47
BAB IV PROSES MIGRASI-KOLONISASI MANUSIA DI MALUKU UTARA A. INTEPRETASI MIGRASI-KOLONISASI NON-AUSTRONESIA DI MALUKU UTARA Dalam penelitian ini perihal migrasi-kolonisasi komunitas Non- Austronesia merupakan salah satu fokus utama permasalahannya, karena hal tersebut berkaitan dalam rekonstruksi penghunian Situs Ceruk Uattamdi. Oleh karena itu, dalam bagian ini juga akan dibahas mengenai migrasi-kolonisasi tersebut. 1. Awal Penghunian Maluku Utara Bukti awal kehadiran manusia di Maluku Utara sampai saat ini terdapat di situs Golo, Pulau Gebe sejak 32.000 BP. Pada masa sebelumnya, penghunian Daratan Sahul telah dimulai setidaknya sejak 40.000 BP berdasarkan temuan kapak berpinggang (waisted axe) pada teras koral yang terangkat di Semenanjung Huon. 1 Nampaknya, sampai saat ini data arkeologi yang tersedia mengisyaratkan bahwa penghunian Daratan Sahul terjadi sejak masa yang lebih tua dari pada penghunian kepulauan Maluku Utara. Namun, hipotesis ini masih perlu 1 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, “Human Pleistosen Adaptations in the Tropical Island Pacific: recent evidence from New Ireland, a Greater Australian outlier”, Antiquity 63 (1989), hlm. 548.

BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

BAB IV

PROSES MIGRASI-KOLONISASI MANUSIA

DI MALUKU UTARA

A. INTEPRETASI MIGRASI-KOLONISASI NON-AUSTRONESIA

DI MALUKU UTARA

Dalam penelitian ini perihal migrasi-kolonisasi komunitas Non-

Austronesia merupakan salah satu fokus utama permasalahannya, karena hal

tersebut berkaitan dalam rekonstruksi penghunian Situs Ceruk Uattamdi. Oleh

karena itu, dalam bagian ini juga akan dibahas mengenai migrasi-kolonisasi

tersebut.

1. Awal Penghunian Maluku Utara

Bukti awal kehadiran manusia di Maluku Utara sampai saat ini terdapat di

situs Golo, Pulau Gebe sejak 32.000 BP. Pada masa sebelumnya, penghunian

Daratan Sahul telah dimulai setidaknya sejak 40.000 BP berdasarkan temuan

kapak berpinggang (waisted axe) pada teras koral yang terangkat di Semenanjung

Huon.1 Nampaknya, sampai saat ini data arkeologi yang tersedia mengisyaratkan

bahwa penghunian Daratan Sahul terjadi sejak masa yang lebih tua dari pada

penghunian kepulauan Maluku Utara. Namun, hipotesis ini masih perlu

1 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, “Human Pleistosen

Adaptations in the Tropical Island Pacific: recent evidence from New Ireland, a Greater Australian outlier”, Antiquity 63 (1989), hlm. 548.

Page 2: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

111

pembuktian lebih jauh, karena kedua pertanggalan yang dihasilkan oleh kedua

situs tersebut diperoleh dari metode yang berbeda. Sampai saat ini, model yang

masih relevan digunakan untuk menguji data dengan berbagai pendekatan adalah

model yang diajukan Birdsell. Di sini tidak akan dibahas mengenai apa, kapan,

mengapa dan bagaimana manusia manusia dapat mencapai Daratan Sahul,

pembahasan mendetail mengenai hal tersebut sudah banyak dibicarakan oleh

berbagai ahli dengan berbagai pendekatan.2 Dengan memperhitungkan data

arkeologi dan kondisi lingkungan, kemungkinan besar manusia sampai di Daratan

Sahul lewat jalur selatan seperti yang diajukan oleh Birdsell.

Sumber: J.B. Birdsell, 1977

2 Lihat: Daud Aris Tanudirjo (1991 dan 2000), “Proses Awal Penghunian

Paparan Sahul Utara dan Kepulauan Melanesia” dan “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The Models and the Data”, untuk pembahasan mengenai berbagai model yang telah diajukan oleh berbagai ahli dengan berbagai pendekatan yang berbeda.

Peta 4.1. Jalur migrasi menuju Daratan Sahul, seperti yang disarankan oleh Birdsell, 1977

Page 3: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

112

Menurut Butlin3 jalur selatan dari Timor menuju Australia lebih

memungkinkan dari pada jalur utara dari Borneo menuju Nugini. Menurut beliau,

pertama karena jarak jalur selatan lebih pendek dari pada jalur utara. Kedua,

fluktuasi ketinggian muka air laut yang disebabkan oleh proses glasial-

interglasialisasi tidak menyebabkan perubahan bentuk lahan dan garis pantai

kepulauan di jalur utara tetapi tidak demikian dengan jalur selatan. Ketiga, banyak

pulau dan daratan yang muncul pada Paparan Sahul bagian selatan akibat proses

fluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju

Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat,

konfigurasi kepulauan pada jalur utara yang relatif menyebar meyulitkan untuk

diakses. Kelima, jalur utara lebih beresiko dari pada jalur selatan.

Sedangkan menurut Bellwood,4 pada jalur utara manusia akan berhadapan

dengan hutan hujan tropis di Borneo tetapi berhadapan dengan hutan tropis

musiman di Sulawesi. Di lain pihak dari Jawa bagian timur hingga Kepulauan

Sunda Kecil manusia akan berhadapan dengan iklim yang relatif seragam yaitu

hutan tropis musiman. Pada kondisi seperti ini, dari sudut pandang adaptasi

budaya, maka jalur utara akan lebih membahayakan dan beresiko lebih besar dari

pada jalur selatan.

3 Periksa: N.G. Butlin, “The Palaeoeconomic History of Aboriginal

Migration”, hlm 3-57. 4 Dalam Daud Aris Tanudirjo, op.cit., (2000), hlm. 181.

Page 4: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

113

Pada Kala Pleistosen Akhir, manusia yang menghuni kepulauan Indonesia

timur bagian utara adalah populasi Wajak-like.5 Ciri kelompok manusia tersebut

mendekati ciri rasial yang dimiliki oleh populasi Australo-Melanesid. Ciri yang

memiliki hubungan dekat dengan komunitas Papua yang masih bertahan di

Melanesia hingga saat ini. Kemungkinan besar, rangka dari Golo (7500 BP)6 juga

mengandung unsur rasial tersebut. Menurut Voorhoeve, berdasarkan data

lingistik, bahasa-bahasa Halmahera Utara yang saat ini masih berkembang

termasuk dalam Phylum Papua Barat.7 Walaupun demikian bahasa-bahasa

tersebut telah memiliki tingkat diversitas yang tinggi dengan bahasa Papua dari

daerah Kepala Burung, sehingga metode linguistik tidak dapat menjangkau masa

penyebaran bahasa tersebut dari daerah asalnya.

Menurut Bellwood8 para penjelajah lautan yang paling awal di Pasifik

bagian barat membuat alat-alat serpih seperti yang ada di situs-situs sejaman di

Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat hubungan secara kultural

antara kedua kawasan tersebut. Adanya translokasi wallabi (Dorcopsis muelleri

mysoliae) yang merupakan hewan asli Daratan Sahul pada situs-situs di

5 Daud Aris Tanudirjo, “Recent Archaeological Research in Northeastern

Indonesia”, makalah disampaikan dalam IPPA Congres, Melaka, 1998, hal. 9. 6 Hannibal Hutagalung, “Pemanfaatan Situs Gua Golo, Pulau Gebe

(Maluku) Sebagai Hunian Kala Pleistosen Akhir-Holosen”, Skripsi Sarjana, (Yogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1999), hlm. 68.

7 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 221.

8 Peter Bellwood, Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 278.

Page 5: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

114

Kepulauan Maluku Utara oleh manusia mengindikasikan bahwa, komunitas Non-

Austronesia berasal dari Daratan Sahul. Berdasarkan beberapa hal tersebut dapat

ditarik hipotesis bahwa, komunitas Non-Austronesia yang mengkoloni Maluku

Utara datang dari Daratan Sahul setidaknya sejak 32.000 BP.

2. Faktor Penyebab Migrasi

Berdasarkan data arkeologi dapat diketahui bahwa, struktur masyarakat

Non-Austronesia yang ada di kawasan Maluku Utara merupakan masyarakat

pemburu-pengumpul yang menggantungkan hidupnya dari kemampuan daya

dukung sumberdaya lingkungan. Dalam struktur masyarakat pemburu-pengumpul

proses migrasi sangat dipengaruhi oleh pola cakupan situs dan kemampuan alami

yang dimiliki oleh masyarakat tersebut, yang disebut autocatalysis. Pola cakupan

situs membuka peluang bagi penjelajahan kawasan-kawasan baru oleh masyarakat

pemburu-pengumpul yang dikenal memiliki kemampuan mobilitas tinggi. Selain

faktor lingkungan, dalam konteks subsistensi pemburu-peramu, proses migrasi-

kolonisasi juga dipengaruhi oleh manusia itu sendiri sebagai pembuat keputusan.

Dalam proses pengambilan keputusan terdapat dua variabel, yaitu biaya (cost) dan

keuntungan (benefit).9 Biaya adalah sesuatu yang harus dikeluarkan untuk

mencapai target, sedangkan keuntungan adalah sesuatu yang diperoleh setelah

mencapai target.

9 Periksa: Daud Aris Tanudirjo, “Proses Awal Penghunian Paparan Sahul

Utara dan Kepulauan Melanesia”, makalah dalam Kongres IAAI, (Tidak dipublikasikan, 1991), hlm. 4.

Page 6: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

115

Beberapa kemungkinan tersebut mungkin juga merupakan faktor penyebab

terjadinya perpindahan manusia dan penghunian awal Maluku Utara, yang terjadi

pada kala Plestosen Akhir. Pada masa tersebut kondisi iklim global masih belum

stabil sehingga mengakibatkan terjadinya proses glasial-interglasialisasi. Proses

tersebut menyebabkan perubahan lingkungan yang merupakan relung ekologi

tempat tinggal manusia. Pada situasi ini manusia akan dihadapkan oleh dua

pilihan yaitu tetap tinggal dengan menyusun sistem budayanya agar dapat survive

atau pindah ke tempat lain yang lingkungan alamnya dapat mencukupi kebutuhan

hidupnya. Mungkin sebagian dari kelompok manusia pada masa lampau yang

dihadapkan pada situasi tersebut, ada yang memilih untuk pergi ke tempat lain

sehingga menyebabkan terjadinya migrasi. Selain faktor yang bersifat materi,

proses migrasi juga disebabkan oleh faktor non-materi. Keterbatasan data

menyebabkan penelitian ini belum dapat mengungkapkan faktor non-materi

tersebut.

3. Proses Migrasi

Menurut MacArthur dan Wilson10, aspek lingkungan yang berpengaruh

dalam proses kolonisasi di daerah kepulauan adalah: jarak antar pulau, konfigurasi

bentang lahan dan luas area. Berdasarkan sudut pandang georafisnya, kepulauan

Maluku Utara memang letaknya sangat berdekatan dengan Daratan Sahul, maka

tidak mengherankan jika kawasan ini menjadi target kolonisasi komunitas

10 Teori tersebut dikutip oleh William F. Keegan dan Jared M. Diamond

dalam tulisannya “Colonization of Island by human: A Biogeographical Perspective”, Advances in Archaeological Method and Theory, No. 10, (1987), hlm. 49-92.

Page 7: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

116

Australo-Melanesid dari Daratan Sahul. Dari Waigeo (Daratan Sahul) menuju

Gebe hanya berjarak 26 km, dan dari Gebe menuju Halmahera hanya berjarak 30

km.11 Selain Misool dan Waigeo yang bergabung dengan Daratan Sahul, Morotai

dan Bacan juga bergabung dengan Halmahera pada masa Glasial. Menurut

Tanudirjo12, Situs-situs Kala Plestosen akhir di Paparan Sahul Utara dan

Kepulauan Melanesia, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu situs-situs

pesisir dan situs-situs dataran tinggi. Kemungkinan besar proses migrasi menuju

kepulauan Maluku Utara dilakukan oleh kelompok sempalan dari komunitas situs

pesisir tersebut, karena secara kultural mereka sudah terbiasa beradaptasi dengan

lingkungan pantai.

Pada kasus kolonisasi di Maluku Utara, juga terjadi penghunian pulau-

pulau yang sumberdaya alamnya terbatas, seperti Gebe, Morotai dan Kayoa.

Kemungkinan besar pulau tersebut dihuni justru karena memiliki pulau

pendukung yang besar dan sumberdaya alamnya mencukupi, seperti Pulau

Halmahera.13 Mungkin hal tersebut juga yang menjadi salah satu faktor terjadinya

translokasi hewan dan pelayaran antar pulau di kawasan Maluku Utara jauh

sebelum kedatangan orang Austronesia.

Konfigurasi kepulauan di Maluku Utara, antara pulau yang satu dengan

yang lain dalam jarak tertentu dapat saling terlihat dan mudah dicapai hanya

11 J.B. Birdsell, “Recalibration of a Paradigm for the First peopling of

Greater Australia”, dalam J. Allen, J. Golson, dan R. Jones ed., Sunda and Sahul: Prehistoric Studies in South-East Asia, Melanesia and Australia, (London: Academic Press, 1977), hal. 124.

12 Daud Aris Tanudirjo, op.cit., hlm. 6. 13 Periksa: William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm. 59.

Page 8: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

117

dengan bersampan. Bentuk konfigurasi Maluku Utara yang berkepulauan

menyebabkan proses migrasi terjadi dari pulau yang satu ke pulau yang lain

secara berurutan.

Berdasarkan data yang tersedia hingga saat ini dapat diintepretasikan

bahwa ada tiga tahap migrasi yang dilakukan oleh komunitas Non-Austronesia di

Maluku Utara.14 Pada tahap pertama, migrasi dilakukan dari Salawati (Sahul)

langsung ke Gebe (Golo, 32.000 BP) lewat Waigeo. Pada saat terjadi proses

glasial pada Kala Plestosen Akhir Waigeo dan Salawati merupakan bagian dari

Daratan Sahul. Masa hunian awal Golo (32.000 BP) hanya meninggalkan sedikit

data arkeologi saja, sedangkan indikasi mengenai kegiatan manusia yang intensif

tercatat sejak 12.000 BP.15 Berdasarkan hal tersebut, ada kemungkinan bahwa

situs Golo dikoloni relatif singkat dan tidak intensif pada masa awalnya, untuk

kemudian komunitas pendukungnya melanjutkan migrasi ke sepanjang pantai

timur Halmahera bagian utara, sampai menuju Morotai (Daeo, 15.000 BP). Hal ini

didukung dengan temuan sisa Phalanger ornatus yang merupakan hewan asli

Halmahera di situs Daeo (13.000 BP) di Morotai. Pertanggalan yang cukup muda

yang dihasilkan Siti Nafisah (5500 BP) mengindikasikan bahwa pantai timur

Halmahera hanya dilewati saja untuk kemudian menuju Morotai, dan baru pada

masa kemudian pulau tersebut didatangi kembali dan dihuni.

Pada tahap kedua, terjadi migrasi balik dari Morotai ke sepanjang pantai

timur Halmahera sampai bagian tengah pantai timur pulau tersebut dan kembali

14 Lihat peta 4.2. 15 Peter Bellwood, op.cit., hlm. 279.

Page 9: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

118

mengkoloni Gebe, hal ini didukung dengan semakin intensifnya aktivitas hunian

di situs Golo sejak 12.000 BP. Setelah menghuni Gebe kembali, nampaknya

komunitas tersebut, mengadakan hubungan dengan Daratan Sahul. Intepretasi ini

didukung dengan temuan sisa tulang wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) yang

merupakan fauna endemik Misool. Wallabi ditemukan di situs Golo (7400 BP),

Um Kapat Papo (7000 BP) dan Wetef (8500 BP) di Pulau Gebe. Kemungkinan

besar fauna ini didatangkan dari Misool (Sahul) lewat Waigeo. Di lain pihak, sisa

fauna Phalanger (10.000 BP) dari Golo kemungkinan berasal dari jenis lokal yang

hidup di pulau tersebut, yaitu Phalanger alexandrae.

Pada tahap ketiga, migrasi dilakukan dari Gebe menuju pantai timur

Halmahera bagian selatan. Intepretasi ini didukung dengan temuan sisa tulang

wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) di situs Siti Nafisah (5000 BP) di pulau

Halmahera. Kemudian komunitas tersebut menyeberang ke pantai barat

Halmahera dan migrasi dilanjutkan menuju kepulauan Zona Ternate. Hal ini

diketahui berdasarkan sisa temuan Phalanger ornatus yang merupakan hewan asli

Halmahera dan lancipan yang terbuat dari bahan tibia wallabi (Dorcopsis muelleri

mysoliae) di situs Uattamdi (3300 BP) di Kayoa.

Variabel yang berpengaruh pada aspek jarak antar pulau dan konfigurasi

bentang lahan adalah: angin, pola arus laut dan bahaya (misalnya badai). Migrasi

manusia di kawasan Maluku Utara mengkin memanfaatkan bergantian arah angin

dan arus laut yang berubah setiap musim.16 Selain itu, badai tropis dan tsunami

16 Mengenai pergantian arah angin dan arus laut lihat Bab II mengenai

kondisi lingkungan Maluku Utara.

Page 10: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

119

yang kerap terjadi di perairan tropis merupakan faktor bahaya yang perlu

diperhitungkan dalam proses perpindahan manusia di kawasan ini.

Keterangan:

: jalur migrasi tahap I, dari Daratan Sahul melewati Waigeo, menggunakan Pulau Gebe sebagai batu loncatan untuk menuju pantai timur Halmahera bagian utara sampai Morotai. : jalur migrasi tahap II, kembali ke Pulau Gebe melewati sepanjang pantai timur Halmahera bagian timur. Kemudian melakukan translokasi fauna dengan Daratan Sahul.

: jalur migrasi tahap III, dari Gebe menuju pantai timur Halmahera, memotong ke pantai barat Halmahera dan menuju kepulauan Zona Ternate.

Aspek luas area adalah besar kecilnya luas pulau yang menjadi

pertimbangan kolonisasi. Pulau yang lebih besar cenderung akan dipilih dari pada

Peta 4.2. Model migrasi Non-Austronesia di Maluku Utara

Page 11: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

120

pulau yang lebih kecil, karena cenderung lebih mudah untuk diakses, lebih banyak

mengandung sumberdaya, dan dapat mendukung perkembangan populasi yang

lebih besar.17 Teori ini rupanya dapat menjelaskan kasus penghunian awal di

Kepulauan Melanesia Barat, bahwa penghunian pulau-pulau kecil oleh komunitas

Non-Austronesia nampaknya tidak pernah dilakukan sebelum kedatangan orang

Austronesia. Penghunian awal di kepulauan tersebut hanya sebatas pulau-pulau

besar saja seperti New Ireland (Matenkupkum 32.000 BP)18, New Britain

(Yombon 35.000 BP)19 dan Solomon (Kilu 29.000 BP)20. Teori ini rupanya tidak

berlaku di kepulauan Maluku utara, karena kolonisasi di kawasan tersebut juga

terjadi di pulau-pulau kecil yang sumberdaya alamnya terbatas. Hal tersebut

ditunjukan oleh adanya translokasi fauna antar pulau di Maluku Utara dengan

Daratan Sahul yang diperkirakan bertujuan untuk mencukupi kebutuhan di pulau

yang terbatas sumber faunanya tetapi memiliki sumberdaya lain selain fauna yang

ditranslokasikan.

Dalam kasus perpindahan manusia perlu dipertimbangkan bahwa faktor

benefit yang menjadi tujuan kolonisasi daerah baru, tentunya tidak hanya bersifat

material saja, seperti faktor ideologi misalnya. Hal tersebut juga memperkuat

dugaan bahwa, rekonstruksi jalur migrasi-kolonisasi manusia tidaklah semudah

17 William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm. 62. 18 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, op.cit., hlm. 551. 19 Christina Pavlides dan Chris Gosden, “35,000 BP-years-old sites in the

rainforests of West New Britain, Papua New Guinea”, Antiquity 68 (1994), hlm. 604.

20 P. V. Kirch dan M.I. Weisler, “Archaeology in the Pacific Island: An Appraisal of Recent Research”, Jurnal of Archaeological Research, Vol. 2, No. 4, 1994, hlm. 288.

Page 12: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

121

membuat garis-garis terdekat antar pulau, karena meskipun dalam batas tertentu

pulau-pulau kecil di kawasan Maluku Utara dapat saling terlihat, tetapi tidak

seluruhnya didatangi dan dihuni oleh manusia. Penelitian ini belum dapat

mengetahui faktor yang bersifat non-material, sebagai penyebab migrasi-

kolonisasi komunitas Non-Austronesia. Kesempatan untuk menjawab pertanyaan

tersebut mungkin dapat diperoleh dari studi etnoarkeologi terhadap masyarakat

Non-Austronesia yang masih bertahan di kawasan Maluku utara.

4. Tahap Kolonisasi

Secara umum kondisi lingkungan kepulauan Maluku Utara lebih

homogen, tetapi pada batas-batas tertentu, sumberdaya alam yang dimiliki oleh

tiap-tiap pulau cenderung berbeda, yang disebabkan oleh keterpencilan di

kawasan Wallacea yang dibatasi oleh laut-laut dalam. Dalam menghadapi kondisi

ini, komunitas Non-Austronesia akan cenderung beradaptasi dalam hal teknologi

eksploitasi sumberdaya, hal tersebut tercermin pada artefak-artefak yang

dihasilkan. Di situs Siti Nafisah (Halmahera) artefak didominasi oleh lancipan

tulang tanpa menghasilkan alat litik, sedangkan di Tanjung Pinang dan Daeo

(Morotai) adaptasi ditunjukkan oleh peralatan yang dibuat dari batu kerakal

vulkanis, yang dipangkas sederhana. Melihat konteksnya yang berhubungan

dengan batu pelandas dan cangkang kerang, kemungkinan artefak tersebut

digunakan untuk memecah cangkang kerang untuk dikonsumsi.21

21 Informasi dari Daud Aris Tanudirjo, staf pengajar Jurusan Arkeologi,

UGM.

Page 13: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

122

Translokasi hewan dari pulau kaya sumberdaya juga dilakukan guna

menghindari degradasi lingkungan di pulau-pulau miskin, seperti Phalanger yang

didatangkan di Kayoa dan Morotai serta Dorcopsis di Kayoa dan Gebe. Selain itu,

karena kolonisasi tersebut dilakukan oleh komunitas pesisir yang sudah terbiasa

dengan lingkungan pantai, maka perbedaan lingkungan yang menyebabkan

adaptasi tidak merubah budaya komunitas tersebut secara radikal.22

Berdasarkan data arkeologi, pola subsistensi komunitas Non-Austronesia

mengandalkan eksploitasi campuran darat dan marin. Batu pelandas (Canarium

nut anvil) di situs Golo 30.000 BP dan Tanjung Pinang 5000 BP dan tulang

mamalia darat mengindikasikan eksploitasi darat, sedangkan cangkang kerang dan

tulang ikan mengindikasikan eksploitasi laut. Selain itu berdasarkan bukti polen,

pada 6000 BP terdapat peningkatan polen tumbuhan palma di kawasan Maluku

Utara. Berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini budidaya dan eksploitasi

tanaman sagu yang merupakan salah satu tumbuhan palma masih dilakukan di

Maluku Utara. Belum dapat diketahui apakah dengan pola subsistensi semacam

itu komunitas Non-Austronesia pada masa lampau juga dapat mengalami

kejenuhan penduduk dan degradasi lingkungan, sehingga menjadikan faktor

pendorong bagi komunitas tersebut untuk melakukan ekspansi. Berdasarkan bukti

yang ada, pada saat kedatangan orang Austronesia di kepulauan Maluku Utara,

kawasan ini merupakan koridor budaya Non-Austronesia yang kuat dan tidak

mudah untuk ditembus oleh orang Austronesia, bahkan hingga saat ini.

22 Sampai saat ini sebagian besar situs-situs di Maluku Utara yang tersedia,

berada di daerah pesisir pantai.

Page 14: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

123

Menurut Binford23, dalam masyarakat sistem terbuka tipe donor, salah satu

mekanisme untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat adalah dengan

jalan pengaturan angka kelahiran, kematian dan melepaskan diri dari kelompok

inti, untuk membentuk komunitas baru. Kemungkinan besar kolonisasi daerah-

daerah baru di Maluku Utara juga dilakukan oleh komunitas sempalan Non-

Austronesia untuk menjaga keseimbangan masyarakat walaupun komunitas

intinya belum mengalami kejenuhan penduduk dan degradasi lingkungan.

Berdasarkan berbagai hal tersebut maka dapat ditarik hipotesis bahwa hal

inilah yang juga terjadi pada Fase I budaya Uattamdi. Meskipun Fase I situs

Uattamdi mengandung unsur-unsur budaya Non-Austronesia dan Austronesia,

tetapi dapat diintepretasikan bahwa situs tersebut merupakan situs hunian

komunitas Non-Austronesia. Pertanggalan yang relatif muda (3300 BP)

mengindikasikan bahwa, kolonisasi daerah-daerah baru masih terus dilakukan

oleh komunitas Non-Austronesia bahkan sampai masa kedatangan orang

Austronesia di kawasan Maluku Utara.

Keberadaan unsur-unsur budaya Austronesia pada Fase budaya tersebut

menunjukan adanya interaksi antara komunitas Non-Austronesia dengan

masyarakat Austronesia. Interaksi antar budaya merupakan salah satu akibat dari

kasus penghunian oleh suatu komunitas di kawasan yang pada masa sebelumnya

telah dihuni oleh komunitas lainnya. Pembahasan mengenai hal tersebut akan

dilakukan pada bagian lain dalam tulisan ini.

23 Lewis R. Binford, “Post-Pleistocene Adaptations”, dalam Lewis R. Binford, ed., An Archaeological Perspective, (New York: Seminar Press., 1972), hlm. 437-438.

Page 15: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

124

B. INTEPRETASI MODEL MIGRASI-KOLONISASI AUSTRONESIA

DI MALUKU UTARA

Kajian mengenai prasejarah Austronesia telah banyak mengalami

perkembangan yang cukup hebat, sejak 1932 ketika Von Heine Geldern

mengajukan teori migrasi yang dibangun berdasarkan tipologi beliung persegi.

Perubahan aliran pemikiran dan teknik penelitian ikut mewarnai perkembangan

tersebut. Ada banyak model migrasi yang telah diajukan oleh berbagai ahli yang

berbeda pula. Di antara berbagai model yang telah diajukan tersebut, terdapat dua

arus pemikiran yang mendasari pembentukan model tersebut, yaitu: Teori

Kebetulan (accidental theory) dan Teori Pengambilan Keputusan (decision-

making theory).

Teori kebetulan menyatakan bahwa kolonisasi daerah-daerah baru oleh

manusia pada masa prasejarah dilakukan secara tidak sengaja. Teori tersebut

beranggapan bahwa kolonisasi daerah kepulauan dilakukan oleh suatu komunitas

dengan teknologi sederhana pada saat sekelompok kecil dari mereka melakukan

eksploitasi sumberdaya marin sepanjang pantai dengan perahu atau rakit

sederhana karena ketidaksengajaan terseret ke lautan bebas dan terdampar di

daerah baru.24 Lebih jauh, teori ini juga menyatakan bahwa kolonisasi tersebut

terjadi pada masa glasial, ketika ketinggian air laut menurun sehingga

menyebabkan jarak antar pulau semakin dekat dengan penghalang laut yang tidak

terlalu lebar. Kondisi lingkungan tersebut mendukung para kolonis untuk

24 William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm 66.

Page 16: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

125

melewati lautan dengan bantuan pulau-pulau sebagai batu loncatan (steping

stone).25

Di lain pihak, teori pengambilan keputusan menyatakan bahwa proses

perpindahan manusia dilakukan dengan terencana dan dimanajeman dengan baik,

serta bukanlah suatu kebetulan belaka. Untuk fenomena kasus persebaran budaya

neolitik Kepulauan Asia Tenggara, dari daerah awal persebarannya di Taiwan dan

hubungannya dengan persebaran budaya Lapita di Melanesia Barat, beberapa ahli

seperti Bellwood dan Spriggs26, menyebutnya dengan istilah “express train”.

Karena hanya dalam tempo 1000 tahun, budaya neolitik tersebut sudah mencakup

radius 10.000 km sampai di Tonga, Samoa, kepulauan Polinesia Barat, dari asal

persebarannya di Taiwan (4000 BP). Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan

bahwa persebaran budaya Austronesia tidak semata-mata hanya karena faktor

kebetulan saja, tetapi lebih disebarkan oleh suatu pola mobilitas penduduk yang

terencana, teratur dan dimanajeman dengan baik.

1. Faktor Penyebab Migrasi

Dalam kasus migrasi-kolonisasi komunitas Austronesia, faktor-faktor

penyebab migrasi tersebut adalah:

25 Daud Aris Tanudirjo, “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The

models and the Data”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 180.

26 Matthew Spiggs, “Out of Asia: The Spread of Southeast Asian Pleistocene and Neolithic maritime culture in Island southeast Asia and Western Pacific”, dalam Sue O’Connor dan Peter Veth eds., East of Wallace’s Line, Studies of Past and Present maritime culture of the Indo-Pacific Region, (Rotterdam: A.A. Balkema, 2000), hlm. 50. dan Peter Bellwood, op.cit., hlm. 339.

Page 17: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

126

a. Faktor pendorong (push)

Menurut Bellwood27 terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan

terjadinya migrasi-kolonisasi orang Austronesia, antara lain dapat diringkas

sebagai berikut.

1. Pola subsistensi pertanian.

2. Berkembangnya teknologi pelayaran.

3. Adanya suatu konsep ideologi tertentu (cultural domain dan founding father

ideology).

4. Hasrat untuk menemukan daerah baru.

Berdasarkan penelitian di situs Chisan (6000 SM) ditemukan lubang yang

digunakan untuk menyimpan 100 ton jewawut (padi-padian liar) sedangkan di

Hemudu (5000 SM) ditemukan 120 ton padi basah dalam bentuk gabah.28 Hal

tersebut mengindikasikan bahwa pola ekonomi produksi pangan dapat

menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk (ledakan penduduk) yang

berlangsung dari generasi ke generasi. Pola subsistensi pertanian yang intensif

juga membutuhkan lahan pertanian yang semakin meningkat, sehingga

memunculkan keluarga-keluarga baru yang menduduki daerah baru pula. Hal ini

sesuai dengan teori Malthus bahwa laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dari

pada laju pertumbuhan sumberdaya, sehingga sewaktu-waktu sumberdaya

27 Peter Bellwood, “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland,

Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU Printing Service, 1995), hlm. 101-103.

28 Ibid., hlm. 108.

Page 18: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

127

tersebut akan habis. Selain itu, faktor transportabilitas dan reproduksibilitas pada

pola subsistensi pertanian juga mendorong terjadinya kolonisasi dan mempercepat

proses autocatalysis terutama pada pulau kecil yang sumberdaya alamnya

terbatas.

Eksplorasi di daerah pesisir berguna untuk mencari daerah yang cocok

sebagai tempat singgah dan potensial untuk mengeksploitasi hasil laut. Pada kasus

ini, orang Austronesia akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan

teknologi, baik teknologi eksploitasi hasil laut maupun teknologi navigasi. Hal

tersebut didukung dengan ditemukannya bandul jaring di situs Pa-chia-t’sun

(T’ainan), pada 4300 SM.29 Walaupun pada awal proses migrasi orang

Austronesia tentunya telah memiliki teknologi navigasi, tetapi berdasarkan bukti

linguistik perkembangan yang cukup signifikan pada teknologi tersebut terjadi di

kawasan dituturkannya bahasa Proto Melayu Polinesia, yaitu di daerah Kepulauan

Filipina bagian selatan dan Kepulauan Indonesia Timur bagian utara.

Menurut Sjafri Sairin30, analisis mengenai perpindaham manusia

seharusnya tidak hanya ditekankan pada faktor lingkungan saja. Menurutnya salah

satu faktor penting yang mempengaruhi manusia untuk mengambil keputusan

untuk bermigrasi ke suatu wilayah tertentu berkaitan dengan pandangan dan kesan

suatu masyarakat mengenai ranah budaya (cultural domain). Terdapat

29 Peter Bellwood, op.cit., 2000, hlm. 313. 30 Cultural domain adalah wilayah yang secara kultural dipandang sebagai

milik dari masyarakat suatu pendukung kebudayaan dan wilayah yang berada diluar itu dipandang sebagai wilayah luar. Sumber: Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 80-81.

Page 19: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

128

kecenderungan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki pandangan negatif

terhadap wilayah di luar ranah budayanya akan cenderung sulit melakukan

migrasi, dan begitu juga sebaliknya.

Berdasarkan pengamatan etnografi oleh Danys Lombard31 dapat diketahui

bahwa kebanyakan kelompok etnis di Kepulauan Indonesia memiliki pandangan

yang terbuka pada wilayah budaya di luar mereka. Pada etnis Bugis terdapat karya

sastra La Galigo (cerita tokoh Sawerigading) dan orang Melayu memiliki Hikayat

Hang Tuah, yang keduanya merupakan nyanyian petualangan laut yang sifatnya

heroik. Sebaliknya pada etnis Jawa, Kidung Panji, Serat Kanda dan cerita Bima

Suci menceritakan petualangan laut mistis dengan tokoh-tokoh seberang laut yang

jahat dan buruk rupa. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa etnis Jawa memiliki

kecenderungan memandang daerah di luar wilayah budaya mereka dengan image

negatif. Dari Maluku Utara, kisah-kisah petualangan Robodoi, seorang Tobelo

sebagai bajak laut yang berpengaruh di perairan Nusantara akhirnya

terdokumentasikan pada catatan Belanda dari jaman kolonial.32 Kisah tersebut

dapat dijadikan referensi untuk menyajikan gambaran yang baik mengenai

motivasi mobilitas orang Tobelo.

Founding father ideology pada kebudayaan Austronesia memacu mereka

untuk menemukan daerah baru bagi masa depan keturunannya. Pada mulanya

31 Danys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia,

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 92-93. 32 Periksa: A.B. Lapian, “Beberapa Pokok Penelitian Sejarah Daerah

Maluku Utara”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 277-284.

Page 20: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

129

ideologi ini mungkin merupakan implikasi dari proses migrasi-kolonisasi di

daerah baru, tetapi pada masa selanjutnya hal tersebut juga menjadi faktor

pendorong proses migrasi.

b. Faktor penarik (pull)

Salah satu faktor penarik migrasi orang Austronesia adalah hasrat untuk

menemukan daerah baru sebagai daerah untuk mencari sumber barang berharga

dan daerah jaringan pertukaran. Mungkin bukanlah suatu kebetulan bahwa situs-

situs yang mengindikasikan awal keberadaan orang Austronesia di kepulauan

Indonesia Timur terdapat di dua jajaran kepulauan busur dalam yang bersifat

vulkanik, yaitu: situs Uattamdi (Pulau Kayoa) di busur Zona Ternate dan situs-

situs Talaud di busur Kepulauan Sangihe. Kedua busur kepulauan vulkanis

tersebut tentunya menyediakan tanah yang subur bagi lahan pertanian. Hal

tersebut menyiratkan adanya korelasi antara kondisi lingkungan situs-situs

tersebut dengan tujuan pencarian daerah baru guna memenuhi kebutuhan lahan

pertanian.33

Ada indikasi bahwa hal tersebut sedikit berubah dan semakin berkembang

setelah muncul tradisi penguburan dalam tempayan di kepulauan Indonesia yang

menyertakan bekal kubur berupa barang-barang bernilai prestise yang sulit

didapatkan. Bekal kubur tersebut kebanyakan berupa barang-barang bernilai yang

berasal dari kawasan tertentu yang sulit didapatkan, seperti manik-manik dan

33 Untuk kondisi fisiografi kawasan Maluku Utara, lihat peta 2.2.

Page 21: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

130

aksesoris kerang. Menurut Kirch34, setelah kedatangan Austronesia, berbagai

macam aksesoris kerang menjadi benda bernilai prestise yang menjadi komoditi

pertukaran antar kawasan. Bentang alam Kepulauan Maluku Utara yang memiliki

perairan dangkal selain perairan dalam, merupakan kawasan yang kaya akan

sumberdaya laut. Beberapa spesies kerang yang dihasilkan dari perairan tersebut,

selain dikonsumsi juga merupakan barang-barang yang memiliki nilai prestis.

Maluku Utara memang kaya akan sumber laut terutama berbagai spesies kerang,

bahkan sampai saat ini Pulau Halmahera terkenal dengan hasil kerang kapis-kapis

dan bialola.

2. Proses Migrasi

Melihat cakupan keruangannya yang sangat luas dan kondisi geografis

kepulauan, maka untuk menjelaskan migrasi Austronesia akan digunakan model

migrasi jarak jauh seperti yang disarankan oleh Anthony35. Pada migrasi jarak

jauh terdapat beberapa pola, antara lain adalah: migrasi lompat katak, migrasi

arus, dan migrasi balik.

Pada kasus persebaran orang Austronesia, kecepatan persebaran dalam

waktu yang relatif singkat mengindikasikan adanya proses migrasi jarak jauh,

yang dilakukan dengan perencanaan dan diatur dengan baik. Keberhasilan migrasi

jarak jauh sangat tergantung pada penyebaran informasi mengenai daerah tujuan

yang kaya akan sumberdaya serta meliputi teknologi dan rute transportasi.

34 Periksa: Patrick Vinton Kirch, The Lapita Peoples, Ancestors of the

Oceanic World, (Cambridge: Blackwell Publisers, 1997), hlm. 227-255. 35 Periksa: David W. Anthony, “Migration in Archaeology: The Baby and

the Bathwater”, American Anthropologist 92, (1990).

Page 22: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

131

Biasanya, jika suatu komunitas telah memasuki tahap kejenuhan penduduk dan

degradasi lingkungan, maka untuk memperoleh berbagai informasi mengenai

sumberdaya di daerah lain, komunitas tersebut akan mengirimkan anggota

kelompoknya untuk melakukan penjajakan ke daerah tujuan.

Proses penjajakan kelompok Austronesia di kawasan kepulauan mungkin

dilakukan seperti lompat katak dengan memanfaatkan pulau-pulau sebagai steping

stone. Pola migrasi lompat katak dapat berupa singgah (transit) atau ulang alik

(commuter) Selain itu, pola aliran arus laut dan angin di kawasan perairan tropis

yang berganti tiap setengah tahun dimanfaatkan guna mencapai daerah tujuan dan

kembali ke tanah asal. Pengetahuan astronomi tradisional mungkin juga

dimanfaatkan sebagai penunjuk arah dalam perjalanan mereka. Sampai saat ini

pelayaran tradisional dengan memanfaatkan kondisi tersebut masih banyak

dilakukan di Maluku Utara.36

Dari data linguistik, hipotesis mengenai kedatangan penutur bahasa

Melayu-Polinesia Timur-Tengah (PCMP) yang merupakan sub stratum bahasa

Austronesia, di Maluku Utara terjadi pada 2000 SM.37 Di lain pihak berdasarkan

data arkeologi, sampai saat ini indikasi mengenai awal kolonisasi orang

Austronesia di Maluku Utara terjadi pada 3300 BP pada situs Uattamdi.

36 Periksa: Mahirta, “The Development of Mare Pottery in the Northern

Moluccas Context and its Recent Trading Network”, Thesis, (Canberra: ANU, 1996), untuk catatan etnografi mengenai pelayaran tradisional di Kepulauan Maluku Utara-Kepala Burung.

37 Robert Blust, “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspevtive”, Asian Perspectives 26 (1), (1984/85), hlm. 57. Pertanggalan ini mungkin sedikit lebih tua dari keadaan sebenarnya.

Page 23: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

132

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa penjajakan yang

dilakukan oleh kelompok penjelajah Austronesia terjadi tidak jauh pada masa

sebelum kolonisasi awal komunitas tersebut di Maluku Utara.

Berdasarkan data arkeologi, benda-benda neolitik juga digunakan oleh

komunitas pemburu-pengumpul pra-neolitik, seperti di situs: Duyong di Palawan

(3000 SM), Edjek di Negros, Batungan (900 SM) dan Bagumbayan (2000 SM) di

Masbate, serta Balobok (Sangasanga) di Kepulauan Sulu. Kemungkinan besar

benda-benda neolitik tersebut berasal dari para penjelajah Austronesia yang

melakukan penjajakan di kepulauan terebut dan melakukan pertukaran dengan

komunitas setempat. Berdasarkan karakteristik konteks data arkeologi,

kemungkinan hal yang sama juga dapat terjadi di situs Leang Tuwo Mane’e di

Talaud dan Uattamdi di Maluku Utara.

Di situs gua Duyong (Tabon), sebuah beliung persegi yang ditemukan

dengan konteks penguburan terlipat pra neolitik pada 4500 BP mengindikasikan

bahwa pada masa tersebut beliung persegi didistribusikan oleh para penjelajah

kepada komunitas pemburu-pengumpul setempat.38 Kemungkinan besar,

kelompok Austronesia yang melakukan penjajakan awal ke daerah-daerah baru

bukan berasal dari komunitas petani sendiri, tetapi mungkin para pedagang,

petualang, dan pelaut. Setelah seluruh informasi mengenai daerah baru dapat

dikumpulkan, para komunitas penjelajah yang melakukan penjajakan akan

kembali ke tanah asal mereka untuk menyebarluaskan informasi tersebut.

38 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 326.

Page 24: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

133

Pada saat komunitas inti yang berada di daerah asal mengalami tekanan

yang sudah tidak dapat ditoleransi, informasi mengenai daerah baru yang telah

dikumpulkan oleh para penjelajah akan dimanfaatkan untuk menuntun komunitas

tersebut ke daerah baru (tujuan). Berdasarkan bukti linguistik, bahasa Melayu-

Polinesia Barat (WMP) yang dituturkan di Indonesia bagian barat dan bahasa

Melayu-Polinesia Tengah-Timur (CEMP) yang dituturkan di Indonesia Timur

berasal dari bahasa Proto Melayu-Polinesia yang berada di Luzon (Filipina) pada

3500 SM. Berdasarkan bukti arkeologis, situs-situs yang mengindikasikan

kolonisasi Austronesia cukup padat ditemukan di lembah sungai Cagayan (Luzon

Utara), seperti: Dimolit (2500 SM), Rabel dan Laurente (2800 SM), Arku dan

Musang (1500 SM) serta Lal-lo dan Magapit (2000 SM).39 Data arkeologi dari

situs-situs tersebut memiliki banyak persamaan dengan tinggalan budaya neolitik

dari Maluku Utara, khususnya gerabah slip merah.40 Berdasarkan kedua data

tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa arus migrasi orang Austronesia yang berada

di kepulauan Indonesia Timur bagian utara berasal dari daerah Filipina.

Setelah informasi yang didapatkan mengenai daerah tujuan dan rute yang

harus dilewati sudah jelas, maka komunitas Austronesia akan mulai dengan arus

migrasi. Secara arkeologis, bukti mengenai kolonisasi orang Austronesia dapat

dilihat berdasarkan persebaran karakteristik data yang dihasilkannya. Di Maluku

Utara, data arkeologi yang merepresentasikan awal kolonisasi orang Austronesia

di kawasan tersebut dihasilkan oleh Fase I situs Uattamdi (3300 BP). Pertanggalan

39 Periksa: Ibid., hlm. 322-328. 40 Lihat pembahasan persamaan gerabah Maluku Utara dengan kawasan

lainnya pada Bab III.

Page 25: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

134

yang dihasilkan situs tersebut sampai saat ini merupakan yang tertua di kawasan

Maluku Utara. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah

tujuan awal migrasi Austronesia di Maluku Utara. Keberadaan Pulau Kayoa

dalam rangkaian kepulauan busur vulkanis Zona Ternate menjadikan kepulauan

tersebut merupakan daerah yang kaya sumberdaya alam.41 Sifat vulkanis

menyebabkan jenis tanahnya subur, di lain pihak perairan dangkalnya kaya akan

sumberdaya laut. Tanah yang subur dan hasil laut merupakan faktor penarik bagi

tujuan migrasi orang Austronesia.

Setelah menghuni bagian tengah Zona Ternate, kemungkinan besar

masyarakat Austronesia menyebar ke seluruh rangkaian kepulauan tersebut

sampai ke tepian kepulauan Zona Ternate di Morotai.42 Hal tersebut terekam dari

kehadiran gerabah hias gores di situs Tanjung Pinang pada 2300 BP. Selain di

Tanjung Pinang, indikasi kehadiran budaya neolitik juga terdapat di Daeo,

Sambiki Tua dan Sabatai Tua (Morotai), Bukit Keramat (Waidoba), Mare, dan

Taneti. Selain menghuni rangkaian kepulauan Zona Ternate, kemungkinan

mereka juga menghuni pantai barat Pulau Halmahera.

Setelah menyebar ke seluruh rangkaian kepulauan Zona Ternate hingga

tepiannya, mereka kemudian memutari Pulau Halmahera dan menduduki pantai

bagian timur Halmahera. Bukti keberadaan Austronesia di daerah ini adalah

temuan gerabah hias gores di situs Siti Nafisah dengan pertanggalan 2100 BP dan

41 Lihat kondisi lingkungan Maluku Utara pada Bab II dan faktor

penyebab migrasi pada pembahasan sebelumnya. 42 Lihat peta 2.2 pada Bab II dan 4.4.

Page 26: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

135

beliung persegi di Tobelo. Setelah itu, kemudian mereka menuju ke gugusan

Kepulauan Raja Empat dan mengkoloni daerah tersebut. Hal tersebut berdasarkan

temuan gerabah di situs-situs di Pulau Gebe, yang antara lain adalah: Golo (2000

BP), Um Kapat Papo (1500) dan Buwawansi (1400 BP). Dari bukti linguistik

sampai saat ini masyarakat penduduk kepulauan Raja Empat masih menggunakan

bahasa Raja Empat yang termasuk dalam sub stratum rumpun bahasa Austronesia.

3. Tahap Kolonisasi

Setelah proses perpindahan, kemungkinan besar kolonisasi Austronesia di

Maluku Utara juga mengalami tiga tahapan seperti model yang diajukan oleh

Keegen dan Diamond. Dalam tahapan kolonisasi tersebut, mungkin komunitas

Austronesia mengalami banyak proses yang implikasinya dapat dilihat dalam

pembahasan berikutnya. Tetapi yang jelas, berdasarkan bukti etnografi dan

linguistik, saat ini komunitas Austronesia secara mayoritas menduduki bagian

selatan Kepulauan Maluku Utara berdampingan dengan komunitas Non-

Austronesia di bagian utara kepulauan tersebut.43 Pada Fase II situs Uattamdi

(2300 BP), data arkeologi mengenai penguburan tempayan lebih jelas

membuktikan adanya kolonisasi masyarakat Austronesia di kawasan tersebut.

Menurut Anthony, migrasi adalah sebuah kasus two-way street, dan pada

umumnya arus migrasi yang besar berimplikasi pada berkembangnya arus balik.44

43 Periksa: Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo,

Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 220-221. 44 David W. Anthony, op.cit., hlm. 904.

Page 27: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

136

Secara sosiologis menurut Ida Bagoes Mantra45, komunitas yang melakukan

migrasi pada dasarnya merupakan kelompok manusia yang bersifat bi local

population, sehingga kemanapun mereka melakukan migrasi, pasti akan

mengadakan hubungan dengan daerah asal. Hubungan tersebut dapat berbentuk

material, seperti barang-barang yang berharga baik secara praktis maupun prestis,

dan berbentuk imaterial berupa sistem pengetahuan, ide dan gagasan. Intensitas

hubungan tersebut antara lain ditentukan oleh jarak, transportasi, jangka waktu

bermigrasi, status perkawinan dan jarak hubungan kekeluargaan. Walaupun secara

arkeologis hal tersebut agak sulit untuk direkonstruksi, tetapi model tersebut

cukup baik untuk dilontarkan sebagai wacana.

Pada kasus migrasi orang Austronesia, kemungkinan terjadinya migrasi

balik sangat besar, karena berhubungan dengan tujuan migrasi yaitu hasrat

mencari daerah yang kaya akan sumber barang berharga dan jaringan

perdagangan. Dalam hal ini migrasi balik yang terjadi sering kali dalam bentuk

jaringan pelayaran dan perdagangan. Ditemukannya obsidian dari Talasea (New

Britain) pada 1000 SM di situs Bukit Tengkorak (Sabah) mengindikasikan adanya

jaringan pelayaran dan perdagangan sejauh 6500 km. Di Mikronesia Barat,

walaupun penghunian pertama kali telah ada sejak 3700 BP (Mariana), tetapi

beliung kerang baru muncul pada 100 BC-100 AD. Kepulauan Mariana memang

minim akan sumber daya kerang, kemungkinan besar beliung kerang Tridacna

yang ada di daerah tersebut didatangkan dari Melanesia Barat, setelah semakin

45 Ida Bagoes Mantra, Demografi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000), hlm. 236-237.

Page 28: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

137

berkembangnya pelayaran antar pulau di kawasan Pasifik pada masa Lapita,

setelah kedatangan orang Austronesia. Berdasarkan pada data tersebut

diperkirakan bahwa, orang Austronesia yang bermigrasi mengangkut sumberdaya

yang didapatkan di daerah tujuan kepada kerabat komunitasnya di tanah asal

mereka.

Kemungkinan besar, hubungan antar jaringan tersebut semakin

berkembang pada jaman logam. Beberapa data arkeologis dari berbagai situs di

Indonesia, mengisyaratkan terjalinnya hubungan antara Kepulauan Indonesia

dengan Asia Daratan, India dan Pasifik (bahkan mungkin juga dengan Timur

Tengah).46 Pada kondisi seperti ini, Indonesia sudah berhadapan dengan proses

globalisasi, yang dapat menyeret Indonesia pada budaya global. Pada awal abad

Masehi hubungan antara kawasan India dan Indonesia semakin kuat, dan pada

abad-abad berikutnya kita dapat menyaksikan peradaban yang bercorak Hindu-

Budha tumbuh di Sumatra dan Jawa dengan monumen-monumen keagamaannya

yang megah.

46 Lihat: Matthew Spriggs, op.cit., hlm.69.

Page 29: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

138

Keterangan:

Migrasi Austronesia di Kepulauan Maluku Utara berasal dari Filipina Utara, kawasan persebaran tahap kedua komunitas tersebut (Daerah asal bahasa PMP), digambarkan dengan lingkaran merah. Ketika terjadi tekanan pada daerah tersebut, sebagian komunitas mereka (para penjelajah), akan melakukan penjajagan guna mendapatkan informasi mengenai daerah tujuan, teknologi serta rute transportasi, yang digambarkan dengan lingkaran kuning. Setalah informasi tersebut dapat dikumpulkan, mereka kembali ke daerah asal untuk menyebarluaskan informasi tersebut. Arus migrasi terjadi dari daerah asal menuju daerah yang telah ditentukan (panah hitam). Tentunya, arus migrasi tersebut bukan merupakan satu-satunya arus migrasi yang terjadi Asia Tenggara Kepulauan. Pada tahap selanjutnya terjadi kolonisasi Austronesia di daerah baru, Maluku Utara (Daerah persebaran bahasa PCEMP), digambarkan dengan lingkaran hijau. Kemudian terjadi migrasi balik dari daerah baru menuju daerah asal dalam bentuk jaringan pelayaran dan pertukaran.

Peta 4.3. Model Migrasi Austronesia Menuju Maluku Utara

Arus Migrasi

Migrasi Balik

Daerah Asal Bahasa PMP

Daerah Persebaran Bahasa PCEMP

Wilayah Penjajagan komunitas Penjelajah

Page 30: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

139

Keterangan: : Arus migrasi kedatangan Austronesia dari Philipina : Persebaran pertama menuju ke seluruh rangkaian busur kepulauan vulkanis

Zona Ternate : Persebaran kedua pada pesisir pantai timur Pulau Halmahera : Persebaran ketiga menuju Kepulauan Raja Empat.

Peta 4.4. Model Migrasi Austronesia Di Maluku Utara

Page 31: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

140

Berdasarkan pada model migrasi-kolonisasi Austronesia yang telah

direkonstruksi, maka dapat disusun alur proses migrasi-kolonisasi orang

Austronesia, sebagai berikut:

Daerah asal: • Faktor Pendorong dan Penarik • Biaya dan Keuntungan

Dalam batas toleransi Di luar batas toleransi

Penjelajah (scout): Migrasi

Lompat Katak

Komunitas inti: Tidak pindah

Ulang-alik Singgah

Informasi: • Daerah tujuan • Transportasi

Pindah:

Arus Migrasi

Kolonisasi

Migrasi Balik: Jaringan

Perdagangan

Proses Autocatalysis

Bagan 4.1. Model migrasi-kolonisasi Austronesia di Maluku Utara

Page 32: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

141

C. IMPLIKASI KASUS MIGRASI-KOLONISASI AUSTRONESIA

DI MALUKU UTARA

Pada saat orang Austronesia datang di Kepulauan Maluku Utara, kawasan

tersebut bukanlah suatu daerah kosong tidak berpenghuni. Pada beberapa pulau di

kawasan tersebut telah dihuni oleh komunitas Non-Austronesia. Pada kondisi

seperti ini, terjadinya kontak antar budaya merupakan peluang yang sangat besar.

Dalam bagian ini akan dibahas akibat interaksi tersebut yang tercermin pada

teknologi alat kerang, teknologi pelayaran dan domestikasi hewan. Selain

interaksi antar budaya, proses migrasi-kolonisasi Austronesia juga memunculkan

ideologi cikal bakal pada masyarakat Austronesia. Hal tersebut masih dapat

ditelusuri pada catatan etnografi yang masih ada hingga saat ini, baik pada

masyarakat Austronesia di Maluku Utara maupun masyarakat Austronesia lain

pada umumnya.

Tahapan interaksi antar budaya untuk kasus migrasi-kolonisasi

Austronesia di Kepulauan Maluku Utara dapat dirangkum sebagai berikut: Intrusi

budaya baru yang datang di Maluku utara di bawa oleh orang Austronesia. Akibat

dari peristiwa tersebut, di kawasan Maluku Utara muncul budaya neolitik.

Kemudian, setelah terjadi kolonisasi oleh orang Austronesia, budaya neolitik di

Maluku Utara mengalami inovasi yang disebabkan oleh evolusi budaya dan

interaksi antara komunitas pendatang Austronesia dengan komunitas Non-

Austronesia yang telah menghuni kawasan tersebut sejak masa sebelumnya.

Evolusi dan interaksi antar budaya yang intensif menyebabkan integrasi budaya

Austronesia dan Non-Austronesia di Maluku Utara.

Page 33: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

142

1. Interaksi Austronesia dengan Non Austronesia

Menurut Green47, sebelum kedatangan Austronesia, di kawasan Indo-

Pasifik telah berkembang teknologi alat kerang dan tulang, pelayaran dan

navigasi, serta domestikasi tanaman dan hewan. Pada saat orang Austronesia

datang di kawasan tersebut, komunitas Non-Austronesia juga telah memiliki

pengetahuan yang kurang lebih sama dalam beberapa hal di atas. Dalam bagian ini

akan dibicarakan akibat dari interaksi antar budaya yang tercermin pada beberapa

aspek budaya tersebut

a. Teknologi alat kerang

Teknologi alat kerang yang sumberdayanya sangat berlimpah di kawasan

Maluku Utara, selain hasil adaptasi dan inovasi Austronesia di kawasan ini,

mungkin juga dipelajari dari komunitas Non-Austronesia yang telah mengenal

teknologi ini pada masa sebelumnya. Persebaran beliung kerang yang asalnya dari

kawasan Maluku Utara, juga ditemukan sampai di Kepulauan Ryukyu (Jepang) di

utara, dan di hampir seluruh kawasan Kepulauan Pasifik. Persebaran beliung

kerang pada masa pra-neoitik sangat terbatas hanya meliputi kawasan kepulauan

Maluku (Golo, 14.000 BP), Melanesia barat (Pamwak, 10.000 BP)dan Filipina

(Duyong, 4500 BP).48 Tetapi setelah kedatangan bangsa Austronesia, wilayahnya

persebarannya meluas sampai ke Jepang (Okinawa, 2500 BP), Polinesia

47 Matthew Spriggs, “What is Southeast Asian about Lapita?”, hlm. 325. 48 Rintaro Ono, A Typological Study of Micronesia Shell Adze: Their

Origin and Cultural-Historical Relationships in the Pacific and Southeast Asian World, (tidak dipublikasikan).

Page 34: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

143

(Tongatapu dan Niuatotapu, 3000 BP) dan Micronesia (Guam, 2000 BP).49 Di

Melanesia Barat, perkembangan teknologi beliung kerang semakin bervariasi pada

konteks budaya Lapita.

b. Domestikasi Tanaman

Sudah banyak para ahli yang mengaitkan persebaran budaya neolitik di

Asia Tenggara dan Pasifik dengan ekspansi orang Austronesia. Walaupun

demikian, domestikasi tanaman telah berkembang secara mandiri di daratan Papua

sejak masa yang cukup tua. Hasil penelitian Golson50 di Kuk (dataran tinggi

bagian barat Nugini), telah menemukan indikasi perusakan vegetasi yang

diakibatkan oleh aktivitas di tanah basah. Hal tersebut diasosiasikan adanya

aktifitas pertanian sejak 9000 BP dengan memanfaatkan rawa. Bahkan sistem

drainase telah dikenal di situs ini sejak 4000 BP, untuk mengendalikan ketinggian

air rawa, mereka membuat parit dengan panjang 500 m, dalam 3 m, dan lebar 4,5

m. Kemudian pada 3000 BP terdapat indikasi pertanian intensif dengan

pembukaan lahan. Tanaman yang didomestikasi di situs tersebut adalah ketela

rambat. Sebelum kedatangan bangsa Austronesia, di kepulauan Filipina, Indonesia

dan Melanesia telah muncul domestikasi tanaman tropis, seperti: keladi atau talas

(Colocasia esculenta), ubi (Discorea sp), birah (Alocasia Microrhiza), sukun

(Artocarpus altilis), tebu (Saccarum officinarium), sagu (Metroxylon sp.), kelapa

49 Lihat pembahasan perbandingan tipologi beliung kerang pada Bab

sebelumnya. 50 Lihat: J. Golson, “No Room at the Top: Agriculture Intensification in

New Guinea Highland”, dalam J. Allen, J. Golson, dan R. Jones ed., Sunda and Sahul, (London: Academic press, 1990), hlm. 401.

Page 35: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

144

(Cocos nucifera) dan beberapa spesies pisang (Musa sapientum dan Musa

traglogytarum).51

Berdasarkan kondisi lingkungan, kawasan Maluku Utara memiliki curah

hujan rata-rata mencapai 3.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan antara

153-266 hari per tahun, dan suhu udara rata-rata 26,3º C, dengan suhu udara

maksimum 30,1º C dan suhu minimum 23,5º C, kondisi tersebut memang ideal

bagi pertanian biji-bijian. Meskipun demikian, kecepatan angin yang tinggi dan

intensitas penyinaran yang tinggi, membuat kawasan ini menjadi lebih kering,

sedangkan iklim basah dengan curah hujan yang melebihi penguapan tidak terjadi

di sini. Hal tersebut menyebabkan kegagalan dalam proses penyerbukan dan

pembuahan.52 Berdasarkan bukti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

kawasan tersebut kurang cocok untuk mengembangkan pertanian biji-bijian.

Berdasarkan data polen dari Teluk Kau di Pulau Halmahera,

meningkatnyan polen palma terjadi di kawasan Maluku Utara pada 6000 BP. Hal

tersebut merupakan indikasi adanya pertanian jenis tanaman palma tersebut.

Kemungkinan besar, pertanian menyebar ke Maluku Utara dari kawasan Nugini,

walaupun tidak dalam bentuk yang sepenuhnya sama.53 Berdasarkan bukti

etnografi, sampai saat ini sagu yang merupakan salah satu jenis tanaman palma,

masih merupakan makanan pokok yang di konsumsi pada masyarakat di Maluku

51 Periksa: Peter Bellwood, Man Conquest of the Pacific, (Auckland:

Collins, 1975), hlm. 136-140. 52 Untuk persyraratan kondisi lingkungan yang ideal bagi pertanian biji-

bijian, periksa: Wasita, “Faktor Pendukung Budidaya Padi Masa Prasejarah”, Naditira Widya No. 03, (Banjarmasin: Balar, 1999), hlm. 61-69.

53 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 341.

Page 36: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

145

Utara, selain padi gogo dan umbi-umbian.54 Berdasarkan beberapa bukti tersebut

ada kemungkinan bahwa komunitas pendukung budaya situs ceruk Uattamdi juga

mengenal budidaya tanaman.

Pengetahuan mengenai domestikasi tanaman yang dimiliki oleh komunitas

Non-Austronesia sebelum kedatangan orang Austronesia, berimplikasi pada

interaksi antar budaya yang terjadi akibat datangnya budaya baru di kawasan yang

telah memiliki latar belakang budaya. Kenyataannya di kawasan Pasifik, bangsa

Austronesia mengganti pertanian biji-bijian seperti yang dibawa dari daerah

subtropis dengan tanaman umbi-umbian yang banyak terdapat di kawasan Tropis.

Padi (Oryza sativa) di kawasan timur Indonesia hanya sampai di Maluku.55

Berdasarkan pengamatan etnografis oleh Teljeur56, sampai saat ini masyarakat

Maluku Utara mengembangkan pertanian campuran antara padi gogo, umbi-

umbian, buah-buahan, dan sagu. Di Kepulauan Pasifik, pertanian orang

Austronesia lebih didominasi dengan tanaman buah-buahan dan umbi-umbian

tropis, tanpa pertanian biji-bijian.57

54 Santosa Soegondho, “Tradisi Neolitik di Halmahera: Bagian dari

Budaya Pasifik”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 262-264.

55 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm.358. 56 Dik Teljeur, “Masalah Praktis Dalam Penelitian Antropologi Budaya di

Pulau Halmahera Selatan”, E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 1 Nomor Istimewa (I) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hal. 11.

57 Periksa: Patrick V. Kirch, “Subsistence and Ecology”, dalam The Prehistory of Polynesia, (London: Harvard University press), hlm. 286-307.

Page 37: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

146

Berdasarkan rekontruksi bukti linguistik, kata *pajei (Ina. Padi) ditemukan

di Taiwan, Philipina dan Indonesia. Tetapi beberapa kosa kata yang menunjukkan

umbi-ubian seperti *tales (Ina. Talas), *quBi (Ina. Ubi) dan *BiRaq (Ina. Birah)

yang dibudidayakan di Kepulauan Pasifik hanya ditemukan di Indonesia dan di

beberapa bagian Philipina. Selain itu, kata *nieur (Ina. Nyiur) di temukan di

seluruh Asia Tenggara Kepulauan dan kepulauan Pasifik kecuali Taiwan.58 Hal

tersebut jelas membuktikan bahwa, walaupun pertanian padi merupakan sistem

pertanian yang dikembangkan nenek moyang Austronesia di Asia Tenggara

Daratan dan Taiwan, tetapi mereka menanam beberapa jenis tanaman umbi-

umbian sejak mereka mendiami Kepulauan Filipina bagian selatan, Indonesia

bagian timur dan kepulauan Pasifik. Ada kemungkinan bahwa orang Austronesia

yang datang di kepulauan Indonesia bagian timur dari Filipina mengadopsi sistim

pertanian yang dimiliki oleh orang Non-Austronesia yang telah mendiami daerah

ini sejak masa sebelumnya.

c. Domestikasi Hewan

Menurut Bulmer, berdasarkan temuan dari sebuah situs ceruk peneduh di

dataran tinggi Nugini, kehadiran babi di Nugini sudah sejak 10.000 BP.

Pertanggalan yang dihasilkan tersebut diragukan validitasnya, berdasarkan

penelitian terbaru oleh Gorecki, dkk di Pantai Utara Nugini, keberadaan babi di

58 Robert Blust, “Austronesian Culture History: Some Linguistic

Inferences and their Relations to the Archaeological Record”, dalan Peter Van de Velde, eds., Prehistoric Indonesia, (USA: Foris Publications, 1984), hlm. 220.

Page 38: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

147

kawasan tersebut hanya 4000 SM.59 Babi bukan merupakan hewan asli kawasan

ini, melainkan spesies dari kawasan oriental. Kemungkinan besar babi

didatangkan oleh manusia dari kepulauan Asia Tenggara yang ada didekatnya.

Spesies babi yang didomestikasi di Nugini merupakan hibridisasi60 antara spesies

dari oriental dan spesies endemik kepulauan Indonesia yang liar, seperti yang

terdapat di kepulauan Sulawesi, Roti, Flores, dan Halmahera. Keberadaan

domestikasi babi di kepulauan Pasifik dijadikan indikasi bagi kedatangan

Austronesia di kawasan tersebut.

Selain dari bukti arkeologis, bukti mengenai domestikasi hewan dapat

diketahui dari rekontruksi kosa kata dalam bahasa proto-Austronesia. Kata *beRek

(Ina. Domestikasi babi) dan *Wasu[ ] (Ina. Anjing) ditemukan sejak dari Taiwan

sampai ke seluruh kawasan persebaran bangsa Austronesia, sedangkan kata *laluy

(Ina. Ayam) juga ditemukan selain di Taiwan.61 Groves62 berpendapat bahwa

domestikasi babi di Kepulauan Indonesia berasal dari spesies Sus scrofa vittatus

yang hidup liar di kawasan barat Indonesia. Karakteristik yang sama juga

ditemukan pada babi dari Andaman, Flores, Admiralty serta Vanuatu, dan bukan

berasal dari jenis yang liar di Cina atau Asia Tenggara daratan. Hal ini

59 Periksa: Matthew Spriggs, “The Lapita Culture and Austronesian

Prehistory in Oceania” dalam Peter Bellwood, James J Fox dan Darell Tryon, ed., The Austronesians: Historical and Comparative Perspective, (Canbera: ANU, 1995), hlm. 115.

60 Proses persilangan antara dua individu yang secara genetis tidak identik. Sumber: Abercrombie, M., M. Hickman, M.L. Johnson and H. Thain, Kamus Lengkap Biologi, Edisi ke-8, Terjemahan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), hlm. 320.

61 Robert Blust, op.cit., hlm. 220. 62 Colin P. Groves, loc.cit.

Page 39: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

148

membuktikan bahwa, walaupun bangsa Austronesia datang beserta budaya yang

mereka bawa dari Asia Tenggara Daratan, tetapi mereka juga beradaptasi dengan

lingkungan barunya. Babi yang mereka bawa dari Asia Tenggara Daratan

kemungkinan besar tidak cocok hidup di daerah tropis.

Di Maluku Utara, translokasi fauna kuskus (Phalanger ornatus) dan

wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) antar pulau telah dikenal oleh komunitas

Non-Austronesia sebelum kedatangan orang Austronesia. Di lain pihak

berdasarkan data lingustik, kosa kata *kandoRa (kus-kus) dan *mansar

(bandikoot) ditemukan pada bahasa PCEMP (Proto Melayu-Polinesia Tengah-

Timur) yang dituturkan di kepulauan Maluku Utara, tetapi tidak pada bahasa PMP

(Proto Melayu-Polinesia) yang dituturkan di Philipina dari masa sebelumnya.63

Hal ini mengindikasikan bahwa daerah Maluku Utara memiliki peranan penting

pada strategi adaptasi orang Austronesia di kawasan tropis.

Keseluruhan data tersebut membuktikan bahwa manusia Non-Austronesia

telah mengenal translokasi hewan antar pulau sejak masa yang cukup tua. Di

Pasifik, orang Austronesia selain memelihara anjing, babi dan ayam, walabi dan

kus-kus juga ikut diangkut dalam pertukaran atau barter antar pulau. Hal tersebut

juga mengindikasikan bahwa pelayaran antar pulau telah berkembang sebelum

kedatangan bangsa Austronesia di kawasan Maluku Utara dan semakin

berkembang setelah kedatangan orang Austronesia.

63 Darrell Tryon, “Proto-Austronesian and the Major Austronesian

Subgroup”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 30.

Page 40: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

149

d. Pelayaran Antar Pulau

Nusantara64 telah melakukan korelasi antara data hasil ekskavasi dari

Leang Burung 2 dengan lukisan gua yang ada di kompleks budaya Toala. Di

Leang Burung 2 terdapat temuan berupa hematit yang pemanfaatannya untuk

dijadikan bahan pewarna. Data tersebut berasal dari lapisan budaya Toala III

(bawah) yang memiliki pertanggalan 32.160 ±330 BP sampai dengan 20.450 ±250

BP. Lukisan perahu yang ada di gua Bulumpong (Pangkep), juga menggunakan

warna merah, sehingga ada kemungkinan bahwa pertanggalan lukisan perahu

tersebut juga memiliki pertanggalan yang tidak jauh berbeda dengan kronologi

lapisan budaya Toala III.

Di kepulauan Melanesia bukti pelayaran antar pulau sudah dimulai sejak

Kala Pleistosen, dengan komoditi obsidian. Ada dua tempat yang merupakan

sumber obsidian dengan mutu yang baik, yaitu di Lou Island (Kepulauan

Admiralty) dan Talasea (New Britain). Pada 12.000 BP, obsidian tersebut telah

didistribusikan sampai ke Matenkupkum di New Ireland dan di Matenbek sejak

sebelum 5000 BP. Di situs Balof, obsidian didatangkan dari Talasea dan Lou

Island pada 7000 BP. Bukti tersebut mengindikasikan adanya pelayaran antar

pulau di Kepulauan Melanesia dengan jarak sampai sejauh 350 km.65 Pada masa

pra-Lapita sebelum kedatangan bangsa Austronesia, obsidian Talasea hanya

didistribusikan secara terbatas pada kepulauan Admiralti, New Guinea Daratan

64 Ariobimo Nusantara, “Kronologi Lukisan Dinding Gua di Kab. Maros

dan Pangkep, Sulawesi Selatan, Tinjauan Berdasarkan Analisis Kontekstual”, Skripsi, (Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 1989), hlm. 59.

65 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, op.cit., hlm. 554-555.

Page 41: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

150

(Sepik-Ramu Basin), New Ireland, pulau Nissan, dan kepulauan antara New

Ireland dan Kepulauan Solomon bagian utara. Tetapi, pada masa Lapita

distribusinya meluas dari Bukit Tengkorak, Sabah (Borneo) di sebelah barat,

sampai ke Kepulauan Fiji di sebelah timur sejauh 6500 km.66

Berdasarkan bukti linguistik, telah direkonstruksi kosa kata mengenai

aspek-aspek teknologi pelayaran yang tersebar di kawasan Pasifik. Rekonstruksi

kosa kata tersebut menunjuk pada bahasa Proto Melayu Polynesia yang berasal

dari Filipina bagian selatan dan Sulawesi bagian utara. Kata *qaban (Ina. Perahu)

tersebar mulai dari Taiwan, tetapi kata *(sc)a-R-man, (Ina. Cadik) *be-R-say (Ina.

Dayung), *lane(nN) (Ina. Roda), *layaR (Ina. Layar), *limas (Ina. Timba), *qulin

(Ina. Kemudi), dan *teken (Ina. Galah) hanya ditemukan di kawasan barat dan

timur tidak di Taiwan.67 Padahal kosa kata tersebut mengindikasikan aspek-aspek

teknologi navigasi yang lebih modern dari pada di Taiwan.

Ada kemungkinan bahwa pengetahuan orang Austronesia mengenai

teknologi pelayaran semakin berkembang di daerah Asia Tenggara Kepulauan.

Hal ini dapat diketahui dengan mengamati persamaan bentuk perahu yang

digunakan di Kepulauan Solomon dan Botel Tobago (bernama Yamis) dengan

yang terdapat di Maluku (bernama Orembai). Hal ini memperkuat dugaan bahwa

Maluku merupakan daerah yang penting bagi perkembangan teknologi navigasi

dalam hubungannya dengan persebaran orang Austronesia.

66 Matthew Spriggs, op.cit., (1995), hlm. 116. 67 Matthew Spriggs, op.cit., (2000), hlm. 63 dan Robert Blust, op.cit., hlm.

220.

Page 42: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

151

2. Ideologi Cikal Bakal

Pada umumnya manusia yang melakukan mobilitas memiliki kebutuhan

akan identitas. Hal tersebut akan muncul pada saat suatu komunitas migran

berhadapan dengan orang asing yang tidak mengenal sistem budaya komunitas

mereka dan ketika mereka memerlukan suatu perangkat identitas diri yang dapat

dipergunakan untuk menunjukkan bahwa mereka bagian dari suatu kelompok

tertentu.68 Inovasi di daerah baru memungkinkan para migran untuk menciptakan

artefak penanda sebagai perangkat simbol untuk menunjukkan identitas kelompok

mereka kepada komunitas lain.

Pada etnis Minang, Batak dan Badui dikenal adanya sistem kesatuan tiga.

Dalam konsep tersebut masing-masing daerah merupakan kekuasaan yang

independen, walaupun demikian satu sama lain dari mereka masih menganggap

satu kesatuan. Berdasarkan pengamatan etnografi oleh Van Fraasen69 di

Halmahera Utara terdapat perbedaan pengelompokan antara masyarakat pantai

yang merupakan pendatang dengan komunitas pedalaman yang pada umumnya

merupakan penduduk pribumi. Mereka menyebut Soa Siu bagi masyarakat pantai

dan Soa Nyagimoi bagi komunitas pedalaman. Pembedaan penyebutan tersebut

kemungkinan juga merupakan cara untuk menunjukkan identitas masing-masing

kelompok. Walaupun demikian, karena keterbatasan penelitian mengenai migrasi-

68 Safri Sairin, op.cit., hlm. 116. 69 Ch. F. Van Freesen, “Types of Sociopolitical Structure in North

Halmahera History”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980). hlm. 90.

Page 43: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

152

kolonisasi Austronesia di Maluku Utara maka sampai saat ini belum diketahui

budaya materi yang dapat menunjukkan ideologi cikal bakal tersebut.

Kemunculan gerabah Lapita yang khas di Kepulauan Melanesia pada 1600

BP, mengindikasikan adanya artefak ideologi cikal bakal tersebut. Tipologi

gerabah dengan bentuk karinasi dan motif hias geometris, mengindikasikan bahwa

pembuat gerabah tersebut memiliki hubungan secara kultural dengan komunitas

neolitik dari Asia Tenggara Kepulauan. Di lain pihak, teknik hias tera cap

bergerigi yang merupakan hasil inovasi mereka di Kepulauan Melanesia menjadi

menciri khusus yang membedakan komunitas Austronesia di kawasan ini dengan

saudara sepupu mereka di Asia Tenggara.70

Pada mulanya, ideologi cikal bakal mungkin merupakan implikasi dari

proses migrasi-kolonisasi di daerah baru. Hal tersebut terjadi pada saat komunitas

yang melakukan kolonisasi telah berkembang, dan kelompok keluarga yang

pertama kali mendiami tempat tersebut (membuka lahan) akan menjadi keluarga

terhormat dengan status khusus. Posisi penting yang dimiliki keluarga tersebut

adalah hak penguasaan lahan, posisi tetua adat, dan hak menentukan persekutuan

dengan kawan baru. Kemudian, setelah komunitas para kolonis tersebut semakin

berkembang, pada masyarakat tersebut akan terbentuk suatu stratifikasi sosial

tertentu. Berdasarkan analisis linguistik yang dilakukan oleh Supomo71, dapat

70 Daud Aris Tanudirjo, Arkeologi Indonesia Dalam Konteks Proses

Global, (makalah disampaikan dalam PIA IX dan Kongres IAAI 2002), hlm. 9. 71 Periksa: S. Supomo, “Indic Transformation: The Sanskritization Java

and Javanizationof the Bharata”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU printing Service, 1995).

Page 44: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

153

diketahui institusi kerajaan yang berdiri di Jawa pada masa kuno tersusun

berdasarkan kekerabatan. Perlu dicatat bahwa, institusi politik lokal di Maluku

Utara juga berhubungan erat dengan sistem kekerabatan antar kerajaan dan

berkembang pada kawasan pantai dengan pola pemukiman dan klaster-klasternya

yang memanjang pada bentang lahan tersebut.

Pada pengamatan etnografi oleh Koagou pada tahun 197872, masyarakat

Modole di Halmahera Utara memiliki kepercayaan pada roh-roh orang mati yang

dianggap nenek moyangnya. Dengan bantuan Gomatere (shaman), mereka dapat

memanggil roh nenek moyang yang disebut Goma, Wongi, atau Wongemi. Pada

etnis Jawa sampai saat ini masih dilaksanakan tradisi bersih dusun (Rasulan),

dengan tujuan keselamatan bagi penduduk desa. Pada ritual ini, doa-doa ditujukan

bagi para penguasa gaib (Dhanyang) dan tokoh-tokoh yang diperdewakan. Tokoh-

tokoh tersebut merupakan orang terdahulu yang membuka dan membuat peraturan

(adat istiadat) di desa yang bersangkutan.73 Pada masa yang lebih kemudian,

ideologi cikal bakal justru menjadi salah satu faktor pendorong proses migrasi.

Pada budaya masyarakat Austronesia, ideologi tersebut memacu mereka untuk

menemukan daerah baru bagi masa depan keturunannya.

Selain berdasarkan data arkeologi, dari data linguistik dan jejak yang

ditinggalkan pada catatan etnografi yang kini masih hidup, dapat diketahui

72 Lihat: P.H. Koagou, “Suatu Pendekatan Teoretis Mengenai Penelitian

Shamanisme di Modole”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 325-336.

73 KRT. Partahadiningrat, Bersih Dhusun, Merti Dhusun, Merdi Dhusun utawi Rasulan sakeplasan, (Yogyakarta: Jarahnitra, 1987-1988), hlm. 3.

Page 45: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

154

beberapa bukti yang mengisyaratkan adanya perpindahan nenek moyang

Austronesia dan akibat yang terjadi. Mitos-mitos yang menyelimuti petunjuk

mengenai kedatangan nenek moyang dari seberang lautan masih banyak dijumpai

pada berbagai kelompok etnis Austronesia. Walaupun demikian, transformasi

budaya yang terjadi pada tiap etnis yang bersangkutan menyebabkan mitos

tersebut tereduksi pada bentuk yang lebih beragam.

Fox74, mencatat beberapa mitos tersebut, seperti: mitos Raja dan Ikan Hiu

pada masyarakat Noikoro (Fiji), mitos Jaka Samodra di Gresik (Jawa) dan

Brahmana Ida Dalam Ketut Kresna Kepakisan di Bali. Di Maluku Utara, terdapat

mitos mengenai Bikoucigara dan Ular Naga yang bertelur empat. Dari keempat

telur ini lahir anak-anaknya yang menetap di Loloda, Ternate, Todore dan

Bacan.75 Masyarakat di Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, selain memiliki

kepercayaan pada Ubila’a (Dewa Tertinggi) juga percaya pada Atuf, yaitu orang

yang pertama kali datang di Pulau Yamdena. Kepercayaan tersebut

dimanifestasikan dengan membangun Natar, yaitu monumen perahu batu yang

74Untuk pembahasan mengenai mitos-mitos tersebut, lihat: James J. Fox, “

Austronesian Societies and Their Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU printing Service, 1995).

75 Bikoucigara dalam bahasa Portugis, atau berarti Biksu Segara (?) menemukan empat telur naga yang kemudian lahir tiga putra yang menetap di Loloda (sebelah utara Jailolo), Ternate dan Tidore serta seorang putri yang kemudian menikah dengan orang Bacan. Bandingkan mitos ini dengan konsep Moluku Kie Raha. Sumber: Paramita R. Abdurrachman, “Kegunaan Sumber-Sumber Portugis dan Spanyol untuk Penulisan Sejarah Maluku Utara”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 255.

Page 46: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

155

berada di tengah-tengah desa, sebagai pusat penyelenggaraan upacara.76 Dengan

mempelajari konsep budaya mereka maka dapat disimpulkan bahwa pola kognisi

berbagai etnis masyarakat Austronesia yang telah terpisah masih dapat dilacak

keterkaitannya dengan mempelajari konsep budaya mereka yaitu memiliki nenek

moyang yang melakukan perjalanan lewat laut.

3. Integrasi Budaya Austronesia dan Non-Austronesia

Berdasarkan bukti linguistik, bahasa Austronesia digunakan di Maluku

Utara bagian selatan, dan bahasa non Austronesia yang merupakan rumpun Papua

digunakan di bagian Utara. Di beberapa yang termasuk teritorial kerajaan Ternate,

bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca oleh masyarakat setempat yang

berbahasa ibu bahasa Non-Austronesia. Akibat penggunaan bahasa perantara,

maka terbentuk bahasa Malayu Pasar sebagai bahasa pergaulan yang berlaku di

seluruh Maluku Utara.77 Studi etnografi yang dilakukan oleh Laksono78

menunjukan bahwa masyarakat Kepulauan Kei yang diikat oleh landasan bersama

berupa Pela (ikatan persaudaraan) ternyata masih terbagi dalam golongan-

76 Periksa: Soni Prasetia Wibawa, “Monumen Natar di Desa Sangliat Dol,

Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, Maluku: Fungsi dan Kedudukannya dalam Pemukiman Tradisional”, Skripsi, (Yogyakarta: Fak. Ilmu Budaya, Univ. Gadjah Mada, 2002).

77 Haryo S. Martodirdjo, “Perkembangan Bahasa dan Budaya Daerah Perbatasan Rumpun Bahasa Austronesia dan Non-Austronesia di Halmahera”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 70.

78 Periksa: P.M. Laksono, “The House of Ren-Ren: The Identity of the Host People in the Kei Islands,” dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 287-300.

Page 47: BAB IV - · PDF filefluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi

156

golongan yang tercermin dari pola pemukiman mereka yaitu ren-ren (orang

kaya/pendatang), mel-mel (tuan tanah) dan iri-iri (budak).

Di Maluku Utara terdapat empat institusi politik yang disatukan dalam

konsep Moluku Kie Raha yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.

Kempatnya memiliki independensi masing-masing walaupun dalam perjalanan

sejarahnya tiap institusi tersebut pernah saling mendominasi atas yang lainnya.

Berdasarkan ciri-ciri linguistiknya, Ternate, Tidore dan Jailolo termasuk dalam

kelompok Non-Austronesia, sedangkan Bacan merupakan komponen budaya

tersendiri yaitu Austronesia. Asumsi linguistik menyatakan bahwa perbedaan

bahasa merupakan indikasi perbedaan suku bangsa dan semakin jauh perbedaan

suku bangsa maka semakin jauh pula hubungan kognitif diantaranya. Namun yang

terjadi di Maluku Utara adalah sebaliknya, Bacan yang cenderung berbudaya

Austronesia diikat bersama Ternate, Tidore, dan Jailolo yang Non-Austronesia

dalam konsep Moluku Kie Raha. Di kawasan tersebut, Bacan merupakan bagian

integral dari pola pemikiran tradisional Maluku Utara.

Kelihatannya kolonisasi Austronesia di kawasan Maluku Utara tidak

menggusur komunitas Non-Austronesia yang telah ada di kawasan tersebut sejak

masa sebelumnya. Intrusi budaya yang dilakukan orang Austronesia menimbulkan

inovasi budaya yang berintegrasi dengan komunitas Non-Autronesia di Maluku

Utara. Walaupun demikian masing-masing budaya tersebut tidak benar-benar

melebur menjadi satu, karena masih dapat diamati dan dikelompokkan aspek-

aspek dari masing-masing budaya yang berintegrasi tersebut.