Upload
dinhphuc
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Demografik Pengguna
Penelitian mengenai fenomena Tinder ini dilakukan dengan cara
menyebarkan data melalui kuisioner online. Responden dalam penelitian
ini harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh penliti
sebelumnya. Syarat menjadi responden antara lain, usia 20-25 tahun,
berdomisili dalam radius 160km dari Jakarta dan Yogyakarta, serta pernah
atau masih menggunakan aplikasi Tinder. Pengumpulan data dari kuisiner
ini dilakukan selama 2 bulan dari bulan Juli- September 2017. Sampai
batas akhir pengumpulan data, terkumpul 174 responden yang memenuhi
keriteria yang ada.
Diantara 174 responden dalam penelitian ini, 55,75% (n= 97)
adalah laki-laki dan 44,25% (n=77) adalah perempuan. Perihal usia, rata-
rata usia responden adalah 22 tahun, kelas usia ini juga menjadi kelas yang
mendominasi dalam hasil penelitian, sebesar 25,86% (n= 45). Sedangkan
kelas usia lainnya, diurutkan dari persentase tertinggi – terendah, 21 tahun
sebesar 20,69% (n=36), usia 20 tahun dan 23 tahun sebesar 18,39% (n=32),
24 tahun sebesar 8,62% (n=15), dan 25 tahun sebesar 8,05% (n=14). Data
hasil sebaran survei ini menunjukkan 51% (n=89) responden sudah tidak
aktif lagi memakai Tinder, sedangkan 49%(n=85) lainnya masih aktif.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 1 Grafik Perbandingan Jenis Kelamin Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
Grafik 2 Grafik Perbandingan Usia Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, salah satu syarat
responden adalah pengguna yang berdomisili di dalam wilayah radius
160km dari Jabodetabek dan Yogyakarta. Wilayah yang tercakup
diantaranya, Jabodetabek, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Unagaran,
Pria 56%
Wanita 44%
Gender
20 15%
21 16%
22 16% 23
17%
24 18%
25 18%
0%
Usia
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Purwokerto, dan lainnya. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan,
responden yang berdomisili di Jabodetabek mendominasi dengan
persentase sebesar 62%, sedangkan kota Yogyakarta beada di posisi kedua
dengan besar persentase responden sebesar 27%. Responden yang
berdomisili di kota Semarang sebanyak 1%, kota Bandung sebanyak 7%,
dan kota-kota lain di sekitarnya (Unagran, Purwokerto, dan lainnya)
sebanyak 3%.
Grafik 3 Grafik Sebaran Domisili Responden
(Sumber; data Frida Sibarani)
Seperti yang dijabarkan diatas, range usia dalam penelitian ini
berada di angka 20-25 tahun. Usia ini merupakan kelas usia yang menjadi
mayoritas pengguan Tinder berdasarkan hasil survei pengguna Tinder
nasional. Dilansir melalui hasil survey yang disebarkan Jakpat per 2015,
kelas usia ini mendominasi dengan angka 51,5% dari total 511 responden.
Dari kelas usia ini, peniliti berusaha untuk melihat bagaimana sebaran
pengguna berdasarkan latar belakang pekerjaannya.
27%
62%
7%
1%
3% Domisili
Yogyakarta
Jabodetabek
Bandung
Semarang
Lainnya
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 4 Grafik Sebaran Pekerjaan Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
Dalam kelas usia ini, latar belakang sebagai mahasiswa
mendominasi dengan persentase sebesar 65% (n=114). Sedangkan, latar
belakang pekerjaan sebagai karyawan, baik swasta maupun negri,
menempati posisi kedua dengan persentase sebesar 18% (n= 31). Latar
belakang pekerjaan sebagai freelancer mengambil persentase sebesar 11%
(n= 19). Persentase antara latar belakang pekerjaan wisaswasta,
pengangguran, dan pekerjaan lainnya berbagi besaran yang sama, yakni 2%
(n=3).
Demografik pengguna Tinder yang berhasil dikumpulkan ini
terbagi antara responden yang pernah menggunakan (sudah tidak aktif)
dan masih menggunakan aplikasi Tinder. Diantara 174 responden yang
ada, 51% (n= 89) diantaranya pernah menjadi pengguna Tinder dan 49%
(n= 85) yang masih menggunakannya. Diantara responden baik yang
pernah ataupun masih menggunakan aplikasi ini, 31% (n= 55) diantaranya
pertama kali menggunakan di tahun 2016. Sedangkan, yang menggunakan
pertama kali di tahun 2017 sebanyak 29% (n= 51), disusul kemudian yang
pertama kali menggunakan di tahun 2015 dengan persentase sebesar 22%
65% 11%
18%
2% 2% 2%
Pekerjaan
Mahasiswa Freelancer Karyawan
Wiraswasta Pengangguran Lainnya
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
(n= 38). Sedangkan responden yang pertama kali menggunakan di tahun
2013 sebesar 9% (n= 15), dan tahun 2014 sebesar 7% (n= 12). Untuk
pengguna yang pertama kali menggunakan di tahun yang sama dengan
tahun peluncuran aplikasi ini (tahun 2012) diantara responden yang ada
sebanyak 2% (n= 3).
Grafik 5 Grafik Perbandingan Pengguna Aktif dan Tidak Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
Grafik 6 Grafik Sebaran Tahun Awal Penggunaan Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
Penelitian ini juga berusaha melihat sumber informasi tentang
aplikasi Tinder, dalam kuisioner peneliti memberikan pilihan teman,
Ya 49%
Tidak 51%
Aktif/ Tidak
2012 2%
2013 9%
2014 7%
2015 29% 2016
31%
2017 22%
Tahun
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
rekomendasi toko aplikasi, iklan, dan sosial media. Hasil dari pertanyaan
ini, 79% (n= 137) responden mengaku mengetahui perihal aplikasi Tinder
dari teman. Sedangkan, 21% lainnya mengaku mengetahui dari sumber
lainnya seperti iklan, sosial media dan rekomendasi toko aplikasi.
Persentase untuk tiga pilihan lainnya sebesar 13% (n= 22) untuk sosial
media, 5% (n= 9) untuk rekomendasi toko aplikasi dan 3% (n= 6) untuk
iklan.
Grafik 7 Grafik Sumber Informasi Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
2. Kecenderungan Perilaku
a. Frekuensi Penggunaan
Dalam kuisioner yang disebarkan, terdapat pula pertanyaan
seputar kecendrungan perilaku pengguna. Pertanyaan dalam kuisioner
ini diantaranya, frekuensi penggunaan, motivasi, menghapus-unduh
aplikasi dan akun, hubungan terjauh yang pernah dijalin, serta
kecenderungan untuk merekomendasikan aplikasi. Data ini akan
menjadi acuan dalam melihat bagaimana kemudian desain aplikasi
memengaruhi perilaku pengguna.
Iklan 3%
Sosial Media 13%
Rekomendasi App 5%
Teman 79%
Sumber Informasi
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Guna melihat frekuensi pemakaian aplikasi, peneliti membagi
dalam 5 skala, beberapa kali sehari, sekali sehari, beberapa kali
seminggu, sekali seminggu.
Grafik 8 Grafik Frekuensi Pemakaian Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan 53%
(n=92) pengguna yang menjadi responden memiliki kecenderungan
penggunaan tinder dengan frekuensi yang tidak teratur. Sedangkan
19% (n= 33) dari responden menggunakan tinder dengan frekuensi
beberapa kali dalam seminggu. Responden yang menggunakan Tinder
dengan frekuensi beberapakali dalam sehari berjumlah 16% (n=27),
tidak berbeda jauh, 11% (n= 19) dari responden mengaku
menggunakan Tinder dengan frekuensi sekali sehari. Persentase
pengguna dengan frekuensi pemakaian seminggu sekali mengambil
bagian terkecil, yakni 2% (n= 3).
Beberapakali Sehari 15%
Sekali sehari 11%
Beberapakali Seminggu
19%
Seminggu Sekali 2%
Tidak Menentu 53%
Frekuensi Pemakaian
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
b. Pemakaian Terakhir
Pengguna yang menjadi responden dalam penelitian ini tidak
seluruhnya merupakan pengguna aktif. Oleh karena itu, penelitian ini
berusaha melihat pemakaian terakhir dari pengguna yang menjadi
responden selama maa pengumpulan data; Juli 2017 – September
2017. Skala dalam penelitian ini adalah kurang dari 6 jam lalu, 6-12
jam lalu, 12 -24 jam lalu, sekitar minggu ini, sekitar bulan ini, dan
lebih dari satu bulan lalu.
Grafik 9 Grafik Penggunaan Terakhir Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
Hasil penelitian menunjukkan 30% dari responden
menggunakan Tinder lebih dari sebulan lalu terhitung dari saat
responden menjawab kuisioner. Sedangkan 24% responden
menggunakan Tinder terakhir kali sekitar di bulan yang sama saat
menjawab kuisioner. Tidak berbeda jauh, 19% pengguna menyatakan
bahwa mereka terakhir kali menggunakan Tinder kurang dari 6 jam
lalu. Responden yang menggunakan Tinder sekitar minggu yang sama
saat menjawab kuisioner sebesar 11%. Responden yang menggunakan
>6 jam lalu 19% 6-12 jam lalu
7%
12-24 jam lalu 8%
Sekitar minggu ini
12%
Sekitar bulan ini
24%
Lebih dari sebulan lalu
30%
Penggunaan Terakhir
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Tinder dalam 6-12 jam terakhir dan 12-24 jam terakhir masing-masing
sebesar 7% dan 8%.
c. Hubungan Terjauh
Tinder sebagai online dating application hadir untuk
memfasilitasi penggunanya dalam menjalin hubungan. Oleh karena
tujuan terbentuknya Tinder itulah kemudian peneliti berusaha melihat
sejauh apa hubungan melalui aplikasi ini dapat dibangun.
Hasil dari penelitian yang dilakukan menujukkan persentase
tertinggi dari hubungan yang terjalin adalah hubungan pertemanan,
sebesar 33% (n= 57). Sedangkan untuk hubungan dalan tingkatan
kencan sebesar 26% (n= 46). Sedangkan hubungan sebagai sebatas
kenalan menempati posisi ketiga, tak berbeda jauh dengan hubungan
kencan, persentase hubungan ini sebesar 24% (n= 42). Sebanyak 6%
(n=10) responden mengakui bahwa hubungan terjauh yang pernah
terjalin adalah sebagai rekan bisnis. Sedangkan 3% (n= 5) responden
menyatakan huubngan terjauh yang pernah terjalin adalah sebagai
pasangan one night stand. Hubungan terjauh sebagai pacar dan
hubungan lainnya menempati posisi yang sama dengan besar
persentase 4% (n=7). Hubungan lainnya dalam hasil penelitian ini
adalah sebatas match (stranger), musuh, ataupun calon tunangan.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 10 Grafik Hubungan Terjauh yang Pernah Dijalin Responden dalam Aplikasi Tinder.
(Sumber: data Frida Sibarani)
d. Install-Reinstall
Tindakan hapus-dan-unduh-ulang merupakan tindakan yang
cukup sering muncul dari awal peneliti melakukan observasi secara
langsung. Untuk itulah peneliti menanyakan perilaku responden, untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai pola perilaku ini.
Pertanyaa ini juga dapat melihat bagaimana kebebasan yang diberikan
oleh Tinder kepada pengggunanya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan 54% (n= 94) responden
mengaku pernah mengahapus dan mengunduh ulang aplikasi Tinder.
Sedangkan 46% (n= 80) mengaku tidak pernah melakukan tindakan
hapus-unduh-ulang aplikasi. Tindakan ini didasari oleh berbagai
macam alasan diantaranya bosan, ketahuan pasangan, kapasitas
memori telepon genggam habis, ataupun alasan lainnya. Alasan yang
lebih lengkap mengenai tindakan ini akan dilampirkan.
Kenalan 24%
Teman 33%
Kencan 26%
One Night Stand
3%
Rekan Bisnis 6%
Pacaran 4%
Lainnya 4%
Hubungan Terjauh
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 11 Grafik Perilaku Hapus-Unduh Ulang Aplikasi Responden.
(Sumber: data Frida Sibarani)
e. Hapus Akun
Selain hapus-unduh-ulang aplikasi, hapus akun merupakan
tindakan yang juga cukup banyak ditemui selama masa observasi.
Itulah alasan mengapa pertanyaan ini diajukan pada kuisioner
penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan 60% (n= 104) pernah
melakukan tindakan hapus akun. Sedangkan 40% (n= 70) responden
mengaku tidak pernah melakukan tindakan hapus akun. Responden
yang pernah ataupun tidak pernah menghapus akun memiliki beragam
alasan. Bagi responden yang pernah menghapus akun, alasannya
diantara lain bosan, memiliki pasangan, ataupun merasa sudah tidak
membutuhkan aplikasi Tinder lagi. Sedangkan yang tidak pernah
menghapus akun menyatakan alasannya karena takut kehilangan
‘match’ yang sudah didapatkan ataupun history chat yang ada, malas
untuk membuat ulang, ataupun masih merasa membutuhkan aplikasi
Tinder. Alasan mengenai tindakan ini secara lengkap akan
dilampirkan.
Ya 54%
Tidak 46%
Hapus - Unduh App
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 12 Grafik Perilaku Menghapus Akun Responden
(Sumber: data Frida Sibarani)
f. Merekomendasikan Aplikasi
Sejalan dengan hasil penelitian sumber informasi mengenai
Tinder (dalam penelitian ini 79% berasal dari teman) juga observasi
yang dilakukan peneliti selama ini juga melihat perilaku pengguna
untuk merekomendasikan aplikasi ini. Hasil penelitian ini
menunjukkan 61% (n= 109) pernah merekomendasikan aplikasi ini
kepada orang lain. Sedangkan 39% (n= 68) responden mengaku tidak
pernah merekomenadasikan Tinder.
Ya 60%
Tidak 40%
Hapus Akun
Tidak 39%
Ya 61%
Rekomendasi
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 13 Grafik Perilaku Merekomendasikan Aplikasi Tinder oleh Responden (Sumber: data Frida Sibarani)
g. Penilaian Terhadap Aplikasi
Melalui penelitian ini, peneliti juga berusaha melihat penilaian
yang diberikan oleh pengguna. Ada empat poin yang menjadi penilaian
dalam kuisioner ini: (1) Tingkat kenyamanan pengguna; (2) Penilaian
terhadap tampilan aplikasi; (3) Kepercayaan pengguna terhadap aplikasi;
dan (4) Kepercayaan pengguna terhadap pengguna lain. Penilaian ini
menggunakan ukuran dari 1-5 (sangat ‘tidak’ sampai dengan sangat ‘ya’).
Nilai rata-rata penilaian yang diberikan oleh responden adalah:
Poin Penilaian Nilai Rata-rata
Tingkat kenyamanan 3.45
Tampilan Aplikasi 3.65
Kepercayaan kepada Aplikasi 3.07
Kepercayaan terhadap pengguna lain 2.61
Tabel 1 Tabel Nilai Rata-Rata Aplikasi Tinder oleh Responden (Sumber: data Frida Sibarani)
B. Pengaruh Desain Aplikasi Tinder
1. Pengaruh Desain Tampilan Muka terhadap Fenomena Tinder
Keberhasilan Tinder mencapai puncak aplikasi populer tidak
terlepas dari faktor desain tampilan mukanya. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bagaimana rancangan tampilan muka aplikasi menjadi salah
satu alasan dalam menggunakan Tinder. Responden dalam penelitian ini
mengaku merasa nyaman dengan tampilan muka aplikasi yang sederhana
sehingga membantu pengguna untuk lebih mudah dalam memahami cara
pengoperasian aplikasi. Tampilan muka yang sederhana bukan berarti
mengesampingkan informasi yang dapat diperoleh oleh pengguna,
sebaliknya informasi tersebut berhasil dipadatkan sehingga penggunapun
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
dapat lebih mudah untuk membaca informasi yang tesedia. Kesederhanaan
yang sukses ditampilkan dalam aplikasi ini akan dianalisis dengan
menggunakan The Law of Simplicity oleh Jhon Maeda. Secara umum,
aplikasi Tinder terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) Halaman
Utama/Main Page, (2) Halaman Pengaturan/Setting Page, dan (3) Halaman
Percakapan/Chat Page.
a. Main Page (Halaman Utama)
Gambar 1 Tampilan Halaman Utama (Main Page) Aplikasi Tinder.
(Sumber: dokumentasi Frida Sibarani)
Pada halaman utama, pengguna akan disuguhkan profil
pengguna lain yang berpotensi menjadi ‘match’ pengguna. Profil
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
ditampilkan dalam bentuk kartu berisikan foto profil pengguna, nama,
usia serta tempat bekerja atau sekolah. Bila pengguna menggunakan
akun facebook untuk membuat akun tinder, jumlah mutual friends juga
akan ditampilan dalam ‘kartu’ profil. Beberapa pengguna juga
menghubungkan akun tindernya dengan akun Instagram dan Spotify,
bila demikian jumlah foto dalam akun Instagram juga akan dimunculkan
dalam ‘kartu’ profil tersebut.
Pada halaman utama ini, pengguna akan disuguhkan lima
pilihan yang diwakilkan oleh ikon berbentuk tombol yang terletak di
bawah ‘kartu’ profil. Lima pilihan tersebut adalah; (a) undo, (b) nope,
(c) super like, (d) like, dan (e) boost. Sedangkan pada bagian atas kartu
terdapat ikon yang mewakili dua bagian utama lain dalam tinder; setting
(ikon manusia) dan chat (ikon balon percakapan).
Gambar 2 Sketsa Tampilan Halaman Utama (Main Page) Aplikasi Tinder (kiri) dan Tampilan
Profil Pengguna (kanan). (Sumber: Frida Sibarani)
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Untuk menentukan pilihan pengguna dapat menggunakan
ikon-ikon yang telah disediakan ataupun dengan gestur tertentu. Bila
pengguna menyukai profil yang ditampilkan, pengguna bisa menekan
ikon hati atau menggeser ke kanan. Bila pengguna tidak menyukai profil
yang ditampilkan, pengguna bisa menekan tombol silang (x) atau
dengan menggeser ‘kartu profil’ ke kiri. Sedangkan tanda bintang atau
super like digunakan untuk memilih profil yang sangat disukai, untuk
menggunakannya bisa dengan menekan ikon bintang tersebut atau
menggeser ‘kartu profil’ ke atas. Pilihan undo dan boost tidak memiliki
gestur spesifik (hanya bisa dipilih dengan menekan ikon), kedua pilihan
ini pun hanya bisa digunakan oleh pengguna yang mengaktifkan akun
premium yang disediakan tinder (Tinder Gold dan Tinder Plus).
Tampilan muka aplikasi Tinder ini sangat sederhana, namun
padat informasi. Hal ini sejalan dengan prinsip desain user interface,
Jhonson (2008:41) menyatakan “deliver information not just data”.
Prinsip inilah yang dilakukan Tinder, bagaimana aplikasi ini dirancang
untuk menyuguhkan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna. Pada
halaman utama informasi yang ditampilkan berupa foto profil, nama,
usia, pekerjaan/ sekolah, serta jumlah mutual friends atau jumah foto
dalam profil Instagram. Pada kartu profil di halaman utama, data berupa
biodata ataupun jarak dan akun lain (Instagram dan Spotify) tidak turut
ditampilkan. Dengan ditampilkannya informasi dasar ini, pengguna akan
fokus pada tujuannya menggunakan Tinder tanpa distraksi dari
informasi-informasi lain. Hal ini membantu pengguna untuk mengambil
keputusan lebih cepat dan berdampak positif terhadap kenyamanan
pengguna.
Tampilan muka yang sederhana menyimpan kompleksitasnya
sendiri. Kesederhanaan yang berhasil ditunjukkan oleh Tinder dapat
dianalisis menggunakan The Laws of Simplicity oleh Jhon Maeda.
Langkah awal untuk memperoleh kesederhanaan adalah dengan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
mereduksi dengan pertimbangan yang matang. Metode untuk mereduksi
yang diperkenalkan oleh Maeda adalah metode SHE (Shrink, Hide,
Embody).
Pada halaman utama, dapat dilihat bagaimana metode ini juga
diterapkan dalam rancangan tampilan muka aplikasi Tinder. Penerapan
ukuran yang berbeda pada ‘tombol-tombol’ pilihan merupakan wujud
penerapan metode Shrink (mengecilkan). Tombol-tombol pilihan ini
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, pilihan utama (nope dan like)
dan pilihan premium (undo, super like, dan boost). Ukuran tombol
pilhan utama berukuran lebih besar dari tombol pilihan premium. Hal ini
mengindikasikan tombol like dan nope merupakan tombol yang dapat
digunakan secara bebas dibandingkan dengan tombol undo, super like,
dan boost yang bersifat terbatas (memiliki syarat). Selain pada bagaian
tombol, shrink juga diterapkan dalam komposisi kartu profil. Foto profil
ditampilkan seukuran dengan kartu profil yang mengindikasikan bahwa
foto profil merupakan bagian terpenting. Ukuran foto profil yang besar
membantu pengguna untuk menentukan pilihannya apakah tertarik atau
tidak terhadap profil yang ditawarkan. Bila pengguna tertarik pada
penampilan profil pengguna yang ditawarkan, pengguna memiliki
pilihan untuk langsung memilih atau melihat profil lebih lengkap.
Halaman utama pada aplikasi Tinder tidak memuat semua
infomasi dari profil pengguna. Hal ini merupakan penerapan metode
hide (menyembunyikan). Informasi yang ditampilkan merupakan
informasi yang diprioritaskan dalam profil seperti foto profil, nama, usia
dan pekerjaan. Untuk melihat informasi yang lebih lengkap, Tinder
menggunakan metode click-to-reveal, yang mana akan membawa
pengguna kepada profil lengkap yang berisikan jarak antar pengguna,
biodata, common interest dan cuplikan akun media sosial lain yang
terhubung dengan akun Tinder pengguna tersebut.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Informasi yang tersedia pada halaman utama ini disusun
sedemikian rupa sehingga tampak lebih sederhana. Penyusunan ini
berdasarkan prioritas informasi mana yang ingin mendapatkan perhatian
lebih dari pengguna. Dalam kasus Tinder, informasi yang diutamakan
adalah foto profil, nama, dan usia. Ketiga informasi ini merupakan
informasi utama. Penyusunan tampilan muka aplikasi Tinder yang
sederhana membangun persepsi aplikasi ini mudah untuk digunakan.
Aplikasi yang mudah untuk digunakan akan membuat pengguna
membutuhkan waktu yang lebih singkat utuk memahaminya. Semakin
singkat waktu yang dibutuhkan, makan akan semakin besar kepuasan
pengguna.
Secara komposisi, halaman utama dalam aplikasi ini
didominasi oleh ‘kartu profil’. Kartu profil sendiri fokus menampilkan
foto profil pengguna yang direkomendasikan. Foto profil ini merupakan
daya tarik utama bagi pengguna. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
profil pengguna yang ditampilkan merupakan salah satu faktor yang
mendorong pengguna untuk menggunakan Tinder. Pengguna merasa
profil yang ditampilkan sesuai dengan preferensi pengguna. Tampilan
yang foto profil yang mendominasi ini sengaja dirancang demikian
karena foto profil merupakan prioritas bagi pengguna untuk mengambil
keputusan. Hal ini juga merupakan usaha Tinder untuk membedakan
informasi-informasi yang ingin ditonjolkan (menjadi pusat perhatian).
Foto profil dapat dilihat sebagai teks yang dapat dibaca oleh
pengguna. Pemilihan foto memengaruhi bagaimana penguna
menampilkan identitasnya. Secara umum, ada tiga jenis foto profil
pengguna, yaitu formal (menggunakan pas foto dengan kemeja atau
seragam pekerjaan), non-formal (foto bebas yang menunjukkan
ketertarikan pemilik profil), dan gabungan keduanya (menggunakan
seragam atau identitas pekerjaan saat melakukan aktifitas). Penggunaan
foto profil bagi pengguna sebagai usaha untuk meningkatkan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
kemungkinan match atau dengan kata lain untuk menarik perhatian.
Foto profil yang ditampilkan ini juga untuk mengindikasikan tujuan
pengguna dalam menggunakan aplikasi Tinder.
Perilaku pengguna yang memerhatikan cara untuk
menyampaikan profilnya dapat dillihat sebagai usaha untuk
meningkatkan posisi tawar pengguna. Dalam Behaviour Dynamics in
Media Sharing Social Network (Zhao, 2011:50), interaksi seperti ini
dikategorikan sebagai Bargaining Game (Permainan Penawaran),
dimana satu pihak memiliki kesempatan untuk bernegosiasi dengan
pihak lain dalam usaha mencapai kesepakatan dalam kesamaan
ketertarikan. Hal ini senada dengan pernyataan Heino (2010) tentang
situs online dating,
“…is a place where people go to ‘shop’ for romantic partners and to ‘sell’ themselves in hopes of creating a romantic relationship.”
Diterjemahkan oleh penulis menjadi “…adalah tempat seseorang untuk
‘berbelanja’ pasangan romantik dan untuk ‘menjual’ diri mereka dengan
harapan dapat membangun/menjalin hubungan romantik.”
b. Setting Page (Halaman Pengaturan)
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Gambar 3 Tampilan Awal Halaman Pengaturan (Setting Page) Aplikasi Tinder. (Sumber:
dokumentasi Frida Sibarani)
Pada halaman pengaturan (setting page) pengguna akan
disuguhkan dengan dua pilihan, pengaturan prefrensi (settings) dan
pengaturan profil (edit info) serta tambahan berupa tawaran Tinder Plus.
Pengaturan prefrensi secara singkat merupakan pengaturan yang akan
memengaruhi profil-profil yang akan disarankan kepada pengguna
(pemilik akun). Sedangkan pengaturan profil merupakan pengaturan
mengenai informasi yang akan ditampilkan oleh pengguna (pemilik
akun) kepada pengguna lain.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Gambar 4 Tampilan Bagian Edit Info pada Halaman Pengaturan Aplikasi Tinder.
(Sumber: dokumentasi Frida Sibarani)
Bagian pengaturan profil (edit info) dapat dibagi menjadi
empat bagian, pengaturan foto profil, pengaturan informasi (teks),
pengaturan penghubung akun sosial media (Instagram dan Spotify), dan
kontrol profil (gender dan fitur tambahan untuk Tinder Plus). Pada
bagian foto profil, pengguna diberikan kesempatan untuk memuat
hingga enam foto yang ingin ditampilkan dalam profil. Selain itu, ada
juga fitur tambahan dalam pengaturan foto bernama ‘Smart Photos’
yang berfungsi untuk mengurutkan foto yang kemungkinan paling
diminati. Sedangkan di bagian pengaturan informasi, pengguna dapat
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
mencantumkan biodata singkat yang akan ditampilkan pada profil
sampai dengan 500 karakter. Selain itu, pengguna juga bisa
menambahkan nama pekerjaan atau tempat pekerjaan dan sekolah. Pada
bagian pengaturan penghubung akun sosial media, pengguna dapat
memilih untuk menghubungkan akun tinder dengan akun sosial media
lain berupa Instagram dan Spotify (My Anthem dan My Top Spotify
Artist). Sedangkan pada bagian kontrol profil, pengguna dapat mengatur
gender (untuk semua pengguna) dan tambahan untuk menyembunyikan
usia dan jarak pengguna bila mengaktifkan akun Tinder Plus.
Bila memerhatikan tampilan awal pengaturan profil (edit
profile), bagian untuk mengatur foto profil mendominasi sebagian besar
layar. Komposisi ini sejalan dengan sistem yang digunakan pada
halaman utama (main page) dimana foto profil merupakan aspek yang
ingin ditonjolkan. Oleh karena itu, di bagian edit profile ini juga dibuat
mendominasi wilayah layar agar mendapatkan perhatian lebih oleh
penggunanya. Dalam mengatur foto profil ini, pengguna diberian
kesempatan untuk menampilkan 6 foto profilnya. Bagian yang memuat
foto pertama pada pengaturan ini dibuat berukuran lebih besar
dibandingkan foto lainnya karena foto yang terpasang pada bagian
tersebut akan menjadi foto pertama (utama) yang ditampilkan pada kartu
profil. Ukuran yang lebih besar akan mendorong pengguna untuk lebih
memerhatikan foto atau tampilan profil sepeti apa yang dikehendaki.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Gambar 5 Tampilan Bagian Settings pada Halaman Pengaturan (Setting Page) Aplikasi Tinder.
(Sumber: dokumentasi Frida Sibarani)
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Bagian pengaturan prefrensi (settings) dapat dibagi menjadi
tujuh bagian, pilihan penawaran premium, pengaturan pencarian
(discovery settings), profil situs (web profile), notifikasi, kontak,
komunitas, dan legal.
Pada bagian penawaran premium ada empat penawaran yang
diberikan oleh Tinder yaitu, Tinder Gold, Tinder Plus, Get Boost, dan
Get Super Likes. Masing-masing penawaran premium memiliki
kelebihannya masing-masing. Tinder Gold merupakan penawaran yang
paling lengkap dimana pengguna dapat melihat siapa saja yang
menyukai profil pengguna pemilik akun, berpindah lokasi, mengatur
usia dan jarak yang tampak pada profil, membatasi agar pengguna
pemilik akun hanya dapat dilihat oleh pengguna yang disukai, pilihan
untuk ‘undo’ yang tak terbatas, satu kali penggunaan boost dalam satu
bulan, kesempatan untuk menyukai profil tanpa batas, lima super likes
dalam satu hari, dan bebas iklan. Sedangkan pada Tinder Plus, pengguna
mendapatkan penawaran yang hampir serupa dengan Tinder Gold
kecuali keuntungan untuk dapat melihat siapa saja yang menyukai
pengguna (pemilik akun). Boost berfungsi untuk menjadikan profil
pengguna (pemilik akun) menjadi prioritas rekomendasi selama 30
menit. Sedangkan Super Like adalah tawaran untuk menambah jumlah
penggunaan pilihan Super Like dengan jumlah 5, 25 atau 60 yang
dibandingkan dengan akun gratis yang hanya mendapatkan 1 kali
penggunaan Super Like dalam satu hari.
Pada bagian pengaturan pencarian (discovery settings),
pengguna diberikan kesempatan untuk mengatur pencarian profil yang
diinginkan. Bagian ini berisikan informasi lokasi pengguna saat ini,
jarak maksimal pencarian (hingga radius 160km), gender yang ingin
dicari, batasan usia profil yang dicari, dan pilihan untuk
menyembunyikan profil pengguna (pemilik akun). Bagian ini akan
memengaruhi profil-profil yang akan direkomendasikan kepada
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
pengguna, dengan kata lain menjadi filter untuk profil yang disarankan
kepada pengguna.
Web Profile merupakan bagian yang memungkinkan
pengguna untuk membuat sendiri usernamenya (nama yang akan
ditampilkan). Bagi pengguna yang tidak menggunakan fitur pengaturan
ini, nama yang muncul akan secara otomatis menggunakan nama depan
dalam akun Facebook.
Bagian notifikasi mengatur notifikasi apa saja yang akan
muncul pada gawai pengguna ketika pengguna sedang tidak
mengaktifkan aplikasi Tinder. Notifikasi yang bisa diatur diantaranya,
ketika mendapatkan match baru, mendapatkan pesan baru, mendapatkan
‘like’ pada pesan yang dikirimkan, mendapat super like, tanda getar atau
suara saat masuk aplikasi. Pada bagian ini juga terdapat pilihan untuk
mengembalikan pembelian (restore purchase) bagi pengguna yang
membayar fitur-fitur tambahan yang ditawarkan oleh Tinder. Selain itu,
ada pula pilihan untuk memberikan masukan (feedback) kepada Tinder
dan membagikan rekomendasi untuk menggunakan Tinder.
Bagian Contact Us berfungsi sebagai pusat pengaduan (help
& support). Help & Support akan membawa pengguna menuju laman
resmi pengaduan aplikasi Tinder. Laman ini berisikan panduan
penggunaan Tinder, aduan masalah, serta bagian keamanan dan legal.
Community merupakan bagian untuk membantu pengguna
dalam menggunakan aplikasi Tinder. Pada bagian ini terdapat
Community Guidelines (Panduan Komunitas) dan Safety Tips (Saran
Keamanan). Bagian Community Guidelines ini akan merujuk pengguna
pada laman resmi Tinder yang berisikan panduan mengenai hal-hal yang
tidak diizinkan oleh Tinder yang dapat berujung pada pemblokiran akun
pengguna. Sedangkan bagian Safety Tips berisikan panduan pemakaian
Tinder baik secara online maupun offline guna menjaga keamanan
pengguna. Pada laman bagian Safety Tips juga disertakan beberapa
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
hotline yang dapat dihubungi bila terjadi tindak kekerasan ataupun
pelecehan.
Pada bagian Legal terbagi menjadi Privacy Policy, Terms of
Service, dan Licenses. Ketiga bagian ini akan merujuk pengguna kepada
laman resmi Tinder. Bagian Legal menjelaskan bagaimana kebijakan
perusahaan terhadap privasi pengguna, ketentuan jasa, dan lisensi yang
terafiliasi dengan Tinder
Pada bagian akhir halaman Settings terdapat pilihan logout
(keluar) dan hapus akun (delete account). Pilihan logout ini dapat
digunakan oleh pengguna bila pengguna ingin keluar (berhenti
sementara) dari akun Tinder tanpa menghapus akun Tinder. Sedangkan
delete account merupakan pilihan untuk menghapus akun Tinder
pengguna.
Halaman Setting (Setting Page) memuat berbagai macam fitur
pengaturan yang ditawarkan, namun pengguna dapat dengan mudah
mengoperasikannya. Kompleksitas dalam halaman ini mampu
ditampilkan dalam bentuk yang sederhana. Fitur yang beraneka ragam
disembunyikan (hide) ke dalam dua bagian besar dengan tujuan yang
berbeda. Pembagian ini merupakan praktik dari hukum Organize
(penyusunan). Organize merupakan hukum kedua dari The Laws of
Simplicity yang bertujuan untuk membuat sitem agar pilihan yang
banyak tampil lebih sedikit. Metode dalam menggunakan hukum ini
oleh Maeda dibagi menjadi empat tahapan; (1) Sort / Menyortir, (2)
Label, (3) Integrate / Mengintegrasikan, dan (4) Prioritize / Prioritasi.
Penyederhanaan yang dilakukan dalam halaman pengaturan ini
berdampak pada semakin singkatnya waktu yang dibutuhkan pengguna,
karena pengguna dapat terfokus pada tujuan yang ingin dicapai. Selain
itu, waktu yang diperlukan pengguna untuk memahami sistem yang ada
pun dapat diminimalisir.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Penggunaan bahasa dalam pengkategorian di halaman
pengaturan ini juga menggunakan bahasa yang umum digunakan. Hal
ini merupakan salah satu prinsip dalam merancang user interface.
Jhonson, 2008: 26) menjelaskan dalam prinsip “Conform the Users’
View of Task”, pemilihan bahasa yang familiar dengan pengguna akan
memudahkan pengguna untuk memahami fungsi dari aplikasi. Hal ini
secara tidak langsung akan memfasilitasi pengguna untuk mempelajari
aplikasi dan merasa nyaman dalam menggunakan aplikasi.
c. Chat Page (Halaman Percakapan)
Gambar 6 Sketsa Tampilan Halaman Percakapan (Chatting Page) Aplikasi Tinder.
(Sumber: data Frida Sibarani)
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Halaman percakapan (chatting page) merupakan bagian dari
Tinder yang berfungsi sebagai ‘ruang obrolan’. Pengguna yang dapat
bertukar pesan adalah pengguna yang telah ‘match’, saling menyukai
profil satu sama lain. Tampilan pada halaman ini seperti tampilan
aplikasi atau situs pengirim pesan instan (instant messaging).
Daftar pengguna yang telah ‘match’ akan ditampilkan pada
bagian “New Matches”. Daftar ini menampilkan nama dan foto profil
pengguna yang disusun secara horizontal (mendatar). Pada bagian atas
terdapat kolom pencarian yang dapat digunakan untuk mencari nama
pengguna dari daftar ‘match’. Kolom pencarian juga menampilkan
jumlah pengguna yang telah ‘match’ dengan pemilik akun. Sedangkan
pada bagian “Messages” merupakan bagian yang memuat percakapan
yang telah terjadi. Pada bagian ini, profil pengguna yang ditampilkan
hanya berupa foto profil dan nama pengguna. Selain itu, ditampilkan
pula cuplikan pesan yang diterima ataupun dikirim oleh pengguna.
Fungsi halaman percakapan yang spesifik, hanya untuk
bertukar pesan, tampak pada desain interfacenya. Tampilan muka pada
bagian ini minim akan distraksi, hal ini membantu pengguna agar
terfokus pada tujuannya dalam menggunakan fungsi Tinder sebagai
salah satu sarana bertukar pesan singkat (instant messaging). Dalam
halaman percakapan ini, tidak banyak informasi yang ditampilkan.
Daftar ‘match’ pengguna yang ditampilkan hanya foto profil dan nama
yang disusun secara horizontal. Sedangkan, pada bagian “Messages”,
pesan disusun secara vertikal dan hanya memuat potongan pesan saja.
Hal ini merupakan penerapan salah satu prinsip perancangan user
interface, tidak mendistraksi pengguna dari tujuan utamanya serta fokus
kepada fungsi bukan hanya tampilannya saja.
Rancangan halaman ini juga tidak terlepas dari hukum
kesederhanaan atau The Laws of Simplicity. Pada bagian “New
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Matches”, penyusunan dibuat secara mendatar untuk memaksimalkan
tampilan karena salah satu tantangan dalam perancangan aplikasi mobile
adalah keterbatasan layar gawai. Selain itu, fungsi utama halaman ini
sebagai ‘ruang obrolan’, sehingga layar yang terbatas dimaksimalkan
untuk mendukung fungsi ini. Bila daftar ‘match’ dibuat secara vertikal,
maka akan memakan cukup banyak wilayah pada layar dan mebuat
tampilan menjadi terlalu padat. Hal ini akan berdampak negatif untuk
kenyamanan pengguna, selain itu akan bertentangan dengan salah satu
prinsip perancangan user interface yang menekankan untuk
menampilkan informasi yang dibutuhkan bukan data.
Gambar 7 Sketsa Perbandingan Tata Letak Halaman Percakapan (Chatting Page) Aplikasi
Tinder. (Sumber: data Frida Sibarani)
Ilustrasi di atas menunjukkan bila daftar dibuat secara
vertikal, maka akan membuat ruang yang ada kurang efisien. Selain itu,
bila daftar bertambah, maka akan memakan lebih banyak bagian layar.
Sedangkan, daftar ‘match’ tidak mungkin dikurangi, maka daftar
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
‘disembunyikan’ dan disusun ulang. Penyusunan daftar sedemikian rupa
kemudian membuat bagian untuk pesan menjadi lebih luang dan dapat
dimanafaatkan untuk menampilkan cuplikan pesan yang lebih penting
untuk memaksimalkan fungsi halaman ini.
Wendel dan Frandsen, dalam penelitiannya yang berjudul
“Analysis of the Online Industry and How Startups Can Compete”
(2015: 39), mengkategorikan Tinder sebagai aplikasi Mainstream-
Unique. Mainstream menunjukkan fokus pasar sedangkan Unique
merujuk pada perbedaan konsep yang diusung. Fokus pasar Tinder
dikategorikan dalam kategori mainstream karena aplikasi ini memiliki
fokus pasar yang luas. Sedangkan pada perbedaan konsep, Tinder
dikategorikan dalam kategori Unique karena Tinder menawarkan
konsep yang berbeda dengan konsep yang umum diusung dalam industri
online dating. Wendel dan Frandsen (2015: 39) menyatakan, “They
were the first sucessful mobile-only dating app and found a new way to
reach a previously untapped segment of the market.” Pernyataan ini
merupakan indikasi keberhasilan Tinder dalam industri online dating.
Kenyamanan pengguna merupakan salah satu kunci
keberhasilan sebuah aplikasi. Aplikasi yang nyaman bagi penggunanya
akan berdampak positif bagi tingkat kepuasan pengguna. Hal inilah
yang diterapkan oleh Tinder pada tampilan muka aplikasinya.
Keberhasilan Tinder dalam merancang tampilan muka aplikasinya
terlihat pada statistik pengunduhan Tinder yang terus meningkat dan
penilaian pengguna terhadap aplikasi. Statistik peningkatan unduhan
dan penialian aplikasi Tinder dapat dilihat melalui grafik berikut:
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 14 Grafik Peringkat Aplikasi Tinder (2013-2017) di Indonesia pada Sistem Operasi iOS. (Sumber: AnnieApp.com)
Grafik 15 Grafik Peringkat Aplikasi Tinder (2013-2017) di Indonesia pada Sistem Operasi
Android. (Sumber: AnnieApp.com)
Grafik 16 Grafik Penilaian Pengguna Terhadap Aplikasi Tinder pada sistem operasi Android.
(Sumber: AnnieApp.com)
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 17 Grafik Penilaian Pengguna Terhadap Aplikasi Tinder pada sistem operasi Android.
(Sumber: AnnieApp.com)
Hasil Statistik yang dilansir melalui situs appleannie.com
diatas menunjukkan peningkatan jumlah unduhan aplikasi Tinder di
Indonesia, baik yang menggunakan Android ataupun iOS. Pada akhir
penelitian ini dilakukan (akhir tahun 2017), Tinder menempati posisi ke-
3 (iOS) dan posisi ke-9 (Android). Selain itu, hasil penilaian dari
pengguna pun menunjukkan nilai yang cukup tinggi, yakni 4.2/5 untuk
pengguna iOS dan 3.2/5 untuk pengguna Android. Sedangkan, data
statistik jumlah pengguna Tinder sendiri sampai dengan akhir masa
penelitian belum tersedia, nemum diperkirakan jumlah pengguna Tinder
berjumlah 50 miliar pengguna yang tersebar di 196 negara.
Hasil statistik ini sejalan dengan hasil kuisioner yang diajukan
oleh peneliti. Nilai rata-rata untuk tingkat kenyamanan aplikasi Tinder
sebesar 3.4 dari skala 5. Sedangkan untuk nilai tampilan muka aplikasi
responden memberikan nilai rata-rata 3.6 dari skala 5. Hasil penilaian
yang cukup tinggi ini sejalan dengan kecenderungan pengguna untuk
merekomendasikan aplikasi Tinder.
Kekuatan word of mouth inilah yang dimanfaatkan Tinder
untuk memasarkan aplikasinya. Keunikan yang ditawarkan oleh Tinder
membuat Tinder berhasil menjadi perbincangan. Keberhasilan ini pun
mendorong pembahasan mengenai Tinder dari berbagai bidang
keilmuan. Perihal tampilan muka, secara khusus, Tinder berhasil
membawa perubahan pada industri online dating. Setelah keberhasilan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Tinder, beberapa aplikasi bahkan situs yang kemudian ikut merambah
ke dunia aplikasi membuat tampilan yang mirip dengan Tinder. Bukan
hanya munculnya aplikasi baru yang serupa, bahkan aplikasi yang sudah
ada sebelum Tinder pun melakukan perubahan dengan pendekatan
tampilan seperti Tinder.
2. Pengaruh Desain Aplikasi Terhadap Kecenderungan Perilaku
Pengguna
Keberhasilan desain sebuah aplikasi tidak hanya karena faktor
user interface-nya saja, tetapi juga karena faktor user experience. Seperti
yang sudah dijelaskan dalan teori User Experience menurut Jesse James
Garret, user interface merupakan bagian dari user experience. Hubungan
keduanya saling memengaruhi, rancangan user interface akan
memengaruhi pengalaman penggunanya. Karena pada dasarnya, semua
produk akan menghasilkan pengalaman tertentu kepada penggunanya.
Pengalaman pengguna yang dipengaruhi oleh kebutuhan
pengguna dan tujuan dari perusahaan akan membawa pengaruh kepada
perilaku penggunanya. Dalam teori User Experience menurut Jesse James
Garret, dinamakan tahap Startegy, tahap pertama dalam perancangan user
experience. Pada kasus aplikasi Tinder ini, tujuan dari perusahaan adalah
menjadi aplikasi yang akan digunakan oleh mereka yang ingin bertemu
atau menemukan kenalan baru. Tujuan ini sudah mengalami
perkembangan, sebelumnya, pada awal dibuatnya Tinder, aplikasi ini
ditujukan untuk mencari jodoh. Namun, seiring perkembagannya,
pengguna Tinder tidak hanya menggunakan Tinder sebagai aplikasi pencari
jodoh tetapi juga untuk memperluas jaringan.
Hasil penelitian ini pun menunjukkan hal yang serupa. Pengguna
yang menjadi responden dalam penelitan ini. 32%-nya mengaku hubungan
terjauh yang pernah terjalin adalah pertemanan. Sedangkan, responden
yang pernah sampai berkencan menempati urutan kedua, dengan jumlah
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
responden sebesar 26%. Hal ini menjadi indikasi awal bagaimana desain
aplikasi Tinder dapat memengaruhi perilaku penggunanya. Tampilan
Tinder merupakan hasil interpretasi sistem yang ada, Tinder sebagai
aplikasi kencan online menggunakan kecocokan atau kesamaan dalam
‘menjodohkan’ penggunanya. Kesamaan atau kecocokan yang mendasari
perjodohan di Tinder membuat seolah Tinder memahami selera dari
pengguna melalui pilihan profil yang ditawarkan. Pengguna pun pada
akhirnya secara sadar maupun tidak memercayai rekomendasi dari aplikasi
ini, bahkan dari responden dari penelitian ini mengakui memercayai profil
yang ada di Tinder merupakan profil asli; bukan bot atau profil palsu.
Tahap kedua dalam perancangan user experience adalah tahap
scope. Pada tahap ini terdapat dua poin yang diutamakan, yaitu spesifikasi
fungsi (functional specifications) dan ketentuan konten (content
requirements). Tahap ini tidak terlepas dari tahap sebelumnya, tahap
Strategy. Pada tahap ini pengembang atau perusahaan akan menentukan
fungsi produk secara spesifik. Pada kasus Tinder, fungsi spesifik dari
aplikasi ini sebagai aplikasi pencarian jodoh, yang pada perkembangannya
menjadi aplikasi untuk memperluas jaringan perkenalan. Spesifikasi fungsi
akan memengaruhi konten apa saja yang akan disuguhkan dalam tampilan
aplikasi nantinya. Dalam aplikasi Tinder, karena tujuan utamanya adalah
untuk menyarankan seseorang kepada orang lain dengan kemungkinan
ketertarikan, maka konten utama yang ditawarkan adalah profil pengguna.
Penawaran pengguna kepada pengguna lain dilakukan dengan
mengolah data dari akun sosial media lain yang terhubung dengan akun
Tinder pengguna. Pengolahan data pada Tinder menggunakan Elo’s Rating
Algorithm. Algoritma ini merupakan algoritma yang dikembangkan oleh
pecatur bernama Arpard Elo. Dengan menggunakan algoritma ini,
pengguna (pemilik akun) akan dinilai oleh sistem berdasarkan akun-akun
yang menyukai profil pemilik akun. Setelah itu, pengguna akan
direkomendasikan pengguna lain yang memiliki range nilai yang
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
mendekati nilai pengguna. Pengguna baru akan mendapatkan ‘boost’ untuk
memperluas kemungkinan mendapat ‘match’. Boost ini berfungsi untuk
menentukan nilai pemilik akun agar rekomendasi profil selanjutnya
menjadi lebih ‘akurat’. Adapun yang menjadi faktor penilaian dalam
aplikasi ini adalah jumlah like yang didapatkan, jumlah penolakan dan
mutual match pengguna. Dengan adanya boost ini, akan membangun
persepsi kepercayaan kepada penggunanya. Terbangunnya persepsi akan
rasa percaya juga akan memengaruhi kenyamanan bagi penggunanya
karena merasa aman dan dapat memercayai sistem yang ada. Hal ini tentu
akan meninggalkan impresi baik bagi pengguna mengenai aplikasi Tinder.
Algoritma yang digunakan oleh Tinder akan berpengaruh pada
interaksi yang akan terbangun dan dirasakan oleh penggunanya. Hal ini
termasuk ke dalam tahap ketiga dalam perancangan user experience,
Structure, yang terfokus pada interaction design dan information
architecture. Tahapan ini akan memengaruhi bagaimana pengguna akan
bertindak dalam menggunakan aplikasi dan bagaimana pengguna
memahami informasi yang ditampilkan dalam aplikasi.
Tujuan dan konsep yang dirancang pada tiga tahap pertama
dalam perancangan user experience akan diimplementasikan pada tahap
keempat, Skeleton. Pada tahap ini, ada tiga poin yang menjadi fokusnya,
yaitu tampilan muka (user interface), desain navigasi, dan desain
informasi. Hasil dari perancangan di tahap inilah yang nantinya akan
berhubungan langsung dengan pengguna. Pengalaman sensorik yang
terbentuk pada tahap ini kemudian menjadi tahap terakhir dari rancangan
user experience, Surface.
Pada bagian sekeleton ini, fitur utama yang paling menarik
perhatian pengguna adalah fitur swipe (desain navigasi/navigation design)
dan tampilan profil berupa tumpukan kartu/stack of cards (information
design). Fitur ini adalah fitur yang membedakan Tinder dengan aplikasi
serupa. Berdasarkan hasil kuisioner dan observasi lapangan, peneliti
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
menemui bahwa fitur ini berhasil menarik pengguna baru dan membuat
pengguna merasakan kemudahan dalam pengoperasian aplikasi ini. Fitur
swipe sendiri merupakan hasil pengembangan yang dilakukan oleh co-
founder Tinder, Jhon Badeen, setelah aplikasi diluncurkan. Tampilan
informasi yang berupa tumpukan kartu merupakan tampilan yang sedari
awal sudah dibuat oleh Tinder, hal itu pula yang membuat Jhon kemudian
berpikir untuk mengembangkan bagian navigasi agar lebih interaktif. Ide
gestur swipe ini muncul karena Jhon memerhatikan bahwa para
penggunanya memiliki ketertarikan untuk menggeser foto. Hal ini
merupakan pengaruh dari kemunculan iPhone 3G yang diperkenalkan pada
tahun 2008. Perubahan kebutuhan pengguna (prefrensi pengguna) akan
memengaruhi perubahan dan pengembangan aplikasi sebagaimana yang
telah dijelaskan pada teori user experience, bahwa kelima tahap tidak
berdiri sediri tapi saling berhubungan. Keberhasilan pengembangan fitur
swipe di awal 2014 ini dapat dilihat dari pesatnya pertumbuhan di tahun
2014.
Grafik 18 Grafik Peringkat Aplikasi Tinder (2013-2017) di Indonesia pada Sistem Operasi Android. (Sumber: AnnieApp.com)
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Grafik 19 Grafik Peringkat Aplikasi Tinder (2013-2017) di Indonesia pada Sistem Operasi iOS. (Sumber: AnnieApp.com)
Penyesuaian desain aplikasi terhadap kebutuhan pengguna
merupakan usaha untuk membuat pengguna merasa nyaman sekaligus
untuk meningkatkan pengguna baru. Rancangan yang mudah digunakan
oleh pengguna juga cenderung membuat pengguna menjadi loyal. Dalam
penelitian ini, penliti mengajukan beberapa pertanyaan yang menjadi tolak
ukur loyalitas pengguna. Pertanyaan yang diajukan antara lain, (1) Apakah
pengguna menggunakan aplikasi lain yang serupa?, (2) Apakah pengguna
pernah menghapus-mengunduh ulang aplikasi?. dan (3) Apakah pengguna
pernah menghapus akun?
Hasil kuisioner penelitian ini menunjukkan, 61% pengguna tidak
menggunakan aplikasi lain selain Tinder. Sedangkan 31% responden yang
pernah menggunakan aplikasi serupa Tinder mengakui keunggulan Tinder
karena tampilannya yang sederhana dan mudah digunakan, fitur swipe yang
menarik, matching sistem dengan rekomendasi profil pengguna yang lebih
menarik, dan sistem signup (pendaftaran) yang menghubungkan dengan
facebook atau nomor telepon genggam yang memudahkan serta membuat
pengguna lebih memercayai profil yang ditampilkan.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Sebanyak 54% responden mengaku pernah menghapus dan
mengunduh ulang aplikasi. Alasan yang melatarbelakangi perilaku ini
diantaranya, karena sudah jarang menggunakan dan merasa jenuh,
memiliki pasangan, malu karena diketahui orang terdekat, takut
adiksi/kecanduan dan kendala teknis gawai yang kehabisan memori.
Walaupun sudah menghapus aplikasi, pengguna mengunduh ulang kembali
aplikasi karena merasa masih membutuhkan aplikasi Tinder dengan alasan
untuk membunuh waktu ataupun sekedar iseng. Persentase pengguna yang
pernah menghapus akun, berdasarkan hasil kuisioner, lebih tinggi
dibandingkan dengan pengguna yang menghapus-mengunduh ulang
aplikasi yakni sebesar 59%. Alasan yang melatarbelakanginya pun kurang
lebih sama dengan alasan pengguna yang pernah menghapus-mengunduh
ulang aplikasi.
Kecenderungan perilaku pengguna ini merupakan pengaruh dari
desain aplikasi Tinder itu sendiri. Desain aplikasi Tinder dibuat dengan
menggunakan pendekatan game / permainan. Dari tampilan muka aplikasi
ini, informasi yang disuguhkan pada halaman utama (main page) sendiri
terlihat mengadopsi bentuk kartu yang identik dengan permainan. Rad,
CEO Tinder, mengaku sengaja merancang aplikasi ini agar terasa seperti
permainan agar pengguna dapat mengeliminasi perasaan cemas untuk
membangun hubungan dengan orang asing. Kendala kecemasan untuk
memulai percakapan dengan orang asing ini merupakan kendala yang
dialami Rad pribadi dan memutuskan untuk membuat aplikasi yang bisa
membantunya dan orang-orang dengan kendala yang sama. Bahkan, setelah
kehadiran Tinder muncul istilah sepeti ‘Gamification of Dating’ dan
‘Tinderization of Feelings’. Istilah ‘Gamification of Dating’ merupakan
istilah yang digunakan oleh Zachary Siegel dalam artikelnya untuk
thedailybeast.com yang berjudul “Love in the Time of Tech: Your Brain on
Dating Apps”. Dalam artikel tersebut, Siegel menjelaskan bagaimana reaksi
otak manusia ketika menggunakan aplikasi online dating yang dapat
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
menyebabkan kecanduan pada penggunanya. Hal yang mendasari istilah ini
adalah Addiction by Design (Natasha Dow Schüll ) yang membahas
bagaimana desain dapat membuat seseorang kecanduan dan jurnal Eyler
dan Peyser dalam menggunakan Tinder yang di dalam tulisannya membuat
istilah “Tinderization”. Istilah ‘Tinderization’ sendiri lahir dari pengamatan
Eyler dan Peyser atas pengalaman pribadi dan pengguna Tinder di
sekelilingnya yang terpengaruh sistem biner yang dianut oleh Tinder,
semua pertanyaan hanya memiliki dua kemungkinan yakni ‘ya’ atau
‘tidak’. Martin Wendell dalam tesisnya pun menyatakan hal serupa,
“some of the reasons for this are that Tinder feels like a game
instead of a dating app and therefore have little stigma, non-cumbersome,
and actually fun to use if not outright addictive.”
Data penelitian yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini
pun mengindikasikan hal yang sama. Pengguna secara sadar ataupun tidak
menganggap Tinder sebagai salah satu bentuk permainan. Hal ini
diindikasikan oleh alasan pengguna yang merasa Tinder memberikan
keseruan tersendiri, pengguna merasa tertantang untuk mendapatkan
banyak match ataupun mencari pasangan, dan sebagai sarana mengisi
waktu luang. Alasan ini dapat diartikan sebagai motivasi pengguna dalam
menggunakan Tinder. McQuail (1983) membagi motivasi menjadi empat
kategori; (1) Entertainment/Hiburan, (2) Social Interaction/Interaksi
Sosial, (3) Information/Informasi, dan (4) Indentity Exploration/Eksplorasi
Identitas. Motivasi merupakan salah satu faktor pembentuk kebiasaan
(behavior). Fogg (dalam Eyal, 2016: 56) menyatakan kebiasaan dapat
dibentuk melalui motivasi, kemampuan, dan pemicu; B = M.A.T (Behavior
= Motivation x Ability x Triggers).
Untuk mendapatkan motivasi, seseorang akan dipengaruhi oleh
faktor-faktor dari dalam atupun dari luar dirinya, atau bisa disebut dengan
faktor pemicu. Faktor ini merupakan tahap pertama dalam model Kait
(Hooked) yang diperkenalkan oleh Nir Eyal. Model ini berusaha untuk
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
menjelaskan bagaimana agar dapat membuat sebuah aplikasi yang
membentuk perilaku pengguna. Pada tahap ini, pemicu terbagi menjadi dua
jenis berdasarkan sumbernya, eksternal dan internal. Pemicu eksternal
dapat merupakan pemicu yang datang dari luar diri pengguna dan
dirangsang melalui hal-hal di sekitar pengguna. Sedangkan pemicu internal
datang dari dalam diri pengguna sendiri.
Pemicu eksternal terbagi menjadi empat jenis, yaitu pemicu
berbayar, pemicu yang didapatkan, pemicu hubungan antar manusia, dan
pemicu terpasang. Pemicu berbayar merupakan pemicu yang dibuat dan
disebarkan melalui saluran berbayar. Pemicu jenis ini kurang bisa
diandalkan untuk jangka waktu yang lama, selain itu, pemicu ini kurang
efektif untuk mempertahankan pengguna. Walaupun begitu, pemicu
berbayar dapat menarik pengguna baru. Pada kasus aplikasi Tinder,
perusahaan juga melakukan hal yang serupa, namun pemasangan pemicu
berbayar ini tidak langsung dilakukan pada awal pembuatan Tinder.
Selain itu, ada pula pemicu yang didapatkan, pemicu yang
digunakan untuk mendapatkan perhatian pengguna dan
mempertahankannya untuk terus mendapatkan perhatian pengguna. Pemicu
ini dapat menggunakan pemberitaan melalui media yang tersedia. Tinder
berhasil mencuri perhatian pengguna di awal kemunculannya melalui
pengembangan fitur swipe, namun, bila Tinder berhenti untuk berkembang
maka bisa dapat dipastikan secara perlahan pengguna akan meninggalkan
dan melupakan aplikasi ini. Oleh karena itu, Tinder berusaha untuk
menambah, mengurangi, dan mengembangkan fitur dan layanan yang
ditawarkan. Sepanjang 2012-2017, Tinder sempat mengalami perubahan
kategori pada toko aplikasi maya baik untuk iOS (AppStore) dan Android
(GooglePlay). Pada awal kemunculannya, Tinder dikategorikan sebagai
online dating application, yang kemudian berubah menjadi media sosial
dan instant messaging, yang kemudian hingga saat ini berada di kategori
lifestyle (gaya hidup). Perubahan kategori ini sejalan dengan perkembangan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
fitur dan layanan aplikasi. Pada awal kemunculannya Tinder dikategorikan
sebagai online dating application dikarenakan fungsi utamanya sebagai
aplikasi pencari jodoh. Setelah itu Tinder mengembangkan fitur untuk
berbagi momen, grup, dan fitur berbagi file foto pada bagian chatting.
Kemunculan fitur-fitur ini kemudian membuat kategori Tinder berubah
menjadi kategori instant messaging dan media sosial. Kemudian Tinder
menghilangkan fitur-fitur yang tersebut dan menambahkan fitur seperti
superlike, boost, dan undo serta layanan premium. Hal ini kemudian
membuat Tinder dikategorikan sebagai aplikasi lifestyle (gaya hidup).
Perubahan yang terus dilakukan Tinder merupakan salah satu usaha agar
Tinder terus menjadi pusat perhatian masyarakat. Hal ini berhasil diraih
Tinder, bahkan Tinder sudah menjadi sebuah kata yang sering digunakan
dalam percakapan.
Jenis pemicu lainnya adalah pemicu dari hubungan antar
manusia (relationship triggers). Pemicu ini merupakan pemicu yang
diberikan seseorang kepada orang lain yang dapat beruap undangan, like
dan pemberitaan baik melalui media sosial ataupun word of mouth. Jenis
pemicu ini merupakan jenis pemicu yang paling efektif. Tinder pun
memasang pemicu ini pada aplikasinya. Pada awal kehadirannya, Tinder
memasarkan aplikasinya dengan mengandalkan undangan menggunakan
Tinder kepada orang-orang terdekat, selain itu penemu Tinder juga
melakukan usaha lain dengan terus menerus membicarakan Tinder di
tempat umum dan kepada orang lain – orang asing. Sedari awal, Rad sadar
akan kekuatan word of mouth, oleh karena itu ia memasang pemicu ini
sejak awal kemunculan Tinder. Hasilnya terlihat, bagaimana Tinder
berhasil menempati posisi puncak aplikasi yang paling banyak diunduh
dalam waktu singkat.
Jenis pemicu eksternal terakhir adalah pemicu terpasang (owned
trigger). Pemicu ini merupakan pemicu yang terus menerus yang dapat
berupa ikon aplikasi, e-mail langganan atau notifikasi (pemberitahuan).
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Pemicu terpasang ini akan mengulang keterlibatan pengguna sampai
akhirnya perilaku atau kebiasaan pengguna terbentuk. Pemicu terpasang
pada aplikasi Tinder adalah ikon aplikasi dan notifikasi atau
pemberitahuan.
Pemberitahuan pada aplikasi Tinder ada beberapa macam, ketika
mendapatkan match baru ataupun superlike, ketika kehabisan jatah untuk
menyukai profil, mendapatkan pesan baru, serta pemberitahuan bila sudah
terlalu banyak dan lama chat tidak dibalas.
Gambar 8 Tampilan Pop Up Notification Ketika Mendapatkan Match Pada Aplikasi Tinder. (Sumber: dokumentasi Frida Sibarani)
Pemberitahuan yang dikirimkan oleh Tinder memicu pengguna untuk
melakukan tindakan selanjutnya. Ketika pengguna saling menyukai profil
satu sama lain maka akan muncul tampilan pemberitahuan dengan dua
pilihan, yaitu untuk mengirimkan pesan (send message) ataupun
melanjutkan mencari profil lain (keep swiping). Pilihan ini secara sadar
ataupun tidak akan menggiring pengguna untuk terus menggunakan Tinder.
Selain itu, pemberitahuan yang muncul akan memberikan kesan pengguna
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
berhasil menemukan pasangan yang tepat (reward bagi pengguna).
Sedangkan ketika ada pengguna tidak sedang mengaktifkan aplikasi namun
ada pengguna lain yang menyukai profil pengguna maka pemilik akun akan
mendapatkan pemberitahuan melalui ‘pop up notification’. Pesan yang
diterima ketika mendapatkan match dengan pesan ketika pengguna
mendapatkan super like akan berbeda. Ketika mendapatkan super like,
pengguna akan mendapatkan pesan yang mendorong pengguna untuk
‘mencari’ pengirim super like diantara tumpukan ‘kartu profil’. Pesan ini
akan mendorong pengguna untuk menggunakan aplikasi Tinder. Pesan
dengan nada serupa akan dikirimkan bagi pemilk akun bila ada beberapa
pesan yang sudah diterima namun tidak dibalas dalam kurun waktu
tertentu.
Selain pemicu eksternal ada pula pemicu internal yang
merupakan pemicu yang berasal dari dalam diri pengguna. Pemicu internal
yang paling kuat adalah emosi, terutama emosi negatif. Emosi dapat
memengaruhi keseharian pengguna dan bila pengguna merasakan emosi
negatif, pengguna cenderung akan mencari cara untuk menghilangkan
emosi negatif tersebut dan terkadang emosi negatif ini akan mendorong
pengguna untuk mengambil tindakan secara spontan. Emosi negatif ini
diantaranya adalah rasa sepi, bosan, frustasi, bingung, dan ragu. Aplikasi
yang mampu meredam emosi negatif yang dirasakan oleh penggunanya
dengan mengklaim perasaan tertentu akan mendorong pengguna menjadi
bergantung pada aplikasi tersebut.
Pada penelitian ini, beberapa responden mengaku menggunakan
aplikasi tinder untuk mengatasi rasa bosan, kesepian (mencari teman dan
pasangan), serta kebingungan mengisi waktu luang ataupun kebingungan
untuk membangun hubungan baru. Tinder melihat kebutuhan untuk
mengatasi emosi negatif ini dan berusaha menjawabnya dengan membuat
aplikasi dengan pendekatan permaianan yang dapat membantu pengguna
meredam emosi negatif dengan menawarkan ‘keseruan’ baru. Keseruan ini
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
berupa pencarian pasangan yang tepat diantara pilihan yang ada, memulai
bertukar pesan dengan mudah karena Tinder memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh pengguna serta keseruan dalam mengantisipasi temuan
baru.
Pemicu yang ada ini kemudian akan menjadi dasar motivasi bagi
pengguna untuk masuk ke dalam tahap selanjutnya, mengambil tindakan.
Pengguna memiliki pilihan dalam menentukan tindakan yang akan
dilakukan selanjutnya. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya,
perilaku pengguna dipengaruhi oleh motivasi, kemampuan, dan pemicu.
Bila pemicu dan motivasi pengguna telah terpenuhi, maka yang perlu
diperhatikan selanjutnya agar pengguna melakukan tindakan seperti yang
dikehendaki adalah dengan memastikan pengguna mampu untuk
melakukan tindakan tersebut.
Kemampuan merupakan kapasitas untuk melakukan tindakan
tertentu. Untuk meningkatkan kemampuan pengguna, maka proses untuk
mencapai tujuan dibuat sesederhana mungkin. Semakin sederhana proses
yang dibutuhkan akan membantu dan memperbesar kemungkinan
pengguna melakukan tindakan yang dihendaki. Pengguna sendiri
cenderung mengabaikan arahan dalam bentuk tulisan. Pada aplikasi Tinder
sendiri, arahan dalam bentuk tulisan sangat minim. Arahan dalam bentuk
tulisan hanya muncul di awal penggunaan aplikasi (setelah sign up ataupun
sign in). Kemudahan dalam pemakaian aplikasi Tinder sebenarnya bisa
dirasakan mulai dari tahap awal pembuatan akun.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Gambar 9 Tampilan Awal Memulai (Log In) Aplikasi Tinder.
(Sumber: dokumentasi Frida Sibarani)
Untuk membuat akun Tinder, pengguna tidak perlu mengisi
identitas ataupun menjawab pertanyaan seperti beberapa aplikasi online
dating lain (Setipe, OkCupid, dan Wavoo). Kemudahaan ini menarik
perhatian pengguna karena pengguna merasa tanpa perlu repot untuk
mengisi data dan menjawab pertanyaan, mereka bisa segera mencapai
tujuannya; baik untuk memperluas jaringan, menacari pasangan ataupun
tujuan lainnya. Singkatnya proses yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
membawa pengaruh juga kepada tampilan muka aplikasi yang dibuat
sesederhana mungkin.
Setelah pengguna berhasil melakukan tindakan, untuk membuat
pengguna masuk ke dalam model kait, maka dibuatlah imbalan bervariasi.
Fungsi imbalan bervariasi akan memunculkan sensasi ketagihan dan
muncul rasa mengidam (craving) pada pengguna. Imbalan bervariasi ini
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) Imbalan Suku (Tribe), (2) Perburuan
(Hunt), dan (3) Diri Sendiri (Self).
Imbalan suku (Tribe) dikenal juga sebagai imbalan sosial berupa
validasi diri yang akan membuat pengguna merasa diterima, menarik,
penting, dan menjadi bagian dari suatu kelompok. Tinder pun
menggunakan imbalan ini untuk mendorong penggunanya terus memakai
aplikasi Tinder. Ketika seseorang menggunakan Tinder dan mendapatkan
match, pengguna akan disuguhi pop up page pemberitahuan bahwa
pengguna saling menyukai satu sama lain. Munculnya pop up page ini
sepeti pop up page ucapan selamat ketika bermain game. Sensasi yang
diberikan oleh Tinder akan membuat pengguna merasa dirinya menarik
karena ada orang lain yang menyukai dirinya. Selain itu, hasil observasi
peneliti di lapangan juga menunjukkan, pengguna memakai Tinder untuk
mengumpulkan match sebanyak mungkin. Jumlah match yang banyak
dianggap sebagai indikator kualitas diri atau bila dalam teori McQuail
dianggap sebagai motivasi identity exploration. Sensasi dalam menanti
imbalan akan terasa lebih menegangkan dibandingkan ketika mendapatkan
imbalan. Kesadaran inilah yang membuat Tinder merancang sistem
perjodohannya seperti permainan agar pengguna ketagihan dan mengidam
akan sensasi menanti imbalan tersebut.
Sedangkan imbalan perburuan (hunt) adalah imbalan yang dipicu
oleh keinginan yang tidak terpuaskan oleh otak manusia. Pada dasarnya,
manusia tidak pernah lepas dari praktik perburuan. Ketika jaman dahulu
manusia berburu untuk mendapatkan makanan, sekarang manusia berburu
untuk mendapatkan uang. Tinder memanfaatkan hasarat dasar manusia
untuk berburu ini. Hasil penelitian ini pun menunjukkan hal yang sama,
responden mengaku lebih senang untuk mencari sendiri. Hal ini sejalan
dengan imbalan diri sendiri (self), imbalan ini menunjukkan pencarian yang
melelahkan dapat menjdi perjuangan yang menyenangkan bagi seseorang.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Sensasi berburu dan berjuang mendapatkan keinginan ini akan
membuat pengguna merasa kompeten. Ketika keinginan ini terpenuhi,
keinginannya cenderung akan meningkat. Bila seseorang sudah sampai
pada tahap ini, besar kemungkinan bagi pengguna untuk mengulangi
tindakannya. Namun, kebebasan memilih oleh pengguna harus tetap
diperhatikan. Pada aplikasi Tinder, pengguna diberikan pilihan yang dapat
disesuaikan oleh keinginan pengguna pribadi. Tawaran kebebasan ini
membuat pengguna seolah-olah memiliki kontrol penuh. Pengguna bebas
untuk memilih profil pengguna seperti apa yang ingin ia sukai, namun,
tanpa sadar pilihan yang diberikan sebenarnya merupakan pilihan yang
telah diseleksi oleh sistem.
Investasi yang dilakukan oleh pengguna dalam pemakian produk
dapat terlihat melalui usaha dan waktu yang dilakukan. Tingkat investasi
akan berbanding lurus dengan nilai yang ditaruh oleh pengguna pada
produk yang digunakan. Nilai yang ditentukan oleh pengguna ini yang
akan memengaruhi kemungkinan pengguna untuk menggunakan produk
tersebut di masa depan. Pada tahap ini, ada baiknya bila diletakkan pula
pemicu agar pengguna dapat masuk ke dalam model kait yang dibuat.
Responden dalam penelitian ini memberikan jawaban yang
mengindikasikan tingginya investasi yang dilakukan oleh pengguna dan
dampaknya pada loyalitas pengguna. Usaha dan waktu yang digunakan
untuk mendapatkan chat dan berkenalan melalui fitur chatting dalam
Tinder membuat pengguna enggan untuk meninggalkan aplikasi ini.
Responden mengaku ‘sayang’ bilang harus kehilangan match yang sudah
dikumpulkan. Hal ini yang membuat Tinder kemudian menempatkan
pemicu pada tahap ini, bagaimana notifikasi untuk membalas pesan dan
ajakan untuk membuka aplikasi Tinder.
Sistem dan tampilan yang dirancang sedemikian rupa membuat
pengguna tidak menyadari bahwa perilakunya telah terpengaruh aplikasi
yang digunakan. Tinder, yang merupakan aplikasi online dating dengan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
tampilan dan sistem yang dibuat menyerupai game memengaruhi
penggunanya untuk memperlakukan aplikasi Tinder sebagai sebuah
permainan.
Martin Wendell dalam tesisnya yang berjudul An Analysis of the
Online Dating Industry and How Startsups Can Compete menyatakan:
“ indeed, it seems like everyone in social is moving to cards in some form as it has shown itself to be a simple and intuitive interface to use — but by combining it with swipes, it is interactive and engaging for the users.”
Diterjemahkan oleh penulis menjadi sebagaimana masyarakat melihat
peralihan ke dalam bentuk kartu sebagai bentuk yang sederhana/mudah dan
tampilan yang intuitif – tetapi, dengan menggabungkannya dengan gestur
geser menjadi interaktif dan memikat bagi penggunanya. Hal ini menjadi
gambaran mengapa Tinder menggunakan pendekatan permainan yang
interaktif serta berhasil memikat target penggunanya dan mengapa
pendekatan ini mendapatkan respon positif dari penggunanya.
Aplikasi Tinder bukan hanya memengaruhi penggunanya,
rancangan aplikasi ini juga merupakan pengaruh dari target penggunanya.
Sejak awal diluncurkan, aplikasi ini mengincar mahasiswa sebagai target
utama penggunanya, yang mana mahasiswa ini termasuk ke dalam generasi
milenial. Generasi milenial ini identik dengan karakteristik yang
individualis, melek teknologi, gemar mencari kesenangan, senang untuk
bersosialisasi serta cenderung ingin mencoba hal-hal baru dan mudah.
Karakteristik target utama pengguna inilah yang kemudian membentuk
tampilan dan sistem Tinder yang berbeda dengan generasi aplikasi online
dating sebelumnya. Kesederhanaan tampilan dan kemudahan
pengoperasian aplikasi yang dikemas dengan unik inilah menjadi nilai jual
utama yang ditawarkan Tinder.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta