Upload
phamnga
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
27
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Perkembangan Kereta Api
1. NISM Sebagai Pelopor Pengusahaan Kereta Api
Sehubungan dengan kesulitan prasarana dan sarana transportasi di
Pulau Jawa ditinjau dari sudut pertahanan dan keamanan, serta sudut
ekonomi sejak awal abad ke-19 muncul usul yang diajukan oleh Kolonel
Jhr. Van Der Wijk seorang ahli militer, agar di Pulau Jawa dibangun alat
transportasi baru, yaitu kereta api yang akan mendatangkan keuntungan
tidak ternilai harganya bagi kepentingan pertahanan meliputi jalan rel yang
terbentang dari Semarang ke Kedu dan Yogyakarta ke Surakarta.
Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan surat keputusan (Koninklijk
Besluit) nomor 270 tertanggal 28 Mei 1842 yang menetapkan bahwa
pemerintah akan membangun jalan rel yang terbentang dari Semarang ke
Kedu dan Yogyakarta ke Surakarta, untuk meningkatkan sarana transportasi
tradisional berupa kereta yang ditarik sapi dan kerbau serta untuk
meningkatkan daya angkut bagi barang-barang ekspor (Tim Telaga Bakti
Nusantara, 1997: 52-53).
Timbulnya permintaan konsesi dari pengusaha swasta yang
disertai permohonan jaminan bunga 5% dari modal yang dipinjam, telah
menimbulkan berbagai macam pendapat di kalangan pejabat pemerintah
28
Hindia Belanda. Gubernur Jendral L.A.J.W Baron Sloet van den Beele
tahun 1861-1866 akhirnya bersedia mengabulkan permintaan konsesi itu
dengan beberapa syarat tertentu. Persyaratan dimaksudkan supaya
pembuatan jalan rel itu disesuaikan dengan pengarahan Menteri Urusan
Jajahan Hindia Belanda Fransen van De Putte, yang menginginkan agar
jalur rel Semarang-Surakarta-Yogyakarta diperluas dengan lintas cabang
dari Kedungjati menuju Ambarawa yang terdapat benteng Willem I yang
penting bagi kemiliteran.
Semarang selatan, Surakarta, Yogyakarta merupakan daerah
penghasil barang ekspor yang kaya, seperti tembakau, kayu, gula yang
diekspor dan diangkut ke pelabuhan Semarang. Akhirnya dengan adanya
kebutuhan yang saling berhubungan, maka pada tahun 1862 untuk pertama
kalinya pemerintah memberikan konsesi kepada beberapa pengusaha swasta
yang kemudian mendirikan perusahaan kereta api swasta Nederlandssch
Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P. de
Bordes. Para pengusaha yang mengontrak tanah-tanah perkebunan sangat
memerlukan jasa angkutan kereta api, dengan serta bersedia membayar uang
muka untuk muatan yang akan diangkutnya (Subarkah, 1987: 3).
Tanggal 7 Juni 1864 adalah saat yang sangat bersejarah bagi dunia
perkeretaapian di Indonesia. Gubernur Jenderal L.A.J.W Baron Sloet van
den Beele secara resmi melakukan pencangkulan tanah pertama, sebagai
tanda dimulainya pembangunan rel kereta api di desa Kemijen Semarang.
29
Ternyata pembangunan rel kereta api di desa Kemijen terbilang cukup
lancar. Terbukti tahun 1867 rel kereta api yang sudah terpasang sepanjang
25 km, membentang dari Semarang hingga ke Tanggung. Jalur tersebut
melalui halte Alas Tuwa dan Brumbung. Sebagaimana harapan pihak ketiga,
di luar militer dan para pengelola perkebunan jalur kereta api ini
dioperasikan untuk umum. Tahun 1867, jalur kereta api tersebut berfungsi
dengan baik dan berhasil diluncurkan dari Semarang menuju Tanggung.
Setelah jalur kereta api dari Semarang-Tanggung selesai, pembangunan
terus dilanjutkan meski terkendala oleh masalah pendanaan tetapi tanggal 10
Februari 1870, jalur kereta api ke Surakarta sudah diselesaikan. Dua tahun
kemudian tanggal 10 Juni 1872 bentangan rel kereta api tersebut sudah
mencapai Yogyakarta. Hal tersebut juga telah memungkinkan seluruh
pekerjaan pembangunan jalan rel dari Semarang-Yogyakarta dapat
diselesaikan pada tanggal 21 Mei 1873. Tanggal 21 Mei 1873 kereta api
Semarang-Yogyakarta dioperasikan dan dibuka untuk umum, disamping itu
NISM membangun lintas jalan rel cabang ke Ambarawa dari Kedungjati dan
dibuka untuk umum tanggal 21 Mei 1873 (Eddy Supangkat, 2008: 11-13).
2. Perusahaan Kereta Api dan Trem di Jawa Tengah
Nederlandssch Indische Spoorweg (NIS) memulai kiprahnya
sebagai pionir perkeretaapian di Semarang, diikuti dengan lahirnya
perusahaan kereta api dan trem lainnya di Indonesia. Operasinya buka hanya
di Jawa Tengah, melainkan juga ke wilayah Jawa bagian timur dan barat.
30
a. Nederlandssch Indische Spoorweg (NIS)
Pembukaan jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta oleh NIS
dilakukan selama periode 1864-1873. Selain berkonsentrasi di
Semarang, NIS juga merambah ke wilayah Solo. Pengoperasian jalur
Semarang-Surakarta-Yogyakarta mempunyai tujuan untuk mengangkut
hasil bumi dari vorstenlanden (wilayah-wilayah Kerajaan) yang akan di
ekspor melalui pelabuhan Semarang.
b. Semarangsche Stoomtram (SS)
Perusahaan ini berbasis di Semarang, namun Semarangsche
Stoomtram (SS) justru membuka jalur Yogyakarta-Cilacap pada tahun
1887. Sebelumnya Semarangsche Stoomtram (SS) bahkan sudah
membuka jalur di Jawa Timur, seperti jalur Surabaya-Pasuruan-Malang
periode 1878-1879 serta jalur Surabaya-Surakarta lewat Wonokromo-
Sidoarjo tahun 1884.
c. Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)
Sesuai namanya, perusahaan kereta api ini berkonsentrasi di
Semarang, Juana dan sekitarnya. Antara tahun 1883-1884 perusahaan
ini membuka jalur Semarang Genuk-Demak-Kudus-Pati-Juana. Disusul
dengan pembukaan jalur Demak-Purwodadi-Blora antara tahun 1888-
1894. Tanggal 5 Mei 1895 perusahaan ini membuka jalur Mayong
Pancangan, daerah tersebut merupakan tambang emas bagi usaha SJS
karena di wilayah itu memiliki hasil bumi yang melimpah seperti : gula,
31
kapuk, minyak bumi, kapur, dan kayu jati. Sekitar tiga tahun kemudian,
tepatnya tanggal 1 November 1898 Semarang-Joana Stoomtram
Maatschappij (SJS) membuka jalur Wirosari-Kradenan. Jalur Juana-
Lasem dibuka tanggal 1 Mei 1900. Setengah tahun kemudian
Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) membuka jalur
Mayong-Welahan.
d. Semarang Cheribon Stoomtram Mij (SCS)
Perusahaan ini membuka jalur Semarang Cheribon Stoomtram
Mij (SCS) yang dilakukannya tahun 1897. Pada waktu bersamaan
Semarang Cheribon Stoomtram Mij (SCS) membuka jalur Losari-
Cileduk-Mundu.
e. Solosche Tramweg Mij (SoTM)
Perusahaan ini berbasis di Solo. Perusahaan Solosche Tramweg
Mij (SoTM) ini membangun trem yang ditarik kuda untuk melayani
penumpang di dalam kota Solo dan sekitarnya.
f. Poerwodadi Goendih Stoomtram Mij (PGSM)
Tahun 1884 perusahaan kereta api Poerwodadi Goendih
Stoomtram Mij (PGSM) membangun jalur Purwodadi-Gundih,
pembangunan jalur ini untuk kepentingan pengangkutan hasil
hutan dan perkebunan di daerah tersebut. Tanggal 1 Januari 1892 jalur
milik Poerwodadi Goendih Stoomtram Mij (PGSM) ini dibeli oleh
Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Sejak saat itu jalur
32
kereta api Purwodadi-Gundi dilayani oleh Semarang-Joana Stoomtram
Maatschappij (SJS).
3. Pembangunan Jalan Rel di Pulau Jawa
Pada bulan November 1871 Menteri Urusan Jajahan Belanda Jawa
Mr. P. P. van Bosse mengajukan rencana undang-undang yang bertujuan
untuk membangun lintas jalan rel di Pulau Jawa, yang bersambungan dari
lintas NISM Semarang-Surakarta-Yogyakarta melalui daerah penghasil gula
di Jawa Tengah bagian selatan (Subarkah, 1987: 3). Keuntungan yang
diperoleh NISM dari pengoperasian kereta api jalur Semarang-Surakarta-
Yogyakarta sejak tahun 1875, memberi gambaran dan harapan baru kepada
para pengusaha swasta yang telah berminat untuk menanamkan modal
mereka dalam kegiatan jasa angkutan kereta api.
Dengan disahkannya undang-undang yang mengatur perkeretaapian
tanggal 6 Juni 1878, maka asas pengusahaan kereta api mulai diakui
pemerintah dan hal tersebut berpengaruh terhadap struktur organisasi
perkeretaapian. Perusahaan kereta api milik pemerintah, yaitu bernama
Staats Spoorwegen (SS) merupakan bagian dari Burgelijke Openbare
Werken (BOW) berarti Departemen Pekerjaan Umum yang menangani
pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak-kontrak dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan pembangunan jalan rel oleh pemerintah. SS mengadakan
perluasan jaringan jalan rel, pelaksanaannya selalu didasarkan pada sistem
33
pembangunan yang berlaku di lingkungan perusahaan pemerintah, yang
berpedoman pada semboyan berbunyi:
“Siap dengan masukan yang tangguh, sehingga segala pekerjaan sesuai dengan
rencana” (Subarkah, 1987: 6).
Perluasan jaringan jalan rel didasarkan bukan hanya pada kepentingan
ekonomi, melainkan juga menyangkut masalah pasifikasi atau pengamanan
daerah yang banyak mengalami pergolakan dan pembukaan daerah-daerah
baru serta pengembangan administrasi pemerintahan dan pengembangan
kota (Sartono Kartodirdjo, 1987: 364).
Pada tanggal 14 Januari 1895 dibuatlah perjanjian antara
pemerintah dengan pihak NISM yang menetapkan bahwa sejak tahun 1899
lintas Jawa bagian timur dan selatan menjadi milik SS. Jalur Yogyakarta-
Solo ukuran lebar kereta apinya 1.435 mm ditambah dengan rel baja ketiga
diantaranya, sehingga ada satu pasang lagi jalan rel dengan lebar kereta api
1.067 mm. Antara dua kota tersebut dapat dilalui oleh kereta api yang
berbeda ukuran lebar kereta apinya, yakni milik NIS dan milik SS. NIS
menyelesaikan hubungan jalan rel pada lintas dari Yogyakarta ke Magelang
dengan lebar kereta api 1.607 mm sampai Ambarawa. Jalur tersebut
merupakan titik akhir dari lintas cabang yang telah ada pada jalur utama
Semarang-Yogyakarta dengan lebar kereta api 1.435 mm. Lintas Magelang
ini kemudian diperluas lagi dengan dibangunnya kereta api cabang dari
Secang ke Temanggung (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 71-72).
34
4. Dampak Pembangunan Kereta Api Terhadap Kehidupan Pribumi
Pembangunan perkeretaapian oleh Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda selain bertujuan untuk memenuhi keperluan kaum kolonial, juga
dimaksudkan untuk memajukan pertumbuhan perekonomian penduduk di
Negara jajahan yaitu Indonesia. Semenjak dioperasikannya jaringan kereta
api abad ke-19, alat angkut ini menjadi pilihan utama penduduk. Hal ini
dimungkinkan karena pendapatan pribumi yang lebih baik, biaya perjalanan
dengan menggunakan transportasi kereta api lebih murah dan lebih cepat
dibanding menggunakan alat transportasi lain yang sudah ada.
Di sepanjang rel, khalayak ramai menjadi terbiasa menjadikannya
sebagai sarana angkutan sehari-hari. Anak-anak sekolah, pegawai
pemerintah dan swasta menjadikan kereta api jarak dekat sebagai alat
transportasi pulang pergi setiap harinya. Selanjutnya di berbagai stasiun
kecil yang terpencil letaknya, dikenal adanya hari-hari pasar yang tertentu
waktunya. Pada hari-hari pasar ini para pedagang kecil berbondong-
bondong mendatangi stasiun-stasiun terpencil, dengan barang dagangan
yang didatangkan dari kota-kota. Biasanya para pedagang pria membawa
barang-barang pikulan, sedangkan para pedagang wanita dengan barang-
barang gendongannya maupun dipikul di atas kepala.
Kalangan pribumi banyak mendapat kesempatan atau peluang kerja
dengan beroperasinya kereta api. Perusahaan kereta api milik pemerintah
Staats Spoorwegen (SS) tercatat orang yang bekerja sebanyak 30.100
35
pegawai. Dari jumlah tersebut sebanyak 100 orang insinyur golongan atas,
dan 2.500 orang golongan menengah terdiri dari bangsa Belanda, sisanya
sebanyak 27.500 orang pegawai berasal dari kalangan pribumi yang menjadi
tenaga inti untuk mengoperasikan kereta api (Tim Telaga Bakti Nusantara,
1997: 84-85).
5. Alat Transportasi Yang Tergeser Oleh Kereta Api
a. Tergesernya Angkutan Penumpang
Pada awal abad ke-19 Gubernur Jenderal Daendels berhasil
membangun jalan raya yang terbentang dari barat ke timur, sejak dari
Anyer di ujung barat Jawa Barat hingga ke Panarukan di bagian ujung
timur Jawa Timur. Alat angkutan yang meluncur diatasnya adalah kereta
yang terbuat dari kayu dan ditarik oleh kuda. Pada jarak-jarak tertentu
disediakan garasi tempat kuda yang dipakai, sebelumnya dapat diganti
dengan kuda yang masih segar sehingga perjalanan dapat diteruskan
kembali.
Kereta kuda paling disukai pada masa itu adalah kereta beroda
dua yang disebut sado atau dokar. Alat angkutan ini sangat disukai,
sehingga kalangan orang berada menjadikannya sebagai lambang atau
ukuran status sosial, yang empunya kereta memiliki kebanggaan
tersendiri. Setelah munculnya kereta api, secara berangsur-angsur sado
beralih peranannya menjadi alat angkut jarak dekat saja. Kebanyakan
sado beserta saisnya menanti muatan di sekitar stasiun kereta api. Kini
36
sado berperan sebagai pengantar dan penjemput penumpang kereta api
yang berasal dari sekitar stasiun kereta api yang bersangkutan.
Dengan hadirnya kereta api, maka sejarah kereta kuda yang
menjalani trayek jarak jauh dengan kuda penarik berganti-ganti berakhir.
Sejak itu trayek jarak jauh ditempuh oleh kereta api melalui jalan rel,
dengan daya tempuh lebih cepat dan ongkos lebih murah serta daya
angkut jauh lebih banyak.
b. Tergesernya Angkutan Barang
Menumpuknya hasil bumi dan hasil perkebunan, maka
digunakan kereta beroda dua yang ditarik oleh hewan-hewan untuk
mengatasi penumpukan hasil perkebunan tersebut. Dengan adanya
penambahan transportasi darat, pengangkutan hasil bumi dan hasil
perkebunan beralih ke alat transportasi baru, yaitu kereta api. Jumlah
barang yang dapat diangkut oleh alat transportasi ini jauh lebih banyak
sehingga lebih banyak mengatasi masalah angkutan, namun
perkembangan tersebut berakibat pada kereta beroda dua sebagai
pengangkut barang yang biasa disebut gerobak atau pedati berubah
peranannya menjadi alat angkut untuk jarak pendek saja (Tim Telaga
Bakti Nusantara, 1997: 86-87).
37
B. Fungsi Kereta Api
1. Barang
Kereta api di Pulau Jawa bertalian erat dengan kebutuhan akan
sarana pengangkut barang-barang atau hasil produksi. Peningkatan hasil
perkebunan dan pertanian, mendorong pemerintah Hindia Belanda
menambah transportasi darat yang dapat menembus ke wilayah-wilayah
pedalaman Jawa Tengah dengan biaya yang lebih murah, lebih cepat untuk
mengangkut hasil perkebunan dan pertanian dalam kapasitas yang besar
sehingga pemerintah membangun jalan kereta api. Pembangunan lintas rel
kereta api ini bertujuan untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah
pedalaman yang akan diekspor melalui pelabuhan Semarang, dan memajukan
pertumbuhan perekonomian penduduk pribumi di Karesidenan Semarang.
Dalam hal ini kegiatan penyaluran hasil-hasil perkebunan ke pelabuhan-
pelabuhan untuk selanjutnya diekspor ke luar negeri melalui pelabuhan-
pelabuhan yang terletak di pantai utara Pulau Jawa, seperti Tanjung Mas di
Semarang, dan Tanjung Priok di Jakarta. Barang-barang ekspor yang penting
diantaranya gula, kopi, tembakau, kulit pohon kina, lada, minyak kelapa
sawit, karet, dan batu bara. Angkutan gula dan batu bara dilakukan secara
massal dengan kereta api. Kapasitas produksi pabrik gula yang terbesar
berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari jumlah tersebut sebagian besar
diangkut dengan kereta api dan 90% dari hasil produksi diangkut ke
38
pelabuhan dengan menggunakan kereta api untuk diekspor ke luar negeri
(Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 120).
Jalan rel digunakan untuk keperluan ekspor, dan menunjang
kelancaran perekonomian di dalam negeri. Pabrik-pabrik yang mengolah
bahan mentah menjadi bahan jadi menggunakan kereta api sebagai pilihan
utama dalam transportasi yang diandalkan. Angkutan barang banyak
diangkut oleh kereta api pada masa itu, antara lain barang bangunan, kayu
olahan, kayu bakar, arang kayu, dan bahan makanan sebagai kebutuhan
pokok masyarakat. Perkeretaapian di zaman Hindia Belanda sudah mengenal
door to door services dengan adanya A-B Diens Afhaal en Brengdiens (Dinas
ambil-bawa) dengan kendaraan truk di beberapa stasiun tertentu, yaitu untuk
memberikan pelayanan kepada para pemakai jasa kereta api dengan
mengambil barang tertentu yang akan dikirim menggunakan kereta api dari
alamat si pengirim ke stasiun, dan atau mengantarkan kiriman yang datang di
stasiun dengan kereta api ke alamat si penerima (Tim Telaga Bakti
Nusantara, 1997: 121).
39
Pengangkutan barang-barang jalur Kerajaan-Semarang dalam volume,
1870-1879
(angkutan barang-barang total dikali 100)
Stasiun 1870 1871 1872 1873 1874 1875 1876 1877 1878 1879
Semarang 45.2 55.2 53.1 66.0 79.0 93.2 113.0 114.3 119.0 113.9
Alas Tuwa 0.0 0.0 0.0 0 0 0 0 0 0 0
Brumbung 1.8 13.6 2.4 1.8 1.2 1.0 0.6 0.3 0.4 1.5
Tanggung 12.4 0.2 0.0 0.2 0.1 0.3 0.2 11.6 23.6 19.2
Kedungjati 13.8 11.7 11.5 8.2 10.1 6.7 9.7 10.5 12.3 11.6
Padas 0.0 0.0 0.1 0.8 0.9 1.3 2.7 2.7 1.3 1.4
Gedangan 2.2 1.8 1.3 2.7 5.2 10.1 9.8 9.3 9.7 12.6
Telawa 0.2 0.9 0.5 1.8 3.0 1.6 0.9 0.8 2.5 5.4
Serang 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Gundi 2.1 4.9 2.6 4.1 6.8 6.7 11.3 15.5 21.7 18.9
Tempuran 0.3 3.2 9.3 9.1 10.2 8.2 9.7 2.5 1.0
Gogodalem 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.0 0.0
Bringin 2.2 2.7 1.7 0.9 1.8 0,9 0.8 0.7 1.1
Tuntang 1.2 2.0 2.3 4.0 3.9 4.2 4.9
Ambarawa 2.5 6.0 5.4 9.6 6.9 3.5 5.7
Total 78.6 109.8 98.6 133.2 170.2 190.8 39.9 237 258.5 277
(Sumber Djoko Suryo, 1989: 158)
Tabel di atas menunjuk pada jumlah wilayah dan barang yang diangkut
kereta api, serta menggambarkan perubahan jumlah pengiriman barang tahun
1870-1879 dari wilayah-wilayah Semarang, Alas Tuwa, Brumbung,
Tanggung, Kedungjati, Padas, Gedangan, Telawa, Serang, Gundi, Tempuran,
Gogodalem, Bringin, Tuntang, dan Ambarawa.
Volume perdagangan di setiap stasiun tersebut berkaitan dengan
besar kecilnya stasiun, dan jaringan pasar-pasar pedesaan yang berhubungan
dengan stasiun bersangkutan. Stasiun yang memasarkan barang-barang
dalam jumlah besar itu merupakan titik-titik penting lalu lintas perdagangan
40
untuk daerah-daerah pedesaan disekitarnya. Stasiun-stasiun Tanggung,
Kedungjati, Gedangan, dan Gundi dihubungkan dengan daerah-daerah
pedesaan yang mengekspor beras dan hasil pertanian yang lain seperti
Ambarawa dan beberapa stasiun lainnya berasal dari distrik Salatiga,
Tengaran, Ambarawa, Ungaran, dan Kedu. Sebaliknya beberapa stasiun yang
lainnya Alas Tuwa, Brumbung, Padas, Telawa, Serang, Tempuran,
Gogodalem, Bringin, dan Tuntang hanya memasarkan sejumlah kecil barang,
disebabkan karena kecilnya daerah pedesaan disekitarnya atau karena ada
stasiun yang lebih besar didekatnya. Pada umumnya jarak antar stasiun kira-
kira 7 km, sehingga sebuah stasiun yang terletak antara stasiun-stasiun yang
lebih besar memasarkan barang-barang dalam jumlah yang lebih kecil seperti
Alas Tuwa dan Brumbung yang terletak di antara Semarang dan Tanggung,
serta Padas antara Kedungjati dan Gedangan.
Volume barang-barang yang diangkut oleh kereta api di Karesidenan
Semarang sebagaimana yang tercantum dalam tabel meningkat empat kali
lipat selama periode 1870-1879. Peningkatan sangat menonjol di stasiun-
stasiun kereta api yang utama, seperti Semarang dan stasiun-stasiun lokal
yang besar seperti Tanggung, Gedangan, Telawa, Gundi, serta Ambarawa.
Pertumbuhan pengangkutan barang-barang melalui stasiun lokal
mencerminkan lalu lintas barang-barang antara daerah pedesaan dengan
stasiun lokal, tempat dimana hasil-hasil pertanian dan para produsen serta
konsumen saling berhubungan. Dampak adanya jalan kereta api terhadap
41
pertumbuhan perdagangan timbul dari kenyataan bahwa kereta api mampu
mengangkut lebih banyak barang dengan cepat dan lebih murah daripada
alat-alat angkutan lokal. Biaya pengangkutan barang dengan kereta api ialah
5 sampai 10 sen per km.
Kereta api memiliki kapasitas yang besar dan kecepatan yang tinggi.
Kereta api swasta Semarang-Surakarta menggunakan ukuran yang terbesar di
Jawa, dan daya jelajahnya 30 km per jam. Sebagai perbandingan, sebuah
gerobak lokal yang ditarik dua ekor sapi atau kerbau memiliki kapasitas 5
sampai 7 pikul barang (kira-kira 300 sampai 420 kilogram), dan kemampuan
jelajahnya hanya sekitar 15 sampai 18 km per 24 jam. Kuli rata-rata hanya
mampu membawa ½ sampai 1 pikul barang (kira-kira 31 sampai 62
kilogram) dan hanya mampu menempuh 18 sampai 24 km per 24 jam.
Pengangkutan barang-barang dari Semarang-Surakarta (berjarak 110 km)
karenanya ditempuh sekitar 3,5 jam dengan kereta api, akan tetapi sampai
sekitar 6 hari dengan gerobak lokal atau 4 hari dengan kuli. Sama halnya
pengangkutan antara Semarang dan Kedungjati (berjarak 35 km) ditempuh
dalam waktu 1 jam dengan kereta api, akan tetapi dengan gerobak lokal atau
kuli memerlukan 1 sampai 1½ hari (Djoko Suryo, 1989: 157-159). Maka
angkutan barang kereta api memerlukan banyak gerbong kereta, karena
barang-barang yang diangkutnya beraneka ragam. Oleh karena itu, bentuk
gerbong barang harus disesuaikan dengan muatan yang diangkutnya. Ada
42
beberapa tipe gerbong dalam kereta api, tipe-tipe gerbong dimaksud
diantaranya yaitu:
a. Gerbong “G” untuk memuat barang-barang dan pintunya dapat ditutup.
b. Gerbong “P” untuk memuat barang-barang yang berupa batangan atau
yang bentuknya panjang.
c. Gerbong “V” untuk memuat ternak.
d. Gerbong “Z” untuk memuat pasir.
e. Gerbong “K” untuk memuat benda-benda cair seperti minyak, bensin dan
lain sebagainya.
Tipe gerbong-gerbong tersebut di atas kebanyakan milik pemerintah
(SS), namun ada juga gerbong-gerbong barang yang pemilikannya bersifat
lokal (swasta), seperti gerbong ketel (K) milik perusahaan minyak (BPM),
gerbong arang batu milik tambang batu bara Sawahlunto atau Ombilin (Tim
Telaga Bakti Nusantara, 1997: 110).
2. Penumpang
Di Pulau Jawa kereta api banyak berperan sebagai alat angkutan
umum, dan mengemban fungsi sebagai sarana angkutan cepat jarak jauh.
Kalangan pribumi di Jawa sangat menggemari kereta api pasar untuk
perjalanan jarak dekat dan kereta api campuran. Kalangan pribumi
mengangkut hasil pertanian dan memasarkannya ke tempat-tempat ramai di
sekitar jalan kereta api. Selain itu terdapat murid-murid atau pelajar sebagai
pelanggan tetap yang bepergian ke sekolah lanjutan di kota-kota besar.
43
Mereka bersama pegawai-pegawai kantor dan penumpang-penumpang lain
naik kereta api penumpang biasa (Boemel) yang perjalanannya sudah diatur
sehingga dapat memenuhi kebutuhan para pemakai.
Kereta api ekspres dan kereta api cepat disediakan khusus untuk
melayani masyarakat kelas menengah ke atas dan pedagang-pedagang
menengah ke atas. Fasilitas kereta penumpang diperbaiki, waktu tempuh
diperpendek, kecepatan ditambah, dan saat berhenti di stasiun antara
dipersingkat. Dengan cara-cara tersebut mutu pelayanan dapat ditingkatkan
dan masyarakat pemakai semakin menyenanginya (Tim Telaga Bakti
Nusantara, 1997: 121-122).
Kereta penumpang berupa kereta atau gerbong yang digunakan
untuk mengangkut manusia. Kereta penumpang diperlukan dalam jumlah
banyak, di dalam kereta penumpang diberi gang sebagai ruang untuk berjalan
di tengah-tengahnya. Di bagian kiri dan kanan gang ditempatkan kursi-kursi
bagi para penumpang. Khususnya bagi rakyat kecil atau penduduk bumi
putera dipasang tiga baris bangku yang membujur sejajar kereta.
Kereta penumpang di bagi ke dalam kelas-kelas, ada tiga macam
kelas yaitu:
a. Kereta kelas I atau seri A
b. Kereta kelas II atau seri B, dan
c. Kereta kelas III atau seri C.
44
Di luar ketiga seri tersebut di atas, terdapat kereta tipe lain seperti:
a. Seri D untuk barang-barang bagasi atau hantaran.
b. Seri F sebagai kereta makan.
c. Seri M sebagai kereta khusus untuk para pedagang kecil yang akan ke
pasar dan lain-lain.
Pada kereta api penumpang ada tiga kelas, kelas terakhir lazimnya
diperuntukkan bagi kaum pribumi dengan papan bertuliskan Inlanders
(Sartono Kartodirdjo, 1990: 367). Perbedaan kelas juga didasarkan atas
perbedaan tarif, yang terperinci di bawah ini :
kelas 1 5½ sen per km
kelas 2 3 sen per km
kelas 3 1 sen per km
Pada masa kolonial masyarakat bumi putera tidak dibenarkan menggunakan
kereta kelas I, sekalipun mereka mampu membayar mereka tidak
diperbolehkan untuk menaikinya (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 111-
112).
C. Tinjauan Edukatif
Penerapan nilai-nilai perkembangan transportasi Kereta Api di
Karesidenan Semarang merupakan pencerminan penambahan transportasi darat
yang memberikan motivasi terhadap generasi muda untuk dapat memajukan
perekonomian di Indonesia.
45
Pelajaran atau nilai-nilai yang dapat dipetik dari Sejarah Transportasi
Kereta Api di Karesidenan Semarang Tahun 1870-1900 adalah :
1. Alat transportasi darat kereta api sampai saat ini masih terus berkembang
dengan teknologi yang sangat maju, dan membuka wilayah-wilayah baru di
pedalaman Jawa Tengah yang disebabkan oleh berkembangnya pusat-pusat
perkebunan dan pabrik-pabrik.
2. Dengan adanya transportasi kereta api mengakibatkan terjadinya komunikasi
langsung dan masuknya pendidikan dari kota melalui wilayah pantai
(pelabuhan), dan wilayah pedalaman yang saling berhubungan dengan kota.
3. Jalur kereta api menghubungkan semua wilayah-wilayah di Jawa Tengah,
dan berkembangnya kawasan-kawasan pemukiman baru di sepanjang jalur
lintas kereta api serta sarana transportasi kereta api mempertemukan budaya
pantai dengan budaya pedalaman yang tradisional.