Upload
betty-ika-hidayah
View
38
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang
diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB
Darmaga dan berbagai macam sampah (kulit pisang, kol, sampah pasar
gunung batu, sampah pasar laladon dan kulit nenas). Jerami telah
didiamkan sekitar dua minggu setelah panen di areal persawahan.
Inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi segar yang diambil dari
kandang sapi Fakultas Peternakan, IPB Darmaga. Pertimbangan
penggunaan beberapa jenis bahan tersebut dikarenakan keberadaan bahan
yang melimpah dalam bentuk sampah dan beberapa komoditas pertanian
tersebut biasa digunakan dalam industri pengolahan hasil pertanian,
diantaranya kulit pisang yang merupakan limbah hasil industri keripik dan
sale pisang, kulit nenas limbah hasil industri buah kaleng dan selai nenas,
sampah pasar yang banyak kita jumpai di pasar-pasar tradisional demikian
juga jerami yang mudah di peroleh di areal persawahan. Karakteristik
biomassa yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Jerami dan Berbagai Sampah
Jenis Biomassa Kadar
Air (%)
Padatan Organik
(% bb) (% bk)
Jerami Kering 18.70 53.24 65.47
Kotoran Sapi 84.23 12.50 79.27
Campuran Jerami dan kotoran Sapi 77.63 14.83 66.28
Kulit Pisang 87.61 10.50 84.70
Kol 93.00 6.52 93.08
Sampah Pasar Gunung Batu 82.57 15.20 87.19
Sampah Pasar Laladon 94.05 5.12 85.96
Kulit Nenas 86.61 12.73 95.07
Hasil karakterisasi biomassa diperoleh informasi bahwa terdapat
perbedaan mendasar antara jerami dan sampah. Jerami memiliki kadar air
yang jauh lebih sedikit dibanding sampah. Jerami memiliki kadar air
34
18.70% sedang sampah berada pada kisaran 82.57 – 94.05%. Perbedaan
kadar air yang besar akan meningkatkan produksi biogas. Kadar air bahan
sangat penting dalam proses fermentasi produksi biogas. Jerami padi
memiliki rasio C dan N sebesar 70 (Haryati, 2006). Komposisi kimia
jerami padi sangat dipengaruhi oleh varietas padi, tempat tumbuh, serta
pupuk yang digunakan. Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi
adalah 0.4% nitrogen, 0.02 % fosfor, 1.4% kalium, dan 5.6% silika dan
jerami padi mengandung 40-43% karbon (Makarim et al, 2007).
Guna mengoptimalkan produksi biogas pada penelitian ini
ditambahkan dengan kotoran sapi sebagai inokulum awal, karakteristik
kotoran sapi yang digunakan seperti tampak pada Tabel 9. Laju produksi
biogas dan kandungan CH4 maksimum dihasilkan pada biogas dengan
penambahan inokulum kotoran sapi dalam jerami dengan perbandingan
25% dan 75% (Hartono dan Kurniawan, 2009). Bobot kotoran sapi yang
ditambahkan pada bahan jerami adalah 1/3 dari bobot jerami. Penambahan
kotoran sapi untuk sampah didasarkan hasil penelitian Macias-Corral et al
(2008) yang menyatakan bahwa perbandingan terbaik untuk sampah dan
kotoran sapi adalah 9:1 atau setara dengan 277.7 g dari bahan awal 2500 g.
Penambahan inokulum kotoran sapi bertujuan untuk meningkatkan
kandungan nitrogen dalam bahan, yang akan digunakan untuk
pertumbuhan bakteri dalam proses fermentasi. Kotoran sapi segar
mengandung banyak bakteri pembentuk asam dan metana. Hal inilah yang
menjadi dasar kenapa kotoran sapi banyak digunakan sebagai inokulum
fermentasi anaerobik.
Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa
elemen penting sesuai dengan kebutuhan hidup organisme seperti sumber
makanan dan kondisi lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob
mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih cepat dibanding nitrogen.
Rasio optimum untuk reaktor anaerobik berkisar antara 20 - 30. Jika C/N
bahan terlalu tinggi, maka nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh
bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan
hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon, akibatnya gas yang dihasilnya
35
menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N bahan baku rendah, nitrogen akan
dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH4) yang dapat
menyebabkan peningkatan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan
mengakibatkan pengaruh yang negatif pada populasi bakteri metanogen,
sehingga akan mempengaruhi laju pembentukan biogas dalam reaktor.
Misi dan Forster (2001) menyatakan bahwa kriteria untuk menilai
keberhasilan perombakan limbah pertanian secara anaerobik adalah
penurunan padatan volatil (VS), total produksi biogas dan menghasilkan
metana. Efek dari umpan yang berbeda pada biogas hasil dari limbah
makanan, dedaunan dan campurannya dikaji menggunakan batch reaktor
anaerobik. Padatan bahan organik dari hasil analisis sampah menunjukkan
nilai yang tinggi berkisar antara 84-95 persen (% bk) dibandingkan dengan
jerami yang hanya berkisar 65 persen. Nilai padatan bahan organik ini
sangat potensial untuk dikonversi menjadi sejumlah biogas hasil dari
proses fermentasi media padat.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam fasa
padat dengan kadar air yang diharapkan sebesar 70 persen. Karena kadar
air sampah yang sudah cukup maka sampah organik tidak mengalami
pengenceran atau penambahan air. Wahyuni (2008) menjelaskan bahan
isian harus mengandung bahan kering (padatan total) sekitar 7-9%. Dari
hasil analisis yang dilakukan, bahan sampah yang digunakan mengandung
5.95-17.43% padatan total. Untuk mengatur kandungan padatan total
bahan, usaha yang biasanya dilakukan adalah dengan penambahan air atau
pengenceran. Bahan baku jerami yang memiliki kandungan air yang
sedikit perlu ditambahkan air dalam proses fermentasi. Data karakteristik
bahan baku disajikan pada Lampiran 2.
4. 2. UJI POTENSI PRODUKSI BIOGAS
Pada tahap ini dilakukan uji potensi biogas dari berbagai limbah
menggunakan reaktor berukuran 1.5 l. Pada fermentasi bahan organik
tahap pertama tidak dilakukan pengaturan suhu (suhu tidak terkendali).
Pada uji potensi biogas digunakan bahan baku berupa sampah (Pasar
36
Gunung Batu, Pasar Laladon, kulit pisang, kol, kulit nenas) dan jerami
(baru dan busuk).
0
500
1000
1500
2000
2500
0 10 20 30 40
Vo
lum
e G
as (
ml)
Hari Ke-
Gambar 12. Akumulasi biogas pada penelitian uji potensi biogas
( Jerami baru, Jerami busuk, Kulit pisang,
X kol, Sampah pasar Gunung Batu, Sampah
Pasar Laladon, kulit nenas) selama 45 hari
Dari hasil pengamatan selama 45 hari fermentasi diperoleh jumlah
biogas yang terbentuk pada awal proses fermentasi terbentuk dengan laju
yang tinggi dan kemudian semakin lama semakin menurun. Hal ini
disebabkan karena pada awal fermentasi tersedia lebih banyak bahan
organik yang mudah terdegradasi. Pada Gambar 12 terlihat bahwa
produksi biogas jerami baru dan jerami busuk menunjukkan hasil yang
signifikan. Hal ini disebabkan karena pada jerami busuk sebagian bahan
organik telah terdegradasi sebelum proses fermentasi. Pada jerami baru
produksi biogas mulai mengalami kondisi steady pada hari ke-21 dengan
jumlah sekitar 800 ml, sedang pada jerami busuk terjadi pada hari ke-41.
Sedangkan untuk bahan baku sampah, setelah proses fermentasi
selama 45 hari disimpulkan bahwa sampah pasar Gunung Batu
menghasilkan jumlah biogas terbanyak di antara jenis bahan lainnya yaitu
sebesar 2244.5 ml, sehingga untuk penelitian selanjutnya digunakan bahan
baku dari sampah pasar Gunung Batu ini. Sampah pasar Gunung Batu ini
memiliki komposisi sebagai berikut : daun pisang 7.5%, kulit jagung
24.2%, pare 14.8%, kol 19.9%, saisin 6.2%, kangkung 8.0%, sawi 8.0%,
dan wortel 11.5% (W:W). Jika dilihat dari komposisi sampah pasar
Gunung Batu yang digunakan termasuk ke dalam golongan sampah
37
sayuran. Mikroorganisme sangat menyukai sayuran karena kandungan
airnya yang tinggi (68.5-96.1%) Dengan demikian media fermentasi
sampah pasar Gunung Batu ini merupakan media yang termasuk cocok
untuk pertumbuhan mikroorganisme pengurai.
Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 13,
menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan
bahan sampah pasar Gunung Batu (30.7 l/kgVs) lebih besar dibandingkan
yang lainnya, sedangkan jerami baru menunjukkan nilai produksi biogas
spesifik kumulatif yang lebih kecil (7.7 l/kgVs). Jika dilihat dari grafik
produksi biogas spesifik kumulatif, tampak bahwa kecepatan produksi
biogas dari sampah pada sepuluh hari pertama lebih cepat dibandingkan
pada jerami. Hal ini dikarenakan jerami sulit terdegradasi dengan adanya
komponen selulosa, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan
perlakuan pendahuluan. Penanganan pendahuluan yang dapat dilakukan
adalah dengan cara menurunkan ukuran partikel, dengan cara
penghancuran secara mekanis. Cara lainnya adalah dengan mempercepat
proses hidrolisis bahan organik melalui penanganan awal terhadap substrat
baik secara biologis maupun fisiko-kimia.
0
5
10
15
20
25
30
35
0 10 20 30 40
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
s)
Hari Ke-
Gambar 13. Produksi biogas spesifik kumulatif pada penelitian uji
potensi biogas ( Jerami baru, Jerami busuk, Kulit
pisang, X kol, Sampah pasar Gunung Batu, Sampah
Pasar Laladon, kulit nenas) selama 45 hari
38
Penanganan awal biologis dapat dilakukan dengan pengayaan enzim
dan pengomposan aerobik. Enzim hidrolitik yang penting meliputi
protease dan peptidase, yang memecah protein menjadi peptide dan asam-
asam amino; lipase untuk memecah lemak menjadi gliserol dan asam-asam
lemak rantai panjang; dan campuran enzim endogluconase,
cellobiohydrolase dan β-glucosidase yang memecah selulosa menjadi
glukosa. Pengayaan enzim dapat dilakukan penambahan langsung enzim-
enzim tersebut di atas atau dengan penggunaan mikroorganisme hidrolitik.
Bakteri rumen memiliki aktivitas hirolitik yang sangat baik, sehingga pada
penilitian ini dilakukan penanganan awal dengan aerasi dan penambahan
bakteri rumen dari kotoran hewan.
Di dalam reaktor biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat
berperan, yakni bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis
bakteri ini perlu eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini
memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan dan gas lainnya
dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi
tertentu dan sensitif terhadap lingkungan mikro dalam reaktor seperti
temperatur, keasaman dan jumlah material organik yang akan dicerna.
Terdapat beberapa spesies metanogenik dengan berbagai karateristik.
Bakteri ini mempunyai beberapa sifat fisiologi yang umum, tetapi
mempunyai morfologi yang beragam seperti Methanomicrobium,
Methanosarcina, Metanococcu, dan Methanothrix (Haryati, 2006).
4. 3. KAJIAN PENGARUH SUHU REAKTOR
Hasil dari uji potensi biogas dilanjutkan dengan uji pengaruh suhu
reaktor. Pada tahapan proses fermentasi limbah pertanian yang kedua ini
dilakukan pengaturan suhu (suhu terkendali), pada selang suhu mesofilik
(32oC).
39
0
200
400
600
800
1000
1200
0 5 10 15 20
Aku
mu
lasi
pro
du
ksi b
ioga
s (m
l)
Hari Ke-
Gambar 14. Akumulasi produksi biogas pada penelitian kajian
pengaruh suhu dari Jerami () dan sampah ()
Berdasarkan grafik pada Gambar 12 dan 14, tampak bahwa laju
produksi biogas bahan jerami selama 17 hari pada suhu terkendali
(56.24 ml/hari) lebih besar dibandingkan dengan laju produksi biogas pada
suhu tidak terkendali (50.77 ml/hari). Menurut Romli (2010), bakteri
metanogen dalam keadaan tidak aktif pada suhu ekstrim tinggi ataupun
rendah. Produksi biogas yang baik adalah kisaran mesofilik, dengan suhu
optimum 350C. Suhu dalam proses anaerobik yang dikendalikan lebih
efektif, karena fluktuasi suhu dapat menyebabkan proses menjadi kurang
baik. Dari hasil pengamatan selama 17 hari diperoleh data bahwa
akumulasi biogas yang terbentuk adalah 956 ml untuk jerami dan 837 ml
sampah.
40
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
s)
Hari Ke-
Gambar 15. Produksi biogas spesifik kumulatif pada penelitian kajian
pengaruh suhu dari Jerami () dan sampah ()
Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 15,
menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan
bahan sampah (50.7 l/kgVs) lebih besar dibandingkan Jerami. Produksi
biogas spesifik kumulatif jerami menunjukkan nilai yang lebih kecil
(9.67 l/kgVs). Jika dilihat dari grafik produksi biogas spesifik kumulatif
yang dilakukan pada pengaturan suhu (kondisi terkendali) dengan kondisi
tidak terkendali, bahwa nilai produksi biogas spesifik kumulatif kondisi
terkendali memberikan hasil yang lebih besar dibanding tidak terkendali.
Menurut Juanga (2005), bahwa produksi biogas yang memuaskan berada
pada daerah mesofilik. Sehingga, pada proses fermentasi bahan pada
penelitian utama menggunakan sistem suhu yang terkendali pada suhu
mesofilik.
41
60
65
70
75
80
85
90
95
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Bah
an o
rgan
ik (
%)
Hari ke-
(a)
60
65
70
75
80
85
90
95
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Bah
an o
rgan
ik (
%)
Hari ke-
(b)
Gambar 16. Kurva penurunan bahan organik pada (a) jerami dan (b) sampah
Hasil penurunan bahan organik jerami maupun sampah selama 17
hari baru berkisar 5%. Penurunan bahan organik dapat dilihat pada
Gambar 16. Jika dilihat nilai VS (Volatile Solid) bahan sampah sebelum
difermentasi yaitu berkisar antara 91.9-93.8% (% bk) merupakan potensi
yang cukup besar untuk dikonversi menjadi biogas. Tetapi dari hasil
pengamatan menunjukkan bahwa hanya sedikit bahan organik yang
dikonversi menjadi biogas, hal ini berkaitan dengan keberadaan dan
jumlah mikroorganisme dalam reaktor sebagai pelaku pengurai bahan
42
organik menjadi biogas. Jumlah dan keberadaan mikroorganisme
dipengaruhi oleh lingkungan tempat mikroorganisme tersebut hidup. Jika
proses degradasi bahan optimum, harapannya adalah produksi biogas hasil
fermentasi anaerobik juga optimum hal ini ditandai dengan meningkatnya
produksi biogas.
Kotoran sapi ditambahkan ke dalam reaktor karena mengandung
bakteri biodegradatif yang dapat memulai dan menyokong produksi
biogas. Golongan bakteri selulolitik seperti actinomycetes dan dari
campuran spesies bakteri dapat meningkatkan produksi biogas dari
kotoran sapi sebanyak 8.4-44 persen (Yadvika et al, 2004).
Haryati (2006) menyatakan bahwa bakteri metanogenik tidak aktif
pada temperatur sangat tinggi atau rendah. Temperatur optimumnya yaitu
sekitar 35°C. Jika temperatur turun menjadi 10°C, produksi gas akan
terhenti. Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik
yaitu antara 25 - 30°C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi di luar
temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih
tinggi. Pemilihan temperatur yang digunakan juga dipengaruhi oleh
pertimbangan iklim. Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur
yang tidak terlalu lebar. Pada cuaca yang hangat, reaktor dapat
dioperasikan tanpa memerlukan pemanasan. Instalasi reaktor di bawah
tanah berfungsi sebagai proses insulasi sehingga akan memperkecil biaya
pemanasan.
4. 4. KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN AERASI
Pada tahapan ini dilakukan perlakuan pendahuluan dengan
penambahan oksigen ke dalam reaktor yang bertujuan untuk
menghancurkan struktur bahan organik kompleks menjadi molekul
sederhana sehingga mikroba lebih mudah mendegradasinya. Dengan
perlakuan pendahuluan ini diharapkan dapat menurunkan kandungan
bahan organik dan meningkatkan laju pembentukan biogas. Dengan
dilakukannya perlakuan perndahuluan terhadap substrat terlebih dahulu,
diharapkan hemiselulosa dan selulosa yang banyak terdapat pada substrat
43
akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana. Terpecahnya
polisakarida menjadi monomer-monomer glukosa tersebut dapat
mempercepat proses pembentukan biogas. Diharapkan dengan adanya
perlakuan pretreatment ini dapat mempercepat dan memperbanyak
produksi biogas dari jerami padi dan sampah pasar ini.
Jerami dan sampah pasar memiliki karakteristik yang khusus yaitu
berupa tingginya kandungan bahan organik lignoselulosa dan sedikit
bahan terlarut berupa karbohidrat, lemak dan protein. Dengan demikian
proses anaerobik dimulai dari degradasi enzimatis struktur padatan
substrat, karena polimer organik tidak dapat digunakan secara langsung
oleh mikroorganisme. Oleh karena itu salah satu cara memperbaiki kinerja
proses fermentasi adalah dengan melakukan perlakuan pendahuluan. Salah
satu perlakuan pendahuluan yang dapat dilakukan menurut Romli (2010)
adalah dengan penanganan awal secara biologis yang dapat dilakukan
dengan pengomposan aerobik. Pengaruh perlakuan pendahuluan aerasi
disajikan pada Gambar 17.
Romli (2010) dan Charles et al (2009) menyatakan bahwa proses
degradasi aerobik dapat digunakan sebagai metode penanganan awal
limbah padat, khususnya pada proses anaerobik tipe kering (bahan organik
dalam reaktor dipertahankan pada kandungan padatan berkisar antara 20-
40 persen). Tujuannya adalah untuk mendapatkan tingkat pre-degradasi
padatan menguap (VS) sehingga terhindar dari pengaruh inhibisi terhadap
bakteri metanogen yang disebabkan oleh akumulasi VFA. Tingkat
pre-degradasi disesuaikan dengan tujuan penanganan aerobik. Tingkat pre-
degradasi tinggi dapat dilakukan bila bertujuan untuk menurunkan
padatan, sebaliknya tingkat pre-degradasi rendah sesuai bila diinginkan
adalah produksi metana.
44
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kad
ar (
%)
Air Padatan volatil Abu
(a)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kad
ar (
%)
Air Padatan Volatil Abu
(b)
Gambar 17. Pengaruh perlakuan aerasi (a) jerami dan (b) sampah
pada kondisi awal () aerasi () dan tanpa aerasi
()
Gambar 17 menyajikan pengaruh aerasi terhadap penurunan bahan
organik dari jerami dan sampah. Dari hasil uji statistik diperoleh informasi
bahwa penambahan aerasi pada bahan jerami dan sampah tidak
memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap penurunan padatan
volatil. Hal ini bisa disebabkan karena lama waktu untuk aerasi terlalu
sebentar sehingga hidrolisis bahan kompleks belum sempurna.
Penambahan aerasi juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
45
peningkatan laju pembentukan biogas, karena setelah dilakukan fermentasi
selama 10 hari tidak dihasilkan biogas. Oksigen yang diberikan pada
proses aerasi dapat menghambat degradasi pada kondisi anaerobik
sehingga pembentukan biogas lambat. Untuk mengantisipasi hambatan
karena adanya oksigen dapat ditambahkan gas nitrogen sebelum
fermentasi. Kusch et al (2008) menyatakan bahwa aerasi pada pengolahan
pendahuluan fermentasi tidak berhasil dilakukan dan menghasilkan
rendemen biogas lebih rendah dibandingkan dengan tanpa aerasi. Oleh
karena itu pada penelitian selanjutnya pengolahan dengan aerasi tidak
dilakukan.
4. 5. PENGARUH PENAMBAHAN UMPAN PADA SISTEM
FERMENTASI MEDIA PADAT REAKTOR 10 L
4.5.1. Produksi Biogas
Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 18,
menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan
penambahan umpan 75% (Jerami: 41.86 l/kgVS; Sampah: 39.71 l/kgVS)
lebih besar dibandingkan penambahan umpan 50% (Jerami: 15.85 l/kgVS;
Sampah: 31.09 l/kgVS). Jika dilihat dari grafik produksi biogas spesifik
kumulatif, tampak bahwa kecepatan produksi biogas dari jerami pada
sepuluh hari pertama pada perlakuan penambahan umpan 50% dan 75%
lebih cepat dibandingkan pada perlakuan awal atau kontrol. Hal ini bisa
dikarenakan bahwa proses dekomposisi senyawa organik lebih mudah
terjadi pada perlakuan penambahan umpan 50% dan 75 % karena
komposisi bahan pada kedua perlakuan ini sebagian adalah sisa hasil
fermentasi sebelumnya, sehingga senyawa-senyawa organik yang sulit
terdekomposisi lebih sedikit, berbeda dengan kontrol yang seluruhnya diisi
bahan jerami baru. Namun, setelah 10 hari produksi biogas pada perlakuan
penambahan umpan 50% menurun, sedangkan pada kontrol dan
penambahan umpan 75% menghasilkan biogas lebih banyak.
46
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
s)
Hari Ke-
(a)
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
S)
Hari Ke-
(b)
Gambar 18. Produksi biogas spesifik kumulatif (a) jerami dan
(b) sampah pada perlakuan kontrol (--), umpan 50%
(--) dan umpan 75% (--)
Pada jerami dengan penambahan inokulum yang lebih besar (umpan
50%) akan menghasilkan produksi biogas yang paling sedikit, sedangkan
dengan penambahan inokulum sebesar 25 % akan menghasilkan produksi
biogas yang paling besar dibandingkan dengan kontrol. Hal ini bisa
berkaitan dengan pengaruh rasio penambahan bahan organik yang di
degradasi dengan jumlah inokulum yang ditambahkan. Berbeda dengan
sampah semakin besar inokulum yang ditambahkan maka produksi biogas
47
yang dihasilkan akan semakin sedikit, hal ini berkaitan dengan jumlah
bahan organik yang didegradasi semakin sedikit dengan adanya
penambahan inokulum.
Menurut Makarim (2007), jerami sulit terdekomposisi sehingga
untuk mempercepat produksi biogas dari jerami perlu dilakukan
pengomposan terlebih dahulu. Menurut penelitian Kota (2009), produksi
biogas optimum dari bahan jerami padi berlangsung pada selang hari ke-7
hingga hari ke-21. Dari hasil pengamatan pada bahan sampah pasar
diketahui bahwa kontrol (100% bahan awal) memberikan produksi biogas
yang lebih besar dibandingkan yang lain, hal ini dikarenakan jumlah bahan
organik yang lebih banyak dibanding penambahan umpan 50% dan 75%.
Produksi biogas pada perlakuan kontrol menghasilkan 557 ml biogas/hari,
penambahan umpan 75% menghasilkan 413 ml/hari dan penambahan
umpan 50% menghasilkan 364 ml/hari. Alvarez dan Liden (2007)
melakukan fermentasi pada sampah sayur dan buah-buahan menghasilkan
316 ml biogas/hari.
Produksi biogas akan lebih optimum jika fermentasi anaerobik yang
dilakukan benar-benar pada kondisi tanpa oksigen (O2). Kondisi yang
memungkinkan masuknya oksigen pada reaktor adalah ketika
dilakukannya pengambilan sampel bahan padat dari dalam reaktor. Sampel
bahan padat diambil dari lubang sampel yang terdapat pada reaktor. Proses
resirkulasi air lindi juga memungkinkan oksigen masuk ke dalam reaktor.
Air lindi yang tertampung dalam tabung penampungan lindi dikeluarkan
dari tabung dan dimasukkan kembali ke dalam reaktor melalui lubang
penyaluran lindi. Proses lainnya yang berpotensi masuknya oksigen ke
dalam sistem fermentasi adalah pada saaat proses pemanenan digestat
diakhir fermentasi. Solusi yang mungkin bisa dilakukan adalah
memperbaiki desain sistem reaktor ketika pengambilan sampel agar
kemungkinan masuknya oksigen dikurangi, yaitu dengan sistem buka-
tutup otomatis pada lubang sampel. Pada proses resirkulasi lindi sebaiknya
digunakan pompa peristaltik untuk menghindari masuknya oksigen ke
dalam reaktor. Untuk menghindari masuknya oksigen pada bahan saat
48
proses pemanenan digestat, sebaiknya dilakukan penyemprotan gas
nitrogen pada reaktor sebelum reaktor digunakan kembali.
4.5.2. Pengukuran pH Bahan dan Air Lindi
Pengukuran terhadap pH dilakukan setiap dua hari sekali dengan
mengambil sampel melalui lubang pengambilan sampel. Berdasarkan hasil
pengamatan, seperti tampak pada Gambar 19, menunjukkan bahwa nilai
pH awal yang diukur dari sampel jerami adalah 5.9. Dari hari pertama
hingga hari ke 18, nilai pH berselang antara 5.7-5.9. Pada hari ke 20
sampai 30 nilai pH naik menjadi 6.9-7.9 dan sedikit turun pada hari ke
30-40 menjadi nilai pH 7. Nilai pH awal lindi dari perlakuan ini pada hari
pertama hingga hari ke 12 berkisar 6.5-6.9 dan meningkat menjadi 7.5,
stabil sampai hari ke 22 dan naik menjadi 8.2 sampai hari ke 36, kemudian
turun pada kisaran pH 7.3-7.5. Hasil analisis pada sampel sampah pH
bahan menunjukkan pada pH asam yaitu sekitar 5.1 sama halnya dengan
Alvarez dan Liden (2007) yang melakukan percobaan fermentasi
anaerobik untuk menghasilkan biogas menggunakan bahan sampah
sayuran dan buah-buahan, pada karakteristik bahan awal menunjukkan
nilai pH 4.9. Kondisi ini yang mungkin membuat proses fermentasi
anaerobik tidak optimal mengingat bahwa bakteri metanogen optimal
hidup pada kondisi pH netral. Keasaman bertambah dengan terbentuknya
asam asetat selama proses fermentasi terjadi.
Gambar 19 menyajikan nilai pH sampah padat selama proses
fermentasi berlangsung. Hasil pengamatan menunjukkan pH sampah padat
awal (kontrol) berkisar antara 5.1-4.6, sementara itu untuk pH sampah
padat umpan 50% berkisar antara 4.2-7.9. Kemudian pada pH sampah
padat umpan 75% nilai pH menunjukkan kondisi asam yaitu berkisar
antara 2.5-4.2.
Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam reaktor biogas bisa
dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap
bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH
kurang dari 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri
49
metanogenik. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik
yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi
pH yang lebih tinggi atau rendah.
0
2
4
6
8
10
12
14
0 2 4 6 8 10 12 14
Nila
i pH
Lin
di
Nilai pH Bahan
(a)
0
2
4
6
8
10
12
14
0 2 4 6 8 10 12 14
Nila
i pH
Lin
di
Nilai pH Bahan
(b)
Gambar 19. Nilai pH bahan dan air lindi (a) jerami serta
(b) sampah pada perlakuan kontrol (--), umpan 50%
(--) dan umpan 75% (--)
Kondisi pertumbuhan mikroorganisme optimal pada proses
fermentasi adalah pada pH netral, hanya beberapa mikroorganisme saja
yang hidup pada kondisi ekstrim. Nilai pH pada awal perlakuan pertama
menunjukkan proses pengasaman dan perombakan bahan organik. Hal ini
menunjukkan bahwa fermentasi masih berada dalam tahap asidifikasi,
50
dimana bakteri asetogenik mendominasi proses dekomposisi bahan.
Pembentukan asam asetat oleh bakteri asetogenik penting untuk kelanjutan
produksi gas metana pada proses selanjutnya. Gambar 19 memperlihatkan
bahwa nilai pH bahan dan air lindi untuk jerami berada pada selang pH
netral yaitu 6-9, sedangkan pH untuk sampah berada pada kondisi asam
yaitu rentang 3-6. Apabila bakteri fermentasi tumbuh lebih cepat dari pada
metanogen, maka akan terjadi akumulasi asam. Ketika pH mulai turun
akibat akumulasi VFA (Volatile Fatty Acid), alkalinitas yang ada dalam
sistem akan menetralkan asam dan menghambat penurunan pH lebih
lanjut. Jika alkalinitas tidak cukup untuk menyangga pH perlu
ditambahkan bahan kimia untuk menjaga pH.
Sistem penanganan anaerobik memiliki kapasitas untuk menyangga
pH karena adanya alkalinitas yang dihasilkan oleh kesetimbangan karbon
dioksida dan ion karbonat dengan ion ammonium sebagai kation
utamanya. Dalam reaktor, karbon dioksida ada dalam kesetimbangan
dengan asam karbonat, yang terdisosiasi memberikan hidrogen dan ion
karbonat. Proses anaerobik juga mengandung sistem penyangga berbasis
asam-asam lemah lainnya, ammonia dan asam-asam ortofosfat serta asam-
asam mudah menguap, tetapi sistem asam karbonat adalah yang memiliki
peranan paling penting pada pH reaktor (Romli, 2010).
Alvarez dan Liden (2007) pada percobaanya menggunakan sampah
sayur dan buah-buahan, kondisi steady state reaktor dicapai pada kondisi
pH 4.4 dengan produksi biogas 0.3 l/hari. Total VFA pada hari ke-1
sampai hari ke-10 meningkat tajam dari 2.5-8.1 g/l dan meningkat secara
perlahan sampai hari ke-25. Kandungan VFA yang paling dominan adalah
asam asetat sekitar 50-70% dari total FVA dan sisanya adalah asam
propionat dan asam butirat. Gambar 19 menunjukkan bahwa nilai pH
bahan padat berhubungan dengan nilai pH lindi, karena lindi merupakan
cairan rembesan hasil degradasi bahan padat. Jika nilai pH bahan padatnya
asam maka pH lindinya pun tidak jauh berbeda dengan nilai pH bahan
padatnya.
51
4.5.3. Produksi Air Lindi
Selain dihasilkan biogas sebagai produk utama pada proses
fermentasi anaerobik, ada juga produk samping yang memiliki banyak
manfaat untuk kehidupan manusia, yaitu air lindi yang dapat digunakan
sebagai pupuk cair. Menurut Wahyuni (2009) limbah biogas merupakan
pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh
tanaman.
0
10
20
30
40
50
60
0 200 400 600 800
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
S)
Volume lindi kumulatif (ml)
(a)
0
10
20
30
40
50
60
0 200 400 600 800
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
S)
Volume lindi kumulatif (ml)
(b)
Gambar 20. Hubungan produksi biogas spesifik kumulatif dan
volume air lindi kumulatif (a) jerami serta (b) sampah
pada perlakuan kontrol (--), umpan 50% (--) dan
umpan 75% (--)
52
Dari hasil pengamatan, volume lindi sampah awal (kontrol)
menghasilkan 337 ml lindi, 455 ml lindi pada fermentasi umpan 50% dan
335 ml pada fermentasi umpan 75%. Hubungan akumulasi lindi dan
produksi biogas disajikan pada Gambar 20. Dari Gambar 20 dapat dilihat
bahwa pembentukan biogas akan mengalami hubungan yang linear dengan
pembentukan lindi. Peningkatan produksi biogas akan diikuti oleh
peningkatan volume air lindi.
4.5.4. Karakteristik Digestat dan Air Lindi
Hasil analisis digestat menunjukkan bahwa kandungan bahan
organik (VS) relatif masih tinggi yaitu berkisar 91.7-92.6 persen (% bk),
dengan demikian bisa dipastikan bahwa digestat masih banyak
mengandung selulosa, lignin, karbohidrat, protein, dan lemak yang belum
terdegradasi dengan baik. Jika dilihat indikator lainnya seperti C/N baik
pada digestat fermentasi kontrol, umpan 50%, maupun umpan 75% masih
memiliki nilai C/N yang tinggi. Nilai C/N adalah faktor penting dalam
pendegradasian bahan organik. Mikroorganisme membutuhkan karbon
untuk pertumbuhannya sedangkan nitrogen untuk sintesis protein. Jika
C/N bahan yang digunakan tinggi maka proses pendegradasian
memerlukan waktu yang lama, sedangkan bila C/N bahan yang digunakan
rendah maka nitrogen akan dilepaskan sebagai ammonia sehingga akan
menghambat proses degradasi. Karakteristik digestat disajikan pada
Tabel 11, sedangkan karakteristik lindi disajikan pada Tabel 12.
Tabel 11. Karakteristik digestat hasil fermentasi
Bahan Perlakuan
Kadar
Air
(%)
Kadar
Abu
(%)
Kadar
VS
(%)
N
(%)
C
(%)
P
(%) pH
Jerami
Kontrol 76.9 8.1 64.9 0.7 36.3 0.2 7.0
Penambahan umpan 50 % 75.5 8.9 63.7 0.4 34.4 0.2 8.3
Penambahan umpan 75 % 78.0 8.3 62.3 1.1 21.6 0.5 8.3
Sampah
Kontrol 89.2 0.79 92.6 0.7 28.4 0.2 4.7
Penambahan umpan 50 % 88.0 0.99 91.7 1.2 49.1 0.4 4.3
Penambahan umpan 75 % 90.2 0.77 92.1 1.7 39.2 0.3 4.1
53
Digestat yang dihasilkan pada proses anaerobik ini baru bisa
digunakan sebagai penutup landfill atau bioremediasi tanah, belum sebagai
kompos yang bisa digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman dan
untuk memperbaiki stuktur hara tanah. Penggunaan digestat sebagai
penutup landfill jauh lebih baik daripada penggunaan landfill pada sampah
organik secara langsung. Hal ini karena sifat digestat yang sudah
mengalami penguraian pada proses fermentasi, berbeda dengan sampah
organik yang belum mengalami dekomposisi. Beban pencemaran juga
akan lebih tinggi pada sampah jika dibanding pada digestat.
Agar digestat dapat digunakan untuk keperluan kompos, digestat
harus mengalami proses dekomposisi lanjutan. Misalnya dengan
pemberian aerasi pada digestat yang dihasilkan. Proses dekomposisi
lanjutan ini tentunya tidak membutuhkan waktu yang sama dengan proses
dekomposisi bahan sampah segar. Waktu dekomposisi untuk digestat akan
lebih cepat jika dibandingkan dengan proses dekomposisi sampah pasar
organik segar. Salah satu parameter yang bisa digunakan dalam proses
dekomposisi digestat menjadi kompos ini adalah nisbah C/N. Jika setelah
dekomposisi nilai nisbah C/N digestat ada pada kisaran antara 10-20 maka
bisa dikatakan digestat tersebut telah menjadi kompos yang siap
digunakan untuk menyuburkan tanah.
Tabel 12. Karakteristik air lindi hasil fermentasi
Bahan Sampel N
(ppm)
C
(%) P (ppm) pH
Jerami
Kontrol 2700 0.23 67.7 7.3
Penambahan umpan 50 % 104 2.81 64.2 7.8
Penambahan umpan 75 % 98 0.28 68.5 7.6
Sampah
Kontrol 1700 0.46 84.6 4.5
Penambahan umpan 50 % 4500 3.07 47.1 4.4
Penambahan umpan 75 % 473 0.01 149.8 4.2
54
Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan lindi hasil fermentasi
sampah dan jerami masih memiliki unsur hara esensial yang berguna
untuk proses pertumbuhan tanaman. Unsur Nitrogen (N) misalnya terdapat
sekitar 98-4500 ppm. Jumlah yang cukup tinggi dan berguna untuk
pertumbuhan tanaman. Tanaman yang kekurangan N akan terus mengecil,
bahkan secara cepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak
cukup untuk membentuk protein dan klorofil. Selain nitrogen unsur lain
yang dibutuhkan oleh tanaman adalah fosfat (P). Fosfat termasuk unsur
hara esensial bagi tanaman dengan fungsi sebagai pemindah energi yang
tidak dapat diganti dengan hara lain. Ketidakcukupan pasokan P
menjadikan tanaman tidak tumbuh maksimal atau potensi hasilnya tidak
maksimal atau tidak mampu menyempurnakan proses reproduksi yang
normal. Peranan P dalam tanaman sebagai penyimpanan dan pemindahan
energi yang berpengaruh terhadap berbagai proses lain dalam tanaman.
Adanya P dibutuhkan untuk reaksi biokimiawi penting, seperti
pemindahan ion, kerja osmotik, reaksi fotosintesis dan glikolisis.
Berdasarkan PerMentan No.28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang
pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah dapat dilihat persyaratan
teknis minimal pupuk organik. Peraturan tersebut memperlihatkan bahwa
standar pH untuk pupuk (baik padat maupun cair) sebesar 4-8, hal ini
menunjukkan bahwa hasil digestat dan air lindi sudah memenuhi standar.
Persyaratan untuk C-Organik adalah ≥ 12, sedangkan hasil digestat
menunjukkan nilai antara 21.6 – 41.9 persen. Bahan organik yang terdapat
dalam digestat sangat penting untuk memperbaiki kesuburan tanah, baik
fisika, kimia, maupun biologi tanah. Bahan organik merupakan perekat
butiran lepas atau bahan pemantap agregat, sebagai sumber hara tanaman
dan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah. Bahan organik
juga menjadikan fluktuasi suhu tanah lebih kecil. Bahan organik dapat
membantu akar tanaman menembus tanah lebih dalam dan luas sehingga
tanaman lebih kokoh dan lebih mampu menyerap unsur hara dan air dalam
jumlah banyak.
55
4. 6. KINETIKA PEMBENTUKAN BIOGAS
Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan Gompertz yang
sudah dimodifikasi (Budiyono et al, 2010 dan Nopharatana et al, 2007)
yaitu dimana P adalah produksi
biogas spesifik kumulatif (l/kg VS); A adalah produksi biogas potensial
(l/kg VS); Rmax adalah laju produksi biogas maksimum (l/kg VS.day);
adalah periode phase lag (waktu minimum untuk produksi biogas, hari)
diperoleh hasil seperti pada Tabel 13.
Tabel 13. Kinetika produksi biogas
Bahan Baku Perlakuan Rmax
(l/kg VS.hari)
A
(l/kg VS)
(hari)
Jerami
Kontrol 1.37 28.10 2.0
Umpan 50% 1.86 15.82 0.4
Umpan 75% 2.07 42.25 0.6
Sampah
Kontrol 3.55 51.84 1.2
Umpan 50% 1.58 31.09 0.2
Umpan 75% 2.07 39.71 0.8
Berdasarkan data pada Tabel 13, nilai Rmax tertinggi dihasilkan oleh
sampah pada kondisi kontrol (3.55 l/kg VS.hari), hal ini disebabkan karena
kandungan bahan organik di reaktor lebih besar dibandingkan yang
lainnya sehingga laju produksi biogas lebih besar. Nilai pada umpan
50% dihasilkan nilai yang lebih kecil dibandingkan yang lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin sedikit bahan yang di fermentasikan, maka
semakin cepat bahan organik akan mulai mengalami degradasi. Budiyono
et al (2010) melakukan penelitian terhadap produksi biogas dari kotoran
sapi pada suhu 38.5oC dihasilkan nilai parameter kinetika Rmax sebesar
9.49 ml/gVS.d, nilai A sebesar 418.26 ml/g.VS dan nilai sebesar
4.46 hari.
56
Tabel 14. Nilai ARD produksi biogas
Bahan Baku Perlakuan
ARD Persamaan
Gompertz
(%)
ARD Persamaan
Logistic
(%)
Jerami
Kontrol 28.96 55.39
Umpan 50% 14.21 16.72
Umpan 75% 9.84 16.23
Sampah
Kontrol 3.58 7.87
Umpan 50% 5.26 10.24
Umpan 75% 9.55 16.48
Dari nilai produksi biogas spesifik kumulatif berdasarkan Tabel 13,
selanjutnya dihitung nilai ARD dengan membandingkan nilai persamaan
model dengan nilai hasil eksperimen. Nilai ARD dari persamaan model
modifikasi Gompertz dan model modifikasi Logistic disajikan pada Tabel
14. Nilai ARD model modifikasi Gompertz diperoleh nilai 3.58-28.96
persen, sedangkan model modifikasi Logistic dihasilkan nilai ARD kisaran
7.87-55.39 persen. Nilai ARD yang semakin kecil menunjukkan bahwa
nilai model tidak terlalu jauh berbeda dengan nilai eksperimen. Nilai ARD
model modifikasi Gompertz lebih kecil dibandingkan nilai model
modifikasi Logistic. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan model
modifikasi Gompertz lebih mendekati dengan hasil penelitian ini. Lei et al
(2010) melakukan penelitian dengan memproduksi metana dari jerami
padi diperoleh nilai ARD untuk ordo satu dengan 2 tahap antara 9.05-
20.35 persen, sedangkan untuk 1 tahap diperoleh nilai ARD sebesar 55.96-
107.66 persen.
57
0
10
20
30
40
50
60
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
S)
Hari Ke-
(a)
0
10
20
30
40
50
60
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
S)
Hari Ke-
(b)
Gambar 21. Hubungan hasil pemodelan modifikasi Gompertz dengan
model modifikasi Logistic pada (a) jerami dan (b)
sampah pada Gompertz kontrol (--), Gompertz umpan
50% (--), Gompertz umpan 75% (--), Logistic
kontrol (----), Logistic umpan 50% (----) serta Logistic
umpan 75% (----)
Gambar 21 menunjukkan hubungan antara produksi biogas spesifik
kumulatif model modifikasi Gompertz dengan model modifikasi Logistic.
Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa persamaan model modifikasi
Gompertz memiliki kemiripan dengan persamaan model modifikasi
Logistic.
58
4. 7. DESAIN TEKNOLOGI FERMENTASI MEDIA PADAT
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa jerami dan sampah pasar
dapat dikonversi menjadi salah satu sumber energi terbarukan, yaitu
berupa biogas. Pada aplikasi sistem ini, maka fermentasi pertama
dilakukan dengan menggunakan bahan baku limbah jerami atau sampah
pasar dan ditambahkan kotoran sapi segar sebagai inokulum. Pada
fermentasi selanjutya baru dilanjutkan dengan penggunaan kembali
digestat sebanyak 25 persen dan umpan baru berupa bahan organik (jerami
dan sampah pasar) sebanyak 75 persen. Potensi penerapan hasil penelitian
ini dalam sekala lebih besar sangat memungkinkan, karena produksi
jerami padi dan sampah yang sangat besar di Indonesia dan masih belum
banyak dimanfaatkan.
Desain teknologi fermentasi media padat digunakan untuk limbah
padatan seperti sayuran/hijauan, sampah pasar dan jerami. Desain yang
dibuat adalah sistem batch (curah), tidak perlu menggunakan pipa alir,
tangki tunggal merupakan desain yang paling baik untuk digunakan.
Tangki dapat dibuka dan slurry buangan proses dapat dikeluarkan dan
digunakan sebagai pupuk kemudian bahan baku yang baru dimasukkan
lagi. Tangki ditutup dan proses fermentasi diawali kembali. Tergantung
dari jenis bahan limbah dan temperatur yang dipakai, sistem batch akan
mulai berproduksi setelah minggu kedua sampai minggu keempat, laju
peningkatan produksi menjadi lambat lalu menurun setelah satu bulan.
Sistem batch biasanya dibuat dalam beberapa set sekaligus sehingga paling
tidak ada yang beroperasi dengan baik. Menurut Romli (2010), sistem
batch memiliki kemampuan menghasilkan 50 sampai 100 kali lebih besar
laju produksi biogas karena dua hal. Pertama, lindi secara kontinu
dilakukan resirkulasi yang memungkinkan tersebarnya inokulan, nutrient
dan asam-asam, dan ini sebenarnya adalah efek pengadukan parsial.
Kedua, sistem curah berjalan dalam suhu yang relative lebih tinggi
daripada suhu umumnya landfill.
59
Gambar 22. Rancangan reaktor biogas
Untuk aplikasi di lapangan, rancangan bioreaktor biogas yang
digunakan tentu berbeda dengan bioreaktor skala laboratorium. Untuk
skala penelitian mungkin cukup dengan kapasitas reaktor 10 liter, tetapi
untuk skala aplikasi di lapangan kapasitas tersebut tidak cukup. Dalam
rancangan bioreaktor skala lapangan, kapasitas reaktor dibuat dalam
satuan volume sekitar 4000 liter. Gambar 22 menujukkan desain reaktor
biogas untuk skala lapangan.
Reaktor terdiri dari tiga bagian utama, yaitu reaktor, penampung gas
dan penampung air lindi. Sistem fermentasi yang digunakan adalah
Keterangan :
A. Bagian penampung biogas
B. Reaktor utama
C. Penampung lindi dan pompa
untuk sirkulasi lindi
D. Pompa untuk sirkulasi lindi
E. Inlet umpan
F. Outlet digestat
60
fermentasi padat (solid state fermentation). Pada bagian reaktor terdiri dari
saluran inlet, outlet, dan tempat fermentasi. Pada penampung lindi
dilengkapi dengan pompa untuk mensirkulasi air lindi. Penampung gas
sendiri terbuat dari plastik tebal.
Bahan baku awal berupa jerami padi atau sampah pasar, air dan
kotoran sapi dimasukkan melalui saluran inlet. Reaktor juga dilengkapi
saluran outlet untuk mengeluarkan digestat, sehingga tidak perlu
membongkar semuanya. Bentuk umpan yang semi padat, membuat proses
pengeluaran digestat dengan cara mendorong dari bagian inlet. Bahan
untuk membuat reaktor dapat berupa stainless steel atapun beton.
Penampung gas terbuat dari plastik tebal yang ditempatkan dibagian atas
reaktor dengan kapasitas 6000 liter. Proses resirkulasi lindi dapat
dilakukan dengan menggunakan pompa atau juga bisa tanpa menggunakan
pompa dengan mengecilkan ukuran pipa resirkulasi dan memanfaatkan
tekanan cairan. Biogas dari penampung gas langsung bisa dialirkan ke
kompor untuk memasak.
Limbah biomassa mempunyai rasio C:N yang tinggi dibandingkan
limbah kotoran ternak sehingga perlu ditambahkan sumber nitrogen.
Limbah pertanian menghasilkan biogas delapan kali lebih banyak
dibandingkan limbah kotoran ternak (Haryati, 2006). Campuran dari
limbah kotoran ternak dan limbah sayuran merupakan campuran yang
ideal untuk menghasilkan biogas, dengan perbandingan jumlah limbah
sayuran yang lebih banyak.