Upload
nguyentu
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
155
Bab IV
Dari Produksi sampai Distribusi Film
Peneliti sudah memulai wawancara dengan para pembuat film
pertama kali di tahun 2007. Narasumber pertama yang penulis
wawancarai ketika itu adalah Riri Riza, yang kontaknya penulis
dapatkan dari Key. Wawancara dengan Riri merupakan wawancara
pertama dengan hasil transkrip wawancara terbanyak di kantor Miles Production Jakarta. Durasi wawancara sekitar dua jam menghasilkan
transkrip sekitar 80 halaman. Pada waktu itu Riri dan kawan-kawan
baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di TMII
Jakarta, sehingga wawancara berlangsung cukup seru dan menarik. Riri
merupakan sineas yang berwawasan cukup luas. Banyak informasi
tentang film Indonesia Pasca Reformasi yang penulis dapatkan kala itu.
Berikutnya adalah wawancara dengan Bapak Slamet Rahardjo
di Institut Kesenian Jakarta. Ini pun memberikan banyak pengetahuan
tentang film Indonesia pada penulis. Penulis menunggu Bapak Slamet
yang kala itu sedang mengajar di kelas, sambil mendengar beliau
mengajar penulis mengamati kampus IKJ, itu merupakan momen
wawancara terpanjang dan berharga untuk penulis. Narasumber ketiga
dan keempat adalah Bapak Garin Nugroho yang diwawancarai penulis
di kantor SET Jakarta, serta Bapak Chand Parwez di kantor Starvision
Plus Jakarta. Wawancara dengan mereka pun menghasikan transkrip
berisi informasi yang melengkapi pengetahuan penulis tentang film
Indonesia. Di saat yang lain Bapak Chand Parwez bersedia diundang ke
acara diskusi film di ITB, sehingga penulis bisa mewawancarai lebih
lanjut. Selama periode tersebut ada beberapa kali diskusi dengan orang-
orang film dan budaya di ITB, sehingga penulis berhasil memperoleh
narasumber tambahan yaitu Bapak Deddy Mizwar, Lukman Sardi dan
Tora Sudiro, yang kala itu membahas film ―Naga Bonar Jadi 2‖.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
156
Di tahun yang sama, penulis juga berkesempatan mengamati
proses pembuatan film ―Jalan Sesama‖ yang disutradarai oleh Key,
teman penulis di sebuah lokasi syuting di Jakarta. Film tersebut
diadopsi dari sebuah film anak-anak berjudul ―Sesame Street‖ di luar
negeri, yang penceritaannya kemudian diubah dan disesuaikan dengan
budaya Indonesia. Selain narasumber di atas, pada tahun tersebut
penulis pun mengunjungi Direktorat Perfilman di Gedung Film Jalan
M.T. Haryono, Jakarta. Waktu itu, Bapak Bakrie yang menjabat sebagai
Direktur Film Indonesia di bawah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Penulis berhasil mewawancarai beliau dan bahkan
mendapatkan buku tentang kaleidoskop perfilman Indonesia mulai
tahun 1926 sampai 2007. Di gedung yang sama namun lantai yang
berbeda, dua lantai di atas kantor Bapak Bakrie, penulis juga berhasil
mewawancarai Ibu Titie Said yang kala itu menjabat sebagai Ketua
Lembaga Sensor Film (LSF) di Indonesia.
Sayangnya, ketika peneliti berusaha menghubungi Bapak
Bakrie di gedung film tahun 2015 yang lalu, ternyata beliau sudah
tidak menjabat dan bahkan kantor perfilman di gedung film Jalan M.T.
Haryono Jakarta sudah ditutup. Pemerintahan era Presiden Jokowi
tidak lagi menggunakan departemen tersebut. Saat ini industri film
digolongkan sebagai ekonomi kreatif berada di bawah Badan Ekonomi
Kreatif (BEK) yang posisinya sejajar dengan kementerian yang lain,
langsung di bawah Presiden Jokowi. Patut disayangkan juga, pada saat
penulis pulang-pergi dari Bandung ke Jakarta beberapa kali untuk
melakukan wawancara dengan narasumber, kantor BEK belum ada.
Menurut informasi yang penulis dapatkan dari Motulz, pada saat itu
kepengurusan BEK di bawah Bapak Triawan Munaf baru akan
dibentuk dan berproses sehingga tidak ada narasumber yang diperoleh
untuk diwawancarai.
Pada penelitian ini, penulis kembali menghubungi Key
Simangunsong, teman penulis ketika di SMA, dan adiknya Dewi Dee
Lestari. Key dan Dee telah menolong penulis dalam mengembangkan
jejaring pertemanan dengan pembuat film yang baru. Akhir tahun
2014 penulis menghubungi Dee melalui twitter dan whatsapp, dari
Dari Produksi sampai Distribusi Film
157
Dee penulis kemudian mendapatkan kontak Sheila Timothy, Joko
Anwar, dan Ifa Isfansyah. Selanjutnya di tahun 2015, penulis mulai
melakukan pertemuan awal dengan Key dan Motulz di sebuah rumah
makan di Cipete Raya Jakarta; yang kemudian dilanjutkan dengan
pertemuan bersama Sheila Timothy di kantornya, Joko Anwar dan para
pemain ―ACOMM‖ di Bandung, dan seterusnya. Penulis juga sempat
diundang ke Jakarta oleh Sheila Timothy, untuk ikut hadir di acara
―The Art of Film Marketing‖ yang diadakan oleh MPAA di Kemang
Raya Jakarta. Di situ penulis bertemu dan dapat mewawancarai Ibu
Catherine Keng dari Grup Cinema XXI dan Ibu Dian Soenardi dari
Grup CGV Blitz. Di tempat yang sama, penulis juga bertemu Bapak
Triawan Munaf (sayang sekali beliau sangat terburu-buru), namun
penulis hanya sempat mewawancarai sebentar asisten deputinya yaitu
Bapak Boy. Di samping itu penulis berbincang sebentar dengan Darius
Sinathriya tentang film Indonesia yang menurutnya sudah makin maju
dan berkembang.
Di waktu yang lain, penulis juga mendapatkan kontak Nia
Dicky Zulkarnaen dari Profesor Daniel Kameo, yang sekaligus
membimbing penulis dalam penelitian ini. Wawancara dengan Nia
penulis dapatkan dari beliau. Di Bandung, penulis pun mendapatkan
kontak Atid Sammaria, seorang film maker muda, dan Ariani
Darmawan (yang sebelumnya juga pernah penulis wawancarai) dari
pertemanan dengan pakar dan orang-orang kreatif di Bandung. Penulis
juga sempat mewawancarai beberapa indie movie-maker di Salman
ITB. Kontaknya penulis dapatkan dari seorang dosen dan pengamat
budaya di FSRD ITB, Bapak Yasraf Amir Piliang. Bersama beliau,
penulis juga kerap berbincang dan berdiskusi tentang film Indonesia.
Wawancara demi wawancara penulis lakukan dengan para
narasumber. Ada yang bersedia meluangkan waktu cukup lama sekitar
satu jam-an atau lebih, seperti Key, Motulz, Lala dan Ifa. Ada juga yang
hanya bisa diwawancarai melalui telepon, atau media sosial, yang
dilanjutkan pertemuan di satu event seperti wawancara dengan Joko
Anwar. Penulis sempat ber-whatsapp beberapa kali sebelum bertemu
langsung dengan Joko Anwar, Chico Jericho dan Paul Agusta di CGV
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
158
Blitz di BEC Bandung. Saat itu Joko dan rekan-rekan sedang promosi
film ―A Copy of My Mind‖. Di tahun 2015 penulis pun kembali
mewawancarai Bapak Garin dan Bapak Chand Parwez, melalui surel
dan whatsapp. Wawancara dengan Bapak Garin dilanjutkan lagi di
pertemuan diskusi tentang film di Fakultas Filsafat dan Fakultas
Ekonomi Unpar di Bandung.
Setelah mendapatkan hasil wawancara dengan narasumber,
peneliti kemudian menuliskannya ke dalam sebuah transkrip
wawancara. Semua transkrip kemudian dipelajari dan dimulailah
proses berikutnya yaitu proses coding. Proses coding meliputi
menandai bagian-bagian atau penggalan wawancara yang mengandung
makna yang sama (keywords yang sama). Contoh ada di halaman 21
dan 22, seperti misalnya ketika Lala Timothy, Key dan Motulz
bercerita tentang industri film di Indonesia; penulis kemudian
memberi kategori yang sama terhadap penggalan-penggalan
wawancara dengan mereka dan memberi judul kategori ―industri film
di Indonesia‖. Demikianlah dari beberapa keywords yang sama, penulis
kemudian menggabungkannya ke dalam satu kategori dan memberi
label sesuai kata kunci tersebut. Pada bab ini, judul atau label atas
kategori tampak dalam beberapa sub judul pada uraian di bawah ini.
Beberapa judul kategori yang penulis dapatkan dari transkrip
wawancara antara lain adalah: proses produksi dan pendanaan sebuah
film, pandangan mereka tentang industri film di dalam negeri, proses
negosiasi dalam film, strategi pemasaran, proses distribusi dan
ekshibisi, serta masalah yang ditemukan selama proses distribusi.
Penjelasan atas masing-masing kategori di atas diuraikan pada beberapa
sub bab dalam Bab empat berikut ini.
Industri Film Indonesia
Sheila Timothy, seorang film-maker muda sekaligus ketua
APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia) saat ini, ditemui penulis di
kantornya yaitu ―Life Like Pictures‖ di daerah Kuningan Jakarta,
Dari Produksi sampai Distribusi Film
159
tanggal 24 Agustus 2015 yang lalu. Sheila9, atau yang lebih akrab
dipanggil Lala Timothy masih terbilang pemain baru yang berbakat
dan potensial di industri film nasional sekalipun bukan berasal dari
latar belakang pendidikan film.
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 4.1. Penulis Bersama Sheila Timothy di Kantor Life Like Picture,
Jakarta, 24 Agustus 2015
Menurut Lala, secara industri, perfilman Indonesia sudah ada,
sudah terbentuk, ada proses produksi dan membayar pajak. Namun
memang belum maju. Dampak dari proses produksi sebuah film
9 Lala Timothy adalah kakak dari Marsha Timothy yang lebih dulu memasuki dunia film dan model. Lala adalah seorang ibu dari empat orang anak, dan istri dari Luki Wanandi, seorang pengusaha. Lulus dari Manajemen Trisakti dengan fokus di bidang pemasaran di tahun 1990-an, Lala sempat bekerja pada perusahaan Indo-Ad (dulu Ogilvy) kemudian menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Tahun 2009, ia mulai berkarir kembali sebagai produser film dengan ―Pintu Terlarang‖ (Forbidden Door) sebagai film pertamanya. Film tersebut berhasil memenangkan festival film di Puchon International Fantastic Film di Korea Selatan. Film keduanya berjudul ―Modus Anomali‖ (2012) yang bergenre thriller dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, DVD- nya beredar di Jerman di tahun 2013. Film ketiga yang dibuat Lala adalah film ―Tabula Rasa‖ (2014) yang bergenre drama keluarga yang disajikan apik dan natural. Inti cerita adalah toleransi dan tolong-menolong, dengan bumbu masakan Padang serta olahraga sepakbola. Penonton diingatkan tentang hidup rukun dalam keberagaman (pluralism) baik secara etnis maupun agama. Film ini dibeli oleh Astro untuk channel penyiaran di Asean.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
160
terhadap ekonomi lebih besar dari sekedar penjualan tiket di bioskop.
Penghasilan sebuah film dan kontribusinya pada ekonomi negara
menjadi lebih besar, karena di samping penjualan tiket di bioskop film
menjadi lokomotif industri yang membawa serta gerbong bisnis yang
lain, misalnya fashion, kuliner, atau bahkan tourism. Film ―Laskar
Pelangi‖ karya Mira Lesmana dan Riri Riza sebagai contoh, memberi
dampak ekonomi terhadap bisnis turis di kota Belitung. Usaha
penerbangan dari kota lain ke Belitung ditambah rutenya sehingga
menjadi lebih banyak.
Sheila Timothy memberikan penjelasan tentang industri film
Indonesia melalui gambar di bawah ini:
sumber: Sheila Timothy
Gambar 4.2. Proses Produksi Sampai Ekshibisi Film Indonesia
Menurut Lala, proses produksi dimulai dengan tahap awal yaitu
development. Tahap awal ini merupakan tahap yang menentukan dan
akan mempengaruhi tahap berikutnya serta berapa besar pendanaan
diperlukan. Di tahap ini akan ditentukan tema atau ide cerita yang
dipilih, apakah berasal dari ide yang sudah ada (novel, true story, dsb.)
ataukah ide langsung dari sang produser atau ada pihak tertentu yang
menawarkan ide cerita pada produser. Di tahap ini juga akuisisi
dilakukan, apakah ide cerita yang telah dipilih dan ditentukan bisa
benar-benar dilaksanakan. Salah satu caranya adalah dengan membuat
riset. Dalam proses development ini produser sudah mulai bekerja sama
dengan penulis cerita dan penulis skrip, serta harus menemukan
investor juga untuk mendanai filmnya jika ia tidak punya dana sendiri.
Di tahap-tahap awal, seorang produser harus benar-benar yakin akan
mengeksekusi ide cerita yang dipilih. Ia akan berdiskusi dengan penulis
cerita atau penulis skrip tentang ide cerita dan pesan yang ingin
Dari Produksi sampai Distribusi Film
161
disampaikannya melalui film. Ia juga bisa mengajak sutradara untuk
melakukan riset kecil atau besar, supaya inti cerita atau pesan dan
benang merah yang ingin disampaikan melalui film tersebut bisa benar-
benar disampaikan pada pemirsa. Biasanya produser akan benar-benar
memastikan ini terjadi sebelum tahap syuting dimulai. Riset bisa juga
dilakukan paralel di tahap kedua yaitu tahap pre-production.
Tahap berikutnya adalah pre-production. Di tahap ini produser
akan mencari dan memilih sutradara, para pemain (aktris dan aktor)
serta kru. Proses berikutnya akan segera dimulai yaitu tahap syuting
dan pengambilan gambar di lapangan sebagai tahap ketiga, yaitu tahap
produksi. Pada tahap ini, kehadiran penulis skrip sudah tidak
diperlukan lagi (jika dia bukan sekaligus sutradara) yang lebih berperan
sekarang adalah sutradara dan produser. Syuting melibatkan tenaga
kerja yang cukup banyak dan memakan waktu yang biasanya tidak
sebentar, apalagi jika lokasi pengambilan gambar lebih dari satu. Ketika
seluruh adegan selesai diambil dan dianggap sudah memenuhi seluruh
skrip yang telah ditentukan maka proses produksi dinyatakan selesai.
Sesudah produksi selesai, tahap keempat adalah tahap post-production. Di tahap ini, rekaman seluruh pengambilan gambar akan
diedit dan ditata kembali menggunakan teknologi. Prosesnya biasa
dilaksanakan dalam sebuah laboratorium. Menurut beberapa movie-maker seperti Riri Riza dan Garin Nugroho, laboratorium kita di
Indonesia belum memadai, akibatnya untuk tahap editing mereka harus
menggunakan jasa laboratorium film di luar negeri. Di tahap ini juga
dilakukan pengisian suara jika diperlukan di samping editing suara, dan
tata pencahayaan, tata letak gambar dan sebagainya. Makin baik dan
modern teknologi yang digunakan akan berdampak pada makin
tingginya kualitas film yang dihasilkan.
Tahap berikutnya tak kalah penting, yakni tahap pemasaran
dan distribusi. Di tahap ini, film-maker akan merancang strategi seperti
apa yang akan dia gunakan untuk memasarkan filmnya dengan baik
supaya dikenal dan diminati oleh semakin banyak penonton. Media
promosi dan publisitas harus dipilih, trailer yang menarik harus dibuat,
saluran distribusi juga akan mulai dipilih, apakah hanya akan disiarkan
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
162
di bioskop, atau akan menawarkan ke channel lain seperti saluran
televisi swasta di dalam atau di luar negeri, membuat DVD, home video, dan sebagainya. Di tahap ini, sang produser harus mengkalkulasi
kembali berapa banyak pendanaan yang dia butuhkan untuk
memasarkan produknya dengan baik. Tak jarang tahap pemasaran dan
distribusi dapat memakan biaya yang lebih besar atau sama dengan
biaya produksi yang dikeluarkan.
Tahap terakhir adalah tahap ekhibisi atau penyiaran pada
publik, biasanya seorang produser akan memilih layar lebar atau
bioskop terlebih dahulu sebelum menawarkan filmnya pada saluran
ekhibisi yang lain. Kesulitan di tahap ini adalah negosiasi dengan
pengusaha bioskop, yang biasanya juga ingin mendapatkan keuntungan
besar dari hasil penjualan tiket, dan tidak mau rugi. Alhasil, harus
disepakati berapa lama sebuah film boleh disiarkan di sekian layar
bioskop tertentu sampai akhirnya film tersebut harus turun dari layar.
Informasi yang didapat dari beberapa film-maker menyiratkan ―aturan‖
tiga sampai empat hari adalah jangka waktu maksimal untuk menguji
sebuah film apakah masih layak siar di bioskop atau tidak.
Mengenai keseluruhan tahapan produksi sebuah film ini,
berikut adalah tanggapan Lala mengapa industri film di Indonesia
dianggap belum maju:
―Kenapa industri film itu dianggap kecil karena hanya dihitung dari harga tiket. film bukan cuma dari direct penjualan tiket. Economic contribution-nya bisa 4 kali lipet! Biasanya impact yang direct saja yang dihitung... iklan sampai kontribusi yang tidak direct sama sekali. Film―Laskar Pelangi‖ yang dibuat di Belitong membuat tadinya penerbangan ke Belitong hanya satu kali (seminggu/sebulan), sekarang ada setiap hari. Itu kan Indirect contribution dari film... Menurut saya, kompleksitasnya sama dengan negara lain‖
Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa industri film di
Indonesia masih terbilang kecil karena hanya dihitung dari penjualan
tiket saja, padahal nilai ekonomi dari sebuah proses produksi film bisa
sangat besar karena kompleksitas unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Dari Produksi sampai Distribusi Film
163
Sepanjang proses produksinya, sebuah film akan melibatkan jumlah
pendanaan yang sangat besar dan beragam. Proses produksi berjalan
dari sejak tahap development sampai ekhibisi melibatkan kerja sama
dengan banyak bisnis di sektor lain, bukan hanya proses pengambilan
gambar, namun juga sektor transportasi, kuliner, fashion (wardrobe),
make up, instalasi, dan sebagainya. Pasca produksi pun masih
melibatkan unsur bisnis yang lain yaitu teknologi dan laboratorium. Itu
sebabnya biaya produksi sebuah film bisa menjadi sangat besar,
beberapa movie-maker menyiratkan nilai pendanaan rata-rata sebuah
produksi film antara dua sampai sepuluh miliar rupiah. Biaya tersebut
belum termasuk pengeluaran untuk distribusi dan pemasaran, yang jika
ditotal bisa membengkak menjadi dua kali atau tiga kali biaya
produksinya.
Menurut Lala, industri film di Indonesia sudah ada terbukti dari
asosiasinya, namun dinilai masih cacat karena tidak ada peran
distributor di dalamnya, dulu pernah ada tapi sejak Grup XXI muncul di
era Orde Baru, peran distributor lantas tersingkirkan. Berikut adalah
kutipan wawancara tentang hal tersebut:
―Industri film itu ada. Ada stakeholder-nya kok. Industrinya kecil iya, karena belum ter-develop. Kalo dibilang belum maju, iya. Industrinya ada, kita bayar pajak kok ke Negara. Ini kan ada produser, ada PH, production house, ada musik. Ini kan stakeholder, industri namanya. Kalo dibilang industrinya tidak maju, memang belum. Kita ini asosiasi. Swasta punya. Perkumpulan. Persatuan Produser Film Indonesia gitu. Ada 780.000 pekerja di industri film!‖
Beberapa movie-maker yang diwawancarai memiliki pendapat
yang beragam tentang film Indonesia. Pendapat bahwa industri film di
Indonesia belum stabil dan tertata, karenanya tidak atau belum layak
disebut sebagai ―industri‖ diungkapkan Motulz10dan Key –seorang Art Director dan penulis skrip-- dalam sebuah wawancara dengan penulis
10Anto Motulz adalah seorang Desainer dan Komikus lulusan FSRD ITB. Sempat bekerja di sebuah kantor advertising sesudah lulus, kini Motulz bekerja free-lance, sehingga bisa memilih untuk mengerjakan apa yang betul-betul ia sukai. Motulz pernah mengerjakan art-design untuk film ―Jalan Sesama‖ (Sesame Street Indonesia), iklan untuk televisi dan media lain.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
164
di sebuah rumah makan di Cipete, Jakarta Selatan tanggal 3 Agustus
2015.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.3.Penulis Bersama Key dan Motulz di ―Rumah Baba‖, Cipete,
Jakarta, 3 Agustus 2015
Petikan wawancara dikutip sebagai berikut:
―kalau ada yang bilang industri film, gue sih akan mempertanyakan...kalau di industri film beneran itu semua udah harus on paper. Di kita itu masih ada istilah lagi syuting break dulu, kenapa? Cameraman-nya sakit..secara industri ngga masuk akal lagi... emang ada ya di industri kayak gitu, oh,cameraman sakit ganti aja sama yang lain, dia mestinya tau…kemaren kan ada catatan terakhir.‖
Motulz sebagai seorang Art Director tidak habis pikir dengan
proses produksi yang kurang terjadwal, tidak profesional, dan bisa
break di tengah-tengah. Menurutnya, produksi film di luar negeri
tidak ada yang seperti itu. Setiap anggota tim (kru) sudah harus tahu
benar apa tugas dan tanggung jawabnya, dan melaksanakan itu dengan
profesional. Lebih lanjut Motulz memberi gagasan tentang beda
antara industri dengan standar operasi yang jelas, dan pengrajin ala
Indonesia, dimulai dengan contoh pekerjaannya sendiri sebagai
seorang Art Director:
―yang ngerti visualnya itu art director, art director punya tangan kanan…Jadi artistik itu ada yang kalo di Art Director film ini adalah dia harus tau misalkan si sutradara tuh ―eh lu
Dari Produksi sampai Distribusi Film
165
mau bikin film ini‖, bayangan lu kaya apa sih lokasinya, bajunya, apanya…nanti dia akan bilang ―oh gue pengen kaya gaya-gaya 80-an‖ nah dia yang akan men-translate ini menjadi design-design, nanti ditanya.. nanti kalau itu sudah di approve baru ke produksi di bikin, entah itu bikin entah itu nyewa. ketika art director ga ngerti atau salah, ini bawahan ga ada yang tau, bisablank. Ya nunggu dia deh, yang ngerti cuma dia. Gimana bisa disebut industri? Industri tuh menurut gue, organisasinya jelas, manajemennya juga, semuanya jelas.. Nah, kalo pengrajin beda. Pengrajin itu, dia bisa menyiasati dari ketiadaan. Ketika punya lampu nih, pake apa….itu pengrajin. Wah tidak standar, ga masalah yang penting kan bisa syuting. Kalau industri pasti gak mau syuting kalo lampu kurang‖.
Menurut Motulz, industri film di Indonesia masih
dipertanyakan keberadaannya. Karena pada kenyataannya, tata-kelola
produksi film dianggap masih parah, belum terstruktur, fungsi-fungsi
pekerjaan belum jelas dan belum berjalan sebagaimana mestinya.
Selain Motulz, Key11 juga mempertanyakan kondisi industri
perfilman Indonesia yang menurutnya belum ―sehat‖. Di tempat dan
jam yang sama dalam wawancara dengan penulis dan Motulz –kami
bertiga janjian bertemu di rumah makan ―Baba‖ daerah Cipete, waktu
itu Key keluar sebentar untuk menjemput anaknya di sekolah,
kemudian bergabung lagi untuk berdiskusi tentang film Indonesia.
Berikut adalah pendapat Key tentang industri film di Indonesia:
―Sementara film kita belum mendatangkan, industrinya juga
sebenernya belum sehat..belum settle... pada kenyataanya,
industrinya aja belum terbentuk dengan sehatlah, bahwa apa
yang kita bikin pasti untung.. belum tentulah, semuanya
serba gambling. Ada yang mengatakan 80% produser kita
merugi...‖
11Ria Simangunsong, atau yang lebih akrab dipanggil ―Key‖ adalah sahabat penulis sejak SMA. Key adalah sarjana Arsitektur lulusan Unpar, sekaligus kakak kandung Dewi ―Dee‖ Lestari yang adalah novelis. Sesudah lulus Key bekerja di stasiun televisi Trans di Jakarta. Sempat menjadi sutadara sinetron ―Lupus‖ yang tayang di Indosiar tahun 1995, Key kemudian menjadi penulis skrip di beberapa film seperti ―Brownies‖, ―Oh My God‖ dan ―Rectoverso‖. Kini Key telah menikah dan menjadi ibu dari dua orang anak.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
166
Produksi dan Pendanaan
Lala Timothy menjelaskan tentang proses produksi film ―Tabula
Rasa‖ yang ia buat di tahun 2012 dan rilis di tahun 2014, mulai dari
tahap awal yaitu tahap development sebagai berikut:
―ini bukan film makanan tentang chef yang jadi productshop. Makanan jadi inti, jadi soul dari cerita. Kita gak mau menggebu–gebu bilang ayo ini Indonesia. Engga. Dan kita juga hati–hati banget waktu kita pilih Papua karena kita tidak mau eksploitasi Papua seperti film Indonesia ada beberapa yang lain yang menceritakan kebodohannya orang Papua segala macam. Mereka ini orang–orang pintar, cuman emang di ujung sana tidak terjamah pembangunan, khususnya Serui. Kenapa pilih Serui? Karena Serui ini unik. Di sana banyak orang pinter...‖
Mengenai waktu dan biaya, serta jumlah pendanaan dan riset
yang mereka lakukan dalam proses produksi ―Tabula Rasa‖
diungkapkan Lala sebagai berikut:
―kalo misalnya ditanyabudget-nya berapa, saya jawab 6 miliar. Ada yang tanya, masa 6 miliar? Gak bisa lebih murah? Kan gak semuanya terlihat di layar itu. Kami perlu riset 1,5 tahun untuk ini, kami mulai di tahun 2012 filmnya sendiri rilis tahun 2014. Satu, untuk kuliner cari text book-nya aja susah banget...‖
Diakui Lala, bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal
untuk film yang diinginkan diperlukan riset sekitar 2 tahun
menghasilkan film ―Tabula Rasa‖ yang berporos tentang makanan.
Karena isi cerita adalah tentang masakan padang yang dimasak/diolah
oleh orang Papua, maka riset juga bukan hanya pergi ke Padang tapi
juga harus ke Serui, Papua, selain juga riset di Jakarta.
―Kami sampai ke Padang sama Tumpal, Adri membuat riset. Akhirnya kami ketemu sama Uni Emi, dan kami cuma disuruh gulung–gulung dan tumbuk–tumbuk daging segala macam, karena kami ingin melihat gerak–geriknya. Nah, ini jadi poros, Tumpal dan Adri sampai 3 kali ke Serui dan akhirnya tim ke sana.‖
Riset menurut Lala penting untuk menghasilkan film yang
sesuai dengan kenyataan tentang orang Papua dari Serui. Tidak bisa
hanya sekedar mencari informasi di google lantas dituangkan ke dalam
Dari Produksi sampai Distribusi Film
167
sebuah naskah, atau hanya riset beberapa hari kemudian langsung
dilakukan menjadi adegan demi adegan. Hasilnya akan kurang
memuaskan. Berikut adalah pendapat Lala tentang pentingnya riset:
―Kenapa? Gak mungkin menceritakan orang Papua, orang Serui lewat google... Tim harus kesana, tinggal di sana seminggu, bergaul sama orang sana dari situ dia bisa dapat bayangan. Dari situ ke Jakarta, ke mes–mes orang Serui yang ada di Tanah Abang, atau Taman Mini dan bergaul sama orang–orang yang ada di sana, ngobrol... ooh, kaya gini orang Serui. Orang Papua itu kan banyak. Orang Wamena mungkin nggak seperti tokoh Hans yang dari Serui ini... Kita tuh miskin dari segi data. Ketika saya membuat film ―Tabula Rasa‖ terasa sulitnya mencari data film Indonesia yang berporos makanan...‖
Film ―Tabula Rasa‖ menceritakan kehidupan seorang Hans yang
dari Serui, Papua, hijrah ke Jakarta untuk bergabung dengan
perkumpulan sepakbola di Jakarta. Di daerah asalnya Hans sangat
terkenal karena prestasinya bermain sepakbola, namun apa daya cita-
citanya menjadi pemain bola terkenal di Indonesia kandas di Jakarta.
Hans terpaksa menjadi seorang ―gembel‖ dan harus mengejar-ngejar
truk dengan terpincang-pincang untuk mengais sesuap nasi, akibat
keberadaannya di klub sepakbola tidak lagi dibutuhkan karena cedera
kaki. Hans (dimainkan Jimmy Kobogau) yang sempat frustasi dan
pingsan di pinggir jalan karena kurang makan, akhirnya diselamatkan
oleh Emak (Dewi Irawan) yang memiliki rumah makan padang
sederhana di pinggiran kota Jakarta. Emak memberi Hans makanan dan
menyuruhnya bekerja di rumah makan padang miliknya. Hans
kemudian teringat kampung halamannya dan membangkitkan
kerinduan Hans untuk pulang ke Serui ketika belajar memasak
makanan padang pada Emak. Persahabatan dan kerja sama antara Hans
dan Emak lambat laun menyalakan semangat hidup Hans kembali
untuk meraih mimpinya, sekalipun tidak lagi (tidak harus) menjadi
seorang pemain sepakbola terkenal.
Ide cerita yang berasal dari keseharian ini berhasil dituturkan
secara natural di dalam ―Tabula Rasa‖, itulah mengapa film ini terasa
memikat meskipun terlihat begitu sederhana dan biasa. ―Tabula Rasa‖
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
168
adalah film dengan jenis slice of life yang mengutamakan riset. Film ini
sarat budaya Indonesia yang multi kultur, menjunjung tinggi toleransi
beragama dan perbedaan etnis. Penceritaan terjalin secara apik.
Menurut Lala Timothy, proses penggarapan sebuah film yang baik dan
serius akan memerlukan waktu yang cukup lama, bertahun-tahun
sebelum film tersebut siap dipasarkan.
Proses pembuatan film tidak selalu sama, ada yang digarap
secara serius dengan riset yang cukup banyak, ada juga yang dilakukan
dalam tempo yang singkat, beberapa minggu saja, namun bisa tampil
memikat. Salah satunya adalah beberapa film yang dibuat oleh
Sammaria Simanjuntak, yaitu film ―Demi Ucok‖ dan ―Selamat Pagi,
Malam‖. Proses distribusinya yang bisa lebih seragam, karena jalurnya
sudah jelas: jalur festival untuk dikonsumsi penikmat film di luar
negeri, atau jalur komersial di dalam negeri. Hal ini dikemukakan
Sammaria Simanjuntak12, seorang movie-maker muda berikut ini:
―Proses pembuatan film mulai dari ide awal sampai akhirnya diproduksi sangat beragam. Ada yang memakan waktu belasan tahun, ada yang hanya dalam hitungan minggu.Tergantung produsernya. Proses setelah film jadi sampai dengan distribusi biasanya lebih seragam. Proses distribusi bisa melalui dua jalur yang mainstream. Yang pertama memprioritaskan distribusi lewat bioskop karena di situlah pendapatan terbesarnya. Baru ke ancillary market (TV, DVD, VOD, dll).Yang kedua memprioritaskan jalur festival, karena di sanalah mereka dapat bertemu dengan potential buyer dari luar negeri. Biasanya festival lebih memilih film yang world premiere, sehingga film yang sudah di-release di bioskop kesempatannya akan lebih kecil masuk ke festival besar ini...‖
12Sammaria Simanjuntak, yang lebih dikenal dengan nama Atid, atau Atid Sammaria adalah Sarjana Arsitektur lulusan ITB. Sempat bekerja di sebuah firma Arsitektur di Singapura, Atid kemudian pulang ke Indonesia dan mulai berkarir sebagai produser film, mewujudkan passion dan impiannya. Film pertamanya berjudul ―cin(T)a‖ di tahun 2009 dan beberapa film dokumenter seperti ―Lima Menit Lagi‖ dan ―Working Girls‖. Tahun 2011 Atid mendirikan rumah produksi film ―PT Kepompong Gendut‖ dengan film ―Demi Ucok‖ sebagai film pertama yang rilis di bioskop grup XXI.
Dari Produksi sampai Distribusi Film
169
Sesudah mewawancarai Atid via e-mail, penulis
berkesempatan bertemu langsung dengan Atid dan Ibunya di
CGV Blitz, BEC, Bandung ketika menonton film Joko Anwar
berjudul ―A Copy of My Mind‖. Berikut adalah dokumen-
tasinya.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.4.Penulis Bersama Atid dan Ibunya, 14 Februari 2016
Atid juga berpendapat, dengan adanya teknologi baru yang
memudahkan pembuatan film secara digital membuat ongkos produksi
bisa lebih murah. Film-maker seperti dirinya bisa membuat cerita dari
ide-ide yang lebih personal dan tidak selalu bersifat komersial. Berikut
adalah pendapat Atid tentang hal tersebut, dalam sebuah wawancara
melalui e-mail tanggal 10 Agustus 2015:
―Karena pembuatan film lebih murah, maka produser kecil bisa membuat cerita yang lebih personal dan tidak melulu komersial, tema-ide-genre cerita yang difilmkan jadi lebih beragam. Keberhasilan film ―The Raid‖ yang membuat genre action yang sering dihindari karena lebih mahal kembali diminati produser lokal. Teknologi sangat berperan dalam pembuatan film, teknologi saat ini sudah semakin maju, semakin beragam, mudah, dan murah. Walaupun tidak ada produsen dalam negeri yang berminat konsentrasi di produksi peralatan film. Semua yang kami gunakan masih merk luar...‖
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
170
Teknologi memang memegang peranan penting dalam
produksi sebuah film, akan tetapi formula yang pas untuk membuat
sebuah film bisa laku di pasaran menurut Atid Sammaria, masih
menjadi sebuah misteri. Hal ini dijelaskah Atid dalam kutipan
wawancara sebagai berikut:
―nah bagaimana membuat film supaya laku di pasaran, ini juga masih misteri buat saya, karena tidak ada formula yang dijamin pasti berhasil. Sejauh ini saya berusaha untuk membuat film yang ingin saya tonton, sehingga target pasar saya jauh lebih jelas: saya‖
Atid Sammaria yang awalnya adalah seorang Arsitek,
memperkaya khasanah perfilman nasional dengan beberapa filmnya
yang tidak biasa. Film-film yang pernah dibuat oleh Sammaria antara
lain adalah ―Demi Ucok‖, ―cin(T)a‖, dan ―Selamat Pagi Malam‖. Film
―Demi Ucok‖ berhasil mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik
versi majalah Tempo dan 8 nominasi di festival film Indonesia tahun
2012. Film yang tidak mengandalkan pemain terkenal ini didanai secara
―crowd funding‖ (Motulz menyebutnya ―produser ketengan‖) dengan
cara menerima sumbangan Rp 100.000 dari tiap produser, sampai
terkumpul dana sebesar Rp 251.000.000 hasil saweran beberapa orang
untuk proses produksi, post produksi dan promosi.
Era digitalisasi yang membuat ongkos pembuatan film semakin
murah dan mudah, yang disebut Atid sebagai faktor yang menurunkan
biaya produksi ditanggapi berbeda oleh movie-producer lain. Adalah
seorang Chand Parwez Servia, pemain lama dalam industri film
Indonesia yang menganggap film-film dengan low-budget tidak sesuai
standar perfilman dan mengecewakan penonton. Dengan begitu,
penonton lantas skeptis dan tidak mau menonton film Indonesia lagi.
Ini diungkapkan oleh Chand Parwez13 dalam kutipan wawancara
dengan penulis via whatsapp tanggal 19 Oktober 2015, sebagai berikut:
13Chand Parwez Servia adalah seorang pengusaha dan produser film dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Dengan pendidikan dari Institut Pertanian Bogor, Pak Parwez kemudian melanjutkan usaha keluarga mengelola bioskop di Cirebon, yang kemudian ditutup. Tahun 1995 beliau mendirikan rumah produksi ―Starvision‖ dan mulai fokus di bidang pembuatan film. Sempat menginisiasi Festival Film Bandung yang kemudian dilarang
Dari Produksi sampai Distribusi Film
171
―apresiasi terhadap film Indonesia merosot tajam, terutama sejak digitalisasi bioskop, akibatnya membuat film semakin murah dan banyak film yang di bawah standar masuk bioskop. Ini cukup mengecewakan penonton, akibatnya film bagus pun kena imbasnya‖
Film dengan low-budget yang dimaksud Chand Parwez adalah
film yang minim dari segi sinematografi, alhasil kurang memuaskan,
namun bukan berarti filmnya Atid Sammaria tidak memuaskan. Para
penonton yang sudah terbiasa dengan film-film Hollywood dengan
standar kualitas yang cukup tinggi bisa bersikap skeptis dan tidak mau
menonton film Indonesia lagi.
Dalam studi pendahuluan yang penulis lakukan di tahun 2007,
penulis juga sempat mewawancarai Ariani Darmawan, seorang pelaku
film indie (independen) yang membuat beberapa film pendek dan
masuk seleksi festival film dan seni di luar negeri. Ariani, atau Mbak
Rani mengatakan, proses negosiasi dalam sebuah produksi film
berlangsung terus-menerus dari awal sampai akhir. Berikut adalah
kutipan wawancara dengannya:
―Secara general proses produksi film dibagi dalam tahap pra-produksi (penulisan hingga persiapan produksi), produksi (syuting), lalu pasca produksi (editing, mixing, hingga marketing dan distribusi). Negosiasi terjadi secara terus-menerus dari awal hingga akhir, cuma negosiasinya terjadi dengan orang yang berbeda-beda. Di awal, masalahnya lebih ke arah content, penulisan, lalu rencana bagaimana content itu bisa dinyatakan dengan baik dalam film. Persiapan produksi biasanya yang paling ribet karena banyak berurusan dengan berbagai macam pihak, terutama pihak yang akan berada pada hari H syuting mulai produksi.‖
Pemilihan sutradara dan kru menurut Ariani termasuk vital,
karena menentukan bagaimana sebuah produksi bisa berjalan dengan
baik dan sesuai harapan atau tidak. Banyak tekanan di lapangan yang
di jaman Orde Baru, Pak Parwez akhirnya mengganti nama festival tersebut menjadi Forum Film Bandung. Beberapa filmnya yang laris Pasca Reformasi adalah ―Heart‖ (2009), ―Perahu Kertas‖ (2012) ―Get Married‖ (2013-2015), ―Marmut Merah Jambu‖ (2014), ―This is Cinta‖ (2015), dan ―Ngenest‖ (2016).
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
172
terkadang bisa membuat kesepakatan di awal berubah. Antara
keinginan-keinginan artistik dengan masalah-masalah non-artistik di
lapangan membuat ketegangan tak terhindarkan. Seorang sutradara
yang baik akan mampu mengelola semuanya dan mengkoordinasikan
dengan baik.
―Sutradara yang baik adalah sutradara yang bisa mengkoordinasikan semua ini dengan becus hingga produksi berjalan baik dan sesuai harapan. Hal yang harus dihadapi kompleks karena di satu sisi harus bisa mempertahankan keinginan-keinginan artistiknya lewat koordinasi banyak pihak, di lain sisi harus berhadapan dengan urusan lokasi, jadwal, dll. yang kadang malah menjadi tekanan utama. Di sinilah dibutuhkan tim produksi yang baik, hingga kerja sutradara gak usah merembet hingga masalah non-artistik.‖
Tahap pasca produksi menurut Mbak Rani, masih
memerlukan koordinasi antara produser-sutradara-editor, tidak
bisa menyerahkan semuanya kepada editor. Namun begitu, ada
juga produser yang menyerahkan semua kewenangan pada
editor:
―Pasca produksi biasanya sudah masuk ke meja editing dan mixing. Walau kerjaan ditangani oleh editor dan sound mixer, tapi sutradara dan produser biasanya selalu duduk bersama dan seringkali memutuskan segala tahap editing bersama editor. Ada juga yang menyerahkannya sama sekali pada editor..‖
Ariani Darmawan adalah seorang Arsitek yang kemudian
menjadi seorang pembuat film dan seniman video. Termasuk di dalam
karya-karyanya adalah film-film pendek, film dokumenter, video
instalasi, dan karya teatrikal. Beberapa karya film pendeknya yang
turut berpartisipasi dalam festival seni maupun film di Eropa, Amerika
Serikat, Asia dan Australia adalah : ―Anak Naga Beranak Naga‖ (2005),
―The Anniversaries‖ (2006), ―Sugiharti Halim‖ (2008). Ariani memiliki
sebuah rumah buku tempat berkumpulnya komunitas muda pecinta
buku dan film di Bandung. Berikut adalah dokumentasi dengan Ariani
di rumah bukunya, di kawasan Hegarmanah Bandung:
Dari Produksi sampai Distribusi Film
173
Sumber: Blog ―Kineruku‖ dengan seijin Ariani Darmawan
Gambar 4.5.Ariani Darmawan dengan Rumah Bukunya
Ide Cerita dan Proses Negosiasi
Proses produksi sebuah film diawali dengan adanya ide cerita
yang ditawarkan pada produser atau yang sudah dimiliki sang produser
di tahap development, kemudian berlanjut ke proses berikutnya yakni
tahap produksi sampai post-produksi. Di sepanjang tahap-tahap ini
mulai dari awal sampai akhir, proses negosiasi berlangsung terus-
menerus. Sejak awal, ide cerita bisa berasal dari sebuah novel laris yang
sudah ada kelompok penggemarnya, atau dari cerita asli yang
ditawarkan pada seorang produser, atau imajinasi total pembuatnya
karena cita rasa seni yang ia miliki. Semua ini sejak awal sudah
melibatkan proses negosiasi. Beberapa kutipan wawancara tentang itu
dengan para film-maker dijelaskan di bawah ini.
Seorang Sheila Timothy misalnya, membuat film ―Tabula Rasa‖
berdasarkan ide cerita dari pengalaman pribadi, bisa dikategorikan ide
cerita asli yang kemudian diadopsi ke dalam sebuah film. Ide cerita
yang dimilikinya tersebut harus ditransfer kepada penulis skrip dan
sutradara dari awal, yaitu Tumpal dan Adri supaya mereka mengerti
dan sejalan dengan Lala. Diperlukan banyak diskusi dan bincang-
bincang antara produser-sutradara-penulis skrip sampai akhirnya
mereka menemukan kesepakatan bahwa benang merah cerita adalah
tentang ―kerinduan‖ dan ―perjuangan‖. Hal ini diungkapkan Lala dalam
wawancara sebagai berikut:
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
174
―Tabula Rasa ini based on original ideas. Ibu saya jago masak,.Saya suka nonton TLC Channel kalo malem–malem gak tau kenapa selalu suka acara masak walaupun tidak jago, terus saya lagi mikir, kok gak ada film Indonesia yang bener-bener berporos di makanan... film ini tipenya slice of life. Sebenernya potongan kehidupan dan tidak terlalu sulit dan memang harus sesuai kenyataan. Lingkungan orang–orang lower class dipilih, yang memiliki rumah makan sederhana, event-nya adalah kepala ikan. Tanpa orang tahu kenapa di film ini ada kepala ikan, ada maknanya. Sampe ke badan yang paling enak, kepala itu paling enak, apalagi pipinya, tapi banyak tulang. Itu aja sudah mencerminkan struggling yang diambil bahasa visual.Tapi kita sebagai pembuat.. jadiin itu sebagai dasar‖
Movie-producer Pasca Reformasi yang juga banyak
mengangkat ide cerita dari lokalitas dan keseharian di Indonesia,
khususnya di Indonesia bagian timur, dalam proses produksi filmnya
adalah Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen di rumah produksi ―Alenia‖.
Suami-istri ini telah membuat beberapa film yang cukup sukses, di
antaranya film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ (2006), film musikal
―Liburan Seru‖ (2008), ―King‖ (2009), dan ―Tanah Air Beta‖ (2010).
Film-film tersebut diterima dan mendapatkan respon yang cukup baik
dari masyarakat. Film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ menerima
beberapa penghargaan sekaligus di FFI yaitu best actor, best cinematography dan best adapted script (Jakarta Post, 4 Juli 2010).
Sayangnya, film-film garapan ―Alenia‖ tersebut tidak semua
dapat dinikmati oleh penonton khususnya di daerah Indonesia timur.
Masalahnya, sebaran bioskop yang belum merata dan harga tiket yang
terlalu mahal. Dalam sebuah wawancara dengan Prof. Daniel Kameo di
tahun 2015, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen menjelaskan bahwa film
yang digarap secara maksimal sekalipun belum bisa dinikmati oleh
seluruh penonton di Indonesia dengan merata. Terbukti dari screening
film di lapangan, mereka menemukan ada banyak ibu-ibu dengan
anaknya tidak bisa menonton film mereka berhubung harga tiket
terlalu mahal. Akhirnya, yang terjadi adalah Ari Sihasale dan Nia
Zulkarnaen membelikan tiket untuk mereka supaya bisa menonton
Dari Produksi sampai Distribusi Film
175
film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖(Wawancata dengan Prof.
Kameo, D.D., 29 Oktober 2015).
Penulis telah menyaksikan film tersebut diputar di bioskop
Bandung, dan jumlah penonton cukup banyak memadati bioskop.
Filmnya memang bagus, sehingga banyak masyarakat yang ingin
menonton. Film ―Denias‖ menceritakan tentang seorang anak Papua,
yaitu Denias, yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang
layak. Denias selalu teringat nasihat ibunya –yang tewas dalam
kebakaran yang menghanguskan honae/rumah mereka—bahwa
gunung takut dengan orang yang pintar dan rajin bersekolah.
Sayangnya, semua orang yang menyemangati Denias untuk sekolah
pergi satu per satu. Ide cerita diangkat dari kisah nyata seorang
bernama Janias. Kesulitan dan perjuangan seorang anak Papua untuk
meraih cita-cita dan mimpinya digambarkan dengan baik dalam film
ini.
Setting dilakukan di kawasan Pegunungan Wamena dan
sebagian lokasi pertambangan tembaga dan emas di PT Freeport
Indonesia di Papua. Keindahan alam begitu nyata tampak dalam film
ini, penonton jadi tahu daerah Papua seperti apa dan kehidupan
masyarakat di sana. Beberapa penduduk asli juga diajak bermain
sebagai figuran. Karena film ini begitu bagus menggambarkan
keindahan alam di Wamena, Papua, penulis rela membeli DVD aslinya
untuk dinikmati kembali di rumah bersama keluarga. Film seperti
Denias ini bisa digunakan sebagai media pendidikan juga untuk anak-
anak agar mereka semangat belajar di sekolah. Film yang disutradarai
oleh John de Rantau ini diproduksi bersama antara ―Alenia
Production‖ dengan ―EZ Entertainment‖. Syuting selama 30 hari di
daerah Wamena dan Timika menggunakan media 35mm, serta seluruh
persiapan pembuatannya selama dua tahun, disebut ―EZ
Entertainment‖ menghabiskan biaya produksi senilai hampir sepuluh
miliar rupiah (Majalah Gatra, 11 Oktober 2006).
Film Denias ini ini berhasil masuk panitia seleksi Piala Oscar
tahun 2008. Selain film Denias, film ―Opera Jawa‖ dan ―The
Photograph‖ juga sempat ingin diseleksi di Oscar, namun hanya
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
176
―Denias: Senandung di Atas Awan‖ saja yang akhirnya terpilih untuk
diseleksi sebagai kategori film asing di Oscar 2008. Data jumlah
penonton untuk film ini ditemukan belakangan, namun itupun berupa
angka perkiraan saja. Dari beberapa film yang disebut terlaris di 2006,
tidak tercantum film Denias di dalamnya.
Movie producer yang lain seperti Chand Parwez memiliki
pandangan berbeda. Ia lebih suka mengambil ide cerita yang sedang
―in‖ sehingga kemungkinan bisa mendatangkan penonton lebih
banyak. Melalui wawancara tanggal 18 November 2015, hal ini
diungkapkan Chand Parwez sebagai berikut:
―Film dengan cerita asli butuh biaya promo lebih besar. Film dengan cerita yang sedang hip, sedang ‗in‘ bisa mendatangkan penonton lebih banyak, seperti film yang mengadopsi cerita novel. Pangsa pasar Indonesia adalah perempuan, ibu-ibu dan anak remaja paling banyak‖
Setiap pembuat film memiliki pertimbangan dan ide-ide
kreatifnya sendiri, demikian halnya Garin Nugroho. Garin, yang
terkenal dengan film-film berseni, memiliki cita-rasa atau estetika yang
tinggi. Tidak heran kenapa itu terjadi, Garin lahir dari keluarga yang
kental dengan lingkungan seni dan budaya. Ayahnya memiliki
percetakan di Yogyakarta dan rumah mereka menjadi semacam
―markas‖ di sana, tempat beberapa komunitas seni berdiskusi dan
sharing satu dengan yang lain. Dalam sebuah diskusi tentang film di
Fakultas Ekonomi Unpar, Garin mengungkapkan ide awal membuat
film sesuai passion pembuatnya ketika menjawab pertanyaan penulis,
seperti di bawah ini:
―Tiap ide pasti ada ruangnya, cari funding untuk create pasar sendiri –mainstream jangan membatasi kita untuk punya ide sendiri. Seperti halnya tanaman, film marjinal itu kan kayak tanaman langka. Yah, janganlah berharap tanaman langka bakal laku kayak durian atau mangga, janganlah berharap kayak gitu, ngga masuk akal. Jadi, kalo tanaman langka kita harus tahu, lembaga-lembaga donor mana yang akan memberikan dana pada tanaman langka. Sifat profesionalisme kita yang dibayar, bukan pada profitnya, tapi profesionalitasnya, menjaga dan mengembangkan tanaman
Dari Produksi sampai Distribusi Film
177
langka ini yang nantinya akan dihargai... harus punya pasar sendiri.‖
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.6.Penulis Bersama Garin Nugroho
Tahap memilih ide cerita sebagai tahap paling awal yang oleh
Lala disebut development, kemudian dilanjutkan ke dalam proses
produksi sebuah film. Proses produksi kembali melibatkan berbagai
negosiasi di dalamnya. Negosiasi menyiratkan adanya kesepakatan-
kesepakatan yang dibuat antara movie-maker baik itu antara produser
dengan penulis skrip, produser dengan sutradara atau produser dengan
penulis skrip dan sutradara, serta produser dengan sutradara dan para
pemain serta kru yang bertugas di sepanjang proses syuting. Ini
merupakan proses kreatifitas dan seni yang kompleks. Hal ini
dipaparkan dalam beberapa kutipan wawancara di bawah ini.
―Biasanya kalo yang pengalaman gue sih, memang calling dari produser. Si produser ini yang punya hajat, karena dia yang punya duit. Entah dia udah ada duit, entah dia udah pegang investor tapi yang pasti, pertama emang ide cerita dari dia. Setelah itu biasanya dia cari penulis. Nah, gue dipanggilnya kaya gini: eh, saya ada cerita kayak gini, kamu nulis ya. Atau dia udah ada cerita pendek, trus bilang, loe bikin sinopsisnya ya.Macem-macem.‖
Key menjelaskan, proses negosiasi dengan penulis skrip seperti
dirinya dimulai ketika produser memanggil dan menjelaskan ide cerita
yang dia inginkan. Setelah Key mencoba menuangkan ide tersebut ke
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
178
dalam sebuah sinopsis atau skrip, sang produser akan membaca dan
mengevaluasi tulisan tersebut apakah sesuai dan di-acc atau tidak.
―Nah, produser kan yang harus acc skrip ini, entah penullis yang ke rumah produser atau produser yang ke rumah penulis…pokoknya sampai jadi final draft. Bisa aja terjadi perbedaan pendapat antara produser dan penulis skrip, misal kayak gini: kita bikin hollywood ending yang jijay yuk… itu kan soal selera? Nah trus, kalo gue bilang ‗gue ngga mau bikin kayak gituuu…!‘ ya, udah, diganti…haha, bisa dibilang seperti ini: loe ngga bisa kerja sama?! Produser gampang nyari yang lain. Kata produser: ‗wah, gue ngga suka yang ini, cari penulis baru…‘‖
Ketika skrip sudah disepakati, barulah proses berikutnya
dimulai, produser memanggil line-producer, sutradara, kru dan
sebagainya. Produser memang harus menjadi penjaga dan memantau
semua proses berikutnya jika dia tidak ingin kehilangan ide cerita di
awal yang sudah dia tetapkan. Berikut penjelasan Key tentang hal
tersebut:
―Udah gitu, baru argo jalan. Dia panggil line-produser, dia panggil sutradara, tentukan lokasi dan timeline dan semuanya, nah itu udah…yang ngejagain banget, ya, produser. Kalo udah beres syuting, mungkin kerjaan penulis skrip dsb udah…bubar, mungkin tinggal beberapa kru inti yang ngejagain. Sampe post-production, udah gitu pas distribusi ya udah, sutradara udah lepas… produser aja berjuang sendiri, undang premier aja kita Itu yang di sebut seni yang kompleks, bukan hanya ide cerita, tapi ada visual, ada story telling, dan artistic...―
Menurut Motulz, ide cerita di awal bisa juga berasal dari
sebuah novel yang dianggap laris dan sudah punya penggemar. Proses
negosiasi awal ini disebut Motulz sebagai bagian yang paling urgent dan cukup berat, karenanya seorang produser harus hati-hati ketika
melaksanakan tahap awal ini.
―Jadi film itu dimulai dari sebuah ide, baru dibikin naskah, lalu di-propose. Ada juga ide yang berasal dari sebuah novel, atau dari novel yang ada fan-base-nya. Kemudian dikembangkan dan dikompromikan, oh kalo gitu pemainnya harus sesuai dengan yang disukai sekarang. Nah, jika sudah
Dari Produksi sampai Distribusi Film
179
ketemu titik-tengah keluarlah skrip yang mantap. Nah, karena sudah ada pilihan sebelumnya, tinggal casting… sesudah oke, ya syuting, selanjutnya seperti biasa. Yang berat itu nego yang di awal ini‖
Beberapa kutipan wawancara di atas menyiratkan pentingnya
negosiasi di awal antara pembuat film (produser) dengan penulis skrip
untuk menuangkan ide cerita yang sudah ada, entah dari cerita asli atau
novel, kemudian tahap berikutnya adalah negosiasi antara produser
dengan sutradara, atau antara produser-sutradara-penulis skrip.
Menurut sebagian dari mereka yang telah diwawancarai di atas, tahap
pertama yang disebut development ini merupakan tahap yang penting,
karena seluruh pekerjaan produksi akan menentukan seperti apa film
yang akan dihasilkan. Ketika pihak produser-penulis skrip-sutradara
sudah sepakat, barulah sesi produksi dimulai dengan casting, mencari
pemain-pemain yang tepat, penata artistik (untuk menata fashion,
setting, dan sebagainya), kru yang menangani tata cahaya, sound system, dan sebagainya sampai syuting film tersebut selesai. Peran
seorang sutradara dalam mengkoordinir semua pekerjaan produksi
dengan timnya juga cukup krusial, sehingga produksi berjalan sesuai
harapan dan kesepakatan awal antara produser dan sutradara. Pada
setiap tahapan produksi, mulai dari development, kemudian negosiasi
awal antara produser-penulis skrip-sutradara, kemudian proses syuting
selama produksi bekerja sama dengan seluruh tim produksi, sampai
proses editing di laboratorium, menunjukkan peran seorang produser
(pembuat film) yang sangat besar. Ia adalah orang yang paling ber-
tanggung jawab atas film yang dihasilkan, sang produserlah yang paling
memantau seluruh tahap pembuatan film dari awal sampai akhir.
Ekshibisi di Layar Lebar
Setelah film selesai diproduksi, film akan didistribusikan
penyiarannya melalui layar lebar. Bioskop memegang peranan penting
dalam proses ekshibisi ini. Akan tetapi, mendistribusikan film ke
bioskop langsung tak semudah yang dibayangkan, jaringan bioskop di
Indonesia saat ini terbatas secara kepemilikan. Ada satu pemain besar,
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
180
yaitu Grup XXI dan dua pemain kecil, CGV Blitz dan Cinemaxx.
Waktu yang diberikan kepada pembuat film Indonesia untuk memutar
filmnya di salah satu bioskop XXI misalnya, dibatasi secara periode
hanya selama 3-4 hari saja. Jika dalam periode tersebut sebuah film
tidak banyak penontonnya atau bahkan tidak ada, maka film tersebut
tidak akan bertahan, harus segera turun dari layar.
Strategi Pemasaran
Ada beberapa cara memasarkan sebuah film yang telah selesai
diproduksi. Ada jalur yang mainstream seperti didistibusikan melalui
layar lebar di bioskop, ada juga jalur festival dengan cara mengikuti
premiere di luar negeri. Berikut ini adalah beberapa kutipan wawancara
dengan para movie-maker:
―Kalau dalam film komersial, malah tim penjualnya yang punya andil besar terhadap jenis film yang sebaiknya 'dipesan'. Kebalikannya dengan film-film yang lebih menekankan idealisme, seringkali produknya sebagai karya film sangat baik, tapi kurang berhasil dalam marketing dan distribusi. Mestinya sebuah karya film, bisa menggabungkan idealisme dan penyebarannya yang baik. Kalau tidak agak percuma ya,apa yang ingin kita sampaikan ke penonton gak sampe tanpa marketing dan distribusi yang baik. Dalam sebuah film independen, semua pekerjaan itu dilakukan oleh beberapa orang saja, bahkan kadang sendirian: dari menulis, menyutradarai, mengambil gambar, mengedit, hingga marketing dan distribusi‖ (Wawancara dengan Ariani, 7 Desember 2007).
Ada beberapa cara memasarkan sebuah film yang telah selesai
diproduksi. Ada jalur yang mainstream seperti didistibusikan melalui
layar lebar di bioskop, ada juga jalur festival dengan cara mengikuti
premiere di luar ini. Hal ini disampaikan Atid Sammaria sebagai
berikut:
―Biasanya ada dua jalur distribusi yang mainstream. Yang pertama memprioritaskan distribusi lewat bioskop karena di situlah pendapatan terbesarnya. Baru ke ancillary market (TV, DVD, VOD, dll).Yang kedua memprioritaskan jalur
Dari Produksi sampai Distribusi Film
181
festival, karena di sanalah mereka dapat bertemu dengan potential buyer dari luar negeri. Biasanya festival lebih memilih film yang world premiere, sehingga film yang sudah di-release di bioskop kesempatannya akan lebih kecil masuk ke festival besar ini. Saat ini toko untuk jualan film hanya ada satu yaitu Cinema 21. Ada dua toko kecil lainnya yaitu Cinemaxx dan Blitz, tapi jumlahnya tidak signifikan. Seperti halnya barang lain, kalau tokonya cuma ada satu, akan sangat kesulitan untuk jualan karena semua orang berebut jualan di sana‖
Sheila Timothy memiliki gagasan lain tentang distribusi dan
pemasaran. Dua filmnya yang pertama yaitu ―Pintu Terlarang‖ dan
―Modus Anomali‖ lebih diprioritaskan untuk didistribusikan ke luar
negeri sesudah mengikuti festival film di sana. Namun film Lala yang
ketiga yaitu ―Tabula Rasa‖ dikelola secara berbeda. Berikut adalah
kutipan wawancara dengan Lala tentang itu:
―kami memiliki inovasi marketing yang berbeda–beda untuk memasarkan ―Tabula Rasa‖ dari drama tentang makanan dari segmen yang bisa dibilang culture movie, art movie yang segmennya kecil-kecil. Saya nge-push gila–gilaan di kegiatan– kegiatan dari luar film. Semua potongan-potongan adegan makanan, saya koordinasi dengan orang–orang kuliner, saya bikin tour, travel ―Tabula Rasa‖ ke Padang. Film―Tabula Rasa‖ itu jaraknya 2009–2015 itu 5–6 tahun-an dari film sebelumnya ―Pintu Terlarang‖, mesti beda lagi medianya.Jarak dari 5 tahun itu aja inovasinya aja udah pakai inovasi digital. Udah beda tiap tahun. Kita harus berpikir kreatif terus.‖
Lala menganggap film seperti ―Tabula Rasa‖ memiliki
kemungkinan kecil untuk dipasarkan di Indonesia, karenanya ia
mencari jalur distribusi lain seperti channel Astro di Asean. Lala juga
menjelaskan bahwa perusahaannya mengharapkan pengembalian 10%
saja dari penjualan tiket di Indonesia, sisanya yang 90% harus dicari
dari sumber lain atau sponsor. Berikut adalah penjelasan Lala:
―Film ―Tabula Rasa‖ kemungkinan dijual di Indonesia kecil, kansnya kecil kita harus berpikir 10 persen dari Indonesia, dan 90 persen lagi dari mana. Tidak akan ter-cover dari bioskop. Harus buat inovasi. Sponsorship itu kan gak butuh
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
182
pengembalian modal, tapi harus bikin kegitan–kegiatan marketing. Seperti ―Tabula Rasa‖ ini kita dapat sponsor dari BNI, dapat uang dari BNI cash, tapi saya harus inovasi bikin marketing campaign tentang tabungan BNI. Terus kita tur ke sekolah–sekolah, kita bikin pelatihan film, BNI ini bisa berpromosi disitu. Akhirnya film ini berhasil kita jual ke ASEAN lewat Astro dan channel–channel lain seperti Garuda, Radio dan Home Video.‖
Angga Dwi Sasono, yang menjadi produser film ―Filosofi Kopi‖
memiliki cara yang berbeda dalam strategi pemasaran filmnya. Kafe
kopi yang diceritakan dalam film ―Filosofi Kopi‖ yang dibintangi Chico
Jericho, Rio Dewanto, dan Julie Estelle ini, akhirnya benar-benar
diwujudkan menjadi sebuah kafe yang dinamakan ―Filososfi Kopi‖ di
Jakarta. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Key dan Motulz
mengenai proses pemasaran film ―Filosofi Kopi‖ sebagai berikut:
―Iya, mereka itu yang setau gue sih menggaet produk-produk... kayak ―Filosofi Kopi‖ . Kafenya tuh jadi kafé beneran dan itu tuh di sponsori sama ―Torabika‖. Aneh kan, disponsori ―Torabika‖ sembari kopinya bukan ―Torabika‖. Menurut gue sih pendekatannya cukup kreatif, dan dia hanya muncul sebagai bus yang lewat..Iya promosi baru... mau gimana,passion si orang-orang muda ini kan udah sangat kreatif.‖ (Wawancara dengan Key, 3 Agustus 2015)
Penjelasan dari Joko Anwar14memberi perspektif yang berbeda
tentang bagaimana produksi sebuah film bisa berjalan dan proses
negosiasi yang terjadi di dalamnya. Ia baru saja merilis film ―A Copy of My Mind‖ bulan Februari 2016 yang lalu. Film tersebut adalah film
yang ia produseri sendiri bersama beberapa temannya.
14Joko Anwar adalah seorang sutradara dan penulis skenario. Sesudah kuliah di Teknik Penerbangan ITB, Joko memutuskan untuk menjadi wartawan di The Jakarta Post. Mulai masuk ke dunia film di tahun 2003, Joko Anwar sukses membuat skrip dan menyutradarai beberapa film seperti :‖Arisan‖ (2003), ―Janji Joni‖ (2005) dan mendapat penghargaan best story-telling dari SET milik Garin Nugroho. Tahun 2007 film ―Kala‖ yang disutradarai Joko mendapat penghargaan sebagai film terbaik versi majalah ―Sight and Sound‖ dari Inggris, Joko Anwar sendiri disebut sebagai salah satu sutradara tercerdas di Asia. Tahun 2014 Joko Anwar memulai debutnya sebagai produser dan membuat film layar lebar bersama kawan-kawannya yaitu ―A Copy of My Mind‖. Film tersebut berhasil masuk seleksi Venice Film Festival, Busan dan Roterdam Film Festival.
Dari Produksi sampai Distribusi Film
183
Berikut adalah penjelasan Joko Anwar mengenai proses
produksi dan pemasaran filmnya via twitter tanggal 5 Februari 2016:
―Setelah lama bekerja sama dengan Tia dan Uwie di proyek-proyek film dan iklan, kami bertiga pengen mandiri, punya PH sendiri. Berdirilah Lofiflicks. Setelah beberapa film pendek, kami pengen bikin film panjang. Masalahnya, duit nggak punya. Ide cerita banyak, tapi saya dan Tia serta Uwie milih yang bisa dikerjakan dengan bujet rendah.Kebetulan udah lama pengen bikin film romantis yang berlatar belakang hidup di Jakarta, Indonesia, dengan jujur. Project film ―A Copy of My Mind‖ pun dimulai di pertengahan 2014. Langkah pertama adalah mencari dana.‖
Joko Anwar dan tim kemudian mencoba mengikuti beberapa
festival film. Festival film, selain memutar film, juga mengadakan film market yaitu kegiatan jual beli film. Di film market ini, pembuat film
mencoba menjual film mereka lewat sales agent. Supaya tayang di
bioskop, DVD, dan lain-lain.
Selain film market yang berguna untuk jual-beli film, ada juga
yang namanya ―project market‖. Ini ajang untuk menjual film yang
belum jadi. Para film maker berusaha untuk cari dana buat bikin film
mereka berupa investasi, hadiah, pinjaman, sponsor, dsb. Berbeda
dengan film market yang siapa saja bisa bayar buat jualan, di project market, pesertanya disaring ketat. Salah satu project market yang
dikenal adalah Asian Project Market (APM) yang diadakan oleh Busan Film Festival.
Joko Anwar dan teman-temannya ikut serta dalam APM.
Mereka –sutradara, produser-- dapat tiket dan akomodasi ke project market, dan melakukan presentasi ke calon pemberi dana. Meeting all day. Selama tiga hari, mereka bisa meeting 15 kali dan bertemu dengan
orang (calon pemberi dana) yang berbeda-beda. Akhirnya, project ―A Copy of My Mind‖ menang award di APM, mendapat hadiah USD10
ribu.
Menurut Joko Anwar, pendanaan untuk membuat sebuah film
di Indonesia berkisar antara 2 M – 4,5 M untuk yang medium, dan bisa
lebih dari 50 bahkan 60 miliar untuk big project budget. Karena
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
184
minimnya dana yang dimiliki, hanya sekitar 150 juta rupiah, dari awal
Joko Anwar mendapat banyak bantuan, ada yang meminjamkan
kamera, ada yang memberi tambahan dana dan sebagainya.
Sumber: Diambil dari twitter Joko Anwar
Gambar 4.7.Joko Anwar Mendapat Award di APM, 2014
Proyek pembuatan film ―A Copy of Mind‖ (ACOMM) dimulai
pada bulan November 2014 dengan kru kecil, sekitar 20 orang. Syuting
dilaksanakan selama delapan hari, bergerilya di lokasi sudut-sudut
Jakarta yang asli. Banyak spot-spot romantis di Jakarta berhasil
didapatkan, dan bersyukur pemiliknya mau meminjamkan. Menurut
Joko lagi, para pemain ACOMM hebat-hebat dan berdedikasi. Mereka
selalu bergerak, kalau kecapekan bisa istirahat di mana saja. Kru bisa
rangkap-rangkap jabatan. Produser merangkap sopir, dan line-producer merangkap gantungan baju. Dengan peralatan seadanya para
kru bekerja keras dan mendapatkan hasil yang cukup maksimal.
Berikut adalah dokumentasi Joko Anwar selama pembuatan
film ACOMM:
Gambar 4.8.Proses Syuting Film ―A Copy of My Mind‖
Dari Produksi sampai Distribusi Film
185
Setelah syuting selama 8 hari, proses pasca produksi dimulai
Desember 2014, meliputi editing, color grading, musik, dan suara.
Menurut Joko,―A Copy of My Mind‖ adalah sebuah film yang sangat
natural dan realistis, oleh karenanya gambar dan suara harus natural.
Sekalipun syuting singkat, pengerjaan pasca produksi dilaksanakan
berbulan-bulan supaya hasilnya maksimal.
Promosi ACOMM dilakukan sendiri oleh Joko Anwar dan
teman-teman. Beruntung, Agustus 2015 mereka mendapat kabar
bahwa film ―A Copy of My Mind‖ lolos seleksi kompetisi di Venice Film Festival. Itu berguna untuk publikasi. Mereka pun diundang
untuk menghadiriVenice Film Festival. Ternyata sambutan pemirsa
pada saat pemutaran film ―A Copy of My Mind‖ di Venice luar biasa
hangat. Joko Anwar dan kawan-kawan sangat lega.
Berikut adalah dokumentasi di festival film Venice:
Gambar 4.9.Joko Anwar dkk. di Venice Film Festival, 2015
Gambar 4.10.Standing Applause dari Penonton di Venice Film Festival, 2015
(Keterangan: Gambar 4.9. - 4.10. diambil dari twitter Joko Anwar)
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
186
Setelah masuk seleksi di Venice, film ―A Copy of My Mind‖
juga masuk seleksi di Busan dan Rotterdam Film Festival. Tidak
berhenti sampai di situ, Joko Anwar juga terlibat dalam pembuatan
film ―Halfworlds‖ sebuah serial yang ditayangkan di chanel HBO Asia.
Seperti dikutip dalam wawancara dengan ―detik dot com‖, Joko Anwar
mengatakan dirinya sudah lama ingin membuat serial TV. Kebetulan
ada yang menawarkan yaitu channel HBO. ―Halfworlds‖ adalah film
seri dengan genre dark-thriller, bercerita tentang seniman jalanan
muda yang mengungkap jati diri sebenarnya ketika tanpa sadar
terjebak dalam pertempuran antara manusia dan setan. Cerita yang
berlatar di Jakarta masa sekarang ini dibalut kisah cinta, balas dendam
dan pengkhianatan.
Serial ―Halfworlds‖ ditulis Joko Anwar bersama dengan Collin
Chang, dan dibintangi bersama antara aktor Indonesia, Singapura, dan
Malaysia. Nama-nama yang sudah tidak asing yaitu Salvita Decorte,
Arifin Putra, Reza Rahadian, Aimee Saras, Adinia Wirasti, Hannah Al-
Rashid, Tara Basro, Alex Abbad, Ario Bayu dan Verdi Solaiman
bermain di serial itu. Dari Singapura ada Nathan Hartono dan Bront
Palarae serta Puteri Balqis dari Malaysia (http://hot.detik.com
/movie/read, diunduh tanggal 18 November 2015).
Masalah Distribusi
Seperti telah dikemukakan oleh beberapa film maker,
mendistribusikan film sebagai hasil produksi sebuah tim (yang
sebenarnya juga tidak mudah dilakukan) adalah tanggung jawab
produser juga. Peran distributor telah lama hilang dalam industri
perfilman Indonesia, tepatnya sejak Orde Baru ketika ―Grup XXI‖
mulai berdiri dan beroperasi sebagai satu-satunya ekshibitor. Untuk itu,
penulis telah menghadiri sebuah diskusi tentang film yaitu ―The Art of Film Marketing‖ di Jakarta pada tanggal 18 November 2015, atas
undangan dari Shelia Timothy. Di sana penulis berkesempatan bertemu
langsung dan mewawancarai Ibu Catherine Keng sebagai Secretary
Dari Produksi sampai Distribusi Film
187
Officer dari ―Grup XXI‖, dan Ibu Dian Sunardi sebagai Chief Marketing
dari ―Grup Blitz Cineplex‖.
Penulis melakukan konfirmasi tentang masa tayang sebuah film
di bioskop dan sempat bertanya perolehan jumlah penonton.
Sayangnya, pertanyaan kedua tidak dijawab secara langsung dan
terbuka, penulis mendapatkan gambaran umumnya saja.
Hasil wawancara dengan Ibu Catherine Keng, dan Ibu Dian
Sunardi dari Blitz Cineplex, menunjukkan bahwa film asing memang
masih mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia berhubung lebih
laku sehingga lebih mendatangkan keuntungan. Film Indonesia
dianggap belum menjanjikan dan terlalu segmented, tidak seperti film
asing. Berikut adalah pendapat Catherine Keng tentang dua film
Indonesia yang box office selama kurun lima tahun terakhir, seperti
dikutip di bawah ini:
―Programming adalah jantung dari bioskop. Seleksi awal diputar/tidaknya sebuah film adalah berdasarkan kriteria sbb: (i) apakah film tsb merupakan mass-market product? Atau (ii) art-house product? atau (iii) untuk wilayah tertentu saja? Tidak setiap film harus diputar di banyak layar. Selain lihat trailer, bioskop juga akan lihat teaser dan portofolio pembuat film. Waktu untuk melihat animo penonton hanya 1-3 hari. Fim Indonesia itu sangat segmented, tidak seperti film asing, sangat universal. Dengan demikian film Indonesia pangsa pasarnya tertentu, tidak bisa dipasarkan di semua layar. Contoh, film ―Bombe‖ sangat laku di Makasar XXI bisa tahan 2,5 bulan tapi tidak di tempat lain. Jumlah penonton tertinggi adalah untuk film ―Habibie-Ainun‖ yaitu sebanyak 4,8 juta orang di tahun 2012, hampir sama dengan ―Laskar Pelangi‖ sekitar 4 juta penonton di tahun 2008, dengan jumlah layar yang berbeda‖ (Keng, C., 18 November 2015).
―Grup XXI‖ memiliki 853 layar di 152 lokasi. Promosi mereka
di mobile-site mendatangkan visitor dua kali lipat website. Promosi
film lebih efektif di bioskop daripada di you tube. Di hari film nasional,
―Grup XXI‖ melakukan promosi dengan cara menayangkan ulang film-
film pilihan dengan potongan harga tiket 50%. Pada saat Festival Film
Indonesia akan tayang-ulang film-film Indonesia berkualitas di kota-
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
188
kota yang belum ada bioskopnya, contohnya: di Purwakarta diputar
film ―Negeri 5 Menara‖, di Sukabumi film ―99 Cahaya di Langit Eropa‖,
di Cianjur ―Comic 8‖ dan di Serang. Di bioskop balai kota diputar film
―Si Jago Merah‖, ―Get Married‖, ―Bajaj Bajuri The Movie‖, dan ―Get
Married 2‖.
Ibu Dian Sunardi, Chief Marketing Blitz Cineplex, menyatakan
bahwa film programming memegang peranan penting. CGV Blitz tidak
punya dana dari sponsor seperti Multivision –yang langganan pasang
iklan di XXI—untuk promosi, sehingga Blitz harus lebih kreatif dalam
memasarkan produknya. Dengan begitu, sebenarnya CGV Blitz juga
tidak terikat mempromosikan satu jenis film-film hasil produksi
produser (PH) tertentu, sehingga penonton diberi alternatif tontonan
lebih banyak. Cara berpromosi yang selama ini ditempuh adalah
dengan dibuatnya loyalty member yaitu perolehan poin untuk
penonton yang setia menonton di Blitz. Selain itu juga dilakukan
survey tentang lokasi outlet-outlet CGV dan tipe konsumen.
Di tempat yang sama, hadir juga ketua BEKRAF yaitu Bapak
Triawan Munaf yang memberi kata sambutan. Namun sayang sekali
beliau hanya hadir sebentar, lantas pergi di sesi berikutnya ke
tempat/undangan lain, penulis belum berkesempatan mewawan-
carainya hingga saat ini. Ada asisten/deputi beliau, yaitu Bapak Boy,
yang mencoba menjawab pertanyaan tentang kebijakan pemerintah
yang penulis ajukan. Dalam sambutannya, Bapak Triawan Munaf
mengungkapkan bahwa pemasaran sebuah film merupakan aspek yang
penting. Beliau juga mengatakan bahwa:
―Pemasaran film Indonesia sama pentingnya dengan film Indonesia itu sendiri. Dulu promosi dianggap sebagai tambahan, padahal biaya promo bisa mencapai 4 kali lipat dari biaya produksi film ybs. Di era sosial-media sekarang ini, kita harus pintar memanfaatkan ‗new media‘. Tren penurunan penonton film nasional tidak kita inginkan, penting untuk tahu selera penonton di masa depan. Teknologi bergerak eksponensial. Kita harus bergerak lebih cepat, dan tetap jujur‖ (Munaf, T., 18 November 2015).
Dari Produksi sampai Distribusi Film
189
Menurut Bapak Boy, Deputi Riset dan Pengembangan
BEKRAF, film dianggap punya kontribusi walaupun secara statistik
kontribusinya baru 1,3%. Sub sektor lain seperti fashion dan kuliner
memberikan kontribusi lebih besar yaitu kuliner 32,4% dan fashion
24%. Pada disksui tersebut sempat dibahas bahwa angka 1,3% memang
baru perkiraan, belum melihat dampak perfilman sebagai industri
lokomotif yang membawa industri-industri yang lain seperti tourism,
fashion, dan kuliner. BEKRAF saat ini belum memiliki strategi tentang
perfilman karena masih baru bekerja, baru memetakan sektor industri
kreatif di Indonesia. Bapak Boy mengatakan untuk jangka pendek,
BEKRAF ingin membuat sistem informasi dulu, membangun data base
dan pusat-pusat inkubator unggulan. Dengan demikian, pertanyaan
lebih lanjut tentang sikap pemerintah terhadap industri perfilman
Indonesia saat ini belum bisa dijawab.
Paparan demi paparan di atas mengindikasikan adanya masalah
dalam distribusi dan pemasaran film Indonesia. Peran distributor yang
sebelumnya menghubungkan antara produser dan ekshibisi yang dulu
pernah ada sekarang sudah hilang. Menurut beberapa movie-maker,
masalah ini menyebabkan tingginya biaya promosi karena persaingan
tidak sehat (film asing membanjiri Indonesia dan mendominasi)
sehingga film-film Indonesia harus ekstra berpromosi dan
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa melebihi biaya
produksi film itu sendiri. Pemain lama yang mendominasi adalah
―XXI‖, sedangkan pemain baru yaitu ―Blitz‖ dan ―Cinemaxx‖ masih
sangat terbatas layarnya. Dengan demikian, kesempatan untuk
mendistribusikan film di bioskop (layar lebar) masih sangat terbatas.
Masalah-masalah tentang dominasi film asing di layar lebar
(bioskop) dan bagaimana penonton selama ini dibiasakan menonton
film gaya Hollywood, serta terbatasnya jumlah layar dan bioskop
diutarakan beberapa movie-maker sebagai berikut:
―Kita ini di 2014 hanya punya 942 layar. Dibandingin sama penduduk Thailand yang jumlah penduduknya hanya 10 persen dari Indonesia, jumlah layarnya sama. Jadi akses ke bioskop juga kurang. Dan bioskop itu hanya ada di kelas A dan B yang maunya nonton level Hollywood. Kelas C dan D
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
190
ngga bisa, Ide yang seharusnya market-nya Indonesia jadi gak kegarap, karena gak ada bioskopnya. Ini persentase sebaran bioskop 80 persennya di Jawa. Jadi yah wallahualam yang di luar Jawa.‖ (Timothy, S., 24 Agustus 2015).
Apa yang diutarakan Lala tersebut, ditegaskan ulang oleh Atid
dan Motulz. Terbatasnya bioskop di Indonesia dan dominasi para
pengusaha bioskop menjadi salah satu kendala para film maker mendistribusikan hasil karyanya.
―Saat ini toko untuk jualan film hanya ada satu, ―Cinema XXI‖. Ada dua toko kecil lainnya. yaitu ―Cinemaxx‖ dan ―Blitz‖, tapi jumlahnya tidak signifikan. Seperti halnya barang lain, kalau tokonya cuma ada satu, akan sangat kesulitan untuk jualan karena semua orang berebut jualan di sana.‖ (Simanjuntak, S., 10 Agustus 2015)
―Masalah dalam film Indonesia, menurut saya, adalah sejak monopoli bioskop. Karena menurut saya gini, ibaratnya TV punya program terus di-rating, kalo rating-nya anjlok program tsb ditarik. Sama juga kayak bioskop. Nanti pemiliknya bilang: sorry nih slot saya antre, film anda harus tunggu dulu, Kalo dalam hitungan minggu/hari filmnya tidak laku, sorry to say, film tsb harus ditarik. Akhirnya, film yang katakanlah berkualitas akan kalah dengan film yang ringan ditonton.‖ (Motulz, 3 Agustus 2015).
Jika Lala dan Motulz mempermasalahkan tentang jumlah
bioskop dan masa tayang yang terbatas atau dibatasi, karena slot yang
selalu antre, maka Key menyoroti masalah lain. Key lebih melihat
―gambling‖-nya para pembuat film, karena biaya produksi yang begitu
besar tidak diimbangi dengan masa tayang yang cukup lama di bioskop.
Hal ini diungkapkan Key sebagai berikut:
―memang ―XXI‖ itu pada dasarnya berbisnis, tidak mau rugi. Sebenernya bisa kehitung sih dari jumlah penontoh dan kualitas si filmnya itu, keliatan kan ya dari garapan film. Misalnya kaya ―Supernova‖, wah ngeliat dari set yang katanya nyewanya berapa M kan…ya, lihat pemasukannya rugi. Untuk para produser India mereka itu udah teruji gitu loh..5 film kita rugi tapi oke karena mereka punya sinetron juga‖ (Key, 3 Agustus 2015)
Dari Produksi sampai Distribusi Film
191
Mengenai perbedaan antara menyiarkan film di televisi
dengan di bioskop (layar lebar) dijelaskan Bapak Parwez seperti di
bawah ini. Apa yang beliau jelaskan sekaligus mengkonfirmasi apa
yang dikatakan Key sebelumnya. Menurut Bapak Parwez perlu ada
semacam perimbangan resiko dalam mengatur bisnis perfilman.
―Bisnis program televisi sudah terukur resikonya, karena ada jual-beli program secara tuntas dan program tersebut menjadi milik stasiun TV sepenuhnya. Artinya, selama kita bisa mengatur budget, ada keuntungannya. Film bioskop lebih sulit diprediksi, bisa berhasil/sukses bisa gagal. Tapi pola jual film apabila dibeli stasiun TV hanya right TV saja.‖ (Parwez, C., 19 Oktober 2015)
Protes para movie-maker ditampik oleh Ibu Catherine Keng,
corporate-secretary ―Grup XXI‖. Dikatakan bahwa tiap minggu rata-
rata ada dua judul baru film Indonesia yang tayang di ―Cinema
XXI/21‖, kadang-kadang bisa tiga judul per minggu. Jika satu bioskop
memiliki 4 studio maka 2 studio akan memutar film Indonesia dan 2
studio lain memutar film asing. Setiap film Indonesia yang ditayangkan
di ―XXI‖ diberi jatah satu minggu untuk diputar. Selama empat hari
pertama akan dilihat kecenderungan penontonnya, apakah naik atau
turun. Jika naik ditambah layar, jika turun layar dikurangi. Pada awal
penayangan, film Indonesia biasanya mendapatkan jatah 20 layar, 60
layar, bahkan bisa 100 layar, tergantung target dari produser atau
prediksi jumlah penontonnya (CNN Indonesia, diunduh 7 Maret 2016).
Kategorisasi Temuan
Hasil wawancara yang mencakup proses produksi film
Indonesia sampai proses distribusi dan ekshibisinya oleh para pembuat
film,telah diberikan pengkodean (coding) lalu dimasukkan ke dalam
judul kategori masing-masing serta dianalisis. Hasislnya dirangkum
pada Tabel 4.1.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
192
Tab
el 4
.1. K
ateg
oris
asi
Tem
uan
-tem
uan
Pro
ses
Pro
du
ksi
sam
pai
Dis
trib
usi
Fil
m I
nd
ones
ia
Dari Produksi sampai Distribusi Film
193
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
194
Dari Produksi sampai Distribusi Film
195
Interpretasi Atas Kategorisasi Temuan
Penulis kembali melakukan interpretasi atas kategorisasi
temuan-temuan seperti tampak di Tabel 4.1 dan menemukan beberapa
interpretasi atau pemaknaan diantaranya:
Interpretasi pertama, penulis dapatkan dari wawancara
langsung dengan Lala Timothy, twitter milik Mira Lesmana dan Riri
Riza, serta obrolan dengan Bapak Chand Parwez melalui whatsapp
tentang proses produksi film-film mereka. Penulis menemukan cara-
cara mengelola proses produksi yang sejalan di antara ketiga
narasumber. Mereka sama-sama memiliki pola kerja yang terorganisir
dengan baik (well-managed). Jika Lala, Mira dan Riri sudah terbiasa
dengan riset yang memadai dan diskusi yang panjang dengan penulis
skrip dan sutradara sebelum proses syuting dilaksanakan (ada proses
eksplorasi dan elaborasi ide-ide kreatif di sana); maka rumah produksi
―Starvision‖ milik Bapak Chand juga sudah memiliki pola kerja yang
pasti dan terencana. Bapak Chand memiliki jaringan dengan para
penulis yang berbakat, demikian juga dengan sutradara dan artis-artis
terkenal di periodenya. Selain itu, Bapak Chand memiliki kerja sama
promosi dengan ―Grup XXI‖ selama puluhan tahun. Penulis melihat
adanya ―order‖, tatanan-tatanan kerja yang baik di dalam organisasi
proses pembuatan film, meskipun kreativitas pembuatannya sendiri
bersifat ―liar‖ dan impulsif. Ada kalanya film-film yang dihasilkan
mendapat apresiasi yang tinggi dari para penonton, namun ada pula
yang tidak mendapatkan apresiasi yang cukup. Dengan kata lain, film
yang mereka buat bisa gagal atau tidak laku di pasaran. Ini adalah
paradoks yang pertama.
Interpretasi kedua, penulis peroleh dari kategorisasi temuan-
temuan berdasarkan wawancara langsung dengan Joko Anwar, Atid
Samaria, dan Ifa Isfansyah. Penulis memperoleh beberapa pemaknaan
tentang cara kerja dalam organisasi pembuatan film yang cenderung
lebih ―cair‖ dan fleksibel. Mereka menyatakan bahwa proses produksi
bisa berubah-ubah langsung di lapangan jika ada kendala atau
hambatan. Misalnya jika pendanaan kurang, maka syuting akan
dilaksanakan sesuai anggaran yang ada. Hal tersebut bisa berdampak
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
196
pada kreativitas pemilihan lokasi syuting –seperti diceritakan oleh Joko
Anwar, pemilihan pemain dari rekan-rekan atau saudara (bahkan ibu
sendiri –seperti yang diceritakan oleh Atid), serta berbagai perubahan
cara penceritaan di dalam proses pembuatan film ―Siti‖ termasuk
konseptualisasi ide cerita di awal, pemilihan aktor dan aktris yang
belum terkenal, serta produksi film secara hitam-putih karena
keterbatasan anggaran –seperti yang diceritakan oleh Ifa Isfansyah.
Pada mekanisme kerja di organisasi/tim seperti itu, penulis melihat
bahwa kreativitas yang bersifat impulsif tidak harus direncanakan atau
dikelola dengan betul-betul matang; namun tetap dibiarkan lentur.
Organisasi seperti ini lebih lentur dan negosiasi berjalan terus sampai
ke akhir proses produksi. Anggaran menjadi suatu keterbatasan,
sehingga hasil akhir secara sinematografi tidak harus memiliki target
sebagaimana film-film yang ―well-managed‖. Keputusan tidak diambil
mayoritas oleh produser melainkan kesepakatan bersama oleh tim
kerja (organisasi). Inipun menjadi sebuah paradoks karena hasil akhir
berupa apresiasi penonton, bisa sangat berbeda dari yang diharapkan.
Ini adalah paradoks yang kedua.
Interpretasi ketiga penulis dapatkan dari kategorisasi temuan
berdasarkan wawancara dengan wakil dari pengusaha bioskop, yakni
Ibu Catherine Keng dan Ibu Dian Soemardi. Penulis mendapatkan
interpretasi tentang posisi pengusaha bioskop sebagai ekshibitor yang
cukup kuat dan punya power. Penulis melihat bagaimana bioskop
sebagai layar lebar punya wewenang menetapkan mana film-film yang
masih boleh diputar di bioskop mereka, dan mana yang harus segera
turun dari layar lebar. Penulis berpendapat, penetapan pembagian
keuntungan 50:50 atas hasil penjualan tiket merupakan pemaknaan
yang sama dari posisi pengusaha bioskop saat ini. Dominasi mereka di
penghujung proses pembuatan sebuah film menjadi sangat besar dan
menentukan. Ini adalah paradoks ketiga.
Interpretasi keempat dan yang terakhir penulis peroleh melalui
kategorisasi temuan berdasarkan wawancara dengan wakil pemerintah,
dalam hal ini Bapak Boy (karena tidak atau belum ada staf lain yang
berhasil diwawancarai). Bagi penulis, peran pemerintah saat ini masih
belum banyak berubah dari yang lalu, pemerintah masih terkesan
Dari Produksi sampai Distribusi Film
197
sebagai the outsider. Pemerintah tidak banyak ikut ambil bagian atau
kurang berperan dalam perkembangan industri film Indonesia.
Undang-undang perfilman memang sudah diperbaharui ke UU tentang
Film Indonesia yaitu UU Nomor 33 Tahun 2009, akan tetapi
pelaksanaannya belum berubah. Film asing masih tetap mendominasi
layar lebar film di tanah air.Ini paradoks yang keempat dan kelima.
Keseluruhan interpretasi dan pemaknaan tersebut memberi
gambaran kepada penulis tentang adanya situasi paradoksal di sana-
sini. Penulis mendapatkan itu ketika membandingkan hasil wawancara
Lala Timothy dan Mira Lesmana serta Riri Riza, dengan hasil
wawancara terhadap Bapak Chand. Bagaimana apresiasi penonton atas
organisasi pembuatan sebuah film sebagai eksplorasi dan elaborasi ide-
ide kreatif dan didukung dengan riset yang memadai, tidak lantas
berjalan beriringan dengan hasil akhir yaitu apresiasi penonton. Ada
chaos dan order berjalan beriringan. Hal yang sama terjadi ketika
penulis membandingkan proses produksi yang terorganisir dengan baik
(penulis menyebutnya ―well-managed‖) dengan proses produksi yang
lebih lentur dan fleksibel, hal tersebut juga memperlihatkan bagaimana
chaos dan order berjalan beriringan dalam industri perfilman
Indonesia.
Kategorisasi temuan lain yang membuat penulis semakin yakin
bahwa situasi paradoksal dan dilematis memang betul-betul terjadi,
adalah ketika membandingkan kategorisasi temuan dari wakil
pengusaha bioskop dengan wakil pemerintah. Penulis mendapatkan
interpretasi bahwa peran masing-masing sangat bertolak belakang,
peran yang satu begitu dominan menentukan film-film yang layak
diputar dan bertahan di layar lebar (sekalipun tidak berperan sebagai
regulator), dan peran yang lain sebagai regulator namun belum berbuat
banyak (sekalipun Undang-undang sudah ada) terhadap perkembangan
perfilman di Indonesia. Peran pemerintah sebagai regulator, masih
tetap sama, belum menunjukkan peran yang signifikan.