22
39 BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang penelitian yang dilakukan dan penelitian yang dilakukan berdasarkan analisis kulaitatif terhadap objek penelitian. Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan semiotika, dan tradisi semiotika tidak pernah menganggap adanya salah pemaknaan. Hal ini dikarenakan setiap komunikan yang memaknai tanda mempunyai pengalaman budaya yang berbeda. Menurut Agus Sudibyo, 2000:121 istilah kegagalan komunikasi tidak pernah berlaku dalam tradisi semiotika, karena setiap orang mempunyai hak dan berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang dinamis, tergantung dari frame budaya pembacanya. Pada saat sebuah teks (lagu) tersaji keruang publik, maka video klip akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda tidak lagi mempunyai hak untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki, dan disinilah daerah produksi makna yang berbeda-beda timbul tergantung dari pengalaman budaya pembaca. Lagu adalah sebuah media yang mempunyai banyak fungsi, dalam lagu sendiri mempunyai sebuah pesan yang terkandung didalamnya. Dari lagu seorang musisi atau grup dengan gayanya merepresentasikan ideologi pembuat lagu (Epstein, 2004). Isi dan gaya dalam musik dapat mencerminkan makna dan suasana yang ada dalam lagu yang diciptakan. Syair lagu atau lirik dalam sebuah lagu adalah sebuah bahasa yang digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan, dan hal inilah menjadi latar belakang kehadiran syair atau lirik dalam sebuah lagu. Bahasa dalam lirik lagu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa kiasan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990: 528) lirik lagu adalah karya puisi yang dinyanyikan. Bentuk ekspresi emotif tersebut diwujudkan dalam bunyi dan kata. Salah satu unsur dalam puisi adalah bait, dan bait juga terkandung dalam lirik atau syair dari lagu. Bait adalah barisan kalimat yang jumlahnya bisa empat atau lebih dari sebuah bait. Diatur dan diulang-ulang seperti yang direncanakan jumlah baitnya, meter, rima dan mebentuk divisi matrik puisi yang diulang secara berkala (Delbrige, 1706:1991).

BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

39

BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang penelitian yang

dilakukan dan penelitian yang dilakukan berdasarkan analisis kulaitatif terhadap objek

penelitian. Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan semiotika, dan tradisi

semiotika tidak pernah menganggap adanya salah pemaknaan. Hal ini dikarenakan setiap

komunikan yang memaknai tanda mempunyai pengalaman budaya yang berbeda.

Menurut Agus Sudibyo, 2000:121 istilah kegagalan komunikasi tidak pernah berlaku

dalam tradisi semiotika, karena setiap orang mempunyai hak dan berhak memaknai teks

dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang dinamis,

tergantung dari frame budaya pembacanya. Pada saat sebuah teks (lagu) tersaji keruang

publik, maka video klip akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda tidak lagi

mempunyai hak untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki, dan disinilah

daerah produksi makna yang berbeda-beda timbul tergantung dari pengalaman budaya

pembaca.

Lagu adalah sebuah media yang mempunyai banyak fungsi, dalam lagu sendiri

mempunyai sebuah pesan yang terkandung didalamnya. Dari lagu seorang musisi atau

grup dengan gayanya merepresentasikan ideologi pembuat lagu (Epstein, 2004). Isi dan

gaya dalam musik dapat mencerminkan makna dan suasana yang ada dalam lagu yang

diciptakan. Syair lagu atau lirik dalam sebuah lagu adalah sebuah bahasa yang digunakan

untuk menyampaikan ide atau gagasan, dan hal inilah menjadi latar belakang kehadiran

syair atau lirik dalam sebuah lagu. Bahasa dalam lirik lagu sebenarnya tidak jauh berbeda

dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa kiasan.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990: 528) lirik lagu adalah karya puisi

yang dinyanyikan. Bentuk ekspresi emotif tersebut diwujudkan dalam bunyi dan kata.

Salah satu unsur dalam puisi adalah bait, dan bait juga terkandung dalam lirik atau syair

dari lagu. Bait adalah barisan kalimat yang jumlahnya bisa empat atau lebih dari sebuah

bait. Diatur dan diulang-ulang seperti yang direncanakan jumlah baitnya, meter, rima dan

mebentuk divisi matrik puisi yang diulang secara berkala (Delbrige, 1706:1991).

Page 2: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

40

Disini penulis akan melakukan poses pembaitan untuk syair atau lirik lagu “Jogja

Istimewa” ini. Pembaitan adalah proses cara, pembuatan membagi atas bait-bait, salah

satu hal penting dalam penulisan puisi (Sugono, Dendy, 118:2011). Dalam hal ini penulis

akan melakukan pembaitan pada syair dan lirik lagu “Jogja Istimewa”, setelah itu penulis

akan mengambil gambar-gamabar dari video klip ini yang memvisualkan lirik atau syair

dalam lagu yang akan dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes,

Teori roland Barthes adalah teori yang digunakan untuk meneliti video klip“Jogja

Istimewa” ini. Barthes melihat bahwa tanda-tanda yang ada dan tersusun dalam suatu

wacana adalah natural dan netral. Secara halus tanda-tanda tersebut mengkomunikasikan

makna konotasi, dimana dari pijakan konotasi ini kita bisa melihat sebuah ideologi atau

pesan yang terkandung dalam mitos. Untuk mencari pesan atau ideology Barthes

mengungkapkan ada dua tahapan yang dilalui, yaitu tahapan denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah makna yang sebenarnya dimana makan yang langsung diketahui.

Konotatif adalah makna yang terlihat ketika membongkar tanda-tanda netral dan

memaparkanya sebagai perangkat ideologis (Barthes, 2004:155-164). Dengan

menggunakan framing dan dianalisis dengan teori Roland Barthes ini, penulis akan

meneliti vido “Jogja Istimewa”. Dimana penulis ingin mencari pesan atau Ideologi yang

ada dalam kata “Jogja Istimewa” selain sejarah dari kota Jogja sendiri.

5.1 Bait Satu Pada Lagu “Jogja Istimewa”

Lirik : Holopis Kontol Baris

Holopis Kontol Baris

Holopis Kontol Baris

Holopis Kontol Baris

DENOTASI: “Holopis kontol baris, holopi kontol baris, holopis kontol baris.”

KONOTASI: Makna konotasi dari istilah ”Holopis kontol Baris ini adalah”,

merupakan kata-kata yang mempunyai arti merupakan ajakan untuk bekerja

bersama-sama. Kata “kontol” dalam budaya Jawa mempunyai arti berjalan

bersama-sama. “Holopis kontol baris” sendiri merupakan filosofi tradisional jawa

ini merupakan suatu pandangan hidup dalam bekerja ataupun melakukan kegiatan.

Page 3: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

41

Sujamto (Clifford Geerts, 1973:126). “Setiap kebudayaan itu selalu mempunyai

dua aspek pokok, yaitu “ethos”, yang merupakan aspek moral dan estetik, serta

aspek pandangan hidup world view, yang merupakan aspek kognitif dan

eksisitensial. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “etos” adalah pandangan

moral suatu masyarakat atau kelompok manusia”. Istilah “Holopis kontol baris”

ini adalah yang menjadi etos atau pandangan moral orang jawa dalam bekerja.

Pandangan hidup ini yang dipegang oleh masyarakat jawa dalam bekerja dan

dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semakin derasnya arus globalisasi membuat

orang semakin individual dan pandangan hidup ini mempunyai makna yang

positif dan mengandung pesan yang relevan untuk keadaan saat ini.

MITOS: Orang Jawa suka kebersamaan, karena dengan kebersamaan dan gotong

royong akan memupuk dan memunculkan rasa persaudaraan. Dengan

kebersamaan dan gotong royong rasa persauadaraan dan sikap saling

memerhatikan dan peduli terhadap sesama akan terbentuk. Perbedaan status sosial

tidak ada dan trjadi disini. Hal ini menunjukan langsung ciri utama hidup

kemasyarakatan orang jawa yang terkenal dengan semangat gotong royong,

kebersamaan dan keakraban yang tampak dalam kehidupan masyarakat jawa.

Masyarakat mencintai dan peduli sesamanya (“asih ing sesami”). Dalam

interpretasi penulis tidak berhenti disini, bahwa ada pemanggilan yang terjadi

disini untuk warga Jogjakarta dalam menyelamatkan Keistimewaan Jogja.

5.2 Bait Dua Pada Lagu “Jogja Istimewa”.

Lirik: Jogja! Jogja! Tetap Istimewa

Istimewa Negrinya Istimewa Orangya

Jogja! Jogja! Tetap Istimewa

Jogja Istimewa untuk Indonesia

Konotasi: “Jogja! Jogja! tetap Istimewa” (mempunyai entitas Negeri tersendiri,

karena daerah Istimewa yang disandang oleh Jogja sejak jaman penjajahan,

Page 4: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

42

dimana pada saat itu adalah daerah Swapraja. Istimewa disini menunjukan daerah

Jogja merupakan sebuah Negeri yang Istimewa).

“Istimewa orangnya, Istimewa Negerinya” (ada keunikan didalam Jogja dimana

Keraton yang membawa sisa gambaran pemerintahan yang feodalisme, namun

masyarakatnya melihat makna sebuah feodalisme adalah pemberian untuk

pelestarian dengan cara yang berbeda, dimana masyarakatnya melestarikan itu

untuk menjadi indah.

“Jogja Istimewa untuk Indonesia” (terbangun masyarakat yang beragam dan

membangun sebuah pluralisme yang melekat pada Jogjakarta. Pluralisme yang

tumbuh dan terbangun menjadi ciri untuk keistimewaan Jogja sendiri. Hal inilah

yang menjadi gambaran Indonesia, bahwa Jogja melakaukan ini tidak hanya

untuk dirinya tapi juga untuk Indonesia.

Mitos: Keistimewaan Yogyakarta adalah adanya pengahargaan dan rasa

penghormatan mereka yang diberikan oleh masyarakat pendatang atau masyarakat

yang berasal dari luar Yogyakarta. Penghargaan dan rasa penghormatan mereka

ditunjukan dengan mereka hidup berdampingan kepada masyarakat pendatang

dan hal inilah yang membuat masyarakat yang ada menjadi kuat.

Keanekaragaman masyarakat dan budaya menjadi hal yang mendapat

penghormatan dan dihargai di Yogyakarta, dan hal ini menjadi kekayaan yang ada

didalam keistmewaan Yogyakarta, dan dari masyarakat asli Jogja sendiri yang

memberikan Keistimewaan ini.

5.3 Bait Tiga Pada Lagu “Jogja Istimewa”.

Lirik: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta

Nagari paling penak rasane koyo swarga

Ora peduli donya dadi neraka

Neng kene tansah edi peni lan merdika”

Denotasi: Pada bait ketiga ini lirik yang dipakai adalah bahasa Jawa Yogyakarta

dan dalam bahasa Indonesia lirik ini berbunyi: “Dengarlah ini suara dari

Yogyakarta, Negeri paling enak rasanya seperti surga, tidak peduli dunia jadi

neraka, disini kami selalu nyaman dan merdeka”.

Page 5: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

43

Konotasi: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta ( dengarlah ini suara

panggilan yang berasal dari Jogja).

“Nagari palling enak rasane koyo swarga” (salah satu surga yang ada dibumi).

“Ora peduli donya dadi neraka, Neng kene tansah edi lan merdeka” (tidak peduli

kehidupan diluar sana menjadi tempat yang jahat, karena dan di tempat ini adalah

keindahan dan kebebasan kami).

Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari bait ketiga ini, bahwa ada kecintaan

dari suara-suara Jogjakarta terhadap Jogjakarta, dimana mereka menganggap

bahwa Jogjakarta adalah tempat yang paling nyaman dan Indah dan ada

kebahagiaan yang mereka rasakan terhadap Jogja. Ada kebebasan dan

kebahagiaan dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi yang mereka tunjukan sebagai

rasa memiliki mereka terhadap surge ini, dan mereka melakukanya disini dirumah

mereka sendiri, Jogjakarta.

5.4 Bait Empat Pada Lagu “Jogja Istimewa”

Lirik: “Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk rakyat

Dimana Rajanya bercerrmin di kalbu rakyat

Demikianlah Singgasana bermartabat

Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat

Memayu Hayuning Bawana” (Denotasi makna).

Konotasi: “Tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat” (Tahta dilahirkan dari tanah,

dari bawah. Tahta yang lahir dari bawah akan dikembalikan lagi dan diberikan

lagi kebawah).

“Dimana Rajanya bercermin di kalbu rakyat” (Seorang pemimpin yang melihat

dirinya sendiri dengan alat ukurnya adalah pangkal perasaan dan batin rakyat).

“Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat” (Berdiri dengan kuat tahan dengan

serangan untuk mengerti dan melayani rakyat).

“Memayu Hayuning Bawana” (Melayani rakyat).

Page 6: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

44

Mitos: Bahwa Pemerintahan yang hebat atau yang indah adalah Pemerintahan

yang berdiri untuk rakyat, mengerti dan memperjuangkan suara dan cita-cita dari

rakyat. Pemerintahan yang melihat dan lahir dari rakyat dan untuk rakyat terbuka

dan bersih erta suci. Pemerintahan seperti ini adalah pemerintahan yang bermoral,

dengan adanya Pemerintahan yang bermoral, maka akan membuat Pemerintahan

dan rakyatnya menjadi indah, dimana ada kesatuan visi dan misi dari semua

elemenya atau satu cita-cita.

5.5 Bait Lima pada Lagu “Jogja Istimewa”

Lirik: “Tambur wis ditabuh suling wis muni

Holopis kuntul baris ayo dadi siji

Bareng prajurit lan Senopati

Mukti utawa mati manunggal kawula gusti”

Denotasi: Arti lirik diatas dalam bahasa Indonesianya adalah tambur (alat musik

pukul) sudah ditabuh, seruling sudah berbunyi, bersatu padu menjadi satu,

bersama prajurit dan Senopati (sebutan untuk tentara Keraton), mulia atau mati

rakyat dan Raja adalah satu. Musik sudah dimainkan, saatnya semua masyarakat

dan raja menjadi satu.

Konotasi: “Tambur wis ditabuh suling wis muni (menggambarkan suasana yang

riang, sukacita).

“Holopis kontol baris, Bareng Prajurit lan Senapati” (Ada panggilan, ajakan untuk

menjadi satu bersama Negeri dan tentara).

“Mukti atau mati manunggal kawula Gusti” (Dalam kemenangan dan kekalahan,

dan keadaan apapun Raja dan rakyat tak akan terpisahkan).

Mitos: Pesan yang ingin disampaiakan pada bait kelima ini adalah bahwa tidak

adanya perbedaan dalam sistim pemerintahan dan kehidupan mereka, semua

kalangan adalah pejuang-pejuang Jogja, yang mempunyai bagianya masing-

Page 7: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

45

masing dalam menjaga dan melindungi ketenangan, kenyamanan, dan keindahan

Jogja, sebagai upaya dukungan mereka untuk Jogja. Antara rakyat, prajurit,

Senopati, dan Raja semua adalah satu kesatuan, semua melebur bersama-sama

dalam menjalani kehidupan dan menghadapai tantangan yang ada.

5.6 Bait Enam pada Lagu “Jogja Istimewa”.

Lirik: “Menyerang tanpa pasukan

Menang tanpa merendahkan

Kesaktian tanpa ajian

Kekayaan tanpa kemewahan

Denotasi: Lirik diatas adalah juga menjadi makna denotasi pada bait ini. Lirik ini

adalah merupakan revolusi dari filosofi yang diciptakan oleh Ki Ageng Surya

Mataram “Sugih tanpa bondo, digdoyo tanpa aji, ngluruk tanpa bolo, menang

tanpa ngasorake”.

Konotasi: “Menyerang tanpa Pasukan” (Menyerang menggunakan taktik, simpati

dan diplomatik).

“Menang tanpa merendahkan” (Menang tanpa kesombongan).

“Kesaktian tanpa ajian” (Kehebatan yang tidak terlihat tanpa mantra).

“Kekayaan tanpa Kemewahan” (Kemakmuran yang tidak ditunjukan nilai dan

harganya).

Mitos: Cara penyelesaian masalah bukan melalui kekerasan dan peperangan,

namun menggunakan taktik, diplomasi, demokrasi, simpati dan sikap rendah hati.

Hal ini yang akan memunculkan ketenangan untuk menghadapi masalah yang

ada, sehingga mampu menciptkan suasana Jogja yang elegan, dan sifat elegan

yang tidak diperlihatkan adalah cara untuk tetap menghargai dan merangkul orang

lain.

Page 8: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

46

5.7 Bait Tuju pada Lagu “Jogja Istimewa”.

Lirik : “Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi

Tradisi hidup ditengah modernisasi

Rakyate jajah deso milangkori

Nyebarke seni lan budi pekerti

Denotasi: Dalam bahasa Indonesia lirik ini artinya adalah ”Tenang bagai ombak

gemuruh laksana merapi, Tradisi hidup ditengah modernisasi, rakyatnya

berkelana kemana-mana, menyebarkan seni dan budi pekerti.

Konotasi: “Tenang bagai ombak laksana merapi” (Mempunyai keinginan besar,

namun bisa menjaga dan menahan. Ada waktunya untuk menggunakanya).

“Tradisi hidup detengah modernisasi” (Kearifan lokal yang yang terus hidup

ditengah globalisasi).

“Rakyate jajah deso milangkori” (Rakyat yang berkelana, menyebar kemana-

mana).

“Nyebarke seni lan budi pekerti” (Menyebarkan hal-hal yang positif yang dibawa

dari tanah Jogja).

Mitos: Mitos yang penulis ambil dari lirik pada bait ketuju bahwa modernisasi

dan globalisasi disikapi dengan terbuka oleh masyarakat Yogyakarta, namun

tradisi dan budaya yang mereka punyai adalah kebanggan dan harta yang yang

mahal. Dimana apresiasi ini mereka lakuakan dengan penanaman dan pelestarian

nilai-nilai tradisi dan budaya. Walaupun modernisasi dan globalisasi terus

berjalan, pelestarian nilai taradisi dan budaya juga akan terus berjalan sebagai

keinginan memiliki yang kuat dari mereka. Karena hal inilah yang menunjukan

diri mereka sebenarnya di jaman modernisasi ini.

5.8 Bait Delapan pada Lagu “Jogja Istimewa”.

Lirik: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga

Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa

Page 9: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

47

Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran

Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan”

Denotasi: Ingatlah sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono IX, setingginya kita

belajar dan berilmu, kita adalah tetap orang Jawa, itu sudah kodratnya.

Diumpamakan kacang tidak lupa kulitnya, jangan melupakan tempat dimana kita

dilahirkan dan dibesarkan.

Konotasi: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga”

(Peganglah dan maknailah dalam hidup tentang pesan dari pemimpin Keraton

yang kesembilan)

“Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa” (Ilmu dan pengetahuan adalah

hikmat untuk memperkaya dan juga memperkuat diri kita.

“Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran” (menyadari secara benar-benar

jatidiri seperti kacang lanjaran atau kacang panjang. Menyadari secara

berkepanjangan kesadaran kita terhadap apa yang kita punyai).

“Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan” (Diri kita adalah cerminan

darimana kita dilahirkan, dan itulah yang seharusnya tercermin didalam diri kita).

Mitos: Dari lirik bait kedelapan, penulis mengambil pesan yang ada didalam

mitos bahwa seharusnya kita bisa menghargai, menjaga dan melindungi nilai-nilai

tradisi dan budaya yang ada dimanapun kita berada, dan seperti apapun diri kita

menjadi dan mencapai kesuksesan. Karena hal inilah yang tidak boleh dilupakan.

Keberhasilan apapun yang diperoleh jangan melunturkan nilai tradisi dan budaya-

budaya yang ada, justru nilai-nilai ini yang harus tetap dibawa dan memperkaya

dan memperkuat diri kita, dan inilah yang merupakan sebuah kebijaksanaan yang

halus.

5.9 Bait Sembilan pada Lagu “Jogja Istimewa”

Lirik: “Ing ngarso sung tuladha

Ing madya mangunkarsa

Tut Wuri Handayani

Holopis kuntul baris ayo dadi siji”

Page 10: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

48

Denotasi: Yang didepan memberi contoh, yang ditengah meberi dorongan, yang

dibelakang memberi semangat. Ayo bekerja bersama-sama.

Konotasi: “Ing ngarso sung tuladha” (Pemimpin harus tau caranya bersikap dan

bertindak sehingga mampu menuntun dengan baik dan dengan hal-hal yanag

positif).

“Ing madya mangunkarsa” (Pada lapisan ini adanya sebuah tindakan yang

memberikan dukungan dari yang dilakukan oleh pemimpin).

“Tut wuri Handayani, Holopis kontol baris ayo dadi siji”. (Sebagai masyarakat

melihat dan melakukan apa yang diberikan oleh pemimpin, dalam hal ini sifatnya

bukan pasif tapi aktif dan ikut serta dalam sebuah sistim yang berjalan).

Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari mitos lirik bait kesembilan ini adalah

bahwa kesatuan adalah hal yang mendasar untuk mempunyai satu suara dan satu

tujuan demi mencapai cita-cita yang mulia, dan ketulusan yang akan membawa

untuk semua elemen yang ada untuk mengerjakan bagianya masing-masing

(Pemimpin memberi contoh, rakyat memberi semangat dan dukungan, dan

dukungan itu bisa mereka kerjakan dalam bentuk apapun. Seperti JHF mereka

meberikan dukungan dari karya-karya yang diciptakan.) sebagai kumpulan usaha-

usaha yang akan bersinergi yang akan mencapai keberhasilan.

Page 11: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

49

Tabel 5.1 Denotasi, Konotasi, Mitos

Lirik Denotasi Konotasi Mitos

Bait Satu

“Holopis Kontol Baris

Holopis Kontol Baris

Holopis Kontol Baris

Holopis Kontol Baris”

Lirik disamping juga

menjadi tanda denotasi

pada bait satu ini,

yang juga menjadi

pijakan sekaligus

penanda dan petanda

untuk masuk dalam

tataran konotasi

Makna konotasi dari

istilah ”Holopis kontol

Baris ini adalah”,

merupakan kata-kata yang

mempunyai arti

merupakan ajakan untuk

bekerja bersama-sama.

Kata “kontol” dalam

budaya Jawa mempunyai

arti berjalan bersama-

sama. “Holopis kontol

baris” sendiri merupakan

filosofi tradisional jawa

ini merupakan suatu

pandangan hidup dalam

bekerja ataupun

melakukan kegiatan.

Orang Jawa suka

kebersamaan, karena

dengan kebersamaan

dan gotong royong

akan memupuk dan

memunculkan rasa

persaudaraan. Dengan

kebersamaan dan

gotong royong rasa

persauadaraan dan

sikap saling

memerhatikan dan

peduli terhadap

sesama akan

terbentuk. Perbedaan

status sosial tidak ada

dan trjadi disini. Hal

ini menunjukan

langsung ciri utama

hidup kemasyarakatan

orang jawa yang

terkenal dengan

semangat gotong

royong, kebersamaan

dan keakraban yang

tampak dalam

kehidupan masyarakat

jawa. Masyarakat

mencintai dan peduli

Page 12: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

50

sesamanya (“asih ing

sesami”). Dalam

interpretasi penulis

tidak berhenti disini,

bahwa ada

pemanggilan yang

terjadi disini untuk

warga Jogjakarta

dalam menyelamatkan

Keistimewaan Jogja.

BAIT DUA

Jogja! Jogja! Tetap

Istimewa Istimewa

Negrinya Istimewa

Orangya

Jogja! Jogja! Tetap

IstimewaJogja

Istimewa untuk

Indonesia.

DENOTASI

Lirik disamping juga

menjadi tanda denotasi

pada bait dua ini, yang

juga menjadi pijakan

sekaligus penanda dan

petanda untuk masuk

dalam tataran konotasi

KONOTASI

“Jogja! Jogja! tetap

Istimewa” (mempunyai

entitas Negeri tersendiri,

karena daerah Istimewa

yang disandang oleh Jogja

sejak jaman penjajahan,

dimana pada saat itu

adalah daerah Swapraja.

Istimewa disini

menunjukan daerah Jogja

merupakan sebuah Negeri

yang Istimewa).

“Istimewa orangnya,

Istimewa Negerinya” (ada

keunikan didalam Jogja

dimana Keraton yang

membawa sisa gambaran

pemerintahan yang

feodalisme, namun

MITOS

Keistimewaan

Yogyakarta adalah

adanya pengahargaan

dan rasa

penghormatan mereka

yang diberikan oleh

masyarakat pendatang

atau masyarakat yang

berasal dari luar

Yogyakarta.

Penghargaan dan rasa

penghormatan mereka

ditunjukan dengan

mereka hidup

berdampingan kepada

masyarakat pendatang

dan hal inilah yang

membuat masyarakat

yang ada menjadi

Page 13: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

51

masyarakatnya melihat

makna sebuah feodalisme

adalah pemberian untuk

pelestarian dengan cara

yang berbeda, dimana

masyarakatnya

melestarikan itu untuk

menjadi indah.

“Jogja Istimewa untuk

Indonesia” (terbangun

masyarakat yang beragam

dan membangun sebuah

pluralisme yang melekat

pada Jogjakarta.

Pluralisme yang tumbuh

dan terbangun menjadi

ciri untuk keistimewaan

Jogja sendiri. Hal inilah

yang menjadi gambaran

Indonesia, bahwa Jogja

melakaukan ini tidak

hanya untuk dirinya tapi

juga untuk Indonesia

kuat.

Keanekaragaman

masyarakat dan

budaya menjadi hal

yang mendapat

penghormatan dan

dihargai di

Yogyakarta, dan hal

ini menjadi kekayaan

yang ada didalam

keistmewaan

Yogyakarta, dan dari

masyarakat asli Jogja

sendiri yang

memberikan

Keistimewaan ini.

BAIT TIGA

“Rungokno iki gatra

soko ngaYogyakarta

Nagari paling penak

rasane koyo swarga

Ora peduli donya dadi

neraka

Neng kene tansah edi

DENOTASI

Pada bait ketiga ini

lirik yang dipakai

adalah bahasa Jawa

Yogyakarta dan

dalam bahasa

Indonesia lirik ini

berbunyi: “Dengarlah

KONOTASI

“Rungokno iki gatra soko

ngaYogyakarta (dengarlah

ini suara panggilan yang

berasal dari Jogja).

“Nagari palling enak

rasane koyo swarga”

(salah satu surga yang ada

MITOS

Pesan yang bisa

penulis ambil dari bait

ketiga ini, bahwa ada

kecintaan dari suara-

suara Jogjakarta

terhadap Jogjakarta,

dimana mereka

Page 14: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

52

peni lan merdika”

ini suara dari

Yogyakarta, Negeri

paling enak rasanya

seperti surga, tidak

peduli dunia jadi

neraka, disini kami

selalu nyaman dan

merdeka”.

dibumi).

“Ora peduli donya dadi

neraka, Neng kene tansah

edi lan merdeka” (tidak

peduli kehidupan diluar

sana menjadi tempat yang

jahat, karena dan di

tempat ini adalah

keindahan dan kebebasan

kami).

menganggap bahwa

Jogjakarta adalah

tempat yang paling

nyaman dan Indah

dan ada kebahagiaan

yang mereka rasakan

terhadap Jogja. Ada

kebebasan dan

kebahagiaan dalam

menyuarakan aspirasi-

aspirasi yang mereka

tunjukan sebagai rasa

memiliki mereka

terhadap surge ini,

dan mereka

melakukanya disini

dirumah mereka

sendiri, Jogjakarta.

BAIT EMPAT

“Tanah lahirkan

Tahta, Tahta untuk

rakyat

Dimana Rajanya

bercerrmin di kalbu

rakyat

Demikianlah

Singgasana

bermartabat

Berdiri kokoh untuk

mengayomi rakyat

Memayu Hayuning

DENOTASI

Lirik disamping juga

menjadi tanda denotasi

pada bait tiga ini, yang

juga menjadi pijakan

sekaligus penanda dan

petanda untuk masuk

dalam tataran konotasi

KONOTASI

“Tanah lahirkan tahta,

tahta untuk rakyat” (Tahta

dilahirkan dari tanah, dari

bawah. Tahta yang lahir

dari bawah akan

dikembalikan lagi dan

diberikan lagi kebawah).

“Dimana Rajanya

bercermin di kalbu

rakyat” (Seorang

pemimpin yang melihat

dirinya sendiri dengan alat

MITOS

Bahwa Pemerintahan

yang hebat atau yang

indah adalah

Pemerintahan yang

berdiri untuk rakyat,

mengerti dan

memperjuangkan

suara dan cita-cita

dari rakyat.

Pemerintahan yang

melihat dan lahir dari

rakyat dan untuk

Page 15: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

53

Bawana”

ukurnya adalah pangkal

perasaan dan batin

rakyat).

“Berdiri kokoh untuk

mengayomi rakyat”

(Berdiri dengan kuat tahan

dengan serangan untuk

mengerti dan melayani

rakyat).

“Memayu Hayuning

Bawana” (Melayani

rakyat).

rakyat terbuka dan

bersih erta suci.

Pemerintahan seperti

ini adalah

pemerintahan yang

bermoral, dengan

adanya Pemerintahan

yang bermoral, maka

akan membuat

Pemerintahan dan

rakyatnya menjadi

indah, dimana ada

kesatuan visi dan misi

dari semua elemenya

atau satu cita-cita.

BAIT LIMA

“Tambur wis ditabuh

suling wis muni

Holopis kuntul baris

ayo dadi siji

Bareng prajurit lan

Senopati

Mukti utawa mati

manunggal kawula

gusti”

DENOTASI

dalam bahasa

Indonesianya adalah

tambur (alat musik

pukul) sudah ditabuh,

seruling sudah

berbunyi, bersatu padu

menjadi satu, bersama

prajurit dan Senopati

(sebutan untuk tentara

Keraton), mulia atau

mati rakyat dan Raja

adalah satu. Musik

sudah dimainkan,

saatnya semua

masyarakat dan raja

KONOTASI

“Tambur wis ditabuh

suling wis muni

(menggambarkan suasana

yang riang, sukacita).

“Holopis kontol baris,

Bareng Prajurit lan

Senapati” (Ada panggilan,

ajakan untuk menjadi satu

bersama Negeri dan

tentara).

“Mukti atau mati

manunggal kawula Gusti”

(Dalam kemenangan dan

kekalahan, dan keadaan

apapun Raja dan rakyat

MITOS

Pesan yang ingin

disampaiakan pada

bait kelima ini adalah

bahwa tidak adanya

perbedaan dalam

sistim pemerintahan

dan kehidupan

mereka, semua

kalangan adalah

pejuang-pejuang

Jogja, yang

mempunyai bagianya

masing-masing dalam

menjaga dan

melindungi

Page 16: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

54

menjadi satu.

tak akan terpisahkan).

ketenangan,

kenyamanan, dan

keindahan Jogja,

sebagai upaya

dukungan mereka

untuk Jogja. Antara

rakyat, prajurit,

Senopati, dan Raja

semua adalah satu

kesatuan, semua

melebur bersama-

sama dalam menjalani

kehidupan dan

menghadapai

tantangan yang ada. .

BAIT ENAM

“Menyerang tanpa

pasukan

Menang tanpa

merendahkan

Kesaktian tanpa ajian

Kekayaan tanpa

kemewahan

DENOTASI

Lirik diatas adalah

juga menjadi makna

denotasi pada bait ini.

Lirik ini adalah

merupakan revolusi

dari filosofi yang

diciptakan oleh Ki

Ageng Surya Mataram

“Sugih tanpa bondo,

digdoyo tanpa aji,

ngluruk tanpa bolo,

menang tanpa

ngasorake”.

KONOTASI

“Menyerang tanpa

Pasukan” (Menyerang

menggunakan taktik,

simpati dan diplomatik).

“Menang tanpa

merendahkan” (Menang

tanpa kesombongan).

“Kesaktian tanpa ajian”

(Kehebatan yang tidak

terlihat tanpa mantra).

“Kekayaan tanpa

Kemewahan”

(Kemakmuran yang tidak

ditunjukan nilai dan

harganya).

MITOS

Cara penyelesaian

masalah bukan

melalui kekerasan dan

peperangan, namun

menggunakan taktik,

diplomasi, demokrasi,

simpati dan sikap

rendah hati. Hal ini

yang akan

memunculkan

ketenangan untuk

menghadapi masalah

yang ada, sehingga

mampu menciptkan

suasana Jogja yang

Page 17: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

55

elegan, dan sifat

elegan yang tidak

diperlihatkan adalah

cara untuk tetap

menghargai dan

merangkul orang lain

BAIT TUJU

“Tenang bagai ombak

gemuruh laksana

merapi

Tradisi hidup ditengah

modernisasi

Rakyate jajah deso

milangkori

Nyebarke seni lan

budi pekerti

DENOTASI

Dalam bahasa

Indonesia lirik ini

artinya adalah

”Tenang bagai ombak

gemuruh laksana

merapi, Tradisi hidup

ditengah modernisasi,

rakyatnya berkelana

kemana-mana,

menyebarkan seni dan

budi pekerti.

KONOTASI

“Tenang bagai ombak

laksana merapi”

(Mempunyai keinginan

besar, namun bisa

menjaga dan menahan.

Ada waktunya untuk

menggunakanya).

“Tradisi hidup detengah

modernisasi” (Kearifan

lokal yang yang terus

hidup ditengah

globalisasi).

“Rakyate jajah deso

milangkori” (Rakyat yang

berkelana, menyebar

kemana-mana).

“Nyebarke seni lan budi

pekerti” (Menyebarkan

hal-hal yang positif yang

dibawa dari tanah Jogja).

MITOS

Mitos yang penulis

ambil dari lirik pada

bait ketuju bahwa

modernisasi dan

globalisasi disikapi

dengan terbuka oleh

masyarakat

Yogyakarta, namun

tradisi dan budaya

yang mereka punyai

adalah kebanggan dan

harta yang yang

mahal. Dimana

apresiasi ini mereka

lakuakan dengan

penanaman dan

pelestarian nilai-nilai

tradisi dan budaya.

Walaupun

modernisasi dan

globalisasi terus

berjalan, pelestarian

nilai taradisi dan

budaya juga akan

Page 18: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

56

terus berjalan sebagai

keinginan memiliki

yang kuat dari

mereka. Karena hal

inilah yang

menunjukan diri

mereka sebenarnya di

jaman modernisasi

ini.

BAIT DELAPAN

“Elingo sabdane Sri

Sultan

Hamengkubuwono

kaping sanga

Sakduwur-duwure

sinau dewe tetep wong

Jawa

Diumpamake kacang

kang ora ninggal

lanjaran

Marang bumi seng

nglahirake dewe

tansah kelingan”

DENOTASI

Ingatlah sabdane Sri

Sultan

Hamengkubuwono IX,

setingginya kita

belajar dan berilmu,

kita adalah tetap orang

Jawa, itu sudah

kodratnya.

Diumpamakan kacang

tidak lupa kulitnya,

jangan melupakan

tempat dimana kita

dilahirkan dan

dibesarkan.

KONOTASI

“Elingo sabdane Sri

Sultan Hamengkubuwono

kaping sanga” (Peganglah

dan maknailah dalam

hidup tentang pesan dari

pemimpin Keraton yang

kesembilan)

“Sakduwur-duwure sinau

dewe tetep wong Jawa”

(Ilmu dan pengetahuan

adalah hikmat untuk

memperkaya dan juga

memperkuat diri kita.

“Diumpamake kacang

kang ora ninggal lanjaran”

(menyadari secara benar-

benar jatidiri seperti

kacang lanjaran atau

kacang panjang.

Menyadari secara

berkepanjangan kesadaran

MITOS

Dari lirik bait

kedelapan, penulis

mengambil pesan

yang ada didalam

mitos bahwa

seharusnya kita bisa

menghargai, menjaga

dan melindungi nilai-

nilai tradisi dan

budaya yang ada

dimanapun kita

berada, dan seperti

apapun diri kita

menjadi dan mencapai

kesuksesan. Karena

hal inilah yang tidak

boleh dilupakan.

Keberhasilan apapun

yang diperoleh jangan

melunturkan nilai

tradisi dan budaya-

Page 19: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

57

kita terhadap apa yang

kita punyai).

“Marang bumi seng

nglahirake dewe tansah

kelingan” (Diri kita adalah

cerminan darimana kita

dilahirkan, dan itulah yang

seharusnya tercermin

didalam diri kita).

budaya yang ada,

justru nilai-nilai ini

yang harus tetap

dibawa dan

memperkaya dan

memperkuat diri kita,

dan inilah yang

merupakan sebuah

kebijaksanaan yang

halus.

BAIT SEMBILAN

“Ing ngarso sung

tuladha

Ing madya

mangunkarsa

Tut Wuri Handayani

Holopis kuntul baris

ayo dadi siji”

DENOTASI

Yang didepan

memberi contoh, yang

ditengah meberi

dorongan, yang

dibelakang memberi

semangat. Ayo bekerja

bersama-sama.

KONOTASI

“Ing ngarso sung tuladha”

(Pemimpin harus tau

caranya bersikap dan

bertindak sehingga

mampu menuntun dengan

baik dan dengan hal-hal

yanag positif).

“Ing madya mangunkarsa”

(Pada lapisan ini adanya

sebuah tindakan yang

memberikan dukungan

dari yang dilakukan oleh

pemimpin).

“Tut wuri Handayani,

Holopis kontol baris ayo

dadi siji”. (Sebagai

masyarakat melihat dan

melakukan apa yang

diberikan oleh pemimpin,

MITOS

Pesan yang bisa

penulis ambil dari

mitos lirik bait

kesembilan ini adalah

bahwa kesatuan

adalah hal yang

mendasar untuk

mempunyai satu suara

dan satu tujuan demi

mencapai cita-cita

yang mulia, dan

ketulusan yang akan

membawa untuk

semua elemen yang

ada untuk

mengerjakan bagianya

masing-masing

(Pemimpin memberi

contoh, rakyat

Page 20: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

58

dalam hal ini sifatnya

bukan pasif tapi aktif dan

ikut serta dalam sebuah

sistim yang berjalan).

memberi semangat

dan dukungan, dan

dukungan itu bisa

mereka kerjakan

dalam bentuk apapun.

Seperti JHF mereka

meberikan dukungan

dari karya-karya yang

diciptakan.) sebagai

kumpulan usaha-

usaha yang akan

bersinergi yang akan

mencapai

keberhasilan.

Dalam penelitian ini penulis juga akan melihat dan menggunakan pendapat dan

sudut pandang orang lain untuk membuat hasil dari penelitian penulis menjadi lebih

terpercaya informasinya, dengan cara dibandingkan dan diperiksa kembali melalui

wawancara yang penulis lakukan.

1. Bapak Ndaru (Dekan Fiskom UKSW): Keistimewaan Jogjakarta karena memang

dari unsur sejarahnya. Sejak dulu sebelum NKRI berdiri, Jogjakarta adalah sebuah

Negeri (Ngayogyakarta Hadidiningrat). Jogjakarta mempunyai kekuatan politis

yang besar untuk Indonesia, kekauatan ini dimulai ketika Jogjakarta masuk dan

bergabung kedalam NKRI sebagai sebuah Negara sendiri, atau daerah Istimewa.

Munculah UUD 45 tentang Keistimewaan. Hal ini yang membawa dampak yang

besar sehingga Indonesia mendapatkan pengakuan Internasional. Berpindahnya

Ibu kota ke Jogja pada tahun 1948 mebuat Jogja berperan dan mempunyai andil

yang besar untuk mempertahankan eksistensi NKRI sendiri.

2. Bapak Fajar Junaidi (Dosen Universitas Muhamad Diyah Jogjakarta):

Keistimewaaan Jogja tidak terlepas dari sejarah. Munculnya Amanat 5 september

1945, yang berisi tetntang kerelaan Sultan dan Paku Alam untuk bergabung

Page 21: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

59

dengan NKRI adalah fakta sejarah tersendiri. Kemudian Simbol dari Keraton

sendiri, dimana Keraton sangat memberi manfaat bagi masyarakat. keraton

sebagai entitas kebudayaan yang berdiri sampe sekarang. Keraton sebuah

Interaksi simbolik (lambang Jogja di Dokar, mobil, motor, baju, dan aksara-aksara

Jawa yang masih dipertahankan) merupakan gamabaran Interaksi simbolik terjadi

di kota ini, ada rasa memiliki yang dipunyai oleh masyarakat Jogja. Keraton

sendiri juga menyatukan orang Jogja, keraton adalah rumah. Luis althuser,

Ideologi bekerja dari pemanggilan, Keraton simbol dari pemanggilan, memanggil

Keistimewaan orang Jogja untuk mempertahankanya pada saat Keistimewaan ini

diusik oleh Pemerintah pusat. Hal ini menunjukan bahwa Keraton merupakan

suatu hal yang mulia bagi mereka warga Jogjakarta.

3. Empu Sungkowo (Budayawan dan Seniman): Dijaman sekarang ini secara

perlahan buday-budaya lokal, khususnya budaya-budaya dan seni-seni tradisi

mulai hilang terkikis oleh globalisasi. Kemudian juga nilai-nilai budi pekerti

dikalangan anak muda juga mulai dilupakan, (inilah fakta yang saya lihat).

Dengan munculnya RUU untuk keistimewaan ini, bagi saya makna Keistimewaan

itu sendiri adalah “Bangkit”. Dalam hal ini adalah perbaikan dan budaya-budaya

yang dulu sudah hilang mulai digali dan dihidupkan kembali, beserta nilai-nilai

tata karma dan budi pekerti, karena hal ini menunjukan jatidiri kita sebenarnya.

Sekarang pihak pemerintah juga sedang mencanangkan program ini, namun hal

ini akan menjadi tanggung jawab kita bersama. Karena dengan pembangkitan

kembali maka makna Keistimewaan itu sendiri akan sangat terasa esensinya.

Page 22: BAB V PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12024/6/T1_362009024_BAB V.pdf · dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa

60

Tabel 5.2 Tabulasi

MITOS Pak Ndaru Pak Fajar Empu Sungkowo

Ada empat

keistimewaan yang

penulis temukan

disini (Bermoral,

Satu visi dan misi,

Kebersamaan yang

tiada batasnya,

Mencintai tanah

airnya. Ini merujuk

pada satu

“Keisstimewaan”,

yaitu Keistimewaan

yang menuntun

Kekuatan Politik

yang diberikan

Jogja mempunyai

dampak yang besar

bagi Indonesia, dan

adanya Pengakuan

Internasional.

Keistimewaan bisa

kita lihat dari

sejarah Jogja yang

diberikan untuk

Indonesia. Warga

mempunyai rasa

memiliki terhadap

Jogjakarta.

Pembangkitan

budaya-budaya

daerah atau lokal

yang mulai terkikis

adalah untuk

mengingatkan kita.

Pembangkitan

kembali adalah

jalan untuk

menemukan esensi

dari Keistimewaan

ini sendiri.