Upload
lemien
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
34
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan menganalisis setiap data yang dapat menjawab
permasalahan penelitian, “Bagaimana analisis wacana kritis maskulinitas
Menteri Susi Pudjiastuti sebagai pemimpin Perempuan di Indonesia dalam
tayangan Kick Andy Metro TV edisi 8 April 2016?”. Penelitian ini
menggunakan analisis wacana kritis oleh Sara Mills, dimana wacana
feminisme dilihat melalui bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks dan
gambar. AWK Sara Mills ini juga sering disebut wacana berperspektif feminis
karena melalui analisa ini akan mengemukakan bagaimana teks bias dalam
menampilkan sosok perempuan, bagaimana juga sosok perempuan ditampilkan
sebagai pihak yang salah dan marginal dibandingkan dengan laki-laki.
Beberapa hal mengenai bias diatas yang menjadi fokus utama Sara Mills
(Darma,2009:85). Analisis ini didasarkan pada pemahaman konsep hegemoni
maskulinitas dan peran media dalam membangun pemahaman dalam
masyarakat melalui tayangannya.
Analisis Sara Mills memiliki 2 tahapan analisis, pertama akan
menjelaskan mengenai posisi subjek-objek dalam teks, dalam wacana media
yang dipandang bukanlah ranah yang netral dilihat Mills memiliki aktor
tertentu yang ingin ditampilkan dalam suatu teks sebagai pencerita dirinya
sendiri atau kelompok maupun peristiwa lain, aktor ini diposisikan sebagai
Subjek dalam teks, aktor yang berada dalam posisi ini akan menentukan unsur
teks yang akan dibangun, Mills juga mengembangkan bahwa dalam suatu teks
terdiri dari beberapa aktor yang berperan membangun sebuah teks utuh, namun
tidak semua aktor dapat memiliki peran yang sama yaitu sebagai Subjek,
namun ada aktor yang akan diposisikan sebagai Objek, yaitu aktor yang
representasinya dihadirkan atau diceritakan oleh aktor lain. Selanjutnya,
35
tahapan kedua menjelaskan mengenai Penulis-Pembaca, tahapan ini menjadi
salah satu inovasi baru yang dikembangkan Mills dalam studi Critical
Discourse, kebanyakan tokoh AWK mengembangkan pemikiran dnegan
membatasi hanya pada latar belakang penulis, Mills memandang bahwa teks
merupakan hasil negosiasi antara penulis dan pembaca, pembaca dipandang
memiliki peran dalam transaksi pembentukan suatu teks, selain itu, Mills
menambahkan bahwa dalam suatu teks kata ganti orang seperti saya, kita dan
kalian mampu menunjukan bahwa pembaca menjadi bagian yang integral
dalam keseluruhan teks, sehingga menjadi penting bagi peneliti dalam studi
teks untuk melihat posisi penulis dan juga pembaca, hal ini akan memberikan
keuntungan yaitu peniliti akan mampu melihat teks tidak hanya dari proses
produksi namun juga proses resepsi oleh pembaca. (Eriyanto,2011:203)
TINGKAT YANG INGIN DILIHAT
Posisi Subjek-Objek Bagaimana peristiwa dilihat, kacamata isapa
peristiwa ini dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai
pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek
yang diceritakan. Apakah masing-masing actor dan
kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk
menampilkan dirinya sendiri, gagasannya ataukah
kehadirannya, gagasan ditampilkan oleh
kelompok/orang lain.
Posisi Penulis-Pembaca Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks.
Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam
teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah
pembca mengidentifikasi dirinya.
Sumber : Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media (Eriyanto,2001:211)
Tabel 5.1
Kerangka Analisis Wacana Sara Mills
36
Dari cara pandang yang dijelaskan diatas akan membantu peneliti
dalam menganalisis bagaimana wacana maskulinitas Menteri Susi Pudijiastuti
yang direpresentasikan dalam teks yang di hadirkan Talkshow Kick Andy
Metro TV edisi 8 April 2016. Dalam analisis ini, peneliti akan membagi
sumber data yang telah di reduksi berdasarkan adanya nilai maskulinitas
dalam teks, teks akan di bagi dalam 5 Sub-bab :
5.1.1. Judul Lead Talkshow “Kartini Bernyali”
5.1.2. Segmen 1
5.1.3. Segmen 4
5.1.4. Segmen 5
5.1.5. Segmen 6-Closing
5.1. Analisis pada Talkshow Kick Andy Edisi 8 April 2016
5.1.1. Judul Lead Talkshow “Kartini Bernyali”
Gambar 5.1. Judul Lead Talkshow Kick Andy 8 April 2016
Sumber : Tayangan Kick Andy edisi 8 April 2016
37
A. Posisi Subjek-Objek
Terlihat dari data diatas memposisikan Tim Creative selaku tim
produksi content talkshow sebagai Subjek dan Menteri Susi sebagai objek
yang diceritakan dalam teks ini. Tim Creative sebagai Subjek mencoba
untuk memposisikan Objek Menteri Susi sebagai sosok yang
merepresentasikan Kartini, yaitu sosok perempuan pejuang di masanya.
Dalam hal ini subjek ingin memposisikan objek sebagai Kartini di masa
kini di mata pemirsanya.
Judul ini ditayangkan pada 8 April 2016 dimana merupakan edisi
menyongsong hari Kartini 21 April 2016, beberapa deretan tema
menyongsong kartini diusung namun edisi “Kartini Bernyali” ini
ditayangkan di minggu pembuka, sehingga ketertarikan masyarakat telah
didapatkan sejak awal karena sosok Susi yang kontroversial di masyarakat
yang ditunjukan melalui beberapa pemberitaan menyangkut penampilan
dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Susi selaku Menteri Kelautan dan
Perikanan, hal ini juga diakui oleh Susi melalui pemberitaan Republika
News pada 27 Juli 2016 lalu.
"Saya dikenal kontroversial dalam memerangi
penangkapan ikan secara ilegal," kata Menteri Susi saat
membuka Ministerial Meeting on Traceability of Fish and
Fisheries Product di Jakarta, Rabu (27/7)1.
Tayangan ini juga dengan jelas memilih topik utama “Kartini
Bernyali” dan narasumber utama adalah Susi Pudjiastuti. Melalui judul
1 Hermawan,Bayu. 2016. Menteri Susi : Saya Dikenal Kontroversial diakses melalui
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/07/27/oaywc0354-menteri-susi-saya-dikenal-kontroversial pada 4 Mei 2017
38
topik ini pemirsa juga dapat mengerti dengan jelas bahwa objek akan
diceritakan dalam teks ini sebagai sosok kartini di jamannya yang
memiliki karakter “bernyali”.
Melalui pemilihan kata “bernyali” yang dalam beberapa definisi
berarti Have the courage to do something (Oxford Dictionary) atau
mempunyai keberanian; berani (KBBI,2017) melalui kata definisi diatas
kata “bernyali” tersebut digunakan sebagai penggambaran karakter utama
yang ingin ditonjolkan dari Susi, subjek ingin mengkonstruksikan dalam
pikiran pemirsa Susi sebagai sosok yang bernyali atau memiliki
keberanian dalam hal-hal yang dilakukannya dan dengan adanya kata
“Kartini” memperjelas konteks pembicaraan sosok yang bernyali sebagai
pejuang perempuan yang memiliki pengaruh dan memberikan perubahan
dalam negaranya.
Dalam 8 Konsep maskulinitas dari zaman ke zaman yang
dikemukakan oleh Dermantoto, keberanian menjadi salah satu point yang
dikemukakannya sebagai tolak ukur maskulinitas seseorang yaitu dalam
konsep Give em hill yaitu konsep yang menggambarkan karakter
maskulinitas seorang laki-laki sebagai sosok yang memiliki aura
keberanian dan agresi serta berani mengambil resiko sekalipun rasa takut
menginginkan sebaliknya (Dermantoto,2010). Sehingga dengan
penggunaan kata “Kartini Bernyali” subjek ingin menunjukan sosok Susi
sebagai Pejuang perempuan yang berbeda dengan perempuan biasanya
atau lebih maskulin karena perempuan pada masyarakat umum di labeli
karakter feminin dengan menggunakan kata “bernyali” yang
dikonstruksikan sebagai kata yang menggambarkan karakter maskulinitas.
39
B. Posisi Pembaca
Dalam studi media melalui tayangan televisi maka wacana yang
hadir memiliki pemirsanya sebagai Aktor yang berperan sebagai Pembaca,
demikian pula dalam wacana ini. Posisi penulis dalam data diatas adalah
Subjek yang dijelaskan dalam penjelasan di atas yaitu Tim Creative atau
Tim Produksi, sedangkan yang menjadi Pembacanya adalah pemirsa di
Studio dan Pemirsa yang menonton tayangan ini.
Melalui judul “Kartini Bernyali” yang menjadi hal pertama yang
akan didengar pemirsa ketika menonton tayangan ini, penulis ingin
mengkonstruksikan kesan awal karakter Susi sebagai sosok perempuan
pejuang masa kini yang berani dalam berbagai hal yang dihadapinya,
sehingga seiring dengan berbagai pertanyaan yang akan dilontarkan
kepada Susi mengenai hal-hal yang dihadapinya dalam bekerja maupun
mengenai perjuangan kehidupannya, pemirsa selaku penonton disini telah
terbawa dan terus dibangun pikirannya melalui alur yang diinginkan
penulis untuk mengkonstruksikan Susi sebagai Kartini Bernyali.
5.1.2. Segment 1
5.1.2.1. Penggunaan Tattoo
A. Posisi Subjek-Objek
Dalam data berikut posisi Tim Creative atau Tim Produksi
masih sebagai Subjek dan Susi sebagai Objek. Dalam data ini Subjek
menceritakan mengenai penampilan dari objek yaitu Perokok,
berpenampilan urakan dan Tattoo, dengan bertolak dari kontroversi yang
ada di masyarakat mengenai penampilan Susi, Subjek menceritakan dan
memperkuat konstruksi tersebut dengan memilih bahasa yang merupakan
hasil konstruksi maskulinitas sehingga menunjukkan bahwa penampilan
40
Susi berbeda dari sosok perempuan yang dianggap sebagai kartini-kartini
saat ini yaitu sosok yang feminine dan berpenampilan anggun.
Melalui perbincangan pertama antar Host dan Susi, hal yang
diperbincangkan pertama adalah tattoo yang dimiliki susi di bagian betis
kaki kanannya.
Dalam teks tersebut subjek mencoba untuk untuk membuka
perbincangan dengan mengarahkan perbincangan pada perubahan yang
dirasakan Susi, hal tersebut akan mengantar Susi pada penjelasannya
mengenai hal-hal yang biasanya dilakukan ke hal yang tidak biasa
dilakukan, dengan jelas Susi mencoba untuk menjelaskan hal-hal umum
yang biasanya di lakukan. Namun dengan kalimat “Sekarang tattoo nya
ditutupin ya” Andy mengarahkan Susi untuk membicarakan mengenai
penampilannya yang menjadi kontroversi di masyarakat saat ini, dengan
Andy: terimakasih bu Susi, silahkan duduk. Apa kabar? dulu kan
saya mengundang anda di Kick Andy, menceritakan kisah hidup anda
ya, dari anak yang cuman lulusan SMP berjuang keras, bekerja
keras, kemudian sukses, kali ini sebagai menteri . Apa perbedaan
yang paling anda rasakan sebagai pengusaha dan sebagai menteri ?
Susi : lebih enak dan bebas sebagai seorang pengusaha, lebih mudah
karena mau jadi hari ini terserah, mau besoak terserah, tidak
bersinggungan dengan berbagai kepentingan cuman kepentingan
perusahaan dan saya kalau sekarang serba susah dan harus diliput di
mana-mana, jadi kadang tidak boleh dulu kalo duduk seenaknya
sedangkan sekarang tidak bisa, dulu mau keluar pake baju sesukanya,
sekarang tidak bisa.
Andy : sekarang tattoo nya ditutupin ya
Susi : Iya, gak juga sih kadang-kadang, kadang capek ya dilepas saja
41
pemilihan kata “ditutupin” atau bentuk aktif nya adalah “menutupi”
dengan bentuk asli dari bahasa Old French yaitu Covrir yang berarti
Placer, disposer quelque chose sur quelque chose d'autre ou sur quelqu'un,
en particulier pour le protéger ou le cacher à la vue (Larrouse Dictionary)
yang dapat berarti mengatur posisi/tempat sesuatu atau seseorang atas
sesuatu atau seseorang untuk melindungi atau menyembunyikannya dari
pandangan orang lain atau agar tidak terlihat, dengan kontroversi yang ada
di masyarakat saat ini maka kata ini akan berkonotasi negatif, karena dalam
pandangan masyarakat adanya usaha untuk menyembunyikan atau
melindungi tattoo tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan di Jagiellonian University
Medical College di Polandia menunjukkan 2.369 perempuan dan 215 pria
setuju bahwa tato memperkuat nilai maskulin orang yang memilikinya,
sehingga sekalipun di Indonesia sendiri Tattoo berasal dari budaya Tattoo
suku dayak, namun dalam perekembangannya di masyarakat, hal ini sudah
dipandang sebagai hal maskulin, sehingga perempuan yang memiliki tattoo
akan dipandang tidak baik dan terlalu tomboy. Sehingga dengan pemilihan
bahasa “menutupi tattoo” menunjukkan Susi sebagai sosok perempuan
yang ingin tetap memiliki tattoo namun menutupi/menyembunyikannya
hanya agar tidak terlihat dari pandangan media atau masyarakat.
B. Posisi Pembaca
Selanjutnya, dengan respon yang diberikan Susi mengenai
perkataan Andy terlihat bahwa Susi memposisikan diri sebagai Penulis
disini yang menceritakan mengenai dirinya dan tattoo yang dimilikinya dan
dalam hal ini masih Pemirsa masih diposisikan sebagai Pembaca.
Andy : sekarang tattoo nya ditutupin ya
Susi : Iya, gak juga sih kadang-kadang, kadang capek ya dilepas saja
42
Melalui teks diatas, Susi sendiri juga menyetujui bahwa dia
berusaha menutupinya, namun karena baginya tattoo merupakan hal
penting baginya sehingga menimbulkan ketidaknyamanan ketika hal
tersebut ditutupi, hal ini dapat dilihat dengan perkataan Susi “kadang capek
ya lepas saja” dengan perkataan ini menunjukan pada masyarakat atau
pemirsa bahwa Susi sendiri merasa tidak nyaman ketika tattoo nya ditutupi
atau menyembunyikan tattoo nya, dalam KBBI “lepas” sendiri diartikan
sebagai “bebas dari ikatan dan tidak terikat lagi” atau “tidak tertambat”
yang menunjukan maksud kalimat yang menggunakan kata ini adalah
aktivitas yang dilakukan berlawanan dengan yang ada sebelumnya, atau
yang dilakukan sebelumnya, terikat menjadi terlepas, sehingga akan
membangun pikiran dalam masyarakat selaku pembaca disini kalau Susi
sendiri nyaman, dengan tattoo nya karena merasa terikat ketika ditutupi dan
hal ini juga memperkuat pandangan maskulin oleh masyarakat pada Susi,
karena konstruksi tattoo yang berkembang di masyarakat saat ini.
5.1.2.2. Tegas, Berani dan Konsisten
A. Posisi Subjek-Objek
Data berikut ini mengenai “Sepak Terjang Menteri Kelautan
dan Perikanan” yang diselipkan dalam bentuk video singkat di dalam
tayangan Kick Andy, berikut data berupa elemen Audio dari video
tersebut :
“Kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan ini banyak
membuat orang tercengang dan kaget, tindakan menteri kelautan
Susi Pudjiastuti yang tegas tanpa kompromi memicu kontroversi
karena dinilai lebih berani dari pejabat sebelumnya, namun seiring
berjalannya waktu dan ketegasannya serta konsistensinya Susi
Pudjiastuti dalam memerangi para pencuri ikan itu akhirnya
banyak dukungan dari masyarakat”
43
Dari data diatas, posisi subjek dalam teks adalah Narator
pencerita, yang menceritakan sosok Susi selaku objek dari sisi
perkembangan kinerja yang telah dilakukan Susi terkhususnya dalam
penerapan kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan di laut
Indonesia. Dari teks tersebut, terlihat Narator ingin menceritakan
perbedaan Susi dengan perempuan-perempuan lain atau bahkan
Menteri-menteri sebelumnya, dengan kalimat :
Menunjukan bahwa inti cerita dari Narator adalah menilai
sikap Susi dari pandangan masyarakat pada umumnya, dengan
mengangkat fenomena yang ada mengenai kebijakan penenggelaman
kapal pencuri ikan pada masa kerja Susi, Subjek ingin menceritakan
bahwa dalam penerapan kebijakan tersebut Susi dinilai masyarakat
sebagai sosok yang tegas, tanpa kompromi dan berani. Dalam hal ini
„tegas‟ (Assertive) dapat diartikan sebagai someone who is not
frightened to say what they want or believe (Cambridge Dictionary)
atau seseorang yang tidak takut dan tidak ragu dalam menyampaikan
apa yang mereka inginkan atau percayai. Kemudian, kata selanjutnya
memperkuat maksud kata „tegas‟ tersebut, yaitu „tanpa kompromi‟
dalam konteks kalimat ini kata „kompromi‟ sendiri dapat diartikan
sebagai “to allow your principles to be less strong or your standards
or morals to be lower” (Cambridge Dictionary) atau the acceptance of
standards that are lower than is desirable yang dapat dibahasakan
dengan tindakan menerima kesepakatan untuk menurunkan standar
tindakan menteri kelautan Susi Pudjiastuti yang tegas tanpa
kompromi memicu kontroversi karena dinilai lebih berani dari
pejabat sebelumnya
44
mengenai suatu hal dapat berupa aturan ataupun nilai moral yang
berlaku, dalam konteks ini dapat kita hubungkan dengan kebijakan
yang diberlakukan Susi, dengan kata „tanpa‟ membuat arti dari
„kompromi‟ tersebut menjadi kalimat negatif yang berarti Susi
menolak atau tidak pernah menerima penurunan nilai atau standar
yang telah diberlakukan dalam kebijakannya. Makna kalimat tersebut
semakin jelas dan menunjukan maksud Subjek mengenai karakter
kepemimpinan Susi. Dalam masyarakat Indonesia perilaku ini masih
umum dilakukan oleh laki-laki,
Dari penjelasan diatas mengenai posisi teks dalam menjelaskan
karakter kepemimpinan Susi, masyarakat jelas memandang Susi
sebagai sosok yang tegas dan berani, karakter ini dikategorikan
sebagai karakter maskulin, salah satu konsep yang dapat menjelaskan
kosntruksi maskulin di atas adalah konsep oleh Donaldson (1993)
dalam Dermantoto (2010) bahwa dalam masyarakat terdapat tolak
ukur maskulinitas yang tidak tertulis namun disepakati bersama salah
satunya yaitu laki-laki pantang menangis, harus tampak tegar, kuat dan
pemberani. Sehingga pandangan maskulin pada Susi sangat kuat
dalam masyarakat dengan konstruksi nilai-nilai maskulinitas yang
berkembang saat ini.
B. Posisi Pembaca
Dalam teks ini, pembaca yaitu pemirsa mencoba dibuka
pemikiran mereka mengenai sosok Susi sebagai perempuan yang
tegas, berani dan konsisten dalam menjalankan tugasnya sebagai
seorang Menteri. Pembaca dihantar untuk menerima sosok Susi yang
digambarkan dalam teks tersebut dengan melihat perjalanan Susi dari
45
awal yang dipandang sebagai kontroversi, serta dibanding-bandingkan
dengan pejabat-pejabat sebelumnya kemudian pembaca digiring untuk
melihat konsistensi Susi melalui dukungan elemen visual dan audio
yang menunjukan bukti nyata kinerja Susi dalam menjalankan
kebijakannya dan juga dengan pemilihan kata pada elemen audio yang
meyakinkan pembaca mengenai karakter Susi yang tegas dan berani
tersebut.
Sumber : Kick Andy „Kartini Bernyali‟ Edisi 8 April 2016
Sumber : Kick Andy „Kartini Bernyali‟ Edisi 8 April 2016
Gambar 5.2. Penenggelaman Kapal
Gambar 5.3. Susi memberikan komando Penenggelaman
Kapal
46
Dari penjelasan diatas, video ini disajikan guna untuk
meyakinkan pembaca sebagai masyarakat Indonesia, bahwa Menteri
Kelautan dan Perikanan mereka yang diragukan dan menjadi
kontroversi justru membawa bukti nyata dengan kebijakan-kebijakan
yang berhasil dijalankannya, sehingga dalam pemikiran masyarakat
Susi adalah hero atau pejuang perempuan yang tegas dan berani serta
konsisten dalam dunia kelautan Indonesia dan layak dipandang
sebagai „Kartini‟ dalam bidangnnya.
5.1.3. Segment 4
5.1.3.1. Perempuan Baja
A. Posisi Subjek-Objek
Teks diatas meceritakan pandangan masyarakat mengenai Susi
yang dlihat sebagai sosok perempuan kuat dan tangguh bagaikan baja.
Susi di posisikan sebagai objek dan masyarakat diposisikan menjadi
Subjek yaitu sosok yang menceritakan Susi sebagai perempuan kuat dan
berhati maupun memiliki fisik baja. Subjek ingin menunjukan sosok Susi
Andy : Bu Susi dari semua yang anda kerjakan banyak orang menganggap
anda ini perempuan baja, perempuan kuat, hati maupun fisik tapi sebagai
manusia pernah gak merasa lelah terutama jadi menteri ini ?
Susi : Ya, Sering.
Andy : Oh Sering ?
Susi : Ya kadang-kadang tuh pengen sesuatu seperti ini tetapi ternyata tidak
bisa karena karena ini pemerintah begini-begini (cuplikan rapat KKP yang
dipimpin menteri Susi ), banyak harus menjelaskan lagi, harus explaining
lagi, kenapa di tenggelamkan ? kenapa tidak dibagikan ke nelayan,
pertanyaan itu setiap minggu ada saja orang baru tanyakan.
47
sebagai perempuan yang „tahan banting‟ entah dari segi karir maupun
dalam memimpin di Kementrian Kelautan dan Perikanan. Susi sebagai
pemimpin perempuan yang menjadi panutan bagi pemimpin lain dianggap
sebagai sosok yang kuat, dari percakapan mengenai topik ini, respon Susi
menunjukan bahwa masyarakat memandang Susi sebagai perempuan yang
selalu kuat tanpa pernah memikirkan kejenuhan yang dihadapinya.
Melihat konteks kalimat dan pemilihan kata dari teks diatas,
dalam KBBI makna kata baja disini dapat diartikan dari dua sisi, sebagai
kata kiasan yang berarti sesuatu yang keras dan kuat (tentang semangat,
kemauan, dan sebagainya) ataupun sebagai kata kerja yang berarti
mengeras seperti baja; seperti baja kerasnya (kuatnya), hal ini menunjukan
bahwa Susi dipandang sebagai perempuan kuat dan keras dari fisik dan
dari sikapnya. Dalam pembahasan mengenai Susi sebagai seorang Kartini
bernyali, kalimat ini mendukung adanya pandangan masyarakat mengenai
Kartini bernyali itu adalah sosok perempuan yang kuat dan keras, dimana
karakter-karakter ini kuat kaitannya dengan konstruksi maskulinitas di
masyarakat.
Andri Wang dalam bukunya berjudul Dao De Jing : The
Wisdom of Lao Zi (2009) menjelaskan bahwa terdapat beberapa karakter
maskulin yaitu kewibawaan, kuat, angkuh, arogan, perkasa dan keras,
sehingga ketika seorang individu sudah memiliki karakter maskulin ini
maka individu tersebut harus menyimpan sisi feminim dalam dirinya agar
mampu mengimbangi karakter keras yang dimilikinya. Selain itu, konsep
ini juga diperkuat dengan konstruksi maskulinitas yang dijelaskan pada
sub-bab sebelumnya 5.1.2.2. mengenai konsep dari Donaldson (1993)
dalam Dermantoto (2010) bahwa dalam masyarakat terdapat tolak ukur
maskulinitas yang tidak tertulis namun disepakati bersama salah satunya
yaitu laki-laki pantang menangis, harus tampak tegar, kuat dan pemberani.
48
Konsep diatas dapat mendukung pandangan masyarakat
mengenai karakter maskulin, ketika konsep tersebut dimiliki oleh seorang
perempuan yaitu dalam penjelasan data teks diatas masyarakat melihatnya
didalam cara memimpin Susi, hal ini menunjukan adanya konstruksi
perempuan maskulin dalam masyarakat pada Susi, dengan pelabelan
perempuan baja dan kuat tersebut.
A. Posisi Pembaca
Dalam data di atas, posisi penulis adalah masyarakat yang
memandang Susi sebagai sosok perempuan baja dan perempuan kuat
baik hati maupun fisik, sedangkan pemirsa ataupun masyarakat disini
adalah pembacanya. Dalam hal ini pemirsa disini lebih khususnya
pemirsa yang belum memiliki anggapan atau belum mengetahui sosok
Susi yang dipandang perempuan baja dan kuat, sehingga melalui teks
diatas, penulis ingin menyampaikan bahwa Susi adalah sosok yang
tahan banting dan kuat dalam menjalani tugasnya sebagai seorang
Menteri, berbeda dari perempuan-perepuan lain yang cenderung
dipandang lemah lembut secara fisik maupun hati.
Dengan penjelasan di atas mengenai makna setiap pemilihan
kata dalam teks, Penulis membangun pandangan dalam Pembacanya
mengenai Susi yang cenderung lebih maskulin dan mengantar
pemikiran pembacanya pada wacana maskulin yang dibangun pada
Susi.
Sedangkan dalam kalimat selanjutnya, posisi penulis berpindah
pada Susi, dan pembaca adalah seluruh pemirsa yang melabelinya
dengan perempuan baja ataupun masyarakat yang belum memiliki
anggapan tersebut.
49
Rangkaian kalimat diatas menjelaskan bahwa Susi ingin para
pembacanya mengetahui bahwa dibalik sisi perempuan baja yang
dikonstruksikan padanya, Susi jenuh dengan pandangan masyarakat
tersebut yang terus bertanya-tanya mengenai tindakannya dalam
penenggalaman kapal yang sudah sering dijelaskannya, kata lagi yang
diulang Susi terus menerus diatas menunjukan pengulangan penjelasan
yang menjenuhkannya. Dengan penempatan kalimat tersebut dalam
perbincangan mengenai sosoknya sebagai Kartini Bernyali mengantar
masyarakat yang membaca teks ini berpikir bahwa Susi hanya ingin
menunjukan kinerjanya dari tindakan nyata nya tanpa perlu
menjelaskan berulang-ulang maksud dan tujuan tindakannya. Hal ini
memperkuat pandangan masyarakat pada sosok Susi yang keras yang
dengan jelas menunjukan ketidaknyamanannya ketika sesuatu hal
meganggunya dalam hal ini penjelasan yang terus menerus diulangnya
dan menjenuhkan.
5.1.3.2. Penampilan Nyentrik dan Urakan
A. Posisi Subjek-Objek
banyak harus menjelaskan lagi, harus explaining lagi, kenapa di
tenggelamkan ? kenapa tidak dibagikan ke nelayan, pertanyaan itu setiap
minggu ada saja orang baru tanyakan.
Andy : jadi dari mana pak Jokowi tau anda ya ? tanya sendiri ? oke,
gaya anda kan berbeda dengan pak Jokowi, anda kan minta maaf ni ya,
agak urakan gitu lo, agak kacau itu gitu ya, ini perasaan saya.
Susi : Tapi very manner loh pak
Andy : maksud saya penampilan, maksud saya pak Jokowi kesannya
lembut, santun gitu
50
Dalam data teks diatas, menjelaskan mengenai bagaimana dari
penampilan Susi yang demikian bisa mengenal Presiden Jokowi. Dalam
teks ini aktor yang berperan sebagai Subjek adalah Andy Noya dan Objek
yang di ceritakan disini sebagai sosok urakan dan kacau adalah Susi.
Dalam teks yang menceritakan sosok Susi sebagai Kartini, penampilan
urakan dan kacau menjadi salah satu hal kontras yang menarik perhatian
Subjek untuk menceritakannya kepada publik sebagai salah satu faktor
penampilan kartini yang tidak dimiliki „Kartini-kartini‟ pada umumnya.
Subjek menceritakan penampilan Susi sebagai sosok kartini
yang dipandang urakan dan kacau, pemilihan kata ini dalam konteks
kalimat diatas menunjukan makna urakan sebagai suatu wujud nyata dari
penampilan secara fisik, karena dalam kalimat selanjutnya, Andy
menjelaskan maksud kalimatnya berfokus pada penampilan Susi bukan
pada perilaku/manner Susi. Urakan dalam KBBI lebih menjelaskan pada
arti dasar urakan yaitu tidak mengikuti aturan dan bertingkah laku
seenaknya, sedangkan dalam konteks kalimat yang diceritakan Andy
diatas dan makna kata dari KBBI maka Urakan dalam teks ini berarti
penampilan Susi yang tidak sesuai aturan perempuan pada umumnya atau
berbeda dari yang biasanya dan juga berpenampilan seenaknya. Selain
itu, penambahan kata kacau yang dalam google translation-origin word
berasal dari bahasa inggris messy berarti tidak rapi atau tidak beraturan,
memperkuat maksud kalimat yang dijelaskan diatas.
Dalam penjelasan diatas, Susi diposisikan sebagai perempuan
yang memiliki penampilan tidak biasa dibanding perempuan pada
umumnya atau dikategorikan maskulin, dalam beberapa penjelasan
mengenai ciri-ciri maskulinitas, ada pendapat umum yang berkembang
dimasyarakat bahwa laki-laki yang maskulin itu adalah manusia bebas
dalam melakukan apapun tanpa terbeban oleh norma-norma kepantasan
51
dan kesopanan (Barker dalam Nasir, 2007:3 dalam Dermantoto, 2010:2),
pendapat umum ini mewakili representasi nilai maskulin yang ada di
masyarakat sehingga ketika penampilan Susi merepresentasikan nilai-
nilai maskulin ini maka wacana maskulinitas mengenai Susi semakin
kuat dalam masyarakat.
B. Posisi Pembaca
Melalui teks di atas penulis mencoba memposisikannya dari
pandangan masyarakat awam ketika melihat perilaku dan penampilan
Susi, dengan memilih kata Urakan penulis memposisikan pemirsanya
sebagai masyarakat pada umumnya yang menganggap bahwa
penampilan urakan itu tidak umum di kalangan perempuan,
penampilan cuek sering diidentikan dengan perempuan tomboy atau
maskulin, sehingga melalui teks ini masyarakat semakin memahami
maksud dari sosok „kartini‟ yang coba digambarkan penulis melalui
Susi.
Selain itu dengan teks diatas, pembaca digiring untuk
memahami juga bahwa sangat kecil kemungkinan bagi perempuan yang
berpenampilan urakan untuk dapat tampil atau dikenal dikalangan
kepemerintahan, karena pada umumnya dalam pandangan masyarakat,
perempuan yang berwibawa, berpenampilan rapilah yang dapat dikenal
kalangan pemerintahan atau bahkan mengambil kursi di
kepemerintahan, sebagai perbandingan ada Margareth Thatcher,
Perdana Menteri United Kingdom pada tahun 1979-1990, seorang
perempuan yang dipandang Maskulin karena ketegasan dan
kedesiplinannya selama masa kepemerintahannya. Margareth Thatcher
sama dengan posisi Susi ketika diberi julukan „Perempuan Baja‟,
Margareth juga dilabeli dengan karakter „Iron Lady’ namun dari segi
52
penampilan masih terlihat anggun dan rapi layaknya penampilan
perempuan-perempuan Inggris pada umumnya.
.
Adapun maksud dari teks ini seperti yang dijelaskan di atas
dalam masyarakat awam yang diwakili oleh perkataan Andy bahwa
sosok perempuan yang urakan dan kacau sangat patut dipertanyakan
bagaimana dapat dikenal oleh Presiden dan menjadi seorang pemimpin
di kementerian. Dapat kita lihat bahwa dalam masyarakat pertanyaan
tersebut sangat wajar ditanyakan, dikarenakan latar belakang pola pikir
masyarakat mengenai individu-individu yang mengambil bagian di
kepemerintahan harus berpenampilan menarik dan rapi serta
kebanyakan perempuan yang mengambil bagian dalam susunan
Gambar 5.4.
Margareth Thatcher „The Iron Lady’
Sumber : Vogue Magazine July 2008 Edition
53
kepemerintahan berangkat dari kalangan artis maupun dari tokoh-tokoh
masyarkat sehingga penampilan mereka menjadi salah satu hal yang
menonjol dari mereka. Sebagai pembaca dengan konstruksi yang
melatar belakangi pola pikir mereka akan menghasilkan interpretasi
yang sama dengan penjelasan diatas ketika mendengar perkataan Andy.
5.1.3.3. “Saya Gentleman”
A. Posisi Subjek-Objek
Dalam teks ini posisi aktor yang berperan sebagai subjek dan
objek ada pada aktor yang sama, yaitu Susi, dalam teks ini Susi berperan
sebagai pencerita yang menceritakan cerita tentang personaliti nya. Teks
ini menceritakan apa faktor yang membuat Susi dipilih Presiden Joko
Widodo menjadi Menteri, Susi memilih faktor kepribadian yang menjadi
kesamaan antara Susi dan Presiden Joko Widodo. Dari berbagai
kepribadian yang diungkap Susi, teks ini berujung pada perkataan Susi
mengenai kepribadiannya yang sangat „Gentleman’ secara tidak langsung
Andy : Oh ya, kira-kira anda sama pak Jokowi apa yang membuat klop
begitu, ada persamaan apa ?
Susi : Saya pikir pak Jokowi orangnya very sincer, saya juga sincer, dan
beliau Honest, saya juga Honest dan keberpihakan kepada orang
kebanyakan, saya rasa kita disitu sama pak, walaupun background Jawa,
saya juga sama Jawa seperti beliau, cuma saya besar dijalanan bedanya.
Andy : hah ?
Susi : Saya besar di berbagai culture, jadi ya tidak halus seperti beliau
tapi ya manner tetap manner, santun saya sangat santun dan sangat
Gentleman saya.
54
makna kalimat tersebut adalah untuk mempertegas kesamaan pola pikir
dan kebiasaan dari Susi dan Presiden Joko Widodo.
Kata „Gentleman’ dalam teks ini terasa janggal ketika
diposisikan dalam teks yang disajikan menyongsong hari Kartini, kata
„Gentleman’ pertama kali digunakan tahun 1800, dibentuk dari dua kata
dalam bahasa Inggris „Gentle’ dan „Man‟ serta dari bahasa Old France :
Gentilz Hom yang didefinisikan sebagai man of noble atau laki-laki
kelahiran atau berdarah bangsawaan, dari bentuk asli kata ini sudah
digunakan bagi identitas kaum pria atau bernilai maskulin, sehingga
penggunaan kata ini hampir tidak pernah bagi perempuan. Jika di artika
secara harafiah ke dalam bahasa Indonesia, maka arti „gentleman’ akan
langsung diartikan sebagai „Pria‟ dalam KBBI kata Pria merupakan
identitas yang diberikan kepada laki-laki dewasa yang menjadi dambaan
wanita, sehingga pemilihan kata ini dari awal hingga perkembangannya
saat ini sangat kuat dengan unsur maskulinitasnya, sekalipun dalam
konteks kalimat diatas yang menceritakan adalah seorang perempuan,
tidak akan menggeserkan makna dari kata itu sendiri, penggunaan kata ini
pada peremepuan akan memberikan kesan maskulin pada penggunanya.
Dari penjelasan diatas, posisi aktor dan pemilihan kata, secara
tidak langsung menunjukan adanya wacana maskulnitas pada Susi, dengan
pengkuan sebagai sosok yang gentleman maka posisi Susi dalam
masyarakat juga akan digolongkan dalam pemimpin perempuan yang
maskulin.
B. Posisi Pembaca
Dalam teks ini pembaca dalam hal ini pemirsa diposisikan
sebagai masyarakat yang berubudaya, masyarakat dihantar untuk
memahami bahwa keberagaman budaya, tempat berkembangnya suatu
individu mempengaruhi kepribadian dan pola pikir dari individu tersebut.
55
sehingga perebedaan pola pikir, cara memahami suatu hal pasti dimiliki
setiap individu. Susi ingin menunjukan pada pemirsa bahwa latar belakang
perbedaan kebudayaan tempat dia dan presiden Joko Widodo berkembang
membuat kepribadian mereka berbeda. Dalam hal nilai-nilai kesopanan
dan moral yang berlaku juga terdapat beberapa perbedaan niai sehingga
tidak bisa membuat satu tolak ukur dari suatu individu ke individu lain,
atau dari Presiden Joko Widodo ke Menteri Susi.
Dalam KBBI kebudayaan (culture) tidak hanya sampai pada
konsep ritual setiap daerah, namun juga merangkap ingga pola pikir dan
kebiasaan sehari-hari sehingga pesan inti dari teks ini adalah untuk
membuat pembaca memahami bahwa dengana adanya keberagaman
budaya ini, maka suatu individu dan individu lain memiliki pemikiran
yang berbeda, kebiasaan serta nilai yang berbeda tiap individu
berdasarkan di lingkungan mana dia tumbuh dan berkembang.
5.1.4. Segment 5
5.1.4.1. Kebiasaan Merokok Depan Umum
A. Posisi Subjek-Objek
Dalam teks yang menjelaskan mengenai kebiasaan merokok
dari Susi ini, posisi subjek dalam teks adalah Ibu dari anak yang
mengidolakan Susi karena dalam konteks ini isi teks menjelaskan
pandangan ibu tersebut pada kebiasaan merokok Susi, lalu Objek dalam
teks ini adalah Susi.
terus kalau mau ngerokok pasti harus lihat ada orang apa gak, kalau ada nanti
di foto, difotonya kemana-mana, nanti ada ibu-ibu marah, “anak saya
mengidolakan ibu, sekarang dia ingin punya tattoo nanti sebentar lagi dia mau
ngerokok juga” katanya, ga boleh rokok depan umum
56
Dalam teks ini Subjek menceritakan kebiasaan merokok Susi
yang meresahkannya karena anaknya mengidolakan Susi, ketakutan
tersebut dimulai ketika anaknya ingin memiliki tattoo layaknya Susi, hal ini
terlihat dari kalimat “sekarang dia ingin punya tattoo sebentar lagi dia
mau ngerokok juga” seperti yang telah di analisa dalam 5.1.2.1
penggunaan tattoo dianggap sebagai hal yang tidak sesuai bagi peempuan
dan berkonotasi negatif serta terkesan maskulin dimata masyarakat.
sehingga dengan perbandingan menggunakan tattoo disini dan penggunaan
kata “juga” yang menjadi kata penekanan kata sebelumnya (KBBI), maka
posisi “ngerokok” juga sama di mata masyarakat, sama-sama dipandang
negatif dan terkesan maskulin.
Selain itu dalam teks ini juga subjek menceritakan bahwa
objek adalah sosok yang diidolakan dan dari penekanan kalimat
selanjutnya yang dijelaskan diatas. Dalam Cambridge Dictionary kata Idol
sendiri didefiniskan sebagai someone who is admired and respected very
much atau sosok/individu yang di kagumi dan sangat di hormati,
penempatan kata ini dalam konteks kalimat diatas menunjukan adanya dua
phrase yang kontras satu dan lainnya, ketika disisi lain Susi di posisikan
sebagai sosok yang kagumi dan dihormati, dikalimat selanjutnya kebiasaan
merokok Susi dan Tattoo nya justru meresahkan apa yang terjadi dikalimat
pertama, ketika Susi menjadi sosok pemimpin yang di Idolakan.
Melalui penjelasan diatas, posisi Susi sebagai seorang
pemimpin perempuan atau sosok Kartini, disadari masyarakat memiliki
kebiasaan dan penampilan maskulin, beberapa hasil konstruksi mengenai
perokok dan nilai maskulinitas dikemukakan oleh tokoh-tokoh didunia,
salah satunya oleh Donaldson (1993) dalam Dermantoto (2010)
menjelaskan bahwa, nilai seorang maskulin akan meningkat pada seorang
laki-laki apabila identic dengan minuman alkohol, rokok dan kekerasan,
dalam konstruksi ini jelas posisi rokok disetarakan dengan perilaku
57
peminum dan kekerasan, sehingga dapat kita temukan dengan jelas
seberapa besar nilai maskulin yang terkandung dalam „merokok‟. Sama
halnya dengan yang ada didalam masyarakat Indonesia „merokok‟ bukan
tindakan yang dapat diterapkan pada seorang pemimpin perempuan,
sehingga menimbulkan keresahan pada masyarakat, selain itu, kalimat
terus kalau mau ngerokok pasti harus lihat ada orang apa gak, kalau ada
nanti di foto juga berbicara mengenai perilaku Susi tersebut memang
sangat jarang terjadi dan dalam kalangan masyarakat Indonesia, di
Indonesia hanya 4 dari 100 perempuan yang merokok (Kementerian
Kesehatan,2016) sehingga perilaku masyarakat atau bahkan media dalam
menanggapi perilaku Susi ini masih sangat wajar terjadi pada masyarakat
yang tekejut dengan budaya perempuan merokok yang masih sangat jarang
dijumpai di Indonesia.
B. Posisi Pembaca
Hal menarik muncul ketika teks ini mulai masuk dalam
pembahasan mengenai peampilan dan kebiasaan Susi, tim creative
maupun tim produksi yang diposisikan sebagai Penulis dalam teks ini
berusaha menunjukan kelayakan Susi di jadikan “Kartini Bernyali” versi
mereka dengan mengangkat berbagai topik mengenai kinerja, penampilan
dan kebiasaan serta mengenai keluarganya yang dapat membangun
pandangan masyarakat mengenai Susi sebagai Kartini modern, sehingga
tujuan awal teks dari tema yang diangkat dapat tersampaikan kepada
pemirsanya selaku pembaca teks ini.
Namun data lain menunjukan bahwa kebiasaan merokok
memiliki konstruksi yang buruk dalam masyarakat, terutama ketika
disangkutkan ke perempuan, hal ini dikemukakan oleh Marcelia Lesar
58
(Clinical Hypoterapist Indonesia), dalam masyarakat Indonesia perempuan dan
rokok dipandang sebagai tindakan tabu dan terlarang serta dicap sebagai
perempuan maskulin dan nakal, dalam artikel yang diterbitkan CNN Marcelia
Lesar berpendapat bahwa :
“Tak bisa sepenuhnya disalahkan, perkembangan
pemikiran tersebut karena secara historis, rokok memang
berkorelasi dengan laki-laki, Secara psikis pria merasa
maskulin ketika merokok karena terkait pada sosial kultural,
yang mana pola merokok ini dikondisikan untuk pria, Dalam
pandangan sosial, pria perokok itu karakteristiknya cenderung
terkait dengan sifat yang ekstrovert, pemberontak, serta berani
mengambil risiko. Dengan kata lain, maskulin” 2
Hal lain yang mendukung “ngerokok” adalah hal yang negatif
dipandangan masyarakat ketika menyaksikan tayangan ini adalah teks ini
diawali dengan judul yang menempatkan posisi Susi sebagai sosok
kartini yang harusnya memiliki karakter kartini yang anggun, perempuan
berwibawa dan menjadi panutan bagi perempuan lainnya, dengan
mengangkat kebiasaan Susi merokok, masyarakat akan membentuk
pandangan sosok kartini baru yang maskulin dan akan memperkuat
keresahan masyarakat karena konstruksi perempuan merokok yang
berkembang di masyarakat.
2 Lesar,Marcelia dalam Hoiri,Agnia.2016. Krisis Percaya Diri Jadi Alasan Orang Merokok diakses
melaui http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160531041657-277-134591/krisis-percaya-diri-
masih-jadi-alasan-orang-merokok/
59
5.1.4.2. Vox Pop Opini masyarakat mengenai Menteri Susi Pudjiastuti
A. Posisi Subjek-Objek
a. Pertanyaan 1- Apa yang anda ingat dari ibu Susi Pudjiastuti ?
Teks : Apa yang anda ingat dari ibu Susi Pudjiastuti ?
Informan (Perempuan) 1 : Dia itu nyentrik ya
Informan (Perempuan) 2 : Tegas
Informan ( Laki-Laki) 1 : Berani tu ya orangnya tu ya
Infroman (Perempuan) 3 : Pokoknya keren sih, buat ibu itu, jadi tuh ngasi tau orang kalau kita
tuh gak boleh nge-judge orang dari luarnya aja tapi kita bisa lihat kinerjanya kayak gimana.
Teks : Menurut anda apa prestasi ibu Susi Pudjiastuti ?
Infroman (Perempuan) 1 : Dia itu berani sebagai seorang wanita, itu membakar perahu-perahu
yang datang ke Indonesia itu kan, itu udah salah satu prestasi dia.
Infroman (Perempuan) 2 : berkurang yang penangkap-penangkap ikan liar yang masuk ke
perbatasan Indonesia
Infroman (laki-laki) 2 : yang saya tau sih waktu itu dia pernah bantuin tsunami di Aceh
Infroman (laki-laki) 3 : yang saya tau sih, dia pernah ngeledakin kapal asing yang masuk ke
wilayah kelautan Indonesia
Teks : Apakah ibu Susi Pudjiastuti sudah sesuai dengan perjuangan Kartini saat ini ?
Infroman (Perempuan) 3 : cocok banget, soalnya dia tuh pertama berani dalam bertindak, terus
juga yang pasti dia gak korupsi.
Infroman (Perempuan) 4 : cocok sih, cocok banget, soalnyakan kartini itu kan
memperjuangakan hak-hak wanita kan, jadi tuh wanita tuh bukan hanya sekedar dirumah
Infroman (laki-laki) 1 : Untuk saat ini cocok saja karena dia pemberani di Indonesia
Infroman (Perempuan) 1: walaupun wanita tapi dia gak lemah
Infroman (Perempuan) 4 : menurut saya, ibu Susi sosok kartini
60
Dalam Vox pop tersebut, Aktor yang berperan sebagai Subjek
dalam teks adalah Masyarakat yang menjadi Informan atau yang
memberikan pendapat mengenai Menteri Susi, terdapat 7 Subjek dalam
teks diatas dengan Susi sebagai Objek. Teks ini ingin melihat
pandangan masyarakat mengenai sosok Susi sebagai Kartini Modern
saat ini, dengan mengajukan pertanyaan yang berujung pada apakah
semua jawaban tersebut membuat Susi layak dipandang sebagai Kartini
dalam masyarakat. hal lain yang menarik dari teks ini, Subjek di
dominasi oleh kaum perempuan dari 7 Informan terdapat 4 perempuan
dan 3 laki-laki, mengingat bahwa teks ini ada dalam tayngan
menyongsong hari kartini, sehingga dapat dilihat pandangan perempuan
mengenai sosok Susi sebagai Kartini Modern yang dari beberapa data
sebelumnya menunjukan adanya wacana maskulinitas pada Susi.
Pertanyaan yang diajukan kepada masyarakat terdiri dari 3
pertanyaan, pertanyaan pertama adalah :
Melalui pertanyaan pertama Informan perempuan pertama
menceritakan kesan pertama ketika mengingat sosok Susi, dalam
psikologi komunikasi pandangan pertama seorang pelaku komunikasi
merupakan tahap pembentukan persepsi megenai lawan bicara,persepsi
disini adalah sebuah proses untuk membuat penilaian dan membangun
kesan mengenai berbagai macam hal yang terdapat didalam lapangan
penginderaan seseorang (Suwarno, 2009:52 dalam Ali Akbar,2016)
sehingga dalam interaksi sosial, kesan pertama yang sangatlah penting
dan akan terus diingat oleh lawan bicara. Kesan pertama yang
Teks : Apa yang anda ingat dari ibu Susi Pudjiastuti ?
Informan (Perempuan) 1 : Dia itu nyentrik ya
61
disebutkan langsung menuju pada penampilan Susi, yang dimana dalam
analisis sebelumnya, penampilan Susi memiliki unsur maskulin dalam
pandangan masyarakat, pemilihan kata „Nyentrik‟ dalam kalimat
tersebut memiliki beberapa makna berdasarkan konteks kalimat,
sebelumnya, kata „nyentrik‟ sendiri berasal dari bahasa Yunani
ekkentros (εκκεντρος) yang berarti (of a person or their behavior)
unconventional and slightly strange (WordReference English-Greek
Dictionary,2017), makna serupa juga dijelaskan dalam KBBI,
„Nyentrik‟ atau „Eksentrik‟ diartikan sebagai berperilaku, bergaya
eksentrik, aneh, tidak wajar, dari definisi kata diatas, pandangan
masyarakat bahkan sesame perempuan adalah perilaku atau penampilan
Susi, sehingga dapat dikatakan dan dihubungkan dengan makna kalimat
bahwa unsur „nyentrik‟ dalam perilaku dan penampilan Susi merupakan
hal yang berbeda dan masih sangat „aneh‟ diterapkan pada seorang
perempuan dalam pandangan masyarakat.
Unsur „Nyentrik‟ tersebut dapat dilihat nilai maskulinitasnya
sesuai dengan yang sudah dijelaskan di Sub-bab sebelumnya 5.1.2.3
bahwa ada pendapat umum yang berkembang dimasyarakat mengenai
laki-laki yang maskulin itu adalah manusia bebas dalam melakukan
apapun tanpa terbeban oleh norma-norma kepantasan dan kesopanan
(Barker dalam Nasir,2007:3 dalam Dermantoto,2010:2), dari konsep
tersebut jika dihubungkan dengan makna kata „Nyentrik‟ diatas, dapat
dilihat bahwa, individu yang dipandang „Nyentrik‟ adalah individu
yang tidak memikirkan pendapat orang-orang yang melihat
penampilanya, berpakaian dan berperilaku sesuka hati, sehingga
dipandang masyarakat sebagai sesuatu yang aneh dan tidak biasa, tidak
biasa dalam kata „nyentrik‟ dapat juga dipahami sebagai perilaku dan
penampilan yang tidak sesuai aturan, norma atau bahkan konstruksi
yang berlaku dalam masyarakat. Pendapat umum diatas
62
dikonstruksikan pada laki-laki, masyarakat memilih kata „Nyentrik‟
pada Susi karena perilaku dan penampilan Susi seperti yang
dikonstrusikan dalam pendapat umum diatas, masih sangat „Aneh‟ dan
jarang dijumpai pada seorang perempuan.
Dari penjelasan diatas, pendapat masyarakat mengenai unsur
„nyentrik‟ dari perilaku dan penampilan Susi tersebut menunjukan
adanya wacana maskulinitas sosok Susi dalam pandangan masyarakat,
didukung dengan adanya pendapat umum yang ditemukan oleh Barker
dalam masyarakat.
Berlanjut ke Informan perempuan ke-2 dengan pertanyaan
yang sama, informan tersebut memberikan jawaban yangberhubungan
tindakan tegas Susi seperti yang sudah dijelaskan juga oleh Andy dalam
sub-bab sebelumnya 5.1.3.2.
Melalui informan perempuan 2, penjelasan dalam sub-bab
sebelumnya mendapat bukti nyata ketegasan susi dalam pandangan
masyarakat, melalui informan 2 ini, ketegasan Susi memiliki lebih
dibanding perempuan lain, sehingga kesan pertama yang diingat
informan pertama kali adalah ketegasannya yang tidak umum dijumpai
pada seorang perempuan. Seperti yang sudah dijelaskan diatas kesan
pertama yang muncul dalam pemikiran seseorang mengenai orang lain
sangatlah penting, sehingga dapat dilihat bahwa kesan pertama Susi
bukan pada kinerja yang sudah dibuatnya, melainkan pada tindakan
Susi yang dipandang tegas. Informan ini menunjukan unsur tegas
Teks : Apa yang anda ingat dari ibu Susi Pudjiastuti ?
Informan (Perempuan) 2 : Tegas
63
merupakan salah satu faktor yang melekat pada pemikiran masyarakat
mengenai Susi, wacana maskulinitas Susi juga semakin kuat.
Tidak jauh berbeda dari informan perempuan 2, informan laki-
laki 1 juga melihat perilaku Susi sebagai hal pertama yang diingat
ketika ada yang bertanya mengenai Susi.
Susi dipandang berani, dalam Sub-bab 5.1.3.2. juga menjelaskan
mengenai sosok Susi yang berani, pandangan ini semakin kuat dengan
jawaban informan diatas.
Nilai maskulinitas yang ada dalam teks diatas juga didukung
dengan konsep yang telah dijelaskan di bab 5.1.3.2. yaitu konsep oleh
Donaldson (1993) dalam Dermantoto (2010) bahwa dalam
masyarakat terdapat tolak ukur maskulinitas yang tidak tertulis namun
disepakati bersama salah satunya yaitu laki-laki pantang menangis,
harus tampak tegar, kuat dan pemberani. Sehingga pendapat 2
informan diatas mengenai sosok Susi yang tegas dan berani
menunjukan adanya wacana maskulnitas yang berkembang dalam
masyarakat.
Kemudian pada informan perempuan ke 3, membuka
pandangan baru dari informan-informan sebelumnya, informan ini
terkesan pada kinerja Susi yang sekalipun di pandang rendah karena
penampilannya yang urakan dan pendidikannya, kinerjanya
menunjukan kalau Susi dapat dipercaya tanpa perlu melihat latar
belakangnya.
Teks : Apa yang anda ingat dari ibu Susi Pudjiastuti ?
Informan ( Laki-Laki) 1 : Berani tu ya orangnya tu ya
Teks : Apa yang anda ingat dari ibu Susi Pudjiastuti ?
Informan(Perempuan) 3 : Pokoknya keren sih, buat ibu itu, jadi tuh
ngasi tau orang kalau kita tuh gak boleh nge-judge orang dari luarnya
aja tapi kita bisa lihat kinerjanya kayak gimana.
64
Dalam teks tersebut pemilihan kata yang digunakan Informan 3
adanya makna tersirat bahwa sebelumnya banyak pihak yang men-
judge Susi dari luarnya, namun karena perkembangan kinerjanya yang
baik maka latar belakang Susi tersebut dirasa informan tidak mampu
membuat masyarakat menilai sosok Susi yang sebenarnya. Kalimat
sebelum „tapi’ menunjukan dugaan sebelumnya dari masyarakat
mengenai sikap Susi, kata „tapi‟ yang berfungsi sebagai kata konjungsi
koordinatif disini berperan untuk menghubungkan dua kalimat yang
saling bertentangan, dalam konteks kalimat ini menjelaska posisi
kalimat sebelum „tapi‟ merupakan tindakan yang bertentangan dengan
kinerja Susi yang dijelaskan setelah kata „tapi‟ tersebut.
Selanjutnya pertentangan dalam kalimat tersebut menunjukan
posisi Susi yang kontroversial di masyarakat, dalam suatu hal yang
menjadi kontroversi terdapat berbagai pihak yang menilai pihak lainnya
sehingga menimbulkan adanya kubu-kubu antar pihak yang memiliki
penilaian yang berbeda, „nge-judge‟ atau judging sendiri berasal dari
bahasa Latin Judex yang berart pengambilan keputusan atau
kesimpulan dari tuntutan yang diajukan hakim pada suatu peristiwa
atau individu pada jaman hukum romawi, pada dasarnya kata ini
digunakan untuk menunjukan adanya tindakan penilaian atau
pengambilan keputusan, sama halnya dalam KBBI Judging dengan kata
dasar Judge yang dengan posisinya sebagai kata kerja berarti menilai
memiliki makna sebagai proses memperkirakan atau menentukan
nilainya; menghargai.
Melalui penjelasan diatas, Susi menunjukan bahwa kinerja Susi
pada bidangnya membuka pikiran masyarakat, namun perilaku
65
masyarakat yang demikin, justru menunjukan adanya faktor wacana
maskulinitas pada Susi, salah satu sifat maskulinitas yang berkembang
dalam pemikiran masyarakat adalah Be a Big Wheel yang berarti
maskulinitas dapat dinilai dari kesuksesan kekuasaan dan pengaguman
dari orang lain (Dermantoto,2010 dalam Agung Nahdar,2016:26)
dalam konteks ini masyarakat awalnya memberikan nilai yang buruk
pada Susi yang kemudian setelah melihat keberhasilan dari kerja Susi
barulah mereka terbuka pikirannya untuk mengharga kinerja Susi
dengan lebih baik tanpa melihat kekurangan Susi.
b. Pertanyaan 2- Menurut anda apa prestasi ibu Susi Pudjiastuti ?
Dalam data ini posisi Subjek mencoba untuk menceritakan
Susi dari sisi Susi sebagai perempuan, Susi dipandang lebih berani dari
perempuan lainnya dengan membandingkan kinerja Susi dalam
membakar perahu-perahu pencuri ikan, namun dalam teks ini juga
masih menunjukan keberenian yang dimiliki Susi masih tidak umum
dijumpai pada perempuan lainnya, sehingga patut di apresiasi. Dari teks
ini dapat dilihat konstruksi yang ada di masyarakat mengenai
perempuan dan laki-laki masih sangat timpang, dengan menggunakan
kata „sebagai‟ yang berarti menyatakan status; berlaku seperti; selaku
(KBBI) menekankan status Susi sebagai perempuan dan
menghubungkannya dengan karakter Susi yang dipandang pemberani
serta apresiasi lebih yang diberikan maka dalam pandangan masyarakat
Teks : Menurut anda apa prestasi ibu Susi Pudjiastuti ?
Informan (Perempuan) 1 : Dia itu berani sebagai seorang wanita, itu
membakar perahu-perahu yang datang ke Indonesia itu kan, itu udah
salah satu prestasi dia.
66
keberanian seperti dalam konteks data diatas masih dimiliki oleh laki-
laki atau dapat dikategorikan karakter maskulin.
Pemilihan kata oleh Subjek menunjukan dengan jelas maksud
dari teks tersebut. dalam pemilihan kata, kata „berani‟ sebelumnya
pertama kali digunakan dalam bahasa Yunani yaitu barbaros
(βάρβαρος) yang jaman dulu digunakan untuk tanda menyerang satu
dengan yang lain, dari asal mula bahasanya, kata ini sudah bernilai
makulin dalam masyarakat, seiring berjalannya waktu, penggunaan
kata ini mulai bergeser posisi kea rah yang lebih positif, dalam bahasa
inggris modern barbarous berkembang menjadi brave yang berarti
ready to face and endure danger or pain; showing courage atau dalam
KBBI di artikan sebagai mempunyai hati yang mantap dan rasa
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan
sebagainya; tidak takut (gentar, kecut), setiap definisi memiliki makna
inti yaitu hati atau mental yang bersiap untuk menghadapi suatu hal
yang berbahaya, dalam hal ini semua definisi mengarah pada nilai
maskulin yang berkembang dalam masyarakat saat ini, dimana hal-hal
berbahaya langsung diserahkan pada kaum laki-laki, sedangkan
perempuan akan berlindung dibalik laki-laki.
Melalui penjelasan diatas, secara tersirat maksud dari kalimat
Dia itu berani sebagai seorang wanita menunjukan adanya pandangan
maskulin pada Susi yang dikategorikan sebagai perempuan berani, dengan
kuatnya konstruksi maskulinitas dalam penggunaan kata berani itu sendiri.
Selanjutnya dalam kalimat ke dua menjelaskan bahwa Subjek
memberikan apresiasi pada keberanian Susi atas kinerjanya dalam
menjalankan kebijakannya, dalam KBBI definisi kata „prestasi‟
dibedakan berdasarkan konteks kalimat, secara umum kata tersebut
berarti hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan,
dan sebagainya) sedangkan secara konteks kalimat, dalam hal ini dalam
67
prestasi kerja maka kata tersebut dimaknai sebagai hasil kerja yang
dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya, sehingga secara tidak langsung makna kalimat
ini menunjukan ada suatu pencapaian yang berhasil diperoleh Susi
sebagai seorang perempuan, secara keseluruhan kalimat seperti yang
sudah dijelaskan dipragraf sebelumnya, pencapaian Susi ini dipandang
suatu hal yang jarang bagi seorang perempuan sehingga faktor
keberaniannya ini pantas untuk dikategorikan sebagai slah satu
pencapaiannya.
Melalui penjelasan diatas, menunjukan bahwa wacana
maskulin yang memandang Susi itu berbeda dengan perempuan
lainnya, lebih berani, tangguh dan tegas, berkembang dalam pemikiran
masyarkat, sehingga sangat wajar hal ini menjadi kontroversi dan
dipandang sebagai suatu prestasi bagi Susi ketika mampu memiliki
karakter diatas.
c. Pertanyaan 3 - Apakah ibu Susi Pudjiastuti sudah sesuai dengan
perjuangan Kartini saat ini ?
Data diatas memiliki aktor yang berperan sebagai Subjek sama
dengan teks sebelumnya, Informan dalam Vox pop ini berperan untuk
memberikan informasi dan opini mereka mengenai Susi, sehingga
posisi dari Subjek Pencerita dalam teks Vox Pop berada pada aktor
yang sama yaitu informan dan dengan Objek yang sama yaitu Susi.
Teks : Apakah ibu Susi Pudjiastuti sudah sesuai dengan perjuangan
Kartini saat ini ?
Informan(Perempuan) 3 : cocok banget, soalnya dia tuh pertama
berani dalam bertindak, terus juga yang pasti dia gak korupsi.
68
Secara keseluruhan teks diatas menceritakan mengenai pandangan
masyarakat, apakah dengan berbagai prestasi yang telah diperoleh Susi
dan kepercayaan yang akhirnya diperoleh Susi dari sosoknya yang
awalnya dipandang kontroversial, masyarakat merasa dia layak
dipandang sebagai „Kartini‟ modern atau tidak.
Dalam pemilihan kata sosok Susi tetap digambarkan sebagai
sosok yang berani, sama halnya dengan yang diutarakan Andy pada
data-data di Sub-bab sebelumnya, namun dalam teks ini, keberanian
Susi di fokuskan pada tindakan Susi, dalam hal ini dengan definisi
berani dalam KBBI di artikan sebagai mempunyai hati yang mantap
dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya,
kesulitan, dan sebagainya; tidak takut (gentar, kecut) Secara implisit
maksud kalimat ini adalah ingin menunjukan bahwa Susi layak menjadi
„Kartini‟ karena konsep berani yang dikonstruksikan pada dia, seperti
yang sudah dijelaskan sebelum-sebelumnya bahwa konsep berani itu
merupakan kata yang sudah menjadi identitas bagi seorang laki-laki,
sehingga ketika masyarakat menjumpai laki-laki pemberani mereka
akan memaklumi itu sebagai suatu kewajaran, namun jika keberanian
itu dimiliki oleh seorang perempuan maka akan ada suatu penghargaan
lebih bagi sosok perempuan tersebut dibanding perempuan lainnya,
dalam hal ini yang dialami Susi merupakan wujud masyarakat
menghargai keberaniannya dengan menjadikannya „Kartini modern‟.
Dalam pandangan masyarakat pun, sosok Kartini yang
sebenarnya selalu di konstruksikan dengan keberanian, pantang
menyerah, dan tangguh (Ardiyanti,2011) sehingga ketika pertanyaan
dalam teks diatas diajukan kepada masyarakat maka dengan bekal
konstruksi sosok kartini, masyarakat akan langsung
menghubungkannya dengan sosok perempuan yang sesuai dengan
69
karakter Kartini dalam hal ini Susi dihubungkan dengan karakter tegas
dan pemberani serta konsistensinya.
Selanjutnya dalam jawaban informan berikutnya memiliki
makna yang serupa :
Dalam hal ini pandangan masyarakat menyangkut Susi masih
seputar keberanian dan ketangguhannya dalam memperjuangkan
kebijakan kelautan Indonesia, dua informan menggunakan kata „Cocok‟
yang dalam KBBI diartikan sebagai sama, tidak berbeda atau sepadan
dan sesuai, sehingga dapat kita lihat masyarakat memposisikan Susi
sebagai sosok kartini yang memang sepadan dengan karakter asli dari
seorang Kartini.
Informan perempuan 4 sebagai Subjek dalam jawaban 1,
menceritakan bagaimana Susi layak mendapat identitas sebagai
„Kartini‟ yaitu karena faktor perjuangan yang dilakukan Susi, sekalipun
tidak secara langsung menyentuh perjungan kaum perempuan di
Indonesia, namun dalam bidangnya Susi dianggap mampu
merepresentasikan perjuangan perempuan yang pernah dilakukan
Kartini sebelumnya. Identitas sebagai perempuan pejuang dan tangguh
sangat kuat kaitannya dengan perempuan yang kuat baik secara hati
maupun fisik, begitupula yang masyarakat gambarakan pada Susi,
Informan (Perempuan) 4 : cocok sih, cocok banget, soalnyakan kartini itu kan
memperjuangakan hak-hak wanita kan, jadi tuh wanita tuh bukan hanya
sekedar dirumah
Informan (laki-laki) 1 : Untuk saat ini cocok saja karena dia pemberani di
Indonesia
Informan (Perempuan) 1: walaupun wanita tapi dia gak lemah
Informan (Perempuan) 4 : menurut saya, ibu Susi sosok kartini
70
semua identitas diatas memang disangkutkan dengan perempuan,
namun disisi lain, secara tidak langsung kalimat ini menunjukan bahwa
perjuangan itu merupakan hal lain yang dapat dilakukan perempuan
disamping tugas mereka dirumah. Dalam kalimat jadi tuh wanita tuh
bukan hanya sekedar dirumah, posisi kata bukan menunjukan arti yang
berlainan dari kalimat sesudahnya dan hanya sebagai adverbia yang berfungsi
untuk mengeraskan makna kalimat sebelum dan kaliat penjelas selanjutnya
(KBBI), dalam konteks kalimat ini diatas, kata-kata tersebut menjelaskan
bahwa perempuan yang awalnya dikonstruksikan untuk selalu berada di
wilayah domestik dirumah seharusnya bisa keluar namun bukan
meninggalkan pekerjaan rumah karena ada penggunaan kata sekedar yang
menunjukan nilai pekerjaan dirumah itu tidak seberapa dan seharusnya
perempuan bisa mengerjakan lebih.
Dari setiap penjelasan diatas mengenai makna jawaban dalam
pertanyaan ke-3 ini, Subjek secara tidak langsung menunjukan bahwa apa
yang dilakukan Susi memang menunjukan perjuangan perempuan, karena
dalam pandangan masyarakat, perjuangan yang membutuhkan keberanian dan
ketangguhan itu masih dimiliki oleh laki-laki maskulin, namun tidak berarti
ada pergesaran makna kata perjuangan ke sisi perempuan juga, karena dalam
beberapa konsep feminisme, salah satu hal yang menjadi hambatan bagi
perempuan adalah dalam ranah pekerjaan, jika seorang perempuan ingin
diterima pekerjaannya maka dia harus bersikap layaknya laki-laki, karena
semua karakter yang mendukung kesuksesan suatu kerja sudah
dikonstruksikan sebagai bagian dari karakter maskulin. Hal ini diungkapkan
oleh Lovenduski dalam menjelaskan peran perempuan dalam ranah pekerja
politik, nilai-nilai maskulinitas yang dominan juga akhirnya menjadi
kriteria utama dalam dunia politik hingga politik sendiri dianggap dunia
maskulinitas (Rifka Media,2009) dengan adanya maskulinitas dalam
politik, perjuangan kaum feminis cendrung ragu-ragu karena adanya
penilaian bahwa adanya hasil konstruksi budaya maskulinitas diatas
71
(Lovenduski,2008:91). Hal diatas mendukung hadirnya perempuan
yang maskulin, hasil dari pengaruh peraturan dalam lapang kerja
mereka yang cendrung hasil konstruksi budaya maskulin
(Lovenduski,2008:92).
B. Posisi Pembaca
Dalam teks ini pembaca diposisikan penulis sebagai
perempuan, pembaca diharuskan untuk melihat perbedaan Susi sebagai
perempuan pejuang melawan konstruksi yang dibangun pada
perempuan. Penulis juga menyampaikan berbagai pesan mengenai hal-
hal apa yang perlu dipelajari perempuan dari Susi sehingga dia layak
menjadi seorang kartini.
Dengan penjelasan mengenai penggunaan kata diatas, penulis
menunjukan bahwa Susi dihargai dan dinilai tindakannya tanpa melihat
kinerja oleh pembaca, sehingga melalui teks ini, penulis mengantar
pemikiran pembacanya untuk sadar akan peran Susi sebagai seorang
pemimpin perempuan dalam Kementrian serta keberhasilan dan
prestasinya dalam memperjuangkan kebijakan penenggelaman kapal
yang sejak awal menjadi kontroversi di masyarakat.
Pembaca juga digiring untuk terbuka pemikirannya mengenai
perannya dalam masyarakat, peran perempuan yang awalnya hanya di
rumah belum seberapa dari yang mampu mereka lakukan, sehingga
dengan teks ini perempuan ditantang untuk melakukan lebih dari yang
sudah dikonstruksikan, karena penulis menunjukan bahwa Susi sebagai
perempuan mampu melakukan lebih dari porsi kerja yang
dikonstruksikan masyarakat pada perempuan. Dalam konteks ini Susi
diposisikan sebagai „Kartini‟ dimata pembaca untuk menunjukan
pengahargaan yag dapat mereka peroleh jika mereka mampu berlaku
berani dan tangguh seperti karakter Susi yang diceritakan dalam teks.
72
Dengan begitu, pesan utama dai tayangan ini dalam menginspirasi
perempuan Indonesia dengan sosok Kartini dapat tersampaikan guna
menyongsong hari Kartini 21 April.
5.1.4.3. Susi dan Nilai yang Diwariskan dari Ibu
A. Posisi Subjek-Objek
Dalam teks ini aktor yang berperan sebagai Subjek adalah Susi
dan Objek dari teks ini adalah Ibu dari Susi. Susi menceritakan
mengenai sosok Ibunya dan yang terpenting mengenai nilai-nilai
kehidupan yang dia warisi dari Ibunya, karena perjalanan hidup yang
keras, Susi mempelajari mengenai kerasnya hidup dan bagaimana cara
bertahan dalam saat-saat seperti itu dari Ibunya. 3 hal penting yang di
pelajari Susi adalah kemandirian, konsistensi dan kerja keras dalam
upaya mencapai tujuan hidup mereka.
Susi memilih mempelajari sisi nilai-nilai kehidupan yang
mampu membuatnya menjadi pejuang dalam karirnya melalui ibunya.
Dalam perkembangannya, kemandirian, konsistensi dan kerja keras
masih sangat jarang dijumpai pada perempuan di zaman ibu Susi,
sehingga bagi Susi nilai-nilai tersebut menjadi sangat berharga.
Kemandirian sendiri memiliki kata dasar „mandiri‟ yang berasal dari
kata independent dalam bahasa Prancis pada awal abad ke 17 yang
Andy : Mana percaya, terus entar saya percaya anda bisa jahit ya, jadi
nilai-nilai apa yang anda dapatkan, atau yang anda warisi dari Ibu
seperti itu ?
Susi : kemandirian dan konsisitensi untuk mencapai goal dan kerja
keras
73
berarti Qui n'est en aucune façon lié à autre chose, qui est sans
rapport avec autre chose (Larousse France-English Dictionary,2017)
yang diartikan sebagai Which is in no way linked to something else,
which is unrelated to anything else, makna yang sama juga dijelaskan
dalam KBBI nomina „kemandirian‟ diartikan sebagai hal atau keadaan
dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain, secara
keseluruhan dari definisi ini mengarah pada individu yang mampu
bertahan sendiri dan berjuang dalam hidupnya. Susi sebagai individu
yang mewarisi nilai ini dari ibunya menunjukan bahwa sebagai seorang
menteri dan pemimpin Susi memiliki kemandirian itu dalam dirinya,
kemandirian ini juga ternyata mengambil andil dalam perkembangan
wacana maskulinitas yang ada didalam masyarakat mengenai Susi,
karena dalam 8 konsep maskulinitas yang diungkap Beynon dalam
Dermantoto dalam Nahdar (2016) terdapat salah satu konsep
maskulinitas mengenai kemnadirian yaitu, Be Sturdy Oak yaitu agar
dapat dikategorikan maskulin, seorang individu harus memiliki
rasionalitas, kuat dan kemandirian.
Kata selanjutnya juga memperkuat karakter pejuang
Susi, „Konsistensi‟ dengan bentuk asal consistentia dari bahasa Late
Latin yang diartikan sebagai Standing Firm yang dalam bentuk kata
sifat (adjektiva) arti kata ini mengarang pada berdiri kokoh pada
pendirian dan tegas ataupun tangguh. Dalam hal ini Susi menjadi Sosok
yang harus tetap berdiri pada pendiriannya dan tidak pernah hilang
fokus menuju tujuan awalnya, salah satu aspek konsistensi ini memiliki
pandangan maskulin dalam masyarakat, konsistensi membutuhkan
ketegaran serta ketegasan dalam mengambil keputusan ataupun
bertindak, seperti yang dijelaskan sebelumnya, ketegasan dan ketegaran
dalam mepertahankan konsistensi merupakan karakter yang melekat
pada laki-laki, konstruksi yang dibangun pada laki-laki ini coba
74
dijelaskan oleh Donaldson (1993) dalam Dermantoto (2010) bahwa
dalam masyarakat terdapat tolak ukur maskulinitas yang tidak tertulis
namun disepakati bersama salah satunya yaitu laki-laki pantang
menangis, harus tampak tegar, kuat dan pemberani. Sehingga ketika
diterapkan pada seorang perempuan dalam hal ini Susi, maka
pandangan masyarakat adalah Susi adalah perempuan maskulin karena
karakter tersebut dikonstruksikan sebagai milik laki-laki maskulin.
Kata selanjutnya adalah „kerja keras‟ yang terdiri dari
dua kata dasar „kerja‟ dan „keras‟ masing-masing kata memiliki definisi
tersendiri berdasarkan konteks kalimat. Kata „kerja‟ yang berdasarkan
asal mula kata ini berasal dari bahasa Jerman Wyrcan dan kemudian
diterapkan dalam bahasa Inggris sebagai work yang berdasarkan
konteks kalimat diatas dapat diartikan sebagai activity involving mental
or physical effort done in order to achieve a purpose or result atau
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai aktivitas/kegiatan yang
melibatkan usaha secara fisik dan mental dalam usaha untuk memenuhi
tujuan dan memperoleh hasil, sedangkan kata „keras‟ yang berasal dari
bahasa Jerman hart dan seirig berjalannya waktu diterapkan dalam
bahasa Inggris modern sebagai adjektiva hard yang dalam definisinya
memiliki dua arti, dalam konteks kalimat ini arti yang sesuai adalah
requiring a great deal of endurance or effort atau dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai membutuhkan usaha dan kesabaran dalam
mencapai hal yang ingin dituju.
Dari definisi kata „kerja keras‟ memiliki makna yang
kuat dalam merepresentasikan kepribadian Susi sebagai sosok yang
memiliki kepribadian yang kuat dalam pandangan masyarakat. sama
halnya dengan karakter-karakter sebelumnya, faktor kerja keras juga
memiliki nilai maskulin dalam masyarakat, perempuan yang
dikonstruksikan dengan kelembutan dan lebih menggunakan hati dari
75
pada rasionalitas sangat jauh dari kata kerja keras dalam ranah kerja
professional, „kerja keras‟ dari awal dikonstruksikan pada laki-laki.
Seorang laki-laki wajib bekerja keras dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya, salah satu konsep yang menjelaskan
kosntruksi diatas adalah konsep dari Barker bahwa Maskulinitas
tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan,
kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri,
kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Di antara yang dipandang rendah
adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan
domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak
(Nasir,2007 dalam Dermantoto,2010).
B. Posisi Pembaca
Dalam teks ini Pembaca yaitu pemirsa, diposisikan sebagai
seorang anak perempuan, bagaimana dia mampu melihat perjalanan
berat hidup Ibunya dan mengambil setiap nilai yang dapat dia pelajari
dari Ibunya, kemudian dengan jelas menunjukan penerapan setiap nilai
tersebut dalam kerja mereka.
Secara tidak langsung melalui teks diatas, Susi mencoba
menghantar pemikiran perempuan-perempuan yang menjadi pembaca
teks ini melakukan hal serupa, mengambil setiap hal positif yang dapat
dipelajari dari orang tua mereka. Secara tidak langsung makna setiap
nilai tersebut memiliki unsur maskulin, sehingga setiap perempuan
perlu memahami semua nilai itu sebagai suatu nilai yang harusnya juga
menjadi kepemilikan perempuan dan bukan hanya berhenti pada
kosntruksi yang menjadikan nilai-nilai tersebut milik laki-laki
maksulin.
76
5.1.5. Segment 6
5.1.5.1. Peristiwa Kematian Anak Susi
A. Posisi Subjek-Objek
Dalam segmen terakhir kick Andy ini, Susi diberikan beberapa
pertanyaan menyangkut anak-anaknya serta menyinggung mengenai
kematian anak laki-laki nya pada 18 Januari 2016, dalam teks tersebut,
Susi sebagai Subjek menceritakan penyesalannya akan kepergian
anaknya dan waktu yang dirasanya tidak cukup untuk baginya dengan
anaknya itu. namun Susi mengungkapkan hal lain dalam konteks
pembahasan kematian anaknya ini dan kejenuhannya menjadi seorang
Menteri, Susi menceritakan kekesalannya pada masyarakat yang tidak
senang dan sering berpikir negatif dalam menanggapi setiap hal
menyangkut Susi.
Dalam konteks kalimat, kalimat Susi tidak mengarah pada
suatu fenomena atau kegiatan tertentu yang di komentari negative oleh
masyarakat, namun dengan topic pembahasan segmen tersebut
mengenai kematian anak Susi dan kinerjanya sebagai Menteri,
menunjukan bahwa kalimat diatas ditujukan pada kejadian tersebut.
pertanyaan sebelumnya oleh Andy juga mewakili beberapa pandangan
atau pendapat yang hadir dari masyarakat, mengingat pola pertanyaan
dalam Kick Andy adalah pertanyaan untuk memperoleh jawaban
Susi : kadang-kadang kesel aja pada saat baca komentar atau
apa orang yang tidak senang atau kadang-kadang frustasi sama
sesuatu yang kenapa tidak bisa dibikin simple saja atau kenapa
berpikiran seperti itu, kenapa mereka negative thinking gitu.
77
klarifikasi berdasarkan isu-isu yang beredar dala masayrakat mengenai
individu tertentu, dalam hal ini Susi.
Kalimat pertama Andy, menunjukan dia memperoleh
Informasi mengenai penyesalan Susi atas kematian anaknya. Dalam
kalimat Andy kata „dengar‟ disini memiliki bentuk baku bahasa
Indonesia yaitu „terdengar‟ yang dalam KBBI dijelaskan sebagai
diketahui atau tersiar (tentang kabar, berita), hal ini menunjukan Andy
memperoleh informasi tersebut dari kabar yang terseiar melalui pihak
lain. Selanjutnya kalimat „karena tanggung jawab sebagai menteri
untuk negara’ menunjukan maksud Andy akan penyebab penyesalan
tersebut, dari keseluruhan kalimat dan dalam konteks Susi sebagai
seorang Kartini, kabar penyesalan Susi yang disangkutkan dengan
kerjanya sebagai menteri berkembang memiliki makna tersirat
mengenai pandangan masyarakat bahwa memang seorang perempuan
tidak akan sepenuhnya berhasil menjalankan dua bidang kerja,
domestic ataupun karir dalam bidang professional, sehingga ketika
salah satu kerja mengalami suatu peristiwa atau permaslahan maka
penyesalan atau kesalahannya ada pada perempuan, karena dalam
pandangan masyarakat pekerjaan professional ataupun berkarir sudah
dikonstruksikan sebagai tugas laki-laki.
Andy : Iya, saya dengar ada penyesalan yang dalam dari anda bahwa
oleh karena tanggung jawab sebagai menteri untuk negara, untuk
bangsa, anda kekurangan waktu, merasa waktu anda banyak tersita
sehingga anda tidak banyak lagi punya waktu untuk anak-anak anda,
sehingga ketika anak anda pergi anda merasa bahwa waktu itu kurang
sekali untuk anak-anak. Apa betul begitu ?
78
Sama halnya dengan karakter-karakter yang
dikonstruksikan sebagai milik laki-laki dalam sub-bab sebelumnya,
kerja dan berkarir juga dikosntruksikan sebagai milik laki-laki. Maka
jika ada seorang perempuan yang mencoba berkarir dia akan dipandang
maskulin dan jika dia berkarir ada kejadian ataupun peristiwa yang
terjadi dalam lingkup domestiknya (menjaga anak, mengurus
suami,membersihkan rumah) maka yang disalahkan adalah pilihannya
untuk berkarir karena itu bukan tugas yang dikonstruksikan masyarakat
padanya. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa konsep
domestifikasi perempuan, salah satunya yang dijelaskan oleh Sri
Suhandjati Sukri (2001) dalam Mulyati (2012:3) pembagian tugas dan
pemberian tugas bagi perempuan dalam ranah domestiknya seperti
mengurus anak-anak, masak, membersihkan rumah telah
dikonstruksikan melaui budaya, hegemoni laki-laki melalui budaya
patriaki terjadi hampir di seluruh dunia dan dalam berbagai kelas
masyarakat, salah satunya di Indonesia dan khususnya dalam budaya
Jawa, perempuan telah sekian lama dibatasi dan dikonstruksikan
sebagai pekerja di wilayah kasur,dapur dan sumur atau macak,manak
dan masak (berdandan,melahirkan anak dan memasak), trilogi peran
tersebut pada intinya berkutat pada peran perempuan dalam melayani
suami dan merawat anak-anaknya, proses domestifikasi ini masih terus
terjadi dan dapat kita jumpai dalam kehidupa kita sehari-sehari dalam
bentuk yang berbeda-beda. Dalam hal ini konsep bias gender yang
dijelaskan diatas terjadi pada Susi, ketika Susi mencoba melawan
domestifikasi diatas maka semua kegagalan atau peristiwa yang terjadi
pada wilayah tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya Susi atau
banyak di katakana sebagai „kodrat‟ seorang ibu.
79
Hal ini sama dengan yang coba dijelaskan dalam teks
diatas, ketika Susi harus memberikan pengakuan mengenai kematian
anaknya sebagai suatu hal yang dia sesalkan karena waktu yang tersita
oleh kerjanya sebagai Menteri, hal ini menunjukan adanya justifikasi
peran Susi dalam keluarganya oleh perkataan Andy, dengan
mengungkit kematian anak Susi dan menyangkutkannya dengan fakta
yang ada bahwa seorang perempuan dan seorang „ibu‟ bertugas
menjaga dan merawat anaknya, membuat Susi diposisikan sebagai Ibu
yang harus merasa bersalah, menyesal dan sepenuhnya bertanggung
jawab atas peristiwa dalam ranah domestiknya ini. Hal ini
menimbulkan Kekesalan Susi atas pendapat negatif orang-orang pada
dirinya menunjukan adanya wacana mengenai konsep bias gender dari
domestifikasi pembagian kerja yang dijelaskan diatas, Susi
dikategorikan orang-orang tersebut sebagai sosok perempuan berkarir
atau perempuan maskulin.
B. Posisi Pembaca
Dari teks di atas, pembaca diposisikan sebagai seorang
perempuan dalam hal ini lebih khususnya sebagai seorang Ibu, teks
tersebut coba menjelaskan mengenai penyesalan seorang Ibu karena
kematian anaknya dan rasa kehilangan yang diraskannya, serta
pandangan negatif orang-orang mengenai peristiwa-peristiwa
menyangkut statusnya sebagai seorang ibu dan seorang Menteri.
Secara tidak langsung, dari teks ini, pembaca digiring untuk
memahami perasaan Susi menyangkut penyesalan yang diungkapnya
disertai elemen visual close-up Susi menangisi hal tersebut.
80
Ketika pembaca telah sampai pada titik pemahaman maksud
penulis diatas, maka pembaca akan sampai pada keputusan untuk
menghabiskan banyak waktu dengan anak mereka karena bagi seorang
ibu, itu merupakan tanggung jawab utama yang dikonstruksikan
padanya. Selain itu dengan kalimat,
menunjukan bahwa Susi ingin pembaca teks ini paham bahwa berpikir
negative mengenai setiap tindakannya adalah kesimpulan yang sebelah
pihak dari orang-orang tersebut, banyak alasan hingga Susi mengambil
suatu tindakan atau sesuatu peristiwa terjadi dalam hidupnya, usaha
Susi : kadang-kadang kesel aja pada saat baca komentar atau
apa orang yang tidak senang atau kadang-kadang frustasi sama
sesuatu yang kenapa tidak bisa dibikin simple saja atau kenapa
berpikiran seperti itu, kenapa mereka negative thinking gitu.
Sumber : Kick Andy „Kartini Bernyali‟ Edisi 8 April 2016
Gambar 5.5.
Susi menangis karena penyesalannya atas kematian anaknya
81
untuk selalu memebrikan kualitas pada waktu dia dan anak-anaknya
bersama juga menunjukan pada pembaca bahwa sebagai seorang ibu
dia sudah menjalankan tanggung jawabnya. Dari teks ini juga dapat kita
lihat latar belakang pemikiran pembaca, bahwa sebagai seorang ibu
tanggung jawab utamanya adalah dalam ranah domestik, seperti yang
telah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya, bahwa adanya konsep bias
gender dalam pembagian kerja bagi perempuan sebagai Ibu dan laki-
laki sebagai ayah yang sudah dikonstruksikan dalam masyarakat.