Upload
lethien
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Variabel Penelitian
4.1.1 Kondisi Rasio Pajak Pusat
Kebijakan pajak merupakan salah satu instrumen penting yang digunakan
untuk meningkatkan penerimaan pemerintah baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Selain itu ukuran keberhasilan pemerintah dalam
memobilisasi dana dapat dilihat dari perkembangan penerimaan pendapatannya
yang pada umumnya masih bersumberkan kepada pajak. Penerimaan pajak
merupakan pendapatan pemerintah yang dapat ditingkatkan penerimaannya
diantaranya dengan melihat rasio antara penerimaan pajak terhadap pendapatan
domestic bruto.
Dalam upaya menilai potensi yang dimiliki satu negara atau daerah dapat
digunakan pendekatan kapasitas pajak yang mengacu kepada argumen bahwa
hasil dari sistem pajak merupakan fungsi dari ketersediaan tax base, tingkat
pajak yang diterapkan pada tax base, kemampuan masyarakat untuk membayar
pajak serta seberapa besar usaha pemerintah mengumpulkannya (Weiss, 1995
dan Teera, 2002).
Penilaian kapasitas pajak dilakukan menggunakan persamaan regresi
sederhana yang menggambarkan perbedaan elemen dari kapasitas pajak.
Selanjutnya untuk menilai usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah maka
penerimaan pajak aktual dibandingkan dengan rasio pajak prediksi yang
diperoleh dari estimasi persamaan regresi sehingga akan terlihat apakah pajak
yang telah dikumpulkan lebih besar atau lebih kecil daripada potensi pajaknya.
62
Sebagai hasil dari kombinasi antara kapasitas pajak dan usaha pajak maka
daerah-daerah dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu sehingga
akan tergambar secara jelas apakah satu daerah telah atau belum optimal dalam
mengelola potensi pajak yang dimilikinya. Selain itu dapat juga dilihat apakah
usaha yang telah dilakukan selama ini telah sesuai target yang telah ditetapkan
menggunakan tolok ukur yang sesuai. Tabel 4.1 dibawah ini menunjukkan
persentase rasio pajak pusat selama kurun waktu lima tahun yaitu 2012-2016.
Tabel 4.1 Rasio Pajak Pusat
Tahun 2012-2016 (dalam persen)
Tahun PPh PPN PBB
2012 0.060 0.043 0.0037
2013 0.062 0.047 0.0031
2014 0.063 0.047 0.0027
2015 0.067 0.047 0.0032
2016 0.069 0.043 0.0020
rata-rata 0.0645 0.0459 0.0029
Sumber : Hasil Pengolahan Data BPS 2016
Dari table 4.1 terlihat bahwa rasio pajak pusat dari tahun 2012 sampai
dengan 2016 berkisar antara 0.002% sampai dengan 0.06%. Rasio pajak bumi dan
bangunan merupakan rasio pajak paling rendah dengan rata-rata 0.0029%, rasio
pajak bumi dan bangunan terendah terjadi pada tahun 2016 yaitu 0.0020% dan
tertinggi di tahun 2012 yaitu 0.0037%. Sementara rasio pajak paling tinggi
dikumpulkan oleh pajak penghasilan dengan rata-rata sebesar 0.0645% dimana
perkembangan setiap tahunnya terus meningkat.
63
4.2 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode fixed effect model
(FEM). Data yang diolah merupakan data panel yang terdiri dari data time series
tahun 2012-2016 dan data cross section 32 provinsi di Indonesia. Model dalam
penelitian ini merupakan pengembangan dari model Qian Wang (2009) dan Tuan
Minh Le (2012). Penelitian ini menggunakan regresi pool data dengan dilakukan
uji cross section specific coefficient untuk melihat lebih rinci pengaruh dari masing-
masing variabel independen terhadap variabel dependen di 32 provinsi. Dengan
model penelitian sebagai berikut:
T/Yit = α0 + α1LnYCAPit + α2LnPOPit + α3LnAREAit + α4INDUSTit +
α5LnINVESit + ɛit
Keterangan:
T/Yit = Rasio Pajak (Tax Ratio) (TAX/GDPit)
YCAPit = Pendapatan per Kapita daerah ke-i tahun ke-t
POPit = Kepadatan Penduduk (Population Density)
AREAit = Luas Lahan Perkebunan (Land Area)
INDUSTit = Nilai PDRB Sektor Industri
INVESit = Penanaman Modal Total Bruto (Investation)
i = Provinsi
t = Tahun
𝛼0 , β0 = Intercept
𝛼1, 𝛼2, 𝛼3, 𝛼4, 𝛼5, 𝛼6, β1, β2, β3, β4, β5 = Koefisisen Regresi
Hasil dari analisis regresi tersebut sudah terlampir di Lampiran II.
64
4.3 Interpretasi Hasil dan Pembahasan
Estimasi kapasitas pajak menggunakan model yang dibangun oleh Lotz dan
Morrs (1970) menggunakan dua variabel bebas yaitu pendapatan per kapita dan
kontribusi sektor industri dalam pendapatan regional ditambah variabel kontrol.
Variabel kontrol merupakan gabungan antara faktor-faktor permintaan yang
menunjukkan keinginan pemerintah untuk mengenakan pajak serta faktor-faktor
penawaran yang menujukkan kemampuan sektor-sektor ekonomi di satu daerah
untuk membayar pajak. Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini
adalah populasi, investasi dan luas lahan perkebunan.
4.3.1 Interpretasi Hasil dan Pembahasan per Variabel
4.3.1.1 Pengaruh Rasio Pajak dengan Pendapatan per Kapita
Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat pada Lampiran II terlihat
bahwa variabel LnYcap (Pendapatan Per Kapita) signifikan terhadap rasio
pajak di 32 provinsi di Indonesia. Nilai koefisien LnYcap yaitu sebesar 0.0686,
artinya bahwa setiap kenaikan jumlah pendapatan per kapita 32 provinsi sebesar
satu satu rupiah maka rasio pajak akan bertambah sebesar peningkatan tersebut
dikalikan dengan (0.0686) dan dengan asumsi peubah lainnya tetap.
Hasil analisis diatas sesuai dengan teori tentang rasio pajak, bahwa
semakin tinggi pendapatan per kapita suatu daerah secara langsung
menggambarkan tingginya level pembangunan serta mengindikasi tingginya
kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk membayar pajak (Teera, 2002).
Hasil tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Richard M. Bird (2008),
negara yang berpenghasilan tinggi juga dapat meningkatkan kinerja pajak
mereka melalui perbaikan struktur tata kelola pemerintahan. Selain itu,
65
pendapatan per kapita sebagai proksi keseluruhan ekonomi dan diharapkan
beroengaruh positif terhadap share pajak adalah indikator yang baik untuk
keseluruhan tingkat pembangunan serta kemutakhiran struktur ekonomi.
Sejalan dengan penelitian (Gupta, 2007; Pessino dan Fenochietto 2010), daerah
dengan pendapatan per kapita yang tinggi yang juga mengindikasi bahwa
daerah tersebut memiliki teknologi yang lebih canggih dan standar hidup yang
lebih tinggi sehingga penerimaan pajaknya pun semakin besar. Selain itu,
pendapatan per kapita merupakan variabel yang sering digunakan oleh peneliti
untuk mengetahui kapasitas pajak karena mencerminkan dasar pajak (tax base)
negara/daerah (Suparmoko, 2002).
4.3.1.2 Pengaruh Rasio Pajak dengan Populasi
Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat pada Lampiran II terlihat
bahwa variabel LnPop (Population) signifikan terhadap rasio pajak di 32
provinsi di Indonesia. Nilai koefisien LnPop yaitu sebesar 0.0593, artinya
bahwa setiap kenaikan satu satuan jiwa per Kilometer persegi kepadatan
pendudukan maka rasio pajak akan bertambah sebesar peningkatan tersebut
dikalikan dengan nilai 0.0593 dan dengan asumsi peubah lainnya tetap.
Hasil analisis diatas sesuai dengan teori tentang rasio pajak, bahwa
dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu
faktor positif yang membantu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang
lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan
pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya
lebih besar sehingga penerimaan pajaknya pun semakin bertambah. (Todaro,
66
2004). Sejalan pula dengan penelitian (Seetharam, 2012), banyaknya jumlah
penduduk akan memacu kegiatan produksi dan konsumsi dari penduduk inilah
yang akan menimbulkan permintaan agregat.
Delis dan Hodijah (2015) dalam penelitiannya di Jambi, kepadatan
penduduk menjadi salah satu faktor penentu penerimaan PBB PP. Kepadatan
Penduduk menggambarkan seberapa besar permintaan terhadap tanah dan
bangunan di suatu daerah. Semakin tinggi kepadatan penduduk, akan
mendorong meningkatnya kebutuhan akan tanah dan bangunan yang secara
langsung akan meningkatkan harga tanah dan bangunan. Daerah yang padat
penduduknya menggambarkan tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah
dan bangunan yang menyebabkan harga akan meningkat. Peningkatan harga
merupakan sumber utama potensi peningkatan penerimaan PBB PP.
4.3.1.3 Pengaruh Rasio Pajak dengan Luas Lahan Perkebunan
Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat pada Lampiran II terlihat
bahwa variabel LnArea (Land Area) signifikan terhadap rasio pajak di 32
provinsi di Indonesia. Nilai koefisien LnArea yaitu sebesar 0.0363, artinya
bahwa setiap penambahan luas lahan di 32 provinsi sebesar satu satuan Ha maka
akan rasio pajak akan bertambah sebesar peningkatan tersebut dikalikan dengan
nilai 0.036 dan dengan asumsi peubah lainnya tetap.
Hasil analisis diatas sesuai dengan teori tentang rasio pajak, bahwa
setiap penambahan luas lahan yang dimanfaatkan masyarakat selain akan
menambah jumlah wajib pajak baru ternyata juga akan menaikkan pendapatan
per kapita masyarakat sehingga akan meningkatkan penerimaan pajak. Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Arshad, 2009), Adanya pengaruh atau
67
hubungan positif antara jumlah luas lahan dengan penerimaan pajak,
menandakan bahwa semakin besar luas lahan yang dimiliki maka akan semakin
tinggi pula pendapatan yang diperoleh, dan pada akhirnya akan menambah
kemampuan masyarakat dalam mengumpulkan pajak.
4.3.1.4 Pengaruh Rasio Pajak dengan Sektor Industri
Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat pada Lampiran II terlihat
bahwa variabel Indust (Industry) tidak signifikan terhadap rasio pajak di 32
provinsi di Indonesia. Nilai koefisien Indust yaitu sebesar 0.00208, artinya
bahwa setiap kenaikan nilai sektor industri di 32 provinsi sebesar satu satuan
rupiah maka akan rasio pajak akan bertambah sebesar peningkatan tersebut
dikalikan dengan nilai 0.00208 dan dengan asumsi peubah lainnya tetap.
Hasil analisis diatas sesuai dengan teori tentang rasio pajak, namun
terdapat perbedaan pada nilai probabilitasnya. Dalam penelitian ini dapat kita
lihat bahwa variabel sektor industri memiliki hubungan positif namun tidak
signifikan mempengaruhi variabel dependen, sementara dari beberapa teori dan
penelitian lain menggambarkan hubungan yang positif dan signifikan. Seperti
dalam penelitian (Gupta, 2007), bahwa semakin terindustrialisasi suatu daerah
akan meningkatkan potensinya untuk mengumpulkan pajak. Komposisi sectoral
dan perekonomian memiliki dampak yang signifikan terhadap kapasitas pajak
sehingga juga berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
Sejalan pula dengan penelitian (Sherly Ering, 2016), sektor industri
dalam perekonomian dapat menjadi determinan penting terhadap kapasitas
pajak. Apabila sektor industri tinggi dapat diartikan bahwa aktivitas di daerah
tersebu semakin terindustrialisasi, semakin menciptakan arus modal yang
68
tinggi, dan juga memicu aktivitas ekspor-impor dari sektor industri yang
semakin berkembang. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap meningkatnya
basis pajak yang diperlukan dalam meningkatkan penerimaan pajak.
4.3.1.5 Pengaruh Rasio Pajak dengan Investasi
Berdasarkan lampiran II, maka terlihat bahwa variabel LnInvest
(Investation) berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio pajak di 32
provinsi di Indonesia. Nilai koefisien LnInvest yaitu sebesar 0.0478, artinya
bahwa setiap kenaikan jumlah investasi di 32 provinsi sebesar satu satuan
rupiah maka rasio pajak akan bertambah sebesar peningkatan tersebut dikalikan
dengan nilai 0.0478 dan dengan asumsi peubah lainnya tetap.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian lainnya, seperti
penelitian (Rini, 2012), bahwa kegiatan investasi memungkinkan suatu
masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan
kerja, meningkatkan pendapatan dan akhirnya akan meningkatkan taraf
kemakmuran masyarakat. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa
meningkatnya kegiatan investasi diharapkan akan meningkatkan permintaan
agregat, pendapatan nasional serta kesempatan kerja. Ketika pendapatan
nasional meningkat maka dengan mengasumsikan pendapatan masyarakat yang
juga meningkat, permintaan barang dan jasa oleh masyarakat akan bertambah
pula. Permintaan yang semakin besar akan semakin menguntungkan pihak
swasta dan kemudian mendorong investasi baru. Hal tersebut akan mendorong
pemasukan yang lebih besar pada penerimaan pajak.
69
4.3.2 Interpretasi Hasil dan Pembahasan per Wilayah
4.3.2.1 Pengaruh Rasio Pajak dengan Pendapatan per Kapita
Hasil regresi pada lampiran III menunjukkan bahwa dari 32 provinsi,
terdapat sepuluh provinsi yang mempunyai pengaruh pendapatan per kapita
yang signifikan terhadap rasio pajak. Provinsi yang signifikan diantaranya
provinsi Kepulauan Riau, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, dan
Banten. Diantara sepuluh provinsi diatas semuanya mempunyai korelasi positif
terhadap kapasitas pajak.
Provinsi pertama yang mempunyai pengaruh signifikan dan positif yaitu
provinsi Kepulauan Riau yang memiliki koefisien sebesar 0.2134 dan signifikan
di tingkat 5%, provinsi selanjutnya yang signifikan yaitu Jambi yang
mempunyai pengaruh positif signifikan di tingkat 5% dan koefisien sebesar
0.1693. Jawa Barat merupakan provinsi ketiga yang memiliki pengaruh positif
antara pendapatan per kapita dengan rasio pajak dengan koefisien sebesar
0.1776 dan signifikan di tingkat 5%, provinsi Jawa Tengah memiliki pengaruh
positif dengan koefisien sebesar 0.1513 dan signifikan di tingkat 10%. Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai pengaruh positif dengan koefisien
sebesar 0.1901 dan signifikan di tingkat 5%, selanjutnya provinsi Jawa Timur
memiliki pengaruh positif dengan koefisien 0.1435 dan berpengaruh signifikan
di tingkat 5%, provinsi Kalimantan Selatan merupakan provinsi selanjutnya
yang memiliki pengaruh positif antara pendapatan per kapita dengan rasio
pajak, nilai koefisiennya sebesar 0.2414 dan signifikan di tingkat 10%.
Kemudian provinsi Maluku juga memiliki pengaruh positif signifikan dengan
70
nilai koefisien sebesar 0.1898 dan signifikan pada tingkat 10%, provinsi
terakhir yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan yaitu provinsi Banten
dengan nilai koefisien terbesar diantara provinsi yang lainnya yaitu sebesar
0.3180 dan signifikan di tingkat 5%.
4.3.2.2 Pengaruh Rasio Pajak dengan Populasi
Dari lampiran IV dapat terlihat bahwa selama lima tahun dari tahun
2012-2016 terdapat delapan provinsi yang mempunyai koefisien positif dan
signifikan yaitu provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Jawa Barat, DIY,
Kalimantan Selatan, Maluku dan Banten.
Provinsi pertama yang memiliki pengaruh positif signifikan yaitu
provinsi Riau dengan nilai koefisien sebesar 0.2149 dan signifikan pada tingkat
10%, selanjutnya provinsi Jambi dan Jawa Barat mempunyai korelasi positif
signifikan antara kepadatan penduduk dengan rasio pajak, dengan nilai
koefisien sebesar 0.3541 untuk provinsi Jambi dan sebesar 0.3530 untuk
provinsi Jawa Barat dimana keduanya signifikan di tingkat 10%. Tiga provinsi
berikutnya yang juga memiliki hubungan positif signifikan yaitu provinsi
Kepulauan Riau, DIY, dan Kalimantan Selatan dengan nilai koefisien masing-
masing sebesar 0.2396, 0.5323, 0.3147. dimana provinsi DIY merupakan
provinsi dengan nilai koefisien tertinggi diantara provinsi lainnya. Ketiga
provinsi tersebut signifikan pada tingkat 5%, provinsi Maluku dan Banten
merupakan dua provinsi terakhir yang mempunyai hubungan positif signifikan
dengan nilai koefisien 0.3271 dan 0.4286 dan signifikan pada tingkat yang sama
yaitu 5%.
71
4.3.2.3 Pengaruh Rasio Pajak dengan Luas Lahan Perkebunan
Hasil regresi pada lampiran III menunjukkan bahwa dari 32 provinsi,
hanya empat provinsi yang mempunyai pengaruh luas lahan yang signifikan
terhadap rasio pajak. Provinsi yang signifikan diantaranya provinsi Aceh, Riau,
Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Diantara empat provinsi diatas
terdapat satu provinsi yang mempunyai korelasi negative terhadap kapasitas
pajak yaitu provinsi Sulawesi Tengah.
Tiga provinsi yang memiliki korelasi positif signifikan yaitu provinsi
Aceh, Riau dan Kalimantan Timur dengan nilai koefisien masing-masing
sebesar 0.3672, 0.2637 dan 0.1209 dengan nilai signifikansi yang sama yaitu
pada tingkat 10%, selanjutnya provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki
hubungan negative signifikan dengan nilai koefisien sebesar -0.5842 dan
signifikan pada tingkat 5%.
4.3.2.4 Pengaruh Rasio Pajak dengan Sektor Industri
Dari lampiran IV dapat terlihat bahwa setelah dilakukan uji cross
section coefficient specification pada variabel nilai sektor industri hanya
terdapat dua provinsi yang mempunyai hubungan signifikan yaitu provinsi
Aceh dan Riau.
Provinsi Aceh berpengaruh signifikan tetapi memiliki korelasi negative
antara nilai sektor industri terhadap rasio pajak, dengan nilai koefisien sebesar
-0.0523 dan signifikan pada tingkat 5%, pada saat nilai sektor industri
meningkat sebesar 5% maka rasio pajak di provinsi Aceh akan menurunkan
rasio pajak sebesar -0.0523%, hal tersebut dikarenakan terjadi penurunan nilai
sektor industri dalam PDRB yang sangat fluktuatif dari tahun 2012-2016
72
sementara provinsi Riau memiliki korelasi yang positif signifikan, dengan nilai
koefisien sebesar 0.1276 dan signifikan pada tingkat 5%.
4.3.2.5 Pengaruh Rasio Pajak dengan Investasi
Dari lampiran IV dapat terlihat bahwa selama lima tahun dari tahun
2012-2016 terdapat dua provinsi yang mempunyai koefisien positif dan
signifikan yaitu provinsi Riau dan Banten. Serta satu provinsi yang memiliki
hubungan negative signifikan yaitu provinsi Kalimantan Timur.
Provinsi pertama yang memiliki korelasi positif signifikan yaitu
provinsi Riau dengan nilai koefisien sebesar 0.1807 dan signifikan pada tingkat
5%, provinsi kedua yang memiliki korelasi positif signifikan adalah provinsi
Banten dengan nilai koefisien sebesar 0.1632 dan signifikan di tingkat 10%,
artinya pada saat peningkatan investasi sebesar 10% maka akan meningkatkan
rasio pajak sebesar 0.1632%. selanjutnya provinsi Kalimantan Timur
merupakan provinsi yang berkorelasi negative dengan nilai koefisien sebesar -
0.2910 serta signifikan pada tingkat 5%.
4.4 Perhitungan Kapasitas Pajak dan Upaya Pajak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas pajak (tax capacity)
dan upaya pajak (tax effort) serta pemetaan provinsi berdasarkan kapasitas pajak
(tax capacity) dan upaya pajak (tax effort). Pemetaan tersebut bertujuan untuk
memberikan gambaran kepada para pengambil kebijakan tentang potensi pajak
yang dimiliki berdasarkan potensi daerahnya serta upaya yang telah dilakukan oleh
para aparatur pengumpul pajak di setiap provinsi. Dari pemetaan tersebut ini
selanjutnya akan diperoleh kesimpulan kinerja aparatur pemerintah pusat dalam
73
mencapai atau tidak mencapai titik optimal dalam proses pengumpulan pajak di
daerah sebagai salah satu sumber penerimaan.
Penghitungan kapasitas pajak dilakukan dengan membandingkan
penerimaan pajak estimasi (tax estimate) dengan PDB, dimana pajak estimasi
menerangkan proksi dasar pajak dengan menggunakan pajak aktual sebagai dasar
perhitungannnya, sementara PDRB tercermin dari perubahan output atau produksi
sektor-sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah atau memiliki peranan yang
penting dalam struktur perekonomian. Atau dengan kata lain, perhitungan kapasitas
pajak atau potensi pajak dapat diketahui melalui pendekatan fungsi rasio pajak
terhadap variabel-variabel independen.
Adapun persamaan kapasitas pajak yang telah diestimasi sebelumnya
sesuai dengan model regresi yang menunjukkan hubungan pendapatan per kapita,
kepadatan penduduk, luas lahan perkebunan, nilai sektor industri dan investasi
adalah sebagai berikut:
T/Yit = -1.60695 + 0.0686LnYCAPit + 0.0593LnPOPit + 0.0363LnAREAit +
0.0020LnINDUSTit + 0.004782LnINVESit + ɛit
Memperhatikan persamaan linier diatas, dimana nilai konstanta untuk
kapasitas pajak adalah -1.60695 yang merupakan kapasitas pajak secara
keseluruhan, yang mencerminkan hubungan antara kapasitas pajak disatu pihak
dihadapkan pada variabel bebas atau independen.
Gambaran kapasitas pajak pusat untuk tahun 2012 sampai dengan 2016
dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut :
74
Tabel 4.2
Estimasi Kapasitas Pajak di 32 Provinsi
Tahun 2012 – 2016
PROVINSI Kapasitas
Pajak PROVINSI Kapasitas Pajak
ACEH -0.41406 NUSA TENGGARA BARAT -0.13641
SUMATERA UTARA -0.32492 NUSA TENGGARA TIMUR -0.05534
SUMATERA BARAT 0.06529 KALIMANTAN BARAT 0.744371
RIAU 0.490225 KALIMANTAN TENGAH 0.023598
JAMBI -0.56906 KALIMANTAN SELATAN -0.23738
SUMATERA SELATAN -0.18426 KALIMANTAN TIMUR 0.856769
BENGKULU 0.168961 SULAWESI UTARA 0.028992
LAMPUNG 0.254411 SULAWESI TENGAH 1.639594
KEP. BANGKA
BELITUNG 0.195565
SULAWESI SELATAN
-0.33036
KEP. RIAU -0.40243 SULAWESI TENGGARA 0.058056
JAWA BARAT -0.92834 GORONTALO 0.75134
JAWA TENGAH -0.19304 SULAWESI BARAT -0.08783
DI YOGYAKARTA -0.62162 MALUKU 0.06526
JAWA TIMUR -1.25422 MALUKU UTARA 0.132578
BANTEN -0.94054 PAPUA BARAT 0.502591
BALI 0.072337 PAPUA 0.62988
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan hasil estimasi kapasitas pajak dari persamaan diatas dapat
dilihat bahwa kapsitas pajak tertinggi ditempati oleh provinsi Sulawesi Tengah
yaitu sebesar 1.639594, ini sebagai pertanda adanya usaha dari pemerintah dalam
memanfaatkan secara optimal potensi pajak yang dimiliki terhadap penerimaan
pajak. Kemudian kapasitas pajak tertinggi kedua ditempati provinsi Kalimantan
Timur sebesar 0.856769 melalui sumbangan pendapatan per kapita dan kontribusi
sektor industri. Sementara kapasitas pajak terendah ditempati oleh provinsi Jawa
Timur.
Penggolongan peringkat pada setiap provinsi dilakukan dengan melihat
hasil estimasi kapasitas pajak yang tertinggi hingga yang terendah sehingga dapat
terlihat jenis pajak dengan kapasitas pajak tertinggi sampai dengan kapasitas pajak
terendah. Selanjutnya dengan menggunakan batas rata-rata nilai hasil estimasi
75
pajak daerah yang diperoleh selama periode tahun 2012-2016, dengan ketentuan
ketika kapasitas pajak lebih besar dari pada rata-rata maka digolongkan kriteria
tinggi dan sebaliknya bila berada dibawah rata-rata maka tergolong kriteria rendah
(Alfirman, 2003). Berikut adalah hasil perhitungan kapasitas pajak yang dipetakan
menurut kategori tinggi – rendah:
Tabel 4.3
Kapasitas Pajak berdasarkan Kategori Tinggi - Rendah di 32 Provinsi
Tahun 2012 – 2016
PROVINSI Kapasitas
Pajak PROVINSI Kapasitas Pajak
ACEH RENDAH NUSA TENGGARA BARAT RENDAH
SUMATERA UTARA RENDAH NUSA TENGGARA TIMUR RENDAH
SUMATERA BARAT RENDAH KALIMANTAN BARAT TINGGI
RIAU TINGGI KALIMANTAN TENGAH RENDAH
JAMBI RENDAH KALIMANTAN SELATAN RENDAH
SUMATERA SELATAN RENDAH KALIMANTAN TIMUR TINGGI
BENGKULU TINGGI SULAWESI UTARA RENDAH
LAMPUNG TINGGI SULAWESI TENGAH TINGGI
BANGKA BELITUNG TINGGI SULAWESI SELATAN RENDAH
KEP. RIAU RENDAH SULAWESI TENGGARA RENDAH
JAWA BARAT RENDAH GORONTALO TINGGI
JAWA TENGAH RENDAH SULAWESI BARAT RENDAH
DI YOGYAKARTA RENDAH MALUKU RENDAH
JAWA TIMUR RENDAH MALUKU UTARA TINGGI
BANTEN RENDAH PAPUA BARAT TINGGI
BALI RENDAH PAPUA TINGGI
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Berbeda dengan kapasitas pajak yang mengaitkan penerimaan pajak
estimasi dengan basis penerimaan pajak, maka usaha perpajakan (Tax Effort) adalah
usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah dalam mengumpulkan pajak
dari basis pajak, dimana dalam hal ini adalah perbandingan pajak aktual dengan
pajak hasil estimasi. Untuk menentukan apakah suatu jenis pajak termasuk kategori
tinggi atau rendah, maka akan diambil nilai rata-rata selama kurun waktu 2012-
2016, dengan ketentuan berdasarkan Penelitian Tuan Minh Le, et.al (2011) dengan
76
2 kriteria, yaitu : Apabila suatu daerah memilki nilai indek upaya pajak lebih besar
dari satu (TE > 1,00) maka daerah tersebut tergolong memiliki upaya pajak yang
tinggi yang menunjukkan bahwa jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan lebih
besar dari pada jumlah pajak yang ditargetkan yang diperoleh pada tahun tertentu.
Demikian juga sebaliknya ketika suatu daerah memiliki indek upaya pajak lebih
kecil dari satu (TE < 1,00) maka daerah tersebut tergolong mempunyai upaya pajak
yang rendah dikarenakan penerimaan pajak di tahun tertentu lebih kecil dari pada
pajak yang ditargetkan. Hasil perhitungan upaya pajak di masing-masing provinsi
dijelaskan dalam table 4.3 dibawah ini:
Tabel 4.4 Upaya Pajak di 32 Provinsi
Tahun 2012 – 2016
PROVINSI Upaya Pajak PROVINSI Upaya Pajak
ACEH -0.27396 NUSA TENGGARA BARAT -0.83159
SUMATERA UTARA -0.34912 NUSA TENGGARA TIMUR -2.04983
SUMATERA BARAT 1.737408 KALIMANTAN BARAT 0.15239
RIAU 0.231394 KALIMANTAN TENGAH 4.807016
JAMBI -0.19934 KALIMANTAN SELATAN -0.47786
SUMATERA SELATAN -0.61562 KALIMANTAN TIMUR 0.132399
BENGKULU 0.67137 SULAWESI UTARA 3.912604
LAMPUNG 0.445873 SULAWESI TENGAH 0.069185
BANGKA BELITUNG 0.580037 SULAWESI SELATAN -0.34336
KEP. RIAU -0.28187 SULAWESI TENGGARA 1.953889
JAWA BARAT -0.12219 GORONTALO 0.150977
JAWA TENGAH -0.58763 SULAWESI BARAT -1.29149
DI YOGYAKARTA -0.18248 MALUKU 1.738206
JAWA TIMUR -0.09044 MALUKU UTARA 0.855612
BANTEN -0.12061 PAPUA BARAT 0.2257
BALI 1.568146 PAPUA 0.18009
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Dari tabel 4.3 di atas terlihat bahwa rasio pajak tertinggi di tempati oleh
provinsi Kalimantan Tengah dengan nilai sebesar 4.807016%, kemudian disusul
oleh provinsi Sulawesi Utara sebesar 3.912604%. sementara rasio pajak terendah
77
di tempati oleh provinsi Jawa Timur yang kemudian disusul oleh provinsi Jawa
Barat dengan perolehan nilai sebesar -0.09044 dan -0.12219.
Berdasarkan data pada tabel 4.3 selanjutnya dilakukan pemetaan provinsi
berdasarkan kriteria yang dibangun oleh Tuan Minh Le, et.al (2011) sebagai
berikut:
Tabel 4.5 Upaya Pajak Pusat berdasarkan Kategori Tinggi-Rendah di 32
Provinsi
Tahun 2012 – 2016
PROVINSI Upaya Pajak PROVINSI Upaya Pajak
ACEH RENDAH NUSA TENGGARA BARAT RENDAH
SUMATERA UTARA RENDAH NUSA TENGGARA TIMUR RENDAH
SUMATERA BARAT TINGGI KALIMANTAN BARAT RENDAH
RIAU RENDAH KALIMANTAN TENGAH TINGGI
JAMBI RENDAH KALIMANTAN SELATAN RENDAH
SUMATERA SELATAN RENDAH KALIMANTAN TIMUR RENDAH
BENGKULU RENDAH SULAWESI UTARA TINGGI
LAMPUNG RENDAH SULAWESI TENGAH RENDAH
BANGKA BELITUNG RENDAH SULAWESI SELATAN RENDAH
KEP. RIAU RENDAH SULAWESI TENGGARA TINGGI
JAWA BARAT RENDAH GORONTALO RENDAH
JAWA TENGAH RENDAH SULAWESI BARAT RENDAH
DI YOGYAKARTA RENDAH MALUKU TINGGI
JAWA TIMUR RENDAH MALUKU UTARA RENDAH
BANTEN RENDAH PAPUA BARAT RENDAH
BALI TINGGI PAPUA RENDAH
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Dari hasil pengukuran dan pengelompokan kriteria (tinggi/ rendah) yang
telah dilakukan terhadap rasio kapasitas pajak (Tax Capacity) serta rasio upaya
pajak (Tax Effort) untuk setiap provinsi dari tahun 2012 sampai dengan 2016 maka
besaran yang diperoleh dapat digunakan untuk pemetaan melalui beberapa
kemungkinan dengan menggunakan pendekatan 4 (empat) kuadran yang telah
ditentukan sebelumnya.
78
Tahun 2012-2016
Pemetaan dilakukan dengan cara menggolongkan masing-masing provinsi
berdasarkan potensi pajak yang dimiliki dan upaya pajak yang telah dilakukan.
Dengan melihat pemetaan semua provinsi yang ada di Indonesia dari tahun 2012
sampai dengan 2016, dapat diambil kesimpulan bagaimana kapasitas pajak yang
dimiliki yang mencerminkan potensi pajak, dan upaya pajak yang mencerminkan
kinerja aparatur pemerintah daerah.
Hasil pemetaan pada tabel 4.4 selanjutnya akan dipindahkan ke dalam
bentuk kuadran yang merupakan kombinasi dari tax effort dan tax capacity.
Adapun kombinasi yang mungkin dari kriteria tersebut adalah :
• High Capacity- High Effort (HC-HE) – Kuadran I
• High Capacity- Low Effort (HC-LE) – Kuadran II
• Low Capacity- High Effort (LC-HE) – Kuadran III
• Low Capacity- Low Ejfort (LC-LE) – Kuadran IV
Hasil pemetaan ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
mengukur kinerja aparatur pemerintah daerah provinsi khususnya dalam mengukur
efektivitas (berhubungan dengan ketepatan sasaran subyek dan obyek pajak) dan
efisiensi pajak (berhubungan dengan lebih besamya penerimaan pajak
dibandingkan dengan upah pungut) yang secara langsung atau tidak langsung
menunjukkan apakah satu daerah telah atau belum mengelola potensi pajak dan
melakukan pengumpulan pajak secara optimal. Selain itu juga dapat terlihat apakah
satu daerah yang pada mulanya belum mengoptimalkan penerimaan pajaknya
namun kemudian mengalami perubahan minimal memiliki kecenderungan ke arah
optimalisasi penerimaan pajak. Berikut adalah hasil pemetaan dari kapasitas pajak
dan upaya pajak:
79
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Gambar 4.1 Pemetaan Kapasitas Pajak dan Upaya Pajak
Tahun 2012-2016
Kelompok 1: Kapasitas Pajak Kategori Tinggi – Upaya Pajak Kategori
Tinggi
Dalam penelitian ini berdasarkan hasil estimasi regresi kapasitas pajak,
tidak ada provinsi yang masuk kategori kelompok high capacity – high effort . Hal
ini menandakan adanya potensi pajak pusat yang tinggi sebagai sumber penerimaan
yang dibarengi oleh kinerja pemerintah dalam mengelola pajak dengan serius. Hal
ini bisa dilihat dengan upaya pajak yang tinggi (high effort). Pemerintah pusat telah
meningkatkan kinerja pengelolaan keuanganya untuk mengoptimalkan penerimaan
pajak pusat yang berada di daerah.
Kelompok 2: Kapasitas Pajak Kategori Tinggi – Upaya Pajak Kategori
Rendah
Hampir setiap wilayah dalam kelompok ini berasal dari kelompok
berpenghasilan menengah. Provinsi-provinsi ini mengumpulkan pajak yang relatif
1. HC-HE
2. HC-LE
Sulawesi Tengah, Kalimantan
Timur, Gorontalo, Kalimantan
Barat, Papua, Papua Barat,
Riau, Lampung, Bangka
Belitung, Bengkulu, Maluku
Utara
3. LC-LE
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Barat, Nusa Tenggara Barat,
Sumatra Selatan, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Sumatra Utara,
Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau,
Aceh, Jambi, DI. Yogyakarta, Jawa
Barat, Banten, Jawa Timur
4. LC-HE
Bali, Sumatra Barat, Maluku,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara,
Kalimantan Tengah
80
tinggi terhadap rata-rata nasional, tetapi mengingat faktor makroekonomi dan
demografi wilayah, upaya pajak mereka tetap rendah. Provinsi yang tergolong ke
dalam kelompok ini adalah provinsi yang memiliki potensi pajak yang besar akan
tetapi tidak disertai dengan upaya pajak yang tinggi sehingga dengan demikian
provinsi yang berad dalam kelompok ini dapat dikatakan belum optimal mengelola
potensi pajak yang dimilikinya selama periode pengamatan karena belum
diimbangi dengan sistem pengelolaan dan pengumpulan pajak yang baik.
Provinnsi-provinsi dalam kelompok ini adalah Sulawesi Tengah, Kalimantan
Timur, Gorontalo, Kalimantan Barat, Papua, Papua Barat, Riau, Lampung, Bangka
Belitung, Bengkulu, Maluku Utara.
Tingginya kapasitas pajak di provinsi Kalimantan Timur ditandai oleh
perolehan pendapatan perkapita yang paling tinggi diantara provinsi yang lainnya
selain itu potensi yang besar ditunjukkan oleh tingginya pertumbuhan sektor
industri dan investasi namun berdasarkan hasil regresi yang sudah dilakukan
sebelumnya bahwa dari beberapa potensi yang dimiliki hanya pertumbuhan
investasi yang berpengaruh signifikan terhadap rasio pajak sementara pendapatan
per kapita dan sektor industri tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Kemudian di provinsi Kalimantan Barat yang ditandai oleh kontribusi dari luas
lahan perkebunan dan sektor industri membuat provinsi ini memiliki kapasitas
pajak tinggi akan tetapi hasil regresi menunjukkan bahwa tidak ada satupun dari
potensi itu memiliki pengaruh signifikan terhadap rasio pajak. Tingginya kepadatan
penduduk, investasi dan kontribusi yang didominasi oleh sektor industri membuat
provinsi Lampung berada dalam kategori kapasitas pajak tinggi namun tidak sejalan
dengan hasil regresi yang sudah dilakukan, tidak ada variabel yang memiliki
81
pengaruh signifikan terhadap rasio pajak. Kapasitas tinggi di provinsi Papua Barat
ditandai dengan adanya kontribusi besar dari pendapatan perkapita yang diperoleh
serta kontribusi sektor industri, kondisi tersebut tidak diimbangi dengan upaya
pajak yang tinggi karena tidak ada variabel yang mampu memberikan hasil yang
signifikan terhadap rasio pajaknya.
Kelompok 3: Kapasitas Pajak Kategori Rendah – Upaya Pajak Kategori
Rendah
Kelompok ini termasuk provinsi dengan jumlah terbanyak dari semua
wilayah geografis. Mereka kebanyakan adalah provinsi berpenghasilan rendah.
Pengumpulan pajak di kelompok inirendah dan terletak di bawah kapasitas kena
pajak masing-masing. Dari gambar 4.1 dalam kurun waktu 2012-2016 Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatra Selatan, Jawa
Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau,
Aceh, Jambi, DI. Yogyakarta, Jawa Barat, Banten dan Jawa Timur termasuk
kategori kapasitas pajak rendah (low capacity), artinya jumlah pajak yang bisa
dikumpulkan oleh pemerintah (potensi pajak) berada dibawah rata-rata masing-
masing jenis pajak dari tahun 2012 sampai dengan 2016. Selama lima tahun respon
pemerintah pusat dalam pengelolaan dan pengumpulan pajak kategori kapasitas
rendah (low capacity), cenderung kurang maksimal. Hal ini bisa dilihat dari
banyaknya pajak dengan kategori upaya pajak rendah (low effort).
Kapasitas pajak rendah di provinsi Nusa Tenggara Barat ditandai karena hanya ada
satu potensi pajak yang dominan atau memiliki nilai yang tinggi yaitu kepadatan
penduduk serta tidak adanya satupun variabel yang memberikan pengaruh
signifikan terhadap rasio pajak. Kondisi tersebut sejalan dengan menurut Kepala
82
Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Nusa Tenggara, Suparno menyatakan jumlah
pajak yang dibayarkan masyarakat NTB dan NTT masih belum mencapai target.
Tahun 2016 saja, dari target Rp 6,4 triliun hanya diperoleh Rp 4,9 triliun. Belum
tercapainya target pembayaran pajak, diakui Suparno dipengaruhi oleh kepatuhan
wajib pajak. Di NTB kepatuhan wajib pajak hanya 55 persen. Dari total seluruh
wajib pajak yg memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT). Selain itu karena tingginya jumlah penduduk NTB yang bekerja sebagai TKI
menjadi salah satu faktor rendahnya perhitungan kepatuhan wajib pajak di NTB.
Sebab NPWP yang dimiliki masih hidup sementara mereka tidak melaporkan STP.
Begitupun dengan provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan yang hanya
memiliki potensi dari luas lahan perkebunan untuk Sumatera Selatan dan sektor
industri untuk Kalimantan Selatan, tetapi potensi tersebut belum mampu
memberikan pengaruh signifikan terhadap rasio pajak. Kondisi tersebut sejalan
dengan menurut data yang diperoleh dari Bidang P2 Humas Kantor Perwakilan
DJP, tunggakan pajak per 31 Desember 2016 di Kalimantan Selatan mencapai
Rp2.38 triliun. Mayoritas tunggakan pajak berasal dari tunggakan pajak PPh dan
PPn dengan nilai Rp 1,5 triliun dari WP yang telah dilakukan pemeriksaan, dan
tunggakan PBB dari sektor perhutanan, pertambangan dan perkebunan sebesar Rp
395 miliar. Selain itu, Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Kalimantan Selatan dan Tengah, sektor pertambangan berada di bawah satu tingkat
sektor konstruksi gedung dalam lima besar penunggak pajak.
Kelompok 4: Kapasitas Rendah – Upaya Pajak Tinggi
Semua provinsi dalam kelompok ini adalah provinsi berpenghasilan rendah
atau menengah ke bawah. Jumlah provinsi dalam kelompok ini juga yang terendah
83
bila dibandingkan dengan kelompok lain. Provinsi Bali, Sumatra Barat, Maluku,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Tengah adalah enam wilayah
yang ada dalam kelompok ini. Seperti yang disajikan dalam Le, Moreno-Dodson,
dan Rojchaichaninthorn (2008). Provinsi dalam kelompok ini tampaknya jatuh ke
dalam 'perangkap' di mana tingkat penerimaan pajak yang ada rendah karena
penggelapan merajalela, administrasi penerimaan yang tidak efisien, biaya
kepatuhan yang tinggi, namun mereka dengan indeks upaya pajak yang tinggi.
Penjelasan yang lebih mungkin untuk jebakan ini adalah jernihnya eksploitasi
beberapa sumber pendapatan melalui tarif pajak yang tinggi yang digunakan
sebagai alat untuk mengatasi erosi pajak yang dihasilkan dari perlakuan khusus
yang menyebar ke sektor dan kegiatan ekonomi.
Rendahnya kapasitas pajak di provinsi Sulawesi Utara ditandai dengan
hanya satu faktor potensi yang mampu mempengaruhi rasio pajak yaitu tingginya
kepadatan penduduk yang memberikan kontribusi pada penerimaan pajak, namun
kondisi tersebut mampu diimbangi dengan usaha pemerintah daerah provinsi yang
jeli dan serius dalam memanfaatkan potensi lain seperti dari hasil regresi
menunjukkan bahwa pendapatan perkapita memberikan pengaruh yang signifikan.
Meskipun porvinsi ini bukan termasuk ke dalam provinsi yang berpenghasilan
tinggi akan tetapi pendapatn masyarakat mampu memberikan kontribusi terhadap
penerimaan pajak, usaha tersebut dilakukan pemerintah dengan terus memberikan
edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya membayar pajak dan kepatuhan
membayar pajak.
Begitupun dengan provinsi Maluku dengan kapasitas yang dimiliki rendah
tetapi upaya pemerintah dalam mengumpulkan pajak dapat dikatakan berhasil
84
karena dari hasil regresi menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan kepadatan
penduduk mampu meberikan pengaruh yang signifikan. Kondisi tersebut sejalan
dengan menurut Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kantor Wilayah Papua
dan Maluku mencatat, empat tahun terakhir jumlah wajib pajak di Maluku terus
meningkat. Tingginya kesadaran membayar pajak karena reformasi pajak yang
dijalankan oleh Pemerintah serta didukung kinerja optimal dari unit Pelayanan
Pratama yang ada.
4.5 Implikasi Kebijakan
Optimalisasi penerimaan pajak daerah dengan menggunakan pendekatan
kapasitas pajak dan upaya pajak, terdapat 2 (dua) hal yang menjadi tolak ukur
apakah suatu daerah lebih optimal atau tidak, yaitu : (1) Dari sudut efisiensi yaitu
melihat seberapa besar biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan potensi
penerimaan pajak dimana dalam hal ini suatu daerah akan lebih efisien ketika biaya
upah pungut yang dikeluarkan lebih kecil proporsional dengan jumlah penerimaan
pajak yang dihasilkan. (2) Dari sudut efektivitas yaitu ketika suatu daerah mampu
secara jelas mengukur potensi pajak yang ada didaerahnya sehingga target yang
ditetapkan telah mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.
Salah satu langkah untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah yang
harus dilakukan adalah dengan meningkatkan intensifikasi perpajakan yaitu dengan
menggali potensi wajib pajak yang telah terdaftar agar membayar pajak dengan
benar, menarik orang atau badan hukum yang belum menjadi wajib pajak agar
ditetapkan sebagai wajib pajak. Selain itu mempermudah administrasi pembayaran
85
maupun pelaporan pajak sehingga wajib pajak tidak merasa dipersulit saat
membayar pajak.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian ini, pendapatan perkapita secara
parsial memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kapasitas pajak.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika terjadi peningkatan pendapatan rata-rata
penduduk maka akan meningkatkan rasio kapasitas pajak. Selain itu, kontribusi
sektoral terhadap PDRB juga menjadi determinan penting dan memberikan
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kapasitas pajak. Selain itu, beberapa
determinan karakteristik penerimaan pajak daerah seperti kepadatan penduduk, luas
lahan perkebunan dan investasi harus menjadi perhatian pemerintah. Apabila hal-
hal tersebut benar-benar menjadi perhatian pemerintah daerah, akan mendorong
peningkatan potensi penerimaan pajak daerah.