32
BAB I LAPORAN KASUS 1. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. Suwarni Umur : 32 Tahun Jenis kelamin : Perempuan Status : Menikah Agama : Islam Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Alamat : Karangsari 2/4 Andongsili Wonosobo Pekerjaan : Pedagang Ayam No RM : 617447 Tgl Kunjungan: 16 Maret 2015 2. ANAMNESIS (16 Maret 2015) Keluhan Utama : lemah pada tubuh dan otot wajah Riwayat Penyakit sekarang : Seorang wanita 32 tahun datang dengan keluhan lemah pada tubuh dan otot wajah yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, awalnya pasien merasakan kelopak mata kiri turun, susah untuk membuka mata, pengelihatan ganda (-), penglihatan kabur (-), pasien kadang merasa sulit untuk senyum, sulit mengunyah, sulit menelan, sulit berbicara normal sehingga terdengar cadel, pernah tersedak saat minum air, setelah itu terjadi kelemahan pada kedua tangan saat sedang melakukan aktifitas seperti menyapu, menyuapi anaknya, bahkan saat mengikat rambut 1

bab1-daftar pustaka.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: bab1-daftar pustaka.doc

BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Suwarni

Umur : 32 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia

Alamat : Karangsari 2/4 Andongsili Wonosobo

Pekerjaan : Pedagang Ayam

No RM : 617447

Tgl Kunjungan: 16 Maret 2015

2. ANAMNESIS (16 Maret 2015)

Keluhan Utama : lemah pada tubuh dan otot wajah

Riwayat Penyakit sekarang :

Seorang wanita 32 tahun datang dengan keluhan lemah pada tubuh dan otot wajah

yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, awalnya pasien merasakan kelopak mata kiri turun,

susah untuk membuka mata, pengelihatan ganda (-), penglihatan kabur (-), pasien kadang

merasa sulit untuk senyum, sulit mengunyah, sulit menelan, sulit berbicara normal sehingga

terdengar cadel, pernah tersedak saat minum air, setelah itu terjadi kelemahan pada kedua

tangan saat sedang melakukan aktifitas seperti menyapu, menyuapi anaknya, bahkan saat

mengikat rambut pasien sulit untuk melakukannya. Pasien menyangkal adanya kelemahan

pada kedua kakinya. Riwayat jatuh karena merasa lemah pada kedua kaki disangkal. Semua

kejadian itu terjadi perlahan selama 2 bulan ini terkadang hilang dan timbul tiba-tiba, keluhan

dapat membaik setelah pasien beristirahat. Keluhan dirasakan semakin lama semakin berat.

Sakit kepala sebelumnya (-), mual (-), muntah (-), pingsan (-), nyeri otot (-), ba’al (-),

kejang (-), demam (-), sesak (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu : hipertensi (-), diabetes militus (-), menderita infeksi sebelumnya

(-), keluhan yang sama sebelumnya (-).

Riwayat penyakit keluarga : tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.

1

Page 2: bab1-daftar pustaka.doc

3. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

Keadaan Umum : Tidak tampak sakit, gizi cukup

Kesadaran: Compos Mentis

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 89x/menit,reguler,isi cukup

Suhu: 36,2 0C

Pernapasan:18x/menit

Kepala: Normocephal

Leher: Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax: Dada simetris saat bernafas

Cor: BJ I,II reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Pulmo: Vesikuler, Rhonki (-), wheezing (-)

Abdomen: Supel, datar, BU (+) N

Ekstremitas: Akral hangat, oedem (-), sianosis (-)

4. PEMERIKSAAN NEUROLOGI

TANDA RANGSANG MENINGEAL

Kaku kuduk : (-)

Kerniq: >135/.>135

Brudzinky I,II : -/-

PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS

N.I:Normosmia

N.II: Tajam Penglihatan (N), Lapang pandang tidak menyempit, diplopia (-)

N.III,IV,VI :

Pupil : bulat, isokor ,Ø 3mm ODS

Refleks cahaya langsung : +/+ ODS

Refleks cahaya tidak langsung : +/+ ODS

Ptosis -/-,Strabismus -/-,Nistagmus -/-,Gerakan bola mata ke segala arah (N) ODS

N.V:

Motorik: tidak ada kelemahan pada ke dua sisi

Sensibilitas : Normal

2

Page 3: bab1-daftar pustaka.doc

N.VII:

Kerutan dahi : (-)

Menutup mata : bisa menutup kuat

Lipatan nasolabial : simetris

Meringis : bisa

Menggembungkan pipi : bisa

Hiperlakrimasi : tidak ada

N.VIII: Mendengar suara gesekan jari tangan : telinga kanan= telinga kiri

N.IX,X: Disfagia (-), Arcus faring : simetris, Uvula ditengah

N.XI:

Menolehkan kepala : Normal

Mengangkat bahu : simetris

N.XII

Disartria : (+)

Lidah simetris

Atrofi lidah: tidak ada

PEMERIKSAAN MOTORIK

Kekuatan otot

555 555

555 555

Tonus otot : normal

Clonus (-)

Tidak ada atropi pada kedua tungkai

SENSORIK :

Eksteroseptif

Nyeri : Baik

Taktil : Baik

Proprioseptif

Posisi: Baik

FUNGSI OTONOM :

3

Page 4: bab1-daftar pustaka.doc

Miksi : Inkotinentia ; (-),Retensi: (-),Anuria: (-)

Defekasi : Inkontinentia : (-),Retensi : (-)

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN :

Tes telunjuk hidung: Baik

REFLEKS FISIOLOGIS

Refleks bisep : +/+

Reflek trisep : +/+

Reflek patella : +/+

Reflek achiles : +/+

REFLEKS PATOLOGIS :

Babinski : -/-

Chaddock : -/-

Openheim: -/-

Gordon : -/-

Hoffman Trommer : -/-

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

6. DIAGNOSIS

Myasternia gravis

7. PENATALAKSANAAN

ATP 20 mg 2X1

MPS 4 mg 3X1

Imunos 1X1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

4

Page 5: bab1-daftar pustaka.doc

1. DEFINISI MIASTENIA GRAVIS

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-

menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4.

Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada

neuromuscular junction3.

2. EPIDEMIOLOGI

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada

berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita

lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan

pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada

usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering

terjadi pada usia 42 tahun3,4.

3. ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION

Anatomi Neuromuscular Junction

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan

fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara

normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot

rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular

junction atau sambungan neuromuskular4,5.

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut

terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat

saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),

dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.

5

Page 6: bab1-daftar pustaka.doc

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction4

Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap

berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:6

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim

kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut

vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.

Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran

presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter

yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan

sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf

mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka

saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk

Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial

dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam

rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke

dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol

dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan

yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat

pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan

6

Page 7: bab1-daftar pustaka.doc

membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran.

Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk

potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot

di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf

sehingga timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim

asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga

sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana

protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan

segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit,

yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya

asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran

tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa

ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang

disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan

gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran

otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot4,5.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction

4. PENYEBAB MIASTENIA GRAVIS

7

Page 8: bab1-daftar pustaka.doc

Miastenia gravis merupakan suatu penyakit autoimun.yang biasanya dapat

didahului karena induksi dari obat, karena virus atau bakteri atau neonatal miastenia

gravis. Normalnya imunitas dalam tubuh ada “perintah dan kontrol” namun dalam kasus

ini terjadi kegagalan pada sistem proteksi kontrol sehingga terjadilah autoimunitas

(imunitas tubuh menyerang tubuh sendiri).

5. PATOFISIOLOGI

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya miastenia gravis diantaranya

adalah:

1. Antibodi reseptor asetilkolin memblokade reseptor asetilkolin

2. Mekanisme crosslinking

3. Karena adanya kerusakan di neuromuscular junction (akibat infeksi)

8

Gangguan autoimun yang merusak reseptor asetilkolin

Jumlah reseptor asetilkolin berkurang

Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran

post naps pada sambungan neuromuskular

Penurunan hubungan neuro-muskular

Kelemahan otot-otot

Otot-otot okular

Gangguan otot levator palpebra

Ptosis dari diploma

Gangguan citra diri

Otot wajah, laring, faring

Regurgitasi makanan ke hidung pada saat menelan,

suara abnormal, ketidakmampuan menutup

rahang

Resiko tinggi aspirasi Gangguan pemenuhan nutrisi Kerusakan komunikasi verbal

Otot volunter

Kelemahan otot-otot rangka

Defisit self care Intoleransi aktivitas

Krisis miastenia

Kematian

Otot pernapasan

Ketidakmampuan batuk efektif, kelemahan otot-

otot pernapasan

Ketidakefektifan pola napas Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Page 9: bab1-daftar pustaka.doc

6. GEJALA KLINIS

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi

pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita

akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang

apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

- Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama

akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot

wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas4.

- senyum yang datar (seperti tidak ada ekspresi), respon pupil terhadap cahaya berkurang,

bicaranya tidak jelas, suara dari hidung/sengau/bindeng, postur yang irreguler, kelemahan

pada otot ekspirasi, kelemahan yang bersifat fokal, kesulitan menelan/mengunyah.

Gejala awal: 50% terjadi ptosis, diplopia, penglihatan kabur ( karena kelemahan

otot ekstraokular), 10% (terdapat kelemahan yang menyeluruh dan kelelahan). 5%

(disfagia, kelemahan wajah, sengau, bahkan bisa terjadi kelemahan otot paroksismal).

Gejala tetap: 15 % (kelemahan terbatas pada otot ekstraokular), 85% (kelemahan

menyeluruh biasanya setelah 5 tahun). Gejala mencapai puncak keparahan pada saat tahun

pertama (pada 50% pasien) dan kebanyakan pasien mengalami puncak keparahan setelah 5

tahun.

7. KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis

dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:

a. Klas I

Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan

otot-otot lain normal.

b. Klas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada

otot-otot lain selain otot okular.

c. Klas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan

otot-otot orofaringeal yang ringan.

d. Klas IIb

9

Page 10: bab1-daftar pustaka.doc

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada

otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

e. Klas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-

otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

f. Klas IIIa

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

g. Klas IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan.

Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat

ringan.

h. Klas IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,

sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

i. Klas IVa

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot

orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

j. Klas IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan.

Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan

intubasi.

k. Klas V

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak

pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan

tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun3.

Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti

dibawah ini3 :

a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan

10

Page 11: bab1-daftar pustaka.doc

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk

mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi

lemah. Pernapasan tidak terganggu.

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot

okulobulbar. Pernapasan terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

8. DIAGNOSIS MIASTENIA GRAVIS

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis adalah berdasarkan gejala dan dapat

dilakukan pemeriksaan sebagai berikut3 :

Tes stimulasi repetitif (menunjukkan respon yang menurun saat 1-2 menit setelah

beraktivitas)

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras (tes menghitung dan

tes membaca). Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan

menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama

kelamaan akan timbul ptosis. Tes eye drop (pasien melihat pemeriksa sejajar kemudian

minta untuk melihat ke langit-langit, jika pasien MG akan susah melakukannya). Setelah

suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh

beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak

tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain3 :

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi

maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon

disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata

yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,

maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus

diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.

2. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular

(bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan

oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau

kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

11

Page 12: bab1-daftar pustaka.doc

3. Uji Kinik

Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi

(masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia

gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk

uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak

bertambah berat.

Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti

Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,

dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis

generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes

anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis

sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody4.

Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang

dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:

Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive

R 0.79 24

I 2.17 55

IIA 49.8 80

IIB 57.9 100

III 78.5 100

IV 205.3 89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate

generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia

gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk

memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

12

Page 13: bab1-daftar pustaka.doc

Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini

menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia

kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-

SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif

(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody

yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.

Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).

Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia

muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan

adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

Imaging4

Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,

thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma

ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk

mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada

penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI

dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

13

Page 14: bab1-daftar pustaka.doc

CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass (thymoma) in a patient with

myasthenia gravis.

Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi

neuromuscular melalui 2 teknik4 :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga

pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

A typical recording of compound muscle action potentials with repetitive nerve

stimulation at low frequency in a patient with myasthenia gravis. Note the

gradual decline in the amplitude of the compound muscle action potential with

slight improvement after the fifth or sixth potential.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat

otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval

interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan

suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh

jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber

berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain3,4:

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada

beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :

14

Page 15: bab1-daftar pustaka.doc

o Meningitis basalis (tuberkulosa)

o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisiii

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota

tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular

dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi

volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu

karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.

EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada

transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi hambatan

stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada

membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik,

dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin

yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan

depolarisasi.

9. PENATALAKSANAAN

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi

miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.

Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan

penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada

miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata,

perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin4. Terapi imunosupresif dan

imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang

ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada

penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat

memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tercapai yang memiliki onset lebih lambat

tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan2.

-medikamentosa (antikolinesterase, kortikosteroid, imunosupresan)

Lini pertama terapi:obat antikolinesterase (bromida piridostigmin dengan dosis

awal 30 mg peroral, dosis harus diulang seperlunya dengan interval minimal 3 jam)

15

Page 16: bab1-daftar pustaka.doc

Obat antikolinesterase (meningkatkan respon otot terhadap impuls saraf sehingga

memperbaiki kekuatan otot): neostigmine (7,5 mg-45mg 2-6 jam sekali), piridostigmin

(mestinon)60mg-180mg 2 Xsehari- 4xsehari, Ambenomium (mytelase) 5-25mg, 3-4 Jam

sekali.

Pada orang tua gejala yang paling parah biasanya terjadi pada otot ekstraokuler

mata dan bulbar dan resisten terhadap pengobatan antikolinesterase. Sehingga Diperlukan:

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang

1.Kortikosteroid2

Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu

setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,

dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan

gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.

Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan

tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya,

akan timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta

hipertensi.

2.Azathioprine2

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif

terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat

dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap

penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara oral

dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50

mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif

dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang

lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine

sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan

dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan

dengan obat imunomodulasi yang lain.

Cyclosporine2

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper.

Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis

awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.

16

Page 17: bab1-daftar pustaka.doc

Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat

menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

Cyclophosphamide (CPM)

CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak

langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek

langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.

3.Thymectomy (Surgical Care)2,4

Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin

bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan

bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap

perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis. Tujuan neurologi utama dari

Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien,

mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan

yang permanen dari pasien8.

Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan

yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk

dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum,

kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah

thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi

kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah

pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli

lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif

adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan8.

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

1.Plasma Exchange (PE)2

Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa

krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau

pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative.Belum ada regimen standar untuk

terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap

kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang

disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek

PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.

17

Page 18: bab1-daftar pustaka.doc

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran

berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan

terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan

darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan

yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen

plasma tidak diperlukan.

2.Intravenous Immunoglobulin (IVIG)2

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates

yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum

diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi

dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien

tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul

sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.IVIG diindikasikan pada pasien yang juga

menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi

yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak

terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat

kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi

krisis.Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1

gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa

penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak

dilakukan pemasangan infus.Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah

nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus

menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit

kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.

3.Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka

pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka

pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon

terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada

terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.

Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal

atau tidak dapat digunakan.

18

Page 19: bab1-daftar pustaka.doc

Krisis myastenia dan krisis kolinergik

Krisis miastenia: ekserbasi dari gejala miastenia karena undermedication

antikolinesterase dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tanda (peningkatan denyut nadi dan

laju pernafasan, peningkatan tekanan darah, anoksia, sianosis, inkontinensia vesika

urinaria, tidak ada batuk dan reflek menelan) tindakan yang dilakukan : kontrol jalan

nafas, pemberian antikolinesterase, bila diperlukan obat imunosupresan dan plasmafaresis.

Krisis kolinergik: ekserbasi akut dari kelemahan otot karena overmedication obat

kolinergik. Tanda (Diare, kram abdomen, penglihatan kabur, pucat, kontraksi/kedutan otot

wajah, miosis pupil, hipotensi) terapi dengan atropin.

19

Page 20: bab1-daftar pustaka.doc

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis yang didapat, pasien wanita berusia 32 tahun sesuai

dengan epidemiologi myasternia gravis (20-50 tahun, pria : wanita 6:4 ), dan pasien juga

mengeluhkan lemah pada otot wajah dan tubuh yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu

awalnya pasien merasakan kelopak mata kiri turun, susah untuk membuka mata,

pengelihatan ganda (-), penglihatan kabur (-), pasien kadang merasa sulit untuk senyum,

sulit mengunyah, sulit menelan, sulit berbicara normal sehingga terdengar cadel, pernah

tersedak saat minum air, setelah itu terjadi kelemahan pada kedua tangan saat sedang

melakukan aktifitas seperti menyapu, menyuapi anaknya, bahkan saat mengikat rambut

pasien sulit untuk melakukannya. Pasien menyangkal adanya kelemahan pada kedua

kakinya. Riwayat jatuh karena merasa lemah pada kedua kaki disangkal. Semua kejadian

itu terjadi perlahan selama 2 bulan ini terkadang hilang dan timbul tiba-tiba, keluhan dapat

membaik setelah pasien beristirahat. Keluhan dirasakan semakin lama semakin berat.

Pada pemeriksaan fisik, disarthria juga masih ditemukan, sementara gejala-gejala

lain telah menghilang karena terapi yang telah dilakukan.Pemeriksaan penunjang yang

dianjurkan adalah Anti-asetilkolin reseptor antibody, Antistriated muscle (anti-SM)

antibody (membuktikan 84% pasien dibawah 40 tahun terkena myasternia gravis), dan

untuk menghapus kecurigaan myasternia gravis dengan penyebab tymoma sebaiknya

dilakukan pemeriksaan CT-scan pada pasien.

Berdasarkan hasil anamnesis sesuai dengan manifestasi klinis MG yaitu

kelemahan yang bersifat fakultatif (gejala muncul saat aktivitas dan berkurang setelah

istirahat), adanya ptosis, bicara yang tidak jelas (suara sengau), kesulitan menelan ataupun

mengunyah. dan pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosis Myasternia gravis tipe IIIA

(Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.)

Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,

thymomectomy, ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat

memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis2,4.

20

Page 21: bab1-daftar pustaka.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16:

Page: 519-534. 1984.

2. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms

and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.

3. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.

Page: 301-305. 1991.

4. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm.

Accessed : March 22, 2008.

5. Newton, E. Myasthenia Gravis. Available at : http://en.wikipedia.org/wiki/

Myasthenia_gravis. accessed : March 22, 2008.

6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa

Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta. Page: 816-835. 1999.

7. Anonim, Myasthenia Gravis. Available at: http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_

Brochure_Ocular.pd. Accessed: March 22, 2008.

8. Anonim, Thymectomy, Available at :http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm.

Accessed : March 22, 2008.

21

Page 22: bab1-daftar pustaka.doc

22