Upload
danghuong
View
218
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
97
BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS
Bab keempat dilandaskan pertanyaan penelitian pertama, yaitu
bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di
Desa Balinuraga. Untuk menggambarkan dan menjelaskan proses
pembentukan identitas tersebut, pola hubungan negara pusat dan satelit
menjadi sangat penting. Balinuraga sebagai negara satelit tidak dapat
melepaskan dirinya dari Bali sebagai negara pusat. Hal ini disebabkan –
seperti yang dikemukan Geertz (1959) – kuatnya ikatan sosial yang
mengikat masyarakat Bali. Ikatan sosial yang kuat menjadikan Balinuraga
(negara satelit di luar Bali) tetap mengorbit pada pusatnya. Pola hubungan
negara pusat dan satelit bukan merupakan hubungan yang statis, tetapi
dinamis. Seperti yang menjadi kritik Schulte Nordholt (2009) atas
kestatisan hubungan negara pusat dan satelitnya Geertz (1980) dalam
negara teater. Hubungan negara pusat dan satelit yang dinamis
menjadikan keduanya (pusat dan satelit) sebagai aktor pengkonstruksi
identitas. Dengan kata lain, mengacu pada tiga pengklasifikasian identitas
berdasarkan bentuk dan asal usulnya Castells (2002), tidak hanya negara
pusat yang menjadi aktor atau agen dalam mengkonstruksikan identitas
satelit menjadi identitas yang sahih (legitimizing identity), tetapi negara
satelit (Balinuraga) juga menjadi aktor yang mengkonstruksikan
identitasnya dalam bentuk resistance dan project identity sebagai bagian
dari politik identitas Balinuraga sebagai satelit yang aktif.
Aktor
Datang dari sebuah pulau kecil, Nusa Penida, di sebelah timur
Pulau Bali, dengan semangat dan tujuan yang sama, yakni mencari
penghidupan secara ekonomi yang lebih baik, bukan menjadi satu-satunya
tujuan utama bagi transmigran Bali Nusa. Sukses secara ekonomi di tanah
rantau dan menjadi kaya, tidak akan berarti apa-apa jika mereka
kehilangan identitas leluhurnya – identitas sebagai orang Bali Hindu.
Kehilangan identitas berarti kehilangan jati diri mereka sebagai Bali
Hindu, di mana secara sosial dan kultural mereka tersisihkan dari
komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, maupun di tanah kelahiran.
Ini berarti kehilangan hak dan kewajiban mereka sebagai Bali Hindu, baik
98
berupa ikatan kekerabatan, adat istiadat, maupun status sosial yang
disandangnya terun-temurun. Kekayaan materi tidak dapat menggantikan
identitas tersebut. Beban psikologis secara sosial dan kultural akibat
kehilangan identitas leluhur tidak dapat dibandingkan dengan kehilangan
materi. Kekayaan materi dapat dicari melalui ketekunan dan kerja keras,
tapi kekayaan komunitas yang terkandung di dalam identitas leluhur tidak
dapat diperoleh kembali jika telah hilang akibat keputusan si individu
untuk kepentingan tertentu baik bersifat politis maupun perkawinan –
kasus umum: berpindah agama132
.
Identitas ini sudah melembaga di setiap individu dan komunitas.
Ini yang menjadikan kuatnya ikatan antar individu yang memberikan
ikatan kuat terhadap komunitas, di mana akhirnya melahirkan lembaga-
lembaga yang bersifat formal dan informal dalam komunitas dan antar
komunitas itu sendiri. Misalnya, dalam skala kecil –level keluarga besar –
berupa identitas klan (warga, soroh, dadia, atau kawitan), di atasnya
berupa ikatan tempat asal, ikatan adat dan agama. Melalui identitas ini rasa
percaya diri muncul di daerah baru. Kepercayaan diri yang memampukan
mereka untuk dapat eksis, baik dalam komunitas adat dan agama maupun
dalam bidang ekonomi terkait profesi mereka sebagai petani yang dalam
kegiatannya harus berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain yang
berbeda secara budaya dan kepercayaan.
Bertransmigrasinya orang Bali Nusa ke Lampung tidak serta merta
berpindahnya keaslian identitas leluhur sama seperti di tanah kelahiran.
Proses transmigrasi yang bersifat spontan dan sporadis karena kondisi
alam yang memaksa mereka untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan
132
Kasus berpindah agama – dari agama Hindu ke agama lain non-Hindu –
merupakan kasus umum yang jarang terjadi. Beberapa narasumber menjelaskan
bahwa motif politik dan perkawinan menjadi salah satu alasan mengapa mereka
pindah agama. Pindah agama – menurut para sepuh dikatakan sebagai „jalan
singkat‟ – bagi mereka yang memiliki ambisi politik untuk menduduki posisi
tertentu (jabatan administratif dalam pemerintahan atau pun jabatan politik),
karena dalam lingkungan kerjanya memiliki posisi sebagai minoritas. Termasuk,
perkawinan beda agama – ikut agama atau kepercayaan dari pihak istri atau suami
– yang mengakibatkan si individu berpindah agama: „jalan singkat‟ agar dapat
menikah dengan calon istri atau suami yang berbeda agama.
99
harapan besar untuk meningkatkan perekonomian keluarga, menyebabkan
ada beberapa elemen dalam identitas itu yang tertinggal di tempat asal.
Misalnya, seka-seka dan banjar yang merupakan ikatan sosial yang
melekat dalam diri orang Bali Hindu dan menjadi identitas mereka secara
sosial dan keagamaan. Hal ini disebabkan tidak semua anggota dalam seka
dan banjar tersebut bertransmigrasi. Secara psikologis, ketakutan akan
hilangnya identitas leluhur dan kecemasan akan nasib di tanah rantau,
menyebabkan ada yang memutuskan untuk bertransmigrasi dan tetap
tinggal di tanah leluhur133
. Akibatnya, mereka yang bertransmigrasi
merupakan transmigran yang berasal dari banjar dan seka-seka yang
berbeda-beda, di mana setiap banjar dan seka memiliki identitas sosial dan
kultural yang tidak sama dengan banjar dan seka yang lain.
Di samping itu, tidak semua dari mereka yang bertransmigrasi
memiliki pemahaman yang mendalam tentang identitas kultural dan
keagamaan mereka di tempat asal. Tingkat pendidikan formal mereka pun,
transmigran pertama, rata-rata sangat minim. Mayoritas dari mereka masih
buta huruf. Ini dapat dimaklumi karena mereka berasal dari pulau kecil
dengan akses informasi yang tentunya terbatas dengan pulau induk. Belum
lagi kondisi sosial politik dan geografis yang tidak mendukung, khususnya
pasca kolonialisme, di mana gejolak sosial politik antara afiliasi politik
pro-kanan dan pro-kiri terfokus di pulau induk.
Faktor penting lainnya adalah keadaan geografis dan sosial-
kultural di daerah transmigrasi yang sangat berbeda dengan tanah
kelahiran – kondisi tersebut ditambah dengan tingkat pendidikan yang
minim serta kehidupan awal bertransmigrasi yang sulit – menyebabkan
133
Sebagai perbandingan lihat hasil penelitian: (1) Kasus transmigrasi etnis Bali
ke Parigi Sulawesi Tengah dalam: Davis, Gloria. (1976). Parigi: A Social History
at the Balinese Movement to Central Sulawesi 1907-1974, Disertasi Doktor
Stanford University; dan (2) Kasus transmigrasi etnis Bali di Sumbawa dalam:
Wirawan, A. A. Bagus. (2008), Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di
Sumbawa, 1952-1997, Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III,
No.6 Desember 2008. Sebagai alat analisis apa yang menjadi keterikatan sosial
orang Bali yang menyebabkan mereka sulit untuk bertransmigrasi (bermigrasi)
atau meninggalkan tanah kelahirannya ( di dalam banjar atau desa adat tertentu)
lihat juga: Geertz, Clifford. (1959), From and Variation in Bali Village Structure,
dalam America Antropologist Vol. 61. Pp.991-1012.
100
kevakuman identitas134
. Elemen-elemen identitas yang tersisa – yang
hanya melekat dalam diri individu (bersifat personal) – semakin terkikis di
tempat yang baru karena proses adaptasi alamiah dengan keadaan
geografis dan sosial-kultural yang baru, tingkat pendidikan yang sangat
minim, serta kesulitan hidup pada masa-masa awal. Ketika menghadapi
keadaan tersebut, sangat sulit bagi para transmigran untuk berpikir tentang
ego identitas klan-klannya, dan cenderung pasrah / tergantung pada
pemimpin komunitasnya (transmigran Bali Nusa).
Dalam kondisi kevakuman identitas inilah mereka membutuhkan
seorang sosok atau tokoh yang dapat dijadikan sebagai acuan atau patron
bagi mereka agar dapat memiliki atau mendapatkan kembali jati diri atau
identitas leluhurnya. Patron bagi mereka adalah seorang aktor (tokoh) yang
memiliki kekuatan sekala dan niskala, di mana dapat memimpin mereka
secara sosial (komunitas), adat dan keagamaan. Kepadanya (patron)
mereka mendapatkan perlindungan, dan memiliki identitas. Transmigran
(klien) yang berpusat pada seorang tokoh (patron) adalah kekuatan bagi
patron tersebut. Sang patron tersebut ada dan memiliki kekuatan secara
sosial dalam komunitas transmigran melalui kepercayaan dari para klien
yang menggantungkan perlindungan dirinya pada sang patron.
Sri Mpu Suci: The Powerfull Pandé
Aktor utama dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa
adalah Sri Mpu Suci. Peran penting sosok Sri Mpu adalah membawa
transmigran Bali dari Pulau Nusa Penida menuju daerah transmigrasi di
Lampung Selatan. Sebagai seorang inisiator dan pemimpin yang memiliki
kharisma dan pengetahuan, Sri Mpu bertanggungjawab tidak hanya
membawa para transmigran sampai ke tempat tujuan, tapi juga
bertanggungjawab secara moral terhadap keberlangsungan hidup
134
Meskipun tanah daerah transmigrasi di Lampung Selatan lebuh subur daripada
Nusa Penida, mereka (para transmigran) harus berhadapan dengan hutan baru
yang harus dibuka untuk lahan pertanian - hutan yang masih lebat dengan hewan-
hewan liar seperti gajah, babi hutan, dan harimau sumatera, termasuk nyamuk
penyebab malaria -, kelompok penduduk lokal dan kelompok-kelompok
pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Jawa (transmigran Jawa) yang
secara kebudayaan dan kepercayaan berbeda dengan transmigran Bali.
101
transmigran dan keluarganya setelah berada di Lampung. Tanpa
kepemimpinannya, komunitas transmigran yang belum mapan ini akan
bubar, dan bukan tidak mungkin sebagian dari mereka akan terpencar-
pencar dan kembali ke Nusa Penida. Hal ini disebabkan di masa-masa awal
kedatangan mereka ke Lampung kehidupan sangat sulit dan berat.
Kedudukannya sebagai patron mempersatukan komunitas transmigran Bali
Nusa di masa-masa awal. Para transmigran memberikan kepercayaannya
kepada Sri Mpu untuk memimpin mereka selama berada di Lampung
Selatan. Kepercayaan ini dilandaskan pada kapasitas dan kapabilitasnya
yang mumpuni. Tidak hanya kemampuan yang tampak mata, tapi juga
yang tak tampak mata. Syarat kepemimpinan ini sesuai dengan tradisi yang
dipercaya oleh mayoritas orang Bali Hindu, bahwa seorang pemimpin
harus memiliki kemampuan sekala (alam nyata) dan niskala (tidak terlihat
/ alam gaib)135
. Artinya, seorang pemimpin diharuskan menguasai dan
memiliki kekuatan yang berasal dari dunia riil (nyata, terujud), tapi juga
yang nir-ujud (kekuatan tak nampak mata, bersifat magis). Mereka percaya
bahwa pemimpin yang memiliki kekuatan seperti ini dapat dijadikan
sebagai pemimpin, dan menjadi patron atau acuan (pusat) bagi para
pengikutnya (klien: transmigran Bali Nusa).
Ketika kevakuman identitas itu terjadi, sosok Sri Mpu Suci sebagai
patron menjadi penting. Kedudukannya sebagai pusat atau acuan bagi para
transmigran memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengisi
kevakuman identitasnya. Hal ini disebabkan lemahnya fondasi identitas
asal mereka ketika bertransmigrasi dan sampai di daerah transmigrasi.
Fondasi identitas asal yang dimaksudkan adalah identitas dari lingkungan
sosial di mana mereka dilahirkan, atau banjar di mana mereka berasal.
Minimnya pendidikan dan pengetahuan akan adat dan keagamaan
135
Bagaimana keterkaitan hubungan antara raja (pemimpin/patron) dengan
rakyatnya (klien) dalam konteks hubungan antara dunia sekala dan niskala terkait
konsep “negara” di Bali pada masa prakolonial, lihat: Schulte Nordholt (2009)
The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940. Untuk penjelasan lebih detail
mengenai konsep sekala dan niskala dapat dilihat dalam: Eiseman (2005) Bali:
Sekala & Niskala (Volume I: Essays on Religion, Ritual, and Art).
102
merupakan penyebab lemahnya fondasi identitas asal tersebut136
. Situasi
ini diperparah dengan beban psikologis dan ekonomi yang menjepit
mereka selama perjalanan dan tahun-tahun awal berada di daerah
transmigrasi. Situasi ini memperbesar ketergantungan mereka terhadap
sang aktor yang menjadi patron utama – Sri Mpu Suci – untuk memperoleh
perlindungan.
Cara untuk mengisi kevakuman identitas tersebut adalah dengan
menjadi pengikut identitas asal Sri Mpu Suci, di mana sebagian besar dari
mereka memiliki identitas asal yang berbeda patron karena berasal dari
banjar yang berbeda; atau, dalam desa atau banjar yang sama tapi berasal
dari klan yang berbeda. Dalam kasus ini, perlindungan yang diharapkan
dari klien sebenarnya bukan hanya perlindungan fisik, tapi perlindungan
fisik yang didasarkan karena adanya persamaan identitas dengan patron.
Dengan demikian, mereka merasa semakin terlindungi. Dari sisi patron,
sudah menjadi kewajiban untuk melindungi kliennya.
Pada masa-masa ini para klien belum berpikir panjang atas
keberlangsungan identitas asal mereka, sehingga komunitas transmigran
Bali Nusa – Balinuraga – memiliki satu identitas yang sama dengan patron.
Nantinya, ketika Sri Mpu Suci wafat, pengkopian identitas sebagian besar
klien terhadap patron menyebabkan terjadinya pengkotak-kotakan identitas
di dalam komunitas Balinuraga, yaitu ketika timbulnya kesadaran dari
setiap klan – kelompok masyarakat dari banjar-banjar lain yang memiliki
klan yang berbeda dengan patron ketika masih berada di Nusa Penida –
untuk mencari jati dirinya sendiri, dan tidak lagi bergantung pada identitas
patron yang telah wafat.
Masyarakat Bali sebenarnya cukup beragam di dalam
komunitasnya sendiri sebagai Bali Hindu. Masyarakatnya terdiri dari
136
Lemahnya pengetahuan tentang agama (dan termasuk adat di dalamnya) pada
transmigran Bali Nusa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh larangan / paham
ajawera (aja wera), yaitu larangan yang membatasi keleluasaan masyarakat untuk
mempelajari agama secara mendalam (Wiana & Santeri 2005); larangan
memberitahukan isi kitab-kitab Weda kepada golongan Sudra, hanya kaum
brahmana dan kesatria yang boleh mempelajarinyal paham yang melarang
sudrawangsa mempelajari lontar-lontar yang mengandung ajaran agama Hindu
(Karepun 2003).
103
berbagai klan-klan, atau dalam Bali disebut sebagai warga atau soroh137
.
Di masa pemerintahan kolonial, tepatnya di tahun 1920-an, keberagaman
ini semakin ditonjolkan untuk melahirkan sebuah perbedaan yang sangat
mencolok dengan melakukan pemilah-milahan kelompok masyarakat
berdasarkan wangsa (kasta) berserta dengan kedudukan istimewanya dari
pihak kolonial, yaitu melalui proyek Balinisasi138
. Kebijakan ini
mengakibatkan pemilahan kelompok masyarakat Bali berdasarkan
fungsinya di dalam masyarakat – seperti dalam “catur warna” dalam
konsep Hindu – menjadi sangat tertutup (kaku), di mana sangat sulit
seseorang dari lapisan tertentu untuk beralih ke lapisan yang lebih tinggi
atau sebaliknya, kecuali ada kasus-kasus khusus seperti pelanggaran adat
atau perkawinan beda wangsa (kasta)139
. Kebijakan pemerintah kolonial
yang bersifat campur tangan ini pada akhirnya menimbulkan
ketidakpuasan dan gejolak sosial politik di dalam masyarakat Bali yang
sebenarnya benih-benih konflik tersebut sudah ada dan berlangsung cukup
lama sejak masa kerajaan. Namun, di masa kerajaan keberagaman
kelompok masyarakat Bali tidak seajeg atau sekaku di masa pemerintahan
kolonial yang berambisi mengembalikan Bali seperti aslinya dan menjadi
Bali sebagai surga dunia140
. Pada masa kolonial inilah, masyarakat Bali
137
Kata “warga” dalam artian luas berarti keluarga atau klan; kelompok
keturunan; sistem kekerabatan berdasarkan geneologi atau garis keturunan dari
leluhur tertentu (konsep “warga” dapat dilihat juga dalam: Wiana & Santeri 2005,
Eiseman 2005, Howe 2005, Wiana 2006, Kerepun 2007). Dalam kamus Bahasa
Jawa Kuno (Zoetmulder 1982) warga diartikan: (separate division, class, group,
company, family), category, group, class, escp of persons (c f watek); family. 138
Lihat: Robinson, Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political
Violence in Bali, Ithaca and London: Cornell University Press. 139 Penjelasan mengenai larangan-larangan dan sangsi-sangsi bagi perkawinan
beda wangsa di masa kolonial dapat dilihat dalam Kerepun (2007) “Mengurai
Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali” hlm. 161-195.
Lihat juga: Atmaja, Jiwa. (2008), Bias Gender: Perkawinan Terlarang Pada
Masyarakat Bali, Denpasar: Udayana University Press & Bali Media Adhikarsa;
Budiana, I Nyoman. (2009), Perkawinan Beda Wangsa Dalam Masyarakat Bali,
Yogyakarta: Graha Ilmu. 140
Di masa kerajaan seorang raja mempunyai hal untuk bisa menaik-turunkan
status seseorang (jabawangsa menjadi bangsawan dan sebaliknya), dan gelar
bangsawan yang diberikan kepada jabawangsa ditujukan agar mereka menjadi
104
mengalami konstruksi identitas atas pengaruh atau intervensi kekuasaan,
yaitu pemerintah kolonial, yang sejak di awal abad ke-20 mulai menguasai
Bali141
.
Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana pengaruh konstruksi
identitas pemerintah kolonial terhadap masyarakat Bali di Nusa Penida
(Bali Nusa)? Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, efek
dari konstruksi identitas pemerintah kolonial (Balinisasi) bagi masyarakat
Bali Nusa tidak semencolok seperti di pulau induk, Bali. Selain faktor
geografis yang cukup sulit dijangkau – berpengaruh terhadap arus
informasi yang masuk ke Nusa Penida dan kondisi sosial politik yang
terpusat dan bergulat hanya di pulau induk – juga dikarenakan posisi pulau
ini yang sejak masa kerajaan dijadikan tempat pembuangan politik bagi
musuh-musuh kerajaan atau pun orang-orang yang melakukan praktek
ilmu hitam serta kejahatan masyarakat. Orang-orang yang dibuang dari
pulau induk ke Nusa Penida sebagian besar bukanlah orang biasa, tapi
orang-orang yang semasa di pulau induk memiliki pengaruh dan status
sosial yang penting. Akibatnya, masyarakat di Nusa Penida lebih egaliter
karena identitas mereka sebagai orang-orang buangan atau tahanan politik.
Status sosial mereka yang tinggi dan penting sewaktu di pulau induk tidak
berarti apa-apa setelah diasingkan (dibuang) ke Nusa Penida. Dengan kata
lain, status sosial mereka sama dengan masyarakat asli dan masyarakat
biasa yang ada di Nusa Penida. Situasi ini yang menyebabkan masyarakat
Nusa Penida tidak mendapatkan pengaruh langsung yang berdampak
secara nyata dalam kehidupan sosial mereka atas kebijakan Balinisasi
pemerintah kolonial. Namun, situasi ini tidak membuat mereka hidup
tanpa identitas. Status sosial menjadi lebih egaliter di pulau kecil ini, tapi
identitas asal mereka tetap dipertahankan, yaitu identitas yang berasal dari
klan atau warga. Meskipun ada di antara mereka ada yang berasal dari
warga yang dulunya (baik di masa kerajaan atau sebelum diasingkan ke
Nusa Penida) memiliki status sosial dan kedudukan yang tinggi, setelah di
lebih setia kepada raja dan membatasi bangsawan-bangsawan lain yang menjadi
saingan politik raja (Schulte Nordholt 2009). 141
Lihat: Vickers, Adrian. (1996), Bali: A Paradise Created, Singapore: Periplus
Edition.
105
Nusa Penida tidak ada pengistimewaan itu di dalam masyarakatnya.
Kedudukan mereka tetap sama setelah berada di Nusa Penida. Status sosial
atau pun kedudukan sosial tinggi yang mereka dapatkan di Nusa Penida
bukan ditentukan oleh sejarah warga mereka di masa lampau, tapi lebih
ditentukan oleh kapasitas dan kepabilitas si individu, yaitu bagaimana
mereka memiliki kekuatan sekala dan niskala – yang mana di pulau ini
memang dikenal sebagai pulau yang memiliki kekuatan niskala tersohor
jauh sebelum masa kolonial142
.
Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana efeknya bagi
transmigran Bali Nusa setelah berada di Lampung? Setelah berada di
Lampung, transmigran Bali Nusa lebih nyaman dengan identitas warga
atau klannya daripada dengan identitas wangsa atau kasta – ini merupakan
identitas antar klan di dalam komunitas Bali Hindu, bukan menjadi
identitas Bali Hindu karena klan-klan ini berada di bawah satu identitas
Bali Hindu. Mereka menilai bahwa kasta tidak mewakili identitas klan atau
warga-nya, dan itu (kasta) tidak menjadi penting setelah berada di
Lampung:
“Di sini tidak ada kasta-kastaan. Di Lampung sama semua.
Kalau dibilang sudra, ya sudra semua. Tapi, di sini kami adalah
warga (klan) Pandé, Pasek, Arya (dan lain-lain). Toh, sama-
sama tani, sama-sama ngerantau (dan bukan sudra, atau tidak
mau disebut sebagai sudra).”
Informasi yang didapatkan dari informan kunci dan beberapa anggota
warga lainnya, mereka dapat menjelaskan mengapa mereka lebih condong
atau lebih suka memakai istilah warga daripada kasta – khususnya
informan yang sudah sepuh. Ini tidak terlepas dari faktor sejarah yang
didapatkan dari tetua mereka ketika masih berada di Bali seputar
perlawanan yang dilakukan beberapa warga yang menentang kebijakkan
Balinisasi pemerintah kolonial yang mencampakkan warga mereka ke
142
Cerita (mitologi) kekuatan gaib yang ada di nusa penida yang berkembang luas
di kalangan masyarakat Bali (dan bagi sebagian masyarakat Balimasih dipercaya
eksistensinya) adalah keberadaan Jero Gede Mecaling yang memiliki kekuatan
gaib yang menakutkan.
106
dalam kasta sudra (sudrawangsa atau jabawangsa). Tidak hanya fakta
sejarah mengenai perlawanan berbagai tokoh warga-warga yang menolak
kebijakan pemerintah kolonial tersebut, tapi penjelasan sejarah mengenai
peran, fungsi, dan asal usul warga mereka pada masa kerajaan-kerajaan
(pra kolonial), baik ketika masih berada di Jawa maupun setelah berada di
Bali. Informasi yang mereka jelaskan pun bukan informasi kosong yang
tidak memiliki bukti tertulis. Kepada penulis, mereka memberikan dan
menunjukkan (juga mengizinkan penulis untuk mendokumentasikannya)
tulisan sejarah tersebut. Catatan tertulis tersebut dikelompokkan pada dua
masa, yaitu pada masa kerajaan-kerajaan dan pada masa kolonial. Catatan
sejarah pada masa kerajaan merupakan sebuah babad warga yang berisi
sejarah, asal usul keturunan, fungsi dan peran mereka pada masa itu;
sedangkan catatan sejarah pada masa kolonial berisi bagaimana
perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial mengenai kebijakan
Balinisasi yang mencampakkan warga mereka ke kasta sudra143
. Dalam
catatan pada masa kolonial ini dilengkapi juga catatan perdebatan antara
tokoh-tokoh warga dengan pihak kolonial dan perwakilannya (keturunan
raja yang diangkat oleh pemerintah kolonial), di mana catatan perdebatan
ini bersumber dari dokumentasi pemerintah kolonial. Dokumen-dokumen
sejarah ini, baik pada masa kerajaan maupun masa kolonial, ada yang
sudah diterbitkan ke dalam buku, tapi ada yang belum diterbitkan (untuk
kalangan sendiri, kelompok warga itu)144
. Dokumen sejarah yang sudah
143
Seperti yang dicatat oleh Robinson (2006: 97) bahwa: “Pada saat yang
bersamaan, banyak kelompok atau jaringan klan yang terhormat tapi “bukan
ningrat”, seperti Pandé, Pasek, dan Sengguhuh, secara kurang senonoh
dicampakkan ke dalam kategori sudra yang luas dan longgar di luar golongan
bangsawan, sehingga banyak sekali kehilangan hal dan prestise politik.” 144
Di antaranya adalah dokumen Warga Pandé yang ditulis oleh Made Kembar
Kerepun – yang merupakan salah satu tokoh dari golongan jabawangsa yang
terkenal vokal dan aktif menulis sejumlah buku dan artikel (mantan pejabat Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Gianyar 1965-1969), yaitu “Pandé Menggugat”:
Telaah Singkat atas Dokumentasi Masalah Pandé, Maha Semaya Warga Pandé
Propinsi Bali (Tidak Diterbitkan: Untuk Kalangan Sendiri). Kemudian, Ramayadi,
Pandé Made (2000), Babad Pandé: Keketus, Kapupul Ian Kepipil, Pujung: Tidak
Diterbitkan (Untuk Kalangan Sendiri); Ramayadi, Pandé Made. (2003), Upacara
Madiksa (Ngalinggihang Sri Mpu Pandé), Disajikan dalam Paruman Sri Mpu
Pandé Se-Bali (Tidak Diterbitkan: Untuk Kalangan Sendiri).
107
diterbitkan ada yang berbentuk utuh, ada pula yang dicuplikan sebagai
bahan analisis dari beberapa penulis, baik penulis (peneliti) asing maupun
lokal (umumnya berasal dari Bali). Ini bukan berarti dokumen yang tidak
diterbitkan, atau yang diperuntukan bagi kalangan (warga) sendiri, tidak
dapat dipercaya kebenarannya. Dokumen-dokumen tersebut pun juga
ditulis dan dirangkum berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada, seperti
dari catatan-catatan lontar atau pun arsip-arsip pemerintah kolonial, di
mana sumber-sumber tersebut juga digunakan oleh para penulis asing dan
lokal sebagai bahan tulisan (buku) yang diterbitkan ke khalayak145
.
Komunitas transmigran Bali Nusa – Balinuraga – memiliki tiga
komposisi besar warga-warga, yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Warga
Pasek memiliki komposisi dengan rata-rata terbesar, yaitu 50%; kemudian
Warga Pandé dan Arya masing-masing 25%146
. Sang aktor, Sri Mpu Suci,
berasal dari warga Pandé. Kedudukan Sri Mpu Suci sebagai patron
menjadikan Warga Pasek dan Arya menjadikan identitas Sri Mpu Suci
“Warga Pandé” sebagai identitas mereka. Kedua kelompok warga ini,
Pasek dan Arya, menggabungkan komunitas mereka ke dalam Banjar
Pandéarga, banjar pertama menjadi cikal bakal Desa Balinuraga –
komunitas transmigran Bali Nusa pertama di Lampung Selatan. Banjar
Pandéarga ini merupakan banjar bagi Warga Pandé yang didirikan oleh
Sri Mpu Suci. Kevakuman identitas kedua kelompok warga ini memaksa
mereka untuk meleburkan diri (bergabung) ke dalam Banjar Pandéarga,
yang sebenarnya dikhususkan bagi Warga Pandé. Namun, dikarenakan
masa-masa awal yang sulit dan di dalam kedua kelompok ini tidak
145
Salah satu contohnya adalah buku Made Kembar Kerepun (2007) yang
berjudul Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di
Bali, Editor: Jiwa Atmaja, Denpasar: Panakom Publishing. Untuk terbitan yang
lebih eksklusif seperti: Soebandi, Jro Manku Gde Ketut. (2003), Babad Pasek:
Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi, Penyunting: Wayan Supartha; Denpasar:
Pustaka Manikgeni. 146
Hitungan ini merupakan pembulatan dan perkiraan. Besarnya belum tentu
sama. Pasti ada perubahan dalam skala kecil, tapi kurang lebih perkiraan jumlah
komposisinya tidak terlalu signifikan. Dalam kasus ini, tidak ada perhitungan yang
jelas, termasuk sensus antar warga di balinuraga, termasuk Lampung. Di Bali
sendiri pun tidak ada sensus seperti ini secara resmi belum pernah dilakukan
(Wiana & Santeri 2005).
108
memiliki sosok pemimpin, maka mereka pun bergabung ke dalam Banjar
Pandéarga. Penggabungan ini bukan tanpa alasan. Ketergantungan kedua
kelompok warga ini terhadap patron – Sri Mpu Suci – di masa-masa awal
tidak terelakkan. Hanya kepada patron mereka menggantungkan
perlindungan dan keberlangsungan identitas mereka yang lebih besar, yaitu
sebagai Bali Hindu, dan mengabaikan untuk sementara identitas asal
mereka, yaitu identitas warga. Di samping itu, sosok Sri Mpu Suci belum
dapat tergantikan, dan pengkopian identitas ini merupakan salah satu
wujud rasa terima kasih kedua kelompok besar warga ini terhadap Sri Mpu
Suci karena telah membawa mereka sampai ke Lampung. Konsekuensi
bagi kedua kelompok warga ini adalah, mau tidak mau, harus mengikuti
tata-cara adat istiadat maupun keagamaan berdasarkan tata cara yang
dimiliki dan diterapkan oleh keluarga besar Pandé, di mana sebenarnya
kedua kelompok ini memiliki tata cara yang masing-masing berbeda. Bagi
kedua kelompok warga ini, persoalan tata cara tidak menjadi persoalan.
Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan yang dimiliki perihal tata cara
adat dan keagamaan, di mana sosok Sri Mpu Suci menguasainya secara
mendalam. Selain karena masih dipengaruhi konsep ajawera147
, legitimasi
secara adat dan keagamaan (berdasarkan hubungan kekerabatan dari
silsilah leluhur) untuk kasus Warga Pandé dan Pasek dibolehkan
menggunakan sulinggih (pendeta/mpu) yang sama. Oleh karena itu, selain
menjadi pemimpin transmigran Bali Nusa, Sri Mpu Suci turut menjadi
pemimpin adat, agama, dan spiritual yang kemampuannya sangat
mumpuni dan diakui oleh para transmigran lainnya. Tentu sangat lumrah
jika kedua kelompok warga ini mengikuti (sebagian kecil / sebagian besar)
tata cara dari Warga Pandé, karena Sri Mpu Suci merupakan seorang
Warga Pandé yang penguasaan pengetahuannya diperuntukkan (secara
147
“Ajawera” menurut Dwipayana (2001) adalah konsep dalam mempelajari
agama yang tidak bisa diomongkan atau diributkan. Namun, dalam catatan kaki
sebelumnya, konsep “Ajawera” lebih dipertegas sebagai sebuah larangan yang
bersifat membatasi golongan jabawangsa untuk mempelajari agama secara
mendalam seperti yang ada di alam kitab weda (lihat: Wiana & Santeri 2005;
Kerepun 2007).
109
khusus) bagi Warga Pandé148
. Jika mereka tidak diperkenankan (diizinkan)
bergabung dengan Warga Pandé, maka kevakuman identitas mereka akan
semakin berlarut mengingat pengetahuan mereka yang minim dan terbatas
mengenai tata cara adat dan keagamaan yang rumit dan tidak semua orang
dapat menguasainya.
Ada beberapa tujuan yang lebih besar yang bersifat jangka panjang
mengapa Sri Mpu Suci menerima mereka bergabung dengan Warga Pandé
di dalam Banjar Pandéarga. Pertama, mempertahankan identitas mereka
sebagai Bali Hindu. Sri Mpu Suci tidak ingin kedua kelompok warga ini
kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu hanya dikarenakan
kekosongan pemimpin dari dalam kelompok ini. Meskipun terdapat
perbedaan tata cara antar warga, tetapi dasar atau falsafah Hindu Bali-nya
tetap sama. Ini yang menjadi pertimbangan dari Sri Mpu Suci sebagai
aktor dalam masa-masa awal yang sulit, di mana dalam himpitan hidup
yang sulit karena harus beradaptasi dalam lingkungan yang baru, rasanya
berat bagi kedua kelompok ini untuk berpisah dari patronnya hanya untuk
identitas warga-nya semata. Bagi mereka pun, setelah mempertimbangkan
kapastitas dan kapabilitas Sri Mpu Suci, penggabungan ini tidak masalah
karena masih sama-sama Bali Hindu dan berasal dari Nusa Penida.
Kedua, kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali
Hindu. Sri Mpu Suci sudah mengetahui bahwa setiap warga memiliki
karakteristik tersendiri meskipun mereka sama-sama Bali Hindu. Tapi,
persatuan identitas itu penting, yaitu sebagai komunitas Bali Hindu di
Lampung. Identitas sebagai Bali Hindu harus berada di atas identitas
warga-warga. Jika tercerai berai hanya karena pengelompokkan warga-
warga, maka bukan tidak mungkin komunitas mereka akan hancur di
masa-masa awal. Rasa senasib dan seperjuangan untuk sampai ke
Lampung adalah faktor penting di mana mereka menyingkirkan ego
masing-masing warga. Jika ego ini dipertahankan, bukan tidak mungkin
tujuan mereka untuk meraih kesuksesan akan gagal, dan kehilangan
identitasnya karena tidak ada aktor panutan (patron) di dua kelompok
148
Sulinggih warga secara umum diperkenankan untuk memuput upacara bagi
warga lain yang yang memiliki identitas warga yang berbeda (khususnya warga-
warga yang berasal dari golongan jaba).
110
warga lainnya. Melalui kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas
Bali Hindu mereka dapat sesegera mungkin untuk membangun komunitas
Bali Hindu yang dikenal dengan Kampung Bali, yaitu dengan membangun
pranata-pranata sosial, adat, dan keagamaan yang menjadi simbol identitas
mereka. Di samping itu, posisi mereka di Lampung adalah sebagai
minoritas etnik dan agama, di mana berbeda dengan yang lain. Mereka
percaya bahwa identitas mereka adalah identitas yang unik, dan itu harus
dipertahankan meskipun sebagai minoritas di luar Bali. Tanpa kesolidan
dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali Hindu, hal ini akan sulit
tercapai. Ini yang memutuskan mereka untuk membangun komunitasnya
secara eksklusif. Ada banyak tata cara upacara adat dan keagamaan yang
harus dilaksanakan. Semuanya membutuhkan partisipasi aktif dari setiap
anggota komunitas dan dana yang tidak sedikit. Jika mereka terpencar-
pencar, maka akan sulit mengadakan kewajiban mereka sebagai Bali
Hindu.
Maksud utama dari kedua tujuan tersebut adalah sebagai fondasi
dasar pembentukan identitas Bali Hindu dari komunitas Bali Nusa di
Lampung Selatan untuk mengantisipasi kemungkinan di kemudian hari
jika warga-warga lain telah menemukan dan ingin kembali ke identitas
asal warga-warga-nya, yaitu menggunakan sulinggih dari kalangan warga-
nya sendiri, bukan menggunakan pendeta atau mpu dari warga lain –
karena setiap warga memiliki sulinggih-nya sendiri. Tindakan antisipasi
ini benar setelah wafatnya Sri Mpu Suci. Warga-warga non-Pandé mulai
memisahkan diri dan ingin kembali – „ajeg‟ – pada identitas warga-nya.
Hal ini dikarenakan identitas warga itu merupakan identitas dari mana
leluhur mereka berasal. Bagi mereka ini sangat penting sekali, dan tidak
boleh ada pengingkaran terhadap identitas leluhur. Namun, karena fondasi
identitas Bali Hindu transmigran Bali Nusa ini telah kuat, maka meskipun
warga-warga non-Pandé memutuskan untuk memisahkan diri dari Warga
Pandé, komunitas Kampung Bali ini tetap utuh dan solid. Tidak ada
perpecahan di dalamnya. Mereka pun tetap mengingat jasa besar Sri Mpu
Suci yang telah membawa dan memimpin mereka mulai sejak
bertransmigrasi dari Nusa Penida sampai mampu melewati masa-masa
sulit di Lampung.
111
Peran Sentral Sri Mpu Suci
Tidak ada tendensi apa pun untuk menempatkan Sri Mpu Suci
sebagai aktor sentral dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa.
Mengingat kapasitas dan kapabilitasnya yang mumpuni sebagai seorang
pusat (patron) bagi para satelitnya (klien), di mana berperan penting dalam
menyatukan komunitas transmigran Bali Nusa dan mencegah hilangnya
identitas mereka sebagai Bali Hindu. Hal ini dapat dilihat dari peran-peran
penting yang telah dilakukannya pada masa-masa awal – dapat dikatakan
masa kevakuman atau krisis identitas – agar identitas komunitas mereka
sebagai komunitas Bali Hindu setelah keberadaannya di luar Bali tidak
hilang. Hasil dari apa yang telah dilakukan Sri Mpu Suci masih tetap ada
dan diakui, baik di kalangan komunitas Balinuraga, maupun komunitas
tetangga Bali Hindu dan komunitas tetangga dari kelompok etnis lainnya.
Sebagai aktor penting dan tokoh sentral dalam pembentukan
identitas transmigran Bali Nusa, ada beberapa peran penting yang telah
dilakukan oleh Sri Mpu Suci. Pertama, membangun Banjar Pandéarga
yang menjadi cikal bakal Desa Balinuraga, baik sebagai desa administratif
maupun desa adat. Komunitas ini dibangun bersama-sama oleh
transmigran Bali Nusa, di mana Sri Mpu Suci sebagai pemimpin dan
inisiatornya. Peran sentral Sri Mpu Suci tampak dari keputusannya yang
tidak mau bergabung bersama-sama komunitas transmigran Jawa yang
jumlahnya lebih besar. Sejak awal, Desa Balinuraga dibangun secara
eksklusif, yaitu untuk transmigran Bali yang berasal dari Nusa Penida.
Mereka adalah orang Bali Nusa yang bertransmigrasi secara swakarsa,
tanpa sponsor atau bantuan dari pemerintah. Mulai sejak bertransmigrasi
sampai pembangunan Banjar Pandéarga, kebutuhan atas biaya ditanggung
dan diusahakan secara kolektif. Perbedaan ini dapat dilihat dari Kampung
Bali lainnya yang berada di tengah-tengah komunitas transmigran Jawa,
atau secara administratif masuk ke dalam desa yang didominasi
transmigran Jawa. Kampung Bali tersebut diantaranya merupakan
transmigrasi dengan bantuan (sponsor) dari pemerintah – yang dikenal atau
biasa disebut dengan Bali KoOGA (Komando Operasi Gunung Agung):
sebuah proyek dari pemerintah Orde Lama untuk mentransmigrasikan
korban letusan Gunung Agung tahun 1963. Berbeda dengan Balinuraga,
112
yang berangkat dari sebuah Banjar Pandéarga, mereka menjadi desa
administratif yang seluruh anggotanya adalah orang Bali Nusa. Dari
namanya, Desa Balinuraga, menunjukkan dengan jelas identitasnya
sebagai desa Bali Hindu di Kabupaten Lampung Selatan. Meskipun ada
banyak Kampung Bali lainnya di Lampung Selatan, tapi secara
administratif mereka masuk ke dalam desanya para transmigran Jawa, dan
berada di antara komunitas transmigran Jawa – yang secara kelompok
tidak sesolid transmigran Bali.
Setelah berdirinya Desa Adat ini – Banjar Pandéarga – Sri Mpu
Suci mengemban dua tugas sekaligus, yaitu sebagai pemimpin adat
(bendesa, klian banjar) dan sebagai rohaniawan atau biasa disebut mpu
(empu). Gelar “Sri Mpu” adalah gelar bagi seorang pemimpin keagamaan
atau rohaniawan yang berasal dari Warga Pandé. Peran ganda ini diemban
Sri Mpu Suci karena saat itu belum ada dari para transmigran yang
memiliki kemampuan tersebut, dan Sri Mpu Suci memang dipercaya oleh
para transmigran untuk memimpin mereka, baik dalam komunitas adat
maupun keagamaan. Sambil menjalankan tugasnya sebagai pemimpin adat
dan keagamaan, Sri Mpu Suci tetap melakukan kaderisasi kepemimpinan
kepada anak-anaknya, dan juga anggota lain di dalam komunitas adat yang
memang berminat dalam urusan adat dan keagamaan. Kaderisasi ini sangat
penting dilakukan agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan (agar ada
penerusnya) ketika Sri Mpu Suci wafat, di mana jika kekosongan
kepemimpinan itu terjadi dikhawatirkan akan timbul perpecahan antar
warga-warga di dalam Desa Adat ini.
Kedua, membangun simbol-simbol identitas sosial, budaya, dan
keagamaan yang mencirikan mereka sebagai komunitas Bali Hindu.
Sebagai komunitas Bali Hindu mereka harus memiliki simbol-simbol
tersebut yang menunjukkan eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas
Bali Hindu. Absennya simbol-simbol tersebut dapat diartikan hilangnya
identitas mereka sebagai Bali Hindu. Ini disebabkan tidak adanya sebuah
acuan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban adat dan
keagamaan. Simbol-simbol ini merupakan elemen penting yang mengikat
komunitas mereka – yang biasa disebut sebagai Kampung Bali – yaitu
sebuah ikatan sosial yang sudah ada secara turun-temurun yang
113
membentuk dan mencirikan komunitas adat dan agama sebagai Bali
Hindu. Elemen-elemen ini harus ada meskipun mereka sudah
bertransmigrasi. Bagi mereka, Kampung Bali ini disebut sebagai sebuah
Desa Adat, di mana di dalamnya harus memiliki Pura Tri Kahyangan atau
Pura Kahyangan Tiga149
, yaitu Pura Baleagung (Pura Desa), Pura Puseh,
dan Pura Dalem150
. Fasilitas penting lainnya yang harus juga dimiliki oleh
mereka sebagai komunitas adalah bale banjar. Seperti yang dikatakan
seorang anak Sri Mpu Suci yang sekarang menjadi tokoh masyarakat
Balinuraga:
“Pas (saat/ketika) datang pertama ke Lampung memang
susah sekali. Keluarga kami (Sri Mpu Suci) membawa
banyak transmigran dari Nusa Penida. Tapi, kami harus
tetap hidup dan pantang pulang kembali. Pura-pura harus
tetap dibangun. Memang sangat sederhana sekali, belum
permanen dan bagus seperti sekarang. Setidaknya, kami
tidak nebeng (tergantung) dengan orang Bali lain (Kampung
Bali tetangga). Tapi, kami membangunnya sendiri
(mandiri). Tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.”
Ketiga, dibentuknya awig-awig atau peraturan desa dalam bentuk
tidak tertulis. Awig-awig ini dibuat dalam format yang sederhana
mengingat kendala waktu dan tempat mereka di daerah transmigrasi.
Sampai saat ini awig-awig desa masih belum ada format bakunya (tertulis).
Banyak terjadi perdebatan di dalamnya. Bagi sebagian kalangan awig-awig
ini cukup dalam bentuk tidak tertulis, yang lain berpendapat sebaliknya.
Tidak adanya kata sepakat ini yang menyebabkan bentuknya belum
tertulis. Ada yang mengatakan bahwa untuk menyusun awig-awig adat ini
149
Kahyangan tiga merupakan tempat suci bagi umat Hindu Bali yang
memuliakan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya (prabhawa) sebagai
Dewa Brahama atau Pencipta (Purah Desa atau Baleagung), Dewa Wisnu atau
Pemelihara (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem). 150
Salah satu poin utama (poin kelima) dalam Ketetapan dan Keputusan Sabha
Parisada Hindu Dharma Pusat yang berkaitan dengan pengaturan Desa Adat
adalah (Surpha 2004, hlm.10): “Adanya Kahyangan tiga merupakan syarat mutlak
bagi suatu Desa Adat”.
114
terlalu ribet, dan berpendapat bahwa aturan formal dari pemerintah sudah
cukup dan konteksnya agak kurang relevan diterapkan di Lampung. Jadi,
cukup dengan format tidak tertulis – meskipun sampai sekarang cukup
diragukan apakah anak-anak muda di Balinuraga memahami dan
mengetahui keberadaan dan keberfungsian dari awig-awig ini.
Keempat, membentuk perkumpulan seni dan budaya Bali yang
disebut seka gong. Tujuan pembentukan seka gong ini adalah menjaga
kelestarian seni dan budaya Bali sebagai bagian dari identitas kebalian
mereka. Di samping itu, seka gong juga memiliki fungsi sebagai
pendukung aktifitas keagamaan dalam berbagai ritual dan upacara adat
keagamaan.
Kelima, menjalin relasi dengan pemerintah lokal dan komunitas
etnik lain. Peran ini merupakan peran politik dan sosial yang dimainkan
oleh Sri Mpu Suci sebagai pemimpin adat dan keagamaan salah satu
komunitas Bali Hindu yang cukup besar di Lampung Selatan. Dalam kasus
ini Sri Mpu Suci tidak hanya membawa nama komunitasnya sendiri, tapi
juga mewakili komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung Selatan.
Sebagai seorang pemimpin Sri Mpu Suci menyadari bahwa komunitasnya
adalah komunitas pendatang dengan kedudukan sebagai minoritas etnik
dan agama. Oleh karenanya, relasi harus terjalin dengan baik dengan
pemerintah lokal dan komunitas etnik lain. Dalam masyarakat yang
heterogen, potensi konflik akibat perbedaan itu tetap ada, terutama isu
SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) – yang semasa Orde Baru
menjadi semacam ketabuan. Sejak bertransmigrasinya orang Bali ke
Lampung, transmigran Bali sudah dikenal dengan kesolidan komunitasnya.
Dalam hal ini, identitas mereka benar-benar sudah diakui oleh masyarakat
Lampung secara luas. Juga mengingat keunikkan Bali yang sudah terkenal.
Hubungan dengan pemerintah lokal merupakan sebuah upaya dari
Sri Mpu Suci agar pemukiman komunitas transmigran Bali Nusa ini
mendapatkan kedudukan secara administrasi sebagai sebuah desa bernama
Desa Balinuraga. Nama Desa “Balinuraga” menjadi salah satu desa yang
menggunakan nama Bali di Kabupaten Lampung Selatan, sekaligus
menunjukkan identitas mereka sebagai sebuah desa yang mayoritas
anggotanya Bali Hindu. Melalui hubungan dengan pemerintah lokal, maka
115
mereka pun dapat meminta pemerintah lokal mengupayakan pembangunan
fasilitas publik bagi masyarakat Desa Balinuraga. Seperti yang sudah
teralisasi antara lain: jalan utama desa sebagai penghubungan dengan desa
lainnya, di mana akan memudahkan akses transportasi mereka menuju ke
pasar kecamatan, kantor kecamatan, jalan provinsi (jalan lintas Sumatera),
kantor kabupaten (ibukota kabupaten) dan ibukota provinsi; kemudian
pembangunan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, serta
posyandu (puskesmas pembantu).
Menjalin hubungan dengan masyarakat lokal menjadi sangat
penting sekali pada waktu itu, dan merupakan keharusan bagi Sri Mpu
Suci berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Meskipun terdapat
perbedaan dan ketidakcocokan ataupun sakit hati karena kesalahpahaman
yang pernah terjadi saat pertama kali mereka datang, hubungan ini tetap
harus dibangun. Alasannya karena masyarakat Lampung merupakan
penduduk asli Lampung, mereka adalah tuan rumah atas tanahnya sendiri,
di mana transmigran Bali adalah pendatang di tanah mereka. Pontensi
konflik sangat terbuka lebar antara masyarakat lokal dengan pendatang,
termasuk dengan transmigran Bali. Potensi konflik itu muncul akibat
adanya kecemburuan ekonomi. Mengingat transmigran Bali sangat tekun
(agresif) dalam bekerja di bidang pertanian – lambat laun posisi ekonomi
masyarakat lokal akan tergeser, di samping turut tergeser oleh transmigran
Jawa. Di samping itu, transmigran Bali memiliki watak atau karakter yang
keras dan akan menjadi militan secara berkelompok melalui komunitasnya
yang solid jika harga diri atau identitasnya sebagai Bali Hindu disakiti.
Seperti kasus „perang kampung‟ di awal tahun 1990-an antara masyarakat
Bali dengan penduduk lokal Lampung di daerah Jabung, di mana beberapa
pemuda dari Desa Balinuraga bersama-sama pemuda-pemuda Bali dari
Kampung Bali lain terlibat dalam aksi tersebut151
.
151
Berdasarkan informasi dari narasumber – yang turut menjadi tokoh
perundingan untuk penyelesaian „perang kampung‟ tersebut – kasus tersebut
akhirnya diselesaikan secara „baik-baik‟. Tentu, kasus ini menjadi perhatian serius
dari pemerintah, khususnya militer, agar tidak permasalahan ini tidak berkembang
menjadi konflik bernuansa SARA, seperti kasus Talangsari yang terjadi satu tahun
sebelumnya 1989. Oleh karena itu, setiap kali terjadi pergantian pimpinan
DANDIM (Komandan Komando Distrik Militer), pimpinan yang baru selalu
116
Terkait dengan profesi transmigran sebagai petani, Sri Mpu Suci
menjalin hubungan komunikasi dengan transmigran Jawa yang menjadi
tetangga komunitas mereka. Ada beberapa hal yang mereka pelajari dari
transmigran Jawa. Mereka merupakan transmigran pertama di Lampung
yang sudah banyak pengalaman di bidang pertanian, seperti bagaimana
menggarap dan mengelola tanah di Lampung, serta bagaimana mereka
membina hubungan dengan pemerintah lokal dan masyarakat asli
Lampung.
Salah satu relasi dengan komunitas lain yang dibangun oleh Sri
Mpu Suci, di mana menjadi salah relasi yang sangat erat, adalah relasi
dengan etnis Tionghua yang sebagian besar bertempat tinggal di sekitar
pasar Kecamatan Sidomulyo. Etnis ini sebagian besar berprofesi sebagai
pedagang. Permulaan hubungan dengan etnis Tionghua sebenarnya sudah
dimulai sejak pertemuan dengan seorang tentara Tionghua yang pada masa
awal mereka membuka lahan menembak mati seekor gajah yang
mengganggu lahan untuk dikonsumsi oleh transmigran. Hubungan ini terus
berlanjut ketika mereka harus membeli berbagai kebutuhan pokok atau pun
barang-barang kebutuhan lain di pasar kecamatan, di mana pedagangnya di
dominasi oleh etnis ini. Sama seperti transmigran Jawa, etnis Tionghua
juga merupakan pendatang. Persamaan perasaan sebagai pendatang
menjadi salah satu jalinan relasi antara etnis Bali dan Tionghua berjalan
baik, dan terus berlanjut hingga saat ini.
Pribadi Sri Mpu Suci yang hangat dan ramah serta kharisma yang
dimilikinya sebagai pemimpin komunitas transmigran Bali Nusa
menjadikan komunikasi berjalan dengan baik, hingga muncul kepercayaan
dan relasi itu sendiri. Menyadari posisinya sebagai pendatang dan
minoritas, Sri Mpu Suci tidak segan-segan untuk menjalin komunikasi dan
silaturahmi dengan kelompok etnis dan kepercayaan lain. Ini merupakan
sebuah usaha dari Sri Mpu Suci agar terjadi kesepahaman dan pengertian
antar komunitas.
menyelenggarakan semacam upacara informal (halal-bihalal) dengan sesepuh atau
tetua adat dari komunitas Bali Hindu – termasuk sesepuh dari Balinuraga yang
dalam setiap kesempatan selalu diundang sebagai salah tokoh komunitas Bali
Hindu di Lampung Selatan.
117
Dengan kharisma yang dimilikinya, Sri Mpu Suci menjadi tokoh
sentral atau pusat dari komunitas Kampung Bali di Kecamatan Sidomulyo.
Keberadaan seorang tokoh atau aktor sentral ini yang menyebabkan
mengapa orang Bali di Lampung dikenal dengan kekompakkan dan
kesolidannya sebagai sebuah komunitas etnis dan agama yang minoritas,
karena adanya tokoh sentral yang menjadi pusat dan panutan bagi para
kliennya. Kehadirannya dapat menyingkirkan perbedaan dan
mempersatukan warga-warga yang sejak masa kerajaan sudah eksis dan
memiliki track record persilihan antara warga satu dengan yang lain
secara sosial dan politik.
Warga-Warga di Balinuraga
Komunitas Bali Hindu dikenal sebagai komunitas pendatang –
yang sudah menjadi bagian dalam masyarakat Lampung yang heterogen –
dengan kesolidan (kekompakkan) komunitasnya. Kesolidan komunitas ini
terlihat jelas secara fisik pada komunitas-komunitas Kampung Bali yang
berada di daerah-daerah pedesaan (biasa disebut soateng152
). Pandangan
sebagian besar masyarakat Lampung yang menilai kesolidan masyarakat
Bali ini sebenarnya didasarkan pada apa yang terlihat secara fisik (visual),
di mana dapat dilihat dari perkampungan Bali yang eksklusif dan
pengerahan massa dalam jumlah besar pada setiap upacara / ritual adat dan
keagamaan besar. Perkampungan Bali yang eksklusif dan pengerahan
massa dalam upacara /ritual penting merupakan wujud bagaimana
komunitas Bali Hindu mengaktualisasikan eksistensi identitas mereka.
Manifestasi politik identitas ini secara fisik (kasat mata) – sebagai upaya
mendapatkan pengakuan dari khalayak akan eksistensi identitas etnis dan
kepercayaannya – tidak bisa dinilai secara naif bahwa kesolidan komunitas
Bali itu didasarkan atas satu kesatuan atau keseragaman identitas di dalam
komunitas itu. Dengan kata lain, komunitas Bali di Lampung sama seperti
layaknya di Bali yang dikesankan dengan keeksotisannya sebagai surga
dunia, yang di dalam komunitas tersebut seolah-olah tidak terjadi apa-apa,
hidup rukun, tenteram, dan (pastinya) tidak ada konflik / pertentangan
152
“Soateng” adalah sebutan bagi daerah-daerah yang berada di luar kota (Bandar
Lampung). Dapat diartikan di daerah perkampungan atau pelosok.
118
antar kelompok di dalam komunitas itu. Seperti kasus di komunitas Bali
Hindu di Desa Balinuraga – satu desa dengan tujuh banjar (dusun) yang
mayoritas adalah Bali Hindu yang berasal dari Nusa Penida – memiliki
kesan sebagai Desa Bali dengan identitas Bali-nya yang kental, terutama
sebagai masyarakat yang penuh harmoni. Pandangan, penilaian, ataupun
kesan yang mendalam bagi sebagian masyarakat Lampung bahwa
komunitas Bali Hindu memiliki satu identitas yang sama dapat dikatakan
keliru. Mengapa demikian? Karena dalam kenyataannya etnis Bali Hindu
di Lampung – meskipun sudah bertransmigrasi ke luar Bali – tetap
membawa dan mempertahankan identitas leluhurnya (kawitan), di mana
setiap kelompok memiliki identitas leluhur (klan, dalam Bali biasa disebut
warga, soroh, dadia) yang berbeda antara satu dan lain, dan tentunya
dengan tata cara dan adat istiadat yang berbeda pula, termasuk dalam
pelaksanaan beberapa upacara atau ritual adat dan keagamaan. Pulau Nusa
Penida sebagai tempat komunitas Bali Hindu ini berasal pun memiliki
karakteristik yang juga berbeda dengan komunitas Bali Hindu
(transmigran) lainnya. Dengan kata lain, komunitas Bali Hindu di dalam
Desa Balinuraga mempunyai identitas beragam (bukan identitas tunggal)
yang didasarkan atas identitas leluhurnya. Konsekuensinya – dengan
identitas leluhur yang beragam ini – adalah pertentangan antar kelompok
(klan/warga) dengan mengusung identitasnya masing-masing; terutama
klaim-klaim bahwa warga-nya lebih unggul daripada warga lain. Namun,
sebagai catatan, bahwa pertentangan antar warga yang terjadi di dalam
desa ini tidak lain merupakan sebuah dinamika dalam komunitas mereka
sebagai Bali Hindu. Pertentangan warga tidak diartikan sebagai sebuah
perpecahan, melainkan sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi secara
internal komunitas mereka, tanpa mengusik identitas mereka sebagai Bali
Hindu. Mengapa ini terjadi? Ini dikarenakan identitas Bali Hindu mereka
adalah identitas minoritas dalam masyarakat Lampung secara keseluruhan.
Mereka tidak ingin identitasnya sebagai Bali Hindu terancam oleh
pengaruh-pengaruh luar (eksternal) – ini yang menjadi pengikat (bonding)
komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Oleh karena itu, pertentangan antar
warga dinilai sebagai sebuah dinamika yang terjadi di dalam „dunia‟ atau
„negara‟ (konteksnya Desa Balinuraga sebagai komunitas Bali Hindu)
hanya di dalam komunitas itu sendiri. Meskipun pertentangan antar warga
119
ini terkait dengan identitas leluhurnya, mereka tidak ingin identitasnya
sebagai Bali Hindu hilang atau terkikis, karena jika itu terjadi maka
identitas warga-warga itu yang selama ini mengalami pertentangan juga
akan hilang atau terkikis.
Warga-warga ini dikategorikan sebagai aktor yang turut
membentuk identitas komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Sebelum
lembaga-lembaga formal adat dan keagamaan masuk ke komunitas ini
sebagai pemersatu warga-warga (atau umat Hindu Bali), sosok Sri Mpu
Suci secara individual berperan sebagai aktor utama pembentukan
komunitas Bali Hindu dari Nusa Penida dan sebagai pemersatu warga-
warga dengan kedudukannya sebagai patron. Namun, di aras grass root
(akar rumput) warga-warga ini, dengan dinamika pertentangan antar
warga yang terjadi, juga merupakan aktor-aktor yang tidak dapat diabaikan
perannya dalam pembentukan identitas komuntias mereka – karena
mereka(lah) yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesama
anggota komunitasnya dengan membawa identitas warga yang berbeda.
Tentu, yang menjadi catatan penting di sini adalah anggota-anggota warga
ini dalam interaksinya dengan warga lain sebenarnya “tidak mau ambil
pusing” dengan pertentangan warga, karena tujuan mereka adalah bertani.
Tapi, dalam kenyataannya elit-elit dari setiap warga – yang menjadi patron
anggota warga – kerap mengusung identitas warga untuk kepentingan
politiknya (dalam skala desa), di mana secara tidak langsung
mempengaruhi anggota-anggota setiap warga terkait posisinya sebagai
klien yang patuh ketika berinteraksi dengan warga lain. Oleh karena itu,
dalam pembahasannya mengenai warga-warga di Balinuraga, penulis
membahas warga sebagai lembaga, karena identitas warga ini sudah
melekat (melembaga) pada setiap anggota warga-nya. Untuk membahas
warga-warga ini, selain menggunakan data empirik, penulis menggunakan
data-data sekunder yang memuat sejarah dan silsilah warga-warga, serta
sejarah warga-warga ini di masa kerajaan dan kolonial, di mana dokumen-
dokumen dan isinya secara umum sudah diketahui dan dimiliki oleh para
sepuh-sepuh warga di sana. Data-data sekunder ini, terutama sejarah dan
silsilah warga, perlu digunakan untuk memperjelas duduk-perkara
pertentangan warga yang terjadi di Balinuraga, di mana memiliki pola
120
yang hampir sama dengan yang terjadi di Bali. Dalam pembahasannya,
penulis akan lebih memumpunkannya pada dua warga, Pasek dan Pandé,
karena baik berdasarkan realitas di lapangan, maupun data-data sejarah,
dua warga ini yang paling sering bertentangan. Dengan kata lain, dua
warga ini (dari tiga pengelompokkan warga di Balinuraga: Pasek, Pandé,
dan Arya), Pasek dan Pandé, hubungannya paling dinamis. Dalam kasus
ini, warga Arya seperti menjadi follower dari kedua warga ini, yang
diperebutkan sebagai klien.
Sejak kedatangan pertama kali ke Lampung hingga terbentuknya
Desa Balinuraga, dengan Banjar Pandéarga sebagai cikal bakal Desa
Balinuraga, komunitas transmigran Bali Nusa memiliki tiga kelompok
besar warga, yaitu mulai dari yang terbesar Warga Pasek kurang lebih
berjumlah 50%, dan sisanya masing-masing kurang lebih 25% untuk
Warga Pandé dan Warga Arya. Konsep warga (atau sebutan lain soroh
atau klan) pada dasarnya berbeda dengan konsep “wangsa” atau “kasta”.
Namun, seiring dengan perkembangan situasi sosial dan politik pada masa
kerajaan di Bali pasca invasi Majapahit (khususnya di masa-masa
keruntuhan Majapahit dalam rentang 1478-1520; 1527 Majapahit jatuh),
dan terutama di masa berkuasanya kolonial di Bali dengan proyek
Balinisasi-nya, konsep warga atau soroh (disebut juga klan) menjadi
tumpang-tindih dengan konsep “kasta” (wangsa) atau triwangsa. Dalam
beberapa kasus, keanggotaan dari warga atau kelompok warga itu sendiri
merupakan cerminan atau terbatas pada kasta tertentu. Dengan kata lain,
jika seseorang merupakan seorang Brahmana, maka dia tidak dapat
menjadi anggota dari warga Pasek atau Warga Pandé, begitu pula
sebaliknya. Dalam kasus ini, konsep warga dalam aplikasinya, kerap,
keluar dari pakem atau batasan-batasan kasta (wangsa). Contoh kasusnya
adalah beberapa warga yang menggunakan nama Arya, di mana nama
Arya tersebut berhubungan dengan kebudayaan pra-Hindu di India – ini
merupakan sebuah hubungan yang dilihat dari segi waktu dan kebudayaan
yang mungkin atau tidak mungkin benar (valid). Mengingat secara waktu
dan usia peradaban suku Arya di India (masa pra-Hindu) lebih tua daripada
klan yang menggunakan nama Arya di Bali. Arya di sini adalah para
prajurit, termasuk para patih (kesatria), yang ikut berperang bersama
121
mahapatih Gajahmada ketika menginvasi Bali. Dalam perkembangannya,
para Arya ini membentuk klan atau warga-nya sendiri, ada yang terpisah
dan ada yang masih menyandang status sebagai wangsa kesatria.
Konsep warga itu sendiri muncul ketika berkuasanya Kerajaan
Majapahit atas Bali, di mana pihak kerajaan mengirimkan orang-orangnya
yang berasal dari kalangan elite153
untuk bertugas di Bali. Lambat laun,
elit-elit yang berasal dari Jawa (Majapahit) beranak-pinak di Bali dan
akhirnya membentuk klan (warga) sendiri berdasarkan asal-usul mereka
ketika masih berada di Jawa. Seiring dengan dinamika sosial dan politik di
masa kerajaan, beberapa di antara elit-elit ini – yang ketika berada di Jawa
memiliki status sosial tinggi – mengalami degradasi status sosial akibat
“kesalahan-kesalahan” tertentu, baik bersifat teknis maupun politis.
Misalnya, dalam kasus umum adalah karena pernikahan beda “kasta”,
yaitu menikah dengan seseorang yang status sosialnya lebih rendah, dan
pemberontakan dari kalangan bangsawan terhadap pihak kerajaan / puri
(kudeta gagal). Konsekuensi yang harus ditanggung oleh elit-elit yang
berasal dari Jawa ini adalah penurunan status sosial, di mana penurunan
status / kedudukan sosial ini bersifat permanen yang nantinya akan
diwarisi oleh anak-cucunya setelah beranak-pinak di Bali. Status sosial
dari elit-elit ini, yang sewaktu di Jawa memiliki kedudukan yang tinggi,
tidak dapat dikembalikan seperti sedia kala. Hal ini dapat dilihat dari
153
Kalangan elite yang dimaksud adalah utusan-utusan dari pihak kerajaan
Majapahit di Jawa Timur yang dikirim ke Bali untuk urusan kerajaan, baik berupa
urusan politik maupun sosial, budaya, dan keagamaan. Kalangan elit ini berasal
dari kalangan kerajaan, orang, atau kalangan tertentu yang dekat dengan pihak
kerajaan dengan posisi yang prestisius. Umumnya mereka berlatar belakang
kesatria (orang-orang pemerintahan / kerajaan) dan brahmana (ahli-ahli
keagamaan) yang biasanya memiliki gelar “mpu” (sebutan lain Empu) atau “Rsi”
(sebutan lain: Resi) dari berbagai latar belakang aliran dalam agama Hindu-Budha.
Hubungan bilateral antar dua kerajaan ini, Majapahit dan Bali, memungkinkan
Majapahit sebagai negara pusat untuk mengirimkan utusan-utusannya secara
berkala. Di masa berjayanya Majapahit, pengutusan atau pengiriman kalangan elit
ini bertujuan untuk mematangkan dominasi Majapahit atas Bali. Di masa-masa
keruntuhan Majapahit akibat bangkitnya kerajaan Islam di Jawa, Bali dijadikan
sebagai tempat pengungsian bagi kalangan elit ini, dan menjadikannya sebagai
benteng terakhir bagi eksistensi kerajaan Hindu yang dominasinya mulai pudar di
Jawa.
122
catatan-catatan sejarah di dalam babad warga-warga – yang kedudukannya
dianggap berada di bawah – bahwa leluhur mereka yang berasal dari Jawa
(Kerajaan Majapahit) merupakan elit-elit utusan dari Majapahit yang
memiliki status sosial yang tinggi ketika diutus dan menetap di Bali
sebelum mengalami penurunan status sosial akibat peristiwa-peristiwa
tertentu, khususnya di masa proyek balinisasi (baliseering) pemerintah
kolonial. Di masa sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, tingkat
pendidikan yang semakin membaik, serta terbitnya sejumlah catatan-
catatan sejarah dari para ahli dan pengamat Bali, kesadaran dari warga-
warga yang pada masa kolonial dicampakkan ke dalam “sudra wangsa”
mulai meningkat. Mereka (warga-warga) mulai kritis atas sistem wangsa
yang mereka anggap sudah tidak relevan. Argumen-argumen yang mereka
ajukan untuk memperjuangkan kedudukan sosial kelompok warga-nya
didasarkan atas fakta-fakta sejarah – menggunakan catatan sejarah dalam
babad dan hasil penelitian dari para ahli – dan konsep-konsep modern yang
anti-feodalisme, seperti egaliter, kemanusiaan, demokrasi, dan lain-lain154
.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Bali hingga masa sekarang, di mana
perjuangan kasta dimulai di awal abad ke-20 pada masa kolonialisme di
Bali ketika masyarakat Bali dari berbagai kalangan mulai mendapatkan
pendidikan, tapi juga di dalam komunitas transmigran Bali Nusa di Desa
Balinuraga. Kesadaran akan ketidak-relevanan konsep triwangsa
sebenarnya tidak hanya terjadi di abad ke-21 dalam komunitas ini, tapi
sudah dimulai ketika mereka bertransmigrasi ke Lampung – bukan tidak
mungkin jika beberapa di antara mereka atau mayoritas ketika masih
berada di Nusa Penida sudah menyadari ketidak-relevanan ini, mengingat
masyarakat Bali di Nusa Penida yang cenderung lebih egaliter.
Keegaliteran ini tentu semakin menguat setelah mereka bertransmigrasi ke
Lampung, di mana perasaan senasib dan sepenanggungan sebagai
pendatang (transmigran) menjadi perekat semangat keegaliteran tersebut.
154
Konsep-konsep modern ini mulai mencuat ke permukaan (memanas) di tahun
1920-an – sebelumnya telah ada tapi belum dalam tataran perdebatan publik yang
panas – antara golongan jabawangsa terdidik (yang mendapatkan pendidikan
modern di masa kolonial) melalui koran lokal berbahasa melayu “Surya Kanta”
dan golongan bangsawan (triwangsa) melalui “Bali Adnyana” (Dwipayana 2001,
Robinson 2006, Kerepun 2007, Wiana & Santeri 2005).
123
Di bawah ini merupakan daftar warga (klan-klan) yang ada di Bali yang
jumlahnya kurang lebih mencapai 22 kelompok warga:
Brahmana
Ksatrya Dalem
Ksatrya Taman Bali
Ksatrya Manggis
Pasek
Pula Sari
Pandé
Kayu Selem
Sangging
Batu Gaing
Arya Kepakisan
Arya Kenceng
Arya Belog
Arya Gajah Para
Arya Pinatih
Arya Goto Waringen
Arya Tan Mundur
Arya Tan Kaur
Arya Tan Kober
Arya Sidemen
Arya Sentong
Arya Dalancang
Tabel 1. Daftar Warga-Warga (Klan) di Bali
(Sumber: Eiseman 2005)
Warga Pasek155
Warga Pasek merupakan warga (klan) dengan jumlah anggota
yang terbesar dari komunitas transmigran Bali Nusa di Desa Balinuraga.
Hampir separuh dari keseluruhan anggota komunitas ini didominasi oleh
warga Pasek. Hal ini bukan tanpa sebab, karena di Bali sendiri warga
Pasek merupakan kelompok warga yang jumlahnya paling besar.
Setidaknya hampir (kurang lebih) 60% penduduk Bali merupakan Warga
Pasek (Eiseman 2005). Tidak hanya di pulau induk (Bali) saja warga
Pasek mendominasi jumlahnya, tapi juga di Pulau Nusa Penida. Hal ini
didasarkan pada catatan babad yang memuat silsilah leluhur warga Pasek
– Sang Sapta Rsi – yang keturunannya tersebar ke berbagai daerah di Bali,
termasuk mendominasi di daerah Klungkung yang secara geografis
155
Untuk menguraikan sejarah dan silsilah Warga Pasek, penulis menggunakan
acuan utama dari “Babad Pasek: Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi” karya Jro
Mangku Gde Ketut Soebandi (cetakan kedua: 2004) yang diterbitkan Pustaka
Manikgeni dan Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi.
124
letaknya berdekatan dengan Nusa Penida156
. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila Warga Pasek mendominasi transmigran Bali Nusa
ketika bertransmigrasi ke Lampung.
Dalam Bahasa Bali kata “Pasek” adalah kata kerja (verb) “macek”
yang berarti “memaku” (kata benda: paku). Dalam Bahasa Indonesia kata
“Pasek” memiliki kesamaan arti dengan kata “Pasak”. Kata “Pasak” atau
“Pasek” sama dengan baji dan paku kayu, di mana berfungsi untuk
merapatkan atau menjejal sesuatu yang renggang157
. Pada mulanya kata
“Pasek” digunakan untuk seseorang yang memegang pimpinan di
pemerintahan – seperti “gelar” bagi orang yang duduk di pemerintahan.
Dalam perkembangannya istilah “Pasek” ini kemudian digunakan juga
oleh orang Bali Aga sebagai gelar atau identitas seorang pemimpin, dan
bagi orang Bali pada umumnya digunakan oleh setiap pimpinan di
berbagai bidang. Gelar “Pasek” di Bali memiliki keterkaitan dengan secara
organisatoris dengan Kerajaan di Jawa Timur – karena pada masa itu Jawa
Timur merupakan “negara pusat” bagi Bali – dan juga di Jawa Tengah. Di
Jawa Timur, kata “Pasek” dapat dianalogikan dengan kata “Pakis” yang
dikenal dengan sebutan “Kepakisan”, dan di Jawa Tengah dengan sebutan
“Paku” dengan sebutan jabatan Paku Alam dan Paku Buwono. Dalam
Bahasa Indonesia kata “Pasak” – dalam Bali adalah “Pasek” – memiliki
fungsi sebagai gelar bagi pemimpin, di mana kata “Pasak” tersebut
memiliki arti yang sama (sinonim) dengan “ketua” atau pemimpin.
Contohnya: pasak negeri (kesamaan arti: ketua), pasak kunci (kata kiasan
156
Di dalam Babad Pasek (Soebandi, 2004) diuraikan mengenai keturunan dari
Pasek Penida; di mana Pasek Penida merupakan keturunan dari Mpu Dangka.
Mpu Dangka sendiri merupakan putra bungsu dari Mpu Gnijaya (atau Mpu Geni
Jaya), atau adik terkecil (bungsu) dari Pasek Sanak Sapta Rsi (sebutan lain: Tujuh
Pendeta, Tujuh Mpu, atau Tujuh Rsi/Resi) yang merupakan pendiri dari
warga/klan Pasek. Keturunan dari Pasek Penida ada yang berdomisili (memiliki
banjar) di daerah Klungkung, di mana Pulau Nusa Penida menjadi bagiannya.
Namun demikian, tidak hanya keturunan dari Mpu Dangka – dalam kasus ini salah
satunya Pasek Penida – yang berdomisili di daerah Klungkung, tapi juga dari
keturuan Sang Sapta Rsi yang lain (kakak-kakak kandung dari Mpu Dangka) yang
masih menjadi leluhur Warga Pasek. 157
Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008), Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
125
untuk penguasa administratif)158
. Dengan kata lain, dalam arti kiasan, baik
kata “Pasek” maupun “Pasak” memiliki arti sebagai gelar bagi seorang
pemimpin yang menduduki jabatan fungsional di suatu pemerintahan. Arti
yang memiliki makna hampir sama dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder
1982), di mana kata “pasak” atau “pasek” diartikan: a gift (tribute) of
money or clothing presented to the king or members of the royal family
(nini haji, bini haji, rake hino, etc) so that privileges granted may be
respected or the action done, e.g. manusuk sima, cannot be undone159
. Di
Bali, kata “Pasek” ini kemudian menjadi sebuah warga atau klan dari
leluhur warga Pasek, yaitu Sang Sapta Rsi atau Maha Gotra Pasek Sanak
Sapta Rsi. Ini dikarenakan, berdasarkan sejarahnya, ketujuh pendeta ini
ketika berada di Bali memegang sebuah jabatan pimpinan tertentu di
berbagai bidang, khususnya bidang pemerintahan dan keagamaan. Oleh
karena itulah, di masanya (abad ke-10) ketujuh pendeta dari Jawa Timur
ini – Sang Sapta Rsi – menyandang gelar Pasek karena jabatan
fungsionalnya. Kemudian, gelar Pasek ini digunakan oleh keturunan dari
Sang Sapta Rsi sebagai identitas atau jati dirinya bahwa mereka keturunan
dari Sang Sapta Rsi yang di masanya pernah menduduki sebuah jabatan
fungsional dalam pemerintahan kerajaan. Singkatnya, warga Pasek
merupakan keturunan dari Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (Sang Sapta
Rsi), di mana kata “Pasek” di depan “Sanak Sapta Rsi” merupakan gelar
atas jabatan fungsional mereka pada masa itu, dan digunakan sebagai
penunjuk atau identitas bagi para keturunannya saat ini.
Sebagai catatan tambahan, posisi dan status istimewa dari leluhur
warga Pasek ini – di mana pada masa awal kedatangan Sanak Sapta Rsi di
Bali posisi memiliki posisi yang prestisius sebagai pendeta (golongan
brahmana) dan juga sebagai golongan kesatria karena turut andil dalam
bidang pemerintahan – tidak dapat dinikmati atau dirasakan oleh para
158
Lihat: Tesaurus Bahasa Indonesia (2008), Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional. 159
Arti lain dari kata “pasak” di dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder 1982)
adalah one might surmise: “to input heart into.” Memiliki makna yang hampir
sama dengan Bahasa Indonesia terkait fungsi pasak untuk mengencangkan
(perekat) sesuatu yang longgar.
126
keturunannya, baik yang berada di Bali maupun di luar Bali160
. Di masa
kerajaan, keturunan dari Sanak Sapta Rsi – warga Pasek – tidak
seluruhnya mendapatkan status atau pun jabatan yang istimewa dalam
pemerintah (mungkin hanya beberapa saja dalam setiap rezim kerajaan
feodal di Bali). Pada masa ini, warga Pasek digolongkan sebagai outsider,
di mana tidak termasuk dalam golongan triwangsa (brahmana, kesatria,
dan waisya). Namun, di masa kolonial, melalui proyek baliseering
(balinisasi) status sosial warga Pasek lebih dipertegas – tidak fleksibel
seperti di masa kerajaan feodal Bali – sebagai sudra wangsa (non-
triwangsa / di luar triwangsa)161
.
Bila mencermati komposisi warga-nya yang lebih besar daripada
warga Pandé, warga Pasek dalam kenyataannya sulit untuk mendominasi
atau memberikan pengaruh bagi komunitas Bali Hindu di Desa Balinuraga.
Sampai saat ini pun, Warga Pasek belum bisa mengalahkan popularitas
dan pengaruh dari Warga Pandé di Desa Balinuraga. Baik di bidang
kesenian, kepemimpinan, maupun keagamaan. Kenyataannya Warga
160
Berdasarkan bagan genealogi dari leluhur Warga Pasek – lebih jauh lagi adalah
leluhur dari Sang Sanak Sapta Rsi, meskipun Sang Sanak Sapta Rsi sendiri juga
merupakan brahmana – menunjukkan bahwa leluhur mereka tidak hanya berasal
dari golongan brahamana, tapi juga Hyang Brahma (Pencipta). Oleh karena itu,
warga Pasek – yang diwakili oleh elit-elit politik dan keagamaan – berkeinginan
untuk mengembalikan status sosial mereka seperti sediakala, yaitu brahmana.
Perdebatan ini sebenarnya sudah mulai menghangat di masa pemerintahan
kolonial dengan proyek balinisasinya, di mana warga pasek berada di luar dari
golongan triwangsa, yang akhirnya menerima konsekuensi-konsekuensi yang
tidak mengenakkan bagi warga mereka, seperti kerja sukarela untuk pemerintah
kolonial dan kerajaan. 161
Namun demikian, dalam beberapa kasus, beberapa dari Warga Pasek masih
mendapatkan kedudukan di dalam pemerintahan (puri/kerajaan). Di antaranya
disebabkan karena adanya hubungan dekat dengan puri. Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari faktor sejarah di mana di antara Warga Pasek ada yang disertakan
dalam pemerintahan. Selain itu, jumlah warga Pasek yang menjadi mayoritas di
Bali menjadikan peluang (probabilitas) bagi beberapa Warga Pasek untuk duduk
di dalam pemerintahan lebih besar daripada warga lain. Oleh karena itu,
perlawanan dan aksi protes Warga Pasek di masa kolonial yang menuntut
diskriminasi wangsa muncul belakangan – setelah warga Bhujangga Waisana dan
Pandé – karena jumlah warga yang besar sulit melakukan konsolidasi dan
beberapa di antara mereka duduk dalam pemerintahan puri.
127
Pandé tetap lebih solid dan rapih secara komunitas di Desa Balinuraga. Di
bidang kesenian, Warga Pandé tetap menjadi pemimpin dan kreator dari
pentas-pentas kesenian atau pun karya-karya kesenian Bali, seperti seni
tari, seni ukir, seni lukis, dan drama. Dalam beberapa even tertentu, baik di
level kecamatan maupun kabupaten, pentas kesenian lebih banyak
dibawakan oleh Warga Pandé (dalam Banjar Pandéarga). Dalam
pertunjukkan Calon Arang di Desa Balinuraga setelah perayaan hari raya
Nyepi (Maret 2010), inisiator dan sutradaranya berasal dari Warga Pandé.
Untuk pembangunan pura dan ukirannya para pembuatnya
didomimeriznasi oleh Warga Pandé, termasuk lukisan. Tidak jarang
Warga Pasek di Desa Balinuraga dalam pembuatan pura keluarganya
menggunakan jasa Warga Pandé, dikarenakan beberapa Warga Pandé
menekuni profesi sebagai pembuat pura dan ukirannya, yang jasanya
digunakan oleh Kampung Bali di daerah lain162
. Tokoh masyarakat di Desa
Balinuraga, yang kapasitas dan kapabilitasnya disegani dari berbagai
kalangan, baik dari kalangan orang Bali sendiri di Lampung Selatan
maupun pejabat sekelas bupati pun, berasal dari Warga Pandé. Ini bukan
berarti dari kalangan Warga Pasek tidak mempunyai tokoh masyarakat
atau pun pekerja seni sendiri, hanya saja popularitas dan nama besarnya
masih kalah jauh dari tokoh yang berasal dari kalangan Warga Pandé yang
sejak awal sudah mendominasi komunitas Desa Balinuraga.
Di level makro, Warga Pasek di Desa Balinuraga sudah
terorganisir dengan baik, khususnya pasca tahun 1970-an ketika beberapa
elit Warga Pasek di Bali mulai melakukan pendataan terhadap warga-nya
yang telah berdomisili di daerah transmigran, termasuk di Lampung.
162
Kasus ini merupakan salah satu contoh pergeseran fungsi (kerja) dari Warga
(klan) Pandé, dari pandai besi menjadi pembuat pura. Bagi mereka (Warga
Pandé) pergeseran ini merupakan bagian dari penyesuaian fungsi (kerja) dari klan
Pandé sesuai dengan konteksnya di masa sekarang – di mana peralatan yang
terbuat dari besi sudah dibuat dalam skala besar di pabrik-pabrik baja. Namun,
hakikatnya, fungsi dari klan Pandé tidak berubah, yaitu sebagai “pembuat” atau
“pencipta”. Jika dulu mereka “pembuat” atau “pencipta” barang-barang yang
terbuat dari besi (seperti keris atau bajak), sekarang, seiring dengan perkembangan
zaman dan perpindahan tempat tinggal dari Bali ke Lampung, mereka menjadi
“pembuat” pura. Ulasan lebih lanjut warga Pandé disajikan pada setelah sub-bab
ini.
128
Pendataannya dilakukan dengan tujuan untuk menghimpun massa Warga
Pasek yang tersebar di berbagai daerah selain Bali, sekaligus untuk
menghimpun sejumlah dana untuk organisasi tersebut. Dengan kata lain,
untuk mengklaim eksistensi warga mereka sebagai warga mayoritas dalam
masyarakat Bali Hindu. Tujuan ini biasanya bersifat politis, karena dalam
beberapa kasus digunakan untuk melegitimasi elit-elit dari Warga Pasek
yang ingin berkompetisi dalam politik lokal, khususnya di era otonomi
daerah. Organisasi resmi yang mewadahi warga Pasek adalah Maha Gotra
Pasek Sanak Sapta Resi (Rsi: pengucapan untuk Resi) yang didirikan
tahun 1952. Di level desa sampai di luar Bali, organisasi ini tetap ada
untuk mengordinir Warga Pasek yang ada di luar Bali, seperti anak
cabangnya yang ada di Desa Balinuraga. Tujuan yang tidak kalah penting
dari pendataan Warga Pasek, khususnya yang ada di Desa Balinuraga,
adalah bagaimana Warga Pasek tidak kehilangan jati dirinya setelah
berada di luar Bali. Pendataan ini merupakan proyek dari elit lokal Warga
Pasek di Bali untuk mengantisipasi hilangnya warga-warga mereka
setelah berada di luar Bali, atau pindah (menjadi pengikut) dari warga lain
yang dominan. Kekhawatiran ini cukup beralasan bagi para elit Warga
Pasek di Bali, karena jika Warga Pasek di luar Bali kehilangan identitas,
atau pindah ke warga lain (berpatron atau menjadi klien warga lain), maka
akan berakibat terhadap menurunnya jumlah massa dari Warga Pasek.
Menurunnya jumlah massa Warga Pasek di luar Bali akan berakibat pada
menurunnya jumlah dana (dan tentunya jumlah suara atau dukungan massa
di luar Bali bagi elit politik warga Pasek di Bali) yang dapat mereka
kumpulkan dari Warga Pasek di luar Bali untuk kepentingan politik elit
Warga Pasek di Bali, selain untuk kepentingan agama dan adat dari
organisasi mereka. Mengingat sejumlah Warga Pasek di luar Bali – di
daerah transmigran seperti di Lampung – ada yang telah berhasil atau
sukses secara ekonomi di bidang pertanian atau usaha pertanian. Strategi
jemput bola ini dapat dikatakan berhasil untuk memikat Warga Pasek yang
menjadi transmigran, khususnya untuk memberikan dana bagi organisasi
warga-nya yang ada di tanah leluhur – mengingat usia organisasi ini secara
formal masih terbilang muda sejak berdirinya tahun 1952. Mengapa
demikian? Karena dengan strategi jemput bola – elit lokal Warga Pasek di
Bali yang melakukan pendataan Warga Pasek di daerah transmigrasi –
129
memberikan suatu kebanggaan bagi para transmigran yang selama
bertransmigrasi mengalami kevakuman identitas. Para transmigran ini
merasa dirinya diperhatikan dan dijadikan bagian yang tidak kalah penting
seperti warga-warga lainnya yang ada di Bali. Terlebih jika mereka dapat
memberikan bantuan dana yang besar bagi organisasi. Dalam kasus Warga
Pasek di Desa Balinuraga, proyek ini memberikan angin segar bagi mereka
yang selama ini menggantungkan identitasnya pada Warga Pandé. Melalui
proyek ini mereka telah menemukan kembali identitasnya, dan diakui oleh
sesama warga mereka yang ada di Bali. Terlebih setelah elit-elit lokal
Warga Pasek tersebut, melalui strategi jemput bolanya datang langsung ke
Desa Balinuraga untuk melakukan pendataan dan konsolidasi. Secara
psikologis, kedatangan elit-elit tersebut membesarkan hati para Warga
Pasek untuk menghidupkan identitas warga-nya. Dengan demikian,
mereka tidak lagi bergantung dengan Warga Pandé, dan semakin percaya
diri bahwa mereka merupakan kelompok warga yang mayoritas – tidak
hanya di Bali, tapi juga di Desa Balinuraga dan Provinsi Lampung.
Faktor pengalaman dan silsilah keluarga yang kompleks pada
Warga Pasek menjadi salah satu penyebab utama mengapa mereka sulit
untuk mendominasi dalam komunitas Balinuraga. Sejak kedatangan
pertama kali ke Lampung (bertransmigrasi), Warga Pasek merupakan
pengikut (follower) dari Warga Pandé yang dipimpin oleh Sri Mpu Suci.
Faktor pengalaman ini turut ditentukan dari sumber daya manusia Warga
Pasek yang bertransmigrasi, yaitu pengetahuan yang minim, di mana
mayoritas dari transmigran Bali Nusa masih buta huruf, dan pengetahuan
tentang adat dan agama yang kurang mumpuni. Hadirnya sosok Sri Mpu
Suci sebagai seorang pemimpin yang kharismatik dengan kekuatan sekala
dan niskala-nya, menjadikan Warga Pasek sebagai klien yang patuh. Di
samping itu, anggota dari Warga Pasek belum ada yang memiliki
kemampuan yang menandingi Sri Mpu Suci yang menguasai berbagai
bidang. Mereka tidak mau mengambil resiko dengan melahirkan patron
baru, dan menganggap Sri Mpu Suci yang berasal dari Warga Pandé tetap
sebagai patron yang kuat, di mana mereka bisa menggantungkan
keselamatannya pada kekuatan sekala dan niskala yang dimiliki Sri Mpu
Suci. Pasca pendataan Warga Pasek oleh elit-elitnya dari Bali dan
130
wafatnya Sri Mpu Suci, Warga Pasek di Balinuraga mulai
mengorganisasikan dirinya. Salah satu caranya adalah dengan membentuk
banjar-banjar lain di dalam Desa Balinuraga yang terpisah dengan banjar
Pandéarga yang merupakan banjar bagi Warga Pandé, diantaranya:
Banjar Sumbersari, Banjar Jatirukun, Banjar Sukanadi, Banjar
Sukamulya, Banjar Banjarsari, Banjar Sidorahayu163
. Dengan kata lain,
mereka memisahkan dirinya dari Warga Pandé – tidak bergabung dengan
Warga Pandé. Artinya, identitas mereka sebagai Warga Pasek sudah jelas
pasca pendataan tersebut, dan setelah wafatnya Sri Mpu Suci sudah
saatnya mereka memiliki patron sendiri yang berasal dari Warga Pasek.
Namun, sampai saat ini, upaya dari Warga Pasek di Desa
Balinuraga untuk mendominasi warga-warga yang ada di Desa Balinuraga
belum berhasil. Ada semacam perpecahan internal di dalam komunitas
warga mereka yang mengakibatkan kesulitan dalam memilih pemimpin
yang dapat mengayomi dan memberikan pengaruh pada warga-warga lain.
Perpecahan internal ini bukan merupakan hancurnya komunitas Warga
Pasek di Balinuraga, tapi lebih disebabkan silsilah dalam Warga Pasek
yang lebih rumit (kompleks) daripada Warga Pandé. Warga Pasek
merupakan keturunan dari Tujuh Pendeta “Sapta Rsi” atau Pasek Sanak
Sapta Rsi, yang merupakan anak dari Mpu Gnijaya (atau disebut Geni
Jaya) – Mpu Gnijaya sendiri merupakan salah satu dari Sang Catur Sanak
(Empat Pendeta Bersaudara) dari Jawa Timur yang diutus ke Bali untuk
163
Berbeda dengan perkembangan Desa Adat dan Desa Dinas yang ada di Bali, di
mana sudah ada pemisahan yang jelas antara keduanya secara fungsional dan
administratif, di Balinuraga Desa Adat dan Desa Dinas menjadi “satu”. Akibatnya
menjadi tumpang tindih dan membingungkan, mana yang menjadi Desa Dinas dan
mana yang menjadi Desa Adat. Umumnya “Banjar” di Desa Balinuraga dijadikan
“Dusun”, dan “Klian Banjar” (Ketua Banjar) menjadi “Kepala Dusun”.
Berdasarkan data statistik “Kecamatan Way Panji Dalam Angka tahun 2008/2009”
disebutkan ada tujuh (7) dusun di Desa Balinuraga, di mana ketujuh dusun ini
merupakan tujuh banjar di dalam Desa Balinuraga. Sebagai minoritas etnik dan
agama di Lampung, tentu orang Bali mengalami kesulitan untuk mendapatkan
keistimewaan melalui otonomi Desa Adat. Secara sosial politik, akan
mengakibatkan kecemburuan dari kelompok etnik lain, di mana Lampung
merupakan wilayah dengan komposisi masyarakat yang heterogen baik etnik
maupun agama dan aliran kepercayaan.
131
menyelesaikan persitegangan antar sekte. Dengan adanya tujuh leluhur,
maka di dalam komunitas mereka timbul semacam polemik dari daris
keturunan yang mana – dari ketujuh garis keturuan leluhur – yang
sebenarnya pantas (layak) untuk menjadi pemimpin. Bukan tidak mungkin,
terdapat beberapa kekeliruan dalam menentukan silsilah leluhur, karena
proses penelusuran yang rumit. Para elit Pasek yang datang ke Balinuraga
tidak menghabiskan waktu untuk membantu menyusun silsilah keluarga
Warga Pasek satu per satu, karena Warga Pasek umumnya yang berada di
Bali pun mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan secara tepat
leluhurnya, termasuk arti dan asal-muasal “Pasek” itu sendiri. Mereka
hanya tahu bahwa mereka adalah Warga Pasek, tapi dari garis keturunan
mana mereka berasal itu yang harus mereka telusuri sendiri. Sebagai
catatan, sangat jarang sekali dijumpai seseorang yang mengetahui dan
menguasai kawitan, keturunan dan silsilah orang-orang Bali, dan tidak
sembarangan orang yang dapat mempelajarinya. Tentu, ini menjadi
permasalahan sendiri bagi Warga Pasek yang telah berada di luar Bali
untuk mencari silsilah (kawitan) warga-nya dengan benar.
Ketujuh garis keturunan Warga Pasek tersebut merupakan tujuh
putra (keturunan) dari Mpu Gnijaya, yaitu yang biasa disebut sebagai Sang
Sapta Rsi (sebutan lain: Tujuh Pendeta, Tujuh Empu/Mpu, dan Tujuh
Rsi/Resi). Ketujuh Sang Sapta Rsi tersebut, yang menjadi leluhur dan
pembentuk warga (klan) Pasek adalah Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu
Wiradnyana, Mpu Withadharmma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan
Mpu Dangka. Keturunan Sang Sapta Rsi inilah yang kemudian menjadi
Warga Pasek yang mendominasi warga-warga di Bali sebagai warga
mayoritas. Kemudian, dari keturunan Sang Sapta Rsi ini, organisasi resmi
Warga Pasek Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi dibentuk. Ayahanda
dari Sang Sapta Rsi, Mpu Gnijaya, ini merupakan salah satu (kakak tertua)
dari Catur Sanak (empat bersaudara; sebutan lain: Sang Catur Sanak yang
berarti empat pandita) dari Panca Tirtha di Jawa Timur yang diutus ke Bali
oleh Sri Gunaprya Dharmmapatni (Udayana Warmmadewa) untuk
mengatasi keresahan masyarakat Bali akibat gesekan-gesekan yang timbul
dari sad paksa (enam sekte) agama Hindu yang berkembang di Bali pada
masa itu. Keenam sekte tersebut: Sambhu, Brahma, Wisnu, Bhayu dan
132
Iswara. Dari lima mpu di Jawa Timur yang terkenal dengan keahliannya
di berbagai bidang, hanya empat saja yang akhirnya pergi ke Bali, yaitu (1)
Mpu Gnijaya merupakan kakak tertua dari Panca Thirta atau Catur Sanak
yang diutus ke Bali164
. Mpu Gnijaya merupakan pemeluk Brahmaisme, di
mana melalui ketujuh anaknya (Sang Sapta Rsi) menjadikan keturunan
Warga Pasek sebagai warga mayoritas di Bali. Sebagai anak laki-laki
tertua, maka keturunan dari Mpu Gnijaya (Sang Sapta Rsi) menjadi cikal
bakal dari keturunan Warga Pasek di Bali, di mana memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari Warga Pasek Kayuselem; (2) Mpu Sumeru (sebutan
lain: Mpu Mahameru) yang merupakan pemeluk agama Siwa. Mpu
Semeru tidak menikah seumur hidupnya. Meskipun tidak menikah, Mpu
Semeru memiliki seorang keturunan. Konon, berkat kasidhi ajnanan
(kesaktian dan pengetahuan gaib) yang dimilikinya, Mpu Semeru berhasil
menurunkan putra dharma, yaitu Mpu Bandesa Dryakah atau Mpu
Kamareka yang menjadi cikal bakal Warga Pasek Kayuselem. Sabda yang
diberikan Mpu Sumeru kepada putra dharmanya, Mpu Kamareka,
menyebutkan bahwa keturunan dari Mpu Kamareka merupakan kesatria
dan brahamana, di mana setelah keturunan ketiga mereka statusnya surut
menjadi rakyat biasa. Sebagai salah satu dari catur sanak dari Panca Tirtha,
Mpu Semeru tetap merupakan leluhur bagi warga Pasek, termasuk bagi
keturunan warga Pasek dari Sang Sapta Rsi yang tidak lain merupakan
keturunan dari kakak tertua dari Mpu Semeru, Mpu Gnijaya, dan
khususnya warga Pasek Kayuselem yang merupakan leluhur langsung dari
Mpu Semeru melalui anaknya Mpu Kamareka. Untuk menghormati Mpu
Sumeru maka didirikan Pura Ratu Pasek di Besakih sebagai Padharman
Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi) dan Warga Pasek
Kayuselem; (3) Mpu Ghana adalah adik ketiga dari Mpu Gnijaya yang
menganut aliran Ghanapatya. Sama seperti Mpu Sumeru, Mpu Ghana
menjalani Nyukla Brahmacari (tidak menikah/kawin seumur hidup).
Berbeda dengan Mpu Sumeru melalui kasidhi ajnanan mendapatkan
164
Mpu Gnijaya merupakan anak tertua dari Mpu Lampita, di mana Mpu Lampita
adalah anak dari Mpu Bhajrastawwa (Mpu Wiradharmma) – anak tertua dari Mpu
Withadarma yang berdasarkan Lontar Kutara Kanda Dewapurana pada Zaman
Bahari merupakan keturunan langsung dari Bhatara Hyang Pasupati.
133
keturunan meskipun tidak menikah, Mpu Ghana tidak memiliki keturunan.
Sebagai salah satu dari Catur Sanak yang menjadi leluhur Warga Pasek,
Mpu Ghana tetap dianggap sebagai salah satu leluhur dari Warga Pasek
meskipun tidak memiliki keturunan; (4) Mpu Kuturan (sebutan lain: Mpu
Rajakretha) merupakan yang terkecil dari Catur Sanak, karena adiknya –
Mpu Bradah (bungsu dari Panca Tirtha) – tetap tinggal di Jawa (tidak ikut
serta ke Bali bersama keempat kakaknya/ Catur Sanak). Mpu Kuturan
sendiri merupakan pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana. Selama di
Bali Mpu Kuturan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada
masyarakat Bali. Untuk menghormati jasanya, maka didirikan Pura
Cilayukti (baca: Silayukti) yang berasal dari kata “cila” (baca: sila) yang
berarti “tingkah” dan kata “yukti” yang berarti “benar”. Selama hidupnya
Mpu Kuturan menjalani Swala Brahmacari (kawin/menikah hanya sekali
dan satu istri).
Sampai saat ini, keturunan dari warga Pasek didominasi
(mayoritas) berasal dari keturunan Sang Sapta Rsi, di mana populasinya
terbesar di Bali, termasuk di luar Bali. Dari ketujuh Mpu inilah
keturunannya menjadi warga terbesar di Bali sebagai Pasek tertua
berdasarkan status leluhurnya, dibandingkan dengan Pasek Kayuselem
yang statusnya sebagai adik dari Warga Pasek keturunan Sang Sapta Rsi.
Dari ketujuh Mpu (Sang Sapta Rsi) keturunan yang statusnya tertua adalah
yang berasal dari keturunan Mpu Ketek sebagai kakak tertua atau anak
pertama (laki-laki) dari Mpu Gnijaya. Bila melihat kedatangan Catur
Sanak, leluhur (orang tua) dari Sang Sapta Rsi, di sekitar permulaan abad
ke-10, maka sudah semakin banyak cabang keturunan Warga Pasek dari
Sang Sapta Rsi, yang keturunannya tersebar ke seluruh Bali termasuk ke
Pulau Nusa Penida hingga akhirnya ke luar Bali, termasuk di Balinuraga,
Lampung. Akibatnya, setelah memasuki abad ke-20 dan ke-21 keturunan
Warga Pasek ini menjadi semakin rumit dan kompleks. Faktor ini
(kerumitan menentukan silsilah) yang menyebabkan terjadinya konflik
“internal” warga Pasek di Balinuraga, yang menjadikan mereka sulit untuk
melahirkan pemimpin di dalam kelompok warga-nya dan menggeser
popularitas warga Pandé di Balinuraga. Di samping jumlah populasi
warga-nya yang besar (di Balinuraga) yang menyebabkan
134
pengonsolidasian warga lebih sulit, serta masih ada beberapa warga yang
masih berpatron kepada warga Pandé.
Pasca pendataan warga Pasek di Balinuraga oleh elit-elit warga
Pasek di Bali dan wafatnya Sri Mpu Suci, warga Pasek mendapatkan
kembali jati dirinya. Kembalinya identitas mereka sebagai warga Pasek
menjadikan mereka semakin percaya diri dan memisahkan diri dari
pengaruh warga Pandé. Ada perasaan bahwa warga-nya (klan Pasek)
lebih unggul daripada warga Pandé, sehingga mereka merasa bahwa
warga Pasek lebih layak untuk memimpin di komunitas Balinuraga. Tentu,
perasaan ini, bahwa warga-nya adalah yang terbaik, dimiliki juga oleh
warga Pandé. Rasa percaya diri warga Pasek pasca kembalinya identitas
mereka memiliki latar belakang sejarah sendiri, di mana leluhur mereka,
khususnya Catur Sanak (ayah dari Sang Sapta Rsi) telah membangun
fondasi dan infrastruktur sosial-politik, budaya dan keagamaan bagi
masyarakat Bali, di mana menjadi tugas dari Catur Sanak ketika diutus ke
Bali. Kehadiran Catur Sanak membawa perubahan besar dalam tata
keagamaan dan tatanan kehidupan masyarakat Bali. Mereka berhasil
menyusun tata tertib desa, membangun pura seperti Kahyangan Tiga, Sad
Kahyangan dan lain-lain, beserta aturan upacaranya. Dari keempat pandita
tersebut (Catur Sanak) yang paling menonjol peran dan keahliannya adalah
Mpu Kuturan (sebutan lain: Mpu Rarajkretha). Prestasi (karya) fenomenal
Mpu Kuturan yang sampai saat ini masih berlaku di Bali dan etnis Bali
Hindu di luar Bali adalah Desa Pakraman (Desa Adat). Mpu Kuturan
berhasil menuangkan konsep Tri Murthi (nantinya dikenal dengan konsep
Tri Hita Karana) ke dalam Desa Pakraman yang ditujukan untuk
memperkuat keberadaan Desa Pakraman dari gejolak dan pengaruh negatif
baik dari dalam maupun dari luar. Karya lain dari Mpu Kuturan antara
lain: memperluas dan memperbesar Pura Besakih; menciptakan palinggih
(bangunan suci) yang disebut Meru, Gedong dan lain-lain; membuat dan
menyempurnakan Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah (Pura
Besakih, Lampuyang, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Berantan, Batur
dan Huluwatu).
Rumitnya penelusuran silsilah warga Pasek di Balinuraga
menjadikan kelompok warga ini kurang solid dibandingkan dengan warga
135
Pandé. Kesolidan yang dimaksud adalah kesolidan dalam kelompok warga
Pasek di Balinuraga, bukan kesolidan mereka sebagai etnis Bali Hindu
atau komunitas Bali Hindu di Balinuraga atau pun di Lampung Selatan.
Kasus warga Pasek di Balinuraga kurang lebih sama seperti warga Pasek
pada umumnya di Bali, yaitu mereka tahu bahwa mereka itu warga Pasek,
tapi akan kesulitan untuk menjelaskan apa itu Pasek, bagaimana dan
darimana asal-mula leluhurnya. Sebagai warga Pasek mereka tetap
memiliki kesolidan – dengan mengusung identitas sebagai warga Pasek –
tetapi yang menjadi semacam permasalahan di dalam kelompok warga ini
adalah: mereka adalah pasek apa? Berasal dari leluhur pasek yang mana?
Mengingat mereka memiliki tujuh leluhur (Tujuh Pendeta), di mana setiap
pendeta memiliki keturunannya sendiri yang tersebar di Bali dan tetap
mengusung identitas (jati diri) sebagai bagian dari warga (klan) Pasek.
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini agar tidak terjadi perdebatan
yang berlarut dan warga Pasek tetap bersatu (solid) – perdebatan klasik itu
seperti: Pasek A lebih baik dari Pasek B dan Pasek C dan sebaliknya dan
seterusnya – adalah dengan menjadikan “Pasek” sebagai identitas utama.
Artinya, meskipun mereka mendefinisikan dirinya sebagai Pasek A, B, C,
dan seterusnya, mereka tetap merupakan warga Pasek. Namun, ada
kalanya solusi ini tidak efektif jika ada kepentingan politik dari beberapa
individu yang berambisi untuk menjadi pemimpin dalam komunitasnya,
atau di level kabupaten ingin mencalonkan diri sebagai calon legislatif.
Misalnya, dengan mengklaim dirinya sebagai “Pasek A”, dan berdasarkan
silsilahnya “Pasek A” yang paling layak karena berasal dari pendeta tertua.
Walaubagaimana pun keturunan warga Pasek yang berasal dari Pendeta
tertua dengan keturunannya yang berasal dari anak laki-laki tertua tetap
dianggap yang paling layak. Meskipun klaim tersebut terkadang sangat
sulit untuk dibuktikan, karena keturunan dari Sang Sapta Rsi sudah sangat
banyak dan tersebar ke berbagai daerah. Dalam kasus warga Pasek di
Balinuraga, mereka adalah warga Pasek yang berasal dari Nusa Penida
dan saat ini telah berada di Lampung. Tentu ada beberapa di antara mereka
– yang memiliki alokasi dana khusus – yang berkepentingan untuk
memperjelas identitas leluhurnya, mereka – warga Pasek di Balinuraga –
meminta bantuan dari para Rsi (Resi atau pandita) Warga Pasek senior
yang kompeten di bidangnya di pulau induk, Bali. Jika penelusuran
136
dilakukan di Nusa Penida, mereka mendapatkan kendala yang cukup
rumit, yaitu dusun tempat di mana mereka berasal dulu (sebelum
bertransmigrasi) jumlah penduduknya sudah sangat sedikit, tinggal hanya
beberapa kepala keluarga saja. Di samping itu, karakteristik masyarakat
Nusa Penida yang lebih egaliter – jauh dari pengaruh “negara pusat” yang
berdampak atas jauhnya pengaruh konsep status sosial triwangsa dan non-
triwangsa, serta warga-warga – menyebabkan mereka sulit untuk
mendapatkan klaim yang jelas atas identitas leluhurnya. Bagi mereka,
klaim yang didapatkan dari pulau induk, Bali, memiliki tingkat pengakuan
yang tinggi, meskipun penelusuran itu belum tentu valid, karena ranting
pohon keturuan warga Pasek dari Sang Sapta Rsi yang sudah bercabang
sangat banyak. Pada akhirnya, tidak jarang, penelusuran ini terhenti karena
permasalahan dana, karena butuh biaya yang besar untuk perjalanan
pulang-pergi Lampung-Bali dan biaya-biaya adat dan keagamaan yang
harus dipenuhi. Jumlah anggota warga Pasek yang lebih besar daripada
warga Pandé – untuk kasus di Balinuraga – merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan mengapa warga Pasek kurang solid dibandingkan
dengan warga Pandé. Dalam kasus ini, warga Pandé dari segi jumlah
merupakan minoritas, sama seperti di Bali, tapi jumlah anggotanya yang
lebih kecil menjadikan mereka lebih mudah untuk mengkonsolidasikan
warga-nya. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor sejarah (khususnya di
masa kerajaan), di mana warga Pandé biasanya hidup dalam kelompok
warga-nya sendiri sesama Pandé. Ini terkait dengan fungsi mereka sebagai
pandai besi, di mana hanya klan mereka saja yang menguasai dan diwarisi
teknik-teknik serta kekuatan untuk mengerjakan alat-alat dan perkakas
yang terbuat dari besi. Biasanya mereka memiliki banjar tersendiri, di
mana komunitas mereka bertugas sebagai pandai besi untuk menyediakan
alat-alat dan perkakas yang terbuat dari besi, baik untuk kepentingan
kerajaan atau pun kepentingan kelompok (warga) lain.
Terlepas warga Pasek di Balinuraga berasal dari “Pasek A”,
“Pasek B”, “Pasek C”, dan seterusnya, sebagai warga Pasek mereka tetap
(dan pasti) melakukan kewajibannya sebagai warga Pasek, salah satunya
yang utama adalah mengungjungi pura-pura suci bagi warga Pasek yang
berada di Bali. Pura-pura Suci dan penting bagi warga Pasek di Bali
137
berdasarkan tingkatannya adalah (1) Pura Ratu Pasek di Besakih; (2) Pura
Dasar Bhuwana Gelgel; (3) Pura Sila Yukti yang lokasinya dekat dengan
Padang Bai; (4) Pura Lempuyang Madia dekat dengan Amlapura.
Tanggungjawab keempat pura suci ini dipegang oleh organisasi formal
warga Pasek, yaitu Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi – yang juga
mempunyai cabangnya di Lampung dalam komunitas-komunitas Bali
Hindu termasuk di Balinuraga. Oleh karena itu, ketika ada upacara-upacara
dan ritual-ritual penting, warga Pasek yang ada di Balinuraga sebisa
mungkin mengunjungi keempat pura suci ini, selain juga mengunjugi pura-
pura suci yang ada di tempat asal mereka di Nusa Penida. Jika hasil
pertanian bagus, bukan tidak mungkin, seorang warga Pasek atau pun
warga lainnya, bisa mengunjungi Bali dan Nusa Penida dua kali dalam
setahun. Biasanya mereka pergi secara berkelompok untuk menghemat
biaya, seperti dengan membawa mobil pribadi atau menyewa mini bus
yang membawa mereka ke Bali dan Nusa Penida. Tujuan dari pelaksanaan
kewajiban ini bagi warga Pasek antara lain adalah untuk menunjukkan
eksistensi identitas mereka sebagai warga Pasek, yaitu dengan
mengunjungi pura-pura suci dan penting bagi warga Pasek. Ada semacam
kebanggaan tersendiri – terkadang dapat meningkatkan status sosial si
individu tersebut – jika secara rutin (minimal satu tahun sekali) pergi ke
Bali untuk menunaikan kewajiban mereka, tidak hanya kewajiban sebagai
warga Pasek, tapi juga kewajiban sebagai umat Hindu. Kewajiban yang
bersifat agama dan adat ini memakan biaya yang besar, belum lagi
kewajiban lain yang harus mereka tanggung di dalam komunitas Bali
Hindunya di Balinuraga. Ini menjadi salah satu faktor yang merangsang
mereka untuk tekun dan bekerja keras di bidang pertanian. Di kalangan
kelompok masyarakat (transmigran) Jawa, selain keuletan dan kerja
kerasnya, orang Bali di Balinuraga (dan di Kampung Bali lainnya) dikenal
dengan perhitungannya secara ekonomi, tapi sangat royal (dalam
pandangan orang Jawa terkesan boros) untuk urusan adat dan keagamaan.
Saat ini warga Pasek di Balinuraga sudah memiliki sulinggih
(pendeta / mpu) sendiri bagi warga Pasek. Hadirnya sulinggih warga
Pasek ini, yang kesulinggihannya sudah diakui dan terdaftar di lembaga
resmi agama Hindu (PHDI) dan lembaga formal warga Pasek, menjadi
138
pemersatu bagi warga Pasek di Balinuraga. Warga Pasek sudah memiliki
patron baru yang menjadi pemersatu warga-nya, dan tidak perlu lagi
menggunakan sulinggih dari warga lain. Setelah memiliki sulinggih-nya
sendiri, menyebabkan setiap ada upacara adat dan keagamaan tertentu
penyelenggaraannya tidak dapat dilakukan bersama-sama antar warga.
Setiap warga dengan mpu-nya menyelenggarakan upacara tersebut
bersama-sama dengan anggota warga-nya sendiri dan di bale banjar
warga-nya sendiri dengan waktu yang kurang lebih hampir bersamaan.
Dengan kata lain, seorang warga Pasek tidak dapat ikut serta dalam
upacara yang diselenggarakan khusus bagi warga Pandé dan sebaliknya –
kecuali upacara bersama untuk komunitas satu Desa Balinuraga. Artinya,
dengan fenomena ini di mana setiap warga memiliki sulinggih-nya sendiri,
menyebabkan terjadinya pengkotak-kotakan komunitas Hindu Bali di Desa
Balinuraga – karena dengan memiliki sulinggih sendiri maka setiap warga
dapat menyelenggarakan upacara tertentu khusus untuk warga-nya165
.
165
Sore hari setelah penulis mengikuti Upacara Melasti (mekiis)– sebelum hari
raya Nyepi (Maret 2010) – di banjar Pandéarga akan diselenggarakan sebuah
upacara pra-Nyepi yang dikhususkan bagi warga Pandé. Ketika penulis sedang
berada di rumah salah seorang sepuh dari warga Pandé, ada seorang anak muda
Balinuraga yang bekerja di Bandar Lampung mengunjungi rumah sepuh ini untuk
berkonsultasi. Ketika itu anak muda tersebut sedang cuti bekerja dari perusahaan
di mana ia bekerja untuk mengikuti hari raya Nyepi. Menjelang malam hari, ketika
upacara hendak dimulai di bale banjar Pandéarga, sepuh sudah terlebih dahulu ke
tempat upacara, sedangkan penulis dan anak muda itu masih berada di rumah
untuk berdiskusi sejenak. Sebelum menyaksikan jalannya upacara di „geria‟-nya
warga Pandé, penulis bertanya: “Beli (sebutan „mas‟ dalam Bahasa Bali) gak ikut
upacara?”. Kemudian dia membalasnya: “Tidak, mas. Nanti saya ikut di tempat
lain”. Awalnya penulis mengira bahwa anak muda tersebut satu warga dengan
sepuh. Setelah penulis berdiskusi sejenak baru diketahui bahwa anak muda
tersebut berasal dari warga lain, di mana dalam waktu yang tidak berjauhan akan
diselenggarakan upacara serupa khusus untuk warga-nya sendiri. Ini merupakan
salah satu kasus di Balinuraga, di mana dalam beberapa upacara tertentu
penyelenggaraan dilakukan terpisah berdasarkan warga-nya sendiri – tentu dengan
sulinggih warga tersebut. Sebagai catatan, sepuh ini merupakan salah satu tokoh
penting di Balinuraga, yang juga diakui ketokohannya di kalangan orang Bali di
Lampung Selatan. Oleh karena itu, tidak sedikit anak muda di Balinuraga, maupun
dari Kampung Bali lain tetangga Desa Balinuraga dan juga dari kalangan etnis
lain, yang berkonsultasi (atau curhat) untuk meminta masukan dari sepuh ini.
139
Warga Pandé
Warga Pandé merupakan warga yang minoritas dari segi jumlah
anggotanya. Jumlah warga Pandé kurang lebih separuh dari total warga
Pasek yang berada di Balinuraga. Bila dilihat jumlah anggotanya, warga
Pandé terlihat sebagai minoritas, tapi dilihat peran dan fungsi yang mereka
mainkan, Warga Pandé memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya di
level banjar dan Desa Balinuraga, tapi sampai ke level Kabupaten
Lampung Selatan. Sejak kedatangan transmigran Bali Nusa ke Lampung
Selatan, warga-warga di Balinuraga sepertinya masih belum bisa
melepaskan diri dari pengaruh dan popularitas warga Pandé, khususnya
Sri Mpu Suci (dan keluarganya) yang menjadi inisiator dan pemimpin
transmigran Bali Nusa, mulai dari keberangkatan ke Lampung sampai
sudah berada di Lampung. Setelah Sri Mpu Suci wafat, peran penting yang
selama ini dimainkan oleh Sri Mpu dilanjutkan oleh putra-putranya,
terutama di bidang keagamaan dan kesenian. Oleh karena itu, sampai saat
ini, untuk melakukan hubungan keluar Desa Balinuraga, khususnya acara-
acara yang bersifat formal (biasanya diselenggarakan oleh pihak
pemerintah atau organisasi kemasyarakatan Bali dan non-Bali untuk level
kecamatan dan kabupaten), sesepuh dari Balinuraga yang (biasa) selalu
diundang berasal dari Warga Pandé, yaitu salah satu putra dari Sri Mpu
Suci.
Sebagai salah satu kelompok warga yang jumlahnya minoritas di
Bali, dalam perjalanan sejarahnya, Warga Pandé memainkan peranan yang
Setelah upacara selesai, ada pentas kesenian Tari Barong dan kesenian lain. Ketika
pertunjukan di mulai beberapa warga lain (non-Pandé) turut menyaksikan
pertunjukkan tersebut. Kehadiran mereka sebatas untuk melihat pertunjukkan, tapi
tidak mengikuti upacara yang diselenggarakan bagi warga Pandé. Pertunjukkan
tersebut berlangsung ramai, banyak warga lain yang menonton, setelah beberapa
di antara mereka telah selesai mengadakan upacara di banjarnya. Pentas ini
berlangsung ramai karena dalam beberapa pentas kesenian di Balinuraga, banjar
Pandéarga terkenal dengan pertunjukkannya yang apik, karena mereka memiliki
penari dan pemusik yang berbakat. Tidak jarang para seniman dari banjar ini
diundang untuk menyelenggarakan pentas seni (biasanya tari-tarian Bali) di
berbagai tempat di Lampung Selatan, khususnya di dalam komunitas Bali Hindu –
termasuk dalam acara-acara formal di pemerintahan (level kecamatan dan
kabupaten).
140
cukup penting di dalam masyarakat Bali, mulai masa pra-Hindu, masa
pemerintahan Bali Aga, masa kekuasaan Majapahit di bawah dinasti Sri
Kresna Kepakisan, dan masa kolonial. Warga atau klan Pandé
diperkirakan sudah ada di Bali sejak zaman pra-Hindu, tapi pada masa itu
belum istilah warga atau sistem warga belum dikenal karena sistem ini
mulai dikenal setelah berkuasanya Majapahit atas Bali Namun, kelompok
Pandé ini sudah ada di masa ini terkait dengan fungsinya (guna) sebagai
pandai besi (dalam Bahasa Indonesia) atau Pandé wesi (dalam Bahasa
Bali), sehingga di zaman pra-Hindu kelompok Pandé ini hidup
berkelompok dalam komunitasnya sendiri sebagai sesama pandai besi. Di
masa kerajaan – masa pra-Hindu, Bali Aga, dan Dinasti Sri Kresna
Kepakisan – kedudukan Warga Pandé mendapatkan tempat yang istimewa
di dalam kerajaan dan masyarakat Bali. Hal ini dikarenakan untuk
membuat peralatan atau perkakas yang terbuat dari bahan dasar besi tidak
bisa dikerjakan oleh sembarangan orang. Hanya orang-orang tertentu, atau
keluarga tertentu (warga / klan) yang secara turun-temurun dapat
mengerjakan pekerjaan “besi” ini. Ilmu dan teknik pembuatan peralatan
atau perkakas yang terbuat dari besi ini merupakan resep rahasia yang
hanya diwariskan kepada keluarganya sendiri. Tidak hanya di Bali, dalam
beberapa sejarah tertulis di masa-masa awal peradaban Nusantara ini,
mereka yang bekerja di bidang pandai besi mempunyai komunitasnya
sendiri, yang dapat dikatakan terpisah dari kelompok masyarakat lain
karena spesialisasi pekerjaannya. Besi, bagi orang Bali dan etnis lain di
Nusantara, dipercaya memiliki kekuatan magis (magical power), di mana
dalam pengerjaan membutuhkan orang-orang khusus dengan keterampilan
yang tinggi. Oleh karena itulah, Warga Pandé mendapatkan satu tempat
khusus di dalam sebuah pemerintahan kerajaan. Tentu, pertanyaannya
adalah mengapa Warga Pandé mendapatkan keistimewaan tersebut?
Selain karena besi memiliki kekuatan magis, bagi orang-orang
pemerintahan (kesatria) di dalam kerajaan percaya bahwa apa yang dibuat
oleh Warga Pandé memiliki kekuatan magis yang istimewa, khususnya
senjata-senjata, terutama keris. Kalangan pemerintahan kerajaan –
bangsawan-bangsawan puri yang memegang / menjalankan pemerintahan
– mengetahui bahwa kekuasaan dari kerajaan (pemerintahan) yang baru,
atau pemerintahan yang ada sekarang (status quo), bergantung pada hasil-
141
hasil pekerjaan kalangan Warga Pandé (terutama di bidang persenjataan
perang). Dapat dikatakan, hasil-hasil dari pekerjaan Warga Pandé ini
berarti kestabilan politik (Eiseman 2005). Untuk menghargai Warga
Pandé, terutama agar mereka mendapatkan prestise (status dan
kebanggaan sosial di dalam masyarakat) yang secara moril akan
berdampak pada hasil karya-cipta mereka, Warga Pandé diberikan satu
tempat di dalam puri, sebuah tempat di dalam lingkungan keluarga
kerajaan. Bila dianalogikan secara sederhana, bila terjadi peperangan antar
kerajaan, baik yang ada di Bali atau pun di Jawa, sebenarnya dibalik
peperangan fisik itu merupakan peperangan di kalangan kelompok /
keluarga dari pandai besi. Baik patih maupun prajurit yang berperang di
medan pertempuran, keduanya menggunakan senjata yang dihasilkan
(diciptakan) dari keluarga pandai besi. Oleh karena itulah, di masa
kerajaan setiap kerajaan memiliki satu warga/keluarga Pandé untuk
menangani pembuatan senjata. Bagi Warga Pandé sendiri, kemenangan
dari suatu pertempuran, meskipun mereka tidak ikut berperang secara
langsung, memberikan satu kebanggaan sendiri, karena baik langsung atau
pun tidak langsung, kemenangan itu turut ditentukan oleh senjata yang
mereka hasilkan. Secara niskala, dapat diartikan bahwa senjata yang
mereka hasilkan diciptakan atau mendapatkan kekuatan magis dari Dewa
Brahma dalam manifestasinya sebagai Dewa Api. Bukan tidak mungkin,
satu Warga Pandé yang hasil kreasinya memenangi beberapa peperangan,
dibajak melalui berbagai cara untuk pindah ke kubu atau kerajaan lain.
Bagi kalangan masyarakat sipil di Bali, Warga Pandé turut mendapatkan
satu tempat yang khusus bagi mereka, baik dalam lingkungan desa maupun
banjar – biasanya disediakan satu banjar tersendiri bagi Warga Pandé166
.
Hal ini terkait dengan kebutuhan warga sipil akan peralatan dan perkakas
dari besi, di mana hanya dapat dikerjakan dengan baik oleh kalangan
Warga Pandé. Tempat khusus ini tidak hanya diberikan bagi Warga Pandé
166
Seperti contoh kasus di Desa Adat Tenganan, di mana untuk Warga Pandé
diberikan satu tempat khusus – Banjar Pandé – sebagai “orang luar”. Warga atau
klan Pandé ini sengaja didatangkan oleh desa adat untuk membuat keris – senjata
tajam yang harus dibawa laki-laki Tenganan dan menjadi bagian dari pakian
tradisional laki-laki (lihat:Ambarwati Kurnianingsih 2008, Simulacra Bali:
Ambiguitas Tradisionalisasi Orang Bali, Yogyakarta: Insist Press).
142
di masa pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan, tapi juga di kalangan
Bali Aga, baik pra maupun pasca kedudukan Majapahit atas Bali. Di masa
kolonial, ketika sistem wangsa (kasta) diajegkan oleh pemerintah kolonial
dengan dukungan raja-raja boneka bentukan Belanda, Warga Pandé di
berbagai daerah di Bali mengadakan perlawanan atas kebijakan pemerintah
kolonial – dalam kasus ini perlawanan dilayangkan kepada kerajaan
boneka bentukan Belanda karena langsung berhadapakan dengan
masyarakat sipil – yang mendiskriminasikan posisi mereka sebagai Warga
Pandé yang dicampakkan sebagai jabawangsa (sudrawangsa).
Konsekuensi atas pencampakkan ini adalah Warga Pandé harus menjalani
kewajiban kerja rodi untuk pembangunan jalan, dan tidak diperkenankan
menggunakan pendetanya sendiri (Mpu) untuk melaksanakan upacara dan
ritual adat dan keagamaan – termasuk harus mendapatkan tirta (air suci)
dari pedanda (pendeta brahmana). Aksi protes dan perlawanan Warga
Pandé ini akhirnya menjadi inspirasi bagi warga lain yang lebih besar,
seperti Warga Pasek, untuk melayangkan aksi protes kepada pemerintah
kolonial167
.
Kata “Pandé” sendiri – seperti yang telah dijelaskan sebelumnya –
berarti “Pandai” dalam Bahasa Indonesia, yang berarti “tukang tempa”.
Secara umum, kata “Pandé” atau “pandai” ini dihubungan dengan
pekerjaannya yang menciptakan atau menghasilkan produk-produk yang
berbahan dasar besi. Atau, dalam Bahasa Bali disebut “Pandé wesi” dan
dalam Bahasa Indonesia disebut “pandai besi”. Sebutan lain yang lebih
khusus, misalnya “Pandé mas” atau “pandai mas”, untuk orang-orang
pandai atau Pandé yang mengerjakan atau menempa bahan dasar dari
emas. Dalam Bahasa Inggris, “Pandé wesi” ini disebut juga sebagai
167
Aksi protes dan perlawanan ini juga diikuti oleh warga Bhujangga Waisnawa –
merupakan Brahmana Bali Aga. Inti dari aksi protes dan perlawanan ini adalah
mereka menolak sistem kasta (wangsa) yang “diimpor” dari Jawa (Majapahit) dan
menolak didiskriminasikan karena digolongkan oleh kekuasaan saat itu – ketika
Majapahit berkuasa atas Bali – sebagai jabawangsa, yang dalam
perkembangannya menjadi sudrawangsa. Oleh karena itulah, di kalangan
masyarakat Bali Aga yang terdapat di daerah tinggi (pegunungan) di Bali, sistem
wangsa (kasta) tidak ada di dalam komunitas mereka (lihat: Geertz 1967,
“Tihingan: A Balinese Village” dalam Villages in Indonesia, edt. Kontjaraningrat,
Ithaca-New York: Cornell University Press).
143
“smith” atau “masters of steel”. Dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder
1982) kata “Pandé” juga disebut “panday” yang berarti skilled workers;
smith, gold smith, etc. Istilah “Warga Pandé” merupakan atau
menunjukkan satu keluarga atau satu klan yang leluhurnya berasal dari
keluarga pandai besi atau Pandé wesi. Berbeda dengan Warga Pasek yang
leluhurnya berasal dari Tujuh Pendeta (Sang Sanak Sapta Rsi), Warga
Pandé berasal dari satu leluhur – dalam lontar ditetapkan sebagai leluhur
awal / pertama bagi Warga Pandé – yaitu Empu/Mpu168
Pradah. Di dalam
lontar Warga Pandé – Prasasti Sira Pandé Empu169
– disebutkan bahwa
Mpu Pradah merupakan hasil kreasi kehidupan dari Brahma. Di dalam
mitologi-mitologi di awal zaman Hindu, disiplin yang ketat dalam bidang
kerohanian (asketisme) dan meditasi dapat menghasilkan satu kehidupan
(melahirkan manusia)170
. Ini yang dilakukan oleh Brahma yang dipercaya –
seperti tercatat dalam lontar Pandé – melahirkan Mpu Pradah yang
168
Empu atau Mpu dapat diartikan sebagai orang suci atau orang yang memiliki
kualitas kerohanian yang tinggi; dalam Bahasa Indonesia, Empu atau Mpu
diartikan sebagai: (1) gelar kehormatan yang berarti “tuan”; (2) orang yang sangat
ahli – terutama ahli membuat keris (Kamus Besar Bahasa Indonesa). Salah satu
contohnya adalah Mpu Gandring, salah satu mpu dari kalangan klan Pandai Besi
yang ahli membuat senjata-senjata perang, terutama keris, di wilayah Tumapel di
bawah pimpinan Tunggul Ametung. 169
Prasati Sira Pandé Empu merupakan sebuah dokumen (catatan) formal
keagamaan. Dokumen lontar ini diperkirakan disusun sekitar abad ke-15 dan 16
Masehi. Pada masa-masa ini, tidak hanya warga (klan) Pandé saja yang menulis
sejarah warga-nya, tapi juga warga-warga lain. Penulisan dokumen ini, seperti
yang ditemui pada dokumen warga-warga lain, ditujukan untuk
mengidentifikasikan, menyebarluaskan, bahwa mereka berhak atas sebuah status
yang lebih besar daripada Sudra. Abad ke-15 dan 16 Masehi adalah masa dinasti
Sri Kresna Kepakisan, masa di mana Bali sudah dikuasi Majapahit, di mana
beberapa warga (klan) yang tidak terlibat dalam pemerintahan kerajaan –
termasuk orang Bali Aga sebagai tertakluk – tidak digolongkan sebagai orang
„dalem‟ (lingkungan dalam kerajaan atau puri) ,dan karena itu disebut sebagai
orang luar (jaba wangsa). Saat berkuasanya Majapahit atas Bali, diperkirakan
sistem wangsa yang berasal dari Jawa (Jawa Timur) mulai diadaptasikan oleh
pendeta-pendeta (brahmana siwa dan budha) beserta kesatria (arya-arya Jawa
Timur) ke Bali. 170
Bandingkan dengan kisah Mpu Kuturan yang dalam meditasinya bisa
melahirkan keturunan meskipun brahmacari.
144
ditetapkan sebagai leluhur Warga Pandé. Meskipun di dalam lontar
menjabarkan penciptaan yang dilakukan oleh Brahma, tapi Brahma yang
dimaksudkan dalam lontar tersebut kurang lebih seperti trimurthi dalam
Hindu, dan lebih condong mendekati Dewa Api yang disebut Agni.
Penekanan Brahma yang lebih condong ke Agni dinilai cukup beralasan,
karena bagi Warga Pandé, api merupakan „bahan bakar‟ utama dalam
guna mereka sebagai Pandé wesi, yang melaluinya (api) kekuatan
didapatkan. Oleh karena itu, sampai saat ini warna merah menjadi simbol
bagi Warga Pandé yang menunjukkan identitas warga mereka, yang selalu
diasosiasikan dengan Brahma (trimurthi). Selain itu, Warga Pandé
diharuskan memiliki / menyimpan perapen – peralatan pembakaran yang
digunakan pandai besi –sebagai simbol identitas mereka sebagai Warga
Pandé, meskipun sudah tidak menekuni profesi sebagai pandai besi.
Simbol warna merah dan perapen tidak hanya diadaptasi oleh Warga
Pandé yang ada di Bali, tapi juga diadaptasi oleh Warga Pandé yang ada
di Balinuraga. Cara paling mudah untuk mengidentifikasikan Warga
Pandé di Balinuraga adalah dengan melihat warna bangunan rumah dan
pura keluarganya yang didominasi warna merah. Lontar tersebut juga
mencatat yang menyatakan bahwa Warga Pandé warga yang merdeka,
atau sebagai warga yang independen, tidak tergantung atau bergantung
terhadap warga-warga (atau wangsa) lain. Pernyataan dalam lontar Pandé
tersebut secara tegas dan jelas menyatakan bahwa kaum Brahmana
mendapatkan pengetahuan dan kekuatan (kekuasaan) dari Pandé, dan
mendudukkan Warga Pandé sebagai saudara tertua (lebih tua) daripada
kaum Brahmana, dan tentunya dengan kekuatan dan prestise yang lebih
tinggi daripada kaum Brahmana. Selain itu juga diintruksikan bahwa
Warga Pandé tidak diperkenankan untuk menerima tirta (air suci) dari
pedanda (pendeta Brahmana), karena pendeta Brahmana adalah adik (lebih
muda) daripada Pandé. Catatan-catatan dalam lontar Pandé inilah yang
menjadi acuan bagi Warga Pandé mengadakan aksi protes dan perlawanan
terhadap pihak kerajaan boneka di masa kolonial. Keinginan pemerintah
kolonial untuk mengembalikan Bali sebagaimana aslinya seperti masa-
masa kerajaan – dengan mengajegkan sistem wangsa (kasta) menjadi
semakin tertutup (vertikal) dalam proyek balinisasi, melahirkan peraturan
yang salah satunya mengharuskan kelompok jabawangsa (golongan di luar
145
triwangsa) menerima tirta dari pedanda (pendeta brahmana) dan tidak
boleh menggunakan pendetanya sendiri (mpu) untuk memimpin upacara
adat dan keagamaan – menyebabkan Warga Pandé di berbagai daerah di
Bali melayangkan aksi protes ke Raad Kerta (peradilan adat). Di samping
itu, di dalam lontar Pandé terdapat berbagai larangan kepada kelompok
(warga) lain bahwa mereka seharusnya tidak mengikuti pengajaran dari
para brahmana dan kesatria, tapi lebih mengikuti Pandé171
. Untuk kasus di
Balinuraga di masa-masa awal kedatangan transmigran Bali Nusa ke
Lampung Selatan, selain dikarenakan alasan teknis karena transmigran
Bali Nusa tidak memiliki patron yang mumpuni sebagai Mpu, dapat
dimungkinkan, isi atau peraturan di dalam lontar Pandé ini menjadi salah
satu rujukan yang membenarkan agar warga-warga lain mengikuti ajaran
atau pimpinan seorang Mpu dari Warga Pandé. Terkait dengan isi lontar
Pandé, seperti yang diuraikan sebelumnya, Eiseman (2005) menyebutkan
bahwa dokumen ini anti-brahmana, anti-kemapanan, dan dihembuskan
oleh propaganda yang pro-Pandé172
. Meskipun demikian, sejak Belanda
menguasai Bali dan melaksanakan proyek Balinisasinya dengan
mengajegkan sistem wangsa, menimbulkan sejumlah aksi protes dan
perlawanan dari warga-warga yang dicampakkan ke dalam jabawangsa.
Tindakan ini timbul karena adanya ketidakadilan yang dirasakan dan
ditanggung oleh kelompok jabaangsa, seperti harus kerja rodi, di mana
golongan triwangsa mendapatkan keistimewaan-keistimewaan dari
pemerintah kolonial. Di samping itu, jika menelusuri babad-babad warga-
warga yang ada di Bali, leluhur mereka berasal dari kalangan terpandang
di masanya, seperti pendeta (brahmana) dan kesatria (bangsawan, pejabat
pemerintahan kerajaan). Dikarenakan gejolak politik di masa kerajaan
171
Perlawanan Warga Pandé di Bali, baik di masa kerajaan maupun kolonial,
terhadap hegemoni triwangsa umumnya dipelopori atau “dimainkan” oleh warga
Pandé yang konservatif, di mana mereka tetap teguh pada pendirian mereka –
seperti yang tertulis dalam lontar – bahwa mereka memiliki kedudukan yang lebih
tua daripada brahmana wangsa, dan tentunya status/prestis yang lebih tinggi. Ini
yang menyebabkan di beberapa daerah di Bali pada masa itu, menolak untuk
menerima air dari pedanda (pendeta brahamana). 172
Kalangan ini berasal dari warga Pandé yang konservatif.
146
yang dinamis, warga-warga ini tersingkir dari pentas politik kerajaan dan
menjadi warga biasa, tanpa keistimewaan dan status sosial yang tinggi.
Bila menelusuri keberadaan Warga Pandé di Bali, baik
berdasarkan sejarah pra-invasi Majapahit maupun pasca-jatuhnya
Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, maka dapat diketahui bahwa ada
dua Warga Pandé di Bali, yaitu Warga Pandé yang berasal dari Bali Aga
dan Warga Pandé yang melakukan eksodus atau pelarian dari Jawa Timur
(saat jatuhnya Majapahit) ke Bali. Berdasarkan sejarahnya, ketika
Majapapahit bersama Mahapatih Gajahmada dan para Arya menyerang
Bali, mereka harus bertempur dengan sengit melawan raja Bali Aga – Asta
Asura Ratna Bumi Banten – yang persenjataannya dibuat oleh Warga
Pandé dari Bali Aga yang tersohor – yang disebut Pandé Tamblingan:
kelompok Pandé Bali kuno (Bali Aga) yang bermungkim di kawasan
Tamblingan. Strategi Mahapati Gajahmada untuk mengalahkan Raja Asta
Asura Ratna Bumi Banten adalah dengan menghancur pusat industri
persenjataannya terlebih dahulu di Tamblingan, di mana di sana
bermungkim kelompok Pandé yang bertugas membuat persenjataan bagi
raja-raja Bali kuno. Strategi ini jitu, karena dengan menghancurkan
Tamblingan, maka kerajaan Bali Aga menjadi lemah – disebabkan
hancurnya gudang dan industri persenjataan kerajaan Bali kuno, yang
menyebabkan kekalahan kerajaan Bali Aga di kepemimpinan Mahapati
Gajahmada. Sejarah ini membuktikan bahwa stabilitas politik dan
keamanan sebuah kerajaan – di masa kerajaan – tergantung pada kelompok
Pandé-nya, karena kelompok ini bertugas untuk membuat persenjataan
baik untuk berperang (invasi) melawan kerajaan lain, atau pun
mempertahankan diri dari serangan kerajaan lain. Kasus ini (kurang lebih)
sama seperti kerajaan-kerajaan di Jawa maupun di Bali. Meskipun
kelompok Pandé ini sudah ada di masa Bali kuno sebelum Majapahit
menginvasi Bali, Warga Pandé (dari dua kelompok ini, baik Pandé dari
Bali Aga maupun Pandé dari Jawa) mengakui bahwa mereka berasal dari
satu leluhur yang sama, yaitu Mpu Pradah – titisan Dewa Brahma yang
lebih dimanifestasikan sebagai Dewa Api. Hal ini cukup berasalan karena
mitologi yang terdapat dari dalam lontar yang menyebutkan bahwa leluhur
Pandé berasal dari Brahma (condong ke Dewa Api), dari penulisannya,
147
(diperkirakan) serupa dengan masa sebelum masuknya Hindu. Mitologi
dalam lontar ini, yang mungkin, menjadi klaim bahwa kelompok Pandé,
baik dari Bali maupun dari Jawa, berasal dari satu leluhur. Kelompok
Pandé yang kedua yang berada di Bali, pasca invasi Majapahit ke Bali dan
pasca jatuhnya Majapahit, adalah kelompok Pandé yang berasal dari Jawa.
Kelompok Pandé ini merupakan pelarian dari Jawa Timur, yang
melakukan eksodus pasca jatuhnya Majapahit. Besar kemungkinan,
kelompok Pandé yang melakukan eksodus ke Bali ini adalah kelompok
Pandé yang selama ini berafiliasi dengan kerajaan Majapahit, sebagai
pembuat senjata, dan beberapa kelompok Pandé yang bekerja untuk
masyarakat sipil. Dalam pelariannya ke Bali, kelompok Pandé ini singgah
pertama kali di Gunung Berantan (Bali bagian barat) antara Gilimanuk dan
Pulaki. Kemudian, mereka bermigrasi ke Danau Berantan di dekat
Bedugul. Di sini mereka membangun Pura Berantan – pura ini kemudian
menjadi pura penting bagi Warga Pandé. Dari tempat ini, Gunung
Berantan, kelompok Pandé ini yang terdiri dari berbagai kelompok,
menyebar ke berbagai daerah di Bali, di antaranya: Singaraja, Marga,
Klungkung, Karangasem, Gianyar, dan Celuk. Umumnya kelompok Pandé
ini membentuk banjar khusus untuk kalangan (klan/warga) mereka
sendiri, di samping secara fungsional pekerjaan mereka mendapatkan
tempat khusus di masyarakat sebagai pandai besi. Di antara kelompok
Pandé yang bermigrasi ke Klungkung ini diperkirakan, sebagian atau
diantaranya, bermigrasi ke Pulau Nusa Penida. Salah satu alasan yang
memungkinkan mereka pindah ke pulau yang tandus ini adalah terkait
dengan profesi mereka sebagai pandai besi. Ketika Majapahit menginvasi
Bali, Nusa Penida menjadi salah satu daerah taklukkannya, karena itu
dimungkinkan, dan tidak ada kesulitan, bagi kelompok Pandé ini untuk
bermigrasi ke Nusa Penida – meskipun sebelumnya sudah ada kelompok
Pandé di pulau ini yang berasal dari Bali Aga.
Kembali ke Warga Pandé di Balinuraga, yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana peran yang mereka mainkan sejak kedatangan pertama
kali ke Lampung? Sampai saat ini Warga Pandé di Balinuraga masih
memegang peranan penting dan dominan, khususnya di bidang kesenian
148
dan sosial kemasyarakatan173
. Di bidang kesenian, hasil karya cipta yang
paling mencolok adalah ukiran – dalam hal ini sebagai pembuat pura –,
seni lukis, dan seni tari. Beberapa keluarga dari Warga Pandé di
Balinuraga terkenal sebagai pembuat pura. Konsumennya berasal dari
warga-warga lain (non Pandé) yang ada di Balinuraga, maupun di desa /
Kampung Bali lain, baik yang ada di Lampung Selatan maupun di
Kabupaten lain – beberapa di antaranya di berada di Sumatera Selatan
yang juga memiliki komunitas Bali Hindu. Selain itu, mereka juga
mengerjakan beberapa proyek untuk upacara Ngaben, untuk membuat
perlengkapan upacara, seperti bade manumpang dan patulangan (sarana
dalam pengabenan)174
, dan membuat patung beserta ukirannya. Bahan
dasar untuk pembuatan pura, patung, dan ukiran yang digunakan oleh
Warga Pandé di Balinuraga adalah semen, sebagai menggunakan cetakan
– untuk pembuatan pura -, dan sebagaian dari cetakan semen basah dibuat
patung atau ukiran. Semakin mahal borongan – sistem pengerjaan dan
pembayaran dalam pembuatan pura – maka jumlah ukirannya (ukiran
tangan) semakin banyak dan rumit. Di samping itu, mereka juga
mendapatkan pesanan untuk membuat patung, ukiran, dan lukisan dari
etnis lain yang menyukai karya seni Bali. Contoh yang menarik adalah
pembuatan patung Yesus di sebuah gereja Katolik yang terletak di desa
tetangga, yang merupakan karya Warga Pandé. Di Balinuraga sendiri,
pura-pura penting dan ornamennya juga merupakan karya dari Warga
Pandé, karena di Balinuraga hanya klan Pandé yang paling mumpuni
dalam pekerjaan ini. Meskipun mereka sudah tidak lagi menekuni profesi
leluhur mereka, yang menjadi basis identitas mereka sebagai Warga
Pandé, ini tidak menjadi persoalan. Menurut mereka, tantangan bagi
Warga Pandé, dan warga-warga lain di Balinuraga, sudah berbeda jauh
dengan zaman (masa) saat leluhur mereka masih hidup. Mereka harus
173
Yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat, baik tokoh muda maupun
sepuh; sedangkan mayoritas warga Pandé lainnya tetap menjalankan profesinya
sebagai petani, sama seperti mayoritas warga-warga lainnya. 174
Biaya pembuatan perlengkapan ngaben tergolong mahal. Ada yang
menghabiskan puluhan sampai ratusan juta rupiah, belum termasuk biaya-biaya
lain pra-ngaben, maupun saat ngaben berlangsung. Oleh karena itulah, ada upacara
“ngaben massal” untuk menghemat biaya.
149
menyesuaikan dengan konteks waktu (kala) dan tempat (patra), terlebih
setelah berdomisili di Lampung. Di bidang sosial kemasyarakatan, sesepuh
dari Warga Pandé tetap dihargai sebagai tokoh utama, khususnya putra
dari Sri Mpu Suci. Tokoh Warga Pandé ini selalu menjadi perwakilan dari
Balinuraga, atau komunitas Bali Hindu di level kecamatan dan kabupaten,
sebagai simbol eksistensi identitas komunitas Bali Hindu di Lampung
Selatan. Sejak wafatnya Sri Mpu Suci, peran sosial kemasyarakatan
dipegang oleh putra-putranya. Di bidang keagamaan, dominasi Warga
Pandé mulai berkurang, terutama sejak Sri Mpu Aji, putra Sri Mpu Suci
yang menjadi pewaris kependetaan Warga Pandé di Balinuraga, wafat.
Sebagai catatan, untuk menjadi pendeta di kalangan Warga Pandé, juga
berlaku bagi warga-warga lainnya, sangat sulit. Banyak prosedur dan
pembelajaran yang harus mereka lalui (lulus) dengan baik, salah satu di
antaranya, menguasai bahasa sansekerta (termasuk Bahasa Bali Kuno dan
Bahasa Jawa Kuno yang sedikit banyak memiliki kesamaan), dan dapat
menghapal (serta merapal) berbagai macam mantra dan doa. Sama seperti
Warga Pasek, Warga Pandé memiliki sebuah organisasi formal yang
mewadahi warga-nya, yaitu Maha Semaya Warga Pandé, yang memiliki
perwakilannya di Balinuraga. Organisasi ini secara resmi didirikan pada
tahun 1975, di mana sejak tahun 1930-an secara informal sudah berdiri
(Howe 2005175
) – keorganisasian Warga Pandé lebih tua daripada Warga
Pasek (1952) dari sisi organisatoris.
175
Howe, Leo. (2005), The Changing World of Bali: Religion, Society and
Tourism, London & New York: Routledge, Taylor and Francis Group.
150
Gambar 5. Gereja Katolik dan Patung Yesus Kristus di Desa Tetangga
Balinuraga
(Patung Yesus Kristus merupakan hasil karya seniman Balinuraga).
(Sumber: Yulianto, 2009)
Hubungan Warga Pandé dengan warga lain di Balinuraga yang
paling dinamis dan cenderung pasang surut adalah hubungannya dengan
Warga Pasek. Permasalahan klasik dalam hubungan keduanya, kurang
lebih mirip dengan yang terjadi di Bali, adalah siapa di antara keduanya
yang memiliki status sosial atau prestise paling tinggi, dan yang paling
layak menjadi pemimpin di dalam komunitas itu176
. Berdasarkan silsilah
176
Seperti yang dikemukakann Geertz (op.cit. 1967: 224-225) dalam studinya di
Tihingan yang menunjukkan bagaimana sengitnya persaingan di antara dua warga
ini: “In Tihingan, status rivalry takes on its sharpest form among the different
djaba groups rather than between them an the triwangsa. Though the Pandé and
151
leluhur dari kedua warga ini (silsilah yang berangkat dari leluhur mereka
yang berasal dari Jawa Timur), Pandé dan Pasek, secara geneologi kedua
warga ini mempunyai leluhur – yang mewarisi klan (warga) Pandé dan
Pasek – yang hubungannya kakak-beradik ketika masih di Jawa. Dengan
kata lain, kedua warga ini, berdasarkan silsilah yang mereka susun
mempunyai satu leluhur yang sama ketika di Jawa, yaitu Mpu
Withadarma, atau sebutan lain: Danghyang Bajra Satwa atau Mpu Keling.
Bila mengacu pada bagan silsilah, pohon keluarga kedua warga ini,
kedudukan leluhur Warga Pasek lebih tua daripada Warga Pandé – leluhur
warga Pandé yang berasal dari Jawa merupakan adik dari leluhur Warga
Pasek. Berdasarkan silsilahnya, Mpu Withadarma atau Danghyang Bajra
Satwa mempunyai dua putra, yaitu Mpu Bhajrastawwa atau Danghyang
Tanuhan sebagai putra pertama (tertua), dan Mpu Dwijendra atau Mpu
Rajakretha (Danghyang Dwijendra Rajakrta). Anak tertua dari Mpu
Withadarma – Mpu Bhajrastawwa – menjadi leluhur Warga Pasek, karena
keturunan (cucu) dari Mpu Bhajrastawwa (yang berjumlah lima orang
putra177
), cucu laki-laki tertuanya adalah Mpu Gnijaya (Mpu Geni Jaya), di
mana Mpu Gnijaya merupakan ayah dari Sang Sanak Sapta Rsi (Tujuh
Pendeta178
) yang menjadi leluhur Warga Pasek di Bali. Kemudian, anak
Pasek groups have a certain cultural claim to higher status than the others, in
general no group will openly grant superiority to any other and in fact will
privately regard itself as “really higher.”” 177
Kelima cucu dari Mpu Bhajrastawwa atau kelima putra Mpu Lampita (putra
Mpu Bhajrastawwa) adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu
Kuturan, dan Mpu Bradah. Empat yang pertama disebut Sang Catur Sanak, di
mana keempatnya diutus ke Bali, terkecuali Mpu Bradah yang tetap tinggal di
Jawa. Mpu Gnijaya mempunya tujuh orang putra yang menjadi leluhur warga
Pasek; Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Kuturan menjalani nyukla brahmacari
(tidak menikah seumur hidup) sehingga tidak memiliki keturunan; kecuali Mpu
Sumeru, meskipun menjadi brahmacari, karena kasidhi ajnanan (kesaktian dan
pengetahuan gaibnya) bisa menghasilkan seorang putra yang bernama Mpu
Kamakera atau Mpu Bandesa Dryakah – yang menjadi cikal bakal warga Pasek
Kayuselem. 178
Ketujuh pendeta tersebut (cucu Mpu Lampita atau cicit Mpu Bhajrastawwa)
yang menjadi leluhur warga Pasel adalah adalah Mpu Ketek, Mpu Kanada, Mpu
Wiradnyana, Mpu Withadarmma, Mpu Ragarunting, Mpu Pratka, dan Mpu
Dangka.
152
kedua (bungsu: adik Mpu Bhajrastawwa) Mpu Withadarma yang bernama
Mpu Dwijendra (keturunannya) menjadi leluhur Warga Pandé di Bali. Di
Balinuraga, kedua warga ini mengetahui bahwa leluhur Pasek dan Pandé
kakak-beradik, leluhur Pasek merupakan kakak dari leluhur Pandé, dan
keduanya berasal dari satu leluhur yang berasal dari Jawa. Pengakuan dari
kedua-belah pihak ini didasarkan pada pohon silsilah yang sama – sumber
atau acuan yang sama – di mana penyusunan silsilah ini lakukan bersama
oleh kedua kelompok warga ini dengan mengacu bahwa leluhur mereka
berasal dari Jawa. Dari sisi senioritas, jelas bahwa kedudukan Warga
Pandé lebih muda daripada Warga Pasek, karena mengacu pada sumber
silsilah keluarga yang sama. Bagi Warga Pandé, dari sisi senioritas leluhur
belum cukup untuk membuktikan bahwa Warga Pasek lebih unggul
daripada Warga Pandé. Hal ini dikarenakan Warga Pandé memiliki acuan
lain dari lontar Prasasti Sira Pandé Empu bahwa Mpu Pradah yang
menjadi leluhur Warga Pandé merupakan titisan dari Dewa Brahma dalam
manifestasi Dewa Api. Jika mengacu pada sumber ini, tampak jelas bahwa
kedudukan Warga Pandé lebih tua daripada Warga Pasek, dan tentu juga,
dari para Brahmana – seperti yang terjadi dalam sejumlah aksi protes
Warga Pandé terhadap golongan triwangsa (dalam kasus ini pendeta
brahmana / pedanda) di Bali pada masa kerajaan dan kolonial – meskipun
Warga Pasek berhak mengklaim bahwa leluhurnya juga merupakan
pendeta brahmana yang menjadi kesatria (bagian dari pemerintahan)
setelah bertugas dalam pemerintahan kerajaan di Bali saat itu. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa warga-warga di Balinuraga,
khususnya Pandé dan Pasek yang sepuh (senior), memiliki dan
menyimpan babad-babad warga-nya sendiri, baik berupa buku ataupun
kopian naskah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan. Sumber-sumber
ini, baik buku atau kopian naskah, mereka dapatkan dari Bali, yang
sebagian didapatkan dengan membeli dari toko buku, ataupun
mendapatkan dari organisasi formal warga mereka di Bali – ada pula yang
mendapatkan dari sepuh lain yang menjadi pengurus anak cabang dari
organisasi formal warga-warga tersebut di Lampung Selatan. Bagi para
sepuh masing-masing warga yang mengetahui silsilah leluhur, dalam
kasus ini Warga Pasek dan Pandé, adalah kewajiban bagi mereka untuk
menjelaskan identitas leluhur (klan) generasi muda warga-nya.
153
Penyampaian informasi ini umumnya dilakukan secara lisan. Bukan tidak
mungkin, dalam penyampaiannya memuat klaim-klaim yang
mendudukkan keunggulan warga-nya daripada warga yang lain. Bagi
masyarakat Balinuraga, identitas warga ini sangat penting sebagai identitas
atau jati diri mereka sebagai Bali Hindu – meskipun dalam pergaulan
mereka dengan kelompok etnik lain di Lampung identitas warga ini tidak
memberikan sebuah status atau prestis tertentu. Dengan kata lain, identitas
warga ini hanya berlaku dalam komunitas mereka di Balinuraga, dalam
ruang yang lebih luas adalah di dalam komunitas Bali Hindu di Lampung.
Oleh karena itu, jika terjadi pertemuan dengan orang Bali Lampung
(sebutan orang Bali yang ada di Lampung), maka pertanyaan yang sering
diutarakan setelah mengetahui bahwa mereka berasal dari komunitas yang
sama adalah “Kamu warga apa?.” Bagi mereka yang telah tahu secara jelas
silsilah leluhurnya, dengan berbagai mahakarya yang telah diciptakan di
masanya, maka mereka akan menjawab: “Saya warga Pandé”, atau “Saya
Warga Pasek”, dan seterusnya. Dalam ruang yang lebih kecil, kasus
Warga Pasek dan Pandé di Balinuraga, penyampaian identitas leluhur
yang keliru – klaim-klaim yang cenderung berlebihan atas identitas leluhur
– dapat mewariskan konflik antar-warga. Konflik yang dimaksud adalah
konflik yang terselubung, tidak tampak atau muncul dipermukaan yang
berwujud dalam benturan fisik. Kasus seperti ini muncul, biasanya, saat
terjadi pemilihan kepala desa, atau pemimpin desa adat karena terjadi
kesatuan antara desa adat dengan desa dinas. Salah satu cara untuk
melegitimasikan bahwa calon kepala desa itu adalah yang terbaik adalah
dengan mendapatkan dukungan dari warga-warga melalui pendekatan
adat, yaitu dengan mengklaim bahwa warga-nya lebih pantas menjadi
pemimpin. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, klaim-klaim itu
didapatkan dari dokumen-dokumen yang memuat babad-babad warga-nya
dengan disertasi legitimasi dari para sepuh warga yang menguasai silsilah
warga. Dinamika hubungan antar-warga di Balinuraga ini tidak banyak
diketahui dan dimengerti oleh komunitas lain, seperti komunitas
(transmigran) Jawa. Ini dikarenakan dalam komunitas Jawa di desa-desa
tetangga, konsep klan (warga) sudah tidak dikenal lagi, dan yang
terpenting, juga tidak memiliki sistem adat yang kuat seperti yang ada di
Desa Balinuraga. Dinamika hubungan antar warga di Balinuraga dapat
154
dikatakan lebih kompleks bila dibandingkan dengan Kampung Bali lain di
desa tetangga. Desa Balinuraga mayoritas masyarakatnya adalah etnis Bali
Nusa, sedangkan Kampung Bali lain posisinya beberapa di tengah-tengah
(di antara) desa yang mayoritas etnis Jawa – beberapa kedudukannya
hanya selevel dusun dalam satu desa yang mayoritas etnis Jawa. Contoh
kasus dinamika hubungan antar-warga di Desa Balinuraga ini, sebenarnya
bertentangan dengan persepsi yang berkembang di sebagian besar
masyarakat Lampung pada umumnya mengenai kekompakkan dalam
komunitas Bali Hindu yang ada di berbagai Kampung Bali. Secara
komunal kekompakkan fisik itu dapat dibuktikan dan mendapatkan
pengakuan di kalangan masyarakat Lampung, namun yang tidak banyak
diketahui oleh dari kalangan masyarakat tersebut adalah bahwa di dalam
kekompakkan tersebut terdapat sebuah dinamika hubungan antar warga
memiliki potensi konflik terselubung hanya di dalam komunitas itu sendiri,
yang cenderung bersifat politis dalam hubungan antar warga. Ini
merupakan permasalahan internal yang tidak banyak diketahui oleh
kelompok / komunitas etnis lain, bahwa di dalam komunitas Bali Hindu
terdapat berbagai macam klan (warga) yang berdasarkan sejarahnya (dan
dalam mitologi-mitologi babad warga) pernah memiliki masa-masa
keemasan. Fenomena ini menunjukkan bahwa etnis Bali merupakan salah
satu kelompok pendatang (transmigran) di Lampung yang masyarakatnya
dinamis dalam hubungan antar klan di dalam komunitasnya. Bagi
komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, dinamika hubungan antar warga
yang pasang-surut ini merupakan hal yang lumrah atau wajar, terkait
dengan klaim warga-nya lebih unggul daripada warga lain, meskipun
terdapat kekhawatiran akan timbul bentrokan fisik. Bukan tidak mungkin,
dinamika hubungan antar warga ini merupakan salah satu faktor yang
mendukung kekompakkan komunitas mereka sebagai Bali Hindu di
Lampung. Mengapa demikian? Karena, meskipun terjadi persaingan antar
warga, komunitas ini tetap solid secara fisik, terutama tampak jelas sekali
dalam penyelenggaraan upacara-upacara hari besar keagamaan mereka
dengan melibatkan jumlah massa yang besar. Di samping itu, yang tidak
kalah penting, persaingan antar warga ini hanya salah satu elemen dari
poros mereka sebagai komuntias Bali Hindu. Artinya, komunitas ini masih
memiliki sistem adat dan keagamaan yang berfungsi sebagai pemersatu
155
warga-warga. Dengan kata lain, warga-warga ini – sistem warga dalam
lingkup Desa Balinuraga – masih berada di bawah sistem adat dan agama
Hindu. Ini yang menyebabkan persaingan antar warga tidak sampai
muncul di atas permukaan berupa benturan fisik. Saat ini instrumen
persaingan antar warga yang paling banyak digunakan adalah ekonomi,
yaitu warga mana yang lebih sukses secara keuangan dengan indikator
umumnya: luas sawah, jumlah sapi, mobil dan motor pribadi, dan barang-
barang elektronik (terutama multimedia player dan telpon seluler).
Perwujudannya adalah melalui pembangunan pura keluarga (dan pura
kawitan) yang megah dan indah. Sebenarnya, berbagai pendapat dari
komunitas lain bahwa orang Bali secara ekonomi umumnya sudah mapan
– melalui penampilan fisik – tidak lain merupakan persaingan antar warga
secara ekonomi di kalangan komunitas mereka sendiri. Seperti memiliki
dunia sendiri, di kalangan komunitas Balinuraga pengakuan atas eksistensi
warga-nya memiliki nilai yang penting, di mana menjadi kebutuhan sosial
bagi komunitas ini.
Gambar 6. Salah Satu Pura Keluarga di Balinuraga
(sumber: Yulianto, 2010)
Sampai saat ini perang dingin (pertentangan identitas) antara
Warga Pandé dengan warga-warga lainnya adalah seputar penyederhanaan
156
tata upacara atau ritual adat-keagamaan. Warga Pandé ingin menunjukkan
bagaimana warga ini melakukan modernisasi. Di sisi lain, modernisasi ini
mendapatkan penolakan dari warga lain – modernisme versus tradisional.
Ironisnya dalam beberapa kasus tertentu modernisasi yang dilakukan oleh
Warga Pandé ternyata dijadikan sebagai panutan bagi warga lain untuk
melakukan modernisasi tersebut. Misalnya, dalam tata upakara (sesajaen /
bantenan) yang isinya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-
masing keluarga, tanpa harus yang mahal. Begitu juga dalam hiasan di atas
penjor yang bisa dimodifikasi dengan menggunakan kertas berwarna
mengkilap agar semakin menarik untuk dilihat.
Warga Arya
Warga Arya merupakan kelompok warga ketiga di Balinuraga
selain Warga Pasek dan Pandé. Berdasarkan jumlah anggotanya,
diperkirakan (kurang lebih) sama dengan Warga Pandé. Sebagai salah satu
warga (klan) yang ada di Balinuraga, Warga Arya memiliki hubungan
yang „datar‟ dengan warga lainnya, Pasek dan Pandé. Hubungan Warga
Arya dengan Warga Pasek dan Pandé tidak „sehangat‟ hubungan Warga
Pasek dan Pandé yang dinamis. Warga Arya dalam hubungan dengan
Warga Pasek dan Pandé dapat dikatakan baik-baik saja, cenderung tidak
mau ikut campur atau menjaga jarak, dari pasang-surutnya hubungan
Warga Pasek dan Pandé. Dapat dikatakan Warga Arya seperti menjadi
follower di antara kedua warga ini, Pasek dan Pandé, dalam usahanya
mendominasi warga-warga di Balinuraga. Permasalahan identitas adalah
salah satu aspek mengapa Warga Arya perannya tidak dominan di
Balinuraga. Berbeda dengan Warga Pasek dan Pandé, Warga Arya
memiliki silsilah beragam (kompleks) dengan leluhur yang berbeda-beda
berdasarkan tempat asalnya sewaktu di Jawa Timur. Dengan kata lain, ada
banyak (jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan) arya-arya. Oleh
karena itulah, untuk memperjelas identitasnya – supaya tidak terjadi
kebingungan berasal dari arya apa – mereka mengidentifikasikan warga-
nya sebagai Warga Arya179
; meskipun di Bali sendiri terdapat banyak
179
Dalam sejumlah percakapan (diskusi) dengan masyarakat Balinuraga, mereka
yang berasal dari Warga Arya mengidentifikasikan dirinya sebagai “Warga Arya”
157
Warga Arya, seperti yang dikelompokkan oleh Eiseman (2005): Arya
Kepakisan, Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Gajah Para, Arya Pinatih,
Arya Goto Waringen, Arya Tan Mundur, Arya Tan Kaur, Arya Tan Kober,
Arya Sidemen, Arya Sentong, dan Arya Dalancang. Arya-arya tersebut
merupakan keturunan dari arya-arya Jawa Timur di masa kerajaan
Majapahit180
, yang diikutsertakan oleh Gajah Mada ketika menginvasi Bali
untuk menundukkan Raja Bali Asta Sura Ratna Bumi Banten. Kata “arya”
merupakan gelar bagi patih-patih Majapahit yang berdasarkan fungsinya
digolongkan sebagai kaum kesatria (kesatria wangsa). Setelah Majapahit
berhasil menundukkan Bali, para Arya ini kemudian mendapatkan
kedudukan / jabatan dalam pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan. Di
Bali sendiri pada masa kerajaan Bali Aga, sebelum invasi Majapahit,
mengenal Arya Bali yang merupakan keturunan raja-raja Bali atau
keturunan para pejabat tinggi kerajaan (bangsawan). Perbedaannya adalah
Arya Bali tidak menggunakan gelar arya seperti arya-arya dari Jawa
Timur, tapi lebih menggunakan gelar “Ki”181
– baik gelar arya ataupun
“ki” sebenarnya memiliki pengertian dan fungsi yang hampir sama, yaitu
sebagai gelar bagi kaum kesatria, keturunan raja, bangsawan, dan „orang
tok. Seperti ketika penulis bertanya kepada beberapa warga Arya: “(dari) warga
apa Beli (Bli)?”. Kemudian pertanyaan penulis dijawab (secara tegas, langsung,
tidak bertele-tele): “Warga Arya”. 180
Pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, gelar”Arya” ini diberikan kepada
mantan raja dan keturunan-keturunan raja-raja Kediri dan raja-raja Kahuripan, di
mana sebagian besar dari arya-arya ini masih keturunan atau keluarga besar dari
Sri Airlangga. Arya-arya ini yang kemudian disertakan oleh Gajahmada ketika
menginvasi Bali, di samping arya-arya yang bukan keturunan raja Kediri dan
Kahuripan, dan Arya Kepakisan yang berasal dari masa pemerintahan kerajaan
Majapahit. Berdasarkan klasifikasi warga-warga Arya yang disebutkan oleh
Eiseman (2005) – meskipun diperkirakan masih ada „arya-arya‟ lain – maka yang
yang merupakan keturunan dari raja Kediri adalah Arya Gajah Para dan Arya
Kutawaringin; keturunan raja Kahuripan: Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya
Sentong, dan Arya Belog (atau Arya Pudak); sedangkan yang bukan termasuk
keturunan Raja Kediri dan Kahuripan: Arya Tan Kawur, Arya Tan Kober, dan
Arya Tan Mundur (lihat: K.M. Suhardana 2006, Babad Arya: Kisah Perjalanan
Para Arya, Surabaya: Paramita). 181
Meskipun gelar “Arya” tidak begitu lazim digunakan pada masa Bali Aga, tapi
ada beberapa yang menggunakan gelar ini, seperti: Arya Ringgih, Arya Ringgis,
Arya Kedi, dan Arya Karangbuncing (op.cit. Suhardana 2006).
158
dalam‟ kerajaan yang memiliki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Jadi,
gelar arya ini berbeda dengan suku Arya dalam peradaban pra-Hindu di
India, yang menetapkan bangsanya sebagai bangsa yang unggul daripada
bangsa Dravida (penduduk asli India).
Warga Arya yang ada di Balinuraga adalah transmigran Bali yang
berasal dari Nusa Penida. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana arya-arya ini bisa ada di Nusa Penida. Keberadaan para Arya di
Nusa Penida, berdasarkan sejarahnya (perkiraan)182
, dapat ditelusuri dari
dua hal: (1) Pada masa invasi Majapahit, Pulau Nusa Penida menjadi salah
satu target invasi selain target utama adalah Pulau Bali, di mana dalam
invasi tersebut melibatkan para arya dari Jawa Timur. Bisa jadi –
dimungkinkan – ada arya-arya yang ditugaskan oleh Gajah Mada untuk
menetap di Nusa Penida; (2) Pada masa dinasti Sri Kresna Kepakisan,
Pulau Nusa Penida dijadikan sebagai tempat pembuangan tahanan-tahanan
politik bagi para kesatria-kesatria (pejabat pemerintahan) yang
mengadakan pemberontakan (perlawanan atau pun kudeta) terhadap raja
pada masa itu. Hukuman pembuangan bagi pada kesatria ini memiliki
standar yang sama seperti hukuman mati bagi kawula (orang-orang Bali
182
Dalam proses penelitian yang dilakukan secara berkala di Balinuraga, penulis
sangat berhati-hati dalam bertanya tentang keberadaan leluhur mereka di Nusa
Penida, khususnya Warga Arya. Tentu, status pulau Nusa Penida sebagai pulau
buangan bagi tahanan politik di masa kerajaan sudah diketahui oleh mereka yang
berasal dari Nusa Penida maupun dari Bali. Tapi, bagi beberapa responden, tentu
merasa “tidak enak” (bisa juga malu atau gengsi) bila menyebutkan leluhur
mereka yang berada di Nusa Penida memiliki keterkaitan dengan tahanan politik
di masa kerajaan. Bagi mereka adalah lebih baik menceritakan kejayaan leluhur
awalnya daripada menceritakan keturunan dari leluhurnya yang “tahu-tahu” sudah
ada di Nusa Penida, karena akan dapat menunjukkan aktualisasi identitas
leluhurnya. Untuk warga Pasek, keberadaan mereka di Nusa Penida – perkiraan
umum – disebabkan karena populasi warga ini mayoritas di Bali, dan memiliki
banyak keturunan di Klungkung. Bukan tidak mungkin, jika mereka merantau ke
Nusa Penida karena pulau itu belum begitu banyak penghuninya, atau memang
diutus/ditugaskan oleh pihak kerajaan untuk bertugas di sana untuk menjaga
teritori kekuasaan; sedangkan warga Pandé, ini terkait dengan fungsi warga
Pandé sebagai pandai besi, yang dibutuhkan dalam setiap wilayah tertentu dalam
tugasnya membuat alat-alat atau perlengkapan dari logam, khususnya besi, baik
senjata atau alat pertanian.
159
non-puri, di luar lingkup kekuasaan kerajaan / puri). Kesatria-kesatria yang
memberontak ini tidak lain adalah para keturunan-keturunan arya-arya
semasa perang Bali Aga (Arya dari Jawa Timur), karena setelah Bali
ditundukkan oleh Majapahit para Arya Jawa Timur ini ditugaskan oleh
Gajah Mada untuk memerintah di daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu,
tahanan politik kerajaan yang dibuang dari Nusa Penida ini – diperkirakan
– sebagian besar adalah keturunan arya-arya dari Jawa Timur. Tentu,
setelah dibuang ke Nusa Penida, gelar atau pun status kebangsawanan itu
akan hilang dan menjadi rakyat biasa, namun tidak menghilangkan
identitas leluhur mereka bahwa mereka adalah Warga Arya, yang
leluhurnya pernah menduduki peran penting di masa Majapahit
menginvasi Bali. Dengan kata lain, Warga Arya di Balinuraga dapat
dikatakan sebagai Warga Arya yang telah kehilangan status atau fungsinya
sebagai arya dengan sebab-sebab tertentu, sampai akhirnya berada di Nusa
Penida dan bertransmigrasi ke Lampung; atau dapat disebut sebagai Arya
Nusa Penida183
. Tentu, setelah berada di Nusa Penida, dan beranak-pinak
di sana, status mereka menjadi seperti kawula, sama seperti penduduk asal
Nusa Penida (keturunan Bali Aga) dan keturunan warga-warga lain yang
“bermigrasi” di pulau ini.
Meskipun tidak (belum) menunjukkan perannya yang signifikan
dalam kehidupan sosial di Balinuraga – khususnya dalam dinamika politik
desa yang selalu didominasi Warga Pasek dan Pandé – kedudukan Warga
Arya di Balinuraga sebagai salah satu identitas yang eksis (ada) dengan
sejumlah massa dari anggota warga-nya tidak dapat disepelekan.
Walaubagaimana pun posisi mereka sebagai klien yang patuh dalam
perebutan dominasi Warga Pasek dan Pandé membuatnya memiliki posisi
tawar yang besar. Hal ini disebabkan karena baik Warga Pasek maupun
Pandé membutuhkan dukungan atau pun legitimasi dari Warga Arya
183
Arya Nusa Penida ini digunakan (oleh penulis) untuk menyebut Warga Arya
yang berasal dari Nusa Penida secara turun-temurun. Nama “Nusa Penida” di
depan nama “Arya” menunjukan tempat asalnya di Nusa Penida, sama seperti
penamaan warga arya-arya lainnya, di mana nama yang ditempatkan sesudah
nama “arya” menunjukkan tempat di mana arya itu berasal, ataupun nama / gelar /
sebutan lain dari leluhurnya di masa pemerintahan kerajaan tertentu, , seperti
“Arya - Sidemen”, “Arya - Kepakisan”, “Arya - Tan Kober”, dan lain-lain.
160
sebagai follower sala satu dari kedua warga tersebut. Tanpa adanya
dukungan dari Warga Arya, tentu akan sulit bagi Warga Pasek ataupun
Pandé untuk mendominasi atau mengaktualisasikan identitas warga-nya.
Dukungan ini penting karena masyarakat Balinuraga lebih egaliter – terkait
dengan tempat asalnya di Nusa Penida, yang dapat masyarakatnya
digolongan sebagai kawula (non-triwangsa), dan jauh secara geografis dari
„negara pusat‟ atau kerajaan yang berkuasa dalam teritori itu - sehingga
klaim-klaim yang mendudukan warga-nya sebagai triwangsa jelas tidak
mungkin dapat diterima (dan tidak beralasan juga). Karena itu, dukungan
dari warga lain, massa (anggota-anggota) Warga Arya menjadi sangat
penting sebagai legitimasi.
Sama seperti mayoritas anggota warga-warga lainnya, Warga
Arya tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir dan bertindak yang
pragmatis, di mana menjadi penyebab (utama) bagi Warga Arya untuk
terjun ke pentas politik praktis desa yang bernuansa poitik praktis antar
warga. Perlu diketahui bahwa mayoritas masyarakat di Balinuraga adalah
petani. Mereka adalah transmigran yang bercita-cita memperbaiki
kehidupan ekonominya. Dinamika politik desa yang ada di dalamnya tidak
lain, hanya, permainan dari sejumlah elit warga-warga yang jumlahnya
tidak banyak. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat (warga-warga)
Balinuraga – termasuk Warga Arya – lebih bersifat pragmatis, lebih fokus
bekerja di pertanian, sehingga dapat mengumpulkan uang atau aset
(umumnya tanah dan sapi) lebih banyak. Pemikiran pragmatis ini sangat
berasalan, karena sebagai Bali Hindu mereka mempunyai kewajiban-
kewajiban adat dan agama yang banyak dan mahal – mengurusi masalah
sosial politik desa, terutama masalah adat atau pun agama, akan menyita
banyak waktu dan tidak produktif – di mana eksistensi identitas mereka
turut ditentukan oleh pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut.
Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut bila dapat diselenggarakan
dalam sebuah upacara yang besar dan mewah akan semakin baik, karena
status sosial dan identitas warga-nya akan terangkat. Namun, ini bukan
berarti bahwa pragmatisme mereka (warga-warga) tidak memiliki satu
tujuan yang tidak terpengaruh dari permainan politik para elit warga-
warga. Mengapa? Karena dengan pragmatisme itu mereka bisa
161
meningkatkan perekonomian keluarganya, di mana kekuatan ekonomi
yang berhasil dikumpulkan nantinya digunakan untuk meningkatkan status
dari identitas warga-nya melalui selebrasi kewajiban adat dan agama yang
besar dan mewah. Fenomena ini berujung pada terjadinya pengkotak-
kotakan masyarakat di Balinuraga berdasarkan warga-warga, yang
disebabkan permainan segelintir elit-elitnya, sehingga warga-warga ini
memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan eksistensi dan status
sosial dari warga-nya.
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
Sebagai organisasi formal keagamaan resmi, Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI) memainkan peranan penting sebagai aktor
dalam pembentukan identitas komunitas Bali Hindu di Desa Balinuraga.
Peran penting yang dimainkan PHDI sebagai aktor kelembagaan formal
adalah sebagai pemersatu identitas komunitas Bali Hindu yang berada di
luar Bali – dalam kasus ini Balinuraga – sebagai bagian utama dari umat
Hindu Dharma di Indonesia. Identitas yang diusung, dan yang dibentuk
oleh PHDI adalah identitas mereka sebagai (umat) Hindu – Hindu Dharma
– lebih umumnya Hindu Dharma Indonesia. Hal ini disebabkan
keanggotaan di dalam tubuh PHDI, sebagai wadah bagi umat Hindu
Dharma Indonesia, (sampai saat ini) tidak hanya ditempati oleh etnis Bali
sebagai mayoritas, tapi juga etnis-etnis lain di Indonesia yang
berlatarbelakang Hindu, seperti: etnis (Jawa) Tengger di wilayah Gunung
Bromo Jawa Timur, etnis Bugis (To Wani To Lotang), etni Toraja
(Mamasa Toraja dan Sa‟dan Toraja) di Sulawesi Selatan, Etnis Batak Karo
di Sumatera Utara, serta di Kalimantan Tengah dan Selatan ada etnis
Dayak Ngaju dan Luangan184
. Dikarenakan keragaman etnis sebagai umat
Hindu Dharma ini yang menyebabkan perubahan nama organisasi parisada
ini dari Parisada Hindu Dharma menjadi Parisada Hindu Dharma
Indonesia di tahun 1986, di mana penambahan kata “Indonesia”
menunjukkan keragaman etnik dari anggota organisasi (umat Hindu
184
Lihat: Ramstedt (edt. 2004) dalam “Hinduism in Modern Indonesia: A minority
religion between local, national, and global interests”, London-New York:
RoutledgeCurzon.
162
Dharma) yang tidak hanya beranggotaan orang Bali semata, juga selain
menjadikan identitas Hindu lebih Indonesia. Kemudian, kepecayaan-
kepercayaan dari etnis-etnis tersebut (Tengger, Aluk To Dolo,
Ada‟Mappurondo, Toani, Pamena, dan Kaharingan) secara resmi diakui
sebagai sekta-sekta (sekte-sekte) dalam Hindu Dharma185
.
Peranan PHDI sebagai pemersatu umat Hindu Dharma di
Balinuraga sejauh ini dapat dikatakan efektif, karena mewadahi berbagai
organisasi-organisasi formal dan informal di Balinuraga terkait
aktivitasnya sebagai umat Hindu Dharma, khususnya organisasi-organisasi
yang mewadahi identitas warga-warga, seperti Maha Gotra Pasek Sanak
Sapta Rsi dan Maha Semaya Warga Pandé186
. Jadi, entah dari warga mana
mereka berasal, selama masih merupakan Bali Hindu, mereka merupakan
bagian dari umat Hindu Dharma yang dipayungi secara resmi oleh PHDI,
di mana organisasi ini memiliki perwakilannya sampai di tingkat desa.
Sebagai organisasi yang bernaung di bawah Departemen Agama,
kehadiran PHDI di Balinuraga tidak lebih seperti birokrasi pemerintahan
yang kaku, yang berfungsi memastikan dan menjaga eksistensi identitas
Hindu umatnya – terutama sejak organisasi ini memberikan loyalitasnya
kepada Orde Baru (Suharto) sama seperti Golkar di tahun 1968, dan
sebagai imbalannya, mendapatkan perlindungan dari pusat termasuk
militer187
. Dalam setiap kesempatan, seperti acara formal komunitas Bali
185
Op.cit. Ramstedt (pp.18) 186
Dalam Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia, BAB X. Hubungan
dengan Organisasi, Lembaga/Badan, Pasal 30 ayat (1) dan (2) menyebutkan: (1)
Parisada wajib mengayomi yayasan, organisasi, forum, lembaga, sampradaya,
badan-badan, komunitas umat yang berdasarkan ajaran Hindu; (2) Dalam
mengayomi seperti ayat (1), Parisada mengadakan pertemuan berkala sekurang-
kurangnya enam bulan sekali demi terpeliharanya hubungan aspiratif yang
dinamis untuk kesejahteraan umat (Lihat: Anggaran Dasar Parisada Hindu
Dharma Indonesia tahun 2006 dalam www.phdi.org ). Pasal (1) dan ayat (1) ini
tidak mengalami perubahan signifikan – intinya tetap sama – sejak 23 Februari
1959 ketika organisasi Parisada ini didirikan, di mana semua organisasi penting
formal keagamaan Bali meleburkan diri ke dalam tubuh Parisada (PHDI). 187
“Hubungan mesra” antara PHDI dengan Orde Baru mengalami periode
“romantis” antara tahun 1968 sampai akhir tahun 1980-an. Di awal tahun 1990-an,
terutama setelah terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)
yang didirikan oleh Habibie, PHDI tidak mendapatkan perlakuan-perlakuan
163
Hindu baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten, PHDI selalu
menempatkan posisinya secara jelas bahwa organisasi ini merupakan
forum bagi umat Hindu Dharma (khususnya di bidang keagamaan dan
kemasyarakatan), dan tidak terkait dengan permasalahan adat (dalam kasus
ini adalah adat yang berlaku di kalangan etnis Bali Hindu di luar Bali,
Lampung Selatan) dan politik praktis188
.
Namun, dibalik peranan PHDI yang efektif sebagai pemersatu
umat Hindu Dharma, kehadiran PHDI sebagai “birokrasi agama” justru
menimbulkan kerancuan identitas bagi komunitas Bali Hindu di Lampung
Selatan dan Balinuraga khususnya. Hal ini disebabkan umat Hindu
Dharma ini terdiri dari warga-warga yang mengusung dan
mempertahankan eksistensi identitas warga atau leluhurnya, termasuk adat
yang berlaku dalam warga-warga ini. Warga-warga ini hidup dalam
sebuah komunitas yang dinamis dengan segala dinamika pertentangan
antar warga di dalamnya. Dalam kasus ini, posisi PHDI adalah jelas
sebagai penengah atau wasit agar tidak terjadi konflik antar warga, dan
berusaha agar warga-warga ini bersatu sebagai sesama umat Hindu
Dharma. Kenyataannya, warga-warga ini menghadapi berbagai macam
tantangan yang kompleks setelah berada di luar Bali. Mereka hidup dalam
lingkungan sosial (Lampung) yang heterogen dengan posisi sebagai
istimewa seperti masa-masa sebelumnya, seperti pengurangan subsidi (Ramstedt
2004, I.G.N. Bagus 2004, Schulte Nordholt 2007). 188
Dalam Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia, Bab III. Fungsi dan
Tugas, Pasal 7 menyebutkan: ayat satu (1) Fungsi Parisada adalah: (a)
Menetapkan bhisama; (b) Mengambil keputusan di bidang keagamaan dalam hal
ada perbedaan penafsiran ajaran agama dan atau dalam hal terdapat keragu-raguan
mengenai masalah tersebut; (c) Memasyarakatkan ajaran Veda, bhisama dan
keputusan-keputusan Parisada; ayat dua (2) Fungsi Parisada sebagaimana
dimaksud ayat 1 a dan b dilaksanakan oleh Sabha Pandita; ayat tiga (3) Tugas
pokok Parisada adalah: (a) Melayani umat Hindu dalam meningkatkan sradha dan
bhakti sesuai kitab suci Veda; (b) Meningkatkan pengabdian dan peranan umat
Hindu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (c)
Mengembangkan dan memelihara keserasian dan keharmonisan internal dan
antara umat beragama; (d) Mengembangkan dan memelihara hubungan baik
dengan setiap badan, organisasi, lembaga yang bergerak dalam bidang keagamaan
dan kemasyarakatan baik nasional maupun internasional (op.cit. Anggaran Dasar
Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 2006 dalam www.phdi.org ).
164
minoritas etnik dan agama. Hal ini mengakibatkan kekhawatiran yang
mendalam akan tergerusnya identitas mereka, tidak hanya sebagai umat
Hindu Dharma, tapi yang tidak kalah penting adalah eksistensi identitas
warga (klan/soroh) mereka yang turut menjadi identitas mereka sebagai
umat Hindu Dharma. Dengan kata lain, hilangnya identitas warga dapat
menyebabkan hilangnya identitas mereka sebagai umat Hindu Dharma.
Identitas warga ini sangat penting bagi warga-warga karena ini
merupakan identitas leluhur mereka yang harus mereka pertahankan, dan
sudah melembaga (melekat) pada setiap individu anggota warga-warga
ini. Dengan kata lain, identitas warga adalah jati diri mereka sebagai Bali
Hindu. Karena, setelah melewati beberapa masa, dari masa kerajaan
sampai pasca-kolonial, identitas warga yang melekat dalam ikatan adat ini
tidak dapat dilepaskan atau selalu terkait dengan religi (agama) mereka –
yang disebut dan diakui resmi oleh pemerintah sebagai Hindu Dharma.
Jadi, dalam kasus ini PHDI berhasil melakukan konstruksi identitas
komunitas Bali Hindu ini dengan identitasnya sebagai umat Hindu Dharma
yang berada di atas identitas warga, sehingga warga-warga ini – meskipun
mempunyai pertentangan-pertentangan historis yang masih berlanjut
sampai sekarang – bisa disatukan identitasnya dalam satu identitas tunggal
Hindu Dharma.
Problematika identitas antar warga ini tampaknya tidak dapat
diselesaikan dengan satu identitas tunggal sebagai umat Hindu Dharma.
Ada tantangan penting yang harus mereka hadapi setelah berada di
Lampung (luar Bali) terkait eksistensi identitasnya. Pertama, setelah
berada di Lampung, bertransmigrasi dan berkeluarga, baik langsung atau
tidak langsung, mereka telah menjadi bagian dari masyarakat Lampung.
Singkatnya, mereka telah menjadi orang Lampung yang berasal dari Bali,
atau biasa disebut Bali Lampung. Sebagai Bali Lampung mereka tidak
dapat ajeg dengan identitas kebaliannya, karena sesuai dengan konsep kala
(waktu) dan patra (tempat) mereka harus bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru, yaitu Lampung. Kekukuhan dengan identitas tempat
asal akan menyebabkan benturan dengan kelompok masyarakat lain yang
berbeda etnis dan keyakinan (agama), dan yang lebih penting adalah akses
ekonomi komunitas ini di wilayah Lampung yang didominasi oleh
165
berbagai kalangan etnis dengan latar belakang agama yang berbeda, baik
di dunia industri maupun pemerintahan. Kekukuhan dengan identitas asal
dipastikan akan menghambat komunikasi dan bentukan jalinan relasi
(bisnis / ekonomi dan pemerintahan). Dengan menjadi Lampung dalam
identitas Balinya, maka mereka dapat bersosialisasi dengan optimal
sebagai orang Bali Hindu dan sebagai orang Bali yang ada di Lampung,
Bali Lampung. Artinya, mereka tidak perlu khawatir dan takut akan
eksistensi identitasnya, tapi sebaliknya, dengan menjadi Lampung
eksistensi mereka diakui keberadaannya oleh kalangan masyarakat
Lampung yang heterogen. Kedua, meskipun telah menjadi Bali Lampung
mereka tidak mau kehilangan identitasnya sebagai orang Bali yang juga
sebagai Hindu. Meskipun dengan kehadiran PHDI eksistensi identitas
mereka sebagai Hindu (umat Hindu Dharma) terpayungi secara resmi dan
diakui pemerintah, mereka juga tidak mau kehilangan identitas warga-nya
(leluhurnya) yang di dalamnya melekat pula identitas sebagai Hindu.
Konsekuensi dari eksistensi identitas warga ini dalam komunitasnya
(komunitas Bali Hindu) adalah persaingan identitas antar warga sebagai
upaya mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari warga-warga lain.
Meskipun eksistensi identitas warga ini tidak diketahui (dipahami
keberadaannya) oleh masyarakat Lampung lain non-Bali Hindu, karena
hanya diketahui mereka yang berada di dalam komunitas itu, namun di
dalam komunitasnya – di mana warga-warga menjadi bagian dari PHDI
sebagai umat Hindu Dharma – perjuangan dan persaingan untuk eksistensi
identitas warga tidak lain merupakan gesekan di dalam komunitas umat
Hindu Dharma dalam level desa. Misalnya, seperti kasus seorang bekas
pejabat desa yang ketika berkuasa mengikuti identitas warga istrinya
karena memiliki massa yang besar. Akibatnya, ketika meninggal pihak dari
warga istri tidak mau mengabenkan bekas pejabat tersebut berdasarkan tata
upacara ngaben warga itu, karena aslinya bukan berasal dari warga istri,
tapi hanya ikut-ikutan untuk kepentingan politik. Awalnya pihak dari
warga asli bekas pejabat tersebut tidak mau mengurus pengabenannya
karena ia telah berkhianat, tapi karena dari warga istrinya tidak mau
mengabenkannya, maka terpaksa warga asli bekas pejabat itu yang
mengurus pengabenannya. Mereka percaya bahwa jika yang dingabenkan
tersebut bukan berasal dari warganya, maka akan terjadi sebuah hal-hal
166
yang tidak diinginkan (musibah atau malapetaka). Dalam kasus ini, PHDI
tetap sebagai penengah – tidak mau terlalu ikut campur permasalahan
identitas warga ini – agar jangan sampai polemik ini berkepanjangan,
karena (menurut PHDI) walaubagaimanapun bekas pejabat tersebut tetap
sebagai Bali Hindu yang harus dingabenkan oleh keluarganya (jangan
sampai atman-nya terperangkap atau terhalang dalam menuju
pembebasan).
Terlepas dari problematika identitas di atas, kehadiran PHDI bagi
komunitas Bali Hindu telah memberikan jaminan akan identitasnya
sebagai Hindu (umat Hindu Dharma), khususnya bagi transmigran Bali
Nusa pertama kali. Mengapa demikian? Akar dari permasalahan ini adalah
mengenai identitas Hindu pada etnis Bali – kepercayaan dan keyakinan
etnis Bali – yang pada masa itu (Orde Lama) belum diakui oleh pemerintah
sebagai agama resmi negara. Memang, ketika mereka bertransmigrasi di
tahun 1963, pada tahun yang sama Hindu Bali sudah mendapatkan
pengakuan penuh dari pemerintah – yang tidak lain disebabkan
melemahnya pengaruh politik Islam di pusat, di mana selama itu
mempunyai andil yang cukup besar untuk menentukan mana agama dan
mana yang bukan-agama dengan posisi dominannya di Kementerian
Agama – khususnya di dalam tubuh Kementerian Agama, yaitu ketika
Bagian Urusan Hindu Bali berubah (nama) menjadi Biro Urusan Agama
Hindu Bali. Kata “Agama” di depan “Hindu Bali” menunjukkan eksistensi
identitas Hindu Bali sebagai agama yang diakui oleh pemerintah,
khususnya di Kementerian Agama yang bertanggungjawab mengurusi
keagamaan masyarakat Indonesia. Tapi, dalam kenyataannya para
transmigran ini masih merasakan dampak dari stigma lama dari sebagian
kalangan masyarakat Lampung, yaitu bahwa orang Bali dengan
kepercayaannya digolongkan sebagai “orang jang belum beragama‟.
Dalam situasi seperti ini, PHDI memainkan perannya untuk menjamin
identitas Hindu pada transmigran Bali Nusa ini. Terutama setelah PHDI
menjadi bagian dari rezim Suharto (tahun 1968) dengan memberikan
loyalitasnya, sehingga PHDI mendapatkan proteksi dari pemerintah dan
militer.
167
Selain berfungsi sebagai pemersatu identitas umat Hindu Dharma,
ada satu peran penting yang dimainkan PHDI sebagai aktor dalam
pembentukan identitas, yaitu konstruktor yang mengkonstruksi identitas
Hindu (agama Hindu Dharma) kepada komunitas transmigran Bali Nusa.
Bila dilihat sejarahnya, maka apa (identitas) yang dikonstruksikan oleh
PHDI sebagai identitas Hindu tidak lain adalah hasil dari sebuah
konstruksi identitas dari pemerintah pusat. Di masa Orde Lama kekuatan
politik kubu nasionalis, agama, dan komunis sangat dominan di pusat
(Jakarta). Kekuatan politik agamais di masa Orde Lama didominasi oleh
golongan Islam yang mendapatkan tempat yang superior di Kementerian
Agama. Dengan otoritas ini, Departemen Agama memiliki kuasa untuk
menentukan apakah sebuah agama itu adalah benar-benar sebagai sebuah
Agama atau tidak. Tentu, konsep agama yang dijadikan rujukan adalah
konsep agama seperti yang dimiliki oleh kekuatan politik agamais yang
berkuasa di Departemen Agama, yaitu konsep agama menurut golongan
Islam, termasuk Kristen. Kriteria yang harus dipenuhi apakah agama layak
disebut sebagai agama resmi, antara lain: monotheis (sesuai dengan sila
pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa), mempunyai Kitab Suci
dan Nabi – seperti: orang Muslim memiliki Nabi Muhammad dan orang
Kristen – Khatolik memiliki Nabi Isa (Yesus Kristus), mempunyai sistem
hukum atau aturan bagi para pengikutnya (seperti: tata cara ibadah dan
ibadah rutin/harian, hukum agama, dan sebagainya), memiliki pengakuan
(dan pengikut) dari dunia internasional, dan keanggotaannya tidak boleh
terbatas pada satu kelompok etnis tertentu (Ramstedt 2004, Picard 2004,
Bagus 2004). Akibatnya, karena membutuhkan pengakuan sebagai agama
resmi dari pemerintah pusat, di tahun 1953 sejumlah intelektual muda
(kaum cendikiawan) Bali dikirimkan ke India189
untuk meredefinisikan
perinsip-perinsip dan praktek-praktek (ritual) kepercayaan mereka sesuai
dengan apa yang dikukuhkan oleh Kementrian Agama Indonesia yang
ketika itu dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim190
. Kemudian di tahun 1958
189
Mereka mendapatkan kesempatan (beasiswa) untuk belajar di Shantiniketan
Vishva Bharaty University, Banaras Hindu University, dan International Academy
of Indian Culture (Ramstedt 2004: 10). 190
Para intelektual muda Bali ini, sekembalinya dari studi di India, membawa
gagasan-gagasan modernis yang mengakibatkan terjadinya pergeseran secara
168
Pandit Shastri berhasil merampungkan sebuah buku mengenai garis besar
pedoman Hindu Dharma yang telah disetujui oleh beberapa organisasi dan
intelektual muda yang sudah kembali dari studinya di India, dan pada
tanggal 14 Juni 1958 sebuah petisi bersama disusun untuk meminta
membentuk sebuah Bagian Hindu Bali di dalam Kementrian Agama atas
dasar bahwa Agama Hindu Bali tidak bertentangan dengan sila pertama
Pancasila. Sampai akhirnya, dengan dukungan Presiden Sukarno pada
tanggal 1 Januari 1959 Agama Hindu Bali mendapatkan (beberapa)
pengakuan resmi – pengakuan penuh baru didapatkan pada tahun 1963 –
dari pemerintah Indonesia dengan membentuk Bagian Urusan Hindu Bali
di Kementerian Agama. Di tahun yang sama, 23 Februari 1959, semua
organisasi penting keagamaan Bali meleburkan diri pada sebuah lembaga
(organisasi) formal, yang merepresentasikan seluruh komunitas Bali
Hindu, organisasi ini disebut Parisada Dharma Hindu Bali (sekarang
menjadi PHDI) dibentuk, seperti model parisad di India191
. Berdasarkan
kronologi singkat terbentuknya identitas Hindu Bali menjadi sebuah agama
resmi yang disebut Hindu Dharma, maka dapat diketahui bahwa
pemerintah pusat (kekuasaan) memiliki andil yang sangat besar untuk
mengkonstruksi identitas Hindu etnis Bali. Ironisnya, konsep dari
pengkonstruksian identitas Hindu tersebut merupakan konsep yang dianut
oleh agama Samawi: Yudea-Kristen-Islam. Dan karena eksistensi agama
mereka butuh diakui sebagai agama resmi – tidak mau disebut sebagai
“orang jang belum beragama” – maka penyesuaian pun dilakukan agar
mendapatkan pengakuan dari pemerintah (pusat, kekuasaan). Akibatnya,
bertahap dari ritualisme ke skriptualisme, dari mistik ke etik, dan dari pengalaman
keagamaan kolektif ke individual (Lihat: Howe 2001, Hinduism and Hierarchy in
Bali, Oxford: James Curry/ Santa Fe: School of American Research Press).
Gagasan modernis ini yang kemudian menjadi perdebatan panjang antara
golongan triwangsa dan jaba – sebuah perdebatan yang telah di mulai di awal
tahun 1920-an antara Bali Adnyana vs Surya Kanta. Perdebatan ini muncul
dikarenakan dengan munculnya gagasan modernis yang lebih egaliter akan
menggeser peran dominan dari triwangsa (khususnya pendeta brahmana/pedanda),
di mana golongan triwangsa menilai bahwa identitas Bali itu berakar pada adat /
hirarki kasta sedangkan golongan jaba membela sistem status berbasis prestasi dan
kualitas (Schulte Nordholt 2004). 191
Op.cit. Ramstedt 2004.
169
identitas Hindu yang coba konstruksikan oleh PHDI kepada komunitas
transmigran Bali Nusa adalah sebuah identitas yang telah dikontruksikan
oleh pusat atau kekuasaan, dalam hal ini Kementrian Agama yang
didominasi oleh kubu politik agamais Islam. Clifford Geertz menyebutnya
sebagai sebuah “internal conversion”, lebih merupakan sebuah fenomena
ambigu dikarenakan orang Bali mengubah kembali dirinya
(meredefinisikan, menyesuaikan, dan menafsirkan ulang) sebagai Hindu di
mana mereka sendiri sejatinya sudah menjadi Hindu192
. Dalam kasus ini,
PHDI yang telah mengubah dirinya menjadi organisasi Hindu modern,
menjadi mesin birokrasi yang mendapatkan otoritas dari pusat (kekuasaan)
unuk mengkonstruksi identitas anggotanya (umat) untuk menjadi Hindu
Dharma. Satu catatan penting yang harus diketahui bahwa konstruksi
identitas yang dilakukan oleh pusat di masa Orde Lama dan Orde Baru
(pasca kolonial, termasuk pemerintahan sekarang) merupakan kelanjutan
dari sebuah konstruksi identitas di masa kolonial. Konsep atau versi Hindu
yang diadopsi di masa pasca kolonial – terutama di Orde Lama –
merupakan konsep atau versi Hindu dari India, atau Hindu India, di mana
Hindu India sendiri merupakan identitas yang dikonstruksi oleh
pemerintah kolonial (Inggris) pada abad ke-19 melalui (diwakili) pakar
orientalis Eropa, ketika berkuasa di India, bersama-sama (bekerja sama,
berkolaborasi) dengan kaum Brahmana. Konstruksi identitas yang
dilakukan para elit ini agar identitas Hindu memiliki kedudukan sejajar
dengan identitas agama Kristen, Islam, dan peradaban Eropa dengan
konsep modernisasi dan reformasi, sehingga menjadi “Neo-Hindusim”.
Hal ini dapat dilihat dari doktrin kaum Brahmana di India yang turut
diadopsi di Indonesia, terutama ketika sejumlah intelektual muda Bali
dikirim belajar di sejumlah universitas di India, yaitu: brahman, atman,
karma, samsara, dan moksa)193
. Bagi orang Bali sendiri, konstruksi
identitas sebenarnya telah terjadi di masa kolonial, ketika pihak kolonial
192
Geertz, C. (1964 )‟”Internal Conversion” in Contemporary Bali‟, dalam: J.
Bastin and R. Roolvink (edt) Malayan and Indonesian Studies Presented to Sir
Richard Winstedt, Oxford: Oxford University Press, pp. 282-302. Dan juga,
Geertz (1992b) “ ‟Peralihan Batiniah‟ di Bali Dewasa Ini” (hlm.123-136) dalam
Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. 193
Op.cit. Ramstedt 2004, Picard 2004.
170
yang diwakili para pakar orientalis Eropa bersama-sama dengan golongan
triwangsa (brahmana) mencoba menyusun ulang konsep kebalian untuk
mengajegkan kebudayaan Bali agar tidak punah dan menjadi museum
hidup dunia194
. Baik di masa kolonial maupun pasca kolonial, keduanya
merupakan sebuah konstruksi identitas yang dilakukan oleh pusat atau
kekuasaan (rezim yang berkuasa).
Terlepas dari perannya yang ambigu, sebagai organisasi Hindu
modern dengan mesin birokrasi yang menjangkau sampai tingkat desa di
luar Bali (Lampung Selatan), ada peran penting yang dilakukannya sebagai
organisasi berdasarkan otoritas yang dimiliki, yaitu merekonstruksi ulang
identitas transmigran Bali Hindu dengan identitas baru sebagai hasil
konstruksi pusat dengan menjadi identitas Hindu Dharma – yang disebut
Geertz (1964) sebagai internal conversion. Karena konstruksi identitas
yang akan dikonstruksi oleh PHDI merupakan konstruksi identitas agama
menurut konsep Yudea-Kristen-Islam, maka ada beberapa doktrin yang
harus diketahui para transmigran Bali agar mereka benar-benar menjadi
Hindu Dharma – sesuai dengan apa yang diminta oleh pusat bahwa Hindu
Dharma merupakan agama resmi yang diakui pemerintah. Doktrin itu
termuat dalam Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu195
yang biasa
disebut panca sraddha, yaitu: (1) Percaya adanya Tuhan (Brahman atau
Sang Hyang Widhi Wasa), bahwa Tuhan itu ada (keimanan), Yang
berkuasa atas segala-galanya dan Esa; (2) Percaya adanya Atman, jiwa
yang sempurna dan abadi (kekal) dari setiap makhluk; (3) Percaya adanya
Hukum Karmaphala (Karma Phala), hukum sebab-akibat; (4) Percaya
adanya Samsara196
(Punarbhawa atau Reinkarnasi), kelahiran kembali
194
Lihat: Vickrs, Dwipayana, Robinson, Picard, Ramsted, dll. 195
Op.cit. Ramstedt 2004, lihat juga lebih detail : A.A.G. Oka Netra, 2010,
Tuntunan Dasar Agama Hindu: Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu,
Departemen Agama dalam www.phdi.org. 196
Samsara: penjelmaan jiwaatman yang berulang-ulang di dunia ini atau di dunia
yang lebih tinggi. Samsara memiliki arti yang kurang lebih dengan Punarbhawa
(kelahiran yang berulang-ulang) dan Reinkarnasi (penitisan kembali) (op.cit.
A.A.G. Oka Netra).
171
yang berulang-ulang atau penitisan kembali; (5) Percaya adanya Moksa197
,
kelepasan (bebas) dari siklus kelahiran kembali (ikatan duniawi). Panca
Sraddha ini yang kemudian disosialisasikan oleh PHDI melalui pejabat-
pejabatnya yang ada di level bawah (kecamatan dan desa), termasuk Sri
Mpu Suci yang menjadi pendeta formal di bawah naungan PHDI, kepada
komunitas transmigran Bali Nusa. Tujuannya adalah agar identitas mereka
sebagai Hindu diakui oleh PHDI, dan tentunya pemerintah, karena dengan
mengakui panca sraddha ini maka mereka telah menjadi dan memiliki
identitas Hindu (Hindu Dharma) yang diakui oleh pemerintah. Bagi para
transmigran Bali Nusa awal (1963), konstruksi identitas mereka sebagai
Hindu memiliki arti yang penting, yaitu agar mereka mendapatkan
pengakuan dari pemerintah (dalam kasus ini pemerintah lokal di Lampung)
bahwa mereka termasuk orang yang beragama, dan tidak mendapatkan
stigma-stigma yang melukai hati mereka sebagai Bali Hindu. Namun, yang
menjadi titik krusial (penting) dari melekatnya identitas Hindu yang resmi
ini terjadi pasca 1965 – pasca Gerakan 30 September 1965 – ketika
gerakan anti-komunis yang menyebabkan terjadinya pembantaian massal,
khususnya di Bali, mengidentikkan orang-orang komunis sebagai orang
yang tidak memiliki agama (tidak beragama). Terutama saat kedatangan
atau transmigrasi gelombang kedua dari transmigran Bali Nusa ke
Balinuraga pasca tahun 1965, baik yang berada di Nusa Penida ataupun
transmigran Bali Nusa dari Bali Utara (wilayah Jembrana dan sekitarnya)
yang dulunya menjadi transmigran lokal di masa kolonial, dan transmigran
Bali Nusa yang berasal dari Jembrana menjadi perhatian serius dari
pemerintah (khususnya militer) karena daerah ini menjadi basis orang-
orang kiri (komunis)198
. Oleh karena itu, konstruksi identitas Hindu
197
Moksa: kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan
terlepasnya Atman dari pengaruh maya dan bersatu kembali dengan sumber-Nya,
yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami
kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi yand disebut Sat Cit Ananda. Ketika
seseorang telah mencapai moksa maka dia tidak lagi lahir ke dunia, atau bebas
dari siklus kelahiran kembali (loc.cit). 198
Lihat: Roosa, John. (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September
dan Kudeta Suharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra);
Farram, Stevan & Webb, R.A.F. Paul. (2005), Di-PKI-kan Tragedi 1965 dan
Kaum Nasrani di Indonesia Timur (terjemahan), Syarikat Indonesia; Robinson,
172
Dharma di masa-masa itu menjadi sangat penting sekali bagi transmigran
Bali Nusa, terutama dari tindakan anarkis dan pembunuhan yang dilakukan
oleh pihak sipil dan militer, karena dengan memiliki identitas Hindu
Dharma maka mereka terbebas dari tuduhan sebagai komunis – dengan
kata lain, identitas Hindu Dharma menjadi penyelamat mereka dari
kekerasan dan ancaman pembunuhan atas tuduhan orang-orang komunis.
Legalisasi atau legitimasi identitas Hindu Dharma dari PHDI pada
transmigran ini memberikan jaminan yang penuh atas keselamatan mereka
setelah di luar Bali, terutama setelah di tahun 1968 PHDI memberikan
loyalitasnya kepada Suharto (tentu, dengan jaminan bahwa umatnya bersih
dari komunis), dan Suharto (beserta militer) memberikan perlindungan
penuh pada PHDI, termasuk umat yang bernaung di bawahnya. Selain itu,
PHDI juga harus memastikan bahwa identitas Hindu Dharma itu tidak
keluar atau menyimpang dari doktrin umumnya panca sraddha, terutama
ritual-ritual adat dan keagamaan. Karena itu, PHDI dengan sejumlah
aturan-aturan yang birokratis dan cenderung kaku, dapat memastikan
bahwa mereka tidak menyimpang dari ajaran utama Hindu Dharma.
Peran PHDI dalam mengkonstruksi identitas Hindu Dharma tidak
berhenti pada transmigran Bali Nusa pertama, tapi dilanjutkan pada
generasi berikutnya, generasi kedua dan ketiga (anak dan cucu, beberapa
sudah memiliki cicit) yang masih menetap di Balinuraga. Jika generasi
pertama transmigran mendapatkan pengetahuan tentang identitas baru
(Hindu Dharma) melalui sosialisasi dari para sulinggih yang sudah berada
di dalam tubuh PHDI (melalui jalur informal), maka generasi berikutnya
mendapatkan konstruksi identitas Hindu Dharma melalui jalur formal,
yaitu pendidikan. Terutama setelah berdirinya sekolah Sekolah Dasar
(SD), yang statusnya masih darurat, di akhir tahun 1960-an, sampai
Sekolah Dasar ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan kemudian
dibangun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Di bangku sekolah
dasar ini anak-anak para transmigran pertama (berikutnya cucu dan cicit)
sudah mendapatkan pengetahuan mengenai identitas mereka sebagai
Hindu Dharma, seperti: apa dan bagaimana Hindu Dharma, apa yang harus
Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, Ithaca
and London: Cornell University Press.
173
dilakukan sebagai umat Hindu Dharma sebagai kewajiban, dan lain-lain.
Karena komunitas Desa Balinuraga mayoritas etnis Bali Hindu, maka
mereka tidak mendapatkan banyak kendala untuk mengajarkan pelajaran
agama Hindu kepada peserta didiknya. Ketersediaan guru agama Hindu ini
sepenuhnya merupakan tanggungjawab dari PHDI sebagai wakil dari
Departemen Agama yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, dan pemilihannya telah disesuaikan dengan standar
PHDI dan rekanannya (Departemen Agama dan Pendidikan)199
. Seperti
yang berlaku di setiap sekolah formal di Indonesia, pelajaran agama ini
sudah menjadi sebuah mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh setiap
siswanya sesuai dengan agama orang tuanya. Ketika para murid hendak
melanjutkan sekolahnya ke jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU),
mereka harus menempuhnya di luar Desa Balinuraga. Biasanya mereka
menempuhnya di kecamatan atau di ibukota kabupaten. Meskipun sudah
bersekolah (SMU) di luar desanya, mereka masih mendapatkan pelajaran
agama Hindu dari guru agama Hindu yang telah disediakan oleh pihak
sekolah. Jadi, melalui jalur pendidikan formal – karena pelajaran agama
masuk di dalam kurikulum wajib – PHDI dapat memastikan bahwa
umatnya, generasi-generasi muda, khususnya yang telah berada di luar
Bali, tidak kehilangan identitasnya sebagai Hindu (umat Hindu Dharma).
Melalui jalur pendidikan ini pula, terbentuk sebuah identitas agama Hindu
yang standar, yaitu dengan materi yang tidak jauh berbeda dengan yang
ada di Bali, maka para generasi muda Bali Hindu di luar Bali mendapatkan
pengetahuan yang kurang lebih hampir sama akan identitasnya sebagai
Hindu. Ada pun yang menjadi pokok materi yang harus diberikan oleh
199
Pada waktu itu, guru-guru Agama Hindu berasal dari Bali, yang telah
menempuh Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH) di Denpasar Bali. Sejak
pelajaran agama mulai diperkenalkan (setelah tahun 1950) sebagai pelajaran wajib
dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, terutama setelah gelombang
pertama transmigrasi orang Bali ke Lampung dalam jumlah besar di tahun 1950-
an dan 1960-an, terjadi permintaan tenaga pengajar (guru) agama Hindu. Guru
Agama Hindu ini dibutuhkan untuk anak-anak transmigran yang bersekolah di
Lampung, yang tersebar di berbagai daerah lokasi transmigrasi.
174
setiap guru agama Hindu di antaranya mencakup200
: (1) penjelasan
hubungan (vertikal) manusia dengan Penciptanya (Tuhan); (2) aspek
sosiologi: terkait hubungan / relasi horisontal antar sesama manusia; (2)
aspek etika (dharma) dan filofosi (tattwa): nilai, norma, dan hukum
(dogma) dalam hubungan antar manusia dan Pencipta; (3) aspek psikologi:
bagaimana membentuk karakter dan pikiran yang damai; (4) petujuk-
petunjuk etis bagaimana berhasil dalam dunia profesional, bagaimana
mencapai kehidupan yang baik nan haromis antara kegiatan ekonomi dan
ekologi201
.
200
Lihat: Ngurah Nala (2004) “The Development of Hindu Education in Bali”
dalam Hinduism in Modern Indonesia: A minority religion between local,
national, and global interest. 201
Keempat poin ini dapat dileburkan ke dalam filosofi Tri Hita Karana, yaitu
bagaimana manusia (individu) menjalankan hubungan yang harmonis (selaras)
dengan Sang Pencipta (Tuhan YME; Sang Hyang Widhi Wasa), dengan sesama
manusia, dan dengan lingkungannya (alam). Penekanannya terletak dalam
aplikasinya di dalam kehidupan sehari-hari, dengan salah satu tujuan idealnya agar
tercipta kerukunan hidup antar umat beragama. Sama seperti yang ada di dalam
pelajaran agama Kristen dan Islam - penekanannya lebih ke aspek etik dan filosofi
– karena secara politik penyamaan ini bagian dari pengakuan eksistensi identitas
agama Hindu (Hindu Dharma) mereka yang setara dengan eksistensi agama Islam
dan Kristen yang selama ini “meragukan” eksistensi identitas mereka sebagai
“agama”, terutama terkait dengan “monotheisme”.
175
Gambar 7. Sekolah Dasar dan Menengah Pertama di Balinuraga
(gambar pertama atas: sekolah dasar negero pertama di Balinuraga; gambar kedua
kiri: sekolah dasar kedua di Balinuraga; gambar ketiga kiri: sekolah menengah
pertama swasta di Balinuraga).
(Sumber: Yulianto, 2010)
176
Hadirnya pelajaran agama Hindu tidak serta merta menyelesaikan
permasalahan identitas yang harus dihadapi para murid sebagai etnis Bali
Hindu, meskipun di dalam pelajaran agama tersebut sudah sesuai dengan
standar resmi untuk mematangkan identitas Hindu mereka. Setelah
kembali ke rumah dan bersosialisasi dalam komunitasnya yang sama
(komunitas Bali Hindu), para murid menghadapi realitas identitas yang
lain, yaitu identitas warga (soroh). Artinya, sebelum mereka mendapatkan
pendidikan formal, terutama pelajaran agama Hindu, identitas mereka
sebagai warga tertentu sudah terbentuk di dalam level keluarga. Identitas
warga ini melekat dalam diri mereka, dan di dalam identitas warga itu
melekat pula identitasnya sebagai Hindu. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa PHDI – dalam kasus ini melalui pelajaran agama
Hindu Dharma – memisahkan dengan tegas agama dan adat, karena
identitas Hindu Dharma tidak hanya identitas yang dimiliki oleh etnis Bali,
tapi umat Hindu Dharma yang terdiri dari beberapa etnis di Indonesia.
Permasalahan lainnya adalah ketika para murid harus bersekolah di luar
Balinuraga, yaitu ketika harus menghadapi berbagai perbedaan, baik etnis
maupun kepercayaan. Berbeda ketika masih bersekolah di Balinuraga, di
mana teman-teman sebayanya berasal dari etnis dan kepecayaan yang
sama. Posisi mereka setelah berada di luar desanya adalah jelas sebagai
minoritas etnik dan kepercayaan, dan bukan tidak mungkin, terdapat
potensi ketersinggungan terkait kepercayaan mereka yang sebenarnya
tidak begitu dipahami oleh teman-temannya di sekolah.
177
Gambar 8. Contoh Buku Pelajaran Agama yang Digunakan Murid SD di
Balinuraga
(Sumber: Yulianto, 2010)
Dari ketiga aktor yang telah diuraikan – Sri Mpu Suci, Warga-
Warga, dan PHDI – dalam pembentukan identitas komunitas Bali Hindu di
Balinuraga, ketiga-tiganya memainkan peranan sentral dalam membentuk
identitas mereka sebagai Bali Hindu setelah berada di Lampung. Dari
ketiganya, PHDI yang memilki otoritas paling luas, karena kedudukannya
sebagai organisasi resmi yang diakui oleh pemerintah, dan Sri Mpu Suci
dengan kedudukannya sebagai seorang sulinggih dan pemimpin
transmigran Bali Nusa, serta Warga-Warga, menjadi bagian dari anggota
PHDI. Dengan kata lain, eksistensi identitas Hindu mereka bergantung
pada organisasi formal ini karena otoritas yang dimilikinya – meskipun
dalam kenyataanya ketika PHDI mengkonstruksikan identitas Hindu
Dharma di dalam setiap kesempatan saat bersosialisasi dengan komunitas
Bali Hindu tampak seperti meng-Hindu-kan seseorang yang sebenarnya
sudah menjadi Hindu. Namun, peran yang lebih luas di aras akar rumput
dalam proses pembentukan identitas justru banyak dimainkan oleh Sri
Mpu Suci dan Warga-Warga melalui dinamikanya dalam hubungan antar
warga dengan identitas leluhur yang berbeda, terutama untuk urusan adat
istiadat. Ini merupakan problematika identitas tersendiri yang harus
dihadapi anggota komunitas Hindu Bali di luar Bali, yaitu ketika identitas
178
leluhur yang coba mereka pertahankan, secara langsung dan tidak
langsung, berkaitan dengan identitasnya sebagai Hindu, di mana PHDI
sebagai organisasi keagamaan resmi yang memiliki otoritas membatasi
perannya sebagai pemersatu identitas warga-warga sebagai umat Hindu
Dharma, dan tidak mau terlibat dalam urusan adat. Oleh karena itu, bagi
sebagian masyarakat Balinuraga, PHDI tidak lebih seperti birokrasi
pemerintahan, yang membedakan adalah identitas Hindu yang melekat
pada PHDI.
Wafatnya Sri Mpu Suci di tahun 1970-an, dan pendataan anggota-
anggota warga oleh elit lokal di Bali, menjadikan PHDI sebagai “patron
baru” bagi komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Namun, PHDI tidak bisa
menyatukan warga-warga yang ada di komunitas ini. PHDI hanya bisa
menyatukan warga-warga ini sebagai komunitas umat Hindu Dharma.
PHDI sebagai organisasi modern Hindu tetap merupakan sebuah birokrasi
keagamaan. PHDI lebih menjadi patron yang bersifat simbolik, karena
sebagai sebuah birokrasi keagamaan PHDI tidak terlibat secara aktif dalam
dinamika komunitas Balinuraga yang di dalamnya terdapat warga-warga
yang saling bersaing dengan identitas leluhurnya. Sri Mpu Suci sebagai
sulinggih yang menjadi bagian dari PHDI bisa mengendalikan dan
menyatukan warga-warga dari pertentangan identitas leluhur, karena Sri
Mpu Suci sebagai patron terlibat aktif di dalam kehidupan komunitas ini,
dan diakui kepemimpinannya sebagai pemimpin para transmigran Bali
Nusa. Dengan kata lain, sosok PHDI hanya muncul di dalam masyarakat,
melalui para pengurus/pejabatnya, saat penyelenggaraan upacara
keagamaan yang bersifat formal dan seremonial yang dihadiri pejabat-
pejabat selevel camat, bupati, dan gubernur dalam rangka menunjukkan
eksistensi umat Hindu Dharma yang berasal dari Bali. Sejak PHDI
memberikan loyalitasnya kepada Orde Baru (1968)202
, pejabat-pejabat
PHDI dari level desa sampai pusat dapat dikatakan berafiliasi dengan
202
Dalam rentang tahun 1959 sampai 1966, ketika organisasi ini sedang
mematangkan organisasinya, PHDI masih bersikap netral, tidak berafiliasi ke
partai politik lain (I.G.N. Bagus 2004).
179
Golkar (juga merupakan anggota dari Golkar) dan militer203
. Ini
menjadikan peran PHDI lebih condong ke politik sebagai pendukung
rezim Orde Baru, daripada perannya di akar rumput komunitas Bali Hindu,
dalam kasus ini Balinuraga. Sebagai organisasi resmi keagamaan
(organisasi semi-pemerintah) yang bersimbolik Hindu, dan menjadi patron
simbolik bagi komunitas Hindu, kehadirannya sampai di level desa sangat
membantu untuk mengarahkan massanya (umat) untuk mendukung atau
memilih Golkar saat diselenggarakan Pemilu di masa Orde Baru. Sebagai
imbalannya, PHDI bisa mengajukan permintaan-permintaan (lobi-lobi) ke
pemerintah agar umatnya bisa (diizinkan) menyelenggarakan seremoni-
seremoni di tempat tertentu yang melibatkan massa yang besar, seperti
menyelenggarakan upacara Melasti (upacara pembersihan sebelum hari
raya Nyepi) yang dilakukan di pantai dengan massa yang besar. Oleh
karena itu, kredibilitas PHDI menjadi dipertanyakan oleh komunitas ini,
karena tantangan yang dihadapi anggotanya (umat) yang hidup di luar Bali
terus berkembang dan dinamis dalam interaksinya dengan komunitas lain
yang berbeda, dan kehidupan antar warga di dalam komunitas itu sendiri.
203
Keterkaitan organisasi ini dengan Golkar, menjadikan organisasi ini mirip
(dibentuk menyerupai / meniru bentuk) dengan Golkar, dan sekretaris jendralnya
berasal dari militer / ABRI (Schulte Nordholt 2007, I.G.N. Bagus 2004).
180
Gambar 9. Upacara Melasti Komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan
(upacara ini diikuti seluruh komunitas adat Bali Hindu di Lampung Selatan,
termasuk Balinuraga).
(Sumber: Yulianto, 2010)
181
Gambar 10. Persiapan Upacara Melasti
(Sumber: Yulianto, 2010).
Bagi masyarakat Balinuraga, PHDI merupakan representasi dari
pusat, dalam arti ini adalah Jakarta dan Bali, tapi lebih condong
merepresentasikan Bali. Sebagai orang Bali yang hidup di luar Bali,
kehadiran PHDI dianggap dapat mendekatkan diri mereka dengan Bali.
Meskipun mereka telah berada di Lampung, keterikatan mereka dengan
tanah kelahiran (Bali) masih sangat kuat. Seperti ada fanatisme tersendiri
terhadap hal-hal yang berhubungan langsung dengan Bali. Jadi, meskipun
PHDI dianggap tidak lebih dari mesin birokrasi keagamaan, PHDI tetap
dianggap sebagai patron, khususnya terkait dengan identitas agama, yang
182
dapat mendekatkan komunitas ini dengan Bali. Mengapa demikian?
Karena dengan adanya semacam standarisasi kegiatan / ritual keagamaan
yang berasal dari PHDI, maka mereka merasa bahwa ritual keagamaan
yang mereka adakan di luar Bali kurang lebih tidak jauh berbeda dengan
mereka yang ada di Bali. Sehingga dapat mengurangi rasa kekhawatiran
bahwa mereka sudah berbeda atau tidak sama dengan di Bali dalam
penyelenggarakan ritual keagamaan. Tentu dengan mempertimbangan
situasi dan kondisi penyelenggaraan ritual itu sendiri, karena perbedaan itu
tetap ada antara penyelenggaran ritual di Bali dan di luar Bali. Namun, pro
dan kontra tetap saja ada perihal standarisasi itu, khususnya di kalangan
warga-warga (beberapa elit) yang teguh (kolot) dengan tradisinya.
Artinya, menyelenggarakan prosedur-prosedur ritual yang “sedikit”
berbeda dengan apa yang telah dibakukan oleh PHDI. Toh, PHDI sendiri
pun tidak setiap hari berada di dalam masyarakat untuk mengawasi
dinamika mereka. Bagi mereka (elit-elit warga) pejabat-pejabat PHDI,
terutama di tingkat desa sampai kecamatan, belum tentu memahami adat
istiadat dari masing-masing warga, karena (dimungkinkan) pejabat
tersebut yang merupakan orang lain berasal dari warga yang berbeda. Di
samping itu, elit-elit warga ini masih tetap menjalin komunikasi yang baik
dengan organisasi formal warga-nya – yang sebenarnya berinduk pada
PHDI – yang berpusat di Bali. Elit-elit ini pun secara rutin masih sering
pergi ke Bali (termasuk anggota warga-warga-nya), baik untuk urusan
upacara keluarga besar yang masih ada di Bali (kewajiban yang harus
mereka lakukan) maupun pertemuan organisasi tertentu. Ini pula yang
menyebabkan mereka menjadi kritis terhadap PHDI. Jadi, meskipun
mereka telah berada di luar Bali, komunikasi dengan sanak saudara atau
pun informasi penting (sosial politik keagamaan) yang terjadi di Bali,
dapat mereka ketahui dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama. Seperti
misalnya, kemelut yang terjadi di PHDI antara golongan jaba dan
triwangsa dalam memperebutkan posisi dominan di lembaga ini dalam
Mahasabda VII (rapat akbar/pertemuan besar) pada September 1996 di
Surakarta dan September 2001 di Hotel Radisson di Sanur, Bali; kemudian
saat terjadi protes besar dari golongan jaba saat penyelenggaraan upacara
183
Panca Wali Krama204
di Pura Besakih (1999) yang menuntut agar pendeta-
pendeta dari golongan jabawangsa diperkenankan untuk terlibat dalam
memimpin upacara tersebut205
. Untuk upacara besar seperti ini, Panca Wali
Krama di Pura Besakih, umat Hindu Bali dari berbagai daerah ikut di luar
Bali turut berpartisipasi mengikuti upacara tersebut – termasuk masyarakat
di Balinuraga yang memiliki kesempatan dan biaya untuk mengikuti
upacara tersebut206
– di mana mayoritas umat yang mengikuti upacara
tersebut adalah golongan jaba (warga-warga / soroh yang digolongkan
sebagai jaba / non-bangsawan puri).
Keterikatan komunitas Bali Hindu di luar Bali (kasus Balinuraga)
terhadap patronnya – PHDI sebagai perwakilan pusat, Bali – menyebabkan
efek domino sampai ke komunitas ini; meskipun elit-elit warga yang lebih
banyak mengetahui kemelut yang terjadi di pusat di dalam tubuh PHDI.
204
Panca Wali Krama merupakan Yadnya Agung (ritual besar) yang diadakan di
Pura Besakih setiap sepuluh tahun sekali, di mana pada waktu itu (April 1999)
diselenggarakan atas kerja sama antara Pemerintah Daerah Bali dan PHDI. Bagi
mereka, orang Balinuraga, bisa menghadiri upacara besar di Pura Besakih,
terutama seperti Panca Wali Krama, dipercaya bisa memberikan berkah dan
sugesti psikologis tertentu dalam pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka
(seperti terberkati), dan tentunya yang tidak kalah penting adalah prestise. Yadnya
Agung yang lebih besar dari Panca Wali Krama adalah (upacara) Tawur Agung
Eka Dasa Rudra. 205
Op.cit. Ramstedt 2004, Ngurah Bagus 2004, Schulte Nordholt 2007. 206
Di masa sekarang, terutama sejak tahun 1990-an, biaya dan sarana transportasi
dari Lampung ke Bali cukup terjangkau dan memadai. Mereka bisa menumpang
bis antar kota antar propinsi yang langsung dari Lampung ke Bali, ngeteng (naik
bis dari Lampung ke Jawa Tengah, kemudian disambung dengan naik bis dari
Jawa Tengah ke Bali; atau naik travel ke Bandara Sukarno Hatta kemudian
dilanjutkan dengan penerbangan ke Bali,karena biayanya yang relatif lebih murah
dan cepat), atau memakai satu mobil pribadi yang ditumpangi beberapa orang.
Untuk upacara-upacara besar seperti Panca Wali Krama sudah menjadi kewajiban
bagi mereka untuk bisa hadir di sana. Tanpa ada upacara besar dan penting pun di
Pura Besakih, biasanya jika tidak ada halangan mereka bisa pergi ke Bali minimal
satu tahun sekali untuk mengikuti upacara-upacara dalam lingkungan keluarga
atau warga mereka baik yang ada di Bali maupun di Nusa Penida. Untuk
perhitungan pulang-pergi Lampung-Bali sangat sederhana: menjual satu ekor sapi
dewasa sudah cukup untuk biaya perjalanan satu keluarga; dengan rata-rata harga
satu ekor sapi dewasa yang gemuk kurang lebih sepuluh juta rupiah.
184
Kemelut yang terjadi di tubuh PHDI pusat seputar hak-hak istimewa
golongan triwangsa dan jabawangsa, khususnya tentang persamaan status
kependetaan warga-warga dan pedanda (brahmana), sebenarnya dalam
level yang lebih kecil (Balinuraga) juga terjadi kemelut seperti itu,
terutama kependetaan antar warga. Sebagian warga ada yang tetap ingin
mempertahankan pendeta (sulinggih) warga-nya untuk memimpin
upacara-upacara penting (misalnya, ngaben), sedangkan warga yang lain
ingin menggunakan pendeta dari kalangan brahmana (pedanda) dari Bali.
Waktu dan tempat yang berbeda tentu menimbulkan tantangan dan
problematika identitas yang berbeda pada anggota masyarakat komunitas
ini. Anggota masyarakat ekonominya telah mapan, statusnya sosialnya di
dalam komunitasnya akan naik bila mampu menghadirkan pedanda dari
Bali dalam upacara penting, seperti ngaben. Sebaliknya, bagi sebagian
anggota komunitas baik yang ekonominya mapan atau belum mapan, lebih
menginginkan pendeta dari kalangan warga-nya sendiri – dalam beberapa
kasus mereka yang sudah mapan bisa mengundang pendeta dari warga-nya
sendiri dari Bali. Prosedur ini pun sebenarnya di dalam tubuh PHDI tidak
menjadi masalah, meskipun dalam kenyataannya peran pedanda masih
sangat signifikan dalam dominasi penyelenggaraan upacara-upacara
penting, khususnya sebelum memudarnya dominasi pedanda di jabatan
penting PHDI pasca Mahasabda 2001 di Bali207
.
Perjalanan Identitas Bali Nusa
Perjalanan identitas Bali Nusa merupakan sebuah proses bertahap
pembentukan identitas Bali Nusa yang dimulai sejak mereka
bertransmigrasi di tahun 1963 sampai satu dasawarsa terakhir di abad ke-
21. Hampir lima dasawarsa komunitas ini menetap di Lampung Selatan,
tepatnya empat puluh tujuh tahun terhitung dari 1963-2010. Secara fisik
Kampung Bali di Desa Balinuraga sudah mencapai tahap mapan dari segi
pembangunannya. Artinya, seandainya terjadi penambahan-penambahan
bangunan atau infrastuktur, pengaruhnya sudah tidak seberapa signifikan
merubah penampilan fisik perkampungan komunitas Bali Hindu ini –
umumnya hanya renovasi rumah dari semi permanen menjadi permanen,
207
Op.cit. Ramstedt 2004, Schulte Nordholt 2007.
185
renovasi (perbaikan) pura-pura (seperti pura keluarga (rong telu), pura
desa, pura puseh, dan pura dalem), perbaikan dan penambahan aspal jalan,
dan lain-lain. Poin penting bagi komunitas ini, sebagai penanda
kemapanan komunitas mereka sebagai Bali Hindu adalah setelah bangunan
fisik yang menjadi simbol identitas mereka sebagai Bali Hindu lengkap –
tidak ada lagi kekurangan berdasarkan aturan adat dan kerpecayaan /
agama mereka, dengan kata lain, sudah sesuai dengan standar yang
ditetapkan), khususnya Pura Kahyangan Tiga. Untuk saat ini, yang mereka
lakukan hanya merenovasi – tidak hanya memperbaiki bangunan pura
yang rusak, tapi menjadikannya lebih bagus daripada sebelumnya. Namun,
kasus menarik yang terjadi belakangan ini adalah para kelompok warga
lebih memfokuskan renovasi (penambahan bangunan pura) untuk pura
kawitan di griya-griya milik warga-nya. Kasus ini menunjukkan bahwa
perjalanan identitas komunitas Bali Nusa (Bali Hindu dari Nusa Penida)
belum selesai, dan terus berdinamika dalam interaksinya dengan warga-
warga yang lain. Oleh karena itu, penampilan secara fisik komunitas ini
menunjukkan bahwa identitas mereka sebagai Bali Lampung sudah ajeg,
tapi kenyataannya, dalam kehidupan sosial anggota komunitas ini yang
terfragmentasi berdasarkan warga-warga menunjukkan bahwa
pertentangan identitas masih terjadi internal komunitas mereka – tidak
seajeg penampilan fisiknya melalui bangunan pura yang indah dan artistik,
ritual harian yang menunjukkan identitas kebalian yang kental, iring-
iringan massa yang hendak melaksanakan upacara, dan lain-lain, yang
seolah-olah di mata orang luar menunjukkan komunitas ini sebagai
komunitas yang stagnan, adinamis, kaku, atau kolot. Memang dari
berbagai fenomena hubungan antar warga dalam manifestasinya yang
beragam – saling klaim identitas leluhur, persaingan pembangunan pura
kawitan, persaingan upacara / ritual warga mana yang paling besar, dan
lain-lain – secara jelas menunjukkan bahwa komunitas ini terpecah-pecah
berdasarkan identitas leluhur, dan menampikkan kesolidan internal di
dalam komunitas ini. Namun, uniknya dalam kasus yang lain, misalnya
jika ada bagian dari anggota komunitas mereka, atau pun anggota
komunitas lain (dari Kampung Bali tetangga), mengalami masalah
(pertengkaran / keributan) dengan anggota komunitas lain non-Bali,
meskipun berasal dari warga yang berbeda, maka mereka secara spontan
186
akan saling membantu. Rasa solidaritas itu masih kuat dan solid secara
massa jika salah satu anggota dari komunitas mereka bermasalah dengan
anggota komunitas lain non-Bali, meskipun yang patut dicermati adalah
bahwa anggota yang bermasalah itu berasal dari warga yang berbeda.
Fenomena ini terjadi karena di dalam benak mereka (komunitas Bali
Hindu) jika ada salah satu anggota komunitas mereka mengalami masalah
dengan komunitas lain (misalnya dalam kasus umum: mengalami
kekerasan fisik dari anggota komunitas lain non-Bali, seperti penodongan
atau begal), maka kejadian ini dianggap (oleh sebagian anggota komunitas
Bali Hindu) sebagai ancaman eksternal yang nantinya akan mengancam
eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu. Fenomena ini akhirnya
melahirkan stigma-stigma terhadap etnis Bali dari etnis-etnis lain non-Bali,
misalnya: “jangan ganggu orang Bali”, “hati-hati dengan orang Bali”,
“kalau ribut dengan orang Bali urusannya bisa jadi besar”, “magic orang
Bali hebat”, “jangan pacaran sama orang Bali”, dan lain-lain. Di sisi yang
lain, berbanding terbalik dengan stigma negatif di atas, terkait dengan
kehidupan keseharian termasuk tradisi adat dan keagamaan, etnis Bali
Hindu mendapatkan pengakuan akan eksistensi identitasnya, baik sebagai
orang Bali maupun sebagai orang Bali Hindu, misalnya: “kalo sudah
urusan adat dan agama, orang Bali nomor satu”, “Orang Bali itu paling
kuat adat sama (dan) agamanya”, “Orang Bali sangat royal dengan urusan
adat dan agama”, “Orang Bali kompak, apalagi kalo urusan adat sama
agama”, dan lain-lain.
Terlepas dari kontrakdiksi-kontradiksi yang dipaparkan di atas,
patut diketahui bahwa dinamika hubungan antara anggota warga, ataupun
hubungan sesama masyarakat (lintas warga) di dalam komunitasnya, yang
penuh dengan pasang-surut merupakan sesuatu yang dinilai sesuatu biasa
saja atau normal. Mereka menganalogikannya seperti musik dan tarian
Bali. Ritme musik yang cepat dan naik-turun, dan gerakan tari yang cepat
dan lincah, itu yang terjadi di dalam kehidupan sosial komunitas mereka.
Pesan ini menunjukkan bahwa melalui produk-produk kebudayaannya
(melalui seni tari dan musik), maka tercermin bagaimana mereka sebagai
orang Bali. Mereka bukan masyarakat yang kehidupannya monoton, tapi
sebaliknya, masyarakat yang dinamis, sama seperti musik dan tariannya.
187
Uraian singkat pada dua paragraf di atas merupakan pengantar
untuk menguraikan perjalanan identitas Bali Nusa setelah mereka berada
di Lampung, dan sudah menjadi bagian dalam masyarakat Lampung yang
heterogen: bahwa dalam setiap tahapan dari perjalanan identitasnya, selalu
dipenuhi dengan dinamika – tidak monoton, tidak statis, dan tidak apolitis
seperti yang diidealkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia the last
paradise berdasarkan pencitraan identitas terhadap etnis Bali di masa
kolonial dan pasca kolonial. Dalam pembahasan sub-bab ini, untuk
menguraikan perjalanan identitas Bali Nusa, penulis memilahnya menjadi
beberapa masa atau tahapan berdasarkan rezim yang berkuasa di Indonesia
pada masa itu (untuk mempermudah pengkategorian waktu/pentahapan)
sejak mereka bertransmigrasi tahun 1963, yaitu: (1) Orde Lama (1963-
1966): dari masa pemerintahan Sukarno 1950-1966, mereka masih
merasakan rezim ini selama tiga tahun (1963-1966) di Lampung; (2) Orde
Baru (1967-1998); dan (3) Orde Reformasi (pasca jatuhnya Suharto, 1998
– sekarang). Berdasarkan masa-masa (rezim) ini maka pentahapan yang
akan diuraikan lebih lanjut adalah: (1) Masa kevakuman dan pencarian
bentuk identitas (tiga tahun di masa masa Orde Lama, peralihan kekuasan
Orde Lama ke Orde Baru pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965,
1966-1967, masa-masa awal Orde Baru sebelum PHDI berafiliasi dengan
Suharto tahun 1968); (2) Masa kemapanan identitas semu di masa Orde
Baru (1967-1998) tepatnya pasca 1968; (3) Masa Politik Identitas, pasca
jatuhnya Suharto, ketika identitas digunakan dalam tataran politik praktis
di dalam komunitas dan di luar komunitas. Dalam pembahasan sub-bab ini
(perjalanan identitas Bali Nusa) akan disertakan di dalam pembahasan
proses pembentukan identitas itu sendiri, dan dinamikanya.
Masa Kevakuman dan Pencarian Bentuk Identitas
Masa kevakuman dan pencarian bentuk identitas pada komunitas
transmigran Bali Nusa terjadi dalam tiga periode yang sangat singkat
namun kritis bagi eksistensi identitas mereka: (1) Tiga tahun terakhir masa
Sukarno (1963-1966), efektifnya sebelum terjadi Gerakan 30 September
1965, yaitu 1963-1965; (2) Masa resesi / peralihan kekuasan Orde Lama ke
Orde Baru pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965: penghujung tahun
1965 (Desember 1965) ketika pembantaian massal mulai terjadi di Bali
188
sampai tahun 1967 ketika Suharto berhasil mendirikan rezim Orde Baru;
(3) Masa Orde Baru, tepatnya pasca 1968 saat PHDI berafiliasi dengan
Suharto.
Periode penting dalam masa kevakuman identitas terjadi pada
tahun 1963 sampai sebelum terjadinya Gerakan 30 September 1965. Di
masa kevakuman identitas ini, proses pencarian identitas belum sempat
dilakukan dikarenakan ada beberapa hal mendasar yang barus mereka
lakukan. Peristiwa dan kejadian penting yang terjadi pada waktu itu, yang
menyebabkan terjadinya kevakuman identitas adalah:
Pertama, tingkat kesulitan hidup yang tinggi saat pertama kali tiba
di Lampung pada pertengahan tahun 1963 (pasca meletusnya Gunung
Agung yang kedua 16 Mei 1963). Mereka mengalami kesulitan hidup yang
tinggi karena beberapa hal yang tidak bisa dihindari: (1) Persediaan uang
(tunai) sudah menipis – sebagian besar kemungkinan sudah habis – karena
perjalanan dari Nusa Penida ke Lampung membutuhkan waktu bermingu-
minggu. Uang yang mereka bawa dari Nusa Penida, dalam jumlah yang
tidak terlalu besar jumlahnya, habis selama perjalanan, baik karena harus
memenuhi kebutuhan makan-minum atau pun diperas oleh oknum-oknum
aparat waktu itu; (2) Tingkat inflasi yang tinggi di level nasional.
Tingginya tingkat inflasi di masa itu menyebabkan nilai riil dari uang yang
mereka miliki menjadi turun. Kenyataan yang lebih buruk adalah
persediaan uang itu sebagian besar sudah habis ketika sampai di Lampung;
(3) Status ketransmigrasian mereka adalah swakarsa. Konsekuensinya
mereka tidak mendapatkan sponsor atau bantuan dana dari pemerintah,
semua biaya perjalanan dan biaya hidup di masa-masa awal ditanggung
sendiri, meskipun pada tahun 1963 mayoritas orang Bali yang
bertransmigran disebabkan karena letusan Gunung Agung dan ada
kelompok transmigran lain yang mendapatkan sponsor dari pemerintah
(yang disebut oleh mereka: Bali KoOGA); (4) Pembukaan hutan untuk
lahan pertanian. Lokasi transmigrasi yang disediakan pemerintah bagi
transmigran masih berupa hutan, bukan lahan yang sudah siap tanam.
Akibatnya mereka harus menghabiskan sisa waktu di tahun 1963 untuk
membuka hutan sampai benar-benar siap ditanami padi – dari hutan
menjadi persawahan; (5) Serangan wabah penyakit yang menimpa para
189
transmigran dan anggota keluarganya. Sakit penyakit yang menyerang
mereka merupakan hal yang sangat manusiawi. Mental mereka secara
psikologis sudah menurun setelah tiba di Lampung akibat perjalanan
panjang dari Nusa Penida ke Lampung. Dalam kondisi mental yang
menurun, mereka belum memiliki tempat tinggal yang permanen (layak
huni), masih harus membuka hutan, persediaan uang tunai sudah (hampir)
habis dan harga sembako waktu itu sangat mahal, serangan nyamuk
malaria dan gangguan hewan liar khas Sumatera (khususnya gajah dan
harimau sumatera), pola makan yang tidak teratur (dengan mutu makanan
yang tidak sehat dan bergizi) dan jenis makanan yang berbeda dengan
yang ada di Nusa Penida, serta proses adaptasi tubuh tiap individu dari
transmigran dengan iklim yang ada di Lampung yang berbeda dengan di
Nusa Penida. Dalam kondisi tersebut sangat manusiawi sekali jika para
transmigran dan anggota keluarganya menderita sakit penyakit di masa
awal kedatangan mereka, di mana mengakibatkan sebagian dari mereka
meningggal dunia dan depresi
Kedua, kebutuhan untuk bertahan hidup tahun-tahun pertama
(sekitar dua tahun) dalam situasi politik nasional yang tidak menentu di
penghujung rezim Sukarno. Kebutuhan untuk bertahan hidup merupakan
konsekuensi atas tingginya tingkat kesulitan hidup sejak tiba di Lampung.
Persoalan “perut” masih belum bisa diatasi dikarenakan lahan pertanian
yang telah dibuka belum bisa menghasilkan secara optimal. Salah satu
solusinya, sebagian dari mereka harus bekerja sebagai buruh tani di
ladang-ladang milik penduduk lokal. Stigma-stigma negatif masih mereka
terima sebagai “orang jang belum beragama”, meskipun kepercayaan
mereka waktu itu sudah diakui eksistensinya oleh pemerintah. Tentu
menjadi aneh bagi masyarakat sekitar yang mayoritas Islam (baik yang
fundamental maupun abangan), melihat ritual-ritual yang dilakukan oleh
transmigran Bali berdasarkan kepercayaannya, yang waktu itu dilakukan
masih sangat sederhana sekali, serta mengkonsumsi daging babi hutan
(celeng) yang selama ini jadi musuh petani, yang dagingnya dianggap
haram menurut orang-orang Muslim. Bagi masyarakat Muslim (non-Bali)
pandangan yang selama ini mereka ketahui secara umum tentang orang
Bali dan adat istiadatnya adalah bahwa mereka memiliki banyak dewa-
190
dewa yang disembah. Artinya, bila mereka mengacu pada kepercayaan
mereka (sebagai muslim), kepercayaan orang Bali itu termasuk politheis
(menyembah banyak tuhan / dewa), bukan monoteis seperti yang selama
ini mereka lakukan (dalam ritual keagamaan) dan percayai dalam
manifestasi Tuhan yang Esa (monotheis). Oleh karena itu, bukan tidak
mungkin sebutan „kafir‟ dan „primitif‟ dialamatkan kepada mereka karena
kepercayaan mereka yang politheis dan mengkonsumsi daging babi208
.
Situasi politik waktu itu, khususnya di Sumatera masih terpengaruh oleh
aliran politik Islam – tidak terlepas dari pengaruh pemberontakan Darul
Islam di tahun 1950-an dan partai-partai politik Islam yang berkembang
waktu itu – menjadikan sedikit banyak berpengaruh atas kelompok
pendatang (transmigran) non-Islam, dalam kasus ini transmigran Bali.
Kondisi pertama dan kedua di atas menyebabkan terjadinya
kevakuman identitas pada transmigran Bali Nusa. Penyebabnya sangat
sederhana dan manusiawi, yaitu bagaimana mungkin mereka berpikir
tentang eksistensi identitasnya di mana mereka sendiri sebagai komunitas
pendatang yang minoritas (etnis dan kepercayaan) hidupnya secara
ekonomi masih belum menentu. Proses adaptasi terkait kebertahanan hidup
208
Kata “kafir” dan “primitif” pada waktu itu masih belum dikenal oleh
transmigran Bali Nusa. Transmigran Bali Nusa pada waktu itu masih belum
menguasai Bahasa Indonesia. Mereka masih menggunakan Bahasa Bali Nusa yang
pada dasarnya memiliki perbedaan dengan Bahasa Bali. Oleh karena itu,
seandainya mereka mendengar kata “kafir” dan “primitif” pun mereka tidak akan
bereaksi, selain perbedaan bahasa, masyarakat sekitar juga masih menggunakan
bahasa daerahnya masing-masing. Kata “primitif” dialamat karena transmigran
Bali Nusa ini hidupnya masih sangat tradisonal sekali. Bagaimana tidak, mereka
berasal dari Pulau Nusa Penida, sebelah timur Bali, yang akses ke Bali pun sangat
sulit pada waktu itu (termasuk di masa sekarang saat cuaca tidak mendukung). Di
samping itu, beberapa wanita (yang sudah lanjut usia) masih memiliki kebiasaan
tidak menggunakan bra untuk menutup payudaranya, sama seperti Bali tempo
dulu yang masih dijumpai di era kolonial tahun 1930-an di pulau induk, Bali. Saat
ini, ketika perekonomian mereka sudah mapan, justru kata „primitf‟ ini yang
dialamatkan pada penduduk lokal – yang dulu pernah menyebutkan kata ini
kepada mereka – dikarenakan penduduk lokal masih tetap mempertahankan
kelokalan mereka yang kolot, yang tanpa disadarinya mereka telah tertinggal jauh
oleh modernisasi yang dilakukan para pendatang (Bali) dan pemukimannya
semakin terdesak karena tanahnya telah dijual kepada pendatang (Bali dan Jawa).
191
masih mereka lakukan, termasuk ritual-ritual dan upacara-upacara
kepercayaan mereka sebagai Bali Hindu. Dengan kata lain, sangat sulit
berpikir atau pun bertindak untuk mengaktualisasikan eksistensi identitas
mereka saat kondisi “perut lapar”.
Masa kevakuman, yang kemudian diikuti pencarian bentuk
identitas mencapai titik kritis pasca Gerakan 30 September 1965,
khususnya ketika pembantaian massal mulai terjadi di Bali di bulan
Desember 1965. Efeknya baru mulai terasa bagi transmigran Bali Nusa
setelah memasuki awal tahun 1966. Meskipun masyarakat Lampung
sebagain besar tidak mengetahui bahwa terjadi pembantaian massal di Bali
karena tidak dimuat di media massa secara jelas (cenderung ditutup-
tutupi), namun ini tidak terjadi di kalangan militer, khususnya yang ada di
Lampung. Dalam kasus ini, militer pasti mengindikasikan bahwa ada
keterkaitan antara orang-orang berhaluan kiri di Bali dan orang-orang Bali
yang bertransmigrasi ke Lampung. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
militer pada saat itu turut mengamati perkembangan yang terjadi pada
transmigran Bali di Lampung. Masa ini menjadi penting bagi transmigran
Bali mengapa mereka mulai melakukan pencarian bentuk identitas bagi
komunitasnya. Hal yang lebih ditakutkan oleh mereka adalah aksi brutal
atau penghakiman massa (mayoritas), khususnya golongan Islam, yang
tidak senang dengan keberadaan orang-orang berhaluan kiri. Penghakiman
oleh massa bisa dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang
dituduh sebagai komunis, meskipun pada kenyataan tidak, atau hanya
sebagai simpatisan. Pencitraan kata “komunis” di masa itu yang paling
melekat adalah “orang yang tidak punya agama” dan “tidak percaya
Tuhan”. Meskipun kepercayaan etnis Bali sebagai Hindu sudah diakui oleh
pemerintah sebagai agama resmi negara dengan dukungan Presiden
Sukarno tepat pada tanggal 1 Januari 1959, namun stigma-stigma yang
menyebutkan transmigran sebagai “orang jang belum beragama” masih
melekat di dalam masyarakat, khususnya yang berhaluan fundamentalis –
karena pada masa sebelum dan sesudah 1959 golongan ini (termasuk dari
golongan Kristen) yang masih mempertanyakan keabsahan Hindu Bali
sebagai sebuah agama menurut konsep agama kedua golongan ini. Di masa
kritis seperti ini, pasca Gerakan 30 September 1965, para transmigran
192
harus mencari bentuk identitas keagamaan mereka sebagai orang yang
beragama berdasarkan agama versi pemerintah dan opini yang berkembang
di masyarakat pada masa itu, dalam arti mereka harus mempertegas dan
bisa membuktikan bahwa mereka orang yang beragama, yaitu Hindu
Dharma. Jika mereka tidak bisa mempertegas dan membuktikan identitas
keagamaannya bahwa mereka adalah orang yang beragama, maka
keselamatan mereka dipastikan akan terancam (dan kehilangan nyawa).
Pada masa ini pula, para transmigran yang sedang mengalami kevakuman
dan sedang dalam pencarian bentuk identitas keagamaan mereka, menjadi
target Islamisasi dan Kristenisasi – walaubagaimana pun kedua golongan
ini masih beranggapan bahwa para transmigran belum memiliki identitas
agama yang jelas seperti konsep agama versi kedua golongan ini. Dalam
situasi darurat identitas seperti ini, tentu PHDI sebagai organisasi formal
keagamaan Hindu Bali menjadi penyelamat bagi para transmigran untuk
melegalkan identitas keagamaan mereka, karena persoalan keabsahan
identitas agama ini merupakan persoalan antara hidup atau mati. PHDI
sendiri pun harus cepat dan tanggap merespon situasi ini, karena jika tidak
para transmigran ini akan berpindah-haluan ke agama lain yang
menawarkan garansi identitas agama yang lebih legal. Catatan penting di
masa ini bagi identitas transmigran Bali Nusa adalah bahwa mereka
merelakan identitasnya dikonstruksikan ulang demi alasan keselamatan
hidupnya. Menjadi aneh dan cenderung pragmatis, karena sebenarnya
mereka sudah menjadi Hindu, tapi bagi mereka, merupakan hal yang
sangat konyol jika harus mati di Lampung saat belum menikmati hasil
kerja kerasnya, dan mati hanya karena “beragama” atau “tidak beragama”
(dicap komunis). Catatan berikutnya, periode pasca Gerakan 30 September
1965 sampai pertengahan tahun 1966 hampir dipastikan tidak ada orang
Bali Nusa yang bertransmigrasi ke Lampung. Militer pasti akan bersiaga
penuh mengantisipasi orang-orang Bali yang dicap komunis melarikan diri
– berhasil lolos dari pembantaian massal – ke Lampung mengunjungi
sanak saudaranya yang bertransmigrasi. Mengapa demikian? Karena di
Bali Utara, di wilayah Jembrana, merupakan salah satu basis orang-orang
Bali berhaluan kiri, di mana di daerah Jembrana pada masa kolonial
menjadi daerah transmigrasi lokal orang-orang Bali dari Nusa Penida dan
orang Bali di Bali Selatan yang pemukimannya sudah padat (khususnya,
193
orang Bali yang sudah menjadi Nasrani, sebagai upaya mencegah kegiatan
misionaris lebih luas di Bali bagian Selatan, yang tidak diizinkan oleh
pemerintah kolonial melalui kebijakan Balinisasinya).
Masa Kemapanan Identitas Semu: Internal Conversion
(Identitas Warga Dan Agama)
Setelah “Pemberontakan PKI” – versi Suharto atas Gerakan 30
September 1965 – berhasil dipadamkan, kemudian Suharto berhasil
mengambil-alih kekuasaan dari Sukarno dan membentuk rezim Orde Baru
di tahun 1967, kondisi keamanan secara sosial politik mulai dirasakan oleh
transmigran Bali Nusa. Artinya, mereka sudah melewati sebuah masa di
mana “cap PKI” itu sama dengan maut (kematian). Keamanan penuh atas
legalitas agamanya baru mereka rasakan di tahun 1968, setelah PHDI,
yang menjadi penyelamat bagi mereka dari tiket kematian dengan cap PKI,
secara resmi bergabung dengan rezim Suharto yang didukung oleh militer
yang kuat, serta berafiliasi secara organisasi dengan Golkar. Pada masa ini
PHDI sudah menjadi bagian dari pemerintah, dan menjadi organisasi semi-
pemerintah – organisasinya secara kelembagaan menyerupai Golkar dan
Sekjen-nya berasal dari ABRI.
Pasca 1968 sampai tahun 1970-an, identitas agama Hindu Dharma
yang dikonstruksikan oleh PHDI belum dikatakan selesai. Artinya, proses
pengkonstruksian itu masih terus dilakukan sampai mereka benar-benar
menjadi Hindu Dharma. Bagi Suharto ini menjadi penting, karena untuk
memastikan bahwa orang-orang Bali, termasuk di luar Bali, sudah bersih
dari ideologi kiri dan Sukarnois. Oleh karena itu, doktrin-doktrin agama
terus ditanamkan pada transmigran, termasuk dilanjutkan ke anak-cucu-
cicit, agar identitas Hindu mereka menjadi mapan, dan bebas dari “kiri”
dan “Sukarno”.
Namun, di saat pengkonstruksian identitas Hindu Dharma itu
masih sedang dalam proses rekonstruksi kembali, di tahun 1970-an
sejumlah elit-elit dari Bali datang ke komunitas transmigran Bali (Bali dan
Bali Nusa) untuk merekonstruksi ulang identitas warga-warga-nya. Elit-
elit ini menganggap bahwa (ada kemungkinan) para transmigran Bali ini,
khususnya Bali Nusa, belum / tidak memiliki identitas warga yang jelas.
194
Oleh karena itu, proses pendataan warga-warga dilakukan oleh elit-elit ini.
Di saat yang sama, kehidupan ekonomi transmigran sudah mengalami
kemajuan, lahan pertanian yang mereka kelola sudah menghasilkan panen
yang baik. Karenanya, motif ekonomi dan politik menjadi tidak dapat
dipisahkan dari kedatangan elit-elit dari Bali ini. Sama seperti PHDI, elit-
elit ini dianggap sebagai penyelamat terhadap identitas warga mereka yang
selama berada di Nusa Penida masih kabur (belum jelas)209
. Dalam
perekonstruksian ulang identitas warga oleh elit-elit dari Bali, turut
dimasukkan klaim-klaim yang menempatkan warga-nya berada di atas dari
warga lain. Akibatnya, transmigran Bali Nusa menjadi mulai terpecah
berdasarkan kelompok warga-nya masing-masing, entah karena memang
mereka mengetahui bahwa berasal dari warga itu, atau memang mengikuti
arus saja – berpikir pragmatis – bahwa mereka harus punya identitas
warga yang jelas. Pengkotak-kotakan ini – sebagai konsekuensi dari apa
yang dilakukan oleh elit-elit dari Bali – semakin nyata setelah Sri Mpu
Suci yang selama ini menjadi patron yang menyatukan identitas mereka
sebagai transmigran Bali Nusa wafat. Dengan wafatnya Sri Mpu Suci,
komunitas transmigran Bali ini mulai meyakini bahwa patron atau pusat
yang menjadi naungan keabsahan identitas warga dan agama mereka
adalah Bali, termasuk PHDI itu sendiri.
Menempatkan Bali sebagai pusat yang dapat mengabsahkan
identitas warga dan agama Hindu Dharma, tidak dapat dilepaskan dari
keterikatan yang kuat dalam diri etnis Bali – dalam kasus ini termasuk Bali
Nusa karena ketika masih di Nusa Penida pun Bali tetap menjadi pusat –
terhadap identitas tanah leluhurnya. Identitas yang dimaksud adalah
identitas secara adat – warga – dan identitas agama – Hindu Bali atau
identitas resminya Hindu Dharma. Permasalahannya adalah mereka
memiliki dua pusat: elit warga – dalam arti yang lebih luas adalah
organisasi formal warga-warga – dan PHDI. Meskipun organisasi formal
warga-warga ini bernaung di bawah payung PHDI karena mendapatkan
otoritas dari Suharto, namun dalam kenyataannya PHDI seperti tidak mau
terlalu ikut campur tentang urusan adat atau warga-warga. Situasi ini
209
Lihat: David Stuart-Fox (2002), Pura Besakih: Temple, religion and society in
Bali, Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
195
tentunya tidak dapat ditampikkan, karena pada masa itu di tubuh PHDI
sendiri mulai (sudah) terjadi pertentangan antara golongan jaba (outsider,
commoners, warga, non-puri) dengan golongan bangsawan (triwangsa,
khususnya kaum brahmana). Oleh karena itu, penulis menyebutkan di
masa ini sebagai masa “kemapanan identitas” yang semu cum ambigu.
Dikatakan demikian, karena mereka harus apa yang disebut Geertz (1964)
sebagai internal conversion sebanyak dua kali, tapi bukan pada satu
identitas yang sama, melainkan dua identitas yang berbeda (yang pada
dasarnya sebenarnya sama dan seperti menjadi kesatuan antara identitas
adat dan agama), yaitu identitas agama dan identitas warga. Alasan kedua,
karena kemapanan identitas itu sebagai hasil konstruksi identitas
berdasarkan kekuasaan pada waktu itu di dua rezim pasca kolonial:
Sukarno dan Suharto, di mana konstruksi identitas agama dilakukan
berdasarkan konsep kepercayaan Yudea-Kristen-Islam – pada akhirnya
melahirkan Hindu yang modern seperti dalam konsep Weber. Ironisnya,
bila ditarik kebelakang, konstruksi identitas terhadap etnis Bali oleh
pemerintah pasca kolonial merupakan warisan dari pemerintah kolonial
yang sebelumnya telah mengkonstruksikan identitas Bali berdasarkan versi
pemerintah kolonial dan pakar orientalis Eropa bekerja sama dengan
golongan triwangsa dengan dalih menjaga identitas kultural Bali dari
serangan luar (khususnya pengaruh Islam dan Nasrani). Dan bila ditarik
belakang lagi, di masa kerajaan pasca berkuasanya Majapahit atas Bali,
konstruksi identitas wangsa yang melahirkan sistem kasta ala Bali
(tepatnya ala Majapahit) telah dilakukan oleh bangsawan-bangsawan
Majapahit yang berasal dari Jawa Timur, di mana salah satunya menjaga
eksistensi identitas Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Budha
yang masih eksis pasca takluk oleh Kerajaan Islam Demak. Alasan ketiga,
dengan adanya dua identitas yang berbeda dengan pusat yang sama tapi
berbeda patron, menyebabkan identitas yang seolah-olah mapan ini
melahirkan sebuah konflik (pertentangan) lama, yang sebenarnya sudah
terjadi di Bali, yaitu pertentangan antar warga, modernisme Hindu versus
tradisionalisme Hindu Bali (kesatuan adat dan agama). Dengan kata lain,
terjadi pola konflik atau pertentangan identitas yang hampir sama dengan
yang terjadi di Bali, tapi dalam bentuk atau manifestasi yang berbeda,
karena waktu dan tempatnya berbeda antara Bali dan Lampung. Alasan
196
keempat, kemapanan identitas itu semu karena kemapanannya didapatkan
atas perlindungan dari sebuah rezim, Suharto, khususnya identitas orang
Bali sebagai Hindu Dharma. Dalam kasus ini, unsur politik dan kekuasaan
suatu rezim lebih dominan, untuk menjamin keberlangsungan
kekuasaannya dari lawan politik yang menggunakan simbol-simbol
identitas SARA.
Periode Suharto adalah masa yang paling nyaman bagi komunitas
Bali Nusa di Balinuraga (era 1970-an sampai sebelum dimulainya krisis
ekonomi 1996/1997), meskipun di aras pusat, sejak berdirinya ICMI di
awal tahun 1990-an merupakan akhir “bulan madu” antara PHDI dengan
Suharto. Perekonomian mereka semakin mapan, salah satunya ditunjukkan
dengan membeli tanah baru di luar Lampung Selatan, khususnya di daerah
perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung Timur – salah satu cara
meningkatkan pendapatan dengan memperluas areal pertanian. Hal ini
disebabkan lahan pertanian di Balinuraga dan Lampung Selatan pada
umumnya, sudah mulai habis dan mahal menurut ukuran harga tanah
pertanian di Lampung Selatan (terutama setelah tahun 1990-an),
sedangkan harga tanah di perbatasan propinsi relatif lebih murah dan
masih luas. Dalam periode ini pula identitas kebalian mereka, khususnya
identitas agama, relatif lebih aman. Syaratnya adalah mereka harus
memilih Golkar saat pemilu diselenggarakan, meskipun bagi mereka sosok
Sukarno masih menjadi idola – sama seperti orang Bali kebanyakan –
dengan alasan karena ibu Sukarno adalah orang Bali. Kondisi demokrasi
seperti ini menyebabkan komunitas ini menjadi malas dengan urusan
politik, dan menjadi lebih pragmatis: tetap tingkatkan kesejahteraan
ekonomi di sektor pertanian. Namun, bukan berarti pertentangan identitas
warga sudah selesai, justru sebaliknya, pertentangan identitas warga itu
terus berlangsung, tapi dalam manifestasi yang berbeda dan cenderung
pragmatis-materialistik, yaitu dengan berlomba-lomba merenovasi pura
keluarga dan pura kawitan warga agar menjadi lebih baik dari yang warga
lain; dan yang menghasilkan prestise lebih tinggi adalah dengan
menyelenggarakan upacara ngaben secara besar-besaran, jika perlu
mengundang pedanda (brahmana) dari Bali. Bentuk lainnya adalah dengan
menjadikan pulang kampung sebagai agenda rutin tahunan untuk
197
melaksanakan kewajiban adatnya, terutama berhubungan dengan identitas
warga-nya di tanah leluhur. Semakin sering agenda pulang kampung
dilaksanakan, maka semakin tinggi prestise mereka sebagai warga tertentu.
Prestise tersebut akan semakin tinggi jika mereka bisa pergi ke tempat-
tempat suci agama Hindu yang ada di India. Ada di antara mereka yang
beranggapan bahwa ke India sama seperti “Orang Islam naik Haji” atau
“Naik Hajinya orang Bali” – merupakan dampak dari modernisasi Hindu
yang berkiblat ke India.
Rentang waktu 1970-an sampai sebelum krisis ekonomi
1996/1997 merupakan waktu yang ideal bagi proses pemapanan identitas
yang dilakukan oleh komunitas Bali Nusa. Hal ini disebabkan karena,
pertama, perekonomian mereka semakin membaik. Hasil panen dan harga
jual panen relatif lebih stabil. Meskipun gagal panen pernah dialami di
masa-masa ini, tapi secara umum tidak mengganggu perekonomian
mereka. Kebijakan pemerintah pusat yang berambisi berswasembada
beras, berdampak positif terhadap komunitas ini, karena daerah Lampung
Selatan bersama-sama daerah transmigran lainnya di Lampung dijadikan
sebagai salah satu lumbung beras di level propinsi. Mereka menyebutkan
masa Suharto adalah masa yang paling nyaman dalam hidup mereka
sebagai transmigran: situasi politik, ekonomi, dan keamanan menjadi lebih
stabil. Ini menyebabkan mereka menjadi lebih tenang dan nyaman ketika
bekerja, di samping menjadikan mereka apolitis, dan harga-harga barang
(khususnya sembako) sangat terjangkau. Mereka menyebutkan: “Zaman
Suharto cari uang paling gampang. Apa-apa murah. Jadinya kalo mau ke
Bali kapan aja gak begitu masalah”. Kedua, perlakukan istimewa
pemerintah pusat terhadap Bali sebagai daerah wisata dan lumbung devisa
negara, ternyata memberikan efek terhadap pemerintah daerah bagaimana
memperlakukan komunitas Bali transmigran ini seperti pemerintah pusat
memperlakukan Bali sebagai daerah wisata, sebuah komunitas yang harus
dijaga identitas budayanya agar tetap lestari. Caranya: (1) menjadikan
kebudayaan Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat
Lampung; (2) memfasilitasi komunitas Bali untuk mempertunjukkan
kebudayaan mereka kepada masyarakat Lampung lebih luas. Misalnya,
kasus yang paling sering terjadi di kabupaten Lampung Selatan adalah
198
dengan mengundang komunitas Bali untuk mementaskan keseniannya
dalam acara-acara formalnya di level kecamatan dan kabupaten.
Pementasan biasanya dilakukan bersama-sama dengan pementasan seni-
budaya dari masyarakat Lampung asli. Ketika keadaan ekonomi relatif
stabil “cari uang gampang” dan kebudayaan Bali mendapatkan tempat di
pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kecamatan, maka terbuka
kesempatan bagi mereka untuk melakukan “peniruan identitas” melalui
produk-produk kesenian asli Bali dan simbol-simbolnya. Tujuannya adalah
agar komunitas ini menjadi semakin mendekati kebalian meskipun sudah
berada di luar Bali. Proses peniruan identitas terhadap tempat asal identitas
ini berasal tentu akan sulit tercapai jika tidak didukung oleh kondisi
perekonomian yang baik dan dukungan dari kekuasaan (pemerintah daerah
sebagai kaki tangan pemerintah pusat). Agar semakin menjadi Bali, maka
mereka harus secara rutin pulang kampung, selain untuk menunaikan
kewajiban adat dan agama, kesempatan ini digunakan untuk “mengimpor”
kebudayaan Bali – tentunya , kegiatan pulang kampung secara rutin tidak
dapat dilakukan jika kondisi perekonomiannya tidak baik. Dengan kata
lain, mereka ingin benar-benar menjadi Bali, sama seperti Bali pada
umumnya yang ada di Bali. Ada banyak yang diimpor oleh komunitas ini
agar sama seperti Bali. Antara lain sebagai contoh, udeng, kain Bali yang
dikenakan saat upacara, dupa, lukisan, patung, arit Bali, kalender, sapi
Bali, dan lain-lain. Tidak hanya benda-benda ini saja yang diimpor oleh
mereka, tapi juga tata cara ketika melakukan upacara atau ritual tertentu.
Oleh karena itu, ketika melihat komunitas ini melakukan kesehariannya,
termasuk dalam upacara-upacara tertentu, komunitas ini tampak mirip
seperti yang ada di Bali. Letak perbedaannya yang paling signifikan hanya
pada tempat dan waktu. Meskipun dalam perkembangan waktu, ada
beberapa di antara mereka yang melihat pengimporan atribut-atribut Bali
ini sebagai peluang bisnis, dengan menjadi pedagang, namun tetap saja
membeli sendiri ketika pulang kampung ke Bali menjadikan nilainya lebih
berharga daripada membelinya di Lampung (meskipun barang-barang
tersebut juga berasal dari Bali). Fenomena peniruan identitas ini tetap
berlangsung sampai sekarang. Ini menunjukkan bahwa proses pemapanan
identitas tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pusat (Bali) sebagai acuan
identitas mereka sebagai Bali Hindu. Lalu, kemapanan identitas ini dapat
199
dikatakan semu karena identitas Bali Hindu itu dinamis, yang ditunjukkan
dalam kedinamisan masyarakatnya, sama seperti komunitas Bali Nusa di
Lampung Selatan. Artinya, identitas yang ditiru terus mengalami
perubahan, sama seperti masyarakat Bali yang di Bali terus mengalami
perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan zaman – baik itu
pengaruh dari globalisasi maupun pengaruh politik-ekonomi-sosial di aras
nasional. Selain itu dalam proses peniruan, tidak ada jaminan seratus
persen sama persis seperti Bali, di mana di Bali sendiri pun mempunyai
banyak variasi-variasi yang membedakan antara desa adat satu dengan
yang lain, kecuali hal-hal lain yang sudah distandarisasikan oleh otoritas
tertentu, seperti PHDI. Dalam proses peniruan dipastikan ada sesuatu yang
hilang, karena ada proses penyesuaian secara kontekstual dengan waktu
dan tempat komunitas ini sekarang menetap. Kemudian, dalam proses
peniruan ini, umumnya dilakukan secara otoditak, karena sangat sulit bagi
mereka untuk mengundang seorang master (ahli lukis, ahli tari, ahli
pembuat pura, dan lain-lain) untuk mengajari mereka secara private.
Berikut ini adalah contoh kasus yang umum dilakukan oleh
pekerja seni di komunitas ini dalam proses peniruan dengan pusat: ketika
pulang ke Bali mereka membeli kaset-kaset rekaman musik dan tari Bali
(mulai dari bentuk atau format kaset sampai saat ini dalam format
vcd/dvd), lukisan, dan ukir-ukiran, yang kemudian setelah sampai di
Lampung mereka mempelajarinya secara otodidak dan memprakteknya,
dan memberikan improvisasi. Dalam improvisasi ini ada penambahan dan
juga ada pengurangan. Selain itu, ketika di Bali mereka gunakan
kesempatan untuk mengunjungi galeri-galeri, pentas seni, dan ritual-
upacara tertentu yang dapat memberikan ide dan inspirasi bagi mereka
setelah berada di Lampung. Bila tidak sempat ke Bali karena halangan
tertentu, maka mereka akan memesan kepada saudara atau tetangganya
yang ke Bali atau keluarga (dan teman) yang ada di Bali. Proses peniruan
ini terus berlangsung, dan selalu ter-update tiap tahunnya, karena sampai
saat ini dipastikan selalu ada masyarakat Balinuraga yang pulang ke Bali
tiap tahunnya.
200
Gambar 11. Karya Ukiran Seniman Balinuraga
(ukiran berbahan adukan semen-pasir, yang diukir ketika masih basah).
(Sumber: Yulianto 2010)
201
Gambar 12. Seka Gong (seka gong sedang mentas).
(Sumber: Yulianto, 2010)
202
Gambar 13. Pentas Tari Bali di Acara Formal
(Penari berasal dari seka gong Balinuraga).
(Sumber: Yulianto, 2010)
Contoh kasus kedua, yang terus berlaku sampai sekarang dan lebih
diterapkan secara umum, adalah penggunaan salam om swastiastu dalam
pengucapan sambutan acara formal keagamaan yang diakhiri dengan om
shanti shanti shanti om, serta pengucapan doa pelafalan puja trisandya
(doa Hindu). Penggunaan salam om swastiastu semakin meluas pasca
reformasi, yaitu tidak hanya digunakan pada saat upacara formal, tapi juga
203
ketika bertamu atau pun bertemu dengan sesama rekan / kerabat lama,
serta dalam pesan singkat (SMS).
Realitas menarik yang terjadi di masa ini adalah mereka
mendapatkan perhatian dari elit-elit dari Bali mengenai perkembangan
kebudayaan Bali-nya, seperti mengadakan studi banding. Ada hubungan
yang saling menguntukan dari kedua belah pihak ini: sama-sama ingin
melestarikan kebudayaan Bali. Kemudian, ada keistimewaan khusus dari
pemerintah daerah untuk komunitas untuk menyelenggarakan upacara
adat-agama yang bersifat massal. Hal menarik yang masih terus berlanjut
sampai sekarang, ada kesamaan dengan di Bali, ketika iring-iringan massa
pergi ke tempat upacara diselenggarakan, sejumlah massa menumpang
kendaraan bak terbuka dengan jumlah yang padat dan yang menaiki sepeda
motor tidak menggunakan helm, cukup menggunakan udeng210
. Artinya,
ketika mereka sudah berbusana lengkap Bali dan mengerahkan massa,
mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari pihak berwajib. Tentu, hal
ini tidak dapat ditolerir jika mereka tidak mengenakan busana adat Bali
atau tidak sedang mengadakan upacara penting bersifat massal.
Keistimewaan ini (sejak era Suharto sampai sekarang), dalam
mengekspresikan kebudayaannya secara massal, yang menyebabkan
masyarakat Lampung mengidentikan etnis Bali di Lampung sebagai
kelompok pendatang yang kompak. Kekompakkan secara massal yang
dipentaskan ini, kemudian menjadikan komunitas Bali di Lampung
disegani, dan memiliki posisi tawar kuat terhadap pemerintah agar terus
mendapatkan keistimewaan (perlakuan khusus) dari pemerintah setempat
ketika menyelenggarakan upacara adat-keagamaan.
Hal penting yang menyebabkan mengapa mereka tidak bisa
melepaskan diri dari pengaruh pusat sebagai acuan identitasnya yang
menyebabkan mereka melakukan peniruan adalah faktor psikologis. Secara
psikologis mereka takut kehilangan identitasnya, atau takut eksistensi
210
Dari sudut pandang kepraktisan, sangat sulit untuk menggunakan udeng sambil
memakai helm. Menjadi merepotkan jika sudah mengunakan busana lengkap
(busana adat Bali), tanpa mengenakan udeng saat berkendara sepeda motor,
melainkan mengenakan helm. Dikatakan mendapatkan perlakukan istimewa dalam
even-even tertentu, karena menjadi bukan sebuah pelanggaran hukum jika itu
dilakukan secara massal untuk penyelenggaraan upacara adat-keagamaan.
204
identitasnya terancam, jika mereka tidak selalu mengikuti perkembangan
yang ada di Bali. Di satu sisi, mereka harus menyesuaikan identitasnya
dengan masyarakat Lampung, di sisi yang lain, mereka takut eksistensi
identitas Bali-nya tidak diakui karena tidak mengikuti perkembangan yang
ada di Bali. Selain itu, mereka membutuhkan pengakuan dari Bali bahwa
identitas mereka itu eksis, tidak banyak berbeda dengan yang ada di Bali.
Secara psikologis pengakuan itu penting sekali untuk meningkatkan
kepercayaan diri mereka sebagai Bali Hindu, yang tetap memiliki banyak
persamaan (dengan sedikit perbedaan) dengan di Bali.
Masa Politik Identitas
Pasca jatuhnya Suharto tahun 1998 dan lahirnya era Otonomi
Daerah tahun 1999 membawa satu perubahan yang cukup signifikan dalam
kehidupan sosial-politik-kebudayaan-agama bagi komunitas Bali Nusa di
Balinuraga yang masih terus berlangsung sampai sekarang, yaitu
menjadikan identitas kebaliannya sebagai sarana atau modal politik bagi
mereka untuk berpolitik praktis. Fenomena ini bersamaan dengan
menguatnya politik kedaerahan masyarakat lokal – etnis Lampung asli –
yang ingin mendapatkan posisi strategisnya di bidang pemerintahan dan
politik di wilayah Lampung, yaitu dengan mengusung isu sentral putra
daerah sebagai yang berhak mengatur wilayahnya211
. Penyebabnya adalah
putra daerah perannya selalu dimarginalkan di masa Orde Baru dengan
tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, di mana posisi ini
selalu ditempati oleh pendatang (etnis Jawa) yang berasal dari kalangan
militer yang penunjukkannya bersifat top-down melalui Kementerian
Dalam Negeri atas restu Suharto sebagai presiden. Identitas kebalian dapat
dikatakan sebagai modal politik karena di dalam identitas kebalian terdapat
sebuah massa yang besar dan kompak. Jika itu dapat dimobilisir oleh elit-
elit komunitas ini, maka massa (suara) bisa dijadikan sebagai tiket untuk
duduk di kursi legislatif tingkat daerah, atau diuangkan (dijual) oleh
211
Fenomena “politik lokal” ini merebak luas di permukaan pasca jatuhnya
Suharto dan kemunculan era Otonomi Daerah di Indonesia (1999). Untuk melihat
gambaran umum politik lokal di Indonesia pada periode ini, lihat (bagian
pengantar): Schulte Nordholt dan Van Klinken (edt.) 2007, Politik Lokal di
Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.
205
sekelompok elit kepada para calon bupati dan calon legislatif ketika
berkampanye. Bagi para calon bupati dan calon legislatif, mereka akan rela
menggelontorkan sejumlah uang tunai bagi para elit komunitas ini, karena
mereka tahu persis bahwa komunitas Bali pada umumnya (termasuk Bali
Nusa) massanya dapat diarahkan oleh elit-elit (sesepuh atau tokoh
masyarakat) dengan mengusung identitas Bali Hindu. Bila dibandingkan
dengan komunitas etnis lain, komunitas Bali merupakan komunitas etnis
yang paling mudah dikumpulkan atau dikerahkan. Artinya, tanpa
dikomando komunitas ini pasti akan berkumpul secara massal di suatu
tempat tertentu dalam sebuah ritual atau upacara adat-keagamaan. Pada
even ini, elit dari komunitas Bali bersama-sama dengan para calon bupati
dan legislatif menyisipkan agenda kampanyenya masing-masing di sela-
sela kegiatan adat-keagamaan tersebut. Supaya tidak menimbulkan kesan
money politics, para calon ini biasanya memberikan sejumlah dana tunai
atau pun fasilitas lainnya untuk melestarikan kebudayaan Bali, baik berupa
sumbangan tunai untuk pura atau pun menyediakan fasilitas tertentu untuk
kelancaran sebuah upacara atau ritual yang melibatkan massa yang besar,
seperti mobil bak terbuka, snack, sound system, dan lain-lain. Menariknya,
para calon ini ketika sedang berkampanye di dalam komunitas ini selalu
mengenakan busana adat Bali, dan ikut serta dalam upacara yang diadakan,
di mana sebagai penghargaan atas kehadiran para calon ini disuguhkan
berupa musik dan tarian Bali212
. Contoh lainnya adalah dengan
212
Ketika mengadakan penelitian di bulan Maret 2010, penulis mendapatkan
beberapa kesempatan mengikuti beberapa upacara penting yang melibatkan
massa: pertama, massa skala kecamatan dan kabupaten; kedua, massa skala banjar
(dusun). Momen ini digunakan oleh beberapa calon bupati yang berbeda untuk
mengikuti upacara tersebut. Alasannya adalah untuk silaturahmi untuk
mempererat persaudaraan sebagai masyarakat Lampung. Namun, tanpa perlu
disebutkan oleh para calon bupati, masyarakat sudah mengetahui bahwa calon
tersebut sebenarnya sedang berkampanye. Masyarakat yang sudah jenuh dan
bosan dengan model kampanye seperti ini, biasanya acuh tak acuh, dan tetap fokus
pada kegiatan upacara. Seandainya mereka tetap ada di tempat upacara saat calon
bupati mengucapkan kata sambutan, itu lebih disebabkan karena kata sambutan itu
diucapkan sebelum upacara diselenggarakan, di mana massa telah berkumpul
semua. Ketika upacara selesai yang ditutup dengan serah terima bantuan dari para
calon, massa tetap hadir dan menyaksikan momen tersebut dikarenakan telah
mendapatkan himbauan dari para sesepuh dan pemuka agamanya. Ini merupakan
206
membagikan Kalender Bali yang dibagian bawahnya terdapat foto dari
calon bupati, di mana biasanya dibagian bawah kalender berisikan sponsor
dari perusahaan tertentu. Tujuannya sangat jelas, untuk menarik simpati
dari para pemilihnya yang berasal dari komunitas Bali Hindu. Massa pasti
akan berkumpul saat diadakan upacara, karena itu para calon
memanfaatkannya dengan mengikuti upacara tersebut dengan
menggunakan busana adat Bali. Secara ekonomi, para calon ini sudah
mendapatkan keuntungan, karena tidak perlu menggunakan uang ekstra
untuk mengumpulkan massa, seperti yang sering mereka keluarkan ketika
menggumpulkan massa dari kalangan etnis dan komunitas lainnya di
massa kampanye. Saat pemilihan langsung sedang hangat-hangatnya, baik
pemilihan legislatif maupun kepala daerah, metode ini cukup menarik
simpati komunitas Bali Nusa. Namun, simpati tersebut tidak berlangsung
lama, karena kesadaran politik mereka semakin menguat. Oleh karena itu,
setiap kali memberikan sambutan kepada setiap calon legislatif atau pun
bupati yang berkampanye di komunitas ini, salah seorang sepuh yang
selalu memberikan sambutan selalu berkata:
“ Saya sebagai perwakilan orang Bali di sini
mendukung saudara “X” sebagai “Z”, tapi biarlah
masyarakat di sini yang memilih siapa yang terbaik
dari setiap calon.”
Kemudian, sebagai respon atas “money politics” yang dilancarkan kepada
setiap calon, salah seorang sepuh menjelaskan kepada penulis:
“Jika mereka ingin menyumbang (memberikan
uang) untuk (kas, renovasi atau pembangunan) pura,
ya, kita terima. Yang penting (saya) sebagai
perwakilan (orang Bali Nusa di Banjar X) sudah
sebuah strategi dari event organizer yang dimainkan oleh para elit politik yang ada
di komunitas tersebut agar jumlah massa tidak berkurang. Sebelum mengikuti
upacara, para calon ini biasanya sudah dibekali oleh para elit komuntias ini dengan
busana adat Bali dan dilatih selama beberapa menit agar bisa mengucapkan
dengan baik dan benar “Om Swastiastu” dan “Om Shanti Shanti Shanti”.
Terkadang ini menjadi bahan tertawaan bagi massa begitu mereka mendengar
pengucapan salam tersebut dalam pelafalan yang salah.
207
menyatakan posisi netral (seperti pernyataan di
atas).”
Jadi, periode ini (pasca jatuhnya Suharto) disebut sebagai masa “politik
identitas” karena pada masa ini mereka sudah menggunakan identitasnya –
melalui simbol etnisitas, budaya dan agama – untuk kepentingan politik
praktis sebagai respon atas perubahan politik di era reformasi, dan sebagai
upaya menunjukkan eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu – ingin
mempunyai wakilnya di legislatif – di tengah-tengah dominasi putra
daerah. Di era reformasi mereka mendapatkan kesempatan yang luas untuk
terjun ke dunia politik. Sebuah kesempatan yang tidak mereka dapatkan
dengan mudah di masa Suharto. Jika di masa Suharto, Balinuraga menjadi
“kuning” (Golkar), maka di era reformasi menjadi lebih berwarna dengan
warna dominan: “kuning” (Golkar), “merah” (PDI-P), dan “biru”
(Demokrat). Seperti mayoritas etnis Bali lainnya, komunitas Balinuraga
lebih condong ke partai politik yang berhaluan nasionalis. Partai politik
yang berhaluan agama (Islam) bukan menjadi pilihan mereka.
Gambar 14. Salah Satu Kantor Pimpinan Partai Politik Tingkat Kecamatan
di Balinuraga
(sumber: Yulianto, 2009)
208
Gambar 15. Kalender Bali di Lampung
(kalender pertama sebelah kiri: Kalender Bali biasa dengan pesan sponsor di
bawahnya; kelender kedua sebelah kanan: Kalender Bali di masa kampanye
dengan pesan sponsor calon kepala daerah).
(Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)
209
Gambar 16. Pesan Sponsor di Bawah Kalender Bali
(gambar pertama atas: pesan sponsor perusahaan swasta di Lampung di bagian
bawah Kalender Bali; gambar kedua bawah: pesan sponsor calon kepala daerah
Lampung Selatan di bagian bawah Kalender Bali).
Sumber: Yulianto, 2009 & 2010.
Sebuah realitas baru di era reformasi yang terjadi di komunitas
Balinuraga bersama-sama komunitas Bali Hindu lainnya adalah terjadinya
penguatan identitas etnis dan agama. Penguatan identitas ini, yang disertai
dengan keterlibatan aktif (elit-elit komunitas Bali Hindu yang tersebar di
Lampung Selatan, termasuk di Balinuraga) dalam politik praktis
merupakan sebuah respon atas kekhawatiran yang dapat mengancam
eksistensi identitas mereka, karena menguatnya politik berbasis identitas
etnis yang mengusung putra daerah dalam memperebutkan kekuasaan di
tingkat lokal. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah elit-elit
ini bisa mendapatkan suara yang tinggi di dalam komunitasnya sendiri,
yang menjadi basis utama perolehan suara bagi elit yang ingin
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tingkat kabupaten. Jika
memperhatikan pertentangan identitas warga yang terjadi di dalam
komunitas ini, maka bukan hal yang mengejutkan bila elit yang
mencalonkan diri menjadi anggota legislatif mendapatkan suara yang
minor di dalam komunitasnya. Penulis mencermati adanya win-win-
solution untuk mengatasi pertentangan identitas warga. Artinya, mereka
lebih memilih calon legislatif dari komunitas lainnya (non-Bali), atau
warga lain dari Kampung Bali tetangga yang berasal dari warga yang
210
sama. Opsi pertama, dengan memilih calon legislatif non-Bali sepertinya
menjadi opsi yang utama bagi mereka, supaya sentimen antar warga itu
tidak terlalu tampak di permukaan. Dengan kata lain, lebih baik memilih
orang lain, daripada memilih orang sendiri. Hal ini disebabkan, calon
legislatif yang berasal dari komunitas Bali, cara paling mudah dan pasti
untuk memperoleh suara adalah dengan mengambil suara dari warga-nya.
Hal ini juga dilakukan oleh warga lain yang mencalonkan diri sebagai
anggota legislatif. Tentu, dalam kampanyenya sentimen atau isu identitas
warga (leluhur) akan digunakan sebagai media kampanye untuk
memperoleh suara. Jika ada masing-masing warga mempunyai calon
sendiri, maka pertentangan ini menjadi semakin tampak saat kampanye –
sistem multipartai memungkin setiap warga untuk mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif, dan menjadi anggota legislatif sebagai salah satu
alternatif pekerjaan yang menjanjikan. Oleh karena itu, lebih baik memilih
orang lain (non-Bali) menjadi alternatif yang lebih baik, daripada akhirnya
menimbulkan perasaan tidak enak antara satu dengan yang lainnya. Bagi
anggota komunitas yang masih konservatif, mereka pasti akan memilih
calon yang berasal dari warga-nya sendiri, daripada calon dari warga lain.
Ada kontrakdiksi antara kekhawatiran menguatnya identitas putra daerah
dengan keterwakilan mereka di legislatif – hal ini pula yang menyebabkan
“pilih orang lain” daripada “orang sendiri” dan jumlah suara yang minor di
dalam komunitasnya sendiri. Hal ini disebabkan adanya pandangan yang
moderat dari sebagian masyarakat Balinuraga (dan juga pragmatis) bahwa
dengan memilih calon legislatif atau pun calon kepala daerah yang berasal
dari putra daerah sebenarnya identitas mereka sudah terwakilkan melalui
calon itu ketika terpilih. Kalangan moderat ini berpandangan agar putra
daerah diberikan kesempatan untuk memimpin selama masih memberikan
perhatian yang serius masyarakat Bali Lampung sebagai bagian dari
masyarakat Lampung. Selain itu, mereka menyadari posisinya sebagai
minoritas dan pendatang, karenanya masalah jika harus mengalah asalkan
identitas mereka tidak diganggu atau disakiti. Hubungan putra daerah dan
masyarakat Bali (melalui elit-elitnya) terbilang baik. Keduanya saling
menjaga hubungan baik agar tidak terjadi konflik yang dulu pernah terjadi
di antara kedua etnis ini. Bagi putra daerah yang mendapatkan dukungan
suara paling banyak dari masyarakat Bali menjadikannya memiliki
211
kepercayaan diri ekstra, dan biasanya masyarakat Bali memilih salah
seorang calon dalam jumlah yang cukup besar (kompak), namun juga
menjadi lebih berhati-hati agar jangan sampai janjinya selama kampanye
untuk masyarakat Bali tidak dipenuhi – dukungan suara yang besar juga
merupakan sebuah ancaman untuk mewakilkan komunitas mereka, agar
jangan mempermainkan kepercayaan mereka.
Gambar 17. Keterlibatan Bupati Incumbent (Putra Daerah) dalam Upacara
Melasti sebagai Media Kampanye Kepala Daerah
(gambar pertama atas: ada spanduk bupati incumbent; gambar kedua bawah: para
sesepuh Bali, perwakilan PHDI dan Depag, bupati incumbent dan staffnya).
(Sumber: Yulianto, 2010)
212
Di bagian sebelumnya telah diuraikan bagaimana komunitas ini
melakukan proses peniruan terhadap pusat atau Bali sebagai patron
identitasnya. Artinya, apa yang saat ini menjadi tren di Bali juga menjadi
tren bagi komunitas Bali yang ada di luar Bali. Contoh kasus yang sangat
relevan untuk diuraikan di sini adalah wacana dan implementasi Ajeg Bali.
Berkembang luasnya wacana Ajeg Bali di pusat ternyata mendapatkan
perhatian yang serius bagi komunitas Bali di Lampung Selatan, di mana
wacana dan implementasinya dilakukan secara bersama-sama antara
Balinuraga dan Kampung Bali lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa
kekhawatiran akan tergerusnya identitas kebalian tidak hanya menjadi
milik masyarakat Bali yang diwakili oleh elit-elitnya, tapi juga menjadi
kekhawatiran masyarakat Bali di luar Bali, dalam kasus ini masyarakat
Bali di Lampung Selatan yang diwakili oleh elit-elitnya yang ada di setiap
komunitas yang memiliki massa besar – Balinuraga merupakan salah satu
komunitas Bali Hindu dengan jumlah massa yang besar, karena satu desa
ini mayoritas orang Bali Hindu (Bali Nusa) dengan memiliki tujuh banjar
atau dusun. Wacana Ajeg Bali bagi masyarakat Bali di perantauan ini
dinilai sangat relevan karena kedudukannya sebagai minoritas, komunitas
mereka terpecah-pecah dan tersebar di Kampung Bali-Kampung Bali yang
ada di beberapa kecamatan di Lampung Selatan. Kecuali Balinuraga yang
level komunitasnya merupakan desa, Kampung Bali lainnya – karena
tersebar di berbagai desa dan kecamatan, kedudukan komunitasnya yang
eksklusif ini rata-rata hanya selevel banjar atau dusun.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana wacana Ajeg
Bali ini diimplementasikan oleh komunitas Bali Hindu perantauan di
Lampung Selatan yang merupakan sebuah adaptasi dari implementasi Ajeg
Bali yang terjadi di Bali? Sebelum menjawab adaptasi implementasi Ajeg
Bali di Lampung Selatan, penulis akan uraikan secara singkat lahirnya
“Pecalang” (polisi adat / traditional police) yang berkembang di Bali
sebagai salah satu implementasi dari wacana Ajeg Bali. Di Bali sendiri,
kehadiran pecalang mulai menunjukkan eksistensi dan perannya sebagai
satuan pasukan polisi adat – seperti menggantikan peran polisi negara yang
dianggap absen – yang diakui oleh pemerintah daerah sejak diterbikannya
Perda No. 3/2001, bahwa pecalang diakui sebagai satuan tugas keamanan
213
tradisional, khususnya untuk keperluan adat dan keagamaan213
. Setelah
sebelumnya di bulan Juli 2000 departemen kebudayaan propinsi
menyelenggarakan sebuah seminar untuk menciptakan keseragaman bagi
satuan polisi adat tersebut, dan di tahun 2002 sebuah booklet diterbitkan
bekerja sama dengan Parisada yang menjelaskan tugas-tugas, fungsi-
fungsi, dan seragam pecalang214
. Untuk menjawab pertanyaan di atas,
penulis akan memberikan contoh kasus dari lahirnya pecalang atau satuan
polisi adat dalam komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Penulis
sangat terkejut ketika menyaksikan satuan polisi adat atau pecalang
menjalankan tugasnya pada saat diselenggarakan sebuah acara formal
(Musyawarah Daerah / Musda) yang diadakan sebuah organisasi
kemasyarakatan Paguyuban Bali Peduli Lampung Selatan (Pargali)
sembari diadakan sebuah acara perkenalan DANDIM (Komandan
Komando Distrik Militer) baru di Lampung Selatan dan sambutan dari
perwakilan Bupati Lampung Selatan (Oktober 2009); dan saat
diselenggarakannya Upacara Melasti di sebuah pantai terkenal di Lampung
Selatan (Pantai Merak Belantung) Maret 2010. Ketika acara tersebut
berlangsung, pecalang menjalankan tugasnya sebagai satuan keamanan
untuk keperluan adat dan agama. Karena itu, ketika acara ini berlangsung,
penulis tidak menemukan hansip (pertahanan sipil) atau pun polisi. Peran
polisi yang penulis temukan waktu itu adalah hanya mengatur lalu lintas
ketika iring-iringan massa hendak menuju ke pantai untuk melaksanakan
Upacara Melasti, sisanya diambil-alih oleh pecalang, seperti menjaga
keamanan di lokasi acara, mengatur parkir, sampai menjual dan memungut
tiket masuk ke areal upacara yang sebenarnya merupakan areal wisata.
Sama seperti pecalang di Bali, pecalang di Lampung Selatan ini memiliki
seragam sebagai identitasnya, bahwa mereka resmi dan diakui
keberadaannya sebagai satuan pengamanan untuk keperluan adat dan
keagamaan yang secara kelembagaan formal berada di bawah pengawasan
PHDI dan berinduk di bawah organisasi kemasyarakat Pargali Lampung
213
Lihat: Schulte Nordholt 2007, Bali an Open Fortress 1995-2005, Singapore:
Nus Press. dan Schulte Nordholt 2007 “Bali: Sebuah Benteng Terbuka”dalam
politik lokal di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta. 214
Op.cit. Schulte Nordholt 2007.
214
Selatan. Sama seperti pecalang di Bali, pecalang di Lampung Selatan
menggunakan sebuah jaket yang seragam (sejenis rompi), destar, udeng,
dan handy-talky, di mana terdapat beberapa penyesuaian dalam seragam
yang digunakan – dengan menggunakan seragam resmi, udeng, dan destar
sebenarnya mereka sudah menunjukkan bahwa mereka adalah pecalang.
Pembedanya terletak pada logo yang terletak di sebuah jaket safari
(motifnya loreng-loreng seperti milik militer) yang menandakan bahwa
mereka ada “Pecalang Lampung”, yaitu dengan menempatkan logo khas
Lampung “Siger” di atas logo “Swastika” dan nama organisasi di mana
pecalang itu bernaung “Pargali Lam-Sel”. Logo “Siger” yang berada
paling atas di sebelah kiri seragam menunjukkan identitas “Lampung”;
logo “Swastika” menunjukkan identitas sebagai “Bali-Hindu”; tulisan
“Pargali Lam-Sel” yang berada di bawah logo “Swastika” menunjukkan
identitas organisasi kemasyarakatan di mana pecalang itu bernaung;
sedangkan di sebelah kanan terdapat tulisan “PECALANG” yang
menunjukkan identitasnya sebagai “pecalang”. Mereka yang direkrut
menjadi pecalang harus merupakan seorang Bali Hindu yang bermungkim
di Lampung Selatan. Biasanya yang direkrut menjadi pecalang adalah
anak-anak muda atau tokoh muda yang memiliki pengaruh di dalam
komunitasnya (di antara mereka terdapat tokoh muda dari Balinuraga), di
mana mereka memiliki fisik yang bagus (cukup kekar), wajah yang
meyakinkan (ada kesan garang), dan berani215
.
215
Bisa dipahami bila perekrutan tokoh pemuda menjadi pecalang sebagai upaya
mengalihkan mereka dari kegiatan yang negatif, seperti premanisme. Dengan
diangkat menjadi pecalang, sebagai satuan pengamanan upacara adat dan
keagamaan, memberikan mereka beban moral tersendiri untuk melakukan hal-hal
yang aneh. Karena identitas yang melekat dalam pecalang adalah sebagai penjaga
identitas adat dan agama. Namun, bukan tidak mungkin (dan bila nanti), hadirnya
pecalang ini berpotensi menimbulkan kekerasan fisik jika terjadi kesalahpahaman
yang menyinggung identitas adat dan agama mereka. Sebagai polisi adat yang
resmi, tentu mereka akan langsung turun tangan (secara fisik) jika terjadi
kesalahpahaman tersebut.
215
Gambar 18. Pecalang Bertugas Menjaga Keamanan Upacara Melasti dan
Seragam Resmi Pecalang
(sumber: Yulianto 2010).
Hadirnya pecalang di komunitas Bali Hindu Lampung Selatan
tidak dapat dilepaskan dari berdirinya organisasi kemasyarakatan Pargali
(Paguyuban Bali Peduli) Lampung Selatan pada 10 April 2004216
. Melalui
216
Huruf “R” dalam singkatan PA-R-GALI (Paguyuban Bali Peduli) Lampung
Selatan merupakan bentuk terima kasih kepada Bupati Lampung Selatan – yang
huruf terakhir dalam namanya adalah huruf “r” – atas partisipasi dan dukungannya
(dorongan moril dan pendanaan) hingga terbentuknya organisasi ini. Sehingga,
Paguyuban Bali Peduli yang tadinya disingkat PAGALI, disisipkan huruf “R”
menjadi PARGALI. Meskipun dalam anggaran dasar menyebutkan bahwa
organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik praktis atau pun berafiliasi dengan
partai politik tertentu, namun patut diduga bahwa bupati tersebut memanfaatkan
kesempatannya sebagai incumbent untuk mempersiapkan agenda politik yang
216
organisasi formal ini, Pargali, pecalang versi Bali Lampung dicetuskan.
Artinya, setelah keberadaan pecalang di Bali mulai eksis dan mapan,
menurut pandangan mereka sejauh ini tidak ada masalah yang menganggu
dengan kehadiran pecalang di Bali, maka berdasarkan situasi dan kondisi
perkembangan umat (Bali Hindu di Lampung Selatan) kehadiran pecalang
juga dibutuhkan sebagai satuan pengamanan adat dan keagamaan (polisi
adat). Mereka merasa perlu memiliki pecalang karena komunitas Bali
Hindu di Lampung Selatan sudah besar. Dalam penyelenggaran upacara
adat dan keagamaan yang bersifat massal, tentu tidak dapat sepenuhnya
dapat diatasi oleh polisi setempat, karenanya dibutuhkan satuan
pengamanan (pecalang) yang menggantikan peranan polisi. Selain
dikarenakan polisi setempat bukan merupakan orang Bali yang tentunya
tidak mengerti tentang prosesi upacara adat dan keagamaan yang berlaku
pada orang Bali. Kehadiran pecalang merupakan bentuk bagaimana
mereka melindungi identitasnya sebagai Bali Hindu, yang idealnya harus
dilindungi oleh satuan pengamanan adat sendiri. Sampai saat ini, jumlah
pecalang mencapai puluhan, dan bukan tidak mungkin jumlahnya akan
terus bertambah seiring dengan kebutuhan umat. Namun, pecalang bukan
merupakan sebuah profesi atau pekerjaan tetap, tapi memiliki prestise atau
status sosial yang tinggi di kalangan komunitas mereka217
. Tenaga mereka
dibutuhkan saat diselenggarakan upacara formal adat dan keagamaan yang
lebih besar: menarik simpati orang Bali di Lampung Selatan sebagai bekal
pencalonannya sebagai gubernur Lampung tahun 2008 (empat tahun setelah
organisasi ini terbentuk). Sebagai politisi berpengalaman, bupati ini mengetahui
bahwa dengan dibentuknya organisasi kemasyarakatan yang mewadahi orang Bali
di Lampung Selatan, maka diharapkan jumlah suara orang Bali di Lampung
Selatan dapat dialihkan ke bupati saat pencalonan dirinya menjadi gubernur –
keberadaan elit-elit Bali Lampung Selatan dipercayai dapat memobilisir suara,
karena pengaruhnya di dalam komunitas Bali. Bagi elit-elit Bali Lampung Selatan
pun, kesempatan ini dimanfaatkan untuk meningkatkan posisi tawarnya secara
politik agar dapat menjaga dan melestarikan eksistensi identitasnya –
memfasilitasi dan tidak mempersulit kegiatan atau upacara adat dan keagamaan
yang bersifat massal – tidak hanya kepada incumbent, tapi juga (nantinya) kepada
calon-calon kepala daerah lain dalam pemilihan langsung berikutnya. 217
Bagi yang masih single (belum menikah) menjadi pecalang dapat menarik
simpati lawan jenisnya. Ini dikarenakan sosok seorang pecalang sebagai pria yang
jantan, memiliki kesan garang, dan berani.
217
melibatkan massa, di samping acara formal yang bersifat kelembagaan di
mana menghadirkan pejabat-pejabat daerah di lingkungan kabupaten dan
propinsi yang bekerja sama dengan PHDI. Jika dilihat dari posisi pecalang
sebagai satgas (satuan tugas) dari organisasi kemasyarakatan Pargali
Lampung Selatan, sebenarnya pecalang menyerupai satgas-satgas seperti
organisasi Pemuda Pancasila yang cukup populer di Lampung – sebagai
organisasi pemuda yang sangat lekat dengan premanisme. Pembedanya
hanya lingkup tugasnya yang terbatas pada komunitas Bali Hindu
Lampung Selatan. Dari sisi Pargali Lampung Selatan sendiri, menarik
untuk dicermati mengenai perannya sebagai organisasi kemasyarakatan
yang non-partisan (bukan partai). Dalam anggaran dasarnya dengan jelas
disebutkan bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik praktis
dan tidak bergabung dengan partai apa pun. Tapi dalam kenyataannya,
sebagai sebuah organisasi masyarakat bagi komunitas Bali Hindu,
organisasi ini memiliki posisi tawar yang sangat kuat di arena politik
praktis. Alasan utamanya adalah organisasi ini memiliki massa yang jelas
dan kompak, yaitu komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Meskipun
di dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas posisi mereka
yang tidak berpolitik praktis, namun dimungkinkan (atau terjadi secara
diam-diam) deal-deal politik dengan partai politik tertentu atau calon-
calon legislatif / kepala daerah tertentu yang dilakukan oleh elit organisasi
ini. Pemilihan legislatif dan kepala daerah yang diselenggarakan secara
langsung, dipastikan akan menjadikan organisasi kemasyarakatan ini
sebagai salah satu rujukan untuk menghimpun suara dari kalangan
komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Bukan tidak mungkin, jika elit
dari organisasi ini memerima kunjungan dari para calon legislatif atau
kepala daerah, atau mengunjungi para calon dengan mengajuka sebuah
tawaran politik dengan “modal politik” yang dimiliki (jumlah suara atau
massa pemilih), di mana dalam setiap pertemuan terdapat sejumlah dana
segar agar organisasi ini menggunakan otoritasnya untuk mengarahkan
komunitasnya kepada salah satu calon tertentu. Kehadiran organisasi tidak
serta merta mendapatkan tanggapan positif dari anggota komunitasnya,
meskipun bagi anggota komunitas terbuka kesempatan yang luas untuk
mejadi anggota organisasi ini. Serangkaian pemilihan umum sejak tahun
1999 yang melibatkan elit-elit lokal, membuat anggota komunitas Bali
218
Hindu jenuh dengan urusan politik. Meskipun mereka sudah mendapatkan
informasi bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik, tapi
masyarakat yang sudah mulai “melek politik” tahu bahwa ujung-ujung-nya
akan ke poltik dan bermuara pada uang. Masyarakat juga mengetahui ada
dan siapa dari elit yang menduduki posisi strategis di dalam organisasi ini,
termasuk berasal dari warga apa. Karenanya, untuk di lingkungan
masyarakat Balinuraga, kehadiran organisasi ini dianggap biasa-biasa saja,
terutama setelah di pemilihan 2009 yang menjadi ketua dari organisasi ini
berasal dari Balinuraga yang sepak terjangnya di dunia politik sudah
mereka ketahui dengan jelas: sebagai calon legislatif yang pernah
mengalami kegagalan dua kali, dan praktek-praktek politiknya yang kotor.
Masyarakat pun mengetahui bahwa di bawah kepemimpinan yang baru,
berdasarkan track record politik praktisnya, bahwa organisasi ini akan
dijadikan sebagai kendaraan politiknya untuk menghimpun massa pada
pemilihan legislatif berikutnya. Sebagai catatan, dalam komunitas
Balinuraga, semua informasi atau pun gosip mengenai elit-elitnya sudah
menjadi bahan pembicaraan. Karena itu, jika elit tersebut melakukan
kesalahan, maka ia akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat, dan
tentu konsekuensinya, ia tidak akan dipilih jika mencalonkan diri sebagai
kepala desa, legislatif, atau pun mengusung calon legislatif atau kepala
daerah tertentu agar dipilih oleh masyarakat dengan mengatas-namakan
komunitas Balinuraga. Sentimen ini akan semakin menguat apabila elit itu
berasal dari warga tertentu yang mana memiliki pertentangan dengan
warga lain. Ini yang menyebabkan win-win-solution sering digunakan oleh
mereka: mengalihkan suara ke orang lain di luar komunitasnya, memilih
calon dari warga lain yang posisinya netral, atau tidak memilih sama
sekali. PDHI sebagai payung dari organisasi ini, sekali lagi, tetap
memposisikan dirinya dalam posisi yang netral, seperti yang disampaikan
oleh pejabat PHDI ketika memberikan sambutan dalam pembukaan Musda
Pargali Lamsel (termasuk ikut serta dalam mengawasi proses pemilihan
ketua yang baru dalam proses pemilihan melalui voting), bahwa PHDI
merupakan sebuah organisasi yang mengurusi permasalahan umat Hindu
Dharma (komunitas Hindu Bali di Lampung Selatan), dan karenanya tidak
ikut terlibat (tapi hanya sebagai penengah/pengawas/wasit) dalam urusan
219
praktis organisasi masyarakat ini, selama memberikan manfaat bagi
kehidupan umat.
Sebagai catatan penutup, masyarakat Balinuraga (dan komunitas
Bali Hindu lainnya), secara rutin mengamati fenomena-fenomena umum
yang terjadi di Bali, khususnya wacana Ajeg Bali. Bagi mereka, Ajeg Bali
bukan sekadar “membuat sama” seperti Ajeg Bali di Bali, tapi lebih pada
realitas yang berkembang dalam komunitas mereka dan relasinya dengan
komunitas lain sebagai minoritas etnis-agama dan pendatang. Bagi mereka
ancaman eksternal (seperti globalisasi, konsumerisme, hedonisme, dan
lain-lain) juga mereka alami dan rasakan dalam bentuk yang berbeda.
Sebagai akibat dari respon terhadap ancaman eksternal tersebut terhadap
eksistensi identitas mereka adalah munculnya kelompok yang “modernis”
– yang berpandangan bahwa identitas kebaliannya harus fleksibel dengan
perkembangan zaman – dan konservatif – yang berpandangan bahwa
ketradisionalan Bali harus diperkuat untuk menghalangi ancaman
eksternal.
Faktor-Faktor Pembentuk Identitas
Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bagian (sub-bab)
sebelumnya diketahui bahwa faktor patronase yang kuat terhadap pusat
(Bali) dan faktor otoritas (kekuasaan) sebagai dua faktor dominan dalam
pembentukan identitas mereka. Faktor lain, seperti ekonomi, menjadi
signifikan pengaruhnya dalam pembentukkan identitas sebagai instrumen
yang paling ideal dan praktis di masa sekarang untuk memanifestasikan
kekuatan dan eksistensi identitasnya, yaitu identitas warga (klan, dadia,
soroh) – dalam konteks yang lebih luas merupakan manifestasi identitas
mereka sebagai jaba-wangsa (non-bangsawan, orang luar puri, atau sudra
wangsa) yang sukses (powerfull) secara ekonomi di luar Bali218
.
218
Untuk menghindari kesalahpahaman – seolah-olah menilai komunitas Bali
lebih kaya dan sukses daripada komunitas lainnya – indikator yang penulis
gunakan adalah berdasarkan “kesuksesan” menurut versi mereka (yang sebagian
besar sudah berhasil mereka penuhi). Jadi, penulis tidak menggunakan indikator
“kesuksesan” yang bersifat kapitalistik (kepemilikan modal-modal fisik atau pun
uang tunai). Kriteria “kesuksesan” di level keluarga inti berdasarkan versi mereka
adalah berhasil membangun pura keluarga (kahyangan tiga di rumah / rong telu)
220
Faktor Patronase terhadap Pusat: Identitas Warga
(Kawitan)
Salah satu hal yang (paling) ditakutkan etnis Bali setelah berada di
luar Bali, berdasarkan kasus komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga,
adalah hilangnya identitas mereka sebagai Bali Hindu, lebih spesifik,
hilangnya identitas leluhurnya yang disebut warga (klan, soroh), di mana
ini menjadi jati diri mereka sebagai seorang Bali Hindu. Ketakutan ini
merupakan cerminan dari kuatnya ikatan kekerabatan berdasarkan garis
dan memiliki rumah yang permanen. Ketika keduanya telah terpenuhi, maka
mereka dapat dikatakan telah berhasil melepaskan diri dari ketergantungan
terhadap orang tuanya (sudah mandiri). Jika memakai parameter kesuksesan
kapitalistik, tentunya kedua ini tidak cukup sebagai indikator kesusksesan di level
keluarga inti, karena selain kedua bangunan ini, mereka tentunya harus memiliki
kendaraan bermotor (khususnya roda empat), barang elektronik, bangunan pura
keluarga dan rumah yang luas, dan lain-lain. kriteria “kesuksesan” di level warga
(klan, soroh) adalah bagaimana anggota-anggota warga “A” – yang terdiri dari
keluarga inti dari warga “A” – berhasil membangun pura kawitan yang apik
(besar, megah, dan artistik) di dalam sebuah griya (banjar), di mana pura kawitan
tersebut dibangun. Kriteria “kesuksesan” di level adat (desa) adalah berhasil
membangun pura Kahyangan tiga – sebagai perekat komunitas adat-keagamaan
komunitas Balinuraga – yang juga tidak kalah apik-nya, di mana pura ini
merupakan milik dari warga-warga yang menjadi kesatuan adat masyarakat
Balinuraga. Ditambah dengan bangunan-bangunan lain yang artistik yang menjadi
simbol komunitas ini seperti “tugu” yang terletak di tengah desa sebagai sentral
(titik tengah) desa itu, bale desa, pura-pura di areal pertanian yang mana dalam
waktu tertentu diselenggarakan upacara ruwatan hasil panen. Garis besar atau poin
utama dari kriteria kesuksesan versi mereka adalah bebas dari ketergantungan
ekonomi dari pihak lain (termasuk keluarga besar), atau mandiri, dan berhasil
memenuhi kewajiban adat-keagamaan yang bersifat ajeg, khususnya ngaben
(karena menghabiskan biaya yang besar, dan mengandung prestise dalam
penyelenggaraannya yang bersifat besar-besaran). Sebagai catatan, kriteria di atas
bersifat umum – seperti „standar kesuksesan minimum‟ versi mereka – dan bukan
berarti sebagian di antara mereka tidak memiliki kriteria kesuksesan seperti yang
umum digunakan dalam masyarakat industri seperti: tanah pertanian yang luas
(minimal di atas dua hektar) yang tersebar di luar Desa Balinuraga, jumlah sapi
yang mencapai puluhan hingga ratusan, mobil bak terbuka (sejenis truk), mesin
dan tempat penggilingan padi, kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil),
peralatan elektronik (komputer desktop, laptop, handphone kamera merek
terkenal, dsb.), dan lain-lain. Akses terhadap pasar yang terbuka lebar,
memungkinkan mereka untuk memiliki barang-barang yang disebutkan di atas.
221
leluhur yang membentuk identitas warga tersebut. Ada sebuah kewajiban
yang bersifat adat-keagamaan yang harus mereka lakukan sebagai warga
tertentu yang memiliki perbedaan dengan warga yang lain. Jika mereka
tidak melakukannya (kewajiban sebagai seorang warga tertentu), maka
(dipercaya) ada semacam sangsi niskala yang akan menimpa mereka
(musibah atau malapetaka). Ketakutan berikutnya adalah jika mereka
keliru dalam mengidentifikasikan identitas warga-nya. Artinya, mereka
tidak dapat membuktikan secara jelas dan rinci apakah benar ia berasal
dari leluhur (warga) yang selama ini mereka anggap sebagai leluhurnya.
Hilang atau kelirunya identitas leluhur (kawitan) tentu akan menjadi
permasalahan besar di dalam komunitasnya sebagai Bali Hindu. Akibatnya
mereka dapat dianggap bukan sebagai orang Bali lagi, karena tidak
memiliki identitas leluhur yang jelas219
. Bagi masyarakat Bali, sudah
sewajarnya jika seseorang mengaku sebagai orang Bali dapat menyebutkan
identitas kawitan-nya. Berangkat dari titik inilah, yang menyebabkan
mengapa komunitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal butuh
untuk mengetahui identitas warga-nya dengan jelas. Mereka membutuhkan
patron (individu atau pun lembaga formal sebuah warga tertentu) untuk
melegitimasi keabsahan identitas warga mereka, di mana patron yang
mereka percayai itu ada di Bali sebagai pusat (patron) identitasnya.
Dikatakan “butuh” karena bermula dari ketakutan tersebut, bahwa akan
ada malapetaka atau musibah yang akan menimpa mereka. Untuk benar-
benar memastikan keabsahan identitas leluhurnya, mereka pun rela pulang-
pergi Lampung-Bali secara rutin, sampai legitimasi itu didapatkan.
Legitimasi secara resmi tentu mereka dapatkan dari organisasi formal
warga yang ada di Bali, meskipun sudah ada perwakilannya di Lampung,
tapi bagi mereka yang (legitimasi) di Bali tetap lebih penting. Namun,
219
Bila seorang Bali telah berpindah kepercayaan atau keyakinan, maka mereka
dianggap “bukan Bali” lagi. “Bukan Bali” yang dimaksudkan adalah “Bali
Hindu”, dari sudut pandang etnisitas individu yang berpindah keyakinan tersebut
tetap sebagai seorang etnis Bali, tapi bukan “Bali Hindu”. Hal ini disebabkan,
begitu individu tersebut pindah keyakinan (tidak menjadi Hindu), maka secara
otomatis kewajiban-kewajiban adat-agama yang selama ini menjadi atau melekat
pada identitas mereka (termasuk identitas leluhur) akan hilang, dan hilangnya
kewajiban-kewajiban tersebut menunjukkan bahwa individu tersebut “bukan Bali”
lagi.
222
sebelum mendapatkan legitimasi tersebut, mereka harus mendapatkan
bukti-bukti dari seseorang yang ahli dalam menelusuri dan menguasai
silsilah keluarga dari warga tertentu, atau meminta bantuan dari seorang
balian (paranormal / dukun Bali) untuk melacak kehidupan lampaunya
agar dapat diketahui sebenarnya ia berasal dari warga atau leluhur mana.
Bagi masyarakat awam (non-Bali) kegiatan pencarian identitas
leluhur terkesan berbelit dan merepotkan, tapi tidak bagi mereka
(komunitas Bali Nusa di Balinuraga). Ini merupakan sebagai sebuah
konsekuensi yang harus mereka emban sebagai seorang Bali, di mana
identitas warga menjadi sebuah sistem yang harus mereka ikuti aturan
mainnya. Terlebih setelah keberadaan mereka di luar Bali. Mereka tidak
ingin jika identitas leluhurnya dipertanyakan oleh pusat, dan mereka juga
ingin diakui dan bergabung dalam sebuah komunitas besar dari warga-nya.
Oleh karena itu, ketergantungan patronase terhadap pusat dalam proses
pembentukan identitasnya setelah berada di luar Bali tidak dapat mereka
lepaskan begitu saja, melainkan akan tetap melekat. Tidak hanya
menyangkut legitimasi identitas warga-nya, tapi juga menyangkut
kewajiban-kewajiban adat-keagamaan yang harus mereka penuhi sebagai
seorang warga tertentu. Meskipun mereka sudah memiliki pura kawitan di
Balinuraga, tapi pura kawitan yang ada di tanah leluhur tetap memiliki
kedudukan yang lebih istimewa, karena dari tanah inilah (Bali) leluhur
mereka berasal.
Faktor Kekuasaan atau Otoritas: Identitas Hindu Dharma
(Hindu Bali)
Faktor kekuasaan atau otoritas sebagai salah satu faktor
pembentukan identitas komunitas Bali Nusa – kurang lebih mirip dengan
faktor patronase terhadap pusat – karena pusat memiliki andil yang besar
dalam proses pembentukan identitas mereka. Letak perbedaannya, pusat
dalam arti kekuasan atau otoritas adalah negara (kekuasaan yang memiliki
otoritas untuk mengabsahkan identitas masyarakatnya), dan identitas yang
dibentuk dan diakui oleh negara melalui kekuasaannya adalah identitas
agama mereka sebagai Hindu Dharma (Hindu Bali). Seperti yang telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, pihak yang memiliki otoritas tersebut
adalah Kementrian Agama (Departemen Agama) sebagai kaki-tangan
223
negara, di mana pada masa Orde Lama kedudukan Hindu Bali sebagai
agama resmi yang diakui pemerintah (negara) masih dipertanyakan oleh
Kementrian Agama – berdasarkan konsep agama yang menjadi keyakinan
sejumlah elit yang menduduki posisi strategis (dengan kekuatan politik
keagamaan). Campur-tangan negara dalam pembentukan identitas
keagamaan mereka adalah bahwa untuk menjadi agama resmi, maka
mereka harus memenuhi beberapa kriteria wajib, seperti memiliki Tuhan
yang Esa (monoteis), nabi, kitab suci agama, pengakuan internasional, doa
harian, dan lain-lain.
Meskipun agama Hindu Bali sudah diakui secara resmi oleh
pemerintah di akhir tahun 1950-an, dan bersamaan dengan itu lahir
organisasi resmi keagamaan Hindu (PHDI) yang berada di bawah
Kementrian Agama, tidak serta-merta peran kekuasaan negara lepas begitu
saja dalam proses pembentukan identitas. Hal ini disebabkan PHDI
menjadi bagian dari dan berada di bawah otoritas Kementrian Agama
(Departemen Agama). Terutama setelah PHDI memberikan loyalitasnya
kepada Suharto (dan militernya) dan berafiliasi dengan Golkar, yang
memantapkan parisada sebagai organisasi semi-pemerintah. Peran yang
sangat signifikan yang dimainkan oleh PHDI – bisa disebut juga peran
kekuasaan karena kedudukan PHDI sebagai organisasi semi-pemerintah –
dalam pembentukan identitas komunitas Bali Nusa adalah pasca terjadinya
Gerakan 30 September 1965. Pada periode ini, mereka sangat
membutuhkan legitimasi identitas keagamaannya dari negara (melalui
PHDI sebagai perwakilan) bahwa mereka memiliki dan menjadi pemeluk
agama Hindu Dharma. Tujuannya pada masa itu memang sangat
pragmatis, menyelamatkan diri dari kematian, karena tanpa adanya
pengakuan dan legitimasi identitas keagamaan yang sah – bahwa mereka
orang yang beragama Hindu Dharma – maka keselamatan (nyawa) akan
terancam (mati). Jika tidak memiliki legitimasi sebagai Hindu Dharma,
maka mereka bisa dicap sebagai “orang yang tidak beragama”, di mana
“orang yang tidak beragama” diidentikkan atau dicap sebagai PKI, dan jika
sudah dicap sebagai PKI maka kesempatan untuk hidup sangat tipis sekali
– terutama setelah terjadi pembantaian massal di Bali pasca Gerakan 30
September 1965 terhadap orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Sampai
224
saat ini, PHDI masih menggunakan otoritasnya untuk membentuk dan
mematangkan identitas Hindu Dharma komunitas Bali Nusa di Balinuraga
dan komunitas Bali lainnya dalam wilayah Lampung Selatan (sebagai
proses pembentukan identitas Hindu Dharma yang berkelanjutan), dan
dengan kedudukan sebagai “patron” kelembagaan yang berasal dari pusat
– meskipun di dalam tubuh PHDI sendiri masih ada potensi konflik
internal antara golongan puri (triwangsa) dan non-puri (jabawangsa).
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan pendorong yang paling kuat yang
menyebabkan Bali Nusa bertransmigrasi ke Lampung Selatan. Tapi,
dorongan itu (bisa) hanya sebatas wacana saja tanpa aksi (bertransmigrasi)
di kalangan mereka seandainya Gunung Agung tidak meletus di tahun
1963. Jika tidak ada penyebab luar yang kuat, maka mereka tidak akan
bermigrasi. Faktor ekonomi di Nusa Penida yang mendorong mereka untuk
bertransmigrasi adalah kondisi alam yang tandus (sulit untuk bercocok
tanam), debit air terbatas, akses transportasi yang sulit menuju Bali karena
tergantung kondisi cuaca, jumlah penduduk yang mulai padat, dan lain-
lain. Meskipun Bali telah berstatus provinsi sejak tahun 1958, Nusa Penida
masih menjadi “pulau terasing” dengan segala hambatan alamnya. Situasi
ini melahirkan kebulatan tekad dari sebagian masyarakat Bali Nusa untuk
bertransmigrasi, karena jika masih tetap berada di Nusa Penida, kehidupan
mereka (secara ekonomi) tidak akan ada perkembangan yang berarti.
Kebulatan tekad ini yang menyebabkan mereka berani mengambil resiko
untuk bertransmigrasi swakarsa – tanpa sponsor pemerintah. Oleh karena
itu, setelah berhasil bertransmigrasi ke Lampung Selatan, fokus utama
mereka adalah bertani. Perinsip yang mereka pegang: “Jangan pulang ke
Nusa Penida, kalau belum ada hasil”.
Terkait dengan pembentukan identitas komunitas Bali Nusa
setelah berada di Lampung Selatan, yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana faktor ekonomi ini memiliki andil besar dalam proses
pembentukan identitas mereka? Ungkapan “tidak ada makan siang gratis”
bisa menjadi jawabannya. Faktor ekonomi di alinea atas adalah faktor
ekonomi sewaktu di tempat asal yang mendorong mereka bertransmigrasi,
tapi faktor ekonomi terkait dengan pembentukan identitas adalah seberapa
225
kuat kondisi ekonomi mereka agar dapat melegitimasikan identitas mereka
sebagai Bali Hindu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, patronase
terhadap pusat dalam pembentukan identitas mereka adalah harga mati,
jika identitas mereka ingin tetap eksis dan diakui sebagai bagian dari
komunitas Hindu Bali dalam skopa yang lebih luas. Perjalanan pulang-
pergi Lampung-Bali-Nusa Penida butuh biaya. Ada banyak kewajiban
rutin yang harus mereka penuhi di tanah leluhur untuk melanggengkan
identitasnya, termasuk untuk melegitimasikan keabsahan identitas leluhur
mereka. Konsekuensi adalah mereka harus bekerja keras dan sedikit
perhitungan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan adat-keagamaan
agar bisa menabung. Fungsi tabungan bagi mereka, tidak serta-merta
sebagai “re-investasi” untuk meningkatkan penghasilan dan modal, tapi
juga untuk memenuhi berbagai kewajiban adat-keagamaan yang dua-kali
lipat: di Lampung dan Bali. Bentuk tabungannya lebih bersifat fisik
daripada uang tunai, seperti tanah dan sapi (paling umum). Dari keduanya
hanya sapi yang lebih liquid, lebih mudah dicairkan menjadi uang tunai.
Sapi biasanya digunakan sebagai tabungan untuk pulang kampung,
ngaben, pembangunan dan renovasi pura, serta kewajiban adat-keagamaan
lainnya.
Jika hidup mereka setelah berada di Lampung masih tetap miskin
seperti di Nusa Penida, belum tentu para elit warga yang ada di Bali mau
datang ke Lampung untuk mendata ke-warga-annya. Kemapanan atau
keberhasilan pertanian mereka – yang meningkatkan perekonomiannya –
merupakan faktor utama dalam membentuk identitas mereka yang butuh
dilegitimasi oleh pusat, lebih dari itu, perekonomian yang kuat dapat
digunakan untuk mempertajam lagi eksistensi dan status sosial atas
identitasnya, terutama identitas leluhur (warga). Melalui ekonominya
mereka dapat membangun pura kawitan yang besar dan artistik, di mana
mengandung arti melaluinya citra dan kebesaran leluhurnya dapat
terangkat; begitu juga status sosial mereka akan terangkat sebagai
keturunan dari leluhur tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, warga-
warga yang ada di Balinuraga ini termasuk dalam golongan jabawangsa.
Sebuah golongan yang kurang istimewa berdasarkan sudut pandang
triwangsa (bangsawan puri). Kekuatan ekonomi yang dibangun dari
226
kumpulan warga-warga (jabawangsa) yang berada di luar Bali ini,
nantinya akan memberikan posisi tawar atas status sosial mereka di tingkat
pusat untuk melawan dominasi triwangsa. Donasi mereka kepada
kelompok warga-warga di Bali (pusat) – beserta golongan jabawangsa
lain (warga-warga) yang jumlahnya mendominasi Bali dan luar Bali –
menjadikan kekuatan ekonomi sebagai alat meningkatkan status sosial
mereka di tingkat pusat. Jika di tingkat pusat misi ini berhasil dieksekusi
dengan donasi mereka, maka efeknya akan terasa bagi mereka yang berada
di luar Bali – seperti menjadi kepuasan batin tersendiri. Sebuah misi
(perjuangan) yang sampai sekarang belum selesai di tingkat pusat.
Faktor Ancaman Eksternal
Di level komunitas, komunitas Bali Nusa dan komunitas Bali
Hindu lainnya, membentuk satu perkampungan (pemukiman) yang
eksklusif. Seperti kasus komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, satu desa
ini dengan tujuh banjar (dusun) mayoritas merupakan Bali Hindu yang
berasal dari Nusa Penida. Kampung Bali lainnya yang setingkat banjar
(dusun) tetap dibangun secara esklusif, meskipun mereka berada di tengah-
tengah desa yang mayoritas berasal dari (keluarga transmigrasn) Jawa. Itu
pun masih membawa identitas tempat asalnya, seperti Kampung Bali yang
merupakan transmigrasi atas sponsor pemerintah di tahun 1963 akibat
meletusnya Gunung Agung, yang disebut (kampung) Bali KoOGA
(Komando Operasi Gunung Agung) yang didominasi oleh orang Bali yang
berasal dari wilayah Bali Selatan, khususnya wilayah Tabanan. Di samping
itu, ada Kampung Bali yang anggotanya orang Bali dari berbagai tempat,
termasuk dari Nusa Penida, Bali Selatan, dan Bali Utara – biasanya yang
datang pasca Gerakan 30 September 1965, tepatnya setelah tahun-tahun
awal Orde Baru berdiri (1970-an).
Untuk alasan yang bersifat pragmatis pembangunan Kampung Bali
yang bersifat eksklusif dapat dipahami, yaitu untuk mempermudah
konsolidasi dan koordinasi massa saat penyelenggaraan upacara adat-
keagamaan. Biaya yang dikeluarkan menjadi lebih murah, dan proses
penyelenggaraan upacara menjadi lebih mudah karena sudah saling
memahami prosedurnya (berasal dari tempat yang sama sewaktu di Bali).
Selain itu, pemukiman yang eksklusif dapat menghindari kesalahpahaman
227
atau pun ketersinggungan dari komunitas lain yang mayoritas dengan
keyakinan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki
agenda upacara adat-keagamaan yang jumlahnya banyak. Jika itu
dilakukan di dalam pemukiman komunitasnya sendiri, maka dapat
menghindari perasaan terganggu dari komunitas lain. Bisa dibayangkan
bagaimana potensi konflik horisontal yang terjadi jika mereka membaur
dalam sebuah komunitas yang memiliki fanatisme agama yang berlebihan.
Selain itu, mereka dapat memelihara hewan ternak seperti babi dan hewan
peliharaan seperti anjing, di mana hewan-hewan ini bisa menimbulkan
perasaan tidak senang atau pun ketersinggungan bagi komunitas lain.
Karena itu untuk di wilayah Lampung, hanya di Kampung Bali masyarakat
bisa menemukan babi dan anjing dipelihara dengan bebas – babi dan
anjing hilir mudik dengan bebasnya tanpa adanya ancaman pembunuhan
terhadap hewan tersebut maupun ancaman fisik dan psikis terhadap
pemiliknya.
Poin yang sangat penting dari keberadaan Kampung Bali adalah
kedudukannya sebagai “benteng terakhir” identitas kebalian mereka
setelah berada di luar Bali. Sebuah benteng yang melindungi identitas
kebalian dari ancaman eksternal. Penulis menyebutkan “benteng terakhir”
karena mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat Lampung yang
menyebabkan mereka tidak mungkin pindah lagi ke Bali dengan
penduduknya yang sudah padat, dan yang paling penting, Kampung Bali
merupakan basis identitas kebalian mereka. Posisi mereka sebagai
minoritas yang hidup di tengah-tengah mayoritas (berbeda dengan posisi
mereka ketika masih di Bali), memaksa mereka dalam proses pembentukan
identitas kebaliannya identitas ini diperkuat. “Menjadi Lampung”
(menjadi orang Bali Lampung) adalah solusi bagi mereka agar bonding
komunitas berbasis identitas yang telah menguat ini, tidak menghalangi
proses bridging dengan komunitas lain yang berbeda. Faktor ini (ancaman
eksternal) yang menyebabkan mengapa mereka mengamini wacana Ajeg
Bali yang berkembang di pusat. Bagi mereka ancaman atas ketahanan
identitas Bali juga mereka rasakan di luar Bali. Berbeda dengan di Bali, di
luar Bali mereka minoritas dengan ancaman eksternal yang tentunya lebih
besar pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mereka membentuk
228
satuan pengamanan tradisional sendiri – pecalang – untuk upacara (dan
kepentingan formal / informal) adat dan keagamaan, di mana tujuan
lainnya pembentukan pecalang ini sebagai penjaga keberlangsungan dan
keamanan identitas kebalian mereka terhadap ancaman eksternal.
Perasaan terancam (eksternal) merupakan hal yang manusiawi,
karena posisinya sebagai minoritas yang kukuh mempertahakan identitas
asalnya. Pasca Bom Bali I dan II – bagaimana mereka menyaksikan sendiri
situasi Bali pasca ledakan bom saat pulang kampung – perasaan terancam
ini dirasakan semakin menguat. Benteng identitas – Kampung Bali – yang
dimiliki terlalu kecil bila harus menghadapi ancaman eksternal. Ancaman
eksternal tersebut dapat mereka ilustrasikan sebagai “Jawa” yang mereka
identikkan dengan “Islam”, dan mereka hidup di antaranya. Di Lampung
sendiri, terdapat kelompok-kelompok fudamentalis yang tersebar di
berbagai daerah, eksistensi mereka tampak di permukaan pasca jatuhnya
Suharto220
. Penampilan mereka yang khas – bercadar (wanita), bersorban
(laki-laki), berjenggot tebal dan panjang – membangkitkan perasaan
trauma tersendiri bila mereka melihat kembali peristiwa Bom Bali
(meskipun mereka tidak mengalami secara langsung). Perasaan sensitif,
sentimentil dan trauma kadang menghampiri mereka ketika berjumpa
dengan salah satu anggota kelompok ini di tempat-tempat publik tertentu,
seperti berpapasan di jalan raya atau pasar – meskipun tidak ditunjukkan
melalui mimik wajah. Bila komunitas Balinuraga (dan juga komunitas Bali
Hindu lainnya) memperhatikan kejatuhan Majapahit oleh Kerajaan Islam
Demak, dan peristiwa Bom Bali yang belum lama terjadi, maka semakin
menguatlah wacana meng-ajeg-kan Kampung Bali sebagai “benteng
terakhir” identitas kebalian mereka di luar Bali. Eksistensi kelompok-
kelompok fundamentalis sebenarnya bukan satu-satunya ancaman
eksternal bagi Kampung Bali. Ada ancaman yang lebih nyata yang harus
220
Kelompok-kelompok ini ada yang merupakan pecahan dari peristiwa Talang
Sari, dan ada yang bentukan baru yang berkiblat di Jawa. Dari kelompok-
kelompok inilah, beberapa calon-calon teroris direkrut untuk melaksanakan aksi-
aksi teror di Indonesia. Contoh terbaru adalah aksi latihan militer gerakan ini di
Aceh, di mana salah satu anggotanya ada yang berasal dari “Kelompok Lampung”
– yang diindikasikan berasal dari kelompok-kelompok (fundamentalis) ini
(berbagai sumber: September 2010).
229
dihadapi oleh komunitas mereka, terutama generasi muda, yaitu
modernisme, konsumerisme, hedonisme, pragmatisme, demokrasi dan
liberalisme, dan lain-lain. Faham-faham tersebut mereka dapatkan dan juga
dipraktekkan oleh mereka ketika mereka sudah mulai bersentuhan dengan
pergaulan dalam komunitas yang lebih luas dan heterogen, di mana
sedikit-banyak bertentangan dengan ketradisionalan identitas mereka, yaitu
ketika harus bersekolah atau bekerja di luar kampung seperti di ibukota
kabupaten atau provinsi. Ketika mereka sudah berada di kota, otomatis
mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat urban, dan terpengaruh
budaya urban melalui interaksinya dengan masyarakat yang heterogen.
Akibatnya, ketika mereka kembali ke Kampung Bali dan menjadi
masyarakat modern, mereka harus berhadapan dengan ketradisionalan
identitas mereka, dan harus berhadapan dengan kalangan yang konservatif
– modernisme sebagai ancaman. Sampai saat ini, pertentangan antara
modern vs tradisional masih terus berlangsung. Mereka yang modern
beranggapan bahwa modernisme tidak berarti hilangnya ketradisionalan
identitasnya, sebaliknya, yang tradisional beranggapan bahwa modernisme
mengancam ketradisionalan dan keotentikkan identitas leluhur. Meskipun
pertentangan ini muncul di dalam komunitasnya, ada satu kesepakatan
bersama di antara mereka yang tetap menjadi faktor pemersatu: identitas
kebalian harus tetap bertahan dan eksis. Jadi pertentangan-pertentangan
yang ada merupakan bagian dari cara untuk mempertahankan identitas
mereka, dan bagi mereka ini merupakan sebuah dinamika yang harus
mereka jalani – untuk menjadi semakin solid harus ada pertentangan, tapi
pertentangan yang tidak sampai pada bentrokan fisik.
Faktor Pendidikan
Bagi generasi muda, (faktor) pendidikan merupakan konstruktor
yang cukup berpengaruh dalam upaya mereka membentuk atau
menafsirkan identitasnya sesuai dengan tantangan zaman. Di lingkungan
keluarga dan komunitas, generasi muda mengalami pembentukan identitas
oleh lingkungannya sebagai Bali Hindu. Kemudian, di sekolah identitas
Hindu Dharma terus dikonstruksi dan dimatangkan melalui pelajaran
agama, dan melalui anak-cabang pelajaran ilmu sosial, mereka disadarkan
kembali bagaimana Bali (tanah leluhur) memiliki identitas budaya dan
230
keagamaan yang kuat – hingga menjadikannya daerah tujuan wisata
domestik dan internasional tersohor.
Sebaliknya, ketika jenjangan pendidikan semakin tinggi dan
mengharuskan mereka bersekolah di luar kampungnya (tingkat SMU dan
perguruan tinggi), mereka menghadapi gejolak identitas – meskipun
pelajaran agama dan ilmu sosial yang “menyanjung” keorisinalan Bali
sebagai warisan budaya masih mereka dapatkan. Penyebabnya, pertama,
setelah bersekolah di luar kampung (di ibukota kabupaten atau provinsi)
mereka bertemu dan berinteraksi dengan lingkungan yang heterogen
dengan identitas yang heterogen pula. Kedua, melalui pergaulan di
lingkungan sekolah, mereka menjadi semakin mengerti arti penting
peralatan elektronik seperti handphone dan komputer (desktop atau pun
laptop), sepatu dan baju bermerek, dan lain-lain. Akibatnya, timbul
keinginan (bukan kebutuhan) untuk memiliki peralatan elektronik tersebut
– lebih disebabkan motif gengsi daripada fungsi – yang berujung pada
konsumerisme. Ketiga, melalui pelajaran-pelajaran di sekolah, secara tidak
langsung, mereka dituntun dan dibentuk bagaimana menjadi masyarakat
yang modern dan maju, di mana tradisionalisme bertentangan dengan
modernisme: bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berperan besar dalam
kemajuan negara-negara maju. Keempat, melalui pergaulan di lingkungan
sekolah pula, mereka dibentuk menjadi masyarakat yang pluralis – bhineka
tunggal ika – dan Pancasilais (nasionalis). Agar mereka bisa mendapatkan
pergaulan yang lebih luas, maka mereka harus menyingkirkan batas-batas
identitas yang dapat menghambat pergaulan tersebut – menjadi lebih
Indonesia – tanpa harus mengingkari identitas asalnya sebagai Bali Hindu.
Oleh karena itu, bukan bermaksud mengeneralisir, pemuda-
pemuda Balinuraga (termasuk pemuda-pemuda Bali Hindu di Kampung
Bali lain) umumnya menjadi lebih moderat daripada mereka yang tidak
pernah bersekolah di luar kampung dan berinteraksi secara intensif dalam
lingkungan yang heterogen221
. Pemuda-pemuda ini – yang kemudian
221
Ada kasus tertentu (kasus khusus yang jarang terjadi) di mana orang tua tidak
mengizinkan anaknya untuk bersekolah terlalu jauh (di luar kota). Ada ketakutan
jika anaknya menjadi berubah secara radikal setelah kembali dari sekolah. Orang
tua ini mengkhawatirkan jika anaknya tidak lagi bersembahyang secara rutin
231
menjadi elit dalam komunitasnya – membawa sebuah gagasan baru yang
didukung oleh sepuh-sepuh yang berpandangan luas dan moderat.
Tujuannya adalah untuk memajukan perekonomian komunitas mereka –
pengkondisiannya bahwa mereka harus membangun relasi ekonomi
dengan komunitas lain yang berbeda dengan komunitas mereka – dan
menerima berbagai perubahan dalam menghadapi tantangan zaman yang
dinamis, disertai dengan kelestarian dan keajegan identitas leluhur mereka
sebagai Bali Hindu.
Tantangan zaman terus berubah secara dinamis dan semakin
kompleks. Begitu pula halnya dengan identitas kebalian komunitas Bali
Hindu di luar Bali. Ini menunjukkan bahwa identitas Bali tidak bisa
diajegkan seajeg-ajegnya, identitas tersebut bersifat dinamis, tidak absolut
(harga mati). Ini merupakan sebuah dilema, semakin diajegkan maka
potensi konflik horisontal semakin besar; sebaliknya, jika tidak diajegkan
maka potensi kehilangan identitas itu semakin besar pula. Permasalahan ini
sebenarnya tantangan yang harus dihadapi generasi muda Bali di luar Bali,
seperti kasus Balinuraga. Bagi mereka, pendidikan merupakan salah satu
cara bagaimana mereka mendapatkan “pencerahan” agar dapat
menghadapi berbagai tantangan yang dinamis dan kompleks, tanpa harus
kehilangan identitas leluhurnya.
setelah jauh dari pengawasan orang tua. Kekhawatiran yang lebih besar –
sebenenarnya – adalah ketika anak sudah lupa akan kewajiban adat-keagamaannya
bahwa ia harus me-ngaben-kan orangtuanya. Konsekuensinya, anak tersebut
difasilitasi berbagai keinginannya (dimanjakan), asalkan tidak keluar kampung.
Akibatnya, (yang sering terjadi) anak tersebut justru banyak menghabiskan harta
orangtuanya, dan menjadi pembangkang (karena terlalu dimanja).
232
Gambar 19. Pemuda dan Pemudi dengan Sepeda Motornya
(Sumber: Yulianto, 2010)
Model Pembentukan Identitas
Berdasarkan temuan di Bab IV, ada beberapa sintesa dan model
pembentukan identitas yang dapat disajikan. Model ini dibangun
berdasarkan keempirikan, bukan penyesuaian (pembenaran) atas model-
model yang sudah ada. Model yang akan diuraikan, pertama-tama, adalah
model yang paling sederhana terlebih dahulu bagaimana pembentukan
identitas itu terjadi dan bagaimana keterkaitannya dengan pembangunan.
233
Model 1: Konstruksi Identitas
Model pertama ini merupakan sebuah model yang menunjukkan
bahwa identitas sebuah komunitas dibentuk atau dikonstruksikan aktor
atau agen.
Dua aktor utama konstruktor identitas dalam kasus ini adalah aktor pusat
dan satelit. Pusat (Bali) dengan otoritasnya mengkonstruksikan identitas
satelit sebagai sebuah identitas yang sahih (legitimizing identity).
Penyahihan identitas ini terjadi karena adanya hubungan yang saling
mengikat antara pusat dan satelit. Satelit membutuhkan identitas yang
sahih dari legitimasi pusat, sedangkan pusat membutuhkan dukungan
(dana dan massa) dari satelit untuk menopang kedudukannya. Hal ini
ditunjukkan bagaimana di tahun 1970-an, setelah perekonomian
transmigran mapan, warga-warga berusaha mendapatkan legitimasi dan
dilegitimasikan identitasnya oleh pusat yang diwakili lembaga formal
PUSAT
(Otoritas, Bali)
Legitimizing
Identity
CONSTRUCT
(Mengkonstruksi)
SATELIT
(Negara, Balinuraga)
Resistance dan
Project Identity
CONSTRUCT
(Mengkonstruksi)
AKTOR
Model 1. Konstruksi Identitas
234
warga. Sama halnya seperti identitas kepercayaan Hindu Bali mereka yang
harus disahihkan oleh PHDI menjadi Hindu Dharma.
Sebaliknya, Satelit (Balinuraga) sebagai aktor yang aktif
mengkonstruksikan identitasnya dalam bentuk resistance identity (identitas
perlawanan) dan project identity (identitas proyek). Ini tidak terlepas dari
komposisi masyarakat Balinuraga yang didominasi oleh golongan jaba.
Identitas perlawanan dan politik identitas yang dibentuk merupakan upaya
golongan jaba di Balinuraga untuk mendapatkan kedudukan yang setara.
Manifestasi utama ditunjukkan dengan penggunaan sulinggih warga
(pendeta warga atau pendeta golongan jaba) sebagai pemimpin keagamaan
dalam upacara-upacara penting.
Aktor yang memiliki otoritas untuk mengkonstruksi identitas
digolongkan pada tingkat individu dan organisasi formal di bawah
kekuasaan negara. Sri Mpu Suci merupakan seorang aktor (tingkat
individu) yang memiliki otoritas di tingkat satelit untuk membangun
fondasi identitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal mereka
bertransmigrasi ke Lampung, yaitu identitas menurut tempat asal sebagai
orang Bali Nusa dan identitas kultural sebagai Bali Hindu. Otoritas
tersebut didapatkan dan diakui oleh para transmigran Bali Nusa karena
kedudukannya sebagai seorang pemimpin transmigran dan sebagai seorang
sulinggih (pendeta). Kedudukan Sri Mpu Suci sebagai seorang sulinggih –
tepatnya sulinggih untuk Warga Pandé, yang kesulinggihannya juga bisa
digunakan oleh warga lain (dalam kasus ini peruntukkan bagi golongan
jabawangsa / non-bangsawan) – berada di bawah PHDI. PHDI sebagai
organisasi semi-pemerintah merupakan aktor pusat (organisasi keagamaan)
yang mendapatkan otoritasnya dari negara (kekuasaan pusat) melalui
departemen agama. Dengan kata lain, PHDI adalah kepanjangan tangan
dari kekuasaan pusat untuk melegalkan keabsahan identitas Bali Nusa
sebagai Hindu Dharma – sebuah agama sah versi pemerintah untuk Hindu
Bali (dan beberapa etnis lain). Selain PHDI, masih ada organisasi formal
warga-warga (elit-elit warga) yang berada di bawah PHDI yang memiliki
otoritas untuk mengkonstruksikan, dan juga menyahihkan, identitas warga
(klan, soroh) dari komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Di samping lembaga
otoritas di mana komunitas Balinuraga menetap – pemerintah daerah –
235
yang memantapkan identitas Bali Nusa ini sebagai “Orang Lampung
keturunan Bali”. Mereka yang memiliki otoritas ini menggunakan
otoritasnya dalam mengkonstruksi identitas Bali Nusa berdasarkan
“identitas” versi-nya dan tujuannya masing-masing: Sri Mpu Suci
membangun (dan membentuk) fondasi identitas Bali Nusa (dan Bali
Hindu), PHDI mengkonstruksi identitas Hindu Dharma, organisasi formal
warga-warga (di bawah kepemimpinan elit-elit warga) mengkonstruksi
identitas warga (leluhur), dan pemerintah daerah mengkonstruksi identitas
Bali Lampung. Ini bukan berarti anggota komunitas berdiri dalam posisi
yang pasif, karena mereka sendiri pun secara aktif turut mencari bentuk
dari identitasnya. Hanya saja, pencarian bentuk identitas-nya belum dapat
diakui legitimasinya tanpa ada aktor (individu atau organisasi berwenang)
yang mengakuinya secara resmi. Jadi, ada sebuah usaha dan tindakan dari
anggota komunitas ini untuk mencari identitas warga-nya sebagai orang
Bali Hindu, memantapkan identitasnya sebagai Hindu Dharma, dan diakui
posisinya di masyarakat dan pemerintahan daerah sebagai masyarakat
Lampung. Oleh karena itu, meskipun model pertama ini sederhana, bukan
berarti menunjukkan sebuah proses yang kaku, tapi sebaliknya, mengalami
sebuah proses yang sangat dinamis. Hal ini dapat dilihat mulai dari:
membentuk sebuah komunitas orang (transmigran) Bali Nusa yang
eksklusif; perjuangan mendapatkan pengakuan identitas sebagai Hindu
Dharma (agama resmi) agar tidak menjadi korban pencapan sebagai PKI;
pertentangan identitas antar warga dengan berbagai bentuk manifestasinya,
yang masih berlanjut sampai saat ini, mulai dari klaim-klaim warga mana
yang paling tinggi kedudukan sosialnya sampai pura kawitan warga mana
yang paling megah dan artistik; Hindu Modern versus Hindu Tradisional,
dengan contoh konkretnya adalah perdebatan (dan tindakan nyata) antara
melakukan modernisasi penyelenggaraan upacara adat-keagamaan yang
sederhana dan tidak berbelit-belit versus penyelenggaraan upacara yang
harus runut dan ajeg agar tetap terjaga keorisinalitasannya; polemik
seputar keterlibatan anggota komunitas mereka dalam kegiatan politik
praktis; dan lain-lain. Catatan lain adalah bahwa di dalam anggota
komunitas ada semacam keikhlasan ketika identitasnya dikonstruksi dan
direkonstruksi oleh sebuah kekuasaan, atau sebaliknya, mengadakan aksi
atau tindakan lain yang dinilai relevan bagi keberlangsungan identitasnya.
236
Hal ini lebih disebabkan oleh faktor keadaan dan situasi di mana mereka
tidak memiliki pilihan atau alternatif lain, misalnya: pasca Gerakan 30
September 1965; masa-masa awal transmigrasi ketika mereka belum
memiliki identitas yang meyakinkan bahwa mereka berasal dari warga
(klan) tertentu – sebuah kondisi yang tidak dapat dielakkan karena mereka
berasal dari Nusa Penida, sebuah pulau yang dahulunya mempunyai
reputasi yang buruk (sebagai tempat pembuangan tahanan politik dan ilmu
hitam); keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan pasca jatuhnya
Suharto (1998) dan krisis ekonomi – mencari uang lebih sulit daripada
masa sebelumnya (Orde Baru) – menyebabkan mereka harus melakukan
modernisasi dalam penyelenggaran upacara adat-keagamaan agar menjadi
lebih sederhana dan hemat tanpa menghilangkan substansi dari upacara
tersebut; interaksi dengan lingkungan yang heterogen (khususnya
masyarakat urban) menyebabkan generasi muda mengikuti pola umum
yang dilakukan oleh lingkungan pergaulannya, seperti menjadi lebih
pragmatis dalam berpikir dan bertindak, konsumerisme, dan hedonisme –
juga merupakan hal yang tidak dapat dielakkan jika mereka harus
bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja di luar kampung
(komunitasnya); dan sebagainya. Peran anggota komunitas yang aktif
dalam proses pembentukan identitasnya, maka memungkinkan mereka
untuk mengadakan sebuah perubahan atas apa yang telah dikonstruksikan
oleh pusat tersebut. Misalnya, menggunakan sulinggih dari kalangan
warga tertentu (pendeta dari golongan jabawangsa) untuk memimpin
upacara ngaben, tanpa harus mengundang pedanda dari Bali. Artinya,
penyelenggaraan upacara ngaben dengan menggunakan pendeta warga,
selain menghemat biaya (khususnya ngaben massal), juga tidak
menghilangkan keabsahan identitas adat-keagamaan mereka.
Menyelenggarakan upacara ngaben pribadi (khusus untuk keluarga sendiri)
dan menggunakan sulinggih dari Bali atau pedanda (pendeta brahmana),
tentu akan menghabiskan biaya yang mahal222
.
222
Meskipun kesulinggihan pendeta warga (jabawangsa) telah diakui
kedudukannya – setara dengan pedanda – namun bagi kalangan tertentu (masih
konservatif), kehadiran pedanda dipercaya menghadirkan sebuah kereligiusan dan
tentunya prestise tersendiri.
237
Model 2: Pusat sebagai Acuan Pembentukan Identitas
Model kedua menggambarkan bahwa dalam proses pembentukan
dan mencari bentuk identitas dibutuhkan sebuah pusat sebagai acuan atau
cerminan. Dalam kasus orang Bali di luar Bali, seperti di Desa Balinuraga,
pusat yang dimaksud adalah Bali (Bali dan Nusa Penida). Bali merupakan
tanah leluhur di mana butuh untuk mengindetikkan dirinya seidentik
mungkin dengan ada yang di Bali. Proses pembentukan dan mencari
bentuk ini adalah proses yang terus menerus, bukan proses yang berhenti
pada satu waktu tertentu, karena Bali sebagai pusat terus mengalami
perubahan, begitu juga komunitas ini. Karenanya dalam proses peniruan
atau pengkopian identitas diperlukan proses penyesuaian dengan situasi
dan kondisi yang ada di Lampung. Tidak semua simbol, atribut, instrumen
identitas kebalian bisa diimpor atau diadaptasi secara langsung – terkecuali
yang mudah dibawa, seperti: dupa, destar, udeng, kalender, arit, dan lain-
lain (tapi bisa juga dibeli di Lampung). Untuk pembuatan pura, mereka
tidak perlu membawa langsung dari Bali, tapi bisa mereka buat sendiri di
Lampung melalui ahli pembuat pura. Proses pembuatannya melalui
cetakan dengan menggunakan semen. Dalam kasus tertentu, sesuai
pesanan, ada yang diukir dengan sebuah cetakan semen basah. Begitu pula
dengan tata upacara (dan upakara), tetap dilakukan penyesuaian dengan
situasi dan kondisi di Lampung. Namun, garis besar peniruan ini tetap
mencari persamaan bentuk identitas. Penyesuaian tetap dilakukan tanpa
kehilangan hakikat dari identitas tersebut. Umumnya proses peniruan ini –
ketika melakukan reproduksi simbol, atribut, instrumen identitas kebalian
– dilakukan secara otodidak. Mereka membeli sebuah master (atau
prototipe) untuk ditiru dan diproduksi.
BALI
“PUSAT”
ADAPTASI
/
PENIRUAN
SIMBOL, ATRIBUT,
INSTRUMEN
IDENTITAS
“KEBALIAN”
LAMPUNG
SELATAN LAMPUNG
SELATAN
238
Proses peniruan ini merupakan salah satu upaya bagi mereka agar
tetap menjadi dan diakui sebagai Bali. Simbol, atribut, instrumen identitas
kebalian merupakan penunjuk yang dapat dilihat secara langsung bahwa
mereka adalah Bali. Ini membuktikan kuatnya ikatan komunitas ini
meskipun sudah berada di luar Bali. Mereka tidak ingin penunjuk
identitasnya sebagai Bali ada yang absen setelah berada di luar Bali. Jadi
melalui ini, tidak mengherankan bila mereka tetap disebut sebagai Bali
meskipun sudah berada di luar Bali.
Model 3: Perkembangan dan Pembentukan Identitas
Berdasarkan Waktu
Model ketiga menggambarkan bahwa identitas itu terus
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Identitas itu bersifat dinamis.
Tidak bersifat absolut atau tetap. Hal ini disebabkan setiap masa memiliki
tantangan bagi setiap generasi di masa tersebut. Perubahan identitas ini
diwujudkan dalam proses pengaktualisasian atas eksistensi identitas
tersebut dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.
IDENTITAS
“LAMPAU”
IDENTITAS
“KINI” IDENTITAS
“MENDATANG”
GENERASI TUA
GENERASI SEKARANG
GENERASI MASA DEPAN
Model 2. Pusat (Bali) dan Peniruan (Copying) Identitas
239
Contoh sederhananya adalah sebagai berikut: tata upacara (dan upakara)
yang dilakukan transmigran pertama di saat tahun-tahun pertamanya di
Lampung Selatan (khususnya sebelum peristiwa Gerakan 30 September
1965) akan sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan di masa Orde Baru
(1970an – 1990-an) dan di masa reformasi. Di tahun-tahun awal di
Lampung tata upacara (dan upakara) dilakukan dengan sangat sederhana,
dikarenakan situasi dan kondisi perekonomian dan kehidupan para
transmigran masih sangat sulit. Di masa Orde Baru, mulai tahun 1970-an
sampai sebelum krisis ekonomi (1997/1998) upacara bisa dilakukan
dengan besar-besaran, karena perekonomian mereka sudah mapan dan
mencari uang masih mudah. Di masa reformasi, upacara dilakukan dengan
sederhana dengan berbagai perubahan, lebih disebabkan karena
relevansinya di masa ini. Prosedur upacara (dan upakara) dibuat lebih
mudah (tidak berbelit-belit) dan hemat, tanpa harus menghilangkan inti
dari upacara (dan upakara) itu sendiri. Generasi ini (bersama generasi tua
yang masih hidup) menyadari bahwa tata upacara yang bersifat ketat akan
menghabiskan biaya yang mahal (di saat mencari uang tidak semudah di
masa Orde Baru), dan bagi generasi muda ini dinilai membosankan. Garis
besar yang mereka pegang adalah perubahan apa pun yang dilakukan
dalam mengaktualisasikan identitas mereka sebagai Bali Hindu jangan
sampai merubah hakikat (tujuan utama) dari setiap proses upacara (dan
upakara) itu sendiri. Selama perubahan tersebut masih sesuai dengan
aturan dan tidak mendapat teguran dari PHDI sebagai otoritas resmi yang
mengawasi kegiatan umat.
Model 3. Perubahan Identitas, Waktu, Generasi, dan Tantangan
240
Model 4: Bonding Berbasis Identitas dan Pembangunan
Model keempat menggambarkan bahwa bonding berbasis identitas
– dalam kasus komunitas Bali Nusa – tidak dapat dilepaskan dari motif
pembangunan sebagai penunjuk dari eksistensi identitas mereka yang
terfragmentasi. Model Empat di bawah ini menunjukkan fragmentasi dari
bonding berbasiskan identitas. Dalam ruang yang lebih kecil adalah
bonding berbasis identitas warga (sub-etnik) yang berada di level setingkat
banjar atau dusun. Di atasnya adalah bonding berbasis agama. Bonding
identitas berbasis agama ini menaungi identitas sub-etnik (warga) dan
etnik, dan bagi masyarkat Bali ini seperti kesatuan, antara identitas etnik
dan agama. Levelnya setingkat desa – dalam kasus ini Desa Balinuraga.
Dalam model keempat ini, penulis ingin menunjukkan bahwa
bonding berbasis identitas ini tidak berpengaruh negatif terhadap
pembangunan. Namun sebaliknya, bonding berbasis identitas ini
berpengaruh positif terhadap pembangunan dalam level dusun (banjar) dan
desa (desa adat / komunitas adat Bali Nusa). Hal ini dapat dilihat dan
dibuktikan dari hasil atau produk pembangunan di level banjar dan desa
adat.
Identitas Lokal
Identitas Agama
Identitas
Warga
Level Banjar:
warga Level Desa:
Bali Hindu
Level Lokal:
Bali Lampung
Pura Kawitan,
Pura Keluarga Pura Kahyangan
tiga, Bale Banjar,
dll.
Infrastruktur umum:
jalan, sekolah,
posyandu, kantor
desa, dll.
Pembangunan
Fisik
Model 4. Bonding Berbasis Identitas
241
Model keempat di atas menunjukkan bahwa penguatan identitas
(bonding) warga (sub-etnik) pada level banjar atau dusun merangsang
mereka untuk membangun banjar atau dusunnya secara swakarsa untuk
menunjukkan eksistensi identitasnya sebagai warga tertentu, yaitu
diwujudkan dengan membangun pura kawitan di sebuah griya dalam
sebuah banjar yang diperuntukan bagi warga tersebut. Pembangunan
tersebut dilakukan secara swakarsa, menggunakan dana dan tenaga
kolektif anggota banjar (warga) tersebut. Agar proses pembangunan
tersebut dapat direalisasikan menjadikan dorongan bagi komunitas warga
ini untuk bekerja lebih keras (bertani) di level keluarga inti. Sumbangan
sebagian penghasilannya untuk pembangunan dan renovasi pura kawitan
merupakan wujud dari eksistensi dan status sosial identitas warga-nya
(leluhur / kawitan). Kemudian, di level desa, dengan penguatan identitas
sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, mengharuskan mereka untuk
membangun infrastruktur adat-keagamaan yang menunjukkan kesolidan
komunitas mereka sebagai Bali Nusa (Bali Hindu). Pada level ini, identitas
warga-warga meleburkan diri menjadi satu kesatuan di tingkat desa adat
(Desa Balinuraga). Ini ditunjukkan dari pembangunan Pura Kahyangan
Tiga beserta fasilitas adat-keagamaan lainnya yang juga dibangun secara
swakarsa. Artinya, dana dan tenaga untuk pembangunan di level desa ini
disumbangkan oleh semua anggota warga-warga. Dengan kata lain, ada
dua kewajiban pembangunan untuk eksistensi identitasnya, yaitu
pembangunan untuk eksistensi identitas warga (Pura Kawitan) dan
Model 4-1. Bonding Berbasis Identitas dan Pembangunan
242
eksistesi identitas sebagai Bali Hindu Nusa Penida (Pura Kahyangan tiga).
Di level lokal, kecamatan dan kabupaten, Desa Balinuraga merupakan
salah satu desa penghasil beras (padi) yang produktif di Kabupaten
Lampung Selatan. Dengan memposisikan identitas asal (Bali Hindu)
dengan identitas lokal sebagai Bali Lampung, memberikan posisi tawar
bagi mereka kepada pemerintah daerah untuk membangun infrastuktur
desa ini sebagai desa dinas – karena infrastruktur desa adat sudah dibangun
secara swakarsa. Pembangunan jalan utama desa yang menghubungkan ke
kecamatan dan kabupaten merupakan hak mereka sebagai masyarakat
Lampung. Sebagai desa penghasil beras di Kabupaten Lampung Selatan
mereka merupakan pembayar pajak yang loyal, infrastruktur umum
terutama jalan desa, harus dibangun oleh pemerintah daerah agar distribusi
hasil panen berjalan lancar. Menjadi pembayar pajak yang loyal adalah
perwujudan identitas mereka sebagai masyarakat Lampung (Bali
Lampung). Kelalaian pemerintah membangun infrastruktur desa
(khususnya jalan utama desa) tentu berdampak pada penghasilan yang
diterima pemerintah daerah, khususnya kecamatan, karena distribusi beras
menjadi terganggu. Dengan kata lain, penguatan identitas lokal mereka
sebagai Bali Lampung diwujudkan dengan peran serta pemerintah dalam
membangun infrastruktur desa ini sebagai desa administratif.
Jadi, penguatan identitas yang berlapis ini – dari identitas warga,
agama, dan lokal – dalam pengaktualisasiannya membutuhkan sebuah
kerja ekonomi (pertanian) yang keras dan tekun. Pembangunan fisik
(bangunan fisik) merupakan manifestasi materiil dari identitasnya, baik
sebagai identitas warga, identitas Bali Hindu, maupun identitas Bali
Lampung. Manifestasi materiil ini jelas tidak dapat dilakukan jika mereka
tidak bekerja keras – mengingat ada banyak kewajiban adat-keagamaan
yang harus mereka laksanakan. Bila dalam gambar di atas penguatan
identitas lokal diberikan garis putus-putus, dikarenakan ketika
pengaktualisasian identitas sampai di level desa adat, maka sumbangsih
kerja keras mereka untuk eksistensi identitasnya tentu akan langsung
berefek pada perekonomian daerah – dari desa administratif ke kecamatan
lalu ke kabupaten. Dengan kata lain, bonding berbasis identitas ini bersifat
terbuka bagi pembangunan di tingkat desa. Pada tataran tertentu, bonding
243
berbasis identitas ini tidak menunjukkan keesklusifan, tapi sebaliknya,
terdapat keterbukaan dalam relasi atau hubungan dengan komunitas lain,
seperti penguatan identitas lokal (Bali Lampung) yang memungkinkan
mereka untuk menjalin komunitas lain non-Bali sebagai sesama
masyarakat Lampung. Dengan adanya realitas bahwa bonding berbasis
identitas ini pembangunan tetap dapat berjalan tanpa adanya peran
pemerintah, maka sebenarnya dalam komunitas tertentu kehadiran
pemerintah dalam proses pembangunan tidak terlalu dibutuhkan dalam hal-
hal tertentu, kecuali perannya sebagai pengatur lalu-lintas pembangunan
itu sendiri agar tidak terjadi sebuah clash atau benturan fisik antar
komunitas yang berbeda identitas, dan menjadikan sistem perekonomian
lebih tertata rapih, terutama distribusi pendapatan. Melalui sebuah realitas
bagaimana komunitas Bali di luar Bali mengekspresikan dan
mengaktualisasikan identitasnya melalui upacara adat-keagamaan bersifat
massal – dengan sebuah sistem dan aturan yang sistematis – beserta
perangkat-perangkat adat-keagamaannya (terutama dengan hadirnya
pecalang), dan keterbukaannya dalam relasi ekonomi dengan komunitas
lain non-Bali, bukankah menunjukkan komunitas ini seperti (meminjam
istilah Geertz, 1980223
) sebagai sebuah negara teater, sekaligus juga
sebuah benteng tertutup.
Model 5: Model Pembentukan Identitas
Model ini merupakan sebuah pola umum – studi kasus komunitas
Bali Nusa di Balinuraga – dalam proses pembentukan identitasnya, yang
tertutup (bonding) tapi juga terbuka (bridging). Model pembentukan
identitas ini terkait bagaimana komunitas Bali Nusa bisa mempertahankan
dan melestarikan identitas kebaliannya dalam pembangunan di tingkat
lokal. Artinya, mereka bisa melakukan aktivitas perekonomiannya – yang
dalam prosesnya harus berinteraksi dengan komunitas lain yang heterogen
dan terbuka dalam menjalin relasi ekonomi – tanpa kehilangan identitas
kebalian-nya. Dengan kata lain, mereka ingin membentengi identitasnya –
223
Lihat: Geertz (1980) Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali,
Princenton University Press.
244
melalui bonding berbasis identitas – dalam sebuah benteng tertutup
(Kampung Bali).
Sebagai sebuah rangkuman dari model-model dan uraian pada sub-
bab sebelumnya, model kelima ini memberikan gambaran sebuah pola
umum – untuk kasus Balinuraga – pembentukan identitas. Model ini
menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan identitas: membutuhkan
aktor atau agen berotoritas guna membentuk identitas yang sahih
(legitimizing identity), identitas perlawanan (resistance identity), dan
identitas proyek (project identity); proses peniruan bentuk identitas dengan
pusat; kedinamisan identitas sesuai dengan waktu, tempat, dan
tantangannya; serta keterkaitan dan penyesuaian dengan proses
pembangunan di tingkat lokal. Garis lingkaran tebal pada identitas warga
dan agama merupakan bagaimana mereka membentengi identitas
kebaliannya terhadap ancaman eksternal (lingkungan sosial yang
IDENTITAS
(Legitimizing, Resistance, Project)
Identitas Lokal
Identitas Agama
Identitas
Warga
Pusat
&
Satelit
“Pusat”:
Bali
Waktu, Tempat, &
Tantangan
Pembangunan
Konstruksi
Peniruan
Perubahan
Politik
Identitas
Model 5. Pembentukan Identitas
245
majemuk); sedangkan garis lingkaran putus-putus pada identitas lokal
(bonding identitas lokal) adalah bagaimana mereka membuka diri dalam
interaksi ekonominya dalam proses pembangunan di tingkat lokal yang
lingkungan sosialnya lebih heterogen, sekaligus sebagai jawaban atas
ancaman eksternal. Model ini juga sekaligus menunjukkan bahwa bonding
berbasis identitas, dalam tataran bonding yang lebih luas, di mana di dalam
lingkaran bondingnya terdapat variasi identitas, proses pembangunan
melalui interaksi ekonomi bisa dilakukan. Bonding identitas pada tataran
ini kemudian memperkuat basis ekonomi berdasarkan identitas, dalam
kasus ini adala identitas lokal yang lebih heterogen.
Kesimpulan
Pembentukan identitas yang menghasilkan sebuah identitas
tertentu merupakan sebuah proses yang dinamis. Artinya tidak berhenti
pada satu titik tertentu yang menjadikan identitas itu bersifat absolut atau
ajeg – identitas bukan sebuah harga mati yang tidak bisa berubah. Sama
seperti diri individu di mana identitas itu melekat, begitu pula identitas itu
sendiri, yang harus berhadapan dengan sebuah realitas waktu dan
tantangan yang terus berubah. Pusat (power, otoritas, kekuasaan, Bali)
yang mengkonstruksikan identitas berperan sebagai lembaga yang
melegitimasi kesahihan identitas tersebut. Proses peniruan terhadap pusat,
tidak lain merupakan cerminan dari kuatnya ikatan sosial di tempat asal di
mana identitas tersebut melekat di dalamnya.
Konstruksi identitas dalam proses pembentukan identitas
komunitas Bali Nusa sebenarnya memiliki pola konstruksi identitas yang
sama dalam konteks yang berbeda seperti yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial ketika mengkonstruksikan identitas Bali sebagai paradise, yaitu
pusat dengan kekuasaan yang dimiliki dapat mengkonstruksikan identitas
etnis tertentu. Dalam istilah Castells (2002) pengkonstruksian identitas ini
disebut sebagai legitimizing identity. Kasus yang menonjol adalah
penyahihan identitas warga oleh lembaga formal warga yang berada di
pusat (Bali) dan identitas Hindu Dharma oleh PHDI. Di sisi lain,
Balinuraga sebagai satelit menjadi agen atau aktor yang aktif dalam
mengkonstruksikan identitasnya. Bentuknya – menggunakan istilah
Castells (2002) – berupa resistance identity dan project identity yang
246
dilakukan komunitas Balinuraga sebagai satelit yang didominasi oleh
golongan jaba. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana warga-warga
(golongan jaba) berperan mendukung perjuangan pusat yang diwakili elit-
elit lembaga formal warga agar golongan jaba mendapatkan kedudukan
yang setara dengan triwangsa, dan menggunakan sulinggih warga
(pendeta warga, pendeta non-Brahmana) untuk memimpin upacara-
upacara penting di dalam komunitas ini.
Kasus yang menguraikan pertentangan identitas warga, sekali
lagi, menunjukkan dan sekaligus menyangkal apa yang dikonstruksikan
terhadap citra Bali sebagai paradise setelah keberadaan mereka di luar
Bali. Pola-pola pertentangan identitas secara garis besar memiliki
kesamaan dengan yang terjadi di Bali. Hal ini sama seperti yang
dikemukakan oleh Vickers (1996), Schulte Nordholt (2009), dan Robinson
(1995) bagaimana gesekan-gesekan sosial selalu terjadi dalam kehidupan
masyarakat Bali sejak masa pra-kolonial sampai pasca kolonial. Fakta ini
mempertegas bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang dinamis
dalam kehidupan sosial politik di dalam komunitasnya. Tidak hanya di
Bali, tetapi juga ketika mereka sudah berada di Lampung.
Sebagai sebuah proses, pembentukan identitas komunitas ini
belum selesai dan terus berlanjut sampai komunitas ini (satelit) beserta
pusat masih tetap ada. Sampai saat ini pun, hubungan pusat-satelit ini
masih berlangsung dalam proses pembentukan identitas komunitas ini
sebagai sebuah ikatan sosial yang melekat (mengikat pengorbitan pusat-
satelit). Tidak hanya untuk menyahihkan identitasnya (legitimizing
idenitity), tetapi juga bagaimana satelit membentuk identitas perlawanan
(resistance idenitity) dan identitas proyek (project identity).