Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
119
BAB V
TOU
Tou adalah nilai kultural yang sarat dengan penghargan
terhadap kesetaraan semua yang ada di alam raya; manusia
perempuan dan laki-laki, hewan dan alam. Tou adalah semua
yang berdiam dalam spasial ranah yang sama.1 Dalam perjalanan
menjadi Minahasa, beberapa kali nilai Tou yang demikian
dilukai oleh konflik-konflik antar taranak karena klaim tanah
dan kekuasaan di antara mereka. Kesetaraan penghargaan
terhadap sesama taranak yang hidup dalam spasial ranah yang
sama direduksi menjadi penaklukan dan penguasaan.
Karenanya, Tou adalah juga kristalisasi dari upaya menata
kembali kehidupan bersama antar kelompok taranak (dalam
walak dan pakasaan) dan juga sebagai dasar relasi dengan orang
yang datang dan atau menetap di tanah Minahasa.
Untuk lebih jelas bagaimana Tou dalam hidup taranak
awal Minahasa, maka dalam bagian ini akan dibahas mengenai
Tou dalam Tiwa Lumimuut-Toar (perjanjian keturunan
Lumimuut-Toar), Tou dalam konsensus para pemimpin taranak
di batu Pinabetengan, dan Tou dalam ucapan-ucapan tua.
1. Tou dalam Tiwa Lumimuut-Toar (perjanjian keturunan
Toar-Lumimuut)
Di bagian awal—khususnya dalam versi mitologi
zending-- telah diceritakan mengenai tiga kelompok keturunan
Lumimuut-Toar. Kelompok pertama, se makarua siyow (2x9)
adalah kelompok imam yang bertugas sebagai pengatur dan
pelaksana ibadah; merekalah yang kemudian disebut sebagai
1 Paul Richard Renwarin, Matuari wo Tona’as Dinamika Budaya Tombulu di
Minahasa. Jilid I Mawanua (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007), 20.
120 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Tonaas dan Walian. Kelompok kedua, se makatelu Pitu (3x7)
adalah kelompok pemerintah atau penjaga kampung, yang
kemudian disebut Patu’an atau Pa’ endon tua. Penjaga desa
disebut Waraney atau prajurit. Kelompok ketiga, se Pa’siyowan
telu (9x3) adalah kalangan rakyat jelata (petani dan pemburu).2
Versi mitologi lainnya memang hanya menceritakan tentang se
makarua siyow (2x9), tetapi realitas minahasa awal yang
dituturkan secara lisan dan menjadi model komunitas Minahasa
selanjutnya tidak hanya terdiri dari kalangan imam, tetapi juga
ada kalangan Waraney (kesatria) dan juga kalangan petani dan
pemburu.
Sekilas ketiga golongan tersebut memiliki hirarki,
sehingga kesannya golongan pertama lebih tinggi dari golongan
kedua demikian seterusnya. Tetapi sebenarnya, sejak awal
ketiga golongan itu hanya menegaskan mengenai fungsi dalam
kumpulan taranak di tanah Minahasa. Intinya, sejak awal
kepemimpinan di tanah Minahasa berbentuk kolektif, karena
setiap golongan akan menjadi pemimpin bagi yang lain pada
saat menjalankan fungsi masing-masing. Misalnya, pada saat
hendak melakukan ritual kepada Opo Empung/ Tuhan Maha
Kuasa, maka yang menjadi pemimpin adalah Wali’an dan Tonaas
(para imam); ketika menghadapi situasi darurat atau konflik
antar taranak dan dengan orang asing, maka Patu’an dan
Waraney (para kesatria) yang akan menjadi pemimpin;
begitupun dengan pengelolahan pertanian dan penyediaan
bahan makanan untuk taranak, maka golongan se Pa’siyowan
telu (para petani dan pemburu) yang menjadi pemimpin di
depan.3 Dengan kata lain, sebutan Tona’as, Wali’an, Patua’an,
2 Wawancara terpisah dengan Tonaas Rinto, Manado, 2014 Tonaas Dede Katopo,
2015, di Manado., Welem Kumaunang, 2015, di Manado. dan FGD dengan
kelompok Budaya Mawale Movement, Manado, 2015.
3 Wawancara dengan Fredy Wowor, Tonaas Rinto, kelompok Mawale. Di
beberapa kampung di tanah Minahasa kini, model kepemimpinan tradisonal tersebut
masih dipertahankan. Karenanya meskipun ada pemimpin formal yang ditempatkan
pemerintah/dipilih oleh masyarakat di satu desa, pemimpin tersebut hanya mengatur
jalannya pemerintahan. Sementara itu, bidang-bidang kemasyarakatan biasanya
Tou 121
Waraney dan se Pa’siyowan telu tidak menunjuk pada gelar atau
jabatan, tetapi pada fungsi dalam masyarakat.
Untuk mengatur agar semua golongan dan keturunan
Lumimuut-Toar hidup dengan menjalankan fungsi masing-
masing, mereka melakukan ikatan perjanjian yang dikenal
sebagai Tiwa (janji) Lumimuut-Toar atau janji keturunan
Lumimuut dan Toar. Janji tersebut disyairkan sebagai berikut:
Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si parukuan cawana si
pakuruan, pute waya tou maesa cita (semua sama. Tidak boleh
menyembah atau disembah sesama. Semua manusia itu sama).4
Singkatnya, semua kelompok sampai pada keturunannya harus
hidup sesuai fungsi dan menghargai golongan lain sebagaimana
yang disepakati dalam Tiwa Lumimuut-Toar.
Penekanan pada kesetaraan dan saling menghargai
dalam ikrar keturunan Lumimuut-Toar adalah juga gambaran
tentang bagaimana pemaknaan Tou dalam kehidupan Minahasa
awal. Tou tidak hanya menunjuk pada turunan Lumimuut-Toar
semata, tetapi terhadap manusia lainnya. Bahkan, karena
manusia Minahasa—lazimnya masyarakat purba—sangat
terkait erat dengan tanah sebagai tempat hidup, maka Tou juga
menyangkut tanah dan semua yang hidup dari tanah yang
menjadi wilayah bersama tersebut. Karena itu, Tiwa Lumimuut-
Toar tidak hanya mengatur bagaimana manusia Minahasa dalam
relasinya dengan sesama, tetapi juga dengan ciptaan lainnya.
masih ditangani oleh tua-tua kampung atau mereka yang dituakan. Misalnya, bila
ada lahan pertanian baru yang akan dibuka melalui kegiatan mapalus (semacam
kegiatan gotong royong), maka yang akan memimpin adalah orang yang dinilai
memiliki kapasitas untuk memimpin pekerjaan membuka lahan tersebut. Kalau ada
peristiwa duka, maka pembuatan bangsal dan keperluan lain yang dibutuhkan dalam
rangka persemayaman jenazah dipimpin oleh orang yang ditunjuk khusus
mengkoordinir kerja bersama tersebut. Singkatnya, orang-orang yang ditujuk
sebagai “pemimpin” informal tersebut, tidak sembarangan tetapi berdasar penilain
terhadap kualitas diri yang dimiliki; meskipun tidak jarang juga, dibeberapa tempat
di tanah Minahasa kini pemimpin desa juga sekaligus menjadi tua-tua masyarakat,
sehingga dia juga yang dipercaya menangani langsung semua kegiatan di desa.
4 Tradisi lisan di beberapa tempat di tanah Minahasa yang direkam oleh Taroreh,
2014; Wowor, 2015; kelompok Mawale Movement, 2015.
122 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Pemahaman demikian diperkuat oleh ajaran para leluhur
mengenai tou peteng masuat waya (semua ciptaan sama
derajatnya). Tou kemudian tidak hanya dipahami sebatas
kesejajaran seluruh ciptaan, tetapi juga dalam relasi dengan Opo
Empung/Pencipta Alam Semesta.5
Pemaknaan Tou yang juga mengatur relasi antar
manusia Minahasa, Opo Empung dan ciptaan lain, tergambar
dalam tradisi lisan dan praktek yang diajarkan secara turun
temurun. Fredy Wowor-- salah satu pelaku budaya dan juga
penterjemah bahasa Minahasa dalam ucapan-ucapan dan syair-
syair yang disampaikan Tonaas pada pelaksanaan ritual—
menjelaskan bahwa orang-orang Minahasa awal
memperlakukan alam dan binatang sebagaimana layaknya
mereka memperlakukan diri mereka sendiri. Setiap kali mereka
hendak memanfaatkan tumbuhan atau hewan untuk kebutuhan
makanan mereka, selalu didahului dengan ritual yang berisi
ucapan-ucapan memohon izin untuk memanfaatkan.6 Sejajar
dengan Wowor, saya juga masih mengingat kebiasaan oma
(mama dari ayah saya) sebelum memetik tanaman (bahan untuk
membuat sayur) di halaman rumah. Beliau berbicara dengan
tumbuhan yang akan dipetiknya (berbicara dengan nada
berbisik—karenanya saya hanya melihat dia berkomat-kamit di
depan tumbuhan). Ketika kebiasaan tersebut saya percakapkan
dengan beberapa teman yang usianya 10-15 tahun lebih tua dari
saya, merekapun mengemukakan pengalaman yang sama yang
mereka temukan di kampung mereka di Minahasa. Di masa kecil
ketika melihat oma berkomat-kamit di depan tumbuhan, saya
belum mengerti atau bahkan heran dengan tindakan oma yang
demikian. Bersamaan dengan pertambahan usia dan berulang-
ulang melihat tindakan oma dan mendengar penjelasan
mengenai tindakannya yang demikian, saya kemudian mengerti
5 Taroreh, 2014.
6 Wawancara dengan Fredy Wowor, 2015, di Manado.
Tou 123
bahwa tumbuhan adalah juga mahluk hidup dan karenanya
harus dihargai.
Dalam perjalanan sebagai komunitas Minahasa awal,
kesetiaan terhadap konsensus atau Tiwa Lumimuut-Toar, bukan
hal mudah untuk dipertahankan. Beberapa kali Tiwa Lumimuut-
Toar dilukai oleh tindakan pelanggaran sebagian kelompok7 dan
pendatang. Karenanya, Tiwa yang kemudian diperkuat oleh
ucapan-ucapan tua-tua, dalam kehidupan sehari-hari para
taranak ditegaskan dalam tiga kata yang lazim diucapkan
sebagai peringatan terhadap keharusan memegang Tiwa, yakni
wantik, pantik dan santi. Wantik artinya janji sudah digaris atau
sudah ditetapkan untuk dilakukan; pantik artinya janji sudah
ditandai, sehingga sebebas apapun para taranak membangun
dan mengembangkan kehidupan mereka—termasuk berelasi
dengan siapapun—harus memperhatikan tanda yang tidak
boleh dilewati. Lalu kemudian Santi. Santi berarti pedang,
karena santi terkait dengan sangsi akibat pelanggaran terhadap
janji. Artinya, ketika perjanjian/kesepakatan dilanggar, wantik
dan pantik tidak diindahkan, maka yang akan berbicara adalah
pedang. Secara harafiah kata santi menyiratkan hukuman yang
berbasis kekerasan sebagaimana lazimnya di masyarakat-
masyarakat purba yang konsisten menjalankan aturan kultural.
Realisasi dari santi, yakni tradisi hukuman pemenggalan kepala
para pelanggar janji.8 Pelaksanaan hukuman di masyarakat
Minahasa awal yang demikian, sejajar dengan penjelasan
Durkheim tentang pelaksanaan hukuman di masyarakat
7 Beberapa penulis tentang Minahasa melihat bahwa ikrar antar turunan
Lumimuut-Toar bukan sekedar untuk mengatur fungsi masing-masing kelompok,
tetapi juga untuk meminimalisir imbas dari semangat kompetitif yang kuat di
Minahasa saat itu. Penekanan terhadap keter/kekuatan fisik sebagai salah satu syarat
kualitas diri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin menjadi sebab kompetisi
antar pribadi dan antar kelompok yang marak di Minahasa awal.
8 Ketika Misionaris Kristen masuk tanah Minahasa, tradisi penghukuman dengan
cara memenggal kepala para pelaku pelanggaran menjadi sasaran utama untuk
dihilangkan dari Minahasa. Karenanya, sejak Minahasa misionaris Kristen masuk
Minahasa dan orang-orang Minahasa menerima baptisan untuk menjadi Kristen,
tradisi hukuman pemenggalan kepala berangsur-angsur hilang dari tanah Minahasa.
124 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
mekanik. Kekurangan hukuman yang demikian menurut
Durkheim, yakni karena hukum lebih ditentukan oleh reaksi
emosional. Reaksi emosional demikian karena pelanggaran
terhadap hukum di masyarakat mekanik, tidak hanya menyakiti
kolektivitas tetapi juga menentang otoritas transedental yang
memelihara kolektivitas tersebut.
Ada dua contoh peristiwa yang penting untuk
diperhatikan dalam kaitan dengan pelanggaran Tiwa Lumimuut-
Toar. Pertama, peristiwa mahawetik yang kemudian
menyebabkan perang antara keturunan Lumimuut-Toar yang
berakhir pada pertemuan dan kesepakatan di Batu
Pinabetengan (akan di bahas pada bagian berikutnya). Peristiwa
kedua, yakni perang dengan Spanyol, Portugis dan Belanda
akibat pelanggaran terhadap Tiwa Lumimuut-Toar, karena
dalam pelaksanaannya ikatan perjanjian tersebut bukan hanya
mengatur relasi antar tiga golongan keturunan Lumimuut-Toar,
tetapi juga dengan pendatang (sebagaimana yang telah
dipaparkan dalam Bab IV. 4).9
2. Tou dalam konsensus para pemimpin taranak di batu
Pinabetengan
Menurut tradisi lisan yang dituturkan turun temurun di
tanah Minahasa, batu Pinabetengan awalnya disebut sebagai
batu tumotowa (batu pemujaan pada Opo Empung). Lalu dalam
perkembangan selanjutnya, tempat disekitar batu tersebut
menjadi tempat pertemuan dan musyawarah taranak Minahasa
awal setiap kali mereka berhadapan dengan persoalan-
persoalan yang perlu dipercakapkan bersama. Pertemuan
penting—dan diduga kuat sebagai pertemuan pertama seluruh
pemimpin taranak turunan Lumimuut-Toar-- di batu
Pinabetengan, yakni pertemuan para pemimpin kumpulan
taranak setelah peristiwa Mahawetik. Peristiwa Mahawetik
9 Taroreh, 2014; Wowor, 2015 dan Kelompok budaya Mawale, 2015.
Tou 125
berawal dari perjumpaan komunitas Minahasa awal dengan
kerajaan Bolaang-Mongondow. Raja Bolaang Mongondow sering
datang ke pantai-pantai Malesung, bahkan pernah berencana
memperluas wilayah kekuasaannya di daerah ini. Kerajaan
Bolmong menerapkan sistim budak—dengan ciri tidak bisa
dibantah, tidak mengenal perundingan dan sangat berkuasa
terhadap para budak. Melihat penerapan sistim budak demikian,
beberapa Wali’an Makarua Siyow (kalangan imam) tertarik
untuk menerapkan sistim tersebut di Minahasa. Akibatnya,
terjadi penolakkan dan pemberontakan terhadap sistim
perbudakan dipimpin oleh kelompok Pasiowan Telu. Penolakan
tersebut terutama karena sistim budak sangat bertentangan
dengan suasana demokratis yang didasarkan pada Tiwa
Lumimu’ut-To’ar. Tona’as Rinto Taroreh10 mendeskripsikan
peristiwa pemberontakan tersebut sebagai tragedi Minahasa
karena terjadi pengejaran dan pembunuhan terhadap kelompok
Makarua Siyow. Kelompok Makarua Siyow yang dinilai sebagai
pelanggar Tiwa dikejar dan berusaha dimusnakan, termasuk
pemusnahan dokumen-dokumen kultural. Banyak yang
terbunuh, tetapi ada juga yang berhasil melarikan diri ke
wilayah Bolaang-Mongondow atau yang tetap tinggal di tanah
Minahasa tetapi bersembunyi di desa-desa terpencil dan tidak
lagi hidup sebagai wali’an. Di sisi lain, korban dikalangan
masyarakatpun tidak terhindarkan. Taroreh menceritakan
bahwa, situasi Minahasa saat peristiwa tersebut benar-benar
terpecah dan terserak. Karenanya, tragedi Minahasa tersebut
menurut Taroreh disebut sebagai Mahawetik yang
menggambarkan keterpecahan komunitas Minahasa saat itu
laksana air yang jatuh di atas batu dan terpencar.11
Keterpecahan Minahasa saat itu, melahirkan kesadaran
bahwa kehidupan bersama di tanah Minahasa harus di atur
kembali. Opo Kapero dari kelompok Pasiowan Telu
11 Wawancara dengan Taroreh, 2014, di Manado.
126 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
mengumpulkan seluruh rakyat dan melakukan Mahasa/
musyawarah di batu Pinawetengan dalam rangka Minaesa/
menyatu guna menyelesaikan konflik yang ada.
Musyawarah melahirkan dua keputusan, yakni memecat para
makerua siyow dan mengatur kembali fungsi setiap kelompok
taranak. 12
Tindakan kelompok Pasiowan Telu terhadap para
Wali’an Makarua Siyow ditanggapi berbeda oleh beberapa
penulis tentang Minahasa dan para pelaku budaya. Sebagian
pelaku budaya dan beberapa penulis mencatat bahwa penolakan
dan pemberontakan tersebut adalah reaksi terhadap penerapan
sistim perbudakan yang bertentangan dengan nilai Tou
Minahasa atau nilai kesetaraan; nilai yang menjadi jiwa dari
perjanjian/ikrar yang dilakukan oleh keturunan Lumimuut-Toar
(Tiwa Lumimuut-Toar).13 Pelaku budaya dan penulis tentang
Minahasa lainnya menilai reaksi masyarakat yang dimotori
Pasiowan Telu sebagai tindakan keonaran. Kelompok Pasiowan
Telu dianggap senang membuat keonaran dan sengaja
memprovokasi masyarakat untuk memberontak terhadap
kalangan Makarua Siyow.14 Perbedaan penanggapan demikian
dapat dimengerti, karena masing-masing peneliti dan pelaku
budaya memiliki cara pandang berbeda memahami peristiwa
tersebut (bagian ini akan dikaji mendalam di Bab VI).
Peristiwa kedua, yakni ketika para pemimpin kembali
bertemu dan bermusyawarah untuk menyelesaikan konflik
antar taranak karena klaim tanah. Dalam musyawarah tersebut
para pemimpin memutuskan untuk melakukan pembagian
wilayah tanah mengikuti pengelompokan taranak dalam
pakasa’an dengan memperhatikan persamaan dialek, bahasa
13 Antara lain, Kelompok Budaya Mawale, 2015. Bdk. dengan Taulu, bunga…,
7.
14 lihat Renwarin, Minahasa…, 74.
Tou 127
dan ritual. 15Saat itu wilayah Minahasa dibagi menjadi empat,
yakni Pakasa’an Tombulu, Tonsea, Tolour dan Tountemboan.
Musyawarah di batu Pinawetengan rupanya juga
mengikutsertakan kesepakatan sebagai pakasa’an di tanah yang
Mahasa/menyatu mengenai bagaimana memelihara keamanan
dan keutuhan pakasa’an masing-masing. Indikasi itu antara lain
terlihat pada peristiwa penyerangan yang dilakukan kerajaan
Bolaang-Mongondow terhadap pakasa’an Tonsea dalam rangka
ekspansi kekuasaannya. Menghadapi serangan tersebut
pakasa’an Tonsea dibantu oleh pakasa’an Tondano dan
Tombulu. Rikson Karundeng salah seorang pengkaji dan pelaku
budaya dari kelompok budaya Mawale Movement, menuturkan
kembali tradisi lisan mengenai penyerangan Bolmong terhadap
Tonsea, sebagai berikut
Jadi sikap orang Minahasa selalu positif terhadap orang luar: “kalau bercerita dengan damai kami terima, tapi kalau kalian cari masalah dengan kami, kami siap mati.” Ketika orang Bolmong menyerang pakasa’an Tonsea, tiba-tiba orang Bolmong sadar bahwa orang Minahasa sudah menyerang secara sistimatis. Orang Tombulu menyerang, orang Tontemboan bertahan di belakang, orang Tolour pulang kampung. Orang Tolour berperang, orang tountemboan di lapis kedua, orang Tombulu pulang kampung, demikian. Orang Tonsea tidak terlibat di perang melawan Bolmong karena walak-walak Tonsea bertanggung-jawab menjaga pesisir-pesisir, dari
15 Cerita demikian penulis dengar sejak masih kecil sebagaimana dituturkan oma
yang menjalani masa kanak-kanak sampai dewasa di Tompaso (salah satu kampung
di tanah Minahasa yang berdekatan dengan lokasi batu Pinabetengan). Cerita yang
sama juga dituturkan oleh beberapa kelompok budaya, al. Mawale Movement,
2015. Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Sulut,
Manado, 2015. Kesamaan cerita yang didengar dari generasi ke generasi
mengindikasikan mengenai pewarisan tradisi lisan tentang cerita tersebut yang
masih dilakukan, terutama di kampung-kampung di tanah Minahasa.
128 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
pesisir Minahasa-willayah utara (wil Tonsea) yg intens dimasuki perompak.16
Dalam perkembangan kemudian, dengan semakin
bertambahnya jumlah taranak, maka luas tanah pembagian
tidak lagi memadai untuk kelompok pakasa’an sehingga konflik
yang disebabkan oleh klaim tanah antar pakasa’an tidak
terhindarkan. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, para ukung
bertemu lagi di Batu Pinawetengan dan mengatur kembali
pembagian wilayah. Batu Pinawetengan memang menjadi
tempat pertemuan para pemimpin taranak Minahasa setiap kali
hendak menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Karenanya
batu Pinawetengan oleh para pemimpin taranak dinamakan
sebagai watu pinawetengan in nuwu yang berarti batu tempat
mempercakapkan apa yang diamanatkan.
Dalam konteks kini, batu Pinawetengan tetap berfungsi
sebagai tempat berkumpul kelompok-kelompok pelaku budaya
dipimpin Tona’as masing-masing. Menurut Tona’as Rinto
Taroreh, biasanya mereka berkumpul untuk melakukan ritual-
ritual dalam rangka memohonkan kehidupan yang aman dan
harmonis dengan alam. Selain itu, ritual-ritual lain juga
dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dari para leluhur
tentang bagaimana seharusnya memahami dan menjalani hidup
di masa kini. Demikian Taroreh menceritakan:
seperti ritual yang kami lakukan setiap tanggal 3 Januari 2015. Semua Tonaas melakukan ritualnya masing-masing, tetapi intinya semua ritual bertujuan untuk berdamai dengan alam agar bencana alam yang terjadi di awal tahun 2014 tidak terjadi lagi di tahun ini. Ritual-ritual dilakukan untuk mengatur ulang kehidupan kita bersama alam.
Taroreh juga menjelaskan, bahwa selain ritual berdamai
dengan alam, di batu Pinawetengan kini dalam waktu-waktu
16 Rikson Karundeng, Kelompok budaya Mawale Movement, Manado, 2015.
Tou 129
tertentu juga diadakan ritual-ritual yang lain oleh para Tona’as.
Ritual-ritual itu disebut kampetan dan dilaksanakan dengan
tujuan untuk menggali ingatan-ingatan tua mengenai nilai-nilai
kehidupan yang penting dari para leluhur. Dalam ritual
demikian, biasanya Tona’as akan mengalami trans atau
kerasukan arwah leluhur dan menyampaikan ucapan-ucapan
leluhur yang telah merasuki dirinya. Ucapan-ucapan itu
disampaikan dalam bahasa Minahasa dan kemudian
diterjemahkan oleh seorang penterjemah yang membantu
Tona’as dalam ritual tersebut. Selanjutnya, ucapan-ucapan
leluhur disampaikan berulang-ulang oleh Tona’as dalam
kelompok binaannya dan juga kepada masyarakat yang
mengikuti ritual tersebut untuk menjadi arahan dalam berelasi
dengan sesama dan ciptaan lainnya. Bagi para pelaku budaya,
ritual kampetan menjadi ritual primadona, karena dari ritual
tersebut mereka dapat menggali sebanyak mungkin
pengetahuan mengenai Minahasa awal, para leluhur yang
berperan dan nilai-nilai kultural yang memperkuat kehidupan
bersama. Karenanya, setiap kali mereka melakukan ritual, selalu
di dahului dengan pelaksanaan ritual kampetan oleh Tona’as
3. Tou dalam ucapan-ucapan tua
Dalam tradisi lisan di tanah Minahasa pemaknaan Tou
juga disematkan dalam kata-kata nasehat yang disampaikan
secara turun-temurun. Dua diantaranya yang menojol, yakni,
Tou Tumou Mawuali Tou (manusia hidup untuk menjadi
manusia sepenuhnya), Tou Tumou tumou tou (manusia hidup
untuk memanusiakan manusia lainnya). Ucapan-ucapan tua
tersebut terkait dengan tiga kualitas diri manusia Minahasa,
yakni keter (kuat secara fisik, memiliki mental kuat, tegas dan
memiliki kemampuan kepemimpinan), nate’ (hati/kepeaan), dan
nga’as (otak, kejernihan dan ketajaman berpikir).
130 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Dalam kajian terhadap ketiga kualitas diri tersebut
terkadang terjadi salah mengerti. Banyak pengkaji dan anggota
kelompok budaya yang menginterpretasi tiga kualitas tersebut
hanya sebagai syarat untuk menjadi pemimpin di tanah
Minahasa. Padahal dalam masyarakat Minahasa yang tidak
mengenal hirarki, semua orang setara dan tidak ada yang lebih
istimewa. Perbedaan antar manusia dalam konteks Minahasa
awal terletak pada pencapaian terhadap tiga kualitas diri
tersebut. Karena itu, kompetisi personal menguat dalam kaitan
dengan pencapaian kualitas diri yang memang dituntut untuk
menjadi manusia Minahasa.
Di Minahasa juga dikenal sebutan khas yakni wewene
(perempuan) dan tuama (laki-laki). Dua sebutan khas tidak
hanya menunjuk perbedaan jenis kelamin, tetapi juga menunjuk
pada pencapaian kualitas diri sebagai manusia laki-laki dan
perempuan. Seorang laki-laki dan perempuan akan disebut
sebagai tuama dan wewene jika telah memiliki kualitas keter,
nga’as dan nate’. Pemahaman demikian tersimpan kuat dalam
diri orang Minahasa yang masih memahami nilai kulturalnya,
sebagaimana yang terekam dalam salah satu pelaksanaan ritual
yang saya ikuti. Pada saat pelaksanaan ritual di Bitung, Tonaas
Dede Katoppo yang menjadi pemimpin ritual meneriakkan
semboyan Minahasa I Yayat U santi (secara hurufiah dapat
diterjemahkan “mari angkat pedang”) yang kemudian disambut
oleh sebagian orang laki-laki yang meneriakkan pekik tuama!
sebagian perempuan yang meneriakkan wewene! yang lain
meneriakkan uhuy! (pekik yang umum diserukan sebagai respon
terhadap teriakan I yayat u santi). Dalam observasi yang saya
lakukan, saya mencatat bahwa mereka yang menanggapi seruan
tona’as dengan pekik tuama dan wewene adalah para pemimpin
kelompok budaya-- para Tona’as, wali’an dan waraney yang
hadir saat itu. Pekikan demikian tidak hanya sekedar memberi
respon berbeda dengan masyarakat umum, tetapi merupakan
penegasan diri bahwa merekalah laki-laki dan perempuan yang
Tou 131
dalam hidup telah mencapai tiga kualitas diri manusia
sepenuhnya dan karenanya mereka layak menjadi Tona’as,
Waraney dan Wali’an.17 Pernyataan diri sebagai wewene dan
tuama adalah juga penegasan bahwa kualitas diri tersebut
sedang diimplementasikan dalam relasi dengan Yang Kudus,
sesama dan lingkungan. Karena itu, pengakuan diri sebagai
wewene dan tuama bukan sebutan biasa sekedar menyebut
perempuan dan laki-laki, sebaliknya mengandung nilai sosio-
kultural yang sarat dengan penghargaan terhadap kemampuan
seseorang membangun kehidupan yang berkualitas dengan
Yang Kudus, sesama dan lingkungan. Penghargaan terhadap
kehidupan berkualitas yang merefleksikan Tou sebagai identitas
bersama di tanah Minahasa.
Selanjutnya, dari kedua ucapan tua tersebut terurai
ucapan-ucapan lain yang muncul kemudian yakni Maleo-leosan
(saling mengasihi dan menyayangi), masigi-sigian (saling
berbaikan), masawang-sawangan (saling menolong), dan
matombol-tombolan (saling menopang), magenang-genangan
(saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar). Jelas,
bahwa yang diajarkan melalui ucapan-ucapan tersebut adalah
bagaimana bersikap etis dalam kehidupan bersama. Dalam
wawancara dengan Pdt. H.W.B Sumakul, Ketua Sinode GMIM,
beliau memaknai capan-ucapan tua tersebut sebagai terapi
sosial dalam memberi dukungan atau penguatan pada sesama
manusia dalam rangka mencapai kualitas hidup. Di sisi lain,
menurut beliau, ucapan-ucapan etis tersebutpun menjadi terapi
sosial bagi para Tona’as, Walia’an, Waraney, dan para pemimpin
informal yang memimpin kegiatan khusus di masyarakat
(sebagai pemimpin mapalus pertanian, pemimpin mapalus
bangsal duka, pemimpin mapalus kerja bakti kampung, …) untuk
menjalankan fungsinya secara optimal.18 Saya sependapat
17 Hal yang sama dikemukakan juga oleh Tona’as Rinto Taroreh, Manado, 2014
dan Ferdy Wowor, Manado, 2015.
18
Data observasi penulis. Dalam konteks tanah Minahasa kini, ucapan-ucapan demikian lebih banyak disampaikan dalam sambutan di acara pernikahan dan duka.
132 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
dengan Sumakul, karena menurut saya ucapan-ucapan tua
demikian adalah juga cara yang dipakai oleh para tua-tua atau
orang tua Minahasa untuk terus memelihara masyarakat di
tanah Minahasa. Selain itu, yang terpenting untuk konteks kini,
yakni bagai ucapan-ucapan tua dipakai sebagai media edukasi
masyarakat mengenai pentingnya memelihara falsafah tou dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan kini. Artinya,
ucapan-ucapan tersebut tidak sekedar nostalgia terhadap nilai-
nilai tua dan pemuas kesadaran sosial bahwa dalam masyarakat
di tanah Minahasa ada nilai Tou yang egaliter. Lebih dari itu, Tou
harus diimplementasikan dalam interaksi kultural dan sosial di
tanah Minahasa kini.