14
54 BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang pola relasi (interaksi) masyarakat baik di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat, peneliti melihat bahwa persoalan bergereja telah mempengaruhi serta mereduksi relasi-relasi sosial masyarakat yang telah terbangun lama. Hal tersebut dapat ditemukan melalui terbangunnya relasi sosial yang kelihatannya kaku (non-fleksibel) dilakukan, semacam ada tembok pemisah yang terbangun diantara kelompok (jemaat). Tentunya kondisi seperti ini penting untuk direspon melalui pola pendekatan masalah yang tujuannya adalah untuk mencari berbagai solusi alternatif guna memulihkan (merekonsiliasi) relasi-relasi sosial yang demikian, serta meminimalisir adanya resiko-resiko sosial lainnya yang kemungkinannya akan bermunculan kembali. Berdasar pada hal itu, maka peneliti mengutarakan salah satu konten pertanyaan wawancara kepada berbagai informan kunci, yang berbunyi: “dapatkah nilai-nilai Hibua Lamo mampu dijadikan sebagai basis dalam merekonsiliasi kondisi masyarakat pasca perpecahan jemaat? adapun sikap para pihak (informan) dapat diulas secara berurutan, diantaranya adalah: Respon (sikap) Bpk. S.P. Sumtaki, selaku Tokoh Adat Desa Duma, adalah: “Saya tidak bisa mendaulati hak orang lain dalam hal bergereja, tetapi yang saya maknai adalah kita sebagai orang bersaudara dan keluarga di Desa Duma apakah kita harus saling berkelahi karena masalah perbedaan gereja (jemaat)? Identitas sebagai keluarga tidak akan hilang, keluarga tetaplah keluarga. Istri bisa dicerai, suami bisa dicerai, agama bisa ditinggalkan, tetapi siapa yang mau dan berani tinggalkan keluarga? Mungkin selain maut (kematian). Kitorang (kita) ini kan belajar dari orang tua-tua dulu, memang orang tua-tua dulu itu tegas berpegang pada tradisi dan adat - walaupun saat itu belum kenal agama. Contohnya sampai sekarang tradisi babilang itu adalah tradisi yang diwariskan dari orang tua dulu-dulu”. Dengan mencermati konten wawancara di atas, peneliti melihat bahwa ada kekecewaan yang muncul dari Bpk S.P Sumtaki dalam melihat kondisi bermasyarakat di Desa Duma yang tidak lagi harmonis seperti sebelumnya, mengingat bahwa jalinan kekeluargan telah retak dan rusak akibat perpecahan jemaat. Adapun sikap lain yang

BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

54

BAB VI

KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI

REKONSILIASI KONFLIK

6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo.

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang pola relasi (interaksi)

masyarakat baik di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat, peneliti melihat

bahwa persoalan bergereja telah mempengaruhi serta mereduksi relasi-relasi sosial

masyarakat yang telah terbangun lama. Hal tersebut dapat ditemukan melalui terbangunnya

relasi sosial yang kelihatannya kaku (non-fleksibel) dilakukan, semacam ada tembok pemisah

yang terbangun diantara kelompok (jemaat).

Tentunya kondisi seperti ini penting untuk direspon melalui pola pendekatan masalah

yang tujuannya adalah untuk mencari berbagai solusi alternatif guna memulihkan

(merekonsiliasi) relasi-relasi sosial yang demikian, serta meminimalisir adanya resiko-resiko

sosial lainnya yang kemungkinannya akan bermunculan kembali. Berdasar pada hal itu, maka

peneliti mengutarakan salah satu konten pertanyaan wawancara kepada berbagai informan

kunci, yang berbunyi: “dapatkah nilai-nilai Hibua Lamo mampu dijadikan sebagai basis

dalam merekonsiliasi kondisi masyarakat pasca perpecahan jemaat? adapun sikap para pihak

(informan) dapat diulas secara berurutan, diantaranya adalah:

Respon (sikap) Bpk. S.P. Sumtaki, selaku Tokoh Adat Desa Duma, adalah:

“Saya tidak bisa mendaulati hak orang lain dalam hal bergereja, tetapi yang

saya maknai adalah kita sebagai orang bersaudara dan keluarga di Desa Duma

apakah kita harus saling berkelahi karena masalah perbedaan gereja (jemaat)?

Identitas sebagai keluarga tidak akan hilang, keluarga tetaplah keluarga. Istri

bisa dicerai, suami bisa dicerai, agama bisa ditinggalkan, tetapi siapa yang mau

dan berani tinggalkan keluarga? Mungkin selain maut (kematian). Kitorang

(kita) ini kan belajar dari orang tua-tua dulu, memang orang tua-tua dulu itu

tegas berpegang pada tradisi dan adat - walaupun saat itu belum kenal agama.

Contohnya sampai sekarang tradisi babilang itu adalah tradisi yang diwariskan

dari orang tua dulu-dulu”.

Dengan mencermati konten wawancara di atas, peneliti melihat bahwa ada

kekecewaan yang muncul dari Bpk S.P Sumtaki dalam melihat kondisi bermasyarakat di

Desa Duma yang tidak lagi harmonis seperti sebelumnya, mengingat bahwa jalinan

kekeluargan telah retak dan rusak akibat perpecahan jemaat. Adapun sikap lain yang

Page 2: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

55

diperlihatkan oleh Bpk S.P Sumtaki, dimana identitas kekeluargaan di Desa Duma tidak akan

hilang dengan adanya perpecahan jemaat. Ungkapan dan sikap tersebut merupakan bentuk

ketegasan dari seorang tokoh adat yang sampai sekarang terus melestarikan identitas adat dan

budaya di Desa Duma. Dari sikap inilah, peneliti mengartikan bahwa nilia-nilai Hibua Lamo

masih mendapatkan tempat yang cukup baik dalam hal jika digunakan sebagai basis dalam

upaya merekonsiliasi kondisi masyarakat yang telah retak dan pecah tersebut.

Respon (sikap) Pdt. R. Tukang selaku Pimpinan Jemaat Hendrik van Dijken:

“Saya kira bisa saja, karena secara bermasyarakat yang mengikat kitorang

(kita) dalam hubungan kesatuan dan persatuan adalah Hibua Lamo. Jadi saya

kira adat itu bagus. Karena dalam hidup bermasyarakat ketika terjadi masalah,

kitorang angkat adat, karena adat dapat mempersatukan kitorang. Saya kira

apapun pengaruh dari persoalan agama dan politik tetapi kalau kitorang kuat

dengan adat, maka kitorang hidup itu akan baik. Dan tentunya, saya juga

mengharapkan supaya adat yang ada, Sibua Lamo di Galela ini merupakan

dasar hidup kitorang sebagai masyarakat, supaya apapun perkembangan dunia,

pengaruh-pengaruh modernisasi dalam bentuk apapun dan kitorang berpegang

dalam adat, kitorang akan hidup dalam keadaan aman. Dulu contohnya konflik

1999-2000 yang luar biasa, dan sampai sekarang kitorang bisa bersatu karena

adat Hibua Lamo itu. Dan jika saya kira perspektif atau nilai-nilai Hibua Lamo

itu kita taruh dalam pikiran kita didepan, maka pengaruh apapun kitorang akan

bisa menghadapinya”.

Respon Bpk. M. Bahagia, selaku Pimpinan Jemaat Nita Duma:

“Menurut saya, nilai-nilai Hibua Lamo itu bisa. Hal ini kita lihat ketika

kerusuhan yang terjadi 1999-2000 sebagai contohnya. Secara bergereja

mungkin saja butuh proses atau waktu yang panjang. Namun kalau secara

bermasyarakat kita kuat dalam hal adat, pastinya kita akan hidup dalam

keadaan baik. Jika masyarakat hidup baik, maka akan berpengaruh baik juga

terhadap persekutuan jemaat. Karena adat tidak terpengaruh dengan hal-hal

luar yang dapat merusak kita”

Mencermati sikap dari dua pimpinan jemaat tersebut, peneliti melihat bahwa nilai-nilai

Hibua Lamo mendapatkan tempat yang manis dalam hal memulihkan relasi-relasi sosial yang

ada di Desa Duma. Berdasar pada respon di atas, kedua pimpinan jemaat memiliki sikap yang

sama terkait menempatkan nilai-nilai adat (Hibua Lamo) guna membangun relasi kehidupan

masyarakat yang harmonis. Peneliti melihat hal ini baik, jika warga jemaat mampu

menempatkan perspektif berpikirnya dengan berdasar pada nilai-nilai Hibua Lamo guna

memulihkan dan membangun kembali jalinan kekeluargaan diantara mereka. Maksud peneliti

ini senada dengan penggalan kalimat dari Bpk M. Bahagia di atas, bahwa „Jika warga

Page 3: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

56

masyarakat hidup baik, maka akan berpengaruh baik juga terhadap aktivitas persekutuan

jemaat‟.

Respon Bpk. J. Buladja, selaku Tokoh Masyarakat di Desa Duma;

“Bisa saja, Hibua Lamo dijadikan sebagai mediator untuk menyelsasikan

masalah, namun ini kan persoalan gereja dengan gereja (internal), itu yang

membuat tidak bisa. Hibua Lamo itu tidak mengenal latar belakang suku,

agama dan lain-lain, dia adalah alat pemersatu masyarakat”.

Respon Bpk. C. Jai, selaku Tokoh Masyarakat di Desa Mamuya:

“Nilai Hibua Lamo itu saya artikan sebagai bentuk rumah besar yang

maknanya adalah suatu sistem keluargaan yang besar. Walapun berbeda-beda

suku dan agama, tetapi kita semua adalah saudara dan keluarga. Begitupun

menyangkut permasalahan gereja ini, walaupun secara organisasi gereja kita

berbeda, tetapi hubungan keluarga dan keluarga itu harus tetap terjaga.

Respon Bpk. S. Dawile, selaku Kepala Desa Mamuya:

“kalau pikiran saya, persoalan konflik antara Islam-Kristen 1999-2000 dengan

persoalan internal Gereja sekarang itu bedah jauh. Persoalan gereja adalah

persoalan prinsip organisasi, masing-masing mempertahankan ego dan itu

susah, karena tidak ada titik penyelesaian sampai saat ini. Karena ada pihak

diatas (elit) yang tidak mau membuka diri untuk saling berdamai”.

Respon Bpk. Y. Sumtaki, selaku Kepala Desa Duma:

“Memang pola pendekatan penyelesaian masalah yang ada di kantor Desa

selama ini memakai pendekatan adat. Masyarakat di Desa Duma ini kan

semuanya telah diikat oleh ikatan keluarga. Sehingga misalnya kemarin, di hari

minggu itu ada perkelahian gara-gara (penyebab) masalah gereja. Dan ketika

dibawah ke kantor Desa, akhirnya dua-duanya mengambil sikap untuk saling

berdamai”.

Mencermati respon dari pihak Tokoh Masyarakat dan Pemerintah Desa di atas,

peneliti melihat beberapa informan kunci seperti Bpk. J. Buladja dan Bpk. S. Dawile

mengartikan Hibua Lamo dalam perspektif “struktural organisatoris”, dimana penekanannya

pada struktur kelembagaan adat Hibua Lamo serta tidak cocok digunakan sebagai alat

pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan internal gereja (Sinodal) yang ada. Adapun

perspektif yang terbangun dari kedua orang ini, diantaranya adalah memposisikan peran

Hibua Lamo untuk menjawab penyelesaian masalah ditingkatan organisatoris (Sinode)

Page 4: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

57

GMIH. Hal tersebut tidak dimaksudkan oleh peneliti sebagaimana maksud dari konten

pertanyaan yang diutarakan oleh peneliti sebelumnya.

Peneliti tidak memposisikan peran Hibua Lamo yang secara solutif menyelesaikan

konflik internal GMIH secara organisatoris (Sinode), dimana gereja (Sinode) harus menjadi

utuh (satu) kembali. Tidak pada tataran itu. Namun peneliti melandaskan Hibua Lamo dalam

perspektif institusi nilai adat, dimana terdapat muatan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat

yang mengatur kebaikan hidup bersama secara sosial. Berdasar pada perspektif itulah, Hibua

Lamo ditempatkan dan diandaikan oleh peneliti mampu dijadikan sebagai obat (basis) dalam

memulihkan kembali (rekonsiliasi) kondisi (relasi-relasi) masyarakat yang sudah terlanjur

retak bahkan rusak tersebut. Pada sisi lainnya, Hibua Lamo juga mampu dijadikan sebagai

instrumen yang cukup mumpuni dalam meng-counter berbagai persoalan-persoalan sosial

yang kemungkinannya akan meledak dalam masyarakat.

Maksud dari peneliti tersebut telah digambarkan dengan jelas oleh sebagian besar

informan kunci, misalnya oleh Bpk. Y. Sumtaki, selaku Pemerintah Desa yang menggunakan

pendekatan secara adat (kekeluargaan) dalam hal mengurusi masalah-masalah sosial yang

muncul akibat dari dinamika bergereja di Desa Duma. Hal itulah yang dipakai sebagai basis

pendekatan dalam penyelesaian masalah. Adapun oleh Bapak Kornelius Jai yang lebih

memperjelas dengan mengartikan bahwa “walaupun secara organisatoris (Sinode) kita

berbeda, tetapi hubungan kekeluargaan kita haruslah tetap terjaga”, serta lebih diperjelas lagi

oleh Bapak Pdt R. Tukang yang pada kalimat akhirnya mengatakan bahwa “jika nilai-nilai

adat ini kita posisikan atau tempatkan dipikiran kita, maka pengaruh apapun itu kita akan bisa

menghadapinya”. Berdasar pada deskripsi inilah, maka Hibua Lamo dikonstruksikan dan

diandaikan mampu digunakan sebagai basis dalam upaya memulihkan (rekonsiliasi) kondisi

masyarakat pasca perpecahan jemaat.

6.2. Upaya Membangun Kesadaran Bersama Melalui Basis Kekeluargaan.

Adanya keretakan dan kerusakan relasi-relasi sosial warga jemaat di Desa Duma dan

Desa Mamuya dengan disebabkan oleh dinamika kehidupan bergereja (berjemaat) yang tak

kunjung menemukan titik temunya, menstimulus semua pihak untuk terus bergumul dan

bergiat guna berupaya mencari cara guna memulihkan kembali situasi sosial warga

jemaatnya.

Page 5: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

58

Sejalan dengan hal tersebut, peneliti menjumpai pola relasi antara sesama warga

masyarakat khususnya di Desa Duma yang kelihatannya mulai membaik kembali. Hal ini

dapat ditemui melalui moment ulang tahun Desa Duma yang ke-139 tahun, dimana dalam

moment tersebut terlaksana suatu bentuk kegiatan bersama yang melibatkan seluruh warga

masyarakat Desa Duma di lapangan Yubelium - Desa Duma tepatnya pada tanggal 7 Mei

2017. Kegiatan ini di inisiatif oleh Pemerintah Desa Duma.

Adapun bentuk kegiatan berupa lomba yang melibatkan banyak orang, diantaranya:

lomba “tarik tambang dan lomba suami gendong istri”. Kegiatan ini sangat direspon baik oleh

masyarakat Desa Duma melalui partisipasi dalam setiap mata lomba yang dilaksanakan, serta

banyaknya masyarakat yang berdatangan untuk menonton di lokasi kegiatan tersebut. Hal ini

lebih jelasnya, diungkapkan oleh Bapak Y. Sumtaki,1 bahwa:

“Untuk menghilangkan gab-gab yang ada di masyarakat, saya coba

menginisiasi dalam suatu bentuk kegiatan yang partisipasinya dari semua pihak

atau kedua jemaat. Kebetulan saya terinspirasi dari acara ulang tahun di Goa,

Makasar, dengan bentuk lomba gendong istri. Dari hal itulah, saya berpikir

sudah dekat moment hari ulang tahun Desa Duma dan selama ini kan tidak

pernah kita rayakan. Kebetulan kami (Perangkat Desa dan BPD) menerima

gajian dan kami bersepakat untuk secara suka rela baku pot (patungan) dengan

jumlah Rp. 50.000,00 per-orang, yang dikhususkan bagi hadiah pemenang

lomba. Hal ini sudah bagus, karena melihat partisipasi dari masyarakat dalam

semua lomba, bahkan pimpinan jemaat pun ikut terlibat. Pimpinan jemaat

Hendrik van Dijken terlibat dalam lomba tarik tambang; sedangkan pimpinan

jemaat Nita Duma karena sakit jadi hanya datang menonton saja. Kami

memakai forum-forum jemaat untuk menyampaikan agenda kegiatan ini, baik

itu disaat ibadah lingkungan maupun di ibadah minggu”.

Peneliti mencermati bahwa Pemerintah Desa Duma sangatlah kreatif dalam

mengkonstruksi suatu kegiatan bersama dengan melibatkan semua masyarakat (kedua

jemaat). Hal ini menunjukan bahwa ada upaya nyata dari pihak Pemerintah Desa untuk

bersikap netral ditengah-tengah problematika internal gereja yang terjadi di Desa Duma.

Sehingga sikap netral dari Pemerintah Desa Duma diwujudkan melalui suatu kegiatan

bersama, yakni “perayaan hari ulang tahun Desa Duma”. Bagi peneliti, hal tersebut

merupakan bentuk “rekayasa sosial” yang sengaja diciptakan oleh Pemerintah Desa Duma

guna menstimulus “imajinasi kolektif” seluruh warga masyarakat di Desa Duma. Hal ini

tentunya sangat berpengaruh pada relasi sosial diantara warga jemaat yang semakin menguat.

1Beliau adalah Kepala Desa Duma – di wawancarai pada 22 Juni 2017.

Page 6: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

59

Bagi peneliti, kegiatan ini memiliki peran penting dalam upaya memulihkan kembali

relasi masyarakat yang sebelumnya retak dan tersekat akibat dari egoistik kelembagaan

gereja diantara mereka. Konstruksi kegiatan yang di inisiasi oleh pihak Pemerintah Desa

Duma ini dengan sendirinya menghancurkan tembok pemisah yang terbangun akibat adanya

perbedaan jemaat (gereja). Dilihat dari basis sosio-historis, bahwa warga masyarakat Desa

Duma adalah satu kesatuan yang diikat oleh sistem kekerabatan „marga, sehingga dalam

hemat peneliti, kegiatan ini merupakan „tamparan keras‟ kepada setiap orang di Desa Duma

untuk merefleksikan kembali arti perjalanan hidup mereka sebagai saudara-bersaudara yang

terbangun diatas basis kekeluargaan.

Gambar 6.2.

Perayaan Hari Ulang Tahun Desa Duma Yang Ke-139 Tahun

‘Lomba Tarik Tambang dan Gendong Istri’

Dokumentasi kegiatan oleh Narvatilova Mailoa –

Peneliti mengaksesnya melalui akun FaceBook-nya.

Dalam konteks kehidupan masyarakat di Desa Mamuya, upaya keras yang dilakukan

oleh Pemerintah Desa Mamuya dalam rangka membangun kesadaran untuk hidup bersama

melalui basis kekeluargaan merupakan hal yang cukup sulit, mengingat sebagian warga

masyarakat yang tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya telah mengambil sikap

untuk keluar dari Desa Mamuya dan berdomisili di wilayah lain.

Namun, pasca dari eksodus tersebut, ditemukan2 bahwa pola relasi mulai terbangun

kembali diantara kedua pihak (jemaat) melalui tradisi Mabari (kerja sama). Tradisi mabari

dipraktekan melalui kerja sama dalam hal „panen buah kelapa‟ (kopra)3. Kebun kelapa ini

2Hasil wawancara bersama Kepala Desa Mamuya – diwawancarai pada tanggal 4 Mey 2017.

3 Kerja Sama „panen buah kelapa‟ membutuhkan banyak orang melalui beberapa tahapan-tahapan kerja yang

begitu kompleks (sulit) untuk mengerjakannya sampai selesai - (Jelasnya: Lihat pada sub bab 5.1.4).

Page 7: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

60

adalah milik satu keluarga yang adalah warga jemaat Imanuel Baru Mamuya, yang telah

berdomisili di Desa Wari. Namun, kebun dari keluarga tersebut berada di wilayah Desa

Mamuya, sehingga pihak keluarga meminta bantu kepada keluarganya di Desa Mamuya yang

merupakan jemaat Imanuel Mamuya untuk bersama-sama bekerja memanen buah kelapa

(kopra) tersebut.

Praktek tradisi mabari yang secara langsung mempertemukan kedua pihak (jemaat)

tersebut merupakan suatu bentuk kesadaran akan suatu pekerjaan yang sifatnya berat jika

dilakukan sendiri, sehingga membutuhkan orang lain guna meringankan beban yang begitu

besar. Peneliti memaknai bahwa kesadaran untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi

tersebut tentunya dilandasi dengan semangat berbasis kekeluargaan (tradisi). Tradisi mabari

merupakan wujud implementasi dari nilai O’Hayangi yang berarti „saling sayang atau saling

peduli‟. Dalam konteks kerja panen buah kelapa (kopra) inilah, nilai O’Hayangi

mendapatkan tempatnya sebagai bentuk ungkapan rasa sayang dan kepedulian diantara

keluarga. Dari pola relasi yang terbangun melalui kerja sama (mabari) ini menyadarkan

mereka (kedua kelompok) bahwa mereka bukanlah orang lain, melainkan adalah keluarga,

mengingat ada sistem kekerabatan (marga) yang mengikat mereka serta dipersatukan dalam

bangunan nilai „rumah bersama‟.

Hal lainnya yang berkaitan dengan upaya membangun kesadaran melalui basis

kekeluargaan nampak dalam praktek tradisi babilang. Berdasarkan hasil observasi dilapangan

serta sebagaimana hasil wawancara terhadap beberapa informan kunci di Desa Duma dan

Desa Mamuya, ditemukan bahwa tradisi “Babilang” ini masih sering dipraktekan oleh warga

jemaat pasca perpecahan jemaat, mengingat bahwa latar belakang kesukuan masyarakat dari

warga jemaat yang hidup pada dua lokasi (desa) adalah suku Galela.

Tradisi babilang memiliki korelasi erat dengan nilai-nilai Hibua Lamo, yakni O

Hayangi (Sayang), O Baliara (Pelihara), dan O, Dora (Kasih). Tradisi ini merupakan bentuk

dari sikap kepedulian, saling menopang atau menunjang, serta saling melayani dengan tujuan

untuk meringankan beban bagi keluarga yang menimpa peristiwa kematian (duka cita)

maupun keluarga yang merayakan acara pernikahan (suka cita).

Page 8: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

61

6.3. Jalan Ketiga: Menghidupkan Kembali Jemaat Nita Duma.

Sebelum membahas secara mendalam terkait sub bab ini, awalnya peneliti akan

menggambarkan sedikit tentang alur perpecahan jemaat di Desa Duma. Alur perpecahan

jemaat di Desa Duma dapat dilihat melalui bagan berikut ini:

Bagan 6.3.

Perpecahan Jemaat Nita Duma dan Kemungkinan Adanya Rekonsiliasi

Bagan diatas merupakan gambaran dari alur perpecahan jemaat di Desa Duma.

Sebelum perpecahan jemaat terjadi di Desa Duma, semua warga jemaat terorganisir dalam

satu jemaat, yaitu jemaat „Nita Duma‟. Perpecahan jemaat di Desa Duma pada tahun 2014

silam melahirkan dua jemaat, yaitu jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan), dan

jemaat Hendrik van Dijken (pro BPHS GMIH Lama). Pada bulan Mei 2017, saat peneliti

melakukan penelitian dilapangan, sebagian warga jemaat yang sebelumnya tergabung dalam

jemaat Nita Duma – pro GMIH Pembaharuan mengorganisir diri dan membentuk satu jemaat

baru (jemaat ketiga), dengan nama jemaat yang sama, yakni jemaat Nita Duma (pro terhadap

BPHS GMIH Lama).

Dalam konteks penelitian ini, peneliti tidak memposisikan diri mengambil sikap

bahwa BPHS GMIH Lama benar dan BPHS GMIH Pembaharuan salah, atau pun sebaliknya.

Tidak demikian, namun peneliti menempatkan diri untuk tidak berpihak (netral), dengan

berdasar pada alasan-alasan munculnya jemaat ketiga serta berupaya untuk mengggali dan

menganalisis data sesuai hasil temuan dilapangan.

Alur Perpecahan

Jemaat

Jemaat Hendrik van Dijken

GMIH Lama

Jemaat Nita Duma

GMIH Lama

Jemaat Nita Duma

GMIH Pembaharuan

2

3

JEMAAT

NITA DUMA

2 1

Page 9: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

62

Munculnya jemaat ketiga ini tentunya memiliki alasan-alasan yang mendasari sikap

mereka. Adapun alasan yang diungkapkan oleh Bapak S. Buladja dan N. Tumada4, adalah:

“Awal munculnya SSI (GMIH Pembaharuan) kami sangat mendukung, dan

dukungan itu kurang lebih 3 tahun. Setelah kondisi (konflik) ini berjalan dan

diproses melalui jalur hukum, GMIH Pembaharuan kalah menurut putusan

dalam ranah hukum! Oleh karena itu kitorang (kami)harus cari tahu; kita

yang merasa diri benar tetapi kenapa kalah? Mulai kami gali dan cari bukti-

bukti dan kitorangdapat bukti itu, yakni: Terkait Surat Penjelasan Pendirian

Yayasan GMIH Pembaharuan oleh Kementrian Agama melalui Direktorat

Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen (Ditjen Bimas) Kristen. Ketika

kitorang mendapatkan Surat Penjelasan5 tersebut, ternyata ada 4 poin yang

dituliskan tersebut. Dua poin utama yang menjadi alasan utama kami,

diantaranya adalah; pada poin ke-2 berbunyi, “bahwa pengesahan akta

pendirian Yayasan GMIH oleh Kementrian Hukum dan HAM adalah

pengesahan sebagai Yayasan, bukan sebagai Gereja Masehi Injili di

Halmahera (GMIH). Oleh karena itu Gereja dan Yayasan adalah dua lembaga

yang berbeda, tidak perlu saling intervensi”; dan bunyi poin ke-4, adalah

“Ditjen Bimas Kristen - Kementrian Agama tidak melayani pendaftaran induk

organisasi Gereja baru/Sinode baru karena arah pembinaan gereja diarahkan

bukan untuk peningkatan kwantitas organisasi gereja melainkan kwalitas

yang bertanggung jawab, peningkatan kerukunan/keesaan gereja.

Nah...anehnya, surat penjelasan ini tidak dibacakan (transparansi) dalam

gereja-gereja di GMIH Pembaharuan. Kami merasa dibohongi dengan

ditutupinya bukti-bukti ini”.

Hasil wawancara ini merupakan alasan-alasan yang dipakai oleh kelompok tersebut

untuk menyatakan sikap dengan membentuk suatu jemaat baru (jemaat ketiga). Bagi peneliti,

alasan-alasan tersebut cukup kuat dan rasional bagi kelompok ini dalam upaya mencari solusi

ditengah-tengah dualisme kepemimpinan Badan Pengurus Harian Sinode (BPHS) GMIH

yang sampai sekarang ini belum menemukan titik damainya. Sikap ini tidak serta-merta

muncul tanpa alasan atau bukti, namun didasarkan pada temuan bukti yang menurut mereka

pihak BPHS GMIH Pembaharuan melalui jemaat Nita Duma tidak pernah mensosialisasikan

Surat Keputusan (SK) tentang Penjelasan Pendirian Yayasan GMIH oleh Kementrian Agama

Republik Indonesia – Melalui Direktorat Jendral (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas)

Kristen kepada seluruh warga jemaat Nita Duma.

4 Sebelumnya kedua Beliau ini adalah warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan) yang mengambil sikap

untuk membentuk satu jemaat baru – diwawancarai secara bersama-sama pada Sabtu, 24 Juni 2017. 5 Salinan SK dari Direktorat tersebut di berikan kepada Peneliti saat kegiatan wawancara berlangsung

Page 10: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

63

Adapun bukti yang memperkuat sikap mereka (warga jemaat ketiga) untuk

mengambil keputusan dengan cara keluar dan membentuk jemaat baru adalah berdasar pada

poin 4 dari SK tersebut yang berbunyi bahwa “Kementrian Agama Republik Indonesia –

Melalui Ditjen Bimas Kristen tidak melayani pendaftaran Induk gereja Sinode baru”. Dengan

berdasar pada bukti-bukti sebagaimana yang dijelaskan melalui surat penjelasan tersebut,

maka kehadiran dari jemaat ketiga ini didasarkan dengan alasan-alasan mendasar dan cukup

rasional dalam upaya mencari tahu kebenaran di tengah-tengah dualisme kepemimpinan dan

saling klaim-mengklaim kebenaran internal Sinode GMIH.

Posisi jemaat ketiga dalam konteks ini adalah keberpihakan pada Sinode GMIH Jln.

Kemakmuran – Tobelo (BPHS GMIH Lama), dimana dalam konteks surat penjelasan

tersebut, Sinode GMIH Lama diakomodir oleh Negara melalui Kementrian Agama. Pada sisi

yang lain, sikap dari jemaat ketiga untuk tidak bergabung dengan jemaat Hendrik van Dijken

dipandang keputusan proporsional dan memiliki konsekuensi logis bagi adanya ruang

rekonsiliasi pada tubuh jemaat di Desa Duma.

Menurut hemat peneliti, posisi jemaat ketiga adalah bentuk menengahi perseteruan

bagi kedua jemaat yang sebelumnya telah ada, dimana jemaat ketiga mengambil posisi netral

secara berjemaat. Keputusan ini tentunya adalah bentuk upaya-upaya untuk menawarkan

jalan lain sebagai „jalan ketiga‟ dalam pencarian solusi bagi keutuhan jemaat di Desa Duma.

Sehingga dalam hemat peneliti, adanya jemaat ketiga ini cukup membuka ruang bagi

kemungkinan adanya rekonsiliasi jemaat di Desa Duma.

Peneliti menggali lebih jauh lagi dan berupaya untuk menganalisanya. Ditemukan

bahwa ada motif atau indikasi penting lainnya menyangkut sikap dari jemaat ketiga dengan

menggunakan nama jemaat yang sama, yakni „jemaat Nita Duma‟. Bertolak dari hal tersebut,

maka peneliti mempertanyakannya dalam satu konten pertanyaan wawancara, yaitu: “Kenapa

menggunakan nama jemaat yang sama, yakni jemaat Nita Duma? Kenapa tidak bergabung

saja dengan jemaat Hendrik van Dijken yang juga merupakan jemaat dibawah pelayanan

BPHS Sinode Jln. Kemakmuran – Tobelo? Hal ini direspon oleh Bapak S. Buladja dan N.

Tumada6, adalah sebagai berikut:

“Nah...ini sebetulnya bukan jemaat baru, tetapi kitorang (kami) kembali ke

jemaat yang sebenarnya. Karena nama jemaat Nita Duma (GMIH

6 Sebelumnya kedua Beliau ini adalah warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan) yang mengambil sikap

untuk membentuk satu jemaat baru – diwawancarai secara bersama-sama pada Sabtu, 24 Juni 2017.

Page 11: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

64

Pembaharuan) itu so tarada (telah dihapus) dari register Sinode GMIH Jalan

Kemakmuran. Karena itu kitorang kembali dalam kelompok kecil dan

menamakan jemaat Nita Duma dengan tujuan untuk mengembalikan nama

jemaat Nita Duma ke register GMIH tersebut”.

Hasil wawancara ini merupakan alasan yang menarik dan menggelitik bagi peneliti

untuk mengidentifikasi motif dibalik sikap dari jemaat ketiga ini. Apa makna dibalik

penamaan jemaat Nita Duma ini? Sehingga nama ini dipakai dan diangap penting oleh warga

jemaat yang tersebut.

Secara etimologi, kata „Nita‟ berasal dari bahasa Galela, yang artinya „Terang‟,

sedangkan „Duma‟ adalah nama kampung (Desa). Jika diterjemahkan secara bebas, maka

Nita Duma berarti „Terang dari Duma‟. Terang dalam konteks ini dimaknai sebagai: “Injil

yang terpancar dari Duma hingga menyebar keseluruh belahan bumi Halmahera (Maluku

Utara)”. Seperti telah disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa jemaat Nita Duma adalah

„jemaat mula-mula‟ yang menerima agama Kristen pada tahun 1866 di Halmahera melalui

seorang Misionaris berkebangsaan Belanda yang bernama Hendrik van Dijken7. Makna dari

pemberian nama jemaat Nita Duma tersebut memiliki keterkaitan erat dengan basis

historisitas (sejarah) kehidupan perjalanan Kekristenan di Halmahera.

Dalam sejarah perjalanan Gereja di Halmahera, Duma merupakan tempat awal benih

Injil itu ditanamkan, dimana tepatnya pada tahun 1949 terbentuklah suatu organisasi gereja

(Sinode) yang sekarang ini dikenal dengan nama Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH).

Sehingga bisa dikatakan bahwa Duma adalah peletak dasar (foundation) keberadaan dan

eksistensi GMIH hingga sekarang ini. Hal inilah yang mempengaruhi sikap dari jemaat ketiga

untuk tetap menggunakan nama jemaat Nita Duma dalam upaya mengembalikan nama

jemaat ke register GMIH. Menurut hemat peneliti, terbentuknya jemaat ketiga yang

tujuannya adalah mengupayakan kembali nama Nita Duma adalah sama dengan

menghidupkan kembali nilai dan makna sejarah bergeraja sebagai jumaat mula-mula yang

berpengaruh besar terhadap sejarah perjalanan GMIH hingga sekarang ini.

Terlepas dari basis historis kehidupan ber-GMIH, peneliti menemukan bahwa sikap

jemaat ketiga tersebut merupakan upaya menyadarkan kembali warga jemaat di Desa Duma

dari perspektif sosial-budaya. Secara sosial-budaya setiap orang yang tinggal, hidup, menetap

serta menjalani aktivitas hidup sehari-hari merupakan satu kesatuan yang diikat dan

7Wawancara bersama Bpk. J. Buladja melalui via Hand Phone – pada jumat, 21 Juli 2017.

Page 12: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

65

dipersatukan dalam sistem kekeluargaan. Sebagaimana telah disinggung juga dalam bab-bab

sebelumnya, bahwa masyarakat yang ada di Desa Duma merupakan keluarga besar yang

dipersatukan melalui sistem marga, dimana kepelbagaian marga yang berbeda-beda tersebut

telah diikat oleh bentuk pernikahan silang antara marga. Hal ini telah dilakukan dari orang

tua-tua (nenek moyang) sebelumnya, sehingga melalui sistem kekerabatan inilah yang

menyatukan semua orang yang tinggal di wilayah tersebut.

Sistem kekeluargaan tersebut tidak terlepas juga dari nilai-nilai Hibua Lamo atau

Sibua Lamo yang telah lama terlembaga dalam pola relasi dan interaksi antara warga

masyarakat. Adapun sederetan nilai yang terkandung dalam „rumah besar‟ tersebut

diantaranya adalah O’Dora, O’Hayangi, O’Baliara, O’Adili, dan O’Diai. Dengan berdasar

pada basis nilai dan makna inilah, peneliti akan menganalisisnya secara satu persatu dalam

kaitannya dengan sikap jemaat ketiga di Desa Duma.

Potret perpecahan bahkan konflik tersebut meretakan hubungan-hubungan

kekeluargaan serta berdampak pada menurunnya sikap saling mengasihi (O’Dora) diantara

keluarga. Terbentuknya jemaat ketiga adalah upaya untuk mengembalikan perasaan saling

mengasihi, yang dilakukan dengan cara untuk keluar dari jemaaat sebelumnya (Nita Duma)

dan tidak mau bergabung dengan jemaat lainnya (Hendirk van Dijken). Hal ini

mengindikasikan makna bahwa jemaat ketiga bersikap untuk tidak mau berlama-lama tergiur

dengan perseteruan dua kubu tersebut. Sehingga upaya penyadaran dan pemulihan harus

dilakukan, dan semuanya itu bisa terjadi jika dilandasi dengan rasa saling mengasihi. Rasa

saling mangasihi inilah unsur yang mengikat semua anggota masyarakat kedalam relasi yang

rukun dan damai.

Nilai O’Hayangi (sayang) mengandung makna saling menjaga perasaan, tidak saling

menyakiti, apalagi saling membunuh. Hal ini merupakan angin segar bagi kedua kelompok

jemaat yang sedang sibuk berkelahi dengan versi kebenarannya masing-masing. Sikap jemaat

ketiga merupakan tawaran jalan lain bagi kedua jemaat sebagai jalan tengah yang diambil.

Pada posisi inilah, nilai O’Hayangi itu hidup, dimana dalam hemat peneliti, jika mereka

(jemaat ketiga) memutuskan untuk masuk dan bergabung bersama jemaat Hendrik van

Dijken, pastinya lebih menyakiti hati jemaat Nita Duma – pro Pembaharuan. Keputusan

untuk keluar dan membentuk jemaat baru tetap saja meresahkan hati jemaat Nita Duma

(Pembaharuan), namun sikap itu merupakan konsekuensi yang harus diambil, dari pada

bersikap untuk tetap bertahan pada jemaat sebelumnya atapun bergabung dengan jemaat

Page 13: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

66

Hendrik van Dijken. Pada titik inilah jalan ketiga membawa tawaran solusi yang baru, atau

dengan kata lain, berupaya untuk keluar dan kembali pada nilai O’Hayangi itu sendiri.

Perpecahan jemaat serta adanya bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang terjadi di

Desa Duma dipandang mereduksi makna dari nilai O’Baliara (Pelihara/Peduli). Adanya

perilaku saling memfitnah, saling membicarakan (gosip) secara negatif, ungkapan kata kotor

(makian) merupakan perbuatan-perbuatan yang secara langsung mengganggu keharmonisan

sosial diantara mereka. Sikap dari jemaat ketiga adalah upaya untuk keluar dari nuansa

konflik diantara dua kubu (jemaat) tersebut. Pada posisi inilah mereka (jemaat ketiga)

berupaya untuk menghindari tindakan-tindakan negatif yang nota benenya bertolak belakang

dengan nilai O’Baliara itu. Memang tidak dapat dipungkiri pula, bahwa jemaat ketiga juga

pernah terlibat dalam melakukan hal-hal yang demikian, namun keputusan untuk mencari

jalan lainnya merupakan sikap yang cukup strategis dalam upaya memulihkan kehidupan

bergereja maupun bermasyarakat dengan didasarkan pada nilai O’Hayangi itu sendiri.

Perpecahan jemaat membuat situasi sosial tidak lagi berada dalam keadaan seimbang

(adil). Melemahnya sikap hormat-menghormati serta sikap saling menghargai diantara orang

tua dan anak merupakan tindakan yang mereduksi makna dari nilai O’Adili itu sendiri. Secara

normatif, tentunya tindakan kekerasan secara langsung telah melanggar aturan-aturan adat

yang disepakati bersama. Dalam kondisi yang demikian, adil dan tidaknya tergantung dari

masing-masing kubu (jemaat). Jemaat ketiga berupaya untuk keluar dari kungkungan dua

kubu tersebut, guna berupaya untuk membenahi sikap mereka yang sebelumnya tidak baik

(tidak adil) adanya. Dalam asumsi peneliti, sikap dari jemaat ketiga adalah upaya untuk

mencari jalan keadilan lain (atau jalan ketiga), dimana “dua jalan sebelumnya” tidak

menemukan titik keadilan bagi warga jemaat di Desa Duma.

Melihat realitas konflik dan perpecahan tersebut, pola relasi masyarakat sangatlah

bertolak belakang dengan harapan ideal dari nilai O’Diai. Kebenaran milik masing-masing

pihak. Kebenaran dalam konteks ini terkesan merupakan hasil pengklaiman masing-masing

jemaat. Keputusan untuk keluar dari satu kubu dan tidak mau bergabung dengan kubu yang

lain adalah bentuk sikap bijak yang disikapi oleh warga jemaat ketiga untuk melepaskan diri

dari pengklaiman kebenaran yang demikian. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa sikap

dari jemaat ketiga juga merupakan upaya untuk mencari kebenaran yang ada. Namun,

keputusan dari warga jemaat ketiga adalah upaya untuk menawarkan jalan kebenaran ketiga

bagi dua kubu (jemaat) yang terus-menerus contras mencari-cari kebenaran tanpa titik

temunya.

Page 14: BAB VI KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI REKONSILIASI ...€¦ · REKONSILIASI KONFLIK 6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang

67

Sikap jemaat ketiga dalam kaitannya dengan nilai-nilai Hibua Lamo merupakan upaya

untuk mengembalikan tatanan nilai yang telah ada sebelumnya. Untuk mengupayakan

kembalinya nilai-nilai tersebut, maka cara yang diambil oleh mereka adalah dengan

mengambil sikap untuk keluar dari jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan) dan

tidak mau bergabung dengan jemaat Hendrik van Dijken (pro BPHS GMIH Lama),

melainkan membentuk satu jemaat lagi. Bagi peneliti, upaya dari jemaat ketiga ini dipandang

sebagai jalan ketiga yang menawarkan alternatif solusi guna memulihkan kembali

(rekonsiliasi) kondisi sosial masyarakat yang telah tersekat akibat egoistik kelembagaan

bergeraja oleh dua kelompok (jemaat) tersebut.

Dalam hemat peneliti, adanya jalan ketiga ini merupakan „tamparan keras‟ terhadap

kedua pihak yang terus menerus berada dalam lingkaran masalah yang tak kunjung

menemukan titik temunya. Pada sisi lainnya, sikap dari jemaat ketiga ini juga merupakan

bentuk resistensi terhadap pihak elit Sinode yang dilanda oleh dualisme kepemimpinan yang

sampai sekarang tidak mampu menemukan titik temunya untuk saling berdamai, melainkan

sibuk berkonflik dan terus menerus mempertahankan keegoisannya masing-masing.