45
STADIUM ANESTESI Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat, walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi modern cenderung memperlihatkan masa induksi yang singkat. Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Guedel (1920) membagi anestesia umum dalam 4 stadium, yaitu (Farmakologi UI) : 2.2.1. Stadium I Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata. 2.2.2. Stadium II Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur,

Bahan Anet

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jffdifdjfoidfpodieopskodfodfod

Citation preview

Page 1: Bahan Anet

STADIUM ANESTESI

Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal

dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat,

walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi modern cenderung

memperlihatkan masa induksi yang singkat.

Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula

dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah

medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Guedel (1920)

membagi anestesia umum dalam 4 stadium, yaitu (Farmakologi UI) :

2.2.1. Stadium I

Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat

anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih

dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan

ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada

stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu

mata.

2.2.2. Stadium II

Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan

ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss

cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot

meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak

mata.

2.2.3. Stadium III

Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan

hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya

pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat

digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini

dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :

a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.

Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.

Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),

Page 2: Bahan Anet

lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus

otot menurun.

b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan

paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume

tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi

napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks

cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin

menurun.

c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis

seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih

dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan refleks cahaya

menghilang, lakrimasi negafif, refleks laring dan peritoneal

menghilang, tonus otot makin menurun.

d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis

diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan

lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis

diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil

melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.

2.2.4. Stadium IV

Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan

segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien

meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti

terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

2.3. INDIKASI, KONTRAINDIKASI DAN TUJUAN ANESTESI UMUM

Indikasi anestesi umum diantaranya:

a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen

b) Pada bayi atau anak-anak

c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa

d) Pembedahan lama

Page 3: Bahan Anet

e) Pembedahannya luas atau ekstensif

f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal

g) Pasien yang memilih anestesi umum (ASA, 2009)

Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum

yaitu gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol

(diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis (Latief

et al., 2010).

Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum

memiliki beberapa tujuan, diantaranya:

a) Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)

b) Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)

c) Immobilitas (hilangnya refleks motorik)

d) Kehilangan kesadaran

e) Relaksasi otot skeletal

2.1. Langkah-langkah Anestesi Umum

a. Evaluasi Pra Anestesia

Evaluasi praanestesia adalah langkah awal dari tindakan anestesia yang

dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif

Tujuan:

1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif

2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi

3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai

4. Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau

pasca bedah

5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan

Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan beberapa hari

sebelum operasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi,

selanjutnya evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi hari menjelang pasien dikirim

ke kamar operasi dan evaluasi terakhir dilakukan di kamar persiapan Instalasi

Bedah Sentral (IBS) untuk menentukan status fisik ASA.

Page 4: Bahan Anet

Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di ruang

persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang tersedia

untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi tentang penyakit

yang diderita kurang akurat.

Tatalaksan Evaluasi

1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan orang lain

(keluarganya/pengantarnya), meliputi:

a. Identitas pasien atau biodata

b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin

menimbulkan gangguan fungsi sistem organ

c. Anamnesis umum, meliputi:

1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang

menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang diderita,

yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi anestesia

2) Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang mungkin

berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya kortikosteroid, obat

antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotik golongan aminoglikosid,

digitalis, diuretika, transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin

oksidase dan bronkodilator

3) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien

mengalami komplikasi anestesia

4) Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman keras

(alkohol), pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan narkotik)

5) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain

2. Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dilakukan adalah:

a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, frekuensi napas,

tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai

status gizi/BMI

b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:

Page 5: Bahan Anet

1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan

2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)

3) Respirasi

4) Hemodinamik

5) Penyakit darah

6) Gastrointestinal

7) Hepatobilier

8) Urogenital dan saluran kencing

9) Metabolik dan endokrin

10) Otot rangka

11) Integumen

3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya

a. Pemeriksaan rutin

Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil dan

sedang. Hal-hal yang diperiksa adalah:

1) Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa

perdarahan dan masa pembekuan

2) Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin

b. Pemeriksaan khusus

Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi besar dan

pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu dengan indikasi tegas.

Hal-hal yang diperiksa adalah:

1) Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati, fungsi

ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan faal hemostasis

lengkap, sesuai dengan indikasi.

2) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya sesuai

indikasi

3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur di atas usia

35 tahun

4) Pemeriksaan spirometri pada penderita PPOM

Page 6: Bahan Anet

Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam misalnya

ekhokardiografi atau kateterisasi jantung diperlukan konsultasi dengan

dokter spesialisnya.

4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital

a. Konsultasi

1) Konsultasi dilakukan dengan Lab/staf medik fungsional yang terkait,

apabila dijumpai gangguan fungsi organ, baik yang bersifat kronis

maupun yang akut yang dapat mengganggu kelancaran anestesia dan

pembedahan atau kemungkinan gangguan fungsi tersebut dapat

diperberat oleh anestesia dan pembedahan. Dalam keadaan

demikian, tanggapan dan saran terapi dari konsulen terkait sangat

diperlukan

2) Konsultasi dapat dilakukan berencana atau darurat

b. Koreksi terhadap gangguan fungsi sistem organ prabedah. Apabila

dianggap perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan fungsi organ

yang dijumpai dan rencana operasi dapat ditunda menunggu perbaikan

atau pemulihan fungsi organ yang bermasalah

5. Menentukan prognosis pasien perioperatif

Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut di atas maka dapat

disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American Society of

Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5

kelas:

ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik

ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan

sampai sedang

ASA 3 : pasien panyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat

yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak

mengancam nyawa

ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat

yang secara langsung mengancam kehidupannya

Page 7: Bahan Anet

ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik

berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun

tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal

ASA 6 : pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati otaknya yang

mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai

organ donor bagi yang membutuhkan

Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan

tanda E (emergency) di belakang angka, misalnya ASA 1 E.

b. Persiapan Praanestesia

Adalah langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif khususnya anestesia

untuk mempersiapkan pasien, baik psikis maupun fisik pasien agar pasien siap

dan optimal untuk menjalani prosedur anestesia dan diagnostik atau pembedahan

yang akan direncanakan.

1. Persiapan di poliklinik dan di rumah untuk pasien rawat jalan

a. Persiapan psikis

Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar mengerti

perihal rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan sehingga

dengan demikian diharapkan pasien dan keluarganya bisa tenang.

b. Persiapan fisik

Diinformasikan agar pasien melakukan:

1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok, minuman

keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum

anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di

poliklinik

2) Melepas segala macam protesis dan asesoris

3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir

4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:

UsiaMakanan padat

susu formula /ASI

Cairan jernih tanpa

partikel

Page 8: Bahan Anet

< 6 bulan 4 jam 2 jam

6 – 36 bulan 6 jam 3 jam

>36 bulan 8 jam 3 jam

c. Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau orang tua

atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan penyulit yang tidak

diinginkannya

d. Membuat surat persetujuan tindakan medik

e. Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian khusus

kamar operasi

2. Persiapan di ruang perawatan

a. Persiapan psikis

1) Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar

mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang

direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien dan

keluarganya bisa tenang

2) Berikan obat sedatif pada pasien yang menderita stres yang

berlebihan atau pada pasien tidak kooperatif, misalnya pada pasien

pediatrik

3) Pemberian obat sedatif dapat dilakukan secara:

a) Oral, pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi hari, 60-90

menit sebelum ke IBS

b) Rektal, (khusus untuk pasien pediatrik) pada pagi hari sebelum

ke IBS.

b. Persiapan fisik

1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok, minuman

keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum

anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di

poliklinik

Page 9: Bahan Anet

2) Melepas segala macam protesis dan asesoris

3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir

4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:

UsiaMakanan padat susu

formula /ASI

Cairan jernih tanpa

partikel

< 6 bulan 4jam 2 jam

6– 36 bulan 6 jam 3 jam

>36 bulan 8 jam 3 jam

5) Pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar bedah, pakaian

diganti dengan pakaian khusus kamar bedah dan kalau perlu pasien

diisi label

c. Membuat surat persetujuan tindakan medik

d. Persiapan lain yang bersifat khusus praanestesia

Misalnya tranfusi, dialisis, fisioterapi dan lain-lainnya sesuai dengan

prosedur tetap tatalaksana masing-masing penyakit yang diderita pasien

3. Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral

a. Di kamar persiapan dilakukan:

1) Evaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien serta

perlengkapan lainnya

2) Konsultasi ditempat apabila diperlukan

3) Ganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi

4) Memberikan premedikasi

5) Memasang infus

b. Premedikasi

Adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka

pelaksanaan anestesia, dengan tujuan:

Page 10: Bahan Anet

1) Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan

rasa cemas, memberi ketenangan, membuat amnesia, bebas nyeri dan

mencegah mual/muntah

2) Memudahkan dan memperlancar induksi

3) Mengurangi dosis anestesia

4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan

5) Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar

Obat-obatan yang dapat digunakan untuk premedikasi adalah

Jenis Obat Dosis (Dewasa)

1. Sedatif

Diazepam 5 – 10 mg

Difenhidramin 1 mg/kgbb

Promethazin 1 mg/kgbb

Midazolam 0,1 – 0,2 mg/kgbb

2. Analgetik opiat

Petidin 1 – 2 mg/kgbb

Morfin 0,1 – 0,2 mg/kgbb

Fentanil 1 – 2 mikrogram/kgbb

Analgetik non opiat Disesuaikan

3. Antikholinergik

Sulfas atropin 0,1 mg/kgbb

4. Antiemetik

Ondansetron 4 – 8 mg (IV)

Metoklopramid 10 mg (IV)

Page 11: Bahan Anet

5. Profilaksis aspirasi

Cimetidin Dosis disesuaikan

Ranitidin

Antasid

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara:

1) Suntikan intramuskuler, diberikan 30 – 45 menit sebelum induksi

anestesia

2) Suntikan intravena, diberikan 5 – 10 menit sebelum induksi anestesia

c. Pemasangan infus

1) Tujuan:

a) Mengganti defisit cairan selama puasa

b) Koreksi defisit cairan prabedah

c) Fasilitasi vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan selama

operasi

d) Memberikan cairan pemeliharaan

e) Koreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi

f) Koreksi cairan akibat terapi lain

g) Fasilitas transfusi darah

2) Jenis-jenis cairan infus untuk pemeliharaan atau pengganti puasa pra

anestesi, sesuai dengan indikasi dan usia pasien, adalah sebagai

berikut:

a) Neonatus, diberikan cairan dekstrosa 5% dalam NaCl 0,225

b) Anak-anak (<12 tahun) diberikan dekstrosa 5% dalam NaCl

0,45%

c) Umur > 12 tahu, tidak ada indikasi yang pasti, dapat diberikan

cairan: kristaloid atau campuran dekstrosa 5% dalam larutan

Page 12: Bahan Anet

kristaloid, misalnya dekstrose 5% dalam NaCl 0,9%, dalam

ringer dan ringer laktat

d) Penderita diabetes melitus diberikan cairan Maltose 5% dalam

ringer

4. Persiapan di kamar operasi :

a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya

c. Alat-alat resusitasi: alat bantu napas, laringoskop, pipa jalan napas, alat

isap, defibrilator dan lain-lain

d. Obat-obat anestesia yang diperlukan

e. Obat-obat resusitasi: adrenalin, atropin, aminofilin, natrium bikarbonat

f. Tiang infus, plester dan lain-lain

g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang

h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya

“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”

i. Kartu catatan medik anestesia

(Mangku dan Tjokorda, 2010)

2.2. Pemberian Anestesi

a. Induksi Anestesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,

sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat

dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien

tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia

sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S : ScopeStetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-

Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.

Lampu harus cukup terang.

T : TubePipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >

5 tahun dengan balon (cuffed).

Page 13: Bahan Anet

A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-

faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat

pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat

jalan napas.

T : TapePlester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang

mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah

dimasukkan.

C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

Jenis-jenis induksi:

1. Induksi intravena

a) Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan

dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi

bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi

anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan

selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

b) Obat-obat induksi intravena:

1) Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg

Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai

kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk

intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan

dihabiskan dalam 30-60 detik.

Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan

menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,

anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah

otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat

melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-

analgesi.

2) Propofol (diprivan, recofol)

Page 14: Bahan Anet

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat

isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). suntikan intravena

sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya

dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk

anesthesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk

perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan

dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada

wanita hamil.

3) Ketamin (ketalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,

hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat menimbulkan

mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum

pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau

diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk

mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.

Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin

dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1

ml = 50 mg), 10% ( 1 ml = 100 mg).

4) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga

banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.

Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg

dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

2. Induksi intramuscular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara

intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

3. Induksi inhalasi

a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen

monoksida)berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak

Page 15: Bahan Anet

terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2

minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga

sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada

anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan

salah satu cairanan astetik lain seperti halotan.

b) Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya

cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot

lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.Kelebihan dosis

menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi

hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi

miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,

anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga

meninggikan kadar gula darah.

c) Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih

iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat

disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek

relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.

d) Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian

aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan

teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan

untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung

minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak

digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

e) Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi

napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas

sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

Page 16: Bahan Anet

f) Sevofluran (ultane)

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.

Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga

digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.

4. Induksi per rectal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau

midazolam.

5. Induksi mencuri

Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa

hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita

berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup

muka kita tempelkan.

6. Pelumpuh otot nondepolarisasiTracurium 20 mg (Antracurium)

a) Berikatan dengan reseptor nikotinik - kolinergik, tetapi tidak

menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin

menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.

b) Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi

selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.

c) Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:

1) Cegukan (hiccup)

2) Dinding perut kaku

3) Ada tahanan pada inflasi paru

b. Rumatan Anestesi

Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena

(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena

inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur

ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien

selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,

fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur

Page 17: Bahan Anet

dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.

Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien

ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan

anestesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator.

Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +

O2 (Latief dkk, 2007).

2.7. Teknik Anestesi

a. Teknik anestesi spontan dengan sungkup muka

Indikasi:

1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka rongga perut.

2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).

3. Lambung harus kosong.

Urutan tindakan:

1. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa pra-induksi).

2. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu

3. Persiapan obat

4. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB

5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup

muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik ke

belakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernapasan

lancar. Pengikat sungkup muka ditempatkan di bawah kepala.

6. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong kedua pangkal

rahang ke depan dengan jari manis dan tengah tangan kiri kita. Kalau perlu

dengan kedua tangan kita yaitu kedua ibu jari dan telunjuk yang memegang

sungkup muka dan dengan jari-jari yang lain menarik rahang ke atas. Tangan

kanan kita bila bebas dapat memegang balon pernapasan dari alat anestesi

untuk membantu pernapasan pasien (menekan balon sedikit bila pasien

melakukan inspirasi).

Page 18: Bahan Anet

7. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,

bersamaan dengan halotan dibuka sampai 1 % dan sedikit demi sedikit

dinaikkan sampai 3-4 % tergantung reaksi tubuh penderita.

8. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola mata menetap), nadi

tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah.

9. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa orofaring

10. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan beberapa menit

sebelum operasi selesai

11. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit

untuk mencegah hipoksi difusi.

b. Teknik anestesi spontan dengan pipa endotrakea

Indikasi :

1. Operasi lama

2. Kesulitan mempertahankan jalan napas bebas pada anestesi dengan sungkuo

muka.

Urutan tindakan :

1. Induksi dengan propofol

Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6 L/menit, kalau perlu

napas dibantu dengan menekan balon napas secara periodik. Sesudah refleks

mata menghilang diberikan suksinil kolin intravena 1-1.5 mg/kgBB.

2. Pemberian suksinil-kolin mengakibatkan fasikulasi (getaran otot) dan apnue.

Napas dikendalikan dengan menekan balon napas yang diisi dengan aliran O2

2 L.

3. Sesudah fasikulasi menghilang pasien diintubasi.

4. Pipa guedel dimasukan di mulut agar pipa endotrakeal tidak tergigit.

Kemudian difiksasi dengan plester.

5. Mata diplester agar tidak terbuka dan kornea tidak kering.

6. Pipa endotrakeal dihubungkan dengan konektor pada sirkuit napas alat

anestesi. N2O dibuka 3-4 L/menit dan O2 2 L/menit kemudian halotan dibuka

1 vol % dan cepat dinaikkan sampai 2 vol %. Napas pasien dikendalikan

Page 19: Bahan Anet

dengan menekan balon napas (12-15 kali per menit). Setelah ada tanda –

tanda napas spontan menjadi spontan kembali dicoba untuk membantu napas

saja sampai pernapasan normal kuat kembali.

7. Halotan dikurangi sampai 0,5-1.5 % untuk pemeliharaan anestesi

8. Napas dapat dibiarkan spontan kalau usaha napas cukup kuat.

9. Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi N2O dan O2 masing-

masing 2 l/menit, serta halotan 1.5-2 vol %

10. Anestesia yang ringan dapat diperdalam dengan menaikkan halotan sampai 2-

3%. Halotan harus dikurangi lagi jika anestesia sudah cukup dalam.

11. Untuk operasi yang memerlukan relaksasi otot seperti operasi perut dan

ortopedi, teknik anestesi dengan napas spontan tidak mencukupi karena otot

pasien harus lemah selama pembedahan.

12. Bila memakai teknik napas spontan diperlukan obat anestesi banyak yang

dapat mendepresi pernapasan dan jantung. Untuk mencegah pemakaian obat

yang banyak pada operasi yang memerlukan otot lemas atau relaksasi

sebaiknya digunakan teknik napas kendali dengan memberikan obat pelemas

otot jangka panjang. Dengan demikian, dapat dicapai relaksasi otot yang baik

tanpa menggunakan obat anestesi banyak dan menghindarkan anestesi yang

terlalu dalam.

c. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan napas kendali

1. Teknik anestesi dan intubasi sama seperti di atas.

2. Setelah pengaruh suksinil kolin mulai habis, diberi obat pelumpuh otot

jangka panjang misalnya alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB.

3. Napas dikendalikan dengan respirator atau secara manual. Bila

menggunakan respirator, setiap inspirasi diusahakan ± 10 ml/kgBB

dengan frekuensi 10 – 14 kali per menit. Apabila nafas dikendalikan

secara manual harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang

simetris. Konsentrasi halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan

dipertahankan dengan 0.5-1 %.

Page 20: Bahan Anet

4. Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis apabila pasien

tampak ada usaha mulai bernafas sendiri.

5. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O

dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.

6. Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali. O2

diberi terus selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.

7. Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah, dapat

diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum di ekstubasi

yang terdiri dari kombinasi obat atropine 2 ampul (2 x 0,25 mg) dengan

prostigmin 2 ampul (2 x 0,5 mg). Kombinasi obat ini akan

menghilangkan sisa efek obat pelumpuh otot.

d. Ekstubasi

1. Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak

disetai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas,

hipoksia sianosis.

2. Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar betul

atau menunggu sewaktu pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak

dalam. Dengan cara terakhir dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut,

dada dan jalan nafas.

e. Pasca bedah

1. Pasien harus di observasi terus (pernapasan, tekanan darah dan nadi)

sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu di kamar bedah dan kamar

pulih.

2. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena

hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena

hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).

3. Bila kesakitan harus diberi analgetik seperti petidin 15-25 mg intravena,

tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya

Page 21: Bahan Anet

dengan menambah cairan elektrolit (ringer laktat), koloid (dextran) atau

darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar betul.

4. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang,

reflek jalan nafas sudah aktif tekanan darah dan nadi dalam batas-batas

normal.

f. Monitoring Perianestesi

1. Monitoring Standar

Rekam medis sebelum anestesia sangat penting diketahui, apakah

pasien berada dalam keadaan segar bugar atau sedang menderita suatu

penyakit sistemik. Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anestesia

adalah monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana seperti stetoskop

dan tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi, perkusi,

dan auskultasi.

a. Monitoring Kardiovaskular

1) Non-invasif (tak langsung)

a) Nadi

Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan

sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin bradikardi makin

menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dapat

dilakukan dengan cara palpasi arteria radialis, brakialis, femoralis

atau karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama dan

kekuatan nadi. Selain palpasi dapat dilakukan auskultasi dengan

menempelkan stetoskop di dada atau dengan kateter khusus

melalui sofagus. Cara palpasi dan cara auskultasi ini terbatas,

karena kita tidak dapat melakukannya secara terus menerus.

Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan

elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai dengan alarm.

Pemasangan EKG untuk mengeetahui secara kontinyu frekuensi

nadi, distrimia, iskemia jantung, gangguan konduksi, abnormalitas

elektrolit dan fungsi ‘pacemaker’.

b) Tekanan darah

Page 22: Bahan Anet

Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan

manse tang harus tepat ukurannya (lebarnya kira-kira 2/3 lebar

jarak olekranon-akromion, atau 40% dari keliling besarnya

lengan), karena terlalu lebar menghasilkan nilai lebih rendah dan

terlalu sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan sistolik-

diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan

tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) diketahui secara

langsung dengan monitor tekanan darah elektronik atau dengan

menghitung yaitu 1/3 (tekanan sistolik + 2 x tekanan diastolik) atau

tekanan diastolik + 1/3 (tekanan sistolik – tekanan diastolik). Pada

tabel 14 tertera harga normal nadi dan tekanan darah.

Tabel Nilai Normal Frekuensi Nadi dan Tekanan Darah

Usia FrekuensiNadi

(per menit)

TekananSistolik

(mmHg)

TekananDiastolik

(mmHg)

Prematur 150 ± 20 50 ± 3 30 ± 2

Cukupbulan 133 ± 18 67 ± 3 42 ± 4

6 bulan 120 ± 20 89 ± 29 60 ± 10

12 bulan 120 ± 20 96 ±30 66 ± 25

2 tahun 105 ± 25 99 ± 25 64 ± 25

5 tahun 90 ± 10 94 ± 14 55 ± 9

12 tahun 70 ± 17 109 ± 16 58 ± 9

Dewasa 65 ± 8 120 ± 10 80 ± 10

c) Banyaknya perdarahan

Monitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang

kain kasa ketika sebelum kena darah dan sesudahnya, mengukur

Page 23: Bahan Anet

jumlah darah di botol pengukur darah ditambah 10-20% untuk

yang tidak dapat diukur.

2) Invasif (langsung)

Biasanya dikerjakan untuk bedah khusus atau pasien keadaan umum

kurang baik.

a) Dengan kanulasi arteri melalui a. radialis, a. dorsalis pedis, a.

karotis, a. femoralis, dapat diketahui secara kontinyu tekanan darah

pasien.

b) Dengan kanulasi vena sentral, v. jugularis interna-eksterna, v.

subklavia, v. basilica, v. femoralis dapat diketahui tekanan vena

sentral secara kontinyu.

c) Dengan kanulasi a. pulmonalis (Swan-Ganz) dapat dianalisa curah

jantung.

d) Pada bayi baru lahir dapat digunakan arteria dan atau vena

umbilikalis. Selain itu kanulasi arteri ini dapat digunakan untuk

memonitor ventilasi dengan mengukur kadar pH, PO2, PCO2

bikarbonat dengan lebih sering sesuai kebutuhan. Pada bedah

jantung yang kompleks digunakan ekokardiografi transesofageal.

b. Monitoring Respirasi

1) Tanpa alat

Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung

gerakan dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan

napas kendali dan gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk

oksigenasi warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah

pada luka bedah apakah pucat, kebiruan atau merah muda.

2) Stetoskop

Dengan stetoskop prekordial atau esofageal dapat didengar suara

pernapasan.

3) Oksimeter denyut (pulse oximetry)

Untuk mengetahui saturasi oksigen (SaO2). Selain itu dapat

diketahui frekuensi darah dan adanya distrimia.

Page 24: Bahan Anet

4) Kapnometri

Untuk mengetahui secara kontinyu kadar CO2 dalam udara

inspirasi atau ekspirasi. Kapnometer dipengaruhi oleh system

anestesia yang digunakan. Monitoring khusus biasanya bersifat

invasif karena kita ingin secara kontinyu mengukur tekanan darah

arteri dan tekanan darah vena, produksi urin, analisa gas darah dan

sebagainya.

c. Monitoring Suhu Badan

Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil.

Pengukuran suhu sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi

mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi dan

konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis,

pulih anastesia lambat dan pada neonatus dapat terjadi sirkulasi

persistent fetal.

Tempat yang lazim digunakan ialah:

1) Aksila (ketiak)

Untuk membacanya perlu waktu 15 menit. Dipengaruhi oleh

banyaknya rambut ketiak, gerakan pasien, manset tensimeter dan

suhu cairan infus.

2) Oral-sublingual

Pada pasien sadar sebelum anaetesia.

3) Rektal

Seperti termometer aksila tetapi lebih panjang.

4) Nasofaring, esofageal

Berbentuk kateter.

5) Lain-lain

Jarang digunakan, misalnya kulit, buli-buli, liang telinga.

d. Monitoring Ginjal

Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih

normal minimal 0,5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan

sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti buli-

Page 25: Bahan Anet

buli. Monitoring produksi air kemih harus dilakukan dengan hait-hati,

karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai ke

pielonefritis, secara rutin digunakan kateter Foley karet lunak ukuran 5-

8F. kalau >1 ml/kgBB/jam dan reduksi urin positif 2, dicurigai adanya

hiperglikemia.

e. Monitoring Blokade Neuromuskular

Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah

cukup baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot

sudah kembali normal.

f. Monitoring Sistem Saraf

Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau

orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien

dalam keadaan tidak sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan

memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respons terhadap trauma

pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.

2. Monitoring Khusus

Monitoring tambahan biasanya digunakan pada bedah mayor atau bedah

khusus seperti bedah jantung, bedah otak posisi telungkup atau posisi duduk,

bedah dengan teknik hipotensi atau hipotermi dan bedah pada pasien keadaan

umum kurang baik yang disertai oleh kelainan sistemis. Oksimeter denyut,

infrared CO2 dan analisa zat anestetik dapat memberitahukan kita adanya

gangguan dini, tetapi alat ini ada yang menggolongkan monitoring tambahan ada

yang memasukkan dalam monitoring standar. Ketiga alat ini walaupun sangat

bermanfaat, tetapi sering diganggu oleh kauter listrik, intervensi cahaya dan sering

alarm walaupun pasien dalam keadaan klinis baik.

Alat monitor elektronik dapat saja memberikan informasi salah, sehingga

yang terbaik ialah kombinasi manual-elektronik. Hipoksia menyeluruh dapat

menyebabkan bradikardi-hipotensi dan kalau tidak segera ditanggulangi dapat

menjurus ke henti jantung. Bradikardia akibat hipoksia tidak bereaksi terhadap

Page 26: Bahan Anet

pemberian vagolitik seperti atropine, sehingga terapi utama ialah ventilasi dengan

O2.

g. Tatalaksana Pasca Bedah

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)

atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi

terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang

pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi,

pernapasan suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-lain.

Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan

dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah

itu dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama

4 jam berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali.

Pemeriksaan suhu juga dilakukan.

Seluruh pasien yang sedang dalam masa pemulihan dari anestesi umum

harus mendapat oksigen 30 – 40 % untuk mencegah hipoksemia yang mungkin

terjadi. Pasien yang memiliki resiko hipoksia adalah pasien yang mempunyai

kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi didaerah

abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan

untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-

benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis

atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya.

Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien

dapat dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca operasi.

1. Gangguan Pernapasan

Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi (tidak

ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering

mengalami: lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat

terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah

sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.

Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah

menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel dengan cara pasang jalan

Page 27: Bahan Anet

napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak

berhasil menolong pasang sungkup laring.

Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu O2

100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat kortokosteroid (oradekson)

dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot.

Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbi,

hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi, SaO2<90).

Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal (hipoventilasi).

Pernapasan lambat sering akibat opioid terlalu banyak dan dangkal sering akibat

pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas karena opioid, dapat diberikan

nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostikmin-atropin.

Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi

yang dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.

2. Gangguan Kardiovaskular

Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa

trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena

hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung

lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema

paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan

kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 – 1,0

µg/kg/ menit.

Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun disebabkan

pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang

kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk

mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia

dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya.

Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.

Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-

alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.

Page 28: Bahan Anet

3. Gelisah

Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis, hipotensi,

kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah

disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang

midazolam (dormikum) 0.05 – 0.1 mg/kgBB.

4. Mual-Muntah

Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama

pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia

regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia ialah :

a. Dehydrobenzoperidol 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.

b. Metoklopramid 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg

c. Ondansetron 0,05-0,1 mg/kgBB i.v

d. Cyclizine 25-50 mg.

5. Menggigil

Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.

Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan

infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin

10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion

warmer, lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.

6. Nilai Pulih dari Anestesi

Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang

pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-

10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5

pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:

Page 29: Bahan Anet

Tabel Skor Pemulihan Pasca Anestesi

Penilaian Nilai

Warna Merah muda

Pucat

Sianosis

2

1

0

Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk

Dangkal namun pertukaran udara adekuat

Apnoea atau obstruksi

2

1

0

Sirkulasi Tekanan darah menyimpang <20%>

Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari

normal

Tekanan darah menyimpang >50% dari

normal

2

1

0

Kesadaran Sadar, siaga dan orientasi

Bangun namun cepat kembali tertidur

Tidak berespons

2

1

0

Aktivitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan

Dua ekstremitas dapat digerakkan

Tidak bergerak

2

1

0

Page 30: Bahan Anet