19
32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum penelitian Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK Menteri Kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan (RSPAW) atau yang lebih dikenal masyarakat sekitar dengan istilah Sanatorium menjadi satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa Tengah. Peneliti melakukan penelitian di ruang Kenanga, RSPAW. Ruang kenanga adalah ruang perawatan anak yang terletak di VIP lantai 2 Cendana. Terdapat 12 perawat yang bertugas di ruangan tersebut yang terdiri dari 3 perawat laki-laki dan 9 perawat perempuan. Di ruangan tersebut juga memiliki 3 cleaning service yang bertugas membersihkan ruangan kenanga. Ruang kenanga memiliki 8 kamar perawatan yang terbagi atas 3 kelas. 4 kamar untuk pasien VIP, 2 kamar untuk pasien kelas 2, dan 2 kamar untuk pasien kelas 3. Ruang kenanga juga memiliki 1 ruang tunggu pengunjung pasien dan 1 ruang perawat. Penelitian ini dimulai dengan mengurus surat ijin penelitian dari Fakultas Ilmu Kesehatan dan kemudian diberikan kepada pihak rumah sakit. Setelah mendapat ijin penelitian, peneliti mulai melakukan penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5313/5/T1...dengan posisi menyamping kekiri sambil mengisap jempol kirinya. Ketika wawancara sedang berlangsung,

Embed Size (px)

Citation preview

32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran umum penelitian

Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan Hasanudin,

No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK Menteri Kesehatan RI,

nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan

(RSPAW) atau yang lebih dikenal masyarakat sekitar dengan istilah

Sanatorium menjadi satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa

Tengah.

Peneliti melakukan penelitian di ruang Kenanga, RSPAW. Ruang

kenanga adalah ruang perawatan anak yang terletak di VIP lantai 2

Cendana. Terdapat 12 perawat yang bertugas di ruangan tersebut yang

terdiri dari 3 perawat laki-laki dan 9 perawat perempuan. Di ruangan

tersebut juga memiliki 3 cleaning service yang bertugas membersihkan

ruangan kenanga. Ruang kenanga memiliki 8 kamar perawatan yang

terbagi atas 3 kelas. 4 kamar untuk pasien VIP, 2 kamar untuk pasien kelas

2, dan 2 kamar untuk pasien kelas 3. Ruang kenanga juga memiliki 1 ruang

tunggu pengunjung pasien dan 1 ruang perawat.

Penelitian ini dimulai dengan mengurus surat ijin penelitian dari

Fakultas Ilmu Kesehatan dan kemudian diberikan kepada pihak rumah

sakit. Setelah mendapat ijin penelitian, peneliti mulai melakukan penelitian

33

pada tangal 21 september 20013 dan berakhir pada tanggal 17 oktober

2013. Uji keabsahan data yang dipakai peneliti adalah member check,

sehingga setelah selesai melakukan wawancara peneliti biasanya langsung

menyusun hasil wawancara dan sesegera mungkin kembali dan melakukan

member check dengan partisipan. Riset partisipan yang diwawancarai

berjumlah 6 orang. Sebelum peneliti mulai bertemu dengan pasien dan

melakukan wawancara, peneliti biasanya memeriksa terlebih dahulu status

pasien dan disesuaikan dengan kriteria partisipan yang ingin diteliti.

Peneliti selesai mewawancarai dan menguji keabsahan data

partisipan terakhir pada tanggal 8 oktober, sebelumnya peneliti masih tetap

menunggu pasien untuk dijadikan partisipan penelitian tetapi karena sudah

tidak ada lagi pasien yang memenuhi seluruh kriteria sebagai partisipan

penelitian sehingga peneliti mengakhiri penelitian pada tanggal 17 Oktober

2013.

4.2 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada orang tua dari 6

pasien anak, secara umum identitas partisipan dan identitas keenam anak

tersebut dapat ditunjukan dalam tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Identitas Partisipan dan Identitas pasien

P1 P2 P3 P4 P5 P6

Nama Ibu. M Bpk. S Ibu. J Ibu. S Bpk. R Ibu. Sm

Hubungan Ibu kandung Ayah Ibu Ibu Ayah kandung Ibu

34

dengan

pasien

kandung kandung kandung kandung

Nama

pasien

An. F An. I An. J An. R An. N An. K

Umur

pasien

2,3 Tahun 2 Tahun 5 Tahun 5 Tahun 1 Tahun 6 Bulan 3 Tahun

Jenis

Kelamin

pasien

Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki

Lama

Perawatan

saat

wawancara

3 Hari 2 Hari 3 hari 2 Hari 2 hari 2 Hari

4.2.1 Gambaran umum partisipan dan pasien anak

1. Partisipan 1

Partisipan 1 (P1) merupakan Ibu kandung dari Anak F. Saat peneliti

meminta P1 untuk menjadi partisipan penelitian, P1 bersedia dan

wawancara dilaksanakan pada tanggal 21 September 2013 pukul 12.00

siang. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan P1, peneliti

mengetahui bahwa Anak F adalah anak bungsu dari 2 bersaudara yang

saat ini tinggal disalatiga bersama orang tua dan kakak laki-lakinya. Anak F

masuk rumah sakit pada tanggal 18 September 2013 dan ini adalah kali

pertama Anak F dirawat di rumah sakit.

Saat peneliti masuk ke kamar pasien dan melakukan wawancara

dengan P1, Anak F dalam keadaan tidur dengan infus RL yang terpasang di

35

tangan sebelah kirinya yang di balut dan dipakaikan spalk. Anak tidur

dengan posisi menyamping kekiri sambil mengisap jempol kirinya. Ketika

wawancara sedang berlangsung, anak terbangun dan menangis. P1

berusaha menenangkan anak dengan mengelus kepala anak dan

menawarkan anak untuk meminum susu atau air putih namun Anak F

menolak. Saat menangis anak terlihat berusaha melepas infusnya. P1

mengatakan anak sering berusaha untuk melepas infusnya saat menangis.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak F termasuk anak balita yang

secara kuantitas terpenuhi kebutuhan tidurnya, tidur siang biasanya 2 jam

dan tidur malam biasanya 10-11 jam. Anak F mengigau jika dalam keadaan

lelah dan saat merasa tertekan, seperti dimarahi atau dibentak oleh orang

tuanya. Anak F tiap tidur malam selalu dipakaikan pempers oleh P1. Anak F

memiliki kebiasaan mengisap jempol tangan kirinya setiap mau tidur dan

saat tidur. Anak F tidak akan bisa tertidur jika tidak mengisap jempol tangan

kirinya tersebut.

2. Partisipan 2

Saat peneliti masuk ke kamar pasien anak I, anak sedang ditemani

kedua orang tuanya. Anak terlihat sedang tidur sambil digendong ibunya.

Terlihat juga terpasang infus RL ditangan kiri Anak I dengan dibalut dan

dipakaikan spalk. Ketika peneliti meminta salah satu diantara kedua orang

tua anak untuk menjadi partisipan penelitian, ayah kandung dari Anak I (P2)

bersedia dan meminta peneliti untuk melakukan wawancara di luar ruangan

36

dengan alasan Anak I sedang tidur dan biasanya mudah terbangun.

Wawancara dilaksanakan pada tanggal 21 September 2013 pukul 13.00

siang.

Saat peneliti melakukan wawancara dengan P2, P2 menceritakan

bahwa Anak I adalah anak tunggal yang saat ini tinggal di salatiga bersama

kedua orang tuanya. Anak I masuk rumah sakit pada tanggal 18 september

2013 dan ini untuk pertama kalinya Anak I dirawat di rumah sakit.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak I termasuk anak balita yang

secara kuantitas terpenuhi kebutuhan tidurnya, dengan kebiasaan tidur pagi

sekitar 1-2 jam, tidur di sore hari 1 jam dan tidur malam sekitar 10-11 jam.

Anak I kadang mengigau saat tidur jika dia merasa lelah bermain seharian.

Saat tidur Anak I jarang terbangun dimalam hari untuk buang air kecil,

karena sebelum tidur biasanya Anak I sudah diantar ke toilet untuk buang

air kecil. Anak I memiliki satu bantal kesayangan yang harus dipeluknya

saat tidur dan punya kebiasaan tidur sambil menghisap dot.

3. Partisipan 3

Partisipan 3 (P3) merupakan ibu kandung dari Anak J. Saat peneliti

meminta P3 untuk menjadi partisipan penelitian, P3 bersedia dan

wawancara dilaksanakan pada tanggal 24 September 2013 pukul 10.00

pagi. Menurut cerita P3, Anak J adalah anak bungsu atau anak ke 3 dari 3

bersaudara. Anak J tinggal di Getasan, Semarang bersama kedua orang

tuanya dan kakak laki-lakinya, karena kakak perempuannya telah menikah

37

dan menetap di Kalimantan. Anak J masuk rumah sakit pada tanggal 21

September 2013 dan merupakan kali pertama Anak J dirawat dirumah sakit.

Saat peneliti masuk dan mulai melakukan wawancara dengan P3, Anak J

sedang terjaga dan menonton TV. Di tangan kirinya terpasang infus RL

yang dibalut dan dipakaikan spalk.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak J adalah anak balita yang

secara kuantitas tidurnya terpenuhi. Di rumah, Anak J biasanya tidur malam

sekitar 11 jam dan jarang sekali Anak J tidur siang. Anak J tidak memiliki

kebiasaan khusus tertentu saat tidur.

4. Partisipan 4

Partisipan 4 merupakan ibu kandung dari Anak R. Saat peneliti

meminta partisipan (P4) untuk menjadi partisipan penelitian, P4 bersedia

dan wawancara dilaksanakan pada tanggal 28 September 2013 pukul 09.00

pagi. P4 menceritakan bahwa Anak R adalah anak pertama dari 2

bersaudara. Anak R menetap disalatiga bersama orang tua dan adik laki-

lakinya yang berumur 3 tahun. Anak R masuk rumah sakit pada tanggal 26

September 2013 dan ini merupakan kali ke 2 Anak R masuk rumah sakit.

Sebelumnya Anak R sempat dirawat di RSUD salatiga dengan diagnosa

types. Saat peneliti masuk kekamar pasien dan melakukan wawancara,

Anak R dalam keadaan tidur. P4 menjelaskan bahwa Anak R merasakan

nyeri dibagian perut sehingga tidurnya tidak pernah nyenyak. Ketika

wawancara sedang berlangsung Anak R sempat terbangun dan menangis.

38

P5 kemudian mengelus-ngelus perutnya dan berusaha menenangkannya.

Sekitar 10 menit kemudian Anak R sudah mulai tenang dan mencoba tidur

lagi. Terlihat infus D5 terpasang di tangan sebelah kiri Anak R dengan

dibalut dan dipakaikan spalk.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak R adalah anak balita yang

secara kuantitas tidurnya terpenuhi. Di rumah, Anak R biasanya tidak

pernah tidur siang. Anak R biasanya tidur hanya pada malam hari sekitar 10

jam. Saat tidur Anak R terkadang mengigau jika kelelahan. Anak R punya

kebiasaan saat tidur senang menggertakkan giginya.

5. Partisipan 5

Saat peneliti masuk ke kamar pasien Anak N, terlihat banyak

keluarga Anak N yang sedang menjenguknya. Peneliti meminta kesediaan

salah satu orang tua Anak N untuk menjadi partisipan penelitian, ayah

kandung Anak N (P5) bersedia dan wawancara dilaksanakan pada tanggal

2 oktober 2013 pukul 09.00 pagi. Menurut cerita P5, Anak N merupakan

anak tunggal yang tinggal dan menetap bersama kedua orang tuanya di

Tengaran, Semarang. Anak N masuk rumah sakit pada tanggal 30

September 2013 dan ini untuk pertama kalinya Anak N dirawat di rumah

sakit. Saat wawancara berlangsung, terlihat Anak N sedang disusui ibunya

di tempat tidur. Di tangan kanan Anak N terpasang infus RL dengan balutan

dan dipakaikan spalk. Anak N sempat diajak ibunya untuk mandi tetapi

Anak N menolak dan terus menangis. Sempat terlihat oleh peneliti Anak N

39

berusaha melepas infusnya sendiri dan dicegah oleh ibunya. P5

mengatakan, Anak N terus menangis ingin pulang karena

ketidaknyamanannya dengan suasana rumah sakit dan trauma yang

dirasakannya sejak di infus.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak N tergolong anak yang secara

kuantitas tidurnya terpenuhi. Anak N biasanya tidur pagi sekitar 1 jam, tidur

sore sekitar 1 jam dan tidur malam sekitar 10-11 jam. Saat tidur anak N

biasanya mengigau jika kelelahan, seperti banyak bermain dan banyak

menangis. Anak N juga punya kebiasaan harus menyusu pada ibunya

sebelum tidur.

6. Partisipan 6

Partisipan 6 adalah ibu kandung dari Anak K. Partisipan 6 bersama

suaminya sering bergantian menemani dan menjaga Anak K dirumah sakit.

Saat peneliti meminta partisipan (P6) untuk menjadi partisipan penelitian,

P6 bersedia dan wawancara dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2013

pukul 13.00 siang. P6 menceritakan bahwa Anak K adalah anak tunggal

yang kini tinggal dan menetap bersama kedua orang tuanya di salatiga.

Anak K masuk rumah sakit pada tanggal 5 Oktober 2013 dan ini adalah

pertama kalinya Anak K dirawat di rumah sakit. Saat wawancara

berlangsung, peneliti melihat Anak K sedang tidur dengan tangan kiri yang

terpasang infus RL dengan balutan dan dipakaikan spalk. Dalam

kesehariannya di rumah, Anak K termasuk anak yang secara kuantitas

40

tidurnya terpenuhi. Anak K biasanya tidur siang 2 jam dan tidur malam

biasanya 10-11 jam. Anak K sudah dibiasakan P6 sebelum tidur buang air

kecil terlebih dahulu sehingga sangat jarang Anak K terbangun dimalam hari

untuk buang air kecil. Anak K punya kebiasaan senang tidur menyamping

ke kanan ketika tidur.

Dalam menyusun hasil penelitian, peneliti menggunakan metode

menurut Miles & Huberman (1984) untuk menganalisis data wawancara

lapangan yang jumlahnya cukup banyak. Langkah pertama yang dilakukan

adalah mereduksi data. Dalam mereduksi data peneliti memilah-milah data

kedalam beberapa kategori yang nantinya akan diambil temanya. Kategori

dan tema ditentukan dari verbatim hasil wawancara dengan partisipan yang

terbagi dalam 2 bagian yaitu verbatim yang menunjukkan pola tidur anak

sebelum masuk rumah sakit (verbatim tidak dipertebal) dan verbatim yang

menunjukkan pola tidur anak setelah masuk rumah sakit (verbatim

dipertebal) yang nantinya hanya dipakai sebagai perbandingan dan acuan

peneliti untuk mengetahui gambaran tidur anak setelah masuk rumah sakit

dan terpasang infus. Proses pengelompokkan tema dapat terlihat dalam

lampiran 2.

Dari hasil reduksi data yang dilakukan peneliti maka dapat terlihat 4

tema besar yang menjadi hal pokok dari hasil penelitian ini, yaitu : (1) Durasi

tidur, (2) Kedalaman tidur, (3) Frekuensi terbangun, (4) Masalah yang

nampak saat tidur.

41

1. Durasi tidur

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapati adanya durasi

tidur yang berbeda dari masing-masing anak sebelum masuk rumah sakit

dan setelah masuk rumah sakit. Untuk lebih mempermudah dalam melihat

perbedaannya, peneliti mencoba menggambarkan durasi tidur anak secara

jelas berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan lewat tabel berikut ini.

Anak dari

Partisipan

Durasi tidur

Sebelum sakit Setelah sakit

Anak P1 - Tidur siang sekitar 2 jam

- Tidur malam sekitar 10-11

jam (P1 6)

- Tidur siang

sekitar 1-2 jam

- Tidur malam

sekitar 8 jam (P1

11-24)

Anak P2 - Tidur pagi sekitar 1-2 jam

- Tidur sore sekitar 1 jam

- Tidur malam sekitar 10-11

jam (P2 6)

- Tidur malam 10-

11 jam (P2 36-38)

Anak P3 - Tidur malam sekitar 11 jam

(P3 6)

- Tidur malam 11-

12 jam (P3 36)

Anak P4 - Tidur malam sekitar 10 jam

(P4 8)

- Tidur malam 11-

12 jam (P4 22,26)

Anak P5 - Tidur pagi sekitar 1 jam

- Tidur siang atau sore

sekitar 1 jam

- Tidur malam sekitar 10- 11

jam (P5 6-8)

- Tidur malam 7

jam (P5 34-36)

Anak P6 - Tidur siang sekitar 2 jam - Tidur siang

42

- Tidur malam sekitar 10- 11

jam (P6 8,10)

sekitar 30 menit

- Tidur malam

sekitar 9 jam (P6

34,40)

Berdasarkan tabel diatas yang dibuat berdasarkan keterangan dari

partisipan, dapat dilihat dengan jelas terjadi perubahan durasi tidur anak

sebelum dan setelah masuk rumah sakit. Anak dari P1, P2, P5 dan P6

mengalami durasi tidur yang kurang setelah masuk rumah sakit. Sedangkan

anak dari P3 dan P4 mengalami durasi tidur malam yang lebih lama dari

durasi tidur saat dirumah. Saat siang hari anak dari P3 dan P4 yang

biasanya dirumah tidak pernah tidur siang setelah masuk rumah sakit malah

sering tidur siang. Durasi tidur siang mereka tidak dicantumkan pada tabel

diatas karena P3 dan P4 mengatakan durasi tidur siang anak tidak

menentu.

2. Kedalaman tidur

Kedalaman tidur anak menurut masing-masing partisipan tidak

terpenuhi. Tidak terpenuhinya kedalam tidur anak ini dapat terlihat dari

tingkah laku anak mereka saat tidur. Partisipan mengeluh anak terlihat tidak

tenang dan gelisah saat tidur. Keluhan partisipan diutarakan dalam kutipan

kalimat dibawah ini :

43

“Ia mbak, dia ga nyaman gitu mbak. Mungkin mau bolak-balik

tidurnya tu kayaknya terbatas ya, disesuaikan sama ininya (infusnya)

kan mbak. Takut lepas mungkin atau gimana gitu kan..” (P3)

“Dia ga ngigau cuman gelisah, mungkin agak susah seperti yang

tadi saya ceritakan tadi, kebiasaan banyak gerak kalo tidur ini malah

terbatas kan.” (P6)

Selain kelihatan gelisah, partisipan juga mengatakan bahwa anak

mereka selalu menangis setiap kali terbangun.

“Ia dia ga nyaman, dia ga mau. Tiap kali dia bangun dia nangis.

Yang saya tau itu… Mungkin karna dia ngerasa ga nyaman

suasananya ditambah traumanya dia jadi ya gitu..” (P2)

“Ya kalo ngompol kejaga dia.. ga ngompol juga tiba-tiba udah

bangun gitu, nangis kan.. di tidurin sama ibunya lagi.. Ya bisa 3

sampai 4 kali lah.” (P5)

P1 dan P6 mengeluhkan bahwa anak mereka tidak nyenyak saat

tidur dikarenakan spalk yang dipakaikan pada infus anak. P1 dan P6

menceritakan anak mereka memiliki kebiasaan khusus saat tidur yaitu

kebiasaan mengisap jempol (P1) dan kebiasaan tidur miring ke kanan (P6)

yang mana saat terpasang infus dan spalk menyebabkan ketidaknyamanan

pada anak sehingga anak menjadi sulit tidur dan gelisah saat tidur. Anak

tidak bisa mendapatkan posisi yang nyaman baginya untuk bisa tidur

dengan nyenyak. Dapat dilihat lebih jelas lewat pernyataan-pernyataan

partisipan berikut :

“Apalagi diakan ngemut jempol kiri ini kalo tidur jadinya agak susah.

Ini kemarin jari-jarinya ditutupin semua ni, ini baru di buka jempolnya

yang lain masih ketutup jempolnya aja yg ndak kan biar dia bisa

ngemut. Kalo ndak ngemut kan ndak bisa tidur… Terus di buka yang

jempolnya jadi udah mulai bisa tidur tapi gerak-gerakinnya tu kan

44

masih terbatas jadi ga nyenyak ih. Istilahnya kalo tidur suka

gelisah..” (P1)

“Maunya dia tidur pake pola tidurnya dia, kebiasaan tidur miring ke

kanan tapi kan ini infusnya sebelah kiri jadi mungkin agak ga

nyaman buat dia kan, sempat minta dilepas.. Dia ga ngigau cuman

gelisah, mungkin agak susah seperti yang tadi saya ceritakan tadi,

kebiasaan banyak gerak kalo tidur ini malah terbatas kan.” (P6)

3. Frekuensi terbangun

Pemenuhan kebutuhan tidur anak dalam penelitian ini juga dinilai

dari frekuensi terbangun anak saat tidur, terlebih tidur malamnya.

Berdasarkan pernyataan partisipan, anak biasanya terbangun untuk buang

air, terbangun karena terganggu dengan kebisingan dan terbangun karena

mengompol. Berikut pernyataan masing-masing partisipan terkait frekuensi

terbangun anak :

“Yah kalo kejaga ni bisa 3-4 kali la mbak.. kan buang air terus juga

kan dia.” (P1)

“Mungkin karna dia ngerasa ga nyaman suasananya ditambah

traumanya dia jadi ya gitu.. tapi kalo di kasih susu sama mamanya

digendong-gendong ya dia tidur lagi. Tapi dia tu harus sampai

benar-benar tertidur baru ditaruh di tempat tidur kalo ga dia pasti

kebangun minta digendong lagi gitu.. gampang bangun dia dek..

semenjak disini ni bangunnya bisa 3-4 kali dek.” (P2)

“Semalam sempat 2 kali dia bangun, tapi ga pipis, bangun aja gitu

tapi setelah itu tidur lagi.” (P3)

“Semalam ya kayak gitu juga, tidur semalam sekitar jam 9 tapi

kebangun lagi trus tidur lagi begitu terus bisa 2-3 kali lah waktu

pertamanya tuh.. sampai sekarang juga begitu.” (P4)

45

“Ya kalo ngompol kejaga dia.. ga ngompol juga tiba-tiba udah

bangun gitu, nangis kan.. di tidurin sama ibunya lagi.. Ya bisa 3

sampai 4 kali lah.” (P5)

“Ga.. ini kan udah dibiasain bilang pipis, kebelakang.. semalam juga

ga bangun buat pipis, cuman tiba-tiba kebangun nangis terus tidur

lagi.. tapi agak lama si mbak baru bisa tidur. Dia mau tidur sulit ih..”

(P6)

4. Masalah yang nampak saat tidur

Dalam penelitian ini didapati beberapa masalah yang nampak saat

tidur, diantaranya adalah mengigau, mengompol dan kebiasaan

menggertakkan gigi saat tidur (Bruksisme) yang dapat dilihat lebih jelas

dalam pernyataan-pernyataan partisipan berikut ini :

“Disini malah sering dia. Masih takut kan.. Ya kalo ngigau tuh ndak

lama yah, kira-kira 3-5 menitan lah istilahnya berhenti terus ngigau

lagi terus ngigau lagi seperti itu.” (P1)

“Yah kayak kemarin setelah dipasang infus gitu kan nangis terus

dianya jadi tidur malamnya mungkin kebawa ya traumanya ya

sampai ngigau dia.” (P2)

“Ia dari kemarin ngelindur terus kalo tidur malam.. mungkin masih

takut kali ya mbak ya sampe kebawa mimpi kali ya.” (P3)

“Kan suasananya kayak gini, terus traumanya tadi itu pas sakit

dipasang infus itu kan.. lebih sering ngelindur dia.. Ya kalo ngompol

kemarin pas masuk itu malamnya 1 kali terus kemarinnya juga sekali

juga ngompolnya, gitu.. kalo ngelindur ya sejak masuk tidurnya juga

ngelindur tiap tidur malam.” (P5)

P4 mengatakan bahwa anaknya selalu menggertakkan giginya saat

tidur. Hal ini juga sudah menjadi kebiasaan anak di rumah saat tidur.

46

“Dia kan punya kebiasaan apa itu bahasa indonesianya apa? Yang

giginya suka bunyi gitu.. giginya kerek-kerek gitu tu lo.. ya paling itu

aja sih.” (P4, Sebelum anak sakit)

“Ga, dia ga ngigau o. cuman ya itu tadi, kebiasaan giginya

dibunyikan itu sama sempat kebangun.” (P4, Setelah anak sakit)

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian pada 6 partisipan, terdapat empat tema

yang terangkum untuk acuan penulis. Empat tema tersebut adalah durasi

tidur, kedalaman tidur, frekuensi terbangun dan masalah yang nampak saat

tidur. Perubahan yang terjadi pada pemenuhan tidur anak sebelum dan

setelah masuk rumah sakit yang terangkum dalam 4 tema tersebut dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Namun didalam pembahasan ini peneliti

akan lebih memfokuskan kepada rasa ketidaknyamanan karena tindakan

invasif yang dilakukan dirumah sakit dalam hal ini pemasangan infus.

4.3.1 Durasi tidur

Jurnal essay Solyom & Baghiu (2013) melaporkan bahwa penilaian

gangguan tidur dapat dilakukan dengan berbagai metode. Hasilnya

tergantung pada definisi gangguan tidur, orang yang diteliti (anak atau

orang tua) dan usia. Selain itu, Jumlah jam tidur adalah indikator yang lebih

dapat diandalkan untuk mendeteksi keluhan gangguan tidur. Hal ini serupa

dengan hasil penelitian yang diperoleh, durasi tidur merupakan salah satu

indikator yang muncul dalam menilai terpenuhi atau tidaknya kebutuhan

47

tidur anak. Pernyataan Suririnah (2010) tentang anak batita (usia 1-3 tahun)

memerlukan durasi tidur rata-rata selama 11-12 jam, dengan waktu tidur

siang 1-2 jam, namun pada usia 3 tahun kebutuhan tidur anak mulai

berkurang secara bertahap, mereka jarang tidur siang serupa dengan durasi

tidur anak sebelum masuk rumah sakit dalam penelitian ini. Durasi itu

berubah setelah anak dirawat dirumah sakit. Perubahan pemenuhan durasi

tidur anak disebabkan oleh ketidaknyamanan yang dirasakan anak dengan

kondisi rumah sakit, tindakan keperawatan yang menyakitkan bagi anak

seperti infus yang menyebabkan trauma dan juga keterbatasan anak dalam

bermobilisasi karena dipakaikan spalk. Hasil ini sesuai dengan pernyataan

Warda (2008) bahwa tindakan pemasangan infus membuat anak merasa

kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan merupakan stresor bagi

gangguan pemenuhan istirahat tidur.

4.3.2 Kedalaman Tidur

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang dirawat di rumah

sakit rata-rata kedalaman tidurnya tidak terpenuhi semenjak masuk rumah

sakit. Anak balita yang menjadi objek dalam penelitian rata-rata mengalami

tidur yang tidak nyenyak. Dapat terlihat bahwa tindakan pemasangan infus

dan spalk yang dilakukan secara tidak langsung mengganggu pemenuhan

kebutuhan tidur anak. Pernyataan ini didukung oleh Carpenito (2001) yang

berpendapat bahwa gangguan tidur pada anak dapat terjadi karena faktor

tindakan yang berhubungan, yang menimbulkan kesulitan menjalani posisi

48

tidur yang biasa seperti pemasangan infus, bidai, traksi dan tindakan yang

menimbulkan nyeri. Hasil ini juga sesuai penelitian yang dilakukan Lee et al

(2008) yang melaporkan bahwa rasa tidak nyaman merupakan salah satu

faktor terjadinya gangguan tidur dimana seseorang akan merasa gelisah

dan sulit untuk mendapatkan tidur yang nyenyak.

4.3.3 Frekuensi terbangun

Dalam hasil penelitian, frekuensi terbangun anak setelah masuk

rumah sakit dan terpasang infus rata-rata sama, yaitu sekitar 2-4 kali dalam

semalam. Hal ini juga disebabkan karena rasa takut, trauma dan mobilisasi

anak yang terbatas dengan adanya infus dan spalk yang terpasang yang

menyebabkan rasa ketidaknyamanan pada anak. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Potter & Perrry (2005) rasa tidak nyaman merupakan penyebab

utama kesulitan untuk tidur atau sering terbangun pada malam hari. Jurnal

essay Solyom & Baghiu (2013) juga menyatakan bahwa gangguan tidur

dapat terjadi akibat kondisi medis diantaranya gangguan psikiatris seperti

rasa cemas dan perasaan tidak nyaman.

4.3.4 Masalah yang nampak saat tidur

Artikel jurnal Mindell (1993) melaporkan bahwa parasomnia yang

terjadi pada anak-anak meliputi somnambulisme (berjalan dalam tidur),

mimpi buruk, enuresis (mengompol), mengigau dan menggertakkan gigi

(bruksisme). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa masalah tidur yang nampak adalah parasomnia berupa mengigau,

49

mengompol dan menggertakkan gigi. Berbagai kondisi ini menimbulkan

kualitas tidur anak terganggu. Penelitian yang dilakukan Ertan et all (2008)

pada anak-anak berumur 6-15 tahun di Turkey melaporkan bahwa anak

dengan eneuresis memiliki latensi tidur yang lebih lama dan mengalami

tidur yang tidak tercukupi. Kondisi ini terjadi karena rasa ketakutan, cemas

bahkan trauma pada anak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Carpenito

(2001) yang mengatakan bahwa gangguan tidur pada anak seringkali

berhubungan dengan ketakutan dan eneuresis.

Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat diketahui bahwa

tindakan pemasangan infus menyebabkan ketidaknyamanan pada anak

yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan tidur anak tidak terpenuhi. Hal

ini sejalan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang juga melaporkan

hal yang serupa. Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa untuk

mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur anak tidak dapat dinilai

hanya dari satu aspek saja melainkan dari semua aspek diantaranya durasi

tidur, kedalaman tidur, frekuensi terbangun dan masalah yang nampak saat

tidur karena semuanya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Peran orang tua sangatlah penting dalam memberikan perhatian lebih pada

waktu tidur anak dan menciptakan suasana yang nyaman bagi anak untuk

meminimalis perasaan takut, cemas dan trauma serta perlunya

memperhatikan posisi yang ideal dan nyaman bagi anak yang terpasang

infus terutama pada saat anak sedang tidur supaya dapat dicegah

seminimal mungkin kusulitan posisi tidur anak akibat terapi tersebut.

50

Perawat juga diharapkan untuk dapat meningkatkan mutu asuhan

keperawatan khususnya pemenuhan kebutuhan tidur terkait dengan

pemasangan infus yang dilakukan pada anak sehingga program terapi

dapat tetap berjalan tanpa mengganggu kebutuhan dasar anak.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan-

keterbatasan. Waktu yang digunakan peneliti saat melakukan penelitian

relatif singkat sehingga jumlah partisipan yang diperoleh juga terbatas yaitu

6 partisipan. Hal ini menyebabkan hasil penelitian ini sulit untuk di

generalisasikan. Selain itu, manfaat penelitian ini hanya peneliti diskusikan

dengan orang tua dari pasien anak yang merupakan partisipan dari

penelitian ini dan tidak mencakup pada orang tua pasien anak lainnya yang

dirawat di RSP dr Ario Wirawan Salatiga. Kasus yang dipilih peneliti adalah

pemenuhan kebutuhan tidur anak dengan terpasang infus. Perlu di teliti

lebih dalam lagi faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemenuhan

kebutuhan tidur anak dan efeknya pada pertumbuhan dan perkembangan

anak.