Upload
zerri-ilham
View
25
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
b
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Autisme, merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin
meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua.
Hingga saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme
ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan dan penanganan
yang tepat. Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang
disebabkan oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak
hangat secara emosional, tetapi barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian
neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya
abnormalitas pada otak (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa
di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan
budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat pesat
di berbagai belahan dunia, kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi
was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang
normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Di California pada tahun
2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autisme per-harinya. Di Amerika Serikat
disebutkan autisme terjadi pada 15.000-60.000 anak dibawah 15 tahun. Di
Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih, hingga saat ini belum diketahui
berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan jumlah anak autisme
dapat mencapai 150-200 ribu orang. Perbandingan antara laki dan perempuan
adalah 2,6-4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan
gejala yang lebih berat (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui
pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Dewasa
1
ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak
(autisme infantil) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter
lainnya. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah
keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah
anaknya tuli (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Terapi anak autisme membutuhkan deteksi dini, intervensi edukasi yang
intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik,
dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang
kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang
kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan khususnya
medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan
latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan perilaku dapat
dilakukan dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan autisme
sebagai lembaga yang mampu secara professional menangani masalah
autisme adalah salah satu contoh yang dilakukan dalam bidang sosial (Yeni,
Murni, & Oktora, 2009).
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan
komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan
pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi,
perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi. Sejauh ini masih
belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor
risikonya sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal.
Saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar
gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari
kejadian autisme (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Autisme
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah
pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti
preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih
banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat
kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita
autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang ditandai
dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya (Sadock,
2007).
B. Epidemiologi
Penyandang autisme pada anak (autisme infantile) dalam kurun waktu 10
sampai 20 tahun terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak autis
di dunia pada tahun 1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh
tahun kemudian yaitu tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 berbanding
500 kelahiran. Sedangkan, pada tahun 2000 prevalensi anak autisme
meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001 perbandingannya
berubah menjadi 1:100 kelahiran. Secara global prevalensinya berkisar 4 per
10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan
wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan penyandang autis di Indonesia
diperkirakan lebih dari 400.000 anak (Lubis, 2009). Penelitian yang
dilakukan di Brick Township, New Jersey (Bertrand, 2001) melaporkan
angka prevalensi autis yaitu 40 per 10.000 untuk anak 3-10 tahun dengan
autisme dan 67 per 10.000 untuk seluruh spektrum autisme pada anak-anak.
3
Penelitian terbaru di Canada menyatakan bahwa prevalensi autisme mencapai
0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding 150 kelahiran (Fombonne, 2009).
C. Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang aurisme infantil yaitu:
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan
bahwa autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak
menolak orang tuanya dan mampu merasakan persaan negatif mereka.
Anak tersebut meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada
dunia sehingga menciptakan “benteng kekosongan” untuk melindungi
dirinya dari penderitaan dan kekecewaan (Lubis, 2009).
2. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih
tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung
yang juga autis sekitar 3% (Kasran, 2003). Kelainan dari gen pembentuk
metalotianin juga berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah
kelompok protein yang merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap
tembaga dan seng. Fungsi lainnya yaitu perkembangan sel saraf,
detoksifikasi logam berat, pematangan saluran cerna, dan penguat sistem
imun. Disfungsi metalotianin akan menyebabkan penurunan produksi
asam lambung, ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam berat dan
kelainan sisten imun yang sering ditemukan pada orang autis. Teori ini
juga dapat menerangkan penyebab lebih berisikonya laki-laki dibanding
perempuan. Hal ini disebabkan karena sintesis metalotianin ditingkatkan
oleh estrogen dan progesteron (Kasran, 2003).
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik
menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang
berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini
bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar.
4
Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di
serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI),
telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada
individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari
kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas
perhatian. Dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita
autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan
serebrospinal dibandingkan dengan orang normal (Kasran, 2003).
D. Patogenesis Autisme
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada satupun
yang spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi bahwa
faktor genetik berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi yang
melibatkan anak kembar terlihat bahwa dua kembar monozygot (kembar
identik) kemungkinan 90% akan sama-sama mengalami autisme;
kemungkinan pada dua kembar dizygot (kembar fraternal) hanya sekitar 5-
10% saja (Kasran, 2003).
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi
meskipun baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antara gen
serotonin-transporter. Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan
bahwa autisme timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat
oleh opioid pada saat usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen
dan opioid merupakan perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan casein
makanan. Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini menarik banyak
perhatian. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier yang
defisien di dalam mukosa usus, di darah-otak (blood-brain) atau oleh karena
adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam darah untuk
mengubah opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat racun dan
menimbulkan penyakit (Kasran, 2003). Barrier yang defektif ini mungkin
diwarisi (inherited) atau sekunder karena suatu kelainan. Berbagai uraian
tentang abnormalitas neural pada autisme telah menimbulkan banyak
5
spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun,
baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau tes
diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab
utama autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas
jaringan otak pada individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari
abnormalitas ini belum diketahui, demikian juga pengaruhnya terhadap
perilaku (Kasran, 2003).
Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam stuktur
neural dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak. Dalam
kaitannya dengan struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa
penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik
yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini
bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Peneliti ini
juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum. Dengan
menggunakan magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua daerah di
serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih
kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai
pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh studi empiris
neurofarmakologis dan neurokimia pada autisme, perhatian banyak
dipusatkan pada neurotransmitter dan neuromodulator, pertama sistem
dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid endogen dan oksitosin,
selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya hubungan antara autisme
dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut (Kasran, 2003).
Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita
autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan
serebrospinal dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa
abnormalitas serotonin ini juga tampak pada penderita down syndrome,
kelainan hiperaktivirtas, dan depresi unipoler. Juga terbukti bahwa pada
individu autistik terdapat kenaikan dari beta-endorphins, suatu substansi di
dalam badan yang mirip opiat. Diperkirakan adanya ketidakpekaan individu
6
autistik terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan kadar
betaendorphins ini (Kasran, 2003).
E. Karakteristik, Gambaran Klinis, Kriteria Diagnosis, dan Diagnosis
Banding Autisme Infantil
1. Karakteristik
a. Kecenderungannya untuk melengkungkan punggungya ke belakang
menjauhi pengasuhnya atau yang merawatnya, untuk menghindari
kontak fisik. Mereka umumnya digambarkan sebagai bayi-bayi yang
pasif atau kelewat gaduh (overlay agitated). Bayi yang pasif adalah
mereka yang kebanyakan diam sepanjang waktu dan tidak banyak
tuntutan pada orangtuanya. Sedangkan bayi yang gaduh adalah yang
hampir selalu menangis tidak ada hentinya pada waktu terjaga (Rapin,
1997).
Kira-kira separuh dari anak-anak autistik menunjukkan perkembangan
yang normal sampai pada usia 1,5-3 tahun; kemudian gejala-gejala
autisme mulai timbul. Individu demikian ini sering disebut sebagai
menderita autisme “regresif”. Dibandingkan teman-teman sebayanya,
anak-anak autistik seringkali ketinggalan dalam hal komunikasi,
ketrampilan sosial dan kognisi. Di samping itu, perilaku disfungsional
mulai tampak, seperti misalnya, aktivitas repetitif dan perilaku yang
tidak bertujuan (non-goal directed behavior) (mengayun-ayunkan
badan tiada hentinya, melipatlipat tangan), mencederai diri sendiri,
bermasalah dalam makan dan tidur, tidak peka terhadap rasa sakit.
Perilaku mencederai diri sendiri seperti menggigit diri sendiri dan
membenturkan kepala mungkin merupakan bentuk stereotipi yang
berat dan menurut teori yang baru disebabkan oleh peningkatan
endorphin (Rapin, 1997).
b. Salah satu karakterisitk yang paling umum pada anak-anak autistik
adalah perilaku yang perseverative, kehendak yang kaku untuk
melakukan atau berada dalam keadaan yang sama terus-menerus.
7
Apabila seseorang berusaha untuk mengubah aktivitasnya, meskipun
kecil saja, atau bilamana anak-anak ini merasa terganggu perilaku
ritualnya, mereka akan marah sekali (tantrum). Sebagian dari individu
yang autistik ada kalanya dapat mengalami kesulitan dalam masa
transisinya ke pubertas karena perubahan-perubahan hormonal yang
terjadi; masalah gangguan perilaku bisa menjadi lebih sering dan lebih
berat pada periode ini. Namun demikian, masih banyak juga anak-
anak autistik yang melewati masa pubertasnya dengan tenang.
Umumnya gejala autisme berupa suatu gangguan sosiabilitasnya,
kelainan komunikasi timbal-balik verbal dan nonverbal serta defisit
minat dan aktivitas anak. Meskipun kurangnya dorongan untuk
berkomunikasi atau menahan bicara memegang peranan pada semua
anak yang pendiam, anak-anak dengan autisme benar-benar
mengalami gangguan berbahasa. Pemahaman dan penggunaan bahasa
untuk komunikasi serta geraktubuh (gesture) benar-benar defisien.
Ketidak mampuan untuk menerjemahkan stimuli akustik
menyebabkan anak-anak autistik mengalami agnosia auditorik verbal;
mereka tidak mengerti bahasa atau hanya mengerti sedikit sehingga
tidak dapat berbicara dan tetap tinggal dalam situasi nonverbal (Rapin,
1997).
c. Anak-anak dengan autisme yang tidak begitu berat, dengan kelainan
reseptif-ekspresif, menunjukkan daya pengertian (comprehension)
yang lebih baik dari pada kemampuannya untuk berekspresi sehingga
pada mereka itu tampak artikulasinya buruk dan mereka tidak
memiliki kepandaian gramatis. Kelompok anak-anak autistik lain
yang kepandaian bicaranya terlambat, mungkin dapat berkembang
cepat dari keadaan diam menjadi lancar berbicara dengan kalimat-
kalimat yang jelas dan tersusun baik, tetapi mereka ini cenderung
repetitif, non-komunikatif dan sering pula ditandai dengan echolalia
yang berkelebihan (Rapin, 1997).
d. Sekitar 75% penderita autisme adalah mereka dengan keterbelakangan
mental (mentally retarded). Derajat kognitif individu ini secara
8
bermakna berkaitan dengan beratnya gejala autisme. Tes IQ pra-
sekolah tidak dapat meramalkan hasil yang dapat diandalkan karena
beberapa anak dengan program perawatan yang efektif menunjukkan
perbaikan yang nyata. Hasil dari uji neuropsikologis secara khas
menunjukkan suatu profil kognitif yang tidak merata, di mana
keterampilan nonverbal umumnya lebih tinggi dari pada keterampilan
verbal (kecuali pada sindrom asperger di mana pola yang sebaliknya
terlihat). Pemahaman yang buruk dari apa yang orang lain pikirkan,
menetap sepanjang hidup dan kreativitas mereka biasanya terbatas.
Anak-anak autistik dapat menunjukan reaksi yang paradoksikal
terhadap suatu stimuli sensori; kadang-kadang hipersensitif dan
kadang-kadang tidak menghiraukan suara atau bunyi tertentu, stimuli
taktil atau rasa sakit. Persepsi visual biasanya jauh lebih baik dari
pada persepsi auditorik (Rapin, 1997).
2. Gambaran Klinis
Tanda-tanda awal pada pasien autisme berkaitan dengan usia anak. Usia
anak dimana sindroma autisme dapat dikenal merupakan kunci untuk
segera melakukan intervensi berupa pelatihan dan pendidikan dini.
National Academy of Science USA menganjurkan bahwa pendidikan dini
merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak dengan sindroma
autisme. Pada umumnya semua peneliti sepakat bahwa sindroma autisme
merupakan diagnosis sekelompok anak dengan kekurangan dalam bidang
sosialisasi, komunikasi dan afeksi. Mereka juga sepakat bahwa mengenal
tanda-tanda awal autisme yaitu sejak usia dini (bayi baru lahir bahkan
sebelum lahir) sangat penting untuk upaya penanggulangan.
Gejala autisme infantil dapat timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun.
Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat
sejak lahir. Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa keganjilan
sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat menonjol
adalah tidak ada kontak mata dan kurang minat untuk berinteraksi dengan
orang lain.
9
Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup
dalam autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu:
a. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak social ke
dalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini
akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan
bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada. Gangguan
dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak
melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain
sendiri.
b. Kelemahan kognitif
Sebagian besar (± 70%) anak autis mengalami retardasi mental (IQ <
70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang
berkaitan dengan kemampuan sensori montor. Terapi yang dijalankan
anak autis meningkatkan hubungan social mereka tapi tidak
menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami.
Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama sekali
disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan oengaruh penarikan diri
dari lingkungan social.
c. Kekurangan dalam bahasa
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti
terlambat bicara. Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara,
yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit, atau menunjukkan
ekolali, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa
anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV, atau potongan kata
yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak autis
menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri
mereka sebagai orang kedua “kamu” atau orang ketiga “dia”. Intinya
anak autism tidak dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak
dapat terlibat dalam pembicaraan normal.
d. Tingkah laku stereotip
10
Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku
yang berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif,
hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan mata
kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton. Anak autis
sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus menerus
tanpa tujuan yang jelas. Sering berputar-putar, berjingkat-jingkat, dan
lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini
disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya
gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik-
narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan
akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku
yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik
pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya pada
roda mainan mobil-mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan
lingkungan dan kebiasaan yang monoton.
3. Kriteria Diagnosis Gangguan Autisme
Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnosis gangguan
autisme adalah:
A. Sejumlah enam hal atau lebih dari 1, 2, dan 3, paling sedikit dua dari 1
dan satu masing-masing dari 2 dan 3:
1. Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi social sebagai
manifestasi paling sedikit dua dari yang berikut:
a. Hendaknya di dalam perilaku non verbal seperti pandangan
mata ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, dan gerak terhadap
rutinitas dalam interaksi social.
b. Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai
tingkat perkembangannya.
c. Kurang kespontanan dalalm membagi kesenangan, daya pikat
atau pencapaian akan orang lain, seperti kurang
memperlihatkan, mengatakan atau menunjukkan objek yang
menarik.
d. Kurang sosialisasi atau emosi yang labil.
11
2. Secara fluktuatif terdapat hendaya dalam komunikasi sebagai
menifestasi paling sedikit satu dari yang berikut:
a. Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara
(tidak menyertai usaha mengimbangi cara komunikasialternatif
seperti gerak isyarat atau gerak meniru-niru)
b. Individu berbicara secara adekuat, hendaya dalam menilai atau
meneruskan oembicaraan orang lain.
c. Menggunakan kata berulang kali dan stereotip dan kata-kata
aneh.
d. Kurang memvariasikan gerakan spontan yang seolah-olah atau
pura-pura bermain seuai tingkat perkembangan.
3. Tingkah laku berulang dan terbatas, tertarik dan aktif sebagai
manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut:
a. Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotip atau kelainan
dalam intensitas maupun focus perhatian akan sesuatu yang
terbatas.
b. Ketaatan terhadap hal-hal tertentu tampak kaku, rutinitas atau
ritual pun tidak fungsional.
c. Gerakan stereotip dan berulang misalnya memukul, memutar
arah jari dan tangannya serta meruwetkan gerakan seluruh
tubuhnya.
d. Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotip.
B. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang
berikut ini dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun :
1. Interaksi sosial
2. Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial
3. Permainan simbol atau imaginatif.
C. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan
disintegrasi masa anak.
12
Autisme infantil berdasarkan pedoman diagnostik PPDGJ III, antara
lain:
a. Biasanya tidak ada riwayat perkembangan abnormal yang jelas, tetapi
jika dijumpai, abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun.
b. Selalu dijumpai hendaya kualitatif dalam interaksi sosialnya. Ini
berbentuk tidak adanya apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio
emosional yang tampak bagai kurangnya respon terhadap emosi orang
lain dan/atau kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks
sosial; buruk dalam menggunakan isyarat social dan lemah dalam
integrasi perilaku sosial, emosional dan komunikatif; dan khususnya,
kurangnya respon timbal balik sosial emosional.
c. Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini
berbentuk kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang
ada; hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial; buruknya
keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan;
buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurang dalam
kreativitas dan fantasi dalam proses pikir; kurangnya respons
emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain;
hendaya dalam menggunakan variasi irama atau tekanan modulasi
komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau
mengartikan komunikasi lisan.
d. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang
terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk kecendrungan
untuk bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari; ini
biasanya berlaku untuk kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang
rutin dan pola bermain. Terutama sekali dalam masa kanak, terdapat
kelekatan yang aneh terhadap benda yang tak lembut. Anak dapat
memaksa suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan yang
sebetulnya tidak perlu; dapat menjadi preokupasi yang stereotipik
dengan perhatian pada tanggal, rute atau jadwal; sering terdapat
stereotipik motorik; sering menunjukkan perhatian yang khusus
terhadap unsur sampingan dari benda (seperti bau dan rasa); dan
13
terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata
ruang dari lingkungan pribadi (seperti perpindahan dari hiasan dalam
rumah).
e. Anak autisme sering menunjukkan beberapa masalah yang tak khas
seperti ketakutan/fobia, gangguan tidur dan makan, mengadat
(terpertantrum) dan agresivitas. Mencederai diri sendiri (seperti
menggigit tangan) sering kali terjadi, khususnya jika terkait dengan
retardasi mental. Kebanyakan individu dengan autis kurang dalam
spontanitas, inisiatif dan kreativitas dalam mengatur waktu luang dan
mempunyai kesulitan dalam melaksanakan konsep untuk menuliskan
sesuatu dalam pekerjaan (meskipun tugas mereka tetap dilaksanakan
baik).
Abnormalitas perkembangan harus tampak dalam usia 3 tahun untuk
dapat menegakkan diagnosis, tetapi sindrom ini dapat didiagnosis pada
semua usia.
4. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding autisme infantil, antara lain:
a. Gangguan perkembangan pervasif yang lainnya
Beberapa kelainan yang dimasukkan dalam kelompok ini adalah
anak-anak yang mempunyai ciri-ciri autisme, yaitu gangguan
perkembangan sosial, bahasa, dan perilaku, namun cirri lainnya
berbeda dengan autism infantil. Gangguan ini adalah sebagai berikut:
1) Sindroma Rett
Sindroma Rett adalah penyakit otak yang progresif tapi
khusus mengenai anak perempuan. Perkembangan anak sampai
usia 5 bulan normal, namun setelah itu mundur. Umumnya
kemunduran yang terjadi sangat parah meliputi perkembangan
bahasa, interaksi social maupun motoriknya.
2) Sindroma Asperger
Pada sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autism
namun masih memiliki intelegensia yang baik dan kemampuan
bahasanya juga hanya terganggu dalam derajat ringan. Oleh
14
karena itu, sindroma Asperger sering disebut sebagai “high
functioning autism”.
Gangguan Asperger berbeda berbeda dengan autism infantil.
Onset usia autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat
keparahannya lebih parah dibandingkan gangguan Asperger.
Pasien autisme infantil menunjukkan penundaan dan
penyimpangan dalam kemahiran berbahasa serta adanya gangguan
kognitif. Oral vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih
baik pada gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih
berat pada autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme
motorik sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol
adalah perhatian terbatas dan motorik yang canggung, serta gagal
mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan gangguan
Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental.
Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang
lebih baik daripada autisme infantil, kecuali autisme infantil high
functioning. Batas antara gangguan Asperger dan high functioning
autism untuk gangguan berbahasa dan gangguan belajar sangat
kabur. Gangguan Asperger mempunyai verbal intelligence yang
normal sedangkan autisme infantil mempunyai verbal intelligence
yang kurang. Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih
baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya
mengalami kesulitan berempati
3) Sindroma Disintegratif
Sindroma ini ditandai dengan kemunduran dari apa yang
telah dicapai setelah umur 2 tahun, paling sering sekitar umur 3-4
tahun. Gangguan ini sangat jarang terjadi dan paling sering
mengenai anak laki-laki dibanding perempuan.
b. Gangguan perkembangan bahasa (disfasia)
Disfasia terjadi karena gangguan perkembangan otak hemisfer
kiri, sebagai daerah pusat berbahasa. Ada beberapa subtipe gangguan
ini yang menyerupai dengan autism infantil khususnya ditinjau dari
15
perkembangan bahasa wicaranya. Bedanya pada disfasia tidak
terdapat perilaku repetitive maupun obsesif.
Kriteria Autisme Infantil Disfasia
Insidensi 2-5 dalam 10.000 5 dalam 10.000
Ratio jenis kelamin
(Laki-laki:Perempuan)
3-4 : 1 sama atau hampir
sama
Riwayat keluarga adanya
keterlambatan bicara /
gangguan bahasa
25 % kasus 25 % kasus
Ketulian yang
berhubungan
sangat jarang tidak jarang
Komunikasi nonverbal tidak ada/rudimenter Ada
Kelainan bahasa
(misalnya ekolalia, frasa
stereotipik di luar
konteks)
lebih sering lebih jarang
Gangguan artikulasi lebih jarang lebih sering
Tingkat intelegensia sering terganggu
parah
walaupun mungkin
terganggu, seringkali
kurang parah
Pola test IQ tidak rata, rendah
pada skor verbal,
rendah pada sub test
pemahaman
lebih rata, walaupun
IQ verbal lebih
rendah dari IQ
kinerja
Perilaku autistik,
gangguan kehuidupan
sosial, aktivitas
stereotipik dan ritualistik
lebih sering dan
lebih parah
tidak ada atau jika
ada, kurang parah
Permainan imaginatif tidak ada/rudimenter biasanya ada
16
c. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak
Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun.
Skizofrenia disertai dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi
kejang dan retardasi mental yang lebih rendah dan dengan IQ yang
lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistik.
Kriteria Autisme Infantil Skizofrenia dengan
onset masa anak-
anak
Usia onset <36 bulan >5 tahun
Insidensi 2-5 dalam 10.000 Tidak diketahui,
kemungkinan sama
atau bahkan lebih
jarang
Rasio jenis kelamin
(Laki-laki:Perempuan)
3-4:1 1,67:1
Status sosioekonomi Lebih sering pada
sosioekonomi tinggi
Lebih sering pada
sosioekonomi
rendah
Penyulit prenatal dan
perinatal dan disfungsi
otak
Lebih sering pada
gangguan
autistik
Lebih jarang pada
skizofrenia
Karakteristik perilaku Gagal untuk
mengembangkan
hubungan : tidak ada
bicara (ekolalia);
frasa stereotipik;
tidak ada atau
buruknya
pemahaman bahasa;
kegigihan atas
kesamaan dan
stereotipik.
Halusinasi dan
waham, gangguan
pikiran
17
Fungsi adaptif Biasanya selalu
terganggu
Pemburukan fungsi
Tingkat inteligensi Pada sebagian besar
kasus
subnormal, sering
terganggu parah
(70%)
Dalam rentang
normal
Kejang grand mal 4-32% Tidak ada atau
insidensi rendah
d. Retardasi Mental (RM)
Hal yang tidak mudah untuk membedakan autisme infantil
dengan retardasi mental, sebab autisme juga sering disertai retardasi
mental. Kira-kira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat
atau sangat berat, dan anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala
perilaku yang termasuk ciri autistik. Pada retardasi mental tidak
terdapat 3 ciri pokok autism secara lengkap. Retardasi mental adalah
gangguan intelegensi, biasanya diketahui setelah anak sekolah karena
ketidaksanggupan anak mengikuti pelajaran formal. Pembagian
retardasi mental mental dilihat dari kemampuan Intelligent Quetient
(IQ), retardasi mental ringan IQ 55-70, RM sedang IQ 40-55, RM
berat 25-40, RM sangat berat IQ < 25.
Ciri utama yang membedakan antara gangguan autistik dan
retardasi mental adalah:
1) Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua
atau anak-anak lain dengan cara yang sesuai dengan umur
mentalnya.
2) Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang
lain.
3) Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa
pembelahan fungsi
18
e. Afasia didapat dengan kejang
Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang
kadang sulit dibedakan dari gangguan autistik dan gangguan
disintegratif masa anak-anak. Anak-anak dengan kondisi ini normal
untuk beberapa tahun sebelum kehilangan bahasa reseptif dan
ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa bulan.
Sebagian akan mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada
saat onset, tetapi tanda tersebut biasanya tidak menetap. Suatu
gangguan yang jelas dalam pemahaman bahasa yang terjadi
kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang menyimpang dan
gangguan bicara. Beberapa anak pulih tetapi dengan gangguan bahasa
residual yang cukup besar
f. Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah
Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-
anak tersebut sering membisu atau menunjukkan tidak adanya minat
secara selektif terhadap bahasa ucapan. Ciri-ciri yang membedakan
yaitu bayi autistik mungkin jarang berceloteh sedangkan bayi yang
tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal dan selanjutnya
secara bertahap menghilang dan berhenti pada usia 6 bulan-1 tahun.
Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang keras,
sedangkan anak autistik mungkin mengabaikan suara keras atau
normal dan berespon hanya terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang
terpenting, audiogram atau potensial cetusan auditorik menyatakan
kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli. Tidak seperti anak-
anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan orang tuanya,
mencari kasih sayang orang tua dan sebagai bayi senang digendong.
g. Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti
pemisahan dari ibu, kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit,
dan gagal tumbuh) dapat menyebabkan anak tampak apatis, menarik
diri, dan terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat terlambat.
Anak-anak dengan tanda tersebut hamper selalu membaik dengan
19
cepat jika ditempatkan dalam lingkungan psikososial yang
menyenangkan dan diperkaya, yang tidak terjadi pada anak autistik.
F. Anamnesis dan Pemeriksaan Psikiatri Autisme Infantil
1. Anamnesis
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun.
Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat
sejak lahir. Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi
atau anak menurut usia :
a. Usia 0-6 bulan
1) Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
2) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
4) Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
5) Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
6) Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
b. Usia 6-12 bulan
1) Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
2) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan
4) Sulit bila digendong
5) Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
6) Tidak ditemukan senyum sosial
7) Tidak ada kontak mata
8) Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
c. Usia 1-2 tahun
1) Kaku bila digendong
2) Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
3) Tidak mengeluarkan kata
4) Tidak tertarik pada boneka
5) Memperhatikan tangannya sendiri
6) Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
20
7) Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
d. Usia 2-3 tahun
1) Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
2) Melihat orang sebagai “benda”
3) Kontak mata terbatas
4) Tertarik pada benda tertentu
5) Kaku bila digendong
e. Usia 4-5 tahun
1) Sering didapatkan ekolalia (membeo)
2) Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
3) Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
4) Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
5) Temperamen tantrum atau agresif
Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak
semakin jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun, yaitu (Sartika,
Dinda. 2011):
a. Interaksi sosial
1) tidak tertarik bermain bersama teman
2) lebih suka menyendiri
3) tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk
bertatapan
4) senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa
yang ia inginkan
b. Komunikasi
1) perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada
2) senang meniru atau membeo (ekolali)
3) anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara
tapi kemudian sirna
4) mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak
dapat dimengerti orang lain
5) bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian
tersebut tanpa mengerti artinya
21
6) sebagian dari anak ini tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit
bicara (kurang verbal) sampai usia dewasa
c. Pola bermain
1) tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya
2) senang akan benda-benda yang berputar seperti kipas angin, roda
sepeda, gasing.
3) tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik atau
rodanya diputar-putar.
4) dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang
terus dan dibawa kemana-mana.
d. Gangguan sensoris
1) bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
2) sering menggunakan indera pencium dan perasanya, seperti
senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
3) dapat sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka
dipeluk.
4) dapat sangat sensitif terhadap rasa takut dan rasa sakit.
e. Perkembangan terlambat atau tidak normal
1) perkembangan tidak sesuai seperti pada anak normal, khususnya
dalam keterampilan sosial, komunikasi, dan kognisi.
2) dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya,
kemusian menurun atau bahkan sirna, misalnya pernah dapat
bicara kemudian hilang.
f. Penampakan gejala
1) gejala di atas dapat mulai tampak sejak lahir atau saat masih
kecil. Biasanya sebelum usia 3 tahun gejala sudah ada.
2) pada beberapa anak sekitar umur 5-6 tahun, gejala tampak agak
berkurang.
Gejala yang juga sering tampak adalah dalam bidang :
a. Perilaku
1) memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-
goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar,
22
mendekatkan mata ke TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan
gerakan yang diulang-ulang.
2) tidak suka pada perubahan
3) dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong
b. Emosi
1) sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa,
menangis tanpa alasan.
2) kadang suka menyerang dan merusak.
3) kadang berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri
4) tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
2. Pemeriksaan Psikiatri
a. Kesan Umum : tampak sakit jiwa
b. Kesadaran : compos mentis
c. Sikap : hipoaktif
d. Tingkah laku : senyum sendiri, bicara sendiri, stereotipi
e. Orientasi : baik/buruk
f. Bentuk pikir : autistik
g. Isi pikir : waham bizarre
h. Progresi pikir : neologisme, ekolali, inkoherensi, irrelevansi
i. Roman muka : sedikit mimik
j. Afek : inappropiate
k. Persepsi : halusinasi (+)
l. Perhatian : sulit ditarik, sulit dicantum
m. Hubungan jiwa : sulit
n. Insigth : buruk
G. Penatalaksanaan Autisme
Sampai saat ini tidak ada obat-obatan atau cara lain yang dapat
menyembuhkan autisme. Meskipun demikian, obat-obat antidepresan yang
bersifat seratogenik dapat mengendalikan gejala-gejala stereotipi dan
perubahan-perubahan iklim perasaan, tetapi masih diperlukan suatu penelitian
klinis lebih lanjut dan lebih terkendali dari obat-obat ini (Kasran, 2003).
23
PENATALAKSANAAN MEDIS
Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin
5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di
sel-sel saraf. Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar
serotonin tinggi dalam darah.
Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam
keadaan stabil dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada
penyandang autis.
Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan
gangguan autistik, tetapi efektif mengurangi perilaku autistik seperti
hiperaktivitas, penarikan diri, stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresivitas
dan gangguan tidur.
Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin dan
serotonin dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu
antipsikotik atipikal, merupakan antagonis kuat terhadap reseptor serotonin 5-
HT dan dopamin tipe 2 (D2).
Risperidone bisa digunakan sebagai antagonis reseptor dopamin D2 dan
serotonin 5-HT untuk mengurangi agresivitas, hiperaktivitas, dan tingkah laku
menyakiti diri sendiri.
Olanzapine, digunakan karena mampu menghambat secara luas pelbagai
reseptor, olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas, gangguan bersosialisasi,
gangguan reaksi afektual (alam perasaan), gangguan respons sensori,
gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri, agresi,
iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi.
Untuk meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari,
penyandang autis perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan
24
pelbagai disiplin ilmu. Menurut dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu
Penyakit Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi untuk meningkatkan interaksi
sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk mengendalikan perilaku yang
mengganggu/membahayakan, terapi wicara, terapi okupasi/fisik, sensori-
integrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat semua indera, latihan
integrasi pendengaran (AIT) untuk mengurangi hipersensitivitas terhadap
suara, intervensi keluarga, dan sebagainya.
Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan yang bisa memperburuk
kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu meliputi
pengaturan diet dengan menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi (kasein
dan gluten), pemberian suplemen vitamin dan mineral, serta pengobatan
terhadap jamur dan bakteri yang berada di dinding usus.
Dengan terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa menjalani hidup
sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri
dan berprestasi.
Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan yang paling
penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovaas. Metode Lovaas
adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied
Behavior Analysis (ABA). Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui
program ABA dapat dibedakan menjadi enam kemampuan dasar, yaitu:
1. Kemampuan memperhatikan
Program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk
bisa memfokuskan pandangan mata pada orang yang ada di depannya
atau disebut dengan kontak mata. Yang kedua melatih anak untuk
memperhatikan keadaan atau objek yang ada disekelilingnya.
2. Kemampuan menirukan
Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan
motorik kasar dan halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar
sederhana atau meniru tindakan yang disertai bunyi-bunyian.
3. Bahasa reseptif
25
Melatih anak agar mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi
terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti
maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata.
4. Bahasa ekspresif
Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai
dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi
dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan
menggunakan kata-kata atau berkomunikasi verbal.
5. Kemampuan praakademis
Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan
permainan yang mengajarkan anak tentang emosi, hubungan
ketidakteraturan, dan stimulus-stimulus di lingkungannya seperti bunyi-
bunyian serta melatih anak untuk mengembangkan imajinasinya lewat
media seni seperti menggambar benda-benda yang ada di sekitarnya.
6. Kemampuan mengurus diri sendiri
Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan
sendiri. Yang kedua, anak dilatih untuk bisa buang air kecil atau yang
disebut toilet traning. Kemudian tahap selanjutnya melatih mengenakan
pakaian, menyisir rambut, dan menggosok gigi.
H. Prognosis
Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Berat ringannya gejala atau kelainan otak.
2. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak
saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
3. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
4. Bicara dan bahasa, 20 % anak autis tidak mampu berbicara seumur
hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan
kefasihan yang berbeda-beda.
5. Terapi yang intensif dan terpadu.
26
Penanganan/intervensi terapi pada anak autisme harus dilakukan
dengan intensif dan terpadu. Seluruh keluarga harus terlibat untuk
memacu komunikasi dengan anak. Penanganan anak autisme
memerlukan kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai
disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak,
terapis bicara dan pendidik.
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan
komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan
pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi,
perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi.
27
BAB III
KESIMPULAN
1. Autisme merupakan gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan
pada interaksi sosial, dan perilakunya.
2. Beberapa faktor diduga menjadi penyebab autisme infantil antara lain teori
psikoanalitik, genetik, serta berdasarkan studi biokimia dan riset neurologis
3. Terapi perilaku merupakan tata laksana yang paling penting dengan
menggunakan metode Lovaas.
4. Faktor yang mempengaruhi prognosis autisme infantil antara lain berat
ringannya gejala, usia, kecerdasan, bicara dan bahasa, serta terapi intensif dan
terpadu.
28
DAFTAR PUSTAKA
Bertrand, J., Mars, A., Boyle, C., Bove, F., Yeargin-Allsop, M., Decoufle, P.
2001. Prevalence of autism in a United States Population. Pediatrics, 108;
1155-61.
Fombonne, Eric. 2009. Epidemiology of Pervasive Developmental Disorders.
Pediatrics Research, 6 (65); 591-8.
Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal
Kedokteran Trisakti, Vol. 22 No. 1; 24-30.
Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis.
Diambil dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E01232.pdf.
Diakses tanggal: 23 Januari 2012.
Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104.
Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School
of Medicine New York; Chapter 42.
Sartika, Dinda. 2011. Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri
(YAKARI) Medan. Skripsi: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Yeni, A. F., Murni, J. Y., & Oktora, R. 2009. Autisme dan Penatalaksanaan.
Diambil dari: http://www.Files-of-DrsMed.tk/. Diakses tanggal 26 Januari
2012.
29