38
KELAS F 2 KELOMPOK 4 Pembagian Wewenang Antar Susunan Pemerintahan

Bahan Pak Andi Pitono Presentasi Kel 4

Embed Size (px)

Citation preview

KELAS F 2KELOMPOK 4

Pembagian Wewenang Antar Susunan Pemerintahan

Menurut Asep Nurjaman (Guruh, Syahda, LS : 85 : 2000) ada beberapa alternatif bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dibangun, yaitu :

Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan memberikan kekuasaan yang besar kepada pusat (hightly centralized)

Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan cara memberikan kewenangan yang besar kepada daerah (highly decentralized) atau dikenal dengan nama confederal system.

Hubungan pusat dan daerah berdasarkan “sharing” antara pusat dan daerah. Sistem, ini disebut sistem federal (federal System) yang banyak diadopsi oleh negara-negara besar dengan fluralisme etnik, seperti Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia.

Dilihat dari dimensi cara,dengan dua metode Yaitu :

1. Open and arrangement (general competence)

2. Prinzip Ultra Vires

Open and arrangement (general competence)

Pembagian kewenangan dilakukan dengan menyebutkan secara rinci kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat di dalam Undang-undang.Selebihnya atau sisa yang tidak disebutkan menjadi kewenangan pemerintah Daerah

Prinzip Ultra Vires

Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah ditetapkan secara rinci dalam undang-undang.Pemerintah dengan demikian hanya dapat menyelenggarakan kewengangan yg termaktub secra jelas dalam undang-undang

Secara teoritik dan praktek internasional (memiliki dua prinsip dasar)

Berdasarkan kepada fungsiBerdasarkan kepada politik

Berdasarkan kepada fungsi

Memiliki keuntungan antara lain memudahkan koordinasi antar level pemerintahan dan memudahkan standarisasi (uniformitas) di tingkat nasional.

Pada sisi lainya seringkali juga terjadi kesulitan dalam pelaksanaanya atau prakteknya mengenai siapa melaksanakan dengan apa dengan biaya siapa,oleh karena intervensi pemerintah menyebabkan kekaburan kewenangan pemerintah.dan pada akhirnya terjadi ketergantungan Pemda pada Pempus.

Pembagian wewenang mengatur dan mengurus memiliki TIGA matra :

1. WILAYAH2. MANUSIA ( SDM )3. ORGANISASI DAN MATERI

KEWENANGAN

Kewenangan mengatur dalam hal ini dapat dibedakan antara ;

Kewenangan mengatur yang hanya dimiliki oleh pusat

Kewenangan mengatur yang hanya dimiliki oleh daerah

Kewenangan yang bersifat Konkruen( PemDa mengatur sejauh PemPus belum mengaturnya )

Kewenangan mengatur yang bersifat paralelKewenangan mengatur yang bersifat

kerangka

Kewenangan yang Tidak Dapat Didesentralisasikan

Wewenang pemerintah dalam urusan luar negeri

Pertahanan dan keamananKeuangan ( Fiskal dan Moneter )YustisiDan Agama

Dalam prakateknya di daereh,implementasinya

di daerah pembagian kewenangan

memunculkan sejumlah masalah. Peneyebab yg

paling menonjol adalah tidak jelasnya atau

masih dimungkinkanya interpretasi ganda oleh

propinsi dan kabupaten terhadap ketentuan

kewenangan (PP no 25 tahun 2000).

masalah utama terkait dalam pelaksanaan kewenangan adalah kemampuan daerah kabupaten yang masih terbatas untuk membiayai kewenangan.

Akibatnya…

Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah kabupaten dan kota pada satu sisi, dan lemahnya pengawasan dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, telah menyebabkan penurunan komitmen kab/kota untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi dan juga pusat. Hal ini timbul karena adanya anggopan bahwa dengan otonomi,kab/kota sangat berkuasa untuk mengelola wilayahnya tanpa harus berkoordinasi dan membangun sistem informasi dan pelaporan dengan PemProv dan PemPus.

Salah satu perubahan besar konstruksi hubugan antara Pusat dan Pemerintah Daerah menurut UU no 22 tahun 1999 dan juga UU no 32 tahun 2004 dibandingkan dengan sebelumnya adalah dianutnya prinsip kewenangan sisa ( residu of power ) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Pada dasarnya semua kewenangan sudah ada pada kabupaten atau kota,sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif oleh pusat.

FUSED MODELDUAL MODELSPLIT MODEL

Dekonsentrasi selalu bertalian aparatur dan kewilayahannya dengan desentralisasi.

Dalam hal ini terdapat tiga pola :

DIJELASKAN

Dalam hal penempatan wakil pemeritahan apakah menjabat sebagai kepala daerah sekaligus atau tidak , terdapat model :

1) Integrated prefectoral, dimana wakil pemerintah sekaligus menjabat kepala daerah dengan wilayahnya yang berhimpit pula.

2) Un-integrated prefectoral, dimana tidak terjadi rangkap jabatan dan rangkap perwilayahan.

Jika di bangun satu spektrum penempatan gubernur sebagai wakil pemerintah, maka terdapat paling tidak dua model kutup yang bisa

dibangun:

a) Jika gubernur diberi porsi yang besar sebagai wakil pemerintah daerah

b) Jika sama sekali dicerabut kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah, sehingga ottoritis bukan lagi split model yang dianut melainkan dual model clan bukan prefektur terintegrasi, melainkan tak terintegrasi murni.

Posisi gubernur dalam konteks UU tahun 1999 didasari pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa daerah-daerah sebagaimana disebut pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hirarki satubsama lain.

Dasar pelaksanaan pengawasan diatur dalam pasal 7 peraturan pemerintah tersebut, yaitu :

a) Pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah, dan

b) Pemerintah dapat melimpahkan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten dan kota kepada gubernur selaku wakil pemerintahan di daerah sesuai dengan perundang- undangan yang berlaku.

•GUBERNUR MEMPUNYAI KEWENANGAN UNTUK MELAKUKAN PENGAWASAN TERHADAP PENEYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SEPANJANG TELAH DILIMPAHKAN OLEH PEMERINTAH(PUSAT) .•DALAM PASAL 3 HURUF K DINYATAKAN BAHWA KEWENANGAN PEMERINTAH YANG DILIMPAHKAN KEPADA GUBERNUR ADALAH PENGAWASAN REPRESIF TERHADAP PERATURAN DAERAH, KEPUTUSAN KEPALA DAERAH DAN KEPUTUSAN DPRD SERTA KEPUTUSAN PIMPINAN DPRD KABUPATEN/KOTA.

Hubungan vertikal

Manakala dalam pelaksanaan otonominya, daerah tidak mampu memberikan pelayanan- pelayanan publik sesuai dengan standar yang ditentukan pemerintah, maka gubernur atas nama pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dalam bentuk fasilitasi dan kegiatan- kegiatan pemberdayaan lainnya sehingga daerah ybs mampu kembali melaksanakan kewenangannya memberikan pelayanan public sesuai standard yang ditentukan pemerintah.

Hubungan antara pemerintah dengan provinsi menurut prefektoral terintegrasi parsial

Secara umum, penempatan sebagai wakil pemerintah hanya di tangan gubernur dan tidak menurun di tangan para bupati/ walikota, menajdikan kepentingan pemerintah pusat yang tersalur di daerah harus melalui gubernur apalagi instansi vertikal di luar lima bidang dilebur menjadi dinas provinsi.

Dalam UU no. 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU no.22 tahun 1999 hal tersebut di atur pada

berbagai pasal, yakni pasal 37 dan pasal 38 sebagai berikut:

Pasal 371) Gubernur yang karena jabatannya

berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan

2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur bertanggung jawab kepada presiden.

Pasal 381) Gubernur dalam kedudukannya

sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 memiliki tugas dan wewenang :

a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

b. Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota

c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota

2) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN.

3) Kedudukan keuangan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah

4) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur

Hubungan antara presiden dan gubernur

Dalam sistem ini hubungan antara presiden dan gubernur adalah cerminan kesatuan

Gubernur adalah wakil pemerintah di daerah .Presiden akan berhubungan dengan gubernur

dalam rangka pembinaan kewilayahan dan pengawasan.

Gubernur menjadi mata presiden untuk melakukan pengawasan terhadap konsistensi kebijakan pusat di daerah baik sektoral maupun secara umum.

Hubungan antara menteri(departemen/LPND) dengan gubernur

UU no.22 tahun 1999 menganut asas bahwa para menteri sektoral yang akan melakukan aktivitas pelayanan dan pembangunan ke daerah harus melalui gubernur.

UU no.5 tahun 1974 , para menteri dapat langsung melakukan kegiatannya melalui instansi vertikalnya di daerah dan hanya pemberitahuan saja dari menteri kepada guberbnur.

UU no.32 tahun 2004 menganut dimungkinkannya adanya instansi vertikal di daerah , atau adanya kemungkinan hidupnya kembali instansi vertikal , dengan catatan gubernur dapat melakukan koordinasi terhadap pekerjaan mereka sebagai wakil pemerintah.

Hubungan antara menteri (departemen/LPND) dengan perangkat daerah provinsi

Dalam bentuk aslinya, para menteri tidak memiliki hubungan apapun kepada dinas daerah(provinsi) tersebut, melainkan melalui wakil pemerintah.

Namun pada saat UU no.5 tahun 1974 telah dimodifikasi bahwa para menteri melalui instansi vertikalnya di daerah melakukan hubungan fungsional berupa pembinaan kepada dinas- dinas daerah.

(b) Hubungan antara Pemerintah dengan Kabupaten/Kota(C) (1) Hubungan antara Presiden dan Bupati/Walikota

Presiden karena hak preogatifnya, dapat saja menciptakan hubungan resmi yang langsung dengan para bupati/walikota sebagai kepala daerah. Namun, hubungan seperti ini bersifat temporer karena amanat UU No.22 tahun 1999 yang tidak menempatkan bupati/wali kota sebagai wakil pemerintah.

Hubungan antara presiden dan para bupati/walikota,disamping karena hak preogratif presiden,dapat diciptakan melalui mekanisme tugas pembantuan. Tugas pembantuan tersebut diatur dalam UU No.32 tahun 2004 pada pasal 10 ayat 5 huruf c. Didalam tugas pembantuan daerah harus mengatur dirinya sendiri melalui sebuah produk perda yang menyatakan akan menerima tugas tersebut.Tugas pembantuan menyangkut,antara lain :

1. Kesiapan daerah menerima tugas tersebut2. Adanya program dari pemerintah pusat baik dari presiden maupun dari

departemen.Disini peran Gubernur menjadi saluran komunikasi pengembangan

tugas pembantuan sangat besar. Menurut UU no.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, akan diwarnai komunikasi dengan menguatnya peran dan posisi Gubernur baik sebagai kepala daerah maupun wakil pemerintah.

(b)(2) Hubungan antara menteri(Departemen/LPND)dengan Bupati atau walikota

Menurut UU No.32 Tahun 2004, hubungan antara menteri(Departemen/LPND) dengan para bupati/walikota dibenarkan, jika dalam rangka tugas pembantuan.

Tugas pembantuan dari para menteri akan diteruskan dengan serangkaian tahapan yang nampak belum baku. Daerah harus mengeluarkan peraturan daerah yang akan menyatakan menerima tugas pembantuan. Adanya tugas pembantuan kepada kabupaten/kota membawa kontak antara para menteri dengan para bupati/walikota.

(3) Hubungan antara menteri (Departemen/LPND)Dengan perangkagt daerah Kabupaten/Kota

Menurut UU No.22 tahun 1999 bupati/walikota bukan lagi sebagai wakil pemerintah. Oleh karena itu hubungan fungsional instansi milik daerah dibawah bupati/walikota dengan departemen/menteri hanya bisa dicapai dengan tugas pembantuan.

Diluar tugas pembantuan harus dilakukan melalui gubernur sebagai wakil pemerintah. Tugas pembantuan pun dilakukan melalui bupati/walikota sebagai pimpinan daerah. Jadi hubungan langsung antara perangkat daerah dengan para menteriu di pusat tidak dimungkinkan.

(c) Hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten kota(1) Hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota

Secara rasional penempatan gubernur sebagai wakil pemerintah adalah superior terhadap bupati/walikota,atau sebaliknya bupati/walikota sebagai subordinate.

Dalam hal ini kepentingan yang dibawa adalah kepentingan pemerintah pusat, bukan gubernur sebagai kepala daerah provinsi.Gubernur sebagai kepala daerah berhubungan secara koordinatif dengan para bupati/walikota. Hasilnya adalah ketidak efektifan kepemerintahan gubernur dalam berhubungan dalam berhubungan dengan bupati/walikota.

(2) Hubungan antara perangkat daerah provinsiDengan bupati/walikota

Hubungan antara perangkat daerah provinsi dan bupati/walikota dapat terjadi dalam prefektur terintegrasi jika bupati/walikota pun sebagai wakil pemerintah.

(3) Perangkat daerah provinsi dengan perangkat daerah dengan perangkat daerah kabupaten/kota dinas

Provinsi sebagai wilayah kerja gubernur, memiliki tugas pembinaan sektoral kepada dinas di kabupaten/kota sesuai bentuk asli prefektur teriintegrasi. Dalam prefektoral murni, harus dilakukan melalui bupati/walikota. Problemnya baik bupati/walikota bukan lagi sebagai wakil pemerintah. Oleh karena itu bisa saja hanya pemberitahuan kepada bupati/walikota.

(ii) Hubungan Horizontal

Dalam UU No.32 tahun 2004, hubungan horizontal diatur dalam pasal 195,196,197 dan 198 BAB IX tentang KERJASAMA dan PENYELESAIAN PERSELISIHAN sebagai berikut :

PASAL 1951. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat

mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik,sinergi dan saling menguntungkan.

2. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.

3. Dalam penyediaan pelayanan publi,daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.

4. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat(3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.

PASAL 1961. Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola

bersama oleh daerah terkait.2. Untuk menciptakan efisiensi,daerah wajib mengelola pelayanan publik secara

bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat.3. Untuk pengelolaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan

ayat(2),daerah membentuk badan kerja sama.4. Apabila daerah tidak melaksanakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat(1)

dan ayat(2),pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah.

PASAL 197Tata cara pelaksanaan ketentuansebagaimana dimaksud dalam pasal 195 dan pasal 196 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

PASAL 1985. Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan funsi pemerintahan antar

kabupaten/kota dalam satu provinsi,gubernur menyelesaikan perselisihan dimakasud.2. Apabila terjadi perselisihan, antar provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya,serta

antara provinsi dan kabupaten/kota diluar wilayahnya,menteri dalam negeri menyelesaikan permasalahan dimaksud.

3. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat(2) bersifat final.

Dapat dilihat pada UU No.32 Tahun 2004 ini,bahwa peran pemerintah pusat sangat menentukan jika terjadi perselisihan dengan gtidak lagi mengaitkan peran Mahkamah Agung dalam perselisihan tersebut.

ASPEK WILAYAH DALAM TATA HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH PUSAT

DAN DAERAH DAN ANTAR DAERAHPandangan terhadap Negara kesatuan adalah suatu hal yang pokok dan utama yang

pokok dan utama yang tidak diwacanakan lagi. Wilayah Negara dapat dibagi-bagi sebagai

wadah desentralisasi. Namun harus diperhatikan adanya dua makna. Pertama, wilayah Negara yang dibagi-bagi untuk kepentingan dekonsentrasi. Kedua, wilayah Negara yang dibagi-bagi untuk kepentingan desentralisasi bukan hanya pelimpahan wewenang semata melainkan meliputi pembentukan daerah otonom(Hoessein,2002)

Di satu sisi,dalam rangka dekonsentrasi,wilayah negara yang dibagi-bagi tersebutmemiliki dua bentuk:

1. Wilayah pemerintahan khusus (sepecial government area)2. Wilayah pemerintahan pelayanan tingkat lapangan(field services

area government)Di sisi lain dalam rangka desentralisasi, wilayah negara yang dibagi-bagi tersebut memiliki tiga bentuk : 1. Wilayah Pemerintahan Umum(general governmental areas)

2. Wilayah Pemerintahan Khusus3. Wilayah Pemerintahan Pelayanan Tingkat Lapangan.

S E K I A N