Upload
lie-chung-yen
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 1/6
BAGAIMANA MENULIS:
BELAJAR DARI KISAH PENCIPTAAN
(Martin Suhartono, SJ.)
BERAWAL DARI CINTA
Kitab Suci Ibrani diawali oleh suatu Puisi tentang Penciptaan Alam Semesta. Lho, siapa
sih yang ada bersama Allah ketika Dia mencipta, lha kok bisa-bisanya orang bercerita tentang
itu? Tapi, ya itulah Penyair, berdasarkan daya imajinasinya ia mencipta. Mari kita gunakan
skema tujuh hari penciptaan itu untuk bicara tentang dunia tulis menulis.
Pengarang KS selalu menghayati bahwa tindakan Allah mencipta itu selalu terbit dari
rasa cinta, bukan sekedar iseng-iseng, atau semangat bereksperimen, seperti kita! Menjelang
ajalnya Musa menegur bangsa Israel yang kerap memberontak melawan Allah, " Bukankah Ia
Bapamu yang mencipta engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau?" (Ul 32:6b).
Cinta inilah penggerak daya mencipta. Barangsiapa dipenuhi oleh cinta dia akan menjadi
aktif dan kreatif. Tanpa cinta orang menjadi pasif dan steril. Dan bila cintalah yang menjadi
motor daya kreasi kita, bisa dipastikan bahwa hasilnya juga akan membuat kita sendiri maupun
orang lain menjadi lebih manusiawi dan bahagia. Sebaliknya bila kebencian, ambisi pribadi,
bisnis dll. yang menggerakkan daya kreasi kita, maka tak bisa tidak hasilnya pun hanya akan
mengekploitasi orang lain demi keuntungan diri sendiri. Dan akibatnya yang terjadi adalah
komersialisasi seni, pelacuran intelektual, penyelewengan sumber daya dll.
Ada yang bilang, bila orang jatuh cinta maka dia menjadi penyair, segera keluar puisi
berbaris-baris. Banyak karya seni klasik lahir dari pengalaman dicintai dan mencintai. Anda
ingat puisi-puisi naratif Dante Aliegheri? Cinta dalam aspeknya yang negatif, yaitu putus cinta,
patah hati dll. dapat pula merupakan penggerak terciptanya suatu tulisan. Tapi ya tentu saja
hasilnya pun cenderung akan membawa orang pada kemurungan dan depresi.
Karena itulah, sebelum menulis, tanyalah pada diri kita sendiri: "Adakah cinta dalam
hatiku?" Bila tidak, cobalah mendidik diri kita untuk menjadi pencinta: pencinta Allah, pencinta
bumi, pencinta tumbuh-tumbuhan, pencinta hewan, dan tentu saja .... pencinta manusia!
Tujuh hari Penciptaan itu akan dijabarkan dalam Tujuh Syarat Tulisan di bawah ini:
1. INSPIRASI
Pengarang Kej membayangkan bahwa sebelum bertindak apa pun, Allah memerlukan
terang. Dalam dunia tulis menulis juga demikianlah halnya. Bila orang ditanya, "Kok tidak
menulis?", jawabannya, "Wah, belum dapet inspirasi apa-apa!"
Apakah inspirasi itu datang begitu saja, tiba-tiba, tanpa usaha apa pun dari pihak kita?
Menurut pengarang Kej tidak demikian. Bahkan Allah pun harus berusaha untuk mengadakan
"terang"; Ia harus bersabda, "Jadilah terang!". Sebetulnya, menurut gambaran saya pribadi, apa
8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 2/6
Martin/Dunia/hal. 2
sih sulitnya bagi Allah menciptakan segala sesuatu hanya dengan kedipan mata-Nya, atau
bahkan hanya dengan menimbulkannya dalam pikiran-Nya? Tapi menurut Pengarang Kej, Allah
memerlukan suatu proses, suatu usaha tertentu, dalam mencipta. Nah, apalagi kita!
Coba kita belajar dari orang yang sudah berpengalaman dalam hal karang mengarang,
Mochtar Lubis, misalnya. Menurut dia, "Proses mencipta seniman, apakah dia seorang sastrawan atau
pelukis, atau dia mencipta di bidang seni yang lain, senantiasa merupakan sebuah proses penuh misteri, yang liku-
likunya tidak selalu dipahami semuanya oleh seniman sendiri. Jauh sebelum ia mendapat inspirasi untuk mencipta,
bahan-bahan berupa pengalaman, pengetahuan, informasi, rangsangan, pengertian dan ramuan lain (yang diperlukan
untuk mencipta) telah terkumpul atau dikumpulkan dalam dirinya, secara sadar atau tidak ." (Sastra dan
Tekniknya, hlm. 4). Lebih lanjut ia mengatakan, "Tapi tanpa 90 persen kerja keras ..., maka inspirasi yang
10 persen mungkin tidak akan berfungsi. Dan andaikata berfungsi, maka mungkin dia akan kerdil saja. Semakin
besar kemampuan bekerja dan berpikir keras, semakin besar daya pengamatan, semakin besar kepekaan pada
manusia dan masyarakat, semakin luas proses pemikiran, maka semakin kuat inspirasi dan daya cipta." (hlm. 67).
Dan lebih khusus lagi ia mengatakan, "Banyak orang menyangka bahwa pengarang itu mendapat
inspirasi dengan tiba-tiba, dari suatu tempat yang gaib, tiba-tiba menokok kepada pengarang, dan berkata, 'Hai,
karanglah ini!' dan sebagai cahaya lampu senter-senter maka tiba-tiba dalam kepala pengarang menjadi terang, dan
terlihatlah olehnya apa yang harus dikarangnya. ... Ini tidak benar. Inspirasi harus dicari, diselidiki dan dipelajari.
Memang acapkali juga, tiba-tiba, karena sesuatu, melihat sesuatu, mendengar satu kalimat atau perkataan, sesuatu
tergerak dalam jiwa pengarang, dan dia melihat suatu kemungkinan untuk sebuah karangan. Tetapi gerakan jiwa
oleh sesuatu itu (pandangan mata, kata-kata, dan sebagainya) timbul karena pengalaman-pengalaman, buah
penyelidikan dan pikiran pengarang sendiri dari waktu-waktu yang lalu dan tersimpan selama ini di dalam kepala
atau jiwa" (hlm. 114)
Dan nasehatnya ini amat penting bagi kita, "Janganlah mencari inspirasi dengan menutup diri
dalam kamar. Carilah inspirasi ke dunia luas, ke dalam penghidupan di sekeliling kita. Pelajarilah manusia,
pelajarilah hidup." (hlm. 114).
2. WAWASAN SASTRA
Menurut Pengarang Kej, yang kemudian yang diciptakan Allah adalah cakrawala, atau
horison. Cakrawala ini berfungsi membagi air yang di atas dan yang di bawah.
Dalam daya kreasi, adanya cakrawala ini bisa digambarkan dengan adanya suatu
wawasan. Kerapkali kita membaca sesuatu, menonton sesuatu, dan segera merasa bosan, jenuh,
tak mengerti dan berkata: " Ndak mutu!" Ungkapan itu berasal dari penilaian kita bahwa si
seniman pencipta itu tak punya wawasan apa-apa yang bisa ditawarkan kepada pembaca atau
penontonnya. Nah, apakah wawasan kita dalam mencipta itu?
Wawasan kita tak bisa dilepaskan dari siapakah diri kita ini dalam segala aspek
kehidupan kita: iman kita, harapan kita, cinta kita, pengetahuan kita, pengalaman kita dll.
Pendeknya wawasan kita dalam berkreasi itu amat ditentukan oleh keseluruhan diri kita ini!
Kalau diri kita ini "ndak mutu", maka hasil karya kita pun akan "ndak mutu"! Bila kita ingin
berkreasi, kita pun dituntut untuk senantiasa mendidik diri kita sendiri, untuk senantiasa mau
belajar dari apa pun, dari siapa pun, pendeknya, dari kehidupan. Dengan kata lain, kita musti
8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 3/6
Martin/Dunia/hal. 3
memiliki kepekaan terhadap apa-apa yang hidup dalam dunia kita, dalam masyarakat kita, dalam
lingkungan kita, dalam diri kita sendiri.
Dengan kata lain, dalam mencipta kita harus menjadi manusia yang punya hati nurani!
Mochtar Lubis mengatakan demikian, "... wawasan sastra pengarang dipengaruhi oleh kepekaan
kemasyarakatannya, hati nurani kemasyarakatannya, hati nurani manusianya, dan kepekaannya terhadap
zamannya." (Sastra dan Tekniknya, hlm. 8). Punya tidaknya wawasan inilah yang menentukan
penerimaan publik terhadap seorang seniman. Lagi menurut beliau, "Hanya pengarang yang
mempunyai pandangan, perasaan dan pertimbangan sendiri dan telah berhasil mendapat nilai-nilai sendiri tentang
tragedi atau komedi manusia, tentang hasra-hasrat nafsu-nafsu manusia, tentang watak dan pribadi, tentang alam,
agama atau Tuhan, akan terus-menerus mendapat penghargaan dan perhatian." (hlm. 119).
3. ISITadinya bumi masih kosong melompong. Pengarang Kej menggambarkan Allah mengisi
kekosongan itu dengan menciptakan tumbuh-tumbuhan.
Kerapkali diadakan kursus-kursus, penataran-penataran, untuk mendidik orang dalam
teknik-teknik tertentu dalam hal mengarang, menulis komposisi musik, memahat, melukis dll.
Tapi apakah dihasilkan sesuatu yang berarti? Kerapkali tidak! Orang tahu teknik yang canggih,
apalagi sekarang dengan adanya komputer, tapi tak ada karya bermutu yang diciptakan. Apakah
sebabnya?
Di sini kita masuk dalam pembedaan yang diadakan antara "bentuk" dan "isi".
Sayangnya, kita sebagai bangsa itu spontan lebih terkesan oleh bentuk, oleh gaya, oleh segala
sesuatu yang "wah", yang gemerlapan, padahal kosong melompong tanpa isi. Menurut Mochtar
Lubis, "Teknik yang paling bagus tidak bisa membuat roman yang bagus, jika sekiranya tidak ada yang berharga
yang diceritakan" (hlm. 117). Keindahan itu muncul dari keseimbangan antara bentuk dan isi. Tapi
bila dihitung-hitung, menurut Lubis, "Seni yang tiada berisi pikiran dan perasaan bukan seni. Yang utama
selamanya adalah isi." (hlm. 121).
Apakah yang penting kita usahakan agar ada sesuatu isi dalam hasil karya kita? Saya kira
tak bisa tidak, kita sendiri sebagai manusia harus punya "isi" (bukan dalam arti "ilmu tenaga
dalam" lho ya!), punya bobot (bukan dalam arti perut buncit lho ya!). Menurut Lubis, pada
akhirnya, "Pengertian dan perasaan yang besar tentang penghidupan amat penting sekali bagi sebuah pribadi yang
baik, dan menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pengarang yang hendak melukiskan sesuatu yang
lebih banyak dari pengalaman dirinya sendiri." (hlm. 116).
4. KETERATURANPengarang Kej menggambarkan bahwa setelah ada terang, ada cakrawala, ada isi, Allah
memberikan suatu keteraturan dalam dimensi waktu: diciptakanlah benda-benda langit yang
menjadi tanda-tanda waktu. Lho, apakah keteraturan tak bertentangan dengan tulis menulis?
Bukankah kita sering punya gambaran bahwa seorang seniman itu serba tidak teratur?
8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 4/6
Martin/Dunia/hal. 4
Kreativitas tidak identik dengan kekacauan. Justru daya-daya kreasi itulah yang membuat
kekacauan menjadi keteraturan, seperti Allah yang mengalahkan khaos, mbahnya kekacauan,
dan menciptakan kosmos, bunda keteraturan. Dari seonggok kata-kata yang tak menentu sang
penyair menguntai puisinya atau sang pengarang menggubah sebuah roman klasik. Tugas
seniman ini justru seperti Allah sendiri, yaitu mengalahkan khaos [kekacauan] dalam dirinya
sendiri, dalam kehidupannya, dalam masyarakatnya, dalam dunianya, dan membangun suatu
keteraturan, yaitu suatu harmoni antara bentuk dan isi yang menghasilkan suatu keindahan.
Harmoni ini terjadi juga dalam rangka waktu. Suatu karya seni yang indah merupakan
kristalisasi dari waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Bila terkungkung hanya dalam
waktu lampau, suatu karya seni hanya mengembangkan romantisme dan nostalgia. Terjebak
dalam waktu sekarang, suatu karya seni akan jatuh dalam pragmatisme, atau malahan
komersialisasi. Terjerumus dalam masa lampau, suatu karya seni hanya berwujud ilusi, utopia
dan fatamorgana. Karya seni yang indah mengandung di dalamnya ketiga dimensi waktu
manusia itu, atau lebih tepat lagi, mengandung di dalamnya yang fana dan yang abadi sekaligus.
Lho, apakah keteraturan tak menimbulkan kebekuan?
5. DINAMIS
Setelah ada terang, cakrawala, isi, keteraturan, Pengarang Kej melihat semuanya itu
masih statis dan beku, itu itu saja dari waktu ke waktu. Ia akhirnya melihat bahwa diperlukan
suatu gerak, suatu dinamika, dalam kehidupan. Tumbuh-tumbuhan memang hidup, tapi mereka
terikat pada tempat. Maka digambarkan, Allah menciptakan ikan-ikan yang berkeriapan di laut
dan burung-burung yang beterbangan di langit.
Begitu juga dalam tulis menulis, membuat keteraturan dari kekacauan saja tak cukup.
Bahayanya, orang menjadi beku, statis, dan mandeg. Selain keteraturan diperlukan juga gerak,
suatu dinamika kehidupan. Maka meski teknik-teknik mengarang, melukis, bermain musik perlu
dipelajari, pada akhirnya seseorang yang sudah ahli mengarang, melukis dll. tak perduli lagi
pada teknik-teknik itu lagi.
Tapi tak berarti bahwa teknik itu tak diperlukan lagi. Teknik itu sudah begitu menyatu
dengan dirinya, sehingga ia tak perduli lagi. Ada yang bilang, waktu mulai belajar main piano,
orangnya dikuasai oleh piano, tapi kemudian lama kelamaan orangnyalah yang menguasai piano.
Dan pada akhirnya, ketika seseorang menjadi ahli bermain piano, antara dirinya dan piano itu
sudah terjalin suatu persatuan dan kerjasama yang erat sekali, sehingga tak ada lagi yang
dikuasai atau menguasai, segalanya menyatu dan menghasilkan suatu musik yang indah
didengarkan.
Mochtar Lubis menggambarkan keadaan itu demikian, "Keindahan tak lain dari keseimbangan
antara bangun dan isi. Bangun tak perlu beku, menurut skema dan konsepsi yang dirancangkan seperti peta lebih
dahulu. Bangun boleh hidup, dinamis menurut isi hidup, ditentukan oleh isi yang hidup. Bagaimana rupa bangun
yang baik itu tak dapat ditentukan oleh isi yang hidup. Bagaimana rupa bangun yang baik itu tak dapat ditentukan
8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 5/6
Martin/Dunia/hal. 5
atau dikelaskan oleh buku pelajaran kesusasteraan mana pun juga. Ia tergantung pada si pengarang dan bahannya ."
(hlm. 121)
6. KEMANUSIAAN
Akhirnya setelah ada terang, cakrawala, isi, keteraturan, gerak, tetap saja ada yang
kurang bagi Allah, yaitu manusia. Apakah gunanya semua hasil karya kita itu pada akhirnya
kalau kita justru kehilangan diri kita? Ini tentu mengingatkan kita akan peringatan Yesus, " Apa
gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang
dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Mat 16:26). Manusia sebagaimana digambarkan
oleh Pengarang Kej bukanlah sembarang manusia, melainkan dia yang diciptakan seturut
"gambar dan rupa" Allah sendiri. Manakah "gambar dan rupa" Allah ini?
Ada banyak tafsiran terhadap ungkapan "citra Allah", tapi tafsiran umum adalah nilai-
nilai luhur kemanusiaan, seperti kehendak (yang berhubungan erat dengan kebebasan) dan daya
pikir (yang berhubungan erat dengan kebenaran). Dua nilai ini, yaitu kebebasan dan kebenaran,
amat penting dalam mencipta.
Menurut M. Lubis, "Setiap kali seorang seniman mencipta, dia seharusnya mencipta dalam kebebasan
manusianya. Perbuatan mencipta itu sendiri harus menjadi ekspresi kebebasannya sebagai manusia" (hlm. 16).
Lagi, "Pengarang harus mampu mempergunakan bakat dan kepekaan artistiknya, dan kemampuannya untuk
menemui kebenaran yang telah diselimuti oleh propaganda dan kebohongan, dan untuk mengekspresikan dalam
karya ciptanya pengalaman kehidupan manusia sepenuh-penuhnya, baik pengalaman di dalam dunia fisikal ini
maupun dalam dunia batin, perasaan, dan pikiran manusia." (hlm. 33).
Kemampuan untuk menemukan kebenaran inilah yang paling utama bagi seorang
pengarang, "Untuk dapat mencapai hasil sebaik mungkin, dia harus menajamkan kepekaannya terhadap
ketidakadilan dalam semua bentuknya. Dia patut memperkuat belas kasih manusiawinya sebesar mungkin. Dia patut
membuat dirinya menguasai bahasa yang dipergunakannya sebaik mungkin. Dan paling utama adalah dia harus
dapat sampai mencapai kebenaran, karena tiap kali seorang sastrawan berhasil menanggapi kebenarannya, maka dia
juga telah berhasil menggapai keindahan." (hlm. 34-35).Dengan mewujudkan kedua nilai itulah manusia sungguh-sungguh menjadi manusia
sebagaimana direncanakan oleh Allah. Kita simak lagi M. Lubis, "Kreativitas adalah suatu tindakan
atau perbuatan kebebasan. .... Bagi saya sebagai seorang pengarang, kreativitas adalah jawaban (respons) saya pada
segala apa yang terjadi dalam lingkungan hidup saya, pada segala apa yang ada di alam semesta ini, pada segala
pengamatan saya yang terjadi dalam makrokosmos dan mikrokomos, jagat raya dan jagat cilik, pada semua yang
saya rekam dengan pikiran dan perasaan saya, proses-proses merasa dan berpikir yang didorong baik oleh intuisi,
rasa dan pikiran saya dalam berbagai bentuknya: wangi dan bau-bauan, suara dan bunyi, warna, bentuk, rohani dan
jasmani, keterlibatan saya dan keterlibatan orang lain, gemerlapan kilau sinar matahari di riak air, kegusaran dansedu sedan, hangat mesra-kasih -semua ini mendorong saya menulis, sambutan saya pada tantangan agar manusia di
mana saja, sungguh menjadi manusia yang manusiawi. Itulah tujuan proses kreativitas seni, termasuk sastra,
memanusiawikan manusia!" (hlm. 67).
8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 6/6
Martin/Dunia/hal. 6
Dan berhadapan dengan nilai-nilai kebebasan dan kebenaran, mau tak mau seniman
ditantang untuk berani jujur terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, terhadap dunia, terhadap
Allah sendiri. Kejujuran ini kadang membawa resiko terbesar, yaitu kematian.
Setelah bicara tentang kreativitas, Mochtar Lubis (bicara dari pengalaman pribadinya)
menambahkan bahwa diperlukan juga keberanian: "...kita harus menambahnya lagi dengan keberanian
mengekspresikan kreativitas itu. ... kalau dia takut dicela, dikucilkan, malahan dipenjara akibat ekpresi
kreativitasnya, dan lalu menahan diri untuk tidak mengekspresikannya, maka dia tidak ikut menyumbang pada
terobosan-terobosan kreativitas yang diperlukan bangsa kita untuk merebut hari depan yang lebih baik ." (hlm.
64). Dan ini membawa kita pada point terakhir.
7. YANG TRANSENDENS
Mochtar Lubis sebagaimana saya kutip di atas mengatakan bahwa tujuan proses
kreativitas seni adalah memanusiakan manusia. Ini sah-sah saja. Tapi menurut visi Pengarang
Kej. hal itu tidak mencukupi. Bagi dia, manusia tidak pernah menjadi tujuan dirinya sendiri.
Seluruh kisah KS hendak mengajarkan bahwa selama manusia menjadikan dirinya sendiri
sebagai tujuan, maka dia tak akan pernah sempurna, melainkan jatuh dari kesengsaraan ke
kesengsaraan. Tujuan itu mengatasi diri manusia sendiri, yaitu hanya akan tercapai dalam diri
Dia yang telah menciptakan manusia itu sendiri.
Setelah manusia diciptakan, dalam hari ketujuh Pengarang Kej menggambarkan
bagaimana Allah kembali sendirian dengan diri-Nya sendiri. Tapi ini bukan kesendirian yang
mandul, melainkan kesendirian yang menyediakan diri-Nya sendiri sebagai berkat bagi segala
sesuatu. Kematian sebagai resiko terakhir yang dihadapi oleh seniman yang mau jujur sampai
akhir terhadap nilai-nilai kebebasan dan kebenaran bukanlah kematian konyol tanpa makna.
Dalam terang iman, kematian ini bukanlah titik akhir, melainkan titik awal menuju kebangkitan
di dalam Allah. Kematian ini bagaikan kematian sebutir gandum yang jatuh ke tanah dan
menghasilkan buah berlipat ganda (Yoh 12:24).
[ceramah pada mahasiwa/i Fakultas Ilmu Pendidikan Agama,
Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta, 19 November 1997]