Upload
lamlien
View
243
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 614 ] P a g e
BAGIAN 5. PROFESIONALISME GURU
PERUBAHAN KURIKULUM DAN PROFESIONALISME GURU DI ERA MEA 2014
Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto NugrohoFKIP UNS Surakarta
AbstrakMenghadapi persaingan pasar bebas ASEAN, kesiapan bukan lagi hal yang harusdipertanyakan karena siap tidak siap Indonesia harus menghadapi hal tersebut.Namun dalam realitasnya masih banyak berbagai sektor yang mesti dibenahioleh pemerintah Indonesia menghadapi persaingan tingkat ASEAN ini, terutamasektor pendidikan. Untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015,dunia pendidikan harus membuat terobosan meningkatkan kualitas pendidikan,sehingga mampu mencetak tenaga-tenaga profesional. Profesionalisme tenagapendidik merupakan keharusan yang perlu ditingkatkan. Kreativitas menjadisalah satu sarana mewujudkan sebagai sosok guru profesional. Karena itu,pelatihan pendidikan serta peningkatan penguasaan keilmuan dan teknologi bagiguru tetap harus terus dilakukan. Apalagi, di era globalisasi, tantangan pendidikmenjadi tidak ringan. Setiap perubahan kurikulum selalu menjadi harapan besarbagi seluruh masyarakat Indonesia akan adanya perubahan dalam duniapendidikan terutama untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata Kunci: Kurikulum, Profesionalisme, MEA 2015
PENDAHULUAN
Faktor utama pendidikan yang berkualitas terletak pada faktor guru, bukan
semata ditentukan oleh kurikulumnya. Karena proses interaksi antara guru dan peserta
akan menentukan efektif dan efisiennya tujuan pembelajaran. Sedangkan kurikulum
adalah alat untuk menjalin hubungan yang bertujuan untuk menjadikan sistem
pendidikan lebih sistematis dan dapat dikerjakan secara terstruktur dan merata.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas
belajar mengajar.
Kurikulum dipandang sebagai program pendidikan yang direncanakan dan
dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Apabila masyarakat dinamis,
kebutuhan anak didik pun akan dinamis sehingga tidak tersaing dalam masyarakat,
karena memang masyarakat berubah berdasarkan kebutuhan itu sendiri. Tak heran jika di
Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak tujuh kali, mulai 1968 sampai 2013 (Tempo,
2014). Berikut ini adalah ringkasan perubahan kurikulum yang ada di Indonesia.
Kurikulum 1968
Sifat: perubahan dari program Pancawardhana (Kurikulum 1964) yang
menitikberatkan pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keperigelan, dan
jasmani. Sedangkan Kurikulum 1968 menitikberatkan pembinaan jiwa Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Pengganti kurikulum Orde Lama ini lebih
Perubahan Kurikulum dan… (Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho)
P a g e [ 615 ]
menekankan kelompok pembinaan Pancasila. Pelajaran inti: pelajaran ilmu hayat dam
ilmu alam, digabung menjadi ilmu pengetahuan alam (IPA)
Kurikulum 1975
Sifat: berorientasi pada tujuan. Tujuan pendidikan nasional, institusional,
kurikuler, instruksional umum, dan instruksional khusus. Perbedaan dengan kurikulum
sebelumnya adalah memberikan penilaian pada akhir semester atau akhir tahun saja.
Pelajaran inti: agama, pendidikan moral Pancasila, bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan
sosial (IPS), matematika, IPA, olahraga dan kesehatan, kesenian, serta keterampilan
khusus. Ciri Kurikulum 1975 adalah dimulainya penjurusan di SMA, yaitu IPA, IPS, dan
bahasa.
Kurikulum 1984
Sifat: berorientasi pada tujuan instruksional. Pelajaran inti: agama, pendidikan
moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, bahasa dan kesusasteraan
Indonesia, geografi Indonesia, geografi dunia, ekonomi, kimia, fisika, biologi, matematika,
bahasa Inggris, kesenian, keterampilan, pendidikan jasmani dan olahraga, serta sejarah
dunia dan nasional. Alasan pergantian kurikulum kali ini adalah memenuhi tuntutan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat. Selain itu, pendekatan berpusat
pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). Tujuan pengadaan program studi
baru (seperti di SMA) adalah memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.
Perubahan penjurusan dengan istilah program A dan B mulai SMA.
Program A: A1 adalah fisika. A2 untuk pelajaran biologi. A3 untuk pelajaran
ekonomi. A4 lebih penekanan bahasa dan budaya. Program B: Lebih menekankan
keterampilan kejuruan.
Kurikulum 1994
Sifat: diterapkannya sistem caturwulan dan bersifat populis. Dengan sifat populis,
masing-masing daerah dapat mengembangkan pelajarannya sendiri yang disesuaikan
dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan dalam tataran jawaban dari
murid, guru memberikan soal yang jawabannya dimungkinkan lebih dari satu jawaban.
Kurikulum 2004
Sifat: sentralis pendidikan. Bersifat sentralis karena kurikulum ini disusun oleh
tim pusat. Kurikulum 2004 lebih dikenal dengan Kurikulum Penguasaan Materi Hasil dan
Kompetensi (KBK). KBK tidak mempersoalkan proses belajar, tapi mementingkan peserta
didik mencapai kompetensi yang diharapkan. Jumlah jam pelajaran 32-40 jam per
minggu, tapi jumlah mata pelajaran belum bisa dikurangi. Sedangkan Kurikulum 2004
harus mencakup muatan lokal; kegiatan pengembangan diri; pengaturan beban belajar;
kenaikan kelas, penjurusan, dan kelulusan; pendidikan kecakapan hidup; serta
pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
Kurikulum 2006
Sifat: desentralisme pendidikan. Pada kurikulum ini, guru daerah dapat
mengembangkan kerangka dasar yang disusun oleh tim pusat. Tujuan utama Kurikulum
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 616 ] P a g e
2006 adalah agar peserta didik berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, serta
kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum 2013
Sifat: pendidikan berbasis karakter. Kurikulum 2013 mengutamakan pemahaman,
keterampilan, dan siswa dituntut memahami materi, aktif berdiskusi dan presentasi,
serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi. Dalam Kurikulum 2013 terdapat mata
pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan sesuai dengan keinginan peserta didik.
Walaupun sudah berganti-ganti kurikulum, namun peringkat kualitas pendidikan
Indonesia di mata dunia masih rendah. Berdasarkan data The Learning Curve Pearson
2014, sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, memaparkan bahwa Indonesia
menempati posisi ke-40 dengan indeks ranking dan nilai secara keseluruhan yakni minus
1,84. Posisi Indonesia ini menjadikan yang terburuk di mana Meksiko, Brasil, Argentina,
Kolombia, dan Thailand, menjadi lima negara dengan ranking terbawah yang berada di
atas Indonesia. Pendidikan merupakan aspek penting yang bisa menghasilkan SDM yang
berkualitas dan berdaya saing tinggi. Saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia berada pada peringkat ke-121 dari 187 negara. Kita berada jauh di bawah
negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 18), Malaysia (peringkat 64),
Thailand (peringkat 103), dan Filipina (peringkat 114). Oleh sebab itu peningkatan
kualitas SDM untuk bersaing dalam menghadapi MEA harus dimulai dari proses
pendidikan. Kemampuan pengetahuan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah
dibanding Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand
Kemajuan suatu negara ditentukan oleh bagaimana pendidikan tersebut
dilaksanakan. Pada pendidikan tingkat dasar dan menengah guru sebagai komponen
penting dalam pendidikan yang berperan sebagai pengajar dan pendidik bagi siswa. Oleh
sebab itu, seorang guru mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai
kemajuan pendidikan bangsa. Guru dengan profesionalitas tinggi dan mau berdedikasi
terhadap pendidikan, maka akan menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan
mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas juga.
Peningkatan kualitas pendidikan salah satunya dicapai melalui peningkatan
profesionalisme pendidik yang dibuktikan dengan sertifikasi. Profesionalisme guru tidak
sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen namun lebih merupakan sikap dan
pengembangan profesionalisme pada keterampilan yang tinggi dengan tingkah laku
sesuai dengan yang disyaratkan. Guru profesional hendaknya menjadi guru yang
memiliki kemampuan dan keterampilan yang dapat menciptakan hasil pembelajaran
secara optimal. Selanjutnya memiliki kepekaan dalam membaca tanda-tanda zaman,
serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas
dengan ilmu yang ada pada dirinya. Menurut Isjoni (2006) bahwa guru masa depan yang
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas. Program kerja
tersebut tidak hanya berupa program rutin, akan tetapi guru harus merencanakan
Perubahan Kurikulum dan… (Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho)
P a g e [ 617 ]
bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal dan tentunya apa
dan bagaimana rencana yang dilakukan dan sudah terprogram secara baik
2. Innovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan yang
berkenaan dengan pola pembelajaran termasuk di dalamnya metode mengajar,
media pembelajaran, sistem dan alat evaluasi. Secara individu maupun bersama-
sama mampu untuk mengubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil
maksimal. Dengan mengubah pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada
hasil yang lebih maksimal
3. Motivator, artinya guru mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar dan
tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didiknya untuk belajar dan
terus belajar
4. Capable, artinya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan
keterampilan dan sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola
proses pembelajaran secara efektif
5. Developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan dan menularkan
kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang.
Guru juga menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan
mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru
adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam
proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang
profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki. Selain itu juga rasa tanggung jawab
menunjukkan professional dalam melakukan sesuatu. Seorang guru yang mengajar harus
merasa bertanggung jawab atas materi yang disampaikannya kepada siswa sesuai
dengan kurikulum, tepat waktu masuk dan keluar kelas, meningkatkan kompetensi,
kecakapan, keterampilan siswa dan menilai hasil belajar siswanya. Sehingga seorang
guru perlu kesiapan sebelum dan sewaktu masuk kelas dengan pengetahuan,
ketrampilan yang akan diajarkannya. Tanggung jawab di sini bukanlah hanya memberi
materi saja, akan tetapi bertanggungjawab mengkodisikan belajar yang mudah dipahami
siswa dengan Susana yang harmonis, tenang dan menyenangkan. Untuk itu seperti yang
diungkapkan oleh Gagne dan Briggs (1979) yang dikutip oleh Martinis Yamin (2006),
bahwa seorang guru sebaiknya:
1. Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa
2. Menjelaskan indicator/tujuan instruksional yang harus dicapai
3. Mengingatkan kompetensi prasyarat
4. Memberikan stimulus dari suatu masalah, topik atau konsep materi
5. Memberikan petunjuk belajar yang mudah dipahami
6. Memunculkan penampilan, kompetensi dan keterampilan siswa
7. Memberikan umpan balik
8. Menyimpulkan materi yang telah disampaikan kepada siswa.
Ada beberapa aspek yang menentukan keberhasilan guru dalam proses belajar
mengajar, menurut Lukmanul Hakim “Tiga aspek yang mempengaruhi keberhasilan guru
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 618 ] P a g e
dalam proses belajar mengajar yaitu: kepribadian, pandangan terhadap anak didik dan
latar belakang guru”. (Hakim, 2010: 91), yaitu:
1. Kepribadian
Hal ini akan mempengaruhi pola kepemimpinan yang guru perlihatkan ketika
melaksanakan tugas di dalam kelas.
2. Pandangan terhadap anak didik
Proses belajar dari guru yang memandang anak didik sebagai mahluk individual
dengan yang memiliki pandangan anak didik sebagai mahluk sosial akan berbeda.
Karena prosesnya berbeda, hasil proses belajarnya pun akan berbeda.
3. Latar belakang guru
Guru pemula dengan latar belakang pendidikan keguruan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, karena ia sudah dibekali dengan
seperangkat teori sebagai pendukung pengabdiannya. Tingkat kesulitan yang
ditemukan guru semakin berkurang pada aspek tertentu seiring dengan
bertambahnya pengalamannya.
Oleh sebab itu guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan
tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode
pembelajaran. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang
diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara
khusus. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk
sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang (dalam hal ini pemerintah
dan organisasi profesi). Profesionalisme guru juga akan menentukan peran pendidikan
secara strategis dalam kemitraan global serta dapat memutus lingkaran setan dalam
pengentasan kemiskinan.
Pada tingkat pendidikan tinggi seorang dosen juga merupakan tenaga profesional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi.
Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oleh dosen yaitu
pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tiga macam kegiatan tersebut
secara hirarki melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya (Riva. 2009).
Untuk itu dosen mempunyai peran yang multi fungsi, yaitu sebagai fasilitator, motivator,
informator, komunikator, transformator, inovator, konselor, evaluator dan administrator,
(Syamsudin, 2003 dalam Akhmad Sudrajat, 2008).
Para guru di era MEA 2015, mau tidak mau harus siap bersaing dengan tenaga
pengajar dari luar Indonesia. Karena melalui pasar bebas, tenaga kerja dari luar akan
bebas mencari tempat kerja antar lintas negara, termasuk menjadi pengajar di Indonesia.
Oleh karena itu, guru di Indonesia harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan
kualitasnya sebagai pendidik yang profesional agar siap menghadapi persaingan di
antara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia sebagai negara yang hampir sepertiga
penduduknya berusia di bawah 15 tahun, sudah seharusnya melakukan investasi yang
Perubahan Kurikulum dan… (Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho)
P a g e [ 619 ]
lebih dan memberdayakan sumber daya generasi muda guna mempertahankan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial masa depan.
Salah satu bentuk investasi yang dapat dilakukan adalah dengan membekali
generasi muda dengan pendidikan berkualitas tinggi yang relevan. Sumber daya manusia
yang berpendidikan serta memiliki keahlian yang memadai merupakan hal krusial untuk
ekonomi berbasis inovasi. Ditambah lagi, dalam waktu dekat Indonesia akan memasuki
zona persaingan bebas, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Oleh sebab itu sistem
pendidikan yang tepat dan berkualitas dapat menjadikan generasi muda Indonesia siap
menghadapi segala bentuk persaingan global, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
MEA 2015 merupakan suatu konsep pembentukan pasar tunggal yang bertujuan
mewujudkan suatu area perekonomian yang kompetitif, suatu kawasan dengan
pembangunan ekonomi yang mampu terintegrasi secara penuh dengan perekonomian
global. Hal ini berarti membuka peluang sekaligus tantangan bagi tenaga kerja Indonesia
yang terdidik untuk berkesempatan bekerja di negara-negara anggota ASEAN.
Sebenarnya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) tidak hanya berbicara mengenai
persaingan di bidang ekonomi, melainkan di bidang pendidikan sebagai sektor yang akan
memproduksi Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Pendidikan memainkan peran
penting dan menjadi program prioritas di sepuluh negara anggota ASEAN. Pemimpin
ASEAN pada tahun 2003 telah sepakat untuk membentuk ASEAN Community pada tahun
2015 yang akan didukung oleh tiga pilar, yaitu pilar politik dan keamanan, pilar
ekonomi dan pilar sosial budaya, sebagaimana ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020.
ASEAN bertekad untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk kepentingan
generasi sekarang melalui kerjasama yang lebih erat di bidang pendidikan.
Pendidikan merupakan inti dari proses pembangunan ASEAN, menciptakan
masyarakat berbasis pengetahuan sehingga dapat berkontribusi terhadap peningkatan
daya saing ASEAN dalam membangun kehidupan masyarakat yang produktif dan kohesif.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu kerjasama yang erat, melengkapi kualitas
pengajaran, pembelajaran dan penelitian kelas dunia. Semua ini menuntut sistem
pendidikan dan pelatihan yang responsif terhadap tuntutan warga dan ekonomi.
Keikutsertaan Indonesia dalam program perdagangan di ASEAN dengan tujuan yang
luhur untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, namun harus dibarengi
dengan upaya kerja keras untuk perbaikan dan peningkatan kemampuan Pengetahuan
(Knowledge), keterampilan (Skill) dan tata laku (attitude) secara personil maupun
kelembagaan secara simultan, terintegrasi dan konsisten, pada semua tingkatan, dari
semua.
DISKUSI
Di Indonesia, kurikulum disusun dan berlaku secara Nasional untuk semua
sekolah pada jenjang yang sama. Ini dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita Nasional
Bangsa Indonesia. Setiap kurikulum selalu berisikan sesuatu yang dicita-citakan dalam
bidang pendidikan artinya hasil belajar yang diinginkan agar dimiliki oleh anak didik.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 620 ] P a g e
Untuk mewujudkan cita-cita yang terdapat dalam kurikulum, para gurulah yang
memegang peranan sentral dalam pelaksanaan kurikulum tersebut. Antara kurikulum
dan tenaga pendidik akan saling berhubungan satu sama lain. Kurikulum tentunya
merupakan awal atau rancangan bagaimana pendidikan nantinya akan dijalankan.
Kesesuaian kurikulum dalam instansi pendidikan akan mempermudah seorang guru
dalam menentukan model dan metode mengajarnya serta mempermudah dalam
menyiapkan dan menyampaikan materi pembelajaran nantinya. Dengan adanya
kesesuaian kurikulum, model dan metode mengajar yang disesuaikan oleh guru
diharapkan kualitas pendidikan juga akan meningkat. Hal ini mungkin terjadi karena
sejak dari awal telah ditetapkan bagaimana rancangan pendidikan nantinya dijalankan
dengan perencanaan kurikulum yang baik dan relevan. Seorang guru merupakan salah
satu komponen pendidikan yang berperan dalam kegiatan belajar mengajar. Guru yang
profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang
keguruan sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan
kemampuan maksimal. Untuk itu sebagai tenaga yang profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan bimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan
sekaligus digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pada
berbagai jenis dan tingkat sekolah. Kurikulum haruslah dinamis dan terus berkembang
untuk menyesuaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada masyarakat dunia dan
haruslah menetapkan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan pengajaran serta cara
penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
belajar mengajar di perguruan tinggi. Jadi kurikulum menjadi inti dalam menggapai
kompetensi lulusan.
Di era MEA, kurikulum sebaiknya tidak lagi berorientasi pada kurikulum
perguruan tinggi sendiri, melainkan harus dibuat dengan melihat lingkup ASEAN. Karena
lulusan Indonesia tidak hanya akan bersaing dengan lulusan dari Indonesia, melainkan
dengan lulusan di tingkat regional ASEAN. Untuk itu, standar pendidikan perguruan
tinggi di Indonesia harus mampu bersaing di tingkat regional. Persaingan bukan lagi
hanya di kancah nasional, tapi juga regional dan internasional. Memang sebagai bagian
dari masyarakat global tentu Indonesia harus siap berkompetisi di bidang pendidikan.
Lebih-lebih kita sudah terikat dengan berbagai kesepakatan-kesepakatan global.
Harapan ke depan bahwa Indonesia mampu menghasilkan tenaga kerja yang
terampil dan memiliki kompetensi pada bidang. Kompetensi merupakan akumulasi
kemampuan seseorang dalam melakukan suatu deskripsi kerja secara terukur melalui
asesmen yang terukur, mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab individu pada
bidang kerjanya. Kompetensi ini menciptakan profesional dan skills labors terlebih
memasuki persaingan kompetitif saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) digulirkan
mulai tahun 2015
Perubahan Kurikulum dan… (Mintasih Indriayu, Dewi Kusumawardani, Harini & Jonet Ariyanto Nugroho)
P a g e [ 621 ]
SIMPULAN
Profesionalisme guru. UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah
memberikan landasan kuantitatif bagi peningkatan mutu guru, yaitu kualifikasi
akademik, sertifikat pendidik, dan empat kompetensi: pedagogis, profesional, sosial, dan
kepribadian. Kompetensi pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran dengan
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya. Peningkatan profesionalisme guru seyogyanya ditandai
berbagai aktivitas pembaruan metode dan kinerja guru.
Kurikulum merupakan alat mencapai suatu tujuan dan membutuhkan keandalan
penggunanya. Dalam perspektif kepentingan bangsa dan negara, kurikulum ini akan
berfungsi dan berperan baik jika para pelaku dan pemerhati punya kejelasan tujuan dan
visi bersama, peta jalan yang benar, serta keandalan dalam pemanfaatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Lukmanul (2010) Perencanaan Pembelajaran, Bandung: CV Wacana Prima
Isjoni (2006) Gurukah Yang Dipersalahkan? Menakar Posisi Guru Di tengah DuniaPendidikan Kita. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riva, Dede M (2009) Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru http://beta.pikiran-rakyat.com. Diunduh tanggal 15 Februari
Sudrajat, Akhmad (2008). Artikel. Peran Guru Dalam Pendidikan. http://www.Akhmadsudrajat.wordpress.com/ Blog Pendidikan 6 Maret 2014
Tempo (2014) Sejak Orde Baru, Indonesia 7 Kali Ganti Kurikulum. Selasa, 19 Agustus 2014
Yamin, Martinis (2006). Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia. Jakarta: Gaung PersadaPress
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 622 ] P a g e
PERSPEKTIF PENDIDIK EKONOMI DALAM KURIKULUM 2013 DAN ERA MEA
Ady SoejotoFakultas Ekonomi UNESA
AbstrakPendidik ekonomi sebagai key’s person merupakan input instrumental dalammentransformasi input menjadi outcome pendidikan. Dalam menghadapikurikulum 2013 dan MEA maka perlu diterapkannya indikator perspektif bagipendidik ekonomi yaitu memiliki dan mengembangkan kompetensi sikap,pengetahuan, dan keterampilan peserta didik dalam disiplin ilmu ekonomi;menguasai ilmu ekonomi dalam spektrum mendalam dan luas; mendiagnosismateri pembelajaran ekonomi; mendiagnosis penilaian pembelajaran;menggunakan kolaborasi model pembelajaran; menguasai dan menggunakanteknologi informasi; dan memiliki dinamika kehidupan.
Kata Kunci: Pendidik Ekonomi, indikator perspektif
PENDAHULUAN
Pendidik merupakan instrumental input yang memainkan peranan penting dalam
pelaksanaan proses transformasi input menjadi outcome pendidikan. Dalam proses
transformasi pendidikan, pendidik merupakan key’s person yang terutama perlu
diperhitungkan dalam dunia industri pendidikan.
Pendidik dapat bertindak aktif dan pasif dalam proses transformasi pendidikan
tergantung model pembelajaran yang dipergunakannya. Aktif, ketika pendidik
menjelaskan dan menanyakan pada siswa. Aktif, jikalau pendidik tidak memberi
kesempatan berinteraksi antar peserta didik dan peserta didik nasibnya tergantung pada
pola yang dianut pendidik di kelas. Pasif, dalam arti menumbuhkan respons dan
kreativitas peserta didik dalam proses transformasi pendidikan. Pendidik bertindak
sebagai inisiator, fasilitator dan motivator dalam proses transformasi pendidikan.
Proses transformasi input menjadi outcome pendidikan yang berlangsung pada
tingkat satuan pendidikan bersifat otonom. Walaupun otonom, satuan pendidikan
diselimuti oleh banyak faktor baik faktor makro maupun mikro sehingga mempengaruhi
bekerjanya proses transformasi. Dan salah satu elemen yang perlu diperhitungkan adalah
urgensi pendidik ekonomi yang kapabel.
PEMBAHASAN
Faktor yang mempengaruhi
Dalam proses transformasi pendidikan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
di antaranya kebijakan pemerintah, sekolah, keluarga dan proses. Kebijakan pemerintah
merupakan dasar pijakan bagi berlangsungnya pendidikan dari pendidikan pra sekolah,
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi. Pemerintah memberikan
dukungan dalam bentuk software dan hardware. Software pendidikan seperti peraturan
pendidikan, kurikulum, sertifikasi pendidik, sertifikasi sekolah. Dan hardware pendidikan
Perspektif Pendidik Ekonomi… (Ady Soejoto )
P a g e [ 623 ]
seperti gaji dan tunjangan profesi, pengeluaran pendidikan untuk membangun
infrastruktur pendidikan, pengembangan sarana belajar, subsidi baik untuk sekolah
maupun untuk anak didik.
Di samping kebijakan pemerintah, faktor sekolah sebagai satuan pendidikan juga
mempengaruhi proses transformasi pendidikan. Sekolah merupakan pabrik dunia
industri pendidikan. Faktor yang perlu dipertimbangkan dan mungkin terjadi
berhubungan dengan prospektif peserta didik, kepemimpinan yang efektif, administrasi
dan organisasi sekolah, organisasi kurikulum, otonomi sekolah, insentif dan reward,
disiplin, sikap positif pendidik, dan tenaga pendidik yang kapabel.
Keluarga dan masyarakat memiliki kontribusi keberhasilan proses transformasi
pendidikan. Struktur sosial ekonomi, struktur keluarga dan sumber baik material dan
non material dari keluarga juga ikut mempengaruhi. Struktur sosial ekonomi masyarakat
heterogen dari kalangan pendapatan tinggi, menengah dan rendah bahkan berada di
bawah garis kemiskinan. Karena itu dukungan material untuk biaya pendidikan anak
didik tidak akan sama. Perbedaan itu akan didukung oleh status anak didik dalam suatu
keluarga, seperti harapan orang tua, gender, urutan anak, status orang tua, lingkungan
keluarga dalam arti luas mungkin akan mempengaruhi proses transformasi pendidikan.
Proses pembelajaran, merupakan proses belajar yang berlangsung di kelas dan di
luar kelas secara langsung menentukan outcome pendidikan. Proses pembelajaran
merupakan proses alih pengetahuan, sikap dan keterampilan dari sumber belajar kepada
anak didik. Sumber belajar dalam proses pembelajaran di antaranya pendidik, media
informasi, buku referensi, buku ajar, laboratorium, perpustakaan, pusat dokumentasi,
institusi terkait dengan pendidikan, dan bahkan lingkungan. Ada dua komponen dalam
proses pembelajaran yaitu pembelajaran efektif dan penilaian efektif. Proses
pembelajaran merupakan kegiatan pembelajaran pendidik dan pembelajar dalam suatu
satuan pendidikan, meliputi kegiatan mendiagnosis materi, waktu pembelajaran materi,
lamanya pembelajaran, jumlah waktu yang disediakan, strategi pembelajaran, pekerjaan
rumah, penilaian efektif meliputi teratur, kontinyu dan diagnose.
Indikator perspektif pendidik ekonomi
Untuk mencapai pembelajaran efektif, pendidik ekonomi memainkan peranan
penting sebagai salah satu sumber belajar yang diharapkan oleh anak didik. Pendidik
ekonomi bukanlah satu-satunya sumber belajar. Sumber belajar lainnya adalah buku
referensi, buku ajar pegangan siswa, media informasi, perpustakaan, laboratorium, dan
pusat dokumentasi serta institusi terkait di mana terdapat sumber belajar.
Pendidik ekonomi yang dapat menjalankan fungsinya dalam mengelola
pembelajaran ekonomi tentunya merupakan pendidik ekonomi yang kapabel. Ada
beberapa indikator perspektif bagi pendidik ekonomi untuk melaksanakan kurikulum
2013, di antaranya:
1. Memiliki dan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan
kompetensi keterampilan peserta didik dalam disiplin ilmu ekonomi.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 624 ] P a g e
2. Menguasai ilmu ekonomi dalam spektrum mendalam dan luas.
Penguasaan ilmu ekonomi dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Fokus
pembahasan pada ekonomi deskriptif, teori dan terapan. Wawasan kajian pada
ekonomi nasional, regional, internasional serta mengangkat masalah ekonomi lokal.
3. Mendiagnosis materi pembelajaran ekonomi.
Melakukan diagnose materi pebelajaran ekonomi amatlah penting. Melalui diagnose
materi pembelajaran pendidik dapat memaparkan fakta dan data ekonomi,
menentukan konsep apa saja yang akan diajarkan pendidik pada anak didik serta
teori ekonomi. Konsep merupakan variabel mediator antara faktadan teori.
Berangkat dari konsep dikembangkan teori yang mendasarinya sesuai dengan
substansi keilmuan.Untuk itu pendidik ekonomi bertindak sebagai insan yang
produktif, inovatif, kreatif dan afektif melalui penguatansikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang terintegrasi.
4. Mendiagnosis penilaian pembelajaran.
Kegiatan mendiagnosis penilaian pembelajaran tidak dipisahkan dengan
pembelajaran yang telah berlangsung. Pembelajaran yang dilakukan secara teratur
dan kontinyu mengandung konotasi sesuaikah dengan tingkat penguasaan siswa.
Setiap item penilaian yang diagnose oleh pendidik hendaknya berkorelasi secara
signifikan dengan diagnose materi pelajaran. Proses penilaian melekat pada setiap
materi yang dirancang oleh pendidik di kelas. Untuk mengetahui tingkat pemahaman
peserta didik sebaiknya penilaian diberikan pada setiap satuan pembahasan
hubungan antara beberapa konsep dengan berkiblat pada teori. Seperangkat
penilaian sebaiknya disusun oleh pendidik ekonomi sesuai kondisi kelas berdasarkan
diagnose materi secara signifikan. Penilaian yang dilakukan bukan hanya bersumber
dari tes tetapi juga dari tugas yang diberikan oleh pendidik. Berilah kesempatan
untuk peserta didik membuat dan merangkai narasi atas tugas yang diberikan dalam
bentuk ringkasan, laporan kegiatan dan solusi atas problem yang diberikan pendidik
pada anak didik. Penilaian yang dilakukan tidak terlepas dari penerapan model
pembelajaran yang dipergunakan dalam kurikulum 2013 yaitu inquiry based
learning, discovery learning, project based learning dan problem based learning.
5. Menggunakan Kolaborasi Model Pembelajaran.
Selain model inquiry based learning, discovery learning, project based learning dan
problem based learning, digunakan juga model yang lain seperti Model Pembelajaran
Langsung (MPL), Model Pembelajaran Kontekstual, dan Model Pembelajaran
Kooperatif. Kolaborasi model diperlukan sesuai dengan substansi materi ilmu
ekonomi.
6. Menguasai dan menggunakan teknologi informasi.
Penguasaan dan penggunaan teknologi informasi amatlah penting bagi pendidik
ekonomi. Melalui teknologi informasi, penampakan gejala/fakta/data ekonomi mudah
diperoleh sebagai sumber informasi dari mana saja dan kapan saja.Informasi yang
diperoleh tidak hanya berupa gejala/fakta/data tetapi juga konsep, dan teori.
Perspektif Pendidik Ekonomi… (Ady Soejoto )
P a g e [ 625 ]
Penggunaan dan penguasaan teknologi informasi berkaitan erat dengan ciri
paradigma belajar abad 21 yaitu informasi, komputasi, otomasi dan komunikasi.
7. Memiliki dinamika kehidupan.
Kehidupan bersifat dinamis sepanjang masa. Kehidupan ditandai oleh kebutuhan
hidup yang beraneka ragam jenisnya dan kompleks serta luas, bahkan melampaui
batas daerah dan negara. Kebutuhan akan kebendaan baik bersifat konsumtif dan
produktif menjadi tujuan utama bagi pembangunan nasional. Bukankah
pembangunan nasional itu merupakan pembangunan manusia seutuhnya dengan
harapan dapat meningkatkan kebutuhan manusia terutama kebutuhan yang
berhubungan dengan konsumsi, distribusi dan produksi. Kebutuhan ekonomi
bukanlah satu-satunya kebutuhan, kebutuhan lain juga harus terpenuhi seperti
kebutuhan ideologi, politik, sosial, budaya dan agama. Antara bermacam kebutuhan
itu saling berkorelasi, saling tergantung satu sama lain.
SIMPULAN
Membahas ekonomi juga sedikit banyak berhubungan dengan bidang ilmu lainnya
seperti status sosial, keresahan sosial, stabilitas politik, tingkat laku, kerukunan umat,
kebebasan dalam beribadat, serta perspektif penduduk suatu bangsa, dan lainnya.
Dengan demikian manusia dapat bertindak sebagai insan ekonomi, politik, sosial, budaya
dan agama. Karenanya kehidupan itu bersifat dinamis dan untuk itu pendidik ekonomi
harus memiliki dinamika kehidupan yang bersifat multidisiplin atau interdisiplin.
Beberapa indikator yang harus dimiliki pendidik ekonomi kapabel, di antaranya:
(1) memiliki dan mengembangkan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan
terintegrasi, (2) menguasai ilmu ekonomi, (2) mendiagnosis materi pembelajaran, (3)
mendiagnosis penilaian pembelajaran, (4) menggunakan kolaborasi model pembelajaran;
(5) menguasai dan menggunakan teknologi informasi dan (6) memiliki dinamika
kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sofan. 2013. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013.Jakarta: PT Prestasi Pustakarya
Bowles, S., and Levin, H.M. 1968. The Determinants of scholastic Achievement: AnAppraisal of Some Recent Finding. Journal of Human Resources 3 (Winter): 3-24.
Buchmann, Claudia; Emily Hannum. 2001. Education and Stratification in DevelopingCountries: A Review of Theories and Research. Sosiol (27); 77-102.
Brown, Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching, Fourth Edition. NewYork: Addison Wesley Longman, Inc.
Cohn. 1979. The Economic of Education. Bellinger Publishing Company. USA.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 626 ] P a g e
PERUBAHAN MINDSET DAN KESIAPAN GURU SEKOLAH DASAR
DALAM PERSAINGAN PENDIDIKAN DI ERA MEA
Andi PrastowoFakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
AbstrakGuru menjadi figur sentral dalam peningkatan mutu pendidikan suatu bangsa.Fakta bahwa mutu pendidikan, termasuk untuk jenjang sekolah dasar, diIndonesia masih rendah menunjukkan bahwa mayoritas guru mutunya masihmemprihatinkan. Padahal pendidikan pada jenjang sekolah dasar sangat pentingperanannya dalam keberhasilan belajar di jenjang berikutnya. Kondisi tersebutakan semakin diperparah saat MEA diterapkan. Tantangan pendidikan nasionalbertambah. Karena pada era MEA salah satu tantangannya adalah arus bebastenaga kerja terampil lintas negara ASEAN. Jika sumber daya guru di Indonesiamasih diliputi berbagai kelemahan baik pada aspek kompetensi, kualifikasi,produktivitas, dan kesejahteraan, maka mereka dapat tersisih dalam persainganregional maupun global. Untuk itu, upaya pengembangan profesionalisme gurusekolah dasar harus menyentuh sampai aspek yang paling fundamental dalamperubahan kompetensi mereka, yaitu mindset. Karena mindset merupakanpenentu perubahan perilaku dan sikap seseorang. Untuk itu, mindset guru harusberubah dari passenger menjadi good driver agar dapat memenangkanpersaingan di era MEA.
Kata Kunci: guru, sekolah dasar, MEA, mindset, good driver
PENDAHULUAN
Guru merupakan figur sentral dalam peningkatan mutu pendidikan suatu bangsa.
Karena, guru menjadi garda terdepan dalam proses pembelajaran. Guru juga merupakan
pemimpin di kelas. Oleh karenanya, berhasil dan tidaknya suatu proses pembelajaran
sangat ditentukan oleh kualitas guru dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut. Hal
tersebut senada dengan ungkapan Anies Baswedan, “Guru adalah ujung tombak proses
pendidikan. Tanpa guru, tidak mungkin bangsa Indonesia bisa membuat konversi tingkat
melek huruf dari 5% menjadi 92%. Tanpa guru, tidak mungkin program pendirian
sekolah dan universitas dapat berhasil. Tanpa guru, tidak mungkin muncul generasi
berkualitas” (Chatib, 2014: xiv). Begitu pula penjelasan Zamroni (2011: 99), “Pendidikan
yang berkualitas hanya muncul apabila terdapat guru yang berkualitas. Oleh karena itu
keberadaan guru berkualitas, profesional dan sejahtera merupakan kondisi yang tidak
ditawar lagi”. Studi-studi internasional termutakhir juga menunjukkan bahwa komponen
yang paling berpengaruh pada sekolah yang efektif adalah setiap guru di dalam sekolah
tersebut (Marzano, 2013: 1). Semua fakta dan pendapat tersebut semakin menegaskan
bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan di sekolah maka memprioritaskan
perbaikan mutu guru menjadi suatu keniscayaan.
Jika mencermati perkembangan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah di Indonesia pada satu dekade terakhir, mutu sekolah dan madrasah pada
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
P a g e [ 627 ]
kenyataannya masih jauh dari harapan. Mutunya masih tertinggal dari negara-negara
tetangga di ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura. Termasuk di dalamnya, yaitu mutu
pendidikan sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyahnya. Sebagaimana data yang
diungkapkan oleh E. Mulyasa (2013:60) dari berapa lembaga survei internasional sebagai
berikut: pertama, hasil survei TIMS yang dilakukan oleh Global Institute pada tahun 2007
menunjukkan hanya 5% peserta didik Indonesia yang mampu mengerjakan soal
penalaran tinggi; padahal Korea dapat mencapai 71%. Sebaliknya, 78% peserta didik
Indonesia mampu mengerjakan soal hafalan berkategori rendah sementara peserta didik
Korea hanya 10%. Kedua, hasil studi PISA tahun 2009 menempatkan Indonesia pada
peringkat bawah 10 besar dari 65 negara peserta PISA. Dalam penelitian itu diungkapkan
bahwa semua peserta didik Indonesia ternyata hanya menguasai pelajaran sampai level 3
saja, sementara peserta didik dari banyak negara yang lain dapat menguasai pelajaran
sampai level 5 bahkan 6. Dari kedua survei itu lalu disimpulkan bahwa prestasi peserta
didik Indonesia tertinggal dan terbelakang.
Hal tersebut juga diperkuat dengan dua indikasi di lapangan sebagai berikut (Ali,
2009: 252-259): pertama, masih rendahnya kualitas hasil belajar yang ditandai oleh
standar kelulusan yang ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10 dan 4,50 pada tahun 2008.
Seorang siswa dinyatakan lulus meskipun hanya mampu menyerap mata pelajaran
sebesar 4,25%, Dengan standar kelulusan yang rendah pun masih banyak siswa yang
tidak lulus pada Ujian Nasional 2007. Nilai kelulusan Ujian Nasional ini ternyata masih di
bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kondisi ini menunjukkan peserta
didik kurang dapat bersaing dengan negara-negara tetangga. Walaupun angka kelulusan
ujian nasional setiap tahun mengalami kenaikan, tetapi masih di bawah negara-negara
Asia lain yang telah mematok angka di atas enam. Indikasi kedua yakni angka
ketidaklulusan ujian nasional (UN) tahun 2004/2005 lebih tinggi bila dibandingkan
dengan tahun 2003/2004. Namun, bila dilihat dari nilai rata-rata yang dicapai terdapat
peningkatan yang cukup berarti yakni dari 5,55 tahun 2003/2004 menjadi 6,76 pada
tahun 2004/2005. Angka mengulang kelas pada SD kelas awal juga cukup tinggi, yaitu I
7,92%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesiapan memasuki SD masih rendah. Dilihat
kecenderungan angka mengulang kelas menurut tingkat, makin tinggi tingkat kelas
makin rendah angka mengulang kelas di I SD. Walaupun menunjukkan kecenderungan
yang makin menurun setiap tiga tahun terakhir ini sekitar 700.000 siswa SD/Ml putus
sekolah setiap tahun.
Berdasarkan sejumlah fakta tersebut, perbaikan mutu pendidikan di sekolah dasar
dan madrasah ibtidaiyah menjadi sesuatu hal yang krusial dan sangat urgen. Hal tersebut
semakin diperkuat dengan urgensi pendidikan di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah
bagi tumbuh kembang potensi peserta didik. Oleh karenanya, mutu pendidikan pada
jenjang tersebut memiliki peranan yang sangat penting, fundamental, dan krusial bagi
keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya. Sebagaimana diungkapkan Collier,
Houston, Schematz, dan Walsh (1971:27) bahwa pendidikan dasar memiliki tujuan
utama yaitu: pertama, membantu peserta didik mengembangkan segi intelektual dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 628 ] P a g e
mental; kedua, membantu pertumbuhan peserta didik sebagai individu yang mandiri;
ketiga, membantu peserta didik sebagai makhluk sosial; keempat, membantu peserta
didik belajar hidup dengan perubahan-perubahan; dan kelima, membantu peserta didik
meningkatkan kreativitasnya (Sidi, 2003: 78-79). Dan, juga pendapat Mohammad Ali
(2009: 290-291) yang mengemukakan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan dasar
(SD/MI dan SMP/MTs) adalah menyiapkan siswa agar menjadi manusia yang bermoral,
menjadi warga negara yang mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dan
menjadi orang dewasa yang mampu memperoleh pekerjaan. Dan, secara operasional,
tujuan pokok pendidikan dasar adalah membantu siswa dalam mengembangkan
kemampuan intelektual dan mentalnya, proses perkembangan sebagai individu yang
mandiri, proses perkembangan sebagai makhluk sosial, belajar hidup menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan, dan meningkatkan kreativitas. Diperkuat oleh pernyataan A.
Malik Fadjar (1999: 34) bahwa pendidikan di level madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar)
memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian peserta didik, baik
yang bersifat internal (bagaimana mempersepsi dirinya), eksternal (bagaimana
mempersepsi lingkungannya), maupun supra internal (bagaimana mempersepsi dan
menyikapi Tuhannya dengan sebagai ciptaan-Nya).
Sebagaimana telah diungkap pada bagian awal makalah ini bahwa berbagai hasil
studi telah membuktikan bahwa keberhasilan peningkatan mutu pendidikan di sekolah
sangat ditentukan oleh kualitas gurunya. Dipertegas oleh Ace Suryadi (2014: 88-89), guru
merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam mewujudkan pendidikan yang unggul
dan bermutu. Oleh karena itu, fokus dan skala prioritas perbaikan mutu guru pada
sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia perlu menjadi perhatian utama.
Apalagi jika melihat realitas di lapangan bahwa jumlah guru sekolah dasar dan madrasah
ibtidaiyah di Indonesia yang bermutu rendah sangat besar, bahkan angkanya terbesar
jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Seperti diungkapkan oleh
Muhammad Ali (2009: 255-257) sebagai berikut: pertama, data Balitbang Depdiknas RI
tahun 2005/2006 bahwa dari sejumlah 1.346.846 orang guru SD yang berpendidikan
Sarjana hanya 15.18%, S2/S3 berjumlah 0,12%, D3 sebanyak 2,97%, D2 berjumlah
48,95%, dan D1 atau dibawahnya sebanyak 32,78%. Dan, kondisi tersebut telah berubah
enam tahun kemudian, yaitu pada tahun ajaran 2011/2012, data dari MOEC (2012:58)
menunjukkan bahwa dari total 1.550.276 guru SD sekitar 820.995 orang guru sudah
memenuhi kualifikasi S1 sedangkan 729.281 orang guru masih belum S1. Ini artinya
setelah enam tahun terjadi peningkatan kualifikasi guru SD dari yang belum S1 menjadi
S1 sebesar 3,5 kali lipat. Meskipun demikian, masih tersisa sekitar 47% guru SD yang
masih harus kembali mengikuti perkuliahan untuk mendapatkan ijazah S1. Kedua,
menurut data Balitbang Kemendikbud tahun 2011 yang dikutip Subrayanti (2013:2-3)
menunjukkan bahwa kelayakan mengajar guru SD (negeri maupun swasta tidak jauh
berbeda) hanya 28.94%. Angka ini berbeda jauh dengan kelayakan mengajar guru SMP
negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, dan guru SMK
negeri 55,91% , swasta 58,26%.
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
P a g e [ 629 ]
Kondisi seperti jika tidak segera diatasi maka akan menimbulkan persoalan yang
semakin rumit. Salah satu dan yang utama yaitu sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah
di Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan sejenis dari luar
negeri. Seperti sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Malaysia, Singapura, Brunei
Darusalam, dan lain sebagainya. Apalagi pada akhir tahun 2015 (Majalah Sertifikasi,
2014: 10), tepatnya mulai tanggal 31 Desember 2015 akan diterapkan kebijakan pasar
tunggal ASEAN sebagai perwujudan dari salah satu pilar komunitas ASEAN 2015, yaitu
Masyarakat Ekonomi ASEAN atau disingkat MEA (Hakim, 2013: 4). MEA adalah suatu
program liberalisasi perdagangan di lingkungan negara-negara ASEAN yang bertujuan
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang ada di negara-negara anggota ASEAN.
Di mana pada saat itu arus barang dan jasa di antara negara-negara ASEAN akan bebas
dapat melintasi batas- batas negara secara fisik dan administrasi, tanpa sesuatu
hambatan apapun. Pelaksanaan MEA juga akan menghilangkan hambatan aliran barang,
investasi dan jasa di antara negara ASEAN. Namun apabila tidak siap maka justru akan
membawa dampak yang merugikan (Siradjudin, 2014:4).
Dalam hal MEA mengembangkan pasar dan basis produksi tunggal, terdapat lima
elemen inti: pertama, arus bebas barang; kedua, arus bebas jasa; ketiga, arus bebas
investasi; keempat, arus modal yang lebih bebas; dan kelima, arus bebas tenaga kerja
terampil (Sertifikasi, 2014: 1). Dipertegas oleh Ulwiyah (2015:4), pada saat komunitas
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku efektif, mobilitas tenaga kerja terampil tidak
akan terbendung pada 2015. Indonesia tidak bisa lagi menutup pasar tenaga kerjabagi
negara ASEAN lainnya. Tanpa akselerasi dalam peningkatan kualitas pendidikan dan
keterampilan serta kesungguhan dalam menjalankan konsep link and match antara dunia
pendidikan dan dunia usaha, bukan mustahil, pasar tenaga kerja di sektor usaha yang
menjanjikan pendapatan tinggi diisi oleh pekerja asing. Tenaga kerja Indonesia bisa jadi
bakal terpinggirkan dan hanya akan menjadi pesuruh bangsa lain.
Ketika kondisi sudah seperti demikian, jika guru sekolah dasar dan madrasah
ibtidaiyah di Indonesia tidak mampu meningkatkan mutunya, baik kompetensi,
profesionalitas dan produktivitasnya, maka mereka akan semakin tersisih dan
terpinggirkan. Karena pada era tersebut terjadi arus bebas tenaga kerja terampil,
termasuk di dalamnya tenaga pendidik atau guru di sekolah dasar dan madrasah
ibtidaiyah. Namun, juga sebaliknya bagi guru yang profesional mereka akan memiliki
peluang yang besar untuk semakin meningkatkan kualitas kinerja, kesejahteraan, dan
jejaring kerjasama. Sebagaimana diungkapkan Wuryandani (2014:14) yaitu, “MEA
memberi kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik
sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Sebaliknya, situasi seperti ini juga memunculkan
risiko ketenagakerjaan bagi Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan produktivitas
Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia,
Singapura, dan Thailand”.
Mencermati dilema perubahan tersebut, pengembangan profesionalisme guru
sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah harus dimulai dengan perubahan pada aspek
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 630 ] P a g e
yang paling fundamental dalam diri para guru yang menentukan perilaku dan
kepribadian mereka. Karena jika hanya memperhatikan faktor-faktor eksternal dan
teknis saja, seperti perbaikan kesejahteraan, kemampuan berbahasa, keterampilan
mengajar, keterampilan meneliti, keterampilan pengelolaan kelas, kualifikasi pendidikan,
dan lain sebagainya, upaya pengembangan profesionalisme guru sulit membawa
perubahan besar dalam kinerja mereka. Dibutuhkan perubahan pada aspek yang
fundamental yang mempengaruhi perilaku dan kepribadian guru, yaitu mindset. Hal ini
mengingat bahwa tuntutan guru profesional di era MEA yang harus siap bersaing dengan
guru-guru dari negara ASEAN lainnya, yang memiliki mutu lebih baik, bukanlah
persoalan yang ringan. Para guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah harus memiliki
mindset baru (yang sesuai dengan tuntutan MEA) untuk mewujudkan hal tersebut. Tanpa
ada modal tersebut maka terlalu sulit bagi guru SD dan MI untuk melakukan perubahan
yang membutuhkan banyak pengorbanan, baik harta, tenaga, maupun waktu.
Sebagaimana kasus yang pernah terjadi di Amerika Serikat, kebijakan sertifikasi bagi
guru belum berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru, yang antara lain
disebabkan oleh kuatnya resistensi kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi
berjalan lamban (Suryadi, 2014:89).
Dari uraian di atas, penulis melihat bahwa persoalan perubahan mindset guru
untuk menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN atau dikenal MEA menjadi hal yang
penting dan urgen untuk segera dilakukan. Untuk itu, dirumuskan tiga masalah utama
yang dibahas dalam makalah ini, yaitu: pertama, bagaimana kesiapan guru sekolah dasar
dalam persaingan pendidikan di era MEA? Kedua, bagaimana perubahan mindset
berpengaruh terhadap peningkatan profesionalisme guru sekolah dasar? Ketiga, seperti
apakah mindset yang dibutuhkan guru sekolah dasar profesional di era MEA? Berangkat
tiga rumusan masalah tersebut ditetapkan tiga buah tujuan pembahasan dalam makalah
ini yaitu untuk mengungkapkan: pertama, kesiapan guru sekolah dasar dalam persaingan
pendidikan di era MEA; kedua, peran perubahan mindset untuk peningkatan
profesionalisme guru sekolah dasar; dan ketiga, mind set driver untuk guru sekolah dasar
pada era MEA.
KESIAPAN GURU SEKOLAH DASAR DALAM PERSAINGAN PENDIDIKAN DI ERA MEA
Dalam menghadapi sebuah persaingan pasar bebas antar negara ASEAN yang
dimulai tanggal 31 Desember 2015, guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di
Indonesia harus bekerja keras sekuat tenaga untuk menghadapi dan mempersiapkan diri
dalam persaingan tersebut. Karena, dalam sebuah kompetisi pasti ada pihak yang
menang dan pihak yang kalah. Mereka yang kalah harus siap-siap tersingkir dari arena
permainan atau kemungkinan kedua harus mengikuti alur permainan yang dibuat oleh
pemenang. Analogi seperti itu dibuat untuk membantu para guru di sekolah dasar dan
madrasah ibtidaiyah dalam mengatur strategi untuk menghadapi dan memenangkan
persaingan antar sekolah dasar dari berbagai negara ASEAN di era MEA.
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
P a g e [ 631 ]
Salah satu hal terpenting dan harus dimengerti oleh pengelola sekolah dasar dan
madrasah ibtidaiyah di Indonesia adalah menimbang dan mengkalkulasi kesiapan
sumber daya guru dalam menghadapi persaingan pendidikan di era MEA. Dalam hal ini
beberapa data tentang kondisi mutu guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di
Indonesia dalam satu dekade terakhir terungkap sebagai berikut: pertama, fakta dari
temuan Bank Dunia (2007) yang dikutip oleh Anies Baswedan (Chatib, 2014: xiv)
menunjukkan bahwa terdapat sekolah kekurangan guru, yaitu 21% sekolah di perkotaan
dan 37% sekolah di pedesaan; lalu 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru.
Kemudian, secara nasional 34% sekolah di Indonesia masih kekurangan guru. Selain itu,
juga diungkapkan oleh Baswedan bahwa jika melihat sebaran kualitas guru di seluruh
provinsi maka menurut data dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2009
menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan kualitas antara provinsi di Jawa dan di luar
Jawa. Yang lebih parah adalah secara rata-rata tidak ada provinsi yang mampu mencapai
separuh dari nilai maksimal indeks kualitas guru.
Kedua, menurut data dari MOEC (2012:58) pada tahun ajaran 2011/2012 dari
total 1.550.276 guru SD sekitar 820.995 orang guru sudah memenuhi kualifikasi S1
sedangkan 729.281 orang guru masih belum S1. Ini artinya, sekitar 47% guru SD harus
kembali mengikuti perkuliahan untuk mendapatkan ijazah S1. Dan, hal itu terjadi
mayoritas di luar Jawa. Karena untuk guru-guru SD yang berada di Pulau Jawa, mayoritas
sudah berkualifikasi S1 yakni mencapai 64%, sedangkan yang belum S1 tinggal 34%.
Namun, di satu sisi yang lain menurut MOEC (2012:57) pada tahun ajaran 2011/2012
mayoritas guru SD yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) mencapai 1.074.701
(69,32%) orang sedang guru yang bukan PNS mencapai 475.575 (30,68%) orang. Ini
artinya, dari segi kesejahteraannya mayoritas guru SD memiliki penghasilan yang sudah
layak.
Kemudian, untuk guru madrasah ibtidaiyah pada tahun 2005 dari total 209.465
guru hanya sekitar 13 persennya saja telah memenuhi kualifikasi S1(Zamroni, 2011: 47-
48). Namun, delapan tahun kemudian tepatnya pada tahun pelajaran 2012/2013
menurut data Dirjen Pendis Kemenag (EMIS Pendis, 2014a; EMIS Pendis, 2014b) jumlah
guru MI telah mencapai 287.865 guru, terdiri dari 171.379 (59,53%) guru telah
berkualifikasi S1 sedangkan 116.486 (40,47%) guru masih belum S1. Ini artinya sekitar
40,47% guru MI harus mengikuti perkuliahan untuk mendapatkan ijazah S1. Namun, hal
yang berbeda dengan kondisi guru SD adalah guru MI mayoritas berstatus bukan PNS.
Data Dirjen Pendis Kemenag RI (EMIS Pendis, 2014a; EMIS Pendis, 2014b) tahun
pelajaran 2012/2013 menunjukkan 72,37% guru MI berstatus non PNS sedangkan
27,26% saja yang PNS. Ini artinya dari segi kesejahteraan mayoritas guru MI belum
memiliki penghasilan yang layak sebagaimana guru SD. Apalagi menurut data Dirjen
Pendis Kemenag RI (EMIS Pendis, 2014c; EMIS Pendis, 2014d) pada tahun pelajaran
2012/2013, jumlah guru MI yang telah tersertifikasi baru 94.506 guru atau baru sekitar
32,83% saja dari total seluruh guru MI se-Indonesia. Ini artinya 67,17% guru yang pada
umumnya di MI swasta masih menghadapi kendala kesejahteraan yang belum layak.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 632 ] P a g e
Dengan kata lain, kualitas guru sekolah dasar dan guru madrasah ibtidaiyah di
Indonesia mayoritas sudah cukup baik, setidak-tidaknya dilihat dari peningkatan
kualifikasi akademiknya yang mayoritas sudah S1. Tetapi dilihat dari pemerataannya,
belum terjadi pemerataan guru SD berkualifikasi S1 di seluruh wilayah Indonesia, karena
sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara itu, dilihat dari kesejahteraannya
terjadi ketimpangan yang sangat besar antara guru SD dan guru MI, karena mayoritas
guru SD berstatus PNS sedangkan guru MI berstatus bukan PNS.
Ketiga, menurut data yang diungkapkan oleh Fasli Jalal pada tahun 2007 bahwa
gaji guru di Indonesia dibandingkan dengan penghasilan guru di beberapa negara lain,
pada semua jenjang pendidikan, baik gaji permulaan ataupun gaji tertinggi, gaji guru
Indonesia berada pada posisi yang paling rendah. Bahkan dengan Malaysia, Thailand,
Filipina, gaji guru Indonesia masih jauh lebih rendah (Zamroni, 2011: 52). Keempat,
menurut data Balitbang Kemendikbud tahun 2011 yang dikutip Subrayanti (2013:2-3)
menunjukkan bahwa kelayakan mengajar guru SD (negeri maupun swasta tidah jauh
berbeda) hanya 28.94%. Angka ini berbeda jauh dengan kelayakan mengajar guru SMP
negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, dan uru SMK
negeri 55,91% , swasta 58,26%.
Adapun menurut keterangan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad (Kompas, 2 April 2015), dari total 1,6
juta guru sekolah dasar, sekitar sepertiganya atau 512.000 guru merupakan guru
honorer yang diangkat oleh kepala sekolah tanpa memperhatikan kriteria standar dalam
pengangkatan guru. Mereka mendapatkan gaji dari bantuan operasional sekolah (BOS)
yang besarannya sekitar Rp200.000,00 hingga Rp250.000,00 per bulan ditambah
bantuan dari pemerintah daerah (tetapi tidak semua daerah memberikan). Kemudian,
Syawal Gultom (Kompas, 2 April 2015), Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pendidikan dan Kebudayaan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan juga mengungkapkan bahwa sekitar 60% guru termasuk
kategori 1-3, yaitu guru belum menguasai materi, tetapi tidak menguasai metodologi;
serta guru yang menguasai materi dan metodologi, tetapi belum berjiwa pendidik.
Hanya sebagian kecil guru berada di kelompok 4-5, yaitu guru yang sudah menguasai
pembelajaran kreatif dan inovatif dalam pembelajaran.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwasannya guru sekolah dasar
dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia masih banyak yang menghadapi keterbatasan, baik
pada aspek kompetensi, aspek kualifikasi, maupun aspek kesejahteraan. Dengan kata
lain, guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah masih banyak yang belum siap
menghadapi persaingan pendidikan di era MEA. Untuk memperbaiki kondisi tersebut
dalam waktu singkat tentu bukan hal yang mudah. Perubahan untuk menuju ke arah guru
profesional yang mampu memenangkan persaingan pendidikan di era MEA masih
membutuhkan banyak perubahan yang memerlukan upaya dan kerja keras serta dana
yang tidak sedikit. Sementara itu, pelaksanaan MEA kurang dari satu tahun lagi. Oleh
karena itu, salah satu usaha yang paling memungkinkan dengan kondisi kesiapan guru
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
P a g e [ 633 ]
seperti itu adalah melakukan perubahan mindset para guru sekolah dasar dan madrasah
ibtidaiyah. Mindset para guru perlu diubah dari memandang persaingan antar sekolah
hanya dalam batas satu negara dengan persaingan antar sekolah dengan lingkup yang
lebih luas, yaitu antar negara ASEAN. Hal ini menggambarkan semakin beratnya tingkat
persaingan pendidikan pada jenjang sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di era MEA.
Namun, melalui perubahan mindset itulah meskipun kondisi guru sekolah dasar dan
madrasah ibtidaiyah di Indonesia masih diliputi dengan banyak keterbatasannya
diharapkan lebih siap dan lebih mampu beradaptasi dengan berbagai kemungkinan yang
dapat terjadi. Selain itu, dengan perubahan mindset para guru sekolah dasar dan
madrasah ibtidaiyah dapat memanfaatkan berbagai kesempatan yang mungkin
diperoleh.
PERUBAHAN MINDSET UNTUK PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
Peningkatan profesionalisme guru pada dasarnya adalah suatu perubahan
kemampuan dan sikap menuju sosok pribadi guru yang lebih berkompeten, lebih
menguasai materi dan metodologi pembelajaran dengan baik sekaligus mampu memiliki
jiwa pendidik, dengan demikian ia mampu menjalankan profesi keguruannya dengan
profesional. Dalam hal tersebut, Renald Kasali dalam Kata Pengantar buku The Secret of
Mindset karya Adi W. Gunawan (2008:xii) mengungkapkan,“...perubahan belum akan
berhasil sebelum kita berhasil mengubah cara pandang dan cara berpikir para pelaku
perubahan. Perubahan bukanlah semata-mata mengubah alat, teknologi, sistem,
organisasi, dan sebagainya. Melainkan mengubah attitude melalui cara berpikir”. Dengan
kata lain, untuk mengubah profesionalisme guru hal utama dan paling mendasar untuk
dilakukan adalah perubahan cara pandang atau cara berpikir atau biasa disebut
perubahan mindset terlebih dahulu. Dengan demikian, segala upaya yang dilakukan untuk
peningkatan profesionalisme guru, baik dalam bentuk pelatihan, diklat, workshop,
pendidikan profesi guru, sertifikasi guru, peningkatan kesejahteraan guru, dapat
berfungsi secara optimal.
Menurut Adi W. Gunawan (2008: 13-15), istilah mindset terdiri dari dua kata, yaitu
mind dan set. Mindset sebagai satu istilah bermakna kepercayaan (belief) atau
sekumpulan kepercayaan (set of beliefs) atau cara berpikir yang memengaruhi perilaku
(behavior) dan sikap (attitude) seseorang, yang akhirnya akan menentukan level
keberhasilan hidupnya. Dengan demikian, untuk mengubah mindset seseorang maka
belief atau kumpulan belief orang tersebut harus diubah terlebih dahulu.
Sementara itu, untuk memahami mengapa masih banyak guru belum bisa
melakukan transformasi diri untuk menjadi guru profesional, meskipun sudah mengikuti
studi lanjut ke S1, program pendidikan profesi guru, pelatihan, diklat, workshop, dan lain
sebagainya, menurut Adi W. Gunawan (2008: 15-16) dapat dijelaskan sebagai berikut:
manusia menurut filosofi Transformational Thinking terdiri dari tiga sistem yaitu sistem
perilaku (behavior system), sistem berpikir (thinking system), dan sistem kepercayaan
(belief system). Sistem perilaku adalah cara manusia berinteraksi dengan dunia luar, juga
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 634 ] P a g e
interaksi manusia dengan realitas sebagaimana manusia mengerti realitas tersebut.
Perilaku seseorang mempengaruhi pengalamannya, demikian pula sebaliknya.
Selanjutnya pengalaman akan mempengaruhi sistem berpikir. Sistem berpikir berlaku
sebagai filter dua arah yang menerjemahkan berbagai kejadian atau pengalaman yang
dialami seseorang menjadi suatu kepercayaan (belief). Selanjutnya, kepercayaan (belief)
tersebut akan mempengaruhi tindakan seseorang, sehingga menciptakan realitas bagi
dirinya. Sedangkan sistem kepercayaan adalah inti dari segala sesuatu yang diyakini
seseorang sebagai realitas, kebenaran, nilai hidup, dan segala sesuatu yang diketahui
seseorang mengenai dunia ini. Ilustrasi mengenai hubungan antara sistem perilaku,
sistem berpikir, dan sistem kepercayaan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tiga Sistem dalam Transformational Thinking (Gunawan, 2008:16)
Lebih lanjut dijelaskan oleh Adi W. Gunawan, bahwa untuk memahami proses
perubahan dalam diri seseorang dapat dijelaskan dengan The Change Cube atau Kubus
Perubahan. Jadi menurut analogi Kubus Perubahan ini, manusia saat berinteraksi dengan
orang lain yang terlihat adalah perilaku atau behavior-nya. Perilaku tersebut sama
dengan sisi atas kubus. Sedangkan sisi-sisi yang menopang perilaku tersebut meliputi self
talk, perception, state, dan emotion. Adapun alasannya adalah belief. Oleh karena itu,
untuk mengubah perilaku atau behavior dapat dilakukan dengan mengubah self talk,
perception, state, emotion dan terutama belief. Visualisasi dari Kubus Perubahan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2.
Adapun cara paling cepat untuk melakukan modifikasi atau perubahan perilaku
adalah dengan melakukan modifikasi atau perubahan belief atau belief system. Belief
adalah master key untuk perubahan yang cepat, efektif, efisien, dan permanen. Dengan
perubahan belief, self talk, persepsi, state, dan emosi juga akan berubah. Dengan
demikian, perilaku atau behavior akan turut berubah. Hal ini sejalan dengan penjelasan
Piaget, bahwa hanya berfokus pada kemampuan berpikir logis saja tidaklah cukup,
karena belief system juga memainkan peran yang sama penting atau bahkan lebih penting
daripada kemampuan berpikir logis membentuk pola pikir seseorang (Gunawan,
2008:19).
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
P a g e [ 635 ]
Gambar 2. The Change Cube atau Kubus Perubahan (Gunawan, 2008:17)
Namun, fakta di lapangan selama ini bahwa meskipun pemerintah dan pengelola sekolah
dasar dan madrasah ibtidaiyah sudah melakukan berbagai program dan kegiatan
peningkatan profesionalisme guru, tetapi hasilnya masih saja belum banyak perubahan
yang terjadi pada dasarnya, menurut penjelasan Adi W. Gunawan (2008: 20), karena
adanya mekanisme homeostasis dalam diri manusia. Jadi semua hambatan dalam proses
perubahan, baik hambatan yang bersifat sadar maupun tidak sadar, merupakan hasil
kerja dari kekuatan terbesar dalam perilaku manusia yaitu homeostasis. Homeostasis
adalah kecenderungan untuk selalu tetap di posisi yang sama. Homeostasis sangat baik
dan bertujuan melindungi diri manusia dari perubahan yang mendadak dan tidak
diinginkan. Homeostasis menjaga agar manusia tidak mudah berubah akibat pengaruh
orang lain maupun lingkungan. Namun, homeostasis juga yang menjadi penghambat
perubahan saat seseorang ingin mengubah dirinya ke arah yang lebih baik. Dengan kata
lain, setiap perubahan yang akan dilakukan seseorang pasti akan mendapat perlawanan
(resistensi) dari homeostasis. Resistensi adalah mekanisme pertahanan pikiran bawah
sadar yang bertujuan melindungi diri seseorang dari situasi yang (dipandang) tidak
menyenangkan. Oleh karenanya, perubahan bukanlah hal yang menyakitkan, sebab
resistensi terhadap proses perubahanlah yang membuat perubahan menjadi sesuatu
yang menyakitkan.
Sementara itu, untuk menggantikan sebuah belief system yang telah terbentuk di
pikiran bawah sadar seseorang seringkali tidak mudah. Belief system terbentuk dari
penerimaan informasi secara terus-menerus dalam rentang waktu yang cukup lama dan
telah menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, saat menerima informasi yang berlawanan atau
dianggap oleh pikiran bawah sadar sebagai sesuatu hal yang baru dan bertentangan
maka informasi tersebut lebih banyak menerima penolakan. Untuk itu, menurut Willy
Wong (2010: 25-29) bahwa sebuah belief system baru hanya dapat dibentuk melalui
pemberian informasi yang masuk akal, bermanfaat, dan berdaya guna, bahkan kadang-
kadang masih diperlukan perulangan kegiatan pemberian informasi untuk
memperkuatnya. Secara lebih rinci, Adi W. Gunawan (2008: 37-41) menjelaskan bahwa
ada lima hal yang dapat membentuk belief system seseorang, yaitu: repetisi
(pengulangan), identifikasi kelompok atau keluarga, ide yang disampaikan oleh figur
yang dipandang memiliki otoritas, informasi disampaikan melalui emosi yang intens, dan
informasi diterima dalam kondisi relaks (keadaan alpha).
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 636 ] P a g e
Setelah belief telah terbentuk atau ditetapkan, ada dua proses alamiah yang
bekerja mempertahankan kelangsungan belief tersebut. Dijelaskan oleh Adi W. Gunawan
(2008:41-45), yaitu: pertama, bias konfirmasi (confirmatory bias) atau validasi subjektif
(subjective validation) atau efek validasi personal (personal validation effect); dan kedua,
kompas mental. Bias konfirmasi adalah kecenderungan seseorang untuk hanya menerima
atau memperhatikan informasi yang sejalan dengan belief yang dimilikinya. Jika
informasi tersebut tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan belief-nya, maka orang
tersebut akan mengabaikan informasi tersebut. Padahal belum tentu informasi tersebut
salah. Sedangkan kompas mental adalah jalur psikologis yang akan digunakan oleh
seseorang jika dirinya menemui situasi sulit, tidak pasti, atau membingungkan. Belief
adalah kompas mental yang akan membantu seseorang membuat keputusan terhadap
situasi yang tidak menentu. Di sini yang membedakan belief positif dan belief negatif
adalah dengan memperhatikan efek yang ditimbulkannya terhadap diri seseorang. Belief
positif akan mendukung pencapaian keberhasilan seseorang dengan melakukan upaya
maksimal sedangkan belief negatif adalah yang menghambat pencapaian keberhasilan
seseorang dengan tidak berupaya secara tidak maksimal.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa untuk perubahan mutu kinerja guru
sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, dalam bentuk peningkatan profesionalismenya,
hal utama dan mendasar yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan mindset.
Untuk dapat melakukan perubahan yang berhasil tersebut maka diperlukan perubahan
belief system pada diri masing-masing guru tersebut. Guru-guru di sekolah dasar dan
madrasah ibtidaiyah perlu dibantu untuk mengubah belief system negatif yang
sebelumnya mereka miliki dengan belief system positif yang memberdayakan dan
mendukung pencapaian keberhasilan mereka.
MINDSET “DRIVER” UNTUK GURU SEKOLAH DASAR PROFESIONAL DI ERA MEA
Salah satu hal yang paling besar pengaruhnya terhadap eksistensi guru sekolah
dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia pada era MEA adalah arus bebas tenaga kerja
terampil (Sertifikasi, 2014:1). Kondisi guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di
Indonesia yang secara umum masih diliputi dengan keterbatasan kompetensi,
profesionalisme, produktivitas, kesejahteraan, dan kualifikasi akademik, tentu akan
kehilangan kepercayaan diri kemudian tersingkir dan tersisih jika tidak memiliki mindset
positif untuk menghadapi pesaing dari negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam, dan lain sebagainya. Salah satu mindset positif dan
penting untuk menghadapi era kompetisi yang semakin mengglobal di era MEA adalah,
merujuk pendapat Renald Kasali, mindset seorang driver (Kasali, 2014: xii). Dengan kata
lain, para guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah yang ingin berubah menjadi guru
profesional dan siap memenangkan kompetisi di era MEA harus memiliki mindset
“driver”.
Makna “driver” di sini menurut Renald Kasali (2014: 6-8) adalah sebuah sikap
hidup atau cara pandang yang membedakan dirinya dengan “passenger”. Sebagai
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
P a g e [ 637 ]
seorang driver, guru SD/MI bisa hidup di mana pun mereka berada, dan selalu
menumbuhkan harapan. Sebagai seorang driver, guru SD/MI mengajak orang-orang di
sekitarnya untuk berkembang dan keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan baru.
Mereka melakukan pembaruan-pembaruan dan menantang keterkungkungan dengan
penuh keberanian. Mereka berinisiatif memulai perubahan tanpa ada ada yang
memerintahkan namun tea rendah hati dan kaya empati. Dengan kata lain, seorang driver
harus memiliki keseimbangan antara logic (rasionalitas, hitung-hitungan, analisis, dan
targetnya) dengan hatinya (empati, kepedulian, hubungan-hubungan sosial, tata nilai).
Adapun perbedaan mindset antara driver dan passenger diungkapkan oleh Kasali dalam
Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Mindset Passenger dan Driver
Passenger DriverHanya menumpang Mengemudikan kendaaan menuju
titik tertentuTidak harus tahu arah jalan Mutlak harus tahu jalan
Boleh mengantuk, boleh tertidur Dilarang mengantuk apalagi tertidur
Tidak perlu merawat kendaraan Harus mampu merawat kendaraan
Sebuah pilihan yang bebas dari bahaya Sebuah pilihan mengekspos diripada bahaya
Sumber: Kasali, 2014:9
Driver’s mentality pada dasarnya adalah sebuah kesadaran yang dibentuk oleh
pengalaman dan pendidikan. Jadi seorang driver tidak cukup hanya bermodalkan tekad
dan semangat, ia juga membutuhkan referensi dari pengetahuan akademis (Kasali, 2014:
8). Prinsip seorang driver adalah inisiatif, melayani, navigasi, dan tanggung jawab (Kasali,
2014: 41-42). Implementasinya untuk para guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah
dalam menghadapi persaingan di era MEA yaitu: pertama, guru harus selalu memiliki
inisiatif. Maksudnya adalah para guru SD/MI mampu bekerja tanpa ada yang menyuruh.
Berani mengambil langkah berisiko, responsif, dan cepat membaca gejala. Termasuk di
sini adalah guru harus mampu membaca gejala persaingan dengan guru-guru profesional
dari negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura dan Malaysia yang memiliki tingkat
sumber daya manusia dan kualitas pendidikan lebih baik daripada Indonesia.
Kedua, guru harus mampu melayani. Maksudnya, guru SD/MI harus mampu
menjadi orang yang berpikir tentang orang lain, mampu mendengar, mau memahami,
peduli, berempati. Guru harus menjadi orang yang mendidik dengan sepenuh hati dan
totalitas, bukan sekedar menggugurkan kewajiban. Guru tidak segan membagikan
pengetahuan dan pengalamannya kepada rekan-rekan se-profesinya yang lain. Dengan
demikian, kemajuan yang diperolehnya tidak sekedar bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi
kemajuan bersama, sesama rekan guru, maupun dengan stakeholder.
Ketiga, guru harus memiliki tujuan dan target yang jelas (navigasi). Para guru
SD/MI harus memiliki keterampilan membawa gerbong ke tujuan, tahu arah, mampu
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 638 ] P a g e
mengarahkan, memberi semangat, dan menyatukan tindakan. Sekaligus, guru SD/MI
harus mampu memelihara kendaraan untuk mencapai tujuan. Guru SD/MI sebagai self
driver bukan karena tidak memiliki pilihan untuk hidup yang lebih baik, melainkan
karena kesadaran. Sadar bahwa sesuatu hanya akan menjadi lebih baik jika diri mereka
sendiri yang mengubahnya.
Keempat, guru harus mau dan mampu bekerja secara tanggungjawab. Maksudnya,
dalam pelaksanaan tugas profesi maupun sebagai individu pada saat melakukan
kekeliruan, kegagalan, dan atau tidak sempurna tidak menyalahkan orang lain, tidak
berbelit-belit atau menutupi kesalahan diri sendiri. Mereka memiliki keterbukaan untuk
menerima kritik dan saran dari sekitarnya. Dari kritik dan saran tersebut, kemudian
mereka melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam kinerja ke depan.
Adapun mentalitas guru SD/MI yang telah menjadi “driver”, merujuk penjelasan
Kasali (2014: 42-43), yaitu ditandai dengan: pertama, sangat tidak puas dengan keadaan
sekarang (status quo); kedua, menyukai tantangan-tantangan baru, mengeksplorasi
peluang-peluang baru; ketiga, memecahkan masalah bersama, menginspirasi orang lain;
keempat, bekerja dengan hati, mencintai sesama, menjaga hubungan baik, memiliki
kepedulian; kelima, memimpin dengan pertanyaan, memperbaiki cara berpikir
penumpang-penumpangnya (para peserta didik maupun rekan-rekan seprofesi); keenam,
memberikan arah jalan yan jelas, merangkul orang-orang yang berbeda paham
dengannya; ketujuh, berani melakukan kesalahan-kesalahan kecil dan mengambil risiko;
kedelapan, sangat mencintai perubahan, namun rendah hati, dan penuh empati;
kesembilan, dikendalikan oleh creative thinking; kesepuluh, selalu belajar hal-hal baru;
dan kesebelas, membebaskan para sandera dari penumpang yang membajak organisasi.
Namun, mentalitas “driver” yang menjadi mindset untuk guru SD/MI profesional
di era MEA tersebut bukanlah bad driver tetapi good driver. Seperti dijelaskan Renald
Kasali (2014: 89-90), bad driver adalah kumpulan dari orang-orang yang sakit hati,
agresif, mudah tersulut kebencian, tidak menentukan arah tindakannya, lebih mencari
pembenaran ketimbang kebenaran, dan senang membuat alasan-alasan untuk menutupi
kekalahan atau kesalahan-kesalahannya. Mereka adalah orang-orang yang terlatih, tetapi
mereka tidak tahu menempatkan iri, kapan harus berbicara dan kapan harus
mendengarkan, kapan harus bergerak maju dan kapan harus mundur. Mereka bergerak
cepat, berinisiatif tinggi, tetapi selalu menimbulkan masalah. Mereka sebenarnya orang-
orang yang secara kualifikasi akademis dan skill-nya sangat mumpuni tetapi memiliki
karakter yang buruk. Dengan demikian, orang –orang seperti itu harus dijauhi (atau
diterapi).
Sedangkan good driver adalah seorang inisiator, tokoh perubahan, dan mampu
menjadi role model bagi banyak orang. Mereka tidak sekedar memiliki aneka kompetensi
yang memampukan untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan strategis secara
cepat dan tepat, tetapi juga memiliki kematangan kepribadian, siap menghadapi
tantangan-tantangan baru dan berani keluar dari comfort zone. Mereka juga sosok
pribadi yang mampu berpikir kritis dan kreatif sehingga senantiasa mampu secara cepat
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
P a g e [ 639 ]
membaca peluang dan mampu hidup dengan alam yang bergejolak dinamis (Kasali, 2014:
94-95). Di samping itu, seorang good driver juga memiliki sikap asertif. Melalui sikap
tersebut, seseorang dibangkitkan kesadaran diri (self awareness, self respect),
kemampuan bernegosiasi, membaca isyarat, mengurangi agresivitas, memperbaiki tone,
dan komunikasi. Begitu pula self discipline dan kehormatan diri menjadi modal penting
seorang good driver. Self discipline adalah sebuah kemampuan yang memungkinkan
seseorang bertindak tanpa terganggu oleh keadaan emosi. Disiplin meski dilatih dengan
melakukan sesuatu yang penting secara rutin untuk membentuk kebiasaan, disiplin
bukanlah sekadar sesuatu yang rutin. Disiplin adalah sebuah komitmen. Meskipun
sesuatu berubah, kalau seseorang berkomitmen, maka ia selalu siap menghadapi dan
memenuhinya (Kasali, 2014: 112-113).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa implementasi Komunitas ASEAN 2015
melalui salah satu pilarnya, yaitu MEA, mulai tanggal 31 Desember 2015 membawa
konsekuensi persaingan tenaga kerja yang semakin berat dan ketat, tidak terkecuali pada
profesi guru untuk sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Hal itu disebabkan karena
terjadi arus bebas tenaga kerja terampil di negara-negara ASEAN pada masa tersebut.
Dengan kondisi mutu sumber daya guru SD/MI di Indonesia yang pada umumnya masih
diliputi dengan berbagai keterbatasan dan kelemahan, baik pada aspek kompetensi,
kualifikasi, produktivitas, maupun kesejahteraan, berimplikasi pada kemungkinan
tersingkir dan tersisih dalam persaingan pendidikan di era MEA. Untuk memperbaiki dan
mengantisipasi berbagai kemungkinan tersebut, karena waktu tersisa yang tidak lama
lagi menjelang pelaksanaan kesepakatan tersebut, maka dibutuhkan upaya perubahan
yang fundamental terhadap guru SD/MI. Hal itu utamanya dilakukan dengan mengubah
mindset para guru SD/MI dari mindset “passenger” menjadi mindset “driver”. Mereka
akan menjadi sosok guru SD/MI yang memiliki kinerja yang kompetitif dengan didasari
oleh prinsip-prinsip meliputi: inisiatif, melayani, navigasi, dan tanggung jawab. Di
samping itu, mereka menjadi guru dengan mentalitas good driver bukan bad driver.
Dengan demikian, para guru SD/MI di Indonesia meskipun dengan segala
keterbatasannya tidak akan mudah mengeluh, akan tetapi cepat beradaptasi dan
menyesuaikan diri, cepat mengambil keputusan dengan tepat, selalu siap menghadapi
tantangan dan persaingan untuk menjadi pemenang dalam setiap kesempatan yang
memungkinkan. Di samping itu, mereka juga tetap mampu menjadi sosok pribadi cerdas
dan berkarakter.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut: pertama, meskipun berbagai upaya peningkatan mutu bagi pendidik
(guru) telah dilakukan oleh pemerintah maupun pengelola lembaga pendidikan, kualitas
sumber daya guru SD/MI di Indonesia masih berada di bawah beberapa negara-negara
tetangga ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Meskipun
mayoritas guru SD/MI telah berkualifikasi pendidikan S1, tetapi mayoritas guru-guru
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 640 ] P a g e
tersebut masih belum layak mengajar (sekitar 71%). Selain itu, tidak sedikit guru-guru
SD/MI yang masih menghadapi keterbatasan dan kelemahan, baik pada aspek
kompetensi, aspek kualifikasi, produktivitas, dan aspek kesejahteraan (utamanya di
madrasah ibtidaiyah). Dengan kata lain, guru SD/MI di Indonesia belum seluruhnya
memiliki bekal yang mencukupi dalam menghadapi persaingan pendidikan antar negara
ASEAN di era MEA.
Kedua, kurang berhasilnya berbagai program dan kegiatan pengembangan
maupun peningkatan profesionalisme guru SD/MI selama ini sebetulnya lebih karena
tidak dimulai dari persoalan yang paling fundamental dalam diri guru. Hal yang
fundamental yang menentukan perilaku tersebut yaitu mindset. Sedangkan mindset
terdiri dari belief atau belief system yang mempengaruhi perilaku (behavior) dan sikap
(attitude). Oleh karena itu, untuk dapat melakukan perubahan yang berhasil (pada
perilaku atau sikap guru SD/MI) maka diperlukan perubahan belief system mereka. Guru-
guru di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah perlu dibantu untuk mengubah belief
system negatif yang sebelumnya mereka miliki dengan belief system positif yang
memberdayakan dan mendukung pencapaian keberhasilan mereka.
Ketiga, untuk memenangkan persaingan pendidikan di era MEA, para guru
sekolah dasar harus memiliki mindset “driver”, yaitu sosok pendidik yang mampu
menjadi educator, inisiator, kreator, motivator, generator, inspirator, dan role model bagi
orang-orang di sekitarnya. Sebagai seorang driver, guru SD/MI harus memiliki
keseimbangan antara logic dengan hatinya. Mereka tidak cukup hanya bermodalkan
tekad dan semangat, tapi juga berbekal referensi dari pengetahuan akademis. Di samping
itu, kinerjanya selalu didasarkan pada prinsip inisiatif, melayani, navigasi, dan tanggung
jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. (2009). Pendidikan untuk Pembangunan Nasional (Bandung: ImperialBhakti Utama.
Chatib, Munif. (2014). Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan SemuaAnak Juara. Bandung: Kaifa.
Collier, C.C., Houston,W.R., Schematz,R.R, dan Walsh, W.J. (1971). Teaching in the ModernElementary School. New York: The Macmillan Company.
EMIS Pendis. (2014 a). Statistik Pendataan Madrasah Ibtidaiyah: Jumlah Guru PNS .Diakses dari http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/dh2014/mi_umum. php?kel= gurup&tahun=2012/2013 pada tanggal 21 November 2014
EMIS Pendis. (2014 b). Statistik Pendataan Madrasah Ibtidaiyahi: Jumlah Guru Non PNS .Diakses dari http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/dh2014/mi_umum.php?kel=gurun&tahun=2012/2013 pada tanggal 21 November 2014
EMIS Pendis. (2014 c). Statistik Pendataan Madrasah Ibtidaiyah: Jumlah Guru PNSSertifikasi. Diakses dari http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/dh2014/mi_umum.php?kel=gurups&tahun=2012/2013 pada tanggal 21 November2014
Perubahan Mindset dan… (Andi Prastowo)
P a g e [ 641 ]
EMIS Pendis. (2014 d). Statistik Pendataan Madrasah Ibtidaiyah: Jumlah Guru Non PNSSertifikasi. Diakses dari http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/dh2014/mi_umum.php?kel=gurups&tahun=2012/2013 pada tanggal 21 November2014
Fadjar, A. Malik. (1999).Madrasah dan Tantangan Modernitas. Cet.II. Bandung: YASMINbekerjasama dengan Mizan, 1999.
Gultom, Syawal. (2015). “Syawal Gultom” Pewawancara Ester Lince Napitupulu. GuruHonorer Menumpuk di SD. Kompas. 2 April.
Gunawan, Adi W. (2008). The Secret of Mindset. Cet. III. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hakim, M. Fathoni. (2013).Asean Community 2015 Dan Tantangannya Pada PendidikanIslam Di Indonesia. Laporan Penelitian. Surabaya: LP2M IAIN Sunan Ampel.
Kasali, Renald. (2014). Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger ?Jakarta Selatan:Mizan.
Kasali, Rhenald. “Kata Pengantar” dalam Gunawan, Adi W. (2008). The Secret of Mindset.Cet. III. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marzano, Robert.J.(2013). Seni dan Ilmu Pengajaran. Diterj.oleh: Rahmat Purwono.
MOEC. (2012). Indonesia, Educational Statistic in Brief, 2011/2012. Jakarta: MOEC.
Muhammad, Hamid.(2015). “Hamid Muhammad” Pewawancara Ester Lince Napitupulu.Guru Honorer Menumpuk di SD. Kompas. 2 April.
Mulyasa, E. (2013). Pengembangan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: RemajaRosdakarya.
Sidi, Indra Jati. (2003).Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma BaruPendidikan. Cet. II. Jakarta Selatan: Paramadina bekerjasama dengan Logos WacanaIlmu.
Siradjuddin, Bactiar.(2014). BNSP Menyongsong Pasar Bebas AEC 2015. MajalahSertifikasi. Jakarta: BSNP.
Subrayanti, Delta. (2013). Pengaruh Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan IklimOrganisasi terhadap Kinerja Mengajar Guru Sekolah asar Negeri KecamatanSukaresmi Kabupaten Cianjur. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suryadi, Ace. (2014). Pendidikan Indonesia Menuju 2025 Outlook: Permasalahan,Tantangan dan Alternatif Kebijakan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ulwiyah, Nur. (2015). Tantangan Dunia Pendidikan Menghadapi Pasar Tunggal ASEAN2015. Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php/article=116579&val=5316&title=Tantangan%20Dunia%20Pendidikan%20%20Menghadapi%20Pasar%20Tunggal%20Asean%202015.pdf. pada tanggal 18 April 2015.
Wong, Willy. (2010). Membongkar Rahasis Hipnosis. Cet.II. Jakarta: Visimedia.
Wuryandani. Dewi. “Peluang dan Tantangan SDM Indonesia Menyongsong EraMasyarakat Ekonomi ASEAN”, Info Singkat, Vol.VI (17) : 13-16
Zamroni. (2011). Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Galvin Kalam Utama.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 642 ] P a g e
MENJAWAB TANTANGAN GURU MASA DEPAN
MELALUI PENINGKATAN KOMPETENSI SEBAGAI AGEN PEMBELAJARAN
Faridah & Yayat Hidayat AmirPFKIP Universitas Pancasakti Tegal
AbstrakPeran dan tanggung jawab guru masa mendatang akan makin kompleks. Sejalandengan itu, persoalan mendasar mutu pendidikan dari sudut pandang outputdikategorisasi ke dalam tiga bentuk kesenjangan: akademik, okupasional, dankultural. Kondisi tersebut lebih lanjut meniscayakan pendekatan pendidikanyang berparadigma holistik sekaligus meminta model proses pembelajaran yanglebih relevan dan mencerdaskan. Dalam konteks itulah penguatan kompetensiguru sebagai agen pembelajaran menjadi penting, di samping perlunya praktikpedagogik produktif dalam pembelajaran.
Kata Kunci: Kompetensi, Agen Pembelajaran.
PENDAHULUAN
Putaran evolusi masyarakat dalam perempat akhir abad ini mengharuskan
dilakukannya redefinisi konsep pendidikan dan peran guru. Redefinisi tersebut penting
mengingat makin diragukannya relevansi antara pandangan-pandangan lama dengan
aspirasi, kondisi, dan kebutuhan manusia abad ke-21.
Oleh karena itu, redefinisi pendidikan dan peran guru haruslah bermula dari
identifikasi faktor-faktor esensial pendidikan dan masyarakat, yang meliputi: (1)
keterkaitan antara perubahan peran guru dengan konteks sosial kemasyarakatan; (2)
memperjelas definisi sasaran perubahan; (3) mempertegas komitmen bahwa pendidikan
bukan sekadar pelestarian namun regenerasi; (4) kebutuhan belajar di sekolah; dan (5)
sekolah sebagai institusi.
Pernyataan di atas mengisyaratkan dan berimplikasi antara lain perlunya
penguatan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran. Sehubungan dengan hal itu
maka risalah ini akan coba menjawab pertanyaan: bagaimakah peran guru masa depan
dan apa sajakah elemen-elemen pokok kompetensi guru sebagai agen pembelajaran itu?
TANTANGAN GURU MASA DEPAN
Peran dan tanggung jawab guru di masa mendatang akan makin kompleks.
Pertama, guru harus sanggup berkontribusi terhadap peningkatan mutu sumber daya
manusia. Sumber daya manusia yang bermutu dicirikan oleh kemampuan-kemampuan:
(a) penguasaan suatu bidang keahlian yang berkaitan dengan iptek; (b) bekerja
profesional dengan orientasi mutu dan keunggulan; (c) menghasilkan karya-karya unggul
yang dapat bersaing secara global sebagai hasil dari keahlian dan profesionalismenya.
Kedua, guru harus mampu menjawab tantangan hasil didik, sebagaimana
diungkapkan oleh McTighe & Schollenberger (1985): “we must return to basics, but the
Menjawab Tantangan Guru… (Faridah & Yayat Hidayat Amir)
P a g e [ 643 ]
basics of 21st century are not only reading, writing, and arithmatic. They include
communication and higher problem solving skills, and scientific and technological literacy
the thinking tools that allow us to understand the technological world around us.”
Ketiga, profesionalisme guru harus terekspresikan dalam dimensi-dimensi: (a)
kepribadian yang matang dan berkembang/mature and developing personality; (b)
keterampilan membangkitkan minat peserta didik; (c) penguasaan iptek yang kuat; dan
(d) sikap profesional yang berkembang berkesinambungan (Tilaar, 1998).
Keempat, selalu berusaha menunjukkan sosok guru yang bermutu, yang
bercirikan: (a) kemampuan profesional, yang mencakup kemampuan intelegensia, sikap,
dan prestasi kerja; (b) upaya profesional/professional efforts, berupa transformasi
kemampuan profesional ke dalam tindakan mendidik dan mengajar; (c) waktu yang
dicurahkan untuk kegiatan profesional/teacher’s time atau intensitas waktu guru yang
dikonsentrasikan untuk tugas-tugas profesionalnya; (d) kesesuaian antara keahlian
dengan pekerjaannya, dapat membelajarkan siswa secara tuntas, benar, dan berhasil
(Djojonegoro, dalam Tilaar, 1998).
Kelima, guru harus senantiasa: (a) membangun dan membentuk siswa yang
memiliki orientasi ke depan (luwes, tanggap terhadap perubahan, semangat inovasi) ; (2)
senantiasa berhasrat mendayagunakan lingkungan dan kekuatan-kekuatan alam (tidak
tunduk pada nasib, selalu berupaya memecahkan masalah, dan menguasai iptek) ; (3)
memiliki achievement orientation atau orientasi terhadap karya yang bermutu.
Sejalan dengan kelima tuntutan guru masa depan tersebut, persoalan mendasar mutu
pendidikan dari sudut pandang output, dikategorisasi oleh Zamroni (2000) ke dalam tiga
bentuk kesenjangan: akademik, okupasional, dan kultural. Kesenjangan akademik adalah
ketiadaan kaitan antara ilmu yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari. Kesenjangan okupasional, ketidakgayutan antara dunia pendidikan dengan
dunia kerja, meski hal ini bukan hanya disebabkan oleh dunia pendidikan semata.
Kesenjangan kultural, ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan yang sedang
dan akan dihadapi bangsanya di masa depan.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pendidikan yang berparadigma holisitik.
Paradigma holistik melahirkan dua dimensi pembaharuan pendidikan: (1) pendidikan
yang memampukan anak didik berpikir global dan bertindak lokal; (2) pemaknaan ulang
efisiensi pendidikan, dari makna ekonomis semata menjadi keharmonisan dengan
lingkungan, solidaritas, dan kebaikan untuk semua (Zamroni, 2000).
Dalam jangka panjang hal itu memerlukan model proses pembelajaran yang: (1)
penyajian materinya tersusun dalam problema, tema, dan terintegrasi; (2) dampak
belajarnya meliput aspek kognitif dan afektif, khususnya kerjasama dan kompetensi
sosial; (3) gurunya team teaching dengan prosedur yang fleksibel; (4) sasaran
pemahamannya mencakup konsep, hubungan, dan keterkaitan; (5) pembelajarannya
kooperatif.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 644 ] P a g e
ASPEK-ASPEK KOMPETENSI GURU SEBAGAI AGEN PEMBELAJARAN
Konsep kompetensi agen pembelajaran sebetulnya identik dengan kompetensi
pedagogik dan profesional sebagaimana yang diperinci dalam Penjelasan Peraturan
Pemerintah No 14/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang
meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman
terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/silabus; (d) perancangan
pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi
hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda
keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar
yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait;
(d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi
secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya
nasional.
Berkaitan dengan kompetensi pedagogik dan profesional tersebut, maka
profesionalisasi guru sebagai agen pembelajaran seyogianya difokuskan kepada
penguatan kemampuan teknikal yang terkait dengan pembelajaran. Kemampuan yang
dimaksud misalnya diperinci oleh National Board for Profesional Teaching Skill (2002)
sebagaimana dikutip oleh Sudradjat (2009) yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Teachers are committed to students and their learning yang mencakup: (a)
penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa; (b) pemahaman guru
tentang perkembangan belajar siswa; (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa
secara adil; dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers know the subjects they teach and how to teach those subjects to students,
mencakup: (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk
dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain; (b) kemampuan
guru untuk menyampaikan materi pelajaran; (c) mengembangkan usaha
pemerolehan pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are responsible for managing and monitoring student learning mencakup: (a)
penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran; (b) menyusun
proses pembelajaran untuk berbagai setting kelompok; (c) kemampuan untuk
memberikan ganjaran atas keberhasilan siswa; (d) menilai kemajuan siswa secara
teratur; dan (e) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers think systematically about their practice and learn from experience
mencakup: (a) guru secara terus-menerus menguji diri untuk memilih keputusan-
keputusan terbaik; (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai
riset pendidikan untuk meningkatkan praktik pembelajaran.
Menjawab Tantangan Guru… (Faridah & Yayat Hidayat Amir)
P a g e [ 645 ]
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup: (a) guru memberikan
kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan
profesional lainnya; (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat
memanfaatkan berbagai sumber daya masyarakat.
Penguatan kemampuan teknikal pembelajaran itu menjadi penting mengingat
bahwa performance based (teacher) meliputi penguasaan content knowledge, behavior
skills, dan human relation skills (Gaffar, 1987). Content knowledge merupakan penguasaan
materi pengetahuan yang akan diajarkan kepada peserta didik. Behavior skills merupakan
keterampilan perilaku yang berkaitan dengan penguasaan didaktik metodologik yang
bersifat pedagogik maupun andragogik. Human relation skills merupakan keterampilan
untuk melakukan hubungan baik dengan unsur manusia yang terlibat dalam proses
pendidikan.
Meminjam model Subekti (1997) tentang kemampuan dasar guru dilihat dari
keputusan dan tindakan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
hasil belajar (gambar 1), maka kinerja guru sebagai agen pembelajaran dibentuk oleh
derajat pemahaman calon guru mengenai: (1) hakikat mapel; (2) tujuan pembelajaran
mapel; (3) belajar-mengajar mapel.
KOMPETENSIMENGAJAR
GURU (FAKTOR-FAKTOR
TINDAKAN DANKEPUTUSAN
GURU DALAMPERENCANAAN,PELAKSANAANDAN PENILAIAN
HASILPEMBELAJARAN)
HAKIKATBIDANG ILMU
METODEBIDANG ILMU
METODE MENGAJARBIDANG ILMU
PRODUKBIDANG ILMU
KONSEP, PRINSIP, TEORI BIDANGILMU DALAM KURIKULUM DAN
BUKU TEKS
TUJUANPEMBELAJARAN
BIDANG ILMU
PEMAHAMAN GURU ATAS HAKIKATDAN TUJAR BIDANG ILMU
PEMAHAMAN GURU ATAS KAITANFUNGSIONAL TUJAR DENGANKEBUTUHAN/MINAT SISWA
BELAJAR MENGAJARBIDANG ILMU
PEMAHAMAN GURU ATAS: (1)ESENSI BM BIDANG ILMU (VERSI,MODEL, TEORI BM; (2) FAKTOR
PENDUKUNG PENINGKATAN MUTUPEMBELAJARAN
Gambar 1. Profil kemampuan dasar guru dalam mengajar
(Sumber: Subekti, 1997, dimodifikasi)
Pemahaman mengenai hakikat mapel mencakup aspek-aspek metode ilmu dan
produk ilmu. Aspek metode ilmu akan menentukan pilihan metode pembelajarannya.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 646 ] P a g e
Aspek produk ilmu berkenaan dengan kompetensi, prinsip dan tingkatan–sebagaimana
diracik dalam kurikulum dan buku teks.
Pemahaman mengenai tujuan pembelajaran meliputi aspek-aspek hakikat
pembelajaran dan tujuan pembelajaran mapel; serta kaitan fungsionalnya dengan
kebutuhan dan minat siswa.
Pemahaman mengenai belajar-mengajar mapel berkenaan dengan aspek-aspek:
(a) esensi belajar-mengajar mapel berdasarkan beragam versi, model, dan teori belajar-
mengajar; (b) faktor-faktor pendukung peningkatan mutu pembelajaran mapel.
Wotruba dan Wright (1975) mengidentifikasi enam karakteristik mengajar yang
efektif. Pertama, pengorganisasian yang baik dari pokok bahasan dan mata pelajaran.
Organisasi yang baik dari pokok bahasan ditunjukkan dalam tujuan-tujuan, materi
pelajaran, tugas-tugas, aktivitas kelas, dan ujian. Tahapan penyiapan kelas dan efektivitas
penggunaan waktu di dalam kelas, juga merupakan indikator dari organisasi yang baik
dari pokok bahasan dan mata pelajaran.
Riset menunjukkan bahwa pengorganisasian mata pelajaran mempunyai
hubungan dengan cara siswa belajar. Apabila pelajaran diberikan secara terorganisasi
akan dapat membantu mengembangkan kemampuan belajar siswa, maka dapat
dinyatakan bahwa organisasi bahan pengajaran yang baik memberikan kontribusi
terhadap efektivitas mengajar.
Kedua, komunikasi yang efektif. Kemampuan guru termasuk penggunaan
audiovisual atau teknik-teknik lain untuk menarik perhatian siswa, merupakan
karakteristik mengajar yang penting untuk dievaluasi. Keahlian berkomunikasi meliputi
kemampuan-kemampuan menjelaskan presentasi, kelancaran verbal, interpretasi
gagasan-gagasan abstrak, kemampuan berbicara yang baik dan kemampuan
mendengarkan. Dapat berkomunikasi dengan baik merupakan karakteristik penting bagi
mengajar yang efektif. Karena, komunikasi yang efektif sangat penting untuk kelas-kelas
yang besar, seminar, laboratorium, grup-grup diskusi kecil, sebaik dalam percakapan
orang perorang.
Ketiga, pengetahuan dari —dan perhatian pada— bahan pelajaran serta proses
pembelajaran. Guru harus mengetahui bahan pelajaran yang mereka bina agar mereka
dapat mengorganisasikannya secara tepat sehingga dapat mengkomunikasikannya
secara tepat pula. Seorang pengajar penting untuk mencurahkan perhatian dan
pemikirannya terhadap disiplin ilmunya, termasuk yang didapatkannya dari penelitian.
Pengetahuan pengajar terhadap materi pelajaran direfleksikan juga dalam
kemampuannya memilih buku teks, bahan bacaan dan daftar referensi, isi pengajaran
serta silabus pelajaran.
Keempat, sikap yang positif kepada siswa. Sikap-sikap yang disukai siswa di
antaranya ialah pemberian pertolongan oleh pengajar atau instruktur ketika siswa
mengalami kesulitan berkenaan dengan materi pelajaran, pemberian kesempatan
mengajukan pertanyaan atau mengekspresikan opini siswa, dan kepedulian terhadap hal-
hal yang dipelajari siswa. Sikap positif terhadap siswa dicerminkan pula dalam dukungan
Menjawab Tantangan Guru… (Faridah & Yayat Hidayat Amir)
P a g e [ 647 ]
dan kepercayaan diri siswa. Mengajar yang efektif sesungguhnya melibatkan harapan-
harapan yang tepat, pembimbingan dan dorongan kepada siswa.
Kelima, adil dalam ujian dan penilaian. Sejak awal pembelajaran, siswa harus
diberitahu mengenai jenis-jenis penilaian seperti karya tulis, proyek, ujian, kuis-kuis,
yang akan dijumlahkan pada akhir perkuliahan. Keterkaitan masing-masing materi yang
tercakup dalam pelajaran merupakan aspek penting dari keadilan. Konsistensi penting
bagi tujuan pelajaran, isi pelajaran, ujian, kuis-kuis, dan penilaian. Batas waktu dan
manfaat umpan balik mengenai kinerja siswa, juga merupakan elemen penting dari
keadilan sebagaimana kesesuaian antara beban kerja dengan kredit yang diterima.
Umpan balik dalam bentuk peringkat dan komentar tidak hanya dapat menjadi indikator
pencapaian pengetahuan relatif siswa terhadap dibanding rekan sekelasnya, tetapi harus
dapat pula menjadi indikator pertumbuhan pribadi.
Keenam, fleksibel dalam pendekatan mengajar. Pengajar yang jarang mencoba
pendekatan instruksional yang beragam mengindikasikan kehilangan semangat
mengajar. Variasi pendekatan instruksional berguna dalam menyempurnakan
bermacam-macam peraturan dan tujuan-tujuan pelajaran, serta dalam merespons
keragaman latar belakang individual siswa. Dengan memvariasikan langkah-langkah
instruksional yang mempertimbangkan keragaman siswa akan memungkinkan
pencurahan perhatian yang lebih baik dari siswa terhadap materi pelajaran.
URGENSI PRAKTIK PEDAGOGIK PRODUKTIF
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam memfungsikan kompetensi guru sebagai
agen pembelajaran adalah praktik pedagogik produktif. Pedagogik produktif
diberangkatkan dari pemikiran bahwa kebutuhan belajar siswa beragam yang mencakup
perbedaan pola/gaya belajar, latar belakang budaya dan bahasa serta jenis kelamin,
memerlukan strategi pedagogik yang tepat dan efektif terhadap peningkatan kinerja
belajar siswa.
Konsep pedagogik produktif merujuk kepada: (1) model multidimensional dari
praktik pembelajaran di kelas; (2) pedagogi efektif yang memadukan suatu tampilan
strategi mengajar yang menunjang lingkungan kelas, dan mengakui perbedaan, serta
diterapkan pada semua kunci pembelajaran dan area subjek pembelajaran; (3) kerangka
berpikir teoritis yang seimbang untuk pengembangan profesional guru yang
memfokuskan pada refleksi kritis proses-proses yang terjadi dalam situasi belajar di
kelas dan isu keadilan dari proses pendidikan (Hartati, dkk, 2009:1).
Pedagogik produktif memiliki empat dimensi, yaitu: kualitas intelektual, relevansi,
lingkungan kelas yang mendukung, dan mengenali perbedaan. Dimensi kualitas
intelektual meliputi aspek-aspek kelancaran berpikir tingkat tinggi, pengetahuan yang
mendalam, pengertian yang dalam, perbincangan yang substantif, problematik
pengetahuan, dan metalinguistik.
Relevansi mencakup integrasi pengetahuan, latar belakang pengetahuan siswa,
keterhubungan dengan dunia sekitar, dan kurikulum berbasis masalah. Lingkungan kelas
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 648 ] P a g e
yang mendukung meliputi kontrol pelajar, dukungan lingkungan, keterikatan, kriteria
yang eksplisit, regulasi sendiri. Dimensi mengenali perbedaan memuat aspek-aspek
pengetahuan budaya, inklusif, naratif, identitas kelompok, dan kewarganegaraan.
Kinerja guru yang berbasis pedagogik produktif relevan dengan tuntutan
pembelajaran di sekolah efektif, karena melalui kerangka pedagogik produktif, mereka
dapat mempertimbangkan apa yang sedang diajarkan, bagaimanakah variasi gaya dan
pendekatan mengajar serta latar belakang siswa.
Praktik pedagogik efektif dapat meningkatkan kenyamanan bagi siswa, guru dan
lingkungan sekolah. Pedagogik produktif juga meningkatkan kepercayaan diri, kontribusi
guru dan siswa, serta rasa tanggung jawab akan tujuan mereka berada di sekolah. Dengan
demikian, pedagogik produktif dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap
mutu pembelajaran dan mengajar di sekolah.
Keunggulan pedagogik produktif terletak pada potensinya untuk memperbaharui
fokus pada gender, ras, dan kelas sebagai penanda pemerolehan pendidikan yang
sekaligus berperan sebagai cara untuk menghadapi identitas baru pelajar, sosial ekonomi
dan tempat kerja baru, teknologi baru, komunitas yang berbeda, dan budaya yang rumit.
Di atas kompetensi sebagai agen pembelajaran, pekerjaan guru haruslah dihayati sebagai
pengabdian total. Ini berarti guru harus memiliki dan memegang teguh komitmennya
sebagai pendidik. Guru dengan segenap aktivitas profesinya harus dapat memberikan
yang terbaik kepada siswanya, berupa keteladanan dan terutama kejujuran.
Guru yang baik seharusnya: (1) memiliki misi; (2) memiliki suatu keyakinan
positif; (3) mengenal bahwa pikiran yang dibuat memiliki dampak yang mendalam
terhadap keberhasilan dirinya; (4) mengembangkan keterampilan pemecahan masalah
yang memungkinkannya mengatasi setiap tantangan yang dihadapi; (5) mengetahui
penggunaan waktu dan usaha untuk memperoleh hasil yang terbaik dan kepuasan
mengajar.
SIMPULAN
Peran dan tanggung jawab guru di masa mendatang akan makin kompleks. Selain
harus sanggup berkontribusi terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia, para
guru harus pula mampu menampilkan profesionalismenya dalam kepribadian yang
matang dan berkembang; keterampilan membangkitkan minat peserta didik; penguasaan
iptek yang kuat; dan sikap profesional yang berkembang berkesinambungan.
Peran dan tanggung jawab guru masa depan tersebut mengimplikasikan agar
profesionalisasi guru sebagai agen pembelajaran difokuskan kepada penguatan
kemampuan teknikal yang terkait dengan pembelajaran. Dilihat dari keputusan dan
tindakan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil belajar,
maka kemampuan teknikal guru sebagai agen pembelajaran dibentuk oleh derajat
pemahaman calon guru mengenai: (1) hakikat mapel; (2) tujuan pembelajaran mapel; (3)
belajar-mengajar mapel.
Menjawab Tantangan Guru… (Faridah & Yayat Hidayat Amir)
P a g e [ 649 ]
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam memfungsikan kompetensi guru sebagai
agen pembelajaran adalah praktik pedagogik produktif. Pedagogik produktif
diberangkatkan dari pemikiran bahwa kebutuhan belajar siswa beragam yang mencakup
perbedaan pola/gaya belajar, latar belakang budaya dan bahasa serta jenis kelamin,
memerlukan strategi pedagogik yang tepat dan efektif terhadap peningkatan kinerja
belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Gaffar, M. Fakry. 1987. Perencanaan Pendidikan: Teori dan Metodologi. Jakarta: PPLPTK-
Ditjen Dikti Depdikbud.
Hartati, Tatat, dkk, 2009. “Productive Pedagogy & Suject Specific Pedagogy”, Monograf.Universitas Pendidikan Indonesia: Pusat Kajian Pendidikan Sekolah Dasar.
Meier. D. 1987. In School We Trust: Creating Communities of Learning in Era of Testing andStandardization. Boston: Beacon.
Mulyasa, E. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Subekti, Ruchji, 1997, “Profil Kemampuan Dasar Guru Ditinjau dari Keputusan danTindakan Pembelajaran oleh Guru Biologi SMU”, Disertasi PPs-IKIP Bandung, tidakditerbitkan.
Sudradjat, Akhmad. 2009. “Kompetensi Guru”, Tersedia:http//akhmadsudradjat.wordpress.com. [diunduh 2015]
Tilaar, HAR. 1998. Beberapa Agenda reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad21. Jakarta: Tera Indonesia.
Wotruba, T. & Wright, P. 1975. “How to Develop a Teacher-rating Instrument: A Research
Approach”. The Journal of Higher Education, Vol.46, No.6.
Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 650 ] P a g e
DAMPAK SERTIFIKASI GURU DALAM PENINGKATAN KOMPETENSI
PROFESIONAL DI KALANGAN GURU SMK PELITA SALATIGA
Imanuel Sri Murdadi & Entri SulistariFKIP UKSW Salatiga
AbstrakProgram sertifikasi dilakukan supaya guru memiliki penguasaan kompetensisebagaimana dipersyaratkan UU Guru dan Dosen. Tujuan sertifikasi untukmeningkatkan kualitas pendidikan, menentukan kelayakan guru sebagai agenpembelajaran, meningkatkan martabat guru, dan meningkatkan profesionalismeseorang guru. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Pelita Salatiga. Masalahpenelitian ini adalah apakah ada dampak sertifikasi guru dalam peningkatankompetensi profesional di kalangan guru SMK Pelita Salatiga. Penelitian inimenggunakan metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan datamenggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Prosedur analisis dataadalah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikankesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan guru sertifikasi kurang menguasaikompetensi khususnya kompetensi profesional, belum ada upaya peningkatankualitas pendidikan dikarenakan penguasaan kompetensi profesional masihkurang, seperti metode mengajar dan pemanfaatan teknologi. Adanya gurusertifikasi tidak berdampak pada peningkatan kompetensi profesional. Secaratidak langsung penguasaan kompetensi profesional masih tetap seperti sebelumadanya guru sertifikasi.
Kata kunci: Guru Sertifikasi, Kompetensi Profesional
PENDAHULUAN
Guru merupakan tenaga pengajar yang harus memiliki kemampuan standar
kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogic, kepribadian, profesional dan
sosial. Guru yang profesional adalah guru yang dapat memenuhi keempat kompetensi
tersebut. Guru professional dibuktikan dengan sertifikat guru professional yang sering
disebut dengan sertifikasi guru. Guru bersertifikasi adalah guru yang professional dan
memenuhi kompetensi dasar guru. Guru bersertifikasi mendapatkan penghargaan
berupa tunjangan profesi guru yang ditujukan untuk memperkuat kualitas guru yang
bersertifikasi.
Gagasan sertifikasi guru dicetuskan dengan harapan dapat melahirkan guru-guru
yang professional sehingga kualitas pendidikan di Indonesia dapat meningkat, namun
pada saat ini kualitas guru bersertifikasi diragukan “Harus kita akui dengan jujur bahwa
guru mengikuti sertifikasi karena motivasi untuk meningkatkan pendapatan. Sementara
esensi peningkatan kualitas cenderung diabaikan.”
Pemerintah mengadakan uji kompetensi guru untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman dan penguasaan guru terhadap kompetensi dasar guru. “Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) menolak pelaksanaan uji kompetensi dalam proses sertifikasi
guru. Uji kompetensi dinilai tidak sesuai dengan aturan perundangan. Penolakan tidak
seharusnya terjadi jika semua guru sudah menguasai kompetensi dasar. Hakikatnya
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
P a g e [ 651 ]
Sertifikasi guru dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi guru. Undang – undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Guru sertifikasi diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru
dan dosen yang disahkan pada 30 Desember 2005. Pasal 8 UU guru dan dosen
menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani, rohani, dan memiliki kemampuan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
“Sertifikasi pendidik menurut Mulyasa (2007: 33) adalah bukti formal sebagai
pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional. Sertifikasi
guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan terhadap seseorang
telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan
pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga
sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang
untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian
sertifikasi pendidik.”
Tercapainya tujuan sertifikasi guru akan mengantarkan pendidikan pada
peningkatan mutu pembelajaran. Berdasarkan penelitian pendahuluan di SMK Pelita
Salatiga, tentang guru bersertifikasi di SMK Pelita Salatiga masih ada guru yang terlambat
memulai pelajaran dan menyelesaikan pembelajaran sebelum waktu selesai.
Pembelajaran yang disampaikan guru monoton sehingga membuat peserta didik
cenderung kurang memperhatikan. Ada pula guru yang meninggalkan kelas dengan
memberi catatan saja kepada murid. Kedisiplinan dan cara mengajar guru bersertifikasi
di SMK Pelita masih jauh dari harapan. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui
Dampak Sertifikasi Guru dalam Peningkatan Kompetensi Profesional di kalangan guru
SMK Pelita Salatiga.
Sertifikasi diberikan kepada guru yang telah lulus uji kompetensi guru. Guru yang
lolos uji kompetensi dibuktikan dengan sertifikat pendidik dan diberi penghargaan
berupa tunjangan. Sertifikasi guru dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi guru.
Undang – undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen,
mengemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk
guru dan dosen.
Memaknai tujuan sertifikasi guru diharapkan ada peningkatan mutu dan kualitas
pembelajaran para guru bersertifikasi. Adanya sertifikasi pendidik, juga diharapkan
kompetensi guru sebagai pengajar akan meningkat sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Undang - undang guru dan dosen menyatakan dengan jelas bahwa, sertifikasi
sebagai bagian dari peningkatan mutu guru dan peningkatan kesejahteraannya. Oleh
karena itu, lewat sertifikasi ini diharapkan guru menjadi pendidik yang professional yaitu
dengan dibuktikan pemilikan sertifikat pendidik setelah dinyatakan lulus uji kompetensi.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan sebagai salah satu upaya peningkatan mutu
guru diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan pada satuan pendidikan formal
secara berkelanjutan. Guru dalam jabatan yang telah memenuhi persyaratan sertifikasi,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 652 ] P a g e
dapat mengikuti sertifikasi melalui: Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung,
Portofolio, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), atau Pendidikan Profesi Guru.
Pelaksanaan sertifikasi guru dimulai pada tahun 2007 dan tahun 2012 merupakan
tahun keenam. Undang – undang nomor 5 tahun 2012 tentang sertifikasi guru dalam
jabatan, mengacu pada hasil penelaahan terhadap pelaksanaan sertifikasi guru dan
didukung dengan adanya beberapa kajian atau studi tentang penyelenggaraan sertifikasi
guru sebelumnya, pelaksanaan sertifikasi guru pada tahun 2012 dilakukan beberapa
perubahan, antara lain perubahan yang mendasar yaitu pola penetapan peserta dan
pelaksanaan uji kompetensi awal sebelum PLPG.
Jaminan standardisasi mutu proses dan hasil PLPG, perlu disusun rambu-rambu
penyelenggaraan PLPG. Rambu-rambu PLPG ini digunakan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan PLPG oleh Rayon LPTK penyelenggara sertifikasi bagi guru dalam
jabatan tahun 2012. Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bertujuan untuk
meningkatkan kompetensi, profesionalisme, dan menentukan kelulusan guru peserta
sertifikasi.
Penyelenggaraan PLPG dilakukan berdasarkan proses baku yang diuraikan secara
jelas dalam Rambu - rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)
Tahun 2012:
1. PLPG dilaksanakan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru dalam jabatan yang
telah ditetapkan Pemerintah
2. PLPG dilaksanakan berbasis prodi. Untuk mata pelajaran tertentu di SMK yang
prodinya tidak ada di LPTK pelaksanaan PLPG-nya dilakukan oleh LPTK yang ditugasi
melalui bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Pendukung yang memiliki program
studi relevan dengan bidang studi/mata pelajaran guru peserta PLPG. Kerjasama
tersebut dibuktikan dengan MoU dan pernyataan kesediaan dari prodi terkait pada
PT Pendukung.
3. PLPG diselenggarakan selama10hari dan bobot 90 Jam Pembelajaran (JP), dengan
alokasi 46 JP teori dan 44 JP praktik. Satu JP setara dengan 50 menit.
4. Penentuan tempat pelaksanaan PLPG harus memperhatikan kelayakan
(representative dan kondusif) untuk proses pembelajaran.
5. Rombongan belajar (rombel) PLPG diupayakan satu bidang keahlian/mata
pelajaran1.
6. Satu rombel terdiri atas 30 peserta, dan satu kelompok peer teaching/peer guidance
and counseling/peer supervising terdiri atas 10 peserta. Dalam kondisi tertentu
jumlah peserta satu rombel atau kelompok peer teaching/peer guidance and
counseling/peer supervising dapat disesuaikan.
7. Apabila peserta PLPG jumlahnya lebih dari satu rombel, maka pembagian rombongan
belajar harus memperhatikan hasil Uji Kompetensi Awal (UKA). Peserta dengan hasil
UKA rendah dibuat satu rombel dan diusahakan terpisah dari rombel dengan peserta
yang hasil UKA-nya sudah baik. Pengelompokan peserta atas dasar hasil UKA ini juga
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
P a g e [ 653 ]
berlaku ketika pembentukan kelompok peer teaching/peer guidance and
counseling/peer supervising
8. Satu kelompok peer teaching/peer guidance and counseling/peer supervising
difasilitasi oleh dua orang instruktur yang memiliki NIA yang relevan, termasuk pada
saat ujian.
9. Pembelajaran dalam PLPG dilakukan dalam bentuk workshop yang didahului
penyampaian materi penunjang workshop dengan menggunakan multi media
(teknologi informasi) dan multi metode yang berbasis pada pembelajaran aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM).
10. Strategi pembelajaran/workshop harus memperhatikan hasil UKA yang dicapai
peserta. Peserta dengan hasil UKA rendah harus mendapat perhatian khusus, strategi
pembelajaran yang digunakan harus dapat memotivasi peserta untuk meningkatkan
kompetensinya. Bila dianggap perlu, untuk rombel/peserta dengan hasil UKA yang
rendah jam pembelajaran materi B1 bisa ditambah dengan mengambil jam
pembelajaran dari materi B2. Untuk menambah kekurangan jam pembelajaran pada
materi B2, materi tersebut dapat diintegrasikan pada kegiatan workshop pengemasan
perangkat pembelajaran. Penambahan jam pembelajaran materi B1 tidak boleh lebih
dari 6 JP.
11. Pada akhir PLPG dilakukan uji kompetensi dengan mengacu pada rambu-rambu
pelaksanaan PLPG. Uji kompetensi meliputi uji tulis dan uji kinerja (ujian praktik).
Kualitas penyelenggaraan PLPG salah satunya akan tercermin dari prestasi yang
dicapai peserta pada uji kompetensi.”
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa sebagai seorang guru apabila
akan mengajukan sertifikasi harus melalui pelaksanaan pendidikan dan latihan profesi
guru (PLPG) yang didasarkan pada indikator esensial uji kompetensi guru sesuai
tuntutan minimal sebagai agen pembelajaran.
Guru profesional harus memahami standar kompetensi guru yang menjadi dasar
sertifikasi guru. Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi di
samping kode etik sebagai regulasi perilaku profesi yang ditetapkan dalam prosedur dan
sistem pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat
perilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi, investigasi menganalisis dan memikirkan,
serta memberikan perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang
menemukan cara - cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien.
Kompetensi guru dapat dipahami dari penjelasan sebagai berikut:
Menurut Mulyasa (2007:26), “Kompetensi guru merupakan perpaduan antara
kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah
membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi,
pemahaman terhadap peserta didik pembelajaran yang mendidik, pengembangan
pribadi dan profesionalisme”
Standar kompetensi dalam sertifikasi meliputi: kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi professional, kompetensi sosial.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 654 ] P a g e
Kompetensi Pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan
pembelajaran peserta didik. Guru dikatakan telah menguasai kompetensi pedagogik jika
guru memiliki:
1. Kemampuan mengelola pembelajaran
2. Pemahaman terhadap peserta didik
3. Pengembangan kurikulum atau silabus
4. Perancangan pembelajaran
5. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
6. Pemanfaatan teknologi pembelajaran
7. Evaluasi pembelajaran (EHB)
8. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
Kompetensi pedagogik akan tercapai seiring dengan terciptanya pembelajaran
yang efektif dan efisien. Pembelajran yang efektif dan efisien tidak terlepas dari
manajemen guru dalam melakukan pengarahan, pengembangan dan pengawasan dalam
pelaksanaan pembelajaran. Guru diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan
pengembangan kurikulum dan pembelajaran secara efektif serta melakukan pengawasan
dalam pengawasan dalam pelaksanaannya.
Kompetensi kepribadian tidak kalah penting dengan kompetensi pedagogik
yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru adalah panutan dan contoh bagi siswa-
siswanya, secara tidak langsung siswa akan mengikuti apa yang dilakukan oleh guru,
maka berkepribadian baik adalah wajib bagi seorang guru.
Menurut Mulyasa (2007:117)“Berdasarkan standar nasional pendidikan,
penjelasan pasal 28 ayat (3) butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Kompetensi kepribadian sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan pribadi peserta didik.”
Guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian yang memadai.
Kompetensi kepribadian menjadi landasan bagi kompetensi-kompetensi lainnya. Guru
tidak hanya bertugas untuk mentransfer ilmu, yang lebih penting adalah guru dapat
membentuk kepribadian peserta didik. Guru harus memiliki kompetensi kepribadian
yang baik untuk memperkuat 3 kompetensi dasar lain yang harus dikuasai oleh guru.
Memiliki kepribadian yang baik tanpa menguasai materi pembelajaran belum
cukup untuk guru professional. Guru harus menguasai materi pembelajaran karena
materi tersebut akan diajarkan kepada peserta didik. Materi yang tidak dikuasai tidak
mungkin dapat diserap oleh peserta didik.
“Berdasarkan standar nasional pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir c
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
P a g e [ 655 ]
memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam standar nasional pendidikan.”
Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai
tugas utamanya yaitu transfer of knowledge. Guru harus menguasai materi yang diajarkan
sebelum menyalurkan kepada peserta didiknya.
Kompetensi profesional secara umum dapat diidentifikasikan dan disarikan
sebagai berikut:
1. Mengerti dan dapat menerapkan landasan kependidikan baik filosofi, psikologis,
sosiologis, dan sebagainya.
2. Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai taraf perkembangan peserta
didik.
3. Mampu menangani dan mengembangkan bidang studi yang menjadi tanggung
jawabnya.
4. Mengerti dan dapat menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi
5. Mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai alat, media dan sumber belajar
yang relevan.
6. Mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pembelajaran
7. Mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar peserta didik
8. Mampu menumbuhkan kepribadian peserta didik.”
Hal tersebut menguraikan bahwa seorang guru harus mampu menguasai
pelaksanaan tugas utama sebagai guru yaitu mengajar. Kemampuan yang harus dimiliki
guru dalam proses pembelajaran dapat diamati dari aspek profesional adalah:
1. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata
pelajaran yang diampu.
2. Menguasai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran/bidang
pengembangan yang diampu.
3. Mengembangkan materi pelajaran yang diampu secara kreatif.
4. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan
reflektif
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri.
Penguasaan materi dan kompetensi dasar mata pelajaran dalam pembelajaran
sangatlah penting. Pemanfaatan teknologi juga sangat mendukung dalam menyiapkan
pembelajaran, Hal ini akan mampu mendukung penyesuaian perkembangan pendidikan
pada saat ini.
Berdasarkan standar nasional pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir d
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi social adalah kemampuan guru
sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat
sekitar.”(m-edukasi.web.id, 2013)
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 656 ] P a g e
Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan
orang lain. Sekolah merupakan kesatuan yang terdiri dari pengajar, pengurus sekolah
dan siswa. Sekolah tidak dapat berjalan jika tidak ada peserta didik, demikian juga
peserta didik tidak dapat belajar tanpa adanya guru, hal ini menjelaskan begitu
pentingnya interaksi social antara guru dan murid. Kompetensi social harus dimiliki guru
karena guru merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kebutuhan untuk
berinteraksi dengan masyarakat pula. Guru yang memiliki kompetensi social harus
mampu untuk:
1. Berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat.
2. Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional.
3. Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tua atau wali peserta didik.
4. Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.”
Guru dituntut untuk memiliki kompetensi social yang baik, terutama dalam
kaitannya dengan pendidikan. Guru yang memiliki kompetensi kepribadian harus
memiliki tujuh kompetensi sosial agar dapat berkomunikasi dan bergaul secara efektif,
baik di sekolah maupun di masyarakat. Ketujuh kompetensi tersebut menurut Mulyasa
(2007:176) antara lain:
1. Memiliki pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama
2. Memiliki pengetahuan tentang budaya dan tradisi
3. Memiliki pengetahuan tentang estetika
4. Memiliki apresiasi dan kesadaran social
5. Memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan
6. Setia terhadap harkat dan martabat manusia.”
Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang
profesional, sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk
menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, di mana pendidikan yang
berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan peningkatan kualitas
pendidikan
Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang
berbentuk multidimensional guru yang demikian adalah guru yang secara internal
memenuhi kriteria administratif, akademis dan kepribadian. Adapun ciri ciri guru
profesional:
1. Selalu punya energi untuk siswanya
2. Punya ketrampilan mendisiplinkan yang efektif
3. Punya ketrampilan manajemen kelas yang baik
4. Bisa berkomunikasi baik dengan Orang Tua
5. Punya harapan yang tinggi pada siswanya
6. Pengetahuan tentang Kurikulum
7. Pengetahuan tentang subjek yang diajarkan
8. Selalu memberikan yang terbaik untuk Anak-anak dan proses pengajaran
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
P a g e [ 657 ]
9. Punya hubungan yang berkualitas dengan siswa
Ketika seorang guru sudah mengikuti serta memahami langkah-langkah tersebut
berarti layak untuk menjadi guru yang professional. Profesional tidak hanya berarti ahli
saja. Namun selain memiliki keahlian juga harus bekerja pada bidang yang sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya. Seorang profesional tidak akan pernah berhenti menekuni
bidang keahlian yang dimiliki. Selain itu, seorang profesional juga harus selalu melakukan
inovasi serta mengembangkan kemampuan yang dimiliki supaya mampu bersaing untuk
tetap menjadi yang terbaik di bidangnya.
METODE
Setiap kegiatan pasti mempunyai urutan langkah-langkah penyelesaian dari awal
kegiatan sampai selesai. Demikian juga pada penelitian ini mempunyai urutan langkah –
langkah penyelesaiannya. Sebagai seorang pendidik yaitu guru sudah seharusnya
mengetahui dan memahami standar kompetensi guru, yaitu kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, kompetensi social. Guru dapat mengajar dan mendidik apabila
guru memiliki, memahami, menjalankan keempat standar kompetensi tersebut dan bisa
dikatakan guru profesional. Guru yang lolos uji kompetensi akan mendapat penghargaan
berupa sertifikat guru profesional dan selanjutnya disebut sertifikasi guru. Tujuan dari
sertifikasi guru adalah meningkatkan kualitas guru yang selanjutnya akan meningkatkan
mutu pembelajaran, dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara
keseluruhan dan berkelanjutan, jika hal ini tercapai maka tujuan dari sertifikasi guru
terpenuhi, dan sebaliknya. Terlebih dalam kompetensi profesional, karena guru dituntut
menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam, serta menguasai metode
pembelajaran dengan
Gambar: 1. Kerangka Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif karena
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini bersifat kompleks, holistik, dinamis dan
penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan
metode penelitian kuantitatif dengan instrument seperti test, kuesioner, pedoman
wawancara. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam.
Penelitian tentang dampak sertifikasi guru dalam Peningkatan kompetensi
profesional di kalangan guru SMK Pelita Salatiga. Metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.
Sertifikasi Guru
Guru
Kompetensi Profesional
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 658 ] P a g e
Sedangkan untuk menjamin keabsahan data dilakukan triangulasi. Teknik analisis data
yang digunakan adalah deskriptif naratif. Teknis ini menurut Miles dan Huberman diterapkan
melalui tiga alur yaitu: Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verifikasi.
Data mentah berupa hasil observasi, wawancara dan dokumentasi yang
didapatkan selama proses penelitian sesegera mungkin akan direduksi. Reduksi data
dilakukan dengan merangkum data, memisahkan data yang penting dari data sampah,
memilih data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan membuang data yang tidak
diperlukan. Reduksi data harus dilakukan sesegera mungkin setelah data diperoleh agar
setiap tahapan pengumpulan data terpadu oleh fokus yang jelas, sehingga observasi dan
interview selanjutnya semakin terfokus, menyempit, dan menemui titik jenuh sehingga
penelitian dapat segera diakhiri.
Data yang sudah direduksi dapat disajikan dalam data display. Penyajian data
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membuat bagan serta uraian singkat tentang
hubungan antar kategori. Data display dapat memudahkan peneliti dan pembaca untuk
memahami apa yang terjadi dalam latar penelitian. Tahap terakhir yang dilakukan dalam
analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan
(Conclusion: drawing/verifying). Penarikan kesimpulan bertujuan untuk menjawab
masalah penelitian yang telah ditentukan pada awal penelitian. Masalah dalam penelitian
kualitatif masih bersifat sementara dan dapat berkembang setelah penelitian berada di
lapangan. Menurut Sugiyono (2009:247), komponen analisis data sebagai berikut:
Gambar: 2. Komponen Analisis data (interactive model)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemahaman Standar Kompetensi Guru
Pemahaman standar kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial terhadap guru sertifikasi di
SMK Pelita Salatiga, sebagaimana dituangkan dalam Tabel 1, menunjukkan bahwa
pemahaman guru sertifikasi terhadap standar kompetensi guru menurut guru sertifikasi,
kepala sekolah, dan guru di SMK Pelita Salatiga. Menurut guru sertifikasi terhadap
pemahaman standar kompetensi guru, diperoleh bahwa guru sertifikasi memahami
keempat kompetensi yang ada didalam standar kompetensi guru, yaitu kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Data collection
Conclusionsdarawing/verifying
Data reduction
Data display
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
P a g e [ 659 ]
Kepala sekolah mengemukakan bahwa pemahaman guru sertifikasi terhadap standar
kompetensi guru, masih ada guru sertifikasi yang kurang memahami dan memahami
standar kompetensi guru, kebanyakan guru sertifikasi hanya memahami kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, namun pada kompetensi profesional dan
kompetensi sosial guru sertifikasi masih kurang memahami kompetensi tersebut.
Sedangkan guru SMK Pelita Salatiga melihat pemahaman guru sertifikasi terhadap
kompetensi guru, menyebutkan bahwa indikator kompetensi pedagogik, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial, hanya pada kompetensi kepribadian yang memahami
setiap indikator. Berdasarkan temuan ini menunjukkan bahwa pendapat antara oleh guru
sertifikasi, kepala sekolah dan guru di SMK Pelita Salatiga terhadap pemahaman yang
berbeda.
Tabel 1. Pemahaman guru sertifikasi terhadap standar kompetensi guru, menurut guru
sertifikasi, kepala sekolah dan guru SMK Pelita Salatiga
NoStandar Kompetensi
GuruGuru
SertifikasiKepala Sekolah Guru
1. Kompetensi Pedagogik Memahami Memahami Kurang Memahami2. Kompetensi
KepribadianMemahami Memahami Memahami
3. Kompetensi Profesional Memahami KurangMemahami
Kurang Memahami
4. Kompetensi Sosial Memahami KurangMemahami
Kurang Memahami
Kompetensi Profesional
Hasil wawancara dengan 10 guru sertifikasi diperoleh kebanyakan guru sertifikasi
di SMK Pelita mampu menguasai dan melaksanakan peningkatan kompetensi
professional. Hal ini dilakukan dengan dalam pembelajaran dengan power point dan
peragaan sehingga siswa tidak jenuh saat diajar dengan metode ceramah terus. Dalam
mengembangkan keprofesionalan secara kreatif dan berkelanjutan saya berusaha terus
belajar dari media audio, visual dan perkembangan teknologi sehingga pembelajaran
yang saya terapkan tidak monoton”. “Dalam proses belajar mengajar juga sering
menggunakan fasilitas sekolah yang berhubungan dengan teknologi informasi seperti
LCD dalam menerangkan materi, dan menggunakan wifi sekolah untuk mencari materi
dalam kaitannya pengembangan materi.
Pemanfaatan teknologi informasi memang sudah seharusnya untuk
mengembangkan dan meningkatkan penguasaan pembelajaran yang ada, karena hal
tersebut membantu untuk cara penyampaian pembelajaran yang bervariasi dan bisa
mengembangkan materi yang disesuaikan dengan situasi perkembangan pendidikan saat
ini.
“Setelah adanya sertifikasi guru, merasa sudah meningkatkan kemampuan
kompetensi profesional, seperti penguasaan materi dan metode pembelajaran sudah saya
kuasai dalam proses belajar mengajar, sehingga siswa yang saya ajar mengerti dan situasi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 660 ] P a g e
kelas juga saya kendalikan dalam artian siswa tidak bosan atau tidak mainan sendiri saat
saya mengajar.”
Kebanyakan guru sertifikasi menyampaikan bahwa mampu melaksanakan dan
memahami indikator di dalam kompetensi profesional yang mencakup penguasaan
materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang
diampu. Keprofesionalan Guru secara berkelanjutan juga mampu dikembangkan dengan
melakukan tindakan reflektif. Mampu memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk mengembangkan diri dalam kaitannya sebagai guru.
Menurut kepala sekolah pemahaman dan pelaksanaan guru sertifikasi tentang
peningkatan kompetensi profesional. Masih banyak guru bahkan semua guru masih
menyuruh siswa mencatat materi di papan tulis, hal tersebut memang tidak efektif dan
kurang efisien jika dilihat guru tersebut sudah menjadi guru sertifikasi, karena guru
sertifikasi dituntut profesional. Cara guru sertifikasi mengajar juga masih monoton dan
masih sama seperti sebelum menjadi guru sertifikasi.”
Menurut Guru SMK Pelita Salatiga, guru sertifikasi: pemahaman dan pelaksanaan
yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi professional menunjukkan masih
banyak guru sertifikasi yang kurang optimal.
Perbedaan guru sertifikasi dengan guru yang belum sertifikasi adalah masih
banyaknya guru sertifikasi yang kurang meningkatkan pembelajarannya, tetapi ada juga
guru sertifikasi yang benar-benar meningkatkan pembelajaran setelah menjadi guru
sertifikasi.
Pemanfaatan teknologi dalam pengembangan pembelajaran di kalangan guru
sertifikasi masih banyak yang kurang paham mengoperasikan teknologi seperti
pengoperasian computer, kadang menyuruh guru lain untuk menyelesaikan pekerjaan
tugasnya.
Pendapat kepala sekolah dan guru di SMK Pelita Salatiga berbeda jauh dengan
penjelasan dari guru sertifikasi terhadap penguasaan dan pelaksanaan guru sertifikasi
tentang peningkatan kompetensi profesional. Secara umum guru sertifikasi di SMK Pelita
Salatiga masih belum ada upaya peningkatan kompetensi profesional.
Pembahasan
Standar Kompetensi Guru
Hasil penelitian awal menunjukkan pemahaman guru sertifikasi terhadap standar
kompetensi guru menurut guru sertifikasi, kepala sekolah, dan guru di SMK Pelita
Salatiga. Menurut guru sertifikasi terhadap pemahaman standar kompetensi guru,
dikatakan bahwa guru sertifikasi memahami keempat kompetensi yang ada di dalam
standar kompetensi guru. Sedangkan kepala sekolah mengemukakan bahwa guru
sertifikasi terhadap standar kompetensi guru, masih adanya guru sertifikasi yang kurang
memahami dan memahami standar kompetensi guru. Guru sertifikasi hanya memahami
kompetensi pedagogik dan kompetensi kepribadian, sedangkan kompetensi profesional
dan kompetensi sosial guru sertifikasi kurang memahami. Berdasarkan tinjauan oleh
Dampak Sertifikasi Guru… (Imanuel Sri Murdadi & Entri Sulistari)
P a g e [ 661 ]
guru sertifikasi, kepala sekolah dan guru di SMK Pelita Salatiga terhadap pemahaman
standar kompetensi guru oleh guru sertifikasi, menunjukkan bahwa masih adanya guru
sertifikasi yang kurang memahami.
Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan salah satu kompetensi pada standar
kompetensi guru, di dalam kompetensi profesional terdapat 5 indikator yang harus di
pahami dan dikuasai seorang guru. Hasil penelitian yang berkaitan dengan penguasaan
dan pelaksanaan kompetensi profesional oleh guru sertifikasi dilihat dari pandangan
guru sertifikasi, mampu menguasai dan melaksanakan setiap indikator dalam
kompetensi profesional. Namun menurut kepala sekolah, dan guru SMK Pelita Salatiga
berbeda jauh dengan pandangan guru sertifikasi itu sendiri yang menjelaskan bahwa
guru sertifikasi kurang menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang
mendukung mata pelajaran yang diampu.. Sebagai guru juga harus menguasai standar
kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu sebagai seorang guru
sertifikasi tetapi nyatanya guru sertifikasi belum mampu menjalankan hal tersebut.
Kurang mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif karena cara
pembelajarannya masih monoton. Guru sertifikasi juga masih kurang memahami tentang
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri dalam
kaitannya sebagai guru, karena masih adanya guru sertifikasi yang kurang menguasai
teknologi khususnya komputer. Pada dasarnya guru sertifikasi masih sama seperti guru
yang belum menjadi guru sertifikasi.
Penguasaan dan pelaksanaan kompetensi profesional bisa jadi sebagai tolak ukur
dalam kegiatan pengembangan profesi, baik yang berkaitan dengan usaha
penyelenggaraan lembaga pendidikan maupun kegiatan pembelajaran di sekolah.
“Menurut pandangan Zamroni ( 2007:2) dikatakan bahwa peningkatan mutu
sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas
proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar
menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien” Berkaitan dengan
hal tersebut, guru dituntut mampu meningkatkan penguasaan yang berkaitan dengan
faktor-faktor peningkatan pembelajaran di sekolah.
Guru sertifikasi mendapat tunjangan gaji yang berlipat dan sangat
menyejahterakan guru yang bersangkutan. Tujuan sertifikasi juga untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, tetapi dalam kenyataannya pembelajaran yang diberikan oleh guru
sertifikasi masih sama seperti sebelum menjadi guru bersertifikasi, sehingga mutu
pembelajaran dan peningkatan kompetensi profesional kurang meningkat. “Harus kita
akui dengan jujur bahwa guru mengikuti sertifikasi karena motivasi untuk meningkatkan
pendapatan. Sementara esensi peningkatan kualitas cenderung diabaikan (Akhmad
Sudrajat, 2008).
Guru sertifikasi harusnya lebih meningkatkan penguasaan standar kompetensi
guru khususnya kompetensi profesional serta kualitas pendidikan, dengan adanya
peningkatan tunjangan yang diterima oleh guru sertifikasi.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 662 ] P a g e
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa guru sertifikasi tidak berdampak pada peningkatan
kompetensi profesional di kalangan guru SMK Pelita Salatiga, kualitas pendidikan dalam
kaitannya kompetensi profesional masih tetap seperti sebelum adanya guru sertifikasi.
Berdasarkan temuan tersebut dapat disarankan bahwa kepala sekolah selalu
meningkatkan pengawasan guru sertifikasi haruslah untuk mengetahui kinerja guru
sertifikasi dalam kaitanya bagi peningkatan mutu pendidikan dengan cara kepala sekolah
merancang dan mengembangkan program yang tepat untuk guru.
Bagi peneliti selanjutnya bisa meneliti tentang peningkatan proses dan kualitas
pendidikan yang bersangkutan dengan sertifikasi terhadap peningkatan standar
kompetensi guru SMK di kota Salatiga. Dengan demikian bisa membandingkan kualitas
pendidikan dalam kaitannya peningkatan pemahaman standar kompetensi guru SMK di
kota Salatiga.
DAFTAR PUSTAKA
A Chaedar Alwasilah, 2011, Pokoknya Kualitatif, Pustaka Jaya Jakarta
Dadang suhardan, 2010, supervisi profesional, Alfabeta, Bandung
Data Administrasi SMK Pelita Salatiga
Djam’an Satosi & Aan Komariah, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/05/peningkatan-mutu-pembelajaran-di-sekolah/ 27 Agustus 2012
http://subagio-subagio.blogspot.com/2010/02/peningkatan-mutu-pembelajaran-di.html/30 september 2012
http://www.m-edukasi.web.id/2012/06/kompetensi-profesional-guru.html //15 mei2013
Lembaga Penelitian Semeru, 2010, Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan 2007:Studi Kasus di Provinsi Jambi, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat, Jakarta
Lexy J. Moeleong, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung
Marselus Payong, 2011, Sertifikasi Profesi Guru, Indeks, Jakarta
Mulyasa, 2007, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Rosdakarya, Bandung
Suara Merdeka,Guru Tolak Uji Kompetensi, Kamis 12 Januari 2012
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan, Alfabeta, Bandung
www.kompas.com, Sertifikasi Belum Memuaskan, Rabu 15 Agustus 2012
Yayasan Pendidikan Pelita,2009 ,Surat Keputusan Pembagian Tugas Guru DalamKegiatan Proses Belajar Mengajar Bimbingan Dan Penyuluhan Dan Karyawan,SMK Pelita Salatiga
Profesionalisme Guru…(Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono)
P a g e [ 663 ]
PROFESIONALISME GURU:
BELAJAR SEUMUR HIDUP UNTUK MENGAJAR SEUMUR HIDUP
Ni’matush Sholikhah & Hendry CahyonoFakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
AbstrakSumber daya manusia yang profesional di suatu negara tidak terlepas dariperanan tenaga pendidik, terutama guru yang profesional. Tujuan dari penelitianini adalah untuk mengetahui cara meningkatkan profesionalisme guru sebagaiseorang pendidik di Indonesia, berkaca dengan konsep pendidikan di Finlandiasebagai negara terbaik dalam pengelolaan pendidikan menurut penilaianInternasional PISA. Penelitian ini menggunakan metode kajian literatur. Artikelini menyimpulkan bahwa program peningkatan profesionalisme guru dapatdilakukan melalui standardisasi proses pengajaran calon pendidik di tingkatuniversitas atau LPTK, menjadikan guru berbasis penelitian, serta mengadakanpendidikan dan pelatihan guru secara kontinyu. Semua kegiatan programpeningkatan profesionalisme guru tersebut harus didukung penuh daripemerintah pusat maupun daerah.
Kata Kunci: program peningkatan profesionalisme guru
PENDAHULUAN
Dalam menyambut perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang
akan dimulai per 31 Desember 2015, Indonesia dituntut siap menghadapi MEA sebagai
sarana untuk lebih mensejahterakan penduduk Indonesia. Perdagangan bebas MEA
menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan
elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang
lebih luas. Yang menjadikan pekerjaan rumah oleh pemerintah Indonesia dalam
menghadapi perdagangan bebas adalah sumberdaya manusia yang dimiliki. Data Human
Development Index (HDI) menunjukkan bahwa Indonesia di posisi 108 pada tahun 2013.
Hal ini jauh berbeda dengan empat negara ASEAN lainnya, Thailand peringkat 89,
Malaysia menempati posisi peringkat 62, Singapura peringkat 9, Brunei Darussalam
peringkat 30. Meskipun posisi HDI Indonesia masih di atas Philippines peringkat 117,
Vietnam peringkat 121, Laos peringkat 139, Myanmar peringkat 150, dan Cambodia
peringkat 136 (UNDP, 2014).
Perbedaan yang jauh menjadikan Indonesia harus memperbaiki ketertinggalan
sumberdaya manusianya. Perbaikan sumberdaya manusia di suatu negara tidak terlepas
dari peranan tenaga pendidik, terutama guru. Guru mengambil kunci utama dalam
mengembangkan dan membentuk kualitas sumberdaya manusia yang baik dan
profesional. Sesuai dengan amanah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang
tujuan negara Indonesia yaitu”.....turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan
bangsa,” menjadikan guru sebagai pengemban amanah tersebut.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 664 ] P a g e
Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, yang mampu
bersanding bahkan bersaing dengan negara maju, diperlukan guru dan tenaga
kependidikan profesional (Mulyasa, 2012). Guru dan tenaga kependidikan yang
profesional inilah yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan suatu
negara. Hal ini dikarenakan guru sebagai pilar dalam dunia pendidikan yang harus
mencetak generasi penerus bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional pasal 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, “Pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.”
Guru yang baik adalah guru yang memiliki kompetensi dan profesional dalam
bidangnya. Kompetensi diartikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. Dalam menjalankan profesi profesionalnya, guru
diharapkan memiliki kompetensi di antaranya: 1) kompetensi kognitif, yang merupakan
kemampuan dalam bidang intelektual; 2) kompetensi afektif, yang merupakan bentuk
kesiapan dan kemampuan guru dalam berbagai hal yang berkaitan dengan tugas
profesinya; dan 3) kompetensi perilaku, yang merupakan kemampuan dalam berperilaku
baik membimbing maupun mengevaluasi (Adlan dalam Yusuf, 2011).
Selanjutnya, kompetensi guru dinyatakan memenuhi standar dan profesional jika
guru telah memperoleh sertifikasi. Sertifikasi guru merupakan amanat Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sertifikasi diberikan bagi guru dalam jabatan maupun bagi calon guru. Namun, sampai
saat ini masih banyak guru yang belum tersertifikasi. Hal ini menandakan masih banyak
guru yang belum memiliki standar mutu sebagai seorang pendidik. Di samping itu, masih
banyaknya guru yang belum memiliki sertifikat pendidik, menjadikan kesejahteraan guru
masih rendah. Dikarenakan, sertifikasi pendidik akan mengantarkan guru mendapatkan
penghargaan berupa materi yang diberikan oleh pemerintah.
Bila ditelaah lebih jauh, sertifikasi guru tidak hanya berbicara tentang
administratif kepegawaian saja, namun merupakan suatu sarana untuk
menstandarisasikan kompetensi guru yang profesional, yang nantinya mampu menjadi
sumberdaya pendidik yang siap untuk menjadi tenaga pendidik di sekolah-sekolah.
Namun, di Indonesia sertifikasi guru hanya sebatas administratif kepegawaian untuk
memperoleh kesejahteraan finansial semata. Paradigma inilah yang perlu diubah dan
diperbaiki.
Berbeda dengan negara Finlandia, yang merupakan negara top skor OECD dalam
pengelolaan pendidikan pada tahun 2000 oleh Penilaian Internasional PISA (Sahlberg,
Profesionalisme Guru…(Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono)
P a g e [ 665 ]
2010). Finlandia sangat baik mengelola sumberdaya pendidik khususnya guru. Semua
guru di Finlandia diharuskan memiliki gelar Master untuk mengajar di tingkat sekolah
dasar (Sahlberg, 2007). Bahkan, guru dianjurkan untuk menambah keprofesionalannya
dengan menjalani program doktoral kependidikan.
Di samping itu, jam kerja guru hanya di bawah 600 jam per tahun. Sebaliknya di
Amerika Serikat, seorang guru pada tingkat yang sama biasanya mencurahkan 1.080 jam
untuk mengajar setiap tahunnya (Sahlberg, 2010). Bahkan di Indonesia, guru
mencurahkan hampir seluruh jam hidupnya untuk mengajar, yakni 1.152 jam per tahun.
Selanjutnya, guru disediakan waktu untuk pengembangan profesional dalam pekan kerja
guru (OECD, 2005; Darling-Hammond, 2009). Hal ini memberikan peningkatan
kompetensi secara berkala bagi guru-guru di Finlandia. Bahkan, guru melalui pihak
sekolah berhak mengajukan materi pengembangan profesinya kepada pihak terkait
sesuai dengan kebutuhan guru.
Guru di Finlandia merupakan profesi yang bergengsi dan dihormati dengan
penghormatan publik yang besar dan penghargaan yang besar (Simola, 2005; Sahlberg,
2007). Hal ini pun dipertegas dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan Helsingin
Sanotikar tahun 2004 kepada lulusan SMA di Finlandia atas profesi yang diincar, guru
menempati posisi unggulan (Sahlberg, 2010). Hal ini dikarenakan profesi guru dalam
kacamata para lulusan terbaik sekolah menengah atas, adalah profesi yang independen
dengan segala kebijakan otonomi guru dalam melakukan mengajaran di kelas.
Hal ini tidak luput dari besarnya anggaran pendidikan yang dikucurkan
pemerintah Finlandia. Sistem pendidikan di sana pun dianggap sangat independen dan
tidak akan terpengaruh oleh pergantian politik pemerintahan. Hal ini dikarenakan
pemerintah menaruh tanggungjawab otonomi bagi delapan universitas di Finlandia yang
merupakan satu-satunya organisasi yang berhak mengeluarkan guru lisensi di Finlandia,
serta memberikan tanggungjawab otonomi pula pada guru dalam mendidik serta
evaluasi terhadap para siswanya (Sahlberg, 2011). Guru dinilai sebagai satu-satunya
pihak yang berwenang atas penilaian kemampuan peserta didik daripada pihak eksternal
(pemerintah).
Pengembangan pendidik yang profesional di Finlandia bertolak belakang dengan
yang terjadi di tanah air. Sehingga diperlukan pembenahan yang baik guna meningkatkan
sumberdaya pendidik di Indonesia dengan mengadopsi beberapa konsep pendidikan dari
negara terbaik dunia ini. Selanjutnya, diperlukan diskusi lebih lanjut tentang bagaimana
meningkatkan profesionalisme guru sebagai seorang pendidik di Indonesia, berkaca
dengan konsep pendidikan di Finlandia.
DUKUNGAN PENUH PEMERINTAH DALAM FINANSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN
SDM GURU
Human Capital adalah sebuah investasi dalam bentuk pengembangan dan
pendidikan sumberdaya manusia. Modal sumber daya manusia (human capital)
merupakan stok kekayaan pengetahuan yang sangat berharga sehingga setiap negara
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 666 ] P a g e
yang memilikinya dapat memajukan kegiatan ekonomi melalui pencapaian tenaga kerja
yang produktif (Yustika, 2008:23). Investasi sumberdaya manusia umumnya
memerlukan dana yang besar dan berkelanjutan. Namun, hasil dari investasi SDM ini
tidak dapat langsung dinikmati dengan rentang waktu yang cepat. Butuh waktu
bertahun-tahun bahkan dalam satuan dekade, agar investasi human capital ini dapat
dinikmati oleh suatu negara dan berdampak pada peningkatan kualitas SDM.
Hampir 98% biaya pendidikan di semua tingkatan jenjang pendidikan di Finlandia
adalah ditanggung oleh pemerintah, bukan oleh sumber swasta (NCES, 2007; Darling-
Hammond, 2009). Hal ini pun, seharusnya menjadi cerminan bagi tanah air untuk lebih
memperhatikan dana pendidikan guna meningkatkan investasi modal manusia. Bentuk
investasi sumberdaya manusia yang dimaksud di sini adalah investasi dalam program
peningkatan profesionalisme guru di Indonesia. Pemerintah diharapkan memberikan
dukungan dana dalam program peningkatan profesionalisme guru yang meliputi: 1) dana
bagi pendidikan guru di tingkat universitas; 2) dana bagi kompensasi kesejahteraan (gaji)
guru yang baik; dan 3) dana bagi program pengembangan dan pelatihan tenaga pendidik
(guru) secara kontinu.
Pertama, pemerintah dalam membenahi sumberdaya guru, diharuskan memulai
dari akar suatu program peningkatan profesionalisme guru, yakni di tingkatan
universitas. Dalam artian, pemerintah mendukung penuh pendanaan dalam tahapan
pertama pendidikan bagi pendidik (guru) di tingkat universitas atau Lembaga Perguruan
Tinggi Keguruan (LPTK) yang telah ditunjuk pemerintah sebelumnya. Dana disediakan
mulai dari pengeluaran beasiswa bagi calon mahasiswa di Lembaga Perguruan Tinggi
Keguruan (LPTK), proses pendidikan di universitas, sampai penyertifikasian atau
pemberian lisensi bagi lulusan guru yang dikeluarkan universitas tersebut.
Selanjutnya, guru yang sudah terjun mengajar dan mengabdi bagi negara, wajib
diberikan kompensasi kesejahteraan berupa gaji maupun tunjangan yang lainnya sesuai
dengan kedudukan guru sebagai profesi penting di suatu negara. Kompensasi
kesejahteraan merupakan penghargaan bagi seseorang dalam melakukan suatu
pekerjaan. Nantinya dengan kesejahteraan yang terpenuhi akan membantu individu lebih
meningkatkan kesungguhan dalam menjalankan profesi/pekerjaannya. Dengan
demikian, dengan dihargainya keprofesionalan seorang pekerja akan membantu pekerja
tersebut lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan pekerjaannya, tidak terkecuali
bagi profesi guru.
Dan terakhir dalam program peningkatan profesionalisme guru, dukungan dana
secara berkelanjutan harus dikucurkan bagi program pengembangan dan pelatihan
tenaga pendidik (guru). Kebutuhan finansial dalam program pengembangan dan
pelatihan tenaga pendidik (guru) setiap tahun wajib dianggarkan pemerintah pusat dan
bekerjasama dengan pemerintahan lokal sebagai bagian dari sistem desentralisasi.
Sehingga terjadinya keselarasan antara kebutuhan guru melalui program pengembangan
dan pelatihan tenaga pendidik dengan pemenuhan kebutuhan tersebut secara finansial
oleh pemerintahan lokal di mana sekolah tersebut berada. Hal ini telah dilakukan
Profesionalisme Guru…(Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono)
P a g e [ 667 ]
pemerintahan Finlandia yang mendanai kebutuhan program pengembangan pelatihan
dan pendidikan yang diajukan guru/sekolah sesuai dengan kebutuhan mereka (Sahlberg,
2010).
Di Finlandia, transisi sistem otorisasi dari pemerintah pusat kepada pemerintahan
daerah melalui sistem desentralisasi terjadi pada tahun 1990-an. Penerapan ini
membawa dampak positif di bidang keuangan negara selama krisis ekonomi yang terjadi
saat itu dan anggaran publik atas pendidikan pun tidak terkena dampaknya (Aho et al.,
2006; Sahlberg, 2007). Dikatakan bahwa hal ini terjadi karena otoritas negara tidak ingin
membuat keputusan keuangan yang sulit yang akan memotong anggaran pendidikan di
saat ketidakpastian ekonomi yang terjadi yang akan berefek negatif pada sekolah.
Namun, dengan pembagian tanggungjawab kepada pemerintahan lokal, pendanaan
pendidikan pun bisa diselamatkan. Dan yang terpenting, tingkat korupsi yang sangat
rendah menambah andil kesuksesan pendanaan investasi modal manusia ini.
UNIVERSITAS SEBAGAI MESIN PENGHASIL GURU YANG PROFESIONAL
Universitas merupakan lembaga pendidikan penghasil lulusan tenaga kerja, tidak
terkecuali guru. Universitas memegang kendali dalam tugas menjaga kualitas tenaga
kerja yang dihasilkan dalam koridor memenuhi standar/kompetensi sesuai dengan pasar
bahkan profesional di bidangnya. Dalam menghasilkan lulusan guru yang kompeten dan
profesional, universitas diharapkan mampu mengelola dengan baik sistem
pendidikannya. Pemerintah sebaiknya menetapkan beberapa universitas yang memenuhi
standar dan berizin dalam mencetak lulusan guru yang berlisensi profesional. Hal ini
bertujuan untuk menjaga luaran lulusan guru yang kompeten dan profesional sesuai
standar yang ditetapkan. Hal ini berkaca dengan sistem di negara Finlandia, yang hanya
memberikan izin kepada delapan universitas sebagai penyelenggara pendidikan
berlisesensi bagi guru (Sahlberg, 2011). Selanjutnya, universitas diberikan hak otonomi
dalam penyelenggaraan pendidikan bagi guru, namun tetap mengarah pada peraturan
pemerintah pusat.
Universitas diharapkan sebagai mesin penghasil guru yang profesional, mulai dari
perekrutan calon mahasiswa sampai dengan menghasilkan lulusan yang
berlisensi/bersertifikasi profesional. Pertama, universitas membuat standar dalam
perekrutan bagi calon mahasiswa pendidikan. Standar perekrutan terdapat dua tahapan,
tahapan penilaian matrikulasi hasil belajar di SMA serta prestasi sekolah dan tahapan uji
kompetensi, bakat dan minat calon mahasiswa. Penggunaan konsep ini sebenarnya sudah
diterapkan di universitas negeri Indonesia, namun teruntuk universitas swasta masih
belum diterapkan. Oleh sebab itu, standarisasi harus dimiliki oleh setiap
universitas/Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan.
Selanjutnya, di tahapan pembelajaran di universitas, mahasiswa calon guru
diharapkan memiliki pengetahuan mendalam tentang 1) wawasan pendidikan dari
berbagai perspektif ilmu pedagogik, termasuk psikologi pendidikan dan sosiologi, teori
kurikulum, penilaian, kebutuhan khusus seorang pendidik, dll; 2) pengetahuan konten; 3)
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 668 ] P a g e
ketrampilan praktek mengajar yang ditekankan rentang waktu satu tahun. Dan terakhir
adalah pemberian lisensi bagi mahasiswa yang dinyatakan lulus dalam studinya di LPTK
terkait. Pemberian lisensi merupakan kunci lulusan LPTK sebagai tenaga kerja guru yang
profesional dan siap untuk bekerja di sekolah.
Tahapan-tahapan pada konsep pengajaran bagi mahasiswa calon guru di LPTK ini
pada dasarnya juga telah dilakukan oleh para LPTK di Indonesia, namun masih terdapat
ketidakjelasan nasib lulusan yang diterbitkan LPTK. Di mana, pengajar lulusan LPTK
masih belum memiliki lisensi atau sertifikasi pendidik, namun tetap bekerja. Sertifikasi
ditempatkan pada aspek yang terpisah dengan tugas fakultas pendidikan seperti program
profesi guru (PPG) yang di luar fakultas. Ditambah lagi para lulusan non kependidikan
berhak menjadi guru dengan mengikuti program sertifikasi. Hal ini menjadikan guru
hanya sebagai profesi pelarian para tenaga kerja yang tidak tertampung oleh pasar.
Dengan standarisasi yang jelas dan sistematika pengajaran di LPTK yang telah
disebutkan di atas, diharapkan menjadikan pembenahan dan peningkatan kualitas
profesional tenaga kerja guru. Hal ini bercermin dari kualitas standarisasi proses
pengajaran calon pendidik di Finlandia, sehingga lulusan guru merasa bahwa mereka
bisa benar-benar menguasai pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka pelajari
dalam universitas (Sahlberg, 2011).
GURU BERBASIS PENELITIAN
Westbury et al. (2005) dalam Sahlberg (2007) menyebutkan bahwa
mempersiapkan guru berbasis penelitian adalah ide sentral dari perkembangan
pendidikan guru di Finlandia. Guru berbasis penelitian adalah guru yang mampu
menyelesaikan masalah dalam proses pengajaran, dengan pemecahan masalah meliputi
pembuatan siklus perencanaan, tindakan, dan refleksi/evaluasi, dan tindakan ini juga
diperkuat oleh seluruh guru pendidikan.
Proses ini merupakan model untuk guru dalam merencanakan sistem belajar
siswa mereka sendiri, dengan melakukan jenis penelitian dan penyelidikan dalam studi
mereka sendiri. Seluruh sistem ini dimaksudkan untuk meningkatkan sistem
pembelajaran melalui refleksi terus menerus, evaluasi, dan pemecahan masalah, di
tingkat kelas, sekolah, kota, maupun bangsa. Guru belajar cara membuat tantangan
kurikulum dan bagaimana mengembangkan serta mengevaluasi kinerja assessment lokal
yang melibatkan para siswa dalam penelitian dan penyelidikan guru secara teratur. Fitur
pengajaran dan pembelajaran di Finlandia ini mendorong guru dan siswa untuk mencoba
ide-ide baru dan metode pengajaran yang baru, mempelajari dan melakukan inovasi,
serta menumbuhkan kreativitas di sekolah (Darling & Hammond, 2009).
Sehingga, guru berbasis penelitian juga harus ditekankan dalam program
peningkatan profesionalisme guru di Indonesia. Konsep guru berbasis penelitian
mendorong guru untuk lebih kreatif serta menuntut guru untuk memiliki ruang inovasi
yang tinggi dalam menemukan cara-cara baru untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Guru akan mendiagnosa permasalahan yang ada di kelas mereka. Selanjutnya, guru akan
Profesionalisme Guru…(Ni’matush Sholikhah & Hendry Cahyono)
P a g e [ 669 ]
terdorong untuk memberikan solusi-solusi atas permasalahan yang dihadapi. Guru akan
melakukan refleksi atas solusi yang diberikan melalui penelitian mereka terhadap siswa.
Konsep penelitian ini membutuhkan kerja sama seluruh guru yang ada di Indonesia,
pihak sekolah bahkan pihak kementerian tingkat nasional. Sehingga kerja sama ini akan
memberikan hasil yang optimal atas permasalahan yang terjadi dalam proses pendidikan
di Indonesia.
PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN GURU SECARA KONTINU
Prinsip belajar sepanjang hayat mensyaratkan bahwa setiap orang memiliki
kemampuan belajar yang cukup dan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan dalam lingkungan belajar yang berbeda sepanjang umur mereka
(Darling & Hammond, 2009). Konsep belajar sepanjang hayat inilah yang mengantarkan
para guru di Finlandia untuk melakukan program pendidikan dan pelatihan guru.
Sehingga, program pendidikan dan pelatihan guru diperlukan untuk mengembangkan
keprofesionalan guru di Indonesia.
Pendidikan dan pelatihan guru menekankan pembelajaran bagaimana mengajar
siswa dengan cara yang berbeda, termasuk mereka yang kebutuhan khusus. Guru akan
terlatih baik dalam penggunaan metode penelitian, praktek pedagogis, serta pengetahuan
tentang kurikulum. Guru akan bekerja bersama-sama koleganya (guru rumpun) untuk
merancang instruksi pembelajaran yang disesuaikan dengan tuntutan standar nasional
pendidikan serta kebutuhan siswanya. Sekolah diwajibkan menyediakan waktu untuk
kolaborasi reguler antara guru mengenai isu-isu yang terjadi. Seperti yang dilakukan para
guru di sekolah Finlandia bertemu di setidaknya satu sore setiap minggu untuk bersama-
sama merencanakan dan mengembangkan kurikulum. Waktu juga disediakan untuk
pengembangan profesional dalam pekan kerja guru (OECD, 2005; Darling & Hammond,
2009).
Program pendidikan dan pelatihan guru dilakukan secara berkala dan kontinu.
Dalam program pendidikan dan pelatihan, guru atau sekolah (kepala sekolah) berhak
menentukan jenis berapa banyak dan apa yang dibutuhkan dari pengembangan
profesional dan pemerintahan lokal akan membantu dalam pendanaannya. Lebih dari itu,
guru pun diberikan kesempatan untuk melanjutkan pengembangan profesionalnya
dengan mengikuti program doktoral. Sehingga, dengan konsep Program pendidikan dan
pelatihan guru secara kontinu ini bisa menjadikan guru lebih profesional seiring dengan
berkembangnya zaman.
SIMPULAN
Sumberdaya manusia yang profesional di suatu negara tidak terlepas dari peranan
tenaga pendidik, terutama guru yang profesional pula. Program peningkatan
profesionalisme guru yang meliputi standarisasi proses pengajaran calon pendidik di
tingkat universitas atau LPTK, menjadikan guru berbasis penelitian, serta mengadakan
pendidikan dan pelatihan guru secara kontinu. Semua kegiatan program peningkatan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 670 ] P a g e
profesionalisme guru tersebut memerlukan dukungan penuh dari pemerintah pusat
maupun daerah. Sehingga dengan konsep program peningkatan profesionalisme guru ini,
guru akan belajar seumur hidup untuk mengajar seumur hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Linda Darling & Hammond. (2009). Steady Work: How Finland Is Building a StrongTeaching and Learning System. V.U.E. Summer. Columbia: Teachers College Press.
Mulyasa. (2012). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Sahlberg, Pasi. (2007). Education policies for raising student learning: the Finnishapproach. Journal of Education Policy, Vol. 22, No. 2, March 2007, pp. 147–171.
Sahlberg, Pasi. (2010). The Secret to Finland’s Success: Educating Teachers. StanfordCenter for Opportunity Policy in Education Research Brief. California: StanfordUniversity School of Education.
Sahlberg, Pasi. (2011). The Professional Educator-Lessons From Finland. AmericanEducator Summer, 34-38.
UNDP. (2014). Human Development Report 2014. New York: the United NationsDevelopment Programme. Diakses dari http://hdr.undp.org/en diunduh tanggal24 April 2015.
Yustika, Ahmad Erani. (2008). Ekonomi Kelembagaan Definisi, Teori, dan Strategi. Malang:Bayumedia Publishing.
Yusuf, Rusli. (2011). Pendidikan dan Investasi Sosial. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
P a g e [ 671 ]
PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG): STRATEGI PENGEMBANGAN
PROFESIONALITAS GURU DAN PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN INDONESIA
Ratna Rosita Pangestika & Fitri AlfarisaPascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
AbstrakMasyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) muncul karena dampak dari globalisasi.Adanya gelombang globalisasi menyebabkan terjadinya perdagangan bebas danterbentuk penguatan untuk masing-masing kawasan. Kesepakatan ASEANCommunity atau Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 akan menyebabkanterjadinya persaingan bebas dalam bidang perdagangan, pelaku usaha, danketenagakerjaan tanpa terkecuali terjadi persaingan bebas bagi pendidik dinegara ASEAN. Indonesia sebagai negara yang berada dalam kawasan ASEANharus mempersiapkan pendidik dalam negeri untuk memiliki profesionalismeyang tinggi dan mampu bersaing dengan asing. Sejauh ini pemerintah telahmemiliki berbagai strategi sebagai upaya peningkatan kualitas pendidik (guru)dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan serta program non pendidikan.Kenyataannya strategi yang dilakukan oleh Indonesia belum terintegrasi secarabaik sehingga diperlukan suatu program khusus profesi yang berfungsi untukmeningkatkan profesionalisme guru yaitu melalui pendidikan profesi guru(PPG). Program PPG yang diupayakan oleh pemerintah akan menghasilkan guru-guru profesional yang memiliki kompetensi lulusan tinggi dan mampu berdayasaing dengan asing.
Kata kunci: MEA, PPG, Profesionalisme
PENDAHULUAN
Kawasan Asia Tenggara memiliki organisasi regional yang bernama ASEAN.
ASEAN didirikan pada tahun 1967 dalam Deklarasi Bangkok dengan fokus pada isu
keamanan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara dan disusul dengan Bali Concord I
tahun 1976 serta Bali Concord II tahun 2003. Bali Concord I dan II adalah embrio
lahirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Implementasi MEA sudah memasuki tahun
akhir dari rencana panjang kesepakatan bersama negara-negara ASEAN dengan tujuan
integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. MEA ini pada awalnya akan diterapkan
secara penuh pada tahun 2020, namun dipercepat menjadi tahun 2015 sesuai dengan
kesepakatan dari pemimpin negara-negara anggota ASEAN (Dimulai dari lima negara
pendiri, yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand, kini ASEAN terdiri
dari sepuluh Negara yang bergabung kemudian, yakni Brunai Darussalam (1984),
Vietnam (1995), Myanmar dan Laos (1997), serta Kamboja (1999). Alasan lain adalah
adanya penyesuain dengan perkembangan globalisasi internasional yang menuntut
ASEAN untuk lebih kompetitif lagi (Triansyah Djani, 2007: 32).
MEA ini muncul karena dampak dari globalisasi, dimana dengan adanya
gelombang globalisasi akan terjadi perdagangan bebas dan terbentuknya penguatan
masing-masing kawasan untuk bersama-sama menghadapi situasi yang serba kompleks
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 672 ] P a g e
di dunia internasional dalam bentuk regionalisme. Regionalisme adalah paham atau
kecenderungan untuk mengadakan kerjasama yang erat antarnegara di satu kawasan.
ASEAN adalah suatu bentuk regionalisme yang mulai diperhitungkan di peraturan politik
internasional (Depdiknas, 2005: 940).
Kesepakatan ASEAN Community atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun
2015 sudah barang tentu akan terjadi persaingan bebas di Asean dalam bidang
perdagangan, pelaku usaha, dan ketenagakerjaan. Tanpa terkecuali terjadi persaingan
bebas bagi pendidik di negara ASEAN, artinya pendidik asing akan merebut pasar
pendidik di dalam negeri apabila Indonesia tidak siap. Berlakunya MEA merupakan
tantangan sekaligus peluang bagi pendidik Indonesia yakni jika pendidik di Indonesia
kualitasnya rendah sudah barang tentu akan kalah dalam persaingan. MEA ini sebagai
realitas sudah semestinya diterima dan dihadapi secara kritis. Indonesia ikut aturan main
pasar kawasan regional tersebut, tetapi Indonesia tidak boleh dipermainkan negara-
negara lainnya, lebih-lebih jika mengorbankan rakyatnya sebagai komoditas.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang
semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya
mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk
akademik dan layanan lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu
pendidikan. Fasli Jalal (2007: 1) mengatakan bahwa pendidikan yang bermutu sangat
bergantung pada keberadaan pendidik yang bermutu yakni pendidik yang profesional,
sejahtera dan bermantabat. Oleh karena itu keberadaan pendidik yang bermutu
merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu.
Salah satu kunci penting dalam membangun kualitas pendidikan adalah guru.
Dengan demikian, sangatlah wajar apabila akhir-akhir ini pengakuan dan penghargaan
terhadap profesi guru semakin meningkat, yang diawali dengan dilahirkannya Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, yang segera diikuti dengan
peraturan perundang-undangan yang terkait. Guru adalah jabatan profesi sehingga
seorang guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. Seseorang
dianggap profesional apabila mampu mengerjakan tugas dengan selalu berpegang teguh
pada etika profesi, independen, produktif, efektif, efisien dan inovatif serta didasarkan
pada prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau teori
yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat, dan kode etik yang
regulatif (Sulipan, 2007).
Syahwal Gultom (Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan
Penjamin Mutu Pendidikan, Kemendikdasmen RI) yang dilansir oleh antaranews.com
tanggal 27 Desember 2013 mengemukakan bahwa dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga
saat ini dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 atau lebih,
sedangkan sisanya 49% belum berpendidikan S-1. Begitu pun dari persyaratan sertifikasi
hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat. Sedangkan 861,67
ribu guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
P a g e [ 673 ]
guru tersebut profesional. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kualitas guru di
Indonesia dinilai dari profesionalitas masih cukup rendah dan perlu ditingkatkan.
Dalam pembangunan pendidikan, kualitas guru memiliki pengaruh berantai
terhadap komponen pendidikan lainnya, sehingga peningkatan kualitas guru secara
nasional merupakan program sangat strategis. Seiring dengan program peningkatan
kualitas guru yang dilakukan secara berkelanjutan antara lain melalui sertifikasi guru, uji
kompetensi, pelatihan dan penilaian kinerja guru.
Permendikbud no 87 tahun 2013 mengemukakan bahwa program Pendidikan
Profesi Guru (PPG) merupakan program pendidikan yang diselenggarakan untuk
mempersiapkan lulusan S1 kependidikan dan S1/ D IV non kependidikan yang memiliki
bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai
dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik
profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Dari permasalahan di atas terdapat dua hal pokok yang perlu dianalisis lebih lanjut yakni
bagaimana strategi pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme guru serta peran
PPG dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia untuk menghadapi MEA. Untuk
itu program PPG dirasa penting dikembangkan dan diberdayakan terutama bagi LPTK
dalam era MEA ini.
PEMBAHASAN
Kemampuan Profesional Guru
Guru merupakan ujung tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan, di mana
guru akan melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di
ruang kelas. Melalui proses belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas pendidikan.
Artinya, secara keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru di ruang kelas. Untuk keberhasilan dalam mengemban peran
sebagai guru, diperlukan adanya standar kompetensi. Berdasarkan UU RI No. 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10, menentukan bahwa macam-macam kompetensi
guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional
dan kompetensi sosial. Untuk memiliki keempat kompetensi tersebut, guru harus
menjadi pendidik yang professional.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi (UU RI No. 14 tahun 2005). Kata profesional dapat diartikan sebagai
orang yang melaksanakan sebuah profesi dan berpendidikan minimal S1 yang mengikuti
pendidikan profesi atau lulus ujian profesi. Guru mempunyai tanggung jawab sangat
besar dalam menjalankan peranannya sebagai tenaga pendidik di sekolah. Guna
mencapai tujuan pembelajaran yang berkualitas maka peningkatan kompetensi dan
profesionalitas guru harus selalu ditingkatkan. Kompetensi guru perlu ditingkatkan
secara terprogram, berkelanjutan melalui berbagai sistem pembinaan profesi, sehingga
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 674 ] P a g e
dapat meningkatkan kemampuan guru tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan peran
strategis guru terutama dalam pembentukan watak siswa melalui pengembangan
kepribadian di dalam proses pembelajaran di sekolah.
Kunandar (2007: 45) menyebutkan bahwa profesionalisme berasal dari kata
profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau ditekuni oleh seseorang.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme guru
merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan
dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang
yang menjadi mata pencaharian.
Menurut Uzer Usman (2006: 19), profesionalisme guru secara spesifik dapat dilihat
dari indikator- indikator sebagai berikut:
1. Menguasai landasan pendidikan, yaitu mengenal tujuan pendidikan, mengenal fungsi
sekolah dan masyarakat, serta mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan.
2. Menguasai bahan pengajaran, yaitu menguasai bahan pengajaran kurikulum
pendidikan dasar dan menengah, menguasai bahan penghayatan.
3. Menyusun program pengajaran, yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, memilih dan
mengembangkan bahan pengajaran, memilih dan mengembangkan strategi belajar
mengajar, memilih media pembelajaran yang sesuai, memilih dan memanfaatkan
sumber belajar, melaksanakan program pengajaran, menciptakan iklim belajar
mengajar yang tepat, mengatur ruangan belajar, mengelola interaksi belajar
mengajar.
4. Menilai hasil dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan
Menurut E. Mulyasa (2007: 135-136), ruang lingkup profesionalisme guru
ditunjukkan oleh beberapa indikator. Secara garis besar indikator yang dimaksud adalah:
1. Kemampuan dalam memahami dan menerapkan landasan kependidikan dan teori
belajar siswa;
2. Kemampuan dalam proses pembelajaran seperti pengembangan bidang studi,
menerapkan metode pembelajaran secara variatif, mengembangkan dan
menggunakan media, alat dan sumber dalam pembelajaran,
3. Kemampuan dalam mengorganisasikan program pembelajaran, dan Kemampuan
dalam evaluasi dan menumbuhkan kepribadian peserta didik.
Menurut Depdiknas (2005: 18-19) untuk menjadi pendidik haruslah memenuhi
standar pendidik dan tenaga pendidik seperti yang tertuang dalam Pasal 28 Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan yang isinya sebagai berikut:
1. Ayat (1): Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Ayat (2): Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat
pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan
dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
P a g e [ 675 ]
3. Ayat (3): Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah serta pendidik anak usia dini meliputi: (a) kompetensi pedagogik; (b)
kompetensi kepribadian, (c) kompetensi profesional, dan (d) kompetensi sosial.
4. Ayat (4): Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian
sebagaimana dimaksud ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan
diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan
kesetaraan.
5. Ayat (5): Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP
dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan profesionalisme guru adalah kemampuan yang harus dimiliki
sebagai dasar dalam melaksanakan tugas profesional yang bersumber dari pendidikan
dan pengalaman yang diperoleh. Kompetensi profesional tersebut berupa kemampuan
dalam memahami landasan kependidikan, kemampuan merencanakan proses
pembelajaran, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, dan kemampuan
mengevaluasi proses pembelajaran.
Strategi Peningkatan Profesionalisme Guru di Indonesia
Penghujung tahun 2015 negara-negara yang tergabung dalam 10 anggota ASEAN
mulai memasuki era MEA. Indonesia yang merupakan salah satu anggota negara ASEAN
juga dituntut untuk memiliki daya saing yang tinggi. Salah satu upaya yang dilakukan
oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM nya yaitu melalui jalur pendidikan.
Pendidikan merupakan sektor utama yang menjadi tulang punggung dalam mencetak
generasi yang cerdas dan berdaya saing. Ada beberapa strategi yang sejauh ini telah
dikembangkan oleh pemerintah Indonesia menurut Dian Mahsunah (2012: 19) antara
lain:
Pendidikan dan Pelatihan
1. In-house training (IHT). Pelatihan dalam bentuk IHT adalah pelatihan yang
dilaksanakan secara internal di KKG/MGMP, sekolah atau tempat lain yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan pelatihan. Strategi pembinaan melalui IHT
dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan
kompetensi dan karir guru tidak harus dilakukan secara eksternal, tetapi dapat
dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi kepada guru lain yang belum
memiliki kompetensi. Dengan strategi ini diharapkan dapat lebih menghemat waktu
dan biaya.
2. Program magang. Program magang adalah pelatihan yang dilaksanakan di
institusi/industri yang relevan dalam rangka meningkatkan kompetensi professional
guru. Program magang ini terutama diperuntukkan bagi guru kejuruan dan dapat
dilakukan selama periode tertentu, misalnya, magang di industri otomotif dan yang
sejenisnya. Program magang dipilih sebagai alternatif pembinaan dengan alasan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 676 ] P a g e
bahwa keterampilan tertentu khususnya bagi guru-guru sekolah kejuruan
memerlukan pengalaman nyata.
3. Kemitraan sekolah. Pelatihan melalui kemitraan sekolah dapat dilaksanakan
bekerjasama dengan institusi pemerintah atau swasta dalam keahlian tertentu.
Pelaksanaannya dapat dilakukan di sekolah atau di tempat mitra sekolah. Pembinaan
melalui mitra sekolah diperlukan dengan alasan bahwa beberapa keunikan atau
kelebihan yang dimiliki mitra dapat dimanfaatkan oleh guru yang mengikuti
pelatihan untuk meningkatkan kompetensi profesionalnya.
4. Belajar jarak jauh. Pelatihan melalui belajar jarak jauh dapat dilaksanakan tanpa
menghadirkan instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat tertentu,
melainkan dengan sistem pelatihan melalui internet dan sejenisnya. Pembinaan
melalui belajar jarak jauh dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak semua guru
terutama di daerah terpencil dapat mengikuti pelatihan di tempat-tempat pembinaan
yang ditunjuk seperti di ibu kota kabupaten atau di propinsi.
5. Pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus. Pelatihan jenis ini dilaksanakan di P4TK
dan atau LPMP dan lembaga lain yang diberi wewenang, di mana program pelatihan
disusun secara berjenjang mulai dari jenjang dasar, menengah, lanjut dan tinggi.
Jenjang pelatihan disusun berdasarkan tingkat kesulitan dan jenis kompetensi.
Pelatihan khusus (spesialisasi) disediakan berdasarkan kebutuhan khusus atau
disebabkan adanya perkembangan baru dalam keilmuan tertentu.
6. Kursus singkat di LPTK atau lembaga pendidikan lainnya. Kursus singkat di LPTK
atau lembaga pendidikan lainnya dimaksudkan untuk melatih meningkatkan
kompetensi guru dalam beberapa kemampuan seperti melakukan penelitian
tindakan kelas, menyusun karya ilmiah, merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi pembelajaran, dan lain-lain sebagainya.
7. Pembinaan internal oleh sekolah. Pembinaan internal ini dilaksanakan oleh kepala
sekolah dan guru-guru yang memiliki kewenangan membina, melalui rapat dinas,
rotasi tugas mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, diskusi dengan
rekan sejawat dan sejenisnya.
8. Pendidikan lanjut. Pembinaan profesi guru melalui pendidikan lanjut juga
merupakan alternatif bagi pembinaan profesi guru di masa mendatang.
Pengikutsertaan guru dalam pendidikan lanjut ini dapat dilaksanakan dengan
memberikan tugas belajar, baik di dalam maupun di luar negeri, bagi guru yang
berprestasi. Pelaksanaan pendidikan lanjut ini akan menghasilkan guru-guru
pembina yang dapat membantu guru-guru lain dalam upaya pengembangan profesi.
Kegiatan Selain Pendidikan dan Pelatihan
1. Diskusi masalah pendidikan. Diskusi ini diselenggarakan secara berkala dengan topik
sesuai dengan masalah yang di alami di sekolah. Melalui diskusi berkala diharapkan
para guru dapat memecahkan masalah yang dihadapi berkaitan dengan proses
pembelajaran di sekolah ataupun masalah peningkatan kompetensi dan
pengembangan karirnya.
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
P a g e [ 677 ]
2. Seminar. Pengikutsertaan guru di dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi
ilmiah juga dapat menjadi model pembinaan berkelanjutan profesi guru dalam
meningkatkan kompetensi guru. Melalui kegiatan ini memberikan peluang kepada
guru untuk berinteraksi secara ilmiah dengan kolega seprofesinya berkaitan dengan
hal-hal terkini dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
3. Workshop. Workshop dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi
pembelajaran, peningkatan kompetensi maupun pengembangan karirnya. Workshop
dapat dilakukan misalnya dalam kegiatan menyusun KTSP, analisis kurikulum,
pengembangan silabus, penulisan RPP, dan sebagainya.
4. Penelitian. Penelitian dapat dilakukan guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas,
penelitian eksperimen ataupun jenis yang lain dalam rangka peningkatan mutu
pembelajaran.
5. Penulisan buku/bahan ajar. Bahan ajar yang ditulis guru dapat berbentuk diktat, buku
pelajaran ataupun buku dalam bidang pendidikan.
6. Pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat guru dapat
berbentuk alat peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik
(animasi pembelajaran).
7. Pembuatan karya teknologi/karya seni. Karya teknologi/seni yang dibuat guru dapat
berupa karya teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat dan atau pendidikan dan
karya seni yang memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat.
Dengan program yang dilakukan pemerintah Indonesia di atas guru juga harus
lebih berdaya untuk peningkatan dirinya secara swadaya, terutama bagi mereka yang
telah menerima tunjangan profesi. Keadaan tersebut dapat didukung oleh sekolah
dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan secara mandiri. Sekolah dapat mendesain
sendiri program-program pelatihan yang menjadi kebutuhan guru. Sikap, kemampuan
dan kemauan guru untuk melakukan perubahan merupakan sebuah modal besar untuk
peningkatan dirinya.
Peran PPG (Pendidikan Profesi Guru)
Pendidikan Profesi merupakan program pendidikan tinggi yang dilaksanakan
setelah program sarjana dan mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan persyaratan keahlian khusus. Program Pendidikan Profesi Guru sendiri
merupakan program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1
Kependidikan dan S1/DIV non-kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi
guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional
pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah.
Program PPG didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
No 87 tahun 2013. Dalam pasal 2 Permendikbud RI No 87 tahun 2013 dipaparkan tujuan
Program PPG adalah (a). untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi
dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; (b). menindaklanjuti
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 678 ] P a g e
hasil penilaian dengan melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik; dan (c).
mampu melakukan penelitian dan mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.
Sementara itu, Program PPG diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki
lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan
oleh Menteri. Ada 45 Universitas dari 27 Provinsi di Indonesia yang menyelenggarakan
program PPG. Berikut adalah daftar perguruan tinggi di Indonesia yang
menyelenggarakan program PPG:
Tabel 1. Daftar Perguruan Tinggi Penyelenggara PPGNo Provinsi Perguruan Tinggi
1. DKI Jakarta Universitas Negeri Jakarta
Universitas Muhammadiyah Prof
Hamka
2. Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia
Universitas Pakuan Bogor
Universitas Pasundan
3. Jawa Tengah Universitas Negeri Semarang
Universitas Sebelas Maret
UKS Salatiga
Unmuh Purwokerto
Unmuh Surakarta
4. DIY Universitas Negeri Yogyakarta
Universitas PGRI Yogyakara
Universitas Sanata Dharma
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
5. Jawa Timur Universitas Jember
Universitas Negeri Malang
Universitas Negeri Surabaya
IKIP PGRI Madiun
Universitas Muhammadiyah Malang
Unipa Surabaya
6. Sumatra Utara Universitas Negeri Medan
7. Sumatra Barat Universitas Negeri Padang
8. Sumatra Selatan Universitas Sriwijaya
9. Riau Universitas Riau
10. Jambi Universitas Jambi
11. Lampung Universitas Negeri Lampung
12. Bengkulu Universitas Bengkulu
13. Sulawesi Utara Universitas Negeri Manado
14. Sulawesi Tenggara Universitas Halueleo
15. Sulawesi Selatan Universitas Negeri Makasar
Unmuh Makasar
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
P a g e [ 679 ]
No Provinsi Perguruan Tinggi
16. Gorontalo Universitas Gorontalo
17. Sulawesi Tengah Universitas Tadulako
18. Kalimantan Selatan Universits Lambung Mangkurat
19. Kalimantan Timur Universitas Mulawarman
20. Kalimantan Tengah Universitas Palangkaraya
21. Kalimantan Barat Universitas Tanjungpura
22. Bali Universitas Pendidikan Ganesha
23. NTB Universitas Mataram
STKIP Hamzanwadi Selong
24. NTT Universitas Nusa Cendana
25. Ambon Universitas Pattimura
26. Papua Universitas Cendrawasih
27. NAD Universitas Syah Kuala
Universitas Al-Muslim Bireuen
Sumber: www.sekolahdasar.net
Struktur kurikulum program PPG berisi lokakarya pengembangan perangkat
pembelajaran, latihan mengajar melalui pembelajaran mikro, pembelajaran pada teman
sejawat, dan Program Pengalaman Lapangan (PPL), serta program pengayaan bidang
studi dan pedagogik. Sistem pembelajaran pada program PPG mencakup lokakarya
pengembangan perangkat pembelajaran dan program pengalaman lapangan yang
diselenggarakan dengan pemantauan langsung secara intensif oleh dosen pembimbing
dan guru pamong yang ditugaskan khusus untuk kegiatan tersebut. Lokakarya
pengembangan perangkat pembelajaran dan program pengalaman lapangan
dilaksanakan dengan berorientasi pada pencapaian kompetensi merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, menindaklanjuti hasil
penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Proses rekruitmen program PPG dapat diikuti oleh lulusan sarjana kependidikan
dan non kependidikan. LPTK sebagai lembaga penyelenggara PPG mensyaratkan adanya
tes masuk bagi calon mahasiswa baru. Bagi lulusan S1 kependidikan yang telah lolos tes
dapat langsung mengikuti program PPG tanpa melalui program matrikulasi. Sementara
itu, untuk lulusan dari non kependidikan mereka diwajibkan untuk mengikuti matrikulasi
sebelum mengikuti program PPG.
Dalam pelaksanaan program PPG harus ada pembinaan oleh dosen secara
terintegrasi dan pelaksanaan program berbasis lokakarya. Sistem pembelajaran program
PPG meliputi workshop, praktek pengalaman lapangan (PPL) dan uji kompetensi.
Prosentase yang ditetapkan untuk masing-masing unit adalah:
1. Workshop: merupakan pembelajaran berbentuk lokakarya yang bertujuan untuk
menyiapkan peserta program PPG agar mampu mengemas materi untuk
pembelajaran bidang studi, sehingga peserta PPG siap melaksanakan PPL
kependidikan. Adapun produk workshop meliputi pembuatan: silabus dan RPP,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 680 ] P a g e
lembar kerja siswa, bahan ajar, media pembelajaran, perangkat penilaian (kisi-kisi,
instrument, rubric dan kunci jawaban), dan proposal penelitian tindakan kelas (PTK).
Penilaian kegiatan workshop meliputi:
a. Penilaian dilakukan secara berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan PAP
b. Penilaian meliputi penilaian proses dan produk
c. Hasil evaluasi dinyatakan dalam bentuk angka/huruf atas dasar persentase
pencapaian kompetensi (30%)
Gambar 1. Model Penyelenggaraan PPG (Anik Gufron, 2010)
2. Praktik Pengalaman Lapangan (PPL): merupakan kegiatan praktik belajar mengajar
di kelas dengan pemantauan langsung secara intensif oleh dosen yang ditugaskan
khusus dan dinilai secara objektif dan transparan. Adapaun kegiatan PPL ini meliputi
tahap pengenalan lapangan, mikro dan makro teaching, latihan mengajar terbimbing
dan latihan mengajar mandiri. Penilaian kegiatan PPL meliputi:
a. Penilaian selama kegiatan PPL terdiri atas penilaian proses dan produk.
b. Penilain proses dan produk dilakukan oleh dosen dan guru pembimbing
c. Bobot kelulusan PPL sebesar (40%)
3. Uji Kompetensi:
a. Ujian kompetensi terdiri atas ujian tulis dan ujian kinerja.
b. Ujian ini ditempuh setelah mahasiswa lolos dalam kegiatan workshop dan PPL
c. Ujian tulis dilaksanakan oleh prodi penyelenggara sedangkan ujian kinerja
dilaksanakan oleh prodi dengan melibatkan organisasi profesi dan atau pihak
eksternal yang professional atau relevan
Calon GuruProfesional (80%)
Workshop(30%)
PPL(40%)
Uji Kompetensi(40%)
S1 Dik S1 Non Dik
TES
ZS
TES
MatrikulasiPROGRAM
PPG(Terintegrasi)
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
P a g e [ 681 ]
d. Mahasiswa yang lulus uji kompetensi memperoleh sertifikat pendidik yang
dikeluarkan oleh LPTK
e. Bobot kelulusan uji kompetensi adalah (30%)
Dari ketiga indikator di atas, mahasiswa dinyatakan lulus program PPG apabila
mencapai minimal kelulusan (80%). Bagi mahasiswa yang hasil evaluasinya masih di
bawah kriteria minimal diberi kesempatan latihan tambahan sampai mencapai nilai
minimal. Adapun ketentuan-ketentuan dalam PPG antara lain, sebagai berikut:
1. Program PPG diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang memenuhi persyaratan dan
ditetapkan oleh Menteri;
2. Penetapan LPTK sebagai penyelenggara program PPG didasarkan atas hasil evaluasi
yang dilakukan secara objektif dan komprehensif, penetapan LPTK sebagai
penyelenggara program PPG oleh Menteri berlaku untuk kurun waktu 3 tahun,
3. LPTK penyelenggara program PPG dievaluasi secara berkala oleh tim yang
ditugaskan Direktur Jenderal.
4. Adapun beban belajar yang harus dipenuhi peserta PPG adalah, sebagai berikut:
Tabel 2. Jumlah SKS untuk masing-masing jenjang
JenjangLulusan
Kependidikan Non KependidikanTK/RA/PAUD 18-20 SKS 36-40 SKSSD/MI/SDLB 18-20 SKS 36-40 SKSSMP 36-40 SKS 36-40 SKSSMA 36-40 SKS 36-40 SKS
Sumber: Permendikbud RI No. 87 tahun 2013
Kompetensi Lulusan PPG (Pendidikan Profesi Guru)
Tuntutan kualitas LPTK semakin diperkuat dengan adanya program profesi guru
(PPG). LPTK memiliki peran sentral dalam peningkatan kualitas guru. LPTK dituntut
untuk memahami pengembangan profesi guru sebagai upaya pembinaan guru dalam
konteks pembekalan kompetensi sosial dan kepribadian. Pengembangan profesi,
kompetensi dan sertifikasi merupakan mata rantai dalam upaya peningkatan kualitas
guru sudah diamanatkan dalam UU no. 14 tahun 2005. Berikut ini merupakan lulusan
PPG yang diharapkan mampu menghadapi MEA 2015:
1. Kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi
2. Menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik
3. Menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi
pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran, penelitian bagi
peningkatan pembelajaran bidang studi.
4. Mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 682 ] P a g e
5. Memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial,
konatif dan afektif
6. Kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara
langsung maupun menggunakan media di sekolah dan luar sekolah.
Dalam upaya mewujudkan Guru Profesional, ada beberapa poin yang perlu
diperhatikan, antara lain:
1. Mematuhi segala peraturan yang diamanatkan oleh Undang-Undang profesi guru dan
konsisten terhadap standarisasi yang telah ditetapkan.
2. Pembinaan profesi guru dilakukan secara berkesinambungan berdasarkan
kurikulum yang telah ditetapkan dan dilakukan pemantauan secara intensif
3. Mewujudkan sinergi peran dan tanggung jawab antara Guru, Pemerintah, LPTK dan
Organisasi Profesi.
SIMPULAN
Kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi era MEA harus dipersiapkan
sejak sekarang. Adanya pasar bebas yang terintegrasi di ASEAN menuntut semua sektor
untuk memiliki daya saing yang tinggi. Salah satu sektor yang memiliki peran penting
adalah sektor pendidikan yang mana pendidikan berkualitas akan menghasilkan sumber
daya manusia yang berkualitas pula. Rencana program MEA sudah direncanakan jauh-
jauh hari oleh ASEAN diawali dari adanya deklarasi Bangkok tahun 1967 dan disusul
dengan Bali Concord tahun 1976. Dalam upaya peningkatan SDM, Indonesia sudah
mengembangkan strategi peningkatan kualitas pendidik dengan berbagai program
antara lain program pendidikan dan pelatihan yang meliputi in-house training, program
magang, kemitraan sekolah, belajar jarak jauh dll dan untuk program selain pendidikan
dan pelatihan meliputi diskusi, seminar, workshop, penelitian dll. Dalam pelaksanaanya
program-program pemerintah tersebut kurang terintegrasi dengan baik sehingga masih
perlu adanya program khusus profesi yang berfungsi untuk meningkatkan
profesionalisme guru yaitu melalui pendidikan profesi guru (PPG).
DAFTAR PUSTAKA
Anik Gufron. (2010). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Profesi Guru. Diktat: FIP UNY
Anonim. (2012). Perguruan Tinggi Penyelenggara PPG. Diaksesmelalui:www.sekolahdasar.net Pada 22 April 2015 pukul 2015 WIB.
Dian Mahsunah dkk. (2012). Kebijakan Pengembangan Profesi Guru. Bahan Ajar: BadanPengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Jaminan Mutu,Kemendikbud
E. Mulyasa. (2007). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Fasli Jalal. (2007). Artikel: Sertifikasi Guru untuk Mewujudkan Pendidikan yang Bermutu.Universitas Negeri Medan
Kunandar. (2007). Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Pendidikan Profesi Guru… (Ratna Rosita Pangestika & Fitri Alfarisa)
P a g e [ 683 ]
Moh. Uzer Usman. (2006). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Peraturan Pemerintah Pendidikan dan Kebudayaan RI No 87 tahun 2013 tentangProgram Pendidikan Profesi Guru. Diakses melalui:http://www.dikti.go.id pada 20April 2015 pukul 20.45 WIB
Peraturan Pemerintah RI No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.Diakses:http://sultra.kemenag.go.id/file/dokumen/PP19th2005StandarPendidikanpdf. pada 20 Februari 2015 pukul 20.05 WIB
Sulipan. (2007). Kegiatan Pengembangan Profesi Guru. Diakses melalui http://www.ktiguru.org/index.php/profesiguru, . pada 20 April 2015 pukul 21.00 WIB
Syahwal Gultom (2013). Artikel: Kemendikbud Akui Kualitas Guru Masih Rendah. Diaksesmelalui: http://www.antaranews.com. Pada 24 April 2015. Pukul 13.00 WIB
Triansyah Djani D. (2007). ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Dir. Jen. Kerjasama ASEANDepartemen Luar Negeri Republik Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.Diakses dari http://www.dikti.go.id/files/atur/UU14-2005Guru Dosen.pdf padatanggal 7 Maret 2015 pukul 20.39 WIB
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 684 ] P a g e
KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN KEPALA SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN
PROFESIONALISME GURU MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Dewi Kusuma Wardani & Mintasih IndriayuFKIP Universitas Sebelas Maret
AbstrakKepala sekolah mempunyai sejumlah peran yang harus dimainkan secarabersama, antara lain mencakup educator, manager, administrator, supervisor,motivator, entrepreneur, dan leader. Namun yang lebih penting lagi bahwaseorang kepala sekolah sebaiknya juga berfungsi sebagai pemimpin dalammenjalankan fungsi-fungsi pembelajaran. Termasuk berdiri di barisan terdepandalam memimpin guru untuk selalu belajar. Karena keberhasilan kepala sekolahdalam memimpin akan berpengaruh pada keberhasilan guru dalam mengajar.Terkait dengan era Masyarakat Ekonomi ASEAN, maka kepemimpinan kepalasekolah yang profesional sebagai kepemimpinan pembelajaran (InstructionalLeadership) sangat menunjang tercapainya pengelolaan sekolah yang efektif danefisien dalam menghasilkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dalammasyarakat ASEAN.
Kata Kunci: Kepemimpinan Pembelajaran, Profesional Guru, MEA
Pendahuluan
Berdasarkan data dari global competitiveness index tahun 2013, Indonesia berada
di urutan ke-38 dari 148 negara. Sementara Singapura menempati posisi ke-2, Malaysia
ke-24, Brunei ke-26, Thailand ke-37, Philipina ke-59 dan Vietnam berada di posisi ke-70
(Wangke,2014). Indeks pembangunan manusia Indonesia telah meningkat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Namun masih dalam kategori rendah dibandingkan negara-
negara lainnya, khususnya di ASEAN. Pemerintah Indonesia tiada henti melakukan upaya
untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Berbagai kebijakan dan strategi telah
diterapkan, seperti perubahan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diperlukan optimalisasi peran komponen
pendidikan untuk mencapai lompatan tinggi dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Salah satu komponen pendidikan untuk jenjang sekolah dasar dan menengah
adalah kepala sekolah.
Peran kepala sekolah sebagai agen pembelajaran, sangat strategis sebagai upaya
meningkatkan kualitas pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Dalam rangka mewujudkan peran
kepala sekolah yang strategis, kepala sekolah harus memiliki kompetensi seperti yang
tertuang dalam Permendiknas No. 35 tahun 2010. Salah satu implementasi dari
kompetensi kepala sekolah adalah kepemimpinan pembelajaran, yang dianalogikan
sebagai organ jantung dalam tubuh manusia yang memiliki fungsi sangat penting dalam
kehidupan manusia. Kepemimpinan pembelajaran yang efektif dan optimal dari kepala
sekolah, akan mewujudkan atmosphere academic yang mendukung ketercapaian tujuan
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
P a g e [ 685 ]
sekolah. Landasan yuridis tentang kepemimpinan pembelajaran adalah Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) 35/2010 tentang Petunjuk Teknis Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya bahwa Efektivitas kepala sekolah dinilai angka
kreditnya dalam kompetensi: (1) Kepribadian dan Sosial; (2) Kepemimpinan
pembelajaran; (3) Pengembangan Sekolah dan Madrasah; (4) Manajemen sumber daya;
(5) Kewirausahaan sekolah/madrasah; (6) Supervisi Pembelajaran.
Kepemimpinan merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang kepala sekolah. Banyak model kepemimpinan yang dapat dianut dan diterapkan
dalam berbagai organisasi/institusi, baik profit maupun nonprofit, namun model
kepemimpinan yang paling cocok untuk diterapkan di sekolah adalah kepemimpinan
pembelajaran (instructional leadership or leadership for improved learning). Berbagai
penelitian terdahulu tentang kepemimpinan pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa
kepala sekolah yang memfokuskan kepemimpinan pembelajaran menghasilkan prestasi
belajar siswa yang lebih baik dari pada kepala sekolah yang kurang memfokuskan pada
kepemimpinan pembelajaran. Ironisnya, kebanyakan sekolah tidak menerapkan model
kepemimpinan pembelajaran. Diperlukan kepemimpinan pembelajaran yang efektif
untuk meningkatkan profesionalisme pendidik. Melalui pendidik yang kompeten akan
dihasilkan peserta didik yang berkualitas. Menghadapi persaingan global khususnya era
Masyarakat Ekonomi ASEAN, diperlukan sumber daya manusia yang unggul dan memiliki
kemampuan bersaing dengan kompetitor-kompetitor yang handal.
Bush & Glover (2003) mendefinisikan standar profesional sebagai pengetahuan
penting yang dibutuhkan, ketrampilan dan sikap di mana seluruh guru memiliki
kemampuan untuk mendemonstrasikannya. Guru profesional selalu berupaya
melaksanakan pembelajaran yang komunikatif, mengemas materi yang mudah dipahami,
terampil menggunakan alat dan media pembelajaran serta berorientasi pada pelayanan
yang maksimal. Guru profesional ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah N0. 19 tahun
2005, bahwa kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi: 1) kompetensi
pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3) kompetensi profesional dan 4) kompetensi
sosial. Profesional guru didukung oleh kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah yang
progresif. Permasalahan dalam kajian teori ini adalah “Bagaimanakah strategi
kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah yang dapat meningkatkan profesionalisme
pendidik dalam menghadapi MEA?” Tujuan pembahasan adalah menjelaskan strategi
kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah untuk meningkatkan profesionalisme
pendidik dalam menghadapi MEA.
PEMBAHASAN
Pengertian Kepemimpinan Pembelajaran
Kepemimpinan pembelajaran adalah kepemimpinan yang memfokuskan/
menekankan pada pembelajaran. Komponen-komponen kepemimpinan pembelajaran
meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, penilaian, pengembangan guru, layanan
prima dalam pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di sekolah.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 686 ] P a g e
Hellinger (1993), mendefinisikan kepemimpinan pembelajaran yang efektif
sebagai berikut:
1. Makna visi sekolah melalui berbagi pendapat dengan warga sekolah serta
mengupayakan agar visi dan misi sekolah tersebut hidup subur dalam
implementasinya;
2. Kepala sekolah melibatkan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sekolah
(manajemen partisipatif);
3. Kepala sekolah memberikan dukungan terhadap pembelajaran;
4. Kepala sekolah melakukan pemantauan terhadap proses belajar mengajar untuk
memahami lebih mendalam dan menyadari apa yang sedang berlangsung di dalam
sekolah;
5. Kepala sekolah berperan sebagai fasilitator sehingga dengan berbagai cara dia dapat
mengetahui kesulitan pembelajaran dan dapat membantu guru dalam mengatasi
kesulitan belajar tersebut.
Soutworth (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan pembelajaran adalah
perhatian yang kuat terhadap pengajaran dan pembelajaran, termasuk pembelajaran
profesional oleh guru sesuai perkembangan siswa. Strategi untuk meningkatkan
pembelajaran secara efektif yaitu: (1) modeling; (2) monitoring; dan (3) professional
dialog and discussion. Modelling artinya keteladanan kepala sekolah menjadi contoh atau
model yang ditiru oleh guru di sekolah yang dipimpinnya. Monitoring artinya melakukan
pemantauan kinerja guru ke kelas saat guru melaksanakan proses pembelajaran di kelas
serta memanfaatkan hasil pemantauan tersebut untuk pembinaan lebih lanjut.
professional dialog and discussion artinya membicarakan secara aktif, interaktif, efektif,
aspiratif, inspiratif, produktif, demokratik dan ilmiah tentang hasil penilaian kinerja dan
rencana tindak lanjut peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa.
Tujuan Kepemimpinan Pembelajaran
Tujuan kepemimpinan pembelajaran adalah untuk memfasilitasi pembelajar agar
terjadi peningkatan prestasi belajar, kepuasan belajar, motivasi belajar,
keingintahuan, kreativitas, inovasi, jiwa kewirausahaan, dan kesadaran untuk belajar
sepanjang hayat, karena ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni berkembang dengan
pesat. Kepemimpinan pembelajaran sangat penting untuk diterapkan di sekolah
karena mampu: (1) meningkatkan prestasi belajar peserta didik secara signifikan; (2)
mendorong dan mengarahkan warga sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar
peserta didik; (3) memfokuskan kegiatan-kegiatan warga sekolah untuk menuju
pencapaian visi, misi, dan tujuan sekolah; dan (4) membangun komunitas belajar
warga dan bahkan mampu menjadikan sekolahnya sebagai sekolah pembelajar (learning
school).
Kepemimpinan pembelajaran secara langsung terjadi ketika kepala sekolah
bekerja dengan para guru dan staf lainnya untuk mengembangkan proses belajar
mengajar. Sebagai contoh, ketika kepala sekolah melakukan kegiatan supervisi
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
P a g e [ 687 ]
pendidik di kelas, kegiatan diskusi untuk memberi umpan balik terhadap proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan seorang guru, dan pemberian contoh
pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan kepemimpinan pembelajaran secara tidak
langsung terjadi ketika kepala sekolah, antara lain memberikan sejumlah kemudahan
dan mendorong para guru dan staf untuk mengembangkan diri, melakukan
pengambilan keputusan secara bersama-sama (sharing on decision making), dan
mengubah tata nilai serta visi sekolah yang mengarah kepada peningkatan kualitas
pembelajaran. Kini kepala sekolah menghadapi tantangan perubahan, untuk menerapkan
kurikulum 2013. Kesiapan yang perlu dicermati oleh kepala sekolah adalah
mengenali elemen perubahan dengan sikap terbuka, meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan agar dapat mengelola perubahan sehingga menjadi sekolah yang adaptif
terhadap perubahan. Oleh sebab itu seorang kepala sekolah secara praktis memiliki
fungsi mengelola pendidikan dan pembelajaran di sekolah, yang menurut Mulyasa (2006)
diuraikan sebagai berikut:
1. Pendidik
Sebagai pendidik, kepala sekolah melaksanakan kegiatan perencanaan,
pengelolaan, dan evaluasi pembelajaran. Kegiatan perencanaan menuntut kapabilitas
dalam menyusun perangkat-perangkat pembelajaran; kegiatan pengelolaan
mengharuskan kemampuan memilih dan menerapkan strategi pembelajaran yang efektif
dan efisien; dan kegiatan mengevaluasi, mencerminkan kapabilitas dalam memilih
metode evaluasi yang tepat dan dalam memberikan tindak lanjut yang diperlukan
terutama bagi perbaikan pembelajaran. Sebagai pendidik, kepala sekolah juga berfungsi
membimbing siswa, guru dan tenaga kependidikan lainnya.
2. Pemimpin
Sebagai pemimpin, kepala sekolah berfungsi menggerakkan semua potensi
sekolah, khususnya tenaga guru dan tenaga kependidikan bagi pencapaian tujuan
sekolah. Dalam upaya menggerakkan potensi tersebut, kepala sekolah dituntut
menerapkan prinsip-prinsip dan metode-metode kepemimpinan yang sesuai dengan
mengedepankan keteladanan, pemotivasian, dan pemberdayaan staf.
3. Pengelola (manajer).
Sebagai pengelola, kepala sekolah secara operasional melaksanakan pengelolaan
kurikulum, peserta didik, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan
sekolah-masyarakat, dan ketatausahaan sekolah. Semua kegiatan-kegiatan operasional
tersebut dilakukan melalui oleh seperangkat prosedur kerja berikut: perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Berdasarkan tantangan yang dihadapi
sekolah, maka sebagai pemimpin, kepala sekolah melaksanakan pendekatan-pendekatan
baru dalam rangka meningkatkan kapasitas sekolah.
4. Administrator.
Dalam pengertian yang luas, kepala sekolah merupakan pengambil kebijakan
tertinggi di sekolahnya. Sebagai pengambil kebijakan, kepala sekolah melakukan analisis
lingkungan (politik, ekonomi, dan sosial-budaya) secara cermat dan menyusun strategi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 688 ] P a g e
dalam melakukan perubahan dan perbaikan sekolahnya. Dalam pengertian yang sempit,
kepala sekolah merupakan penanggung-jawab kegiatan administrasi ketatausahaan
sekolah dalam mendukung pelaksanaan kegiatan pembelajaran.
5. Wirausahawan.
Sebagai wirausahawan, kepala sekolah berfungsi sebagai inspirator bagi
munculnya ide-ide kreatif dan inovatif dalam mengelola sekolah. Ide-ide kreatif
diperlukan terutama karena sekolah memiliki keterbatasan sumber daya
keuangan dan pada saat yang sama memiliki kelebihan dari sisi potensi baik internal
maupun lingkungan, terutama yang bersumber dari masyarakat maupun dari pemerintah
setempat.
6. Pencipta Iklim Kerja.
Sebagai pencipta iklim kerja, kepala sekolah berfungsi sebagai katalisator bagi
meningkatnya semangat kerja guru. Kepala sekolah perlu mendorong guru dan tenaga
kependidikan lainnya dalam bekerja di bawah atmosfer kerja yang sehat. Atmosfer kerja
yang sehat memberikan dorongan bagi semua staf untuk bekerjasama dalam mencapai
tujuan sekolah.
Menjadi kepala sekolah profesional memerlukan daya adaptasi terhadap
perubahan dengan menjadi kepala sekolah pembelajar sehingga memandang
perubahan kurikulum sebagai sesuatu yang seharusnya. Alasannya jelas, karena ilmu
pengetahuan, teknologi, dan tantangan kehidupan terus berubah, maka kebutuhan
siswa pun terus berubah menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Lebih dari itu,
kenyataan dari pengalaman kita bekerja membuktikan bahwa apa yang kita hasilkan
terdahulu selalu memerlukan perbaikan sehingga perubahan merupakan keharusan.
Tugas kepala sekolah pada konteks ini amat strategis. Kepala Sekolah menjadi penentu
utama keberhasilan sekolahnya. Tugas memimpin perubahan ada di tangannya. Selain
sebagai pendidik, pengajar, pelatih, pembimbing, ia juga berperan sebagai pemimpin
pembelajaran, manajer perubahan, dan pengembang budaya sekolah.
Strategi Kepemimpinan Pembelajaran dan Profesionalisme Guru
Kepemimpinan pembelajaran yang efektif menurut Southworth (2002) adalah
kepala sekolah yang mampu memainkan perannya sebagai: (1) pemantau kinerja guru,
kepala sekolah harus memantau guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya; (2)
penilai kinerja guru, salah satu peran kepala sekolah yang objektif dan cermat dalam
melakukan evaluasi kinerja guru; (3) pelaksana dan pengaturan pendampingan dan
pelatihan, peran kepala sekolah dalam melakukan supervisi; (4) perencana
pengembangan keprofesian keberlanjutan guru, peran kepala sekolah dalam
meningkatkan profesional guru secara berkelanjutan; (5) pengkoordinasian kerja tim,
kepala sekolah mengkoordinir tim di sekolah, ; (6) pengkoordinasian pembelajaran
efektif, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah mengupayakan agar
guru dapat melaksanakan pembelajaran efektif Willison (2008) merumuskan tiga
cara/strategi untuk menjalankan kepemimpinan pembelajaran yang efektif yaitu: (1) talk
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
P a g e [ 689 ]
the talk; (2) walk the walk; (3) be the caddy. Kepala sekolah harus banyak berdialog dan
berdiskusi untuk mengembangkan keprofesian berkelanjutan guru, memantau proses
pembelajaran di kelas serta melayani guru dalam menggunakan sarana prasarana
pembelajaran.
Dinamika kurikulum yang menyesuaikan kebutuhan pengguna serta kemajuan
teknologi, informasi dan komunikasi tanpa batas, menuntut kesiapan dan kemampuan
guru dalam menyesuaikan diri serta mengembangkan keprofesionalan yang
berkelanjutan. Diperlukan dukungan eksternal dari kepala sekolah untuk meningkatkan
kompetensi guru. Agar kepala sekolah dapat berperan optimal dalam kepemimpinan
pembelajaran, berbagai program dan kegiatan yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Memberikan keteladanan dalam kata, sikap, tindakan dan perilaku bagi komunitas
sekolah untuk mencapai visi dan misi sekolah serta kemajuan pendidikan yang
berdaya saing tinggi.
2. Mendorong guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik sesuai bidang studinya.
3. Memperkuat peran MGMP melalui program pendidikan dan pelatihan, studi banding,
penelitian, workshop serta meningkatkan budaya menulis di kalangan guru.
4. Melaksanakan tinjauan perangkat pembelajaran yang meliputi silabus dan RPP secara
periodik
5. Melaksanakan supervisi khususnya dalam proses pembelajaran.
6. Melaksanakan penilaian kinerja guru dan tindakan perbaikan untuk mencapai
sasaran yang ditentukan.
7. Meningkatkan ketersediaan dan kelayakan sarana dan prasarana pembelajaran.
8. Melakukan pemantauan proses pembelajaran di kelas serta merencanakan tindakan
perbaikan.
9. Membantu guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran yang
efektif.
10. Mengoptimalkan fungsi perpustakaan sekolah untuk menciptakan habit reading di
lingkungan sekolah, baik guru maupun peserta didik.
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah dalam melakukan
pembinaan profesionalisme guru, (Kunandar, 2009:134)
1. Mendengar (listening), yang dimaksud dengan mendengar adalah kepala sekolah
mendengarkan apa saja yang dikemukakan oleh guru, bisa berupa kelemahan,
kesulitan, kesalahan, masalah dan apa saja yang dialami oleh guru, termasuk yang ada
kaitannya dengan peningkatan profesionalisme guru.
2. Mengklarifikasi (clarifying), yang dimaksud klarifikasi adalah kepala sekolah
memperjelas mengenai apa yang dimaksudkan oleh guru. Jika pada mendengar (point
a) di atas, kepala madrasah mendengar mengenai apa saja yang dikemukakan oleh
guru, maka dalam mengklarifikasi ini kepala madrasah memperjelas apa yang
diinginkan oleh guru dengan menanyakan kepadanya.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 690 ] P a g e
3. Mendorong (Encouraging), yang dimaksud dengan mendorong adalah kepala
madrasah mendorong kepada guru agar mau mengemukakan kembali mengenai
sesuatu hal bilamana masih dirasakan belum jelas.
4. Mempresentasikan (presenting), yang dimaksud dengan mempresentasikan adalah
kepala madrasah mencoba mengemukakan persepsi-nya mengenai apa yang
dimaksudkan oleh guru.
5. Memecahkan masalah (problem solving), yang dimaksud dengan memecahkan
masalah adalah kepala madrasah bersama-sama dengan guru memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi oleh guru.
6. Negosiasi (negotiating), yang dimaksud dengan negosiasi adalah berunding. Dalam
berunding, kepala madrasah dan guru membangun kesepakatan-kesepakatan
mengenai tugas yang harus dilakukan masing-masing atau bersama-sama.
7. Mendemonstrasikan (demonstrating), yang dimaksud dengan mendemonstrasikan
adalah kepala madrasah mendemonstrasikan tampilan tertentu dengan maksud agar
dapat diamati dan ditirukan oleh guru.
8. Mengarahkan (directing), yang dimaksud dengan mengarahkan adalah kepala
madrasah mengarahkan agar guru melakukan hal-hal tertentu.
9. Menstandarkan (standardization), yang dimaksud dengan menstandarkan adalah
kepala madrasah mengadakan penyesuaian –penyesuaian bersama dengan guru.
10. Memberikan penguat (Reinforcing), yang dimaksudkan memberikan penguat adalah
kepala madrasah menggambarkan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi
pembinaan guru.
Profesionalisme Guru dalam MEA
Dalam mengantisipasi peranan guru yang semakin luas dan kompleks guru harus
memiliki kompetensi mengajar dan memiliki kreativitas dalam menciptakan iklim
pembelajaran lebih efektif dan kondusif, guru sebagai tenaga pendidik harus memiliki
kemampuan profesional. Keberadaan guru yang kompeten dan profesional merupakan
salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi guna meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia agar dapat bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Hampir semua
bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong terciptanya guru
yang kompeten dan berkualitas. Salah satu indikator guru profesional dan kompeten
adalah guru yang mampu beradaptasi dengan perkembangan keilmuan yang hari demi
hari semakin canggih. Seorang guru yang profesional harus memenuhi empat kompetensi
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen yaitu:
1. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang
meliputi pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar, dan mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki.
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
P a g e [ 691 ]
2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi
peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan
secara berkelanjutan.
3. Kompetensi professional yaitu merupakan kemampuan penguasaan materi secara
luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi
standar nasional pendidikan.
4. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan peserta didik sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi lisan dan tulisan; menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional; bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua, atau wali peserta didik; dan
bergaul secara santun dalam masyarakat
Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka harus disiapkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik, terutama untuk menyiapkan kualitas siswa yang
baik maka potensi guru yang perlu dikembangkan. Oleh sebab itu dunia pendidikan sejak
awal sudah harus mempersiapkan diri terutama para guru harus mempunyai kualitas
dan mempunyai kapabilitas yang dapat implementasinya bukan sebatas regional namun
sampai pada tingkat nasional.
Semakin terbukanya arus barang dan jasa antar negara, merupakan konsekuensi
di era globalisasi. Batas negara dalam aktivitas kegiatan perekonomian semakin tipis,
dengan regulasi yang dipermudah oleh negara-negara yang tergabung dalam komunitas
“pasar bersama”. Termasuk keinginan ASEAN membentuk MEA didorong oleh
perkembangan internal dan eksternal. Ekonomi ASEAN diprediksikan akan menjadi
kekuatan baru dalam peta dunia, sementara dari sisi internal kekuatan ekonomi ASEAN
hingga tahun 2013 mencapai GDP sebesar US$ 3,36T (Wangke: 2014). Dengan
terbentuknya MEA tahun 2015, maka perdagangan barang dan jasa telah terintegrasi
dalam pasar bersama ASEAN.
Menghadapi komunitas masyarakat ASEAN, tidak menutup peluang terjadi
mobilitas tenaga kerja antar negara termasuk di sektor pendidikan. Persaingan yang
kompetitif dalam pasar tenaga kerja dan pasar output, mensyaratkan anggota komunitas
menyediakan produk yang berkualitas dengan harga yang bersaing. Pencapaian tersebut
akan terpenuhi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan
kelembagaan, ketersediaan dan kelayakan infrastruktur, regulasi yang mendukung iklim
usaha, dukungan pemerintah serta kepastian hukum. Sektor pendidikan diharapkan
sebagai penopang terbentuknya SDM unggul, utamanya di jenjang sekolah dasar dan
menengah yang berperan sebagai peletak dasar struktur keilmuan, sikap dan tindakan
luhur yang dapat bersaing global. Peran guru melalui pembelajaran dapat meletakkan
fondasi yang kuat untuk mengembangkan diri ke jenjang berikutnya. Untuk itu,
profesionalitas guru merupakan keniscayaan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 692 ] P a g e
SIMPULAN
Peran kepala sekolah yang optimal dalam kepemimpinan pembelajaran,
meningkatkan profesionalisme guru. Kepemimpinan pembelajaran yang efektif menurut
Southworth (2002) adalah kepala sekolah yang mampu memainkan perannya sebagai:
(1) pemantau kinerja guru; (2) penilai kinerja guru; (3) pelaksana dan pengaturan
pendampingan dan pelatihan; (4) perencana pengembangan keprofesian keberlanjutan
guru; (5) pengkoordinasian kerja tim; (6) pengkoordinasian pembelajaran efektif.
Willison (2008) merumuskan tiga cara/strategi untuk menjalankan kepemimpinan
pembelajaran yang efektif yaitu: (1) talk the talk; (2) walk the walk; (3) be the caddy.
Kepala sekolah harus banyak berdialog dan berdiskusi untuk mengembangkan
keprofesian berkelanjutan guru, memantau proses pembelajaran di kelas serta melayani
guru dalam menggunakan sarana prasarana pembelajaran.
Agar kepala sekolah dapat berperan optimal dalam kepemimpinan pembelajaran,
berbagai program dan kegiatan yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Memberikan keteladanan dalam kata, sikap, tindakan dan perilaku bagi komunitas
sekolah untuk mencapai visi dan misi sekolah serta kemajuan pendidikan yang
berdaya saing tinggi.
2. Mendorong guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik sesuai bidang studinya.
3. Memperkuat peran MGMP melalui program pendidikan dan pelatihan, studi banding,
penelitian, workshop serta meningkatkan budaya menulis di kalangan guru.
4. Melaksanakan tinjauan perangkat pembelajaran yang meliputi silabus dan RPP secara
periodik
5. Melaksanakan supervisi khususnya dalam proses pembelajaran.
6. Melaksanakan penilaian kinerja guru dan tindakan perbaikan untuk mencapai
sasaran yang ditentukan.
7. Meningkatkan ketersediaan dan kelayakan sarana dan prasarana pembelajaran.
8. Melakukan pemantauan proses pembelajaran di kelas serta merencanakan tindakan
perbaikan.
9. Membantu guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran yang
efektif.
10. Mengoptimalkan fungsi perpustakaan sekolah untuk menciptakan habit reading di
lingkungan sekolah, baik guru maupun peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Bush, T. & Glover,D.2003. School Leadership: Concept and Evidence. Nottingham: NationalCollege for School Leaderhip.
Hallinger, P.2003. Leading Educational Change: Reflections on the Practice ofInstructional and Transformational Leadership, dalam Cambridge Journal ofEducation. 33(3), .35-70
Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 2008. Administration Education Theory, Research, and PracticeNew York: Random House, Inc
Kepemimpinan Pembelajaran Kepala… (Dewi Kusuma Wardani & Mintasih Indriayu)
P a g e [ 693 ]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2013 Tentang StandarKompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013. Tentang Standar ProsesPendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Kemdikbud
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013. Tentang StandarPenilaian Pendidikan. Jakarta: Kemdikbud
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013. Tentang Kerangka DasarDan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kemdikbud
Kunandar (2009) Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press
Mulyasa, E. 2006. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Soutworth, G. 2002.” Instructional Leadership in School: Reflection and EmpiricalEvidence”, dalam School Leadership and Management, 22(1), 73-92.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.Bandung: Citra Umbara
Wangke Humphrey, 2014. Peluang Indonesia dalam MEA 2015. Info Singkat HubunganInternasional .6(10),5-8.
Willison, R. (2008). What Make an Instructional Leader dalam Phi Delta Kappan,Nov.2010.92 (3),66-69.