24
49 BAB IV TANGGAPAN PETANI PADI DESA BATUREJO MENGHADAPI „CEKAMAN‟ IKLIM Pengantar Dampak ketidakpastian musim berpengaruh terhadap petani yang bergantung pada curah hujan atau tidak memiliki sumber air tetap untuk memulai musim tanam. Petani tidak memiliki patokan dalam menentukan msuim tanam ketika kekacauan musim dialami sehingga berdampak pada gagal panen khususnya pada musim tanam pertama. Informasi musim yang diberikan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pati melalui Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) tidak digunakan petani karena didasarkan dibukanya pintu air Klambu Kanan yang mendapat pasokan dari Waduk Kedung Ombo. Sedangkan petani tidak bisa berharap dari pasokan air irigasi tersebut karena saluran irigasi yang rusak dan selalu tidak mendapatkan air karena banyaknya ”pencuri air”. Bab ini menjelaskan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menggeser waktu tanam (memajukan atau memundurkan) merupakan bentuk tanggapan petani menghindari puncak hujan. Upaya menggeser waktu tanam merupakan tindakan petani menghadapi perubahan iklim yang ditandai dengan kekacauan musim. Meskipun upaya adaptasi ini dibatasi oleh kondisi atau konteks yang berbeda, pembelajaran kelompok Tani Sido mamur Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati bisa menjadi acuan dalam melihat bentuk adaptasi petani menghadapi ketidakpastian iklim atas dampak perubahan iklim.

BAB IV TANGGAPAN PETANI PADI MENGHADAPI - UKSW · 2017. 10. 26. · Pucung, Sumber Dowayah, Sumber Tambang, Sumber Grobag dan Sumber Telo, tetapi hampir ratusan sumber mata air berpengaruh

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

49

BAB IV

TANGGAPAN PETANI PADI

DESA BATUREJO MENGHADAPI „CEKAMAN‟

IKLIM

Pengantar

Dampak ketidakpastian musim berpengaruh terhadap petani

yang bergantung pada curah hujan atau tidak memiliki sumber air

tetap untuk memulai musim tanam. Petani tidak memiliki patokan

dalam menentukan msuim tanam ketika kekacauan musim dialami

sehingga berdampak pada gagal panen khususnya pada musim tanam

pertama. Informasi musim yang diberikan oleh Dinas Pertanian dan

Peternakan Kabupaten Pati melalui Petugas Penyuluh Lapangan

(PPL) tidak digunakan petani karena didasarkan dibukanya pintu air

Klambu Kanan yang mendapat pasokan dari Waduk Kedung Ombo.

Sedangkan petani tidak bisa berharap dari pasokan air irigasi tersebut

karena saluran irigasi yang rusak dan selalu tidak mendapatkan air

karena banyaknya ”pencuri air”.

Bab ini menjelaskan bentuk adaptasi terhadap perubahan

iklim dengan menggeser waktu tanam (memajukan atau

memundurkan) merupakan bentuk tanggapan petani menghindari

puncak hujan. Upaya menggeser waktu tanam merupakan tindakan

petani menghadapi perubahan iklim yang ditandai dengan kekacauan

musim. Meskipun upaya adaptasi ini dibatasi oleh kondisi atau

konteks yang berbeda, pembelajaran kelompok Tani Sido mamur

Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati bisa menjadi acuan

dalam melihat bentuk adaptasi petani menghadapi ketidakpastian

iklim atas dampak perubahan iklim.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

50

Kondisi Agro Ekologi

Kelompok Tani Sido Makmur ini berada di Desa Baturejo

yang memiliki luas hamparan sawah di desa ini kurang lebih 800 ha

dari 1200 ha luas Desa Baturejo. Kondisi ini menunjang wilayah

pertanian sawah yang mendukung sumber penghidupan masyarakat

disekitarnya karena sebagai wilayah bekas rawa, daerah ini kaya air

yang didapatkan baik dari rawa itu sendiri maupun sumber air yang

berasal dari pegunungan Kendeng (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Sketsa Hamparan Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo.

Pembangunan Waduk Kedung Ombo pada tahun 1980,

merubah pola pertanian rakyat yang memanfaatkan hujan untuk

menanam padi dan palawija pada saat memasuki musim kemarau.

Pengembangan pembangunan Waduk Kedung Ombo tersebut diikuti

dengan pembangunan jaringan irigasi, yang memicu petani

melakukan peningkatan pola pertaniannya menjadi lebih modern.

Peningkatan produktifitas hasil pertanian pun menjadi lebih baik.

Jika sebelum tahun 1980, pertanian padi hanya sekali dalam satu (1)

tahun, setelah pembangunan jaringan sekunder dan normalisasi

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

51

sungai pembuang (Sungai Tus) tersebut petani desa Baturejo dapat

melakukannya sampai dua (2) kali dalam setahun dan sekali untuk

palawija.

Model pertanian saat ini dikembangkan oleh petani desa

Baturejo adalah model pertanian yang menggunakan sistem irigasi

alternatif dengan menggunakan mesin pompa. Model ini berkembang

karena ancaman kegagalan pertanian padi pada musim tanam

pertama adalah banjir sehingga sistem irigasi pompa merupakan

pilihan untuk menghindari kegagalan panen karena banjir. Sumber

air yang didapat dari irigasi pompa yang berasal sungai pembuang

jaringan sekunder Klambu Kanan. Jaringan dibangun selain sebagai

jaringan irigasi teknis juga dilengkapi dengan saluran pembuang.

Saluran pembuang mememiliki tujuan untuk membuang genangan

air dari lokasi/lahan pertanian menunju Sungai Juwana II atau seringi

disebut sebagai sungai “tus” yang dinormalisasi pada tahun 1987

untuk memperlancar alur sungai untuk pembuangan genangan air ke

laut setelah dipergunakan untuk mengairi lahan pertanian.

Dengan curah hujan yang sedikit pun terjadi akibat oleh

endapan sungai (sedimentasi). Data curah hujan diperlihatkan pada

grafik pola curah hujan, ditunjukkan bahwa perubahan pola musim

hujan dan kemarau pada bulan Mei sampai September (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Grafik Curah Hujan di Wilayah Sukolio Pati Jawa Tengah 2005-

2009, BMKG, 2009.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

52

Proses sedimentasi tersebut dipicu oleh kerusakan daerah

aliran sungai yang berada di wilayah pegunungan Kendeng Utara

maupun Pegunungan Muria. Aliran air dari beberapa sumber mata air

maupun lintasan air (run off) Pegunungan Kendeng Utara dialirkan

melalui „siphon‟ (Gambar 4.3.) sebagai sumber pengairan areal

wilayah pertanian Kecamatan Sukolilo yang kemudian masuk pada

aliran Sungai Tus sebagai sungai Juwana II (JU II), begitu juga yang

terjadi di wilayah Pegunungan Muria. Kerusakan wilayah tangkapan

air yang berada di wilayah tersebut memicu sedimentasi pada sungai-

sungai pembuang yang berada di wilayah kecamatan Sukolilo seperti

JU I dan II.1

Gambar 4.3. Saluran “Siphon” Desa Baturejo

Kawasan lahan pertanian Desa Baturejo terbagi atas 3 (tiga)

kawasan pertanian yang memiliki karakteristik pola tanam dengan

kontur yang berbeda-beda. Pola tanam tersebut dipengaruhi oleh

sumber air yang didapatkan dan struktur tanah untuk mengelola

lahan pertaniannya. Dua (2) kawasan yang dibatasi oleh sungai atau

Saluran Irigasi Gebang yang merupakan terusan dari Pintu Air

1 Laporan Ekspedisi Sungai Juwana, Yayasan SHEEP Indonesia, 2008.

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

53

Klambu Kanan, sering disebut masyarakat setempat sebagai “tanah

nggenengan” atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tanah

pekarangan. Kontur tanah yang lebih tinggi dibanding yang lain

menyebabkan wilayah ini dipadati oleh masyarakat yang bertempat

tinggal. Sedangkan wilayah disebelah barat Sungai Gebang. dan

Sungai Tus disebut sebagai tanah “ngrowo” atau dalam bahasa

Indonesia diartikan sebagai tanah rawa karena sejarah tanah tersebut

merupakan tanah rawa yang memiliki kedalaman yang berbeda-beda.

Tanah “ngrowo” ini terletak lebih rendah dibandingkan tanah

nggenengan dan memiliki karakteristik yang berbeda karena dengan

curah hujan yang sedikit kawasan ini akan cepat tergenang tetapi juga

akan cepat hilang atau kering.

Pengelolaan lahan pertanian di wilayah “tanah nggenengan”

yang berbatasan langsung dengan Desa Sukolilo, tidak terlalu sulit

untuk mendapatkan air dalam mengelola lahan pertaniannya karena

mendapatkan air dari beberapa sumber air yang terletak di wilayah

pegunungan Kendeng 2 sebelah timur Desa Baturejo dan Sukolilo

sehingga tidak terlalu memengaruhi pola tanamnya. Bahkan dalam

model pengelolaan lahannya cukup ekstrim berbeda. Seperti

beberapa petak lahan pertanian digunakan untuk mengelola

perkebunan tebu tetapi disampingnya merupakan lahan pertanian

padi dan pembuatan bata merah oleh warga Desa Sukolilo yang

berbatasan langsung dengan Desa Baturejo. Sedangkan “tanah

nggenengan” yang berada disekitar wilayah penduduk yang

berbatasan dengan Sungai Tus juga hampir sama. Sumber air yang

didapatkan selain dari sumber air yang berasal dari Pegunungan

Kendeng juga dibantu oleh pompa air yang diambil dari “Sungai Tus” pada Musim Tanam I (MT I) dan Musim Tanam II (MT II) karena

2 Ketersediaan air sungai JU II didapat dari 5 (lima) sumber mata air berasal dari pegunungan Kendeng yang memiliki pengaruh terhadap sungai “tus” seperti sumber Pucung, Sumber Dowayah, Sumber Tambang, Sumber Grobag dan Sumber Telo, tetapi hampir ratusan sumber mata air berpengaruh terhadap ketersediaan air bagi wilayah pertanian di Kecamatan Gabus, Kayen dan Sukolilo.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

54

untuk memenuhi kecukupan air dalam memulai dan mengelola lahan

pertanian padi.

Pemanfaatan pompa air untuk mengairi lahan pertanian

tersebut oleh petani sering disebut Sistem Irigasi Pompa. Irigasi

pompa merupakan irigasi alternatif karena ketika lahan pertanian

memerlukan air yang cukup banyak pada MT I yang jatuh sekitar

bulan November-Desember setelah musim kemarau karena pada saat

curah hujan belum mencukupi untuk pembahasan lahan dengan

memulai persemaian benih padi maka pompa air baru digunakan.

Gambar 4.4. Peta Sungai Juwana, BPDAS Jratun Seluna, 2010

Berbeda dengan “tanah nggenengan”, “tanah ngrowo”

merupakan lahan pertanian padi yang terhampar tidak hanya

merupakan wilayah administrasi Desa Baturejo melainkan beberapa

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

55

desa yang lain seperti Desa Wotan dan Desa Jongso (Barat) serta Desa

Gadudero (Utara).3

Kelompok Tani Sido Makmur merupakan salah satu

kelompok Tani Desa Baturejo pada hamparan “tanah ngrowo”.

Kelompok tani ini pernah memanfaatkan air “Sungai Tus” tersebut

untuk memajukan pola tanam pada Musim Tanam I (MT I) pada

bulan Agustus pertengahan atau akhir dengan bantuan pompa yang

dikelola oleh pengurus kelompok tani dimana MT I seharusnya

musim tanam pertama jatuh pada bulan Oktober pada MT I tahun

2004-2007. Ketika itu, mesin pompa air mampu membasahi lahan

untuk mencukupi kebutuhan air baik untuk persemaian benih padi

maupun dalam pengelolaan tanaman padi selama pertumbuhannya

sebelum hujan rutin pada bulan November sebagai upaya memajukan

pola tanam pada MT I seluas 156 ha pada lahan Kelompok Tani Sido

Makmur Desa Baturejo. Tetapi sejak tahun 2007 sampai MT II tahun

2014, kelompok tani tersebut tidak memajukan secara ekstrim musim

tanam dikarenakan terjadi pergantian pengurus dan kebutuhan bahan

bakar solar yang tinggi sehingga mereka memanfaatkan hujan dengan

masih dibantu juga oleh mesin pompa air dalam mengawali musim

tanam mereka. Meskipun dalam memulai musim tanam mereka

membutuhkan air untuk memulai musim tanam (persemaian) tetapi

pola tanam tersebut dapat dipastikan memajukan musim tanam

kebiasaan petani karena dalam mendapatkan air untuk memulai

musim tanam mereka (penyiapan benih dan tanah pertanian sebelum

musim tanam, kelompok tani tersebut membutuhkan air yang cukup

banyak. Jika mengandalkan air hanya dari curah hujan, petani

menunggu terlalu lama dan jika dalam memulai musim hujan mereka

terlambat maka hasil pertanian menurun atau tidak sama sekali

karena banjir sering terjadi pada puncak hujan di akhir bulan Januari

3 Luasnya hamparan mencapai 80% luas lahan pertanian di Kecamatan Sukolilo yang mencapai 13.768 hektar dengan tambahan areal jagung kurang lebih 120 ha dan 60 ha kedelai, jika tergangngu sangat memengaruhi ketahanan pangan di Kabupaten Pati, disebutkan oleh Mundi P., Petugas Penyuluh Lapangan Desa Baturejo.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

56

dan bulan Februari. Seperti yang terjadi pada bulan Januari-Pebruari

tahun 2009, petani pada hamparan lahan tersebut mengalami banjir

selama 3 kali karena curah hujan yang tinggi pada bulan Januari-

Pebruari.

Desa yang berada di atas atau lebih tinggi hamparannya

dibandingkan Desa Baturejo tidak memajukan musim tanam

pertamanya karena kondisi lahan pertaniannya aman dari banjir.

Selain itu, lahan pertanian bergantung pada sistem irigasi teknis dan

sumber air yang mengalir sepanjang tahun dari pegunungan Kendeng

Utara yang merupakan wilayah karst sehingga pola tanamnya dapat

menggunakan model pola tanam yang dianjurkan oleh Dinas

Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan (DISTANAK) Kabupaten

Pati, seperti Desa Wotan, Desa Kedung Winong, maupun Desa

Baleadi di Kecamatan Sukolilo.

Model Hamparan

Petani Desa Baturejo yang memiliki dua (2) model hamparan

dengan karakteristik yang berbeda yaitu “tanah nggenengan” dan

“tanah ngrowo”, memiliki pola tanam yang berbeda pula. Pola tanam

yang berada disebelah timur Saluran Irigasi Gebang (Zona I),

memulai musim tanamnya bervariasi antara bulan Oktober-

Desember pada MT I karena air dapat dipenuhi dari sumber air yang

berasal dari Pegunungan Kendeng (karst) selain terhindar dari

genangan air atau banjir. Tetapi lahan yang berada di antara Saluran

irigasi Gebang dan Sungai Tus atau sungai Juwana II, masih

menggunakan pompa sebagai alat penunjang petani dalam mengelola

“tanah nggenengan”. Tujuan mesin pompa tersebut adalah sebagai

alat penunjang dalam mengelola lahan pertanian karena kebutuhan

air pada Zona II ini cukup tinggi. Awal musim tanam pertama diawali

pembasahan dan pengelolaan lahan yang jatuh pada bulan Oktober,

pompa digunakan untuk membasahi lahan dalam mengelola tanah

pada awal musim tanam pertama yang jatuh pada bulan November.

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

57

Sedangkan pada zona III yaitu “tanah ngrowo”, hamparan

lahan pertanian ini merupakan bekas tanah rawa. Model pengelolaan

lahan pertanian pada zona III pada saat ini bersamaan dengan zona II

karena dalam mengelola lahan pertanian, kebutuhan air diambil dari

“Sungai Tus” yang mendapatkan air dari sisa buangan air penggunaan

lahan irigasi yang menggunakan Saluran Irigasi Klambu Kanan dari

Pintu Air Wilalung. Dua zona ini (II dan III) memiliki waktu yang

bersamaan dalam memulai musim tanam, yaitu bulan November,

dengan membasahi lahan pada bulan Oktober bersamaan dengan

turunnya hujan dan air yang berasal dari pintu air Klambu Kanan

telah sampai di Sungai Tus di wilayah tersebut (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Penampang melintang Desa Baturejo dan sekitarnya

Mesin pompa sangat membantu petani dalam menunjang

musim tanam pertama mereka. Pompa digunakan setiap musim

tanam I dan II, meskipun tidak secara terus menerus dioperasional-

kan sesuai kebutuhan dan pola tanam yang digunakan oleh petani di

wilayah tersebut. Pola tanam petani menggunakan model padi-padi-

bero. Pada MT III dizona II dan III, petani tidak mengolah lahan

pertaniannya karena tanah terlalu kering untuk ditanami dan jika

ditanami hanya palawija yang memiliki umur pendek saja seperti

semangka kwaci yang berumur 1,5 bulan dan hanya diambil bijinya

saja.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

58

Untuk memulai musim tanam pertama petani tidak terlalu

menggantungkan curah hujan karena kebutuhan air untuk

mengawali persemaian didapatkan dari Sungai Tus. Meskipun

demikian curah hujan cukup sedikit membantu petani dalam

penggunaan mesin pompa. Karena operasional mesin pompa cukup

tinggi jika digunakan terus menerus. Dua (2) pertimbangan dalam

memulai musim tanamnya didasarkan pada ketersediaan air dalam

mengolah tanah, melakukan persemaian dan serangan hama tikus.

Lahan pertanian pada hamparan di Desa Baturejo memiliki

kontur yang berbeda-beda. Hamparan pada Zona III yaitu “tanah

ngrowo”, dahulu merupakan wilayah rawa-rawa. Alih fungsi rawa

menjadi tanah pertanian dipicu oleh pembangunan Bendung

Wilalung yang digunakan untuk membagi air untuk pengelolaan

pertanian, tahun 1980. Serta normalisasi (pengerukan) “Sungai Tus” pada tahun 1987 akibat sedimentasi yang menyebabkan tergenangnya

wilayah pertanian karena rawa mendapatkan suplai yang berlebihan

karena limpasan air dari pintu air Klambu Kanan.

Kontur yang berbeda tersebut menyebabkan lahan pertanian

yang terletak disekitar rawa lebih dalam dibandingkan wilayah yang

memiliki kontur yang lebih tinggi, sehingga yang diperlukan dalam

penanaman bibit padi yang tinggi atau berumur lebih lama. Dampak

bibit padi yang terlalu tua menyebabkan hasil produksi padi tidak

terlalu baik. Tetapi meskipun petani tahu dampak tersebut, petani

tetap melakukannya karena lebih baik panen dengan hasil yang

sedikit dari pada tidak sama sekali (Karno, dalam Nugroho, 2014).

Strategi Tanam Petani

Masa Tanam

Sebagian besar petani di Desa baturejo khusunya petani yang

berada pada hamparan Kelompok Tani sido makmur melakukan

tahpan pengelolaan benih padi sampai tanam dimana petani

menghadapi masa penting dalam memulai tanam padi untuk

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

59

menghindari puncak hujan (Tanto Pursidi dan Kuraji, dalam

Nugroho, 2014).

Berikut tahapan masa persiapan tanam sampai pada panen

padi di lokasi peneltiian pada hamparan Kelompok Tani Sido

Makmur Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, yaitu:

1. Persiapan benih

a) Benih yang dipakai petani Baturejo selain menggunakan

benih panen sendiri 4 juga memakai benih berlabel atau

membeli dari toko pertanian5

b) Benih direndam dalam ember.

c) Kebutuhan benih petani Baturejo mencapai 40 kg/kg.

Kebutuhan tersebut merupakan keputusan petani sendiri,

tidak sesuai anjuran pemerintah (25 kg/ha), meskipun

pemerintah juga telah melakukan sosialisasi penghematan

kebutuhan benih di lahan.6

d) Setelah di rendam selama 24 jam kemudian dikeringkan sinar

matahari secara langsung selama 2 hari, agar pertumbuhan

gabah menjadi kecambah lebih sempurna.

e) Setelah menjadi kecambah benih sudah siap untuk

disemaikan.

4 Hasil panen sendiri yang dimaksud adalah petani Baturejo menyisihkan sebagian hasil panen untuk di pergunakan sebagi benih musim tanam berikutnya, tapi biasanya petani membuat benih pada saat panen musim tanam ke 2, caranya dengan hasi panen yang di anggap bagus kemudian di buang butir hampanya melalui berbagai cara seperti menggunakan blower, manual berupa di tampi. Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan agar benih yang akan di pakai memiliki kwaliatas baik( menthes) 5 Benih berlabel yang di maksud adalah benih yang mempunyai label yang di produksi oleh perusahan benih sebagai contoh benih Ciherang, Ciboga, dan IR 64 dengan harga Rp. 5.500,-/kg. 6 Petani merasa puas jika tanaman padi berwarna hijau sehingga dalam menanam benih padi diperbanyak sehingga jika tumbuh akan keliahatn hijau sawahnya

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

60

2. Persiapan lahan persemaian

a) Lahan yang akan di pergunakan untuk pesemaian dilakukan

pembajakan dan garu sampai berlumpur 2-3 hari sebelum

benih di sebar.

b) Lahan untuk persemaian benih di sesuaikan dengan

banyaknya benih yang akan disemai, sebagai contoh benih 5

kg di butuhkan lahan semai 2 x 10 m atau 4 x 10 m.

c) Pada saat sebar benih lahan harus tidak tegenang air, karena

hal ini akan mengakibatkan benih tak dapat tumbuh

sempurna, tetapi jika lahan kering akar benih tidak mampu

tumbuh sempurna dan akibatnya benih akan mati .

3. Pemupukan benih

Pemupukan benih dilakukan setelah umur benih di

pesemaian mencapai satu minggu, namun pemupukanya 7

sebaiknya di sesuaikan dengan jadwal tanam, langkah ini

dilakukan karena jika benih di tanam pada umur 15-20 hari

sebaiknya dosis pupuk di kurangi hal ini di lakukan agar pada

saat benih di tanam kandungan pupuk yang ada dalam benih

tersebut sudah kurang sehingga tanaman tak mudah layu,

tetapi jika benih di tanam pada umur 25-30 hari maka dosis

pupuk sedikit ditambah yang bertujuan untuk memudahkan

pencabutan benih itu sendiri. Pada lahan rawa biasanya umur

benih sampai 36 hari atau 'selapan' pada MT 1 yang bertujuan

agar tanaman lebih tinggi dari genangan pada saat itu.

4. Persiapan tanam

a) Sebelum tanam lahan dibajak 15 hari sebelum tanam jika MT

I model pembajakan di lakukan dengan bajak luku, tapi jika

MT II pembajakan dilakukan dengan 'blebeg' yang digerakan

7 Pemupukan dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan, pupuk yang digunakan urea dan phonska tetapi jika petani menggunakan model organik pemupukan diberikan dengan pupuk kandang (5 kwintal) sebelum benih disemai

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

61

menggunakan mesin traktor, alat yang di pakai memang ada

perbedaan karena jika MT I kondisi tanah relatif keras dan

kalau MT II kondisi tanah sudah berlumpur .

b) Setelah dibajak baru ketika waktu tanam sudah dekat lahan

baru di garu dengan tenggang waktu 2-3 hari sebelum tanam.

c) Jika lahan sudah digaru dan jadwal tanam yang di tentukan

sudah tiba tanam bisa dilakukan, seiring dengan banyaknya

tenaga dari luar wilyah Desa Baturejo model tanam di

lakukan dengan sistim borong kedokan, maksudnya petani

tinggal bayar sesuai luas lahan yang di miliki kemudian sudah

ada tenaga yanga siap mengerjakan

d) Biaya tanam model borongan per ha Rp 750.000

e) Jarak tanam pemborong ditentukan oleh permintaan pemilik

lahan.

Penentuan Awal Musim Tanam

Dalam memulai musim tanam petani desa Baturejo memiliki

2 (dua) pedoman dalam menentukan dimulainya musim tanam.

Penentuan tersebut didasarkan pada dibukanya pintu air Klambu

Kanan dan datangnya hujan untuk mengawali musim tanam pertama.

Kewenangan atas buka tutupnya Pintu Air Klambu Kanan dipegang

oleh Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Jawa Tengah yang

kemudian memberikan Surat Edaran pada BUPATI atau Dinas

Pertanian yang memiliki ketergantungan pada Sistem Irigasi Klambu

Kanan.8 Pemberitahuan tersebut diteruskan pada Petugas Penyuluh

Lapangan di tingkat Kecamatan dan Desa untuk memberikan

informasinya pada petani untuk mempersiapkan musim tanam

pertamanya. Karena petani desa Baturejo mendapatkan air buangan

8 Pintu air Klambu Kanan tahun 2008 dibuka pada tanggal 1 Oktober 2008, sisa limpahan air berada di Sungai Tus kurang lebih 5 hari sampai 2 minggu setelah dibukanya pintu air Klambu Kanan karena banyak terjadi kebocoran saluran irigasi sehingga air limpasan dapat masuk pada Sungai Tus relatif lebih cepat.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

62

yang berada di Sungai Tus ketika air hujan tidak mencukupi untuk

memulai musim tanamnya, petani menggunakan pompa air untuk

mengambil air yang berada di Sungai Tus. Meskipun hujan sudah

mulai turun, pompa air tetap digunakan karena luasnya lahan dan

karakter tanah pasca musim kemarau menyebabkan kebutuhan air

cukup tinggi.

Selain faktor dibukanya Pintu Air Klambu Kanan yang

berasal dari Bendung Wilalung, penentuan kedua didasarkan pada

puncak hujan pada bulan Januari dan Pebruari. Pada bulan tersebut

curah hujan yang tinggi menyebabkan lahan pertanian tergenang

(banjir) sehingga petani berusaha untuk memanen padi pada bulan

Januari atau paling lambat awal Pebruari.

Penentuan musim tanam oleh petani di Desa Baturejo,

menjadi penting karena dimulainya keputusan tanam berpengaruh

terhadap risiko bencana yang terjadi pada puncak hujan karena

informasi pembukaan jaringan irigasi bersamaan dengan

pengumuman pemerintah atas dimulainya musim tanam.

“....nek nganggo pengumuman pemerintah sing disampeke lewat PPL...sawah kene kebanjiran kabeh...gak iso panen mas... jaringan irigasi gak ono banyune soale wis enthek di nggo sawah nduwurku disik, dadi gak tekan kene...dadi kali tus kui nak ono banyune, dipompa wae kanggo milike banyu nang sawah sak durunge musim tanam dimulai...dimajuke ben gak keneng banjir...lha nak nunggu saran pemerintah gak pernah panen soale keneng banjir”

(“...jika menggunakan pengumuman pemerintah yang disampaikan melalui PPL...sawah disini kena banjir semua..tidak bisa panen mas...jaringan irigasi sudah tidak ada airnya karena sudah dipakai sawah diatasnya, jadi tidak sampai....jadi Sungai Tus itu jika ada airnya dipompa saja unutk dialirkan ke sawah sebelum musim tanam dimulai...dimajukan biar tidak kena banjir...wah..jika menunggu saran pemerintah, tidak bisa panen karena kena banjir...”) (Tanto Pursudi)

Pemajuan awal musim tanam menjadi kunci petani untuk

menghindari puncak hujan. Kepuusan memulai musim tanam terse-

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

63

but merupakan bentuk tanggapan petani unutk beradaptasi terhadap

risiko iklim dan bencana yang sering petani hadapi setiap MT I.

Foto satelit di bawah ini (Gambar 4.6.) merupakan kejadian

banjir awal tahun 2006 di sekitar wilayah Pegunungan Muria, Jawa

Tengah bagian utara, yang merugikan petani karena gagal panen

akibat banjir.

Gambar 4.6.Informasi Spasial Penginderaan Jauh-Kejadian Banjir Kabupaten

Pati Jawa Tengah, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

(LAPAN), 2006.

Petani Menggeser Waktu Tanam

Pembasahan lahan dilakukan dengan mesin pompa ketika

“Sungai Tus” dirasa mencukupi untuk dipompa. Keputusan

pembasahan lahan dengan menggunakan pompa ini dikarenakan

kemampuan air yang tersedia di Pintu Air Saluran Klambu Kanan

tidak mampu mencapai wilayah ini, sehingga jika terlambat karena

menunggu jatah air maka petani tidak dapat mengolah lahan

pertaniannya karena mengalami banjir.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

64

Penentuan pengolahan dan semaian pertama, tidak

tergantung pada pertemuan anggota kelompok tani, melainkan

pengurus kelompok tani. Dalam memulai semaian pada MT I dan II,

pengurus kelompok tani mulai menyebar semaian pertama kali

kemudian diikuti oleh anggota kelompok lainnya. Kondisi ini

disebabkan dan dipengaruhi oleh pengelolaan pompa dan serangan

hama tikus. Pengelolaan pompa merupakan tanggung jawab pengurus

kelompok tani. Biaya operasional pompa baik solar (BBM), oli dan

perawatan mesin ditanggung oleh pengurus kelompok tani yang

menjabat. Anggota kelompok tani akan membayar ketika hasil panen

padi yaitu dengan seperdelapan (1/8) hasil panen petak sawah dengan

menggunakan tali sebelum dijual ke tengkulak. Sehingga pengurus

kelompok tani menanggung beban pembiayaan yang tinggi dan jika

tidak berhasil maka pengurus kelompok mengalami kerugian yang

cukup besar.

Selain itu, penentuan musim tanam yang diawali dengan

persemaian diawali oleh pengurus kelompok tani. Ketakutan petani

dalam mengawali persemaian pada musim tanam disebabkan karena

hama tikus yang akan menyerang. Populasi tikus yang cukup besar di

wilayah tersebut menyerang bahkan merusak persemaian jika petani

memulai sendiri musim tanamnya kecuali secara bersama-sama

karena banyaknya tikus tidak sebanding dengan hamparan yang luas

jika dilakukan bersama-sama. Upaya yang dilakukan kelompok tani

adalah dengan gropyokan tikus atau dengan setrum listrik sampai

padi berumur dua puluh (20) hari. Tikus pada usia padi tersebut

mengalami musim kawin dan kembali ke lubang persembunyiannya

sehingga serangan pada tanaman padi relatif berkurang.

Kondisi lahan pertanian melandasi petani memilih jenis

tanaman yang berumur pendek (3 bulan) karena merupakan lahan

genangan atau bekas rawa.9 Jenis tanaman yang dipilih saat ini seperti

9 Sebelum jaringan irigasi dibangun pemerintah (1987) petani memilih tanaman yang memiliki umur 4-6 bulan karena kondisi lahan petanian hanya menggantungkan curah hujan (lahan tadah hujan) tetapi setelah dibangun sistem irigasi semi teknis petani muklai beralih pada tanaman yang memiliki umur 3 bulan,

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

65

IR 64, Ciherang, Ciboga, dan Cigelis. Jenis tanaman Ciherang, Ciboga

dan Cigelis banyak dipilih petani selaian memiliki produksi yang

tinggi juga memiliki ketahanan terhadap serangan hama dan tahan

terhadap kerebahan. Petani Desa Baturejo mengenal jenis tanaman

(bibit) yang sesuai dengan kondisi lahan dari „boro‟ atau menjadi

buruh tani di luar wilayah desa, kecamatan ataupun kabupaten, selain

informasi dari penyuluh pertanian. Petani mendapatkan informasi di

luar wilayah desanya disebabkan karena perbedaan musim panen

wilayah yang lain, petani desa Baturejo mencari nafkah dengan

menjadi buruh panen padi di wilayah lain sehingga mereka mengenal

jenis padi yang baru. Jenis tanaman padi juga di ketahui petani

melalui „penebas‟ (pedagang padi) yang membeli hasil panen petani

atau tengkulak dengan memperkenalkan jenis padi baru yang

memiliki keunggulan tertentu.10

Gambar 4.7. Lahan Pertanian Dekat Rawa, Adi Nugroho, 2014

Masa pemeliharaan sampai panen, petani tidak mengalami

kesulitan. Pemahaman petani atas pestisida dalam menanggulangi

hama padi selama pemeliharaan sangat mumpuni (paham) karena

selaian itu wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh genangan air ketika musim hujan yang jatuh pada bulan Januari – Pebruari pada msuim tanam pertama. 10 Penebas memberikan informasi jenis padi berdasarkan pada hasil produksi gabah yang dibeli dari petani sedangkan tengkulak memberikan informasi berdasarkan pada „rendemen‟ beras.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

66

banyak formulator (peramu) pestisida dari berbagai perusahaan

memberikan informasi dan melakukan uji coba dilapangan. Kondisi

yang paling dihindari petani adalah banjir pada puncak hujan yang

jatuh pada bulan Januari-Pebruari.

Sedangkan pada hamparan “tanah ngrowo”, MT II dimulai

pada bulan April-Mei karena puncak hujan terjadi pada bulan

Februari disertai dengan banjir atau genangan air yang relatif lama.

Berbeda dengan tanah nggenengan, MT II bisa dimulai persemaian

pada bulan Februari karena banjir 11 tidak memengaruhi wilayah

tersebut. Kebiasaaan pada tanah ngrowo persiapan Musim Tanam II

dilakukan pada bulan April dan memulai musim tanamnya pada

bulan Mei sehingga bulan Juli dapat dipanen hasilnya. Peluang petani

pada MT II ini sangat tinggi dibandingkan pada musim tanam

pertama karena selain ketercukupan air dalam memulai musim tanam

dan pengelolaanya sangat terbantu pada saat musim penghujan.

Penentuan musim tanam kedua dilakukan di bulan April merupakan

kebiasaan petani Desa Baturejo dalam mengelola lahan pertaniannya

karena selain air yang masih cukup tinggi dan genangan air paska

puncak hujan juga pada bulan Maret banyak petani dari daerah lain

seperti hamparan pertanian Desa Talun termasuk wilayah Kecamatan

Kayen sudah panen sehingga ditakutkan hama akan berpindah

dengan cepat ke hamparan yang akan ditanami (Desa Baturejo) yang

berbatasan langsung dengan Kecamatan Sukolilo. Sehingga

Organisme Penggangu Tanaman (OPT) berkembang sangat cepat

pada hamparan tersebut. Selain itu, menurut penuturan Mujono,

Santosa dan beberapa petani lainnya pada bulan tersebut sering

terjadi kondisi “timbreng” (mendung tapi tidak turun hujan) sehingga

OPT seperti wereng coklat, penggerek batang, hama putih palsu, dan

ulat grayak, berkembang sangat cepat. Kondisi ini dikarenakan

beberapa petani yang terletak pada hamparan desa lainnya telah

11 Petani memanfaatkan kondisi banjir tersebut dengan mencari ikan dan keong, karena wilayah lain yang berdekatan dengan bantaran sungai telah dibuat kolam ikan sehingga ikan yang dikelola keluar dari kolam tersebut, ketika banjir.

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

67

panen sehingga hama tersebut berpindah dengan cepat, berbeda jika

diberi jeda dalam memulai musim tanam kedua.

MT III sebagian kecil petani mengelola lahan pertaniannya

dengan menanam tanaman palawija seperti semangka kwaci, blewah,

waloh, tomat yang hanya membutuhkan sedikit air karena selain

kebutuhan air yang relatif sedikit juga waktu yang sempit karena

akan memasuki musim tanam III, sebagian besar petani

mengistirahatkan lahannya (bero).

Musim Tanam

(MT)

Bulan Keterangan

6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5

MT 1 x X X X MT I (anjuran pemerintah)

X x X X Pemajuan MT I (biasa)

√ √ √ √ Pemajuan Musim Tanam

(ekstrim)

MT 2 X X X X Pemunduran MT II

MT 3 = = = Isitrahat atau palawija

Puncak Kemarau

Puncak Hujan

Gambar 4.8. Kalender Musim Tanam Petani Desa Baturejo, Diadaptasi dari Ketua

Kelompok Tani Sido Makmur (2004-2007, 2014) dan Bendahara Kelompok Tani Sido

Rukun, 2014.

Model tanam yang banyak dipakai oleh petani Desa Baturejo

adalah Jajar Legowo tidak murni atau sering disebut „tandur paliran‟

karena petani memberikan sela antar tanaman padi bukan berdasar

pada jarak tanam model jajar legowo selebar 20-30 cm, hanya untuk

memberikan ruang atau jalan petani merawat tanaman.

Petani Desa Baturejo tidak bebas menentukan pola tanam

karena tergantung pada kelompok tani dan pengurus pompa sehingga

menunggu aliran air dari irigasi pompa dioperasionalkan. Sampai saat

ini, belum ada inisiatif petani membuat sumur panthek karena air

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

68

dari sumur panthek tidak mencukupi lahan pertanian yang dimiliki

(terlalu kecil dalam memenuhi kebutuhan air lahan pertanian padi).

Selain itu, pengalaman petani membuat sumur panthek tidak keluar

air. Jika pun keluar, kualitas air buruk karena berasa asin. Wilayah ini

tidak memungkinkan untuk menanam selain padi karena merupakan

wilayah rawa dimana ketika musim penghujan kondisi tanah menjadi

„bacek‟ (kandungan air dalam tanah terlalu tinggi).

Keuntungan Petani Mengelola Risiko Iklim

Pemajuan musim tanam yang cukup ekstrim merupakan salah

satu upaya petani untuk menghindari banjir pada bulan Januari

sampai Maret (MT I) yang dilakukan mulai tahun 2004-2007 dan

Kelompok Sido Rukun pada MT 1 tahun 2014. Menurut penuturan

Tanto, mantan Ketua Kelompok Tani Sido Makmur, masalah utama

untuk memajukan pola tanam adalah operasional pompa seperti solar,

oli, suku cadang dan umur teknis mesin. Besar biaya yang

dikeluarkan pada Kelompok Tani Sido Makmur yang beranggotakan

171 pada tahun 2004-2007 kurang lebih 100-200 juta untuk mengairi

lahan 156 ha pada MT I, yang ditanggung oleh pengurus kelompok

tani tersebut.

“.....asal due modal akeh, majuke musim tanam ki gak masalah...pengurus kelompok tani biasane nggadeke sertifikat, BPKP motor ben enthuk silihan seko bank opo rentenir..ben iso tuku solar karo ndandani saluran sing wis rusak...”

(“...asal punya modal banyak, memajukan musim tanam tidak maslah....pengurus kelompok tani biasanya menggandikan sertifikat tanah, BPKP motor biar mendapat pinjaman dari bank atau rentenir...untuk membeli solar dan memperbaiki saluran irigasi yang sudah rusak...”) (Tanto Pusidi)

Beban operasional tersebut dibayar anggota kelompok tani

dengan membagi seperdelapan (1/8) hasil panen padi pada pengurus

kelompok tani yang sekaligus pengurus pompa air. Dampak yang

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

69

dirasakan oleh Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo adalah

beban biaya operasional pompa menjadi tinggi karena petani

mengandalkan air yang berasal dari JU II yang dipasok dari limpahan

sungai pembuang irigasi Klambu Kanan. Selain itu hama tikus

berkembang sangat cepat yang menurunkan hasil atau produk panen

petani kurang lebih 5%. Meskipun dari serangan hama tikus yang

menyerang ketika memajukan musim tanam pada bulan Agustus

tetapi kelompok tani tersebut masih mendapatkan keuntungan

karena harga jual gabah hasil panen pada bulan awal Januari relatif

lebih tinggi (Rp. 2.700-3.000,-/kg Gabah Kering Panen, jika

menggunakan pola tanam biasa hanya Rp. 2.000-2.300,-/kg GKP)

selain itu aman dari banjir atau genangan banjir yang menyebabkan

padi puso.12 Dengan harga yang tinggi petani merasa mendapatkan

keuntungan yang lebih besar baik dari sisi harga, tenaga maupun dari

ancaman banjir pada bulan Januari-Pebruari, meskipun ancaman

hama tikus sangat besar (kurang dari 5%).13 14

Keterlibatan Perempuan

Pada pengelolaan lahan pertanian di Desa Baturejo,

keterlibatan perempuan dapat dilihat dari model borongan dalam

setiap pengelolaan tanaman padi. Buruh tani borongan relatif

didominasi oleh perempuan khususnya dalam ndawut dan

penanaman bibit padi pada lahan hamparan yang telah disiapkan,

sedangkan penyiapan lahan untuk semai dilakukan oleh laki-laki.

Semai sendiri dilakukan oleh kebanyakan kaum laki-laki. Tetapi

setiap petani pemilik lahan memiliki perlakuan berbeda untuk

12 Puso dimaknai oleh petani bahwa terjadi kegagalan panen lebih dari 50%. 13 Hama tikus pada musim tanam pertama menyerang padi yang hampir masak (mrapu) tetapi pada musim tanam kedua hama tikus pun menyerang semaian padi. 14 Upaya petani melawan hama tikus dengan sistem gropokan dan memasang jaringan aliran listrik di sekeliling areal pertanian dengan menggunakan mesin disel sebagai sumber energi listrik, tetapi jika tikus menyerang semaian, petani membuat penghalang dengan plastik di sekeliling semaian.

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

70

melakukan semai. Terkadang hanya perempuan saja dalam

melakukan persemaian tetapi juga dilakukan oleh keduanya.

Di lahan satu (1) hektar kebutuhan buruh tani dalam

menanam bibit tanaman kurang lebih 40 orang, 30 diantaranya

didominasi perempuan. Buruh tani borongan tersebut kebanyakan

dipimpin oleh laki-laki untuk melakukan negoisasi dengan pemilik

lahan yang akan ditanami. Dalam 1 bahu lahan pertanian untuk

melakukan ndawut dan penanaman bibit padi pada lahan dihargai

Rp. 630.000,-/bahu, yang dibagi kurang lebih 20-40 orang setiap

rombongannya. Kebanyakan pemilik lahan lebih memilih model

borongan karena dianggap lebih murah dibandingkan sistem harian.

Buruh tani rombongan tersebut banyak berasal dari kabupaten

Kudus, Grobogan dan atau wilayah desa maupun kecamatan yang

lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh musim tanam yang serentak atau

bersama-sama untuk menghindari hama tikus.

Pengelolaan hamparan paska tanam seperti pemupukan,

penyemprotan (jika ada penyakit tanaman) maupun pembersihan

rumput dilakukan oleh pemilik lahan jika memiliki lahan yang relatif

sempit tetapi jika lahannya luas lebih dari 1 kotak dilakukan oleh

buruh tani harian. Seperti dalam pembersihan rumput, buruh tani

yang digunakan lebih banyak perempuan15 tetapi pemupukan dan

penyemprotan dilakukan oleh buruh tani laki-laki atau pemilik lahan

(laki-laki).

Peran perempuan pada tahap panen menjadi tersingkir, jika

maih terlihat perempuan di belakang dhos (alat pemisah bulir padi

dengan batang) itu pun hanya sebagai pengasak atau pencari sisa bulir

15 Buruh tani perempuan dalam sistem pertanian padi dihargai lebih rendah dibandingkan laki-laki. Penghargaan tersebut oleh pemilik lahan berdasarkan pada tenaga yang dimiliki karena perempuan memiliki tenaga lebih kecil dibandingkan kaum laki-laki. Besaran upah yang diberikan oleh pemilik lahan berkisar Rp. 17.000,- per hari yang bekerja mulai pukul 06.00 WIB sampai 10.30 WIB. Berbeda dengan laki-laki, upah yang diterima mencapai Rp. 20.000,-per hari dengan beban kerja dan waktu yang sama dengan kaum perempuan, sedangkan makan, minum dan rokok bagi kaum laki-laki menjadi tanggungan pemilik lahan yang membutuhkan tenaganya.

Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim

71

padi yang belum terpisahkan dari batangnya. Perempuan pengasak

tersebut mendapatkan gabahnya dari sisa dhos dan memisahkan

dengan cara memukul batang padi sisa dhos tersebut dengan kayu.

Posisi perempuan pada tahap pasca panen tersebut berada di belakang

pengedhos (orang yang menjalankan mesin dos). Tetapi berbeda jika

hasil produksi rendah, buruh tani perempuan akan dioptimalkan

dalam panen karena menurut pandangan pemilik lahan kaum

perempuan lebih sabar dan teliti untuk memilih dan memilah hasil

panen dibandingkan laki-laki. Meskipun demikian pemilik lahan

tetap memberikan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Catatan Penutup

Pertanian padi rentan terhadap perubahan pola musim

khususnya pada pertanian yang bergantung pada curah hujan atau

tidak memiliki sumber air tetap seperti irigasi. Perubahan pola musim

yang mendadak (cekaman) berpengaruh terhadap gagalnya produksi

padi baik pada seluruh tahap produksi pertanian selain serangan

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

Ketidakpastian musim atau ketidakteraturan curah hujan

menyebabkan petani sulit menentukan keputusan tanamnya. Petani

Desa Baturejo menggantungkan air Sungai Tus (JU II) untuk memulai

musim tanam pertama agar dapat terhindar dari puncak hujan pada

bulan januari sampai Maret. Penggunaan pompa air merupakan upaya

petani memulai musim pertama lebih awal dibandingkan dengan

informasi pemerintah yang selalu tidak tepat. Ketidaktepatan

informasi tersebut dikarenakan pada akhir MT I, hamparan lahan

pertanian kelompok Sido mamkur terjadi genangan air yang cukup

tinggi sehingga menggagalkan hasil panen pertanian sawah mereka.

Upaya menggeser waktu tanam pada musim tanam pertama,

membutuhkan kesepakatan bersama antara pengurus Kelompok Tani

Sido Makmur untuk memastikan ketersediaan air yang cukup,

kebutuhan bahan bakar, infrastruktur, dan antisipasi OPT. Selain

modal keuangan yang mencukupi untuk menggeser waktu tanam,

Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan

72

Kelompok Tani Sido Makmur juga membutuhkan modal sosial dalam

menghadapi ketidakpastian musim.