Upload
hoangcong
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1. Hasil Penelitian
1.1.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi
Tengah merupakan satu-satunya Rumah Sakit Jiwa milik
pemerintah di Provinsi Sulawesi Tengah, terletak di
kelurahan Mamboro kecamatan Palu Utara, kira-kira 13 km
sebelah utara kota Palu.
Rumah sakit ini mulai dibangun pada tahun 1979
dengan dana APBN dan resmi berdiri tanggal 5 Juli 1984
dengan diberlakukannya Keputusan Menkes RI Nomor
350/Menkes/SK/VII/1984 tentang Pembentukan Rumah Sakit
Jiwa Pusat Kelas B di Palu. Status awal pengelolaan Rumah
Sakit Jiwa Pusat Palu di bawah Dirjen pelayanan medik
DEPKES-RI dengan menempati areal seluas 90.010 m²
dengan luas bangunan 9.135 m².
Pada tahun 2001 dalam rangka penerapan UU No.22
Tahun 1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah,
pengelolaan Rumah Sakit Jiwa Pusat Palu diserahkan ke
Pemda Kota Palu. Pada Tahun 2002 RSJ Pusat Palu
diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Provinsi
66
Sulawesi Tengah melalui Perda No 12 tahun 2002 tentang
Organisasi dan Tata Laksana RSJ Daerah Provinsi Sulawesi
Tengah, berubah menjadi lembaga teknis daerah yang
berbentuk badan.
Dengan mengacu pada Keputusan Gubernur
Sulawesi Tengah Nomor 188.44/1726/RO.ORPEG-ST/2003
tentang Uraian Tugas Dan Fungsi Rumah Sakit Jiwa Madani
Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Di tahun 2003 Rumah
Sakit Jiwa Pusat Palu berubah nama dan berkembang
menjadi Rumah Sakit Jiwa Madani dengan penambahan 4
pelayanan spesialitik dasar (non jiwa), perawatan umum,
perawatan bedah, perawatan anak, dan perawatan
maternitas.
Pada perkembangan selanjutnya, RSJ Madani
Berubah menjadi Rumah Sakit Daerah Madani, melalui
Perda Nomor 7 Tahun 2009. Pengembangan ini diharapkan
dapat meningkatkan kerja sama RSD Madani dengan Rumah
Sakit Daerah lainnya dalam melaksanakan pelayanan bidang
kesehatan menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu
baik pada pelayanan kesehatan jiwa maupun pelayanan
kesehatan umum. Selanjutnya, pada tanggal 27 Desember
2010 melaui Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor:
900/695/RSD MADANI–G.ST/2010 tentang Penetapan Pola
67
Pengelolaan Keuangan Rumah Sakit Daerah Madani
Provinsi Sulawesi Tengah sebagai Badan Layanan Umum
Daerah Dengan Status Penuh. Sejak berdirinya RSD
MADANI telah mengalami 5 kali pergantian direktur, yaitu:
1. dr. Paul Hamdani, DSJ (1985 - 1992)
2. dr. Slamet Susilo Setyodarmoko, DSJ (1992 - 1997)
3. dr. Eko Susanto Marsoeki, Sp.KJ (1997 - 2004)
4. dr. Hj. Muslimah L. Gadi, MSi (2004 - 2008)
5. dr. Isharwati, M.Kes (2008 - sekarang)
Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi
Tengah adalah Rumah Sakit tipe B khusus dengan kapasitas
120 tempat tidur yang terdiri dari kelas utama (VIP), kelas I,
Kelas II dan Kelas III dan merupakan rumah sakit rujukan
untuk kesehatan jiwa di Provinsi Sulawesi Tengah, Setelah
diserahkan kepada Pemda Sulawesi Tengah pelayanan yang
diberikan oleh rumah sakit ini ditambah dengan pelayanan
kesehatan umum dengan 4 spesialis dasar.
1.1.2. Pelaksanaan Penelitian
Peneliti melaksanakan penelitian di Rumah Sakit
Daerah Madani Palu pada tanggal 6 Agustus – 6 September
2014 dengan Nonprobality Sampling menggunakan teknik
pengambilan sampling jenuh yakni dengan mengambil
68
semua anggota populasi menjadi sampel. Cara ini dilakukan
bila populasinya kecil, seperti bila sampelnya kurang dari tiga
puluh maka anggota populasi tersebut diambil seluruhnya
untuk dijadikan sampel penelitian. Penelitian ini
menggunakan satu jenis penelitian, yaitu kelompok
eksperimen yang mendapatkan perlakuan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi dan sekaligus diberikan pre test dan
post test. Selama 1 bulan penelitian, jumlah riset partisipan
yang didapat ada 27 klien menarik diri murni , pria maupun
wanita yang kooperatif dan tidak memiliki gangguan paca
indera dan bersedia dilakukan terapi aktivitas kelompok
sosialisasi, serta menjalani rawat inap. Penelitian dilakukan
di 3 ruangan Rumah Sakit Daerah Madani, yaitu ruang Salak,
ruang Srikaya, dan ruang Manggis. Riset partisipan di ruang
Salak ada 7 orang, di ruang Srikaya ada 7 orang, dan di
ruang Manggis ada 13 orang.
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi dilakukan oleh
peneliti dengan bantuan kepala ruangan (sebagai
Co.Leader), perawat ruangan (sebagai fasilitator, observer),
dan mahasiswa praktek (sebagai observer). TAKS hanya
dilakukan di pagi hari. Kuesioner komunikasi verbal klien
menarik diri dinilai berdasarkan bentuk-bentuk komunikasi
verbal yang terdapat pada lembar penilaian. Penilaian
69
berdasarkan bentuk-bentuk komunikasi verbal terdiri dari 3
bagian, yaitu penilaian kognitif, penilaian afektif, dan perilaku
klien. Kegiatan pre test dilakukan 1 jam sebelum dilakukan
intervensi, yakni berupa pengisian kuesioner yang dilakukan
oleh peneliti dengan mengobservasi klien. Pelaksanaan
kemudian dilanjutkan dengan memberikan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi yang dilaksanakan selama 3 kali
pertemuan. Setiap pertemuan selang 1 hari. Kemudian
langsung dilakukan kegiatan post test yang dilakukan oleh
peneliti dengan mengobservasi komunikasi verbal klien.
a. Kelompok I
1. Intervensi I
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi I dan
sesi II, yaitu mengajak pasien memperkenalkan
dirinya dan mengajak pasien untuk berkenalan
dengan teman-temannya.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Kamis/14 Agustus 2014
Jam : 10.00 WITA
Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna
70
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang
Salak)
Fasilitator : Aan (perawat ruang Srikaya)
Observer : Nyoman (perawat ruang Salak)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang,
terdiri dari 4 orang dari ruang Salak dan 4 orang
dari ruang Srikaya.
Ruang Salak Ruang Srikaya
Tn. MD Tn. AB
Tn. SL Tn. IN
Tn. NS Tn. AM
Tn. KG Tn. HS
2. Intervensi II
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi III
sampai sesi V, yaitu mengajarkan klien bercakap-
cakap dengan temannya, mengajarkan klien memilih
topik pembicaraan, dan mengajarkan klien agar bisa
menceritakan masalah pribadi kepada teman-
temannya.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Sabtu/16 Agustus 2014
71
Jam : 08.30 WITA
Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang
Salak)
Fasilitator : Bapak Sudarto (Kepala ruang
Srikaya)
Observer : Ronald (perawat ruang Salak)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang,
terdiri dari 4 orang dari ruang Salak dan 4 orang
dari ruang Srikaya.
Ruang Salak Ruang Srikaya
Tn. MD Tn. AB
Tn. SL Tn. IN
Tn. NS Tn. AM
Tn. KG Tn. HS
3. Intervensi III
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi VI
dan sesi VII, yaitu mengajarkan pasien agar dapat
72
berpartisipasi dalam permainan kelompok dan
mengajarkan pasien agar dapat memberikan
pendapat tentang kegiatan TAKS yang telah
dilakukan.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Senin/18 Agustus 2014
Jam : 10.00 WITA
Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kartu kwartet.
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang
Salak)
Fasilitator : Bapak Sudarto (Kepala ruang
Srikaya)
Observer : Ari (perawat ruang Salak)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang,
terdiri dari 4 orang dari ruang Salak dan 4 orang
dari ruang Srikaya.
73
Ruang Salak Ruang Srikaya
Tn. MD Tn. AB
Tn. SL Tn. IN
Tn. NS Tn. AM
Tn. KG Tn. HS
b. Kelompok II
1. Intervensi I
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi I
dan sesi II, yaitu mengajak pasien memperkenalkan
dirinya dan mengajak pasien untuk berkenalan
dengan teman-temannya.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Jumat/15 Agustus 2014
Jam : 09.00 WITA
Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. leader : Ibu Ketut Suharyani (Kepala ruang
Manggis)
Fasilitator : Mulyani (perawat ruang Manggis)
Observer : Ijayanti (perawat ruang Manggis)
74
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 5 orang.
Ruang Manggis
Ny. SM
Ny. KW
Ny. KD
Ny. IM
2. Intervensi II
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi III
sampai sesi V, yaitu mengajarkan klien bercakap-
cakap dengan temannya, mengajarkan klien memilih
topik pembicaraan, dan mengajarkan klien agar bisa
menceritakan masalah pribadi kepada teman-
temannya.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Minggu/17 Agustus 2014
Jam : 09.30 WITA
Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Fasilitator : Mery (perawat ruang Manggis)
75
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 5 orang.
Ruang Manggis
Ny. SM
Ny. KW
Ny. KD
Ny. IM
3. Intervensi III
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi VI
dan sesi VII, yaitu mengajarkan pasien agar dapat
berpartisipasi dalam permainan kelompok dan
mengajarkan pasien agar dapat memberikan
pendapat tentang kegiatan TAKS yang telah
dilakukan.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Selasa/19 Agustus 2014
Jam : 09.00 WITA
Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan balon.
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
76
Co. leader : Ibu Ketut Suharyani (Kepala ruang
Manggis)
Fasilitator : Ramadan (Mahasiswa Akper
Donggala)
Observer : Sri (Mahasiswa Akper Donggala)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 5 orang.
Ruang Manggis
Ny. SM
Ny. KW
Ny. KD
Ny. IM
c. Kelompok III
1. Intervensi I
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi I dan
sesi II, yaitu mengajak pasien memperkenalkan
dirinya dan mengajak pasien untuk berkenalan
dengan teman-temannya.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Rabu/27 Agustus 2014
Jam : 09.00 WITA
Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit
Daerah Madani
77
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. leader : Ibu Ketut Suharyani (Kepala ruang
Manggis)
Fasilitator : Febi (Mahasiswa UIT Makassar)
Observer : Happy (Mahasiswa UIT Makassar)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang.
Ruang Manggis
Ny. AN
Ny. SY
Ny. FD
Ny. SR
Ny. PY
Ny. WR
Ny. FT
Ny. NR
2. Intervensi II
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi III
sampai sesi V, yaitu mengajarkan klien bercakap-
cakap dengan temannya, mengajarkan klien memilih
topik pembicaraan, dan mengajarkan klien agar bisa
menceritakan masalah pribadi kepada teman-
temannya.
78
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Jumat/29 Agustus 2014
Jam : 09.00 WITA
Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. Leader : Ibu Ketut Suharyani (Kepala ruang
Manggis)
Fasilitator : Happy (Mahasiswa IUT Makassar)
Observer : Febi (Mahasiswa IUT Makassar)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang.
Ruang Manggis
Ny. AN
Ny. SY
Ny. FD
Ny. SR
Ny. PY
Ny. WR
Ny. FT
Ny. NR
79
3. Intervensi III
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi VI
dan sesi VII, yaitu mengajarkan pasien agar dapat
berpartisipasi dalam permainan kelompok dan
mengajarkan pasien agar dapat memberikan
pendapat tentang kegiatan TAKS yang telah
dilakukan.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Minggu/31 Agustus 2014
Jam : 08.30 WITA
Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan balon.
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Fasilitator : Mulyani (Perawat ruang Manggis)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang.
80
Ruang Manggis
Ny. AN
Ny. SY
Ny. FD
Ny. SR
Ny. PY
Ny. WR
Ny. FT
Ny. NR
d. Kelompok IV
1. Intervensi I
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi I dan
sesi II, yaitu mengajak pasien memperkenalkan
dirinya dan mengajak pasien untuk berkenalan
dengan teman-temannya.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Sabtu/30 Agustus 2014
Jam : 09.00 WITA
Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang
Salak)
81
Fasilitator : Nyoman (perawat ruang Salak)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 6 orang,
terdiri dari 3 orang dari ruang Salak dan 3 orang
dari ruang Srikaya.
Ruang Salak Ruang Srikaya
Tn. SH Tn. AK
Tn. AS Tn. MN
Tn. IW Tn. AC
2. Intervensi II
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi III
sampai sesi V, yaitu mengajarkan klien bercakap-
cakap dengan temannya, mengajarkan klien memilih
topik pembicaraan, dan mengajarkan klien agar bisa
menceritakan masalah pribadi kepada teman-
temannya.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Senin/1 September 2014
Jam : 09.00 WITA
Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna
82
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang
Salak)
Fasilitator : Mahasiswa profesi Ners STIK Palu
Observer : Nyoman (perawat ruang Salak)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 6 orang,
terdiri dari 3 orang dari ruang Salak dan 3 orang
dari ruang Srikaya.
Ruang Salak Ruang Srikaya
Tn. SH Tn. AK
Tn. AS Tn. MN
Tn. IW Tn. AC
3. Intervensi III
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi VI
dan sesi VII, yaitu mengajarkan pasien agar dapat
berpartisipasi dalam permainan kelompok dan
mengajarkan pasien agar dapat memberikan
pendapat tentang kegiatan TAKS yang telah
dilakukan.
a) Waktu dan tempat
Hari/tanggal : Rabu/3 September 2014
Jam : 09.30 WITA
83
Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit
Daerah Madani
b) Media atau alat
Laptop, bola tenis, dan kartu kwartet.
c) Susunan pelaksanaan
Leader : Happy
Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang
Salak)
Fasilitator : Mahasiswa Poltekkes Mamboro
Observer : Ronald (perawat ruang Salak)
d) Klien peserta TAKS
Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 6 orang,
terdiri dari 3 orang dari ruang Salak dan 3 orang
dari ruang Srikaya.
Ruang Salak Ruang Srikaya
Tn. SH Tn. AK
Tn. AS Tn. MN
Tn. IW Tn. AC
84
1.1.3. Karakteristik Responden
1.1.3.1. Jenis Kelamin
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 14 51.9
Perempuan 13 48.1
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat jumlah
klien menarik adalah 27 orang yang terdiri dari 14
orang laki-laki (51.9%) dan 13 orang perempuan
(48.1%).
1.1.3.2. Umur
Umur dikategorikan berdasarkan Depkes RI,
2009 yaitu : remaja akhir (17-25 tahun), dewasa
awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun),
lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65
tahun).
85
Dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)
Umur Jumlah Persentase
Remaja akhir
(17-25 tahun)
7 25.9
Dewasa awal (26-35 tahun)
8 29.6
Dewasa akhir (36-45 tahun)
9 33.3
Lansia awal (46-55 tahun)
2 7.4
Lansia akhir (56-65 tahun)
1 3.7
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.2 terlihat bahwa klien
menarik diri yang dirawat lebih banyak yang
kategori dewasa akhir 9 orang (33.3%), dan yang
paling sedikit yang kategori lansia akhir yaitu 1
orang (3.7%).
1.1.3.3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi 4
kategori, yaitu: SD, SMP, SMA, dan Perguruan
Tinggi.
86
Dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)
Pendidikan Jumlah Persentase
SD 11 40.7
SLTP 11 40.7
SMA 4 14.8
Perguruan Tinggi
1 3.7
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat tingkat
pendidikan klien menarik diri yang paling banyak
yang tingkat pendidikannya sampai SD ada 11
orang (40.7%) dan SMP juga berjumlah 11 orang
(40.7%). Yang paling sedikit yang tingkat
pendidikannya sampai perguruan tinggi, yaitu 1
orang (3.7%).
1.1.3.4. Pekerjaan
Pekerjaan dikategorikan menjadi 3 kategori,
yaitu pelajar, tidak bekerja, dan bekerja. Untuk
kategori bekerja terdiri dari tukang masak, buruh
bangunan, tukang jahit, dan petani.
87
Dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)
Pekerjaan Jumlah Persentase
Pelajar 1 3.7
Tidak bekerja 16 59.3
Bekerja 10 37.0
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa
klien menarik diri yang tidak bekerja sebanyak 16
orang (59.3%) dan yang paling sedikit adalah
pelajar 1 orang (3.7%).
1.1.3.5. Status Perkawinan
Status perkawinan dikategorikan menjadi 2
kategori, yaitu belum menikah, menikah, dan
duda/janda. Hasil penelitian dapat dilihat dibawah
ini.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Perkawinan Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)
Status
Perkawinan
Jumlah Persentase
Belum menikah 18 66.7
Menikah 8 29.6
Duda/Janda 1 3.7
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
88
Klien menarik diri yang belum menikah lebih
banyak, yaitu 18 orang (66.7%) dan yang paling
sedikit yaitu duda 1 orang (3.7%).
1.1.3.6. Lama Mengikuti TAKS
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lama Mengikuti TAKS Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)
Lama Mengikuti
TAKS
Jumlah Persentase
Tidak selesai 0 0.0
Selesai 27 100.0
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Semua riset partisipan yang sudah mengikuti
TAKS telah mengikuti TAKS sampai sesi ke tujuh.
1.1.3.7. Perawatan
Perawatan dibagi menjadi dua kategori, yaitu
pasien kambuh yakni pasien yang baru pertama
kali masuk rumah sakit dan pasien kambuh yakni
pasien yang sudah pernah masuk rumah sakit dan
berulang terjadi gangguan.
89
Dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perawatan Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)
Perawatan Jumlah Persentase
Pasien baru 6 22.2
Pasien kambuh 21 77.8
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Dari tabel 4.7, status dengan pasien baru ada
6 orang (22.2%) sedangkan status pasien kambuh
ada 21 orang (77.8%).
1.1.4. Analisis Univariat
1.1.4.1. Komunikasi Verbal Klien Menarik Diri Sebelum
Intervensi
Kemampuan komunikasi verbal
dikategorikan menjadi 4 kategori yaitu : sangat
tidak baik (0-25%), tidak baik (26-50%), baik (51-
75%), dan sangat baik (76-100%).
90
Dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan
Kemampuan Komunikasi Verbal
Sebelum Dilaksanakan TAKS Pada
Klien Menarik Diri Di RSD Madani
Palu (N: 27)
Komunikasi
Verbal
Jumlah Persentase
Sangat tidak baik 0 0.0
Tidak baik 16 59.3
Baik 11 40.7
Sangat baik 0 0.0
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.8 terlihat bahwa
kemampuan komunikasi verbal pada klien menarik
diri sebelum dilakukan TAKS lebih banyak yang
kategori tidak baik yaitu 16 orang (59,3%), kategori
baik 11 orang (40,7%), kategori sangat tidak baik
dan sangat baik tidak ada.
91
1.1.4.2. Komunikasi Verbal Klien Menarik Diri Setelah
Intervensi
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kemampuan Komunikasi Verbal Setelah Dilaksanakan TAKS Pada Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)
Komunikasi
Verbal
Jumlah Persentase
Sangat tidak baik 0 0.0
Tidak baik 5 18.5
Baik 12 44.4
Sangat baik 10 37.0
Jumlah 27 100.0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.9 terlihat bahwa
kemampuan komunikasi verbal pada klien menarik
diri setelah dilakukan TAKS kategori baik yaitu 12
orang (44.4%), kategori sangat baik 10 orang
(37.0%), kategori tidak baik 5 orang (18.5%), dan
kategori sangat tidak baik tidak ada.
1.1.5. Hasil Penelitian Uji Bivariat
1.1.5.1. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi Terhadap Kemampuan Komunikasi
Verbal Klien Menarik Diri
Dalam menganalisa data secara bivariat,
pengujian data menggunakan uji t-dependen.
92
Hasil uji t-dependen dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 4.10 Analisis Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap Kemampuan Komunikasi Verbal Klien Menarik Diri (Uji t-dependent) (N: 27)
Varia
bel
Mean Std.
Devia
tion
Std.
Error
Mean
Perbedaan P
Value
N
Mean Std. Deviation
Pre
Test
TAKS
33.52 8.759 1.686
-13.704
9.817
0.000
27
Post test
TAKS
47.22 12.457 2.397
Berdasarkan tabel 4.10 di atas, kemampuan
komunikasi verbal klien menarik diri memiliki nilai
rata-rata pada saat pre test sebesar 33.52 dengan
standar deviasi 8.759. Pada saat post test didapat
rata-rata sebesar 47.22 dengan standar deviasi
12.457. Adapun mean perbedaan antara pre test
dan post test adalah -13.704 dengan standar
deviasi 9.817. Hasil uji statistik didapatkan nilai
p=0.000 (p < 0,05) berarti secara statistik ada
pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
(TAKS) dengan kemampuan komunikasi verbal
pada klien menarik diri (H0 ditolak).
93
1.1.5.2. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
Klien Menarik Diri
Tabel 4.11 Analisis Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)
Jenis kelamin
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
r
ρ
Tidak Baik
Baik Sangat Baik
Laki-laki 4 (28.6%)
4 (28.6%)
6 (42.9%)
0.879
0.031
Perempuan 1 (7.7%)
8 (61.5%)
4 (30.8%)
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.11 terlihat bahwa laki-laki
yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal
yang tidak baik dan baik pada saat post test
masing-masing 4 orang dan sangat baik ada 6
orang. Perempuan yang tidak baik ada 1 orang,
yang baik ada 8 orang, dan sangat baik ada 4
orang. Koefisien korelasi (r) antara jenis kelamin
dengan kemampuan komunikasi verbal post test
klien menarik diri sebesar 0.879 (nilai korelasi
masuk dalam interpretasi hubungan sangat kuat)
dengan probabilitas (ρ)= 0.031 (ρ < 0.05) berarti
ada hubungan yang sangat rendah antara jenis
94
kelamin dengan kemampuan komunikasi verbal
post test klien menarik diri di RSD Madani Palu.
1.1.5.3. Hubungan Antara Umur Dengan Kemampuan
Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri
Tabel 4.12 Analisis Hubungan Umur Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)
Umur
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
r
ρ
Tidak Baik
Baik Sangat Baik
Remaja akhir (17-25 tahun)
4 (57.1%)
1 (14.3%)
2 (28.6%)
0.310
0.203
Dewasa awal (26-35 tahun)
1 (12.5%)
3 (37.5%)
4 (50.0%)
Dewasa akhir (36-45 tahun)
0
5 (55.6%)
4 (44.4%)
Lansia awal (46-55 tahun)
0
2 (100.0%)
0
Lansia akhir (56-65 tahun)
0
1 (100.0%)
0
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.12 terlihat bahwa remaja
akhir yang mempunyai kemampuan komunikasi
verbal yang tidak baik pada saat post test ada 4
orang, baik ada 1 orang, dan sangat baik ada 2
orang. Dewasa awal yang tidak baik ada 1 orang,
yang baik ada 3 orang, dan sangat baik ada 4
orang. Dewasa akhir yang baik ada 5 orang dan
sangat baik ada 4 orang. Lansia awal yang baik
ada 2 orang sedangkan lansia akhir yang baik ada
95
1 orang. Koefisien korelasi (r) antara umur dengan
kemampuan komunikasi verbal post test klien
menarik diri sebesar 0.310 dengan probabilitas
(ρ)= 0.203 (ρ > 0.05) berarti tidak ada hubungan
antara umur dengan kemampuan komunikasi
verbal post test klien menarik diri di RSD Madani
Palu.
1.1.5.4. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
Klien Menarik Diri
Tabel 4.13 Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)
Tingkat Pendidi
kan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
r
ρ
Tidak Baik
Baik Sangat Baik
SD 0 8 (72.7%)
3 (27.3%)
0.858
0.036
SMP 4 (36.4%)
3 (27.3%)
4 (36.4%)
SMA 1 (25.0%)
1 (25.0%)
2 (50.0%)
PT 0 0 1 (100.0%)
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.13 terlihat bahwa klien
menarik diri dengan tingkat pendidikan SD yang
mempunyai kemampuan komunikasi verbal yang
96
baik saat post test ada 8 orang dan sangat baik 3
orang. Pendidikan SMP yang tidak baik ada 4
orang, baik 3 orang, dan sangat baik 4 orang.
Pendidikan SMA yang tidak baik ada 1 orang, baik
1 orang dan sangat baik 2 orang. Perguruan tinggi
mempunyai kemampuan komunikasi verbal sangat
baik yaitu 1 orang. Koefisien korelasi (r) antara
tingkat pendidikan dengan kemampuan komunikasi
verbal post test klien menarik diri sebesar 0.858
(nilai korelasi masuk dalam interpretasi hubungan
sangat kuat) dengan probabilitas (ρ)= 0.036 (ρ <
0.05) berarti ada hubungan yang sangat rendah
antara tingkat pendidikan dengan kemampuan
komunikasi verbal post test klien menarik diri di
RSD Madani Palu.
97
1.1.5.5. Hubungan Antara Pekerjaan Dengan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
Klien Menarik Diri
Tabel 4.14 Analisis Hubungan Pekerjaan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)
Pekerjaan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
r
ρ
Tidak Baik
Baik Sangat Baik
Pelajar 0 0 1 (100.0%)
0.176
0.268 Tidak bekerja
4 (25.0%)
9 (56.2%)
3 (18.8%)
Bekerja 1 (10.0%)
3 (30.0%)
6 (60.0%)
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.13 terlihat bahwa satu
orang pelajar mempunyai kemampuan komunikasi
verbal sangat baik saat post test. Tidak bekerja
yang tidak baik 4 orang, baik 9 orang, dan sangat
baik 3 orang. Bekerja yang tidak baik ada 1 orang,
baik 3 orang, dan sangat baik 6 orang. Koefisien
korelasi (r) antara pekerjaan dengan kemampuan
komunikasi verbal post test klien menarik diri
sebesar 0.176 dengan probabilitas (ρ)= 0.268 (ρ >
0.05) berarti tidak ada hubungan antara pekerjaan
98
dengan kemampuan komunikasi verbal post test
klien menarik diri di RSD Madani Palu.
1.1.5.6. Hubungan Antara Status Perkawinan Dengan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
Klien Menarik Diri
Tabel 4.15 Analisis Hubungan Status Perkawinan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)
Status Perkawinan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
r
ρ
Tidak Baik
Baik Sangat Baik
Belum menikah
5 (27.8%)
7 (38.9%)
6 (33.3%)
0.200
0.254 Menikah 0 5
(62.5%) 3
(37.5%)
Duda/janda 0 0 1 (100.0%)
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.14 terlihat bahwa klien
belum menikah yang mempunyai kemampuan
komunikasi verbal tidak baik pada saat post test
ada 5 orang, baik 7 orang, dan sangat baik 6
orang. Klien yang menikah baik ada 5 orang dan
sangat baik ada 3 orang. Duda sangat baik ada 1
orang. Koefisien korelasi (r) antara status
perkawinan dengan kemampuan komunikasi
verbal post test klien menarik diri sebesar 0.200
99
dengan probabilitas (ρ)= 0.254 (ρ > 0.05) berarti
tidak ada hubungan antara status perkawinan
dengan kemampuan komunikasi verbal post test
klien menarik diri di RSD Madani Palu.
1.1.5.7. Hubungan Antara Perawatan Dengan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
Klien Menarik Diri
Tabel 4.16 Analisis Hubungan Perawatan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)
Perawatan
Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test
r
ρ
Tidak Baik
Baik Sangat Baik
Pasien baru
2 (33.3%)
2 (33.3%)
2 (33.3%)
0.539
0.124
Pasien kambuh
3 (14.3)
10 (47.6%)
8 (38.1%)
Sumber data:
Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah
Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014
Berdasarkan tabel 4.15 terlihat bahwa pasien
baru yang mempunyai kemampuan komunikasi
verbal tidak baik saat post test ada 2 orang, baik 2
orang, dan sangat baik 2 orang. Pasien kambuh
yang tidak baik ada 3 orang, baik 10 orang, dan
sangat baik 8 orang. Koefisien korelasi (r) antara
perawatan dengan kemampuan komunikasi verbal
post test klien menarik diri sebesar 0.539 dengan
100
probabilitas (ρ)= 0.124 (ρ > 0.05) berarti tidak ada
hubungan antara perawatan dengan kemampuan
komunikasi verbal post test klien menarik diri di
RSD Madani Palu.
1.2. Pembahasan
Berdasarkan tabel 4.8 Kemampuan komunikasi verbal pada
klien menarik diri sebelum dilaksanakan TAKS lebih banyak yang
tidak baik yaitu 16 orang (59.3%) dan mean/rata rata 33.52, standar
deviasi 8.759. Menurut asumsi peneliti, masih banyaknya
komunikasi verbal yang tidak baik karena belum terbina hubungan
saling percaya antara peneliti dan klien sehingga klien tidak mau
berkomunikasi.
Hal ini sesuai teori Keliat (2010) mengatakan bahwa perawat
tidak mungkin secara drastis mengubah kebiasaan klien dalam
berinteraksi dengan orang lain karena kebiasaan tersebut telah
terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Namun, melalui sikap
empati dan menerima klien apa adanya serta perhatian kepada klien
dan pada kebutuhan dasar klien yang ditunjukkan oleh perawat akan
menumbuhkan rasa saling percaya dengan perawat. Kepercayaan
tersebut harus dibarengi dengan sikap jujur dan menepati janji yang
kembali harus dilakukan oleh perawat ketika seseorang ingin
dipercaya oleh klien. Pendekatan yang baik kepada klien isolasi
101
sosial (menarik diri) akan dapat meningkatkan rasa saling percaya
dengan perawat.
Keliat (2010) juga menambahkan bahwa pada awalnya
mungkin klien hanya akrab dengan perawat, tetapi setelah itu
perawat harus membiasakan klien untuk dapat berinteraksi secara
bertahap dengan orang-orang disekitarnya. Intervensi yang
konsisten akan meningkatkan kemampuan klien dalam
berkomunikasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh penguatan berupa
pujian reinforcement positif yang diberikan atas hasil yang telah
dicapai klien yang juga semakin memotivasi klien untuk mau
bergabung dengan klien lainnya.
Corey (2008) mengatakan bahwa penguatan positif yang
diberikan perawat setelah mengevaluasi kemampuan klien
mendorongnya untuk melakukan apa yang diharapkan dalam
mengatasi masalahnya. Pembentukan pola tingkah lakunya dapat
dilakukan dengan memberi penguatan positif segera setelah tingkah
laku yang diharapkan muncul. Penguatan menjadi alat untuk
membentuk tingkah laku yang diharapkan, antara lain seperti
senyuman, persetujuan, pujian, dan hadiah. Penggunaan penguatan
positif perlu dilakukan untuk memunculkan tingkah laku yang
diinginkan. Misalnya pada TAKS, penguatan positif yang diberikan
setelah klien mampu mengikuti tingkah laku yang diharapkan oleh
102
perawat berupa tepuk tangan, pujian “bagus sekali” atau “baik
sekali”.
Setelah dilaksanakan TAKS, dapat dilihat pada tabel 4.9
komunikasi klien menarik diri terjadi peningkatan dimana yang lebih
banyak komunikasi verbal yang baik 12 orang (44.4%), sangat baik
10 orang (37.0%) dan penurunan pada tidak baik menjadi 5 orang
(18.5%) dengan rata-rata 47.22 dan standar deviasi 12.457. Menurut
pendapat peneliti, hal ini terjadi karena sudah terbina hubungan
yang baik dan akrab antara peneliti dan klien. Hal ini dipertegas
dengan teori Budyatna & Ganiem (2011) yang mengatakan bahwa
hubungan akrab ditandai dengan keramatamahan dan kasih sayang,
kepercayaan, pengungkapan diri, dan tanggung jawab.
Peneliti berpendapat bahwa hubungan akrab yang terjalin
antar peneliti dan klien karena peneliti dan klien sudah
menghabiskan waktu bersama-sama sudah cukup lama sehingga
klien sudah merasa peneliti seperti teman sendiri dan muncul rasa
sayang, kepercayaan sehingga dapat menceritakan pengalaman
pribadi dan juga rasa tanggung jawab untuk tetap menjaga
hubungan bertemanan.
Hal ini sesuai dengan teori Budyatna & Ganiem (2011) yang
mengatakan bahwa satu cara sahabat kental menyatakan
kesukaannya ialah melalui cara menghabiskan waktu bersama-
sama entah jalan-jalan atau ngobrol. Teman akrab selalu berharap
103
untuk selalu bersama-sama karena mereka mengalami kegembiraan
atau kesenangan secara bersama-sama, mereka menikmati
bersama-sama dalam berbicara, dan mereka menikmati dalam
berbagi pengalaman.
Sebagaimana para mitra mengembangkan kepercayaan yang
bertambah terhadap satu sama lain, maka tingkat ketergantungan
mereka menjadi bertambah terhadap satu sama lain, yakni mereka
menjadi makin bertambah tingkat kepuasannya, bertambahnya
keinginan untuk tidak melakukan berbagai alternatif, dan makin
bertambah keinginan untuk memperkuat di dalam hubungan
(Budyatna & Ganiem, 2011).
Budyatna & Ganiem (2011) juga menambahkan berbagi
perasaan dan proses pengungkapan diri yang sangat pribadi, orang
benar-benar dapat mengetahui dan mengerti satu sama lain.
Sebagai hasil dari jumlah pengungkapan diri yang meningkat, maka
mereka meningkatkan investasi mereka di dalam hubungan dan
mengembangkan rasa “kekitaan”.
Peneliti beranggapan bahwa peningkatan kemampuan
komunikasi verbal pada klien menarik diri setelah dilakukan TAKS
juga bisa terjadi karena selama proses TAKS melibatkan banyak
orang dalam satu kelompok sehingga klien dapat mengutarakan
perasaan dan pikirannya dan teman-teman dalam satu kelompok
bisa memberikan respon yang positif setelah klien
104
mengutarakaanya. Misalnya pada TAKS, teman-teman satu
kelompok akan mendengarkan pendapat temannya dan juga akan
memberikan pendapat yang lain pada topik yang telah ditentukan.
Hal ini sesuai dengan teori Wood (2013) yang mengatakan
bahwa pedoman kritis untuk komunikasi verbal yang efektif adalah
dengan melibatkan perspektif ganda. Hal ini melibatkan peran
kerberpusatan pada orang-orang (person-centered), sehingga anda
menyadari perspektif lain dan menggunakannya untuk
berkomunikasi. Komunikasi interpersonal yang efektif bukanlah
pertunjukan pribadi, tetapi sebuah hubungan antar manusia.
Wood (2013) mengatakan bahwa komunikator yang efektif
bertanggung jawab pada diri mereka sendiri dengan menggunakan
bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan. Mereka mengakui
perasaan mereka dan tidak menyalahkan orang lain atas apa yang
terjadi pada mereka. Komunikator yang efektif tidak membantah
atau meremehkan apa yang orang lain katakan mengenai perasaan
dan pikiran mereka. Bahkan, saat anda tidak berpikir dan merasakan
hal yang sama, anda masih dapat menghormati orang lain atas
pikiran dan emosinya.
Wood (2013) juga menambahkan bahwa proses menghargai
apa yang orang lain katakan mengenai perasaan dan pikiran mereka
adalah landasan dari komunikasi interpersonal yang efektif. Kita juga
berkembang saat kita membuka diri kita untuk perspektif, perasaan,
105
dan pikiran yang berbeda. Jika anda tidak mengerti apa yang orang
lain katakan, minta mereka untuk mengelaborasi. Ini menunjukkan
anda tertarik, dan anda menghargai pengetahuan atau
pengalamannya. Mendorong orang lain untuk mengklarifikasi,
memperluas, atau menjelaskan komunikasi mereka memperbesar
pemahaman di antara individu.
Setelah dilakukan TAKS, ada peningkatan bermakna dari
kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri. Menurut pendapat
peneliti, hal ini dapat terjadi karena karakteristik klien sendiri. Setiap
klien menarik diri mempunyai karakteristik yang berbeda-beda
sehingga dapat meningkatkan komunikasi verbalnya setiap hari.
Peningkatan kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri terjadi
dari faktor tingkat pendidikan, umur, pekerjaan, dan perawatan.
Hal ini dipertegas dengan pernyataan Stuart & Laraia (2005)
bahwa pendidikan dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang
dalam berinteraksi dengan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada 11 orang (40.7%) yang memiliki tingkat pendidikan
rendah, 15 orang yang memiliki tingkat pendidikan menengah (11
orang (40.7%) memiliki tingkat pendidikan sampai SMP dan 4 orang
(14.8%) memiliki tingkat pendidikan sampai SMA), dan 1 orang
(3.7%) yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.
Pada proses pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi
dalam penelitian ini, klien menarik diri dengan latar belakang tingkat
106
pendidikan menengah dan tinggi memiliki kemampuan untuk
menerima informasi lebih baik serta dapat berkomunikasi dengan
baik dibandingkan dengan klien menarik diri yang memiliki latar
pendidikan rendah.
Rata-rata klien menarik diri pada penelitian ini berada pada
kategori remaja akhir (17-25), dewasa awal (26-35), dan dewasa
akhir (35-45). Dapat dilihat pada tabel 4.2, klien menarik diri dengan
kategori umur remaja akhir ada 7 orang (25.9%), dewasa awal 8
orang (29.6%), dewasa akhir 9 orang (33.3%), lansia awal 2 orang
(7.4%), dan lansia akhir 1 orang (3.7%).
Peneliti beranggapan bahwa remaja akhir masih berada
dalam usia labil yang rentan, pola pikir yang sering berubah-ubah.
Responden masih belum dapat mempercayai temannya secara
sepenuhnya dan juga kadang-kadang tergantung dengan suasana
hatinya. Ketika klien tidak mempunyai suasana hati yang baik pada
hari itu, ia akan cenderung diam, mengurung diri, dan menjauh dari
teman-temannya.
Videback (2008) mengatakan bahwa skizofrenia yang terjadi
pada klien dengan masalah isolasi sosial menarik diri yang terjadi
pada usia dini memperlihatkan hasil akhir yang lebih buruk daripada
yang terjadi pada usia yang lebih tua, klien dengan usia lebih muda
akan lebih memperlihatkan suatu kognitif yang selalu berpikiran
negatif sehingga akan memunculkan perasaan sedih, menangis, dan
107
putus asa yang pada akhirnya akan memunculkan suatu perilaku
negatif yang lebih nyata dan gangguan kognitif yang lebih banyak.
Townsend (2009) juga mengatakan bahwa semakin bertambahnya
umur seseorang maka semakin meningkatnya kemampuan
seseorang dalam melakukan interaksi sosial, diantaranya
kemampuan komunikasi verbal dengan orang lain.
Berdasarkan tabel 4.4, dapat dilihat bahwa klien menarik diri
yang tidak bekerja 16 orang (59.3%), bekerja 10 orang (37.0%), dan
yang masih bersekolah 1 orang (3.7%). Peneliti berpendapat bahwa
klien menarik diri yang tidak bekerja lebih banyak yang tidak
mengalami peningkatan (kemampuan komunikasi verbal tidak baik)
dibandingkan dengan klien menarik diri yang bekerja. Hal ini dapat
terjadi karena klien yang tidak bekerja lebih cepat mengalami stress
sehingga dapat berakibat pada proses interaksi dengan orang
disekitarnya. Ketika mengalami stress, klien menarik diri lebih
cenderung diam dan menyendiri.
Hal ini dipertegas oleh Yosep (2011) mengatakan bahwa
masalah ekonomi merupakan masalah yang paling dominan sebagai
pencetus gangguan jiwa di Indonesia. Ditambah lagi dengan
pernyataan Yosep bahwa masalah kemiskinan seperti
pengangguran atau tidak bekerja di Indonesia lebih dari 40 juta
orang dan telah menyebabkan rakyat semakin terpuruk, daya beli
lemah, pendidikan rendah, lingkungan yang buruk, kurang gizi
108
sehingga menyebabkan banyak rakyat Indonesia mengalami
gangguan jiwa. Hal yang sama dikemukakan oleh Tartowo dan
Wartonah (2003) bahwa status pekerjaan akan mempengaruhi
timbulnya stress. Status pekerjaan terkait dengan status ekonomi
seseorang, orang dengan status ekonomi yang tinggi akan jauh lebih
sukar mengalami stress dibanding mereka yang status ekonominya
rendah.
Dari data tabel 4.7, dapat dilihat bahwa ada 6 klien menarik
diri (22.2%) yang merupakan klien baru (pertama kali menjalani
perawatan) dan sisanya 21 klien (77.8%) merupakan pasien
kambuh. Menurut peneliti, pasien kambuh karena disebabkan tidak
adanya dukungan dari keluarga atau kerabat sehingga membuat
klien putus asa dan sudah tidak mau minum obat dengan rutin.
Dalami (2009) mengatakan bahwa masalah komunikasi dalam
keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan
tingkah laku.
Terjadi peningkatan kemampuan komunikasi verbal pada
klien baru pada saat post test, peneliti berpendapat bahwa hal ini
disebabkan karena pasien ini baru menjalani perawatan yang
pertama kali sehingga perawat bisa melakukan pendeteksian dini
penyakit kepada pasien sehingga dapat disembuhkan lebih cepat
dan juga pasien masih bisa menerima masukan atau arahan dari
perawat sehingga mereka bisa mengubah perilaku mereka dengan
109
cepat serta dapat bersosialisasi kembali dengan orang-orang
disekitarnya. Hal ini juga dipertegas dengan pendapat Stuart dan
Laraia (2005) mengatakan bahwa waktu atau lamanya seseorang
terpapar stressor akan memberikan dampak terhadap keterlambatan
dalam mencapai kemampuan dan kemandirian.
Untuk 21 klien kambuh juga terjadi peningkatan kemampuan
komunikasi verbal pada saat post test. Hal ini dapat terjadi karena
klien sudah pernah masuk ke rumah sakit sebelumnya dan juga
pada perawatan yang sebelumnya sudah pernah mengikuti terapi
aktivitas kelompok sosialisasi. Pada saat penelitian, terlihat bahwa
klien dapat mengikuti TAKS dengan baik dan juga bisa membimbing
teman-temannya yang lainnya selama proses intervensi, seperti
contoh membantu temannya untuk memperkenalkan diri dan juga
berkenalan dengan orang lain. Memang pada awalnya klien belum
dapat bersosialisasi dengan baik pada pertemuan pertama namun
pada pertemuan kedua dan ketiga, klien sudah dapat beradaptasi
dan membimbing teman-temannya yang lain baik dari teman
kelompok intervensi maupun teman-teman yang lain dalam satu
ruangan ataupun ruangan yang lain. Namun, dalam perawatan
sebelumnya klien tidak mengikuti TAKS secara menyeluruh, yakni
tujuh sesi dan hanya mengikuti TAKS sampai sesi kedua. Hal ini
terjadi karena perawat ruangan tidak melakukan terapi secara
menyeluruh sampai sesi ketujuh dan hanya sampai sesi kedua dan
110
juga perawat hanya berfokus pada terapi aktivitas kelompok yang
lainnya.
Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa klien menarik diri yang
laki-laki ada 14 orang (51.9%) dan perempuan ada 13 orang
(48.1%). Dalam penelitian ini, klien menarik diri yang laki-laki
memang lebih banyak dari klien menarik diri perempuan. Tetapi,
jenis kelamin tidak mengalami peningkatan yang bermakna dalam
kemampuan komunikasi verbal. Hal ini dipertegas dengan teori
Videback (2008) yang mengatakan bahwa tidak ditemukan
perbedaan prevalensi berdasarkan jenis kelamin pada gangguan
isolasi sosial (menarik diri), artinya jumlah penderita laki-laki dan
perempuan seimbang.
Berdasarkan tabel 4.5, klien menarik diri yang belum menikah
ada 18 orang (66.7%), menikah 8 orang (29.6%), dan duda 1 orang
(3.7%). Meskipun klien menarik diri yang belum menikah lebih
banyak dari yang sudah menikah, tetapi status perkawinan tidak
mengalami peningkatan yang bermakna terhadap kemampuan
komunikasi verbal klien menarik diri. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Surtiningrum (2011) bahwa tidak ditemukan
pengaruh status perkawinan terhadap kemampuan bersosialisasi
klien menarik diri walaupun dari 61 klien menarik diri, status
perkawinan “tidak kawin” (belum menikah/duda/janda) memiliki
proporsi lebih tinggi dari status kawin yaitu sebesar 67.2%.
111
Hasil penelitian ini mendukung beberapa hasil penelitian
terdahulu. Penelitian Keliat, dkk (2000) yang berjudul Pengaruh
Model Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) terhadap
Kemampuan Komunikasi Verbal dan Non Verbal pada Klien Menarik
Diri di Rumah Sakit Jiwa, menunjukkan bahwa bila dibandingkan
dengan standar kemampuan yang diharapkan yaitu 75%, maka
kemampuan kelompok intervensi melebihi standar sedang kelompok
non intervensi kurang dari standar tersebut. Perbandingan kenaikan
kemampuan komunikasi antara kelompok intervensi TAKS dan non
TAKS berbeda bermakna dengan p = 0,0001.
Penelitian Arum Pratiwi, dkk (2004) dengan judul Pengaruh
Terapi Aktivitas Kelompok terhadap Kemampuan Komunikasi Pasien
Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta,
menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan
kelompok intervensi dengan p= 0.000. Pada kelompok intervensi
menunjukkan kemampuan komunikasi yang lebih baik daripada
kelompok kontrol.
Penelitian Kiki Susilowati, dkk (2009) dengan judul Pengaruh
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap Tingkat Depresi di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, menunjukkan bahwa nilai p-
value lebih kecil dari 0.05 (0.005 < 0.05) maka H0 ditolak sehingga
terdapat perbedaan tingkat depresi post test antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol dan dapat disimpulkan bahwa
112
pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi berpengaruh
terhadap tingkat depresi.
Setelah dilakukan uji korelasi Spearman karakteristik klien
dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri,
didapatkan hasil bahwa jenis kelamin dan tingkat pendidikan
mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan kemampuan
komunikasi verbal post test klien menarik diri.
Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.13 yang
menunjukkan bahwa dari 11 orang yang memiliki tingkat pendidikan
rendah ada 8 orang mempunyai kemampuan komunikasi verbal
yang baik dan 3 orang yang sangat baik, 15 orang yang memiliki
tingkat pendidikan menengah (11 orang memiliki tingkat pendidikan
sampai SMP dan 4 orang memiliki tingkat pendidikan sampai SMA).
Klien yang mempunyai tingkat pendidikan menengah, dari 11 orang
SMP ada 4 orang yang mempunyai komunikasi verbal tidak baik, 3
yang baik, dan 4 yang sangat baik sedangkan dari 4 orang SMA ada
1 orang yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal tidak baik,
1 yang baik, dan 2 yang sangat baik. Klien yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi ada 1 orang dan klien ini mempunyai kemampuan
komunikasi verbal yang sangat baik..
Hal ini sesuai dengan teori Kopelowicz (2002) juga
menambahkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan
113
seseorang akan berkolerasi positif dengan ketrampilan koping yang
dimiliki seseorang dalam menyelesaikan masalah.
Penelitian Nyumirah (2012) juga mengatakan bahwa
pendidikan merupakan sumber koping bagi seseorang dalam
menghadapi suatu masalah yang dihadapi. Pada proses pemberian
terapi aktivitas kelompok sosialisasi, responden dengan latar
belakang pendidikan menengah memiliki kemampuan untuk
menerima informasi lebih baik dibandingkan dengan responden
dengan latar belakang rendah karena latar belakang yang dimiliki
responden dapat dijadikan sumber koping dalam mengalami suatu
masalah. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh seseorang
makin baik seseorang dalam mengembangkan tehnik komunikasi
dengan orang lain baik verbal maupun non verbal.
Pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa klien menarik diri yang
laki-laki ada 14 orang. Dari 14 klien yang mempunyai kemampuan
komunikasi verbal tidak baik ada 4 orang, yang baik ada 4 orang,
dan sangat baik ada 6 orang. Perempuan ada 13 orang yang
mempunyai kemampuan komunikasi verbal tidak baik ada 1 orang,
yang baik ada 8 orang, dan sangat baik ada 4 orang.
Townsend (2009) mengatakan bahwa jenis kelamin akan
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan
komunikasi karena jenis kelamin laki-laki dan perempuan
menunjukkan gaya komunikasi yang berbeda dan memiliki
114
interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan. Potter &
Perry (2005) mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin
mempengaruhi porses komunikasi, karena komunikasi merupakan
media tersampainya informasi. Keluarga dengan jenis kelamin
perempuan akan menggunakan bahasa dalam mengungkapkan
kasih sayang, berbeda dengan laki-laki yang menggunakan bahasa
untuk hal-hal yang bersifat negosiasi dan kebebasan.
Sunaryo (2004) mengatakan bahwa perbedaan perilaku laki-
laki dan perempuan dari cara berpakaian dan melakukan pekerjaan
sehari-hari, pria berperilaku atas dasar pertimbangan rasional atau
akal sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional dan
perasaan sehingga terdapat kemungkinan wanita lebih peka
terhadap munculnya tanda-tanda gangguan jiwa.
Berdasarkan tabel 4.12, dapat dilihat bahwa tidak ada
hubungan antara umur dengan kemampuan komunikasi verbal klien
menarik diri. Untuk pekerjaan (dapat dilihat pada tabel 4.14), status
perkawinan (dapat dilihat pada tabel 4.15), dan perawatan (dapat
dilihat pada tabel 4.16) tidak ada hubungan dengan kemampuan
komunikasi verbal klien menarik diri.
Peneliti berpendapat bahwa kemampuan komunikasi verbal
seseorang dapat menurun tergantung dari situasi, kondisi, dan
masalah dari seseorang itu. Jika mereka dapat menerima dengan
ikhlas dan cepat, kemampuan komunikasi verbal tidak akan
115
terganggu tetapi jika seseorang belum dapat menerima dan
mengikhlaskannya, ia akan cenderung menyendiri sehingga tidak
mau berkomunikasi dengan orang lain.
Hasil penelitian ini didukung oleh Jumaini (2009) dalam
Nyumirah (2012) yaitu tidak ada hubungan usia dengan kemampuan
kognitif dalam menilai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
maupun kemampuan psikomotor dalam bersosialisasi klien isolasi
sosial. Renidayati (2008) dalam Surtiningrum (2011), juga
mengatakan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan antara usia
klien skizofrenia yang menunjukkan isolasi sosial dengan
peningkatan kemampuan kognitif dan perilaku.
Hasil lain yang mendukung penelitian ini dari Surtiningrum
(2011) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan variabel pekerjaan
dengan kemampuan afketif, psikomotor, kognitif dan sosial dalam
bersosialisasi klien isolasi sosial. Hasil penelitian Knisely (1994)
mengatakan bahwa perawatan tidak memiliki hubungan yang
bermakna terhadap fungsi dukungan sosial, perilaku mancari
bantuan atau stress psikologis.
116
1.3. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari keterbatasan dari penelitian ini disebabkan oleh
beberapa faktor yang meliputi:
1.3.1. Jumlah klien menarik diri yang tidak sesuai dengan
perencanaan awal dengan 31 responden kemudian berubah
menjadi 27 responden karena jumlah klien menarik diri di
Rumah Sakit Daerah Madani relatif kurang.
1.3.2. Jumlah klien menarik diri yang kurang membuat peneliti
meluangkan banyak waktu hanya dengan menunggu pasien
menarik diri yang baru.