46
57 57 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Pola Pengeluaran Rumah Tangga Di Provinsi Jawa Barat Jawa Barat merupakan Provinsi yang berada di Bagian Barat Pulau Jawa, sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta; sebelah timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia; sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten. Secara administratif Jawa Barat terbagi menjadi 27 Kabupaten/Kota, atau terdiri dari 18 Kabupaten dan 9 Kota, dengan Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi. Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Pada tahun 2017 jumlah penduduk mencapai 48.037.827 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,39 persen. Sementara itu jumlah penduduk miskin mencapai 4.168.440 jiwa atau sebesar 8,71 persen. Jumlah penduduk yang cukup besar disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan bertambahnya penduduk yang rawan pangan karena menurunnya daya beli terutama konsumsi makanan, sehingga penduduk Jawa Barat cenderung berpotensi menjadi rentan pangan (BPS, 2018). Tantangan dalam pembangunan ketahanan pangan secara umum menyangkut wilayah yang padat penduduk berupa masih terbatasnya prasarana dan sarana usaha di bidang pangan serta semakin sempitnya lahan untuk memproduksi pangan pokok karena adanya alih fungsi lahan baik sebagai tempat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Pola ...media.unpad.ac.id/thesis/120720/2017/120720170007_4_5174.pdfKabupaten dan 9 Kota, dengan Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi

Embed Size (px)

Citation preview

57

57

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Pola Pengeluaran Rumah Tangga Di Provinsi Jawa

Barat

Jawa Barat merupakan Provinsi yang berada di Bagian Barat Pulau Jawa,

sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta; sebelah timur,

berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah selatan, berbatasan dengan

Samudera Indonesia; sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten. Secara

administratif Jawa Barat terbagi menjadi 27 Kabupaten/Kota, atau terdiri dari 18

Kabupaten dan 9 Kota, dengan Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi.

Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Pada

tahun 2017 jumlah penduduk mencapai 48.037.827 jiwa, dengan laju

pertumbuhan penduduk sebesar 1,39 persen. Sementara itu jumlah penduduk

miskin mencapai 4.168.440 jiwa atau sebesar 8,71 persen. Jumlah penduduk yang

cukup besar disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin

mengindikasikan bertambahnya penduduk yang rawan pangan karena

menurunnya daya beli terutama konsumsi makanan, sehingga penduduk Jawa

Barat cenderung berpotensi menjadi rentan pangan (BPS, 2018).

Tantangan dalam pembangunan ketahanan pangan secara umum

menyangkut wilayah yang padat penduduk berupa masih terbatasnya prasarana

dan sarana usaha di bidang pangan serta semakin sempitnya lahan untuk

memproduksi pangan pokok karena adanya alih fungsi lahan baik sebagai tempat

58

tinggal ataupun untuk industri. Hal tersebut berdampak pada diversifikasi pangan

pokok masyarakat yang hanya bertumpu pada beras juga akan semakin rapuh,

karena minimnya lahan untuk memproduksi sumber karbohidrat non beras yang

dipergunakan untuk lahan industri (BPS, 2017).

Ketahanan pangan merupakan salah satu isu sentral dalam kerangka

pembangunan nasional dan salah satu fokus kebijakan operasional pembangunan

pertanian. Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan program ketahanan

pangan antara lain melalui kondisi/situasi konsumsi pangan masyarakat dilakukan

analisis situasi konsumsi pangan, karena situasi konsumsi pangan dapat

menggambarkan akses masyarakat terhadap pangan, status gizi dan

kesejahteraannya (DKPP, 2017).

Peningkatan pendapatan akan menyebabkan pergeseran pola pengeluaran.

Pola pergeseran tersebut terjadi pada pengeluaran untuk makanan akan menurun

dan porsi pengeluaran untuk non makanan akan meningkat. Hukum Engel

menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka proporsi

pengeluaran masyarakat untuk makanan semakin kecil. Ketika pangsa

pengeluaran untuk makanan semakin kecil, tingkat kemakmuran masyarakat

makin membaik (Trisnowati dan Budiwinarto, 2013).

Pangsa pengeluaran makanan menggambarkan sisi ekonomi rumah tangga,

yaitu bagaimana rumah tangga mengalokasikan anggaran yang dimiliki untuk

membeli makanan. Sesuai dengan hukum Engel, semakin tinggi pendapatan

rumah tangga, alokasi anggran untuk membeli pangan proporsinya akan semakin

berkurang. Pada kelompok rumah tangga dengan tingkat konsumsi makanannya

59

yang sudah mencapai titik jenuh, maka peningkatan pendapatannya akan

dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non makanan atau ditabung (Faharuddin

et al, 2015)

Gambar 4.1 menunjukkan pangsa pengeluaran makanan dan bukan makanan

rumah tangga di Provinsi Jawa Barat menurut tingkat kesejahteraan (kuintil

pengeluaran). Hasil pengolahan data terlihat bahwa pangsa pengeluaran pangan

untuk penduduk di kuintil pertama (terendah) sebesar 68,15 persen, sementara

pangsa pengeluaran untuk bukan makanan sebesar 31,85 persen. Hal serupa

terjadi pada kuintil kedua sampai dengan kuintil keempat, dimana pangsa

pengeluaran pangan masih berada di atas 50 persen yaitu masing-masing sebesar

64,00 persen, 59,94 persen dan 54,92 persen. Kondisi sebaliknya terjadi pada

rumah tangga yang berada pada kuintil kelima (tertinggi) pangsa pengeluaran

pangannya di bawah 50 persen yaitu sebesar 37,81 persen. Hal ini menunjukkan

terjadi perbedaan pola pengeluaran makanan dan bukan makanan berdasarkan

tingkat pendapatan rumah tangga (kuintil pengeluaran).

Berdasarkan kuintil pengeluaran rumah tangga, terlihat bahwa semakin

tinggi tingkat pendapatan rumah tangga, semakin kecil proporsi pengeluaran

untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga akan

semakin sejahtera apabila persentase pengeluaran untuk makanan lebih kecil

dibandingkan persentase pengeluaran untuk bukan makanan. Dengan kata lain,

semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara maka pangsa pengeluaran

pangannya akan semakin kecil (BPS, 2017; Deaton dan Muellbauer, 1980).

60

Gambar 4.1 Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga Menurut

Tingkat Kesejahteraan

Sumber: Susenas 2017, diolah

Pangsa konsumsi pangan rumah tangga menurut kelompok komoditas

menggambarkan alokasi anggaran belanja rumah tangga untuk makanan lebih

spesifik dalam kelompok-kelompok komoditas yang dikonsumsi. Tabel 4.1

menunjukkan bahwa golongan pendapatan terendah (kuintil pertama) memiliki

pangsa pengeluaran pangan tertinggi diantara golongan pendapatan lainnya.

Kuintil pertama konsumsi pangan masih didominasi oleh kelompok komoditas

padi-padian dengan budget share mencapai 23,32 persen. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan terendah lebih banyak

mengalokasikan konsumsi pangannya untuk kelompok komoditas yang

mengandung karbohidrat dan kalori tinggi yaitu padi-padian.

Kondisi sebaliknya terjadi pada kuintil kelima dimana merupakan golongan

dengan tingkat pendapatan tertinggi, konsumsi pangannya lebih didominasi oleh

makanan jadi dan pangan hewani. Konsumsi kedua kelompok pangan tersebut

pada kuintil kelima mencapai 60,72 persen dari total pengeluaran pangan,

Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5

68.15 64.00 59.94 54.92

37.81 31.85 36.00 40.06

45.08

62.19

Budget Share Pengeluaran Makanan

Budget Share Pengeluaran Non Makanan

61

sedangkan sisanya dialokasikan untuk kelompok padi-padian, umbi-umbian,

sayur-sayuran, buah-buahan, rokok dan pangan lainnya. Hal ini menunjukkan

terjadi perbedaan pola pengeluaran makanan antara rumah tangga dengan

pendapatan terendah dengan rumah tangga dengan pendapatan tertinggi. Rumah

tangga dengan pendapatan tinggi dalam konsumsi pangannya lebih memilih

kelompok komoditas makanan yang memiliki kandungan gizi tinggi seperti

kelompok pangan hewani.

Tabel 4.1 Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga Menurut

Tingkat Kesejahteraan dan Kelompok Komoditas

Kuintil

Kelompok Komoditi

Padi-

padian

Pangan

hewani

Umbi-

umbian

Sayur-

Sayuran

Kacang-

Kacangan

Buah-

Buahan

Makanan

Jadi

Pangan

Lainnya Rokok

Kuntil 1 23,32 12,78 0,90 6,62 5,87 2,64 28,45 7,96 11,46

Kuntil 2 16,22 13,80 0,84 6,90 5,36 3,19 31,90 8,02 13,78

Kuntil 3 12,49 15,00 0,90 7,21 4,98 3,83 33,54 7,96 14,08

Kuntil 4 9,91 16,31 0,94 7,15 4,62 4,68 35,60 7,78 13,01

Kuntil 5 6,81 18,46 0,88 6,06 3,71 5,94 42,26 6,37 9,51

Sumber: SUSENAS Maret 2017, diolah

Penurunan konsumsi kelompok padi-padian seiring dengan peningkatan

pendapatan rumah tangga. Rumah tangga pada kuintil pertama menghabiskan

pengeluaran pangannya untuk kelompok padi-padian mencapai 23,32 persen,

sedangkan rumah tangga pada kuintil kelima hanya mencapai 6,81 persen

pengeluaran pangannya untuk kelompok padi-padian.

Berbeda dengan kelompok padi-padian, konsumsi kelompok makanan jadi

dan pangan hewani semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan

(lihat gambar 4.2). Hal ini menggambarkan bahwa pola konsumsi rumah tangga di

62

Provinsi Jawa Barat sesuai dengan hukum Bennet, yang menyatakan bahwa

semakin kaya suatu masyarakat maka akan mengubah pola konsumsinya. Pola

konsumsi awalnya didominasi oleh tanaman berpati sederhana yaitu kelompok

padi-padian berubah menjadi lebih bervariasi, yaitu mengkonsumsi sayuran, buah,

produk pangan hewani dan terutama makanan jadi (Miranti et al, 2016).

Peningkatan pendapatan rumah tangga seiring dengan meningkatnya

konsumsi kelompok pangan selain padi-padian seperti kelompok makanan jadi,

buah-buahan dan pangan hewani. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian

Miranti et al. (2016) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan per

kapita rumah tangga di Provinsi Jawa Barat, baik di perkotaan maupun perdesaan,

maka pangsa pengeluaran produk padi-padian (terutama beras) akan semakin

menurun. Penurunan konsumsi produk padi-padian tersebut disertai dengan

peningkatan pangsa pengeluaran pangan untuk mengkonsumsi produk buah-

buahan dan pangan hewani (daging).

Gambar 4.2 Pangsa Pengeluaran pangan Rumah Tangga Menurut

Tingkat Kesejahteraan dan Kelompok Komoditas

Sumber: SUSENAS Maret 2017, diolah

0%

20%

40%

60%

80%

100%

BU

DG

ET S

HA

RE

Rokok

Pangan Lainnya

Makanan Jadi

Buah-Buahan

Kacang-Kacangan

Sayur-Sayuran

Umbi

pangan hewani

63

4.2 Gambaran Umum Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Miskin Di

Provinsi Jawa Barat

Pengeluaran rumah tangga miskin menggambarkan bagaimana golongan

dengan pendapatan dibawah garis kemiskinan mengalokasikan anggaran yang

dimiliki untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Hasil

pengolahan data Susenas Maret Tahun 2017 (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa rata-

rata pengeluaran per bulan untuk rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat

sebesar Rp.1.213.907,-, yang dialokasikan untuk pengeluaran makanan sebesar

Rp.847.685,- dan non makanan sebesar Rp.366.222,-. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa rumah tangga miskin mengalokasikan sebagian besar

pengeluarannya untuk makanan. Dalam kondisi pendapatan terbatas, pemenuhan

kebutuhan makanan pasti akan menjadi pengeluaran utama rumah tangga,

sehingga kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan membelanjakan

sebagian besar pendapatannya ditujukan untuk membeli makanan.

Tabel 4.2 Statistik Deskripsi Total Pengeluaran (Makanan dan Bukan

Makanan) Berdasarkan Tipe wilayah dan Jenis Pekerjaan KRT (dalam Rupiah)

Klasifikasi RT

Total Pengeluaran Total Pengeluaran Makanan Total Pengeluaran Non Makanan

Rata-Rata Standar

Deviasi Rata-rata

Standar

Deviasi

Budget Share(%) Rata-Rata

Standar

Deviasi

Budget Share(%)

Keseluruhan

RT 1.213.907 547.201 847.685 414.573 69,83 366.222 192.385 30,17

Perdesaan 1.116.082 512.068 784.024 389.252 70,25 332.058 172.541 29,75

Perkotaan 1.301.117 562.833 904.438 428.211 69,51 396.679 203.809 30,49

Pertanian 1.150.482 496.045 819.262 388.315 71,21 331.220 161.959 28,79

Non

Pertanian 1.246.844 569.397 862.445 426.997 69,17 384.399 204.137 30.83

Sumber: Susenas 2017, diolah

64

Tabel 4.2 deskripsi statistik di atas, terlihat bahwa pembagian rumah tangga

berdasarkan tipe wilayah rumah tangga dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga

memiliki tingkat pengeluaran yang berbeda-beda. Berdasarkan tipe wilayah rumah

tangga, rata-rata pengeluaran makanan di perdesaan sebesar Rp.784.024,- lebih

rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran makanan di perkotaan sebesar

Rp.904.438,-. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan rumah tangga

miskin di perkotaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Kondisi tersebut terjadi

dikarenakan perbedaan harga yang dterima rumah tangga miskin diperkotaan dan

perdesaan. Rata-rata harga yang diterima rumah tangga miskin di perdesaan lebih

rendah dibandingkan dengan rumah tangga miskin di perkotaan kecuali untuk

komoditas padi-padian. Sejalan dengan penelitian Miranti et al. (2016) yang

menyatakan bahwa rata-rata pengeluaran makanan rumah tangga di perdesaan

lebih rendah dibandingkan di perkotaan.

Hal yang serupa terjadi juga pada pembagian rumah tangga berdasarkan

jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga

yang bekerja di sektor pertanian memiliki rata-rata pengeluaran makanan sebesar

Rp. 819.262,- lebih rendah dibandingkan rumah tangga miskin dengan kepala

keluarga yang bekerja disektor non pertanian sebesar Rp. 862.445,-. Kondisi

tersebut menggambarkan bahwa pendapatan rumah tangga miskin dengan kepala

keluarga yang bekerja di sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan

pendapatan kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian.

Hal yang sama juga terlihat pada rumah tangga secara keseluruhan memiliki

pangsa pengeluaran (budget share) makanan lebih besar daripada pangsa

65

pengeluaran (budget share) non makanan (lihat Tabel 4.1). Budget share makanan

mencapai nilai sebesar 69,83 persen sementara pangsa pengeluaran non makanan

mencapai 30,17 persen. Kondisi tersebut menunjukkan rumah tangga miskin di

Provinsi Jawa Barat ketahanan pangannya tergolong rentan pangan. Kondisi

serupa terjadi pada pembagian rumah tangga berdasarkan tipe wilyah rumah

tangga dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, budget share makanan lebih

besar dibandingkan dengan budget share non makanan. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa pangsa pengeluaran pangan (budget share) rumah tangga

miskin baik berdasarkan tipe wilayah rumah tangga ataupun jenis pekerjaan

kepala rumah tangga, termasuk tingkat ketahanan pangan yang rentan pangan

karena nilainya >60 (Heryanah, 2016).

Tabel 4.3 Rata-Rata Pengeluaran Makanan per Kelompok Komoditas

Per Bulan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Jawa Barat Menurut Tipe

Wilayah dan Jenis Pekerjaan KRT (dalam Rupiah)

Kelompok

Pangan

RT

Keseluruhan

Tipe Wilayah Jenis Pekerjaan KRT

Perdesaan Perkotaan Pertanian Non

Pertanian

Padi-Padian 224.703 231.340 218.805 245.223 214.066

Umbi-Umbian 7.339 8.296 6.479 8.153 6.916

Pangan Hewani 101.793 88.119 113.895 96.439 104.574

Sayur-Sayuran 50.840 48.357 53.061 50.674 50.926

Kacang-Kacangan 46.792 43.957 49.313 45.593 47.411

Buah-Buahan 19.032 17.833 20.164 19.707 18.681

Makanan Jadi 228.497 194.016 259.244 189.026 249.001

Pangan Lainnya 65.633 59.297 71.318 63.030 66.985

Rokok 103.050 92.808 112.184 101.417 103.900

Sumber: Susenas Maret 2017, diolah

66

Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa rata-rata pengeluaran pangan per komoditas

per bulan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat secara umum masih

didominasi oleh kelompok komoditas padi-padian sebesar Rp.224.703,-. Namun,

jika dibedakan berdasarkan tipe daerah rumah tangganya diketahui bahwa rata-

rata pengeluaran per kelompok komoditas per bulan rumah tangga miskin

perdesaan lebih kecil dari pada rumah tangga miskin di perkotaan kecuali untuk

kelompok pangan jenis karbohidrat yaitu kelompok padi-padian dan umbi-

umbian. Rumah tangga di perdesaan mengkonsumsi lebih banyak kelompok

komoditas padi-padian sehingga menghabiskan rata-rata pengeluaran sebesar

Rp.231.340,-.

Tingginya konsumsi kelompok padi-padian di perdesaan karena

penduduknya lebih banyak membutuhkan kalori dan energi untuk beraktifitas

daripada penduduk di perkotaan karena. Sebagian besar aktivitas di daerah

perdesaan merupakan kegiatan fisik yang memerlukan kalori lebih banyak.

Utamanya kecukupan kalori ini disumbang oleh kelompok komoditas padi-padian,

dimana pada kelompok komoditas ini merupakan komoditi makanan pokok rata-

rata penduduk Jawa Barat yaitu beras (BPS, 2017, Ariani dan Purwantini, 2006).

4.3 Gambaran Umum Pangsa Pengeluaran (Budget Share) per Kelompok

Komoditas Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Jawa Barat

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa secara umum pada rumah tangga miskin di

Provinsi Jawa Barat, pangsa pengeluaran pangan (budget share) kelompok padi-

padian menempati urutan tertinggi kemudian selanjutnya ditempati oleh kelompok

makanan jadi masing-masing sebesar 28,22 persen dan 25,88 persen. Kedua

67

kelompok komoditas ini mencapai 54,10 persen dari total pengeluaran pangan

rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat dan sisanya sebesar 45,90 persen

tersebar pada kelompok komoditas pangan hewani (11,98 persen), umbi-umbian

(0,97 persen), sayur-sayuran (6,39 persen), kacang-kacangan (6,03 persen),

pangan lainnya (8,03 persen) dan rokok (10,19 persen). Hal ini menunjukkan

bahwa rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat bergantung pada kelompok

padi-padian. Artinya, rumah tangga miskin sangat tergantung dengan konsumsi

beras yang merupakan salah satu komponen dalam kelompok padi-padian.

Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Miranti et al. (2016) yang menyatakan

bahwa pangsa pengeluaran rumah tangga di Provinsi Jawa Barat masih

didominasi kelompok pangan padi-padian. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa

pendapatan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat relatif rendah.

Kelompok makanan jadi dan rokok memiliki pangsa pengeluaran pangan

(budget share) yang cukup tinggi yaitu mencapai 25,88 persen dan 10,19 persen

pada pola konsumsi rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat lebih memilih

makanan jadi dibandingkan membeli jenis pangan yang harus diolah, dengan

pertimbangan harga yang diperoleh lebih murah. Budget share kelompok rokok

cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok komoditas lain seperti sayur-

sayuran, buah-buah, kacang-kacangan dan pangan lainnya. Kondisi tersebut

sejalan dengan publikasi BPS (2017) yang menyatakan bahwa makanan jadi dan

rokok merupakan pangsa pengeluaran terbesar pada rumah tangga di Provinsi

Jawa Barat. Rokok memang sudah menjadi hal umum di Indonesia dan banyak

68

dijumpai diberbagai tempat. Pembatasan kawasan bebas merokok di tempat

umum dan semakin digiatkannya kampanye memerangi rokok, akan tetapi

kebijakan tersebut tidak menjadikan konsumsi rokok turun secara drastis (BPS

2017).

Tabel 4.4 Rata-Rata Pangsa Pengeluaran per Kelompok pangan Menurut Tipe

Wilayah Dan Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Miskin

Di Provinsi Jawa Barat

Kelompok

Komoditas

Pangsa Pengeluaran Pangan

Keseluruhan

RT

Tipe Wilayah Jenis Pekerjaan KRT

Perdesaan Perkotaan Pertanian Non

Pertanian

Padi 28,22 31,11 25,65 31,36 26,60

pangan hewani 11,98 11,38 12,51 11,78 12,09

Umbi 0,97 1,22 0,75 1,18 0,87

Sayur-Sayuran 6,39 6,68 6,13 6,74 6,20

Kacang-Kacangan 6,03 6,13 5,94 6,01 6,04

Buah-Buahan 2,31 2,34 2,29 2,43 2,24

Makanan Jadi 25,88 23,55 27,95 22,04 27,87

Pangan Lainnya 8,03 7,86 8,18 7,92 8,08

Rokok 10,19 9,73 10,59 10,54 10,01

Sumber: SUSENAS Maret 2017, diolah

Tabel 4.4 memperlihatkan perbedaan pola pangan rumah tangga miskin

perkotaan dan perdesaan di Provinsi Jawa Barat. Perbedaan terbesar pola pangan

di kedua tipe wilayah tersebut ada pada kelompok komoditas padi-padian, pangan

hewani serta makanan jadi. Jika dibedakan berdasarkan tipe wilayah perdesaan

dan perkotaan, diketahui bahwa pangsa pengeluaran pangan rumah tangga miskin

perdesaan lebih besar daripada pangsa pengeluaran rumah tangga miskin di

69

perdesaan, kecuali untuk kelompok komoditas pangan hewani, makanan jadi,

pangan lainnya dan rokok. Rumah tangga miskin di perdesaan mengkonsumsi

lebih banyak kelompok komoditas padi-padian dibandingkan rumah tangga

miskin di perkotaan, menghabiskan rata-rata 31,11 persen dari pengeluaran

pangannya sementara diperkotaan hanya menghabiskan 25,65 persen dari total

pengeluaran pangannya. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Saliem et al

(2002) yang menyatakan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat lebih tinggi

di daerah perdesaaan dibandingkan dengan daerah perkotaan.

Sementara itu, pada rumah tangga miskin di perkotaan budget share untuk

kelompok komoditas pangan hewani lebih besar daripada di perdesaan karena

rumah tangga di perkotaan memiliki tingkat pemahaman akan komposisi gizi

yang tinggi sehingga akan lebih memprioritaskan budget share konsumsinya

untuk kelompok pangan hewani. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian

Susanti et al. (2014) yang menyatakan bahwa proporsi pengeluaran rumah tangga

untuk komoditi bahan pangan hewani tersebut lebih tinggi pada rumah tangga

yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan.

Kondisi serupa terjadi pada kelompok makanan jadi, pangan lainnya, serta

rokok dimana budget share untuk ketiga kelompok komoditas tersebut di

perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Dominansi kelompok makanan jadi

di perkotaan terjadi karena dipengaruhi oleh perbedaan gaya hidup dan kesibukan

masyarakat perkotaan dan perdesaan. Masyarakat perkotaan umumnya memiliki

kesibukan di luar rumah dan hampir sepanjang hari mengharuskan mereka untuk

mengkonsumsi makanan dan minuman jadi. Selain itu, gaya hidup di perkotaan

70

yang senang berkumpul dan makan di luar rumah turut meningkatkan proporsi

pengeluaran makanan dan minuman jadi serta meningkatkan industri makanan

dan minuman jadi (Purwaningsih et al, 2010).

Berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, hasil analisis

menunjukkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja di sektor

pertanian memiliki pangsa pengeluaran pangan yang lebih besar dibandingkan

dengan rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja di sektor non

pertanian, kecuali untuk kelompok komoditas pangan hewani, kacang-kacangan,

makanan jadi, dan pangan lainnya. Hal tersebut terjadi karena pendapatan di

sektor pertanian lebih rendah daripada sektor non pertanian sehingga rumah

tangga akan mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk komoditas pangan

dibandingkan dengan komoditas non pangan (Tulangow et al, 2017).

Kelompok rokok memiliki budget share lebih besar pada rumah tangga

yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan rumah tangga dengan kepala rumah

tangga yang bekerja di sector non pertanian. Hal tersebut dikarenakan, kepala

keluarga yang bekerja di sektor pertanian memiliki pendidikan dan pendapatan

yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kepala keluarga yang bekerja di

sektor non pertanian. Sehingga, pemahaman tentang bahaya konsumsi rokok

masih rendah. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Miranti et al. (2016) dan

Purwaningsih et al. (2010) yang menyatakan bahwa masyarakat miskin cenderung

menggunakan rokok lebih banyak dibandingkan masyarakat kaya.

71

4.4 Hasil Estimasi Parameter LA-AIDS

4.4.1 Nilai Pengeluaran yang Kosong (Zero Expenditure)

Masalah yang harus diatasi agar hasil estimasi fungsi permintaan tidak

bias adalah masalah selectivity bias. Menurut Moeis (2003) dalam yuliana (2008),

selectivity bias dari data terjadi karena adanya rumah tangga yang tidak

mengkonsumsi salah satu komoditi makanan disebabkan oleh beberapa hal,

misalnya pola diet rumah tangga tersebut sebagai vegetarian sehingga tidak

mengkonsumsi daging dan hewani, atau disebabkan oleh waktu pencacahannya

yang sangat pendek (seminggu) sehingga pada waktu pencacahan rumah tangga

tersebut kebetulan sedang tidak mengkonsumsi komoditi tertentu. Tidak

mengikutsertakan rumah tangga yang tidak mengkonsumsi komoditi ini dalam

estimasi akan menghasilkan dugaan parameter yang bias.

Penggunaan data Susenas dalam analisis permintaan kemungkinan

terdapat data rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran terhadap satu

komoditi atau kelompok komoditi selama periode pengamatan. Pada data Susenas,

masalah zero expenditure terjadi pada dua sisi yaitu sisi kuantitas dan jumlah

pengeluaran dari rumah tangga dalam membeli suatu komoditi.

Untuk mengantisipasi selectivity bias ini adalah dengan cara

menggabungkan atau mengelompokkan komoditas sehingga membuat kelompok

komoditas yang dianalisis menjadi lebih besar. Dalam penelitian ini komoditas

dalam Susenas diagregasi menjadi delapan kelompok komoditas utama, yaitu

kelompok padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, sayur-sayuran, buah-

72

buahan, kacang-kacangan, makanan jadi dan pangan lainnya (Mayasari et al,

2018).

Apabila setelah diagregasi masih terdapat nilai yang kosong, maka zero

expenditure dalam penelitian ini diatasi dengan menambahkan variabel Invers

Mills Ratio (IMR) dari setiap komoditi atau kelompok komoditi sebagai variabel

independen. Fungsi dari menambahkan variabel IMR adalah untuk

memperhitungkan rumah tangga yang pada saat dilakukan survei tidak

mengkonsumsi komoditi atau kelompok komoditi yang ditanyakan. Variabel IMR

diperoleh dengan melakukan two step estimation dari Heckman test dengan

regresi probit (Berges & Casellas, 2002, Chandra 2007). Dengan demikian,

persamaan LA-AIDS (3.1) menjadi:

𝑤𝑖 = 𝛼𝑖+∑ 𝛾𝑖𝑗𝑗 ln𝑝𝑗+𝛽𝑖ln(𝑦

𝐼)+𝜇𝑖jart+𝜏𝑖d_lok+𝜌𝑖d_tani+ɵ𝑖rls + 𝛿𝑖IMR + 휀𝑖 ….(3.2)

dimana, wi adalah proporsi pengeluaran rumah tangga untuk kelompok komoditas

ke-i, lnpj adalah logaritma natural harga kelompok komoditas ke-j, ln(y/I)

menunjukkan logaritma natural total pengeluaran pangan dibagi dengan indeks

harga Stone, Indeks harga Stone: Log p* = ∑ 𝑤𝑖14𝑖=1 Log𝑝𝑖, jart adalah jumlah

anggota rumah tangga, d_lok menunjukkan dummy wilayah (perdesaan=1,

lainnya=0), rls menunjukkan rata-rata lama sekolah (years of schooling) kepala

rumah tangga, d_tani menunjukkan dummy pekerjaan kepala rumah tangga

(bekerja disektor pertanian =1, lainnya =0), IMR menunjukkan nilai Invers Mills

Ratio (IMR), 휀𝑖 adalah error komoditas ke-i, serta α, β, γ, μ, τ, ρ, θ merupakan

parameter model LA-AIDS.

73

4.4.2 Endogeneity Problem

Penelitian ini menggunakan data cross section Susenas, sehingga rentan

terhadap permasalahan mendasar dalam data hasil pengamatan, yaitu masalah

endogenitas (Endogeneity Problem). Masalah endogenitas adalah kondisi dimana

variabel penjelas berkorelasi dengan error dari persamaan regresi. Apabila

masalah tersebut tidak diperhitungkan, kemungkinan akan menghasilkan estimasi

parameter yang bias (simultaneity bias) sehingga merusak validitas temuan yang

diperoleh dari analisis tipe regresi (Sande & Ghosh, 2018). Langkah selanjutnya

yang dilakukan sebelum mengestimasi sistem persamaan permintaan yaitu

mengatasi masalah endogenitas pada total pengeluaran makanan.

Wooldridge (2013) menyatakan bahwa masalah endogenitas dapat diatasi

dengan menggunakan beberapa metode, antara lain: first difference, fixed effect,

dan instrumental variable. Penelitian ini karena menggunakan data cross section,

maka metode instrumental variable digunakan untuk mengatasi masalah

endogenitas yang terjadi pada pengeluaran makanan per bulan dari rumah tangga.

Instrumental variable yang digunakan untuk mengatasi masalah endogenitas

untuk variabel pengeluaran per bulan rumah tangga untuk konsumsi makanan

adalah total pendapatan yang didekati dengan total pengeluaran rumah tangga

(total konsumsi makanan ditambah total konsumsi non-makanan). Hasil analisis

yang dilakukan oleh para penulis terdahulu menunjukkan bahwa pendapatan

rumah tangga merupakan IV yang baik bagi pengeluaran konsumsi dari rumah

tangga. Syarat yang harus dipenuhi untuk sebuah variabel digunakan sebagai IV

adalah variabel instrumen berkorelasi dengan variabel yang diinstrumenkan dan

74

tidak berkorelasi dengan error pada persamaan utama (Attanasio dan Lechene,

2010; Attanasio et al., 2013; Lecocq dan Robin, 2015).

Hasil pengujian terhadap kondisi relevance menunjukkan bahwa koefisien

variabel total pengeluaran signifikan pada level 1%. Artinya, variabel total

pengeluaran berkorelasi dengan variabel total pengeluaran rumah tangga untuk

makanan. Dengan demikian, syarat pertama dari variabel total pengeluaran

sebagai variabel instrumen bagi total pengeluaran rumah tangga untuk makanan

dapat dipenuhi. Syarat kedua yang harus dipenuhi oleh variabel total pengeluaran

agar dapat digunakan sebagai variabel instrumen bagi total pengeluaran rumah

tangga untuk makanan adalah exogenity. Hasil pengujian endogenitas

menunjukkan bahwa, hipotesis nol (Ho) yang menyatakan bahwa variabel total

pengeluaran rumah tangga untuk makanan merupakan variabel eksogen pada

semua persamaan permintaan ditolak. Artinya, variabel total pengeluaran rumah

tangga untuk makanan adalah variabel yang endogen.

Pada Tabel 4.5 terlihat hasil pengolahan data, menunjukkan bahwa secara

simultan variabel bebas yang meliputi pengeluaran rumah tangga sebagai proksi

dari pendapatan, harga komoditas pangan dan variabel sosial demografi dalam

model LA-AIDS mampu digunakan dalam mengestimasi pangsa pengeluaran

pangan (budget share) kelompok komoditas pangan. Hal ini dapat dilihat dari

nilai chi square seluruh budget share kelompok komoditi menunjukkan nilai

signifikan pada taraf 1 persen dengan nilai koefisien determinasi (R-squared)

berkisar antara 2,51-57,13 persen. Rendahnya nilai R-squared tersebut karena data

yang digunakan merupakan data cross section memiliki tingkat heterogenitas yang

75

tinggi. Gujarati (2010) dalam Mayasari et al. (2018) mengemukakan bahwa data

cross section melibatkan beberapa observasi dan memiliki tingkat diversitas tinggi

sehingga nilai R square yang rendah tidak merupakan masalah.

4.4.3 Variabel Harga

Variabel harga sendiri memiliki pengaruh positif dan signifikan dalam

menentukan budget share semua kelompok komoditas pangan rumah tangga

miskin kecuali kelompok makanan jadi menunjukkan pengaruh negatif. Kondisi

tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mayasari et al. (2018)

yang menyatakan bahwa variabel harga komoditas pangan memiliki pengaruh

yang signifikan dalam menentukan proporsi pengeluaran pangan rumah tangga

miskin. Hasil estimasi menunjukkan dari 72 koefisien yang ada, 63,89 persen

diantaranya memiliki nilai signifikansi pada taraf signifikansi 1 persen sampai

dengan 10 persen.

Variabel harga menyebabkan dua pengaruh dalam menentukan budget share

kelompok komoditas pangan yaitu pengaruh positif dan negatif. Tanda positif

menunjukkan peningkatan harga akan meningkatkan budget share kelompok

komoditas pangan tersebut, sedangkan tanda negatif menunjukkan pengaruh

sebaliknya yaitu adanya peningkatan harga akan menyebabkan penurunan

terhadap budget share kelompok komoditas pangan tersebut. Kedua pengaruh ini

(positif dan negatif) terjadi karena pangsa pengeluaran makanan merupakan hasil

pembagian antara nilai pengeluaran kelompok komoditas dengan total

pengeluaran makanan. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Mayasari et al

(2018) dan Surjono et al. (2013) yang menyatakan bahwa terdapat dua pengaruh

76

variabel harga terhadap budget share kelompok pangan yang diteliti yaitu positif

dan negatif.

Nilai pengeluaran kelompok makanan diperoleh dari perkalian antara unit

value (proksi harga) dengan jumlah yang dikonsumsi. Sehingga jika kenaikan

harga lebih besar daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi maka budget share

akan naik (pengaruh positif), kondisi sebaliknya berlaku jika kenaikan harga lebih

kecil daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi maka budget share akan turun

(pengaruh negatif).

Pengaruh variabel harga kelompok komoditas padi-padian menunjukkan

nilai yang positif dan signifikan terhadap budget share komoditas padi-padian

yaitu sebesar 0,1419. Kondisi ini menggambarkan jika terjadi kenaikan harga

pada kelompok komoditas padi-padian sebesar 1 persen maka akan meningkatkan

budget share komoditas padi-padian sebesar 0,1419 persen (ceteris paribus).

Permintaan yang tetap meningkat ini dikarenakan komoditas padi-padian

merupakan komoditas utama bagi sebagian besar rumah tangga miskin di Jawa

Barat, sehingga kenaikan harga pada komoditas tersebut tidak menurunkan budget

share komoditas ini.

Rumah tangga miskin lebih mengutamakan konsumsi untuk karbohidrat

atau kalori, untuk sekedar menghilangkan rasa lapar tanpa memperhatikan

kebutuhan nutrisi makanan yang harus dikonsumsi (Surjono et al. (2013). Kondisi

tersebut sejalan dengan penelitian Mayasari et al (2018) yang mengemukan bahwa

variabel harga komoditas padi/umbi-umbian menunjukkan nilai yang positif dan

signifikan terhadap budget share komoditas padi/umbi-umbian. Permintaan yang

77

tetap meningkat ini dikarenakan komoditas padi/umbi-umbian merupakan

komoditas utama bagi sebagian besar rumah tangga miskin di Jawa Timur. Untuk

melihat respon perubahan harga, baik itu harga sendiri maupun harga barang lain

terhadap jumlah yang diminta dapat dilihat pada nilai elastisitas permintaan, yang

akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

4.4.4 Variabel Pendapatan

Variabel pendapatan rumah tangga yang diproksi dari total pengeluaran

makanan yang telah dideflasi dengan indeks harga stone, relatif menunjukkan

nilai yang signifikan pada taraf signifikansi 1-10 persen dalam mempengaruhi

budget share kelompok komoditas pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa

Barat, kecuali kelompok komoditas pangan lainnya tidak menunjukkan pengaruh

yang signifikan. Artinya pangsa pengeluaran makanan kelompok komoditas

pangan lainnya tidak dipengaruhi oleh besarnya tingkat pendapatan rumah tangga

miskin. Hal ini dimungkinkan karena komponen dalam kelompok pangan lainnya

terdiri dari bumbu, bahan minuman, dan konsumsi lainnya, sehingga kebutuhan

akan konsumsi komponen pangan tersebut tidak dipengaruhi oleh tingkat

pendapatan rumah tangga miskin.

4.4.5 Variabel Sosial Demografi

Variabel sosial demografi yang dimasukkan dalam sistem permintaan LA-

AIDS dimaksudkan untuk menangkap preferensi atau pilihan konsumsi rumah

tangga miskin di Provinsi Jawa Barat. Beberapa penelitian sebelumnya

menemukan bahwa perlu dimasukkannya variabel sosial demografi dalam kajian

78

permintaan atau konsumsi pangan. Penelitian tersebut salah satunya dilakukan

oleh Widardjono (2013) meneliti tentang permintaan pangan di Provinsi

Yogyakarta. Beberapa variabel sosial demografi yang dimasukkan diantaranya

tipe wilayah, ukuran rumah tangga, umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala

rumah tangga, dan jenis kelamin kepala rumah tangga.

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai koefisien hasil estimasi sistem

permintaan LA-AIDS, tidak semua variabel sosial demografi memiliki pengaruh

dalam menentukan budget share kelompok komoditas pangan rumah tangga

miskin di Provinsi Jawa Barat. Hasil estimasi menunjukkan, dari 32 koefisien

yang terbentuk, sekitar 50 persen memiliki pengaruh pada taraf signifikansi 1-10

persen. Berikut beberapa penjelasan mengenai pengaruh variabel sosial demografi

dalam menentukan konsumsi pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat.

1) Jumlah Anggota Rumah Tangga

Definisi variabel anggota rumah tangga yang digunakan dalam penelitian ini

adalah semua orang, baik yang telah tinggal selama 6 bulan atau lebih, atau yang

telah tinggal kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap/berencana tinggal selama

6 bulan atau lebih. Berdasarkan pengolahan data, diperoleh hasil bahwa jumlah

anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan pada taraf 1 persen sampai

dengan 10 persen terhadap budget share semua kelompok komoditas pangan

rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat kecuali untuk kelompok komoditas

makanan jadi.

Hasil pengolahan data menunjukkan jumlah anggota rumah tangga

menyebabkan pengaruh negatif di semua kelompok komoditas pangan rumah

79

tangga miskin di Provinsi Jawa Barat kecuali pada kelompok komoditas padi-

padian berpengaruh positif. Pengaruh negatif menunjukkan ketika terjadi

peningkatan jumlah anggota keluarga akan menyebabkan penurunan budget share

kelompok komoditi. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Firdaus et al. (2013) menyatakan bahwa jumlah anggota rumah

tangga akan mempengaruhi tingkat konsumsi dan pengeluaran rumah tangga.

Penambahan jumlah anggota rumah tangga dengan kondisi tingkat variabel

yang lain tetap (ceteris paribus) dapat menurunkan jumlah konsumsi pangan

rumah tangga. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang yang menjadi

beban atau tanggungan keluarga. Banyaknya jumlah orang dalam keluarga erat

kaitannya dengan distribusi penghasilan terutama untuk kebutuhan konsumsi

rumah tangga dan keperluan lainnya. Jumlah anggota rumah tangga

menggambarkan keadaan ekonomi yang dipikul masing-masing keluarga terhadap

kesejahteraan rumah tangga (Ningsih et al, 2012).

Sementara itu, pengaruh positif menunjukkan peningkatan jumlah anggota

rumah tangga akan meningkatkan budget share kelompok komoditas pangan.

Kondisi tersebut terjadi karena kelompok komoditas padi-padian merupakan

kelompok prioritas dalam konsumsi rumah tangga tangga miskin di Provinsi Jawa

Barat, sehingga adanya penambahan anggota rumah tangga mengakibatkan

peningkatan budget share kelompok padi-padian.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Trisnowati & Budiwinarto (2013) dan

Siahaan et al. (2016) mengemukakan bahwa banyaknya anggota rumah tangga

berpengaruh positif terhadap permintaan kelompok pangan. Jumlah anggota

80

keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi rumah

tangga. semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka akan meningkatkan pola

konsumsi masing-masing anggota rumah tangga.

2) Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Jenis pekerjaan kepala rumah tangga dibedakan menjadi kepala rumah

tangga yang bekerja di sektor pertanian dan bekerja di sektor non pertanian. Hasil

pengolahan data, diketahui bahwa jenis pekerjaan kepala rumah tangga

berpengaruh signifikan pada semua kelompok komoditas kecuali kelompok

pangan hewani, buah-buahan dan kacang-kacangan.

Variabel jenis pekerjaan kepala rumah tangga memiliki pengaruh positif

terhadap pangsa pengeluaran (budget share) semua kelompok komoditas pangan

yang dianalisis kecuali kelompok makanan jadi (berpengaruh negatif). Pengaruh

positif terhadap budget share komoditas tersebut dikarenakan sebagian besar jenis

kelompok komoditas yang dianalisis merupakan komoditas berbasis pertanian

seperti padi-padian, sayur-sayuran dan pangan lainnya, sehingga banyak

didapatkan dari produksi rumah tangga sendiri.

Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Mayasari et al (2018) yang

menemukan bahwa rumah tangga miskin yang bekerja pada sektor pertanian

memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dalam menentukan budget share

komoditas padi/umbi-umbian, ikan/daging/telur/susu dan pangan lainnya.

3) Tipe Wilayah Rumah Tangga

Pada variabel tipologi wilayah tempat tinggal, dibedakan menjadi rumah

tangga miskin yang berada di perdesaan dan rumah tangga miskin yang berada di

81

perkotaan. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tipe wilayah rumah

tangga berpengaruh secara signifikan pada kelompok komoditas padi-padian,

pangan hewani, dan sayur-sayuran. Rumah tangga miskin perdesaan di Jawa Barat

memiliki lebih besar budget share konsumsi pangannya pada kelompok

komoditas padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran

dibandingkan dengan rumah tangga miskin di perkotaan. Hal tersebut terjadi

karena di perdesaan kelompok komoditas tersebut mudah diperoleh dan rumah

tangga perdesaan identik dengan wilayah pertanian.

Sementara itu budget share kelompok komoditas pangan hewani lebih besar

di rumah tangga perkotaan daripada perdesaan. Hal tersebut terjadi karena rumah

tangga miskin di perkotaan lebih memperioritaskan pola konsumsinya pada

kelompok komoditas yang memiliki kandungan gizi yang tinggi yaitu pada

kelompok pangan hewani. Pada kelompok komoditas buah-buahan, kacang-

kacangan, makanan jadi, pangan lainnya serta pangan lainnya tidak menunjukkan

pengaruh yang signifikan.

4) Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) Kepala rumah Tangga

Variabel sosial demografi yang terakhir yaitu rata-rata lama sekolah kepala

rumah tangga (RLS), tingkat RLS kepala rumah tangga memiliki pengaruh yang

positif dan signifikan dalam menentukan budget share konsumsi kelompok

komoditas pangan hewani dan pangan lainnya. Sementara itu tingkat RLS kepala

rumah tangga memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan dalam menentukan

budget share kelompok komoditas padi-padian. Hal ini mengindikasikan tingkat

82

RLS kepala rumah tangga menentukan dalam pengambilan keputusan mengenai

komoditas-komoditas yang akan dikonsumsi rumah tangga.

Semakin tinggi RLS kepala rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat,

maka kepala rumah tangga tersebut lebih memahami mengenai kebutuhan gizi

anggota rumah tangganya dan cenderung memprioritaskan budget share konsumsi

pangannya pada kelompok komoditas pangan hewani, makanan jadi, serta pangan

lainnya. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Nugroho & Suparyono (2013)

yang menemukan bahwa pendidikan kepala keluarga mempunyai hubungan

positif terhadap dengan porsi pengeluaran pangan hewani (daging sapi dan babi).

Konsumen dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempunyai

aksesibilitas informasi yang lebih baik dibandingkan dengan konsumen dengan

tingkat pendidikan rendah. Informasi tentang kesehatan dan kandungan nutrisi

akan memengaruhi perilaku konsumen dan selanjutnya akan memengaruhi

permintaan pangan. Selain karena informasi kandungan gizi dan kesehatan,

tingkat pendidikan konsumen juga menentukan tingkat rasionalitas dalam perilaku

konsumsinya. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka keinginan untuk

mengalihkan ke pengeluaran selain konsumsi akan semakin tinggi, seperti untuk

investasi, kesehatan, rekreasi/hiburan, pendidikan, dan lain-lain (Nugroho &

Suparyono, 2013).

4.4.6 Inverse Mills Rasio (IMR)

Parameter Inverse Mills Rasio (IMR) berpengaruh nyata pada taraf 5 persen

sampai dengan 10 persen untuk kelompok komoditas kacang-kacangan, pangan

lainnya dan rokok. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan sampel selectivity

83

bias terbukti pada kelompok komoditas kacang-kacangan, pangan lainnya dan

rokok. Dengan menambah variabel variabel IMR, maka parameter-parameter

estimasi dalam persamaan budget share untuk kelompok kacang-kacangan,

pangan lainnya dan rokok tidak bias. Kemudian, pengaruh variabel IMR yang

tidak signifikan untuk kelompok komoditas padi-padian, sayur-sayuran, buah-

buahan, dan makanan jadi. Hal ini menunjukan bahwa masalah selectivity bias

tidak terjadi untuk kelompok komoditas tersebut (Chandra, 2007).

4.4.7 Instrumental Variable

Pada penelitian ini, instrumental variable yang digunakan untuk mengatasi

masalah endogenitas pada variabel pengeluaran konsumsi makanan per bulan dari

rumah tangga adalah total pengeluaran rumah tangga sebagai proxy dari

pendapatan rumah tangga. Hasil pengolahan data menunjukkan parameter variabel

instrumen berpengaruh signifikan pada taraf 1 persen. Variabel instrumen total

pengeluaran berpengaruh secara positif terhadap budget share kelompok

komoditas yang diteliti kecuali kelompok komoditas makanan jadi dan rokok. Hal

tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar budget share kelompok komoditas

dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga yang digunakan sebagai

variabel instrumen dalam penelitian ini.

84

84

Tabel 4.5 Hasil Estimasi Parameter Budget Share Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin

Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017

Variabel Budget

Share padi Budget Share

pangan hewani Budget

Share sayur Budget Share

kacang Budget Share

buah Budget Share makanan jadi

Budget Share pangan lainya

Budget Share rokok

Harga padi-padian 0,1419***

(0,0126)

-0,424***

(0,0111)

-0,0542***

(0,0062)

-0,0248***

(0,0053)

-0,0038

(0,0052)

0,0565***

(0,0211)

-0,0212***

(0,0070)

0,0566***

(0,0111)

Harga umbi-umbian

-0,0236***

(0,0056)

-0,0193***

(0,0051)

0,0012

(0,0030)

0,0004

(0,0024)

0,0009

(0,0026)

0,0727***

(0,0094)

0,0031

(0,0086)

0,0309***

(0,0051)

Harga pangan

hewani

-0,0303***

(0,0051)

0,0127***

(0,0045)

-0,0053**

(0,0026)

-0,0028

(0,0021)

-0,0003

(0,0024)

0,0031

(0,0086)

-0,0044*

(0,0028)

0,0202***

(0,0047)

Harga sayur-sayuran

-0,0219***

(0,0040)

-0,0181***

(0,0035)

0,0092***

(0,0019)

-0,0017

(0,0017)

-0,0009

(0,0015)

0,0289***

(0,0066)

-0,0076***

(0,0022)

0,0119***

(0,0037)

Harga kacang-kacangan

-0,01684

(0,0119)

-0,0407***

(0,0108)

-0,0018

(0,0061)

0,0269***

(0,0052)

-0,0053

(0,0046)

0,0869***

(0,0199) -0,0142**

-0,0368***

(0,0110)

Harga buah-buahan -0,0381***

(0,0077)

0,0041

(0,0068)

0,0102***

(0,0038)

0,0195***

(0,0032)

0,0123***

(0,0032)

-0,0180

(0,0129)

0,0091**

(0,0043)

0,0043

(0,0071)

Harga makanan jadi

0,0234*

(0,0150)

-0,0103

(0,0134)

-0,0311***

(0,0074)

-0,0418***

(0,0064)

-0,0039

(0.0062)

-0,04242***

(0.0250)

-0,0075**

(0.0083)

0,1154***

(0,0138)

Harga pangan

lainnya

-0,0272**

(0,0132)

-0,0204*

(0,0119)

-0,0235***

(0,0064)

0,0033

(0.0057)

-0,0009

(0,0063)

0,0879***

(0,0021)

0,0169**

(0,0073)

-0,0334***

(0,0122)

Harga rokok -0,0097

(0,0077)

-0,0071

(0,0068)

-0,0067*

(0,0038)

-0,0140***

(0,0032)

--0,0059**

(0,0028)

0,0067

(0,0129)

0,0050

(0,0043)

0,0316***

(0,0071)

Pendapatan -0,1381***

(0,0058)

-0,0923***

(0,0051)

-0,0391***

(0,0028)

-0,0359***

(0,0024)

0,0094***

(0,0032)

0,0982***

(0,0096)

-0,0019

(0.0032)

0,2221***

(0,0058)

85

Variabel Budget

Share padi

Budget Share

pangan hewani

Budget

Share sayur

Budget Share

kacang

Budget Share

buah

Budget Share

makanan jadi

Budget Share

pangan lainya

Budget Share

rokok

jart 0,0233***

(0,0022)

-0,0080***

(0,0019)

-0,0051***

(0.0611)

-0,0026***

(0,0009)

-0,0019**

(0.0008)

0,0004

(0,0036)

-0,0051***

(0,0011)

-0,0030*

(0,0020)

rls -0,0034***

(0,0007)

0,0014**

(0,0006)

-0,0002

(0,0004)

0,0000

(0,0003)

-0,0001

(0,0003)

0,0009

(0,0012)

0,0007*

(0,0004)

0,0008

(0,0006)

d_lok 0,0118***

(0,0042)

-0,0144***

(0,0037)

0,0038*

(0,0021)

-0,0013

(0,0018)

-0,0033

(0,0015)

-0,0041

(0,0069)

0,0007

(0,0023)

0,0013

(0,0038)

d_tani 0,0269***

(0,0041)

-0,0009

(0,0037)

0,0041*

(0,0021)

-0,0015

(0,0017)

0,0002

(0,0018)

-0,0395***

(0,0068)

0,0002

(0,0022)

0,0089**

(0,0038)

Instrument

Variable

0,0474***

(0,0110)

0,1463***

(0,0098)

0,3507***

(0,0878)

0,0323***

(0,0047)

0,0078**

(0,0038)

-0,1015***

(0,01830

0,0106*

(0,0061)

-0,1866***

(0,0101)

IMR -0,0035

(0,0051)

0,0047

(0,0164)

0,0040

(0,0117)

0,0153*

(0,0089)

-0,0307

(0,0236)

0,0059

(0,0078)

0,0153*

(0.0102)

0,0068***

(0,0025)

Konstanta 0,1673

(0,1787)

-0,2261

(0,1579)

0,3507***

(0,0878)

0,0112

(0,0747)

0,0482

(0,0622)

-0,0963

(0,2980)

0,1958**

(0,0991)

0,3715**

(0,1658)

R-Square 0.4902***

0.2343*** 0.1994*** 0.2270*** 0,0251*** 0.1861*** 0,0558*** 0,5713***

Chi2 1629.44

517,03 422,99 495,57 46,01 386,07 103,86 2246,82

Sumber : Susenas Maret 2017, diolah

Keterangan : - ***, **, * menunjukkan taraf signifikasi 1%, 5%, dan 10%,

Nilai dalam tanda kurung menunjukkan nilai standar error

86

86

4.5 Elastisitas

4.5.1 Elastisitas Harga Sendiri

Elastisitas harga sendiri menunjukkan seberapa besar perubahan harga

kelompok komoditi itu sendiri terhadap permintaannya. Elastisitas harga sendiri

merupakan cara yang mudah untuk mengukur respon permintaan rumah tangga

miskin terhadap perubahan harga pada komoditas pangan. (Mayasari et al., 2018)

Jika nilai elastisitas harga sendiri lebih besar dari satu, artinya efek dari perubahan

harga lebih besar dibandingkan dengan efek perubahan permintaan (elastis).

Sedangkan jika nilai elastisitas harga sendiri kurang dari satu artinya, efek

perubahan harga lebih kecil dibandingkan dengan efek perubahan permintaan

(inelastis).

Pada Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa besarnya elastisitas harga sendiri

rumah tangga miskin di Provinasi Jawa Barat untuk semua kelompok komoditas

pangan bernilai negatif. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa bila terjadi

kenaikan harga pada suatu kelompok komoditas pangan maka permintaan

terhadap kelompok komoditas pangan tersebut akan cenderung menurun. Hasil

penelitian ini sesuai dengan konsistensi dengan teori permintaan, yaitu terdapat

hubungan linier terbalik antara harga dan permintaan (Nicholson, 2002).

Hasil perhitungan nilai elastisitas harga sendiri, diketahui bahwa hampir

semua kelompok komoditas pangan memiliki nilai elastisitas harga sendiri kurang

dari 1 kecuali kelompok komoditas makanan jadi. Hal tersebut menggambarkan

bahwa kenaikan harga pada masing-masing kelompok komoditas tidak banyak

mempengaruhi konsumsi kelompok komoditas pangan (ceteris paribus). Diantara

87

ketujuh kelompok tersebut yang paling inelastis adalah kelompok padi-padian dan

kelompok buah-buahan karena memiliki nilai elastisitas harga sendiri paling

rendah yaitu masing-masing sebesar 0,3591 dan 0,4571. Kondisi tersebut terjadi

karena pada kelompok padi-padian salah satu komponennya adalah beras. Beras

merupakan makanan pokok bagi rumah tangga miskin di provisni Jawa barat dan

hampir dikonsumsi oleh semua rumah tangga. Sehingga adanya kenaikan harga

kurang direspon oleh rumah tangga miskin. Kondisi ini sejalan dengan hukum

Bennet yang menyatakan bahwa rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah,

konsumsi pangannya akan lebih memprioritaskan pada pangan yang bersifat padat

energi yang berasal dari karbohidrat, namun sejalan dengan peningkatan

pendapatan maka pola konsumsi pangannya akan semakin terdiversifikasi dan

umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan terhadap komoditas yang

bernilai gizi tinggi (Ariani dan Hermanto, 2012).

Sementara itu kelompok lainnya seperti makanan jadi memiliki elastisitas

harga lebih dari 1, yaitu sebesar 1,2624. Artinya, ketika terjadi kenaikan harga

pangan pada kelompok makanan jadi akan direspon dengan penurunan permintaan

kelompok makanan jadi (ceteris paribus). Nilai elastisitas lebih dari 1

menunjukkan kelompok makanan jadi merupakan barang yang elastis. Kondisi

tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya (Widarjono dan Rucbha, 2016)

bahwa elastisitas pada rumah tangga berpendapatan rendah cenderung bersifat

responsif (elastis) terhadap perubahan harga dibandingkan rumah tangga

berpendapatan tinggi, kondisi ini disebabkan karena umumnya rumah tangga

miskin memiliki daya beli rendah.

88

Tabel 4.6 menunjukkan elastisitas berdasarkan tipe wilayah perdesaan dan

perkotaan. Nilai elastisitas kelompok komoditas bersifat inealstis karena memiliki

nilai kurang dari 1 kecuali kelompok komoditas sayur-sayuran, makanan jadi dan

pangan lainnya. Elastisitas kelompok sayur-sayuran pada rumah tangga miskin di

perdesaan mencapai nilai sebesar 1,0453. Artinya, ketika terjadi peningkatan

harga sebesar 1 persen, maka rumah tangga akan bersifat responsif dengan

menurunkan permintaan kelompok sayur-sayuran sebesar 1,0453 persen (ceteris

paribus). Kondisi tersebut terjadi karena rumah tangga di perdesaan identik

dengan produsen sektor pertanian. Sehingga ketika terjadi kenaikan harga pada

kelompok sayur-sayuran, maka rumah tangga akan mengurangi konsumsinya

karena lebih menguntungkan jika kelompok sayur-sayuran tersebut dijual ke

wilayah perkotaan. Seiiring dengan peningkatan harga tersebut, maka rumah

tangga di perdesaan akan beralih ke kelompok pangan yang memiliki nilai gizi

sama, seperti kelompok buah-buahan dan kacang-kacangan.

Kelompok sayur-sayuran merupakan barang elastis bagi rumah tangga

miskin di perdesaan, hal ini sejalan dengan penelitian Faharuddin et al. (2015)

yang menemukan bahwa kelompok sayur-sayuran pada rumah tangga miskin di

perdesaan memiliki nilai elastisitas lebih dari 1 sehingga ketika terjadi

peningkatan harga sebesar 1 persen makan akan direspon rumah tangga dengan

menurunkan konsumsinya lebih dari 1 persen.

Berdasarkan kategori jenis pekerjaan kepala rumah tangga, terlihat bahwa

kelompok komoditas yang paling inelastis adalah kelompok komoditas padian-

padian dan buah-buahan. Artinya kelompok padi-padian dan buah-buahan

89

merupakan kelompok pangan utama bagi rumah tangga pada kategori rumah

tangga tersebut. Sehingga, ketika terjadi peningkatan harga pada kedua kelompok

komoditas kurang direspon (inelastis) dengan penurunan konsumsi kedua

kelompok pangan.

Tabel 4.6 Perbandingan Nilai Elastisitas Harga Sendiri Rumah Tangga

Miskin di Provinsi Jawa Barat Menurut Tipe Wilayah dan Jenis Pekerjaan KRT

Kelompok

Komoditas

RT

Keseluruhan Perdesaan Perkotaan Pertanian

Non

Pertanian

Padi-Padian -0,3591 -0,3766 -0,2990 -0,2711 -0,3655

Pangan Hewani -0,8014 -0,8074 -0,8053 -0,8500 -0,7809

Sayur-Sayuran -0,8172 -1,0453 -0,8714 -0,6893 -0,8381

Kacang-Kacangan -0,5174 -0,5116 -0,5056 -0,5591 -0,5236

Buah-Buahan -0,4571 -0,6041 -0,4233 -0,1065 -0,5896

Makanan Jadi -1,2624 -1,4390 -1,2560 -1,5691 -1,1325

Pangan Lainnya -0,7879 -1,0080 -0,6886 -1,0384 -0,6873

Rokok -0,9125 -0,9009 -0,8579 -0,5748 -0,8782

Sumber: SUSENAS Maret 2017, diolah

4.5.2 Elastisitas Harga Silang

Respon kenaikan harga pada suatu komoditas tidak hanya berdampak pada

komoditas itu sendiri, namun juga dapat mempengaruhi perubahan permintaan

pada komoditas lainnya. Elastisitas harga silang menunjukkan efek dari perubahan

harga kelompok komoditas lainnya terhadap permintaan kelompok komoditas.

Elastisitas harga silang akan menentukan suatu komoditi atau kelompok komoditi

bersifat komplementer atau subsitusi. Jika nilai elastisitas harga silang bernilai

positif artinya, kenaikan harga kelompok komoditi akan meningkatkan permintaan

kelompok komoditi lain atau bersifat subsitusi. Sedangkan jika nilai elastisitas

90

harga silang bernilai negatif artinya, kenaikan harga kelompok komoditi akan

menurunkan permintaan kelompok komoditi lain atau bersifat komplementer

(Mayasari et al, 2018).

Tabel 4.7 menunjukkan beberapa hal menarik dari hasil perhitungan

elastisitas harga silang pada rumah tangga miskin secara keseluruhan di Provinsi

Jawa Barat, diantaranya sebagian besar nilai elastisitas silang kelompok

komoditas memiliki nilai elastisitas yang sangat kecil berkisar antara 0,0058

sampai dengan 0,4494. Dari 35 nilai elastisitas silang yang dihasilkan sebanyak 23

elastisitas bernilai negatif, artinya bahwa kelompok komoditas pangan yang

berkaitan bersifat komplementer. Sementara itu sisanya, sebanyak 12 elatisitas

bernilai positif, menunjukkan bahwa kelompok komoditas pangan yang berkaitan

bersifat substitusi. Berdasarkan analisis elastisitas harga silang rumah tangga

miskin di Provinsi Jawa Barat, dapat diketahui untuk beberapa kelompok

komoditas mempunyai elastisitas harga silang yang bersifat saling

berkomplementer ataupun bersubstitusi. Seperti kelompok padi-padian

berkomplementer dengan pangan hewani, begitu juga pangan hewani bersifat

komplementer terhadap padi-padian. Namun tidak berlaku bagi kelompok

makanan jadi, dimana padi-padian merupakan barang komplementer bagi

makanan jadi. Sedangkan makanan jadi merupakan kelompok substitusi bagi

kelompok padi-padian. Hal ini karena kenaikan harga pangan yang lainnya relatif

tidak mempengaruhi konsumsi (Faharuddin et al. 2015).

Komoditas padi-padian merupakan kebutuhan pokok bagi keseluruhan

rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat, sehingga mempunyai budget share

91

terbesar dalam pola konsumsi rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat.

Elastisitas harga silang pada kelompok komoditas padi-padian memiliki lebih

banyak nilai negatif dibandingkan nilai positif. Artinya, kelompok padi-padian

memiliki lebih banyak hubungan komplementer dengan komoditas pangan lain

daripada hubungan substitusi. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Miranti

et al (2016) yang menemukan bahwa pada rumah tangga di Provinsi Jawa Barat

kelompok beras lebih banyak memiliki hubungan komplemeter daripada

subsitusinya dengan nilai elastisitas komplementer yang sangat kecil. Hal tersebut

menunjukkan bahwa permintaan beras tidak responsif terhadap perubahan harga

barang komplementernya.

Kelompok komoditas padi-padian memiliki hubungan substitusi terbesar

dengan kelompok komoditas makanan jadi yang bernilai sebesar 0,2094. Artinya

jika terjadi kenaikan harga pada kelompok komoditas padi-padian akan direspon

dengan menaikkan permintaan terhadap kelompok makanan jadi (ceteris paribus).

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa terjadi pergeseran pola konsumsi pada rumah

tangga miskin di Jawa Barat, dimana dominasi komoditas padi-padian sedikit

tergantikan dengan kelompok komoditas makanan jadi. Sementara itu, kelompok

komoditas padi-padian memiliki hubungan komplementer dengan kelompok

pangan hewani, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan dan pangan

lainnya. Kondisi tersebut mengindikasikan ketika terjadi kenaikan harga pada

kelompok padi-padian akan menyebabkan penurunan permintaan pada semua

kelompok komoditas pangan kecuali kelompok komoditas makanan jadi dan

rokok (ceteris paribus).

92

Kelompok padi-padian memiliki hubungan komplementer terbesar dengan

kelompok komoditas buah-buahan, bernilai sebesar 0,1239. Artinya jika terjadi

kenaikan harga pada kelompok komoditas padi-padian akan direspon dengan

penurunan permintaan terhadap kelompok buah-buahan (ceteris paribus). Kondisi

tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya (Faharuddin et al, 2013) yang

menyatakan bahwa kenaikan harga beras (salah satu komponen padi-padian) akan

mengurangi konsumsi (komplementer) susu, umbi-umbian, daging, buah-buahan

dan pangan lainnya.

Kelompok komoditas makanan jadi merupakan kelompok dengan budget

share kedua tertinggi dalam pola konsumsi rumah tangga miskin di Jawa Barat

memiliki hubungan komplementer terhadap permintaan semua kelompok

komoditas kecuali kelompok komoditas sayur-sayuran, kacang-kacangan dan

pangan lainnya. Hubungan komplementer terkuat dengan kelompok komoditi

padi-padian dengan nilai elastisitas silang sebesar 0,3255. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa kenaikan harga pada kelompok makanan jadi akan

mengakibatkan penurunan pada kelompok padi-padian (ceteris paribus).

Sementara itu, hubungan substitusi kelompok makanan jadi terjadi dengan

sayur-sayuran, kacang-kacangan dan pangan lainnya. Hubungan substitusi terkuat

dengan kelompok kacang-kacangan, bernilai elastisitas sebesar 0,3129. Nilai

tersebut mengindikasikan bahwa kenaikan harga pada kelompok komoditas

makanan jadi sebesar 1 persen akan direspon dengan meningkatkan permintaan

kelompok kacang-kacangan sebesar 0,3129 persen (ceteris paribus). Kondisi

tersebut sejalan dengan penelitian Saliem (2002) yang menyatakan bahwa

93

kelompok makanan jadi bersubstitusi dengan kelompok sayur-sayuran, kacang-

kacangan dan pangan lainnya.

Tabel 4.7 Perbandingan Nilai Elastisitas Silang Rumah Tangga Keseluruhan,

Menurut Tipe Wilayah dan Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Kelompok Komoditas

Elastisitas silang

RT

Keseluruhan

Tipe Wilayah Jenis Pekerjaan KRT

Perdesaan Perkotaan Pertanian Non

Pertanian

Padi-padian Pangan hewani -0,0488 0,0103 -0,0885 -0,0847 -0,0058

Sayur-Sayuran -0,0463 -0,0590 -0,0614 -0,1020 -0,0327

Kacang-Kacangan -0,0302 -0,1083 0,0645 -0,0826 -0,0091

Buah-Buahan -0,1239 -0,0423 -0,0814 -0,1059 -0,1351

Makanan Jadi 0,2094 0,3717 0,1159 0,4494 0,1767

Pangan Lainnya -0,0573 -0,0228 -0,0481 0,0139 -0,0899

Rokok 0,0157 0,0262 -0,0481 0,1356 0,0100

Pangan hewani Padi-Padian -0,1366 -0,3447 0,0282 -0,2732 -0,0888

Sayur-Sayuran -0,1018 -0,1978 -0,0120 -0,0741 -0,1128

Kacang-Kacangan -0,2932 -0,2524 -0,4494 -0,3485 -0,2036

Buah-Buahan 0,0525 -0,0154 0,1217 -0,0018 0,0405

Makanan Jadi 0,1130 0,0437 0,1807 0,1491 0,0849

Pangan Lainnya -0,1092 -0,1354 -0,1145 0,0723 -0,1311

Rokok 0,0370 -0,0320 0,0411 -0,0155 -0,1158

Sayur-Sayuran Padi-Padian -0,6765 -0,7926 -0,6426 -0,2732 -0,5615

Pangan hewani -0,0100 -0,0097 0,0247 -0,0741 -0,0121

Kacang-Kacangan 0,0646 -0,0483 0,1236 -0,3485 0,0232

Buah-Buahan 0,1734 0,0737 0,2429 -0,0018 0,1882

Makanan Jadi -0,3280 -0,0883 -0,4843 0,1491 -0,3199

Pangan Lainnya -0,3182 -0,4804 -0,2262 0,0723 -0,2707

Rokok -0,0425 -0,1357 -0,0532 -0,0155 -0,0361

94

Kacang-

Kacangan Padi-Padian -0,2434 -0,3247 -0,3251 -0,3305 -0,2978

Pangan hewani 0,1172 0,2324 0,0961 0,2930 0,1045

Sayur-Sayuran 0,0095 0,0222 0,0229 0,1137 -0,0125

Buah-Buahan 0,3366 -0,2094 0,3957 0,3351 0,3374

Makanan Jadi -0,5383 -0,4955 -0,4146 -0,7815 -0,5005

Pangan Lainnya 0,1034 0,2818 0,1301 -0,1177 0,1834

Rokok -0,1719 0,2360 -0,2253 -0,5334 -0,1404

Buah-Buahan Padi-Padian -0,0479 -0,1139 0,3512 -0,3092 0,0505

Pangan hewani 0,0334 -0,5690 0,3274 -0,1195 0,0345

Sayur-Sayuran -0,0137 -0,1449 -0,0002 -0,0092 0,0239

Kacang-Kacangan -0,2082 -0,4648 -0,0198 -0,2289 -0,2755

Makanan Jadi -0,0650 1,2003 -0,9032 0,5048 -0,0658

Pangan Lainnya -0,0082 0,0579 -0,1795 -0,1209 0,2412

Rokok -0,2149 0,2849 -0,1531 -0,0043 -0,2918

Makanan Jadi Padi-Padian -0,3255 -0,2590 -0,3717 -0,3538 -0,2614

Pangan hewani -0,0333 -0,1188 -0,0067 -0,0087 -0,0303

Sayur-Sayuran 0,0874 0,1299 0,0431 0,0857 0,0820

Kacang-Kacangan 0,3129 0,4255 0,2991 0,3346 0,2590

Buah-Buahan -0,0783 -0,1190 -0,0147 -0,0649 -0,0678

Pangan Lainnya 0,3091 0,3285 0,3306 0,3617 0,2303

Rokok -0,0045 0,0514 -0,0163 -0,0594 -0,0351

Pangan

Lainnya Padi-Padian -0,2576 -0,6153 -0,0944 -0,6783 0,0874

Pangan hewani -0,0521 0,0726 -0,0396 0,1235 -0,0697

Sayur-Sayuran -0,0929 -0,0302 -0,0927 -0,0281 -0,0918

Kacang-Kacangan -0,1754 -0,2137 -0,1861 -0,0669 -0,2551

Buah-Buahan 0,1142 0,1283 0,1058 0,1992 0,0868

Makanan Jadi -0,0877 -0,4130 -0,0013 -0,4634 -0,0083

Rokok 0,0647 -0,1604 0,0122 -0,1757 0,0515

Rokok Padi-Padian -0,0595 0,1499 -0,1930 0,5196 -0,2353

Pangan hewani -0,0632 -0,0212 -0,1091 -0,2965 -0,0372

Sayur-Sayuran -0,0227 -0,0094 -0,0347 -0,0947 -0,0267

95

Kacang-Kacangan -0,4923 -0,3784 -0,4447 -0,5061 -0,4629

Buah-Buahan -0,0083 0,0840 -0,1381 -0,0784 0,0221

Makanan Jadi 0,5686 0,5846 0,5528 1,1236 0,3312

Pangan Lainnya -0,5025 -0,1981 -0,6345 -0,5581 0,1123

Sumber: Susenas 2017, diolah

Sementara itu, apabila rumah tangga miskin dikategorikan berdasarkan tipe

wilayah rumah tangga (perdesaan dan perkotaan) serta jenis pekerjaan kepala

rumah tangga (pertanian dan non pertanian) diperoleh hasil bahwa di semua

kategori rumah tangga, kelompok padi-padian memiliki hubungan substitusi

terbesar dengan kelompok makanan jadi. Artinya kenaikan harga pada kelompok

komoditas padi-padian akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan

meningkatkan permintaannya terhadap kelompok komoditas makanan jadi (ceteris

paribus). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Mayasari et al. (2018) yang

menemukan bahwa terjadi pergeseran pola konsumsi pada rumah tangga miskin,

dimana dominasi komoditas padi-padian sedikit tergantikan dengan komoditas

makanan jadi.

Hubungan komplementer terbesar kelompok padi-padian berdasarkan tipe

wilayah rumah tangga (perdesaan dan perkotaan) adalah dengan kelompok

komoditi kacang-kacangan. Artinya kenaikan harga pada kelompok komoditas

padi-padian akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan menurunkan

permintaannya terhadap kelompok komoditas kacang-kacangan (ceteris paribus).

Sementara itu, hubungan komplementer terbesar kelompok padi-padian

berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga (pertanian dan non pertanian)

96

adalah dengan kelompok buah-buahan. Artinya kenaikan harga pada kelompok

komoditas padi-padian akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan

menurunkan permintaannya terhadap kelompok komoditas buah-buahan (ceteris

paribus).

4.5.3 Elastisitas Pendapatan

Elastisitas pendapatan mengukur respon perubahan permintaan kelompok

komoditas pangan ketika terjadi perubahan tingkat pendapatan. Elastisitas

pendapatan diproxy dengan total pengeluaran pangan rumah tangga miskin,

sehingga selanjutnya disebut dengan istilah elastisitas pengeluaran. Elastisitas

pendapatanakan menjelaskan sifat dari komoditas atau kelompok komoditas

apakah bersifat barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Berdasarkan

hasil pengolahan data, Elastisitas pendapatansecara keseluruhan rumah tangga

miskin menunjukkan hasil Elastisitas pendapatanyang bernilai positif. Artinya

tidak dijumpai adanya barang yang bersifat inferior pada rumah tangga miskin di

Provinsi Jawa Barat. Komoditas pangan yang ada kesemuanya bersifat barang

normal dan beberapa diantaranya termasuk ke dalam kategori barang mewah

(luxury goods). Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Faharuddin et al. (2013) dan Mayasari et al. (2018) yang menemukan bahwa

kelompok pangan memiliki nilai Elastisitas pendapatanpositif sehingga termasuk

kategori barang normal dan barang mewah.

Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa kelompok makanan jadi dan rokok

memiliki nilai elastisitas tertinggi di semua kategori rumah tangga miskin yaitu

97

nilai elastisitas lebih dari 1. Artinya, bila terjadi peningkatan pendapatan pada

rumah tangga miskin di Jawa Barat maka kenaikan tersebut akan dialokasikan

lebih banyak untuk konsumsi kelompok komoditas makanan jadi dan rokok

(ceteris paribus). Fenomena ini didukung dengan kenyataan semakin banyaknya

usaha penyediaan makanan dan minuman jadi di setiap daerah. Hasil ini sejalan

dengan penelitian Widarjono (2013) dan Mayasari et al. (2018) yang

menghasilkan temuan bahwa semakin miskin status ekonomi rumah tangga maka

elastisitas pendapatan terhadap komoditas makanan jadi akan semakin responsif.

Kelompok rokok memiliki nilai elastisitas pendapatan tertinggi untuk semua

kategori rumah tangga miskin. Kondisi tersebut menunjukkan ketika terjadi

peningkatan pendapatan, maka rumah tangga miskin akan merespon dengan

meningkatkan konsumsi terhadap kelompok rokok. Dilihat dari besarnya nilai

elastisitas pendapatan, kelompok rokok pada rumah tangga miskin dianggap

sebagai barang mewah (elastisitas pendapatan >1). Kondisi tersebut sejalan

dengan penelitian Miranti et al. (2016) yang menyatakan bahwa kelompok rokok

memiliki elastistas pendapatan lebih dari 1 dan tidak adanya barang substitusi

merupakan hal yang tidak baik dan harus diantisipasi. Rokok merupakan barang

yang menghasilkan dampak yang buruk jika dikonsumsi. Dampak buruk rokok

pada kesehatan akan mengakibatkan turunnya produktivitas tenaga kerja dan

turunnya ekspektasi hidup yang berdampak pada terhambatnya atau turunnya

pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat, bahkan pembangunan nasional.

Besarnya elastisitas pendapatan untuk konsumsi kelompok rokok harus

diwaspadai, karena akan menjadi sebuah kondisi yang dilemma dengan hasil

98

program pengentasan kemiskinan yang selalu bertujuan untuk meningkatkan

pendapatan rumah tangga miskin. Rekomendasi yang disarankan untuk mengatasi

hal tersebut diantaranya adalah dengan memberikan syarat tidak merokok kepada

rumah tangga miskin yang menerima bantuan seperti melalui BLSM, baik

bantuan yang berupa uang maupun berupa keringanan biaya (Surjono et al.

(2013).

Elastisitas pendapatan terendah terdapat pada kelompok komoditas pangan

hewani. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kelompok pangan hewani

merupakan kelompok komoditas yang dibutuhkan bagi rumah tangga miskin di

Provinsi Jawa Barat dan hampir tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat dalam

konsumsinya sehari-hari. Hal tersebut terjadi karena salah satu komponen pada

kelompok tersebut adalah ikan asin. Ikan asin selain harganya yang terjangkau

dan mudah didapat ternyata bisa dikonsumsi tanpa memandang umur, mulai dari

anak-anak, orang dewasa, hingga orang tua dapat merasakan kelezatan ikan asin

serta salah satu makanan favorit bagi rumah tangga miskin di provinsi Jawa Barat

(DKPP, 2014). Kondisi yang berlawanan terdapat pada penelitian Le (2008) dan

Faharuddin et al. (2013) yang menemukan bahwa semakin rendah tingkat

pendapatan rumah tangga maka elastisitas pendapatan terhadap komoditas pangan

hewani akan semakin tinggi yang menandakan semakin bersifat mewah komoditas

tersebut.

Berdasarkan tipe wilayah rumah tangga, elastisitas pendapatan rumah

tangga miskin perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan di perdesaan (kecuali

kelompok padi-padian dan buah-buahan). Hal ini mengindikasikan bahwa harga

99

kelompok komoditas tersebut lebih terjangkau oleh rumah tangga miskin di

perkotaan karena rata-rata pendapatan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan

dengan pendapatan di perdesaan. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian

Faharuddin et al. (2013) yang menemukan bahwa elastistas pendapatan kelompok

pangan di perkotaan lebih rendah daripada di perdesaaan dan nilainya untuk

semua kelompok pangan adalah positif dan barang normal.

Seperti halnya rumah tangga miskin di perkotaan, rata-rata pendapatan

kepala rumah tangga yang bekerja di sektor non pertanian lebih tinggi daripada

sektor pertanian. Kondisi tersebut berdampak pada harga kelompok pangan lebih

terjangkau oleh rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga yang bekerja di

sektor non pertanian, sehingga elastistas pendapatan di sektor non pertanian lebih

rendah (kurang responsif) dari pada sektor pertanian.

Tabel 4.8 Perbandingan Nilai Elastisitas Pendapatan Rumah Tangga Miskin

di Provinsi Jawa Barat Menurut Tipe Wilayah dan Jenis Pekerjaan KRT

Kelompok

Komoditas

RT

Keseluruhan Perdesaan Perkotaan Pertanian Non Pertanian

Padi-Padian 0,5107 0,4880 0,5221 0,5752 0,4770

Pangan Hewani 0,2295 0,2924 0,1968 0,2871 0,2082

Sayur-Sayuran 0,3876 0,4488 0,3407 0,4577 0,3580

Kacang-Kacangan 0,4038 0,5054 0,3341 0,4668 0,3612

Buah-Buahan 0,5937 0,6385 0,7054 0,4782 0,5663

Makanan Jadi 1,3795 1,4028 1,3504 1,1576 1,4284

Pangan Lainnya 0,9757 1,0404 0,9475 0,9949 0,9672

Rokok 3,1796 3,1814 3,1674 3,2913 3,0978

Sumber: Susenas Maret 2017, diolah

100

4.6 Robustness check

Robustness check bertujuan untuk menguji apakah variabel dalam model

resistance atau relatif tidak terpengaruh oleh adanya varaiabel-variabel yang

berpengaruh di luar model. Jika koefisien regresi tetap signifikan secara statistik

maka dapat disimpulkan model tersebut valid sehingga mampu menghasilkan

analisis yang baik (Lu dan White, 2014).

Berdasarkan hasil pengolahan data menunjukkan bahwa koefisien regresi

variabel harga sendiri, harga komoditas lain serta variabel pendapatan memiliki

tanda dan tingkat signifikasi yang sama antara regresi model persamaan dengan

dan tanpa memasukkan variabel sosial demografi. Berdasarkan hasil robustness

check dapat disimpulkan bahwa model persamaan dalam penelitian ini valid dan

mampu menghasilkan analisis yang baik. Hasil Robustness Check dapat terlihat

pada Tabel 4.9.

101

101

Tabel 4.9 Hasil Estimasi Parameter Budget Share Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin

Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 (Tanpa Variabel Demografi, IMR dan Instrument Variable/Robustness Check)

Variabel Budget

Share padi Budget Share

pangan hewani Budget

Share sayur Budget Share

kacang Budget Share

buah Budget Share makanan jadi

Budget Share pangan lainya

Budget Share rokok

Harga padi 0,1608***

(0,0139)

-0,0187*

(0,0121)

-0,0444***

(0,0063)

-0,0189***

(0,0053)

-0,0016

(0,0042)

0,0821***

(0,0214)

-0,0209***

(0,0069)

0,0219*

(0,0136)

Harga umbi -0,0354***

(0,0062)

-0,0200***

(0,0054)

0,0030

(0,028)

0,0003

(0,0023)

0,0015

(0,0019)

0,0823***

(0,0095)

0,0040

(0,0031)

0,0239***

(0,0060)

Harga phewani -0,0354***

(0,0139)

0,0193***

(0,0049)

-0,0026

(0,0025)

-0,0043**

(0,0021)

-0,0020

(0,0017)

0,0035

(0,0087)

-0,0043*

(0,0028)

0,0082*

(0,0055)

Harga sayur -0,0152***

(0,0043)

-0,0120***

(0,0038)

0,0104***

(0,0019)

-0,0006

(0,0016)

-0,0015

(0,0013)

0,0255***

(0,0067)

-0,0082***

(0,0021)

0,0014

(0,0042)

Harga kacang -0,0198*

(0,0132)

-0,0474***

(0,0115)

-0,0018

(0,0060)

0,0235***

(0,0050)

-0,0029

(0,0040)

0,0909***

(0,0204)

-0,0130**

(0,0062)

-0,0276**

(0,0129)

Harga buah -0,0310***

(0,0085)

0,0165**

(0,0074)

0,0119***

(0,0038)

0,0216***

(0,0032)

0,0010***

(0,0026)

-0,0224*

(0,0130)

0,0082**

(0,0042)

0,0124*

(0,0083)

Harga makanan

jadi

0,0625***

(0,0165)

-0,00332**

(0,0143)

-0,0184***

(0,0074)

-0,0320***

(0,0062)

-0,0067*

(0.0050) *

-0,0783***

(0.0252)

-0,0130**

(0,0082)

0,0444***

(0,0161)

Harga pangan lainnya

-0,0440***

(0,0147)

-0,0329***

(0,0128)

-0,0283***

(0,0066)

0,0018

(0.0056)

-0,0073*

(0,0045)

0,1043***

(0,0226)

-0,0180**

(0,0073)

-0,0102

(0,0144)

Harga rokok -0,0010

(0,0084)

-0,0071***

(0,0074)

-0,0052

(0,0038)

-0,0118***

(0,0032)

--0,0046*

(0,0025)

0,0028

(0,0130)

0,0029

(0,0042)

0,0101

(0,0083)

102

Variabel Budget

Share padi

Budget Share

pangan hewani

Budget

Share sayur

Budget Share

kacang

Budget Share

buah

Budget Share

makanan jadi

Budget Share

pangan lainya

Budget Share

rokok

Pendapatan -0,0031***

(0,0029)

-0,0135***

(0,0025)

-0,0161***

(0,0028)

-0,0200***

(0,0024)

0,0031***

(0,00008)

0,0360***

(0,0044)

-0,0052***

(0.0014)

0,0101***

(0,0083)

Konstanta 0,1673

(0,1787)

-0,2261

(0,1579)

0,3507***

(0,0878)

0,0112

(0,0747)

0,0482

(0,0622)

-0,0963

(0,2980)

0,1958**

(0,0991)

0,3715**

(0,1658)

R-Square 0.3655*** 0,0712*** 0.1432*** 0.1926*** 0,0204*** 0.1400*** 0,0422*** 0,3915***

Chi2 974,27 129,59 282,71 403,45 35,18 275,24 74,55 1087,87

Sumber : Susenas Maret 2017, diolah

Keterangan : - ***, **, * menunjukkan taraf signifikasi 1%, 5%, dan 10%,

Nilai dalam tanda kurung menunjukkan nilai standar error