47
120 BAB V BENTUK-BENTUK HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI PENGUASAAN CENDANA Hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan bemula dari dua konsep pemikiran berbeda yang melibatkan pihak penghegemoni dan pihak yang dihegemoni. Dalam hal ini pemerintah berposisi sebagai penghegemoni dan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni. Pemerintah menjalankan hegemoni penguasaan cendana sebaliknya masyarakat melakukan kontra hegemoni. Sesuai pandangan Gramsci, hegemoni sebagai pemerolehan supremasi (kekuasaan tertinggi) melalui kepemimpinan intelektual dan moral dengan dukungan kekuatan dan persetujuan, maka kontra hegemoni adalah kebalikannya. Dalam kaitan ini, kontra hegemoni merupakan ketidaksetujuan atau penentangan atas perilaku hegemoni. Dengan demikian, pihak yang memiliki peluang sebagai penghegemoni hanya pihak yang memiliki kekuasaan, khususnya pihak penguasa formal yakni pemerintah. Sedangkan kontra hegemoni merupakan perlawanan atau reaksi ketidaksetujuan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni atas peraturan yang ditetapkan pemerintah. Sudut pandang yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat memunculkan hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat. Dalam hal ini pemerintah berposisi sebagai penghegemoni sedangkan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni kemudian meresponnya dengan kontra hegemoni. Pemerintah

Bab VI Dominasi Pemerintah dalam Pengelolaan Kayu Cendana

Embed Size (px)

Citation preview

120

BAB V

BENTUK-BENTUK HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI

PENGUASAAN CENDANA

Hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Kabupaten Timor

Tengah Selatan bemula dari dua konsep pemikiran berbeda yang melibatkan pihak

penghegemoni dan pihak yang dihegemoni. Dalam hal ini pemerintah berposisi

sebagai penghegemoni dan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni. Pemerintah

menjalankan hegemoni penguasaan cendana sebaliknya masyarakat melakukan

kontra hegemoni. Sesuai pandangan Gramsci, hegemoni sebagai pemerolehan

supremasi (kekuasaan tertinggi) melalui kepemimpinan intelektual dan moral dengan

dukungan kekuatan dan persetujuan, maka kontra hegemoni adalah kebalikannya.

Dalam kaitan ini, kontra hegemoni merupakan ketidaksetujuan atau penentangan atas

perilaku hegemoni. Dengan demikian, pihak yang memiliki peluang sebagai

penghegemoni hanya pihak yang memiliki kekuasaan, khususnya pihak penguasa

formal yakni pemerintah. Sedangkan kontra hegemoni merupakan perlawanan atau

reaksi ketidaksetujuan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni atas peraturan

yang ditetapkan pemerintah.

Sudut pandang yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat

memunculkan hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat. Dalam hal ini

pemerintah berposisi sebagai penghegemoni sedangkan masyarakat sebagai pihak

yang dihegemoni kemudian meresponnya dengan kontra hegemoni. Pemerintah

121

nenetapkan atuan tentang penguasaan cendana bertujuan untuk melestarikan cendana

dan meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini memunculkan beberapa bentuk

hegemoni pemerintah. Ide-ide pemerintah tidak sejalan dengan ide-ide masyarakat,

terutama masyarakat primer cenderung lebih mementingkan kebutuhan hidup dalam

usaha memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Masyarakat menganggap

pemerintah sebagai pihak penguasa telah memaksa masyarakat untuk mematuhi

peraturan yang cenderung memonopoli penguasaan kayu cendana tanpa memberi hak

kepemilikan kepada masyarakat. Hal ini memunculkan berbagai bentuk kontra

hegemoni masyarakat baik secara manifes maupun simbolik

5.1 Bentuk-Bentuk Hegemoni Pemerintah

Hegemon pemerintah dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah

Selatan adalah ekpresi wewenang dan kekuasaan pemerintah menguasai dan

mengatur cendana yang terlegitimasi dalam bentuk peraturan pemerintah. Pemerintah

selaku penguasa wilayah beserta jajarannya (Dinas Kehutanan) memiliki wewenang

dan kekuasaan mengatur penguasaan cendana di wilayah tersebut. Selaku penguasa

tertinggi pemerintah mampu menghegemoni masyarakat dan melakukan pengawasan

terhadap objek dalam bidang-bidang pemhuasaan cendana. Dengan demikian

hegemoni dalam penguasaan cendana merupakan wewenang pemerintah untuk

melakukan berbagai bentuk pengawasan dan cendana di wilayah tersebut.

Bentuk-bentuk hegemoni berupa pengawasan merupakan kelanjutan dari

munculnya peraturan pemerintah. Peraturan yang telah ditetapkan pemerintah

122

didukung dengan kekuasaan negara sebagai alat kekerasan atau paksaan untuk

mejaga kekuasaan kelas dominan. Dengan demikian. hegemoni pemerintah yang

bekerja pada lapangan budaya dan di tingkat moral atau kesadaran selalu didampingi

aparat koersif. Bahkan antara hegemoni dan koersi (dominasi) berjalan secara

berdampingan. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai penguasa

wilayah tertinggi, berwewenang menetapkan peraturan untuk meregulasi cendana di

wilayahnya. Sebaliknya, masyarakat selaku pihak yang dikuasai harus mentaati

peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Guna menjamin ketaatan masyarakat

terhadap peraturan, pemerintah melakukan pengawasan dengan meregistrasi cendana,

membentuk polisi penjaga hutan, dan melakukan operasi sahabat.

5.1.1 Peraturan Pemerintah

Bentuk-bentuk hegemoni yang tertuang dalam peraturan pemerintah telah

berlangsung sejak zaman kerajaan sampai zaman reformasi. Bahkan, peraturan

pemerintah yang mengatur penguasaan cendana saat ini merupakan ketetapan yang

mengacu pada aturan-aturan masa lampau khususnya peraturan masa Portugid dan

kolonial Belanda. Dalam kaitan ini, pemerintah selaku pelaksana kekuasaan tertinggi

negara berkaitan dengan teori kekuasaan dan pengetahuan, bahwa kekuasaan adalah

kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan

kemauan-kemauannya sendiri sekaligus menerapkan tindakan-tindakan sesuai

kemauannya terhadap pihak lain. Kekuasaan sangat tergantung hubungan antara

pihak yang memiliki kemampuan atau pengetahuan untuk melancarkan pengaruh

123

dengan pihak lain yang menerima pengaruh tersebut baik secara sukarela maupun

terpaksa. Berkat hegemoni, dominasi, dan kekuasaan yang dimiliki, pemerintah

berwewenang mengatur keberadaan cendana yang tertuang dalam bingkai peraturan

pemerintah.

5.1.1.1 Peraturan Masa Kerajaan Lokal

Peraturan masa kerajaan lokal merupakan peraturan adat tidak tertulis yang

dilaksanakan berdasarkan kontrol para usif (raja lokal). Dalam kaitan ini, seorang usif

(raja atau penguasa wilayah) memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan

masyarakat yang ada di wilayah kekuasaannya. Usif dianggap keturunan uis neno

disebut neno ana (anak Tuhan atau anak dewa penguasa alam). Kerkuasaan usif

mengatur masyarakat disebutkan dalan hasil wawancara berikut dengan seorang

tokoh masyarakat F.H. Fobia.

“Dulu, dorang percaya usif sakti, neno ana punya (anaknya dewa) turunan

uis neno (dewa penguasa alam tertinggi). Usif kuasai semua wilayah, dia

hormati dorang semua di sini, cendana usif punya, kalo tebang cendana

usif yang atur, hasilnya usif dapat paling banyak, tapi usif juga beri

bagian pada fettor, temukung, amaf.... “ (wawancara dengan F.H. Fobia,

tanggal 24 Mei 2007).

Hal ini menunjukkan hegemoni penguasa (usif) dalam segala bidang kehidupan

masyarakat termasuk penguasaan cendana. Hegemoni usif didukung kekuasaan,

kepercayaan masyarakat, dan keberadaan lembaga pemerintahan tradisional sehingga

muncul mitos bahwa hanya usif yang berhak menguasai cendana yang tumbuh di

wilayah kekuasaannya. Hegemoni usif sejalan dengan pemikiran Weber, penguasa

124

mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga

pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Hegemoni dan dominasi

memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran

masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat melaksanakan

kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni dan dominasi lebih menekankan

pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan untuk mendapat kesejahteraan.

Weber membedakan tiga jenis hegemoni dan dominasi yakni dominasi

karismatik, tradisional, dan legal rasional. Dominasi karismatik didasarkan atas

kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa dan kesetiaan

bawahan. Dominasi tradisional, penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan

oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada

tradisi sebelumnya. Dominasi legal rasional, keabsahan penguasa didasarkan pada

hukum dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum.

Hegemoni dan dominasi masa kerajaan lokal berkaitan dengan dominasi

karismatik dan dominasi tradisional. Hegemoni dan kekuasaan diperoleh berdasarkan

kepercayaan, mitos-mitos, dan nilai-nilai subjektivitas. Sistem kepercayaan

masyarakat telah menggiring kayu cendana sebagai simbol legitimasi kekuasaan

penguasa lokal. Jadi, hanya usif yang memiliki kuasa terhadap cendana, dan setiap

penebangan cendana harus sepengetahuan usif. Mereka yang berhak menguasai kayu

cendana hanya para usif (raja) yang dianggap keturunan uis neno.

Hegemoni usif terkait penguasaan cendana tampak dalam hubungan dagang

dengan pihak-pihak asing. Pihak-pihak yang ingin membeli kayu cendana harus

125

melakukan kontak dengan usif selaku penguasa wilayah. Usif berhak menyetujui dan

melakukan penjualan langsung dengan pedagang-pedagang asing dengan menerapkan

sistem barter. Perdagangan cendana dilakukan apabila kapal atau perahu dagang

datang berlabuh di perairan pada hari-hari tertentu. Saat itu usif yang menempati

sonaf (istana) di daerah turun ke pesisir. Mereka membawa kayu cendana untuk

ditukar dengan barang-barang yang dibawa oleh saudagar seperti kain lena, barang-

barang porselen, gelas, sendok, garpu. Barter tidak boleh ditukar sebelum usif datang

dan harus disaksikan langsung oleh usif. Hasil pertukaran cendana dibagi sesuai

kesepakatan adat yang berlaku. Keuntungan perdagangan kayu cendana memberi

porsi terbesar bagi usif selaku penguasa wilayah. Usif memperoleh separuh dari

pemerolehan penjualan secara keseluruhan. Separuhnya lagi, dibagi dengan perangkat

penguasa bawahannya. Pola pembagian hasil cendana diatur berdasarkan ketentuan

sebagai berikut ; 1). Pembagian 5/10 atau 0,5 untuk usif, 2). Pembagian 2/10 atau

0,2 untuk fettor; 3). Pembagian 1/10 atau 0,1 untuk temukung, 4) Pembagian 2/10

atau 0,2 untuk tukang tebang.

Meskipun usif memperoleh pembagian terbesar dan menguasai sebagian besar

produksi cendana, porsi-porsi tertentu diberikan kepada perangkat lembaga

pemerintahan tradisional berdasarkan kesepakatan bersama. Terutama pembagian

untuk para amaf selaku pemimpin-peminpin klen. Seorang amaf yang memiliki

jumlah anggota cukup besar seringkali diangkat menjadi temukung atau perangkat

pemerintahan tradisional setingkat kepala desa. Dengan demikian seorang amaf yang

126

menjabat sebagai temukung juga mendapat hak pembagian pemungutan dan

penjualan cendana yang tumbuh di wilayah pemerintahan adatnya.

5.1.1.2 Peraturan Masa Portugis

Bangsa Potugis datang ke Pulau Timor khususnya ke wilayah Timor tengah

Selatan pada abad ke-16 sekitar tahun 1522. Pada masa ini di wilayah Pulau Timor

terbentuk beberapa kerajaan lokal yang masing-masing berdiri sendiri secara

independen. Awalnya, kedatangan Bangsa Portugis ke pulau Timor semata-mata

bertujuan mencari hasil alam, kemudian berusaha mengadakan pendekatan dengan

para penguasa lokal. Portugis berupaya menguasai perdagangan cendana dan

menundukkan raja-raja dengan menggunakan strategi penyebaran agama. Namun

strategi demikian tidak membawa hasil maksimal.

Strategi Portugis menguasai perdagangan cendana berjalan lebih ekspresif

setelah menempatkan Simon Louis, seorang kapten kapal yang memimpin armada

perdagangan. Ia berusaha menundukkan raja-raja Timor untuk memperoleh hak

monopoli perdagangan cendana diwilayah tersebut. Namun usahanya belum berhasil

maksimal karena pola-pola yang diterapkan Portugis dianggap menipu para usif dan

masyarakat Timor, sehingga muncul pertentangan antara Bangsa Portugis dengan

masyarakat lokal. Maka, kayu cendana seringkali menjadi ajang pertikaian antar

kelompok yang berkepentingan.

Portugis berhasil mengusai perdagangan kayu cendana di Pulau Timor pada

tahun 1645 setelah berhasil meredam berbagai bentuk penentangan masyarakat

127

seperti dituturkan seorang tokoh masyarakat F.H. Fobia berdasarkan penuturan

kakeknya seorang meob (panglima perang) bernama Kau Fobia sebagai berikut.

“Orang-orang Portugis suka tukar kayu cendana dengan harga rendah.

Satu pikul kayu cendana ada harga sangat rendah sebanding harga sebuah

piring, sebuah garpu, keramik. Ketika itu usif Amanuban jual cendana,

harga rendah ditetapkan Potugis sampai itu usif tidak mampu bayar

hutang untuk beli alat rumah tangga itu piring, sendok, garpu tadi...”

(wawancara dengan F.H. Fobia tanggal 24 Mei 2007).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa hegemoni Portugis

tampak dalam transaksi cendana. Portugis berhak menentukan pola dan nilai barter

dengan perbedaan tajam. Pola-pola barter menetapkan bahwa Portugis memperoleh

2/3 bagian sedangkan usif dan masyarakat lokal memperoleh bagian 1/3. Apabila

kondisi pasar sedang lesu, nilai barter menurun drastis. Bahkan seringkali kayu

cendana dihargai sangat murah setara dengan harga sebuah sendok atau garpu.

Pola-pola transaksi cendana pada masa Portugis sejalan dengan Teori

Hegemoni dan Dominasi Gramsci maupun Teori Kekuasaan dan Pengetahuan

Foucault. Sesuai pandangan Gramsci maupun Foucault, kelompok sosial (dalam hal

ini Bangsa Portugis) memperoleh keunggulan atau supremasi mealui dua cara yakni;

1) dominio (dominasi) atau coercion (paksaan) dan 2) cara kepemimpinan intelektual

dan moral. Setiap praktik sosial yang dilakukan Portugis tidak dapat dipisahkan dari

pengetahuan yang melandasinya serta relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya.

Kekuasaan merupakan wujud kemampuan mereka untuk memaksa atau

mempengaruhi masyarakat lokal untuk mengikuti keinginannya.

128

Ajang perebutan kekuasaan terkait hak monopoli perdagangan cendana di

kalangan penjelajah barat tidak pernah surut. Portugis yang telah menguasai

perdagangan cendana di wilayah Timor bagian barat mendapat saingan Belanda.

Belanda berhasil menduduki Kupang pada tahun 1653 setelah merebut benteng

Portugis di pesisir Teluk Kupang. Meskipun demikian, hubungan politik dan

perdagangan Belanda dengan Portugis di Pulau Timor berlangsung relatif baik,

namun seringkali terjadi perselisihan memperebutkan kekuasaan ekspor kayu

cendana (Ardana, 2005:51). Perselisihan memperebutkan kekuasaan antara Portugis

dan Belanda membuka batas-batas demarkasi wilayah yang jelas. Perundingan

pembagian wilayah kekuasaan ditetapkan pada tahun 1859 bahwa wilayah Pulau

Timor bagian barat menjadi kekuasaan Belanda dan menjadi wilayah Indonesia

sekarang. Sedangkan wilayah Pulau Timor bagian timur di bawah kekuasaan Portugis

dan menjadi bagian wilayah Timor Leste sekarang (Kase, 2004:19-26).

5.1.1.3 Peraturan Masa Kolonial Belanda

Hegemoni penguasaan cendana oleh Bangsa Belanda tampak jelas sejak

adanya pembagian wilayah kekuasaan antara Portugis dengan Belanda yang

menyerahkan wilayah kekuasaan Pulau Timor bagian barat kepada Bangsa Belanda.

Sejak saat itu perdagangan kayu cendana di Pulau Timor bagian barat dikuasai

Belanda. Raja-raja lokal (usif) sebagai penguasa wilayah dipaksa untuk meningkatkan

jumlah tebangan dan menyerahkan seluruh hasil tebangan kepada Pemerintah

Belanda seperti dikemukakan F.H.Fobia tanggal 10 Agustus 2010.

129

“Belanda banyak tebang cendana, suruh usif tebang cendana jual untuk

Belanda, Belanda yang bawa keluar, Belanda yang jual ke Eropa. Belanda

juga tanam cendana, ada etu (ladang) punya Belanda tapi tidak banyak

hasil, cendana banyak mati dimakan sapi, bakar api...”

Peraturan demikian merupakan salah satu bentuk hegemoni dan dominasi pemerintah

Belanda yang bertujuan memenuhi kebutuhan atas permintaan ekstrak minyak

cendana di pasaran dunia. Semua produksi cendana pada masa ini dikuasai oleh

penjajah Belanda, bahkan Belanda memonopoli perdagangan cendana sehingga

keuntungan raja-raja lokal semakin berkurang (Ardana, 2006:69).

Hegemoni dan dominasi pemerintah Belanda seringkali bekerja pada lapangan

budaya dan di tingkat moral yang dijalankan secara persuasif maupun koersif. Hal ini

sejalan konsep hegemoni Horkheimer dan Adorno yang mengacu pada kegemaran

Bangsa Barat menguasai alam dan melakukan dominasi atas alam untuk memenuhi

kebutuhan makanan, pertanian, dan industri. Hegemoni di sini bersifat paksaan serta

penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat ekonomi dan kesejahteraan.

Eksistensi alam (terutama produksi cendana) semata-mata digunakan sebagai objek

yang harus dikuasai dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi manusia, terutama

kepentingan ekonomi dan kesejahteraan Bangsa Belanda.

Hegemoni bahkan memonopoli penguasaan cendana pemerintah Belanda

dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi. Di dalamnya ada alat-alat

kekerasan (means of coercion) dan alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means

of estabilishing hegemonic leedership). Pemerintah Belanda mulai mengekstraksi

kayu cendana dengan mendirikan pabrik penyulingan ekstrak minyak cendana di

130

Kupang pada pertengahan abad ke-19. Estraksi ini bertujuan menghasilkan minyak

cendana yang nantinya dijual di pasaran dunia sebagai bahan baku obat-obatan dan

kosmetik. Sejak saat itu, ditengarai terjadi proses penebangan cendana secara besar-

besaran, sehingga kerusakan dan penurunan populasi cendana secara drastis.

Penebangan yang tidak teratur dan ekstraksi berlebihan menyebabkan cendana kian

merosot dan mengancam keseimbangan populasi cendana.

Menghindari kemerosotan cendana, beberapa usaha peremajaan dan antisipasi

telah dilakukan oleh pemerintah Belanda namun tidak berhasil. Mengantisipasi

kerusakan populasi cendana, pada tahun 1921 Pemerintah Belanda berusaha memberi

perhatian akan nasib cendana melaui penetapan kawasan budidaya cendana tetapi

kurang berhasil karena dimakan ternak, rusa, dan kebakaran hutan (Parimartha,

2002:284 ; Koppins, 2005:7).

Kerusakan dan ketidakberhasilan usaha pembudidayaan mengakibatkan

penurunan populasi cendana. Kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan

yang melarang masyarakat menjual dan melakukan penebangan cendana dan

penebangan-penebangan selanjutnya akan dilakukan dan dikendalikan langsung oleh

Belanda. Sejalan dengan pelarangan tersebut, Pemerintah Belanda mengeluarkan

peraturan penguasaan cendana yang bersifat menghegemoni masyarakat, dengan

butir-butir sebagai berikut ; 1) Denda 10 rupiah uang perak dan penjara maksimal 3

(tiga) tahun bagi orang yang menyebabkan kayu cendana mati, terbakar, penebangan

liar, dan mencuri kayu cendana. 2) Denda 5 rupiah uang perak atau penjara maksimal

3 (tiga) tahun bagi orang yang ketahuan mematikan anakan cendana. 3) Denda 1

131

ringgit uang perak atau penjara maksimal 3 (tiga) tahun bagi yang membakar belukar

yang menyebabkan daun cendana gugur. 4) Denda 1 ringgit uang perak atau penjara

maksimal 3 (tiga) tahun bagi orang yang memotong ranting cendana.

5.1.1.4 Peraturan Masa Kemerdekaan

Kemerosotan populasi cendana semakin parah setelah masa kemerdekaan

disebabkan maraknya penebangan oleh masyarakat. Sebaliknya, usaha-usaha

peremajaan tidak dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah. Pihak pemerintah

belum menaruh perhatian besar terhadap keberadaan cendana karena saat ini

merupakam masa-masa awal pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada masa ini, terjadi perubahan tata pemerintahan kolonial menjadi tata

pemerintahan Republik Indonesia, dan telah terjadi pergolakan sistem politik di

seluruh Indonesia. Pergolakan tersebut bukan semata-mata berasal dari dalam

wilayah Indonedia seperti pemberontakan-pemberontakan separatis seperti Darul

Islam, TRI/ Permesta, PKI, dan perlawanan menghadapi pihak asing terutama tentara

sekutu yang ingin kembali menguasai wilayah Indonesia. Kondisi demikian

mengharuskan pemerintah Indonesia berkonsentrasi penuh pada usaha-usaha

mempersatukan Bangsa Indonesia yang baru saja terbentuk dan mempertahankan

kemerdekaan Bangsa Indonesia dalam revolusi fisik melawan tentara sekutu.

Berbarengan dengan berbagai pergolakan politik internal dan eksternal,

konsolidasi sistem pemerintahan Nasional Indonesia tetap dilakukan. Sistem

pemerintahan nasional berjalan efektif setelah berakhirnya masa revolusi fisik di

132

Indonesia atau setelah tahun 1950. Setelah tahun 1950, pola-pola pemerintahan lokal

yang merupakan warisan Belanda ditata kembali, termasuk jabatan usif selaku

penguasa wilayah dihapuskan diganti dengan sistem pemerintahan kabupaten.

Meskipun demikian, mantan-mantan usif tetap memperoleh porsi sebagai pemimpin

daerah seperti bupati, camat, dan kepala desa. Sama halnya dengan sistem

pemerintahan sebelumnya, hegemoni pemerintah masih tampak dalam peraturan

terkait penguasaan cendana.

Sistem pemerintahan nasional Republik Indonesia menetapkan bahwa seluruh

wilayah pegunungan yang menjadi lahan subur pertumbuhan cendana dikuasai oleh

negara dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Penguasaan cendana

bukan lagi di bawah kekuasaan para usif (raja lokal) tetapi telah berada di tangan

pemerintah daerah. Konsekuensi logis atas pemberlakuan sistem pemerintahan

nasional adalah terjadinya penebangan cendana yang dilakukan pemerintah daerah

untuk mendapat keuntungan ekonomi. Sementara itu, kontrol pemerintah pusat sangat

longggar seperti dikemukakan Cornelis Tapatab, seorang tokoh masyarakat mantan

Bupati Timor Tengah Selatan peride tahun 1973-1983.

“Masa kemerdekaan saya masih remaja, saya kira kita sudah merdeka kita

tidak bayar pajak, kakak saya tetap bayar pajak. Penguasaan cendana juga

tetap seperti masa sebelumnya, tidak ada perubahan mencolok yang saya

rasakan saat itu...”(wawancara dengan Cornelis Tapatab tanggal 11 Agustus

2011)

Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa hegemoni pemerintah tetap ada

dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah daerah Nomor 4 Tahun 1953. Peraturan

tersebut tidak jauh berbeda dengan pola peraturan zaman Belanda dengan isi

133

peraturan sebagai berikut ; 1) Semua cendana berupa tanaman hidup atau pun telah

mati di dalam daerah Timor dikuasai oleh Pemerintah Daerah Timor. 2) Pembagian

hasil dan ketentuan bahwa rakyat yang memelihara, menebang, dan mengumpulkan

mendapat bagian 40 % per kilogram. 3) Bagi orang yang menebang, merusak,

memiliki, memperdagangkan, dan menyangkut kayu cendana tanpa izin diancam

hukuman kurungan selama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100, dan

semua kayunya disita.

5.1.1.5 Peraturan Masa Orde Baru

Seperti masa-masa sebelumnya, peraturan pemerintah tentang penguasaan

cendana masa pemerintahan Orde Baru masih bersifat menghegemoni. Beberapa

peraturan dibentuk sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1996. Seperti peraturan

masa-masa sebelumnya, semua peraturan pada kurun waktu tersebut pada intinya

bersifat menghegemoni masyarakat. Semua cendana dikuasai dan dimanfaatkan oleh

pemerintah untuk kepentingan pemerintah dan kesejakteraan bangsa. Bahkan

beberapa peraturan dianggap memonopoli dan merampas hak masyarakat. Beberapa

peraturan pemerintah pada era pemerintahan Orde Baru antara lain ;

1. Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 11/PD/1966,

dengan butir-butir aturan berikut ; 1) Penguasaan, pembibitan, eksploitasi, dan

pemasaran cendana diatur oleh Dinas Kehutanan Kabupaten. 2) Denda Rp.10.000

atau hukuman penjara selama 6 (enam) bulan bagi orang yang memotong, menebang,

menjual kayu cendana tanpa izin Dinas Kehutanan Kabupaten. 3) Denda Rp 5.000

134

atau hukuman penjara 3 (tiga) bulan bagi yang merusak cendana hidup atau mati. 4)

Denda Rp. 500 bagi yang tidak punya surat pas kayu cendana dalam pengangkutan.

5) Semua kayu cendana hasil pelanggaran disita untuk pemerintah.

2. Peraturan Daerah Propinsi NTT Nomor 17 Tahun 1974, menyerupai

peraturan sebelumnya dengan beberapa penyesuaian berikut; 1) Penguasaan

penetapan harga penjualan cendana ditetapkan oleh gubernur. 2) Denda Rp.50.000

atau hukuman enam bulan penjara bagi pemotong, penebang, pengumpulan kayu

cendana tanpa izin Departemen Kehutanan Kabupaten. 3) Denda Rp 25.000 atau tiga

bulan penjara bagi yang merusak kayu cendana hidup atau mati. 4) Denda Rp 2.500

bagi yang tidak mengurus surat pas kayu cendana dalam pengangkutan. 6) Seluruh

kayu cendana hasil pelanggaran disitan untuk pemerintah.

3. Peraturan Pemerintan No.16/1986, merupakan pembaharuan dari peraturan

sebelumnya dengan butir-butir aturan sebagai berikut ; 1) Cendana yang ada di dalam

maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur

dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Timur. 2)

Pelaksanaan pengaturan kayu cendana meliputi penanaman, pemeliharaan,

perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian

diatur oleh Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur. 3) Pembinaan dan

pemeliharaan kayu cendana dilakukan oleh Departemen Kehutanan. 4) Produksi,

jatah tebang, harga penjualan, biaya eksploitasi ditetapkan oleh gubernur berdasarkan

inventarisasi Departemen Kehutanan. 5) Kayu cendana di lahan petani pembagiannya

adalah 15 % untuk petani 85 % untuk pemerintah. 6) Denda Rp 50.000 atau enam

135

tahun penjara bagi orang yang menebang, memotong, menyimpan kayu cendana

tanpa izin Departemen Kehutanan. 7) Denda Rp 25.000 atau tiga bulan penjara bagi

yang merusak kayu cendana hidup atau mati.

4. Keputusan Gubernur NTT Nomor 2/1996, isi peraturan sama dengan

peraturan sebelumnya hanya ada beberapa penyesuaian terkait pembagian hasil antara

pemerintah dengan masyarakat dengan butir-butir aturan sebagai berikut ; 1) Cendana

yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi

Nusa Tenggara Timur dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan

Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2) Pelaksanaan pengaturan kayu cendana meliputi

penanaman,pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan,

penjualan, dan penelitian diatur oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3)

Pembinaan dan pemeliharaan kayu cendana dilakukan oleh Departemen Kehutanan.

4) Produksi, jatah tebang, harga penjualan, biaya eksploitasi ditetapkan oleh

Gubernur berdasarkan inventarisasi Departemen Kehutanan. 5) Kayu cendana di

lahan petani pembagiannya adalah 40 persen untuk petani 60 persen untuk

pemerintah. 6) Denda Rp 50.000 atau enam tahun penjara bagi orang yang menebang,

memotong, menyimpan kayu cendana tanpa izin Departemen Kehutanan. 7) Denda

Rp 25.000 atau tiga bulan penjara bagi yang merusak kayu cendana hidup atau mati.

5. Instruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur No.12 Tahun 1997, menetapkan

larangan penebangan pohon cendana. Instruksi ini ditetapkan karena populasi

cendana ditengarai telah merosot tajam. Kondisi demikian mengharuskan pemerintah

(Gubernur Nusa Tenggara Timur) melarang aktivitas penebangan cendana. Peraturan

136

ini ditetapkan berlaku selama lima tahun, tetapi tidak dapat berjalan optimal karena

adanya penyerahan penguasaan cendana kepada pemerintah kabupaten.

5.1.1.6 Peraturan Masa Reformasi

Setelah masa pemerintahan Orde Baru berakhir digantikan masa reformasi,

beberapa peraturan penguasaan cendana juga disesuaikan dengan situasi politik saat

itu. Era reformasi yang membawa arus demokrasi serta rencana realisasi sistem

pemerintahan otonomi memberi keleluasaan daerah mengelola potensi daerahnya,

maka beberapa peraturan yang ditetapkan masa sebelumnya ditinjau kembali dan

diperbaharui sesuai kondisi masyarakat saat itu. Beberapa peraturan yang ditetapkan

pada masa reformasi cenderung bersifat sementara sebatas penyerahan urusan

pemerintahan propinsi kepada daerah kabupaten sebagai bentuk persiapan

menyongsong pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa peraturan pemerintah terkait

penguasaan cendana berikut terbit pada masa reformasi.

1) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998, berisi tentang penyerahan

sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada pemerintah kabupaten.

Termasuk penyerahan penguasaan dan pengelolaan cendana kepada pemerintah

kabupaten. Namun, pemberlakuan perda dan pelimpahan kewenangan kepada

pemerintah kabupaten belum terealisasi sepenuhnya dan pengelolaan penjualan kayu

cendana masih dipegang oleh pemerintah provinsi sampai tahun 2001

(http://www.goverment.co.id, 3 April 2008).

137

2) Peraturan Daerah Nusa Tenggara Timur Nomor 2 Tahun 1999, dikeluarkan

tanggal 26 Maret 1999 yang isinya berupa legitimasi penyerahan penguasaan cendana

kepada pemerintah kabupaten. Peraturan dibuat untuk mempertegas peraturan

sebelumnya dan memberi wewenang kepada pemerintah kabupaten untuk mengatur

penguasaan cendana di wilayah pemerintahan masing-masing.

Peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana pada masa reformasi masih

menerapkan dalil-dalil Teori Hegemoni bahwa hegemoni masih bekerja pada

lapangan budaya dan di tingkat moral atau kesadaran. Di sela-sela tingkat moral atau

kesadaran aparat koersif tetap aktif bekerja, bahkan antara hegemoni dan koersi

(dominasi) berjalan secara berdampingan. Peraturan pemerintah yang berhubungan

dengan penguasaan cendana yang memberi hak penguasaan kepada masyaraka belum

terealisasi. Bahkan pemberlakuan peraturan masa ini masih mengacu pada peraturan

sebelumnya. Revisi peraturan pemerintah pada masa ini hanya berisi penyerahan

penguasaan dan pengelolaan cendana kepada pemerintah kabupaten. Pemberlakuan

perda dan pelimpahan kewenangan kepada pemerintah kabupaten pun belum

terealisasi sepenuhnya dan pengelolaan penjualan kayu cendana masih dipegang oleh

pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

5.1.1.7 Peraturan Masa Otonomi Daerah

Sistem pemerintahan otonomi daerah yang memberi kekuasaan penuh pada

pemerintah kabupaten dalam mengelola potensi daerahnya. Dengan demikian,

peraturan pemerintah yang berkaitan dengan penguasaan cendana juga mengalami

138

perubahan. Perturan pemerintah yang semula ditetapkan oleh gubernur secara

berangsur-angsur dikembalikan kepada pemerintah kabupaten. Sejak berlakunya

pemerintahan otonomi daerah secara penuh, pemerintah Kabupaten Timor Tengah

Selatan mulai menata penguasaan cendana melalui beberapa peraturan antara lain;

1. Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001,

tentang pengaturan hak kepemilikan cendana dengan butir-butir berikut ; 1) Semua

cendana yang tumbuh di hutan dan di atas tanah negara di wilayah Kabupaten Timor

Tengah Selatan menjadi milik pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2)

Cendana yang tumbuh di tanah milik masyarakat menjadi hak milik pemilik tanah

bersangkutan dengan pembagian 90 persen untuk masyarakat pemilik cendana dan 10

persen sebagai retribusi kepada pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan.

2. Keputusan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 8 Tahun 2002, tentang

penetapan harga dasar penjualan kayu cendana. Berdasarkan keputusan tersebut

ditetapkan bahwa harga jual kayu teras kelas A (kelas bagus dan wangi) mimimal Rp

2.500 perkilogram. Sedangkan kayu gubal (kayu kelas rendah) minimal Rp 800

perkilogram. Penetapan harga jual tersebut merupakan harga dasar minimal yang

dijadikan acuan bagi pemerintah kabupaten untuk memungut iuran hasil cendana.

3. Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 12 Tahun 2005, tentang

mekanisme dan sistem pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat.

Peraturan ini merupakan lanjutan atau penyempurnaan peraturan sebelumnya

khususnya Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001

tentang pengaturan hak kepemilikan cendana di lahan milik masyarakat. Inti

139

peraturan tersebut menetapkan butir-butir aturan sebagai berikut: 1) Setiap orang atau

badan usaha yang akan melakukan pemungutan hasil hutan cendana pada lahan

miliknya harus memiliki izin dari Dinas Kehutanan. 2) Pemelohan izin harus melalui

kepala desa tempat kayu cendana itu tumbuh untuk mendapat surat keterangan

kepemilikan kayu cendana yang sah. Berdasarkan surat keterangan tersebut dapat

mengajukan izin kepada Dinas kehutanan yang kemudian dilanjutkan kepada bupati.

Selanjutnya, bupati menunjuk instansi terkait untuk melakukan pemeriksaan lokasi

dan layak atau tidaknya cendana ditebang. 3) Setiap orang dan atau badan usaha yang

menyimpan, menimbun cendana wajib dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan

(SKSHH) dari Dinas Kehutanan.

Peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana di era reformasi telah

mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat. Meskipun demikian unsur-

unsur hegemoni pemerintah masih tampak dalam pengurusan izin kepemilikan

cendana di lahan milik masyarakat. Hegemoni di sini merupakan proses penciptaan,

pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur dalamproses penguasaan

cendana.Teori Hegemoni Gramsci tetap mengakui bahwa dalam kehidupan

masyarakat selalu ada pihak yang memerintah (pemerintah) dan pihak yang

diperintah (masyarakat), ada pihak dominan dan subordinan. Guna melindungi yang

memerintah dan yang diperintah serta menghormati hukum-hukum yang berlaku di

masyarakat, maka fungsi kedua kelompok tersebut hanya dapat dibatasi dan

dijalankan oleh kekuatan negara atau pemerintah. Sesuai Teori Hegemoni, negara

atau Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi pusat penyebaran proses

140

hegemoni melalui Peraturan Daerah Nomor 25 tahun 2001 tentang pengaturan hak

kepemilikan cendana di lahan milik masyarakat. Terutama butir-butir ketentuan yang

mengatur pemelohan izin kepemilikan kayu cendana yang sah melalui birokrasi

pemerintah dan pelaksanaan penanaman cendana di wilayah milik ilakukan secara

swadaya oleh pemilik lahan bersangkutan. Pemerintah tidak memberi bantuan anakan

untuk penanaman di lahan milik masyarakat.

5.1.2 Registrasi Cendana

Pelaksanaan penguasaan cendana oleh pemerintah meliputi meliputi

pengaturan sejak proses penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil,

ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian produksi, jatah tebang, harga

penjualan, biaya eksploitasi. Semua proses tersebut diatur oleh gubernur melalui

Departemen Kehutanan. Sehubungan dengan pengaturan tersebut dilakukan registrasi

atau pencatatan untuk mengetahui jumlah cendana di seluruh Provinsi Nusa Tenggara

Timur. Registrasi cendana dilakukan dengan aktif sejak ditetapkannya peraturan

pemerintah Nomor 16 Tahun 1986, terutama sejak dilibatkannya para pengusaha oleh

pemerintah untuk membeli hasil penebangan cendana. Sejalan dengan isi peraturan

tersebut dilakukan beberapa upaya untuk mengetahui jumlah tegakan dan usia

cendana yang layak tebang dengan melakukan registrasi. Registrasi pohon cendana

dilakukan di tanah negara maupun di lahan masyarakat. Berdasarkan hasil registrasi

pemerintah dapat menentukan waktu tebang cendana dan produksi penjualan cendana

ke depan. Pohon cendana yang sudah diregistrasi diberi tanda khusus yang tidak

141

dimengerti oleh masyarakat seperti dikemukakan Advent Tunu, seorang karyawan

perusahaan swasta.

“Tahun 1980-an semua cendana pemerintah catat, isi cap... cap sonda bisa

hapus..... itu cap arti apa kita sonda tahu. Di hutan, cendana juga

pemerintah catat, isi cap, isi tanda T itu arti cendana milik usaha Tommy,

juga isi tanda panah. Tanda panah kiri, tunjuk ke kiri tidak jauh dari sana

ada cendana lagi, panah kanan tunjuk di kanan ada cendana lagi...”

(wawancara dengan Advent Tunu tanggal 14 Agustus 2010)

Cendana yang sudah diregistrasi terus dipantau, tidak boleh dipotong,

ditebang, atau pun hilang. Pemantauan cendana di kawasan hutan negara dilakukan

polisi penjaga hutan dari Departemen Kehutanan. Jika cendana yang sudah

diregistrasi itu berada di ladang-ladang milik penduduk, tanggung jawab

pemeliharaan dan penjagaan keamanannya dibebankan kepada pemilik ladang. Jika

cendana itu hilang maka yang menanggung akibatnya adalah pemilik lahan tempat

cendana itu tumbuh. Resiko yang dihadapi pemilik lahan cukup besar, harus

berhadapan dengan peraturan hukum yang berlaku. Terutama jika cendana tersebut

mati atau pun hilang, pemilik lahan harus siap menerima resiko berupa denda atau

hukuman penjara seperti dikemukakan Daniel Neolaka

” ... cendana sudah pemerintah catat dan mati, kita punya ladang jadi

susah, kita bisa kena penjara, kita bisa kena denda....” (wawancara dengan

Daniel Neolaka tanggal 30 Juni 2008).

Hegemoni pemerintah terkait registrasi cendana sejalan dengan Teori

Hegemoni dan Teori Kekuasaan, bahwa penggunaan kepemimpinan hegemonik

secara kultural moral tidak berhasil, maka kepemimpinan dominasi atau koersif

digunakan untuk mencapai tujuan. Guna mencapai tujuan diterapkan dalil teori

142

kekuasaan dan pengetahuan, khususnya konsep panoptikon. Panoptikon sebagai

metafora kekuasaan memungkinkan aparatus pemerintah melakukan pendisiplinan

melalui observasi dan pengawasan secara menyeluruh melalui melalui legalitas aturan

hukum yang telah ditetapkan. Mengacu pada aturan-aturan hukum yang telah

ditetapkan pemerintah, masyarakat akan mulai mengawasi perilakunya sendiri dan

berperilaku disiplin untuk tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan. Dalam

kondisi seperti ini, penguasa atau pemerintah tetap mempertahankan otoritas

penguasaan cendana sekaligus melakukan kontrol terhadap masyarakat yang

menentang. Termasuk kekuasaan mengontrol, menangkap, dan menghukum anggota

masyarakat yang mengambil cendana tanpa izin pemerintah.

5.1.3 Polisi Hutan

Mengacu pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan pemerintah,

termasuk kekuasaan mengontrol dan menangkap, anggota masyarakat yang

mengambil cendana tanpa izin pemerintah dibutuhkan pelaksanaan pengawasan

cendana secara intensif. Sesuai peraturan pemerintah, pengawsan cendana di lahan

masyarakat dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan, sedangkan pengawasa di

kawasan tanah milik negara dilakukan oleh pemerintah. Pengawasan cendana yang

tumbuh di hutan atau di tanah milik negara dilakukan oleh penerintah khususnya

polisi hutan di bawah koordinasi Departemen Kehutanan.

Pengawasan cendana dikawasan hutan negara yang dilakukan satuan polisi

hutan belum berjalan secara optimal. Kurang optimalnya pengawasan hutan

143

disebabkan jumlah polisi hutan dengan luas areal hutan tidak seimbang, kawasan

hutan yang harus dijaga sangat luas, medan hutan sulit dan berbuki-bukit, sedangkan

jumlah satuan polisi hutan terbatas. Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki

luas hutan negara di wilayah utara dan selatan hanya memiliki puluhan petugas polisi

hutan. Puluhan jumlah penjaga hutan harus dibagi di beberapa kawasan hutan

lindung. Jumlah penjaga hutan yang kurang memadai memungkinkan rendahnya

kualitas pengawasan pemerintah yang dijalankan oleh penjaga hutan dari Dinas

Kehutanan. Pengawasan polisi hutan kurang intensif karena keterbatasan petugas

patroli seperti dikemukakan salah seorang pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Timor

Tengah Selatan.

“.......pencurian kayu sangat ramai karena harga tinggi. Di hutan

pencurian kayu banyak, karena hutan sangat luas tidak sebanding dengan

tenaga yang bertugas mengawasi wilayah itu. Penjaga sedikit, dikalahkan

pencuri yang berkelompok. Mereka curi kayu bersama-sama, pernah

petugas kehutanan mereka ikat, kayu mereka tebang......ya, petugas tidak

bisa berbuat apa-apa.” (wawancara dengan Honorius Gale, Kasubag

Program Dinas Kehutanan Kabuapeten Timor Tengah Selatan, tanggal 9

Agustus 2010)”

Meskipun petugas keamanan hutan tidak berjalan optimal, hegemoni

pemerintah terkait penguasaan cendana tetap ada melalui peran polisi hutan yang

bertugas mengawasi hutan dan mengontrol perilaku masyarakat. Menurut Althusser,

hegemoni adalah salah satu bentuk dominasi yang dapat digunakan sebagai rujukan

dalam beberapa kasus bersifat umum mendasar dan solusi teoritis yang luar biasa

dalam memberikan garis besar masalah penetrasi silang antara ekonomi dan politik.

Penekanannya terletak pada fungsi kekuasaan negara melalui penggunaan perangkat

144

negara represif melalui pengawasan yang melibatkan polisi hutan. Polisi hutan berhak

menangkap orang-orang yang melakukan penebangan tampa menunjukkkan bukti

surat izin dari pemerintah.

5.1.4 Operasi Sahabat

Operasi sahabat merupakan instruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur

sehubungan dengan prediksi bahwa produksi cendana yang ada di masyarakat cukup

banyak dan tidak dilaporkan kepada pemerintah akibat penebangan liar oleh

masyarakat. Praktek penebangan liar memang kerap terjadi karena para penebang liar

yang tergolong masyarakat ekonomi lemah tergiur dengan harga jual kayu cendana di

pasaran semakin tinggi. Di samping itu, ditengarai terjadi konspirasi antara

masyarakat, oknum aparat sipil, oknum aparat keamanan, dan oknum pengusaha.

Beberapa oknum masyarakat bekerjasama dengan oknum aparat melakukan

penebangan liar, hasil penebangan itu dijual kepada oknum penguasaha dengan harga

relatif murah. Kemudian pengusaha tersebut menyelundupkannya ke luar wilayah

Pulau Timor tanpa dokumen resmi.

Dalam operasi sahabat, pemerintah melakukan sweeping atau pemeriksaan

pada daerah-daerah yang diprediksi menjadi tempat penebangan liar. Semua cendana

yang ditebang dan disimpan oleh masyarakat harus diserahkan kepada pemerintah.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan kayu ilegal, maka pemerintah berhak menyita

kayu hasil penebangan liar atau kayu ilegal yang tidak dilaporkan. Tetapi dalam

praktek operasi sahabat terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil penyitaan kayu

145

ilegal tidak diketahui dengan jelas arahnya. Penerapan sangsi hukum etrhadap

pengusaha seringkali dianggap sebagai kesalahan prosedur, seperti dikemukakan

Bapak Cornelis Tapatab mantan Bupati Timor Tengah Selatan era tahun 1973-1983.

“Memang, tahun 80-an ada pencurian kayu cendana, ada masyarakat

simpan kayu cendana, tetapi tidak banyak. Gubernur instruksikan operasi

sahabat dan ada kayu temuan. Adanya kayu temuan, gubernur izinkan

pengusaha masuk beli kayu cendana, pengusaha boleh simpan kayu

cendana, ada sisa kayu tahun lalu yang belum diangkut....aparat ada yang

ikut, banyak penyimpangan saat itu” (wawancara dengan Cornelis

Tapatab, tanggal 11 Agustus 2010).

Pola-pola demikian menerapkan prinsip-prinsip hegemoni bahkan cenderung

dominan melalui peta politik dan aspek koersif (kekerasan). Hegemoni maupun

dominasi pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan tertinggi mampu

menggerakkan dan melakukan pengawasan terhadap objek dalam bidang-bidang

sosial dengan jangkauan luas, di antaranya kemampuan untuk mengatur ruang gerak.

Di samping penggunaan otoritas secara paksaan maupun kerelaan, hegemoni menurut

Gramsci adalah kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas penguasa.

Operasi sahabat merupakan instruksi pemerintah sehubungan dengan prediksi adanya

kayu cendana ilegal dan penebangan liar menunjukkan bukti-bukti hegemoni

kekuasaan pemerintah.

5.2 Bentuk-Bentuk Kontra Hegemoni Masyarakat

Kontra hegemoni masyarakat merupakan proses berulang dari pola-pola

penguasaan cendana yang cenderung menghegemoni dan telah berlangsung sejak

masa lampau. Pada masa penjajahan Bangsa Portugis, Belanda, maupun Jepang pihak

146

penjajah selaku penguasa yang menghegemoni (bahkan memonopoli) cendana

memunculkan reaksi atau perlawanan masyarakat. Misalnya perlawanan masyarakat

Timor yang menyebabkan perdagangan cendana dengan Portugis terhenti sama sekali

pada tahun 1652-1655. Kemudian ada pula gerakan anti pajak terhadap Belanda pada

awal abad ke-20 sebagai bentuk kontra hegemoni masyarakat terhadap kolonial

Belanda karena dianggap ada penekanan dan hambatan terhadap kepentingan

masyarakat Timor (Fobia, 1995:32). Pada masa kemerdekaan, masa Orde Baru, masa

Reformasi, maupun masa otonomi daerah, kontra hegemoni tetap ada yang dilakukan

secara manifes maupun simbolik.

Kontra hegemoni atau perlawanan masyarakat secara manifes maupun

simbolik sesuai dengan teori interaksionisme simbolik yang menyatakan bahwa

perilaku manusia terbagi menjadi perilaku lahiriah dan perilaku tersembunyi. Perilaku

lahiriah adalah perilaku sebenarnya atau perilaku nyata yang dilakukan seseorang

aktor, sedangkan perilaku tersembunyi adalah proses berfikir yang melibatkan simbol

dan arti. Tindakan sosial itu sendiri adalah tindakan ketika individu bertindak dengan

orang lain dalam kerangka pikiran.

Ketika melakukan tindakan, seseorang pelaku atau aktor mencoba menaksir

pengaruhnya pada aktor lain yang terlibat. Proses reaksi dan interaksi sosial manusia

secara simbolik mengkomunikasikan arti terhadap orang lain, sedangkan orang lain

mengorientasikan tindakan balasan berdasarkan penafsiran mereka (lihat Ritzer dan

Goodman, 2004:293). Aksi, reaksi, dan interaksi sosial manusia tindakan meliputi

147

keseluruhan proses yang terlibat dalam aktivitas manusia.dan selalu berada pada

situasi saling mempengaruhi.

Sejalan dengan pandangan teori interaksionisme simbolik, hegemoni

pemerintah memunculkan beberapa bentuk perilaku kontra hegemoni di kalangan

masyarakat. Kontra hegemoni merupakan bentuk reaksi masyarakat atas adanya

stimulasi peraturan pemerintah yang bersihat menghegemoni. Peraturan tersebut

memunculkan berbagai bentuk response atau reaksi baik reaksi verbal maupun non

verbal di kalangan masyarakat yang dapat disebut tindakan kontra hegemoni. Bentuk-

bentuk reaksi dan perilaku masyarakat sejalan dengan ide-ide Mead bahwa perilaku

masyarakat didasari atas tindakan lahiriah maupun tersembunyi yang berperan

sebagai ekspresi tingkah laku manusia baik menggunakan simbol-simbol penting

maupun praktek langsung. Beberapa bentuk kontra hegemoni masyarakat yang

tersirat maupun tersurat dalam bentuk perilaku verbal (manifes) dan perilaku non

verbal (simbolik) dapat diidentifikasi sebagai berikut.

5.2.1 Keengganan Mengembangkan Cendana

Keengganan masyarakat mengembangkan cendana merupakan salah satu

bentuk kontra hegemoni terhadap hegemoni pemerintah. Keengganan tersebut

disebabkan peraturan yang menetapkan bahwa semua cendana yang tumbuh di atas

tanah negara maupun di ladang-ladang milik masyarakat di wilayah Nusa Tenggara

Timur termasuk di KabupatenTimor Tengah Selatan menjadi milik pemerintah.

Peraturan tersebut memberi hak penguasaan secara total kepada pemerintah tanpa

148

memberi hak yang memadai kepada masyarakat. Peraturan pemerintah tersebut

dianggap tidak memihak kepentingan umum sehingga memicu keengganan

masyarakat mengembangkan cendana, seperti dikemukakan Bapak Abdullah warga

Muslim asal Timor Leste yang telah menetap Desa Supul sejak tahun 1980-an.

“Kita rugi tanam cendana, kita tanam, kita dipelihara baik-baik, su besar

pemerintah ambil, kita tidak dapat apa. Kita usaha atau tanam yang lain

saja, tanam jati, jagung, kacang, itu kita bisa makan. Di pabrik mereka

ada tanam cendana, tidak banyak“ (wawancara dengan Bapak Abdullah

tanggal 09 Agustus 2010).

Ungkapan salah satu anggota masyarakat tersebut, menunjukkan reaksi

represif masyarakat atas peraturan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak memberi

peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan cendana, karena secara legalitas

formal pemerintah dianggap tidak menciptakan iklim yang kondusif. Beberapa

peraturan pemerintah dianggap telah mengkebiri hak masyarakat. Terutama sejak

berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1986, yang menguasai semua

cendana di wilayah Pulau Timor termasuk di Kabupaten Timor Tengah Selatan secara

total dan hanya memberi kontribusi kepada masyarakat hanya 15 %.

Peraturan ini membuat cendana menjadi beban bagi masyarakat, sehingga

masyarakat enggan menanam dan merawat cendana. Saat panen cendana harus dibagi

banyak pejabat yang tidak terlibat dalam proses perawatannya (Arti, Edisi 032

Oktober 2010:103). Peraturan pemerintah yang bersifat menghegemoni tersebut

menjadi titik tolak keengganan masyarakat mengembangkan cendana. Peraturan

demikian dianggap tidak memihak dan tidak memberi kontribusi memadai kepada

149

masyarakat untuk mengembangkan cendana ke arah komersial untuk peningkatan

kesejahteraan ekonomi.

Di samping itu, legalitas hukum yang merugikan masyarakat memicu

keengganan masyarakat masyarakat mengembangkan cendana. Beberapa peraturan

yang ditetapkan pemerintah memberlakukan sangsi bagi orang-orang yang

melakukan pelanggaran. Orang yang terbukti menyebabkan pohon cendana mati,

menebang, merusak, memiliki, memperdagangkan, dan mengangkut kayu cendana

tanpa izin diancam dengan hukuman penjara dan denda sejumlah uang. Masyarakat

yang melanggar aturan-aturan tersebut dapat ditagkap, dituntut, didenda, dan

dijebloskan ke dalam penjara.

Sejak zaman reformasi pemerintah mulai memberi porsi memadai bagi

masyarakat untuk memanfaatkan cendana sebagai komoditas perekonomian.

Pemerintah merevisi peratutan penguasaan cendana untuk memotivasi masyarakat

mengembangkan cendana, namun tanggapan masyarakat terhadap isu kebebasan

tersebut masih relatif rendah. Masyarakat belum tergerak menanam cendana berbasis

komoditas untuk peningkatan ekonomi. Menanam cendana masih dinggap

menghambat budidaya tanaman pangan karena membutuhkan perhatian lebih dan

belum tentu mencapai hasil maksimal.

Keengganan masyarakat mengembangkan cendana akibat kurangnya

dukungan pemerintah, baik di bidang peraturan, perundang-undangan, maupun

pengembangan. Pemerintah semestinya menetapkan peraturan yang memotivasi

masyarakat, memberi bibit atau anakan cuma-cuma, serta memberi fasilitas lain

150

terkait pengembangan cendana. Sejalan dengan pandangan Teori Interaksionisme

simbolik, keengganan masyarakat mengembangkan cendana merupakan bentuk

response atau reaksi reaksi verbal atas adanya stimulasi peraturan pemerintah yang

bersifat menghegemoni.

5.2.2 Pemusnahan Anakan Cendana

Pemusnahan anakan cendana yang tumbuh di lahan milik pribadi merupakan

gejala umum yang terjadi di kalangan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Perilaku demikian merupakan salah satu bentuk kontra hegemoni masyarakat atas

hegemoni pemerintah terkait sistem penguasaan cendana. Pemusnahan anakan

cendana bermula dari pola penguasaan yang sepenuhnya dikuasai pihak pemerintah

tanpa memberi porsi memadai kepada masyarakat. Di samping itu, tanggung jawab

dan konsekuensi hukum yang diterima masyarakat pemilik lahan sangat memberatkan

apabila cendana mati. Mereka dapat dijatuhi hukuman penjara atau denda apabila

terbukti menyebabkan cendana mati.

Pemusnahan anakan cendana yang tumbuh liar di lahan-lahan milik

merupakan jalan pintas yang ditempuh masyarakat guna menghindari kerugian

material dan menghindari permasalahan hukum dikemudian hari. Jika di ladang-

ladang mereka diketahui tumbuh anakan cendana yang masih kecil, maka itu akan

segera diterabas dan dimusnakan karena dianggap merugikan dan mendatangkan

permasalahan di kemudian hari. Terutama cendana yang tumbuh di lahan-lahan milik

masyarakat strategis dan telah terdata oleh pemerintah. Resiko yang dihadapi pemilik

151

lahan cukup besar. Ia harus berhadapan dengan peraturan hukum yang berlaku.

Terutama jika cendana tersebut mati atau pun hilang, pemilik lahan harus siap

menerima resiko berupa denda atau hukuman penjara seperti dikemukakan Daniel

Neolaka berikut.

” Di kebun ada cendana tumbuh kita harus hati-hati, pelihara baik-baik,

itu cendana sonda boleh mati, kalo cendana sudah pemerintah catat dan

mati kita yang punya ladang jadi susah, kita bisa kena kena penjara kita

bisa kena denda. Sonda mau susah orang banyak tebas bibit cendana di

ladang” (wawancara dengan Daniel Neolaka tanggal 30 Juni 2008).

Hal serupa juga dikemukakan majalah Arti, Edisi 032 Oktober 2010:103-104) dengan

mengutip pernyataan Milanus, salah seorang anggota masyarakat kota So’e, bahwa

ada tetangganya masuk penjara gara-gara cendana yang tumbuh di ladang atau pun di

halaman rumahnya sendiri. Mereka masuk penjara karena memotong, mencabut, dan

menebang cendana sebelum waktunya.

Alasan-alasan pemusnahan anakan cendana khususnya adanya aspek hukum

yang melatarbelakangi, menunjukkan bahwa hegemoni pemerintah merupakan salah

satu instrumen kekuasaan dan pengetahuan yang dikemukakan Michael Foucault.

Menurut Foucault pendisiplinan adalah kemampuan aparatus negara untuk

mengawasi semua yang dikontrol dengan sebuah pengawasan tunggal yang merujuk

dari konsep panopticon yang mengacu pada sebuah konsep desain penjara dengan

menara di tengah-tengah untuk mengawasi semua bangunan sel penjara. Panoptikon

merupakan metafora kekuasaan dan pengawasan yang memungkinkan aparatus

negara melakukan observasi dan pengawasan secara menyeluruh dan konstan.

Dengan demikian, panoptikon merupakan teknologi kekuasaan disipliner yang

152

digunakan bukan hanya di penjara tetapi diberbagai bidang yang memerlukan

kedisiplinan. Di wilayah ini terjadi proses pembentukan disiplin manusia sebagai

individu-individu yang taat dan patuh pada aturan.

Pemberantasan anakan cendana di lahan-lahan milik masyarakat sebagai jalan

pintas menghindari dua permasalahan berikut.

1) Pemilik lahan merasa dirugikan karena tidak memperoleh kotribusi langsung baik

secara ekonomis maupun keamanan cendana yang tumbuh di lahan miliknya.

Pengambilalihan oleh pemerintah apabila anakan pohon cendana itu dibiarkan

tumbuh dan dipelihara sampai tua, setelah siap panen nanti hak kepemilikan dan

pengelolaan hasil panen akan diambil alih oleh pemerintah tanpa memberi

konpensasi bagi pemilik lahan.

2) Menghambat kesempatan penanaman bahan pangan dan tumbuhan produktif lain.

Pemeliharaan cendana dengan susah payah dalan jangka waktu panjang

mengurangi kesempatan menanam tanaman pangan atau tanaman produktif

lainnya seperti kayu jati, kemiri, nangka, jeruk, dan sebagainya.

3) Sangsi hukum dibebankan kepada pemilik lahan apabila cendana itu mati. Cendana

yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat dan didata oleh pemerintah maka

masyarakat yang memiliki lahan tempat cendana itu tumbuh harus memeliharanya

dengan baik. Jika cendana yang telah didata itu mati atau di potong maka pemilik

lahan akan kena denda sesuai peraturan yang berlaku.

153

5.2.3 Pencurian Cendana

Pemberlakuan aturan pemerintah yang menguasai cendana secara total

direspon dengan maraknya kasus pencurian kayu cendana baik di hutan negara

maupun di ladang-ladang masyarakat. Pencurian marak terjadi sehubungan dengan

pemahaman budaya lokal, bahwa mereka berhak memanfaatkan potensi alam sekitar

sesuai aturan adat yang berlaku. Sejak berlakunya peraturan pemerintah, masyarakat

menilai bahwa keuntungan penguasaan sumber daya alam khususnya cendana tidak

dapat dinikmati oleh masyarakat. Masyarakat selaku pemilik lahan tempat tumbuh

kembang cendana hanya mendapat konpensasi terbatas atau sekedar ongkos tebang

sebesar 15 %. Kondisi demikian dianggap sebagai ketidakadilan penguasaan sumber

daya alam cendana oleh pemerintah. Bahkan pihak pemerintah selaku penguasa

wilayah dianggap telah mengingkari aturan adat lokal disebut banu haumeni (lihat

bab VI) dengan menguasai cendana secara total tanpa memberi kontribusi memadai

kepada masyarakat.

Berdasarkan pemahaman demikian, kemudian muncul keinginan untuk ikut

menikmati potensi alam dengan melakukan penebangan secara sembunyi-sembunyi

atau pencurian kayu cendana. Mereka beranggapan bahwa mereka juga punya hak

menikmati hasil alam yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, pengambilan

cendana tanpa izin pemerintah seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat. Cendana yang menjadi sasaran pencurian bukan hanya kayu-kayu tua

dan muda di hutan-hutan negara tetapi juga cendana tua dan muda yang tumbuh di

154

halaman rumah pribadi. Sasaran pencurian cendana di kawasan hutan negara adalah

kayu tua di kawasan hutan terpencil dengan medan yang sulit dijangkau.

Didukung kondisi topografi Kabupaten Timor Tengah Selatan, kawasan cagar

alam Gunung Mutis merupakan sasaran empuk pencurian kayu cendana. Kondisi

hutan Gunung Mutis yang tepencil mempermudah akses pencurian, sedangkan

pengawasan pemerintah yang dijalankan oleh penjaga hutan dari Dinas Kehutanan

kurang intensif karena keterbatasan petugas patroli. Di samping pencurian di hutan-

hutan terpencil, kasus pencurian cendana di ladang-ladang dan di halaman rumah

penduduk juga seringkali terjadi. Seperti dikemukakan Hendrik Taneo, tukang ojek

yang sering mengantarkan penumpang menuju daerah daerah pedalaman.

“.....di ladang su tumbuh cendana ko muda, tua, sedang......, kalau tidak

dijaga itu kayu su hilang. Di jalan ada orang gotong kayu cendana, kita

sonda berani tanya, kita tanya bisa kelahi.... itu mereka curi cendana

(wawancara dengan Hendrik Taneo, tukang ojek, tanggal 02 Juni 2008).

Maraknya kasus pencurian cendana merupakan bentuk respon represif masyarakat

atas pemberlakuan peraturan pemerintah yang menguasai cendana secara total tanpa

memberi hak penguasaan memadai kepada masyarakat. Hal ini merupakan perpaduan

dalil Teori Kekuasaan dan Teori Interaksionisme Simbolik bahwa kekuasaan

membentuk lapisan kapiler yang terajut dalam serat-serat tatanan sosial represif dan

produktif. Kekuasaan memunculkan subjek-subjek yang berperan penting dalam

melahirkan kekuatan, hubungan pihak yang menguasai dengan pihak yang dikuasai,

menundukkanya, dan menghancurkannya. Sehingga kasus pencurian cendana

merupakan ekspresi tingkah laku manusia atas riak-riak ketidaksetujuan (kontra

155

hegemoni) terhadap penggunaan kekuasaan serta keputusan-keputusan yang telah

ditetapkan pihak penguasa dengan melakukan pencurian cendana.

Pencurian cendana terjadi hampir di seluruh wilayah Kabupaten Timor tengah

Selatan. Cendana yang tidak dijaga langsung oleh pemiliknya dipastikan akan hilang

meskipun usia cendana masih muda belum layak panen. Tidak terkecuali cendana

yang tumbuh di halaman rumah juga menjadi sasaran pencurian. Percobaan pencurian

cendana tua yang tumbuh di belakang rumah seorang warga di Desa Nule pernah

terjadi malam hari, tetapi ketahuan sehingga pencurian dapat dicegah. Usaha-usaha

mencegah aksi pencurian kayu tua di halaman rumah adalah membalut pangkal

batang cendana dengan seng. Jika ada orang berupaya mencuri maka harus membuka

seng pembungkus batang cendana tersebut. Pembukaan penutup seng ini

menyebabkan bunyi berisik menjadi “alarm” memanggil pemilik rumah (gambar 5.1).

Gambar 5.1

Cendana dibungkus lapisan seng untuk menghindari pencurian

(Dokementasi: I Gusti Ayu Armini, tahun 2010)

156

Maraknya kasus pencurian cendana disebabkan beberapa masalah yang

dihadap masyarakat sebagai berikut.

1) Kondisi perekonomian masyarakat rendah.

Kondisi perekonomian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Nusa

Tenggara Timur dikategorikan sebagai daerah miskin yang didukung kondisi

geografis. Menurut Piet Alexander Tallo dalam Suara Nusa Tenggara Timur

(2007:215-219) stigma kemiskinan di Nusa Tenggara Timur seolah-olah

diciptakan untuk mendapatkan bantuan dana. Penciptaan stigma kemiskinan

mengharuskan pemerintah mengutamakan pengembangan produksi pangan

sebagai program yang mendesak. Pengutamaan pengembangan produksi pangan

dapat menghambat pengembangan cendana yang membutuhkan waktu panjang.

2) Harga jual cendana yang relatif tinggi. Harga jual kayu cendana dari waktu ke

waktu semakin meningkat karena cendana semakin langka dan jumlah pasokan

terbatas. Kelangkaan kayu cendana disebabkan karena proses eksploitasi atau

penebangan secara terus-menerus untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya,

sedangkan usaha-usaha pembudidayaan dan penanaman kembali anakan-anakan

baru sangat terbatas. Di samping itu, proses produksi cendana tergolong lamban

hanya bisa dipanen setelah kayu cukup tua berusia di atas 20 tahun.

3) Hegemoni pemerintah yang menguasai cendana secara total. Kerusakan dan

ketidakberhasilan usaha pembudidayaan mengakibatkan penurunan populasi

cendana secara drastis. Kondisi demikian mengharuskan pemerintah menetapkan

peraturan yang menguasai cendana secara total. Ternyata pemerintah belum

157

mampu meningkatkan populasi cendana, sehingga dipandang perlu membuat

aturan yang melarang masyarakat menjual dan menebang cendana.

4) Pengamanan yang lemah. Harga jual kayu cendana yang tinggi dan pengawasan

atau pengamanan yang lemah merupakan salah satu penyebab maraknya kasus

pencurian cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Terutama pengamanan

cendana di hutan-hutan milik negara, khususnya hutan-hutan yang jauh dari

pemukiman penduduk dan tidak mendapat pengawasan secara intensif.

5.2.4 Perdagangan Gelap

Perdagangan gelap juga merupakan bentuk kontra hegemoni masyarakat

terhadap hegemoni pemerintah yang mendominasi penguasaan cendana. Biasanya

aktivitas perdagangan gelap dilakukan setelah adanya pencurian kayu cendana. Hasil

pencurian kemudian dijual secara sembunyi-sembunyi atau ditawarkan kepada

penadah kayu. Jika kayu telah terkumpul dalam jumlah yang cukup, penadah

mengirim ke luar secara ilegal. Satu bukti bahwa praktek-praktek pencurian kayu

cendana dan perdagangan gelap masih berlangsung hingga kini, dilaporkan bahwa

pada tanggal 31 Juli 2008 Polda Nusa Tenggara Timur berhasil menggagalkan upaya

pengiriman 1 ton kayu cendana tanpa dokumen resmi ke Surabaya (Kompas, 1

Agustus 2008 hal 23). Kayu-kayu ilegal tanpa dokemen resmi kemudian di sita dan

dikumpulkan di Kantor Dinas Kehutanan sebagai barang bukti (lihat gambar 5.2).

158

Gambar 5.2

Beberapa kayu sitaan (termasuk kayu cendana) dikumpulkan di halaman

kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan di So’e

(Dokumentasi I Gusti Ayu Armini tahun 2010)

Perdagangan secara sembunyi-sembunyi pernah dialami penulis ketika

menginap di salah satu penginapan (Wisma Firdaus) di kota So’e sejak tanggal 28

Juni-03 Juli 2008. Penulis menanyakan kepada salah satu pegawai penginapan

tempat-tempat yang bisa didatangi untuk membeli kayu cendana. Pegawai tersebut

mengatakan tidak ada orang yang menjual cendana. Meskipun telah ditanya dengan

sedikit memaksa ia tidak mau menyebutkan tempat atau orang-orang yang memiliki

dan menjual cendana. Justru pegawai penginapan tersebut menawarkan cendana

dengan harga jual satu juta rupiah perkilogram. Ia menawarkan kepada saya, bahwa

jika memang berminat akan ada orang yang akan membawa ke penginapan, seperti

petikan hasil wawancara berikut.

“Wah... tidak ada orang jual cendana, cendana sekarang sudah habis,

orang tidak bisa lagi cari cendana..... Ibu perlu cendana berapa? Nanti

saya ambilkan di teman, harganya satu juta satu kilo.... itu cendana asli.

Kalo Ibu jadi beli, saya hubungi teman. Sebelum Ibu balik ke Denpasar

159

cendana su pasti ada” (wawancara dengan Martinus Sabuna, karyawan

Wisma Firdaus So’e, tanggal 30 Juni 2008)

Wawancara tersebut menunjukkkan bahwa perdagangan cendana Kabupaten Timor

tengah Selatan belum berjalan secara bebas dan terbuka. Transaksi cendana masih

dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena tidak memiliki izin kepemilikan

cendana dan menghindari pembayaran kontribusi kepada pemerintah 10 % kepada

pemerintah. Dengan demikian, perdagangan gelap merupakan bentuk reaksi represif

masyarakat atas pemberlakuan peraturan pemerintah yang menghegemoni

penguasaan cendana.

Perdagangan gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sejalan dengan

konsep dominasi legal rasional Weber dan teori kekuasaan pengetahuan Foucault

bahwa relasi kekuasaan yang membentuk jaringan meliputi seluruh kehidupan

manusia. Kekuasaan membentuk lapisan kapiler yang terajut dalam serat-serat

tatanan sosial represif dan produktif. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum,

berdasarkan kriteria tertentu pemimpin dipilih atas dasar hukum, dan pemimpin wajib

menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum. Perdagangan ilegal pun dilakukan

untuk menghindari sangsi hukum yang memberi ganjaran denda atau hukuman

penjara bagi orang yang melakukan pencurian dan penyelundupan cendana.

Perdagangan gelap atau perdagangan kayu cendana secara ilegal

dilatarbelakangi dua hal berikut.

1) Kerumitan izin penguasaan cendana. Bagi masyarakat awam yang jarang

berhadapan dengan birokrasi pemerintahan menganggap pengurusan izin

160

kepemilikan cendana terlalu rumit. Mengurus izin membutuhkan waktu panjang

melalui beberapa tahap pemrosesan dimulai dari tingkat pemerintahan terendah

sampai Bupati. Masyarakat awam jika berhadapan dengan birokrasi pemerintahan

sering kagok dan tidak mengerti syarat-syarat yang dibutuhkan. Ditambah lagi

dengan bangunan gedung pemerintah yang dianggap mewah, memasuki gedung

pemerintah seorang petani yang tidak berpendidikan harus melepas sandal dan

menghormat kepada petugas.

2) Menghindari sangsi hukum. Memiliki cendana tanpa izin resmi dari pemerintah

adalah perilaku melanggar hukum dan diancam denda atau hukuman penjara.

Satu-satu jalan pintas untuk menghindari sangsi hukum hanya dengan menjual

cendana secara sembunyi-sembunyi. Biasanya ada penadah yang membeli

cendana dari masyarakat umum. Setelah cendana terkumpul cukup banyak si

penadah menjual kepada perusahaan resmi. Perusahaan resmi ini yang mengurus

izin kepemilikan dari tingkat pemerintahan terbawah sampai memperoleh izin

tertulis dari bupati.

5.2.5 Apatis (Acuh Tak Acuh)

Sikap apatis atau acuh tak acuh terhadap cendana merupakan reaksi simbolik

atau ekspresi rasa ketidakpuasan masyarakat atas hegemoni pemerintah. Masyarakat

menganggap bahwa pemerintah telah memonopoli penguasaan kayu cendana melalui

peraturan yang ditetapkan. Peraturan tersebut dianggap semata-mata menguntungkan

pemerintah dan sangat merugikan masyarakat. Hal ini memicu sikap apatis (acuh tak

161

acuh) dengan munculnya beberapa perilaku simbolik seperti ; 1) masyarakat merasa

tidak ikut memiliki cendana, 2) masyarakat merasa tidak memperoleh manfaat dari

pohon cendana, 3) masyarakat tidak memiliki tanggung jawab menjaga cendana.

Sikap acuh tak acuh masyarakat tampak jelas dengan adanya sikap tidak

merasa ikut memiliki. Ketika menemukan cendana atau anakan cendana tumbuh liar

baik di ladang-ladang maupun di tanah-tanah negara maka muncul sikap acuh karena

mereka merasa tidak ikut memiliki cendana tersebut. Ketika penulis berjalan kaki

menengok ladang milik Yusuf Tefnay, seorang petani merangkap Kaur Pemerintahan

Desa Mnelalete, di pinggir jalan menuju ladangnya tumbuh liar dua batang cendana.

Cendana itu kurus kering, tidak subur, tidak terawat. Ketika penulis menanyakan

mengapa tidak dipelihara padahal lokasi tumbuhnya masih di tanah ulayat klennya, ia

menjawab sebagai berikut.

“Itu cendana dulu milik pemerintah, pemerintah yang urus. Sekarang

memang sudah milik kita. Tapi kita malas pelihara, hanya dua batang,

urus izin juga susah, hasil sedikit, lama baru bisa ambil. Sekarang kita

tanam sayur kita jual bisa cepat ada uang” (wawancara dengan Yusuf

Tefnay, tanggal 8 Agustus 2010).

Hasil wawancara tersebut menunjukkkan adanya sikap apatis atau sikap acuh

karena masyarakat merasa tidak memperoleh kontribusi memadai keberadaan

cendana. Masyarakat tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk ikut serta menjaga

dan memeliharanya, karena cendana itu telah dianggap bukan hak miliknya yang

perlu dijaga, tetapi cendana milik pemerintah, jika sudah besar dan layak tebang akan

diambil alih oleh pemerintah. Jadi, mereka berpandangan bahwa semua cendana

adalah milik pemerintah yang hasilnya hanya dinikmati oleh pemerintah. Maka yang

162

berkewajiban menjaga dan memelihara adalah pemerintah. Mereka menganggap

cendana itu milik pemerintah, dipelihara, dan dipanen pemerintah.

Sikap acuh tak acuh masyarakat tampak dari perilaku masyarakat terhadap

cendana yang kini hanya tumbuh dan sengaja ditanam di lahan-lahan negara seperti

hutan negara dan halaman kantor pemerintah. Pemeliharaan cendana di tempat-

tempat demikian semata-mata untuk program pelestarian cendana. Pemeliharaan

sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah mulai dari penanaman, pemeliharaan,

pengamanan, dan penebangan. Masyarakat hanya sebagai penonton tidak

berpartisipasi menjaga tanaman tersabut. Misalnya, dua batang pohon cendana yang

kurang mendapat perhatian tumbuh meranggas di halaman depan kampus lama

Universitas Nusa Cendana harus diberi pagar besi agar tidak diganggu tangan jahil.

Sikap acuh juga tampak dalam perilaku masyarakat terhadap cendana yang

ditanam pemerintah di kawasan hutan jati milik negara di Desa Nule. Penanaman

tersebut merupakan salah satu program pemerintah untuk melestarikan cendana.

Penanaman di kawasan ini telah dilakukan sejak tahun 2006, dan berhasil

menumbuhkan beberapa tanaman cendana. Sekarang, cendana tersebut telah mulai

tumbuh dan mencapai tinggi sekitar 1-2 meter. Cendana yang masih relatif masih

muda itu banyak yang terkelupas kulit batangnya karena diambil kulit batangnya

untuk obat atau teman makan sirih pinang (lihat gambar 5.3).

163

Gambar 5.3

Batang cendana terkelupas kulitnya

(Dokumentasi I Gusti Ayu Armini tahun 2010)

Sikap apatis masyarakat sejalan dengan pandangan Teori Interaksionisme

simbolik, khusunya behaviorisme sosial dipengaruhi oleh bihaviorisme psikologis

mengakui arti penting perilaku tersembunyi yang ada di balik perilaku yang dapat

diamati maupun simbolisasi tindakan dan interaksi manusia. Perilaku yang dapat

diamati berupa stimulus yang mendatangkan reaksi. Tetapi di balik stimulus dan

reaksi tersebut terdapat proses mental yang tersembunyi yang terjadi ketika stimuli

dipakai dan respon dipancarkan. Dengan demikian, perhatian, persepsi, imajinasi,

emosi, dan sikap acuh terhadap cendana adalah perilaku tersembunyi sebagai bagian

dari respon, tindakan, dan keseluruhan proses aktivitas manusia.

5.2.6 Pesimis (Tidak Mempunyai Harapan Baik)

Hegemoni pemerintah menguasai cendana memunculkan sikap pesimis

masyarakat. Sikap pesimis merupakan bentuk respon masyarakat terhadap hegemoni

pemerintah yang menguasai cendana tidak pernah memberi keleluasaan masyarakat

164

memiliki cendana termasuk pohon cendana tumbuh di lahan-lahan miliknya. Hal ini

memunculkan sikap pesimis dan terhadap cendana maupun pemerintah seperti

dikemukakan petani berikut :

. “Pemerintah ambil semua cendana, sekarang kata orang sudah boleh kita

ambil, tapi ya tetap semua harus izin pemerintah, harus bayar urus-urus

izin. Lagi pula cendana kita hanya tinggal satu dua batang, itu tumbuh

sendiri hanya untuk upacara. Kita tidak tanam dan pelihara cendana, kita

tanam jeruk, nangka, ......” (wawancara dengan Nama Benu Kepala Adat

Desa Boti Dalam tanggal, 30 Mei 2008).

Hasil wawancara tersebut menunjukkan perilaku pesimis masyarakat. Sikap pesimis

adalah simbol dan arti memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan dan interaksi sosial

manusia. Peraturan pemerintah yang bersifat menghegemoni terakumulasi dalam

persepsi masyarakat yang melibatkan citra mental akibat stimulasi penetapan aturan

tersebut. Peraturan tersebut memunculkan berbagai bentuk response non verbal yakni

sikap pesimis atau tidak mempunyai harapan baik.

Sikap pesimis atau tidak mempunyai harapan baik terhadap pemerintah

maupun cendana tampak jelas dalam dua keranga perilaku masyarakat yakni ; 1) citra

negatif terhadap pemerintah maupun cendana, 2) cendana tidak berkontribusi

terhadap peningkatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hidup.

Citra negatif terhadap pemerintah, muncul dari anggapan masyarakat bahwa

pemerintah telah menjalankan peraturan yang tidak adil. Ketidakadilan pemerintah

mengakibatkan pandangan sumir bahwa semua cendana adalah milik pemerintah

bukan milik masyarakat umum. Hegemoni penguasaan cendana meliputi penanaman,

pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan,

165

sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Peraturan pemerintah dianggap menguntungkan

pihak pemerintah dan merugikan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat merasa

tidak memperoleh manfaat positif atas semua cendana yang tumbuh di lahan-lahan

miliknya, kemudian diekspresikan dengan berbagai sikap pesimis.

Citra negatif terhadap pemerintah merembet kepada citra negatif cendana

sehingga cendana disebut hau meni (kayu setan), hau mamalasi (kayu bermasalah),

dan hau plenat (kayu milik pemerintah). Dengan demikian, memiliki pohon cendana

sama artinya dengan menyimpan masalah dan tidak akan berpengaruh terhadap

peningkatan kesejahteraan hidupnya. Memiliki cendana di ladang-ladang sendiri

maupun menyimpan cendana sama dengan memiliki atau menyimpan masalah. Di

samping itu, masyarakat menjadi pesimis dan tidak mempunya harapan baik terhadap

pemerintah maupun keberadaan pohon cendana karena tidak merasakan keuntungan

ekonomi langsung dari keberadaan pohon cendana tersebut. Mereka bersikap pesimis

terhadap cendana melalui ungkapan “sonda hau meni sonda mamalasi” (tidak ada

cendana tidak ada masalah). Tidak menanam cendana berarti salah satu cara

menjauhkan diri dari permasalahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat

tidak memiliki harapan baik terhadap pemerintah maupun cendana.

Sejak tahun 2005, ada keinginan beberapa masyarakat untuk

membudidayakan cendana di lahan-lahan milik pribadi untuk meningkatkan

kontribusi ekonomi. Keinginan demikian terganjal sikap pesimis yang telah bercokol

selama berabad-abad. Menurut pandangan masyarakat menanam cendana suatu

aktivitas yang sulit, tidak cocok ditanam oleh manusia, butuh ketelatenan, dan

166

memerlukan waktu produksi yang panjang. Pandangan demikian memungkinkan

adanya anggapan bahwa penanaman cendana tidak memberi manfaat bagi

peningkatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hidup dalam waktu cepat.

Sikap pesimis dialihkan dengan membudidayakan tanaman produktif lain

disebut mamar. Mamar adalah tanaman keras jangka panjang seperti kelapa, pisang,

sirih, pinang, mangga, jeruk, alpukat, kemiri, dan lain-lain. Budidaya tanaman mamar

dilakukan pada tempat-tempat yang memungkinkan seperti pinggiran ladang,

pinggiran sungai, atau sekitar pekarangan rumah (lihat gambar 5.5).

Gambar 5.4

Mamar (kemiri, nangka, jeruk) dikembangkan di pekarangan rumah

(Dokumentasi: I Gusti Ayu Armini, tahun 2010)