20
BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO-TEOLOGIS KRISTEN Tradisi penjualan atau penyingkiran anak adalah suatu tradisi dalam upaya mendapatkan keselamatan atau kesehatan dan perubahan watak dari sang anak yang memiliki kemiripan wajah yang identik dengan salah satu orang tuanya. Jika anak tersebut tidak dijual atau dalam masyarakat Meto (Timor) disingkirkan, dalam arti benar-benar dipisahkan dari keluarga, maka akan selalu timbul pertengkaran dan ketidakharmonisan hubungan serta akibat terburuk adalah kematian bagi orang tua. Penjualan yang dimaksudkan di sini bukanlah penjualan dalam pengertian transaksi bisnis untuk mendapatkan keuntungan berupa uang, tetapi dalam pengertian adat, sang anak diserahkan, diberikan atau dalam pengertian yang “kasar” disingkirkan demi keselamatan sang anak dan orang tua. Mengintegrasikan tradisi ini dengan teori Pertukaran yang dibahas dalam Bab II, Mauss berpendapat bahwa dalam masyarakat primitif, pemberian kepada sesama manusia dan kepada dewa-dewa atau penguasa tertinggi mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli perdamaian. 1 Mengacu pada pendapat Mauss, tradisi penjualan anak dalam budaya masyarakat Timor, sekilas terlihat mempunyai motif yang sama, yakni menjual, menyingkirkan atau menukar sang anak untuk ‘membeli sesuatu’ dari ’wujud tertinggi’ yang mengatur kehidupan manusia. Sesuatu dapat berupa kedamaian, keselamatan, kesehatan, keamanan, perubahan watak dan umur panjang bagi si anak yang dijual. Dengan kata lain, pihak keluarga menjual atau menukar sang anak untuk ‘membeli dan mendapatkan’ watak baik bagi sang anak dan keselamatan atau kesehatan bagi sang anak dan orang tua yang mirip wajahnya. 1 Marcel Mauss, Pemberian : Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno ( Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1992)

BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

BAB IV

TRADISI PENJUALAN ANAK

DALAM PANDANGAN SOSIO-TEOLOGIS KRISTEN

Tradisi penjualan atau penyingkiran anak adalah suatu tradisi dalam upaya mendapatkan

keselamatan atau kesehatan dan perubahan watak dari sang anak yang memiliki kemiripan

wajah yang identik dengan salah satu orang tuanya. Jika anak tersebut tidak dijual atau dalam

masyarakat Meto (Timor) disingkirkan, dalam arti benar-benar dipisahkan dari keluarga,

maka akan selalu timbul pertengkaran dan ketidakharmonisan hubungan serta akibat terburuk

adalah kematian bagi orang tua. Penjualan yang dimaksudkan di sini bukanlah penjualan

dalam pengertian transaksi bisnis untuk mendapatkan keuntungan berupa uang, tetapi dalam

pengertian adat, sang anak diserahkan, diberikan atau dalam pengertian yang “kasar”

disingkirkan demi keselamatan sang anak dan orang tua.

Mengintegrasikan tradisi ini dengan teori Pertukaran yang dibahas dalam Bab II, Mauss

berpendapat bahwa dalam masyarakat primitif, pemberian kepada sesama manusia dan

kepada dewa-dewa atau penguasa tertinggi mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli

perdamaian. 1 Mengacu pada pendapat Mauss, tradisi penjualan anak dalam budaya

masyarakat Timor, sekilas terlihat mempunyai motif yang sama, yakni menjual,

menyingkirkan atau menukar sang anak untuk ‘membeli sesuatu’ dari ’wujud tertinggi’ yang

mengatur kehidupan manusia. Sesuatu dapat berupa kedamaian, keselamatan, kesehatan,

keamanan, perubahan watak dan umur panjang bagi si anak yang dijual. Dengan kata lain,

pihak keluarga menjual atau menukar sang anak untuk ‘membeli dan mendapatkan’ watak

baik bagi sang anak dan keselamatan atau kesehatan bagi sang anak dan orang tua yang mirip

wajahnya.

�������������������������������������������������������������1 Marcel Mauss, Pemberian : Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno ( Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1992)�

Page 2: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

Terlihat jelas bahwa faktor ekonomi atau bisnis bukan merupakan alasan utama

penjualan anak di kalangan masyarakat Timor, termasuk di tengah-tengah jemaat Gereja

Masehi Injili di Timor (GMIT). Tradisi ini kedengaran sangat tidak masuk akal, tetapi tetap

dipertahankan karena faktor kesehatan atau keselamatan, faktor agama, faktor budaya, adat

atau tradisi dan faktor sosial. Faktor yang paling dominan menjadi alasan dipertahankannya

tradisi ini adalah faktor kuatnya tradisi turun-temurun untuk keselamatan sebagaimana yang

telah dilakukan oleh para leluhur sebelumnya. Tradisi untuk mendapatkan keselamatan lebih

kuat dari faktor sosial, ekonomi dan faktor-faktor lain karena keluarga telah merasakan

adanya “masalah” akibat kemiripan wajah sang anak dan juga telah melihat bagaimana tradisi

ini membuahkan hasil positif dalam keluarga turun temurun.

Faktor ekonomi sama sekali bukan merupakan alasan seseorang melakukan penjualan

anak karena jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor secara umum, dan orang yang

menjual anak secara khusus, bukanlah orang-orang yang dalam kondisi ekonomi yang

terpuruk. Jemaat dan keluarga-keluarga yang menjual anak memiliki pekerjaan yang baik dan

menunjang pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain itu nominal uang yang diberikan untuk

penjualan anak sangat kecil, tidak seimbang dengan pertukaran nilai manusia, jika memang

maksud penjualan anak tersebut untuk bisnis atau keuntungan materi. Uang yang diberikan

dalam penjualan hanya sebagai formalitas bahwa proses penjualan telah syah secara adat.

Sekalipun tradisi ini membuahkan hasil positif dan diterima secara baik dalam kalangan

masyarakat lokal, namun orang percaya atau gereja perlu mengkaji dan menyikapi tradisi ini

dalam terang Firman Tuhan. Bagaimana pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan

atau penyingkiran anak? Haruskah tradisi ini dipertahankan atau dilestarikan? Untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan mengkaji lebih dalam mengenai tradisi

penjualan anak, maka akan digunakan pandangan sosio-teologis untuk melihat sejauh mana

Page 3: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

hubungan antara tradisi penjualan anak dan implikasi yang dihasilkan dari pemberlakuan

tradisi ini di tengah-tengah masyarakat dan jemaat Kristen.

A. Pandangan Iman Kristen tentang Tradisi Penjualan Anak

Untuk dapat memperoleh pemahaman yang menyeluruh tentang pandangan iman Kristen

terhadap tradisi penjualan anak, perlu untuk mengkaji pemikiran-pemikiran yang terkait

tradisi ini dikaitkan dengan Firman Tuhan sebagai tolok ukur bagi kehidupan kekristenan.

1. Pembelian atau Pertukaran yang dilakukan Allah melalui Kematian Yesus.

Jika dicermati dengan lebih mendalam, tindakan penjualan atau penyingkiran anak

pada dasarnya adalah menukarkan nyawa sang anak kepada penguasa tertinggi dengan

kesehatan atau keselamatan dan pendamaian untuk mendapatkannya kembali.

Mendapatkan kembali di sini adalah memperoleh kembali essensi dan eksistensi sang

anak yang berbeda dari sebelumnya. Anak dipertukarkan atau disingkirkan agar jiwanya

terselamatkan, didapatkan kembali dalam keadaan sehat, selamat, dan dengan watak yang

telah “didamaikan”.

Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan

memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran atau pembelian yang dilakukan oleh

Allah untuk menebus kembali manusia yang terjual di bawah kuasa dosa, untuk

keselamatan dan pendamaian. Manusia mengadakan kesepakatan dengan Iblis dan

jiwanya terjual di bawah kuasa Iblis, sebagai imbalannya adalah kematian kekal, maut,

keterpisahan dengan Allah, sakit penyakit, hidup yang jauh dari kesejahteraan, watak atau

karakter yang jahat sesuai nature tuannya yaitu Iblis. Untuk mendapatkan kembali

manusia dengan watak atau karakter yang baru, yang tidak berada di bawah kematian

kekal, manusia yang berhak mendapatkan kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan,

Allah melakukan transaksi pembelian atau pertukaran dengan memberi atau

Page 4: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

mempertukarkan anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus untuk memberikan keselamatan

kekal dan kesejahteraan hidup kepada manusia di bumi. Paulus mengatakan kepada

jemaat di Korintus, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar” (1

Korintus 6:20a). Selanjutnya Petrus mengatakan, “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah

ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan

dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah

yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda

dan tak bercacat (1 Petrus 1:18-19).

Gambaran ini menunjukkan bahwa Allah sendiri merelakan atau menyerahkan anak-

Nya yang paling berharga agar manusia ciptaan-Nya mendapatkan kembali keselamatan

dan kesejahteraan hidup yang telah direbut oleh Iblis. Gambaran ini menunjukkan bahwa

Allah sendiri adalah sumber dan pemilik keselamatan dan kesejahteraan hidup, termasuk

sumber dari watak atau karakter yang baik.

Dengan demikian, menurut pandangan iman Kristen, pertukaran atau penjualan yang

tepat atau benar dilakukan untuk mendapatkan keselamatan, kesehatan, kesejahteraan

hidup atau perubahan watak dan karakter hanyalah pertukaran yang dilakukan dengan

Allah, pemilik keselamatan dan kesejahteraan hidup. Proses “penjualan” atau pertukaran

adalah dengan memiliki iman pada pengorbanan Kristus di kayu salib, mempercayai

kematian dan kebangkitan-Nya dan menerima Yesus Kristus di dalam hati dan

mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat. Hal ini berarti menyerahkan hati atau

hidup “dijual” kepada Allah untuk mendapatkan kembali keselamatan, kesehatan, watak

dan karakter yang baik dan kesejahteraan hidup yang telah dicuri oleh Iblis. Inilah satu-

satunya cara untuk mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan karakter yang

diubahkan, sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi penjualan anak untuk memperoleh

Page 5: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

keselamatan, kesehatan dan perubahan karakter sang anak adalah sebuah cara yang tidak

sesuai dengan pemahaman iman Kristen.

Pandangan iman Kristen ini menjadi “filter” bagi setiap keluarga yang melakukan

penjualan atau pertukaran anak demi keselamatan sang anak. Sebuah pertanyaan yang

patut direnungkan oleh para orang tua yang menjual anaknya adalah, “Kepada kuasa

siapakah nyawa sang anak diperjualkan atau ditukarkan? Kepada Allah yang benar di

dalam Yesus Kristus sebagai sumber keselamatan dan kesejahteraan hidup, atau kepada

kuasa-kuasa leluhur dan nenek moyang keluarga yang bersangkutan?”.

2. Pandangan Iman Kristen tentang Hubungan dengan Leluhur dalam Ritual

Penjualan Anak

Untuk menjawab kedua pertanyaan mendasar di atas, perlu melihat kembali latar

belakang sejarah dan konteks awal terjadinya penjualan anak. Tradisi ini mulai dilakukan

pada zaman di mana nenek moyang atau leluhur keluarga masih hidup dalam “zaman

kegelapan”, jauh dari pengenalan akan Injil keselamatan dan wahyu Yesus Kristus.

Kondisi ini seperti dikatakan Rasul Paulus, “Kamu dahulu sudah mati karena

pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu

mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh

yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka” (Efesus 2:1-2).

Karena kondisi kegelapan dan ketidaktahuan akan wahyu Yesus Kristus yang

menyelamatkan, maka para lelulur mengadakan ikatan perjanjian dengan roh-roh nenek

moyang atau ilah-ilah yang diyakini memiliki kuasa untuk mengutuk dan

menyelamatkan, dapat memberi kesakitan dan kematian, tetapi juga menyembuhkan,

menghidupkan dan memberi kesejahteraan. Dalam keadaan tanpa pengetahuan akan Injil

kebenaran dan belum adanya penanganan medis, para leluhur bergantung pada

Page 6: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

��

kepercayaan turun temurun bahwa keselamatan dan kesejahteraan hidup bersumber dari

penguasa tertinggi yakni ilah-ilah dan roh-roh nenek moyang, sehingga para leluhur

mencari jawaban atas kesakitan dan keselamatan dari roh-roh nenek moyang tersebut

melalui ritual-ritual yang dikehendaki oleh arwah-arwah atau roh-roh leluhur

sebelumnya.

Ritual yang dilakukan para leluhur keluarga yang melakukan pembelian dan

penjualan anak untuk meminta persetujuan dari roh-roh nenek moyang adalah salah satu

bukti adanya ikatan kontak dan perjanjian antara roh-roh nenek moyang dan keturunan

keluarga itu turun-temurun. Pada saat pihak pembeli datang ke kuburan pada jam 2.00

subuh untuk bercakap-cakap dengan para leluhur, meminta persetujuan, dan

menyembelih babi atau ayam untuk melihat kondisi hati binatang tersebut sebagai tanda

penjualan direstui atau tidak; pada saat itulah terjadi kontak transaksi “jual-beli nyawa

sang anak” dari keturunan demi keturunan dalam keluarga penjual dengan roh-roh

leluhur sebelumnya. Karena itu sampai zaman sekarang tradisi penjualan anak terus

berlangsung dan dilakukan dalam keluarga-keluarga yang orang tuanya pernah

melakukan tradisi ini sebelumnya, karena ikatan perjanjian yang sejak awal dilakukan

telah mengikat keturunan demi keturunan dalam keluarga itu tanpa sebuah pemutusan.

Perjanjian di kuburan telah mewakili perjanjian yang mengikat seluruh keturunan;

walaupun pada zaman modern ini, banyak keluarga yang melakukan tradisi ini tidak lagi

harus pergi ke kuburan, tetapi ikatan sumpah dan janji antara leluhur dan anak-anak dari

keturunan keluarga yang mengikat perjanjian ini tidak dapat terlepas dari tradisi ini.

Ketua adat Bapak Ruben Klonel menegaskan hal ini, “... bagi keluarga yang sudah

pernah melakukan tradisi ini secara turun temurun maka tradisi ini akan dilakukan terus

menerus dalam keluarga”.2

�������������������������������������������������������������2 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��

Page 7: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

��

Dalam kaitan dengan ikatan janji dan kerja sama dengan roh-roh para leluhur ini,

sebuah pertanyaan yang penting untuk dpertanyakan adalah, “Bagaimanakah iman

Kristen memandang hubungan atau kontak spiritual dengan roh-roh nenek moyang atau

arwah-arwah leluhur?” Sebuah teguran Tuhan bagi bangsa Israel melalui nabi Yesaya

mengatakan, “Dan apabila orang berkata kepada kamu: "Mintalah petunjuk kepada

arwah dan roh-roh peramal yang berbisik-bisik dan komat-kamit," maka jawablah:

"Bukankah suatu bangsa patut meminta petunjuk kepada allahnya? Atau haruskah

mereka meminta petunjuk kepada orang-orang mati bagi orang-orang hidup?" (Yesaya

8:19). Ayat ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang hidup seharusnya tidak

meminta petunjuk kepada orang-orang mati atau arwah-arwah. Dengan kata lain Alkitab

tidak membenarkan adanya kontak atau hubungan dengan orang-orang mati atau arwah

para leluhur; sedangkan dalam sejarah tradisi penjualan anak, keluarga haruslah datang

menjumpai para leluhur di kuburan dan bercakap-cakap meminta petunjuk tentang

penjualan tersebut. Dengan meminta petunjuk dari para leluhur di kuburan, maka telah

terjadi ikatan perjanjian antara keturunan keluarga itu turun temurun dengan roh-roh para

leluhur.

Sekalipun pada zaman modern ini, keluarga-keluarga yang menjalankan tradisi ini

tidak lagi harus pergi ke kuburan dan bercakap-cakap dengan roh-roh para leluhur, dan

pelaksanaan tradisi ini telah “dikemas” dalam kemasan Kristen, dengan diawali dan

diakhiri dengan doa, serta uang pembelian diberikan sebagai nazar ke gereja; tetapi

essensi perjanjian telah secara syah dibuat oleh orang tua terdahulu yang mengikat

perjanjian atas nama seluruh keluarga dan keturunan turun-temurun dengan roh-roh

nenek moyang. Dengan demikian, secara hukum dalam dimensi spirit atau roh, seluruh

keturunan telah terikat dalam ikatan janji dengan roh-roh para leluhur. Mengenai

Page 8: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

tindakan praktis penjualan yang menghubungkan dengan gereja, hanyalah persoalan

teknis yang tidak dapat membatalkan esensi janji sebelumnya dengan para leluhur.

Menyimak paparan di atas, para keluarga yang terus melaksanakan tradisi penjualan

anak perlu mempertanyakan, “Apakah tradisi ini benar-benar mengikatkan sang anak dan

keluarga kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus sebagai sumber keselamatan,

atau tradisi ini semakin meneguhkan ikatan perjanjian yang pernah diadakan orang tua

terdahulu dengan roh-roh nenek moyang atau leluhur yang telah meninggal?”. Jika

mengamati penegasan Yesaya 8:19, secara esensi, di dalam dimensi spirit, sesungguhnya

nyawa sang anak tidak diserahkan atau ditukarkan kepada Allah yang benar di dalam

Yesus Kristus tetapi dijual dan diserahkan kepada roh-roh leluhur berdasarkan

persetujuan terdahulu dengan nenek moyang.”

3. Pandangan Iman Kristen tentang Budaya, Adat dan Tradisi

Tradisi penjualan anak telah menjadi adat atau kebiasaan yang diterima baik dan

membudaya dalam masyarakat. Untuk melihat pandangan iman Kristen terhadap tradisi

ini, maka perlu melihat pandangan Firman Allah tentang kebudayaan, atau bagaimana

Alkitab menyikapi kebudayaan. Allah sendiri menciptakan manusia yang hidup dalam

adat kebiasaan dan budaya untuk kemuliaan-Nya. Manusia hidup dalam adat istiadat dan

budaya; tetapi dalam dunia yang dikuasai dosa, banyak bentuk adat istiadat dan budaya

telah dicemari dosa.

Kata adat berasal dari kata Arab “ada” artinya kebiasaan, cara yang lazim, kelakuan

yang telah biasa, atau aturan-aturan yang lazim. Adat-istiadat ialah kumpulan peraturan-

peraturan dan norma-norma hidup yang berlaku di dalam persekutuan suku tertentu.

Menurut Verkuyl, latar belakang kepercayaan kepada adat-istiadat terletak pada

perasaan-hidup yang naturalistis-panteistis dan hal itu terlihat dalam agama-agama suku,

Page 9: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

di mana yang menjadi pikiran inti adalah adanya suatu tata tertib kosmos (alam semesta)

yang mengatur segala sesuatu di dalam kosmos dan yang mengatur sifat dan kelakuan

tumbuh-tumbuhan, binatang, sungai-sungai, suku-suku dan lain-lain. Adat-istiadat suku

ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang harus memelihara dan melindungi

hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Adat-istiadat itu dianggap sebagai

“pedoman hidup” yang mengatakan kepada manusia bagaimana harus bertindak, agar

tata tertib kosmos jangan sampai tersinggung atau terlanggar. Oleh karena itu adat-

istiadat melingkupi suatu persekutuan suku tertentu dengan segala larangan-larangan

pantang dan tabu yang bermaksud melindungi masyarakat terhadap pelanggaran batas-

batas dan pelanggaran tata tertib. Dapatkah adat-istiadat menjadi sumber pengetahuan

yang sesungguhnya tentang baik dan jahat? Verkuyl mengatakan,

“Dipandang dari sudut iman Kriten, maka jawab pertanyaan itu ialah : tidak! ... karena di dalam kompleks adat-istiadat kuno itu tidak tampak batas-batas antara Tuhan dan kosmos. Segala agama suku adalah naturalistis. Di dalam agama-agama itu yang dikenal dan dimuliakan bukanlah Tuhan yang hidup, tetapi makhluklah yang dimuliakan : alam, bapa suku, kepala-kepala suku, tradisi suku, roh-roh orang yang mendirikan kampung itu dsb” 3

Bagaimanakah orang Kristen menyikapi dan hidup dalam adat istiadat dan

kebudayaan untuk kemuliaan Allah? Ada lima cara orang Kristen menyikapi

kebudayaan, yakni : (1) Sikap antagonis atau menentang adalah sikap menolak dan

menghindari kebudayaan dengan semua bentuk pengungkapannya. (2) Sikap akomodasi

dan kapitulasi adalah sikap menyesuaikan diri dengan kebudayaan. (3) Sikap dominasi,

yang dimaksud adalah gereja mendominasi kebudayaan yang ada (4) Sikap dualistis

adalah sikap menduakan, (5) Sikap pengudusan usaha kebudayaan adalah sikap

�������������������������������������������������������������3 Verkuyl, J. Etika Kristen, Jilid I Bagian Umum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 71-73�

Page 10: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

penyucian usaha dalam kebudayaan sesuai Firman Tuhan sehingga adat dan budaya tidak

menentang kehendak Tuhan. 4

Menurut Verkuyl, Perjanjian Lama mengungkapkan teguran para nabi Tuhan jika

bangsa Israel bergaul dan membuka diri terhadap bangsa-bangsa kafir, seperti Moab dan

Edom dengan segala adat-istiadatnya yang memuja kehormatan, kemegahan, kekuasaan

suku dan negeri sendiri serta memuja dan tunduk bukan kepada Pencipta langit dan bumi.

Pada hakekatnya itulah yang terdapat di dalam kompleks adat-istiadat itu. Di sini yang

terdengar menggema bukanlah suara Allah yang hidup, tetapi suara darah, suara alam,

suara nenek moyang dan lain-lain.

“Adat-istiadat itu tidak dapat menjadi sumber pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, karena adat-istiadat itu penuh takhyul dan guna-guna... Oleh sebab itu adat-istiadat adalah suatu sumber yang keruh, dan dari sumber itu kita tidak dapat tahu apa yang baik dan apa yang jahat itu”5

Dalam konteks adat-istiadat dan budaya seperti ini, di mana menyangkal hakekat

Pencipta langit dan bumi dan mengarahkan kepada pemujaan alam, bapa suku, kepala-

kepala suku, tradisi suku, roh-roh orang yang sudah meninggal; maka orang Kristen

harus bersikap antagonis atau menolak adat-istiadat tersebut dalam segala bentuk

pengungkapannya.

Ada juga adat-istiadat dan budaya yang telah dipengaruhi Hukum Taurat dan Injil.

Norma-norma Hukum Taurat dan Injil telah mengadakan banyak perubahan di dalam

adat-istiadat kuno, adat-istiadat itu diperbaharui, sebagian dihapuskan dan sebagian

diganti. “Air anggur yang baru (Injil dan Hukum Taurat) telah dikenal dan orang telah

mendapatkan “kantong kulit yang baru” (bentuk-bentuk adat yang baru), sebagai

�������������������������������������������������������������4 Ibid, Etika Kristen dan Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 37-52�Verkuyl, J. Etika Kristen, Jilid I Bagian Umum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 71-73 �

Page 11: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

pengganti kantong kulit yang lama (adat-istiadat yang lama) (bandingkan Mat.9:17, Mrk

2:22; Luk.5:37) 6

Dalam praktek pelaksanaan tradisi penjualan anak zaman sekarang, memang orang

yang melaksanakannya tidak lagi melakukan ritual kuburan, juga mengawali dan

mengakhiri pelaksanaannya dengan doa, dan uang pembelian dipakai sebagai nazar ke

gereja. Jika dicermati dengan mendalam, pelaksanaan tradisi ini sudah “dikemas” dalam

cara Kristen, dengan kata lain, “kantong kulitnya telah diperbarui” tetapi esensinya

adalah esensi yang lama, atau “air anggurnya masih tetap air anggur yang lama”. Inti dari

pelaksanaan tradisi ini adalah menyerahkan sang anak kepada perjanjian dengan para

leluhur untuk mendapatkan keselamatan, kesehatan dan perubahan karakter. Ini adalah

“air anggur yang lama”, yang dilaksanakan dengan cara-cara Kristen atau “kantong kulit

yang baru.” Yesus berkata bahwa anggur yang baru hendaklah diisikan dalam kantong

kulit yang baru agar kedua-duanya terpelihara (Matius 9:17).�

Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang Farisi karena

melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek moyang. Dalam Matius 15:4-6, Yesus

memberi salah satu contoh bahwa orang-orang Yahudi, ahli-ahli Taurat dan orang Farisi

melanggar perintah Allah dalam hal menghormati orang tua dengan jalan menggunakan

materi atau uang yang seharusnya dipakai untuk pemeliharaan orang tua, tetapi

digunakan untuk persembahan kepada Allah, sesuai adat-istiadat nenek moyang Israel.

Menurut Yesus, tindakan mereka yang mengutamakan persembahan kepada Allah

menurut adat-istiadat nenek moyang menyebabkan perintah Allah untuk menghormati

orang tua bukan lagi menjadi satu kewajiban. “Orang itu tidak wajib lagi menghormati

bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi

adat istiadatmu sendiri” (Matius 15:6). Bandingkan juga teguran Yesus yang serupa

�������������������������������������������������������������6 Ibid, 75�

Page 12: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

dalam Markus 7:9,13, "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya

kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri”. “Dengan demikian firman Allah kamu

nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu”.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah memberikan manusia hidup

dan berkembang dalam adat-istiadat dan budaya, tetapi perintah Allah haruslah menjadi

dasar utama dari kehidupan manusia. Esensi dari setiap perintah dan aturan-aturan adat

seharusnya bukan pada setiap pantangan dan larangan-larangan yang lahiriah atau

ketaatan kepada leluhur dan nenek moyang, tetapi pada ketaatan akan perintah dan

kehendak Allah, serta pemujaan dan penghormatan akan Allah. Verkuyl berpendapat

bahwa di daerah-daerah yang telah mendengar Injil sekalipun, adat istiadat belum

merupakan sumber yang murni buat pengetahuan tentang kehendak Tuhan. Tiap-tiap

bentuk adat harus diuji dengan perintah-perintah Tuhan, dan manusia harus belajar

mengambil keputusan di hadirat Tuhan. “... kita sama sekali tak boleh berpendirian

bahwa kehendak Tuhan dapat kita ketahui dari adat-istiadat. Kehendak Tuhan itupun

tidak dapat kita ketahui dari adat-istiadat kuno sebelum agama Kristen”7

Jika dikaitkan dengan tradisi penjualan anak di Timor, beberapa pertanyaan yang

perlu direnungkan adalah : apakah adat-istiadat ini mengarahkan sang anak dan keluarga

pada pemujaan atau penyembahan kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus atau

mengarahkan pada pemujaan dan penundukan diri pada roh-roh leluhur yang sudah

meninggal? Apakah tradisi penjualan anak adalah salah satu bentuk ketaatan kepada

perintah Allah atau bentuk ketaatan kepada adat-istiadat dan tradisi turun-temurun yang

telah berlaku dalam keluarga yang orang tuanya telah melakukan tradisi ini sebelumnya?

Jika mencermati dengan mendalam, esensi tradisi penjualan atau penyingkiran anak

yang dilakukan masyarakat Timor dengan cara menyingkirkan atau memisahkan anak

�������������������������������������������������������������7 Ibid, 164�

Page 13: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

dari keluarganya (walaupun sekarang dikatakan dipisahkan hanya dalam pengertian pisah

secara adat), dapatlah dikatakan bahwa tradisi ini lebih mengutamakan adat-istiadat

nenek moyang dari pada perintah Allah, karena Firman Allah tidak pernah

memerintahkan orang tua untuk melepaskan atau menyingkirkan anaknya sendiri demi

mendapatkan kesehatan, keselamatan dan perubahan karakter. Firman Allah

memerintahkan agar anak-anak dibawa kepada Tuhan untuk diberkati dan mendapatkan

keselamatan dari Tuhan sendiri.

4. Pandangan Iman Kristen tentang Makna Anak dan Kondisi Psikologis Anak yang

Dipisahkan atau Disingkirkan

Setiap manusia yang terlahir di dunia mempunyai sebuah kebutuhan dasar yang

sama yaitu kebutuhan untuk dicintai dan memberikan cinta, diinginkan dan

menginginkan, dimiliki dan memiliki, diterima dan menerima. Abraham Maslow

mendaftarkan kebutuhan cinta, penerimaan dan memiliki sebagai salah satu kebutuhan

dasar, being needs (B-needs) dalam hierarki kebutuhannya.8Being needs berkaitan

dengan kebutuhan seseorang untuk membentuk diri seseorang menjadi manusia

seutuhnya. Setiap anak yang terlahir dan bertumbuh dalam satu keluarga sangat

membutuhkan keyakinan bahwa dirinya diinginkan, dinanti-nantikan dan diterima di

tengah-tengah keluarga. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi atau sang anak merasa bahwa

dirinya tidak diinginkan, tidak diterima oleh orang-orang yang dikenalnya sebagai

keluarga, maka akan berdampak kekosongan dalam jiwanya. Kesadaran sang anak

bahwa dirinya tidak diinginkan dan disingkirkan dari tengah-tengah keluarga karena ada

hal-hal dalam dirinya yang dapat mendatangkan malapetaka bagi salah satu orang tua

yang mirip dengannya, akan menimbulkan luka secara psikologis dalam diri sang anak.

�������������������������������������������������������������8 Jarvis, M. Teori-teori Psikologi- pendekatan modern untuk memahami perilaku, perasaan dan pikiran manusia (Bandung:

Penerbit Nusa Media, 2009)�

Page 14: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

Ketika seorang anak lahir dan bertumbuh, sangat penting baginya untuk merasakan

kenyamanan secara fisik dan perlindungan secara psikologis untuk pembentukan konsep

dirinya. Ia akan mengalami proses attachement atau kelekatan dengan orang-orang dekat

di sekelilingnya. Kelekatan dengan orang-orang yang mengasihinya akan membentuk

konsep diri yang kuat dalam diri sang anak. Anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang

merasa nyaman (secure) dengan dirinya sendiri karena mengetahui bahwa dirinya

diinginkan dan dikasihi. Sebaliknya perasaan tidak diinginkan dan penolakan akan

menanamkan konsep diri yang salah, menguatkan pembentukan pribadi yang tidak

nyaman, anak akan membenci diri sendiri dan bertumbuh menjadi pribadi yang hidup

dalam rasa tertolak dan terluka.

Seorang anak yang lahir sangat membutuhkan ada di tengah-tengah keluarganya,

karena keluarga adalah suatu sistem, suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian

yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan yang tidak hanya berlangsung satu

arah, tetapi suatu hubungan timbal balik yang berlangsung dua arah di mana orang tua

berinteraksi dengan anak dan sebaliknya anak berinteraksi dengan orang tua,. 9 Interaksi

dan hubungan timbal balik antara anak dan orang tua karena kasih, akan membentuk

pribadi anak menjadi seorang dengan konsep diri dan kepribadian yang stabil dalam

emosi, pemikiran dan spirit. Pola pengasuhan dan penerimaan seperti ini sejalan dengan

ajaran Tuhan Yesus untuk menerima dan menyambut seorang anak kecil dengan penuh

kasih, memberkati anak-anak, bukan menyesatkan mereka.

Alkitabmemberi penghargaan istimewa kepada anak-anak, sebagaimana ditemui dalam

beberapa bagian kitab Mazmur dan contoh-contoh dalam Perjanjian Baru. Mazmur

127:3-5 mengatakan, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada

TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan

�������������������������������������������������������������9 John W. Santrock, Perkembangan Anak, Jilid 2, Edisi ke-11 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002).�

Page 15: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah

membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu,

apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang”10

Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap

anak-anak, memeluk dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati

mereka. Yesus mengatakan bahwa siapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil

yang percaya kepada-Nya, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada

lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut. “Barangsiapa menyambut seorang anak

seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (Matius 18:5). Ayat-ayat dalam pasal

ini menunjukkan perintah Allah tentang bagaimana seharusnya memperlakukan seorang

anak, yakni tidak menyesatkannya tetapi menyelamatkannya dengan jalan membawanya

kepada Tuhan. Yesus mengajarkan agar tidak memandang rendah dan menyesatkan

seorang anak kecil, karena anak-anak mempunyai malaikat mereka di Sorga yang selalu

memandang wajah Allah Bapa. Yesus menyatakan isi hati Allah tentang anak-anak

dalam pernyataan-Nya, “Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki

supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang." (Matius 18: 14).11

Pernyataan ini menunjukkan bahwa anak-anak kecil mempunyai makna yang berharga di

mata Tuhan. Allah menghendaki keselamatan setiap anak.12. Allah memperhatikan

kebutuhan dasar dari sang anak, yakni penerimaan, penyambutan, penghargaan, cinta

kasih dan keselamatan. Allah tidak saja memperhatikan kebutuhan jasmani yakni

sandang, pangan dan papan bagi sang anak, tetapi memperhatikan kebutuhan psikologis,

dan keselamatan jiwa dan roh sang anak. Yesus sendiri berkata, “Biarkanlah anak-anak

itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang

yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Lukas 18:16, Matius 19:14).

�������������������������������������������������������������10Alkitab Terjemahan Baru, (LAI, Jakarta: 2000), Mazmur 127:3-5�11Alkitab Terjemahan Baru, (Jakarta: LAI,2000),Matius 18:5,14�12Alkitab Terjemahan Baru, (LAI, Jakarta: 2000), Mazmur 18:1-14�

Page 16: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

��

Tradisi penjualan anak mengatakan bahwa ada anak (yang memiliki kemiripan yang

identik dengan orang tuanya) yang bisa mendatangkan masalah, percekcokan, sakit

penyakit dan kematian di tengah keluarga, sehingga harus disingkirkan, dan dijual atau

diserahkan kepada orang lain, tetapi Firman Allah mengatakan bahwa setiap anak adalah

suatu upah atau reward, milik pusaka Tuhan, yang harus diterima, disambut, dikasihi,

dihargai dan dibawa kepada Tuhan, sumber keselamatannya.

Dilihat dari motif dan tujuannya, benar bahwa menjual atau menyingkirkan anak

didasari semata-mata oleh tujuan untuk keselamatan sang anak, tetapi jika melihat esensi

yang lebih mendalam dari tradisi ini, sesungguhnya orang tua sedang menyerahkan jiwa

dan roh sang anak dalam pengasuhan para leluhur yang ikatan perjanjian telah disepakati

sebelumnya oleh para leluhur terdahulu. Dalam tradisi penjualan atau penyingkiran anak,

orang tua bermaksud menunjukkan kasih dan tanggung jawab terhadap anak, tetapi tidak

menyadari konsekuensi terdalam bagi jiwa dan roh sang anak.

Sebuah pertanyaan yang penting untuk dipikirkan adalah apakah tradisi penjualan

atau penyingkiran anak pada hakekatnya menyelamatkan jiwa sang anak atau

menanamkan luka secara psikologis dalam jiwa sang anak? Jika mencermati motif dan

tujuan tradisi ini nampaknya dimotivasi oleh rasa kasih terhadap sang anak dengan tujuan

menyelamatkannya dari sakit penyakit, tetapi sebuah konsekuensi lain yang mungkin

tidak disadari oleh orang tua adalah luka psikologis yang dialami sang anak ketika

mengetahui bahwa dirinya adalah seorang anak yang tidak diinginkan, seorang anak yang

membawa malapetaka bagi salah satu orang tuanya, atau seorang anak yang menjadi

penyebab terjadinya ketidakcocokan hubungan dengan salah satu orang tuanya. Dengan

demikian orang tua menyelamatkannya dari kesakitan fisiknya tetapi menanamkan luka

dalam psikis sang anak, apalagi kalau sang anak benar-benar disingkirkan dari tengah-

tengah keluarga sebagaimana budaya orang Meto (Timor), sang anak dapat membawa

Page 17: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

��

luka seumur hidup dalam jiwanya karena mengetahui bahwa dirinya adalah pembawa sial

dan mendatangkan malapetaka atau kutukan di tengah-tengah keluarga. Luka secara

psikologis karena tidak diinginkan, penolakan dan penyingkiran dari keluarga lebih

berkuasa mematikan masa depan sang anak dari pada sakit fisik yang dialami.

Mengacu dari paparan di atas tentang pandangan Alkitab tentang makna anak

kondisi psikologis anak yang disingkirkan, dapat disimpulkan bahwa tradisi penjualan

dan penyingkiran anak dengan segala motif dan alasannya, bukanlah sebuah cara yang

tepat untuk menunjukkan kasih kepada sang anak.

B. Implikasi Etis-Teologis dalam Jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor

(GMIT)

Setelah mengkaji tradisi penjualan atau penyingkiran anak dan menganalisanya dari sudut

pandang iman Kristen, disimpulkan beberapa implikasi etis yang dihasilkan dari

pemberlakuan tradisi ini. Tradisi penjualan atau penyingkiran anak menunjukkan besarnya

kasih keluarga atau orang tua terhadap sang anak yang ditunjukkan dengan kerelaan

melepaskan atau menyerahkan anaknya kepada orang lain demi mendapatkan kembali

keselamatan sang anak. Motivasi kasih orang tua terhadap anak dalam pemberlakuan tradisi

ini adalah sebuah contoh yang perlu dimiliki oleh semua orang tua.

Upaya melakukan penjualan atau penyingkiran anak adalah salah satu bentuk antisipasi

untuk menolak bahaya yang akan datang menimpa keluarga akibat kemiripan tersebut.

Implikasinya menggambarkan rasa tanggung jawab keluarga atau orang tua terhadap masalah

atau bahaya yang dirasakan sedang dihadapi oleh sang anak dan oleh salah satu orang tua

yang mirip dengan sang anak.

Selain itu, tradisi penjualan anak adalah sebuah tradisi yang dilakukan turun temurun atau

merupakan warisan yang diteruskan dari orang-orang tua sebelumnya. Karena itu sebuah

Page 18: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

keluarga yang dahulu pernah melakukan tradisi ini, maka keturunannya pun akan terus

melakukan tradisi ini turun-temurun. Hal ini menunjukkan adanya rasa hormat dan ketaatan

dari keluarga terhadap tradisi atau adat kebiasaan yang telah dilakukan di tengah-tengah

keluarga turun-temurun. Suatu bukti bahwa anak-anak atau keturunan dari keluarga yang

pernah melakukan tradisi ini sebelumnya menghormati kesepakatan yang telah diikat oleh

orang-orang tua terdahulu dengan para leluhur.

Pelaksanaan tradisi penjualan atau penyingkiran anak pada zaman dulu melibatkan ritual

khusus di kuburan untuk meminta persetujuan para leluhur, berbeda dengan pelaksanaannya

pada zaman sekarang, di mana cara-cara Kekristenan ikut diterapkan, misalnya didahului dan

diakhiri dengan doa, juga uang pembelian dipakai sebagai nazar ke gereja. Implikasi dari

perubahan yang terlihat adalah masyarakat adat tidak menutup diri terhadap unsur

Kekristenan dalam adat dan kebudayaan, sekalipun terlihat kesan bahwa iman sedang

dicampurbaurkan dengan adat dan tradisi, namun sikap keterbukaan masyarakat adat dalam

proses pelaksanaan yang “dikemas” dengan cara Kristen, adalah sebuah awal yang

menjanjikan bagi pembaharuan yang lebih mendalam bagi kehidupan spiritual.

Tradisi penjualan atau penyingkiran anak dimotivasi oleh kasih untuk tujuan

keselamatan, tetapi esensinya dipertanyakan; kepada kuasa siapakah jiwa dan roh sang anak

diserahkan? Kepada kuasa para leluhur atau kepada kuasa Allah yang benar di dalam Tuhan

Yesus Kristus? Dengan mengijinkan tradisi ini tetap diberlakukan, gereja perlu

mempertimbangkan faktor keselamatan jiwa dan roh sang anak. Setelah penjualan, sang anak

mendapatkan kesehatan dan watak atau karakternya didamaikan dengan orang tua yang

sebelumnya mengalami ketidakcocokan. Kesehatan dan keselamatan itu diperoleh setelah

keluarga memenuhi tuntutan menjual anaknya sesuai kesepakatan yang pernah dibuat orang

tua terdahulu dengan para leluhur. Dengan demikian, sesungguhnya nyawa dan roh sang anak

diberikan kepada para leluhur sebagai jaminan kesehatan dan keselamatan yang diminta. Hal

Page 19: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

ini menunjukkan bahwa jiwa dan roh sang anak telah terjual kepada para leluhur. Mereka

menerima jiwa dan roh sang anak lalu mengembalikan kesehatannya, sesuai perjanjian

terdahulu.

Untuk menyikapi tradisi penjualan atau penyingkiran anak, gereja perlu melihat hati

Tuhan terhadap anak-anak, pandangan Alkitab tentang makna seorang anak, dan perintah

firman Tuhan tentang memperlakukan seorang anak. Gereja perlu mempertanyakan, apakah

tradisi penjualan dan penyingkiran anak adalah budaya yang menjunjung tinggi Firman Allah

atau budaya yang menentang kehendak Tuhan? Jika menjual atau menyingkirkan anak adalah

tradisi atau budaya yang bertentangan dengan perintah dan kehendak Allah, maka gereja perlu

melakukan usaha “pengudusan kebudayaan”.

“Pengudusan sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya 13 Sikap pengudusan yaitu umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk menguduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah memuliakan Allah, tidak menduakan Allah, tidak menyembah berhala dan mengasihi manusia dan kemanusiaan”14

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah faktor psikologis yang dialami anak yang

dijual atau disingkirkan. Sekalipun anak diberitahu bahwa penjualan atau penyingkirannya

semata-mata dimotivasi oleh kasih demi keselamatannya dan kebaikan seluruh keluarga,

namun kesadaran bahwa dirinya adalah anak yang mendatangkan masalah, sakit penyakit dan

percekcokan, bahkan kematian bagi salah satu orang tuanya, dapat menumbuhkan rasa

tertolak dan luka psikologis dalam diri sang anak. Kenyataan bahwa sang anak harus

diserahkan kepada orang lain dan memiliki orang tua yang baru, dapat membuat sang anak

mengalami kebingungan dalam proses penemuan jati dirinya yang sesungguhnya. Gereja

perlu mengkaji pelaksanaan tradisi ini dengan mempertimbangkan dampak psikologis yang

dialami oleh seorang anak yang dijual atau disingkirkan dari tengah-tengah keluarga.

�������������������������������������������������������������13 Ema Yunita Amelia Dima, “Bayar Tulang Kepala” (Suatu Kajian Sosio-Teologis terhadap Upacara Kematian di Jemaat Siloam

Bitobe Kecamatan Amfoang Selatan, (Salatiga, 2008) dikutip dalam www.yabina.org/Tanyajawab/Feb_02.htm�14 Ibid�

Page 20: BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO ...€¦ · Pandangan iman Kristen tentang tradisi penjualan anak dapat dijelaskan dengan memaparkan analogi Alkitab tentang pertukaran

���

Pelaksanaan tradisi penjualan atau penyingkiran anak zaman sekarang memang sudah

berbeda dari zaman dulu dengan diterapkannya cara-cara Kristen secara teknis, tetapi gereja

perlu mencermati esensi tradisi ini lebih mendalam, untuk melihat apakah tradisi ini benar-

benar didasarkan pada kasih Allah dan menghormati Allah dan kehendaknya. Jika diuji

dengan Firman Allah dan didapati bahwa tradisi penjualan atau penyingkiran anak adalah

sebuah tradisi yang tidak diperintahkan oleh Tuhan dan hanya dilakukan karena mengikuti

kebiasaan turun-temurun yang telah dilakukan para leluhur terdahulu, maka gereja perlu

meninjau kembali pemberlakuannya dan memikirkan usaha pengudusan kebudayaan untuk

kemuliaan Tuhan.