Upload
anatrialarissa
View
31
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jffdifdjfoidfpodieopskodfodfod
Citation preview
STADIUM ANESTESI
Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal
dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat,
walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi modern cenderung
memperlihatkan masa induksi yang singkat.
Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula
dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah
medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Guedel (1920)
membagi anestesia umum dalam 4 stadium, yaitu (Farmakologi UI) :
2.2.1. Stadium I
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada
stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu
mata.
2.2.2. Stadium II
Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak
mata.
2.2.3. Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini
dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus
otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi
napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis
seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih
dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan refleks cahaya
menghilang, lakrimasi negafif, refleks laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis
diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.
2.2.4. Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.
2.3. INDIKASI, KONTRAINDIKASI DAN TUJUAN ANESTESI UMUM
Indikasi anestesi umum diantaranya:
a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum (ASA, 2009)
Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum
yaitu gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol
(diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis (Latief
et al., 2010).
Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum
memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
a) Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
b) Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
c) Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
d) Kehilangan kesadaran
e) Relaksasi otot skeletal
2.1. Langkah-langkah Anestesi Umum
a. Evaluasi Pra Anestesia
Evaluasi praanestesia adalah langkah awal dari tindakan anestesia yang
dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau
pasca bedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan beberapa hari
sebelum operasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi,
selanjutnya evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi hari menjelang pasien dikirim
ke kamar operasi dan evaluasi terakhir dilakukan di kamar persiapan Instalasi
Bedah Sentral (IBS) untuk menentukan status fisik ASA.
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di ruang
persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang tersedia
untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi tentang penyakit
yang diderita kurang akurat.
Tatalaksan Evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan orang lain
(keluarganya/pengantarnya), meliputi:
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin
menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
c. Anamnesis umum, meliputi:
1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang
menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang diderita,
yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi anestesia
2) Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang mungkin
berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya kortikosteroid, obat
antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotik golongan aminoglikosid,
digitalis, diuretika, transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin
oksidase dan bronkodilator
3) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien
mengalami komplikasi anestesia
4) Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman keras
(alkohol), pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan narkotik)
5) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain
2. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, frekuensi napas,
tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai
status gizi/BMI
b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
3) Respirasi
4) Hemodinamik
5) Penyakit darah
6) Gastrointestinal
7) Hepatobilier
8) Urogenital dan saluran kencing
9) Metabolik dan endokrin
10) Otot rangka
11) Integumen
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
a. Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil dan
sedang. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan
2) Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin
b. Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi besar dan
pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu dengan indikasi tegas.
Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati, fungsi
ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan faal hemostasis
lengkap, sesuai dengan indikasi.
2) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya sesuai
indikasi
3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur di atas usia
35 tahun
4) Pemeriksaan spirometri pada penderita PPOM
Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam misalnya
ekhokardiografi atau kateterisasi jantung diperlukan konsultasi dengan
dokter spesialisnya.
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
a. Konsultasi
1) Konsultasi dilakukan dengan Lab/staf medik fungsional yang terkait,
apabila dijumpai gangguan fungsi organ, baik yang bersifat kronis
maupun yang akut yang dapat mengganggu kelancaran anestesia dan
pembedahan atau kemungkinan gangguan fungsi tersebut dapat
diperberat oleh anestesia dan pembedahan. Dalam keadaan
demikian, tanggapan dan saran terapi dari konsulen terkait sangat
diperlukan
2) Konsultasi dapat dilakukan berencana atau darurat
b. Koreksi terhadap gangguan fungsi sistem organ prabedah. Apabila
dianggap perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan fungsi organ
yang dijumpai dan rencana operasi dapat ditunda menunggu perbaikan
atau pemulihan fungsi organ yang bermasalah
5. Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut di atas maka dapat
disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American Society of
Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5
kelas:
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan
sampai sedang
ASA 3 : pasien panyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang secara langsung mengancam kehidupannya
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik
berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun
tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal
ASA 6 : pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati otaknya yang
mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai
organ donor bagi yang membutuhkan
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan
tanda E (emergency) di belakang angka, misalnya ASA 1 E.
b. Persiapan Praanestesia
Adalah langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif khususnya anestesia
untuk mempersiapkan pasien, baik psikis maupun fisik pasien agar pasien siap
dan optimal untuk menjalani prosedur anestesia dan diagnostik atau pembedahan
yang akan direncanakan.
1. Persiapan di poliklinik dan di rumah untuk pasien rawat jalan
a. Persiapan psikis
Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar mengerti
perihal rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan sehingga
dengan demikian diharapkan pasien dan keluarganya bisa tenang.
b. Persiapan fisik
Diinformasikan agar pasien melakukan:
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok, minuman
keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum
anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di
poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir
4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:
UsiaMakanan padat
susu formula /ASI
Cairan jernih tanpa
partikel
< 6 bulan 4 jam 2 jam
6 – 36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam
c. Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau orang tua
atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan penyulit yang tidak
diinginkannya
d. Membuat surat persetujuan tindakan medik
e. Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian khusus
kamar operasi
2. Persiapan di ruang perawatan
a. Persiapan psikis
1) Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar
mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien dan
keluarganya bisa tenang
2) Berikan obat sedatif pada pasien yang menderita stres yang
berlebihan atau pada pasien tidak kooperatif, misalnya pada pasien
pediatrik
3) Pemberian obat sedatif dapat dilakukan secara:
a) Oral, pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi hari, 60-90
menit sebelum ke IBS
b) Rektal, (khusus untuk pasien pediatrik) pada pagi hari sebelum
ke IBS.
b. Persiapan fisik
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok, minuman
keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum
anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di
poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir
4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:
UsiaMakanan padat susu
formula /ASI
Cairan jernih tanpa
partikel
< 6 bulan 4jam 2 jam
6– 36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam
5) Pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar bedah, pakaian
diganti dengan pakaian khusus kamar bedah dan kalau perlu pasien
diisi label
c. Membuat surat persetujuan tindakan medik
d. Persiapan lain yang bersifat khusus praanestesia
Misalnya tranfusi, dialisis, fisioterapi dan lain-lainnya sesuai dengan
prosedur tetap tatalaksana masing-masing penyakit yang diderita pasien
3. Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral
a. Di kamar persiapan dilakukan:
1) Evaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien serta
perlengkapan lainnya
2) Konsultasi ditempat apabila diperlukan
3) Ganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi
4) Memberikan premedikasi
5) Memasang infus
b. Premedikasi
Adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka
pelaksanaan anestesia, dengan tujuan:
1) Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan
rasa cemas, memberi ketenangan, membuat amnesia, bebas nyeri dan
mencegah mual/muntah
2) Memudahkan dan memperlancar induksi
3) Mengurangi dosis anestesia
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
5) Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk premedikasi adalah
Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1. Sedatif
Diazepam 5 – 10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgbb
Promethazin 1 mg/kgbb
Midazolam 0,1 – 0,2 mg/kgbb
2. Analgetik opiat
Petidin 1 – 2 mg/kgbb
Morfin 0,1 – 0,2 mg/kgbb
Fentanil 1 – 2 mikrogram/kgbb
Analgetik non opiat Disesuaikan
3. Antikholinergik
Sulfas atropin 0,1 mg/kgbb
4. Antiemetik
Ondansetron 4 – 8 mg (IV)
Metoklopramid 10 mg (IV)
5. Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidin
Antasid
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara:
1) Suntikan intramuskuler, diberikan 30 – 45 menit sebelum induksi
anestesia
2) Suntikan intravena, diberikan 5 – 10 menit sebelum induksi anestesia
c. Pemasangan infus
1) Tujuan:
a) Mengganti defisit cairan selama puasa
b) Koreksi defisit cairan prabedah
c) Fasilitasi vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan selama
operasi
d) Memberikan cairan pemeliharaan
e) Koreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi
f) Koreksi cairan akibat terapi lain
g) Fasilitas transfusi darah
2) Jenis-jenis cairan infus untuk pemeliharaan atau pengganti puasa pra
anestesi, sesuai dengan indikasi dan usia pasien, adalah sebagai
berikut:
a) Neonatus, diberikan cairan dekstrosa 5% dalam NaCl 0,225
b) Anak-anak (<12 tahun) diberikan dekstrosa 5% dalam NaCl
0,45%
c) Umur > 12 tahu, tidak ada indikasi yang pasti, dapat diberikan
cairan: kristaloid atau campuran dekstrosa 5% dalam larutan
kristaloid, misalnya dekstrose 5% dalam NaCl 0,9%, dalam
ringer dan ringer laktat
d) Penderita diabetes melitus diberikan cairan Maltose 5% dalam
ringer
4. Persiapan di kamar operasi :
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi: alat bantu napas, laringoskop, pipa jalan napas, alat
isap, defibrilator dan lain-lain
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi: adrenalin, atropin, aminofilin, natrium bikarbonat
f. Tiang infus, plester dan lain-lain
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”
i. Kartu catatan medik anestesia
(Mangku dan Tjokorda, 2010)
2.2. Pemberian Anestesi
a. Induksi Anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien
tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia
sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S : ScopeStetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-
Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
T : TubePipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >
5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan napas.
T : TapePlester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
Jenis-jenis induksi:
1. Induksi intravena
a) Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
b) Obat-obat induksi intravena:
1) Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-
analgesi.
2) Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anesthesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
3) Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum
pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1
ml = 50 mg), 10% ( 1 ml = 100 mg).
4) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.
Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3. Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan
salah satu cairanan astetik lain seperti halotan.
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
meninggikan kadar gula darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih
iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan
teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.
4. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
5. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita
berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup
muka kita tempelkan.
6. Pelumpuh otot nondepolarisasiTracurium 20 mg (Antracurium)
a) Berikatan dengan reseptor nikotinik - kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
b) Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi
selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
c) Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
1) Cegukan (hiccup)
2) Dinding perut kaku
3) Ada tahanan pada inflasi paru
b. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena
inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur
ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan
anestesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2 (Latief dkk, 2007).
2.7. Teknik Anestesi
a. Teknik anestesi spontan dengan sungkup muka
Indikasi:
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.
Urutan tindakan:
1. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa pra-induksi).
2. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu
3. Persiapan obat
4. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup
muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik ke
belakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernapasan
lancar. Pengikat sungkup muka ditempatkan di bawah kepala.
6. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong kedua pangkal
rahang ke depan dengan jari manis dan tengah tangan kiri kita. Kalau perlu
dengan kedua tangan kita yaitu kedua ibu jari dan telunjuk yang memegang
sungkup muka dan dengan jari-jari yang lain menarik rahang ke atas. Tangan
kanan kita bila bebas dapat memegang balon pernapasan dari alat anestesi
untuk membantu pernapasan pasien (menekan balon sedikit bila pasien
melakukan inspirasi).
7. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan halotan dibuka sampai 1 % dan sedikit demi sedikit
dinaikkan sampai 3-4 % tergantung reaksi tubuh penderita.
8. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola mata menetap), nadi
tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah.
9. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa orofaring
10. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan beberapa menit
sebelum operasi selesai
11. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit
untuk mencegah hipoksi difusi.
b. Teknik anestesi spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi :
1. Operasi lama
2. Kesulitan mempertahankan jalan napas bebas pada anestesi dengan sungkuo
muka.
Urutan tindakan :
1. Induksi dengan propofol
Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6 L/menit, kalau perlu
napas dibantu dengan menekan balon napas secara periodik. Sesudah refleks
mata menghilang diberikan suksinil kolin intravena 1-1.5 mg/kgBB.
2. Pemberian suksinil-kolin mengakibatkan fasikulasi (getaran otot) dan apnue.
Napas dikendalikan dengan menekan balon napas yang diisi dengan aliran O2
2 L.
3. Sesudah fasikulasi menghilang pasien diintubasi.
4. Pipa guedel dimasukan di mulut agar pipa endotrakeal tidak tergigit.
Kemudian difiksasi dengan plester.
5. Mata diplester agar tidak terbuka dan kornea tidak kering.
6. Pipa endotrakeal dihubungkan dengan konektor pada sirkuit napas alat
anestesi. N2O dibuka 3-4 L/menit dan O2 2 L/menit kemudian halotan dibuka
1 vol % dan cepat dinaikkan sampai 2 vol %. Napas pasien dikendalikan
dengan menekan balon napas (12-15 kali per menit). Setelah ada tanda –
tanda napas spontan menjadi spontan kembali dicoba untuk membantu napas
saja sampai pernapasan normal kuat kembali.
7. Halotan dikurangi sampai 0,5-1.5 % untuk pemeliharaan anestesi
8. Napas dapat dibiarkan spontan kalau usaha napas cukup kuat.
9. Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi N2O dan O2 masing-
masing 2 l/menit, serta halotan 1.5-2 vol %
10. Anestesia yang ringan dapat diperdalam dengan menaikkan halotan sampai 2-
3%. Halotan harus dikurangi lagi jika anestesia sudah cukup dalam.
11. Untuk operasi yang memerlukan relaksasi otot seperti operasi perut dan
ortopedi, teknik anestesi dengan napas spontan tidak mencukupi karena otot
pasien harus lemah selama pembedahan.
12. Bila memakai teknik napas spontan diperlukan obat anestesi banyak yang
dapat mendepresi pernapasan dan jantung. Untuk mencegah pemakaian obat
yang banyak pada operasi yang memerlukan otot lemas atau relaksasi
sebaiknya digunakan teknik napas kendali dengan memberikan obat pelemas
otot jangka panjang. Dengan demikian, dapat dicapai relaksasi otot yang baik
tanpa menggunakan obat anestesi banyak dan menghindarkan anestesi yang
terlalu dalam.
c. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan napas kendali
1. Teknik anestesi dan intubasi sama seperti di atas.
2. Setelah pengaruh suksinil kolin mulai habis, diberi obat pelumpuh otot
jangka panjang misalnya alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB.
3. Napas dikendalikan dengan respirator atau secara manual. Bila
menggunakan respirator, setiap inspirasi diusahakan ± 10 ml/kgBB
dengan frekuensi 10 – 14 kali per menit. Apabila nafas dikendalikan
secara manual harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang
simetris. Konsentrasi halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan
dipertahankan dengan 0.5-1 %.
4. Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis apabila pasien
tampak ada usaha mulai bernafas sendiri.
5. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O
dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
6. Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali. O2
diberi terus selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
7. Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah, dapat
diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum di ekstubasi
yang terdiri dari kombinasi obat atropine 2 ampul (2 x 0,25 mg) dengan
prostigmin 2 ampul (2 x 0,5 mg). Kombinasi obat ini akan
menghilangkan sisa efek obat pelumpuh otot.
d. Ekstubasi
1. Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak
disetai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas,
hipoksia sianosis.
2. Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar betul
atau menunggu sewaktu pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak
dalam. Dengan cara terakhir dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut,
dada dan jalan nafas.
e. Pasca bedah
1. Pasien harus di observasi terus (pernapasan, tekanan darah dan nadi)
sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu di kamar bedah dan kamar
pulih.
2. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena
hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena
hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).
3. Bila kesakitan harus diberi analgetik seperti petidin 15-25 mg intravena,
tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya
dengan menambah cairan elektrolit (ringer laktat), koloid (dextran) atau
darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar betul.
4. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang,
reflek jalan nafas sudah aktif tekanan darah dan nadi dalam batas-batas
normal.
f. Monitoring Perianestesi
1. Monitoring Standar
Rekam medis sebelum anestesia sangat penting diketahui, apakah
pasien berada dalam keadaan segar bugar atau sedang menderita suatu
penyakit sistemik. Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anestesia
adalah monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana seperti stetoskop
dan tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi.
a. Monitoring Kardiovaskular
1) Non-invasif (tak langsung)
a) Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan
sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin bradikardi makin
menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dapat
dilakukan dengan cara palpasi arteria radialis, brakialis, femoralis
atau karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama dan
kekuatan nadi. Selain palpasi dapat dilakukan auskultasi dengan
menempelkan stetoskop di dada atau dengan kateter khusus
melalui sofagus. Cara palpasi dan cara auskultasi ini terbatas,
karena kita tidak dapat melakukannya secara terus menerus.
Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan
elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai dengan alarm.
Pemasangan EKG untuk mengeetahui secara kontinyu frekuensi
nadi, distrimia, iskemia jantung, gangguan konduksi, abnormalitas
elektrolit dan fungsi ‘pacemaker’.
b) Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan
manse tang harus tepat ukurannya (lebarnya kira-kira 2/3 lebar
jarak olekranon-akromion, atau 40% dari keliling besarnya
lengan), karena terlalu lebar menghasilkan nilai lebih rendah dan
terlalu sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan sistolik-
diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan
tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) diketahui secara
langsung dengan monitor tekanan darah elektronik atau dengan
menghitung yaitu 1/3 (tekanan sistolik + 2 x tekanan diastolik) atau
tekanan diastolik + 1/3 (tekanan sistolik – tekanan diastolik). Pada
tabel 14 tertera harga normal nadi dan tekanan darah.
Tabel Nilai Normal Frekuensi Nadi dan Tekanan Darah
Usia FrekuensiNadi
(per menit)
TekananSistolik
(mmHg)
TekananDiastolik
(mmHg)
Prematur 150 ± 20 50 ± 3 30 ± 2
Cukupbulan 133 ± 18 67 ± 3 42 ± 4
6 bulan 120 ± 20 89 ± 29 60 ± 10
12 bulan 120 ± 20 96 ±30 66 ± 25
2 tahun 105 ± 25 99 ± 25 64 ± 25
5 tahun 90 ± 10 94 ± 14 55 ± 9
12 tahun 70 ± 17 109 ± 16 58 ± 9
Dewasa 65 ± 8 120 ± 10 80 ± 10
c) Banyaknya perdarahan
Monitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang
kain kasa ketika sebelum kena darah dan sesudahnya, mengukur
jumlah darah di botol pengukur darah ditambah 10-20% untuk
yang tidak dapat diukur.
2) Invasif (langsung)
Biasanya dikerjakan untuk bedah khusus atau pasien keadaan umum
kurang baik.
a) Dengan kanulasi arteri melalui a. radialis, a. dorsalis pedis, a.
karotis, a. femoralis, dapat diketahui secara kontinyu tekanan darah
pasien.
b) Dengan kanulasi vena sentral, v. jugularis interna-eksterna, v.
subklavia, v. basilica, v. femoralis dapat diketahui tekanan vena
sentral secara kontinyu.
c) Dengan kanulasi a. pulmonalis (Swan-Ganz) dapat dianalisa curah
jantung.
d) Pada bayi baru lahir dapat digunakan arteria dan atau vena
umbilikalis. Selain itu kanulasi arteri ini dapat digunakan untuk
memonitor ventilasi dengan mengukur kadar pH, PO2, PCO2
bikarbonat dengan lebih sering sesuai kebutuhan. Pada bedah
jantung yang kompleks digunakan ekokardiografi transesofageal.
b. Monitoring Respirasi
1) Tanpa alat
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung
gerakan dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan
napas kendali dan gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk
oksigenasi warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah
pada luka bedah apakah pucat, kebiruan atau merah muda.
2) Stetoskop
Dengan stetoskop prekordial atau esofageal dapat didengar suara
pernapasan.
3) Oksimeter denyut (pulse oximetry)
Untuk mengetahui saturasi oksigen (SaO2). Selain itu dapat
diketahui frekuensi darah dan adanya distrimia.
4) Kapnometri
Untuk mengetahui secara kontinyu kadar CO2 dalam udara
inspirasi atau ekspirasi. Kapnometer dipengaruhi oleh system
anestesia yang digunakan. Monitoring khusus biasanya bersifat
invasif karena kita ingin secara kontinyu mengukur tekanan darah
arteri dan tekanan darah vena, produksi urin, analisa gas darah dan
sebagainya.
c. Monitoring Suhu Badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil.
Pengukuran suhu sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi
mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi dan
konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis,
pulih anastesia lambat dan pada neonatus dapat terjadi sirkulasi
persistent fetal.
Tempat yang lazim digunakan ialah:
1) Aksila (ketiak)
Untuk membacanya perlu waktu 15 menit. Dipengaruhi oleh
banyaknya rambut ketiak, gerakan pasien, manset tensimeter dan
suhu cairan infus.
2) Oral-sublingual
Pada pasien sadar sebelum anaetesia.
3) Rektal
Seperti termometer aksila tetapi lebih panjang.
4) Nasofaring, esofageal
Berbentuk kateter.
5) Lain-lain
Jarang digunakan, misalnya kulit, buli-buli, liang telinga.
d. Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih
normal minimal 0,5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan
sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti buli-
buli. Monitoring produksi air kemih harus dilakukan dengan hait-hati,
karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai ke
pielonefritis, secara rutin digunakan kateter Foley karet lunak ukuran 5-
8F. kalau >1 ml/kgBB/jam dan reduksi urin positif 2, dicurigai adanya
hiperglikemia.
e. Monitoring Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah
cukup baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot
sudah kembali normal.
f. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau
orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien
dalam keadaan tidak sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan
memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respons terhadap trauma
pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
2. Monitoring Khusus
Monitoring tambahan biasanya digunakan pada bedah mayor atau bedah
khusus seperti bedah jantung, bedah otak posisi telungkup atau posisi duduk,
bedah dengan teknik hipotensi atau hipotermi dan bedah pada pasien keadaan
umum kurang baik yang disertai oleh kelainan sistemis. Oksimeter denyut,
infrared CO2 dan analisa zat anestetik dapat memberitahukan kita adanya
gangguan dini, tetapi alat ini ada yang menggolongkan monitoring tambahan ada
yang memasukkan dalam monitoring standar. Ketiga alat ini walaupun sangat
bermanfaat, tetapi sering diganggu oleh kauter listrik, intervensi cahaya dan sering
alarm walaupun pasien dalam keadaan klinis baik.
Alat monitor elektronik dapat saja memberikan informasi salah, sehingga
yang terbaik ialah kombinasi manual-elektronik. Hipoksia menyeluruh dapat
menyebabkan bradikardi-hipotensi dan kalau tidak segera ditanggulangi dapat
menjurus ke henti jantung. Bradikardia akibat hipoksia tidak bereaksi terhadap
pemberian vagolitik seperti atropine, sehingga terapi utama ialah ventilasi dengan
O2.
g. Tatalaksana Pasca Bedah
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)
atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi
terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang
pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi,
pernapasan suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-lain.
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan
dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah
itu dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama
4 jam berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali.
Pemeriksaan suhu juga dilakukan.
Seluruh pasien yang sedang dalam masa pemulihan dari anestesi umum
harus mendapat oksigen 30 – 40 % untuk mencegah hipoksemia yang mungkin
terjadi. Pasien yang memiliki resiko hipoksia adalah pasien yang mempunyai
kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi didaerah
abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan
untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-
benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis
atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca operasi.
1. Gangguan Pernapasan
Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi (tidak
ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering
mengalami: lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat
terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah
sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.
Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah
menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel dengan cara pasang jalan
napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak
berhasil menolong pasang sungkup laring.
Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu O2
100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat kortokosteroid (oradekson)
dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot.
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbi,
hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi, SaO2<90).
Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal (hipoventilasi).
Pernapasan lambat sering akibat opioid terlalu banyak dan dangkal sering akibat
pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas karena opioid, dapat diberikan
nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostikmin-atropin.
Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi
yang dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
2. Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa
trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena
hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema
paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan
kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 – 1,0
µg/kg/ menit.
Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun disebabkan
pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang
kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk
mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia
dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya.
Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-
alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.
3. Gelisah
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis, hipotensi,
kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah
disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang
midazolam (dormikum) 0.05 – 0.1 mg/kgBB.
4. Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia ialah :
a. Dehydrobenzoperidol 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
b. Metoklopramid 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
c. Ondansetron 0,05-0,1 mg/kgBB i.v
d. Cyclizine 25-50 mg.
5. Menggigil
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.
Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin
10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion
warmer, lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.
6. Nilai Pulih dari Anestesi
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-
10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5
pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:
Tabel Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Penilaian Nilai
Warna Merah muda
Pucat
Sianosis
2
1
0
Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk
Dangkal namun pertukaran udara adekuat
Apnoea atau obstruksi
2
1
0
Sirkulasi Tekanan darah menyimpang <20%>
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari
normal
Tekanan darah menyimpang >50% dari
normal
2
1
0
Kesadaran Sadar, siaga dan orientasi
Bangun namun cepat kembali tertidur
Tidak berespons
2
1
0
Aktivitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan
Dua ekstremitas dapat digerakkan
Tidak bergerak
2
1
0