‘urf, dan kemaslahatan. Maka istihsan

itu berarti merupakan metode ijtihad yang diperkuat

dengan dalil.

c. Kekuatan hukum hasil ijtihad istihsan terletak pada

kekuatan dalil yang menjadi sandarannya. Semakin kuat

dalil sandarannya, akan semakin kuat hukum yang

dihasilkannya. Semakin lemah dalil sandarannya, maka

akan semakin lemah hukum yang dihasilkannya. Karena

dalil istihsan itu tingkat kontroversinya tinggi, maka

hukum yang dihasilkannya memiliki sifat zhonni yang

tinggi. Tingginya kontroversi disebabkan cukup tingginya

intensitas penggunaan akal fikiran atau al-ra’yu.

B. DALIL VI : AL-MASHLAHAT AL-MURSALAH

1. Konsep Mashlahah

Sebelum membicarakan mashlahat mursalah sebagai dalil

hukum syara’, lebih dulu perlu memahami konsep mashlahat

secara umum. Menurut al-Ghazali mashlahat itu sesuatu yang

mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudlarat (jalbu al-

60

Page 11: Bab IV Book Fold

naf’i wa daf’u al-dlarari) dalam rangka memelihara tujuan

syara’.89 Makna mashlahat tersebut memberi pengertian

bahwa dalam konsep mashlahat mengandung dua sisi, yaitu

sisi mendapatkan yang manfaat dan sisi menghindari yang

mafsadat. Dan ukuran manfaat atau mafsadatnya harus dengan

ukuran syara’, bukan semata-mata ukuran akal fikiran.

Maka Yusuf Hamid dalam kitab “al-maqashid”

menjelaskan, ada tiga kekhususan dalam mashlahat syar’i

dibanding maslahat dalam pengertian umum, yaitu : pertama,

yang menjadi sandaran mashlahat itu selalu dalil syara’, bukan

semata akal manusia. Kedua, mashlahat syar’i itu bukan hanya

menyangkut kepentingan duniawi, tetapi juga kepentingan

ukhrowi. Ketiga, apa yang dimaksudkan mashlahat bukan

hanya kebutuhan fisik jasmani saja, tapi menyangkut juga

kebutuhan ruhani.90

2. Macam-Macam Mashlahat

Pembagian mashlahat oleh ulama ushul fiqh bisa dilihat

dari beberapa segi.

Dilihat dari segi tingkat kekuatan atau kualitas

kepentingan, mashlahat terbagi menjadi tiga macam, yaitu

mashlahat dlaruruyyah, mashlahat hajiyyah, dan mashlahat

tahsiniyyah.91

89 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 152

90 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 326

91 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 153

61

Page 12: Bab IV Book Fold

a. Mashlahat dlaruriyyah ialah kemaslahatan yang

berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di

dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini mencakup lima

kebutuhan dasar yaitu : memelhara agama, memelihara

jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan

memelihara harta. Kelima kebutuhan dasar tersebut biasa

disebut “al-mashalih al-khomsah” atau “al-dlaruriyyat al-

khomsah”. Tidak terlindunginya hal-hal tersebut akan

memberikan dampak negatif bahkan ancaman yang serius

terhadap eksistensi manusia.

b. Mashlahat hajiyyah, ialah kemaslahatan dalam bentuk

kebutuhan hidup manusia akan tetapi bobotnya dibawah

kadar mashlahat dlaruriyyah. Tidak tersedianya hal-hal

yang termasuk dalam kategori ini akan menyebabkan

manusia hidup dalam kesulitan92 (Al Yasa Abubakar, h 52).

Misalnya dalam bidang ibadah diberikan rukhshoh

mengqoshar shalat dan berbuka puasa bagi musafir.

c. Mashlahat tahsiniyyah, ialah kebutuhan hidup manusia

yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat

melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya

dianjurkan makan makanan yang bergizi, berpakaian yang

bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan

tambahan.93

92 93 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta:

Elsas, 2008), hlm. 15562

Page 13: Bab IV Book Fold

Pentingnya pembagian tingkat mashlahat menjadi

dlaruriyah, hajiyyah dan tahsiniyyah, agar dapat menentukan

prioritas dalam memilih/mengambil kemaslahatan.

Kemaslahatan dlaruriyyah harus lebih didahulukan daripada

kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah harus lebih

didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.

Dilihat dari segi cakupan/kandungannya, ulama ushul

membagi mashlahat menjadi mashlahah ‘ammah dan

mashlahat khashshah,94 dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Mashlahah ‘ammah, yaitu kemaslahatan umum yang

menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan

umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang,

tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau

kebanyakan umat. Misalnya para ulama membolehkan

hukuman mati kepada penyebar bid’ah yang dapat merusak

akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang

banyak.

b. Mashlahah khashshah, yaitu kemaslahatn yang bersifat

khusus atau pribadi, meski jarang terjadi, seperti

kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan

perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).

Pentingnya pembagian mashlahat menjadi mashlahat

‘ammah dan khashshah berkaitan dengan prioritas mana yang

harus didahulukan apabila bertentangan antara kemaslahatan

umum dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan

94 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 155

63

Page 14: Bab IV Book Fold

kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatn

umum daripada kemaslahatan pribadi.

Bila dilihat dari segi berubah atau tidaknya, mashlahat

bisa dibagi menjadi mashlahat tsabitah dan mashlahat

mutaghayyirah,95 dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Mashlahat tsabitah ialah kemaslahatn yang bersifat tetap,

tidak berubah dengan perubahan jaman. Misalnya berbagai

kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.

b. Mashlahat mutaghayyirah ialah kemaslahatan yang

berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan

subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini umumnya

berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat

kebiasaan.

Pentingnya pembagian maslahat seperti di atas,

dimaksudkan untuk memberikan batasan kemaslahatan mana

yang bisa berubah dan yang tidak bisa berubah.

Bila dilihat dari segi keberadaan mashlahat menurut

syara’, para ulama membaginya menjadi ; mashlahat

mu’tabarah, mashlahat mulghah, dan mashlahat mursalah,96

dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Mashlahat mu’tabarah ialah mashlahat yang secara tegas

diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan

hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan

95 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 156

96 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 159

64

Page 15: Bab IV Book Fold

jihad untuk memelihara agama dari rongrongan musuh,

diwajibkan hukuman qishash untuk menjaga kelestarian

jiwa, sangsi hukum untuk peminum khomr untuk

memelihara akal, sangsi hukum jilid bagi pezina untuk

memelihara kehormatan dan keturunan, serta ancaman

hukuman pencuri untuk menjaga harta.

b. Mashlahat mulghah ialah sesuatu yang dianggap mashlahat

oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena

kenyataannya bertentangan dengan syariat. Misalnya ada

anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara

anak laki-laki dengan anak wanita adalah mashlahat. Akan

tetapi kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan

syariat, yaitu QS an-Nisa : 11 yang menegaskan bahwa

bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak

perempuan.97

c. Mashlahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang

keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula

dibatalkan/ditolak oleh syara’ melalui dalil rinci, tetapi

kemaslahatan ini sebenarnya didukung oleh sekumpulan

makna nash, baik berupa ayat atau hadis.

Pembagian tiga mashlahat yang terakhir dimaksudkan

untuk mengukur mashlahat mana yang pasti harus dipakai,

mashlahat mana yang pasti harus ditolak, dan mashlahat mana

yang akan dijadikan dalil syara’ menurut para ulama.

3. Ta’rif Mashlahat Mursalah97 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media,

2005), hlm. 14965

Page 16: Bab IV Book Fold

Mashlahat mursalah sebagai salah satu dalil hukum syara’

didefiniskan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai :

اال الشارع لمقاصد ئمة المال لح المصا هي

باالعتبار خاص اصل لها يشهد وال سالمي

98اوااللغاء

Artinya : mashlahat mursalah ialah mashlahat-mashlahat

yang sesuai dengan tujuan syari’ah Islam, tidak

ada dalil khusus yang mengakui atau

membatalkannya

Dari ta’rif ini dapat ditarik pengertian bahwa ada tiga

unsur dalam mashlahat mursalah, yaitu :

a. Mashlahat tersebut merupakan sesuatu yang baik/ positif

menurut akal fikiran dengan pertimbangan dapat

mewujudkan kebaikan atau menghindari keburukan bagi

umat manusia

b. Apa yang sudah dinilai baik menurut akal fikiran itu, harus

selaras dan sejalan dengan tujuan yang dituju syariat Islam

dalam setiap penetapan hukumnya

c. Apa yang dipandang baik menurut akal fikiran, dan sudah

selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut, tidak ditemukan

98 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Darul-Fikr al-Arobi, 1958), hlm. 279

66

Page 17: Bab IV Book Fold

dalil syara’ secara khusus yang menolaknya atau

mengakuinya.99

Para ulama pendukung mashlahat mursalah, yaitu ulama

Malikiyyah dan ulama Hanabilah menetapkan syarat-syarat

untuk dapat dilaksanakannya ijtihad dengan mashlahat

mursalah, sebagaimana dipaparkan oleh Amir Syarifuddin,100

dengan empat syarat sebagai berikut:

a. Mashlahat itu merupakan mashlahat yang hakiki dan

bersifat umum, artinya menurut akal sehat mashlahat itu

betul-betul mendatangkan manfaat atau menghindarkan

mafsadat secara nyata bagi orang banyak.

b. Mashlahat umum yang hakiki/nyata itu harus sejalan

dengan maksud dan tujuan syara’ dalam setiap penetapan

hukum, yaitu terwujudnya kemaslahatan umat manusia.

c. Mashlahat umum yang hakiki dan sudah sejalan dengan

tujuan syara’ itu terbukti betul-betul tidak bertentangan

dengan dalil syara’ yang ada, baik nash al-quran, hadis

Nabi, maupun ijma’ ulama.

d. Ijtihad dengan metode mashlahat mursalah itu dipraktekkan

pada kondisi yang memerlukan, yang seandainya tidak

diselesaikan dengan cara ini, maka umat berada dalam

kesulitan hidup.

4. Sikap Para Ulama

99 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 334

100 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 337

67

Page 18: Bab IV Book Fold

Ada tiga kelompok ulama dalam hal memakai atau

menolak mashlahat mursalah sebagai dalil hukum syara’ :

a. Ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah adalah kelompok

ulama yang paling banyak menggunakan dalil mashlahat

mursalah, tetapi mereka pun menetapkan syarat-syarat

penggunaannya dalam bentuk syarat yang relatif longgar

atau standar.

b. Najmuddin al-Thufi, ulama bermadzhab Hanbali adalah

pemakai mashlahat yang paling tinggi dan cenderung

liberal. Dalam pandangannya, mashlahat itu bisa berstatus

qoth’i yang memiliki kekuatan hukum yang pasti. Dalam

pandangannya pula, bahwa bila terjadi mashlahat

bertentangan dengan nash yang zhonni, maka harus

dimenangkan mashlahatnya.

c. Kelompok ulama yang menolak menggunakan mashlahat

mursalah sebagai dalil hukum syara’. Penolakannya bisa

mutlak seperti Imam al-Syafi’i, ulama Zhahiri, ulama

Syi’ah, dan sebagian ulama Mu’tazilah. Sebenarnya

sebagian ulama Syafi’iyyah diantaranya al-Ghazali

termasuk memakai mashahat mursalah, hanya saja dengan

syarat yang ketat.101

5. Argmentasi Pemakai dan Penolak Mashlahat Mursalah

a. Argumen Pemakai :

Para ulama pemakai mashlahat mursalah sebagi dalil

syara’ mengemukakan beberapa argumen sebagi berikut :101 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta:

Elsas, 2008), hlm. 162-16568

Page 19: Bab IV Book Fold

1) Bahwa hasil pengkajian induksi terhadap berbagai ayat al-

quran dan teks-teks hadis Nabi menunjukkan bahwa setiap

hukum yang ditetapkan pasti mengandung kemaslahatan.

Maka merujuk dan mengikuti pada kemaslahatan tersebut

adalah legal. Hal itu sejalan dengan QS al-Anbiya’ : 107,

bahwa Rasul diutus untuk menjadi rahmat. Tentu tidak akan

menjadi rahmat bila bukan dalam rangka memenuhi

kemaslahatan manusia. Oleh karena itu memberlakukan

mashlahat terhadap hukum lain yang juga mengandung

kemaslahatn adalah legal.

2) Bahwa kemaslahatan manusia senantiasa dipengaruhi oleh

tempat, zaman, lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat

Islam hanya terbatas pada hukum yang ada saja dan tidak

memperhatikan kemaslahatan yang berkembang, maka

akan membawa pada kesulitan.

3) Merujuk kepada praktek para shahabat Nabi sepeninggal

Nabi saw dalam mempraktekkan langkahnya

mempertimbangkan mashlahat. Contohnya : a) Umar bin

al-Khaththab tidak memberikan bagian zakat kepada

muallaf, b) Abu Bakar mengumpulkan al-quran atas saran

Umar, c) menuliskan al-quran pada satu logat bahasa di

masa Utsman bin Affan demi tidak ada perbedaan bacaan

al-quran.102

4) Kalau mashlahat itu tujuan syara’, tetapi mashlahat tidak

dipakai sebagai pertimbangan penetapan hukum, maka

102 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 165

69

Page 20: Bab IV Book Fold

hukum tidak akan sesuai dengan tujuan syara’, dan tujuan

syara’ menjadi terabaikan.

5) Adanya pengakuan Nabi terhadap Mu’adz bin Jabal yang

diutus menjadi qadli di Yaman, yang menyatakan akan

menggunakan ijtihad dengan akal fikiran, ternyata Nabi

saw menyetujuinya. Sedangkan salah satu bentuk ijtihad

dengan akal fikiran adalah mashlahat mursalah.103

103 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 338

70

Page 21: Bab IV Book Fold

b. Argumen Penolak Mashlahat Mursalah

Amir Syarifuddin memaparkan argumentasi kelompok

ulama yang menolak penggunaan mashlahat mursalah sebagai

berikut:104

1) Bila suatu mashlahat sudah ada petunjuk syara’ yang

membenarkannya, yang disebut mu’tabarah, maka ia telah

termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada

petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak

mungkin disebut sebagai suatu mashlahat. Mengamalkan

sesuatu yang di luar petunjuk syara’ berarti mengakui akan

kurang lengkapnya al-quran atau sunnah Nabi. Hal ini juga

berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah Nabi.

2) Beramal dengan mashlahat yang tidak mendapat pengakuan

tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan

hukum yang berlandaskan pada kehendak hati dan menurut

hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip

Islam.

3) Menggunakan mashlahat dalam ijtihad tanpa berpegang

pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas

dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan

seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian

menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu

prinsip “la dlarara wala dlirara”.

4) Seandainya dibolehkan ijtihad dengan mashlahat yang tidak

mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi

104 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 339-340

71

Page 22: Bab IV Book Fold

kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena

alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat, juga

karena berlainan antara seseorang dengan orang lain.

Dalam keadaan demikian tidak akan ada kepastian hukum.

Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang

universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.

6. Khotimah

a. Metode ijtihad mashlahat mursalah merupakan metode

yang paling banyak intensitas penggunaan ra’yunya,

melebihi ijma’, qiyas dan istihsan. metode ijma’ masih

ada keharusan bersandar pada nash, begitu juga qiyas

jelas ada nashnya, sedangkan istihasan, ada istihsan yang

bersandar pada nash. Tetapi mashlahat mursalah ini justru

yang tidak diatur oleh nash tertentu. Maka tingkat

relatifitas dan kontroversinya menjadi lebih tinggi.

b. Meskipun tingkat relatifitasnya tinggi, namun mashlahat

mursalah tetap akan mempunyai kekuatannya apabila

persyaratan penggunaannya dipenuhi secara maksimal

paling tidak dalam implementasi dua syarat, yaitu :

pertama klaim mashlahat betul-betul hakiki berdasarkan

pembuktian yang objektif, melalui kajian yang mendalam,

serta mendapatkan pengakuan masyarakat umum. Kedua,

klaim bahwa tidak ada nash al-quran atau nash sunnah

Nabi yang membatalkan (mulghah) berdasarkan

penelitian ahli ‘ulum al-quran dan ahli ‘ulum al-hadis,

atau diakui/dibanarkan oleh banyak ulama.

72

Page 23: Bab IV Book Fold

c. Pelaksanaan ijtihad metode mashlahat mursalah,

sebaiknya dilakukan dalam bentuk ijtihad jama’i, bukan

ijtihad fardi, terutama bila menyangkut persoalan umum

masyarakat luas, sehingga konsistensi pemenuhan syarat

dan objektifitas persyaratannya lebih terjaga.

C. DALIL VII : ISTISH-HAB

1. Ta’rif Istish-hab

Ta’rif istish-hab yang dirumuskan oleh Ibn al-qayyim al-

Jauziyyah, sebagaimana dikutip Abd. Rahman Dahlan105 ialah

sebagai berikut :

حتى منفيا كان ما ونفي ثابتا كان ما استدامة

الحال تغير على ليل الد يقومArtinya : mengukuhkan berlakunya hukum yang telah ada,

atau menegasikan suatu hukum yang memang

tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang

mengubah keadaan tersebut

Ta’rif istish-hab di atas memberi pengertian bahwa istish-

hab menurut Amir Syarifuddin106 terdiri dari tiga unsur, yaitu :

a. Peristiwa hukum telah terjadi secara meyakinkan,

didukung oleh bukti yang mantap. Misalnya seseorang

memiliki sebuah rumah dari hasil warisan orang tuanya.

105 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 217

106 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 345

73

Page 24: Bab IV Book Fold

b. Karena perjalanan waktu atau perubahan keadaan, maka

muncul keraguan, apakah peristiwa hukum yang lalu

(dalam contoh di atas pemilikan sebuah rumah) itu masih

tetap seperti asalnya, atau sudah berubah. Akan tetapi

bukti terjadinya perubahan tidak ada. Anggapan ini

muncul karena umpamanya terakhir ini rumah tersebut

tidak pernah ditempati.

c. Mujtahid atau hakim menetapkan hukum berdasarkan

status asal mula, karena peristiwa pemilikan itu

berlangsungnya secara meyakinkan, dan belum

mengalami perubahan sampai waktu sekarang.

Secara singkat dan sederhana, dalam istish-hab berarti ada

peristiwa hukum yang meyakinkan, kemudian ada keraguan

dibelakang hari tetapi tidak ada bukti perubahannya, maka

hukum kembali ke asalnya.

2. Macam-Macam Istish-hab

Macam-macam istish-hab menurut Muhammad Abu

Zahrah terbagi menjadi empat macam, yaitu : istish-hab al-

ibahah al-ashliyyah, istish-hab al-baro’ah al-ashliyyah, istish-

hab al-hukmi, dan istish-hab al-washf,107 dengan penjelasan

sebagai berikut :

a. Al-ibahah al-ashliyyah, yaitu istish-hab yang didasarkan

atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Istish-

hab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan

107 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Darul-Fikr al-Arobi, 1958), hlm. 297-298

74

Page 25: Bab IV Book Fold

hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah sebuah

prinsip yang menyatakan, bahwa hukum dasar dari segala

sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam

kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang

melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan,

tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain selama tidak ada dalil

yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh

dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan keumuman nash

dalam QS al-Baqarah : 29

Yang menegaskan bahwa segala yang ada di bumi

dijadikan untuk umat manusia, dalam pengertian boleh

dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang

membawa manfaat bagi kehidupan. Dalam konteks ini

jika ada larangan, berarti pada makanan atau dalam

perbuatan itu terdapat bahaya yang merugikan bagi

kehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut, suatu

makanan, atau tindakan tetap dianggap halal atau boleh

dilakukan seperti hukum aslinya, selama tidak ada dalil

yang melarang.

b. Al-bara’ah al-ashliyyah, yaitu istish-hab yang didasarkan

atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari

tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah

statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai

ada bukti yang mengubah statusnya itu. Seseorang yang

menuntut bahwa haknya terdapat pada diri orang lain, ia

harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh 75

Page 26: Bab IV Book Fold

pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status

bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan

bukti yang jelas. Jadi seseorang dengan prinsip istish-hab,

akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah

sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu. Hal ini

sejalan dengan asas praduga tak bersalah dalam hukum

pidana Indonesia.

c. Istish-hab al-hukmi, yaitu istish-hab yang didasarkan atas

tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada

bukti yang mengubahnya. Misalnya seseorang yang

memiliki sebidang tanah atau sebuah mobil, maka harta

miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti

dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu,

seperti dijual atau dihibahkan. Seseorang yang sudah jelas

berutang kepada si fulan, akan selalu dianggap berutang

sampai ada bukti yang mengubahnya seperti bukti

membayarnya sendiri atau bukti pihak yang berpiutang

membebaskannya. Seseorang yang jelas telah menikahi

seorang wanita, maka wanita itu tetap dianggap sebagai

istrinya sampai terbukti adanya perceraian.

d. Istish-hab al-washf, yaitu istish-hab yang didasarkan atas

anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada

sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.

Misalnya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang

(mafqud), tetap dianggap masih ada (artinya dianggap

masih hidup) sampai ada bukti bahwa ia telah meninggal.

76

Page 27: Bab IV Book Fold

Demikian pula air yang diketahui bersih/suci, tetap

dianggap bersih/suci selama tidak ada bukti yang

mengubah statusnya itu.

3. Sikap Ulama Terhadap Istish-hab

Para ulama ushul fiqh berbeda tanggapannya terhadap

dalil istish-hab, sebagaimana dituturkan oleh Satria Effendi M.

Zain108 yang mengutip pendapat Muhammad Abu zahrah,

sebagai berikut :

a. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa tiga macam istish-

hab yang disebut petama di atas (istish-hab ibahah

ashliyyah, istish-hab bara’ah ashliyyah, dan istish-hab

hukum) adalah shah dijadikan landasan hukum.

b. Para ulama berbeda pendapat dalam memandang istish-

hab yang keempat, yaitu istish-hab al-washf atau sifat.

Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu : pertama, pendapat

kalangan ulama Hanabilah dan ulama Syafi’iyyah, bahwa

istish-hab washf dapat dijadikan landasan hukum secara

penuh, baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun

dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya

seseorang yang hilang tidak diketahui tempatnya, tetap

dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah meninggal.

Maka berlaku baginya segala hak bagi orang hidup seperti

istri dan hartanya tetap menjadi miliknya. Dan jika ada

ahli warisnya yang meninggal, maka dia turut mewarisi

108 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media, 2005), hlm. 161-162

77

Page 28: Bab IV Book Fold

harta peninggalannya, dan kadar bagiannya langsung

menjadi hak miliknya. Kedua pendapat kalangan ulama

Hanafiyyah dan Malikiyyah, bahwa istish-hab washf

hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah

ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Maka

dalam contoh di atas, orang mafqud tersebut masih

dianggap memiliki hartanya, begitu juga dengan istrinya,

tetapi jika ada ahli warisnya yang meninggal, maka kadar

bagian orang mafqud itu harus disimpan dulu dan belum

dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia masih

hidup. Alasan para ulama ini, karena keadaan masih hidup

si mafqud semata-mata didasarkan istish-hab, yaitu

berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.

c. Sebagian ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama

syafi’iyyah berpendapat bahwa istish-hab bukanlah dalil

untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar

untuk mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan untuk

menentukan hukumnya sekarang memerlukan dalil

tersendiri.

Argumentasi ulama yang memakai istish-hab, bahwa

dalam urusan muamalah dan pengelolaan harta, manusia

memberlakukan adat yang sudah berlaku diantara mereka, ia

dapat dijadikan dasar untuk menentukan hukum selama tidak

ada dalil yang mengubahnya. Ini sejalan dengan QS al-baqarah

: 29 seperti yang sudah dikemukakan di atas. Sedangkan

argumentasi ulama yang menolak istish-hab menyatakan

bahwa penentuan halal, haram, dan sucinya sesuatu

78

Page 29: Bab IV Book Fold

memerlukan dalil dari syari’. Dalil dari syari’ atau dalil syara’

itu mencakup quran, hadis, ijma’ dan qiyas, sedangkan istish-

hab tidak termasuk dalil syara’.109

4. Khotimah

Sebagai penutup dalam pembahasan istish-hab, kiranya perlu

menyampaikan beberapa pernyataan Muhammad Abu

Zahrahahrah110 sebagai berikut :

a. Bahwa dalil istish-hab itu dipakai ketika tidak ada dalil

lain (terutama dalil nash).

b. Bahwa istish-hab itu dalil hukum yang bersifat

melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada, bukan

dalil hukum untuk menetapkan hukum baru, dan atau

bukan untuk menetapkan hukum yang belum ada.

c. Dari dalil istish-hab ini, terbangunlah kaidah-kaidah

hukum Islam sebagai berikut :

Pertama, “anna ma tsabata bi yaqinin la yazulu illa bi

yaqinin mitslih”

Kedua, “anna ma tsabata hilluhu la yahrumu illa bi

dalilin mughayyirin”

Ketiga, “anna kulla ma lam yaqum fihi dalilun syar’iyyun

yabqa ‘ala hukmi al-ashli”.

D. DALIL VIII : AL-‘URF

109 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 140

110 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Darul-Fikr al-Arobi, 1958), hlm. 303-304

79

Page 30: Bab IV Book Fold

1. Ta’rif Al-‘Urf’

Ada beberapa fariasi ta’rif al-‘urf yang dirumuskan oleh

para ulama ushul, diantaranya ta’rif Muhammad Abu Zahrah,

sebagi berikut :

مالت معا الناسمن اعتاده ما العرف

امورهم عليه مت 111واستقا

Artinya : sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia

dalam pergaulan, dan sudah mantap/melekat

dalam urusan mereka

Para ulama ushul fiqh banyak yang memperbandingkan

antara al-‘urf dengan al-‘adah, atau adat kebiasaan dalam

bahasa Indonesi, diantara mereka ada yang menganggap sama

antara keduanya, dan ada yang menganggap berbeda. Yang

menganggap berbeda menyatakan bahwa adat lebih umum

karena lingkupnya lebih luas. Ada adat kebiasaan yang bila

diukur dengan ukuran syara’ dinilai baik/positif, dan ada adat

kebiasaan yang sebaliknya, bila diukur dengan ukuran syara’

dinilai buruk/negatif. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf

hanyalah kebiasaan yang bersifat baik/positif saja, hal itu

sesuai degan istilah yang digunakannya, yaitu “al-‘urf” artinya

sesuatu yang patut atau yang baik, sejalan dengan QS al-a’raf :

199, “....wa’mur bi al-‘urfi....”112

111 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Darul-Fikr al-Arobi, 1958), hlm. 273

112 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 210

80

Page 31: Bab IV Book Fold

Ada juga sebagian penulis ushul fiqh yang memperbandingkan

antara ‘urf dengan ijma’, diantaranya Amir Syarifuddin,

menurutnya antara ‘urf dengan ijma’ ada kemiripannya, tetapi

juga ada perbedaannya. Kemiripan dan perbedaannya terletak

pada tiga hal113 sebagi berikut :

a. Bahwa ijma’ harus diakui dan diterima oleh semua pihak,

bila ada sejumlah kecil pihak yang tidak setuju, maka ijma’

tidak tercapai. Sedangkan ‘urf sudah dapat tercapai bila

telah dilakukan dan dikenal oleh sebagian besar orang, dan

tidak mesti dilakukan oleh semua orang.

b. Ijma’ adalah kesepakatan/penerimaan orang-orang tertentu,

yaitu para mujtahid dan yang bukan mujtahid tidak

diperhitungkan kesepakatan atau penolakannya. Sedangkan

‘urf terbentuk bila yang melakukan secara berulang-ulang

atau yang mengakui dan menerimanya seluruh lapisan

masyarakat baik mujtahid atau bukan.

c. ‘Urf itu meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh

umat Islam, atau masyarakat, namun bisa saja mengalami

perubahan karena berubahnya kondisi masyarakat.

Sedangkan ijma’ (menurut pendapat kebanyakan ulama)

tidak mengalami perubahan ; sekali ditetapkan, maka tetap

berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang

kemudian.

2. Macam-Macam ‘Urf

113 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 345

81

Page 32: Bab IV Book Fold

Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf dengan meninjau tiga

segi, yaitu dari segi objek ‘urf, dari segi luas dan terbatasnya

cakupan, dan dari segi keabsahannya menurut pandangan

syara’.

Dari segi objeknya, ‘urf dibagi menjadi ‘urf lafzhi dan

‘urf ‘amali. Dari segi luas dan terbatasnya cakupan , ‘urf

terbagi menjadi ‘urf ‘ammah dan ‘urf khashshah. Sedangkan

dari segi keabsahannya menurut pandangan syara’, ‘urf terbagi

menjadi ‘urf shahih dan dan ‘urf fasid.114

Dimaksudkan dengan ‘urf lafzhi ialah kebiasaan

masyarakat dalam mempergunakan ungkapan tertentu dalam

mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah

yang difahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.

Misalnya ungkapan daging yang berarti daging sapi.

Sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf ‘amali ialah kebiasaan

masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan muamalah

keperdataan seperti kebiasaan melakukan akad atau transaksi

tertentu dengan cara tertentu.

‘Urf ‘amm adalah kebiaaan tertentu yang berlaku secara

luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Sedangkan

‘urf khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan

masyarakat tertentu. Misalnya kebiasaan yang berlaku khusus

di kalangan para pedagang, dikalangan para pengacara hukum,

dan kebiasaan di daerah tertentu yang berbeda dengan

kebiasaan di daerah yang lain.

114 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 211-213

82

Page 33: Bab IV Book Fold

Diantara pembagian ‘urf yang paling penting berkaitan

dengan pembahasan al’urf sebagai dalil syara’ ialah pembagian

‘urf shahih dan ‘urf fasid, karena persoalan itulah yang disorot

secara khusus dan menjadi ukuran penggunaan ‘urf.

a. Al-‘urf al-shahih, ialah kebiasaan yang berlaku di tengah-

tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash

(ayat quran atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan

mereka, dan tidak pula membawa mudlarat kepada

mereka.115

Abd Wahhab Khallaf menambahkan pernyataan “tidak

menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang

wajib”,116 contohnya seperti akad istishna’, contoh lain

dimasa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah

kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai

mas kawin.

b. Al-’urf al-fasid ialah kebiasaan yang bertentangan dengan

dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.

Misalnya tradisi perdagangan yang mengandung riba di

kalangan para pedagang. Contoh lain adalah tradisi

penyuapan ; untuk memenangkan perkaranya, seseorang

menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk

kelancaran urusan seseorang, ia memberikan sejumlah uang

115 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 213

116 Abd. Wahhab Khallaf Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956), hlm. 89

83

Page 34: Bab IV Book Fold

kepada orang yang menangani urusannya. Contoh tersebut

merupakan ‘urf fasid.

3. Syarat-Syarat Penggunaan ‘Urf

Para ulama ushul fiqh menetapkan syarat agar ‘urf dapat

menjadi dalil hukum syara’, sebagaimana dijelaskan oleh

Ma’ruf Amin yaitu :

a. ‘Urf berlaku secara umum dikalangan mayoritas

masyarakat, baik ‘urf yang bersifat khusus atau umum,

maupun yang bersifat qawli atau ‘amali. Artinya ‘urf itu

berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-

tengah masyarakat, dan keberlakuannya dianut oleh

mayoritas masyarakat tersebut.

b. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan

ditetapkan hukumnya muncul. Artinya, ‘urf yang akan

dijadikan sandaran hukum telah lebih hulu ada sebelum

kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan

dengan syarat ini terdapat kaidah ushuliyyah yang

menyatakan ; “la ‘ibrota li al-‘urfi al-thari’i” artinya, ‘urf

yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran

hukum terhadap kasus yang telah lama.

c. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga

menyebabkan hukum yang terkandung dalam nash itu tidak

bisa diterapkan. ‘urf seperti ini tidak bisa dijadikan dalil

syara’, kaena kehujjahan ‘urf bisa diterima apabila tidak

ada nash yang mengatur hukum permasalahan yang

dihadapi.

84

Page 35: Bab IV Book Fold

d. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan

secara jelas dalam suatu akad/transaksi. Artinya, dalam

suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan

secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam

membeli almari disepakati oleh pembeli dan penjual secara

jelas, bahwa almari itu akan dibawa sendiri oleh pembeli ke

rumahnya. Maka sekalipun ‘urf menentukan bahwa almari

yang dibeli biasanya akan diantarkan penjual ke rumah

pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka

bersepakat bahwa almari akan dibawa sendiri oleh pembeli

ke rumahnya, maka ‘urf itu tidak berlaku lagi.

Terhadap persyaratan ‘urf ini, Amir Syarifuddin

menambahkan satu syarat lagi, yaitu ; bahwa ‘urf itu harus

bernilai maslahat dan diterima akal sehat.117

4. Sikap Para Ulama Terhadap ‘Urf

Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid ; adat kebiasaan

yang jelas salah, untuk menjadi landasan hukum, tetapi

terhadap ‘urf shahih secara umum ulama sepakat

menggunakannya. Seperti yang dijelaskan Satria Effendi

M.Zain yang mengutip hasil penelitian Tayyib Khudari al-

Sayyid, guru besar ushul fiqh Unifersitas al-Azhar, dalam

karyanya “al-ijtihad fi ma la nashsha fih”,118 bahwa madzhab

117 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 376

118 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media, 2005), hlm. 155

85

Page 36: Bab IV Book Fold

yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagi landasan

hukum adalah kalangan ulama Hanafiyyah dan ulama

Malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan

kalangan Syafi’iyyah.

Menurutnya pada prinsipnya madzhab-madzhab besar

fiqh tersebut sepakat menerima ‘urf sebagai landasan

pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya

terdapat perbedaan diantara madzhab-madzhab tersebut,

sehingga ‘urf dimasukkan ke dalam kelompok dalil-dalil yang

diperselisihkan dikalangan ulama.

Jadi, pada dasarnya mayoritas ulama menyepakati

kedudukan ‘urf shahih sebagai salah satu dalil syara’, tetapi

diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi

intensitas penggunaannya sebagai dalil syara’. Ulama

Hanafiyyah dan ulama Malikiyyah adalah yang paling banyak

dibandingkan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.119

Bagi ulama yang menggunakan ‘urf sebagai dalil hukum,

pada umumnya mendasarkan argumen pada :

a. QS al-A’raf : 199

b. Ucapan Abdullah bin Mas’ud :

وما حسن الله عند فهو حسنا المسلمون رأه ما

سيئ الله عند فهو سيئا المسلمون رأه

119 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 212

86

Page 37: Bab IV Book Fold

Artinya : sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin

adalah baik disisi Allah, dan sesuatu yang

mereka nilai buruk, maka ia buruk disisi Allah

Disamping dua argumen normatif di atas, para penulis

ushul fiqh juga mengemukakan argumen historis dan logika,

antara lain :

a. Satria Effendi M. Zain mengemukakan, bahwa pada

dasarnya syari’at Islam sejak dari masa awal (masa rasul)

banyak menampung dan mengakui adat yang baik dalam

masyarakat selama adat itu tidak bertentangan dengan al-

quran dan sunnah Rasulullah.120 Kedatangan Islam bukan

menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu

dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui

dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Contoh

kebiasaan dalam kerjasama dagang dengan berbagi untung,

yang disebut “mudlarabah”. Praktek seperti ini sudah

berkembang dikalangan bangsa Arab sebelum Islam, dan

kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum

Islam. Berdasarkan kenyataan ini para ulama

menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara shah

dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi

persyaratan.

b. Sapiudin Shidiq menambahkan argumen sebagai berikut :

120 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media, 2005), hlm. 155

87

Page 38: Bab IV Book Fold

1) Islam melestarikan ‘urf bangsa Arab yang shahih dalam

membentuk hukum, contohnya seperti soal kafa’ah

dalam perkawinan.

2) Imam Malik bin Anas mendasarkan sebagian keputusan

hukumnya kepada amal perbuatan penduduk madinah

(‘amalu ahli al-madinah).

3) Imam Al-Syafi’i setelah berada di Mesir mengubah

sebagian hukum yang telah ditetapkannya ketika beliau

tinggal di Baghdad karena adanya ‘urf yang berbeda.

4) Dalam madzhab Hanafi banyak hukum yang didasarkan

kepada ‘urf.121

c. Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa secara umum ‘urf

diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan

ulama Hanafiyyah dan ulama Malikiyyah.122

Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dalam berijtihad,

dan salah satu bentuk istihsan adalah istihsan ‘urf. Oleh

ulama Hanafiyyah ‘urf didahulukan atas qiyas khofi, dan

juga didahulukan atas nash umum, dalam arti ‘urf dapat

mentakhshish umumnya nash.

Sedangkan ulama Syafi’iyyah banyak menggunakan ‘urf

dalam hal-hal tidak menemukan batasannya dalam syara’

atau bahasa.

5. Sikap Syari’ah Terhadap Tradisi

121 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 101

122 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 375

88

Page 39: Bab IV Book Fold

Pada waktu Islam datang dan berkembang di tanah Arab,

di lingkungan masyarakat sana berlaku norma yang mengatur

kehidupan bermuamalah yang telah berlangsung lama yang

disebut adat. Adat itu diterima dari generasi sebelumnya,

diyakini dan dijalankan oleh masyarakat Arab dengan

anggapan bahwa perbuatan tersebut baik bagi mereka.

Kemudian Islam datang dengan seperangkat norma syara’

yang mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi oleh

umat Islam sebagai konsekuensi iman kepada Allah dan

RasulNya. Sebagian adat itu ada yang selaras dengan hukum

syara’ dan ada yang bertentangan. Adat yang bertentangan ini

dengan sendirinya tidak mungkin dilaksanakan umat Islam

bersamaan dengan hukum syara’. Tetapi terhadap adat yang

tidak bertentangan dan masih dipandang bernilai positif atau

maslahat, maka dilakukanlah penyeleksian dengan

berpedoman kemaslahatan menurut wahyu. Berdasarkan

penyeleksian tersebut, menurut Amir Syarifuddin123 adat dapat

terbagi menjadi empat kelompok sebagai berikut :

a. Adat lama yang substansi maupun prakteknya mengandung

unsur kemaslahatan. Dalam adat ini jelas terdapat unsur

manfaat dan tidak ada unsur mudlaratnya. Adat seperti ini

diterima sepenuhnya oleh hukum Islam. Contohnya, uang

tebusan darah atau diyat yang harus dibayar oleh pihak

pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang terbunuh.

Hukum ini berlaku di kalangan masyarakat Arab sebelum

123 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 369-370

89

Page 40: Bab IV Book Fold

Islam datang dan dinilai baik dan dapat terus diberlakukan,

hingga ditetapkan menjadi hukum Islam.

b. Adat lama yang substansinya mengandung unsur maslahat,

namun dalam pelaksanaannya dianggap tidak baik oleh

Islam. Adat seperti ini dapat diterima oleh Islam, namun

dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami penyesuaian dan

perbaikan. Contohnya tentang zhihar, yaitu ucapan suami

yang menyamakan istrinya (punggungnya) denga ibunya

sendiri. Zhihar ini merupakan cara yang biasa berlangsung

di kalangan masyarakat Arab sebagai usaha suami untuk

bercerai dengan istrinya. Sesudah suami melakukan zhihar,

maka suami dan istri tidak dibolehkan lagi berhubungan

dan putuslah hubungan mereka sebagai suami istri. Islam

datang dan menerima zhihar tersebut dengan perubahan,

yaitu zhihar dinyatakan menyebabkan suami istri tidak

boleh berhubungan kelamin, namun tidak memutuskan

perkawinan. Bila keduanya akan berhubungan lagi, terlebih

dahulu harus membayar kaffarat, suatu kewajiban agama

akibat suatu pelanggaran.

c. Adat lama yang prinsip dan prakteknya mengandung unsur

mafsadat atau kerusakan. Maksudnya yang dikandung

hanya unsur perusak dan tidak memilik unsur manfaat, atau

ada unsur manfaatnya tetapi unsur mafsadatnya lebih besar.

Adat seperti ini ditolak secara mutlak oleh Islam. Conthnya

adat judi, adat minum khomr, adat rentenir atau riba.

d. Adat yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang

banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat dan tidak

90

Page 41: Bab IV Book Fold

bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian,

namun secara nyata belum terserap ke dalam hukum syara’,

baik langsung atau tidak langsung.

Adat atau ‘urf dalam bentuk ini jumlahnya cukup banyak

dan menjadi perbincangan di kalangan ulama. Inilah yang

kemudian menjadi pokok bahasan dalam kajian dalil ‘urf

sebagai salah satu dalil hukum syara’ yang masih

diperselisihkan, maka bagi ulama yang mengakuinya

berlakulah kaidah : “al-‘adatu muhakkamah”

Mengenai sikap Islam terhadap tradisi sebelum Islam,

Ma’ruf Amin juga menyatakan hal senada, bahwa ketika ayat-

ayat al-quran turun, banyak sekali ayat yang mengukuhkan

kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat seperti

pengukuhan terhadap sistim jual beli salm.124 (Ma’ruf, h .....)

Sehubungan dengan itu maka para ulama fiqih banyak

melahirkan kaidah fiqh yang berhubungan dengan dalil al’urf,

antara lain :

a. محكمة العادة“Al-‘adatu muhakkamah”, artinya adat kebiasaan itu bisa

menjadi hukum.

b. واالمكنة االزمنة بتغير االحكام تغير الينكر

124 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm.

91

Page 42: Bab IV Book Fold

“la yunkaru taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri al-azminah

wa al-amkinah”, artinya tidak diingkari perubahan hukum

disebabkan perubahan zaman dan tempat.

c. شرطا فاكالمشروط عر المعروف“al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan”, artinya yang

baik itu menjadi ‘urf sebagaimana yang disyaratkan itu

menjadi syarat.

d. بالنص كالثابت بالعرف الثابت“al-tsabit bi al-‘urfi ka al-tsabit bi al-nashshi”, artinya

yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan

melalui nash.125

6. Khotimah

a. Metode al-’urf sebagai dalil hukum syara’, itu mirip dan

sejajar dengan metode mashlahat mursalah.

Kesejajarannya terletak pada dua hal yaitu ; pertama pada

nilai atau unsur maslahat yang menjadi titik fokus

pertimbangan. Kalau dalam mashlahat mursalah,

kemaslahatannya bersifat umum, maka dalam al’urf,

kemaslahatan itu terbentuk dalam wujud tradisi

masyarakat. Kedua pada kriteria tidak boleh bertentangan

dengan nash. Bila bertentang dengan nash maka baik ‘urf

maupun maslahat mursalah tertolak.

125 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 216

92

Page 43: Bab IV Book Fold

b. Oleh karena itu kekuatan metode al-‘urf terletak pada

kemaslahatan yang terdapat dalam tradisi itu. Semakin

nyata dan yakin nilai kemaslahatan dalam tradisi itu,

maka semakin mantap pula hukum yang ditetapkan.

Begitu pula kekuatannya yang kedua terletak pada

kesimpulan bahwa ‘urf itu tidak bertentangan dengan nash

atau dalil syara’. Tidak adanya pertentangan dengan nash

di sini harus terbukti secara meyakinkan melalui

penelitian ayat al-quran dan hadis-hadis Nabi, ditambah

penelitian dalil syara’ yang lain yaitu ijma’ dan qiyas.

c. Relatifitas hukum hasil ijtihad ‘urf cukup tinggi sama

seperti tingkat reatifitas hasil ijtihad mashlahat mursalah.

Apalagi hukum berdasar ‘urf itu mudah berubah dengan

berubahnya ‘urf.

E. DALIL IX : SADD DZARI’AH

1. Ta’rif Dzari’ah

Para ulama mendefinisikan dzari’ah, ada yang

mendefinisikannya dengan definisi yang umum dan luas, dan

ada yang mendefinisikannya dengan definisi terbatas. Dua

macam definisi itu akan dikemukakan secara jelas sebagai

berikut.

Definisi umum atau luas dikemukanan oleh Ibnu al-

qayyim al-Jauziyyah, seperti yang dikutip oleh Amir

Syarifuddin :

93

Page 44: Bab IV Book Fold

الشئ الى وطريقا وسيلة كان 126ما

Artinya : apa saja yang menjadi perantara dan jalam menuju

ke sesuat.

Yang dimaksud sesuatu itu bisa sesuatu yang bernilai

mashlahat dan yang bernilai mafsadat. Maka perantara atau

jalan yang menuju kepada keburukan harus ditutup, inilah

yang disebut “sadd dzari’ah”, sedangkan perantara atau jalan

yang menuju kepada kebaikan perlu dibuka, inilah yang

disebut “fath al-dzari’ah”. Untuk fath aldzari’ah, ada

sebagian ulama yang menyebutnya dengan “muqaddilah”.

Adapun definisi terbatas sebagaimana ta’rif yang

dirumuskan olah al-Syathibi, yang dikutip oleh banyak penulis

ushul fiqh, yaitu :

مفسدة الى مصلحة هو بما 127التوسل

Artinya : melakukan suatu pekerjaan yang semula

mengandung kemaslahatan, tapi untuk menuju

kepada kemafsadatan

Definisi al-Syathibi ini menunjukkan bahwa dzari’ah itu

hanya untuk sesuatuyang berakibat buruk, yang harus ditutup ;

sadd dzari’ah.

126 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 399

127 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 195

94

Page 45: Bab IV Book Fold

Memahami lebih dalam tentang dzari’ah, bahwa hukum

syara’ yang diletakkan kepada perbuatan (yang bersifat

dzari’ah) dapat dilihat dari dua segi ; pertama segi niatan atau

motif pelaku yang disebut al-ba’its, dan kedua segi dampak

yang ditimbulkannya; maslahat atau mafsadat, tanpa melihat

segi motifnya.

Perbuatan dilihat dari segi motif atau niatan memang

memberi pengaruh kepada hukum, tetapi hal itu tidak menjadi

kajian dalil dzari’ah. Sedangkan yang menjadi sasaran kajian

dzari’ah adalah dampak yang ditimbulkan dari sesuatu yang

dilakukan.128

2. Antara Hukum Maqashid dan Hukum Wasa’il

Aktifitas perbuatan hukum, hubungannya dengan

pembahasan dalil dzari’ah, itu ada yang berupa perbuatan

pokok yang menjadi tujuan, disebut dengan “al-maqashid” dan

ada perbuatan antara atau pendahuluan yang menjadi perantara

menuju perbuatan pokok tersebut, disebut dengan “wasa’il”.

Kalau seseorang akan melakukan perbuatan membunuh, maka

lebih dulu ada perbuatan pendahuluan misalnya

memiliki/mencari alat membunuh seperti senjata tajam. Kalau

seseorang akan melakukan shalat, maka ada perbuatan yang

mendahuluinya yaitu berwudlu. Perbuatan membunuh dan

shalat merupakan perbuatan hukum yang bersifat maqashid,

sedangkan perbuatan memiliki senjata tajam dan berwudlu

merupakan perbuatan hukum yang bersifat wasa’il.

128 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 238

95

Page 46: Bab IV Book Fold

Terhadap perbuatan pokok yang dituju, yakni maqashid

seluruhnya atau umumnya telah diatur oleh hukum syara’ dan

biasanya masuk ke dalam hukum taklifi yang lima, al-ahkam

al-khamsah. Sedangkan perbuatan antara yang menuju ke

perbuatan maqashid, yang disebut wasa’il itu ada yang telah

diatur tersendiri oleh hukum syara’ dan ada yang belum diatur

secara langsung/tersendiri dalam hukum syara’. Misalnya

wudlu sebagai perbuatan hukum wasa’il dalam rangka

melaksanakan shalat sudah diatur secara khusus baik dalam al-

quran maupun hadis. Begitupun perbuatan yang menjadi

pendahuluan zina, yakni khalwah sudah diatur keharamannya

oleh hukum syara’ atau hadis Nabi. Akan tetapi perbuatan

memiliki senjata tajam sebagai perbuatan pendahuluan dari

perbuatan membunuh belum ada aturan khusus dan langsung

dalam nash. Begitu juga adanya lembaga pendidikan atau

sekolah sebagai sarana melaksanakan kegiatan maqashid

thalabul ilmi belum diatur secara langsung oleh nash, apa

hukumnya mendirikan sekolah.

Perbuatan-perbuatan wasa’il yang sudah diatur langsung

dalam hukum syara’, maka ketentuan hukum syara’ itulah

yang harus menjadi pedoman, sedangkan perbuatan wasa’il

yang belum ada aturannya dalam hukum syara’, maka itulah

yang menjadi pokok bahasan dalam dalil dzari’ah pada bagian

ini. Jadi persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah

mengenai perbuatan-perbuatan wasa’il yang belum

mempunyai dasar hukum, terutama apabila perbuatan wasa’il

96

Page 47: Bab IV Book Fold

itu akan menjadi sarana menuju keburukan atau perbuatan

yang dilarang. Itulah sasaran pembahasan sadd dzari’ah.

3. Macam-Macam Dzari’ah

Dzari’ah bila ditinjau dari akibat (dampak) yang

ditimbulkan menurut Ibnu al-Qoyyim, sebagaimana dikutip

oleh Amir Syarifuddin129 terbagi menjadi empat macam, yaitu :

a. Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada

kerusakan seperti meminum minuman keras yang

membawa pada kerusakan akal, atau zina yang membawa

pada kerusakan tata keturunan.

b. Dzari’ah yang awalnya untuk sesuatu yang mubah, namun

akhirnya menuju pada perbuatan buruk yang merusak,

seperti nikah muhallil atau mencaci sesembahan agama

lain. Nikah itu sendiri sebenarnya bolah, tetapi karena

tujuannya semata agar menghalalkan yang haram, maka

menjadi terlarang. Begitupun mencaci sesembahan agama

lain asalnya boleh, tetapi hal itu menjadi perantara pengikut

agama lain mencaci Allah, maka perbuatan yang semula

boleh menjadi terlarang.

c. Dzari’ah yang semula untuk sesuatu yang mubah, tidak

ditujukan untuk kerusakan/keburukan, namun biasanya

sampai juga kepada kerusana/keburukan, dan bobot

keburukannya lebih besar daripada kebaikannya. Seperti

berhias bagi wanita yang menjalani iddah ditinggal mati

129 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 402

97

Page 48: Bab IV Book Fold

suaminya. Berhias itu pada dasarnya boleh, tapi berhiasnya

wanita iddah seperti itu keadaannya menjadi lain.

d. Dzari’ah yang semula untuk sesuatu yang mubah, namun

terkadang membawa kepada kerusakan/keburukan,

sedangkan keburukannya lebih kecil daripada kebaikannya.

Contohnya seperti melihat wajah wanita pada saat

meminang/ khitbah.

Dzari’ah bila ditinjau dari tingkat kerusakan yang

ditimbulkan, Abu Ishaq Al-Syathibi, sebagimana dikutip oleh

Ma’ruf amin130 membaginya menjadi empat macam, yaitu :

a. Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti, artinya

bila perbuatan dzari’ah itu tidak dihidarkan pasti akan

terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lobang di tanah

sendiri dekat pintu rumah seseorang diwaktu gelap, maka

setiap orang yang keluar dari pintu itu pasti terjatuh ke

dalam lobang itu. Sebenarnya menggali lobang di tanah

sendiri seperti itu boleh saja, tetapi peggalian seperti itu

akan mendatangkan bahaya/kerusakan.

b. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut

biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka

kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan

dilakukannya perbuatan yang dilarang. Umpamanya

menjual anggur kepada produsen minuman keras, atau

menjual senjata tajam kepada penjahat.

130 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 197-198

98

Page 49: Bab IV Book Fold

c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang

menurut kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu

tidak dihindarkan, maka sering sekali akan mengakibatkan

berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual

beli kredit (sistim angsuran), memang tidak selalu

membawa kepada riba, namun dalam prakteknya sering

menjadi sarana ke perbuatan riba.

d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan

atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya

perbuatan itu dilakukan belum tentu akan menimbulkan

kerusakan. Umpamanya menggali lobang di kebun sendiri

yang jarang dilalui orang, menurut kebiasaannya tidak ada

orang yang lewat di tempat itu yang akan terjatuh ke dalam

lobang.

Terhadap pembagian dzari’ah menurut al-Syathibi di atas,

Mustafa Syalabi mengelompokkan pendapat ulama menjadi

tiga kelompok131 :

a. Terhadap dzari’ah nonor 1 dan 2, yaitu dzari’ah yang

membawa kerusakan secara pasti dan berat dugaan akan

menimbulkan kerusakan, ulama sepakat melarang dzari’ah

tersebut.

b. Terhadap dzariah nomor 4, yaitu dzari’ah yang jarang

sekali mendatangkan keburukan, ulama sepakat untuk tidak

melarangnya, artinya pintu dzari’ah tidak perlu ditutup.

131 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 404

99

Page 50: Bab IV Book Fold

Seperti tidak ada larangan menjual buah anggur atau

larangan menjual pisau dalam keadaan normal.

c. Sedangkan tehadap dzari’ah nomor 3, yaitu dzari’ah yang

terletak ditengah-tengah antara membawa kerusakan atau

tidak membawa kerusakan, dalam hal ini terdapat

perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Syalabi

mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal

melarang dzari’ah tersebut, sedangkan al-Syafi’i dan Abu

Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.

4. Sikap Ulama Terhadap Dalil Dzari’ah

Disamping tanggapan para ulama terhadap dzari’ah yang

berkaitan dengan macam-macam dzari’ah di atas, perlu

dikemukakan sikap para ulama secara umum terhadap

penggunaan dzari’ah sebagai dalil syara’, sebagai berikut :

a. Ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah menyatakan

bahwa sadd dzari’ah dapat diterima sebagai dalil dalam

menetapkan hukum syara’.132 Argumen mereka secara

umum berdasar kepada larangan Allah mengolok-olok

sesembahan agama lain (QS al-An’am : 108), larangan

seseorang mengolok-olok orang tuanya, dalam hadis Nabi,

dan larangan pembunuh mendapatkan warisan dari harta

yang dibunuh, dalam hadis Nabi.

132 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 203

100

Page 51: Bab IV Book Fold

b. Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima

sadd dzari’ah sebagai dalil dalam masalah tertentu dan

menolaknya dalam kasus lain.133

c. Ulama zhahiriyyah tidak menerima sadd dzari’ah sebagai

salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.

Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya

beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak

menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.134

5. Khotimah :

a. Sadd dzari’ah adalah metode ijtihad untuk menetapkan

hukum syara’ dengan cara mengukur akibat atau dampak

dari perbuatan itu, tidak hanya melihat pada perbuatan itu

sendiri yang mungkin dibolehkan. Sesuatu yang

sebenarnya dibolehkan, tetapi dampak dibelakangnya itu

mafsadat, maka menjadi dilarang atau harus dicegah atau

ditutup. Itulah yang menjadi inti dari dalil sadd dzari’ah.

b. Dengan demikian sadd dzari’ah itu sangat dekat dengan

konsep kajian mashlahat yang melahirkan dalil mashlahat

mursalah. Dalam mashlahat mursalah yang menjadi

standar pertimbangan adalah kemaslahatan bagi

kebutuhan hidup manusia yang belum mendapat

pengakuan syara’, sekaligus tidak ada penolakan dari

syara’. Dalam mashlahat mursalah intinya adalah menarik

133 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 204

134 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 208

101

Page 52: Bab IV Book Fold

manfaat dan menolak mafsadat, sedangkan dalam sadd

dzari’ah intinya adalah kehati-hatian untuk menghindari

atau menolak mafsadat.

Oleh karena itu ada sebagian ulama yang menyatakan

bahwa sadd dzari’ah itu sesungguhnya merupakan

serpihan dari dalil mashlahat.

c. Kalau diteliti secara cermat, semua dalil ijtihad yang

masuk ke dalam ijtihad bi al-ra’yi seperti qiyas, istihsan

mashlahat mursalah, istish-hab, ‘urf, dan dzari’ah, itu

semuanya bermuara pada satu titik pertimbangan

pemikiran, yaitu “kemaslahatan”, hanya saja

kemaslahatan-kemaslahatan yang ada dalam dalil-dalil itu

mempunyai rumusan sendiri-sendiri.

Kemaslahatan yang ada pada qiyas terletak pada ‘illatnya,

kemaslahatan yang ada pada istihsan terletak pada

pertimbangan keunggulan dalil sebagai alasan

perpindahan hukum, kemaslahatan yang ada pada istish-

hab terletak pada keajegan mengikuti hukum lama,

kemaslahatan yang terdapat pada ‘urf terletak pada tradisi

yang baiknya, kemashatan yang ada pada dzari’ah terletak

pada kewaspadaan menghindari mafsadat, dan

kemaslahatan yang tidak masuk pada kemaslahatan di

atas, masuk pada kemaslahatan umum dalam mashlahat

mursalah.

102