215
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Setting Penelitian 4.1.1. Sejarah Terbentuknya Kota Palu Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya mereka sampai di Boya Pogego sekrang ini. Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu: Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang Bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah 102

Bab IV Rev Perub

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab IV Rev Perub

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Setting Penelitian

4.1.1. Sejarah Terbentuknya Kota Palu

Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt

menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s

van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota Palu berasal dari penduduk

Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran

rendah, akhirnya mereka sampai di Boya Pogego sekrang ini.

Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu:

Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia

sekarang

Bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru.

Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu

tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya

dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu

kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda

mengadakan pendekatan terhadap Kerajaan Palu.

Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja

Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868.

Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara

dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue.

Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan

jenazahnya dibawa ke Palu.

102

Page 2: Bab IV Rev Perub

103

Setelah itu ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888

Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia

Belanda.

Berikut daftar susunan raja-raja Palu :

1. Pue Nggari (Siralangi) 1796 - 18052. I Dato Labungulili 1805 - 18153. Malasigi Bulupalo 1815 - 18264. Daelangi 1826 - 18355. Yololembah 1835 - 18506. Lamakaraka 1850 - 18687. Maili (Mangge Risa) 1868 - 18888. Jodjokodi 1888 - 19069. Parampasi 1906 - 192110. Djanggola 1921 - 194911. Tjatjo Idjazah 1949 - 1960 (Tjatjo Idjazah adalah Raja terakhir)

Setelah Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja-raja di wilayah

Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan oleh pemerintah Belanda, dibuatlah

satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct” (perjanjian panjang) yang akhirnya

dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian pendek). Hingga akhirnya

Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif berdasarkan Nomor 21

Tanggal 25 Februari 1940.

Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi

lebih kecil menjadi Arder Afdeling, antara lain Order Palu dengan ibu kotanya

Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yaitu :

1. Swapraja Palu

2. Swapraja Dolo

3. Swapraja Kulawi

Pada saat Perang Dunia II sekitar tahun 1942 Kota Donggala sebagai

ibukota Afdeling Donggala dihancurkan baik oleh pasukan Sekutu maupun Jepang

Page 3: Bab IV Rev Perub

104

sehingga pusat pemerintahan dialihkan ke Palu sekitar tahun 1950, yang

berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950 menjadi wilayah daerah

Sulawesi Tengah dan berkedudukan di Poso, sedangkan Kota Palu hanya

merupakan tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat

Wedana. Lebih jauh Kota Palu berkembang setelah dibentuknya Residen

Koordinator Sulawesi Tengah Tahun 1957 membuat status Kota Palu menjadi

Ibukota Karesidenan.

Dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari hasrat keinginan

rakyat di daerah ini dalam pencetusan pembentukan Pemerintahan wilayah kota

untuk Kota Palu dimulai sejak adanya Keputusan DPRD Tingkat I Sulteng di Poso

Tahun 1964. Atas dasar keputusan tersebut maka diambil langkah-langkah positif

oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Pemerintah Dati II

Donggala guna mempersiapkan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan

kemungkinan Kota Palu sebagai Kota Administratif. Usaha ini diperkuat dengan

SK Gubernur KDH Tingkat I Sulteng Nomor 225/Ditpem/1974 dengan membentuk

Panitia Peneliti kemungkinan Kota Palu dijadikan Kota Administratif, maka

pemerintah pusat telah berkenan menyetujui Kota Palu dijadikan Kota

Administratif dengan dua kecamatan yaitu Palu Barat dan Palu Timur.

Berdasarkan landasan hukum tersebut maka pemerintah Kotif Palu memulai

kegiatan menyelenggarakan pemerintahan di wilayah berdasarkan fungsi sebagai

berikut :

a.Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintah dengan

perkembangan kehidupan politik dan budaya perkotaan.

b.Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan sosial

ekonomi dan fisik perkotaan.

Page 4: Bab IV Rev Perub

105

c.Mendukung dan merangsang secara timbal balik pembangunan wilayah

Propinsi

Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada umumnya dan Kabupaten Dati II

Donggala.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tanggal 12 Oktober 1994, Mendagri

Yogi S. Memet meresmikannya Kotamadya Palu dan melantik Rully Lamadjido,

SH sebagai walikotanya.

4.1.2. Luas Wilayah dan Letak Geografis

Kota Palu terletak memanjang dari timur ke barat disebelah utara garis

katulistiwa dalam koordinat 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Luas wilayahnya

395,06 km2 dan terletak di Teluk Palu dengan dikelilingi pegnungan. Kota Palu

terletak pada ketinggian 0 – 2500 m dari permukaan laut dengan keadaan

topografis datar hingga pegunungan. Sedangkan dataran rendah umumnya tersebut

disekitar pantai.

Berikut batas-batas wilayah Kota palu adalah :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kecamatan Banawa

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marawola dan Kabupaten Sigi

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Banawa dan Kecamatan

Morowali

- Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kabupaten Parimo

Dengan pembagian wilayah menjadi empat, yaitu :

1. Kecamatan Palu Barat mencakup 15 Kelurahan

• Duyu

• Ujuna

Page 5: Bab IV Rev Perub

106

• Nunu

• Boyaoge

• Balaroa

• Donggala Kodi

• Kamonji

• Baru

• Lere

• Kabonena

• Tipo

• Buluri

• Silae

• Watusampu

• Siranindi

2. Kecamatan Palu Selatan mencakup 12 Kelurahan

• Tatura

• Birobuli

• Petobo

• Kawatuna

• Tanamodindi

• Lolu Utara

• Tawanjuka

• Palupi

• Pengawu

• Lolu Selatan

Page 6: Bab IV Rev Perub

107

• Sambale Juraga

• Tamalanja

3. Kecamatan Palu Timur mencakup 8 Kelurahan

• Lasoani

• Poboya

• Talise

• Besusu Barat

• Tondo

• Besusu Tengah

• Besusu Timur

• Layana Indah

4. Kecamatan Palu Utara mencakup 8 Kelurahan

• Mamboro

• Taipa

• Kayumalue Ngapa

• Kayumalue Pajeko

• Panau

• Lambara

• Baiya

• Pantoloan

Page 7: Bab IV Rev Perub

108

Tabel 4.1: Luas Kota Palu menurut Kecamatan

No Kecamatan Luas (Km²) Persentase

1 Palu Barat 57,47 14,55

2 Palu Selatan 61,35 15,53

3 Palu Timur 186,55 47,22

4 Palu Utara 89,69 22,70

5 Kota Palu 395,06 100,00

Kota Palu Dalam Angka 2009

4.1.3. Penduduk 1

a. Jumlah Penduduk

Hasil Proyeksi SUPAS tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah penduduk

Kota Palu mencapai 309.032 jiwa. Dari jumlah tersebut terdapat 6 jiwa penduduk

warga negara asing (WNA).

Tabel 4.2. : Pertumbuhan Penduduk Tahun 2008

Kecamatan Jumlah Penduduk PertumbuhanPenduduk %

SP 1990 SP 2000 ProyeksiSUPAS

SP 2000 - ProyeksiSUPAS

Palu Barat 64. 901 82.010 92.644 1,54

Palu Selatan 62.232 93.081 110.218 2,13

Palu Timur 48.310 62.863 69.651 1,29

Palu Utara 24.002 31.129 36.519 2,02

Kota Palu 199.445 269.083 309.032 1,75

Diolah berdasarkan hasil SUPAS 2005, dan Registrasi 2008

b. Kepadatan Penduduk

1 Kota Palu Dalam Angka 2009/ Palu City in Figures, 2009 38

Page 8: Bab IV Rev Perub

109

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka tingkat kepadatan

penduduk juga mengalami peningkatan. Kepadatan penduduk Kota Palu keadaan

akhir tahun 2008 tercatat 782 jiwa/km², dengan luas wilayah Kota Palu 395,06 km².

Bila dilihat penyebaran penduduk pada tingkat kecamatan, ternyata

Kecamatan Palu Selatan merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi

yaitu 1.797 jiwa/km², sedangkan Kecamatan Palu Timur merupakan wilayah yang

terjarang penduduknya yaitu sebanyak 373 jiwa/km².

Tabel 4.3.: Jumlah Penduduk Per Kecamatan di Kota Palu Tahun 2008

Kecamatan Penduduk Luas(KM2)

KepadatanLaki-laki Perempuan Jiwa %

Palu Barat 45099 44620 89719 29,0 57,47 1.561Palu Selatan 56059 56810 112869 36,5 61,35 1.840Palu Timur 34320 34953 69273 22,4 186,55 371Palu Utara 18729 18774 37503 12,1 89,69 418Jumlah 154207 155157 309.364 100,0 395,06 783Sumber: Registrasi Penduduk Kota Palu, 2008

c. Rasio Jenis Kelamin

Rasio jenis kelamin di Kota Palu pada tahun 2008 adalah sebesar 98 yang

berarti setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki-laki atau jumlah

penduduk perempuan relatif lebih besar daripada penduduk laki-laki. Pada tingkat

kecamatan, Palu Barat mempunyai rasio jenis kelamin tertinggi, yaitu 9 persen,

Palu Selatan 98 persen, Palu Utara 97 persen, dan terendah Palu Timur sebesar 96

persen.

d. Komposisi Umur Penduduk

Page 9: Bab IV Rev Perub

110

Komposisi atau struktur umur penduduk Kota Palu selama tahun 2008

hampir 70,00 persen berada pada kelompok umur 0-34 tahun, hal ini menunjukkan

bahwa penduduk Kota Palu berada pada kelompok penduduk usia muda.

Dengan melihat perbandingan jumlah penduduk yang berusia non produktif

dengan penduduk usia produktif dapat diketahui besarnya angka ketergantungan

pada tahun 2008 yaitu sebesar 0,40 artinya bahwa setiap 100 orang penduduk usia

produktif (15-64 tahun) menanggung sebanyak kurang lebih 40 orang penduduk

usia tidak produktif (0-14) tahun dan 65 tahun ke atas.

Tabel 4.4:Penduduk menurut Kelompok Umur 2008

Kecamatan Kelompok Umur0 - 4 5 - 9 10-14 15-19 20-24

Palu Barat 8.383 7.006 8.433 10.704 11.339

Palu Selatan 9.973 8.335 10.032 12.736 13.491

Palu Timur 6.299 5.271 6.337 8.055 8.526

Palu Utara 3.304 2.762 3.323 4.222 4.469

Kota Palu 27.959 23.374 28.125 35.717 37.825

Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2009

4.1.4.Pemerintahan: Program dan Kepegawaian Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil

4.1.4.1. Program Kerja

Secara administratif Kota Palu pada tahun 2008 terdiri dari 4 (empat)

kecamatan dan 43 kelurahan, seluruhnya telah berstatus definitif dan masuk dalam

klasifikasi desa swasembada. Keempat kecamatan yang dimaksud adalah

kecamatan Palu Barat, ibukotanya Lere dengan 15 kelurahan. Kecamatan Palu

Selatan, ibukotanya Birobuli Utara dengan 12 kelurahan. Kecamatan Palu Timur

ibukotanya Besusu Barat dengan 8 kelurahan. Kecamatan Palu Utara ibukotanya

Page 10: Bab IV Rev Perub

111

Lambara dengan 8 kelurahan. Secara rinci pembagian daerah administratif,

banyaknya kelurahan menurut klasifikasinya disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4.8.: Jumlah Kecamatan dan Kelurahan

No Kecamatan Ibu Kota Banyaknya KelurahanPalu Barat Lere 15Palu Selatan Birobuli Utara 12Palu Timur Besusu Barat 8Palu Utara Lambara 8

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palu bergerak dalam

program dan kegiatan yang mencakup semua kecamatan dan kelurahan. Program

dan kegiatan yang ada merupakan penjabaran dari kebijakan sistem administrasi

kependudukan dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palu. Adapun

program dan kegiatan lokalitas kewenangan Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kota Palu adalah:

1.Program Lokalitas Kewenangan:

a. Pengelolaan administrasi dan perencanaan

b. Penyelenggaraan administrasi kependudukan

2. Kegiatan Lokalitas Kewenangan:

a.Pengelolaan, perencanaan dan bina program

b.Pengelolaan administrasi umum, kepegawaian dan keuangan

c.Penerbitan administrasi kependudukan KK, KTP dan pelayanan formulir

biodata penduduk

d.Pelayanan data base kependudukan

e.Pengelolaan administrasi pencatatan kelahiran, kematian dan mutasi penduduk

f. Pengelolaan administrasi pencatatan perkawinan, perceraian, pengesahan dan

pengangkatan anak.

Page 11: Bab IV Rev Perub

112

3. Program dan Kegiatan Kewilayahan:

Program dan kegiatan kewilayahan ini merupakan bentuk kerja sama

dengan pemerintah daerah lainnya yang disesuaikan dengan tugas pokok dan

fungsi dinas kependudukan dan pencatatan sipil kota Palu. Bentuk kerja sama

program dan kegiatan kewilayahan dapat dilaksanakan berupa, kerja sama dalam

bidang kependudukan dengan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK)

dan program pembangunan data base kependudukan.

4.1.4.2. Kepegawaian

Dalam melaksanakan tugas pelayanan di Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kota Palu, aparat yang bertugas dalam pelayanan

administrasi kependudukan sebanyak 72 orang dengan uraian sebagai berikut:

1. Menurut jabatan struktural:

- Eselon II B : 1 orang

- Eselon III A : 1 orang

- Eselon III B : 3 orang

- Eselon IV A : 9 orang

Jumlah : 14 orang

2. Menurut golongan:

- Golongan IV b : 1 orang

- Golongan IV a : 3 orang

- Golongan III d : 6 orang

- Golongan III c : 2 orang

- Golongan III b : 2 orang

- Golongan III a : 6 orang

Page 12: Bab IV Rev Perub

113

- Golongan II d : 2 orang

- Golongan II c : 3 orang

- Golongan II a : 18 orang

- Golongan I d : 1 orang

Jumlah : 44 orang

3. Tenaga honorer/PHL : 28 orang

4. Menurut pendidikan

- Sarjana (S1) : 13 orang

- Sarjana Muda : 5 orang

- SLTA : 55 orang

- SLTP : 1 orang

Jumlah : 74 orang

Page 13: Bab IV Rev Perub

114

Berikut ini adalah bagan struktur Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kota Palu

Gambar: 10 bagan struktur Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palu.

Kepala Dinas

Sekretariat

Sub BagianKeuangan dan Aset

Sub BagianKepegawaian & Umum

Sub BagianPerencanaan Program

KelompokJabatan

Fungsional

Bidang Pelayanan

Pendaftaranpenduduk

Bidang Pelayanan Pencatatan sipil

Bidang Pengelolaan Data dan Dokumentasi Kependudukan

Seksi Identitas

Penduduk

Seksi Pindah datang & Penduduk

Rentan

Seksi Sistem dan Teknologi Informasi

Seksi Pencatatan Perkawinan, Perceraian

dan Perubahan Kewarganegaraan

Seksi Pencatatan Kelahiran, Kematian,

Pengangkatan Pengakuan dan

Pengesahan Anak

Seksi Pengelolaan Data dan Dokumen Kependudukan

UPTD

Page 14: Bab IV Rev Perub

115

4.2. Pembahasan

4.2.1. Faktor yang Menyebabkan Belum mencapai tujuan Implementasi

Kebijakan Sistem Administrasi Kependudukan dalam Penerbitan

Kartu Keluarga.

4.2.1.1. Faktor Komunikasi

Faktor komunikasi menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan

satu program organisasi, termasuk implementasi program pemerintahan. Dalam

komunikasi pemerintahan yang menjadi komunikator adalah aparat pemerintahan

sebagai implementor kebijakan. Yang menjadi komunikan adalah penerima atau

tujuan dari kebijakan program pemerintah, dalam hal ini adalah masyarakat. Yang

dikomunikasikan adalah isi dari program kerja pemerintahan bagi masyarakat,

khususnya menyangkut kebijakan administrasi kependudukan. Tujuan dari

komunikasi kebijakan administrasi kependudukan adalah untuk penertiban sistem

administrasi kependudukan.

Salah satu persyaratan dalam keberhasilan implementasi kebijakan

adalah mengetahui isi kebijakan apa yang akan dilakukan oleh pihak yang

bertanggung jawab dalam hal ini implementor. Isi kebijakan harus ditransfer

kepada person yang tepat, kebijakan harus jelas, konsisten dan akurat sebelum

dilaksanakan. Untuk itu, keputusan kebijakan dan peraturan implementasi perlu

ditransmisikan dari pembuat kebijakan kepada personalia yang tepat sebelum

dilaksanakan. Karena itu perlu suatu komunikasi. Komunikasi membutuhkan

keakuratan, dan komunikasi secara akurat pula diterima oleh para implementor.

Banyak rintangan dalam menjalankan sebuah program atau kebijakan terletak pada

jalur transmisi komunikasi pada proses implementasi kebijakan.

Page 15: Bab IV Rev Perub

116

Suatu kebijakan akan diimplelemtasikan secara tepat, apabila ukuran

implememtasi juga tidak hanya bisa diterima, tetapi juga harus jelas. Jika tidak, tiak

para implementor akan mendapat kendala dalam proses implementasi kebijakan.

Dalam Implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan, komunikasi

dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai implementor kepada masyarakat.

Faktor komunikasi menjadi salah satu kendala dalam implementasi

kebijakan sistem administrasi kependudukan dalam penerbitan kartu keluarga di

Kota Palu. Isi kebijakan mengenai sistem administrasi kependudukan belum

ditransfer kepada person baik aparat pelayan penerbitan kartu keluarga maupun

terutama kepada masyarakat penerima layanan secara tepat. Kebijakan administrasi

kependudukan kurang dipahami oleh aparat, sehingga pelaksanaannya tidak

konsisten dan kurang akurat dalam mengimplementasikannya. Hal in terjadi karena

keputusan kebijakan dan peraturan implementasi sistem administrasi

kependudukan belum ditransmisikan secara tepat dan jelas dari pembuat kebijakan

kepada personalia yang tepat sebelum dilaksanakan.

Komunikasi belum berjalan efektif tidak hanya antara pembuat kebijakan

sistem administrasi kependudukan dengan aparat pelaksana disebabkan karena

sistem penyampaian yang sifatnya atasan dan bawahan, tetapi terlebih antara aparat

pemberi pelayanan administrasi kependudukan dengan masyarakat sebagai

penerima pelayanan. Dalam pelaksanaannya, terjadi ketidakjelasan makna akan isi

dari kebijakan tersebut sehingga terjadi miskomunikasi dari aparat pemberi

pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan data lapangan faktor penghambat

terjadi karena pelayanan terlalu berbelit-belit, adanya alur birokrasi, sistem

pelimpahan kewenangan sehingga pelaksanan sistem administrasi kependudukan

belum optimal.

Page 16: Bab IV Rev Perub

117

Pada prinsipnya, tujuan dari komunikasi mengenai kebijakan sistem

administrasi penduduk kepada masyarakat adalah untuk memberikan pemahaman

kepada masyarakat bahwa pendaftaran penduduk merupakan proses registrasi

penduduk yang meliputi pendataan dan pencatatan atau pelaporan peristiwa

kependudukan dalam rangka penerbitan dokumen identitas penduduk atau surat

keterangan kependudukan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Pendaftaran

penduduk merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menghimpun data penduduk

dan perubahannya akibat peristiwa kependudukan serta penerbitan identitas

penduduk yang secara sah dan benar.

Efektifitas komunikasi dilakukan dalam upaya memberikan informasi

bahwa sistem administrasi kependudukan penting bagi masyarakat dalam rangka

penertiban administrasi kependudukan seperti KK, KTP. Pentingnya sistem

admistrasi kependudukan sebagai bentuk komunikasi, dijalankan aparat pemerintah

melalui bentuk sosialisasi kepada masyarakat. Pentingnya sosialisasi sistem

administrsi kependudukan disampaikan juga oleh aparat pemerintahan2 bahwa:

aparat pemerintah telah melakukan sosialisasi khususnya randu casnaker atau yang

biasa disebut kependudukan dan pencatatan sipil kepada masyarakat. Dalam

sosialisasi tersebut disampaikan bagaimana prosedur untuk penerbitan Kartu

Keluarga. Jadi apalagi sekarang sudah berubah, yang mengurus langsung pihak

kependudukan dan pencatatan sipil pemerintah kota Palu. Jadi kecamatan hanya

memaraf formulir pendaftaran, dan formulir permohonan penerbitan kartu keluarga

dan dokumen kependudukan tersebut. Masyarakat harus memenuhi persyaratan-

persyaratan yang ada misalnya seperti harus ada Buku nikah, anta kelahiran dan

22 Wawancara dengan Kabid. Pelayanan dafduk , tanggal 9 september 2009

Page 17: Bab IV Rev Perub

118

pengantar dari RT, RW, kelurahan dan melengkapi formulir kependudukan sesuai

dengan domisili dan data-data yang benar dan akurat.

Proses sosialisasi yang dijalankan aparat dilakukan secara tertulis tidak

secara lisan. Sosialisasi secara lisan dilaksanakan oleh pemerintah kota khususnya

randu casnaker atau yang biasa disebut Dinas kependudukan dan pencatatan sipil

kota palu kepada aparat tingkat kecamatan dan kelurahan. Sosialisasi dimaksudkan

untuk memberi pemahaman kepada masyarakat bagaimana proses dan prosedurnya

untuk memudahkan proses pelayanan baik dari pihak aparat maupun terutama

untuk masyarakat.

Dari hasil observasi, proses sosialisasi memang sudah dilakukan aparat

pemerintah tetapi bukan kepada masyarakat. Sosialisasi itu hanya dilakukan kepada

aparat di kecamatan dan kelurahan. Sosialisasi kepada aparat pun hanya dilakukan

sekali saja. Kalau yang disosialisasikan itu hanya kepada aparat pelaksana atau

pemberi pelayanan di kelurahan, itu pun tidak intensif, dan aparat itu sendiri tidak

memahami isi kebijakan sistem administrasi kependudukan, maka komunikasi

kepada masyarakat mengenai kebijakan adminitrasi kependudukan tidak akan

berjalan. Sosialisasi mengenai pentingnya kebijakan administrasi kependudukan

mengalami miskomunikasi. Selama ini, pelaksanaan sosialisasi dilakukan secara

tertulis berupa surat edaran, maka proses komunikasi penyampaian UU NO 23

tahun2006 tentang Administrasi kependudukan tidak berjalan baik karena tidak ada

komunikasi antara aparat pemerintah sebagai komunikator dan masyarakat sebagai

komunikan. Tidak mengherankan masyarakat selalu dibingungkan ketika mengurus

Kartu Keluarga, karena persyaratan selalu tidak diurus secara tuntas.

Berdasarkan data dari informan dan hasil observasi, jelas terlihat bahwa

komunikasi kebijakan administrasi kependudukan mengalami hambatan. Hambatan

Page 18: Bab IV Rev Perub

119

terjadi dalam sistem birokratisasi pemerintahan itu sendiri. Komunikasi dari

pembuat kebijakan mengenai administrasi kependudukan belum disosialisasikan

secara optimal kepada aparat pemerintah sebagai pemberi pelayanan di tingkat

kecamatan dan kelurahan. Sehingga aparat pemberi pelayanan itu sendiri tidak

mengetahui isi kebijakan tersebut yang akan dikomunikasikan kepada masyarakat

penerima pelayanan. Dengan kata lain, komunikasi kebijakan administrasi

kependudukan bidang kartu keluarga terjadi searah.

Dengan demikian, dalam proses sosialisasi sistem administrasi

kependudukan khususnya dalam penerbitan Kartu Keluarga, belum dijalankan atau

belum terjadi komunikasi yang baik antara aparat pemerintah dengan masyarakat.

Hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Edwards III bahwa lancar atau

tidaknya komunikasi bertumpu pada kemampuan orang dalam organisasi untuk: 1)

menerima, memproses dan menghasilkan bahan-bahan yang perlu

dikomunikasikan kepada orang lain. 2) mengkomunikasikan informasi yang ada

pada seseorang dengan orang lain atau kelompok lain dimana yang bersangkutan

menjadi anggota. 3) memanfaatkan jalur komunikasi yang terdapat dalam

organisasi seefektif mungkin. 4) dan mengembangkan sistem penanganan

informasi dalam organisasi baik secara manual maupun dengan menggunakan

peralatan yang modern.

Dalam implementasi kebijakan sistem administrsi kependudukan

komunikasi memegang peran penting dalam upaya mensosialisasikan kebijakan

pemerintah di bidang sistem administrasi kependudukan serta memberikan

pengertian kepada masyarakat akan manfaat dan pentingnya program tersebut.

Komunikasi adalah proses menyampaian informasi, gagasan, keahlian, dan emosi

melalui simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar dan angka-angka. Hal

Page 19: Bab IV Rev Perub

120

tersebut harus dijalankan aparat pemerintah guna mencapai efektifitas dari

kebijakan sistem administrasi kependudukan kepada masyarakat. Sejalan dengan

itu, Harold Kontz (1988: 18) memberikan pengertian komunikasi sebagai

penyampaian informasi dari pengirim kepada penerima dan informasi itu

dimengerti oleh yang memerima. Komunikasi adalah pertukaran informasi, ide,

sikap, pikiran, dan pendapat.

Dengan demikian, implementasi kebijakan yang disampaikan melalui

komunikasi pemerintahan selalu berkaitan dengan proses penyampaian pesan

(berita) mengacu pada bagaimana suatu proses komunikasi menyampaikan pesan

yang berkaitan dengan isi kebijakan yang harus dipahami oleh implementor

kebijakan sebelum ditransmisikan kepada sebagai subkjek dari kebijakan dituju.

Dengan demikian, tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai secara efektif.

Sedangkan aspek proses pertukaran pikiran atau nilai berkaitan dengan makna-

makna pesan simbolik yang melekat pada sesuatu nilai budaya masyarakat dan

sebagainya. Antara proses penyampaian pesan atau informasi dan proses

pertukaran pikiran atau nilai dimaksud untuk mencari atau menemukan makna

yang sesungguhnya. Proses penyampaian pesan kebijakan kepada masyarakat,

hendaknya disesuaikan dengan situasi, kondisi, latar belakang budaya dan social

dari masyarakat bersangkutan. Kebijakan yang mengabaikan nilai, kultur, kondisi

dan latar belakang masyarakat sering menjadi hambatan dalam mencapai tujuan

dari kebijakan tersebut. Walaupun, secara konsptual isi dari formulasi kebijakan

tersebut bagus belum tentu dapat diterapkan secara tepat dan cocok dengan

penerimaan masyarakat.

Dalam proses implementasi kebijakan suatu program yang menyangkut

pelayanan publik sosialisasi sebagai bagian dari komunikasi sangat penting.

Page 20: Bab IV Rev Perub

121

Sosialisasi memudahkan satu program kerja diketahui, dipahami dan dijalankan.

Sosialisasi akan berhasil dan mencapai tujuan apabila memenuhi unsur-unsur

komunikasi. Unsur komunikasi yang harus diperhatikan dalam mensosialisasikan

satu program atau kebijakan sangat erat kaitannya dengan unsur komunikator,

komunikan dan pesan. Komunikator adalah pihak aparat pemerintah sebagai

implementor yang memberikan menyampaikan isi kebijakan. Komunikan adalah

masyarakat penerima pesan atau isi dari kebijakan. Pesan adalah isi dari kebijakan

yang ditransmisikan dari pembuat kebijakan kepada masyarakat. Pesan yang

dikomunikasikan oleh aparat pemerintah sebagai komunikator kepada masyarakat

sebagai komunikan perlu mendapat umpan balik guna mengetahui efetif dan tepat

sasar dari isi pesan yang telah dikomunikasikan kepada masyarakat. Untuk lebih

memahami prinsip dasar dari proses komunikasi, dapat dilukiskan gambar proses

komunikasi berikut:

Siapa.......... mengatakan apa......... bagaimana caranya ...... kepada siapa

....apa akibatnya

Gambar 11: Proses KomunikasiSumber: Gibson, et al, 1994

Komunikator, adalah seseorang yang memiliki gagasan, maksud, informasi

dan tujuan berkomunikasi. Penyediaan berfungsi menerjemahkan gagasan

komunikator menjadi serangkaian tanda yang sistematis menjadi bahasa yang

mengungkapkan tujuan komunikator. Bentuk utama dari penyediaan adalah bahasa.

Pesan merupakan hasil proses pembuatan berita.

komunikator pesan perantara penerima

balikan

Page 21: Bab IV Rev Perub

122

Dalam konteks implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan

khususnya dalam penerbitan kartu keluarga komunikasi menjadi salah satu sarana

yang tepat dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat sebagai komunikan.

Tujuan komunikator dalam implementasi kebijakan sistem administrasi

kependudukan yakni pihak pemerintah mengungkapkan dalam bentuk pesan –

baik secara lisan atau tulisan mengenai bentuk, jenis dan tujuan kegiatan serta

syarat-syaratnya bagi masyarakat dalam proses penerbitan kartu keluarga.

Komunikasi apapun bentuknya bagi aparat pemerintah sangat penting

sebagai salah satu saran sosialisasi kepada masyarakat, mengenai proses,

persyaratan serta pentingnya mengurus kartu keluarga. Karena, tanpa sosialisasi

kepada masyarakat akan pentingnya kartu keluarga maka program dan tujuan

implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan tidak akan efektif dan

mencapai sasaran. Oleh karena itu proses komunikasi yang kami jalankan

dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan. Dalam parakteknya, proses

komunikasi yang dijalankan tidaklah mudah. Komunikasi non verbal melalui

tulisan seringkali tidak tepat sasar, karena kebijakan dalam tulisan yang

disampaiakan kepada masyarakat kurang diserap dan dipahami. Oleh karena itu,

aparat melakukan sosialisasi sebagai bentuk komunikasi verbal kepada masyarakat

guna memperoleh pemahaman yang tepat mengenai isi kebijakan. 3

Yang masih dipertanyakan adalah apakah sudah efektifkah proses

sosialisasi yang dijalankan pihak pemerintah kepada masyarakat? Sebenarnya

bukan saja persoalan sosialisasi yang telah dilakukan, tetapi efeknya bagi

masyarakat penerima layanan. Masyarakat merasakan bahwa pelayanan Kartu

Keluarga masih sulit dan berbelit-belit. Apalagi pelayanan Kartu Keluarga masih

3 Wawancara dengan Mantan anggota DPRD, tanggal 5 September 2009

Page 22: Bab IV Rev Perub

123

dipusatkan di Kota Palu. Pelayanan belum tersebar ke kecamatan-kecamatan. Fakta

ini dapat dibenarkan dari informasi yang diberikan masyarakat penerima layanan.

Proses pelayanan Kartu Keluarga masih menggunakan cara lewat. Masyarakat

masih kesulitan untuk mengurus Kartu Keluarga. Masih berbelit-belit termasuk

juga soal biaya. Kita kebanyakan mengurus di kota Palu, ke sana sudah makan

biaya. Mengapa bukan pelayanan di kecamatan-kecamatan yang lebih dekat

sebagaimana di bandung, Jakarta.4

Dari keterangan informan di atas, diketahui bahwa selain sosialisasi

kepada masyarakat tentang pentingnya administrasi kependudukan seperti kartu

keluarga demi tertibnya administarsi kependudukan, masyarakat mengeluhkan

sulitnya dan berbelit-belitnya pelayanan kartu keluarga. Itu artinya, pelayanan kartu

keluarga menjadi hal yang sulit dan mahal. Fenomena ini bertentangan dengan

prinsip pelayanan yang harus murah, lebih cepat dan mudah.

Banyak tujuan komunikator berkomunikasi. Dengan demikian, pesan

adalah hal-hal yang diharapkan komunikator untuk disampaikan kepada penerima

tertentu, dan bentuk pastinya sebagian besar bergantung pada perantara yang

dipakai untuk menyampaikan pesan tadi. Keputusan yang berkaitan dengan bentuk

dan isi pesan tidak dapat dipisahkan. Perantara adalah sarana yang digunakan untuk

menyampaikan pesan.

Sebagai suatu proses, komunikasi mempunyai unsur yang memungkinkan

berlangsungnya suatu proses komunikasi, yaitu sumber (source), pesan (message),

penerima (receiver/destination), umpan balik (feedback/respon) dan hambatan/

gangguan (noise) (Sendjaja, 2004: 111).

4 Wawancara dengan Tokoh masyarakat, tanggal 30 Agustus 2009

Page 23: Bab IV Rev Perub

124

Sumber disebut juga sebagai komunikator atau sender atau pengirim, yang

merupakan pihak pertama yang memulai atau memprakarsai suatu komunikasi.

Dia dapat berupa orang perorangan atau suatu organisasi, baik pemerintah maupun

swasta. Pesan sering juga disebut sebagai content (isi) yang merupakan suatu

informasi, pengetahuan, gagasan atau maksud, keinginan, dan pikiran. Sedangkan

penerima yang disebut juga komunikan (audience/khalayak) merupakan pihak

yang dituju atau penerima informasi; dapat berupa individu maupun kelompok

atau juga masyarakat secara keseluruhan.

Dari temuan penelitian, diperoleh keterangan bahwa sarana komunikasi

seperti media cetak maupun elektronik dapat dijadikan sarana mengkomunikasikan

kebijakan pemerintah. Apabila nara sumber dari pihak pemerintah tidak dapat

bertatap muka secara langsung dengan penerima informasi karena jarak maupun

waktu atau penyebab lain, maka diperlukan unsur berikutnya yaitu saluran

(medium) atau disebut juga channel, yang dapat berupa media cetak atau media

elektronik, yang masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Media ini

sangat efektif, karena umumnya masyarakat menggunakan media ini setiap hari

seperti koran, radio. Unsur lain yang tidak kalah pentingnya dalam peristiwa

komunikasi adalah umpan balik (feed back), atau respon/tanggapan dari pihak

penerima terhadap pesan atau informasi yang diperolehnya dari sumber.

Dari umpan balik/respon/tanggapan dari masyarakat mengenai kebijakan

pemerintah dalam hal ini kebijakan yang berkaitan dengan sistem administrasi

kependudukan sebagai sumber informasi dapat mengetahui sejauh mana pesan

yang disampaikannya dapat diterima dan dimengerti atau dipahami dengan tepat

oleh masyarakat, sesuai dengan apa yang diinginkan dan bagaimana reaksi

penerima terhadap pesan yang disampaikan oleh pemerintah.

Page 24: Bab IV Rev Perub

125

Para ahli komunikasi menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah

hasil dari pemahaman bersama antara komunikator dan komunikan atau penerima.

Komunikator berusaha menciptakan kesamaan dengan penerima. Dengan

demikian kita dapat mendefinisikan komunikasi sebagai penyampaian informasi

dan pengertian dengan menggunakan tanda-tanda yang sama. Para peneliti tersebut

menaruh perhatian pada upaya menguraikan proses umum komunikasi. Unsur

dasarnya mencakup komunikator, penyandian, perantara, penguraian sandi,

penerima, balikan dan kegaduhan.

Pendapat Liliweri tentang unsur-unsur komunikasi yang perlu

dikembangkan dengan memperhatikan syarat-syarat komunikator, pesan, media

dan komunikan dapat menjelaskan proses komunikasi implementasi kebijakan

sistem administrasi kependudukan.

Bagan atau kerangka alur berpikir dapat dibangun berikut ini:

Page 25: Bab IV Rev Perub

126

KONTEKS

Memperhatikan syarat-syarat

Kredibilitas sifat bentuk tujuan komunikasi Ethos komunikasi komunikasi perubahan sikap Pathos verbal dan antar pribadi dan perilaku Logos non verbal kelompok Organisasi

Disesuaikan dengan Prinsip organisasi Faktor individu

Metode dan teknik

Informatif human relations Membujuk humas Instruktif pemaparan

Disesuaikan dengan konteks

Gambar 12: Unsur Komunikasi dalam Proses Komunikasi

Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa komunikator dalam hal ini

pemerintah jelas merupakan lembaga yang kredibel, yang dapat dipercaya oleh

masyarakat, asalkan, isi pesan komunikasi cocok dengan program, kebutuhan

masyarakat. Jika tepat sasar, maka pesan sebagai isi komunikasi adalah formulasi

kebijakan yang akan diimplementasikan bisa dijalankan dalam bentuk lisan, tulisan

atau bahkan melalui media komunikasi. Komunikan dalam hal ini masyarakat

memiliki sistem nilai yang dapat mengarahkan sikap dan perilaku. Oleh karena itu,

formulasi kebijakan sebagai pesan harus memenuhi kriteria system nilai yang

diterima masyarakat. Karena itu, dalam system komunikasi pemerintahan yang

akan dijalankan harus memenuhi metode dan teknik berkomunikasi. Dengan kata

lain, perlu pendekatan dalam menyampaikan komunikasi kepada masyarakat.

KOMUNIKATOR

PESAN MEDIA KOMUNIKAN

Page 26: Bab IV Rev Perub

127

Dalam ilmu komunikasi model ini disebut sebagai paradigma the postulat

of interpersonal need atau audienced baced approach. Postulat ini sekaligus

mengalahkan model tradisional komunikasi yang lebih mementingkan komunikator

daripada komunikan.

Sebagai output dari sosialisasi melalui proses komunikasi dalam hal ini

pihak pemerintah sebagai komunikator yang memberi informasi, penjelasan

mengenai bentuk kegiatan, program serta tujuan implementasi kebijakan sistem

administrasi kependudukan, kepada masyarakat atau komunikan sebagai penerima

pesan dalam hal ini program serta bentuk kegiatan bagi pencapaian tujuan yakni

penerbitan kartu keluarga, maka terdapatlah identifkasi terhadap keadaan,

keinginan dan skala prioritas implementasi.

Selain sosialisasi penting dalam komunikasi, aspek koordinasi juga sangat

penting dalam komunikasi. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem koordinasi yang

mantap dalam orgnisasi pemerintahan itu sendiri. Koordinasi sebagai satu fungsi

manajemen mempunyai arti penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Dengan

koordinasi yang baik, sasaran dan tujuan organisasi dapat dicapai lebih efektif dan

efisien. Koordinasi merupakan suatu teknik mempersatukan sejumlah keahlian dan

perhatian (skill and interest) saling bertentangan dan memimpinnya ke arah tujuan

bersama. Selain itu koordinasi merupakan “centripetal force” atau kekuatan

memusat di dalam administrasi.

Dalam implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan, fungsi

koordinasi sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam upaya pencapaian tujuan,

yakni pencapaian sasaran dalam pelayanan kepada masyarakat di bidang

administrasi kependudukan. Antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan di

bidang administrasi akan terjalin hubungan kerja sama dalam mancapai target

Page 27: Bab IV Rev Perub

128

dalam pelayanan penerbitan kartu keluarga sebagai salah satu kebijakan sistem

admistrasi kependudukan. Koordinasi akan sungguh diperlukan pemerinah dalam

mencapai produktivitas yang berhasilguna dan berdayaguna di bidang administrasi

kependudukan. Namun yang ditemukan di lapangan berbanding terbalik. Fungsi

koordinasi dalam implementasi kebijakan administrasi kependudukan tidak

berjalan baik. Top eksekutif sebagai pembuat kebijakan dan sebagai decision

mamker lebih melihat fingsinya dari aspek pimpinan. Sedangkan pelaksanaan

diserahkan sepenuhnya pada aparat pelaksana yang setiap hari berhadapan dengan

masyarakat penerima layanan. Antara atasan dan aparat pelaksana kebijakan

bekerja sesuai tugas masing-masing. Aparat pelaksana harus melaksanakan

kebijakan yang telah ditetapkan tanpa ada koordinasi antara keduanya.

Oleh karena itu, pihak pembuat kebijakan berpendapat bahwa karena

keterpaduan dan keserasian semua usaha dan kegiatan, pemikiran, dan daya guna

dari semua pemegang fungsi unit atau instansi akan merupakan suatu kekuatan

yang ampuh sehingga kelemahan-kelemahan organisasi dapat teratasi. Oleh karena

itu koordinasi sangat penting antar sektor dan antar lini. Koordinasi merupakan

unsur penting untuk meningkatkan produktivitas kinerja aparat dalam

menerjemahkan kebijakan sistem administrasi kependudukan apabila hal tersebut

dapat difungsikan secara efektif. Keefektifan koordinasi sangat ditentukan oleh

peran pimpinan dalam memadukan berbagai koordinasi yang diarahkan pada

pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.5

Koordinasi berjalan baik jika ada jembatan yang menghubungi program

kerja antara atasan sebagai pembuat dan pengambil keputusan dengan pihak aparat

pelaksana yang bertugas untuk memberikan pelayanan. Dalam konteks pelayanan

5 Wawancara dengan Wakil Walikota, tanggal 12 Oktober 2009

Page 28: Bab IV Rev Perub

129

Kartu Keluarga, belum ditemukan koordinasi antar lini sebagaimana diungkapkan

pihak LSM. Dikatakan bahwa dalam menjalankan kebijakan sistem administrasi

kependudukan dalam penerbitan Kartu Keluarga dan KTP, koordinasi belum

nampak antara pihak pimpinan dan pihak aparat pemberi pelayanan. Mengingat

belum rapinya aparat pemberi pelayanan dalam menerjemahkan kebijakan sistem

administrasi kependudukan. Seperti ada kesenjangan antara pihak pimpinan

sebagai pembuat kebijakan dengan aparat pemberi layanan kepada masyarakat.6

Hasil observasi menunjukkan bahwa koordinasi belum berjalan baik antar

lini, antara pimpinan dalam dinas kependudukan dan catatan sipil dengan aparat

pemberi layanan Kartu Keluarga kepada masayrakat. Masih ada kesan berjalan

sendiri-sendri. Ditambah lagi, proses pelayanan lamban, aparat pemberi layanan

juga terbatas kemampuan dan kompetensinya. Belum lagi sistem copot, pindah

aparat yang ada. Sehingga membingunkan aparat untuk memfokuskan dirinya

dalam melayani masyarakat secara mantap.

Koordinasi merupakan suatu sinkronisasi yang teratur dari usaha-usaha

untuk menciptakan kepantasan kuantitas, waktu dan pengarahan pelaksanaan yang

menghasilkan keselarasan dan kesatuan tindakan untuk tujuan yang telah

ditetapkan. Stoner (1992 : 501) mengatakan, koordinasi adalah proses perpaduan

sasaran dan kegiatan unit-unit kerja (bagian-bagian atau bidang-bidang fungsional)

yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif.

Kaitan pendapat Stoner dengan penelitian ini dilihat dari perpaduan sarana

dan unit-unit kerja yang ada dalam konteks dan skope pemerintahan kota Palu.

Koordinisasi dalam implementasi kebijakan system administrasi kependudukan

6 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 29: Bab IV Rev Perub

130

perlu dilihat dari sinergitas antara unit pemerintahan. Perlu ada kesinambungan

program kerja dan kebijakan dari pimpinan sampai pada aparat pelasana demi

tercapainya tujuan bersama, yakni keberhasilan dalam penerbitan kartu keluarga

sebagai bagian dari tertib system administrasi kependudukan.

Pentingnya koordinasi dalam menjalankan program pemerintah dalam

sistem administrasi kependudukan juga diungkapkan anggota DPRD. Suatu

organisasi yang multi fungsi dengan sifat dan jenis pekerjaan yang berbeda seperti

dalam organisasi pemerintahan, pada prinsipnya koordinasi mutlak harus

dilaksanakan. Karena dengan koordinasi yang baik maka kebijakan administrasi

kependudukan yang bertujuan untuk lengkapnya dan mudahnya sistem administrasi

kependudukan bagi masyarakat dapat dicapai lebih efektif dan efeisien. Tanpa

koordinasi para pelaku dan pelaksana kebijakan sistem administrasi kependudukan

akan kehilangan pemahaman akan perannya dalam menjalankan tugasnya di dalam

melayani masyarakat.7

Berdasarkan pengamatan di lapangan8, dapat dikatakan bahwa koordinasi

nampaknya belum terjalin secara baik antara pejabat tingkat dinas sebagai pembuat

kebijakan dengan aparat di kecamatan dan kelurahan sebagai implementor

kebijakan administasi kependudukan. Hal ini, nampak dari tidak berjalannya

sosialisasi kebijakan dari pemerintah tingkat dinas kepada aparat di kecamatan dan

kelurahan. Apalagi sosialisasi kebijakan administrasi kependudukan yang

dilakukan oleh aparat pemerintah kepada masyarakat tidak pernah dilakukan. Jadi,

sistem koordinasi antar lintas dan sektoral dalam pemerintahan itu sendiri lemah.

7 Wawancara dengan Mantan Anggota DPRD, tanggal 5 september 2009 8 fgchghfghf

Page 30: Bab IV Rev Perub

131

Luasnya kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan perlunya

komunikasi dari tugas-tugas tersebut. Koordinasi yang tepat akan membawa

konsekwensi dari tugas-tugas yang dilakukan dan tingkat saling ketergantungan

berbagai unit yang menjalankan tugas-tugas tersebut. Koordinasi yang tepat akan

membawa konsekwensi yang menguntungkan terhadap pencapaian tujuan

perusahaan dalam mewujudkan pencapaian tujuan bersama, yakni kemandirian dan

keberdayaan masyarakat dalam berbagai aspek. Karena, hampir semua organisasi

memandang bahwa koordinasi merupakan unsur penting untuk menunjang

kebersamaan di dalam mencapai tujuan.

Sehubungan dengan itu, menurut Hasibuan (1990 : 85), koordinasi dapat

diartikan menggerakkan segala usaha sebanyak mungkin atau usaha mencegah

terjadinya kekacauan, percekcokan, kekembaran atau kekosongan pekerjaan.

Orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan dan diarahkan pada pencapaian tujuan

tertentu. Oleh karena itu koordinasi mempunyai arti penting bagi tujuan organisasi.

Dalam organisasi pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dan

dalam berbagai tingkatan serta instansi, dinas terkait koordinasi penting dilakukan.

Koordinasi yang baik akan mempunyai efek adanya efisiensi terhadap organisasi

itu. Karena itu maka koordinasi adalah memberikan sumbangan (kontribusi) guna

tercapainya efisiensi terhadap usaha-usaha yang lebih khusus, sebab kegiatan

organisasi itu adalah dilakukan secara spesialisasi. Bila tidak akan terjadi

pemborosan yaitu pemborosan uang, tenaga dan alat-alat.

Salah satu aspek dari fungsi koordinasi adalah memfungsikan efek terhadap

moral dari pada organisasi itu, terutama yang berhubungan dengan peranan

kepemimpinan (leadership). Kalau kepemimpinan kurang baik, maka ia kurang

Page 31: Bab IV Rev Perub

132

melakukan koordinasi yang baik. Oleh karena itu koordinasi

menentukan/mempengaruhi terhadap keberhasilan dari para kepemimpinan. Hal ini

sangat penting dalam kaitan dengan pola kepemimpinan pemerintahan daerah.

Belum efektifnya implementasi kebijakan system administrasi kependudukan,

salah satu faktornya adalah kurang baik pola manajemen kepemimpinan dalam

menerapkan kebijakan yang diputuskan untuk sungguh sesuai dengan penrapannya

di lapangan.

Dalam konteks hubungan personal, hubungan struktural antara antasan dan

bawahan belum menunjukkan fungsi koordinasi yang baik. Koordinasi mempunyai

efek terhadap perkembangan dari pada personal di dalam orgnisasi itu. Artinya

bahwa unsur pengendalian personal dalam koordinasi itu harus selalu ada. Orang

tidak selalu dibebaskan begitu saja, tetapi harus dikendalikan. Oleh karena itu

personal harus diperhatikan pekerjaannya dan akan merasa senang bila mendapat

penghargaan dari hasil kerjanya, sebab kalau terjadi kekeliruan biasanya yang

selalu disalahkan adalah bawahanya, padahal seharusnya adalah tanggungjawab

pimpinan, yang antara lain karena kurang mengadakan koordinasi.

Apabila melihat dari pentingnya koordinasi berarti tidak perlu ragu-ragu

lagi bahwa penerapan koordinasi di dalam suatu organisasi memang mutlak

dilaksanakan.

Penerapan koordinasi bagi setiap organisasi mempunyai manfaat yang

besar, apabila organisasi yang kompleks atau multi fungsi seperti halnya organisasi

(pemerintah daerah) justru koordinasi sangat diperlukan. Hal tersebut dimaksudkan

agar lembaga atau dinas daerah yang terkait dalam penyelenggaraan pemerintahan

di daerah terdapat keselarasan dan kesamaan tindakan dalam penyelenggaraan

Page 32: Bab IV Rev Perub

133

tugas-tugasnya. Dengan dilaksanakan koordinasi berarti sasaran dan tujuan yang

diinginkan dapat dicapai lebih efektif dan efisien. Namun pelaksanaan koordinasi

tidak akan memberikan konstribusi bagi pencapaian tujuan apabila dalam

perumusan koordinasi tidak jelas. Untuk itu perlu adanya perumusan yang jelas

sehingga koordinasi dapat berjalan secara efektif.

Dewasa ini situasi kondisi selalu berubah-ubah, sehingga perlu diantisipasi

oleh sebuah manajemen yang profesional dan modern. Dalam menghadapi situasi

yang terus berubah, organisasi pemerintah memerlukan sasaran yang jelas dan arah

bagi para aparatnya, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai dengan lebih efektif

dan efisien. Hal ini terkait langsung dengan praktek pemerintahan dalam

menentukan kebijakan dan melaksanakan kebijakan berkaitan dengan system

administrasi kependudukan. Hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan

koordinasi adalah pada saat perumusan kebijaksanaan koordinasi harus sudah

dimulai. Perlu ditentukan secara jelas siapa atau satuan kerja mana yang secara

fungsional berwenang dan bertanggungjawab atas suatu masalah. Pejabat atau

instansi mana yang secara fungsional berwenang dan bertanggungjawab mengenai

suatu masalah berkewajiban memprakarsai dan mengkoordinasikan. Perlu

dirumuskan secara jelas wewenang, tanggungjawab dan tugas-tugas satuan kerja.

Perlu dirumuskan program kerja organissi secara jelas yang memperlihatkan

keserasian kegiatan diantara satuan-satuan kerja. Perlu ditetapkan prosedur dan tata

cara melaksanakan koordinasi. Perlu dikembangkan komunikasi timbal balik untuk

menciptakan satuan bahasan dan kerja sama.

Pemerintah sebagai pemegang kewenangan dan kekuasaan tidak

selamanya secara sepihak melakukan apa saja tanpa kerja sama dengan pihak lain

Page 33: Bab IV Rev Perub

134

dalam hal ini dengan aparat sendiri sebagai implelentor kebijakan, dengan

masyarakat sebagai penentu keberhasilan berbagai kebijakan pemerintah. Oleh

karena itu, faktor komunikasi sangat penting diperhatikan dalam menentukan

kebijakan. Kebijakan itu akan berdaya guna jika dapat disosialisasikan dengan

tepat kepada implementor kebijakan untuk sampai kepada masyarakat. Oleh karena

itu fungsi koordinasi harus dijalankan secara tepat guna keberhasilan implementasi

kebijakan sebagaimana berkaitan dengan kebijakan system administrasi

kependudukan. Dengan kata lain, hubungan pemerintahan dengan masyarakat, dan

dengan pihak swasta membangun hubungan good governance.

Dari, fakta, data dan teori mengenai komunikasi dalam upaya

mensosialisasikan kebijakan sistem administrasi kependudukan dari pihak aparat

pemerintah pemberi pelayanan sebagai komunikator kepada masyarakat sebagai

komunikan mengenai pesan kebijakan sebagai isi komunikasi belum berjalan

efektif. Faktor utama adalah isi kebijakan administrasi kependudukan yang

bertujuan untuk penertiban administarsi kependudukan belum disosialisasikan

kepada aparat pemberi pelayanan kartu keluarga. Sehingga kebijakan administrasi

kependudukan tidak dapat disosialisasi kepada masyarakat. Ketika kebijakan

tersebut disosialisasikan paksa kepada masyarakat karena keterdesakan, maka akan

terjadi miskomunikasi.

Hal ini berkaitan dengan, kurang adanya koordinasi diantara dinas dengan

unit dan sub unit dalam lingkup dan jajaran dinas kependudukan dan catatan sipil.

Ada kelalaian pihak atasan dalam mentransmisikan kebijakan administrasi

kependudukan kepada aparat pemberi pelayanan. Itu berarti, manajemen sumber

daya manusianya tidak profesioanal dalam menjalankan tugas dan pelayanan.

Page 34: Bab IV Rev Perub

135

4.2.2. Sumberdaya

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pengamatan peneliti, diperoleh data

lapangan bahwa dominasi atau mayoritas aparat belum didukung oleh sumber daya

yang memadai. Pegawai sangat minim, baik dari segi kualifikasi, kompetensi,

pengalaman maupun dari aspek tingkat pendidikan. Secara umum, tidak dapat

banyak diharapkan menyangkut tuntutan efektivitas kinerja aparat, bila output

pendidikan aparatnya rendah berdasarkan kualifikasi pendidikan. Hal yang lebih

memprihatinkan adalah dari jumlah pegawai yang minim baik dari aspek kualitas

maupun kuantitasnya, masih banyak pegawai ditempati oleh tenaga honorer yang

juga tidak memiliki kualifikasi dan pengalaman pelayanan kepada masyarakat di

bidang administrasi kependudukan khusunya dalam penerbitan kartu keluarga.

Tabel 4.9: Data Pegawai Dinas Kependudukan di Kota Palu

No Pegawai JumlahSarjana (S1)Sarjana MudaSLTASLTPHonorer/PHL

13 orang5 orang55 orang1 orang28 orang

Data di atas, menunjukkan bahwa penyebaran aparat dan sumberdaya manusia

aparat belum merata baik dari tingkat pendidikan maupun kemampuan dalam

berkarya menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat dan fungsi

implementasi kebijakan pemerintah di bidang system administrasi kependudukan.

Dari jumlah pegawai yang ada, didominasi oleh yang berpendidikan SLTA. Belum

lagi tenaga honorer. Nampak, bahwa persoalan kompetensi, skill dan tanggung

Page 35: Bab IV Rev Perub

136

jawab aparat sebagai implementor kebijakan system administrasi kependudukan

bisa menjadi faktor penghambat keberhasilan.

Sumber daya aparat dalam organisasi pemerintahan baik menyangkut

sistem, struktur, maupun konteks pusat maupun daerah sangat ditentukan oleh

kualitas aparat yang ada. kualitas dapat ditentukan oleh pendidikan, pengalaman,

pelatihan aparat sesuai bidang tugas dan pelayanan yang akan diberikan kepada

masyarakat. Kemampuan aparat pemerintah akan menjanjikan kekuatan-kekuatan

dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah. Menurut Katz dan Rosenwiegh

(1970 : 220), kemampuan adalah “to mobilize, allocate, and combine the action

that one technically needed to achieve development objectives” (mengerahkan,

menyediakan dan menyatukan berbagai tindakan yang secara teknis dibutuhkan

guna mencapai tujan pembangunan). Sedangkan Taliziduhu (1999 : 12)

berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi adalah:

Sumber Daya Manusia yang mampu menciptakan bukan saja nilai komparatif, tetapi juga nilai-nilai kompetitif-generatif-inovatif dengan menggunakan energi tertinggi seperti intellegence, creativity dan imagination; tidak lagi semata-mata menggunakan energi kasar seperti bahan mentah, lahan, air tenaga otot dan sebagainya).

Komunikasi sangat penting dalam proses implementasi kebijakan.

Komunikasi merupakan sarana penghubung pemerintah sebagai implementor

kepada masyarakat sebagai komunikan berbagai program kerja dan kegiatan kerja

pemerintah yang akan diimplementasikan. Namun demikian, sangatlah dibutuhkan

sumberdaya manusia yang handal dalam organisasi pemerintahan untuk melakukan

komunikasi pemerintahan. Implemtasi kebijakan akan efektif, jika didukung oleh

sumberdaya para implementornya. Jika implementornya kekurangan

sumberdayanya, implementasi akan mungkin menjadi tidak efektif. Sumberdaya

Page 36: Bab IV Rev Perub

137

penting dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Sumberdaya meliputi staf

dengan jumlah yang cukup dan dengan keterampilan yang tepat untuk menjalankan

tugasnya (Edwards III, 2003:55-56)

Kemampuan (keterampilan) pegawai pada tingkat lokal dalam memberikan

pelayanan-pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sesuai bidang tugasnya

merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Pada tingkatan ini terjadi

hubungan-hubungan pemerintahan dalam bentuk publik goods maupun jasa

layanan. Indikator yang menunjukkan baik tidaknya suatu produk adalah kualitas

produk itu sendiri. Kualitas produk tersebut sangatlah tergantung pada

profesionalisme atau keterampilan teknis penyedia layanan. Khususnya layanan

civil yang merupakan monopoli pemerintah, sudah tentu kualitas layanan sangat

tergantung pada aparat pemerintah yang bertugas mengelola layanan tersebut.

Pihak LSM berpendapat bahwa seseorang akan mampu melakukan suatu

tindakan apabila memang ada kekuasaan untuk mengerahkan atau menggerakkan

segala dayanya. Tentunya ini berkaitan dengan potensi yang dimiliki oleh personal

atau pribadi itu dan ini dapat dilihat dari kemampuan yang merupakan salah satu

unsur dalam kematangan berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang

diperoleh dari pendidikan, latihan dan pengalaman. Dukungan pemerintah dalam

pemberdayaan masyarakat sangat diandalkan pada kemampuan dan sumberdaya

aparatnya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kualitas sumberdaya aparat dalam

menjalankan program yang ada.9

Dalam kaitannya dengan impelentasi10 kebijakan sistem administrasi

kependudukan, dukungan sumber daya aparat belum memadai. Dalam menjalankan

9 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 200910 gfhgfhfgjgjgjf

Page 37: Bab IV Rev Perub

138

tugas pelayanan di kecamatan misalnya, aparat lebih didominasi oleh tenaga-tenaga

honorer. Dengan belum meratanya sumberdaya aparat yang berkualitas dalam arti

aparat ditempatkan sesuai pendidikan dan ketrampilan maka belum bisa diharapkan

akan terjadi peningkatan kualitas pelayanan serta tercapainya kepuasan masyarakat.

Hal ini seperti diungkapkan oleh informan.

Aparat yang bekrja tidak sesuai dengan latar belakang bidang pendidikan

dan kompetensi, dan banyak yang masih honorer, aparat pemberi pelayanan belum

mampu menjalankan tugasnya. Hal ini diungkapkan seorang aparat pemberi

pelayanan. Kalau untuk sumber daya dikecamatan itu walau sudah diberikan

pembekalan dan ketrampilan, karena masih banyak yang honorer, yang

berpendidikan SLTA malah belum bisa dikatakan berhasil. Walaupun, dari pihak

masyarakat tidak ada keluhan, namun kinerja aparat belum menunjukkan hasil

yang memuaskan. Yang menjadi kendala adalah adalah seringnya lampu padam.

Kalau sumber aparat disini sudah mampu melaksanakan sendiri.11

Walaupun demikian, kualitas sumber daya aparat harus tetap diperhatikan,

kareana aparat pemerintahan merupakan organ profesional dari lembaga

pemerintahan yang bertugas menjalankan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga

pendidikan, pengetahuan, ketrampailan mutlak diperlukan oleh aparat

pemerinahan.

Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Katz dan

Rosenweigh (1970 : 222) bahwa kemampuan tergantung pada keterampilan dan

pengetahuan (alibility depends upon both skill and knowledge). Dua unsur yaitu

pengetahuan dan ketrampilan merupakan determinan dari kemampuan yang

11 Wawancara dengan Kabid dafduk, tanggal 9 September 2009

Page 38: Bab IV Rev Perub

139

diperolah dari pendidikan formal, informal dan non formal yang dapat menunjang

peningkatan kecakapan. Melalui pendidikan akan membentuk dan menambah

pengetahuan seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat dan tepat.

Lebih lanjut Rosenweig (1970) berpendapat bahwa kemampuan kerja

antara lain ditentukan oleh mutu pekerjaan yang dapat digambarkan melalui tingkat

dan jenis pendidikan. Selain pendidikan, latihan juga dapat membentuk dan

meningkatkan ketrampilan kerja. Ketrampilan seorang pegawai dalam

melaksanakan tugas yang dibebankan sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan

kualitas latihan/training yang telah dialaminya. Bahwa pendidikan dan pelatihan

tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan

bekerja, dengan demikian dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Pendidikan

dan pelatihan merupakan proses pembinaan pegawai untuk menghasilkan tenaga

kerja profesional, dan pada gilirannya mampu menghasilkan output (keluaran)

yang lebih baik.

Berdasarkan pendapat di atas, jelas bahwa pendidikan dan pelatihan sangat

diperlukan dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan pegawai. Namun

perlu diketahui bahwa untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan tidaklah mudah,

disamping telah memenuhi persyaratan baik itu kepangkatan, dedikasi dan loyalitas

juga harus mengikuti seleksi. Hal ini senada dengan Thoha (1995 : 181) yang

mengatakan bahwa pendidikan dan pelatihan haruslah selektif dan bukan bersifat

massal seperti sekarang ini. Tidak setiap orang dapat mengikuti pendidikan dan

pelatihan. Selanjutnya ia mengatakan hanya pejabat yang telah terseleksi secara

berjenjang di forum pendidikan dan pelatihan dan di tempat kerja, sesuai dengan

Page 39: Bab IV Rev Perub

140

perencanaan karier yang dikembangkan yang dapat mengikuti pendidikan dan

pelatihan.

Pengalaman merupakan potensi yang besar untuk melakukan pekerjaan

secara efektif, karena seseorang tidaklah cukup berlatar belakang pendidikan saja

atau ketrampilan yang dimiliki turut menentukan kemampuan dalam tugasnya.

Pengalaman merupakan kemampuan setiap orang untuk beradaptasi terhadap

perbedaan dan perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal. Menurut

Siagian (1992 : 60) yang dimaksud pengalaman merupakan keseluruhan pelajaran

yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilakukan dalam

perjalanan hidupnya.

Dalam implementasi kebijakan sistem administrsi kependudukan, tidak

jarang ditemukan berbagai macam hambatan dan kendala. Kendala yang biasanya

dijumpai adalah kesenjangan antara apa yang telah diprogramkan pihak pembuat

kebijakan dengan apa yang akan dijalankan di lapangan. Pengalaman kerja di

lapangan bisa menjadi salah satu problem. Walau secara kualitas, penguasaan

pengetahuan tidak diragukan, tetapi belum tentu dalam melaksanakan proram kerja

di masyarakat akan sejalan. Karena itu unsur pengalaman juga turut mendukung

kinerja aparat dalam menerjemahkan implementasi kebijakan sistem administrasi

kependudukan kepada masyarakat.

Selain tingkat pendidikan yang menjadi faktor utama dalam meningkatkan

sumber daya aparat di dalam organisasi pemerintahan, faktor kemampuan

(keterampilan) pegawai pada tingkat lokal dalam memberikan pelayanan-

pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sebagai bentuk transfer kebijakan

sistem administrasi kependudukan merupakan salah satu hal yang mutlak

Page 40: Bab IV Rev Perub

141

diperlukan. Pada tingkatan ini terjadi hubungan-hubungan pemerintahan,

serta”transaksi-transaksi” pelayanan yang lebih kongkrit. Ibarat “dapur” di sinilah

produk-produk layanan diolah lalu kemudian disediakan kepada pelanggan dalam

bentuk penerbitan kartu penduduk dan kartu keluarga. Indikator yang

menunjukkan baik tidaknya suatu produk adalah kualitas produk itu sendiri.

Dalam hal ini kualitas produk tersebut sangatlah tergantung pada profesionalisme

atau keterampilan teknis penyedia layanan yang menunjukan kualitas layanan

dimaksud. Profesionalisme aparat sangat erat kaitannya dengan kualitas sumber

daya aparat yang ditentukan oleh tingkat pendidikan aparat dan skill yang

menentukan kemampuan aparat dalam menjalankan tugas. Khususnya layanan

kartu keluarga sebagai pelayanan civil yang merupakan monopoli pemerintah,

sudah tentu kualitas layanan sangat tergantung pada pegawai pemerintah yang

bertugas mengelola layanan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, keberhasilan implementasi kebijakan sistem

administrasi kependudukan di bidang penerbitan kartu keluarga merupakan

tanggung jawab aparat pemerintah ditentukan oleh sumber daya aparat yang

didukung oleh out put pendidikan seseorang pegawai, keterampilan teknis pegawai,

serta skill individu aparat yang ditugaskan untuk itu. Konsekuensi dari hal tersebut

pada tingkat empirik adalah ketika di tingkat dinas, Seksi di kecamatan hingga

kelurahan para staf yang menjadi implementor kebijakan sistem administrasi

kependudukan stafnya tidak memiliki keterampilan khusus tentang itu, maka

peluang “human error” menjadi sangat besar dan tidak terhindari dalam

penyelesaian administrasi kependudukan khususnya kartu keluarga. Hal tersebut

disebabkan kualitas sumber daya aparat yang rata-rata berada pada golongan II dan

III. Dari jenjang pendidikan posisi aparat memiliki disiplin ilmu hanya setingkat

Page 41: Bab IV Rev Perub

142

SLTA, dan diploma. Belum lagi aparat yang ada dibantu oleh tenaga tenaga

honorer yang berpendidikan SLTA pula. Dalam tahap implementasinya, akan

mengalami berbagai kesulitan dalam menyediakan layanan kartu keluarga yang

berkualitas. Kesulitan yang selalu dihadapi oleh pihak aparat antara lain adalah

dalam hal ketepatan pemberian layanan, serta kecepatan melayani pelanggan dalam

jumlah banyak.

Faktor sumber daya aparat sangat menentukan dalam mencapai efektivitas

implementasi kebijakan publik. Sumberdaya manusia aparat sangat ditentukan oleh

faktor pendidikan yang ikut mempengaruhi faktor penerimaan pegawai. Faktor

pengalaman, usia turut mempengaruhi keberhasilan rekrutmen. Akan tetapi faktor

terpenting adalah faktor pendidikan, strata dan keahlian yang menentukan

kompetensi seseorang dalam pekerjaan.

Andrew E. Sikula (1981:145) mengemukakan bahwa: Human resources of

manpower planning has been definedas the process of determining manpower

requirements and the means formeeting those requirements inorder to carry out

the integrated plans of the organization (Perencanaan sumber daya manusia atau

perencanan tenaga kerja diidentifikasikan sebagai proses menentukan kebutuhan

tenaga kerja dan berarti mempertemukan kebutuhan tersebut agar pelaksanaannya

berintegrasi dengan rencana organisasi).

Secara teoritis dapatlah diambil pendapat Mangkunegara (2000:5) yang

berpendapat bahwa komponen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan sumber

daya manusia meliputi tujuan, perencanaan organisasi, pengauditan sumber daya

manusia, dan peramalan sumber daya manusia. Perencanaan sumber daya manusia

harus mempunyai tujuan yang berdasarkan kepentingan individu, organisasi, dan

Page 42: Bab IV Rev Perub

143

kepentingan nasional. Tujuan perencanaan sumber daya manusia adalah

menghubungkan sumber daya manusia yang ada untuk kebutuhan perusahaan pada

masa datang.

Menurunnya kualitas sumber daya aparat dalam meningkatkan Kualitas

pelayanan administrasi kependudukan juga nampak dalam lemahnya organisasi

perencenaan aparat di kota palu. Lemahnya organisasi pemerintahan diungkapkan

oleh salah satu LSM. Tidak berjalannya implementasi kebijakan sistem

administrasi kependudukan secara organisisi dimulai dari kurang adanya

perencanaan perekrutan aparat, mulai dari proses kesesuaian jumlah pegawai

hingga penempatan pegawai secara benar dan efektif. Penentu kebijakan di dinas

kependudukan kurang memperhatikan masalah perencanaan sumber daya manusia

yang berkaitan dengan bagaimana mencapai tujuan dan merealisasikan

perencanaan organisasi dalam implementasi kebijakan yang dimaksud.12

Apa yang dikemukakan di atas sudah menjadi fenomena dalam

perencanaan dan penerimaan pegawai baru. Yang diperoleh dari hasil pengamatan,

ditemukan bahwa kebanyakan pegawai bekerja dan ditempatkan di kantor

pemerintahan tidak berdasarkan latar belakang pendidikan dan pengalaman.

Perencanaan pengadaan pegawai belum disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga

prinsip the right men on the right place tidak berlaku. Aparat pemberi pelayanan

kartu keluarga, banyak yang dari latar belakang ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu

hukum bahkan dari SLTA.

Dengan demikian, belum efektifnya implementasi kebijakan sistem

adminisrasi kependudukan dalam penerbitan kartu keluarga lebih banyak

12 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 43: Bab IV Rev Perub

144

disebabkan oleh ketidakmampuan aparat dalam menjalankan tugas. Kenyataan ini

nampak jelas dari berbagai masalah yang diakibatkan oleh kinerja aparat

pemerintah yang tidak optimal. Tidak memadainya kualitas aparat pemerintahan,

juga diakui oleh masyarakat. Dikatakan bahwa kebanyakan yang bertugas adalah

aparat yang tidak memiliki keterampilan dan pengalaman. Para petugas di

lapangan hanya menjalankan tugas karena terdesak oleh perintah atasan, bukan

terpanggil untuk melayani masyarakat. Sehingga pelayanan yang diberikan tidak

memuaskan masyarakat. Petugas di lapangan lebih mengutamakan haknya, lebih

menuntut kewajiban yang diberikan masyarakat, sedangkan hak masyarakat tidak

mendapat perhatian yang serius.13

Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan dan hasil pengamatan

peneliti, maka dapat dirumuskan makna dan pengertian perencanaan sumber daya

manusia atau perencanaan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam implementasi

kebijakan sistem administrasi kependudukan sebagai suatu proses menentukan

kebutuhan akan tenaga kerja berdasarkan peramalan, pengembangan,

pengimplementasian, dan pengontrolan kebutuhan tersebut yang berintegrasi

dengan rencana organisasi agar tercipta jumlah pegawai, penempatan pegawai

secara tepat dan bermanfaat secara ekonomis.

Karena itu aspek pengauditan sumber daya aparat menjadi isu sentral.

Pengauditan Sumber Daya Manusia adalah suatu proses intensif, penyelidikan,

penganalisisan, dan pembandingan informasi yang ada dengan norma standar yang

berlaku. Pengauditan sumber daya manusia meliputi penelusuran secara normal

dan sistematis mengenai efektivitas program kepegawaian, program analisis

13 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009

Page 44: Bab IV Rev Perub

145

jabatan, penarikan pegawai, testing, pelatihan dan pengembangan manajemen,

promosi jabatan, transfer, taksiran pegawai, hubungan kerja, pelayanan pegawai,

moral dan sikap kerja, penyuluhan pegawai, upah, administrasi upah, dan

penelitian pegawai.

Salah satu faktor yang menentukan kinerja dan gerak maju seorang aparat

pemerintahan dalam membangun pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab

terhadap tugas dan jabatannya adalah faktor rekrutmen. Kalangan LSM ,

menyatakan bahwa proses rekrutmen pegawai sangat penting. Penting untuk

melihat seberapa jauh proses rekrutmen pegawai di daerah terutama yang akan

ditempatkan pada tingkat kematan dan kelurahan, telah dilakukan dengan

mengikuti prinsip-prinsip kompetisi secara fair dan transparan. Transparan dalam

proses rekrutmen pegawai penting untuk memberikan jaminan bahwa birokrasi di

daerah telah secara konsisten menjalankan prinsip-prinsip merit system, artinya

sistem rekrutmen aparat di dalam birokrasi pemerintahan aspek kompetensi dan

keahlian dalam bidang tertentu yang dapat menjamin tujuan dari rekrutmen aparat

pemerintahan yang baru.14

Apa yang diungkapkan LSM mengenai sistem rekrutmen yang mengikuti

prinsip merit system, perlu dijelaskan dan dikonfrontasikan dengan fakta di

lapangan. Berdasarkan fakta yang diamati, ternyata perekrutan pegawai belum

menunjukkan taranparansi dan mengedepankan kompeten. Perekrutan masih

bermuatan kepentingan. Hal ini juga diungkapkan oleh tokoh masyarakat. Sitem

perekrutan pegawai belum menunjukan keterbukaan dan pemerataan. Seleksi

penerimaan pegawai masih tertutup, yang masuk belum tentu profesional, karena

14 Wawancara dengan Anggota, LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 45: Bab IV Rev Perub

146

sudah ada jatah karena didominasi oleh kepentingan keluarga, duit. Sehingga tidak

mengherankan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sering

mengecewakan. Harapan masyarakat, yang lolos menjadi pegawai karena cerdas,

kompeten dan profesional.15

Selain rekrutmen yang tepat sesuai kebutuhan dan tuntutan

profesionalisme, aparat yang ada perlu selalu ditingkatkan kemampuan dalam

aspek manejerial, aspek kemampuan, aspek profesionalitas dan kompetensi melalui

jenjang pendidikan lanjutan dan pelatihan. Adapun tujuan untuk mengikutsertakan

pegawai untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) diharapkan

pegawai dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuannya,

sehingga tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya ataupun jabatan

yang sedang dipikulnya dapat dilaksanakan dengan baik. Pendidikan dan pelatihan

tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan

bekerja, dengan demikian dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Pendidikan

dan pelatihan merupakan proses pembinaan pegawai untuk menghasilkan tenaga

kerja profesional, dan pada gilirannya mampu menghasilkan output (keluaran)

yang lebih baik.

Pengalaman merupakan potensi yang besar untuk melakukan pekerjaan

secara efektif, karena seseorang tidaklah cukup berlatar belakang pendidikan saja

atau ketrampilan yang dimiliki turut menentukan kemampuan dalam tugasnya.

Pengalaman merupakan kemampuan setiap orang untuk beradaptasi terhadap

perbedaan dan perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal. Menurut

Siagian (1992 : 60) yang dimaksud pengalaman merupakan keseluruhan pelajaran

15 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009

Page 46: Bab IV Rev Perub

147

yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilakukan dalam

perjalanan hidupnya.

Kemampuan seseorang, menurut Gondokusumo (1991 : 9) terdiri dari

kemampuan fisik dan mental. Yang termasuk kemampuan fisik adalah keadaan

fisik (keadaan kesehatan dan tingkat kekuatan pada umumnya) dari pegawai yang

bersangkutan serta baik buruknya fungsi biologis dari beberapa bagian tertentu.

Dalam hal kemampuan mental menurut Mahler dan Lean (dalam Gondokusumo,

1991 : 10) dapat dibedakan atas kemampuan mekanik, kemampuan sosial dan

kemampuan intelektual. Ketiganya menunjukkan suatu macam kecerdasan.

Seseorang dengan kemampuan mekanik dapat dengan mudah menggunakan dan

memperbaiki alat dan mesin. Kemampuan sosial membuat orang luwes dalam

pergaulan. Kemampuan intelektual terdiri dari beberapa kemampuan dasar yang

merupakan unsur dari tingkat kecerdasan setiap orang. Unsur-unsur tersebut ialah

ketepatan persepsi, kemampuan berhitung, kemampuan berbicara dengan lancar,

daya mengerti berbicara, daya ingat, daya menganalisa dan memecahkan persoalan.

Lebih lanjut Gondokusumo (1991 : 12), mengatakan bahwa yang termasuk

kemampuan mental mencakup bakat, keterampilan dan pengetahuan.

Kemampuan pegawai sangat dipengaruhi oleh proses rekruitmen dan

seleksi oleh pemerintah berdasarkan kriteria yang obyektif serta penempatan

pegawai pada jabatan tertentu sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki melalui

pendidikan formal ataupun pendidikan informal yang telah diikuti.

Mengenai pentingnya rekruitmen pegawai, Siagian (1992 : 71),

mengatakan:

Page 47: Bab IV Rev Perub

148

Betapa pentingnya proses rekruitmen dan seleksi pegawai baru dilakukan berdasarkan kriteria yang obyektif dengan persyaratan mutu yang tinggi, karena birokrasi pemerintahan mengharuskan diisi oleh tenaga-tenaga yang bukan saja loyal kepada bangsa dan negaranya, akan tetapi juga memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugas yang dapat dipastikan akan semakin rumit dan berat.

Untuk dapat mengetahui seberapa besar kemampuan seseorang individu

dalam kehidupan organisasi, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, mengingat

kemampuan yang ditunjukkan oleh anggota organisasi hanya sebagian daripada

potensi yang terdapat dalam dirinya.

Sebagai seorang pimpinan organisasi berkewajiban dan bertanggungjawab

untuk mengusahakan agar semua potensi yang terpendam dalam diri seseorang

pegawai/anggota organisasi dapat diangkat ke permukaan sehingga dapat

dimanfaatkan sepenuhnya dalam kehidupan organisasional. Sebelum potensi

tersebut diangkat ke permukaan, perlu terlebih dahulu untuk dilakukan suatu

analisis daripada kemampuan yang masih terpendam itu serta dikaitkan dengan

tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Identifikasi potensi tersebut diikuti dengan

pengembangan pribadi sehingga potensi itu berubah sifatnya menjadi kemampuan

nyata. Dalam menganalisa kemampuan kerja yang masih terpendam di dalam diri

para pegawai, perlu diketahui unsur-unsur pembentuk dari kemampuan tersebut,

misalnya berupa pendidikan dan pelatihan.

Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa dalam rangka meningkatkan

kualitas sumber daya manusia (pegawai), diperlukan pendidikan dan pelatihan.

Dengan pendidikan dan pelatihan akan dapat menciptakan profesionalisme

dikalangan manajerial, teknikal maupun operasional di dalam lembaga organisasi

Page 48: Bab IV Rev Perub

149

pemerintahan baik di tingkat pengambil dan penentu kebijakan maupun ditingkat

pelaksana kebijakan.

Selanjutnya Iglasias (1981 : 53) mengemukakan tujuh pertanyaan yang

menjawab kemampuan aparat untuk menggerakkan, mengalokasikan dan

menggunakan atau memanfaatkan sumber daya manusia dalam pelaksanaan

program pembangunan daerah beserta koordinasi dan implementasinya:

1. Hal apakah yang perlu dilakukan untuk memutuskan penerimaan, penempatan serta pemindahan pegawai/aparat sehingga dapat dikoordinasikan program dan pelaksanaannya proyek pembangunan daerah?

2. Apa tingkatan teknis dan manajerial yang diperlukan bagi aparat dalam melakukan koordinasi?

3. Apa kemampuan lain untuk menambah kecakapan melalui latihan atau melalui perubahan kebijaksanaan aturan dan ketentuan lainnya?

4. Apa kemampuan yang dimiliki yang berwawasan nasional dan internasional dari aparat yang berkualitas terutama bagi kepentingan daerah dan negaranya?

5. Bagaimana penggunaan sumber daya keuangan bagi peningkatan kemampuan aparat atau staf?

6. Kemampuan apakan yang dibutuhkan dari pengerahan masyarakat terutama yang mendukung program, dan proyek pemerintah melalui koordinasi dan pelaksanaan pembangunan?

7. Kemampuan apakah yang diperlukan untuk mengerahkan sumber daya manusia melalui badan-badan secara koordinatif misalnya tingkat komitmen, motivasi dan patisipasi?

Uraian pertanyaan di atas sangat membantu dan penting artinya untuk

mengukur kualitas dari aparat Kependudukan dan Pencatatan Sipil yaitu seberapa

erat pengaruhnya bagi eksistensi dari suatu organisasi Dinas tersebut. Sebab, proses

berpemerintah di daerah umumnya berjalan tanpa mempertimbangkan manajemen

kualitas sumber daya manusia baik dari aspek pendidikan, kompetensi, skill.

Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa proses rekrutmen pegawai atau

aparat di daerah perlu dilandasi oleh prinsip-prinsip merit system. Rekrutmen

Page 49: Bab IV Rev Perub

150

aparat pemerintahan yang baru perlu mengindahkan transparansi dalam proses

rekrutmen pegawai, yang ditentukan atau dilandasi aspek nilai kesetaraan, keadilan,

dan keterbukaan. Proses rekrutmen pegawai harus mampu menjamin adanya

kesamaan hak dari setiap warga untuk memperoleh akses menjadi pegawai atas

dasar kesamaan, keadilan, dan kemampuan. Dengan demikian, penggunaan

kewenangan administratif dari pemerintahan dalam menyeleksi calon pegawai

harus transparan sehingga tidak menimbulkan kesan terjadinya penyalahgunaan

kekuasaan atau wewenang.

Tujuan perencanaan sumber daya manusia adalah menghubungkan

sumber daya manusia yang ada untuk kebutuhan organisasi pada masa datang

termasuk pembinaan. aparat pemerintahan yang ada bekerja tanpa diarahkan pada

tujuan yang akan dicapai, hanya bekerja mengikuti irama dan ritme rutinitas, tanpa

ada konsep dan visi yang jelas. sehingga daya krativitas, inovatif dan kompetitif

berdasarkan kompetensi menjadi tidak berkembang secara otomatis.

Perencanaan Sumber Daya Manusia merupakan aktivitas yang dilakukan

organisasi pemerintahan untuk mengadakan perubahan yang positif bagi

perkembangan organisasi. Perencanaan organisasi merupakan hal yang organik,

pendekatan proses yang berorientasi pada perubahan organisasi dan efektivitas

manajemen. Pengaruh perubahan dan peningkatannya melibatkan semua angota

organisasi berdasarkan pada perencanaan dan analisis masalahnya. Jika

perencanaan organisasi menekankan pada penyesuaian dengan perkembangan

pegawai, maka hal ini menunjukkan pula pada perkembangan organisasi. Konsep

perencanaan organisasi dengan perencanaan sumber daya manusia adalah

Page 50: Bab IV Rev Perub

151

berinterelasi tinggi. Hal ini karena tenaga kerja (pegawai) merupakan faktor

penting bagi perencanaan organisasi.

Faktanya, kebanyakan pegawai yang ada belum menunjukkan

profesionalitas dalam karya pelayanan di bidang pelayanan kartu keluarga. Aspek

kualitas sumber daya aparat dalam meningkatkan efektivitas implementasi

kebijakan sisem administrasi kependudukan belum memperhatikan aspek

perencanaan sumber daya aparat. Kurangnya tenaga kerja aparat yang handal,

profesional dan trampil, yang menjamin kesesuaian jumlah pegawai, penempatan

pegawai secara benar, waktu yang tepat, yang secara ekonomis lebih bermanfaat.

Kebanyakan aparat yang ditempatkan di tidak cocok dengan keahliannya. Terjadi

bias antara keahlian dan kegiatan yang dilakukan.16 Tidak mengherankan bila

aparat sebagai implementor kebijakan sistem administrasi kependudukan belum

mampu melaksanakannya secara tepat sebagaimana yang diharapkan baik oleh

pembuat kebijakan maupun masyarakat penerima pelayanan.

Keluhan masyarakat mengenai kinerja pelayanan aparat pemerintah erat

berkaitan dengan kurang siapnya aparat dalam menanggapi apa yang menjadi

tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Jadi selain, aparat pemberi pelayanan kurang

disiapkan secara profesional karena pendidikan dan pengalaman kurang memadai,

tetapi juga responsivitas aparat pemberi layanan rendah. Sehingga dari hasil

observasi ditemukan juga adanya kesenjangan antara isi kebijakan yang ditetapkan

pembuat kebijakan dengan aparat pemberi pelayanan dalam memberikan

pelayanan. Akhirnya, terjadi kinerja pelayanan yang rendah, tidak tepat sasaran.

16 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009

Page 51: Bab IV Rev Perub

152

Secara teoritis dapatlah diambil pendapat Mangkunegara (2000:5) yang

mengatakan bahwa komponen yang perlu diperhatikan adalah perencanaan sumber

daya manusia. Tujuan perencanaan sumber daya manusia adalah menghubungkan

sumber daya manusia yang ada untuk kebutuhan perusahaan pada masa datang.

Perencanaan sumber daya manusia dalam hal ini sumber daya aparat merupakan

aktivitas yang dilakukan oleh instansi pemerintahan yang berada di kecamatan

untuk mengadakan perubahan yang positif bagi perkembangan organisasi.

Perencanaan organisasi merupakan hal yang organik, pendekatan proses yang

berorientasi pada perubahan organisasi dan efektivitas manajemen. Pengaruh

perubahan dan peningkatannya melibatkan semua angota organisasi berdasarkan

pada perencanaan dan analisis masalahnya. Jika perencanaan organisasi

menekankan pada penyesuaian dengan perkembangan pegawai, maka hal ini

menunjukkan pula pada perkembangan organisasi. Konsep perencanaan organisasi

dengan perencanaan sumber daya manusia adalah berinterelasi tinggi. Hal ini

penting karena tenaga kerja (pegawai) merupakan faktor penentu bagi perencanaan

organisasi.

Kalangan DPRD menilai bahwa, untuk optimalnya pengelolaan atau

peningkatan efektivitas pelayanan kartu keluarga perlu sinkronnya kebijakan yang

ada dalam hal ini kebijakan pemerintahan di bidang sistem administrasi

kependudukan dengan kemampuan aparat pemerintahan untuk menerjemahkannya

kedalam tindakan nyata dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan tanggung

jawab pemerintahan untuk sepenuhnya mengedepankan pelayanan terhadap

kepentingan rakyat. Karena tujuan kebijakan administrasi kependudukan dalam

pelayanan kartu keluarga adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Untuk itu

Page 52: Bab IV Rev Perub

153

perlu ditingkatkan kualitas sumber daya aparat melalui sistem rekrutmen yang

baik.17

Apa yang diungkapkan informan dari DPRD sangat tepat. Petugas atau

aparat pemberi pelayanan yang berkaitan langsung dengan adminisrasi

kependudukan belum memadai. Sebagus apapun isi kebijakan di bidang sistem

administasi kependudukan yang telah dihasilkan pembuat kebijakan dalam hal ini

pimpinan, namun pendukung dan pelaksanaan kebijakan tidak didukung oleh

aparat pemerintah yang handal, yang berkompeten dalam bidangnya serta aparat

yang loyal pada tugas pelayanan maka implementasi kebijakan sistem administrasi

kependudukan bidang peneribitan Kartu Keluarga tidak akan berjalan efektif.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dirumuskan makna dan

pengertian perencanaan sumber daya manusia atau perencanaan tenaga kerja yang

dibutuhkan dalam sistem administrasi kependudukan sebagai suatu proses

menentukan kebutuhan akan tenaga kerja berdasarkan peramalan, pengembangan,

pengimplementasian, dan pengontrolan kebutuhan tersebut yang berintegrasi

dengan rencana organisasi agar tercipta jumlah pegawai, penempatan pegawai

secara tepat dan bermanfaat secara ekonomis.

Mangkunegara (2000: 6) berpendapat bahwa ada dua kegiatan dalam sistem

perencanaan sumber daya manusia, yaitu penyusunan anggaran tenaga kerja

(manpower budgeting), dan penyusunan program tenaga kerja (manpower

programming. Penyusunan anggaran sumber daya manusia merupakan kegiatan

memadukan jumlah tenaga kerja yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja yang

diperlukan. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran mengenai kebutuhan tenaga

17 Wawancara dengan Mantan Anggota DPRD, tanggal 5 september 2009

Page 53: Bab IV Rev Perub

154

kerja. Berdasarkan analisis yang dibuat berkaitan dengan pengalokasian sumber

daya aparat dalam meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan sistem

administrasi kependudukan, penerbitan kartu kaeluarga, melalui beberapa

kesimpulan berikut ini:

Pertama, para penentu kebijakan dalam hal ini birokrasi pemerintahan di

daerah perlu memperhatikan masalah perencanaan sumber daya manusia yang

berkaitan dengan bagaimana mencapai tujuan, bagaimana merealisasikan

perencanaan organisasi, mengalokasikan sumber daya yang ada dalam efektivitas

implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan.

Kedua, sistem penerapan kebijakan untuk efektifnya implementasi

kebijakan sistem administrasi kependudukan secara organisisi dimulai dari

perencanaan tenaga kerja aparat, mulai dari proses peramalan, pengembangan,

pengimplementasian, dan pengontrolan yang menjamin kesesuaian jumlah

pegawai, penempatan pegawai secara benar, waktu yang tepat, yang secara

ekonomis lebih bermanfaat. Karena, kebanyakan aparat yang ditempatkan di dinas

dan lingkungan kepegawaian tidak cocok dengan keahliannya. Terjadi bias antara

keahlian dan kegiatan yang dilakukan.

Ketiga, ketepatan manajemen organisasi birokrasi pemerintahan menjadi

andalan dalam mengimplementasikan kebijakan sistem administrasi kependudukan

dalam pelayanan kartu keluarga secara efektif. Mengingat, aparat pemerintahan

yang ada kurang memiliki skill, ketrampilan dan pengetahuan yang memadai pada

bidang tugas di mana yang bersangkutan ditempatkan.

Keempat, Pemerintah daerah perlu memperhitungkan kepentingan

organisasi. Perencanaan sumber daya manusia belum diarahkan untuk kepentingan

organisasi (instansi pemerintahan) dalam mencapai tujuan sebagaimana termaktub

Page 54: Bab IV Rev Perub

155

dalam kebijakan sistem administrasi kependudukan. Dengan adanya perencanaan

sumber daya manusia, diharapkan dapat dipersiapkan aparat yang berpotensi untuk

memudahkan proses manajemen instansi pemerintahan secara tepat dan efektif.

4.2.3. Disposisi

Peran pemerintah daerah sangat kuat dalam menentukan kebijakan

pembangunan di daerah, termasuk menentukan arah dan kebijakan system

administrasi kependudukan. Namun demikian, dengan kewenangan yang besar

yang diberikan kepada pemrintah daerah melalui kebijakan desentralisasi, justru

menjauhkan control pusat terhadap daerah dalam memfunsikan peran dan tanggung

jawab pemerintahan local untuk mengelola dan mengatur urusan daerah secara baik

dan benar.

Idealnya, bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada daerah atau

desentralisasi kewenangan kepada daerah untuk mengurus persoalan dan kebutuhan

masyarakat akan semakin efektif. Dari observasi yang dilakukan, diperoleh

gambaran bahwa sistem administrasi kependudukan belum diimplementasikan

secara tepat, cepat, mudah dan murah dalam melayani masyarakat dibidang

pelayanan Kartu keluarga. Pelayanan bidang Kartu Keluarga masih menjadi

persoalan, dimana implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan

justru belum mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan belum baik

dan terarah. Hal ini terjadi karena adanya gap antara formulasi isi kebijakan dengan

isi kebijakan yang akan diimplementasikan. Terjadi kesenjangan antara pihak yang

merumuskan kebijakan di satu pihak, yang kurang menyentuh relaitas masyarakat

Page 55: Bab IV Rev Perub

156

serta persoalannya dengan pihak aparat pelaksana kebijakan. Isi kebijakan yang

diformulasikan sering bertentangan dengan persoalan yang dihadapi aparat pemberi

pelayanan. Sehingga, sering dijumpai ketidakcocokan soal pelayanan. Demi

kebijakan, aparat pelaksana berdalih kepada masyarakat, ini sudah menjadi aturan

dan keputusan atasan.

Pemerintah daerah menyadari bahwa mereka adalah bagian dari organ

pemerintah pusat yang berinteraksi langsung dengan masyarakat. Pemerintah

daerah mempunyai organ sampai tingkat kesatuan masyarakat terkecil sehingga

dalam kebijakan pemerintahan khususnya kebijakan sistem administrasi

kependudukan perannya cukup besar. Dengan keterlibatan pemerintah daerah,

implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan dapat lebih dijalankan

secara terorganisir dan tepat sasaran. Di samping itu, program-program yang

berkaitan dengan sistem administasi kependudukan dapat secara langsung

bersinggungan dengan program pembangunan daerah sehingga upaya peningkatan

pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan secara baik dan terarah.

Kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa keterlibatan pemerintah daerah

dalam program pembangunan khususnya implementasi kebijakan sistem

admnistrasi kependudukan dapat menyebabkan program ini menjadi birokratis dan

disalahgunakan oleh aparat, apalagi bila tidak diatasi dengan aturan yang jelas

mengenai berapa alokasi dana, pihak mana yang mendapatkan, dan bagaimana

dengan pengawasannya. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam mendukung

kebijakan sistem administrasi kependudukan dengan ikut mengawasi kebijakan

pemerintah agar tidak menjadikan program tersebut menjadi government centre,

atau program yang sifatnya birokratis.

Page 56: Bab IV Rev Perub

157

Justru kekawatiran masyarakat akan kebijakan sistem administrasi

kependudukan kembali pada sistem terpusatkan atau government centre. Keluhan

tersebut dilontarkan masyarakat. Masyarakat mengharapkan dengan adanya

kebijakan otonomi daerah, semua sistem pelayanan seperti pelayanan Kartu

Keluarga tidak lagi dipersulit atau harus terpusat pada satu tempat, sehingga

masyarakat harus susah payah mencari tempat, antri belum lagi pelayanannya

berbelit-belit. Itu yang dialami masyarakat. Diharapkan sistem pelayanan

memudahkan masyarakat, rentang kendali harus memperpendek jarak waktu dan

tempat pelayanan.18

Oleh karena itu, sikap atau disposisi aparat pemerintah sebagai

implementor untuk implementasi kebijakan program sistem administrasi

kependudukan dalam menerbitkan kartu keluarga harus dilakukan secara tepat dan

efektif sesuai kapasitas yang dituntut. Para implementor harus bisa melakukan

seleksi yang layak apa saja persyaratan, ketentuan, pentahapan dalam sistem

administrasi kependudukan bagi masyarakat, khsusunya proses penerbitan kartu

keluarga. Oleh karena itu, faktor penting yang dibutuhkan adalah independensi

aparat pelaksana atau implementor dalam implementasi kebijakan sistem

administrasi kependudukan dari pengaruh atasan yang merumuskan kebijakan.

Disposisi/kecenderungan sikap dan perilaku aparat dikaitkan dengan

kurangnya dukungan aparat yang menjadi implementor dalam mendukung

implementasi kebijakan program sistem administrasi kependudukan. Hal ini

berkaitan dengan rendahnya komitmen aparar dalam menjalankan tugasnya. Aparat

merasa bahwa tugas yang dijalankannya terbatas pada rutinitas, tetapi tidak

18 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009

Page 57: Bab IV Rev Perub

158

terpanggil untuk menjalankan tugasnya sebagai satu panggilan. Idealnya, aparat

pemerintah dipanggil untuk menjalankan tugasnya demi keberhasilan program

kerja bagi kepentingan masyarakat.

Hal tersebut dikatakan informan dari LSM berpendapat bahwa kehadiran

pemerintah hendaknya menjadi pendukung utama keberhasilan program

masyarakat melalui kebijakan yang diputuskan pemerintah sebagai policy maker.

Pemerintah menjadi pihak penentu kebijakan program pemberdayaan masyarakat

yang bertujuan agar masyarakat pada akhirnya menjadi mandiri melalui program

tersebut. Oleh karena itu, program pemerintah dalam implementasi kebijakan

sistem administrasi kependudukan bukan menjadi program pemerintah yang

birokratis sifatnya dan menyulitkan masyarakat dalam mengurus administrasi

kependudukan. Pemerintah justru harus menjadi fasilitator program ini demi

keberhasilan program pemerintah di bidang administrasi kependudukan bagi

masyarakat.19

Konkritnya, sistem administrasi kependudukan dalam menerbitkan Kartu

Keluarga diurus secara cepat dan tepat. Aparat pemberi pelayanan Kartu Keluarga

siap memberikan pelayanan prima. Bahkan aparat pemerinah yang menjemput

masyarakat tetapi bukan mempersulit. Dari observasi yang dilakukan peneliti,

masyarakat banyak tidak puas dengan kinerja pelayanan bidang administrasi

kependudukan khusunya dalam penerbitan Kartu Keluarga yang dilakukan aparat.

Karena aparat pemberi pelayanan lamban, kurang tanggap, persyaratan yang

mudah malah menjadi berbelit-belit. Aparat pemberi pelayanan perlu disadarkan

19 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 58: Bab IV Rev Perub

159

untuk komitmen terhadap panggilan tugas, yakni untuk melayani masyarakat

dengan penuh tanggung jawab.

Persoalan komitmen aparat sebagai disposisi dalam menjawab kebutuhan

masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam usaha untuk implementasi kebijakan

sistem administrasi kependudukan. Sikap tersebut terjadi karna para implementor

kebjakan di bidang sistem administrasi kependudukan menentang kebijakan baru

yang berupaya untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dalam hal

penerbitan kartu keluarga dengan menggunakan prinsip pelayanan yang cepat,

murah dan efektif. Para implementor masih terpaku pada pola dan pendekatan

lama. Pelayanan dibiarkan berbelit-belit dan dipersulit, untuk menimbulkan kesan

bahwa pelayanan administrasi kependudukan sulit dan tidak mudah.

Kendala lain dalam soal disposisi, lebih dikarenakan komitmen aparat

sebagai implementor pelaksana kebijakan sistem administrasi kependudukan

menerapkan sifat ganda dalam menyikapi kebijakan yang ada. Kadang para

impelementor secara selektif menerima berbagai perintah dari atasan untuk

menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan, namun terkadang para implementor

mengabaikan perintah yang tidak sejalan dengan kebijakan. Sehingga terjadilah

gap of implemantasion.

Selain komitmen aparat pemerintah dalam menjalankan kebijakan di

bidang sistem administrasi kependudukan, hal yang perlu diperhatikan adalah

partisipasi masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah di bidang

administrasi kependudukan. Karena, masyarakat identik dengan objek dari

kebijakan pemerintah. Masyarakat cenderung menerima saja kebijakan yang

ditetapkan pemerintah. Sikap masyarakat yang menerima dan pemerintah yang

memaksakan kebijakan sistem admnistrasi kependudukan telah membentuk

Page 59: Bab IV Rev Perub

160

partisipasi pasif dari masyarakat dalam mendukung program pemerintah dalam

membangun sistem administrasi kependudukan.

Selain masalah komitmen aparat birokrasi pemerintahan, masalah

kapabilitas aparat birokrasi pemerintahan menjadi masalah tersendiri. Kapabilitas

administrasi pemerintahan berkaitan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang

baik. Tata pemerintahan yang baik sangat bergantung pada kemampuan birokrasi

pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan yang dipahami sebagai

sebuah proses, mekanisme, jaringan hubungan kelembagaan, hubungan

ketatalaksanaan, pendelegasian wewenang, nilai-nilai dan kinerja lembaga

pemerintahan. Konsep penyelenggaraan pemerintahan yang mengedepankan

profesionalisme dan mengandalkan kapabilitas administratif belum menjadi

program strategi pembangunan pemerintahan, karena sistem pemerintahan masih

menerapkan monopoli penyelenggaraan pemerintahan di tingkat atas dalam hal

pengambilan keputusan. Kegiatan pemerintahan dan pembangunan pemerintahan

yang profesional dan capable belum diagendakan dalam pembangunan birokrasi

pemerintahan dari aspek pemberdayaan administratif birokrasi pemerintahan. Oleh

karena itu, kegiatan pemerintahan dan pembangunan serta pemberdayaan birokrasi

pemerintahan perlu melibatkan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya pada level

bawah dalam urusan pelakanaan dan pelayanan program administrasi

kependudukan, bukan hanya dalam pelaksanaan, tetapi juga dalam proses

pengambilan kebijakan. Karena, keterlibatan pelaku dan pemangku kepentingan

dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pemerintahan menjadi suatu

keniscayaan bagi keberhasilan dan kelangsungan pelayanan program kebijakan

administrasi kependudukan melalui pemerintahan yang profesional melalui

keberadaan dan pelayanan birokrasi pemerintahan di segala lini. Dengan kata lain

Page 60: Bab IV Rev Perub

161

birokrasi pemerintahan perlu diberdayakan dalam pembangunan dan

penyelenggaraan pemerintahan mulai dari tingkat lurah, kecamatan, dan kota

hingga tingkat propinsi.

Sebagai interpretasi dari adanya disposisi dalam praktek berpemerintahan

di tingkat lokal sebagai konsekwensi dari otonomi daerah telah terjadi iefisiensi

dan kurang efektifnya impelementasi kebijakan administrasi kependudukan.

Otonomi daerah telah menjadikan pemerintah lokal bertindak dan menentukan

kebijakan yang kurang populer. Kebijakan yang dibuat di bidang administrasi

kependudukan, hanyalah kebijakan yang sulit diimplementasikan karena kebijakan

tersebut di buat oleh top eksekutif, tanpa mendasari persoalan, kebutuhan, dan

tutuntan masyarakat lokal dan kesulitan yang dihadapi aparat pelaksana dalam

memberikan pelayanan bidang kartu keluarga. Sehingga kebijakan tersebut sering

terperosok dalam unsuccesful implementation. Pihak pembuat kebijakan dengan

kewenangannnya menjadikan segala keputusan dan kebijakan menjadi sentralis.

Dengan kewenangan yang sentralistik, atas dapat membuat kebijakan sesuai

keinginannya bukan berdasarkan fakta dan kebutuhan di lapangan. Sehingga

pelayanan kartu keluarga menjadi persoalan bagi masyarakat penerima layanan.

Hal ini terjadi karena adanya gap antara formulasi isi kebijakan bidang

administarsi kependudukan dengan dengan isi kebijakan yang akan

diimplementasikan kepada masyarakat seperti pelayanan kartu keluarga. Sehingga,

sering dijumpai ketidakcocokan soal pelayanan. Demi kebijakan, aparat pelaksana

berdalih kepada masayrakat, ini sudah menjadi aturan dan keputusan atasan.

Secara konseptual, masalah ini terjadi karena tidak ada komunikasi yang

tepat antara atasan dan bawahan. Konsekwensi logisnya, dalam proses sosialisasi

kebijakan kepada masyarakat terjadi miskomunikasi antara aparat pemberi

Page 61: Bab IV Rev Perub

162

pelayanan dengan masyarakat penerima layanan. Semua ini erat kaitannya dengan

persoalah strukturisasi dalam birokrasi pemerintahan, yang menempatkan status

pejabat sebagai penentu kebijakan dan aparat pelaksana atau pemberi layanan

sebagai subordinasi.

4.2.4. Struktur Birokrasi

Disposisi atau komitmen aparat sebagai implementor kebijakan program

pemerintahan belum cukup apabila aparat pemerintah tidak berada dalam satu

sistem dan mekanisme struktur organisasi pemerintahan. Struktur itu penting untuk

membedakan mana yang menjadi atasan dan mana yang menjadi bawahan atau

aparat umumnya. Oleh karena itu, disposisi atau komitmen aparat mengandalkan

keteraturan hubungan kerja dalam struktur organisasi pemerintahan.

Dari fakta dan data lapangan, menunjukkan bahwa struktur birokrasi

pemerintahan justru menjadi penghambat aliran program pemerintahan yang harus

diimplementasikan. Kepala dinas sebagai top eksekutif yang sulit dijangkau, karena

sifat dan ciri birokratis. Ciri tersebut diperparah dengan rentang kendali yang jauh

antara atasan dengan aparat sebagai implementor kebijakan. Dalam kaitannya

dengan implementasi kebijakan system administrasi kependudukan di kota Palu,

ciri hirarkis dalam organisasi pemerintahan begitu kental. Atasan sebagai top

eksekutif berfungsi sebagai komando untuk memberikan instruksi kepada aparat

sebagai pelaksana dari isi kebijakan ang telah ditetapkan di tingkat pusat. Bawahan

yang menjalankan instruksi atasan hanya menjalankan perintah. Tanpa ada

Page 62: Bab IV Rev Perub

163

komunikasi, apalagi membuka saluran informasi dari aparat dengan pimpinan.

Yang menjadi akibatnya adalah adanya miskomunikasi antara atasan dengan

bawahan dalam menghadapi persoalan lapangan.

Para implementor kebijakan mungkin tahu apa yang harus dikerjakan, para

implementor juga memiliki keinginan serta didukung sumber daya yang cukup

untuk melakukan program kebijakan yang telah ditetapkan, namun pada

kenyataannya sering para implementor mendapat kendala dalam implementasi oleh

struktur organisasi di tempat mereka melayani. Struktur organisasi yang dimaksud

adalah sistem atasan dan bawahan. Bawahan dalam hal ini aparat kebanyakan tidak

akan menjalankan kebijakan yang ada jika kebijakan tersebut tidak diinstruksikan

atau dititipkan dari atas, dalam hal ini para pembuat dan penentu kebijakan.

Oleh karena itu, agar implementasi kebijakan dapat berjalan efektif, yang

perlu diperhatikan adalah prosedur pengoperasian standar sebagaimana dianjurkan

oleh Edwards. Menurut Edwards (2003), prosedur pengoperasian standar (Standard

Operating Procedure / SOP) kegiatan para pejabat publik yang sifatnya rutin dalam

membuat kebijakan publik yang sesuai dengan kebutuhan, persoalan terkini yang

sedang hangat diisukan publik dan tepat sasaran sehingga dapat dijalankan oleh

aparat secara efektif dan efisien.

Pada tataran empirik, sebagaimana ditemukan di lingkup pemerintahan

diderah, khususnya lingkup dinas Kependudukan dan catatan sipil, aparat yang

bekerja sangat tergantung pada struktur dan sistem yang ada. Struktur birokratisasi

sangat kuat pengaruhnya dalam menerapkan tugas dan peran aparat. Aparat

umumnya tidak bisa berperan banyak dalam menjalankan fungsi dan tugasnya

secara bebas dan bertanggung jawab. Putusan atasan, kebijakan yang telah

Page 63: Bab IV Rev Perub

164

diputuskan menjadi pedoman umum yang harus dijalankan semua aparat pelaksana

dalam satuan tugas.

Struktur itu pada prinsipnya penting. Penyusunan struktur organisasi

dimaksudkan untuk mengatur prosedur formal bagaimana sebuah organisasi harus

dikelola. Sebuah organisasi dapat membentangkan struktur formalnya dalam

sebuah bagan organisasi, pembagian kerjanya, manajer dan para bawahannya, jenis

pekerjaannya dan tingkat-tingkat (jenjang) manajemen.

Struktur organisasi birokrasi pemerintahan harus menunjukkan bentuk,

program kerja serta tujuan dari kebijakan yang akan dicapai. Menurut Gomes

(1995 : 25) bahwa unsur-unsur yang dijadikan pedoman untuk membedakan suatu

organisasi dengan yang lain adalah (1) Goals (tujuan-tujuan); (2) Technology

(teknologi); (3) Structure (struktur).

Menurut tujuannya, organisasi apapun dapat dibedakan atas organisasi yang

mencari keuntungan (profit organization) atau tidak mencari keuntungan (unprofit

organization); pembedaan organisasi berdasarkan teknologi, yaitu bagaimana suatu

organisasi mengerjakan dan mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam hal ini

apakah organisasi mengerjakan dan mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam

hal ini apakah organisasi bekerja atas sistem mekanik, komputerisasi atau

robotisasi. Sedangkan berdasarkan struktur, organisasi dapat dibedakan atas

organisasi besar dengan struktur sangat gemuk, kaku, rasional dan sentralistik.

Pengertian struktur organisasi adalah banyak, namun diantara para ahli

belum mempunyai kesepakatan tentang pengertian struktur organisasi yang lebih

sempurna. Hal ini disebabkan bahwa konsep struktur organisasi disatu sisi adalah

abstrak, disisi lain adalah riil dan dapat mempengaruhi setiap orang dalam

Page 64: Bab IV Rev Perub

165

organisasi. Kast dan Rosenzweig (terjemahan Hasymi Ali, 1991 : 325)

mengemukakan bahwa :

Struktur dapat dianggap sebagai pola yang sudah ada mengenai hubungan-hubungan antara berbagai komponen dan bagian dari organisasi. Akan tetapi struktur suatu sistem sosial itu tidak tampak seperti biologis atau mekanis. Ia tidak dapat dilihat, tetapi dapat disimpulkan dari operasi-operasi aktual dan perilaku organisasi.

Struktur suatu organisasi memberikan gambaran mengenai keseluruhan

kegiatan serta proses yang terjadi pada suatu organisasi. Struktur organisasi dalam

konteks pemerintahan pada prinsipnya berfungsi memberikan gambaran mengenai

pembagian tugas-tugas serta tanggungjawab kepada individu maupun bagian-

bagian pada suatu organisasi. Struktur organisasi juga memberikan gambaran

mengenai hubungan pelaporan yang ditetapkan secara resmi dalam organisasi.

Tercakup dalam hubungan pelaporan yang resmi ini banyaknya tingkatan hirarki

serta besarnya rentang kendali dari semua pimpinan di seluruh tingkatan dalam

organisasi. Selain itu struktur organisasi menetapkan pengelompokan individu

menjadi bagian dari organisasi, dan pengelompokan bagian tersebut menjadi

bagian suatu organisasi yang utuh. Struktur organisasi juga menetapkan sistem

hubungan dalam organisasi, yang memungkinkan tercapainya komunikasi,

koordinasi, dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik kearah

vertikal maupun horisontal.

Seharusnya dalam organisasi pemerintahan di tingkat daerah, pimpinan

hendaknya memperhatikan pola hubungan formal dan tugas-tugas, peta organisasi

plus uraian pekerjaan atau pedoman kedudukan. Hal ini penting, agar aparat dapat

mengetahui secara tepat apa yang menjadi tugas dan wewenangnya dalam

menerjemahkan dan menrapkannya kepada masyarakat. Cara penugasan berbagai

Page 65: Bab IV Rev Perub

166

kegiatan atau tugas itu kepada berbagai bagian dan atau orang dalam organisasi

siafatnya diferensiasi, artinaya, cara koordinasi berbagai kegiatan atau tugas yang

terpisah ini (integrasi). Oleh kaena itu kekuasaan, status dan hubungan hierarki

dalam organisasi (sistem wewenang) perlu memperhatikan rencana dan formalisasi

kebijaksanaan, prosedur dan kontrol yang menuntun berbagai kegiatan itu dan

hubungan antara berbagai orang dalam organisasi (sistem administrasif).

Chandler (dalam Stoner 1989 : 296) menyatakan bahwa struktur mengikuti

strategi, artinya misi dan tujuan menyeluruh suatu organisasi akan membantu

penyusunan rancangannya. Strategi akan menentukan bagaimana jalur wewenang

dan saluran komunikasi diatur diantara para manajer dan sub unit atau bagian.

Disamping itu, strategi akan mempengaruhi yang mengalir di sepanjang jalur

tersebut, serta mekanisme perencanaan dan pengambilan keputusan.

Struktur organisasi birokrasi sangat besar dan berbelit-belit. Jarak rentang

antara pusat birokrasi pemerintahan sangat jauh. Terhadap kekakuan, jauh dan

berbelit-belit birokrasi pemerintahan dengan strukturnya yang berlapis-lapis akan

sangat menyulitkan pengenalan persoalan dan kebutuhan masyarakat secara nyata.

Hal tersebut dibenarkan masyarakat yang menyatakan bahwa srtukur birokrasi

sering kali menyulitkan kemudahan dalam memproses berbagai sistem kebijakan

yang langsung mengena pada persoalan masyarakat. Kebijakan pemerintah sering

hanya merupakan keputusan yang diambil oleh struktur birokrasi pemerintahan

pada top eksekutif. Sehingga sering apa yang dibutuhkan dan apa yang menjadi

persoalan masyarakat sulit diatasi.20

20 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009

Page 66: Bab IV Rev Perub

167

Dalam proses pengurusan kartu keluarga. Tidak jarang masyarakat

mengeluhkan kinerja pelayanan yang lama, persyaratan yang berbelit-belit serta

bertele-tele. Sehingga menimbulkan kesan sulit. Dikatakan masyarakat penerima

layanan bahwa memang sulit untuk menguruskartu keluarga, KTP dan akte

kelahiran. Kami harus menyelesaikan persyaratan yang membingungkan, karena di

RT lain, ke kelurahan atau ke desa dituntut persyaratan lain, karena dinilai belum

lengkap. Belum lagi urusan ke tingkat kota. Makan waktu, biaya. Jadi, terlalu

bertele-tele dan birokratisasi yang berlapis-lapis.21

Dari hasil observasi juga menujukkan fenomena yang sama, bahwa

birokratisasi pelayanan kartu keluarga, masih menjadi faktor penghambat kualitas

pelayanan. Persyaratan terlalu banyak. Masyarakat kelihatan keberatan. Belum lagi

ada pungutan-pungutan yang tidak seragam. Jadi kebijakan sistem administrasi

kependudukan mulai dari tingkat dinas sampai kepada pelaksana di tingkat

kecamatan dan kelurahan belum sinkron kebijakan baik dari aspek

implementasinya, rentang kendali yang jauh antara masyarakat dengan pusat

pelayanan dan ketidaksiapan aparatnya.

Komponen atau unsur lingkungan organisasi, seperti kebutuhan masyarakat,

sumberdaya yang tersedia, pengetahuan, nilai-nilai sosial dan politik yang ada akan

berpengaruh terhadap ketiga unsur yang terdapat dalam organisasi.

Ketiga unsur organisasi ini akan mempengaruhi perilaku sistem pelayanan

administrasi kepedudukan Sistem pengelolaan tesebut akan mempengaruhi tujuan,

teknologi dan struktur organisasi. Karena, struktur dapat dianggap sebagai pola

yang sudah ada mengenai hubungan-hubungan antara berbagai komponen dan

21 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009

Page 67: Bab IV Rev Perub

168

bagian dari satu sistem dalam organisasi pemerintahan. Akan tetapi struktur suatu

sistem sosial itu tidak tampak seperti biologis atau mekanis. Ia tidak dapat dilihat,

tetapi dapat disimpulkan dari operasi-operasi aktual dan perilaku organisasi.

Struktur suatu organisasi memberikan gambaran mengenai keseluruhan kegiatan

serta proses yang terjadi pada suatu organisasi.

Oleh karena itu sangat penting struktur keorganisasian memudahkan

tercapainya tujuan keorganisasian. Karena struktur organisasi merupakan kerangka

dasar menyeluruh yang mempersatukan fungsi-fungsi sesuatu organisasi dan

menetapkan pola-pola hubungan, peran dan aturan interaksi yang relatif tetap

diantara personil yang terlibat dalam suatu organisasi untuk pencapaian tujuan

organisasi. Asumsi ini tidak lepas dari keterlibatan manajer, dan dalam hal ini para

manajer mengetahui bagaimana cara mencocokkan struktur keorganisasian dan

tujuan.

Dengan demikian, struktur organisasi perlu memiliki prosedur

pengoperasian standar (Standard Operating Procedure / SOP) untuk mengatur tata

aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Hal ini penting, sebagaimana

diungkapkan pihak pengambil kebijakan bahwa tata aliran pekerjaan penting dalam

organisasi pemerinah. Jika tidak maka akan sulit mencapai hasil yang memuaskan

serta upaya memecahkan berbagai persoalan. Struktur yang tepat memberikan

dukungan yang kuat terhadap keberhasilan implementasi kebijakan sistem

administrasi kependudukan. Maka, kebijakan sistem administrasi kependudukan

menuai hasil yang memuasksn dan ditanggap baik oleh berbagai kalangan

masyarakat.22

22 Wawancara dengan Wakil walikota, tanggal 12 Oktober 2009.

Page 68: Bab IV Rev Perub

169

Prosedur pengoperasional standar merupakan panduan bagi para pejabat

publik dalam hal ini birokrat sebagai pengambil dan pembuat kebijakan untuk

menentukan putusan kebijakan secara tepat sesuai dengan situasi, kondisi dan

persoalan yang dihadai masyarakat.

Namun dalam kenyataannya, birokrat belum mampu secara tepat membuat

kebijakan berdasarkan kebutuhan dan keputusan tersebut dapat menjawab atau

memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Contoh, kebijakan sistem

admnistrasi kependudukan bidang pelayanan kartu keluarga hanya mengikuti

undang-undang nasional dan dipaksakan untuk diterapkan dalam masyarakat. Jadi,

Prosedur pengoperasional standar belum berjalan efektif oleh aparat birokrasi

dalam membuat keputusan yang tepat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan

masyarakat di bidang pelayanan kartu keluarga. Faktor penyebabnya adalah bahwa

aparat hanya mengikuti tata aturan yang sudah berlaku. Aparat kurang respons dan

kurang inovatif dalam menciptakan produk kebijakan yang cocok dan tepat sesuai

situasi, kondisi dan tuntutan masyarakat di bidang pelayanan kartu keluarga.

Hal senada juga diungkapkan oleh LSM, bahwa belum bisa diharapkan

aparat birokrasi pemerintah yang mampu menerjemahkan secara tepat peraturan

perundangan yang mampu mengkonversi segala persoalan dan kebutuhan

masyarakat dalam pelayanan kartu keluarga. Persoalannya adalah bahwa aparat

pemerintah kurang profesional dan kurang mampu menjawab persoalan

masyarakat. Aparat yang ada selalu puas dengan apa yang ada.23

Struktur birokrasi pemerintahan merupakan prosedur pengoperasian standar

yang menata hubungan kerja anggota organisasi dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan sesuai dengan rencana sebelumnya. Pembagian kerja termasuk di

dalamnya kejelasan kewenangan. Dukungan birokrasi pemerintahan yang telah

23 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 69: Bab IV Rev Perub

170

ditata secara baik akan mampu meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan

publik.

Desain atas struktur sebuah organisasi harus mencerminkan lingkungan

pekerjaan dan unsur-unsur di dalam setiap organisasi, ini akan membedakan

dengan organisasi-organisasi lain, yang terlihat dari bentuk organisasi maupun

tujuannya, teknologi dan struktur agar membedakan suatu organisasi dengan yang

lain.

Menurut tujuannya, organisasi dapat dibedakan atas organisasi yang

mencari keuntungan (profit organization) atau tidak mencari keuntungan (unprofit

organization); pembedaan organisasi berdasarkan teknologi, yaitu bagaimana suatu

organisasi mengerjakan dan mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam hal ini

apakah organisasi mengerjakan dan mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam

hal ini apakah organisasi bekerja atas sistem mekanik, komputerisasi atau

robotisasi. Sedangkan berdasarkan struktur, oganisasi dapat dibedakan atas

organisasi besar dengan struktur sangat gemuk, kaku, rasional dan sentralistik.

Komponen atau unsur lingkungan organisasi, seperti kebutuhan

masyarakat, sumberdaya yang tersedia, pengetahuan, nilai-nilai sosial dan politik

yang ada akan berpengaruh terhadap ketiga unsur yang terdapat dalam organisasi.

Ketiga unsur organisasi ini akan mempengaruhi perilaku manajer sebagai pimpinan

dari organisasi tersebut. Sebaliknya manajer juga akan mempengaruhi tujuan,

teknologi dan struktur organisasi dan selanjutnya mempengaruhi lingkungan

organisasi beserta komponen-komponennya.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana birokrasi pemerintahan di

daerah memposisikan diri sebagai provider layanan. Sebagai provider layanan,

Page 70: Bab IV Rev Perub

171

aparat birokrasi pemerintah harus tahu apa yanga dibuat, harus membaca situasi,

harus peka terhadap situasi sosial, politik, harus tahu peta ekonomi masyarakat,

agar pelayanan menjadi efektif. Dari hasil survey dan observasi, disimpulkan

bahwa aparat pemerintah kurang memahami dan mengetahui situasi masyarakat

yang dihadapi. Sehingga pelayanan yang diberikan misalnya kartu keluarga dan

KTP kurang menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat. Akhirnya bukan

pemerintah yang menyesuaikan dengan situasi, kondisi dan persoalan masyarakat,

melainkan masyarakat yang harus menyesuaiakan dengan ketentuan pemerintah.

Teknologi juga dapat digunakan untuk mempengaruhi struktur organisasi.

Bentuk teknologi yang digunakan suatu organisasi untuk menghasilkan produk dan

jasa dapat mempengaruhi cara pengaturan organisasi. Teknologi produksi massal

dalam industri mobil melibatkan kadar standarisasi dan spesialisasi aktivitas kerja

yang tinggi. Standarisasi dan spesialisasi yang tinggi akan mempengaruhi rancang

bangun organisasi.

Faktor manusia juga dapat sebagai penentu struktur organisasi. Orang yang

terlibat dalam aktivitas suatu organisasi baik sebagai atasan maupun bawahan dapat

mempengaruhi struktur organisasi. Fungsi manajer mengambil keputusan yang

berhubungan dengan jalur komunikasi dan wewenang serta hubungan antara unit-

unit kerja yang berada di bawahnya. Dalam mengambil keputusan, para manajer

dipengaruhi oleh kebutuhan sendiri dan lingkungan kerjanya, seperti kemampuan

dan sikap bawahan, serta motivasi bawahan untuk bekerja. Disamping itu,

lingkungan luar organisasi juga mempengaruhi struktur organisasi. Organisasi

dalam hal ini harus menyediakan mekanisme bagi interaksi reguler dengan

masyarakat yang menggunakan jasa organisasi tersebut.

Page 71: Bab IV Rev Perub

172

Menurut Stoner dan Wankel (1986 : 110 – 115), penyusunan struktur

organisasi dimaksudkan untuk mengatur prosedur formal bagaimana sebuah

organisasi harus dikelola. Sebuah organisasi dapat membentangkan struktur

formalnya dalam sebuah bagan organisasi, pembagian kerjanya, manajer dan para

bawahannya, jenis pekerjaannya dan tingkat-tingkat (jenjang) manajemen.

Organisasi yang lingkungan pekerjaannya kompleks tetapi statis, jika

dimungkinkan sebaiknya menyusun organisasi atas dasar lini produk/pasar.

Sedangkan organisasi yang lingkungannya kompleks dan dinamis, besar sekali

kebutuhan terhadap berbagai informasi yang cepat. Jika dimungkinkan, sebaiknnya

membagi kegiatannya, tetapi bisa juga memiliki kecanggihan seperti yang ada pada

bagian fungsional khusus. Bila demikian halnya, sebuah organisasi matriks sering

merupakan pilihan yang tepat.

Selanjutnya dalam menjalankan organisasi yang perlu diperhatikan adalah

memberikan atau membagi kekuasaan maupun wewenang bagi setiap individu

maupun kelompok dalam organisasi. Pemberian kekuasaan dan wewenang ini

dimaksudkan untuk memberi batas bagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

setiap individu maupun kelompok dalam menjalankan roda organisasi. Tindakan

ini sering disebut dengan pembagian kerja.

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari penyusunan struktur organisasi.

Pembagian kerja menghendaki bahwa semua tugas-tugas yang berkenaan dengan

pencapaian tujuan organisasi harus dibagi habis dengan sub-sub organisasi yang

ada di bawahnya. Pembentukan dinas merupakan manifestasi dari pembagian tugas

ini. Karena setiap dinas pasti mempunyai beban tugas (urusan), yang perlu

diperhatikan dalam pembagian tugas adalah jangan sampai ada tugas-tugas yang

Page 72: Bab IV Rev Perub

173

diberikan lebih dari satu bagian. Dalam arti setiap dinas atau sub organisasi yang

dibentuk mempunyai spesifikasi dan spesialisasi tugas yang jelas.

Sedangkan yang berkaitan dengan struktur organisasi, merupakan dasar

yang mempersatukan fungsi-fungsi dalam organisasi dan menetapkan pola

hubungan antar individu dan kelompok dalam rangka tercapainya tujuan yang

diinginkan. Struktur keorganisasian memudahkan tercapainya tujuan

keorganisasian. Karena struktur oragnisasi merupakan kerangka dasar menyeluruh

yang mempersatukan fungsi-fungsi sesuatu organisasi dan menetapkan pola-pola

hubungan, peran dan aturan interaksi yang relatif tetap diantara personil yang

terlibat dalam suatu organisasi dalam pencapaian tujuan organisasi. Asumsi ini

tidak lepas dari keterlibatan manajer, dan dalam hal ini para manajer mengetahui

bagaimana cara mencocokkan struktur keorganisasian dan tujuan. Gibson (1990 :

321-338) mengemukakan bahwa, mengkaji mengenai struktur organisasi

cakupannya meliputi : (1) Pembagian pekerjaan, (2) Desentralisasi kewenangan,

(3) Rentang kendali, (4) Formalisasi, dan (5) Departementasi.

Pendapat Gibson, sangat relevan bagi aparat pemerintah di daerah dalam

upaya meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam struktur pemerintahan yang

dinilai terlalu kaku dan berbelit-belit. Berdasarkan hasil pengamatan, yang

dibutuhkan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan dalam konteks

ini adalah pelayanan sistem administrasi kependudukan bidang kartu keluarga

merupakan hal yang penting dilakukan adalah : pembagian pekerjaan. Ini

berkenaan dengan tupoksi setiap aparat dalam melaksanakan tugas pelayanan

kepada masyarakat. Selama ini, ada banyak aparat yang tidak tahu apa yang harus

Page 73: Bab IV Rev Perub

174

dilakukan dalam tugas dan pekerjaannya setiap hari. Jadi perlu perencanaan siapa

buat apa.

Dalam era otonomi daerah, pelayanan publik dan civil sudah tidak saatnya

bersifat sentralistis, dan terpusatkan pada top eksekutif. Dalam pelayanan sistem

administrasi kependudukan, yang paling penting adalah bagaimana atasan

memberikan ruang gerak kepada bawahan untuk menjalankan tugas, pelayanan

sesuai dengan prakarsa sendiri, tanpa menunggu instruksi atau pedoman dari

atasan. Rentang kendali, berkaitan dengan sistem pendekatan pelayanan. Pelayanan

kartu keluarga tidak lagi menjadi beban bagi masyarakat. Masyarakat selama ini

masih mengurus kartu keluarga jauh-jauh dari kelurahan, dari kecamatan harus ke

kota. Sistem pelayanan harus berobah yaitu mendekatkan pelayanan kepada

masyarakat. Aparat pemerintah yang harus menjemput, atau adanya pelayanan

keliling. Semua ini, perlu ditegaskan dalam formalisasi kebijakan. Pemerintah lokal

harus membuat kebijakan atau merumuskan formulasi secara tepat sesuai dengan

kondisi lapangan, diukur kemampuan sumber daya aparat, sarana prasarana dan

terutama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Pembagian pekerjaan dalam suatu organisasi memang penting, karena hal

tersebut mencerminkan adanya kebersamaan untuk memikul tanggungjawab

terhadap tugas yang diberikan. Selain itu juga untuk menghindari adanya

kesenjangan diantara para pekerja terhadap tugas dan tanggungjawab serta jenis

pekerjaan yang harus dikerjakan. Menurut Steers (1985 : 150), usaha pemberian

penjelasan kepada para personil mengenai sifat yang setepatnya dari tugas mereka,

dapat ditempuh melalui pembagian pekerjaan. Keharusan adanya pembagian

pekerjaan dalam suatu organisasi menurut Robbins (1994 : 93-94) dan Siagian

Page 74: Bab IV Rev Perub

175

(1976 : 9), dikarenakan dalam organisasi terdapat adanya kempleksitas dari pada

tujuan, misi, tugas pokok dan fungsi-fungsi suatu organisasi yang memerlukan

adanya kemampuan dan pengalaman yang memadai. Padahal di pihak lain para

personil memiliki keterbatasan fisik dan pengetahuan.

Menurut Stillman (1992 : 38), pembagian pekerjaan mengandung arti

bahwa semua pekerjaan dalam suatu birokrasi (organisasi) dibagi-bagi secara

rasional kedalam unit-unit yang dapat dijalankan oleh seseorang individu atau

sekelompok individu yang mampu melaksanakan pekerjaan tersebut. Dengan

adanya pembagian pekerjaan, semua personil organisasi akan mengerti peran apa

yang harus dijalankan olehnya demi tercapainya tujuan organisasi. Selanjutnya,

Handoko (1991 : 171 – 172) mengatakan bahwa pembagian pekerjaan yang terlalu

ekstrim dalam suatu organisasi dapat menimbulkan kebosanan, keletihan,

menonton dan kehilangan motivasi.

Desentralisasi kewenangan, menurut Steers (1985 : 71), adalah batas

perluasaan berbagai jenis kekuasaan dan wewenang dari atas kebawah dalam

hirarki organisasi. Dengan demikian, pengertian desentralisasi kewenangan terkait

erat dengan konsep partisipasi dalam pengambilan keputusan maka personil

tersebut semakin turut serta dalam dan memikul tanggungjawab atas keputusan-

keputusan yang telah ditetapkan tersebut. Menurut Steers (1985 : 72) desentralisasi

kewenangan sering menghasilkan perbaikan pada beberapa segi dari efektivitas

organisasi, khususnya desentralisasi yang berhubungan dengan meningkatkannya

komunikasi dua arah yang terbuka. Dengan adanya komunikasi dua arah tersebut,

akan mendorong menghasilkan peningkatan inovasi dan kreativitas dalam

Page 75: Bab IV Rev Perub

176

organisasi. Selain itu, dengan desentralisasi akan mendorong pemanfaatan yang

optimal dari seluruh jumlah personil yang ada.

Menjadi jelas bahwa untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari

pelaksnaan kegiatan organisasi yakni aparat itu sendiri, jika para bawahan diberi

kesempatan untuk berpatisipasi dalam mengambil keputusan, baik melalui

konsultasi dengan kelompok atau dengan memperbolehkan para bawahan

mengambil dan menetapkan keputusan-keputusan sendiri. Hal ini yang jarang

dilakukan dalam lembaga pemerintahan di daerah, khususnya kesempatan bagi

bawahan dalam implementasi kebijakan program dan system administrasi

kependudukan. Atasan dengan egonya merasa bawahan bukanlah partner yang

cocok dalam mendiskusikan atau menentukan kebijakan apalagi diberi kebebasan

dan tanggung jawab untuk menentukan sendiri keputusan strategis di bidang

system administrasi kependudukan.

Penggunaan aturan-aturan dalam suatu organisasi itu disebutkan sebagai

formalisasi. Begitu juga dengan Hall (dalam Steers, 1985 : 74) menyatakan, bahwa

formalisasi biasanya menunjukkan batas penentuan atau pengaturan kegiatan kerja

para personil melalui prosedur dan peraturan resmi. Semakin besar pengaruh

pengaturan, kewajiban kerja secara tertulis yang mengatur tingkah personil,

semakin besar tingkat formalisasinya. Sedangkan Wexley dan Yukl (1988 : 25)

mengatakan, formalisasi merupakan suatu cara mengatur perilaku dan membatasi

kebebasan karyawan pada jenjang-jenjang lebih bawah. Menurut Robbins (1994 –

105-107), keuntungan yang diperoleh dari formalisasi yaitu (a) adanya standarisasi

perilaku pegawai yang cenderung seragam dalam pelaksanaan tugas, (b)

mendorong terwujudnya koordinasi, dan (c) efisien. Oleh karena itu banyak

Page 76: Bab IV Rev Perub

177

organisasi yang memilih untuk sedapat mungkin memformalkan pekerjaan agar

diperoleh prestasi dari pegawainya dengan biaya yang paling rendah. Pernyataan

Robbins tersebut, nampaknya terlalu menekankan pada aspek efisiensi yaitu

penghematan biaya. Oleh karena itu, perlu diperhatikan dalam mewujudkan kerja

yang efektif belum tentu efisiensi. Hal ini terutama pada jenis pekerjaan yang

dilakukan oleh organisasi yang bersifat pelayanan sosial, perlu diusahakan agar

formalisasi dalam organisasi jangan sampai mengurangi hasil kerja yang efektif.

Menjadi jelas bahwa faktor struktur birokrasi berperan penting dalam

keberhasilan implementasi kebijakan. Terdapat suatu standart operating

procedures (SOPs) yang mengatur tata aliran pekerjaan dan mencapai hasil yang

memuaskan. Karena penyelesaian masalah-masalah SPOs memerlukan penanganan

dan penyelesaian khusus dengan penggunaan pola baku. Jika hal ini tidak

dijalankan maka akan sulit sekali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Struktur yang tepat memberikan dukungan yang kuat terhadap keberhasilan

implementasi suatu kebijakan.

Struktur birokrasi pemerintahan merupakan suatu standar operating

procedur yang menata hubungan kerja anggota organisasi dalam lembaga

pemerintahan dalam mencapai tujuan yang terkait dengan pelayanan kartu

keluarga. Dukungan birokrasi pemerintahan yang telah ditata secara baik akan

memperlancar keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.

Pembagian tugas yang jelas memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan yang

telah ditetapkan penentu dan pembuat kebijakan. Hal yang perlu diperhatikan

adalah pelayanan yang tidak berbelit-belit. Aparat pemberi pelayanan harus cepat,

tanggap.

Page 77: Bab IV Rev Perub

178

4.3. Mekanisme implementasi kebijakan sistem Administrasi Kependudukan

dalam Penerbitan Kartu Keluarga .

Orientasi terhadap perubahan dan pembaharuan (change) merupakan salah

satu tuntutan dalam fungsi pelayanan pemerintahan dalam meningkatkan kualitas

pelayanan sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintahan. Dalam konteks sistem

administrasi kependudukan, perubahan dalam pelayanan perlu ditunjukkan melalui

keseriusan dan kesediaan aparat pemerintahan itu sendiri dalam menerima

perubahan. Menerima perubahan berarti, selalu berupaya untuk memiliki

pengetahuan, perkembangan, informasi yang terjadi dalam lingkungan organisasi

masyarakat dan di luar lingkungan pemerintah mengenai persoalan dan kebutuhan

masyarakat sendiri. Pengetahuan tersebut harus betul mengarah pada upaya

pembaruan pelayanan kepada masyarakat.

Pelayanan civil dan layanan publik merupakan tuntutan masyarakat agar

kebutuhan yang diharapkan baik secara individu maupun sebagai kolektif

terpenuhi. Karena itu dituntut dari aktor pemerintahan untuk meningkatkan kualitas

pelayanan bagi masyarakat. Osborne & Plastrik, (2000:312) berpendapat bahwa

peningkatan kualitas layanan civil dan layanan publik dapat ditempuh melalui (1)

akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (2) orientasi pada

pembaharuan dan (3) pengembangan etika pelayanan.

(1) aspek akuntabilitas dapat dijadikan ukuran tingkat kualitas pelayanan

publik. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik akuntabilitas merupakan satu

ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan

pelayanan dengan ukuran nilai atau norma eksternal yang dimiliki oleh

Page 78: Bab IV Rev Perub

179

stakeholders. Akuntabilitas merupakan satu kewajiban. Pemerintah berkewajiban

mempertanggungjawabkan segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan

penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang akan dilakukan maupun yang sudah

dilakukan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik diminta maupun

tidak diminta kepada seluruh masyarakat. Singkatnya, segala sesuatu yang terjadi

akibat pelaksanaan pelayanan kepada publik merupakan konsekwensi dari harapan

masyarakat akan pemenuhan janji dari birokrasi pemerintah dalam upaya

meningkatkan kualitas layanan publik dan layanan civil harus

dipertanggungjawabkan. Nilai dan norma pelayanan yang harus

dipertanggungjawabkan meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan

penegakan hukum, hak asasi manusia dan orientasi pelayanan yang dikembangkan

terhadap masyarakat pengguna jasa.

(2) cara meningkatkan kualitas pelayanan aparat birokrasi dapat dilakukan

melalui orientasi pembaharuan pelayanan. Pembaruan birokrat pemerintahan dalam

meningkatkan kualitas layanan publik merupakan pembaruan yang berkaitan

dengan restrukturisasi organisasi dan sistem pemerintah dengan mengubah tujuan,

insentif, akuntabilitas, distribusi kekuasaan dan budaya kerja. Karena dengan

adanya pembaruan organisasi pemerintahan berarti, organisasi secara terus menerus

mencari cara untuk menjadi lebih efisien, mengupayakan ukuran organisasi yang

memaksimumkan kinerja dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Itu

berarti, orientasi terhadap pembaharuan menunjuk pada sejauh mana kesediaan

aparat birokrasi menerima perubahan, tidak hanya menyangkut tuntutan

masyarakat, tetapi juga pengetahuan mengenai berbagai hal yang terjadi dalam

lingkungan di luar birokrasi. Orientasi pada perubahan yang harus dimiliki oleh

seorang aparat birokrasi berkaitan dengan luasnya wawasan dan pengetahuan yang

Page 79: Bab IV Rev Perub

180

dimilikinya. Tidak hanya berkaitan dengan tugas rutin melainkan pada

kemampuannya dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi di

luar lingkungan dalam konteks layanan publik. Tolok ukurnya adalah pencapaian

sasaran kebijakan publik, seperti adanya peningkatan kualitas dalam pelayanan

kesehatan, kesempatan pendidikan yang merata bagi semua anak, kualitas

lingkungan yang dilihat dari kesehatan sanitasi lingkungan, penangan masalah

sampah secara efisien dan efektif, pemuasan masyarakat terhadap layanan air

bersih, listrik dan telepon.

(3) pengembangan etika pelayanan. Etika pelayanan sebagai salah satu

faktor penentu meningkatnya kualitas pelayanan publik dan layanan civil di daerah

pemekaran. Etika pelayanan dikembangkan sebagai panduan norma bagi aparat

birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat, yang

menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok dan

organisasinya. Jadi, etika pelayanan bertujuan mengarahkan aparat birokrasi untuk

mengutamakan kepentingan masyarakat luas.

Indikasi, bahwa birokrasi memiliki etika pelayanan publik dapat dilihat dari

sudut apakah seorang aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat merasa mempunyai komitmen untuk menghargai hak-hak konsumen

untuk mendapatkan pelayanan secara transparan, efisien, dan adanya jaminan

kepastian pelayanan.

Pembaharuan dan perubahan pelayanan dapat dilakukan oleh aparat

pemerintah dalam mencapai efektivitas setiap program kebijakan pemerintahan

melalui aspek-aspek berikut:

4.3.1. Mengubah Tujuan

Page 80: Bab IV Rev Perub

181

Sebuah organisasi, diciptakan untuk mencapai tujuan atau lebih yang

ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pencapaian

tujuan merupakan kriteria yang paling digunakan untuk menentukan keefektifan.

Mengubah satu tujuan dalam organisasi ditentukan oleh pendekatan pencapaian

tujuan (goal attainment approach) yang mengatakan bahwa keefektifan suatu

organisasi harus dinilai sehubungan dengan mencapai tujuan (ends) ketimbang

caranya (means). (Perrow, 1961:854).

Dalam konteks implementasi kebijakan tujuan dicapai paling nyata melalui

management by objectives, artinya para menejemen organisasi dalam hal ini

pemerintahan dimana para pembuat kebijakan (top eksekutif) dan implementor

(aparat umumnya) melihat secara objektif program kerja yang dirancang untuk

dijalankan bersama demi mencapai tujuan nyata yang dapat dibuktikan dan yang

dapat diukur baik oleh pemerintah dan masyarakat melalui program pelayanan

kepada masyarakat baik di bidang pelayanan publik maupun pelayanan civil.

Walaupun pemerintah sebagai alat negara dalam hal ini eksekutif yang

tunduk pada kekuasaan negara, pemerintah tetap memiliki kekuatan dalam

menentukan kebijakan yang tentunya berorientasi pada perubahan dan

pembaharuan pelayanan sebagai upaya dari mengubah tujuan dalam pelayanan

kepada masyarakat. Dalam kaitan dengan itu, Budiman (1997: 92) berpendapat

bahwa:

pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik, kebijakan ini tentu saja tidak ditentukan oleh pemerintah secara mandiri, tetapi juga oleh kondisi struktural di mana pemerintah ini beroperasi. Kebijakan ini ....akan mengalami perubahan (meski mungkin bukan perubahan yang substansial) di bawah sebuah rejim yang demokrasi.

Apa yang diungkapkan Arif Budiman, tersirat makna perubahan dalam dan

oleh pemerintahan sebagai agen pembaharu. Pembaharuan diperoleh melalui hasil

Page 81: Bab IV Rev Perub

182

interaksi antara kondisi struktural dan kondisi masyarakat melalui sebuah proses

kebijakan. Kebijakan yang diambil harus terarah pada pelayanan yang berbasiskan

pemenuhan akan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah dalam

mengambil kebijakan tidak boleh terpaku pada kepentingan rejim yang berkuasa.

Proses pelayanan harus mencerminkan pada penyesuaian akan kondisi konkret

masyarakat. Dengan kata lain, pembaharuan dalam proses pelayanan harus

menyentuh pada aspek kondisi geografis, situasi ekonomi, budaya dan tradisi

masyarakat bukan pengalihan kehendak dan kepentingan rejim yang sifatnya

proyek. Berkaitan dengan kondisi problematik tersebut di atas, seorang anggota

DPRD berpendapat bahwa pemerintah sudah saatnya mengadakan pelayanan yang

berbasiskan pada kepentingan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Masyarakat

membutuhkan pelayanan pemerintahan yang tepat sasaran. Pelayanan yang

mengena pada kebutuhan dan harapan masyarakat. Manajemen pelayanan yang

asal memberikan proyek kepada masyarakat perlu diseleksi sesuai kebutuhan

masyarakat. Dengan demikian, pemerintah perlu mengadakan kerja sama dengan

pemimpin lokal, dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan

kelembagaan. Sehingga pelayanan pemerintah terarah dan tepat sasaran.24

Dari statement di atas, manajemen pelayanan yang dicita-citakan

masyarakat adalah pelayanan yang berorientasi pada perubahan yang ditandai aksi

atau tindakan (aspek ortopraksis pelayanan). Orientasi perubahan tersebut harus

nyata untuk melakukan perubahan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat.

Dengan cara demikian, pelayanan pemerintahan berubah dari pelayanan yang

sifatnya sentralistik.

Dwiyanto (2002: 158) melukiskan perubahan pola pelayanan yang

24 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009

Page 82: Bab IV Rev Perub

183

mengalami pembaharuan melalui suatu sikap yang berlawanan dengan orientasi

pada kemapanan (stauts quo). Karena apabila semakin tinggi sikap terhadap

perubahan, maka semakin rendah pula orientasi terhadap stauts quo. Di sini

dibutuhkan ketetapan pendirian pemerintah bahwa dalam orientasi pembaharuan

pelayanan, pemerintah sebagai alat dan pelaksana amanat negara harus

memetahkan secara tepat fungsi dan keberadaan diri sebagai pelayan masyarakat

bukan pelayan penguasa. Pemerintah tidak harus netral dalam proses pembaharuan,

yang hanya mengikuti aturan yang sudah ada. Tetapi pemerintah harus memiliki

kekuatan dan kemandirian yang mampu mempengaruhi kebijakan pembaharuan

pelayanan.

Oleh karena itu, selain dibutuhkan ketajaman, kepekaan akan daya

membaca tanda-tanda perubahan dalam pola dan pendekatan pelayanan,

pemerintah juga diharapkan memiliki kemampauan, kapabilitas dan kapasitas

dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam

masyarakat. Dalam kaitan dengan kondisi yang diinginkan dalam proses perubahan

pelayanan, salah seorang tokoh masyarakat berpendapat bahwa aparat pemerintah

dalam menjalankan tugas pelayanannya selama ini belum menunjukkan kualitas

pelayanan yang prima kepada masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi

aparat yang selalu puas dengan keadaan yang ada. Aparat pemerintah kurang

terbuka akan adanya perkembangan, perubahan dan kemajuan yang dapat diperoleh

melalui pelatihan, kursus, pendidikan lanjutan. Hal tersebut dapat menggambarkan

kondisi bahwa secara kelembagaan komitmen birokrasi pemerintahan di daerah

untuk melakukan perubahan masih rendah. Untuk itu, aparat pemerintah perlu

menunujukkan komitmen untuk melakukan reformasi internal, aparat pemerintah

perlu memiliki kemauan untuk berubah dengan melihat dan membandingkan

Page 83: Bab IV Rev Perub

184

berbagai kegiatan pelayanan di tingkat atau organisasi, instansi pemerintah yang

lebih tinggi dan telah berhasil merumuskan dan mengimplementasikan perubahan

paradigma pelayanan yang terlalu menekankan birokratisasi dengan model

pendekatan pelayanan yang langsung mengena pada kebutuhan nyata masyarakat.25

Pembaruan berarti penciptaan organisasi pemerintahan yang secara terus

menerus mencari cara untuk menjadi lebih efisien. Yang lebih penting di sini

adalah bahwa tujuan pembaruan pemerintahan selalu tertujuan pada efektivitas dan

finalitas pelayanan yaitu, bagaimana menyentuh dan memenuhi berbagai

kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan civil dan pelayanan publik. Oleh karena

itu, kata kunci di sini adalah bagaimana pemerintah melakukan perubahan dalam

pelayanan kepada masyarakat.

Menjadi jelas bahwa perubahan dan pembaharuan pelayanan adalah

penggantian pola pelayanan pemerintahan yang birokratis menjadi sistem yang

selalu mencari inovasi yang secara kontinyu memperbaiki kualitas pelayanan, yang

selalu berkesadaran dari dalam untuk melakukan perbaikan dalam sistem

pelayanan. Sistem yang dimaksud adalah sistem pembaruan dari pemrintahan

dalam menciptakan manajemen pelayanan baru yaitu sistem pelayanan yang

langsung berhubungan dengan masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan

masyarakat. Dengan kata lain manajemen pelayanan yang baru adalah pelayanan

yang berusaha memenuhi tuntutan dan kebutuhan rakayat akan pelayanan publik

dan pelayanan civil.

4.3.2. Mengembangkan Etika Pelayanan

Pemikiran tentang etika berlangsung pada tiga fase, yakni fase filosofis,

25 Wawancara dengan Kabid Dafduk, tanggal 9 September 2009

Page 84: Bab IV Rev Perub

185

fase sejarah dan fase kategorial. Pada fase filosofis etika dipelajari sebagai bagian

dari filsafat, epistemologi metafisika, estetika. Pada fase sejarah etika dipelajari

sebagai bagian dari hidup bangsa tertentu, pedoman hidup masyarakat dan suku

tertentu pada zamannya. Sedangkan fase kategorial dibahas sebagai etika profesi,

etika jabatan, etika kerja seperti etika militer, etika bisnis, termasuk etika birokrasi

pemerintahan. Etika ini dikenal juga dengan etika terapan. Kini, etika terapan

sedang berkembang dengan bagusnya karena mendapat perhatian yang cukup luas.

Etika pelayanan sebagai salah satu faktor penentu meningkatnya kualitas

pelayanan publik dan layanan civil di daerah. Menurut Dwiyanto (2002:188) etika

pelayanan dikembangkan sebagai panduan norma bagi aparat birokrasi dalam

menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat, yang menempatkan kepentingan

publik di atas kepentingan pribadi, kelompok dan organisasinya. Jadi, etika

pelayanan bertujuan mengarahkan aparat birokrasi untuk mengutamakan

kepentingan masyarakat luas.

Indikasi, bahwa birokrasi memiliki etika pelayanan publik dapat dilihat dari

sudut apakah seorang aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat merasa mempunyai komitmen untuk menghargai hak-hak konsumen

untuk mendapatkan pelayanan secara transparan, efisien, dan adanya jaminan

kepastian pelayanan. Etika mengandung unsur moral yang memiliki ciri rasional,

objektif, tanpa pamrih dan netral. Karena itu, pengembangan etika pelayanan

publik bagi para aktor birokrasi pemerintahan perlu berpatokan pada dua

pendekatan etis, yaitu pendekatan Teleologi dan Deontologi. Pendekatan teleologis

diterapkan dalam etika pelayanan publik berdasarkan pada prinsip apa yang baik

yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan pelayanan. Jadi nilai kemanfaatan

yang manjadi landasan dari etika pelayanan publik. Pendekatan ini pada akhirnya

Page 85: Bab IV Rev Perub

186

bermuara pada cara mengembangkan kebaikan bagi diri pejabat publik dan nilai

guna atau mengusahakan yang terbaik bagi publik. Sedangkan pendekatan

deontologi, mendekatkan diri pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan

karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau

konsekuensi dari keputusan yang diambil.

Pendekatan ini berlandaskan nilai moral yang mengikat agar birokrasi

selalu melakukan kewajiban moral agar sebuah kebijakan menjadi karakter

masyarakat. Dengan demikian, faktor etika pelayanan juga menjadi salah satu

faktor penentu bagi tercapainya kualitas pelayanan publik dan layanan civil.

Manakala prinsip etika pelayanan publik diabaikan dalam perumusan kebijakan

pemekaran wilayah dan tujuan pemekaran tidak diarahkan untuk peningkatan

kualitas pelayanan maka keberadaan kabupaten baru hasil pemekaran sangat tidak

berarti bagi masyarakat. Kualitas pelayanan itu penting dalam upaya memuaskan

kebutuhan masyarakat.

Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah atau provider pelayanan kepada

konsumer dalam hal ini masyarakat. Konsumer pada prinsipnya adalah seluruh

warga masyarakat yang dapat berupa individu, rumah tangga, orang-orang yang

tinggal dalam wilayah geografis tertentu, atau sekelompok orang dengan karakter

khas yang umum seperti kelompok petani, pedagang, mahasiswa, anak sekolah dan

sebagainya. Karena itu provider pelayanan harus melayani masyarakat secara

menyeluruh dan perlu mempelajari cara untuk dan keterampilan untuk melayani

masyarakat. Ketrampilan melayani yang dimaksudkan adalah pemahaman dan

pengetahuan yang tepat mengenai kebutuhan masyarakat dan cara memuaskan

kebutuhan masyarakat.

Page 86: Bab IV Rev Perub

187

Pelayanan merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aktor

pemerintahan sebagai abdi masyarakat untuk mensejahterakan masyarakat dari satu

negara kesejahteraan (welfare state). Menurut Rasyid (1997:116):

Pelayanan berkenaan dengan usaha pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang menjamin bahwa warga masyarakat dapat melaksanakan kehidupan mereka secara wajar, dan ditujukan juga untuk membangun dan memelihara keadilan dalam masyarakat.

Dengan demikian, hahekat pelayanan adalah kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah sebagai aktor dan artis pelayanan dengan landasan faktor material

melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi

kebutuhan dan tuntutan masyarakat sesuai dengan haknya.

Pelayanan pemerintahan baik di bidang publik maupun di bidang pelayanan

civil, berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik dan berkualitas sebagai konsekwensi

dari tugas dan fungsi pelayanan yang diembannya, berdasarkan hak-hak yang

dimiliki oleh masyarakat. Dalam kehidupan pemerintahan, pelayanan publik ada

bermacam-macam jenisnya yang menjadi tanggung jawab pemerintah dalam upaya

pemenuhannya. Menurut Saefullah (1997: 7), jenis pelayan umum antara lain:

Dapat dilihat dari kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Sedangkan kalau dilihata dari kegiatan pemerintahan yang harus memberikan pelayanan bisa dibedakan berdasarakan kekhusuan yanga mengakibatkan perbedaan jenis pelayanan yang diberikan.

Apapun bentuk dan pendekatan pelayanan, etiak pelayanan dalam konteks

pelayanan pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari pelaku pelayanan. Etika

pemerintahan digambarkan sebagai satu panduan norma bagi aparat pemerintahan

dalam menjalankan tugas pelayanan. (Dwiyanto, dkk, 2002: 188). Etika pelyanan

pemerintahan harus memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan

Page 87: Bab IV Rev Perub

188

pribadi, kelompok dan organisasinya. Etika pelayanan publik harus dalam proses

kebijakan dan implementasi kebijakan perlu diarahkan pada kepentingan publik,

kepentingan masyarakat.

Dalam konteks implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan,

peneliti mengamati bahwa etika pelayanan sangat penting bagi aparat pemerintah

sebagai implementor kebijakan. Karena selain etika pelayanan dapat dijadikan

panduan normatif dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat, etika

pelayanan dalam penyelenggaraan pelayanan berguna meningkatkan komitmen dan

konsekwen aparat pemerintah dalam memberi pelayanan sungguh menghargai hak-

hak konsumer dalam hal ini masyarakat. Masyarakat membutuhkan pelayanan yang

transparan, efektif, efisien serta yang penting adalah jaminan kepastian pelayanan,

utamanya pelayanan dalam penerbitan kartu keluarga.

Dengan demikian masyarakat akan menilai kinerja pelayanan pemerintah.

Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah ditentukan dalam titik ini.

Pelayanan aparat yang dilandasi oleh etika dapat tercermin melalui kedekatan

aparat dengan rakyat, pemerintah merasa senasib dan sepenanggunan dengan

masalah yang dihadapi rakyat, pemerintah dalam malayani tidak menciptakan

berbagai bentuk tidakan diskriminatif yang merugikan masyarakat. Dengan kata

lain, etika pelayanan dalam kinerja aparat sebagai implementor kebijakan sistem

administrasi kependudukan yang dijalankan melalui pelayanan kartu keluarga

diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat pemerintah terhadap

kepentingan rakyat terutama masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang

penerbitan kartu keluarga. Pemenuhan kebutuhan dan tuntutan kepentingan

masyarakat di bidang admnistrasi kependudukan harus ditempatkan sebagai

finalitas dari pelayanan pemerintah. Dengan cara demikian, etika pelayanan publik

Page 88: Bab IV Rev Perub

189

dapat berjalan sesuai harapan bersama yaitu terciptanya bonum commune.

4.3.3. Insentif

Salah satu faktor yang menentukan tingkat kinerja aparat pelayanan publik

adalah penerapan sistem insentif. Sistem insentif merupakan elemen penting dalam

suatu organisasi untuk memotivasi karyawan mencapai prestasi kerja yang

diinginkan. Insentif yang diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa

penghargaan materi maupun nonmateri, sedangkan karyawan yang tidak

berprestasi mendapatkan disinsentif berbentuk teguran, peringatan,

penundaan/penurunan pangkat, atau pemecatan. Sasaran utama penerapan sistem

insentif adalah (Gibson. Et.al, 1996):

1. Menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi.

2. Mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja3. Memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi

Pemberian insentif kepada karyawan harus dilakukan secara terbuka,

merata, dan dikaitkan dengan prestasi kerja. Cara tersebut dapat merangsang

pegawai untuk bekerja lebih keras dalam meningkatkan prestasinya. Untuk

memotivasi karyawan secara efektif, insentif hendaknya berkaitan dengan pola

perilaku tertentu, seperti prestasi yang lebih baik, diterima langsung sesudah

perilaku ditampilkan, dan menghargai karyawan untuk penampilan perilaku yang

diinginkan sehingga tetap konsisten.

Ada dua jenis insentif yaitu insentif intrinsik dan insentif ekstrinsik.

Insentif intrinsik adalah pemberian tanggung jawab dan tantangan lebih besar dari

pimpinan, sedangkan insentif ekstrinsik contohnya adalah gaji, promosi, tunjangan

atau penghargaan pribadi yang berbentuk pengakuan dari pimpinan, pujian, atau

Page 89: Bab IV Rev Perub

190

pengakuan eksistensi dari lingkungan kerja.

Pemberian insentif kepada setiap pegawai dilakukan kepada pegawai yang

mempunyai prestasi dan kinerja yang baik dalam melakukan pekerjaannya.

Semakin baik prestasi seseorang berarti semakin tinggi pula insentif yang

diperolehnya.

Peningkatan prestasi kerja oleh seorang aparat birokrasi dilakukan karena

berbagai alasan, seperti untuk peningkatan penghasilan, memperoleh penghargaan

dari pimpinan, kepuasan pribadi, promosi jabatan, kewajiban terhadap tugas,

pelayanan dan pengabdian pada masyarakat.

Kinerja aparat sebagai implementor kebijakan di bidang administrasi

kependudukan akan meningkat dan berdaya guna dalam mencapai efektivitas

implementasi kebijakan publik dapat dijalankan dengan metode pusnihment and

rewardness. Seorang aparat akan menjalankan tugas dan kerjanya apabila ia

dihargai. Salah satu bentuk penghargaannya atas kinerjanya dilakukan melalui

insentif.

Namun demikian, dari hasil wawancara dan pengamatan dismpulkan bahwa

baik buruknya insentif yang aparat pemerintahan peroleh berdasarkan atas apa yang

telah dilakukan bagi instansi akan mempengaruhi kinerja mereka. Namun, yang

masih sering menjadi masalah adalah penilaian prestasi kerja karyawan/petugas ini

masih mengacu pada kepentingan lembaga/ instansi dan belum didasarkan atas

tingkat kepuasan masyarakat. Dalam hal ini, karyawan dihadapkan pada dua

pilihan yang berlawanan. Pada satu sisi, apabila petugas melayani masyarakat

berdasarkan acuan petunjukpelaksanaan/ petunjuk teknis (juklak/juknis) yang ada

telah dianggap mempunyai kinerja yang bagus, meskipun sebetulnya juklak/juknis

yang ada atau menjadi acuan pelayanan tersebut, tidak sesuai lagi dengan

Page 90: Bab IV Rev Perub

191

kepentingan masyarakat. Namun sebaliknya, apabila petugas mengacu pada

kepentingan masyarakat yang kadangkala dianggap bertentangan dengan

juklak/juknis dan peraturan yang ada, mereka dianggap gagal karena telah

menyimpang dari peraturan yang ada. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada

pemberian disinsentif kepada aparat pemerintah itu.

Taliziduhu Ndraha (1999 : 136) mengatakan insentif adalah perangsang

yang bersumber dari luar diri manusia. Pada dasarnya insentif adalah perangsang,

dimana perangsang atau insentif ini dapat dipandang sebagai alat untuk memenuhi

atau memuaskan kebutuhan. Sedangkan The Liang Gie (1968 : 126) menyebutkan

bahwa Insentif atau perangsang adalah pemberian tunjangan baik berupa uang

maupun faslitas kepada seeorang dengan tujuan agar dapat melakukan tugasnya

lebih baik dan giat. Pengertian insentif ini mencakup uang dan fasilitas, yang

diberikan kepada seseorang dengan maksud agar orang yang bersangkutan lebih

bersemangat dalam melakukan tugas-tugasnya.

Karena itu, sangat penting apabila aparat pemerintah sebagai implementor

kebijakan publik dalam hal ini kebijakan sistem administrasi kependudukan di

daerah mendapatkan insentif atas prestasi kerjanya dalam melayani masyarakat di

bidang pelayanan penerbitan kartu keluarga. Insentif dalam koneks ini diartikan

sebagai perangsang yang menjadikan sebab berlangsungnya kegiatan aparat dalam

menjalankan tugas pelayanan di bidang administasi kependudukan sebagaimana

yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah, memelihara kegiatan tersebut dan

mengarah langsung pada tujuan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain,

insentif ini sebagai ganjaran prestasi kerja aparat dalam mencapai efektivitas

implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan.

Page 91: Bab IV Rev Perub

192

Pemberian insentif dapat menjadi pemacu kinerja karyawan, tetapi

tampaknya belum menerapkan sistem insentif bagi karyawan yang dinilai

berprestasi. Sistem insentif yang diberikan pada aparat sebatas gaji bulanan dan

tunjangan hari raya (THR) saja. Hal ini diungkapkan aparat pemberi pelayanan

kartu keluarga dan kartu penduduk.

Di instansi kami ada insentif untuk semua pegawai, namun tidak ada

penghargaan, padahal sebenarnya hal ini penting untuk meningkatkan prestasi kerja

karyawan, artinya ada semangat untuk selalu berusaha kerja dengan baik. Di sini

rasanya antara yang kerja bagus dengan yang biasa-biasa saja adalah sama. Apalagi

ditambah dengan adanya kebijakan barn yang dirasa tidak adil yaitu berkaitan

dengan tunjangan antara pimpinan dan karyawan terlalu berbeda jauh, padahal

karyawan lebih banyak menangani masalah-masalah.26

Peran ganjaran sangat penting dalam motivasi kerja. Adapun bentuk atau

wujud dari insentif itu dapat bermacam-macam, yang pada garis besarnya dapat

dibedakan dalam bentuk insentif material atau finansial dan insentif non material

atau non finansial. Plowman (Manullang, 1964 : 189) mempunyai dua elemen

pokok yaitu :

1.Keadaan pekerjaan yang memuaskan, yang meliputi tempat kerja, jam kerja, tugas dan teman-teman kerja;

2.Sikap pemimipin terhadap kegiatan-kegiatan masing-masing pegawai seperti jaminan pekerjaan, hubungan dengan atasan.

Memang disadari bahwa suatu organisasi tidak mungkin memenuhi semua

kebutuhan pegawai sebagaimana daftar insentif yang diuraikan diatas sehingga

tentu saja pemberian insentif juga disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan

organisasi.

26 Wawancara dengan Kabid Dafduk, tanggal 9 September 2009

Page 92: Bab IV Rev Perub

193

Aparat pelaksana atau sebagai implementor menyadari bahwa insentif

sangat penting dalam memotivasi tugas dan kerja. Insentif yang diberikan kepada

seseorang itu mempunyai arti sehingga mampu mendorong orang yang

bersangkutan untuk bekerja lebih giat dapat dilihat pula dari persepsi mereka

terhadap insentif yang diberikan pada waktu dan tempat tertentu. 27

Dari beberapa pendapat dan uraian tentang insentif, penulis menggunakan

indikator-indikator berikut sebagai penjabaran lebih lanjut dari sub-variabel

insentif sebagai berikut :

1. Hadiah dalam bentuk uang dan fasilitas (bonus).2. Kenaikan gaji berkala.3. Jaminan fasilitas dari kondisi kerja yang baik.4. Suasana hubungan dengan atasan dan antar teman kerja.

Pemberian insentif dalam pekerjaan kepada aparat sangat erat kaitannya

dengan peningkatan motivasi kerja dalam mencapai tujuan organisasi

pemerintahan. Motivasi merupakan semangat pendorong yang memicu kinerja

aparat dalam menjalankan tugas atau menjalankan perannya sebagai implementor

satu kebijakan yang telah ditetapkan atasan sebagai policy maker. Itulah konsep

dari motivasi kerja.

Untuk mempermudah pemahaman motivasi kerja, Ernest J. McCormick

(1985:268) mengemukakan bahwa “Work motivation is defined as conditions

which influence the arousal, direction, and maintenance of behavours relevant in

work setiings”. (Motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh

membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perlakuan yang berhubungan

dengan lingkungan kerja).

Motivasi kerja adalah suatu dorongan yang menyebabkan orang mau

bekerja keras karena ia mempunyai kebutuhan besar akan persaingan dan

27 Wawancara dengan Kabid Dafduk, tanggal 9 September 2009

Page 93: Bab IV Rev Perub

194

memenuhi tantangan itu”. Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan

semangat atau dorongan kerja kuat dan lemahnya motivasi kerja seseorang tenaga

kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya.

Pendapat-pendapat tersebut, menunjukkan bahwa seseorang yang

melakukan aktivitas tertentu, sebenarnya digerakkan atau didorong oleh sesuatu

motif dan kepentingan yang bersumber dari adanya kebutuhan, keinginan yang

harus dipenuhi. Dalam konteks implementasi kebijakan publik, motivasi kerja perlu

diperhatikan agar tujuan yang telah digariskan dan tetapkan dalam organisasi dapat

tercapai. Walaupun formulasi kebijakan cemerlang dengan didukung landasan

teori, konsep yang akurat tetapi bila dalam implementasi, implementor yang

menjalankannya tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi, maka efektivitas

kebijakan tersebut akan mengalami apa yang disebut not implementation and

unsuccesfull.

Dalam proses implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan,

para penentu kebijakan, perlu memperhatikan prinsip-prinsip dalam motivasi kerja

pegawai sebagai implementor kebijakan sistem administrasi kependudukan.

Terdapat beberapa perinsip dalam memotivasi kerja pegawai.

1. Prinsip Partisipasi. Dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu

diberikan kesempatan ikut berpartisipasi dalam menentukan tujuan

yang akan dicapai oleh pimpinan.

2. Prinsip Komunikasi. Pimpinan mengkomunikasikan segala sesuatu

yang berhubungan dengan pencapaian tugas, dengan informasi yang

jalas, pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.

Page 94: Bab IV Rev Perub

195

3. Prinsip mengakui andil bawahan. Pemimpin mengakui bahwa bawahan

(pegawai) mempunyai andil di dalam usaha pencapaian tujuan. Dengan

pengakuan tersebut, pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.

4. Prinsip pendelegasian wewenang. Pemimipn yang memberikan otoritas

atau wewenang kepada pegawai bawahan untuk sewaktu-waktu dapat

mengambil keputusan terhadap pekerjaan yang dilakukannya, akan

membuat pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi untuk

mencapai tujuan yang diharapkan oleh pimpinan.

5. Prinsip memberi perhatian. Pemimpin memberikan perhatian terhadap

apa yang diinginkan pegawai bawahan, akan memotivasi pegawai

bekerja apa yang diharapkan oleh pimpinan.

Bertolak dari pendapat-pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksudkan

dengan motivasi kerja adalah fungsi dari motif, pengharapan, insetif dan nilai yang

dapat menimbulkan suatu kekuatan berupa dorongan kerja bagi seseorang sehingga

tujuan organisasi dapat tercapai secara lebih efektif.

Dari hasil observasi di lapangan, penghargaan yang diberikan kepada

pegawai lebih berdasarkan pada loyalitasnya terhadap organisasi tempatnya

bekerja, bukan atas dasar prestasi kerja seseorang, padahal menurut konsep

dasarnya, sistem insentif harus dapat memberikan manfaat secara total atau

menyeluruh kepada setiap karyawan tanpa membedakan status, pangkat, golongan,

umur, atau masa kerja guna menunjang persaingan yang kompetitif seluruh anggota

organisasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

4.3.4. Akuntabilitas Pemerintah

Perilaku aparat yang betanggung jawab, merupakan satu bentuk kesediaan

Page 95: Bab IV Rev Perub

196

aparat untuk menyatakan segala tindakan aparat kepada publik secara terbuka.

Makna tanggung jawab sering diartikan dengan makna akuntabiltas. Dalam

konteks pelayanan publik, akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan

seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-

nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh para

stakeholders.

Nilai dan norma pelayanan yang berkembang dalam masyarakat tersebut di

antaranya meliputi transparansi dalam pelayanan, keadilan, kepastian, ketepatan

waktu, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia dan orinetasi pelayanan

yang dikembangkan bagi masyarakat pengguna jasa.

Salah satu kewajiban dan tanggung jawa pemerintah dalam pemberian

pelayanan adalah upaya perwujudan dan pencapaian kualitas pelayanan publik.

Aparat pemerintah sebagai aktor pelayanan bagi masyarakat mempunyai tanggung

jawab dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah mempunyai

tanggung jawab dalam upaya memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat

penerima jasa pelayanan. Pelayanan yang dijalankan tidak hanya titipan aturan

yang ada. Artinya pelayanan yang dijalankan bukan hanya aturan dan ketentuan

yang digariskan atasan. Tanggung jawab bukan dalam konteks melaporkan hasil

kerja yang telah digariskan dalam aturan kepada atasan. Yang menjadi tanggung

jawab adalah bagaimana pelayanan kepada masyarakat dijalankan sepenuhnya

demi pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Pemerintahan yang bertanggung jawab berarti adanya pola, bentuk dan

mekanisme pertanggungjawaban tertentu dari pemerintah kepada rakyat sebagai

pemilik negara, pemegang kekuasaan negara, yang terjadi dalam suatu hubungan

Page 96: Bab IV Rev Perub

197

pemerintahan, hubungan antara yang diperintah dengan yang memerintah (Rosen,

1998).

Makna pertanggungjawaban yang demikian, hanyalah salah satu dimensi

dari konsep pertanggungjawaban, yakni dari dimensi accountability. Dimensi

pertanggungjawaban ini hanya menyoroti keharusan bagi aparat yang diserahi

tugas untuk melaporkan kembali apa yang telah ditugaskan sesuai dengan apa yang

tertulis. Di luar yang tertulis tidak dijadikan materi pertanggungjawabannya. Hal

itu berarti, melalui accountability, pemerintah harus mempertanggung-jawabkan

perintah dan wewenangnya kepada pemberi perintah dan sumber wewenang.

Perilaku aparat yang bertanggung jawab pada prinsipnya menjawab dua

aspek utama dari responsible government, yang lebih menunjukkan hakikat dari isi

tanggung jawab kepada masyarakat. Hakikat responsible government yang oleh

Spiro (1969: 20), sebutkan yaitu makna obligation dan makna cause. Melalui

obligation, pemerintah berkewajiban mempertanggungjawabkan segala hal yang

berhubungan dengan pelaksanaan tugasnya, baik yang akan dilakukan maupun

yang sudah dilakukan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik diminta

maupun tidak diminta kepada seluruh masyarakat.

Anggota LSM menilai, sejauh ini, model pertanggungjawaban sebagai satu

kewajiban jarang dipraktikan oleh aparat pemerintahan di semua instansi

pemerintahan. Dalam kaitan dengan pelayanan kepada masayrakat, misalnya

pelayanan kartu keluarga dan kartu penduduk, seharusnya makna tanggung jawab

sebagai kewajiban, harus lebih diperhatikan. Karena tanggung jawab yang

dilakukan bukan hanya sekedar melaporkan hasil administrasi belaka. Makna

tanggung jawab pelayanan kartu keluarga lebih mengarah pada tanggung jawab

Page 97: Bab IV Rev Perub

198

pribadi atas tugas pelayanan. Oleh karena itu beban tanggung jawab lebih kepada

tanggung jawab moral. Aparat yang menjalankan tugas pelayanan tidak bisa

melaksanakan tugasnya hanya untuk menjawab tuntutan administrasi belaka

kepada atasan.28

Inti dari pemerintahan yang bertanggungjawab adalah bagaimana membuat

pemerintah tunduk kepada rakyat atau “yang diperintah”. Hal ini merupakan

konsekuensi logis dari suatu pemerintahan yang didasarkan atas prinsip-prinsip

demokrasi, yaitu: popular sovereingty. Hal ini berarti bahwa pertama tanggung

jawab akhir keputusan pemerintahan harus bermuara kepada kepentingan publik

(Saefullah, 2002: 8). Kedua, setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai

kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan.

Ndraha (2000c: 105) menjelaskan dasar kelahiran pemerintahan yang

bertanggung jawab sebagai berikut:

Pemenuhan janji tidak akan kunjung terjadi jika tidak ada kekuatan yang mendorong pemerintah untuk memenuhi janjinya kepada dirinya sendiri ketika ia membuat pilihan bebas: bersedia menjadi pemerintah dengan segala konsekwensinya dan untuk memenuhi janjinya kepada Allah dan manusia ketika disumpah. Kekuatan pendorong itu adalah rasa tanggung jawab (responsibility as cause). Rasa tanggung jawab ini tidak berkaitan dengan insentif baik punishment atau reward, juga tidak karena pengaruh orang lain tetapi semata-mata digerakkan oleh sistem nilai tanggung jawab yang tertanam di dalam jiwanya: janji.

Ndraha, (2000b: 105-108) selanjutnya mengelaborasi pemikiran Spiro

(1969) tentang makna pemerintahan yang bertanggung jawab dari perspektif ilmu

pemerintahan atas tiga dimensi yakni Accountability, Obligation dan Cause,

sebagai berikut:

28 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 98: Bab IV Rev Perub

199

1. Accountability yang meliputi perhitungan, laporan pelaksanaan tugas yang disampaikan kepada atasan atau pemberi tugas, oleh bawahan atau yang diberi kuasa dalam batas-batas kekuasaan (tugas) yang diterimanya.

2. Obligation yaitu tanggung jawab seorang pejabat pemerintahan dihubungkan dengan kedudukannya sebagai warga negara. Dalam hubungan ini ada tiga aspek obligation yakni:a.Noblesse oblige yakni the moral obligation of the rich or highborn to

display honorable or charitable conduct. Artinya pemerintah wajib menjunjung tinggi kehormatan dan nama baik di dalam masyarakat.

b.Wajib membedakan mana jabatan dan mana pribadi dan tidak boleh mencampuradukkan keduanya. Seorang pejabat publik tidak boleh memegang jabatan privat apapun dalam masyarakat.

c.Wajib menanggung segala akibat atau resiko jabatannya sebagai pemerintah.

3. Responsibility sebagai Cause yakni faktor yang mengge-rakkan seseorang pejabat untuk bertindak atau mengambil keputusan berdasarkan kehendak bebas. Sekali seseorang menjatuhkan pilihan dan memegangnya sebagai pendirian ia wajib menanggung segala konsekwensinya.

Penjelasan tanggung jawab dalam makna accountability itu bersumber dari

perintah dan wewenang, sedangkan obligation berasal dari adanya perintah, janji

dan posisi atau kedudukan sedangkan cause didasarkan atas keputusan batin untuk

bertindak secara free choice. Secara skematis, hubungan antar jenis tanggung jawab

dan sumbernya dilukiskan Ndraha (2001: 109) sebagai berikut:

Gambar 13: Teori Tanggung Jawab

Sumber: Direduksi dari Gambar VI-2, Ndraha, 2001: 109.

Dari berbagai jenis tanggung jawab di atas, semuanya menunjukkan bahwa

pihak yang menyelenggarakan tugas dan fungsi tertentu berdasarkan sumber

kewenangan dan kekuasaan tertentu wajib mempertanggungjawabkannya kepada

Page 99: Bab IV Rev Perub

200

pemilik kekuasaan atau pemberi mandat. Dengan demikian, ruang lingkup isi dan

batas pertanggungjawaban birokrasi pemerintahan baik badan eksekutif maupun

badan legislatif meliputi (Ndraha, 1997: 70):

Penggunaan wewenang yang diterima dari sumbernya, sumpah jabatan (janji kepada Allah dan manusia), janji kepada rakyat melalui pidato, program kerja, ucapan dan tindakan, komitmen pribadi atas pilihan menerima jabatan pemerintahan; tindakan atas inisiatif dan prakarsa sendiri (free will/free choice), tindakan pribadi (oknum) dan warisan pejabat pendahulunya.

Pemerintahan atas dasar ‘popular sovereignty’ mengandung makna

hubungan antara pemerintah dan yang diperintah. Pemerintah diberikan

kewenangan oleh yang diperintah untuk memerintah dan membuat keputusan atau

kebijakan yang sesuai dengan kepentingan yang diperintah. Selanjutnya, yang

diperintah (the governed) memberikan kepada pemerintah hak dan kewenangan

untuk membuat keputusan, terlibat dalam kesepakatan, dan umumnya bertindak

atas nama kepentingan rakyat sebagai pemilik negara. Dengan demikian, semua

pejabat publik mempunyai tanggung jawab moral terhadap yang diperintah.

Dengan demikian, yang dilakukan dan yang dipertanggungjawabkan

lembaga pemerintah adalah implementasi dari berbagai fungsi pelayanan publik

sesuai dengan batasan kekuasaan masing-masing. Dalam implementasi kebijakan

sistem administrasi kependudukan, pemerintah sebagai pembuat dan penentu

kebijakan, aparat sebagai implementornya juga harus mempertanggungjawabkan

kepada masyarakat akan apa keberhasilan terutama kegagalan (unsuccesfull) dari

kinerja aparat pemerintah akan menerjemahkan kebijakan sistem administrasi

kependudukan melalui pelayanan di bidang penerbitan kartu keluarga. Hal tersebut

sesuai dengan pandangan Riesellbach (dalam Napitupulu, 2004) berpendapat

Page 100: Bab IV Rev Perub

201

bahwa ruang lingkup materi yang dipertanggung-jawabkan itu tidak hanya

keberhasilan, tetapi juga kegagalan. Dikemukakannya bahwa:

Pemerintah juga diberikan kewajiban untuk memberikan laporan pertanggungjawaban atau memberikan jawaban atas kegagalan atau keberhasilan dari kebijakan dan programnya. Dalam pengertian ini, tanggung jawab memerlukan kewajiban khusus (special obligations). Karena itu, tanggung jawab mengharuskan seorang pejabat publik atau lembaga politik untuk secara periodik memberikan laporan pertanggungjawaban kepada yang diperintah. Penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban tersebut dapat saja melegitimasi kedudukan seorang pejabat publik tetapi juga mengakibatkan dia kehilangan kedudukan.

Pemerintahan yang bertanggung jawab berarti adanya pola, bentuk dan

mekanisme pertanggungjawaban tertentu dari pemerintah kepada rakyat, yang

terjadi dalam suatu hubungan pemerintahan, hubungan antara yang diperintah

dengan yang memerintah Makna pertanggungjawaban yang demikian, hanyalah

salah satu dimensi dari konsep pertanggungjawaban, yakni dari dimensi

accountability. Dimensi pertanggungjawaban ini hanya menyoroti keharusan bagi

eksekutif atau pihak yang diserahi tugas untuk melaporkan kembali apa yang telah

ditugaskan sesuai dengan apa yang tertulis.

Selain makna accountability, pertanggungjawaban atau responsible

government masih lebih luas lagi yakni mencakup obligation dan makna cause

sebagaimana dikemukakan Spiro (1969:14-20). Melalui obligation, pemerintah

berkewajiban mempertanggungjawabkan segala hal yang berhubungan dengan

pelaksanaan tugasnya, baik yang akan dilakukan maupun yang sudah dilakukan,

baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik diminta maupun tidak diminta

kepada seluruh masyarakat.

Berdasarkan pemikiran ini, bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah

terhadap output dari kebijakan yang telah dilaksanakan di bidang sistem

Page 101: Bab IV Rev Perub

202

administrasi kependudukan melalui pelayanan publik / civil yakni pelayanan

penerbitan kartu keluarga dilihat dari segala sesuatu yang terjadi akibat

pelaksanaan perintah, pemenuhan janji dan peranan sesuai kedudukan dan

posisinya sebagai pengelola kekuasaan, harus dipertang-gungjawabkan.

Cause dimaknakan sebagai tanggung jawab pemerintah baik eksekutif

maupun legislatif kepada masyarakat atas segala akibat yang ditimbulkan oleh

keputusan batinnya yang bersifat free choice sehingga ia bertindak dan membawa

akibat tertentu kepada masyarakat dan lingkungannya. Jika terjadi sesuatu yang

meresahkan, mengorbankan, merugikan atau membawa kesengsaraan rakyat akibat

langsung dan tidak langsung kebijakannya yang diambil atas dasar free-choice,

maka pemerintah wajib mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Tanggung

jawab ini lebih bersifat etis-moral dari pemerintah terhadap rakyatnya.

Sejauh ini, mekanisme pertanggungjawaban pemerintahan kepada rakyat

seluruhnya belum diatur dan belum dipahami secara luas dengan benar.

Pertanggungjawaban pemerintah dimaknai secara sempit yaitu

pertanggungjawaban badan eksekutif terhadap badan legislatif sedangkan

mekanisme pertanggungjawaban badan legislatif terhadap rakyat tidak ada,

demikianpun halnya dengan pertanggungjawaban badan eksekutif dan yudikatif

terhadap rakyat juga belum ada.

Pihak LSM juga menyatakan bahwa yang bertanggungjawab kepada

masyarakat itu bukan hanya badan eksekutif dan birokrasinya, tetapi juga badan

legislatif, badan yudikatif. Dengan demikian semua lembaga pemerintahan dan

masyarakatnya harus bertanggungjawab baik kepada diri sendiri, kepada pemberi

Page 102: Bab IV Rev Perub

203

mandat maupun kepada alam lingkungan sekitar. Khususnya kepada masyarakat

yang manjadi korban kebijakan pemerintah.29

Apa yang harus dipertanggungjawabkan pemerintah? Selama ini berbagai

kebijakan yang dijalankan pemerintah sepertinya tidak pernah menyentuh aspek

pertanggungjawabannya. Sehingga baik, buruk, sukses, gagalnya kebijakan dan

program pemerintah lepas begitu saja dari evaluasi. Yang harus

dipertangungjawabkan pemerintah terhadap kinerja aparat sebagai implementator

dalam menjalankan kebijakan pemerintah diberbagai bidang yang berkenaan

dengan kepentingan masyarakat, meliputi: berbagai produk kebijakan legislatif dan

eksekutif yang ternyata merugikan rakyat banyak, demikianpun melalui sikap dan

perilaku, tutur kata, ucapan, pidato, janji, sumpah jabatan dan komitmen diri aparat

legislatif dan eksekutif dalam melaksanakan tugasnya harus dipertanggung-

jawabkan kepada rakyat.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah, Kumorotomom (1996:

153-155) menilai pertanggungjawaban pemerintah sebagai pertanggungjawaban

administrasi yang dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, manajemen kehendak-

kehendak lembaga melalui mekanisme pertanggungjawaban yang membutuhkan

adanya sumber kontrol otoritatif. Unsur kedua, setiap sistem pertanggungjawaban

adalah derajat kontrol atas pilihan-pilihan lembaga. Derajat kontrol yang tinggi

mencerminkan kemampuan pengawas untuk menentukan jangkauan dan

kedalaman tindakan yang dapat diambil oleh suatu lembaga negara dan

aparaturnya.

Kaitan antara pengawas dan yang diawasi juga berbeda dengan yang

terdapat dalam sistem pertanggungjawaban birokratis. Di dalam sistem birokratis,

29 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 103: Bab IV Rev Perub

204

kaitan tersebut bersifat hirarkis dan tergantung pada kemampuan atasan untuk

memberi hadiah atau hukuman kepada bawahannya. Sedangkan dalam

pertanggungjawaban legal keterkaitan yang terjadi adalah antara dua pihak yang

relatif otonom dan di sini melibatkan suatu kesepakatan formal di antara lembaga

publik dan pengawasannya yang legal.

Agar pemerintah dapat bertanggungjawab dalam tugas dan pelayanannya

serta bertanggungjawab atas semua kebijakan dan program kerjanya, maka

diperlukan Pertanggungjawaban yang profesional, seiring dengan semakin banyak

dan kompleksnya persoalan-persoalan tehnis dalam pemerintahan. Para pejabat

publik harus punya landasan keterampilan tertentu, punya pegawai-pegawai yang

ahli untuk melaksanakan solusi atas setiap permasalahan yang tepat.

Pertanggungjawaban profesional dicirikan oleh penempatan kontrol atas aktivitas-

aktivitas organisasional di tangan para pejabat yang punya kepakaran atau

keterampilan khusus dalam melaksanakan berbagai kebijakan dan program kerja

yang nyata dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, kunci

dari pertanggungjawaban profesional adalah diferensiasi keahlian di dalam

lembaga tersebut.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah, Kumorotomom (1996:

153-155) menilai pertanggungjawaban pemerintah sebagai pertanggungjawaban

administrasi yang dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, manajemen kehendak-

kehendak lembaga melalui mekanisme pertanggungjawaban yang membutuhkan

adanya sumber kontrol otoritatif. Unsur kedua, setiap sistem pertanggungjawaban

adalah derajat kontrol atas pilihan-pilihan lembaga. Derajat kontrol yang tinggi

mencerminkan kemampuan pengawas untuk menentukan jangkauan dan

Page 104: Bab IV Rev Perub

205

kedalaman tindakan yang dapat diambil oleh suatu lembaga negara dan

aparaturnya.

Kumorotomo (1996: 153-155): selanjutnya menjelaskan tipe sistem

pertangungjawaban yang dapat diringkas sebagai berikut:

Pertanggungjawaban birokrasi (sel 1) adalah mekanisme yang secara luas

dipakai untuk mengelola kehendak-kehendak lembaga negara.

Pertanggungjawaban ini mengarah pada fungsi sistem pertanggungjawaban

birokratis melibatkan dua komponen utama: 1) kaitan yang terorganisasi dan absah

antara seorang atasan dan bawahan di mana keharusan untuk mengikuti “perintah”

tidak dipertanyakan lagi. 2) suatu pengawasan melekat atau suatu sistem

perwakilan dalam menentukan prosedur-prosedur baku dan aturan-aturan yang

berlaku.

Pertanggungjawaban legal (sel 2) pertanggung-jawaban legal berlandaskan

pada keterkaitan antara pengawasan pihak-pihak di luar lembaga dengan anggota-

anggota organisasi. Dalam istilah pembuatan kebijakan, pihak-pihak luar itu

merupakan “pembuat undang-undang” sedangkan administrator publik berperan

sebagai “pelaksana.”

Kaitan antara pengawas dan yang diawasi juga berbeda dengan yang

terdapat dalam sistem pertanggungjawaban birokratis. Di dalam sistem birokratis,

kaitan tersebut bersifat hirarkis dan tergantung pada kemampuan atasan untuk

memberi hadiah atau hukuman kepada bawahannya. Sedangkan dalam

pertanggungjawaban legal keterkaitan yang terjadi adalah antara dua pihak yang

relatif otonom dan di sini melibatkan suatu kesepakatan formal di antara lembaga

publik dan pengawasannya yang legal.

Page 105: Bab IV Rev Perub

206

Pertanggungjawaban yang profesional (sel 3) semakin diperlukan seiring

dengan semakin banyak dan kompleksnya persoalan-persoaan tehnis dalam

pemerintahan. Para pejabat publik harus punya landasan keterampilan tertentu,

punya pegawai-pegawai yang ahli untuk melaksanakan solusi atas setiap

permasalahan yang tepat. Pertanggungjawaban profesional dicirikan oleh

penempatan kontrol atas aktivitas-aktivitas organisasional di tangan para pejabat

yang punya kepakaran atau keterampilan khusus dalam melaksanakan suatu

pekerjaan. Oleh sebab itu, kunci dari pertanggungjawaban profesional adalah

diferensiasi keahlian di dalam lembaga tersebut. Konflik sering muncul dari

kenyataan bahwa meskipun otoritas senantiasa dikendalikan secara internal oleh

lembaga, pranata-pranata profesional dari luar (melalui pendidikan dan standar

profesi) mungkin secara tak langsung mempengaruhi pembuatan keputusan para

pakar dalam lembaga pemerintah tersebut.

Pertanggungjawaban politis (sel 4) merupakan sistem pertanggungjawaban

yang sangat dibutuhkan bagi para administrator di negara demokratis. Jika

pengakuan terhadap kemampuan (deference) pakar merupakan karakteristik

pertanggungjawaban profesional, maka daya tanggap (responsiveness) terhadap

kepentingan publik merupakan karakteristik sistem pertanggungjawaban politis.

Kaitan pokok dalam sistem seperti ini menggambarkan bahwa antara seorang wakil

rakyat atau administrator publik dengan warga pemilih (mereka yang merupakan

muara pertanggungjawaban). Pertanyaan utama dalam pertanggungjawaban politis

adalah untuk siapa para administrator publik bertindak? Sedangkan warga pemilih

(constituency) yang mestinya diwakili, antara lain masyarakat umum, pejabat

terpilih, kepala lembaga, pelanggan lembaga tertentu, kelompok kepentingan

khusus dan generasi yang akan datang.

Page 106: Bab IV Rev Perub

207

4.3.5. Distribusi Kewenangan

Kewenangan sentralistis yang selama ini dijalankan dalam mekanisme

kepemimpinan dan menjadi tolok ukur pengambilan kebijakan strategi khususnya

dalam pelayanan kepada masayrakat, harus ditinggalkan dan beralih pada

paradigma baru pengambilan dan penentu keputusan. Isi kewenangan seharusnya

bergeser kepada apa yang disebut oleh Dwiyanto dkk, (2002: 141) dengan

kewenanan diskresi.

Mengingat kultur kewenangan yang terikat pada sentralitas selama masa

Orde baru, maka diskresi kewenangan bisa menjadi salah satu pemecahan bagi

pemberdayaan aparat tingkat bawah, walau hal itu masih merupakan satu isu

krusial. Tetapi hal itu juga dapat memberikan pelayanan publik yang efisien,

responsif, dan akuntabel kepada publik. Kebijakan ini juga untuk menghindari

birokrasi pemerintah yang menempatkan diri sebagai regulator dan supervisor

publik, ketimbang sebagai aktor yang mampu memahami aspirasi dan kebutuhan

pelayanan yang diperlukan oleh publik. (Dwiyanto dkk., 2002: 142)

Berangkat dari sudut pandang tersebut di atas, maka perlu dirumuskan isi

kebijakan dalam sistem administrasi kependudukan yang lebih memberikan

keluasan wewenang kepada tingkat aparatur pemberi pelayanan seperti kartu

keluarga, kartu penduduk dan akte kelairan agar lebih memberdayakan aparatnya

untuk aktif dan partisipasi dalam melayani publik di bidang pelayanan kartu

keluarga, kartu penduduk dan akte kelairan secara lebih bertangung jawab.

Page 107: Bab IV Rev Perub

208

Seorang aktivis LSM sebagai yang merepresentasi kelompok interest group

berpendapat bahwa untuk memberdayakan aparat di tingkat bawah yang langsung

berhadapan dengan masyarakat penerima layanan kartu keluarga, kartu penduduk

dan akte kelahiran sangat penting diterapkan diskresi kebijakan. Diskresi

kewenangan dinilai baik apabila aparat pemberi pelayanan kartu keluarga, kartu

penduduk atau akte kelahiran selalu berupaya mengatasi sendiri kesulitan melalui

cara-cara yang berorientasi pada upaya pemuasan kepentingan publik tindakan-

tindakannya meliputi mendiskusikan masalah mengatasi persoalan pelayanan

dengan rekan kerja, terlibat secara bersama dalam memutuskan suatu masalah

berdasarkan visi organisasi. Aparat dalam merespons kesulitan dalam menangani

persoalan pelayanan kartu keluarga, kartu penduduk atau akte kelahiran tidak

berorientasi pada petunjuk atasan.30

Sangat tepat apabila aparat pemberi pelayanan menjalankan pelayanan

sesuai prinsip oto aktivitas. Dari wawancara, pengamatan yang dilakukan, maka

ada input yang perlu dilakukan aparat, yaitu selain aparat dapat menigkatkan

kualitas diri melalui proses edukasi, tetapi aparat perlu didukung dengan

memberikan keleluasaan kepada aparat untuk mencari dan menemukan sendiri

masalah yang sedang dihadapi publik, serta aparat sendiri berupaya mencari solusi,

mencari jalan keluar untuk mengatasi sendiri secara partisipatif-organisasional. Itu

berarti kewenangan diskresi harus menjadi salah kontribusi bagi upaya peningkatan

kualitas pelayanan di bidang kartu keluarga, kartu penduduk dan akte kelahiran.

Secara konseptual kewenangan diskresi merupakan langkah yang ditempuh

oleh administrator untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu yang belum diatur

30 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 108: Bab IV Rev Perub

209

dalam suatu regulasi. Dalam konteks tersebut, diskresi dapat berarti suatu

kelonggaran pelayanan yang diberikan administrator kepada tingkat bawahan.

Petimbangannya dalam konteks pelayanan sistem administrasi kependudukan,

dengan diterapkannya kewenangan diskresi aparat pemberi pelayanan dapat

menjalankan proses perumusan suatu kebijakan yang pada prinsipnya mampu

mengatasi dan menanggulangi masalah pelayanan. Aparat dengan cara demikian

merasa dipercaya untuk menggunakan kemampuan sendiri dalam melayani publik

bidang sistem administrasi kependudukan.

Weber, (dalam Giddens, 1985: 193) mengemukakan tiga jenis tipe ideal

wewenang, pertama wewenang tradisioanl, kedua,tipe wewenang karismatik dan

ketiga, tipe wewenang legal-rasional. Yang terakhir menjadi basis kewenangan

pemerintah. Artinya semuanya berjalan secara birokrtis-strukturalis. Oleh karena

itu, birokrasi pemerintahan berjalan secara formalistic-impersonality.

Ndraha (2003: 85) mengutip Chester, bahwa ujian mutlak bagi bangunan

birokrasi adalah “whether orders are accepted by those who receive them dan tidak

pada paradigma “hierarchical”, “top to bottom model of authority,”. Jadi

prinsipnya bukan pada bawahan harus mematuhi perintah atasan, tetapi apakah

bawahan bersedia menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya. Kesediaan itu

dibangun antar pihak bersangkutan.

Pendelegasian wewenang menjadi salah satu masalah yang dihadapi dalam

birokrasi pemerintahan. Aparatur umumnya hanya menunggu keputusan atasan

sebagai top eksekutif. Besarnya wewenang Dinas dalam membuat kebijakan dan

memformulasikan kebijakan, menjadikan aparat umumnya hanya menjadi alat

Page 109: Bab IV Rev Perub

210

pelaksana kebijakan dan keputusan atasan. Tidak mengherankan bila kebanyakan

staf hanya menunggu dan pasif. Tidak ada upaya berupa inisiatif dan kreasi yang

datang dari pihak staf. Hal ini sudah menjadi budaya kerja birokrasi pemerintahan.

Sentralisasi kebijakan dan keputusan pada Dinas merupakan salah satu faktor tidak

berdayanya aparatur pemerintah yang berada di bawah Dinas untuk menjalankan

tugasnya secara efektif dan bertanggung jawab.

Anggota dewan menilai, bahwa berbicara tentang birokrasi pemerintahan,

kewenganan sifatnya mutlak pada atasan. Pemerintah dalam struktur dan sistemnya

selalu menempatkan kewenangan atau otoritas, atas dasar legal rasional. Legal

rasional ini yang menjadi dasar keberwewenangan birokrasi pemerintah.

Kewenangan sifatnya normatif, statis dan harus dilaksanakan. Konsekwensinya

bawahan harus menjalankannya. Wewenang untuk menentukan arah dan kebijakan

dalam kaitannya dengan pelayanan pendidikan hanya berada pada level tertinggi

pemerintahan yaitu pada dinas. Sedangkan pada level yang lebih rendah sifatnya

subordinat, hanya menjalankan perintah atasan yang tidak didasarkan pada

kesepakatan bersama. 31

Kuatnya kewenangan pada tingkat atasan, menimbulkan efek samping

berupa kuatnya tingkat ketergantungan level bawah kepada atasan. Lemahnya

keberadaan struktur pemerintah pada level bawah, nampak pada loyalitas

melaksanakan kebijakan tingkat atasan, dalam hal ini melaksanakan semua

keputusan yang telah digariskan tingkat Dinas.

Aparat kelurahan berpendapat bahwa berbicara tentang pelimpahan

kewenangan berarti kepercayaan yang diberikan kepada bawahan dalam struktur

31 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009

Page 110: Bab IV Rev Perub

211

pemerintahan dari institusi yang satu untuk membuat policy formulation dan policy

implementasi dalam proses peneyelesaian suatu kebijakan public. Kewenangan di

Dinas sifatnya kewenangan yang terpusatkan, kewenangan hirarkis. Kewenangan

hanya ada di Dinas, dalam arti kewenangan dalam merumuskan public policy.

Dinas mempunyai kewenangan yang besar untuk menentukan kebijakan,

menentukan keputusan dan kebijakan. Jadi tidak ada istilah transfer kebijakan

kepada bawahan untuk mengambil inisistif apalagi untuk mengambil keputusan

dalam menjalankan tugas pelayanan yang berkaitan dengan urusan administrasi

kependudukan. 32

Tidak mengherankan bila aparatur pemerintahan hanya menjadi alat

pelaksana kebijakan dan program atasan. Singkatnya mereka hanya merupakan

subordinat atasan. Kalau demikian, kapan mereka bisa diberdayakan, dalam arti

ada pelimpahan wewenang dari atasan untuk menentukan arah kebijakan dalam

penanganan masalah yang berkaitan dengan kebijakan sistem administasi

kependudukan.

Dari pandangan di atas, birokratisasi pemerintahan pada dasarnya

mempraktekan sistem kewenangan secara ketat sebagaimana dikatakan Weber

(1986: 193) dalam teorinya mengenai otoritas hukum bahwa “mereka yang tunduk

pada otoritas, menuruti atasannya sesuai satu orde, dan sang paling atas itu

mengarahkan bawahan pada orde itu dalam bentuk keputusan dan perintah”. Jenis

kewenangan ini ditandai dengan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan staf secara

teratur, dan merupakan kedinasan-kedinasan, yang jelas batasnya. Bidang-bidang

wewenang para pejabat dibatasi dengan jelas dan tingkat-tingkat otoritas

digariskan batas-batasnya dengan jelas dalam bentuk hirarki kantor.

32 Wawancara dengan Wakil Ketua DPRD, tanggal 21 Agustus 2009

Page 111: Bab IV Rev Perub

212

Apa yang diungkapkan oleh pihak penentu kebijakan, menggambarkan

struktur birokrasi pemerintahan sebagai sentrum penentu dan pengambil kebijakan.

Pihak bawahan tidak berdaya dalam berpikir, atau ikut menentukan kebijakan

strategis yang bisa dijalankan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan

sistem kebijakan administrasi kependudukan.

Isi kewenangan seharusnya bergeser kepada apa yang disebut oleh

Dwiyanto dkk, (2002: 141) dengan kewenanan diskresi. Mengingat kultur

kewenangan yang terikat pada sentralitas selama masa Orde baru, maka diskresi

kewenangan bisa menjadi salah satu pemecahan bagi pemberdayaan aparat tingkat

bawah, walau hal itu masih merupakan satu isu krusial. Tetapi hal itu juga dapat

memberikan pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel kepada

publik. Kebijakan ini juga untuk menghindari birokrasi pemerintah yang

menempatkan diri sebagai regulator dan supervisor publik, ketimbang sebagai

aktor yang mampu memahami aspirasi dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan

oleh publik. (Dwiyanto dkk., 2002: 142)

Berangkat dari sudut pandang tersebut di atas, maka perlu dirumuskan isi

kebijakan dalam jajaran dinas kependudukan dan catatan sipil yang lebih

memberikan keluasan wewenang kepada tingkat aparat yang lebih teknis untuk

aktif dan partisipasi dalam melayani publik di bidang penerbitan kartu keluarga

secara lebih bertangung jawab.

Diskresi kewenangan dinilai baik apabila aparat selalu berupaya untuk

mencari dan menemukan sendiri masalah yang sedang dihadapi publik, serta aparat

sendiri berupaya mencari solusi, mencari jalan keluar untuk mengatasi sendiri

secara partisipatif-organisasional. Itu berarti kewenangan diskresi harus menjadi

salah satu kontribusi bagi upaya efektifnya implementasi kebijakan sistem

Page 112: Bab IV Rev Perub

213

admnistrasi kependudukan kepada masyarakat khususnya dalam pelayanan kartu

keluarga.

Dikatakannya bahwa secara konseptual kewenangan diskresi merupakan

langkah yang ditempuh oleh administrator untuk menyelesaikan suatu kasus

tertentu yang belum diatur dalam suatu regulasi. Dalam konteks tersebut, diskresi

dapat berarti suatu kelonggaran yang diberikan administrator kepada tingkat

bawahan.

Pentingnya transfer kewenangan dalam menentukan langkah dan arah kerja

sangat tepat bagi pemberdayaan aparat. Hal tersebut penting, mengingat aparat di

tingkat bawah dapat berdaya jika kemampuan mereka diakui dan diekspresikan

dalam pelaksanaan tugasnya.

Dari data, pengamatan, dan analisis informan dapat ditarik benang merah

sebagai kontribusi bagi penyempurnaan kewenangan dalam merivisi kebijakan

sistem administrasi kependudukan. Pertama, harus dirombak sistem kewenangan

yang sifatnya regulator, yang berorientasi pada pencapaian target organisasi, tetapi

tidak menyentuh kepentingan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang

administrasi kependudukan. Diskresi kewenangan dinilai baik apabila aparat

sebagai impelementor kebijakan sistem administrasi kependudukan selalu berupaya

mengatasi sendiri kesulitan melalui cara-cara yang berorientasi pada upaya

pemuasan kepentingan publik. Kedua, penting dikembangkannya kewenangan

diskresi dalam implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan.

Kewenangan hendaknya lebih banyak diberikan aparat pemberi pelayanan

administrasi kependudukan untuk membuat kebijakan yang medukung kinerja

aparat secara efektif, efisien dan tepat guna. Ketiga, pelaksanaan tugas pelayanan

administrasi kependudukan sebagai kebijakan oleh aparat sebagai implementor

Page 113: Bab IV Rev Perub

214

kebijakan tidak bertujuan mencapai target organisasi pemerinah semata, tetapi

diupayakan agar arah dan tujuan pelayanan lebih pada pemenuhan kebutuhan

publik di bidang pelayanan administrasi kependudukan seperti pelayanan

penerbitan kartu keluarga. Keempat, memberi kepercayaan kepada aparat di

lapangan untuk menjalankan tugas pelayanannya sesuai kemampuan dan

ketekunannya, demi terciptanya kinerja pelayanan yang bertanggung jawab.

Kelima, kewenangan harus lebih besar diberikan kepada aparat pelaksana untuk

menangani masalah administrasi kependudukan bidang penerbitan kartu keluarga

secara mandiri mulai dari proses merencanakan, mengevaluasi secara organisasi

dan melibatkan semua unsur untuk terlibat menangani masalah kependudukan.

4.4.6. Budaya Kerja

Referensi teoritik tentang budaya kerja sangat membantu untuk

menganalisis kinerja aparat dalam melaksanakan tugas dan pengabdian dalam

pelayanan kepada masyarakat. Budaya kerja aparat pemerintahan sering disorot

publik karena menyangkut komitmen, kesungguhan, dan pengabdian pada tugas.

Budaya kerja aparat tercermin melalui roses formulasi kebijakan yang akan

dijalankan secara tepat dan efektif oleh aparat sebagai implementor. Kebijakan

yang dijalankan sepenuhnya berorientasi pada pemenuhan dan kebutuhan

masyarakat. Dengan kata lain, isi kebijakan erat kaitannya dengan fungsi uatma

pelayanan yakni fungsi pelayanan. Pelayanan pemerintahan dilakukan untuk

memnuhi kebutuhan masyarakat bidang pelayanan publik dan pelayanan civil.

Page 114: Bab IV Rev Perub

215

Pelayanan publik dan pelayanan civil akan efektif dan mengena sasaran

apabila pelayanan tersebut berkualitas. Budaya kerja aparat pemerintahan dapat

menjawab persoalan rintangan yang menghambat peningkatan kualitas pelayanan

baik di bidang publik maupun civil. Kualitas pelayanan akan maningkat apabila

aparat pemerintah mempertahankan budaya kerja secara konsisten. Konsistensi

budaya kerja dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Budi Paramita33 “mendefinisikan Budaya Kerja sebagai “sekelompok

pikiran dasar atau program mental yang dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang dimiliki oleh

suatu golongan masyarakat”.

Selanjutnya, Budi Paramita, membagi budaya kerja dapat menjadi :

1. Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain seperti bersantai, atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya.

2. Perilaku pada waktu bekerja seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama karyawan, atau sebaliknya.

Dalam kenyataannya, aparat pemerintah di dinas kependudkan dan

pencatatan sipil belum mampu menerapkan budaya kerja secara bertanggung jawab

dalam menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan. Implementasi kebijakan

sistem administrasi kependudukan belum dijalankan secara efektif dan efisien

dalam mencapai tujuannya, yakni pelayanan yang mampu memudahkan

masyarakat dalam mengakses penerbitan kartu keluarga, akte kelahiran, kartu tanda

33 Masalah Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia”, dalam Majalah Manajemen dan Usahawan Indonesia edisi November-Desember 1986

Page 115: Bab IV Rev Perub

216

penduduk. Untuk itu, perlu ditanamkan nilai dan semangat budaya kerja bagi setiap

aparat dalam menjalankan tugas dalam mencapai efektivitas dan efisiensi kerja.

Sesuai dengan pengalaman dalam memberi pelayanan, aparat pemerintah

juga mengungkapkan bahwa budaya kerja masih kurang diperhatikan. Kebanyakan

aparat bekerja sesuai dengan aturan yang ada. Jadi tidak merasa ada tanggung

jawab moral sebagai satu panggilan untuk bekerja sesuai panggilan bukan karena

ada aturan atau takut pada atasan.34

Masalah budaya kerja masih merupakan hal yang perlu diperhatikan serius,

sebagaimana diungkapkan aparat pemberi pelayanan sendiri. Budaya santai budaya

enak dan tidak mau bersusah menjadi kendala bagi budaya kerja aparat. Hal ini

yang dibenerkan oleh anggota dewan. Aparat pemerintah masih bekerja karena ada

aturan bukan kerena panggilan tugas sebagai pengabdi masyarakat. Aparat

kebanyakan bekerja lebih banyak mencari santai, mental enak dan tidak ada jiwa

berkorban. Lebih banyak bekerja karena memang harus bekerja. Tidak bekerja

jangan sampai diketahui atasan dan bisa ada sangsi. Jadi budaya kerja yang

mengedepankan tanggung jawab, kesadaran dan pelayanan masih jauh dari aparat.35

Dari pengamatan di lapangan, jelas bahwa aparat pemberi pelayanan masih

banyak santai. Kurang displin waktu dalam bekerja. Pekerjaan banyak yang tdak

diselesaikan secara tuntas. Satu hal yang paling mendapat catatan adalah soal

tanggung jawab. Aparat kurang bertangung jawab pada tugas pelayanan. Sering

melemparkan kesalahan pada rekan atau malah kepada masayrakat penerima

layanan.

34 Wawancara dengan Kabid Dafduk, tanggal 9 September 200935 Wawancara dengan Mantan Anggota DPRD, tanggal 5 september 2009

Page 116: Bab IV Rev Perub

217

Sikap dan perilaku kerja tersebut atau lebih luas lagi, budaya kerja,

terbentuk di dalam masyarakat umum dan atau di dalam organisasi atau

perusahaan. Sudah barang tentu watak di dalam organisasi atau perusahaan sangat

dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Sudah barang tentu watak dan warna Budaya

Kerja sedikit-banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat dan budaya

organisasi yang bersangkutan.

Untuk menunjang budaya kerja maka yang perlu diperhatikan dalam

organisasi termasuk organisasi pemerintahan adalah aspek etos kerja, sikap

terhadap bekerja dan perilaku pada waktu bekerja.

Ada hubungan saling mempengaruhi antara kondisi sosial-ekonomi dengan

etos kerja suatu masyarakat. Ethos kerja sangat dibutuhakan dalam era kompetisi

global melalui pasar bebas. Untuk itu dibutuhkan disiplin dalam bekerja. Disiplin

sangat mendukung ethos kerja. Berkaitan dengan itu, Suradinata (197:128)

berpendapat bahwa disiplin kerja merupakan sikap untuk berbuat sesuatu secara

sadar, taat dan tertib sebagai hasil pengembangan dari latihan, pengendalian watak,

pikiran dan pengendalian lingkungan. Ethos kerja merupakan nilai yang harus

diaktualisasikan. Bentuk aktualisasi nilai tersebut diwujudkan dalam vehicle.

Vehicle yang dapat digunakan untuk membentuk dan mengaktualisasikan nilai

tersebut adalah, basic assumption dan basic belief tentang kerja, sikap terhadap

kerja, perilaku pada saat bekerja, cara dan alat yang digunakan untuk bekerja.

Dengan menggunakan formula budaya, maka budaya kerja (BK) dapat dirumuskan

demikian :

BK = NK X VK

BK Budaya Kerja

NK Nilai Kerja

VK Vehicle Kerja

Page 117: Bab IV Rev Perub

218

Sedangkan sikap terhadap nilai kerja bisa berubah, diubah atau dibaharui.

Mengingat sikap berada di dalam ruang kognitif, maka sikap terhadap pekerjaan

dipengaruhi oleh dan karena itu dapat diubah melalui: informasi dan pengetahuan

tentang kerja, kesadaran akan kepentingan tertentu.

Faktor yang pertama biasanya berpengaruh terhadap faktor yang kedua.

Informasi dan pengetahuan tentang kerja memperbesar volume ruang kognitif

manusia, dan pada gilirannya hal ini memperluas alternatif dan kesempatan kerja.

Selanjutnya jika kepentingan berubah, sikap terhadap kerja juga berubah. Dimasa

jaya orang memilih-milih pekerjaan, tetapi di masa krisis orang melakukan apa saja

untuk bisa bertahan hidup. Sikap juga bisa berubah dari positif (menerima), ragu-

ragu sampai negatif (menolak) terhadap kerja, dan sebaliknya. Dalam hubungan

itu, sikap bisa datang dari dalam (pendirian) dan bisa oleh tekanan dari luar.

Dari sikap terhadap pekerjaan, lahir perilaku di saat bekerja. Misalnya dari

pendirian bahwa kerja adalah ibadah, lahir sikap antusias (bersemangat) terhadap

pekerjaan. Konsep antusias datang dari bahasa Inggris enthusiastic, berakar dari

bahasa Gerika eunthousiasmos (prossession by a good) : en (di dalam) dan theos

(Tuhan), tambah ism. Orang yang bekerja antusias bekerja dengan penuh semangat.

Dari sikap bersemangat muncul perilaku seperti rajin, tidak cepat lelah, sungguh-

sungguh, tabah dan sebangsanya.

Perilaku terbentuk antara lain oleh insentif : reward atau penalty. Tetapi

bisa dan semakin mungkin terjadi, perilaku seperti “senyum” ketika bekerja tidak

bersumber dari sikap positif tetapi dari sikap negatif disertai dendam, kebencian

Page 118: Bab IV Rev Perub

219

atau sarkasme. Sikap negatif atau penipuan disembunyikan di balik muka yang

terlihat senyum manis.

Ndraha (1999:87) berpendapat, sikap sulit diamati karena bentuknya

kecenderungan atau pukul rata. Perilaku dapat diamati atau diukur, karena perilaku

terlihat melalui kenampakannya, baik melalui gerak, bahasa, maupun alat, sarana

yang digunakan sebagai tujuan atau sebagai sumber daya. Kenampakan kerja dapat

dilihat dari perwujudan hasil karya yang menyata melalui benda, barang, sarana,

alat serta lingkungan kerja.

Perilaku dapat direkam atau dibentuk (dikonstruksikan). Rekaman atau

tiruan rupa disebut raga. Demikian manusia menggunakan sejumlah besar uang

untuk mendirikan monumen patung, membuat gambar dan lambang, serta

mengembangkan sistem informasi sebagai rekaman atau tiruan perilaku sejarah

manusia.

Dalam bekerja, manusia membangun lingkungan kerja yang nyaman

menggunakan alat (teknologi) agar ia bekerja efektif, efesien dan produktif.

Lingkungan kerja dalam arti fisik dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ergonomik.

Ergonomic adalah studi tentang hubungan bioteknikal antara sifat-sifat fisik

manusia dengan tuntutan fisik pekerjaan. Sasaran studi ini adalah pengurangan

ketegangan fisik dan mental guna meningkatkan produktivitas dan memperbaiki

quality of work life. Para ahli Jerman memberikan sumbangan besar dalam

mengurangi ketegangan fisik dan mental kegiatan mengangkat, membengkokkan,

dan menggapai sasaran kegiatan melalui pendekatan ergonomik dalam merekayasa

pekerjaan, merancang perlengkapan, dan memperbaiki tata cahaya.

Page 119: Bab IV Rev Perub

220

Perilaku menentukan cara bagaimana seseorang menggunakan alat

kerjanya. Seorang yang berprilaku teliti dan hati-hati menggunakan alat yang tepat

dengan cara yang benar ketika bekerja. Alat yang bagus di tangan pegawai yang

sembrono, membuat alat tersebut cepat rusak. Sikap sulit diamati karena bentuknya

kecenderungan atau pukulrata. Perilaku dapat diamati atau diukur, karena perilaku

terlihat melalui kenampakan (peragaan) nya yang ajeg dan terdapat di mana-mana,

baik melalui gerak, tanda-tanda, sistem Budaya Organisasi, bahasa (bahasa isyarat,

bahasa tutur, bahasa tulis, bahasa tubuh, dan ucapan mulut), serta melalui alat,

sarana (teknologi) yang digunakan di dalam lingkungan kerja (setting) tertentu.

Perilaku dapat direkam atau bentuk bahkan direkayasa. Rekaman atau tiruan rupa

disebut raga. Demikian manusia menggunakan sejumlah besar uang untuk

mendirikan monumen, patung, gambar, diaroma, museum, serta mengembangkan

sistem informasi sebagai rekaman alat atau tiruan perilaku manusia dalam wujud

raga.

Tetapi sebagian budaya kerja berbentuk raga, walaupun mudah diamati dan

terlihat setiap saat, indah dipandang, bahkan berdiri berabad-abad lamanya, cepat

kehilangan nilainya, lebih-lebih jika tidak dirawat, jarang dikunjungi orang, atau

dianggap peninggalan penguasa yang dahulu di puja-puja disembah bagaikan

dewa, namun sekarang dicerca bagaikan tiram durjana dan zamannya zaman

durhaka. Hal ini terjadi karena ada yang tidak beres sejak dari sumbernya. Sebagai

contoh, patung Lenin. Ketidak beresan itu terjadi karena inkonsistensi antara

pendirian dengan sikap, sikap dengan perilaku, dan perilaku dengan rasa. Jadi,

budaya kerja masih merupakan masalah yang harus dihadapi aparat dalam

meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat.

Page 120: Bab IV Rev Perub

221

Aparat pemerintah di dinas kependudukan dan pencatatan sipil belum

mampu menerapkan budaya kerja secara bertanggung jawab dalam menjalankan

kebijakan yang telah ditetapkan. Kinerja pelayanan belum dijalankan secara efektif

dan efisien dalam mencapai tujuannya, yakni pelayanan yang mampu memudahkan

masyarakat dalam mengakses penerbitan kartu keluarga, akte kelahiran, kartu tanda

penduduk.

Budaya kerja masih kurang diperhatikan. Kebanyakan aparat bekerja sesuai

dengan aturan yang ada. Aparat tidak memiliki tanggung jawab moral sebagai satu

panggilan untuk bekerja sesuai panggilan dan bukan karena ada aturan semata atau

faktor ketegantungan pada atasan.

Budaya santai, budaya enak dan tidak mau bersusah menjadi kendala bagi

budaya kerja aparat. Aparat pemerintah masih bekerja karena ada aturan bukan

kerena panggilan tugas sebagai pengabdi masayrakat. Aparat lebih banyak bekerja

karena memang harus bekerja. Jadi budaya kerja yang mengedepankan tanggung

jawab, kesadaran dan pelayanan masih jauh dari aparat.

4.4. Interpretasi dan Temuan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat dirumuskan

beberapa pokok temuan yang erat terkait dengan jawaban empiris terhadap

pertanyaan penelitian.

Faktor yang Menyebabkan Belum Lancarnya Implementasi Kebijakan

Sistem Administrasi Kependudukan dalam Penerbitan Kartu Keluarga adalah

faktor komunikasi, faktor sumber daya, faktor disposisi dan faktor struktur

birokrasi. Pertama, faktor komunikasi. Dalam komunikasi pemerintahan terdapat

unsur komunikator, komunikan dan sarana yang mengkomuniksikan pesan

Page 121: Bab IV Rev Perub

222

pemerintahan antara pemerintah dan masyarakat. Komunikator adalah aparat

pemerintah pemberi pelayanan kartu keluarga. Komunikan adalah masyarakat

pemberi pelayanan. Komunikasi yang dimaksudkan adalah bagaimana peran

pemerintah sebagai komunikator menyampaiakan pesan, informasi yang berkaitan

dengan kebijakan pemerintah di bidang pelayanan kartu keluarga sebagai

penertiban administrasi kependudukan.

Hal ini dilakukan melalui upaya sosialisasi dan identifikasi. Namun dalam

kenyataannya implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan

pelayanan kartu keluarga belum mampu mencapai tujuan pelayanan yakni

memudahkan pelayanan, mempercepat proses pelayanan karena, aparat pemberi

pelayanan gagal mensosialisasikan program, kebijakan administrasi kependudukan

kepada masyarakat.

Kedua, sumber daya dimaksudkan sebagai how to mobilize, allocate, and

combine the action that one technically needed to achieve development objectives”

(mengerahkan, menyediakan dan menyatukan berbagai tindakan yang secara teknis

dibutuhkan guna mencapai tujan pembangunan). Sumber Daya apapun bentuknya

terutama sumber daya manusia diarahkan untuk menciptakan bukan saja nilai

komparatif, tetapi juga nilai-nilai kompetitif-generatif-inovatif dengan

menggunakan energi tertinggi seperti intellegence, creativity dan imagination;

tidak lagi semata-mata menggunakan energi kasar.

Hal ini juga menjadi faktor belum diimplementasikan sistem administrasi

kependudukan secara efektif. Sumber daya aparat belum memadai dalam

menerjemahkan dan mengaplikasikan isi kebijakan sistem administrasi

kependudukan. Dari penempatan staf (stafing), banyak yang tidak kompeten

dengan bidangnya. Ketermapilan manajerial dan ketrampilan khusus dalam

Page 122: Bab IV Rev Perub

223

melayani masyarakat bidang kartu keluarga kurang dikuasai. Jadi, penempatan

aparat di bidang administrasi kependudukan yang menangani masalah kartu

keluarga tidak sesuai dengan kompeten dan keterampilan teknis, managerial dan

adminitrasi. Selain aparat yang kurang kompeten di bidangnya, masalah fasilitas

juga menjadi kendala dalam melayani masyarakat di bidang pelayanan kartu

keluarga. Sarana perkantoran sangat tidak memadai. Modernitas sarana perkantoran

untuk menyimpan data, file masyarakat penerima pelayanan sangat penting.

Bagaimana jika sistem komputerisasi belum setle dan berfungsi. Jadi, terjadi

persoalan antara kualitas sumber daya aparat dan penggunaan sumber daya buatan

seperti sistem komputerisasi yang menunjang keberhasilan implementasi kebijakan

sistem administrasi kependudukan.

Ketiga, faktor disposisi. Faktor ini menjadi salah satu faktor tidak

efektifnya implelemntasi kebijakan sistem administrasi kependudukan yang

menangani pelayanan kartu keluarga. Pemerintah daerah beserta organnya

memiliki kewenangan penuh dalam mengurus dan mengatur daerahnya sesuai

prinsip otonomi daerah. Otonomi daerah telah menjadikan pemerintah lokal

bertindak dan menentukan kebijakan sisuai konteks pesoalan dan penyelesaian

pesoalan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan lokal setempat. Namun demikian,

masalah muncul ketika pemerintah lokal bertindak tanpa ada rambu-rambu ang

jelas dan pasti. Sebuah kebijakan yang dibuat, hanyalah kebijakan yang sulit

diimplementasikan karena kebijakan tersebut di buat oleh top eksekutif, tanpa

mendasari persoalan, kebutuhan, dan tutuntan masyarakat lokal dan kesulitan yang

dihadapi aparat pelaksana. Sehingga kebijakan tersebut sering terperosok dalam

unsuccesful implelemntation. Hal tersebut juga terjadi dalam konteks kebijakan

administrasi kependudukan. Pihak pembuat kebijakan dengan kewenangannnya

Page 123: Bab IV Rev Perub

224

menjadikan segala keputusan dan kebijakan menjadi sentralis. Dengan kewenangan

yang sentralistik, atasa dapat membuat kebijakan sesuai keinginannya bukan

berdasarkan fakta dan kebutuhan di lapangan. Sehingga pelayanan kartu keluarga

menjadi persoalan bagi masayrakat penerima layanan.

Hal ini terjadi karena adanya gap antara formulasi isi kebijakan dengan isi

kebijakan yang akan diimpelementasikan. Terjadi kesenjangan antara pihak yang

merumuskan kebijakan di satu pihak, yang kurang menyentuh relaitas masyarakat

serta persoalannya dengan pihak aparat pelaksana kebijakan. Isi kebijakan yang

diformulasikan sering bertentangan dengan persoalan yang dihadapi aparat pemberi

pelayanan. Sehingga, sering dijumpai ketidakcocokan soal pelayanan. Demi

kebijakan, aparat pelaksana berdalih kepada masyarakat, ini sudah menjadi aturan

dan keputusan atasan.

Secara konseptual, masalah ini terjadi karena tidak ada komunikasi yang

tepat antara atasan dan bawahan. Bawahan tetap bawahan yang bertugas untuk

menjalankan kebijakan yang telah diputuskan. Konsekwensi logisnya, dalam

proses sosialisasi kebijakan kepada masyarakat terjadi miskomunikasi antara aparat

pemberi pelayanan dengan masyarakat penerima layanan. Semua ini erat kaitannya

dengan persoalan strukturisasi dalam birokrasi pemerintahan, yang menempatkan

status pejabat yang mengepalai dinas sebagai atasan dan aparat pelaksana atau

pemberi layanan sebagai subordinasi.

Keempat, Faktor struktur birokrasi. Struktur birokrasi memberikan

gambaran mengenai pembagian tugas-tugas serta tanggungjawab kepada individu

maupun bagian-bagian pada suatu organisasi. Struktur organisasi memberikan

gambaran mengenai hubungan pelaporan yang ditetapkan secara resmi dalam

organisasi. Tercakup dalam hubungan pelaporan yang resmi ini banyaknya

Page 124: Bab IV Rev Perub

225

tingkatan hirarki serta besarnya rentang kendali dari semua pimpinan di seluruh

tingkatan dalam organisasi. Struktur organisasi menetapkan pengelompokan

individu menjadi bagian dari organisasi, dan pengelompokan bagian tersebut

menjadi bagian suatu organisasi yang utuh. Struktur organisasi juga menetapkan

sistem hubungan dalam organisasi, yang memungkinkan tercapainya komunikasi,

koordinasi, dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik kearah

vertikal maupun horisontal.

Hal ini juga yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan sistem

administrasi kependudukan bidang pelayanan kartu keluarga. Sturuktur birokrasi

pemerintahan yang kaku yang ketat menerapkan sistem atasan dan bawahan.

Atasan sebagai penentu segala kebijakan dan kebijakan itu final. Sementara

bawahan dalam hal ini aparat sebagai subordinat, yang menempatkan diri sebagai

pelaksana kebijakan. Aparat pelaksana orang-orang yang dianggap tidak

berkemampuan untuk mengkritisi, memberi masukan kepada atasan hal-hal penting

berkaitan dengan persoalan, kendala dan kebutuhan di lapangan berkaitan dengan

pelayanan kartu keluarga untuk proses formulasi.

Aparat pelaksana karena alasan strukturisasi menjalankan kebijakan secara

buta. Dan ini menjadi beban yang harus ditanggung aparat pemberi pelayanan.

Mereka harus berhadapan dengan persoalan dan kendala di lapangan. Akibatnya,

kebijakan yang dijalankan sering tidak efektif dan akhirnya berujung pada not

implelentation dan unsuccesful implementation.

Pelayanan kartu keluarga merupakan salah satu bentuk pelayanan yang

langsung menangani kepentingan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu

Page 125: Bab IV Rev Perub

226

pelayanan kartu keluarga sifatnya karitas (carity), dengan prinsip no choice, no

price, sebagaimana prinsip pelayanan civil.

Oleh karena itu, agar penerima layanan merasa tertarik, puas dan

senang, maka pemberi pelayanan (pemerintah/birokrasi) harus

memperhatikan kualitas dari produk layanan yang diberikan, yang tetap

menempatkan prinsip putting people or customers first.

Perilaku aparat juga sangat menentukan kaulitas pelayanan kartu keluarga

kepada masyarakat. Karena aparat adalah aktor yang secara langsung berhadapan

dengan masyarakat sebagai penerima layanan. Beberapa hal yang dapat dilakukan

aparat dalam menjalankan tugas pelayanan kartu keluarga adalah:

Pertama, berkaitan dengan perilaku aparat yang bertanggung jawab. Isi

tanggung jawab aparat pemerintah dalam tugas pelayanan kepada masyarakat

penerima layanan publik umumnya, dan di dibidang pelayanan kartu keluarga

khususnya, bukan saja melaporkan hasil kerja yang sesuai dengan aturan yang ada,

atau melaporkan hasil kerja karena sesuai dengan tugas pokok, atau melaporkan

tugas karena tuntutan administrasi yang menjai penilaian atasan. Melainkan lebih

kepada makna kewajiban moral dalam melaksanakan tugas panggilan. Pelaksanaan

tugas pelayanan karena panggilan nurani, dan menjalankan tugas pelayanan sesuai

tuntutan dan tanggung jawab moral secara pribadi. Menjalankan tugas bukan

karena ada penilaian atau karena didorong oleh ketakutan atau karena ada

intervensi pihak lain. Menjalankan tugas palayanan lebih merupakan penggilan

otonom. Itulah makan dari tanggung jawab sebagai obligation dan cause.

Kedua, perilaku aparat yang responsif. Perilaku aparat yang responsivitas

adalah kemampuan birokrasi pemerintahan untuk mengenali kebutuhan

masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan sesuai dengan kebutuhan

Page 126: Bab IV Rev Perub

227

dan aspirasi masyarakat. Itu berarti, perilaku aparat yang responsif berkaitan

dengan daya tanggap serta kepekaan aparat untuk meneganal, mamahami,

mengidentifikasi bahkan empati terhadap apa yang dirasakan, apa yang dibutuhkan

oleh masyarakat. Sehingga pelayanan pemerintahan relevan dan tepat guna dengan

pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, perilaku aparat yang komitmen dan konsekwen pada tugas

pelayanan. Salah satu bentuk komitmen dan konsisten aparat dalam pelayanan

kepada masyarakat terletak pada orientasi pada pelayanan. Orientasi pada

pelayanan menunjuk pada seberapa banyak konsentrasi dan energi aparat

pemerintahan dalam hal ini aparat yang bekrja dalam pelayanan kartu keluarga.

Segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh pelayan masyarakat

dalam lingkup pelayanan kartu keluarga sepenuhnya dicurahkan atau

dikonsentrasikan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat pengguna

pelayanan kartu keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian yang ada, dapat dirumuskan beberapa pokok

pikiran sebagai temuan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini.

Pertama, dominasi pendekatan birokrasi sebagai regulator dalam layanan

kartu keluarga daripada sebagai pelayan masyarakat merupakan salah satu faktor

penyebab belum efektifnya implementasi kebijakan sistem administrasi

kependudukan yang berakibat pada rendahnya kualitas layanan kartu keluarga.

Pelayanan birokrat hanya dilihat dari aspek normatif dan akuntabilitas, yakni yang

diberikan dinilai dari sudut pandang sesuai atau tidak dengan aturan formal yang

berlaku serta dapat atau tidak dipertanggungjawabkan kepada atasan mengenai

tugas yang dijalankan, termasuk pertanggungjawaban atas sejumlah dana yang

dimanfaatkan.

Page 127: Bab IV Rev Perub

228

Faktor ini terjadi karena, birokrat lebih mengutamakan ketepatan aturan

dan bukan pada realisasi dari kepenuhan pelayanan sebagai tuntutan kebutuhan

masyarakat. Hal ini sangat dipengaruhi juga oleh mental pelayanan aparat yang

bersifat birokratis, yang menekankan prinsip loyalitas kepada atasan daripada loyal

kepada masyarakat. Jadi pemberian pelayanan kartu keluarga kepada masyarakat

sebagai penerima layanan dilihat sebagai pemenuhan ketentuan aturan. Tolok ukur

keberhasilan pelayanan, tidak ditentukan oleh faktor penilaian dan kepuasan yang

masyarakat, dan juga tidak ditentukan berdasarkan hasil atau out put layanan yang

diberikan sesuai kebutuhan masyarakat, tetapi ditentukan oleh ukuran birokrasi

pemerintahan itu sendiri. Kinerja birokrasi lebih menekankan aspek administratif

yakni sejauh mana pelayanan yang diberikan telah diberikan sesuai aturan formal

yang ada. Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal

dianggap telah memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat dianggap

telah konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan.

Kedua, pengaruh faktor gap atau kesenjangan antara harapan (konsumer)

dan kenyataan akan layanan (produsen) menjadi faktor penyebab rendahnya

kualitas layanan kartu keluarga. Beberapa indikatornya adalah, (1) Konsep layanan

didesign dan dipikirkan untuk diterapkan kepada konsumer dalam hal ini

masyarakat penerima layanan oleh para aktor tanpa mengetahui apa yang

dibutuhkan atau yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, layanan tersebut tidak

sesuai dengan harapan atau kebutuhan masyarakat. (2) pihak public servant dalam

hal ini pemberi layanan kartu keluarga tidak mengetahui dan tidak memahami apa

yang diharapkan dan dibutuhkan pihak masyarakat penerima layanan sebagai

konsumen, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tidak disalurkan

dalam spesifikasi layanan yang tepat. (3) adanya gap antara spesifikasi kualitas

Page 128: Bab IV Rev Perub

229

layanan dan pelaksanaan spesifikasi pelayanan tersebut kepada masyarakat. Hal ini

disebabkan oleh pihak pemberi layanan yang tidak siap melaksanakan spesifikasi

layanan; pihak pelayanan siap menjalankannya, tetapi tidak memiliki kemampuan

atau keahlian untuk melaksanakan spesifikasi layanan sesui pedoman yang ada; di

lain pihak petugas pemberi layanan memiliki kesiapan dan keahlian dalam

menjalankan tugas pelayanan tetapi tidak memiliki kemauan untuk menjalankan

tugas yang diberikan.

Ketiga, birokrasi pelayanan publik memiliki komitmen dan kemampuan

yang rendah untuk mengenali kebutuhan masyarakat penerima pelayanan.

Pengenalan akan kebutuhan pengguna jasa hanya dapat dilakukan apabila aparat

memiliki komitmen untuk belajar dari berbagai pengalaman pelayanan yang pernah

dialaminya, dan secara konsisten diterapkan guna perbaikan pelayanan selanjutnya.

Tidak transparannya komunikasi dari birokrasi yang menyangkut pemberian

pelayanan menyebabkan pihak masyarakat pengguna jasa selalu berada pada posisi

yang dirugikan. Tidak adanya transparansi informasi dari birokrasi tersebut

membuat masyarakaat pengguna jasa mengalami frustrasi. Komunikasi yang tidak

efektif yang selama ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa

birokrasi belum mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kepada masyarakat pengguna jasa.

Keempat, rendahnya tingkat responsivitas penyelengaraan pelayananan

publik mengindikasikan bahwa aparat birokrasi pelayanan masih memiliki

kekeengganan untuk menolong masyarakat pengguna jasa dengan memberikan

pelayanan yang baik. Tidak diterapkannya prinsip pelayanan tersebut bayak

disebabkan oleh belum adanya komunikasi yang interaktif antara aparat pemberi

pelayanan dengan para masyarakat sebagai penerima layanan.

Page 129: Bab IV Rev Perub

230

Kualitas pelayanan publik dan layanan civil dalam penyelenggaraan

pemerintahan masih jauh dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik sangat

erat berkaitan dengan aspek responsivitas, efektivitas dan efisiensi pelayanan.

Faktor tersebut sangat berpengaruh pada kualitas layanan publik, karena dari sudut

pandang responsivitas, pemerintah daerah menunjukkan kinerja yang lemah dalam

mengenali kebutuhan, menyusun agenda dan prioritas, serta tidak mampu

mengembangkan program-program yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan

masyarakat. Sedangkan faktor efektivitas dan efisiensi dalam layanan publik

dikaitkan dengan kelemahan pemerintah daerah untuk mengelola manajemen

waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan, karena tidak diatur

dengan jelas. Jarang sekali pemerintah kota menentukan secara jelas mengenai

lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan. Kondisi

seperti ini sering membuat penyelenggara pelayanan publik bertindak seenaknya

ketika melayani masyarakat. Akibatnya, ketidakpastian waktu pelayanan cenderung

amat tinggi dalam hampir semua jenis pelayanan publik. Hal ini nampak dari

indikasi keluhan masyarakat terhadap pelayanan dan tindakan pemerintah yang

lamban menyerap aspirasi masyarakat dalam menanggapi rendahnya kualitas

layanan di bidang kesehatan.

Kelima, rendahnya kualitas layanan publik juga sangat berkaitan dengan

pengabaian terhadap etika pelayanan publik. Etika pelayanan publik mengharuskan

agar aktor pelayanan publik menjalankan pelayanan publik kepada masyarakat

sesuai dengan prinsip-prinsip dasar moral yang berlaku. Karenanya, para aktor

pemerintahan harus menanamkan kesadaran dalam diri bahwa pelayanan kepada

publik merupakan panggilan sekaligus tuntutan moral, tuntutan etis, yang

mengarahkan perilaku pada pelayanan kepada sesama sebagai pribadi manusia

Page 130: Bab IV Rev Perub

231

yang utuh karena martabatnya. Karena itu pelayanan kepada publik diklaim

pertanggungjawabannya melalui peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena,

pada prinsipnya etika berkaitan dengan prinsip-prinsip yang mengatur perilaku

manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan dengan

Tuhan. Etika pelayanan publik berfungsi sebagai pedoman, guidelines bagi aktor

pemerintahan dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasdaan

yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah

laku manusia yang dianggap baik.

Berdasarkan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kualitas

pelayanan kartu keluarga masih sangat rendah, maka perlu dicari beberapa langkah

atau upaya dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik bidang kartu

keluarga melalui berbagai kebijakan yang konkret.

Pertama, Dinas kependudukan dan catatan sipil merupakan lembaga

pemerintahan yang sifatnya profesional dalam arti lembaga yang resmi, sifatnya

permanen, dan dibiayai negara, karenanya aparatnya mutlak memilki sikill yang

berkepentingan untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat dalam hal layanan

kartu keluarga. Memiliki skill artinya kemampuan yang diperoleh dari spesialisasi

berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, kehandalan dalam menggunakan teknologi

tepat guna yang diarahkan sepenuhnya untuk melayani kepentingan rakyat banyak

sebagai konsumen di bidang layanan kartu keluarga. Penguasaan ilmu dan

teknologi mutlak perlu sebagai satu syarat bagi yang menyandang civil servant.

Sebagai konsekwensinya, aparat pemerintahan harus selalu berupaya mencari

terobosan ke arah perubahan dan pembaharuan sistem pelayanan kartu keluarga.

Untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dituntut adanya keterbukaan

Page 131: Bab IV Rev Perub

232

akan adanya perubahan sikap, pola perilaku, pola berpikir terhadap perkembangan

dan kemajuan dari luar.

Kedua, tidak berdayanya aparat dalam meningkatkan efektivitas

implementasi kebijakan administrasi kependudukan disebabkan sistem struktur

kekuasaan. Sentralisasi kewenangan serta pemusatan kekuasaan, otoritas dan

kebijakan di tingkat dinas, berdampak pada konflik kepentingan, baik secara

horisontal maupun secara vertikal di dinas. Yang terjadi adalah persaingan tidak

sehat bagi elit birokrasi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar,

mendapatkan dukungan atasan dan pimpinan demi karir dan uang. Apa pun

dilakukan demi mendapatkan kepercayaan elit birokrat atas untuk menduduki

jabatan karir. Elit birokrasi pemerintahan di tingkat lokal yang seharusnya menjadi

agen perubahan bagi profesionalisme birokrasi pemerintah dan kamajuan

masyarakat, dengan sistem, strategi dan struktur kekuasaannya yang kokoh namun

tidak memiliki diskresi yang cukup untuk menjalankan fungsi pelayanan kepada

yang diperintah. Dengan demikian, terjadi missing link antara pusat kekuasaan

dengan pusat layanan yaitu masyarakat. Tidak mengherankan bila pusat pelayanan

menjadi jauh dari masyarakat. Karena, kewenangan, kelembagaan dan tatalaksana,

pangalokasian sumber daya diurus secara sentral.

Ketiga, perlu diadakan terobosan sistem dan mekanisme kerja melalui

perubahan manajemen. Manajemn top-down, atau instruksi perlu diganti dengan

sistem swakelola pada tingkat basis, dalam hal ini aparat pemberi pelayanan kartu

keluarga kepada masyarakat. Dengan kata lain, pada tahap ini dilakukan prinsip

subsidiaritas. Sistem ini memungkinkan adanya pemberdayaan pada lapis paling

bawah yaitu pada aparat yang melakukan langsung pelayanan kepada masyarakat

sesuai aturan dan standar yang berlaku.

Page 132: Bab IV Rev Perub

233

Keempat, manajemen pelayanan yang berorientasi pada perubahan.

Perubahan dalam gaya kepemimpinan yang lebih berorientasi pada pelayanan

bukan pada kekuasaan. Pemimpin diharapkan memiliki kemampuan, kapabilitas,

dan kapasitas dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi

dalam masyarakat.

Menjadi jelas bahwa perubahan dan pembaharuan pelayanan adalah

penggantian pola pelayanan pemerintahan yang birokratis menjadi sistem yang

selalu mencari inovasi yang secara kontinyu memperbaiki kualitas pelayanan, yang

selalu berkesadaran dari dalam untuk melakukan perbaikan dalam sistem

pelayanan. Sistem yang dimaksud adalah sistem pembaruan diri pemerintahan

dalam menciptakan manajemen pelayanan baru yaitu sistem pelayanan yang

langsung berhubungan dengan masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan

masyarakat.

Kelima, perlu dan penting untuk melakukan hubungan kerja sama yang

dijalankan pemerintah yang dibangun atas tiga subkultur sebagai komponen utama

yaitu subkultur kekuasaan (SKK) diwakili oleh pemerintah sendiri, subkultur

ekonomi (SKE) sebagai wakil dari pihak swasta dan subkultur sosial (SSS) sebagai

representasi kekuatan pihak masyarakat (civil society). Kerja sama tersebut harus

dilandasi oleh prinsip profesionalitas, efisiensi dan efektivitas, bertanggung jawab

serta responsif terhadap berbagai kebutuhan yang ada. Singkatnya, pelaksanaan

kerja sama dalam pelayanan kartu keluarga harus menerjemahkan prinsip good

governance.