6
8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 1/6 BAGAIMANA MENULIS: BELAJAR DARI KISAH PENCIPTAAN (Martin Suhartono, SJ.) BERAWAL DARI CINTA Kitab Suci Ibrani diawali oleh suatu Puisi tentang Penciptaan Alam Semesta. Lho, siapa sih yang ada bersama Allah ketika Dia mencipta, lha kok bisa-bisanya orang bercerita tentang itu? Tapi, ya itulah Penyair, berdasarkan daya imajinasinya ia mencipta. Mari kita gunakan skema tujuh hari penciptaan itu untuk bicara tentang dunia tulis menulis.  Pengarang KS selalu menghayati bahwa tindakan Allah mencipta itu selalu terbit dari rasa cinta, bukan sekedar iseng-iseng, atau semangat bereksperimen, seperti kita! Menjelang ajalnya Musa menegur bangsa Israel yang kerap memberontak melawan Allah, "  Bukankah Ia  Bapamu yang mencipta engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau?" (Ul 32:6b). Cinta inilah penggerak daya mencipta. Barangsiapa dipenuhi oleh cinta dia akan menjadi aktif dan kreatif. Tanpa cinta orang menjadi pasif dan steril. Dan bila cintalah yang menjadi motor daya kreasi kita, bisa dipastikan bahwa hasilnya juga akan membuat kita sendiri maupun orang lain menjadi lebih manusiawi dan bahagia. Sebaliknya bila kebencian, ambisi pribadi, bisnis dll. yang menggerakkan daya kreasi kita, maka tak bisa tidak hasilnya pun hanya akan mengekploitasi orang lain demi keuntungan diri sendiri. Dan akibatnya yang terjadi adalah komersialisasi seni, pelacuran intelektual, penyelewengan sumber daya dll. Ada yang bilang, bila orang jatuh cinta maka dia menjadi penyair, segera keluar puisi berbaris-baris. Banyak karya seni klasik lahir dari pengalaman dicintai dan mencintai. Anda ingat puisi-puisi naratif Dante Aliegheri? Cinta dalam aspeknya yang negatif, yaitu putus cinta, patah hati dll. dapat pula merupakan penggerak terciptanya suatu tulisan. Tapi ya tentu saja hasilnya pun cenderung akan membawa orang pada kemurungan dan depresi. Karena itulah, sebelum menulis, tanyalah pada diri kita sendiri: "Adakah cinta dalam hatiku?" Bila tidak, cobalah mendidik diri kita untuk menjadi pencinta: pencinta Allah, pencinta bumi, pencinta tumbuh-tumbuhan, pencinta hewan, dan tentu saja .... pencinta manusia! Tujuh hari Penciptaan itu akan dijabarkan dalam Tujuh Syarat Tulisan di bawah ini: 1. INSPIRASI Pengarang Kej membayangkan bahwa sebelum bertindak apa pun, Allah memerlukan terang. Dalam dunia tulis menulis juga demikianlah halnya. Bila orang ditanya, "Kok tidak menulis?", jawabannya, "Wah, belum dapet inspirasi apa-apa!" Apakah inspirasi itu datang begitu saja, tiba-tiba, tanpa usaha apa pun dari pihak kita? Menurut pengarang Kej tidak demikian. Bahkan Allah pun harus berusaha untuk mengadakan "terang"; Ia harus bersabda, "Jadilah terang!". Sebetulnya, menurut gambaran saya pribadi, apa

Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 1/6

BAGAIMANA MENULIS:

BELAJAR DARI KISAH PENCIPTAAN

(Martin Suhartono, SJ.)

BERAWAL DARI CINTA

Kitab Suci Ibrani diawali oleh suatu Puisi tentang Penciptaan Alam Semesta. Lho, siapa

sih yang ada bersama Allah ketika Dia mencipta, lha kok bisa-bisanya orang bercerita tentang

itu? Tapi, ya itulah Penyair, berdasarkan daya imajinasinya ia mencipta. Mari kita gunakan

skema tujuh hari penciptaan itu untuk bicara tentang dunia tulis menulis. 

Pengarang KS selalu menghayati bahwa tindakan Allah mencipta itu selalu terbit dari

rasa cinta, bukan sekedar iseng-iseng, atau semangat bereksperimen, seperti kita! Menjelang

ajalnya Musa menegur bangsa Israel yang kerap memberontak melawan Allah, "  Bukankah Ia

 Bapamu yang mencipta engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau?" (Ul 32:6b).

Cinta inilah penggerak daya mencipta. Barangsiapa dipenuhi oleh cinta dia akan menjadi

aktif dan kreatif. Tanpa cinta orang menjadi pasif dan steril. Dan bila cintalah yang menjadi

motor daya kreasi kita, bisa dipastikan bahwa hasilnya juga akan membuat kita sendiri maupun

orang lain menjadi lebih manusiawi dan bahagia. Sebaliknya bila kebencian, ambisi pribadi,

bisnis dll. yang menggerakkan daya kreasi kita, maka tak bisa tidak hasilnya pun hanya akan

mengekploitasi orang lain demi keuntungan diri sendiri. Dan akibatnya yang terjadi adalah

komersialisasi seni, pelacuran intelektual, penyelewengan sumber daya dll.

Ada yang bilang, bila orang jatuh cinta maka dia menjadi penyair, segera keluar puisi

berbaris-baris. Banyak karya seni klasik lahir dari pengalaman dicintai dan mencintai. Anda

ingat puisi-puisi naratif Dante Aliegheri? Cinta dalam aspeknya yang negatif, yaitu putus cinta,

patah hati dll. dapat pula merupakan penggerak terciptanya suatu tulisan. Tapi ya tentu saja

hasilnya pun cenderung akan membawa orang pada kemurungan dan depresi.

Karena itulah, sebelum menulis, tanyalah pada diri kita sendiri: "Adakah cinta dalam

hatiku?" Bila tidak, cobalah mendidik diri kita untuk menjadi pencinta: pencinta Allah, pencinta

bumi, pencinta tumbuh-tumbuhan, pencinta hewan, dan tentu saja .... pencinta manusia!

Tujuh hari Penciptaan itu akan dijabarkan dalam Tujuh Syarat Tulisan di bawah ini:

1. INSPIRASI

Pengarang Kej membayangkan bahwa sebelum bertindak apa pun, Allah memerlukan

terang. Dalam dunia tulis menulis juga demikianlah halnya. Bila orang ditanya, "Kok tidak 

menulis?", jawabannya, "Wah, belum dapet inspirasi apa-apa!"

Apakah inspirasi itu datang begitu saja, tiba-tiba, tanpa usaha apa pun dari pihak kita?

Menurut pengarang Kej tidak demikian. Bahkan Allah pun harus berusaha untuk mengadakan

"terang"; Ia harus bersabda, "Jadilah terang!". Sebetulnya, menurut gambaran saya pribadi, apa

Page 2: Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 2/6

Martin/Dunia/hal. 2

sih sulitnya bagi Allah menciptakan segala sesuatu hanya dengan kedipan mata-Nya, atau

bahkan hanya dengan menimbulkannya dalam pikiran-Nya? Tapi menurut Pengarang Kej, Allah

memerlukan suatu proses, suatu usaha tertentu, dalam mencipta. Nah, apalagi kita!

Coba kita belajar dari orang yang sudah berpengalaman dalam hal karang mengarang,

Mochtar Lubis, misalnya. Menurut dia, "Proses mencipta seniman, apakah dia seorang sastrawan atau

pelukis, atau dia mencipta di bidang seni yang lain, senantiasa merupakan sebuah proses penuh misteri, yang liku-

likunya tidak selalu dipahami semuanya oleh seniman sendiri. Jauh sebelum ia mendapat inspirasi untuk mencipta,

bahan-bahan berupa pengalaman, pengetahuan, informasi, rangsangan, pengertian dan ramuan lain (yang diperlukan

untuk mencipta) telah terkumpul atau dikumpulkan dalam dirinya, secara sadar atau tidak ." (Sastra dan

Tekniknya, hlm. 4). Lebih lanjut ia mengatakan, "Tapi tanpa 90 persen kerja keras ..., maka inspirasi yang

10 persen mungkin tidak akan berfungsi. Dan andaikata berfungsi, maka mungkin dia akan kerdil saja. Semakin

besar kemampuan bekerja dan berpikir keras, semakin besar daya pengamatan, semakin besar kepekaan pada

manusia dan masyarakat, semakin luas proses pemikiran, maka semakin kuat inspirasi dan daya cipta." (hlm. 67).

Dan lebih khusus lagi ia mengatakan, "Banyak orang menyangka bahwa pengarang itu mendapat

inspirasi dengan tiba-tiba, dari suatu tempat yang gaib, tiba-tiba menokok kepada pengarang, dan berkata, 'Hai,

karanglah ini!' dan sebagai cahaya lampu senter-senter maka tiba-tiba dalam kepala pengarang menjadi terang, dan

terlihatlah olehnya apa yang harus dikarangnya. ... Ini tidak benar. Inspirasi harus dicari, diselidiki dan dipelajari.

Memang acapkali juga, tiba-tiba, karena sesuatu, melihat sesuatu, mendengar satu kalimat atau perkataan, sesuatu

tergerak dalam jiwa pengarang, dan dia melihat suatu kemungkinan untuk sebuah karangan. Tetapi gerakan jiwa

oleh sesuatu itu (pandangan mata, kata-kata, dan sebagainya) timbul karena pengalaman-pengalaman, buah

penyelidikan dan pikiran pengarang sendiri dari waktu-waktu yang lalu dan tersimpan selama ini di dalam kepala

atau jiwa" (hlm. 114)

Dan nasehatnya ini amat penting bagi kita, "Janganlah mencari inspirasi dengan menutup diri

dalam kamar. Carilah inspirasi ke dunia luas, ke dalam penghidupan di sekeliling kita. Pelajarilah manusia,

pelajarilah hidup." (hlm. 114).

2. WAWASAN SASTRA

Menurut Pengarang Kej, yang kemudian yang diciptakan Allah adalah cakrawala, atau

horison. Cakrawala ini berfungsi membagi air yang di atas dan yang di bawah.

Dalam daya kreasi, adanya cakrawala ini bisa digambarkan dengan adanya suatu

wawasan. Kerapkali kita membaca sesuatu, menonton sesuatu, dan segera merasa bosan, jenuh,

tak mengerti dan berkata: " Ndak  mutu!" Ungkapan itu berasal dari penilaian kita bahwa si

seniman pencipta itu tak punya wawasan apa-apa yang bisa ditawarkan kepada pembaca atau

penontonnya. Nah, apakah wawasan kita dalam mencipta itu?

Wawasan kita tak bisa dilepaskan dari siapakah diri kita ini dalam segala aspek 

kehidupan kita: iman kita, harapan kita, cinta kita, pengetahuan kita, pengalaman kita dll.

Pendeknya wawasan kita dalam berkreasi itu amat ditentukan oleh keseluruhan diri kita ini!

Kalau diri kita ini "ndak  mutu", maka hasil karya kita pun akan "ndak  mutu"! Bila kita ingin

berkreasi, kita pun dituntut untuk senantiasa mendidik diri kita sendiri, untuk senantiasa mau

belajar dari apa pun, dari siapa pun, pendeknya, dari kehidupan. Dengan kata lain, kita musti

Page 3: Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 3/6

Martin/Dunia/hal. 3

memiliki kepekaan terhadap apa-apa yang hidup dalam dunia kita, dalam masyarakat kita, dalam

lingkungan kita, dalam diri kita sendiri.

Dengan kata lain, dalam mencipta kita harus menjadi manusia yang punya hati nurani!

Mochtar Lubis mengatakan demikian, "... wawasan sastra pengarang dipengaruhi oleh kepekaan

kemasyarakatannya, hati nurani kemasyarakatannya, hati nurani manusianya, dan kepekaannya terhadap

zamannya." (Sastra dan Tekniknya, hlm.  8). Punya tidaknya wawasan inilah yang menentukan

penerimaan publik terhadap seorang seniman. Lagi menurut beliau, "Hanya pengarang yang

mempunyai pandangan, perasaan dan pertimbangan sendiri dan telah berhasil mendapat nilai-nilai sendiri tentang

tragedi atau komedi manusia, tentang hasra-hasrat nafsu-nafsu manusia, tentang watak dan pribadi, tentang alam,

agama atau Tuhan, akan terus-menerus mendapat penghargaan dan perhatian." (hlm. 119).

3. ISITadinya bumi masih kosong melompong. Pengarang Kej menggambarkan Allah mengisi

kekosongan itu dengan menciptakan tumbuh-tumbuhan.

Kerapkali diadakan kursus-kursus, penataran-penataran, untuk mendidik orang dalam

teknik-teknik tertentu dalam hal mengarang, menulis komposisi musik, memahat, melukis dll.

Tapi apakah dihasilkan sesuatu yang berarti? Kerapkali tidak! Orang tahu teknik yang canggih,

apalagi sekarang dengan adanya komputer, tapi tak ada karya bermutu yang diciptakan. Apakah

sebabnya?

Di sini kita masuk dalam pembedaan yang diadakan antara "bentuk" dan "isi".

Sayangnya, kita sebagai bangsa itu spontan lebih terkesan oleh bentuk, oleh gaya, oleh segala

sesuatu yang "wah", yang gemerlapan, padahal kosong melompong tanpa isi. Menurut Mochtar

Lubis, "Teknik yang paling bagus tidak bisa membuat roman yang bagus, jika sekiranya tidak ada yang berharga

yang diceritakan" (hlm. 117). Keindahan itu muncul dari keseimbangan antara bentuk dan isi. Tapi

bila dihitung-hitung, menurut Lubis, "Seni yang tiada berisi pikiran dan perasaan bukan seni. Yang utama

selamanya adalah isi." (hlm. 121).

Apakah yang penting kita usahakan agar ada sesuatu isi dalam hasil karya kita? Saya kira

tak bisa tidak, kita sendiri sebagai manusia harus punya "isi" (bukan dalam arti "ilmu tenaga

dalam" lho ya!), punya bobot (bukan dalam arti perut buncit lho ya!). Menurut Lubis, pada

akhirnya, "Pengertian dan perasaan yang besar tentang penghidupan amat penting sekali bagi sebuah pribadi yang

baik, dan menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pengarang yang hendak melukiskan sesuatu yang

lebih banyak dari pengalaman dirinya sendiri." (hlm. 116).

4. KETERATURANPengarang Kej menggambarkan bahwa setelah ada terang, ada cakrawala, ada isi, Allah

memberikan suatu keteraturan dalam dimensi waktu: diciptakanlah benda-benda langit yang

menjadi tanda-tanda waktu. Lho, apakah keteraturan tak bertentangan dengan tulis menulis?

Bukankah kita sering punya gambaran bahwa seorang seniman itu serba tidak teratur?

Page 4: Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 4/6

Martin/Dunia/hal. 4

Kreativitas tidak identik dengan kekacauan. Justru daya-daya kreasi itulah yang membuat

kekacauan menjadi keteraturan, seperti Allah yang mengalahkan khaos, mbahnya kekacauan,

dan menciptakan kosmos, bunda keteraturan. Dari seonggok kata-kata yang tak menentu sang

penyair menguntai puisinya atau sang pengarang menggubah sebuah roman klasik. Tugas

seniman ini justru seperti Allah sendiri, yaitu mengalahkan khaos [kekacauan] dalam dirinya

sendiri, dalam kehidupannya, dalam masyarakatnya, dalam dunianya, dan membangun suatu

keteraturan, yaitu suatu harmoni antara bentuk dan isi yang menghasilkan suatu keindahan.

Harmoni ini terjadi juga dalam rangka waktu. Suatu karya seni yang indah merupakan

kristalisasi dari waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Bila terkungkung hanya dalam

waktu lampau, suatu karya seni hanya mengembangkan romantisme dan nostalgia. Terjebak 

dalam waktu sekarang, suatu karya seni akan jatuh dalam pragmatisme, atau malahan

komersialisasi. Terjerumus dalam masa lampau, suatu karya seni hanya berwujud ilusi, utopia

dan fatamorgana. Karya seni yang indah mengandung di dalamnya ketiga dimensi waktu

manusia itu, atau lebih tepat lagi, mengandung di dalamnya yang fana dan yang abadi sekaligus.

Lho, apakah keteraturan tak menimbulkan kebekuan?

5. DINAMIS

Setelah ada terang, cakrawala, isi, keteraturan, Pengarang Kej melihat semuanya itu

masih statis dan beku, itu itu saja dari waktu ke waktu. Ia akhirnya melihat bahwa diperlukan

suatu gerak, suatu dinamika, dalam kehidupan. Tumbuh-tumbuhan memang hidup, tapi mereka

terikat pada tempat. Maka digambarkan, Allah menciptakan ikan-ikan yang berkeriapan di laut

dan burung-burung yang beterbangan di langit.

Begitu juga dalam tulis menulis, membuat keteraturan dari kekacauan saja tak cukup.

Bahayanya, orang menjadi beku, statis, dan mandeg. Selain keteraturan diperlukan juga gerak,

suatu dinamika kehidupan. Maka meski teknik-teknik mengarang, melukis, bermain musik perlu

dipelajari, pada akhirnya seseorang yang sudah ahli mengarang, melukis dll. tak perduli lagi

pada teknik-teknik itu lagi.

Tapi tak berarti bahwa teknik itu tak diperlukan lagi. Teknik itu sudah begitu menyatu

dengan dirinya, sehingga ia tak perduli lagi. Ada yang bilang, waktu mulai belajar main piano,

orangnya dikuasai oleh piano, tapi kemudian lama kelamaan orangnyalah yang menguasai piano.

Dan pada akhirnya, ketika seseorang menjadi ahli bermain piano, antara dirinya dan piano itu

sudah terjalin suatu persatuan dan kerjasama yang erat sekali, sehingga tak ada lagi yang

dikuasai atau menguasai, segalanya menyatu dan menghasilkan suatu musik yang indah

didengarkan.

Mochtar Lubis menggambarkan keadaan itu demikian, "Keindahan tak lain dari keseimbangan

antara bangun dan isi. Bangun tak perlu beku, menurut skema dan konsepsi yang dirancangkan seperti peta lebih

dahulu. Bangun boleh hidup, dinamis menurut isi hidup, ditentukan oleh isi yang hidup. Bagaimana rupa bangun

yang baik itu tak dapat ditentukan oleh isi yang hidup. Bagaimana rupa bangun yang baik itu tak dapat ditentukan

Page 5: Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 5/6

Martin/Dunia/hal. 5

atau dikelaskan oleh buku pelajaran kesusasteraan mana pun juga. Ia tergantung pada si pengarang dan bahannya ."

(hlm. 121)

6. KEMANUSIAAN

Akhirnya setelah ada terang, cakrawala, isi, keteraturan, gerak, tetap saja ada yang

kurang bagi Allah, yaitu manusia. Apakah gunanya semua hasil karya kita itu pada akhirnya

kalau kita justru kehilangan diri kita? Ini tentu mengingatkan kita akan peringatan Yesus, " Apa

gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang

dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Mat 16:26). Manusia sebagaimana digambarkan

oleh Pengarang Kej bukanlah sembarang manusia, melainkan dia yang diciptakan seturut

"gambar dan rupa" Allah sendiri. Manakah "gambar dan rupa" Allah ini?

Ada banyak tafsiran terhadap ungkapan "citra Allah", tapi tafsiran umum adalah nilai-

nilai luhur kemanusiaan, seperti kehendak (yang berhubungan erat dengan kebebasan) dan daya

pikir (yang berhubungan erat dengan kebenaran). Dua nilai ini, yaitu kebebasan dan kebenaran,

amat penting dalam mencipta.

Menurut M. Lubis, "Setiap kali seorang seniman mencipta, dia seharusnya mencipta dalam kebebasan

manusianya. Perbuatan mencipta itu sendiri harus menjadi ekspresi kebebasannya sebagai manusia" (hlm. 16).

Lagi, "Pengarang harus mampu mempergunakan bakat dan kepekaan artistiknya, dan kemampuannya untuk 

menemui kebenaran yang telah diselimuti oleh propaganda dan kebohongan, dan untuk mengekspresikan dalam

karya ciptanya pengalaman kehidupan manusia sepenuh-penuhnya, baik pengalaman di dalam dunia fisikal ini

maupun dalam dunia batin, perasaan, dan pikiran manusia." (hlm. 33).

Kemampuan untuk menemukan kebenaran inilah yang paling utama bagi seorang

pengarang, "Untuk dapat mencapai hasil sebaik mungkin, dia harus menajamkan kepekaannya terhadap

ketidakadilan dalam semua bentuknya. Dia patut memperkuat belas kasih manusiawinya sebesar mungkin. Dia patut

membuat dirinya menguasai bahasa yang dipergunakannya sebaik mungkin. Dan paling utama adalah dia harus

dapat sampai mencapai kebenaran, karena tiap kali seorang sastrawan berhasil menanggapi kebenarannya, maka dia

 juga telah berhasil menggapai keindahan." (hlm. 34-35).Dengan mewujudkan kedua nilai itulah manusia sungguh-sungguh menjadi manusia

sebagaimana direncanakan oleh Allah. Kita simak lagi M. Lubis, "Kreativitas adalah suatu tindakan

atau perbuatan kebebasan. .... Bagi saya sebagai seorang pengarang, kreativitas adalah jawaban (respons) saya pada

segala apa yang terjadi dalam lingkungan hidup saya, pada segala apa yang ada di alam semesta ini, pada segala

pengamatan saya yang terjadi dalam makrokosmos dan mikrokomos, jagat raya dan jagat cilik, pada semua yang

saya rekam dengan pikiran dan perasaan saya, proses-proses merasa dan berpikir yang didorong baik oleh intuisi,

rasa dan pikiran saya dalam berbagai bentuknya: wangi dan bau-bauan, suara dan bunyi, warna, bentuk, rohani dan

 jasmani, keterlibatan saya dan keterlibatan orang lain, gemerlapan kilau sinar matahari di riak air, kegusaran dansedu sedan, hangat mesra-kasih -semua ini mendorong saya menulis, sambutan saya pada tantangan agar manusia di

mana saja, sungguh menjadi manusia yang manusiawi. Itulah tujuan proses kreativitas seni, termasuk sastra,

memanusiawikan manusia!" (hlm. 67).

Page 6: Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

8/14/2019 Bagaimana Mengarang: Belajar dari Kisah Penciptaan

http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-mengarang-belajar-dari-kisah-penciptaan 6/6

Martin/Dunia/hal. 6

Dan berhadapan dengan nilai-nilai kebebasan dan kebenaran, mau tak mau seniman

ditantang untuk berani jujur terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, terhadap dunia, terhadap

Allah sendiri. Kejujuran ini kadang membawa resiko terbesar, yaitu kematian.

Setelah bicara tentang kreativitas, Mochtar Lubis (bicara dari pengalaman pribadinya)

menambahkan bahwa diperlukan juga keberanian: "...kita harus menambahnya lagi dengan keberanian

mengekspresikan kreativitas itu. ... kalau dia takut dicela, dikucilkan, malahan dipenjara akibat ekpresi

kreativitasnya, dan lalu menahan diri untuk tidak mengekspresikannya, maka dia tidak ikut menyumbang pada

terobosan-terobosan kreativitas yang diperlukan bangsa kita untuk merebut hari depan yang lebih baik ." (hlm.

64). Dan ini membawa kita pada point terakhir.

7. YANG TRANSENDENS

Mochtar Lubis sebagaimana saya kutip di atas mengatakan bahwa tujuan proses

kreativitas seni adalah memanusiakan manusia. Ini sah-sah saja. Tapi menurut visi Pengarang

Kej. hal itu tidak mencukupi. Bagi dia, manusia tidak pernah menjadi tujuan dirinya sendiri.

Seluruh kisah KS hendak mengajarkan bahwa selama manusia menjadikan dirinya sendiri

sebagai tujuan, maka dia tak akan pernah sempurna, melainkan jatuh dari kesengsaraan ke

kesengsaraan. Tujuan itu mengatasi diri manusia sendiri, yaitu hanya akan tercapai dalam diri

Dia yang telah menciptakan manusia itu sendiri.

Setelah manusia diciptakan, dalam hari ketujuh Pengarang Kej menggambarkan

bagaimana Allah kembali sendirian dengan diri-Nya sendiri. Tapi ini bukan kesendirian yang

mandul, melainkan kesendirian yang menyediakan diri-Nya sendiri sebagai berkat bagi segala

sesuatu. Kematian sebagai resiko terakhir yang dihadapi oleh seniman yang mau jujur sampai

akhir terhadap nilai-nilai kebebasan dan kebenaran bukanlah kematian konyol tanpa makna.

Dalam terang iman, kematian ini bukanlah titik akhir, melainkan titik awal menuju kebangkitan

di dalam Allah. Kematian ini bagaikan kematian sebutir gandum yang jatuh ke tanah dan

menghasilkan buah berlipat ganda (Yoh 12:24).

[ceramah pada mahasiwa/i Fakultas Ilmu Pendidikan Agama,

Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta, 19 November 1997]