Upload
doanh
View
218
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Tempat penelitian
Rumah Sakit Jiwa Daerah Amino
Gondohutomo – Semarang, sebagai salah satu pusat
rujukan pasien dengan gangguan Jiwa di Jawa Tengah.
RSJD Amino Gondohutomo – Semarang merupakan
milik pemerintah provinsi Jawa Tengah, dengan tugas
pokok dan fungsinya memberikan pelayanan kesehatan
jiwa dengan visi “Rumah Sakit pusat rujukan pelayanan
dan pendidikan kesehatan Jiwa kebanggaan Jawa
Tengah” (Bidang keperawatan, RSJ Amino Gondo
Hutomo – Jateng 2014).
Upaya yang sudah dilakukan oleh pihak
Rumah Sakit Jiwa Daerah Amino Gondohutomo untuk
pelayanan kesehatan jiwa pada pasien gangguan jiwa
adalah pelayanan rawat jalan 6 hari kerja, UGD 24 jam x
7 hari kerja, pelayanan rawat inap dengan VIP kelas 1,
2, dan 3, pelayanan rehabilitasi pada klien gangguan
jiwa, pelayanan family gathering, pelayanan rekreasi
pada klien gangguan jiwa, pelayanan integrasi ke
48
Rumah Sakit Umum (RSU) daerah pantura selatan dan
Utara, dan pelayanan di panti-panti sosial.
Dari data yang di dapat di RSJD Amino
Gondohutomo – Semarang, terdapat 776 pasien
gangguan jiwa yang relaps selama periode januari
sampai dengan mei 2014, pasien gangguan jiwa yang
relaps dengan berbagai sebab, di antaranya adalah
karena tidak adanya biaya berobat, pasien tersebut
sudah merasa sembuh, pasienyang tidak mau minum
obat, pasien takut ketergantungan dengan obat psikotik,
ketidaktahuan pasien dan keluarga, jarak rumah pasien
dengan pelayanan kesehatan jiwa yang cukup jauh,
kurangnya support sistem dari keluarga pasien.
RSJ Amino Gondohutomo Semarang pertama
kali berdiri pada tahun 1948 di jalan Sompok Semarang,
sebagai tempat penampungan pasien psikotik akut
(doorganshuizen). Pada tahun 1912 pindah ke
kleedingmagazjin, sebuah gedung tua yang di bangun
pada tahun 1978 di jalan cendrawasih tawang, namanya
kemudian berubah menjadi doorganshuizen tawang.
Sejak tanggal 21 Januari 1928 berganti nama menjadi
Rumah Sakit Jiwa Pusat Semarang
(Kranzinnigenggestichten), dan mulai menerima pasien
49
– pasien psikotik gangguan jiwa mulai tanggal 2 Februari
1928. Tanggal 2 februari 1928 di tetapkan sebagai hari
jadi RSJ pusat Semarang.
Sejak tanggal 4 Oktober 1986, seluruh kegiatan
RSJ pusat Semarang pindah ke Jalan Brigjen Sudiarto
no 347 Semarang. Tanggal 9 februari 2001, berganti
nama menjadi RSJ Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Dr. Amino Gondohutomo sendiri adalah seorang
psikiater pertama di Indonesia yang lahir di Surakarta –
Jawa Tengah. Tangal 1 Januari 2002 RSJ pusat Dr.
Amino Gondohutomo berubah nama menjadi RSJ
daerah Dr.Amino Gondohutomo Semarang sesuai SK
Gubernur Jawa Tengah no 440/09/2002, Februari 2002.
4.1.2 Pelaksanaan Penelitian
Peneliti melakukan penelitian di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Dr.Amino Gondohutomo Semarang pada
tanggal 16 juni 2014 – 05 july 2014 dengan probality
sampling yaitu dengan memberikan kesempatan yang
sama kepada semua populasi untuk menjadi sampel
penelitian. Selama 20 hari pengambilan data jumlah
responden yang didapat mencapai 30 sampel
penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga
50
pasien gangguan jiwa yang mengalami relaps dan
sementara dirawat di rumah sakit jiwa daerah Dr.Amino
Gondohutomo – Semarang.
Penelitian dilakukan diseluruh ruangan rawat
inap, yang mencakup 12 bangsal, 2 ruang VIP dan 1
ruang HCU/ Upip. Sebelum bertemu dengan keluarga,
peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada perawat
shift disetiap ruangan, setelah itu peneliti bertemu
dengan keluarga pasien yang datang. Sebelum
memberikan kuesioner kepada calon responden,
peneliti terlebih dahulu membina hubungan saling
percaya dengan calon responden. Waktu yang
digunakan peneliti untuk pengisian kuesioner sekaligus
dengan wawancara rata-rata antara 45-60 menit per
responden.
Selama melakukan penelitian, peneliti
mengalami beberapa kendala diantaranya adalah :
1. Peneliti kesulitan dalam berbahasa jawa, sebagian
besar responden menggunakan bahasa jawa dan
sedikit menggunakan bahasa indonesia.
2. Peneliti kesulitan dalam membina hubungan
saling percaya (BHSP) dengan calon responden,
karena mereka mengatakan pusing memikirkan
51
keluarga yang sementara dirawat dan ada yang
tidak mau diganggu.
3. Peneliti juga kesulitan menemukan calon
responden karena tidak setiap hari keluarga
menjenguk anggota keluarga mereka yang
sementara dirawat di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Semarang..
4.1.3 Data Umum
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo – Semarang
Jenis kelamin Jumlah
Responden (f)
Persentase (%)
Laki – Laki 16 53.33%
Perempuan 14 46.67%
Jumlah Total 30 100%
Tabel 4.1 diatas menjelaskan bahwa dari 30
responden 53,33% atau 16 responden berjenis
kelamin laki – laki dan 46,67% atau 14 responden
berjenis kelamin perempuan.
52
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Usia di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo – Semarang
Tingkat Usia Jumlah
Responden (f)
Persentase (%)
17 - 21 tahun 1 3.33 %
21 – 40 tahun 8 26.67 %
40 – 60 tahun 19 63.33 %
> 60 tahun 2 6.67 %
Jumlah Total 30 100 %
Berdasarkan tabel 4.2 menjelaskan bahwa dari 30
responden terdapat 1 responden atau 3.33 % berusia
17 - 21 tahun, sedangkan 8 responden atau 26.67 %
berada pada usia 21 - 40 tahun,19 responden atau
63.33 % berusia 40 – 60 tahun dan 2 responden atau
6.67 % berusia diatas 60 tahun.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Status Hubungan di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo – Semarang
Status
Hubungan
Jumlah
Responden (f)
Persentase (%)
Ayah / Ibu 12 40 %
Kakak / Adik 8 26.67 %
Suami / Istri 5 16.67 %
Anak 1 3.33 %
Saudara 4 13.33 %
Jumlah Total 30 100 %
53
Tabel 4.3 diatas menjelaskan bahwa dari 30
responden penelitian terdapat 40 % atau 12
responden yang bersatus ayah/ibu dari pasien yang
dirawat, 26.67 % atau 8 responden berstatus
kakak/adik, 16.67% atau 5 responden yang berstatus
suami/istri, 3.33% atau 1 responden yang berstatus
Anak dan 13.33 atau 4 responden merupakan saudara
dari pasien yang dirawat di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo – Semarang.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Tingkat Pendidikan di RSJD Dr.
Amino Gondohutomo – Semarang
Tingkat Pendidikan Jumlah
Responden (f)
Persentase (%
SD 10 33.33 %
SMP 5 16.67 %
SMA 11 36.67 %
Perguruan Tinggi 1 3.33 %
Tidak Sekolah 3 10 %
Jumlah Total 30 100%
Tabel 4.4 menjelaskan bahwa dari 30 responden
penelitian terdapat 33.33 % atau 10 responden yang
berpendidikan sampai tingkat SD, 16.67 % atau 5
responden yang berpendidikan sampai SMP, 36.67 %
54
yang berpendidikan sampai dengan SMA, 3.33 % atau
1 responden yang berpendidkan sampai perguruan
tinggi dan 10 % atau 3 responden yang tidak sekolah.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pekerjaan di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo – Semarang
Pekerjaan Jumlah
Responden (f)
Persentase (%)
Petani 11 36.67 %
Wiraswasta 11 36.67 %
Pekerjaan lain 8 26.66 %
Jumlah Total 30 100 %
Tabel 4.5 diatas menjelaskan bahwa dari 30
responden terdapat 36.67 % atau 11 responden
bekerja sebagai petani, 36.67 % atau 11 responden
bekerja sebagai wiraswasta dan 26.66 % memiliki
pekerjaan lain.
4.1.4 Data Khusus
4.1.4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Keluarga
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan keluarga
pasien relaps ganggguan jiwa dengan melakukan
analisis data, kemudian dibuat tabel distribusi untuk
menentukan atau menggolongkan tinggi rendahnya
55
pengetahuan keluarga. untuk mengetahui
pengkategorian pengetahuan keluarga terhadap
anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan
jiwa digunakan rumus statistik menurut Sudjana (2002)
Panjang kelas (p) =
Rentang kelas
Banyak kelas
Dalam rumusan diatas , menjelaskan bahwa : p=
rentang/banyak kelas dan p merupakan panjang kelas,
dengan 21 item pernyataan maka, rentang kelas ( nilai
tertinggi dikurangi nilai terendah) yaitu 84 – 54 = 30 dan
banyak kelas dibagi atas 2 kategori kelas untuk
pengetahuan keluarga, maka diperoleh panjang kelas
sebesar 15. Dengan p = 15 dan nilai terendah 54
sebagai batas bawah kelas pertama, maka
pengetahuan keluarga dikategorikan atas kelas sebagai
berikut :
Pengetahuan keluarga rendah : 54 – 69
Pengatahuan keluarga tinggi : 70 – 84
Berikut ini sajian data mengenai data
pengetahuan keluarga pada pasien relaps gangguan
jiwa.
56
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Pengetahuan
Keluarga
No Kategori Jumlah
Responden
(f)
persentase
1 Tinggi 16 53,33 %
2 Rendah 14 46.66 %
Jumlah Total 30 100
Berdasarkan tabel distribusi pengetahuan keluarga
diatas yang menunjukan bahwa frekuensi pengetahuan
keluarga dari pasien rawat inap di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Semarang yang memiliki pengetahuan
tinggi sebanyak 16 responden atau 53.33 % sedangkan
responden dengan pengetahuan rendah sebanyak 14
responden atau 46.67 % dari total 30 responden
penelitian.
4.1.4.2 Distribusi Frekuensi Relaps Gangguan Jiwa
Untuk mengetahui frekuensi relaps keluarga
responden penelitian dengan melakukan analisis data,
kemudian dibuat tabel distribusi untuk menentukan atau
menggolongkan tinggi rendahnya frekuensi relaps dari
pasien / keluarga responden di RSJD Dr.Amino
Gondohutomo Semarang. Penilaian frekuensi relaps
57
gangguan jiwa dinilai berdasarkan kejadian relaps
gangguan jiwa (Nurdiana, 2007).
Frekuensi relaps pasien gangguan jiwa
Tinggi : Bila pasien dalam satu tahun
mengalami relaps lebih dari atau
sama dengan dua kali.
Sedang : Bila dalam satu tahun mengalami
relaps satu kali.
Rendah : Bila dalam satu tahun tidak pernah
mengalami relaps.
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Relaps Pasien
Gangguan Jiwa
No Kategori Jumlah
Responden
(f)
Persentase
(%)
1 Tinggi 14 46.67 %
2 Sedang 10 33.3 %
3 Rendah 6 20 %
Jumlah Total 30 100 %
Berdasarkan tabel 4.7 diatas, dapat dilihat bahwa
frekuensi relaps pada pasien gangguan jiwa di RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Semarang dengan kategori tinggi
mencapai 46.67 % atau 14 pasien gangguan jiwa
sedangkan untuk kategori sedang berjumlah 10 atau
58
33.3 % orang pasien gangguan jiwa dan untuk kategori
rendah berjumlah 6 atau 20 % dari 30 keluarga pasien
gangguan jiwa.
4.1.5 Hasil Penelitian Uji Bivariat
4.1.5.1 Korelasi Pengetahuan Keluarga dengan Relaps
Pasien Gangguan Jiwa
Setelah seluruh data – data terkumpulkan,
kemudian peneliti melakukan pengolahan data dengan
menggunakan korelasi Spearman dengan bantuan
program komputer SPSS 16 ( statistical program for
social science 16). Dari hasil pengolahan data secara
statistik diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.8.1Korelasi Pengetahuan Keluarga Terhadap
Frekuensi Relaps Pasien Gangguan Jiwa
Relaps
Pengetahuan
Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Tinggi 7 5 4 16
Rendah 7 5 2 14
Jumlah Total 14 10 6 30
Berdasarkan pada tabel 4.8.1 diketahui bahwa
pada responden yang tingkat pengetahuannya tinggi,
kejadian relaps tinggi sebanyak 7 responden, relaps
59
sedang 5 responden dan rendah 4 responden sedangkan
pada responden yang memiliki tingkat pengetahuan
rendah,kejadian relaps tinggi sebanyak 7 responden,
relaps sedang 5 responden dan relaps rendah 2
responden.
Tabel 4.8.2 Korelasi Pengetahuan Keluarga Terhadap
Frekuensi Relaps Pasien Gangguan Jiwa
Pengetahuan relaps
Pengetahuan pearson correlation
Sig (2-tailed)
N
1
30
-.384
.036
30
Relaps pearson correlation
Sig (2-tailed)
N
-.384
.036
30
1
30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Berdasarkan tabel 4.8.2 di atas menunjukan
bahwa nilai signifikansi (p) 0.036 < 0.05 yang berarti
terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan
keluarga terhadap relaps pasien gangguan jiwa di Rumah
Sakit Jiwa Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Nilai
koefesien korelasi (p) – 0.384 tidak mendekati angka 1
yang berarti terdapat derajat hubungan yang lemah
antara pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien
60
gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino
Gondohutomo Semarang.
Pada tabel 4.8.2 dapat dilihat juga bahwa nilai
signifikansi antara pengetahuan keluarga dengan relaps
pasien gangguan jiwa yaitu (p) = 0.036 pada penilaian <
0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa hipotesis H0 ditolak
dan Hipotesis H1 diterima yaitu ada hubungan
pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien gangguan
jiwa di Rumah Sakit Jiwa Dr.Amino Gondohutomo
Semarang.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Data Demografi
4.2.1.1 Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi
proses komunikasi , karena komunikasi merupakan
media tersampainya informasi. Keluarga dengan
jenis kelamin perempuan akan menggunakan
bahasa dalam mengungkapkan kasih sayang,
berbeda dengan laki – laki yang menggunakan
bahasa untuk hal- hal yang bersifat negosiasi dan
kebebasan (potter & perry, 2005). Hasil penelitian
menunjukan bahwa terdapat perbedaan selisih
61
antara jumlah responden laki – laki dan responden
perempuan. Dari 30 responden penelitian terdapat
16 responden atau 53.33 % berjenis kelamin laki-laki
dan 14 responden atau 46.67 % berjenis kelamin
perempuan.
Perbedaan perilaku laki – laki dan
perempuan dari cara berpakaian dan melakukan
pekerjaan sehari – hari, pria berperilaku atas dasar
pertimbangan rasional atau akal sedangakan wanita
atas dasar pertimbangan emosional atau perasaan
sehingga terdapat kemungkinan wanita lebih peka
terhadap munculnya tanda – tanda gangguan jiwa
pada anggota keluarganya (Sunaryo, 2004). Jenis
kelamin mempengaruhi kepekaan seseorang
terhadap munculnya tanda gangguan jiwa, sehingga
dapat dikatakan bahwa keberadaan anggota
keluarga pria ataupun wanita di rumah dapat menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi upaya
pencegahan relaps pasien gangguan jiwa.
4.2.1.2 Umur responden
Umur adalah lama waktu hidup atau ada
(Hoetomo,2005) sedangkan pada Wikipedia Bahasa
62
Indonesia Umur manusia merupakan satuan waktu
yang mengukur waktu keberadaan seseorang sejak
lahir sampai dengan waktu umur itu dihitung.
Karakteristik berdasarkan umur responden,
mayoritas responden berumur 40 – 60 tahun yaitu
sebanyak 19 responden (63.33 %), responden yang
berumur 17 – 21 tahun yaitu 1 responden (3.33 %),
responden yang berumur 21 – 40 sebanyak 8
responden (26.67 %) dan yang berumur > 60 tahun 2
responden (6.67 %) dari total 30 responden
penelitian.
Faktor umur perlu dikaji, karena faktor
kematangan yang menyangkut pertumbuhan fisik,
perkembangan psikologis dan pemenuhan
kebutuhan sosial yang dipengaruhi faktor internal
berpengaruh terhadap proses belajar. Peneliti
membagi rentang umur menjadi 4 kategori yaitu 17 -
21 tahun, 21 – 40 tahun, 40 – 60 tahun dan lebih dari
60 tahun berdasarkan tugas perkembangan dan
kemampuan fisiknya. Menurut Sunaryo (2004) Tugas
perkembangan pada rentang 20 – 60 tahun adalah
economically, intelectually dan emotionally self
sufficient yang dianggap telah menjadi pribadi
63
individu yang matang, sedangkan individu yang
diatas 60 tahun (lanjut usia) secara alamiah terjadi
penurunan fungsi dalam tubuh meskipun individu
dalam keadaan sehat. Hasil penelitian dengan
persentase terbesar berada pada usia 40 – 60 tahun
sebanyak 19 responden atau 63.33 % dan 21 – 40
tahun sebanyak 8 responden (26.67 %) yang artinya
kedua persentase terbesar dari 2 kategori
pembagian umur berdasarkan E.Hurlock berada
dalam rentang umur 20 – 60 tahun menunjukan
bahwa sebagian besar keluarga dianggap mampu
menerima pengetahuan tentang perawatan dan
coping mechanism terhadap pasien gangguan jiwa
beserta penerapannya dalam kehidupan sehari –
hari.
4.2.1.3 Status Hubungan Keluarga
Keluarga merupakan fondasi primer bagi
perkembangan kemampuan sosial seseorang.
Santrock (2002) menyatakan bahwa keluarga
merupakan bagian yang penting dari jaringan sosial
setiap individu. Status hubungan dalam keluarga
menjadi hal yang sangat penting dalam menjalin
64
hubungan antar individunya, setiap anggota keluarga
memiliki pengaruh yang berbeda pada diri individu.
Besarnya pengaruh seorang anggota keluarga
bergantung pada hubungan emosional yang terdapat
pada anggota keluarga yang satu dengan yang
lainnya. Menurut Cicirelli 1996, bukan saja peran
orang tua yang sangat penting dalam perkembangan
anak atau anggota keluarga lainnya namun,
hubungan dengan anggota keluarga lain juga
memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
anggota keluarga yang lain. Hasil penelitian status
hubungan responden dengan pasien gangguan jiwa
di RSJD Dr. Amino Gondohutomo dari 30 responden
terdapat 12 responden (40 %) yang memiliki
hubungan sebagai ayah/ibu dari pasien, 8 responden
(26.67 %) sebagai kakak/adik dari pasien, 5
responden (16.67) sebagai suami/istri dari pasien, 1
responden (3.33 %) sebagai anak dari pasien dan 4
responden (13.33) memiliki hubungan sebagai
saudara dari pasien gangguan jiwa yang rawat inap
di RSJD Dr. Amino Gondohutomo.
Berdasarkan hasil penelitian mayoritas
keluarga yang membesuk pasien gangguan jiwa
65
adalah orang tua, ini dikarenakan sebagian besar
pasien gangguan jiwa yang dirawat adalah pasien
dengan status belum menikah sehingga masih
merupakan tanggung jawab orang tua dalam
memenuhi kebutuhannya, baik itu kebutuhan sehari
– hari maupun kebutuhan kesehatan yang diperlukan
oleh pasien.
4.2.1.4 Pendidikan Responden
Pendidikan merupakan usaha terencana
untuk mewujudkan proses pembelajaran agar
seseorang secara efektif mengembangkan potensi
dirinya. Hasil penelitian berdasarkan tingkat
pendidikan, dari 30 responden didapatkan 10
responden (33.33 %) yang pernah menjalani
pendidikan tingkat SD, 5 responden (16.67 %) yang
menjalani pendidikan tingkat SMP, 11 responden
(36.67 %) yang menjalani pendidikan tingkat SMA
sedangkan 1 responden (3.33 %) yang menjalani
pendidikan sampai perguruan tinggi dan 3
responden lainnya tidak pernah bersekolah.
Pendidikan pada dasarnya berupa interaksi
individu dengan lingkungannya, baik pendidikan
66
secara formal maupun informal. Notoadmojo 2010
mengatakan bahwa hasil pendidikan adalah
perubahan kemampuan, penampilan atau perilaku
yang didasari oleh penambahan pengetahuan, sikap
dan keterampilan namun perubahan pengetahuan
belum menjamin adanya perubahan perilaku sebab
perilaku baru tersebut terkadang memerlukan
material. Oleh karena itu untuk adanya perubahan
perilaku keluarga terhadap anggota keluarga mereka
yang merupakan pasien gangguan jiwa diperlukan
dukungan dari segi pengetahuan yang diimbangi
dengan faktor fisik (pendapatan) dan nonfisik
(pendidikan, sikap, keterampilan) yang seimbang.
4.2.1.5 Pekerjaan Responden
Dalam Yosep (2009), menyatakan bahwa
masalah ekonomi merupakan masalah yang paling
dominan sebagai pencetus gangguan jiwa di
Indonesia, berdasarkan pada fungsi keluarga
menurut Friedman (1998) dalam Setiadi (2008)
mengatakan bahwa salah satu fungsi keluarga
adalah fungsi ekonomi. Fungsi ekomoni adalah
keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
67
keluarga secara finansial dan menjadi tempat untuk
mengembangkan kemampuan individu dalam
meningkatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Hasil penelitian berdasarkan
pada pekerjaan responden dari 30 responden
terdapat 11 responden (36.67 %) memiliki pekerjaan
sebagai petani sedangkan 11 responden (36.67 %)
bekerja sebagai wiraswasta dan 8 responden (26.66
%) memiliki pekerjaan lain. Menurut sulistyono
dalam Zulkifli 2004 menyatakan bahwa pekerjaan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
status ekonomi. Hasil penelitian juga menunjukan
bahwa mayoritas responden memiliki pekerjaan
sebagai petani dan wiraswsasta sehingga faktor
ekonomi (pendapatan) mempengaruhi pelayanan
dan perawatan pasien gangguan jiwa.
4.2.2. Identifikasi Variabel Penelitian
4.2.2.1 Tingkat Pengetahuan Responden
Pengetahuan tentang kesehatan adalah
segala sesuatu yang diketahui oleh seseorang
terhadap cara – cara memelihara kesehatan.
Pengetahuan keluarga dapat diukur dengan
68
mengajukan pertanyaan secara langsung (wawancara)
atau perntanyaan tertulis (kuesioner) indikator
pengetahuan kesehatan adalah tingginya
pengetahuan ressponden tentang variabel atau
komponen kesehatan (Notoatmodjo, 2005). Hasil
penelitian menunjukan bahwa tingkat pengetahuan
responden ditempat penelitian terbagi atas 2 tingkat.
Responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah
sebanyak 14 responden (46.67 %) dan yang memiliki
tingkat pengetahuan tinggi sebanyak 16 responden
(53.33 %) dari total 30 responden.
Menurut Notoatmodjo (2005) mengatakan
bahwa pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki
seseorang merupakan faktor yang sangat berperan
dalam menginterpretasikan stimulus yang diperoleh.
Pengalaman atau apa yang telah dipelajari
sebelumnya akan menyebabkan terjadi perbedaan
interpretasi yang kemudian berpengaruh terhadap
perilaku keluarga dalam bertindak dan memperlakukan
pasien gangguan jiwa, yang berarti keluarga berada
pada tingkatan amplikasi sesuai dengan tingkatan
pengetahuan (Notoatmodjo,2007).
69
4.2.2.2 Frekuensi Relaps Gangguan Jiwa
Penelitian ini mengukur frekuensi relaps
pasien gangguan jiwa selama pasien mengalami
gangguan jiwa. Frekuensi relaps yang digunakan yaitu
frekuensi relaps dari Nurdiana (2007) yang
mengatakan bahwa frekuensi relaps tinggi bila pasien
dalam satu tahun mengalami relaps lebih dari atau
sama dengan dua kali sedangkan sedang bila dalam
satu tahun mengalami relaps satu kali dan rendah
bila dalam satu tahun tidak pernah mengalami relaps.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 30 responden
terdapat 14 responden (46.67 %) yang anggota
keluarganya mengalami relaps pada tingkatan tinggi,
sedangkan 10 responden (33.33 %) anggota
keluarganya mengalami relaps pada tingkatan sedang
dan 6 responden (20 %) anggota keluarga responden
yang mengalami relaps tingkat rendah di RSJD
Dr.Amino Gondohutomo Semarang.
Salah satu faktor penyebab terjadinya relaps
adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan
sosial yang paling dekat dengan dengan pasien,
Notoatmodjo (2005) juga mengatakan bahwa proses
penyembuhan dan pemulihan bukan hanya dari faktor
70
rumah sakit saja, tetapi juga dari faktor keluarga.
Peran serta keluarga dalam proses penyembuhan dan
perawatan pasien gangguan jiwa dari berapa kali
pasien dirawat atau mengalami relaps. Tomb 2004
menyatakan bahwa pasien gangguan jiwa yang paling
beresiko untuk mengalami relaps adalah pasien yang
berasal dari keluarga yang tidak memberikan
kebebasan kepada penderita dan mensituasikan
pasien seolah – olah dalam keadaan sakit, dan tidak
adanya kepercayaan yang diberikan keluarga pada
pasien.
4.2.3 Korelasi Pengetahuan Keluarga Terhadap Relaps
Pasien Gangguan Jiwa
Data tingkat pengetahuan dan frekuensi relaps
pasein gangguan jiwa telah didapatkan kemudian dicari
korelasi antar kedua variabel dengan bantuan program
komputer SPPS versi 16, menggunakan uji korelasi Rank
Spearman didapatkan nilai signifikasi (p) 0.036, < 0.05
yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara
pengatahuan keluarga terhadap relaps pasien gangguan
jiwa.
71
Relaps merupakan indikator yang menunjukan
kondisi kesehatan pasien, termasuk pada pasien
gangguan jiwa . Blum tahun 1974 dalam Notoatmodjo
2003 menegaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi sehat atau tidaknya seseorang yakni
faktor keturunan, lingkungan, faktor pelayanan kesehatan
dan faktor perilaku. Blum menyimpulkan bahwa
lingkungan mempunyai peran yang paling besar terhadap
status kesehatan, yang disusul oleh perilaku, pelayan
kesehatan, keturunan dan selanjutnya pengetahuan
berada diarea lingkungan dan perilaku. Lingkungan yang
dalam lingkup terkecil adalah keluarga , dianggap paling
berperan penting dalam proses penyembuhan pasien,
bukan hanya obat dan terapi medis saja. Anggota
keluarga dalam rentang umur 20 – 60 tahun dianggap
mampu menerima pengetahuan tentang perawatan
pasien dan coping mechanism keluarga terhadap pasien
gangguan jiwa serta penerapanya dalam kehidupan
sehari – hari, berkaitan dengan fungsi ekonomi,
intelektual, dan emosional yang telah terpenuhi.
Faktor jenis kelamin juga mempengaruhi
tindakan perawatan yang dilakukan keluarga.
Keberadaan anggota keluarga laki – laki ataupun
72
perempuan mempengaruhi kepekaan keluarga atas
munculnya tanda gangguan jiwa yang berpengaruh pada
ada -tidaknya upaya pencegahan relaps pasien
gangguan jiwa. Kedua faktor diatas apabila didukung
dengan pendidikan keluarga dapat memperkuat upaya
keluarga dalam berprilaku kepada anggota keluarga
mereka yang mengalami gangguan jiwa. Hasil pendidikan
adalah perubahan kemampuan, sikap dan keterampilan
Oleh karena itu keluarga sebagai bagian dari lingkungan
memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan
kesehatan. Semakin tingginya tingkat pendidikan
diharapkan akan semakin luas pula pengetahuan
responden serta semakin mudah dan cepat dalam
menerima informasi dari berbagai media tentang
kesehatan/gangguan jiwa. Hal ini didukung oleh pendapat
Santoso 1994 yang menyatakan semakin tinggi tingkat
pendidikan yang ditempuh maka semakin mudah dalam
menyerap informasi baru.
Faktor penyebab terjadinya relaps diantaranya
adalah keluarga, bagian terpenting dari keluarga adalah
pengetahuan tentang gangguan jiwa dan pencegahan
relaps bagi pasien gangguan jiwa, keluarga memiliki
tanggung jawab yang besar dalam proses perawatan
73
pasien. Berdasarkan hasil uji korelasi antara
pengetahuan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa
bahwa terdapat hubungan yang lamah antar kedua
variabel tersebut yang berarti bukan saja pengetahuan
keluarga yang menjadi satu – satunya penyebab
terjadinya relaps tetapi bisa dipengaruhi oleh faktor lain
yaitu pasien sendri maupun dari pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada pasien gangguan jiwa.
4.3 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan
korelasi pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien
gangguan jiwa di RSJD Dr.Amino Gondohutomo, namun
peneliti menyadari bahwa masih banyak keterbatasan , antara
lain :
1. Peneliti hanya menggunakan alat instrumen
penelitian yaitu kuesioner yang diberikan kepada
responden sehingga dimungkinkan jawaban
responden tidak konsisten atau tidak jujur. Hal ini
mungkin dipengaruhi oleh situasi dan kondisi saat
pelaksanaan pengisian kuesioner
2. Peneliti hanya mengukur faktor pengetahuan
keluarga sebagai variabel yang berpengaruh
74
terhadap relaps pasien gangguan jiwa, padahal
masih banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya
relaps , baik dari keluarga, lingkungan maupun dari
pasien sendri.
3. Keterbatasan waktu dalam pelaksanan penelitian ini
yang menyebabkan hasil penelitian yang tidak
maksimal.
4. Keterbatasan bahasa yang digunakan, dikarenakan
peneliti berasal dari Indonesia Timur sehingga
Peneliti kesusahan dalam menyusun dan menulis
dengan bahasa yang sempurna.