54
Glaukoma sekunder Glaukoma sekunder merupakan glaukoma akibat keadaan kesehatan lainnya.Glaukoma sekunder dapat terjadi pada keadaan berikut :a.Katarak imatur ataupun hipermatur.Katarak imatur menimbulkan glaukoma bila terdapat kondisi lensamencembung (katarak intumesen) akibat menyerap air sehingga mendorongselaput pelangi yang akan menutup sudut bilik mata. Katarak hipermatur mengakibatkan glaukoma akibat lensa yang terlalu matang bahan lensa yangdegeneratif akan keluar dari kapsul (bungkusnya) dan menutup jalan keluar cairanmata pada sudut bilik mata (glaukoma fakolitik). b.Cedera mata dapat mengakibatkan perdarahan ke dalam bilik mata depan (hifema)ataupun hal lain yang menutup cairan mata keluar.c.Uveitis, radang di dalam bola mata akan mengakibatkan perlekatan antara irisdengan lensa (sinekia posterior) atau perlekatan antara pangkal iris dan tepi komea(goniosinekia).d . T u m o r d i d a l a m m a t a . e.Diabetes yang membangkitkan glaukoma neovaskular.f.Tetes mata steroid yang dipakai terlalu lama Intumesensi Lensa Lensa dapat menyerap cukup banyak cairan sewaktu mengalami perubahan-perubahan katarak sehingga ukurannya membesar secara bermakna. Lensa ini kemudian dapat melanggar batas bilik depan, menimbulkan sumbatan pupil dan pendesakan sudut, serta menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Terapi berupa ekstraksi lensa, segera setelah tekanan intraokular terkontrol secara medis. 1

BAHAN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BAHAN

Citation preview

Page 1: BAHAN

Glaukoma sekunderGlaukoma sekunder merupakan glaukoma akibat keadaan kesehatan lainnya.Glaukoma sekunder dapat terjadi pada keadaan berikut :a .Ka t a r ak ima tu r a t aupun h ipe rma tu r . K a t a r a k i m a t u r m e n i m b u l k a n g l a u k o m a b i l a t e r d a p a t k o n d i s i l e n s a mencembung (ka t a r ak i n tumesen ) ak iba t menye rap a i r s eh ingga mendorong s e l a p u t p e l a n g i y a n g a k a n m e n u t u p s u d u t b i l i k m a t a . K a t a r a k h i p e r m a t u r   mengak iba tkan g l aukoma ak iba t l en sa yang t e r l a l u ma t ang bahan l ensa yang degeneratif akan keluar dari kapsul (bungkusnya) dan menutup jalan keluar cairanmata pada sudut bilik mata (glaukoma fakolitik). b.Cedera mata dapat mengakibatkan perdarahan ke dalam bilik mata depan (hifema)ataupun hal lain yang menutup cairan mata keluar.c .Uve i t i s , r adang d i da l am bo l a ma t a akan mengak iba tkan pe r l eka t an an t a r a i r i s dengan lensa (sinekia posterior) atau perlekatan antara pangkal iris dan tepi komea(goniosinekia).d . T u m o r d i d a l a m m a t a . e.Diabetes yang membangkitkan glaukoma neovaskular. f .Te t e s ma t a s t e ro id yang d ipaka i t e r l a l u l ama

Intumesensi Lensa

Lensa dapat menyerap cukup banyak cairan sewaktu mengalami perubahan-perubahan

katarak sehingga ukurannya membesar secara bermakna. Lensa ini kemudian dapat melanggar

batas bilik depan, menimbulkan sumbatan pupil dan pendesakan sudut, serta menyebabkan

glaukoma sudut tertutup. Terapi berupa ekstraksi lensa, segera setelah tekanan intraokular

terkontrol secara medis.1

IV.          DIAGNOSIS

Diagnosis Banding : Glaukoma Sekunder et causa Intumesensi Lensa

(Glaukoma Fakomorfik)

Glaukoma Sudut Tertutup Akut Primer

Glaukoma Fakolitik

Diagnosis Kerja     : Glaukoma Sekunder et causa Intumesensi Lensa (Glaukoma Fakomorfik)

                           

Page 2: BAHAN

V.             RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan lapang pandang

Oftalmoskopi

Genioskopi

VI.          TERAPI

Farmakoterapi : Asetazolamid 250-500 mg IV/IM, dapat diulang dalam

2-4 jam maksimum 1 g/hari

Apraklonidin 1-2 tetes pada mata 3 kali/ hari

Mannitol IV 2 g/kgBB selama 30 menit

Timolol 1 tetes pada mata 2 kali/hari

Bedah               : Iridektomi laser

VII.       RENCANA TINDAKAN

-          Menurunkan TIO dengan memberikan obat yang dapat menurunkan TIO

-          Pembedahan oleh dokter spesialis bedah

VIII.    SARAN KEPADA PASIEN

Menjalani pengobatan dengan taat agar tidak terjadi komplikasi

PEMBAHASAN

I.       DEFINISI

Glaukoma merupakan suatu kelainan mata yang ditandai oleh peningkatan tekanan

intraokular, disertai pencekungan diskus optikus dan penciutan lapang pandang (Vaughan et al,

2007). Glaukoma menurut Abe, et al. (2006) dapat diklasifikasikan berdasarkan temuan sudut

bilik depan mata dan ada tidaknya penyakit (kondisi) yang menyebabkan peningkatan tekanan

intraokular dan faktor yang menyertainya. Penyakit ini dibagi menjadi glaukoma primer yang

Page 3: BAHAN

tidak mempunyai penyebab terjadinya peningkatan tekanan intraokular (TIO), glaukoma

sekunder dimana terjadinya peningkatan TIO disebabkan oleh penyakit okular, sistemik, atau

penggunaan obat, dan glaukoma developmental dimana peningkatan TIO adalah hasil dari

perkembangan anomali pada sudut bilik anterior mata yang terjadi selama masa embrional.

Glaukoma primer menurut Ilyas (2009) etiologinya tidak pasti, dimana tidak didapatkan

kelainan yang merupakan penyebab glaukoma. Glaukoma primer dibagi dalam glaukoma sudut

terbuka primer dan glaukoma sudut tertutup primer. Glaukoma sudut tertutup primer muncul

dengan onset akut.

Abe et al. (2006) memberikan pengertian glaukoma sekunder adalah glaukoma dimana

peningkatan tekanan intraokular disebabkan karena penyakit okular, sistemik, maupun

penggunaan obat yang menyebabkan terjadinya neuropati optik. Glaukoma sekunder dapat

dibagi lagi berdasarkan mekanisme peningkatan TIO, yaitu  mekanisme sudut terbuka dan

mekanisme sudut tetutup. Menurut Gill, H., et al. (2010) glaukoma fakomorfik adalah

terminologi yang digunakan untuk glaukoma sekunder sudut tertutup yang disebabkan oleh

intumesensi lensa.

Sowka (2008) mengemukakan sesuai dengan namanya, glaukoma fakomorfik (fako = lensa ;

morf = bentuk) termasuk sekunder karena perkembangan bentuk lensa. Sudut tertutup baik akut,

subakut, maupun kronis dapat dipicu oleh katarak imatur atau intumesen dan terjadi pada mata

yang sebelumnya memiliki sudut bilik terbuka.

Gill et al. (2010) memberikan definisi galukoma fakolitik yaitu glaukoma sudut terbuka

dengan onset akut yang disebabkan oleh kebocoran katarak matur atau hipermatur (jarang pada

imatur).

II.    PATOGENESIS

Pada tulisan kali ini kami hanya akan membahas patogenesis penyakit yang menjadi

diagnosis banding yaitu glaukoma sekunder et causa intumesensi lensa (glaukoma fakomorfik),

galukoma primer sudut tertutup akut, dan katarak senile.

Glaukoma sekunder sudut tertutup (glaukoma fakomorfik) merupakan komplikasi dari

katarak. Dhawan (2005) dalam tulisanya mengemukakan timbulnya glaukoma sekunder akibat

katarak dapat melalui tiga cara, yaitu:

Page 4: BAHAN

-          Glaukoma fakomorfik : Lensa dapat membengkak (intumesen) dengan menyerap cukup

banyak cairan dari kamera anterior yang menimbulkan sumbatan pupil dan pendesakan sudut

sehingga jalinan trabekular terblok serta menyebabkan glaukoma sudut tertutup

-          Glaukoma fakolitik :  Pada katarak stadium hipermatur terjadi kebocoran protein lensa dan

masuk ke dalam kamera anterior dan ditelan oleh makrofag. Makrofag menjadi membengkak

dan menyumbat jalinan trabekular yang memacu peningkatan TIO. Glaukoma yang terjadi

adalah glaukoma sudut terbuka.

-          Glaukoma fakotopik : Lensa hipermatur dapat mengalami dislokasi dan menyebabkan

peningkatan TIO dengan memblok pupil atau sudut secara mekanis, atau dispalsia korpus vitreus

yang menyebabkan blok. Selain itu Vaughan, et al. (2007) menambahkan dislokasi korpus

vitreus sebagai penyebab galukom akibat katarak meskipun mekanismenya belum jelas.

Sowka (2008) menjelaskan penebalan lensa selama kataraktogenesis dapat menghasilkan

pupil blok, dengan iris bombae dan akibatnya terjadi glaukoma sudut tertutup. Lensa menjadi

intumesensi pada katarak senilis imatur. Intumesensi merupakan proses terjadinya hidrasi kortek

yang mengakibatkan lensa menjadi cembung sehingga indeks refraksi berubah, karena daya

biasnya bertambah maka mata menjadi miopia. Ilyas (2009) menambahkan pada intumesensi,

pembengkakan lensa membuat sumbu anterior-posterior lensa makin panjang sehingga

mengakibatkan resistensi pupil pada pengaliran humor aqueous ke depan (blokade pupil). Akibat

blokade pupil ini akan terjadi pendorongan iris sehingga pangkal iris akan menutup saluran

trabekulum yang mengakibatkan bertambahnya bendungan cairan mata dan tekanan intraokuler

meninggi dan timbul glaukoma. Bilik mata depan terlihat dangkal akibat bertambah cembungnya

lensa disertai adanya iris bombe. Sowka (2008) mengemukakan ini dapat terjadi secara umum

pada pasien dengan sudut bilik mata yang memang sudah dangkal, dan kataraktogenesis

memperparah terjadinya penutupan sudut. Meskipun demikian penutupan sudut selama proses

kataraktogenesis juga dapat terjadi pada pasien dengan miopia maupun pasien dengan sudut bilik

mata yang dalam.

Vaughan (2009) menjelaskan efek peningkatan TIO mengakibatkan penurunan penglihatan

pada glaukoma dengan mekanisme utamanya adalah atrofi sel ganglion difus yang menyebabkan

penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson di saraf

Page 5: BAHAN

optikus. Selanjutnya diskus optikus menjadi atrofi, disertai pembesaran cekungan optikus. Iris

dan korpus siliaris juga menjadi atrofi.

Neuron-neuron mengalami kerusakan oleh peningkatan TIO yang menimbulkan tekanan segala

arah pada bola mata dan menghasilkan tegangan, selanjutnya menyebabkan regangan yang

menyebabkan kerusakan neuron.

Sedangkan patogenesis terjadinya glaukoma sudut tertutup akut primer pada dasarnya sama

dengan glaukoma fakomorfik, hanya saja tidak ada penyakit (kondisi) yang mendasari terjadinya

penutupan sudut. Glaukoma primer terjadi pada mata dengan sudut bilik anterior yang dangkal

(sering pada hipermetropia) (Ilyas, 2005).

Glaukoma fakolitik  berkembang pada saat terjadi kebocoran protein lensa dr katarak matur

yang menyubat jalinan trabekular dan mencegah aliran humor aqueous. Dengan usia tua dan

progresi katarak, jumlah protein BM tinggi dalam lensa menigkat. Pada katarak imatur, protein

ini ditemukan dalam nukleus lensa. Dengan matangnya katarak dan akumulasi protein,

peningkatan jumlah protein BM tinggi ditemukan pada cairan korteks lensa. Pada akhirnya,

protein keluar dari lensa dan masuk ke dalam humor aqueous. Adanya protein lensa dalam

kamera anterior memacu inflamasi dan respon makrofag. Akumulasi makrofag yang

membengkak karena menelan protein  lensa sebagai penyebab utama obstruksi jalinan

trabekular. Selain makrofag, protein lensa juga dapat menyebabkan obstruksi (Johnson, 2009).

III.   GEJALA DAN TANDA

Ilyas (2009) menjelaskan mata merah dengan penglihatan turun mendadak biasanya

merupakan glaukoma akut.

Glaukoma fakomorfik menunjukkan gejala sebagai berikut (Gill, 2010):

-          Nyeri akut

-          Mata hiperemis

-          Pandangan kabur

-          Sensasi halo

-          Mual

-          Muntah

-          Pasien umumnya memiliki penurunan penglihatan sebelum episode akut karena riwayat katarak.

Tanda glaukoma fakomorfik termasuk di bawah ini:

Page 6: BAHAN

-          TIO tinggi (> 35 mmHg)

-          Pupil dilatasi sedang, iregular

-          Edema kornea

-          Injeksi konjungtiva dan vena episklera

-          Sudut kamera anterior dangkal

-          Pembesaran lensa dan displasi ke depan

-          Pembentukan katarak tidak sama antara kedua mata

Gejala dan tanda glaukoma fakolitik menurut Chen & Yi (2009), sebagai berikut:

-          Pasien dengan glaukoma fakolitik secara khas mempunyai riwayat penurunan penglihatan yang

lambat selama beberapa bulan maupun tahun sebelum terjadi nyeri dengan onset akut, mata

merah, dan seringkali terjadi penurunan penglihatan yang lebih jauh.

-          Penglihatan mungkin hanya dapat persepsi cahaya karena densitas katarak

-          Gejalanya sama dengan glaukoma sudut tertutup akut

-          Riwayat penurunan penglihatan yang lambat sebelum onset akut adalah gejala yang vital untuk

diagnosis.

-          TIO meningkat sangat tinggi

-          Pemeriksaan lampu slit menampakkan edema korne mikrositik, kamera anterior sembab,

makrofag, agregasi material putih.

-          Penemuan genioskopi biasanya normal.

Gejala dan tanda yang didapatkan pada glaukoma sudut tertutup akut primer menurut Ilyas

(2009):

-          Pasien dengan glaukoma sudut tertutup akut primer  menampakkan gejala nyeri okular dan

kepala

-          Penurunan lapang pandang unilateral

-          Adanya halo berupa pelangi di sekitar lampu yang dilihat

-          Seringkali mual dan muntah

-          Ketajaman penglihatan dapat menurun secara signifikan pada mata yang terpengaruh, seringkali

sampai 20/80 atau lebih buruk.

Page 7: BAHAN

-          Tanda khas yang muncul termasuk peningkatan TIO secara signifikan, pada evaluasi

genioskopi, terdapat injeksi konjungtiva dan episklera yang dalam, dan pupil yang berdilatasi

sedang.

-          Pada pemeriksaan slit lamp juga dapat terlihat edema kornea dan sudut kamera anterior yang

dangkal.

-          Tonometri dapat terlihat TIO rata-rata 30 sampai dengan 60 mmHg, ataupun lebih tinggi pada

beberapa kasus.

-          Gonioskopi mungkin sulit dilakukan karena edema kornea mikrositik.

-          Mungkin terdapat bukti episode pentupan sudut sebelumnya dalam bentuk sinekia anterior

perifer pada mata.

IV. DIAGNOSIS

Diagnosis glaukoma akut baik primer maupun sekunder ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Ilyas, 2009). Selanjutnya Ilyas (2005)

menambahkan glaukoma primer dengan sudut bilik mata depan tertutup bersifat bilateral dan

herediter dan banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Sedangkan mata pasien dengan

glaukoma sudut tertutup sekunder sangat merah, konjungtiva sangat kemotik, dengan injeksi

siliar, kornea keruh, pupil setengah dilatasi dengan reaksi terhadap sinar yang kurang atau ama

sekali tidak ada. Bilik mata depan dangkal dan di dalam bilik mata terdapat efek Tyndal positif.

Mata pada perabaan terasa keras seperti kelereng, akibat tekanan bola mata yang sangat tinggi.

Noecker & Kahook (2011) menjelaskan diagnosis glaukoma sudut tertutup akut primer dibuat

dengan visualisasi genioskopi yang menunjukkan tertutupnya sudut kamera anterior. Tonometri

menunjukkan peningkatan TIO yang bisa mencapai 40-80 mmHg. Chen & Yi (2009)

menjelaskan pada glaukoma fakolitik pemeriksaan lampu slit menampakkan edema korne

mikrositik, kamera anterior sembab, makrofag, agregasi material putih. Pada pemeriksaan

genioskopi sudut kamera anterior biasanya normal.

V.    RESUME ANAMNESIS

1.      Analisis RPS

      Dari data riwayat penyakit sekarang didapatkan sejak 1 hari yang lalu pasien mengeluh

kedua matanya merah, disertai keluhan lain yaitu rasa sakit atau pegal pada mata, pusing, mual

Page 8: BAHAN

dan muntah. Saat ini pasien juga merasakan penglihatannya menjadi kabur dan merasakan silau

jika terkena cahaya lampu dan seperti adanya gambaran pelangi jika melihat lampu. Data riwayat

penyakit sekarang tersebut menggambarkan perjalanan penyakit yang saat ini dialami oleh

pasien. Gejala yang dialami dapat mengarahkan kita pada diagnosis banding yaitu glaukoma

fakomorfik, glaukoma sudut tertutup akut primer, glaukoma fakolitik, dan glaukoma uveitis

karena pada masing-masing diagnosis banding tersebut didapatkan gejala serupa dengan yang

dialami oleh pasien, yaitu gejala glaukoma dengan onset yang terjadi mendadak atau akut Ilyas

(2005) mengemukakan serangan glaukoma akut dapat datang dengan tiba-tiba dan penglihatan

akan sangat menurun, disertai dengan sakit yang berat di belakang kepala, dan kadang-kadang

akibat adanya gejala yang disertai muntah, maka sering disangka penderita sakit perut. Ilyas

(2009) menambahkan serangan glaukoma akut juga menunjukkan tanda-tanda kongestif

(peradangan) dengan kelopak mata bengkak dan mata merah.

      Pasien sudah mengobati dengan obat yang dibeli di warung namun keluhan belum membaik.

2.      Analisis Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit keluarga tidak didapatkan anggota keluarga yang menderita penyakit

serupa dengan pasien. Ini berarti kita dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit yang diderita

oleh pasien adalah diturunkan oleh keluarganya.

Riwayat penyakit kronis seperti diabetes melitus dan hipertensi juga negatif dalam keluarga.

Penyakit diabetes melitus dan hipertensi ini juga dapat sebagai faktor resiko terkena penyakit-

penyakit yang berada di mata (Ilyas, 2005).

3.      Analisis Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Ini berarti bahwa pasien

mengalami keluhan dengan onset akut dan pertama kalinya. Pasien juga tidak memiliki riwayat

memakai kacamata. Pada pasien dengan kelainan refraksi juga mempunyai faktor yang dapat

menyebabkan munculnya penyakit mata seperti glaukoma. Umumnya dapat terjadi pada pasien

dengan sudut kamera anterior sempit (sering pada hipermetropia) (James et al., 2005). Pasien

memiliki riwayat katarak sejak satu tahun yang lalu. Namun pada anamnesis penggalian riwayat

penyakit dahulu kurang lengkap karena tidak menggali perjalanan penyakit katarak yang sejak

satu tahun yang lalu diderita pasien. Ilyas (2009) menjelaskan glaukoma akut dibangkitkan lensa

Page 9: BAHAN

merupakan glaukoma akibat katarak intumesen, matur, ataupun hipermatur. Untuk mengetahui

etiologi glaukoma sekunder yang terjadi sangat diperlukan penggalian riwayat katarak pasien

baik perjalanan penyakitnya (gejala dan tanda yang muncul) maupun riwayat pengobatannya.

Jika sudah digali dengan baik, kita bisa mengetahui apakah glaukoma yang terjadi adalah karena

adanya penyakit (kondisi) yang mendasari (sekunder), atau tidak ada penyakit sebelumnya yang

menyebabkan terjadinya glaukoma (primer).

Selain itu penyakit kronis seperti diabetes melitus dan hipertensi juga bisa menyebabkan

kelainan pada mata seperti retinopati diabetik maupun glaukoma neovaskular. Tapi pada pasien

tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi sehingga diagnosis retinopati diabetik

maupun glaukoma neovaskular tidak masuk dalam diagnosis banding.

4.      Analisis Kebiasaan dan Lingkungan

Data anamnesis tidak dicantumkan kebiasaan dan lingkungan pasien. Pada glaukoma

sekunder, Ilyas (2009) mengemukakan faktor yang dapat mencetuskan serangan glaukoma akut,

yaitu seperti Emosi (bingung dan takut) dapat menimbulkan serangan akut, dan membaca dekat

yang mengakibatkan miosis atau pupil kecil akan menimbulkan serangan pada glaukoma blok

pupil.

5.      Analisis Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik dengan tekanan darah yang sedikit

tinggi yaitu 130/80 mmHg yang termasuk stadium prehipertensi namun pada orang dengan usia

tua (67 tahun), tekanan darah biasanya sudah meningkat. Pemeriksaan visus menunjukkan visus

jauh pada okulus dekstra adalah 1/60, artinya pasien hanya dapat menghitung jari pada jarak 1

meter yang pada orang dengan visus normal dapat dilihat dari jarak 60 meter. Visus jauh okulus

sinistra adalah 3/60, artinya pasien juga hanya apat menghitung jari pada jarak 3 meter. Persepsi

sinar positif artinya pasien masih dapat melihat adanya sinar dan arah datangnya sinar. Menurut 

Ilyas (2005) serangan glaukoma akut menunjukkan gejala kongestif dengan kelopak mata

bengkak, mata merah, tekanan bola mata sagat tinggi, pupil lebar, kornea suram dan edem, iris

sembab meradang, papil saraf optik hiperemis, edem, dan lapang pandang menciut berat. Iris

bengkak dengan atrofi dan sinekia posterior dan lensa menjadi keruh.

Page 10: BAHAN

VI. PEMBAHASAN PEMERIKSAAN PENUNJANG TERKAIT KASUS

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai

berikut (:

1.      Pemeriksaan lapang pandang

Pemeriksaan lapang pandang penting dilakukan untuk mendiagnosis dan menindaklanjuti

pasien glaukoma. Kemungkinan hasil yang akan ditemukan lapang pandang pasien berkurang

karena peningkatan TIO yang merusak papil saraf optikus.

2.      Oftalmoskopi

Untuk melihat bagian dalam mata atau fundus okuli. Dengan menggunakan opthalmoskop

kita bisa mengukur rasio cekungan-diskus (cup per disc ratio-CDR). CDR yang perlu

diperhatikan jika ternyata melebihi 0,5 karena hal itu menunjukkan peningkatan tekanan

intraokular yang signifikan.

3.      Pemeriksaan Gonioskopi

Dengan lensa gonioskopi dapat dilihat keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan

glaukoma. Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai

adanya glaukoma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut (goniolens) di

dataran depan kornea setelah diberikan lokal anestesi. Lensa ini dapat digunakan untuk melihat

sekeliling sudut bilik mata dengan memutarnya360 derajat. Pemeriksaan genioskopi ditunda

sampai edema kornea berkurang, salah satunya dengan obat yang dapat menurunkan tekanan

intraokular. Hasil yang diharapkan pada pemeriksaan genioskopi menunjukkan sudut bilik mata

anterior yang tertutup.

VII.          PEMBAHASAN TERAPI TERKAIT KASUS

Tujuan penatalaksanaan glaukoma sekunder  adalah untuk menurunkan TIO dan mengobati

kausa penyakit. Terapi berupa ekstraksi lensa apabila TIO telah terkontrol secara medis

(Vaughan, et al. 2009).

1.      Farmakoterapi

Page 11: BAHAN

Terapi farmaka dilakukan untuk menurunkan TIO secara cepat untuk mencegah kerusakan

yang lebih jauh pada nervus optikus, untuk menormalkan kornea, dan mencegah terjadinya

pembentukan sinekia. Reduksi TIO dibutuhkan untuk mempersiapkan pasien untuk iridotomi

laser untuk mengatasi blok pupil yang menyebabkan glaukoma. Manajemen inisial yang

digunakan termasuk beta-bloker, agonis alfa-2 adrenergik, dan inhibitor karbonik anhidrase.

Miotikum dapat memperburuk serangan glaukoma sudut tertutup sekunder dengan meningkatkan

kontak iridolentikular. Tujuan farmakoterapi adalah untuk menurunkan morbiditas dan untuk

mencegah komplikasi (Gill, 2010).

a.       Inhibitor Karbonik Anhidrase

Karbonik Anhidrase adalah suatu enzim yang ditemukan di banyak jaringan tubuh, termasuk

mata. Katalisasi suatu reaksi reversibel dimana karbon dioksida menjadi hidrasi dan asam

karbonat menjadi dehidrasi. Dengan memperlambat terbentuknya pembentukan ion bikarbonat

dengan reduksi  dalam sodium dan transport cairan, dapat menghambat karbonik anhidrse dalam

proses siliaris mata. Efeknya menurunkan sekresi aqueous humor, sehingga menurunkan TIO.

Asetazolamid digunakan dengan dosis 250-500 mg IV/IM, dapat diulang dalam 2-4 jam

maksimum 1 g/hari. Efek sampingnya hilangnya kalium tubuh, parastesi, anoreksia, diare,

hipokalemia, batu ginjal, dan miopia sementara.

Kontraindikasi pada orang dengan hipersensitivitas, penyakit hati, penyakit ginjal kronis,

insufisiensi adrenokortikal, obstruksi pulmonar parah (Gill, 2010).

b.      Agonis Alfa-adrenergik

Menurunkan TIO dengan menurunkan produksi humor aqueous (Gill, 2010). Apraklonidin

merupakan obat baru yg bekerja menurunkan produksi humor aqueous tanpa efek pada aliran

keluar, dapat digunakan dengan dosis 1-2 tetes pada mata yang terkena 3 kali/ hari.

c.       Agen Hiperosmotik

Menurunkan TIO dengan membuat gradien osmosis antara cairan okular dan plasma, tetapi

tidak untuk penggunaan jangka panjang. Obat yang digunakan Manitol yang bekerja dengan

mengakibatkan cairan ekstraselular hiperosmotik sehingga terjadi dehidrasi sel dan diuresis.

Dosis mannitol pada pasien dengan mual dan muntah diberikan secara intravena dalam 20 %

cairan dengan dosis 2 g/kgBB selama 30 menit. Maksimal penurunan TIO dijumpai dalam satu

jam setelah pemberian mannitol.

d.      Beta Bloker

Page 12: BAHAN

Merupakan terapi tambahan yang efektif untuk menangani serangan sudut tertutup. Beta

bloker dapat menurunkan TIO dengan cara mengurangi produksi humor aqueous. Timolol

sebagai beta bloker nonselektif dalam sediaan tetes mata dapat digunakan sebanyak 2 kali

dengan interval setiap 20 menit dan dapat di ulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian (Qamar,

2008).

e.       Miotik Kuat

Pilokarpin 2% atau 4 % setiap 15 menit sampai 4 kali pemberian sebagai inisial terapi,

diindikasikan untuk menghambat serangan awal glaukoma akut.

Bekerja degan meningkatkan fasilitas pengeluaran cairan mata dengan membuka sudut bilik

mata dengan miosis. Efek samping yang ditimbulkan adalah sakit pada alis akibat spasme otot

siliaris dan penglihatan malam berkurang (Ilyas, 2009).

2.      Nonfarmakoterapi (Pembedahan)

Ilyas menjelaskan pengobatan glaukoma sekunder akut hanya dengan pembedahan. Tindakan

pembedahan harus dilakukan pada mata dengan sudut sempit karena serangan akan berulang lagi

pada satu saat. Tindakan pembedahan dilakukan bila TIO sudah terkontrol, mata tenang dan

persiapan pembedahan sudah cukup. Tindakan pembedahannya adalah iridektomi laser. Gill

(2010) menambahkan seringkali serangan sudut tertutup terjadi lagi setelah pembedahan, karena

sudut kamera anterior masih dangkal. Dalam kondisi ini sebaiknya dilakukan ekstraksi katarak

bila sudut kamera anterior tidak dalam setelah iridektomi laser.

VIII.       PEMBAHASAN PROGNOSIS DAN KOMPLIKASINYA

Kontrol tekanan intraokuler yang jelek akan menyebabkan semakin rusaknya nervus

optik dan semakin menurunnya visus sampai terjadinya kebutaan. Jika TIO tetap terkontrol dan

terapi penyebab dasar menghasilkan penurunan TIO, maka kecil kemugkinannya terjadi

kerusakan penglihatan progresif (James et al. (2006).

DAFTAR PUSTAKA

Dhawan, S., 2005. Lens & Cataract.

http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf

Page 13: BAHAN

Gill, H., Juzych, M.S., Goyal, A.G., 2010. Phacomorphic Glaucoma.

http://emedicine.medscape.com/article/1204917-overview

Ilyas, S., 2005.Penuntun Ilmu Penyakit Mata (3rd ed). Jakarta: FKUI

Ilyas, S., 2009. Ilmu Penyakit Mata (3rd ed). Jakarta: FKUI

James, B., Chew, C., Bron, A., 2006. Oftalmologi: Lecture Notes (9th ed). Jakarta:

Erlangga

Johnson, S., 2009. Cataract Surgery in Glaucoma Patient. New York: Springer Science

& Business Media

Noecker, R.J., Kahook, M.K., 2011. Acute Angle Closure Glaucoma.

http://emedicine.medscape.com/article/1206956-overview

Qamar, A.R., 2008. Phacomorphic Glaucoma: An Easy Approach, Pak J Ophthalmol ,

23:2,77-79

Sowka, J., Phacomorphic Glaucoma: Case and Review, American Optometric

Association, 2008;77:586-589

Sowka, J.W., Gurwood, A.S., Kabat, A.G., 2009. Handbook of Ocular Disease

Management. Hunenberg: Alcon

Vaughan, D.G., Asbury, T., Eva, P.R., 2007. General Ophtalmology (17thed). New

York: Mc Graw Hill

Yi, K., Chen, C.T., 2009. Phacophilic Glaucoma.

http://emedicine.medscape.com/article/1204814-overview

DEFINISI, ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea

(iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa uvea

Page 14: BAHAN

merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat

memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen

mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya.

Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui secara pasti sehingga patofisiologi yang pasti

dari uveitis juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi imunitas.

Uveitis sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun,

postulat reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat melukai

sel dan pembuluh darah uvea.

Uveitis juga dapat ditemukan dengan hubungannya dengan kelainan autoimun, seperti SLE

(Systemic Lupus Erythematosus) dan Rheumatoid Arthritis (RA). Pada kasus ini, uveitis dapat

disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan penimbunanan kompleks imun pada

jaringan uvea.

Penyebab ganda telah dibuktikan menyebabkan terjadinya uveitis anterior. Kebanyakan tipe

uveitis anterior merupakan reaksi peradangan steril, dimana hal inilah yang membedakan dengan

uveitis posterior yang sering disebabkan oleh infeksi. Persentase terjadinya uveitis anterior

idiopatik antara 38-70% dari seluruh kejadian uveitis anterior. Kemudian penyebab terbanyak

kedua adalah terjadinya onset akut (HLA)-B27 positif atau HLA-B27 yang berhubungan dengan

penyakit tertentu.

C.    KLASIFIKASI PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun

parameter yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset,

dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi.

Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat penting dilakukan untuk diagnosis dan

penanganan penyakit. Sehingga penanganan yang cost-efective dapat terlaksana. Adapun

klasifikasi dari uveitis antara lain (Ilyas dkk, 2002):

1.      Lokasi utama dari bercak peradangan :

Klasifikasi yang paling sering digunakan pada uveitis adalah klasifikasi dari The International

Uveitis Study Group (IUSG) yang dipublikasikan pada tahun 1987. Sedangkan lokasi anatomi

dari proses inflamasi adalah salah satu tanda penting bagi proses patogenesis dan penanganan

dari uveitis. Klasifikasi IUSG berdasarkan lokasi anatomi dari inflamasi yaitu:

Page 15: BAHAN

gambar 2. Pembagian uveitis berdasarkan tempat peradangan yang terjadi

a.   Uveitis anterior

Uveitis anterior; meliputi iritis, iridosiklitis dan siklitis anterior; yaitu peradangan intraokular

yang paling sering terjadi. Uveitis anterior dapat terjadi apabila terjadi peradangan pada segmen

anterior bola mata. Berdasarkan data epidemiologi, kebanyakan dari pasien uveitis tidak

memiliki gejala sistemik yang terkait dengan uveitis, namun 50% pasien mengalami peradangan

yang disebabkan oleh trauma, dan paling sering disebabkan oleh sindrom idiopatik postviral

(Sindrom HLA-B27, herpes simpleks, dan herpes zoster, Fuchs heterochromic iridocyclitis, dan

beberapa penyakit arthritis lainnya). Penyakit sekunder iatrogenik sering ditemukan post operasi,

komplikasi pembedahan, implant sklera, transplantasi kornea, distrupsi kapsula, atau fixed haptic

dan implantasi lensa intraokular yang difiksasi dengan iris.

Penyebab Uveitis anteriorAutoimun:

-       Artritis rheumatoid juvenilis - Uveitis terinduksi-lensa-       Spondilitis ankilosa - Sarkoidosis-       Sindrom reiter - Penyakit chron-       Kolitis ulserativa - Psoriasis

Infeksi:-       Sifilis - Herpes simpleks-       Tuberkulosis - Onkoserkiasis-       Lepra (morbus Hensen) - Adenovirus-       Herpes Zoster

Keganasan:-       Sindrom masquerade - Limfoma-       Retinoblastoma - Melanoma maligna-       Leukemia

Lain-lain:-       Idiopatik - Iridosiklitis heterokromik Fuchs-       Uveitis traumatika - Gout-       Ablatio retina - Krisis galukomatosiklitik

Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia, epifora, gatal yang dalam dan

tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala akan memburuk apabila terpapar

cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien dengan mengenakan kacamata. Epifora yang

Page 16: BAHAN

terjadi dihubungkan dengan peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar airmata, dan tidak ada

hubungannya dengan sensasi benda asing yang dirasakan.

Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih lebih baik,

walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya akomodasi menjadi lebih sulit dan

tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada kongesti palpebra ringan hingga sedang dan

menyebabkan pseudoptosis. Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan

sklera, walaupun konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan

slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit endotel berwarna

coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP).

Gambar 3. Keratic precipitates (KP)

Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit (hipopion); dan

flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang meradang; dan dapat ditemukan

pada kamera okuli anterior sehingga kamera okuli anterior tampat kotor dan berkabut). Iris dapat

mengalami perlengketan dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat terjadi

perlengketan dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan kadang terlihat nodul

granulomatosa pada stroma iris.

Gambar 4. Kanan: sinekia posterior, Tengah: fler, dan kiri : hipopion

Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan siliar. Namun saat

reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi pada trabekulum. Apabila debris

ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang normal maka dapat

terjadi peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder.

b.   Uveitis intermediate

Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau

posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona intermediate mata. Ini terutama terjadi

pada orang dewasa muda dengan keluhan utama melihat “bintik-bintik terapung” di dalam

lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada perbedaan

distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia.

Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter melihat adanya

kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan oftalmoskop.

Page 17: BAHAN

Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat beberapa sel di

kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia posterior dan anterior. Sel radang lebih besar

kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan dengan

slit-lamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering menampakan

kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering

menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu terlihat adanya

selubung perivaskuler pada pembuluh retina.

Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik dalam waktu 5

sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular kistoid dan parut makular

permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan

membran-membran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang

terjadi.

Penyebabnya tidak diketahui. Kortikosteroid adalah satu-satunya pengobatan yang menolong

namun hanya dipakai pada kasus yang berat, terutama bila penglihatan menurun sekunder akibat

edema makular. Mula-mula dipakai kortikosteroid topikal, namun jika gagal suntikan subtenon

atau retrobulber dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan demikian meningkatkan

resiko timbulnya katarak. Untungnya pasien-pasien ini menyembuh setelah operasi katarak.

c.    Uveitis posterior

Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi koroiditis,

korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan

retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior

bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali

dapat ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) cara onset dan perjalanan penyakit, (3)

hubungannya dengan penyakit sistemik.

Penyebab uveitis posterior1.Penyakit infeksi

a.      Virus: CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, virus defisiensi imun manusia HIV), virus eipstein Barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut.

b.      Bakteri: Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic Nocardia, Mycobacterium avium-intracellulare, Yarsinia, dan borella (penyebab penyakit Lyme).

c.       Fungus: Candida, histoplasma, Cryptococcus, dan aspergillus

Page 18: BAHAN

d.      Parasit: Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchocerca2. Penyakit Non Infeksi:

a.      Autoimun: -       Penyakit Behcet - Oftalmia simpleks-       Sindrom vogt-koyanagi-Harada - Vaskulitis retina-       Poliarteritis nodosa

b.      Keganasan:-       Sarkoma sel reticulum - Leukemia-       Melanoma maligna - Lesi metastatik

c.       Etiologi tak diketahui:-       Sarkoidosis - Retinopati “birdshot”-       Koroiditis geografik - Epiteliopati pigmen retina-       Epitelopati pigmen piakoid multifocal akut

Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan herpes.

Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti tuberkulosis, sarcoidosis,

penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom yang tidak biasa seperti korioretinitis

serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral, limfoma,

atau sarkoidosis.

Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang menimbulkan

kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak pernah menimbulkan sel-sel

vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior

umumnya berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan vitreus dan kehilangan

penglihatan secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior, yang pada

gilirannya kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.

Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh “sindrom samaran”, seperti

retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok umur ini adalah

infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi rubella.

Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior termasuk

toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi sitomegalovirus, sindrom samaran,

panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang penting, infeksi bakteri atau fungi pada segmen

posterior. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis diferensial

adalah toksoplasmosis, penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmitis

candida, dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis meningococcus.

Page 19: BAHAN

Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis retina

akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel retikulum, atau kriptokosis.

Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat toksoplasmosis,

kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau infeksi bakteri endogen. Onset

uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen

posterior mata yang onset mendadak adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan

infeksi bakterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat.

d.   Uveitis difus atau panuveitis (peradangan pada kamera okuli anterior, vitreous, retina,

dan koroid)

Istilah “uveitis difus” merupakan kondisi terdapat infiltratnya sel kurang lebih merata dari

semua unsur di traktus uvealis atau dengan kata lain pada uveitis difus tidak memiliki tempat

peradangan yang predominan dimana peradangan merata pada kamera okuli anterior, vitreous,

dan retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal). Keadaan ini

seringnya disebabkan karena infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis

bakterial postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat

geografik secara khas tidak ada.

2.      Berat dan perjalanan penyakit :

a.    Akut

b.   Sub-akut

c.    Kronik

d.   Rekurens

Berdasarkan berat dan perjalanan dari uveitis dapat dikategorikan menjadi akut, subakut,

kronis (> 3 bulan), dan rekurens. Misalnya, pada iritis (inflamasi iris) akut sering terjadi pada

dewasa muda. Gejala awal yang sering dirasakan adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia

(sensitif terhadap cahaya). Seringnya, pasien memiliki hubungan genetik dengan timbulnya iritis

akut seperti adanya riwayat anggota keluarga lain mengalami hal yang sama. Hubungan dengan

faktor genetik ini sering terjadi pada penyakit lain misalnya pada ankylosing spondylitis (arthritis

pada punggung bawah), penyakit inflamasi usus, dan psoriasis. Berdasarkan perjalanan penyakit,

terjadinya uveitis memerlukan waktu 2-6 minggu dan selalu muncul hanya pada satu mata.

Page 20: BAHAN

Beberapa pasien dapat mengalami serangan 1-2 kali selama hidupnya, dan kadang ada yang

mengalami serangan berulang.

Contoh lain misalnya kronik iridosiklitis yang berhubungan dengan iris dan badan siliar

(struktur seperti kelenjar) dibelakang iris. Kronik iridosiklitis sering menunjukan gejala minimal

hingga keparahan yang mampu merusak mata. Penyakit sistemik yang sering menyebabkan

kronik iridosiklitis adalah anak-anak yang memiliki arthritis rheumatoid juvenile. Pada anak-

anak ini, khususnya gadis yang berusia 2-6 tahun, merupakan usia yang sangat berpotensial

untuk terjadinya kondisi ini. Banyak dari anak-anak ini tidak mengeluhkan gejala yang

berhubungan dengan penglihatan. Sehingga, sangat penting bagi dokter spesialis mata untuk

merujuk semua anak dengan arthritis rheumatoid juvenil ke dokter spesialis mata karena

iridosiklitis kronik dapat muncul beberapa tahun setelah arthritis rheumatoid juvenil timbul,

anak-anak yang memiliki riwayat seperti ini memerlukan check up periodik hingga usia remaja.

3.      Berdasarkan patologinya :

a.      Non-granulomatosa

Jenis uveitis non-granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan

berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga peradangan ini adalah semacam fenomena

hipersensitivitas. Uveitis nongranulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni

iris dan korpus siliar. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel

plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear. Pada kasus berat dapat

terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior.

Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia,

dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkum korneal yang disebabkan oleh dilatasi

pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (presipitat keratik/KP) pada permukaan posterior

kornea dapat dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan mungkin

terdapat kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika terdapat sinekia posterior maka

pupil tampak tidak teratur.

Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan kemungkinan terpajan terhadap

toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis. Kemungkinan adanya fokus infeksi jauh

dalam tubuh harus pula dicari.

b.      Granulomatosa

Page 21: BAHAN

Sedangkan, uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh

organisme penyebab (misalnya. Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii).

Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang ditegakkan.

Kemungkinan-kemungkinan seringkali dapat dipersempit oleh pemeriksaan klinik dan

laboratorium. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun

lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel raksasa yang dikelilingi

limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan permukaan posterior kornea

terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis spesifik dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan histopatologis pada mata yang yang dikeluarkan dengan menemukan kista

toxoplasma, basil tahan asam tuberkulosis, spirochaeta pada sifilis, tampilan granuloma khas

pada sarkoidosis atau oftalmia simpatika, dan beberapa penyebab spesifik langka lainnya.

Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior, uveitis posterior, dan

keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan menjadi kabur dan mata tersebut

memerah secara difus daearh sirkumkornea. Sakitnya minimal, dan fotofobianya tidak sama

berat dengan non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur karena

terbentuk sinekia posterior. KP “mutton fat” besar-besar terlihat di permukaan posterior kornea

dengan slitlamp. Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di kamera anterior, dan nodul yang terdiri

atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (nodul koeppe). Nodul-nodul ini sepadan

dengan KP mutton fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris disebut nodul busacca.

Gambar 5. Uveitis anterior dengan keratik presipitat “mutton-fat”

dan nodul Koeppe dan Busacca

Gambar 6. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris

dan sedikit mutton-fat pada aspek inferior

 

Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak putih-kekuningan

samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum berkabut. Kasus posterior demikian

pada umumnya digolongkan sebagai penyakit granulomatosa. Karena retina dan koroid saling

melekat erat, retinanya hampir selalu ikut terkena (korioretinitis). Dalam proses penyembuhan,

kabut vitreus berangsur hilang, dan pigmentasi berangsur timbul di tepian bintik-bintik putih

kekuningan. Pada tahap sembuh, umumnya terdapat deposit pigmentasi yang cukup banyak. Jika

Page 22: BAHAN

makula tidak terkena, kesembuhan penglihatan sentral umumnya sempurna. Pasien umumnya

tidak menyadari adanya skotoma di perifer lapangan pandang sesuai dengan daerah parut.

4.      Demografi, lateralitas dan faktor penyerta :

a.       Distribusi menurut umum

b.      Distribusi menurut kelamin

c.       Distribusi suku bangsa atau ras

d.      Unilateral dan bilateral

e.       Penyakit yang menyertai atau mendasari

5.      Penyebab yang diketahui :

a.       Bakteri : tuberkulosa, sifilis

b.      Virus : herpes simpleks, herpes zoster, CMV, Penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, Sindrom Behcet.

c.       Jamur : Kandidiasis

d.      Parasit : Toksoplasma, toksokara

e.       Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika

f.       Penyakit sistemik : penyekit kolagen, arthritis rheumatoid, multiple sclerosis, sarkoidosis,

penyakit vaskuler.

g.      Neoplastik : Limfoma, reticulum cell sarcoma

h.      Lain-lain : AIDS

D.    PENDEKATAN DIAGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu. Misalnya,

karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis akan mengeluh sakit dan

fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak mengaburkan penglihatan kecuali bila prosesnya berat

atau cukup lanjut hingga mengeruhkan humor aqueous, kornea, dan lensa. Penyakit koroid

sendiri tidak menimbulkan sakit atau penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid dengan retina,

penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina, penglihatan sentral akan terganggu. Vitreus

juga dapat menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian koroid dan retina yang

merdang. Namun gangguan penglihatan proposional dengan densitas kekeruhan vitreus dan

Page 23: BAHAN

bersifat reversible bila peradangan mereda. Adapun, secara umum pasien yang sedang

mengalami peradangan uvea akan mengeluhkan gejala-gejala umum sebagai berikut:

-       Mata merah (hiperemis konjungtiva)

-       Mata nyeri

-       Fotofobia

-       Pandangan mata menurun dan kabur

-       Epifora

Page 24: BAHAN

Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi dari

gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat, fotofobia, dan

hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan hipopion. Faktor diluar

gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis uveitis anterior. Onset, durasi, dan

keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus diketahui. Selain itu usia pasien, latar

belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi pertimbangan. Riwayat rinci dan review dari

sistem merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi pasien dengan uveitis.

Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan

antara lain:

1.      Pemeriksaan subyektif mata

a.       Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam pengllihatan,

pemeriksaan gerakan bola mata.

b.      Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan

c.       Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal

2.      Pemeriksaan obyektif mata

Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:

a.       Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal

b.      Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering ditemukan pada

360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat menuju arah limbus. Hal inilah

yang membedakannya dengan konjungtivitis yang terlihat injeksi semakin banyak dengan arah

menjauhi limbus.)

c.       Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung kondisi dari

produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih dan merah.

d.      Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.

e.       pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung mengenai iris

yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya secara langsung mengenai iris

berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:

-          Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan beberapa penyebab

fotofobia lain, seperti konjungtivitis.

-          Pupil dalam kondisi miosis

3.      Pemeriksaan funduskopi

Page 25: BAHAN

4.      Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp

a.       Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus, atau benda asing.

b.      Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea

c.       Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah putih pada

endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka diklasifikasikan ke dalam uveitis

nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak

(gambaran granula “mutton-fat”).

d.      Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan kamera okuli anterior

tampak kotor.

e.       Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada kamera okuli

anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:

-          0 à tidak ditemukan

-          +1 à ditemukan dalam jumlah sedikit

-          +2 à ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)

-          +3 à iris dan lensa terlihat berkabut

-          +4 à intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi)

5.      Pemeriksaan laboratorium

a.       Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan hubungan

etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan laboratorium ini tidak dilakukan

bila pasien mengalami uveitis nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali dan pada

anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang khas.

b.      Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis rekurens, pada

anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas maka dilakukan pemeriksaan

laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap, dll.

E.     PENANGANAN PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting

penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis

Page 26: BAHAN

mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah

pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien.

Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan

peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau sistemik

dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:

1.      Pemberian Obat Anti Radang

a.      Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu dengan cara:

-          Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat dari

fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi aktifitas sel B dan

sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan yang bukan disebabkan

karena infeksi.

-          Mengurangi permeabilitas pembuluh darah

-          Mengurangi pembentukan jarangan parut

Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis juga sangat

bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal untuk

mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya komplikasi. Initial

dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg

setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering

off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk

meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi

umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid 

level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison

(2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi

adrenal.

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu

dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan

menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis

tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk

mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari

sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada

Page 27: BAHAN

pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat

kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan

kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian obat.

Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison,

selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya

ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya

dapat diberikan selang sehari

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:

-          Menurunkan daya reaksi jaringan

-          Mengaktifkan proliferasi bakteri

-          Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain

-          Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak

-          Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama

-          Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata

-          Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus

-          Menambah kemungkinan infeksi jamur

-          Menambah berat radang akibat infeksi bakteri

Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan pemberian

jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik atau uveitis yang

mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan).

Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:

Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes. Tergantung dari

keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon asetat

1% merupakan obat yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk precipitate,

sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum digunakan. Kadang-kadang steroid

dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu

dimonitor.

Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika mulai dirasakan

gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian terpai inisial selam 3-4 minggu sebelum pemberian

steroid jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang responsive terhadap

kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam transeptal menyebabkan lebih

Page 28: BAHAN

sedikit hipertensi ocular dibandingkan dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi

ini tidak digunakan pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena penebalan

sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.

Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:

1.      Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan

2.      Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya

Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:

-    Prednisolone 1% (pred forte) à steroid paling kuat dan merupakan drug of choice untuk uveitis.

Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi migrasi dari leukosit

PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah. Homatropine dapat menghambat

kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu prednisolone juga tidak boleh

digunakan pada pasien hipersensitif dengan prednisolone dan pasien sedang mengalami infeksi

jamur, virus, dan bakteri. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam (dewasa). Prednisolone

dapat meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan katarak dalam pemakaian

jangka panjang.

b.      Obat anti inflamasi nonsteroid

Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi untuk

menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien memiliki kondisi kontra.

Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada

kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang

sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat

intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai

life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan

hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified

derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.

Termasuk ke dalam golongan antiinflamasi yang bersifat antilimfosit seperti fenilbutazon,

indometasin, salisilat, natrium diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-Infamasi Drugs

(NSAIDs) yang lainnya .

Page 29: BAHAN

2.      Obat sikloplegia

Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil, selain

juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi. Mekanisme ini dapat

mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.

Contoh obat sikloplegia:

-       Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek maksimal

dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali

2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek samping seperti nadi cepat, demam,

merah, dan mulut kering.

-       Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) à menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan midriasis

setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun efek ini dapat menurun

pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada uveitis dibandingkan

siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.

Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaukoma

sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu

cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).

-       Homatropine 2-5% (isopto) à menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan midriasis

setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk sikloplegia dan 6

jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of choice yang sering digunakan

pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.

Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaucoma sudut

tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd

(dewasa).

Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak responsif terhadap

steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan dengan terapi sebelumnya,

immunosupresan dapat digunakan. Immunosuppressif agen merupakan terapi pilihan awal pada

penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior), Wegener granulomatosis, dan skleritis

nekrotik. Penyakit-penyakit tersebut dihubungkan dengan vaskulitis sistemik yang mengancam

jiwa, dan terdapat bukti medis bahwa dengan pemberian imunosupresive dapat meningkalkan

kondisi pasien. Imunomodulatory terapi sering diperlukan dalam kondisi penanganan jangka

Page 30: BAHAN

panjang dengan kortikosteroid seperti pada serpiginous koroiditis, birdshot koroiditis, Vogt-

koyanagi-harada (VKH), sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik juvenile.

Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk target spesifik yaitu

mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi ini telah dipelajari dan diteliti pada

pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn disease, persamaan pada patogenesis penyakit ini

yang menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk penanganan peyakit inflamasi ocular

yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan sebagai pemblok mediator spesifik pada sistem

imunitas yang sering ditemukan pada penderita uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor

Necrosis Factor alpha) contoh adalimumab, dan infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2

contoh daclizumab.

Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi intraocular melalui injeksi

intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan kasus melaporkan adanya manfaat dalam

penggunaan triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk manajeman refraksi pada

edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral ini memiliki waktu paruh yang

pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali (multipel). Sehingga resiko terjadi

pembentukan katarak dan peningkatan tekanan intraokular, serta beresiko untuk terjadinya

endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar 0,1%.

Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang diindikasikan dalam

manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi penglihatan, biopsa untuk diagnosis ketika

menemukan perubahan dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami

opasitas untuk memonitor segmen posterior mata. Walaupun manfaat dalam terapi inflamasi dan

immunomodulatori, namun kadang didapatkan perubahan struktural yang dapat terjadi pada mata

misalnya pembentukan katarak, glaukoma sekunder, ablasio retina).

Dalam mempersiapkan preoperasi, penanganan medis harus diintensifkan untuk minimal

jangka waktu 3 bulan untuk mencapai proses inflamasi komplit (eradikasi komplit dari sel

kamera okuli anterior dan sel vitreus aktif). Secara umum, 24-48 jam preoperative, topical

prednisolone asetat 1% diberikan setiap 1-2 jam (saat pasien dalam kondisi sadar) dengan

prednisolon (1 mg/kg) tergantung dari proses inflamasi alami. Steroid intraokular dan periokular

dapat diberikan saat operatif sedang berlangsung. Medikasi sistemik dan topikal diberikan

dengan dosis diturunkan secara perlahan tergantung dari derajat inflamasi yang terjadi.

Page 31: BAHAN

Selain penanganan di atas, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai follow-up yaitu:

-          Follow up dengan oftalmologis dalam 24 jam sebaiknya dilakukan

-          Pada fase akut, kasus uveitis diikuti setiap 1-7 hari dengan pemeriksaan biomikroskopis/slit

lamp dan pemeriksaan tekanan intraocular.

-          Oftalmologis harus melakukan tapering off dosis untuk kortikosteroid dan sikloplegik yang

dipakai dalam terapi medikamentosa

-          Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap 1-6 bulan.

F.     KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis yaitu:

1.      Glaukoma sekunder

Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada peradangan uvea antara

lain:

a.       Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat peradangan iris pada

uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea menyempit dan mengganggu

drainase dari humor aqueous sehingga terjadi peningkatan volume pada kamera okuli anterior

dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular,

b.      Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di beberapa

tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi tidak teratur dan terlihat

pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat menimbulkan glaukoma dengan

memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke

depan dan menutup sudut iridokornea.

c.       Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel radang (fler)

pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior meningkat dan terjadi

glaukoma.

Pada uveitis intermediate, glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.

2.      Atrofi nervus optikus

Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus optikus

sehingga terjadi kebutaan permanen.

Page 32: BAHAN

3.      Katarak komplikata

Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung pada fisiologis

lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan akhirnya mengenai

seluruh struktur lensa. Katarak yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis visualnya tidak sebaik

katarak senilis biasanya.

4.      Ablasio retina

5.      Edema kistoid macular

6.      Efek penggunanan steroid jangka panjang.

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:

-          Menurunkan daya reaksi jaringan

-          Mengaktifkan proliferasi bakteri

-          Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain

-          Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak

-          Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama

-          Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata

-          Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus

-          Menambah kemungkinan infeksi jamur

-          Menambah berat radang akibat infeksi bakteri

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid sistemik:

Tempat Macam efek samping

1.      Saluran cerna

2.      Otot3.      Susunan saraf pusat

4.      Tulang

5.      Kulit

6.      Mata

-      Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.

-      Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.-      Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,

mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

-      Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.

-      Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura, telangiektasis.

-      Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

Page 33: BAHAN

7.      Darah8.      Pembuluh darah9.      Kelenjar adrenal bagian

kortek10.  Metabolisme protein, KH

dan lemak

11.  Elektrolit

12.  Sistem immunitas

-      Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit-      Kenaikan tekanan darah-      Atrofi, tidak bisa melawan stres

-      Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.

-      Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)

-      Menurun, rentan  terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan penanganan

yang tepat.

BAB III

KESIMPULAN

Uveitis adalah proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea (iris, badan

siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas

banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada

area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa

elemen mata penting lainnya.

Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui sehingga patofisiologi yang pasti dari uveitis

juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis

sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun, postulate

reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat melukai sel dan

pembuluh darah uvea.

Uveitis diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun parameter yang digunakan

antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit;

karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi. Klasifikasi dan standarisasi

Page 34: BAHAN

dari uveitis sangat penting dalam diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga penanganan

yang cost-efective dapat terlaksana.

Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting

penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis

mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah

pada kamera okuli anterior, antibiotic tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien.

Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan peradangan.

terapi pembedahan yang diindikasikan dalam manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi

penglihatan, biopsy untuk diagnosis ketika menemukan perubahan dalam rencana pengobatan,

dan mengambil media yang menagalami opasitas untuk memonitor segmen posterior mata.

Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan penanganan

yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fawaz, Abdullah.. Levinson. Ralph. D.. (2010). Uveitis, Anterior, Granulomatose. Diakses

tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com

Al-Fawaz, Abdullah.. Levinson. Ralph. D.. (2010). Uveitis, Anterior, Non-Granulomatose.

Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com

Farooqui, Saadia. Zohra.. Foster, C. Stephen.. Sheppard.. (2008). Uveitis, Classification. Diakses

tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com

Gordon, Kilbourn. (2009). Iritis and Uveitis. Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari

www.emedicine.medscape.com

Guyton, Arthur. C., Hall, John. E.. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC:

Jakarta.

Ilyas, Sidarta, dkk. (2002). Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa

Kedokteran. Edisi ke-2. Sagung Seto: Jakarta.

Ilyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:

Jakarta.

Page 35: BAHAN

Janigian, Robert. H. (2010). Uveitis, Evaluation and Treatment. Diakses tanggal 3 Maret 2010,

dari www.emedicine.medscape.com

Janigian, Robert. H.. Filippopoulos, Theodoros.. Welcome, Brian. A.. (2008). Uveitis,

Intermediate. Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com

3. Uveitis Posterior

a. Gejala subjektif

Dua keluhan utama uveitis posterior yaitu penglihatan kabur dan melihat “lalat berterbangan”

atau floaters. Penurunan visus dapat mulai dari ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis

mengenai daerah macula. Pada umumnya segmen anterior bola mata tidak menunjukkan tanda-

tanda peradangan sehingga sering kali proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita.

b. Gejala obyektif

Lesi pada fundus biasanya dimuai dari retinitis atau koroiditis tanpa kompikasi. Apabila proses

peradangan berlanjut akan didapatkan retinokoroiditis, hal yang sama terjadi pada koroiditis

yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang baru didapatkan tepi lesi yang

kabur, terlihat tiga dimensional dan dapat disertai perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau

sheathing pembuluh darah.

Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan disertai

hilang atau mengkerutnya jaringan retina dan atau koroid. Pada lesi yang lebih lama didapatkan

parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih dahulu terkena.