Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
199
Bab V
Konsumsi Film Indonesia
Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan hasil wawancara
dengan para penonton sebagai pengguna atau ―penikmat‖ film
Indonesia. Jika pada bagian sebelumnya telah diuraikan peran pembuat
film dalam industri perfilman di Indonesia, maka pada bagian ini akan
digali dan dijelaskan bagaimana masyarakat yang menonton hasil karya
para film maker tersebut mengapresiasinya. Untuk itu penulis telah
mekukan beberapa wawancara terpisah dengan beberapa narasumber
yang telah penulis kenal, atau yang baru dikenal saat menonton film
yang sama di bioskop. Penulis melontarkan beberapa pertanyaan
terstruktur yang telah penulis susun sebelumnya, namun dalam
menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, narasumber bisa saja
bertanya-balik dan melontarkan pertanyaan yang lain. Dengan
demikian, bentuk wawancara lebih cenderung bersifat semi-
terstruktur.
Wawancara dilakukan atas film-film Indonesia Pasca
Reformasi, sehubungan sulitnya mencari penonton yang berasal dari
masa atau rezim sebelumnya. Dengan demikian, analisis dan
interpretasi data pada penelitian ini memang difokuskan pada film
Indonesia kontemporer, yaitu era Pasca Reformasi. Wawancara telah
dilaksanakan terhadap duaratus lima puluh tiga (253) responden di
tujuh kota dan dua kabupaten yang mewakili kota-kota di Indonesia.
Rentang usia responden dimulai dari usia pelajar (SMA) dan mahasiswa
–antara 18-25 tahun-- untuk daerah Kota Bandung, Kabupaten
Jatinangor, Sumatera Utara (Kabupaten Sidikalang dan Kota Medan),
Kota Nias, dan Kota Salatiga. Sementara di kota-kota lain, narasumber
yang berhasil diwawancarai memiliki rentang usia antara 35-55 tahun,
yaitu dengan profesi karyawan atau ibu rumah tangga, yang berada di
kota Jakarta, Denpasar, dan Lombok.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
200
Wawancara bertujuan untuk menggali respon konsumen yaitu
penonton film layar lebar di Indonesia, dan melihat sejauh mana
apresiasi penonton terhadap film Indonesia. Apa saja komentar-
komentar dan masukan mereka terhadap perfiman nasional saat ini,
dirangkum dan dijelaskan ke dalam beberapa tabel berikut ini.
Apa Kata Penonton?
Wawancara pertama dilakukan dengan teman-teman di
Jakarta. Pada awalnya, penulis hanya mewawancarai sahabat-sahabat
lama yang dulu satu kuliah di FE Unpar, yaitu Meita, Wifi, Toar,
Christine, dan Nelson. Kemudian dilanjutkan dengan teman-teman
dan saudara dari sahabat-sahabat penulis tersebut.
Wawancara kedua dan ketiga dilakukan dengan teman-teman
penulis yang berdomisili di Lombok dan Bali. Pada awal mula bertanya
pendapat mereka tentang film Indonesia, penulis berkomunikasi via whatsapp. Berikutnya ketika penulis berkunjung ke Bali bulan
Desember 2015, penulis bisa bertemu langsung dan mengkonfirmasi
jawaban-jawaban mereka atas hasil wawancara. Sayang, pada
kunjungan tersebut penulis tidak sempat bertemu dengan teman-
teman di Lombok.
Wawancara keempat dilakukan penulis dengan keponakan
yang sedang kuliah di Jatinangor yaitu Natasha dan teman-
temannyavia Line. Hanya sedikit narasumber yang penulis dapatkan,
sebelas orang saja. Itupun dari mereka yang diwawancarai sangat
sedikit (hampir tidak ada) yang dapat meluangkan waktu nonton film
di bioskop, berhubung mereka semua sibuk kuliah. Setiap hari hanya
berkutat di asrama dan ruang kuliah saja. Mereka baru punya waktu
luang di akhir minggu atau hari libur yang biasanya dimanfaatkan
untuk pulang ke Bandung, atau kota lain, berkumpul dengan
keluarganya.
Wawancara kelima dilakukan oleh penulis terhadap responden
di Bandung, yaitu teman-teman mengajar di Unpar dan mahasiswa di
Konsumsi Film Indonesia
201
Fakultas Ekonomi Unpar. Selain itu, penulis juga mewawancarai
teman-teman yang bekerja di tempat lain seperti Tomas dan Saut, yang
dulu sama-sama kuliah di Fakultas Ekonomi Unpar. Cukup banyak
responden yang penulis dapatkan, ada sejumlah 55 orang.
Wawancara keenam dan ketujuh penulis lakukan terhadap
keponakan penulis yang berdomisili di Kabupaten Sidikalang,
Sumatera Utara. Berhubung penulis tidak bisa berkunjung ke sana,
wawancara dilakukan melalui whatsapp dan telepon. Cukup banyak
responden yang menjawab pertanyaan penulis, ada limapuluh orang.
Di Sidikalang rupanya belum ada bioskop, jika ingin menonton mereka
harus berangkat ke Kota Medan yang jaraknya sekitar tiga jam
perjalanan atau lebih.
Berikutnya penulis melakukan wawancara terhadap Timothy –
anak penulis yang pertama—dengan teman-temannya di jurusan
Hubungan Internasional UKSW, Salatiga. Di awal, penulis melakukan
wawancara via Line (media sosial), kemudian disambung dengan tatap
muka ketika penulis kebetulan berkunjung ke kos Timothy bulan
November 2015. Sayangnya, di Salatiga sekarang tidak ada lagi bioskop.
Timothy dan teman-teman harus berangkat ke Solo untuk menonton
film ―The Fifth Wave‖.
Wawancara kedelapan dilakukan terhadap responden di Nias,
yaitu beberapa mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpar yang berasal dari
Nias. Wawancara dilakukan di kampus Fakultas Ekonomi Program
Studi DIII, Jalan Aceh nomor 53 Bandung. Dari sembilan orang yang
diwawancarai, hanya dua saja yang bisa menonton film ke bioskop
karena tempat tinggalnya dekat ke pusat kota. Sisanya yang tujuh
orang hanya bisa menyaksikan film Indonesia di televisi berhubung
daerah tempat tinggal mereka sangat jauh dengan pusat Kota Nias.
Biarpun begitu mereka semua yang menonton dari televisi saja, cukup
bangga dan menggemari film Indonesia.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
202
Wawancara dengan Penonton di Jakarta:
―tidak punya waktu untuk menonton...‖
Tabel 5.1. Wawancara dengan 23 Penonton di Jakarta (3-4 Oktober 2015)
No Nama Umur/ Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
1 Meita P-45 FA Action, Thriller,
Drama Kurang inovatif < 10 kali
2 Siska P- FA Drama Alurnya flat/datar < 10 kali
3 Billy Y L- FA Action Kurang Inovatif < 10 kali
4 Yoseph L- FA Action Kurang inovatif, ending ketebak,
jadul/kuno < 10 kali
5 Harsono L- FA Action Kurang inovatif < 10 kali
6 Cliff L- FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali
7 Vidya M P- FA Komedi cerita kurang jelas < 10 kali
8 Andrienan
to S L- FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali
9 Andreas A L- FA Action Kurang Inovatif < 10 kali
10 Christine P- FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
11 Siska Tjoa P- FA Thriller Ending ketebak < 10 kali
12 Toar L-48 FA Thriller Pilihan terbatas < 10 kali
13 Christine P-44 FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali
14 Nelson P-47 FA Drama Ending ketebak < 10 kali
15 Wifi P-44 FA Drama kolosal
Ending ketebak < 10 kali
16 Sepupu
Wifi P-40 FA Action Kurang inovatif < 10 kali
17-
23
Teman-teman Wifi
(7)
P/L (35-40)
FA
Drama, komedi, action, thriller
Kurang inovatif, ending cerita
ketebak, udah males nonton FI
< 10 kali
Keterangan: FA: FilmAsing FI:Film Indonesia
Meita, Toar, Christine, Nelson, dan Wifi adalah teman-teman
penulis satu fakultas di Unpar (angkatan 1987-1991, jurusan Akuntansi
dan Manajemen) yang sekarang berdomisili di Jakarta. Ketika kami
kuliah dulu, kami punya hobi yang sama: menonton film di bioskop.
Sekarang ini ketika penulis bertanya, hobi mereka masih belum
berubah, pulang bekerja ingin refreshing dengan cara makan bersama
atau nonton bersama di bioskop. Sebagian sudah berumah tangga dan
memiliki 1-2 anak, dua yang lain masih single. Pada tanggal 3 Oktober
Konsumsi Film Indonesia
203
2015, penulis berkesempatan bertemu dengan Meita dan makan sore di
sebuah restoran di Plaza Semanggi, di seberang kantor Meita. Hari itu
sebenarnya penulis membuat janji untuk bertemu dengan Wifi dan
Sisca juga, hanya saja, keduanya batal ke tempat/restoran yang
disepakati berhubung ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan.
Penulis pada saat itu berbincang-bincang tentang film
Indonesia. Meita tidak menampik bahwa film Indonesia masa kini
sudah banyak berbeda dengan masa lalu, namun dalam banyak hal,
teknik penggarapan dan lain-lain masih harus dikembangkan dan
diperbaharui lagi. Tambahan wawancara berikutnya (dari teman-
teman Meita di kantor dan di gereja) didapatkan penulis melalui
whatsapp keesokan harinya, tanggal 4 Oktober 2015.
Dari hasil bincang-bincang dengan Meita dan teman-
temannya, penulis menemukan bahwa teman-teman di Jakarta yang
sebaya dengan penulis lebih banyak yang menyukai makan bersama
ketimbang nonton bersama di bioskop. Alasannya, antara lain karena:
menonton tidak harus di bioskop, di rumah via DVD atau siaran
televisi swasta juga bisa. Di samping itu, jarak satu lokasi ke lokasi lain
di Jakarta cukup jauh, sehingga untuk membuat janji menonton
bersama di satu tempat akan menyulitkan orang lain yang lokasinya
cukup jauh. Perlu effort dan perjuangan yang cukup besar untuk
membuat janji bertemu di Jakarta. Makan bersama sudah pasti
menyenangkan, tapi menonton bersama belum tentu menyenangkan
jika film yang ditonton ternyata bukan film yang bagus.
Jika ada momen dan kesempatan untuk menonton bersama,
mereka biasanya cukup selektif, hanya mau menonton film-film bagus
saja. Film yang dikategorikan bagus biasanya film yang sudah ada
resensi box office sebelumnya di luar negeri, atau film yang mendapat-
kan penghargaan (award). Film asing sudah terbukti lebih bagus
menurut mereka ketimbang film Indonesia. Mereka sangat jarang
menonton film Indonesia, bahkan beberapa menyatakan tidak pernah
menonton film Indonesia.
Di Jakarta, bioskop tersedia cukup banyak tersebar di beberapa
wilayah. Ada 61 bioskop (ditambah 17 bioskop di Bekasi) ―Grup XXI‖
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
204
dan 10 bioskop dari ―Grup Blitz Megapleks‖ dan ―CGV Blitz‖. Harga
tiket masuk bervariasi bergantung pada lokasi dan hari menonton,
rata-rata untuk hari biasa (Senin-Kamis) harga tiketnya antara
Rp.25.000-40.000, hari Jumat Rp 35.000-50.000, dan hari
Sabtu/Minggu antara Rp 40.000-60.000. Untuk bioskop dengan jenis
premiere (lux) harga tiket berkisar antara Rp 60.000-100.000
tergantung harinya. Harga tiket masuk di bioskop pinggir Jakarta
(Depok, Bekasi) akan lebih murah dari bioskop yang berlokasi di pusat
kota Jakarta. Di samping itu, lokasi bioskop di dalam mall terkenal juga
akan lebih mahal daripada bioskop yang tidak di dalam mall. Dari
semua responden yang diwawancarai tidak ada kesulitan untuk
membeli tiket masuk.
Duapuluh tiga responden yang mewakili penonton di Jakarta
100% menyukai film asing. Film-film bergenre action, drama dan
thriller merupakan jenis film yang paling disukai. Genre action memi-
liki rating tertinggi, yaitu disukai sebanyak 30% penonton, genre
drama 26%, dan genre thriller juga 26%. Sisanya menyukai film
dengan genre komedi. Responden yang mewakili penonton di Jakarta
menyatakan bahwa film Indonesia kurang menarik karena pilihannya
terbatas, kurang inovatif, ending cerita sudah bisa ditebak, dan alurnya
datar. Menonton bioskop menjadi sebuah kegiatan yang harus diran-
cang jauh-jauh hari untuk mereka yang bekerja full-time di Jakarta.
Berikut adalah dokumentasi wawancara dengan Meita, Wifi,
dan teman-temannya di Jakarta:
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 5.1. Meita dkk. Gambar 5.2. Wifi dkk.
Konsumsi Film Indonesia
205
Wawancara dengan Penonton di Lombok:
―film Indonesia... apa itu?‖
Yaya dan Vivi adalah dua teman penulis yang saat ini
berdomisili di Lombok dan pinggir kota Lombok. Yaya dan Vivi
merupakan sahabat penulis saat sekolah di SD (SDK Paulus III
Bandung) yang kemudian tinggal dan berwirausaha di Kota Lombok –
kami berjumpa lagi ketika reuni SD. Berikut adalah hasil wawancara
dengan teman-teman di Lombok.
Tabel 5.2. Wawancara dengan 2 Penonton di Lombok: Karyawan, Pengusaha
(Tanggal 3 Oktober 2015)
No Nama Umur/ Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
24 Yaya L-47 FA Action, Thriller
Kurang inovatif, skenario jelek.
< 10 kali
25 Vivi P-46 FA Drama Kurang inovatif, akting payah.
< 10 kali
Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia
Baik Yaya maupun Vivi sebagai perwakilan responden di
Lombok, keduanya lebih menyukai film asing. Film-film bergenre
drama, action, dan thriller (suspense) merupakan jenis film yang paling
disukai. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia kurang inovatif,
aktingnya payah, dan skenario jelek. Mereka menyatakan jarang
menonton film ke bioskop. Tidak ada dokumentasi dalam bentuk foto
yang bisa penulis dapatkan dan lampirkan pada laporan ini. Di samping
itu, saat penulis melakukan wawancara, belum ada bioskop di Lombok.
Baru pada tanggal 13 Oktober 2015 penulis menemukan berita di
website Cinema 21 bahwa bioskop ―LEM XXI‖ telah dibuka di Lombok
dengan harga tiket seperti bioskop di Jakarta.
Wawancara dengan Penonton di Bali:
―rindu film Indonesia, yang benar-benar Indonesia‖
Di Bali hanya tersedia lima bioskop, semuanya ada di Kota
Denpasar dan merupakan ―Grup XXI‖. Yanthy Sipayung adalah sahabat
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
206
penulis sejak kuliah di Unpar, setelah menikah ia tinggal dengan
suaminya di Denpasar, Bali. Ia dan rekan-rekan sekerjanya dapat
penulis wawancarai pada awal bulan Oktober tahun 2015 melalui
komunikasi media sosial (whatsapp) yang disambung dengan
pertemuan langsung di akhir bulan Desember di Kuta, Bali.
Di Bali sekarang sudah ada lima bioskop --ketika penulis
terakhir menonton sekitar tahun 2012/2013 di Bali baru ada dua
bioskop: di ―Galeria XXI‖ Ngurah Rai dan di ―Beach Walk XXI‖ Kuta.
Yanthy dan kawan-kawan merupakan responden dari kalangan pekerja
dan pengusaha dengan rentang usia 35-55 tahun. Kebanyakan sudah
berkeluarga, namun ada beberapa yang belum. Mereka lebih nyaman
dengan nama singkatan saja. Berikut adalah rangkuman wawancara
dengan mereka:
Tabel 5.3. Wawancara dengan 51 Penonton di Denpasar, Bali: Karyawan dan
Pengusaha (Tanggal 2-3 Oktober 2015) No Nama Umur/
Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
26 YS P-45 FA Drama Kurang totalitas < 10 kali
27 HAH L-49 FA Laga Kurang inovatif < 10 kali
28 DS P-55 FA Lokasi syuting FA menawan, akting jempolan, cerita diadaptasi dari novel
< 10 kali
29 PYCOP P-35 FI Drama Justru suka FI < 10 kali
30 SB P-47 FA Drama Wardrobe dan
akting berlebih-an, tdk natural. Gak ada soul. Kurang research.
< 10 kali
31 IGAY P-32 FA Drama Kurang inovatif, kurang mendidik
< 10 kali
32 AAKS L-33 FA Komedi Sinematografi kurang bagus, kayak sinetron, edit kurang, cerita standar, angle kamera monoton.
< 10 kali
Konsumsi Film Indonesia
207
No Nama Umur/ Jns
Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
33 HL P-47 FA Thriller Kurang profesional, cerita membo-sankan, akting kurang, tidak punya karakter/ ciri khas
< 10 kali
34 RGK P-42 FA Komedi Ending ketebak < 10 kali
35 FTMS P-42 FA Drama FA lebih banyak kisah nyata
< 10 kali
36 RA P-35 FA Komedi Suara dan gambar tidak sejernih FA
< 10 kali
37 FHS L-46 FA Laga Kurang inovatif < 10 kali
38 IS P-47 FI Drama FI juga bagus < 10 kali
39 KS P-46 FA Drama FA lebih intelek dan berbobot
< 10 kali
40 YC P-40 FA Drama Semua kurang: inovasi, jadul, ending ketebak.
< 10 kali
41 LS P-40 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
42 PF P-46 FA Drama Ending ketebak, jadul, cerita tidak sinkron masak org miskin wajahnya terawat dan sering ke salon?
< 10 kali
43 PAS LP-39 FA Laga Jadul, dana kurang, setting lokasi kurang
< 10 kali
44 FJ P-35 FA Drama FA efeknya bagus
< 10 kali
45 PSM L-35 FA Laga Kurang inovatif, latah. FA lebih serius membuat
< 10 kali
46 AS P-42 FA Drama Kurang inovatif, ending ketebak
< 10 kali
47 LT P-41 FA Drama Film Asing lebih kreatif dari segi ide maupun animasi
< 10 kali
48 IF P-35 FA Thriller All < 10 kali
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
208
No Nama Umur/ Jns
Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
49 MR P-36 FA Thriller Ending ketebak < 10 kali
50 RN L-35 FA Laga Tidak sesuai dengan norma agama. Cerita-nya aneh, masak naga parkir di depan rumah
< 10 kali
51 MK P-47 FI Drama Lain-lain < 10 kali
52 AD P-48 FA Komedi Ending ketebak < 10 kali
53 LB L-45 FA Thriller Film Indonesia ceritanya aneh, mengada-ada, gampang ditebak
< 10 kali
54 SC P-46 FA Drama Ending ketebak < 10 kali
55 ER P-41 FA Laga Ending ketebak < 10 kali
56 GT P-45 FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali
57 C P-35 FA Drama Cerita dan akting pemain tidak bagus
< 10 kali
58 TAS P-39 FA Laga Ending ketebak, tidak ada pesan yang berarti dari ceritanya
< 10 kali
59 NMI P-46 FA Drama Ending ketebak < 10 kali
60 RP L-35 FA Laga Ending ketebak < 10 kali
61 YS P-44 FA Drama Kurang inovatif, cerita tidak menarik
< 10 kali
62 AW P-46 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
63 MR L-42 FA Laga Penceritaan dan teknik kurang menarik secara emosional maupun intelektual
< 10 kali
64 KA P-43 FA Drama Film asing lebih intelektual dan berbobot
< 10 kali
65 TR P-35 FA Komedi Ending ketebak < 10 kali
66 TK P-46 FA Drama Aktor kurang menjiwai peran, jalan cerita dipaksakan
< 10 kali
Konsumsi Film Indonesia
209
No Nama Umur/ Jns
Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
67 LJ P-35 FA Komedi Cerita ngalor-ngidul, ekspresi berlebihan, kurang mendidik, tidak nyambung, perlu film tentang kebiasaan2 yang mem-bangun dan mengangkat bangsa
< 10 kali
68 CW P-37 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
69 MT P-37 FA Drama FI monoton, FA banyak pilihan cerita. FI ikut-ikutan kalo ada yang lagi booming.Perlu komedi yang lebih berkelas, tidak urakan. Perlu tokoh yang manusiawi dan membumi, tidak judging. Buat cerita yang humanis , angkat kekayaan budaya Indonesia.
< 10 kali
70 SYD P-44 FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali
71 MYN P-48 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
72 SZ L-43 FA Laga Kurang inovatif < 10 kali
73 NC P-39 FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali
74 YA P-37 FA Drama Ending ketebak < 10 kali
75 SRB P-34 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
76 LR P-42 FI Drama Film Indonesia cenderung copy-paste, mana yang laku itu diulang terus sampai bosan.
< 10 kali
Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
210
Sebanyak limapuluh satu responden yang mewakili penonton
di Bali memberikan testimony yang unik, karena mereka ternyata
cukup kritis (lebih kritis dari penonton di kota lain!) mengemukakan
pendapatnya. Cita rasa terhadap seni yang cukup tinggi tercermin
dalam jawaban-jawaban mereka. Bukan hanya isi cerita yang masih
dianggap kurang mewakili budaya asli Indonesia, namun juga dari sisi
penggarapan dan teknik pembuatan banyak dikritisi. Sebanyak 7,8%
menyatakan menyukai film Indonesia biarpun sering diulang-ulang
sampai bosan 53% menyukai film bergenre drama, sisanya menyukai
komedi (18,7%) dan laga/action (19,6%). Sebenarnya mereka senang
juga menonton di bioskop, tapi karena harga tiket saat ini Rp 60.000
saja untuk weekday dan Rp 100.000 ketika weekend maka, menurut
Yanthy (mewakili teman-temannya) mereka tidak bisa sering-sering
menonton di bioskop.
Mengapa responden di Denpasar Bali sangat kritis dengan film
Indonesia saat ini? Di samping akting dan wardrobe pemain yang
dirasa berlebihan, tidak natural, dan ending cerita yang sering bisa
ditebak; mereka memberi banyak masukan untuk film Indonesia. Di
antaranya adalah, film Indonesia diminta untuk mengangkat budaya
khas Indonesia, ceritanya lebih membumi dan tidak perlu menghakimi
(judging). Film Indonesia harus lebih humanis, mengandung pesan
yang bermanfaat, pilihan setting lokasi yang lebih baik, angle kamera
harus lebih jago, proses editing dan teknologi harus lebih bagus,
komedinya harus berkelas dan tidak urakan. Bobot intelektual harus
ditingkatkan. Dapat dilihat bahwa, responden di Bali sangat
menghargai budaya asli Indonesia. Tidak berarti bahwa mereka tidak
menyukai film Indonesia, hanya saja, mereka ingin budaya asli
Indonesia dikemas dengan kreatif dan tampilan yang lebih baik.
Berikut adalah dokumentasi dengan Yanthy dan teman-
temannya di Bali:
Konsumsi Film Indonesia
211
Gambar 5.3. Yanthy dkk. Gambar 5.4. Penulis dengan Yanthy-Wijaya
Wawancara dengan Penonton di Jatinangor:
―tiket mahal, kuliah padat‖
Natasha (Tasha) adalah keponakan penulis yang sedang kuliah
di Fakultas Kedokteran Unpad, Jatinangor. Ia dan sahabat-sahabatnya
adalah penyuka film, namun kurang menyukai menonton film
Indonesia. Pada saat Tasha masih SMA di Bandung, ia kerap nonton di
bioskop dengan teman-teman atau keluarga. Kondisi berubah ketika
Tasha kemudian pindah ke Jatinangor untuk melanjutkan kuliah di
Unpad. Berikut adalah petikan wawancara dengan Tasya dan kawan-
kawan yang telah dirangkum dalam satu tabel.
Tabel 5.4. Wawancara dengan 11Penonton di Jatinangor:
Mahasiswa Kedokteran Unpad (4-5 Oktober 2015)
No Nama Umur/ Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
77 Natasha P-19 FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali
78 Levina Felicia
P-19 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
79 Dellaneira Setiadi
P-19 FA Drama, Alay < 10 kali
80 Yolanda Ardelia
P-19 Drama, Ending ketebak < 10 kali
81 Reisia P. B.
L-18 FA Thriller, Action
Ending ketebak,
kurang Inovatif, < 10 kali
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
212
82 Johanna Regina
P-19 FA Thriller, Drama
Kurang inovatif, Alay
< 10 kali
83 Ali Akbar L-19 FA Komedi, Laga
Kurang inovatif < 10 kali
84 Newa Fauziah
P-19 FA Komedi Ending ketebak, lebay
< 10 kali
85 Yogi Subandra
L-19 FA Laga Kurang inovatif, ending ketebak
< 10 kali
86 Rievanda Ayu N.
P-19 FA Drama, Komedi
Kurang inovatif < 10 kali
87 Dimas Hari
L-21 FA Thriller, Action
Kurang inovatif < 10 kali
Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia
Sebelas responden yang mewakili penonton di Jatinangor
semuanya (100%) lebih menyukai film asing. Film-film bergenre
thriller, drama, dan action menempati urutan tertinggi jenis film yang
disukai. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia kurang menarik
karena kurang inovatif, ending cerita bisa ditebak, dan alay/lebay
(dibuat-buat). Semuanya jarang menonton film Indonesia di bioskop,
sibuk kuliah.
Salah satu sebabnya, karena bioskop sangat terbatas di
Jatinangor, hanya ada satu yaitu yang berlokasi di dalam mall Jatos.
Letaknya cukup jauh dari kampus Unpad. Karena mereka rata-rata
tinggal di asrama di dalam kampus, maka untuk pergi menonton adalah
suatu kegiatan yang butuh pengorbanan, karenanya jarang sekali
dilakukan. Pada saat akhir minggu atau hari libur pun, Tasha dan
kawan-kawan lebih senang pulang ke Bandung dan kota kelahiran
masing-masing yang lain.
Gambar 5.5. Natasha dkk (Jatinangor)
(milik pribadi)
Konsumsi Film Indonesia
213
Wawancara dengan Penonton di Bandung:
―film asing masih lebih bagus, tiket mahal, mending unduh film Korea di laptop...‖
Penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa penonton
di Bandung, yang terbanyak berasal dari kalangan mahasiswa di
Fakultas Ekonomi Unpar. Sisanya, ada beberapa teman sejak kuliah dan
beberapa teman pengajar. Wawancara di Bandung, tempat tinggal
penulis, ternyata tidak semudah yang penulis perkirakan. Ini
disebabkan mayoritas mahasiswa yang menjadi narasumber ternyata
tidak semua dapat dan mau menonton film di bioskop. Kendala utama
adalah masalah keuangan, juga padatnya jadwal kuliah. Ternyata dari
51 orang mahasiswa yang diwawancarai, menyatakan bahwa mereka
lebih suka download film dari youtube dan menonton dari laptop di
kampus, berhubung ada fasilitas wifi! Itupun bukan film Indonesia
yang ditonton, tapi film Korea. Menonton hanya sesekali jika ditraktir
pacar atau teman yang sedang ulang tahun.
Bagi empat narasumber lain yaitu teman-teman penulis yang
sudah bekerja tidak ada kendala keuangan untuk pergi menonton film
di bioskop. Masalahnya hanya dari segi waktu saja, pekerjaan membuat
mereka kekurangan waktu untuk menonton. Itu saja.
Berikut adalah cuplikan wawancara dengan responden di
Bandung, yang dirangkum pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.5. Wawancara dengan 55 Penonton di Bandung
Mahasiswa dan Karyawan (4-7 Oktober 2015)
No Nama Umur/
Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
88 Herlina Irawati
P FI Drama Kurang inovatif <10 kali
89 Febryan Aditya
L FI Thriller Kurang inovatif <10 kali
90 Evianna Dian P.
P FA Drama Kurang mendidik,
jiplak >20 kali
91 Jefry L FA Drama Kurang menarik 10 – 20
kali
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
214
No Nama Umur/
Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
92 Fransisca Agustina
P FA Thriller Kurang inovatif 10 – 20
kali
93 Chyntiya
Margaretha P FA
Horor (mistis)
Ending-nya ketebak
<10 kali
94 Theodore L FA Laga / action
Kurang inovatif <10 kali
95 Rinda Yanti
P FA Drama Kurang inovatif <10 kali
96 Chrysilla P FA Horror mistis)
Ending-nya ketebak
<10 kali
97 Tasya Maria
P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali
98 Victoria Jessica
P FA Komedi Ending-nya
ketebak 10 – 20
kali
99 Misty Ayu P FA Drama Jadul <10 kali
100 Fadhil L FA Laga / action
Kurang inovatif <10 kali
101 Benhur Salaga
L FA Drama Kurang mendidik <10 kali
102 Gabriella
Octavianie P FA Drama Kurang mendidik <10 kali
103 Himawan L FA Komedi Kurang inovatif <10 kali
104 Fita
Fitriana P FA Thriller
Ending-nya
ketebak <10 kali
105 Tari P FA Drama Jadul <10 kali
106 Reni P FI komedi Kurang inovatif <10 kali
107 Alfonsius Ganesha
L FA Thriller Kurang inovatif <10 kali
108 Veronica P FA Drama Ending-nya
ketebak <10 kali
109 Santa
Novelia P FI Drama
Ending-nya ketebak
<10 kali
110 Angelina
Dhini P FA
Drama, komedi
Kurang inovatif <10 kali
111 Angga Yogi
L FA Thriller Ending-nya
ketebak <10 kali
112 Celis P FA Drama Ending-nya
ketebak <10 kali
113 Caroline Gultom
P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali
114 Yudha L FA Drama Jadul 10 – 20
kali
115 Ruth
Anastasya P FA Drama
Kurang inovatif
<10 kali
Konsumsi Film Indonesia
215
No Nama Umur/
Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
116 Cica
Irawati P FA
Drama, komedi, horror
Ending-nya ketebak
<10 kali
117 Delima P FI Drama Kurang inovatif 10 – 20
kali
118 Yolanda P FA Laga / action
Ending-nya ketebak
<10 kali
119 Christian L FI komedi Ending-nya
ketebak <10 kali
120 Penina P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali
121 Putri
Fatmasari P FA
Komedi, drama
Ending-nya
ketebak <10 kali
122 Rery P FA Drama Ending-nya
ketebak <10 kali
123 Agnes P FA Komedi Ending-nya
ketebak <10 kali
124 Evie
Veronica P FI
Laga / action
Kurang inovatif <10 kali
125 Clara P FA Drama Kurang inovatif <10 kali
126 Regina P FA Laga / action
Ending-nya ketebak
>20 kali
127 Michael L FA Laga / action
Suka menjiplak <10 kali
128 Putri
Anastasya P FA Drama
Ending-nya ketebak
<10 kali
129 Yopie L FA Drama Kurang inovatif <10 kali
130 Getha P FA Drama Jadul <10 kali
131 Sofyan
Suryana L FA
Laga / action
Kurang inovatif <10 kali
132 Anita
Irensya P FI
Laga / action
Kurang inovatif <10 kali
133 Debora P FI Drama Kurang inovatif 10 – 20
kali
134 Dina
Septianingsih
P FI Drama Kurang inovatif 10 – 20
kali
135 Bernandus Guntur
L FI Komedi Kurang inovatif <10 kali
136 Febe
Devina P FA Thriller Kurang inovatif <10 kali
137 Antonius
Oce L FA
Laga/ action
Ending-nya ketebak
<10 kali
138 Ais P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
216
No Nama Umur/
Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
139 Pak Tomas
L-47 FA Action Kurang Inovatif < 10 kali
140 Pak Saut S
L-47 FA Action, Thriller
Kualitas kurang < 10 kali
141 Pak Albert Tobing
L-35 FA & FI
Drama, Action, Thriller
FI sudah semakin baik. Kagum dengan film “SITI”
>20 kali
142 Ibu Tiurma M
P-35 FA Drama, Action
Kualitas FA seringkali lebih baik
10 – 20 kali
Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia
Dari limapuluh lima responden yang mewakili penonton di
Bandung, 20,7% menyatakan menyukai film Indonesia, sementara
sisanya (79,3%) menyukai film asing. 13% menyatakan senang
menonton film (termasuk film Indonesia) di bioskop, 2% saja yang
mengatakan sangat senang menonton film di bioskop, dan sisanya 85%
menyatakan jarang menonton di bioskop. Ini disebabkan 51 orang yang
menjadi responden adalah mahasiswa yang kebanyakan menonton film
di laptop mereka –via youtube atau media internet lain—ketika
menggunakan fasilitas wifi di kampus.Yang lebih lucu sekaligus
mengenaskan adalah, ketika para mahasiswa ini bertemu dengan Sheila
Timothy yang sempat berkunjung menjadi dosen tamu di perkuliahan
Kewirausahaan Kreatif, mahasiswa tidak tahu film ―Tabula Rasa‖ yang
dibuat oleh Lala, berhubung pengetahuan mereka tentang film
Indonesia saat ini sangat kurang. Mereka baru tahu ada film-film
Indonesia yang bagus seperti ―Modus Anomali‖, ―Pintu Terlarang‖, dan
―Tabula Rasa‖ yang dibuat oleh Lala Timothy pada saat kuliah umum
tersebut. Sayangnya, ketika mau menonton film tersebut di bioskop,
filmnya sudah lama tidak ditayangkan lagi.
Film-film bergenre drama, komedi, dan action menempati
urutan tertinggi jenis film yang disukai, yaitu drama 45,3%; komedi
24,5%; action 20,7%. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia masih
kurang dari segi inovasi, alur cerita (ending masih bisa ditebak), kurang
mendidik, dan suka menjiplak. Ada satu jawaban yang menarik dari
Konsumsi Film Indonesia
217
seorang responden yaitu Bapak Albert Tobing, yang menyatakan
bahwa film Indonesia sudah semakin bagus.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 5.6. dan 5.7. Icha dkk. (Bandung)
Wawancara dengan Penonton di Sidikalang:
―film Indonesia sudah bagus, sayang tidak bisa nonton di bioskop, tapi film asing lebih bagus...‖
Tabel 5.6. Wawancara dengan 50 Penonton di Sidikalang:
Pelajar dan mahasiswa (2-3 Oktober 2015)
No Nama Umur/ Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
143 Martha 15 FI Romantis, komedi
Ending ketebak < 10 kali
144 Bonur 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali
145 Ezra 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali
146 Iren 17 FI Romantis, komedi
Ending ketebak < 10 kali
147 Mawar 17 FI Romantis, komedi
Ending ketebak < 10 kali
148 Shinta 17 FI Romantis, komedi
Ending ketebak < 10 kali
149 Antoni 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali
150 Elfandi 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali
151 Kelvin 17 FA Action,
komedi Jadul < 10 kali
152 Putra 17 FA Action, komedi
Jadul < 10 kali
153 Ester 17 FI Romantis, komedi
Ending ketebak < 10 kali
154 Bosman, 17 FA Action, Ending ketebak < 10 kali
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
218
No Nama Umur/ Jns Klmn
FI Atau FA
Genre yang
disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton setahun
-179
Azriel, Fiaz, Ezra, Putri, Binsyah, Chintya, Mayang, Afrianto, Marquano, Maikel, Michael, Aziz, Dinda, Christin, Eko, Sita, Ina, Nadia, Irayomi, Yuyun, July, Yusvera, Yuni, Natasha, Sagita (26)
komedi, romantic
180181
Ika dan Sondang
16 FI Romantis, komedi
Senang FI < 10 kali
182-186
Jones, Elgi, Verdy, Heri, William (5)
17 FA Action Jadul < 10 kali
187-193
Agung, Rahmat, Christo-pher, Desi, Aktif, Bima, David (7)
17 FA Action Kurang Inovatif < 10 kali
Keterangan: FA: Film Asing FI: Film Indonesia
Limapuluh responden yang mewakili penonton di Kabupaten
Sidikalang, Sumatera Utara, menyatakan menyukai film asing sebanyak
98%, hanya 2% yang menyukai film Indonesia. Semua menyatakan
jarang menonton film (kurang dari 10 kali dalam setahun). Film-film
bergenre komedi merupakan jenis film yang paling disukai (66%),
sisanya menyukai film bergenre action dan romantis (34%). Mereka
menyatakan bahwa film Indonesia masih bisa ditebak ending
ceritanya, ‗jadul‘ (kuno), dan kurang inovatif.
Konsumsi Film Indonesia
219
Patut disayangkan bahwa di daerah-daerah seperti Sidikalang
yang masih sangat menghargai budaya asli dan film Indonesia, justru
tidak ada bioskop yang bisa mereka datangi. Bioskop terdekat ada di
Kota Medan. Mereka hanya bisa menikmati film Indonesia di televisi
saja.
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 5.8. Martha dkk (Sidikalang)
Wawancara dengan Penonton di Salatiga:
―bioskop jauh, harga tiket mahal, film Indonesia kurang bermutu‖
Tabel 5.7. Wawancara dengan 51 Penonton di Salatiga:
Mahasiswa HI UKSW (15-21November 2015)
No Nama (Umur 18-25)
FI Atau FA
Genre yang disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton
setahun & alasan
194 Frisaldy Salama
FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (tidak ada bioskop di kota saya)
195 Jhon Megahar-ri N
FA Komedi Jadul >20 kali (tidak ada bioskop)
196 Reni Erlita
FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (film Indo punya kesan “dirty jokes”dan tidak senonoh
197 Putu Gede
FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (tidak ada bioskop)
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
220
No Nama (Umur 18-25)
FI Atau FA
Genre yang disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton
setahun & alasan
198 Stevie Yanuza
FA Laga Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
199 Arnoldo Giovani
FA Laga Kurang inovatif, kurang ciri khas, banyak meniru FA
< 10 kali
200 Fajar FA Laga Kurang inovatif >20 kali (tidak ada kendala)
201 Reza Refianto
FA Drama Ending ketebak 10 – 20 kali
202 Risma Yanti
FA Drama Ending ketebak > 20 kali
203 Calvin FA Laga Kurang inovatif, kurang rame cerita
< 10 kali
204 Dionisius Linardi
FA Laga Kurang inovatif < 10 kali
205 Atalitha FA Laga Kurang segalanya 10-20 kali (harga tiket bioskop mahal)
206 Gerry FA Komedi Ada yang bagus sih, tapi ide cerita sering kiblat FA, kurang „greget‟
< 10 kali (tidak ada kendala bioskop)
207 Cicilia Maria
FA Komedi Ending ketebak < 10 kali
208 Liana Samang un
FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (ngabisin duit, kebanyakan film tdk brmutu)
209 Stanley Jeremiah
FI Horor Kurang inovatif < 10 kali (tidak ada kendala)
210 Aldo Sloan
FA Komedi Jelek, tidak mengedukasi, hanya menambah modal penguasa
< 10 kali (tergantung mood dan menarik/ tidaknya film yang diputar)
211 David A. FA Komedi Semua alur ketebak
> 20 kali
212 Arvian FI Komedi Sebenarnya sudah mulai bagus, hanya dirusak film horor yang andalkan pornografi
< 10 kali (ngga punya waktu menonton ke bioskop karena sering main motor)
Konsumsi Film Indonesia
221
No Nama (Umur 18-25)
FI Atau FA
Genre yang disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton
setahun & alasan
213 Veronica FA Komedi Kurang inovatif >20 kali
214 Isak FA Laga Kurang menarik < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
215 Nandare- tta
FA Laga Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh)
216 Dyah FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
217 Naomi FA Thriller Ending ketebak < 10 kali
218 Pamela FA Thriller Tidak mendidik, mostly tdk ada value
< 10 kali (tidak tertarik nonton)
219 Stephani FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (jarang ada yang mau diajak nonton bareng)
220 Kirana FI Komedi Kurang inovatif < 10 kali
221 Panji Adinugroho
FA Drama Kurang inovatif < 10 kali (ngga ada bioskop di sini, ngga punya gebetan untuk diajak nonton)
222 Miristika FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (harga tiket mahal)
223 Jeremias Massie
FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali
224 Reynald Aditia
FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (ngga ada bioskop di sini)
225 Moni FA Laga Kurang inovatif 10-20 kali (ngga ada bioskop di sini)
226 Christin FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali
227 Elizabeth Eluay
FA Thriller Kurang inovatif, beda dengan dulu
10-20 kali
228 Tabitha FA Drama Kurang inovatif < 10 kali
229 Joel Lumbangaol
FA Thriller Ending ketebak < 10 kali (ngga ada bioskop di sini)
230 Dilla FA Horor Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
231 Gita FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (nonton film Indon ngga menarik, malesin)
232 Diah Ayu FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
222
No Nama (Umur 18-25)
FI Atau FA
Genre yang disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton
setahun & alasan
233 Joshua Galih
FA Laga Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
234 Aditya Maha-nani
FA Laga Kurang inovatif < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
235 Mima FA Semua genre suka
Kurang inovatif, ending ketebak
< 10 kali (bioskop terdekat jauh)
236 Isha FA Komedi Kurang inovatif, ending ketebak
> 20 kali (bioskop terdekat jauh sekali+harga tiket mahal)
237 Teddy FI Komedi, Laga, Thriller
Film Indon sudah mulai meninggalkan unsur2 seks yang dulu dominan
< 10 kali (ngga ada bioskop di sini, bioskop terdekat XXI jarang putar film Indo)
238 Allifia FA Horor Ending ketebak < 10 kali (di sini ngga ada bioskop)
239 Benedict FA Laga Kurang inovatif < 10 kali
240 Timothy FA Laga, thriller Genre laga sudah mulai bagus, juga film tentang perjuangan bangsa, tokoh semakin dijiwai
> 20 kali (menonton di Bandung atau Semarang)
241 Mark FA Laga, thriller Jadul, kurang menarik, tidak sebagus FA
10-20 kali
242 Eddy Koehua
FA Komedi, horor Kurang inovatif < 10 kali
243 Tyas FA Komedi, drama
Kurang inovatif, jadul, ending ketebak
10-20 kali
244 Yesaya FA Laga, komedi Gitu-gitu aja, kurang spesial effect
< 10 kali
Limapuluh responden yang merupakan mahasiswa jurusan
Hubungan Internasional di UKSW, mewakili penonton di Salatiga
menyatakan bahwa mereka lebih menyukai film asing (91%). Genre
film yang paling digandrungi adalah komedi (43,8%) kemudian laga
(28,2%) dan thriller (17,4%). Sebanyak 13% menyatakan sangat senang
Konsumsi Film Indonesia
223
menonton film di bioskop (bisa lebih dari 20 kali dalam setahun), 8,6%
cukup sering ke bioskop (antara 10 sampai 20 kali setahun), dan sisanya
jarang menonton ke bioskop. Hal ini disebabkan karena di Kota
Salatiga sekarang tidak ada lagi bioskop, sehingga mereka sulit untuk
pergi menonton, bioskop terdekat ada di kotas Semarang (XXI) itupun
harga tiketnya cukup mahal (berkisar antara Rp 30.000 sampai Rp
60.000). Sedangkan di Kota Solo dan Yogyakarta (bioskop XXI dan
Blitz) harga tiket lebih murah, namun jaraknya lebih jauh, di
perjalanan makan waktu dua dan tiga jam.
Responden di Salatiga memiliki karakteristik yang berbeda
dengan responden di Bandung, misalnya, biarpun mereka sama-sama
mahasiswa. Responden di Salatiga, yaitu para mahasiswa HI ini
menunjukkan sikap yang lebih kritis dengan penceritaan di film
Indonesia. Menurut sebagian dari mereka ―alurnya gampang ditebak‖
dan ―mengandalkan dirty jokes‖ sehingga orang tua melarang untuk
menonton film Indonesia. Ternyata kreatifitas dan inovasi yang
dilakukan para film maker Pasca Reformasi belum bisa menghilangkan
persepsi penonton di era Orde Baru yang dominan dengan cerita-cerita
sex-horor di film-film mereka. Selain itu ditemukan juga bahwa untuk
mereka menonton lebih asyik dilakukan jika dilakukan bersama,
berama-ramai dengan teman sekelompok, atau bersama dengan
pasangan (pacar) bagi yang sudah punya. Tampaknya, tidak ada yang
suka menonton film sendirian.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 5.9. Timothy dkk (UKSW, Salatiga)
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
224
Wawancara dengan Penonton di Nias:
―film Indonesia sudah bagus, sayang tidak ada bioskop, kalau mau nonton jauh sekali‖
Tabel 5.8. Wawancara dengan 9 Penonton di Nias
Mahasiswa (26 November 2015)
No Nama (Umur 18-20)
FI Atau FA
Genre yang disukai
Mengapa tidak suka Film Indonesia
Frekuensi menonton
setahun & alasan
245 Nirani Hasrat
FI Komedi Suka, tapi jadul 10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
246 Fatiso Gulo
FA Laga Suka, tapi efek kurang
< 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
247 Gusu Soli D. G.
FI Horor Suka, biarpun ending ketebak
10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
248 Kristiani Gulo
FI Horor Suka, tapi jadul 10-20 kali (tidak ada bioskop di kota saya)
249 Katarina Zai
FI Horor Suka 10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
250 Yuta Yantinia
FI Komedi Suka < 10 kali (tidak ada bioskop di kota saya)
251 Rini M. W.
FI Komedi Suka, biarpun kurang inovatif
10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali)
252 Sadari Gulo
FA Drama, Laga Suka, tapi kurang bagus
<10 kali
253 Putri K. FI Komedi, Drama
Bagus <10 kali
Enam responden yang berhasil diwawancara sebagai perwa-
kilan dari penonton di Nias, menyatakan lebih suka menonton film
Indonesia (83%) biarpun ceritanya ‗jadul‘ alur cerita bisa ditebak, dan
kurang inovatif. Hal ini disebabkan di kota tersebut belum ada bioskop,
bioskop terdekat cukup jauh, sehingga mereka lebih sering menonton
televisi. Meskipun demikian, 50% menyatakan bahwa mereka cukup
sering (antara 10 sampa 20 kali) pergi menonton ke bioskop.
Konsumsi Film Indonesia
225
Responden dari Nias yang juga terdiri dari para mahasiswa,
ternyata juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan penonton di
Bandung atau Salatiga. Ditemukan bahwa sebagian besar dari mereka
menyukai film Indonesia, biarpun hanya menonton di televisi saja.
Mereka masih menantikan adanya film-film Indonesia yang lain dan
dibukanya bioskop di Kota Nias, khususnya daerah tempat tinggal
mereka.
Hasil wawancara dengan seluruh penonton tersebut jika
dirangkum memberikan gambaran sebagai berikut. Dengan rentang
umur antara 17-55 tahun, yaitu para pelajar SMA, mahasiswa, pekerja
(karyawan), pengusaha, dan ibu rumah tangga, film Indonesia
tampaknya masih cukup disukai dan menjadi primadona –terutama di
kota-kota kecil di luar Jawa yaitu Nias dan Sidikalang. Selain
menonton di bioskop, mereka lebih senang menonton film dan
sinetron Indonesia di televisi. Ini disebabkan kurang atau tidak adanya
bioskop di kota mereka atau kalaupun ada harga tiketnya terlalu mahal.
Di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dan Bali
(Denpasar) serta Lombok, juga daerah-daerah tempat belajar seperti
Kota Salatiga dan Kabupaten Jatinangor, yang terjadi sebaliknya. Film
asing lebih disukai daripada film Indonesia, lebih dari 90% responden
menyatakan hal tersebut. Karenanya, bisa dimaklumi mereka hampir
tidak ada atau tidak tahu tentang film ―Siti‖ yang menjadi fenomena
awal yang diangkat dalam penelitian ini. Sekalipun demikian, teman-
teman di Bali tampak masih menaruh harapan akan munculnya film
Indonesia dengan penceritaan yang lebih asli dan kemasan yang lebih
baik. Hal ini disebabkan mereka sangat menghargai budaya Indonesia.
Menurut para responden, film Indonesia banyak yang harus
diperbaiki dan dibenahi, dari segi ide dan alur cerita, penokohan yang
lebih natural (lebih menjiwai), setting yang lebih cocok, komedi yang
lebih berkelas, lebih intelek, dan teknologi terkini, serta harga tiket
lebih murah. Penonton di daerah ini jauh lebih kritis dan
menginginkan banyak perbaikan dalam industri film Indonesia.
Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
226
Hasil wawancara dengan para penonton tersebut lebih lanjut
akan dibandingkan dengan hasil wawancara dari para pembuat film
(mavie-maker) berikut ini dan pengusaha bioskop. Dengan begitu,
akan didapatkan gambaran yang lebih menyeluruh dan penafsiran
yang lebih kompleks. Pendapat movie-maker bisa mendukung atau
berlawanan dengan pendapat penonton.
Kategorisasi Temuan
Hasil wawancara dan rangkuman (dalam bentuk narasi)
dikategorisasi ke dalam beberapa temuan pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9. Kategori Temuan-temuan dari Penonton
Asal Kota Menonton Film “Siti”
Menyukai Film
Indonesia
Menyukai Film Asing
Alasan
1. Jakarta Tidak, film apa itu?
Kurang Ya Tidak punya banyak waktu
2. Lombok Tidak Tidak Ya Film Indonesia tidak bagus
3. Bali Tidak, film apa itu?
Ya Ya Suka juga film Indonesia, tapi film asing lebih baik. Penggarapan ceritanya, teknologi-nya, penokohan/ aktingnya, dll.
4. Jatinangor Tidak Tidak Ya Kurang waktu menon-ton, sibuk kuliah
5. Bandung Ya (ada) Tergantung filmnya apa
Ya Film Indonesia sudah mulai bagus
6. Sidikalang Tidak Suka Ya Film komedi dan drama Indonesia paling suka
7. Salatiga Tidak Kurang suka, tapi ada
Ya Film laga Indonesia sudah lebih bagus, biar pun akting drama masih “alay”
8. Nias Tidak Suka Tidak Film Indonesia masih sering ditonton biar pun “jadul” dan kurang efek.
Konsumsi Film Indonesia
227
Jika deskripsi kategorisasi temuan itu digambarkan dalam bentuk
grafik, maka bentuknya seperti yang ditampilkan dalam Gambar 5.10.
sumber: Manurung, E.M., 2016
Gambar 5.10. Grafik Responden Penyuka Film Indonesia : Film Asing
0 20 40 60
Jakarta
Lombok
Denpasar
Jatinangor
Bandung
Sidikalang
Salatiga
Nias
Suka Film Asing
Suka Film Indonesia