83
BAB III PANCASILA Pada bagian ini pembaca diajak untuk kembali mengingat ikatan dasar dari bangsa Indonesia. Awalnya adalah kelompok, yang memiliki ciri-ciri dasar khusus. Beberapa di antaranya adalah mempersepsi dan dipersepsi sebagai satu kesatuan, memiliki tujuan yang sama dan anggota merasa dirinya sebagai bagian kelompok (Halida, 2009: 168). Dengan demikian, bergabungnya individu dalam satu kelompok kecil atau besar karena yang dianggap adanya kesamaan-kesamaan tertentu akan dapat meningkatkan rasa percaya diri dan tujuan yang dapat diraih bersama. Bagi banyak negara yang baru saja merdeka dan berdaulat, mereka menghadapi masalah bagaimana membangun rasa kebangsaan. Para pendiri bangsa yang sejak awal menyadari hal ini, karena pada awalnya yang disebut sebagai bangsa Indonesia , belum ada. Yang ada adalah kelompok-kelompok besar berdasarkan etnis dan kelompok berbasis keagamaan. Untuk itu, dari berbagai cara untuk Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu memahami secara kritis nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai nilai dasar berperilaku, dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada situasi dunia yang dinamis.

Bahan presentasi

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IIIPANCASILA

Pada bagian ini pembaca diajak untuk kembali mengingat ikatan dasar dari bangsa

Indonesia. Awalnya adalah kelompok, yang memiliki ciri-ciri dasar khusus. Beberapa di

antaranya adalah mempersepsi dan dipersepsi sebagai satu kesatuan, memiliki tujuan yang

sama dan anggota merasa dirinya sebagai bagian kelompok (Halida, 2009: 168). Dengan

demikian, bergabungnya individu dalam satu kelompok kecil atau besar karena yang

dianggap adanya kesamaan-kesamaan tertentu akan dapat meningkatkan rasa percaya diri

dan tujuan yang dapat diraih bersama.

Bagi banyak negara yang baru saja merdeka dan berdaulat, mereka menghadapi

masalah bagaimana membangun rasa kebangsaan. Para pendiri bangsa yang sejak awal

menyadari hal ini, karena pada awalnya yang disebut sebagai bangsa Indonesia , belum

ada. Yang ada adalah kelompok-kelompok besar berdasarkan etnis dan kelompok berbasis

keagamaan. Untuk itu, dari berbagai cara untuk membangun kesatuan dalam kelompok

besar atau bangsa, diajukan pola yang dianggap sama dan dapat diterima oleh semua pihak.

Karena ikatan-ikatan primordial seperti etnis dan agama tidak dapat dikenakan pada

bangsa Indonesia, dibutuhkan ikatan lain yang dianggap umum sekaligus berbeda dengan

bangsa lain. Akhirnya, para pendiri bangsa, khususnya Soekarno, mencetuskan ide bahwa

nilailah yang dapat menimbulkan rasa kesatuan itu. Soekarno menyebutnya sebagai lima

nilai dasar atau yang sekarang dikenal sebagai Pancasila. Upaya ini adalah sebuah bentuk

Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu memahami

secara kritis nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai nilai

dasar berperilaku, dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, pada situasi dunia yang dinamis.

kreasi sosial yang bermanfaat bagi pengembangan dan pembedaan kelompok (Tajfel, 1974:

84).

A. Menuju Nilai Pancasila

Kekhawatiran dalam melihat Pancasila adalah ketika mengingat bahwa Pancasila

sempat diajarkan dengan cara-cara yang justru membuat masyarakat tidak nyaman. Dalam

kurun waktu tertentu, Pancasila pernah dijadikan mitos (Somantri, 2006: 18), bahkan

untuk menyampaikan Pancasila digunakan cara-cara yang bernuansa indoktrinasi (Azra,

2010: 10). Melalui program yang disebut sebagai penataran Pendidikan, Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (P4) oleh pemerintah Orde Baru, nyaris tak ada institusi yang tidak

tersentuh oleh Pancasila. Walau terlihat sukses, justru Pancasila dianggap tidak lagi

menjadi bagian bangsa Indonesia. Sebaliknya, Pancasila justru menjadi produk milik

penguasa yang berorientasi pada pemaksaan kehendak daripada pengembangan dari nilai

berkehidupan dan bermasyarakat bangsa Indonesia (Wirutomo, 2012: 298). Padahal,

Pancasila sejatinya adalah nilai (Kusuma, 2010: 23). Dengan demikian, sudut pandang dari

tulisan ini adalah melihat nilai sebagai landasan berperilaku. Perilaku ini diaplikasikan

sebagai bangsa, warga Negara, dan pada akhirnya menjadi warga dunia.

Hal mendasar dari nilai adalah suatu konsep yang dianggap baik atau buruk dan

tepat atau tidak tepat yang disepakati oleh masyarakat. Adanya kata “masyarakat”

menandakan bahwa nilai yang diutamakan saling berbeda ada kemungkinan pada tiap

kelompok masyarakat . Dalam konteks bangsa, masing-masing bangsa mempunyai nilai-

nilai yang dianggap paling utama sebagai pandangan hidup bangsa (Rinjin, 2010: 59).

Sebagai contoh, nilai yang utama (core value) bangsa Amerika Serikat (AS) tidak sama

dengan nilai utama India dan nilai utama dari kedua bangsa tadi tidak sama dengan bangsa

Indonesia (Kusuma, 2010: 26-27).

B. Pancasila yang Mewujud dalam Kehidupan Sehari-hari

Nilai dijunjung oleh masyarakat karena memberikan arahan dalam pengambilan

keputusan dan bentuk kegiatannya (Rinjin, 2010: 59). Dengan diketahui nilai yang dianut

dari individu, dapat diperkirakan tingkah lakunya, dalam berbagai situasi (Rokeach, 1973:

122). Berdasar hal itu, nyaris dipastikan adanya keselarasan antara nilai dan tingkah laku

individu/masyarakat. Misalnya, ditemukan nilai kesetaraan (equality) lebih tinggi dan

berbeda secara cukup berarti pada kelompok mahasiswa yang menjadi anggota dari

asosiasi nasional untuk kemajuan orang dari kelompok berwarna dibandingkan dengan

yang bukan anggota (Rokeach, 1973: 123). Nilai yang spesifik, seperti nilai menolong, juga

berhubungan positif dengan sikap untuk mendonasikan uang untuk penelitian kanker

(Maio dan Olson, 1995: 280).

Namun, pada kenyataannya terdapat banyak hal yang tidak menunjukkan

keselarasan antara nilai, karakter, dan tingkah laku individu atau masyarakat di

masyarakat itu sendiri. Dapat saja seseorang yang menjunjung nilai kejujuran melakukan

tindakan tidak terpuji seperti mencuri atau korupsi. Atau dapat terjadi, tindakan yang baik

seperti menyeberangkan lansia di jalan raya oleh seseorang belum tentu didasari nilai

hormat pada lansia tadi. Dengan demikian, antara nilai dan tingkah laku belum tentu

sejalan. Oleh karena itu, terlepas dari hubungan nilai dengan tingkah laku, nilai amat

diyakini sebagai bagian dari diri dan penghubung antara individu dan masyarakatnya

(Hitlin, 2003: 119).

Bagi masyarakat Indonesia Pancasila sebagai nilai merupakan fondasi dari

pembentukan karakter. Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari

dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu (Allport, 1937 dalam Takwin, 2011: 117).

Merujuk pada definisi ini, karakter dapat dipengaruhi oleh dua faktor yakni nilai dan

norma. Kedua faktor ini yang secara alami ada di lingkungan sosial dari individu. Secara

khusus dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Indonesia nilai yang menjadi

rujukan adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Harapan bahwa nilai menjadi dasar tingkah laku tidak lepas dari adanya kekuatan

sosial di sekitar individu. Penguatan nilai yang dipegang individu mewujud pada tingkah-

tingkah laku yang disepakati bersama oleh lingkungan sosial. Yang perlu ditambahkan

adalah kemungkinan terjadi sebuah nilai yang dianggap penting dalam satu kelompok,

tidak diterapkan terhadap kelompok lainnya. Sejarah mencatat bahwa sekitar 1200 SM,

suku Doria di kawasan Mediterania amat memedulikan sesama mereka. Namun, perlakuan

mereka terhadap kelompok lain justru sebaliknya, mereka berlaku kejam dengan

melakukan ekspansi terhadap kelompok lain (Gonick, 2006: 226).

C. Mengapa Nilai Pancasila sebagai Fondasi Bertingkah Laku?

Keinginan para pendiri bangsa saat mengemukakan ide Indonesia tentu harus

didasari oleh pemahaman tentang keberagaman yang ada. Keberagaman ini harus dihargai

dan dihormati dalam bentuk toleransi yang cukup tinggi. Hal lainnya yang

dipertimbangkan adalah pilihan terbaik untuk membangun negara-bangsa yang khas

seperti Indonesia yaitu penemuan kesamaaan nilai dari beragam nilai yang dianut oleh

kelompok-kelompok yang ada. Ketika tercetus menjelang kemerdekaan, nilai-nilai umum

itu mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Untuk selanjutnya, nila-nilai itu disebut sebagai Pancasila yang justru menekankan

toleransi (Somatri, 2006: 23; Ramage, 1995: 1).

Nilai Pancasila juga berhubungan positif sehingga kecenderungan masing-masing

nilai saling menguatkan pemahamannya.. Adapun nilai Pancasila yang selama ini dikenal

adalah yang tertulis dalam butir-butir Pancasila. Menurut Somatri, nilai di dalam Pancasila

tidak terpisahkan satu sama lain. Di sisi lain, dengan sudut pandang psikologi diketahui

bahwa secara empirik nilai dalam Pancasila adalah lima nilai dasar yang di dalamnya

terdapat sub-subnilai yang berdiri sendiri (Suwartono & Meinarno, 2010; Suwartono &

Meinarno, 2011; Markum, Meinarno & Juneman, 2011). Namun, secara empirik dipastikan

bahwa masing-masing nilai berhubungan satu sama lain. Temuan ini menjadi awal

pembuktian bahwa hubungan antarnilai bukan semata wacana yang sifatnya mengawang-

awang, sehingga menjadi yakin bahwa nilai-nilai ini penting bagi bangsa Indonesia.

Nilai Definisi RincianSila atau nilai pertama, ketuhanan

percaya pada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya sesuai dengan keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain

faithfulness, toleransi pada kelompok yang berbeda keyakinan, spirituality and religiousness

Sila kedua, kemanusiaan

mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati

respek, fair, courage

Sila ketiga, persatuan

mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa.

loyalitas, kewarganegaraan (memiliki pendirian yang kuat terhadap

kewajibannya, setia kawan)

Sila keempat, demokrasi

pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk kepentingan bersama dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan dan melaksanakan keputusan yang diambil.

tanggung jawab, harmoni

Sila kelima, keadilan sosial

menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas luhur manusia) dan pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial.

persahabatan, keadilan dan kerendahatian, menolong

Tabel 1. Nilai Pancasila (Markum, Meinarno & Juneman, 2011)

Menjadi Indonesia adalah sesuatu yang khas. Hal ini tidak terlepas dari sejarah

Indonesia yang bukan sebagai perpanjangandari sejarah sebuah kelompok etnis atau satu

golongan agama tertentu. Keadaan ini seperti yang diajukan oleh Pilsudzki bahwa

negaralah yang membentuk bangsa dan bukan sebaliknya sebagaimana umumnya

(Simbolon, 2001 dalam Wirutomo, 2012: 7). Untuk itu, para pendiri bangsa (founding

fathers) bersepakat untuk secara perlahan membangun sebuah bangsa. Salah satu langkah

persiapan itu adalah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ada tiga isu yang mengemuka

dalam Sumpah Pemuda, yakni bangsa, tanah air, dan bahasa persatuan. Dari ketiga isu ini,

yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kreativitas sosial dalam membangun identitas

baru bangsa Indonesia adalah adanya bahasa Indonesia. Keberadaan bahasa bagi sebuah

bangsa menjadi penting karena hubungan antarkelompok di dalamnya dimulai dengan

bahasa yang dapat dipahami bersama. Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin menempatkan

bahasa sebagai unsur dasar penting dari terbangunnya identitas nasional (Oomen, 2009:

199; Reicher & Hopkins, 2001: 8; Simpson, 2007: 333).

Nilai Pancasila sering dikaitkan dengan identitas nasional. Hal ini dapat dimengerti

karena Pancasila adalah produk dari masyarakat baru yang mengupayakan adanya pola

kesamaan di dalamnya. Penelitian menunjukkan adanya pola hubungan yang positif antara

identitas nasional dan nilai Pancasila (Meinarno dan Suwartono, 2011). Penelitian yang

dilakukan terhadap 165 remaja menujukkan bahwa adanya hubungan positif antara nilai

Pancasila dan identitas nasional. Hasil analisis statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa

nilai Pancasila berkontribusi terhadap terbentuknya identitas nasional Indonesia dari para

partisipan remaja tadi. Hasil penelitian ini dapat menjadi awal pemahaman bahwa nilai

Pancasila penting bagi bangsa Indonesia. Langkah selanjutnya adalah bagaimana

mewujudkan nilai-nilai tadi di masyarakat agar tidak sekedar menjadi wacana sehari-hari.

D. Fondasi Berperilaku sebagai Bangsa

Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada

keyakinan pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu

urusan (utamnya) agama masing-masing. Ironisnya data menunjukkan perusakan rumah

ibadah semakin meningkat (Dhakidae, 2003 dalam Kusumadewi, 2012: 155). Pada hal

sejarah mencatat kenyataan yang berbeda. Masyarakat Indonesia membuktikan bahwa

menerima perbedaan dalam satu wadah sudah ada sejak zaman Majapahit. Dalam

menjalankan kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan para pejabat urusan

agama agar mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar secara berdampingan,

yaitu agama Hindu dan agama Buda (Poseponegoro & Notosusanto, 1993: 232). Catatan ini

penting untuk menjadi contoh bahwa berabad-abad lalu di Indonesia telah dikenal

pemahaman toleransi di bidang keagamaan. Berdirinya menara masjid Kudus dan

makanan sate kerbau (umat Hindu mengharamkan makan sapi, sebaliknya Muslim

mengadakan kurban dengan hewan ternak semisal sapi) adalah bagian dari sejarah yang

menunjukkan keberbedaan dapat hidup dalam kesatuan.

Nilai kedua Pancasila pada prinsipnya mengakui persamaan hak dan kewajiban,

sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling

menghormati. Oleh karenanya, harapan utamanya akan tercermin dalam perilaku sebagi

individu dan masyarakat sebagai bangsa. Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai

bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa lain yang menyatakan diri merdeka dan

berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika ada sebuah kedaulatan yang

berbasis penjajahan atas bangsa lain, Indonesia belum dapat menerima hal itu. Di sisi lain,

dalam kehidupan sehari-hari nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk

menyatakan suatu hal yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Dalam kehidupan

sehari-hari, kita melihat bahwa perokok tidak mengidahkan hak dasar dari orang-orang di

sekitarnya. Saat ia menghembuskan asap rokok, maka orang lain yang tidak merokok

“dipaksa merokok bersama”. Menjadi aneh, ketika para perokok mendengung-dengungkan

hak untuk merokok sebagai hal utama, hak menghirup udara bersih bagi non-perokok dan

bahkan untuk perokok itu sendiri.

Dari lima nilai Pancasila, nilai ketiga berupaya untuk mengutamakan kepentingan

bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan pengembangan rasa

persatuan bagi bangsa. Berbagai bentuk tingkah laku dapat dilakukan untuk membuat

konkret nilai ini hadir di masyarakat. Salah satu pengejawantahan nilai patriotisme juga

dapat dilihat dalam produksi film tentang kebangsaan. Amerika Serikat dengan industri

film Hollywood menjadi buktinya. Mereka memberi slot atau bagian khusus untuk film

bertema perjuangan dengan latar Amerika Serikat, misalnya The Patriot dan Indepence Day.

Uniknya, mereka merilis film-film tersebut pada bulan Juli atau menjelang Juli. Industri

pertelevisian dan film Indonesia juga mulai melakukan hal yang sama. Acara-acara yang

menggugah patriotisme disuguhkan dan bahkan film-film layar lebar dengan tema yang

sama mulai berani merilis dengan film-film bertema umum lainnya, seperti gambar

berikut.

Gambar 3.1. Contoh poster film yang dibuat untuk menunjukkan jati diri bangsa.

Pada nilai keempat Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya

demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh

sebelum merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di

masyarakat. Misalnya, ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau

nusantara. Tan Malaka pernah mengklaim bahwa demokrasi yang merupakan wujud

kedaulatan rakyat sudah dikenal sekitar abad XIV, setidaknya di Minangkabau. Di sana,

seorang raja tidak bisa semena-mena pada rakyatnya karena secara prinsip raja dibatasi

oleh sistem yang mengutamakan logika dan keadilan. Jika tidak dipenuhi, perintah raja

akan ditolak (Malaka dalam Latif, 2011: 387).

Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa

Indonesia telah diupayakan sebelumnya. Dalam keseharian kita sering mendengar istilah

gotong-royong, sebuah aktivitas bantuan kepada pihak lain yang meminta secara santun

untuk menyelesaikan satu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat, 1977: 6;

Marzali, 2005: 159). Pada masyarakat desa yang agraris, membangun saluran air untuk

sawah pribadinya jelas bukan sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait pula dengan

warga lain. Maka, hak untuk mendapatkan air seiring dengan kewajiban menjaga sumber

dan saluran air untuk pertaniannya. Contoh lain menunjukkan bahwa nilai kelima

diwujudkan untuk membangun karakter. Isu plagiarisme memperlihatkan kurang mawas

diri dalam mengamati hak dari kewajiban menjalankan tanggung jawab sebagai peneliti.

Gambar 3.2. Wilayah

Indonesia

E. Berlaku sebagai Warga Negara

UUD 1945 yang didasari Pancasila juga telah mewujudkan hak dan kewajiban. Hak-

hak dan kewajiban ini yang membuat hubungan individu dan negara mencapai

keselarasan. Rida (1988: 124-125) menyatakan bahwa nilai (Pancasila) yang diamalkan

tentu memenuhi tanggung jawab individu sebagai warga negara.

Nilai pertama dari Pancasila yang menekankan pada perintah-Nya sesuai dengan

keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain bagi masyarakat Indonesia

tampaknya menjadi hal alami. Walaupun Islam menjadi agama yang mayoritas bagi

penduduk, masih terdapat kelompok agama lain yang penganutnya adalah sesama warga

Indonesia. Keyakinan masing-masing umat sangat dihargai, bahkan dalam UUD 1945

diberikan porsi khusus yakni dalam bab XI pasal 29. Sebagai warga negara, nilai ini

mendasari tingkah laku umat agama tertentu pada umat agama lainnya. Konsekuensinya

adalah dalam kehidupan sehari-hari; kehidupan ibadah masing-masing agama bukan

urusan yang dapat dicampuri oleh umat lain. Di sisi lain pemerintah juga menjaga

kehidupan bertoleransi ini dengan membuat peraturan-peraturan yang mengakomodasi

nilai ini daripada peraturan yang bersifat memaksa atau memiliki kecenderungan-

kecenderungan mengabaikan hak dasar suatu kelompok agama. Kejadian-kejadian seperti

penolakan peribadatan dari satu kelompok agama jelas tidak sesuai dengan nilai pertama

dari Pancasila.

Pola menegakkan nilai kedua dari Pancasila bagi warga Indonesia dapat terlihat

sejak awal kemerdekaan. Upaya mendasar dilakukan, misalnya, dengan tidak membeda-

bedakan perlakuan atas ras atau warna kulit. Agak berbeda dengan Amerika Serikat (AS)

yang sejak merdeka hingga tahun 1960-an, pemerintahnya melakukan kebijakan

segregrasi khususnya dalam hal warna kulit berlaku di segala aspek kehidupan (Meinarno,

Widianto, Halida, 2011: 78). Mereka melakukan kebijakan segregrasi mulai dari kebijakan

publik yang berdampak pada layanan publik. Sebagai perbandingan, Indonesia tidak

membedakan hak suara dalam pemilu, pada kelompok perempuan atau kelompok etnis

tertentu sejak merdeka hingga sekarang.

Namun, harus didiakui pula bahwa masih terdapat kesenjangan dalam mewujudkan

nilai kedua ini. Ini dapat dilihat, di antaranya, pada kebijakan pemerintah atas pendidikan

masih belum diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Masih

terjadi ketimpangan akses pendidikan bagi warga secara khusus pada kelompok

masyarakat tertentu. Seda, Febriana, Agustin, dan Shakuntala menemukan bahwa

partisipasi perempuan dalam pendidikan masih di bawah lelaki sejak 1971 hingga 2004.

Salah satu penyebab keadaan ini adalah kecenderungan masyarakat mengutamakan anak

lelaki untuk bersekolah daripada anak perempuan. Tidak hanya akses sekolah, untuk angka

buta huruf juga masih lebih tinggi perempuan dua kali lipat daripada lelaki. Alasan yang

mengemuka masih sama, yakni pembedaan perlakuan berbasis jenis kelamin (Seda

dkk.2012: 187-189). Kejadian ini sangat berlawanan dengan upaya mewujudkan nilai

kedua dari Pancasila. Jika bertahan, pola ini akan mengganggu pada penurunan

kesejahteraan di aspek lainnya, semisal, tingginya angka kematian ibu (AKI) karena

kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi pada kelompok perempuan yang umumnya

diberikan di sekolah.

Sebagai warga negara, upaya untuk mewujudkan nilai ketiga dapat dikatakan cukup

mudah. Menjadi warga negara yang berbahasa Indonesia adalah salah satunya, karena

merupakan amanat dari UUD 19451. Dengan tidak menafikan keberadaan 742 bahasa

daerah (Summer Institute of Linguistic, 2006 dalam Lauder, 2007: 9) di seluruh Indonesia,

penggunaan bahasa Indonesia dilakukan dalam konteks keseharian di dalam lingkungan

akademis. Penulisan ilmiah dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar memupuk

rasa persatuan bagi para penulisnya karena adanya kebakuan yang dipahami setara secara

bersama-sama. Dengan demikian, komunikasi antarilmuwan nasional juga mencapai

keselarasan yang pada akhirnya menunjang rasa kesatuan sebagai ilmuwan dan warga

negara Indonesia.

Keseharian kita sebagai warga negara dan secara khusus menjadi warga di tempat

kita berinteraksi sosial dapat menjadi ajang mengekspresikan nilai keempat. Bagi

masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, pemilihan ketua RT yang demokratis, tanpa

adanya pemaksaan kehendak dari pihak lain dapat menjadi ekspresi nilai keempat. Ketua

RT terpilih melakukan pengambilan keputusan-keputusan yang mengacu pada

kepentingan bersama, seperti keamanan dan kebersihan lingkungan. Tentunya hal ini

dilakukan agar langkah yang diambil dapat dipertangungjawabkan secara individu sebagai

keputusan bersama. Nilai keempat inilah yang mendasari kita sebagai warga dapat

memahami keputusan yang diambil dari pemimpin (yang dipilih bersama) untuk

kemaslahatan bersama. Dengan pemahaman ini, setidaknya dapat mengurangi potensi

1 UUD 1945, Bab XV, pasal 36

konflik yang didasari pada ketidakpuasan dalam berpendapat dan oposisional terhadap

langkah yang diambil pemimpin.

Nilai kelima dari Pancasila hanya dapat dimaknai sebagai nilai sosial semata.

Padahal dalam penjabarannya, dimungkinkan peningkatan kualitas manusia Indonesia

berdasar nilai ini. Peningkatan kreativitas diri yang menjadikan kehidupan masayarakat

menuju yang lebih baik saat ini sangat dibutuhkan. Dalam keseharian kita melihat jumlah

pengangguran berlatar pendidikan tinggi perlahan meningkat dari tahun ke tahun. Maka,

membicarakan nilai kelima dalam konteks mahasiswa dan sarjana menjadi relevan. Bahwa

sesungguhnya sarjana adalah harapan masyarakat dikarenakan proses pendidikan di

perguruan tinggi yang membekali mahasiswa dalam pola pikir yang berbasis ilmu

pengetahuan, maka diharapkan muncul ide-ide kreatif yang dapat membantu masyarakat

memecahkan masalah. Bagi para sarjana, upaya membuat peluang kerja menjadi prioritas

daripada mencari pekerjaan.

F. Berlaku sebagai Warga Global

Sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia juga ikut dalam dinamika dunia.

Keikutsertaan ini bukan selalu atas dasar politik, melainkan masih banyak hal lainnya.

Untuk itu, di masa depan kesiapan warga negara Indonesia untuk lebih dapat berkiprah di

dunia nyaris tanpa batas ini akan semakin dibutuhkan. Catatan terpenting adalah perilaku

dari individu Indonesia tetap didasari nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia.

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mengupayakan kehidupan

beragama yang toleran. Nilai Pancasila bahkan dianggap sebagai religiously friendly

ideology oleh Juergensmeyer (2010 dalam Azra, 2010: 11). Walaupun pernyataan

Juergensmeyer dikaitkan dengan ideologi, Pancasila sebagai nilai juga mendasari corak

kehidupan interaksi umat beragama Indonesia. Mengacu pada nilai Pancasila, khususnya

nilai pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran. Keadaan ini

tidak dapat dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat perlintasan beragam

kebudayaan. Mulder (1999 dalam Kusumadewi, 2012: 135-136) melihat bahwa Indonesia

menjadi model yang khas dari tumbuhnya semangat keagamaan yang bercorak

kebudayaan lokal. Ini dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia berkontribusi dalam

memaknai agama-agama yang hadir di Indonesia. Kontribusi ini penting bagi masyarakat

dunia, sehingga dapat menjadi model dari toleransi antar-umat beragama di dunia.

Upaya menyelaraskan perilaku dengan nilai kedua dalam konteks global sebenarnya

juga ada dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat memulainya untuk tidak melakukan

pembedaan-pembedaan yang didasari prasangka. Pemahaman lanjut dari situasi ini adalah

terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Sebagai contoh, penerapan kewarganegaraan

khususnya pada anak hasil pernikahan WNI dan WNA sampai usia 18 tahun dinyatakan

sebagai WNI. Hal ini membuat anak terlindungi dari masalah tanpa kewarganegaraan atau

kewarganegaraan ganda. Bagi negara lain asal dari salah satu orang tua anak tadi,

perlakuan ini juga bermakna perlindungan manusia untuk mendapatkan hak-hak dasar

kewarganegaraan. Ini adalah kesepakatan universal yang diakui bersama, sehingga negara

itu pada akhirnya memandang Indonesia sebagai negara yang mengakui hak asasi manusia.

Pada akhirnya terbangunlah hubungan saling menghormati antarnegara.

Pengejawantahan nilai ketiga dari Pancasila dalam konteks global adalah dengan

menjadi bagian kegiatan ekonomi dunia yang berorientasi nasional. Sejak memasuki krisis

moneter 1997, pintu impor semakin terbuka yang memungkinkan segala produk masuk ke

dalam negeri. Akibatnya, konsumen disuguhkan banyak pilihan. Kondisi ini secara prinsip

tidak salah, tetapi di sisi lain produk dalam negeri perlahan tersisih. Hanya dengan alasan

harganya tidak kompetitif, konsumen membeli produk impor yang bukan hanya

menyisihkan produk dalam negeri, tetapi juga menghancurkan perusahaan lokal. Untuk itu

nilai ketiga dari Pancasila yang menekankan cinta tanah air perlu diangkat kembali untuk

memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia.

Langkah mengutamakan produk yang dapat dihasilkan dalam negeri sebelum membeli

produk buatan luar negeri juga dilakukan oleh negara-negara maju. Negara-negara maju

menutupi kepentingan dalam negeri melalui mekanisme perdaganagn dunia seperti

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka berupaya menjaga agar produk asing tidak

membanjiri pasar lokalnya sehingga petani/pengusaha/masyarakat tetap sejahtera.

Dengan demikian, nilai ketiga Pancasila masih relevan untuk diangkat menjadi dasar bagi

peningkatan ketahanan nasional.

Pengejawantahan nilai keempat dalam kehidupan global bagi negara dan

masyarakat terlihat dalam kebijakan dan tingkah laku. Dalam konteks pemerintah,

Indonesia mengambil peran yang sesuai dengan nilai tadi. Sebagai anggota ASEAN

sekaligus ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia mengambil posisi tidak mengucilkan

Myanmar. Pada saat yang sama, hampir semua negara Barat tengah mengembargo

Myanmar dan meminta ASEAN ikut menekan. Langkah Indonesia cukup mengejutkan,

dengan tidak mengisolasi Myanmar bahkan intensif membuka jalur diplomatik.

Terbukanya jalur diplomatik justru membuat Myanmar lebih membuka diri yang pada

akhirnya embargo negara-negara Barat mulai berkurang. Indonesia memahami bahwa cara

tersebut tidak populer di mata bangsa-bangsa Barat, tetapi diplomasi ala Indonesia mampu

membuat Myanmar mengambil kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri yang cenderung

terbuka dan dapat diterima masyarakat internasional.

Kontribusi Indonesia untuk masalah pembangunan dunia yang berkeadilan sosial

semestinya dapat dilakukan dengan kemampuan dasar ekonomi kerakyatan Indonesia.

Salah satu bentuknya adalah koperasi. Koperasi sebagai pengejawantahan pembangunan

ekonomi yang memiliki wajah sosial dapat menjadi solusi bagi pola pembangunan negara-

negara dunia ketiga yang jumlahnya lebih banyak daripada negara maju. Hal ini penting

karena muncul gejala kegagalan ekonomi kapitalis sejak 2008 yang dimulai di AS dan

menjalar ke Eropa sampai tulisan ini dibuat (2012). Model ekonomi komunis sudah rubuh

terlebih dahulu, yakni saat bubarnya Uni Soviet tahun 1991. Di sinilah peluang Indonesia

untuk ikut dalam mendesain ulang tatanan mekanisme ekonomi, karena koperasi

bertujuan menyejahterakan anggota bukan menguatkan kapital dari investor atau

pemodal. Setidaknya peraih nobel 2006, Muhammad Yunus dari Bangladesh, berbekal

konsep arisan amat menekankan kesejahteraan anggotanya. Yang kemudian model ini

dianggap baik oleh dunia. Dengan demikian, dibutuhkan sedikit sentuhan dari para sarjana

agar nilai kelima dari Pancasila dapat menjadi bagian dari solusi atas masalah ekonomi

dunia saat ini dan masa depan.

G.Penutup

Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan tingkah

laku yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga tingkat bangsa.

Nilai yang ada dalam Pancasila merupakan nilai dasar untuk aktivitas bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara serta menjadi warga dunia. Dengan demikian, Pancasila menjadi

penentu dari corak kehidupan masyakat Indonesia.

Gambar 3.3. Indonesia adalah warga dunia.

Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila oleh sebagian orang dianggap universal.

Artinya dapat berlaku atau hadir di semua masyarakat di dunia. Jika asumsi ini digunakan,

nilai Pancasila juga dapat diacu oleh warga dunia pula. Setidaknya, sebagai nilai yang

mendasari tingkah laku warga Indonesia, tingkah lakunya juga selaras dengan warga dunia.

Hal yang terpenting dari Pancasila adalah upaya kita mencoba menerapkannya

dalam kehidupan. Ketika nilai tidak menjadi rujukan tingkah laku, perlahan nilai akan

memudar dan hilang. Kondisi ini beranalogi ketika Pancasila tidak menjadi acuan perilaku,

nilai Pancasila akan tergantikan oleh nilai lain atau bahkan hilang. Hilangnya Pancasila

memudarkan pula semangat ikatan nasional sebagai bangsa Indonesia, yang dapat

berujung pada rubuhnya rumah nusantara,yakni Indonesia. Bukankah itu berarti

mengkhianati mimpi para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia?

BAB IV

KEWARGANEGARAAN

Ketika Bung Hatta kuliah di Belanda pada tahun 1920-an, ia merasakan pedihnya

menjadi penduduk di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Dalam pergaulan

internasional ia merasa tersisih karena masalah kebangsaan. Ia merasa bahwa sebagai

penduduk di wilayah jajahan, ia direndahkan. Bertolak dari pengalaman itu, Bung Hatta

menyimpulkan, “Jika satu bangsa mulia, maka individu-individunya juga dihargai, tetapi

jika tidak memiliki kebangsaan, maka seseorang tidak dipandang di dunia internasional”

(Hatta, 1953: 51).

Pengalaman Bung Hatta merupakan pengalaman tentang pentingnya arti

kebangsaan (nationality). Kebangsaan sering kali diidentikkan dengan kewarganegaraan,

dan keduanya tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji tentang negara maupun

pemerintahan.

Kewarganegaraan (dalam bahasa Inggris, citizenship dan Latin, civis) telah lama

menjadi objek pemikiran. Kajian ini telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM) dan

masa Kerajaan Romawi (± 1 M). Kata civis sendiri pertama kali digunakan pada masa

kerajaan Romawi untuk merujuk kepada orang-orang kaya dan para tuan tanah. Merekalah

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami saling pengaruh

antara hak dan kewajiban negara dan warga negara, membuat penilaian

kritis atas pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara, serta mampu

bersikap terbuka dan kritis bagi implementasi hak dan kewajiban warga

negara di masyarakat.

yang memperoleh hak-hak istimewa. Hak-hak sebagai civis tidak diberikan kepada rakyat

biasa maupun rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan (Poole, 1999: 85—86).

Apa yang dialami rakyat biasa di kerajaan Romawi, juga pernah dialami bangsa

Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Kebijakan-kebijakan Belanda tidak hanya melahirkan sistem pembedaan status

(diskriminasi) yang dilandasi perbedaan warna kulit, antara bangsa kulit putih dan

pribumi, tetapi juga melanggengkan stratifikasi sosial yang merupakan warisan sistem

kerajaan, yakni antara golongan priyayi dan rakyat biasa.

Ketidaksetaraan dan penindasan Belanda terhadap rakyat biasa akhirnya menjadi

pemicu gerakan nasionalisme Indonesia, hingga akhirnya berdirilah negara Indonesia pada

tahun 1945. Di dalam proses penyiapan negara yang merdeka dan berdaulat itu, para tokoh

pergerakan mengadakan sidang-sidang di BPUPKI dan PPKI untuk menyusun UUD. Hasil

sidang-sidang itu adalah UUD 1945 yang di dalamnya dinyatakan, antara lain, pengakuan

kesetaraan bagi seluruh rakyat atau warga negara, seperti tercermin dalam hak dan

kewajiban bagi setiap warga negara.

Untuk memahami hak dan kewajiban warga negara, maka pokok-pokok bahasan

dalam bab ini dibagi menjadi empat bagian, yakni yang berikut. 1) Apa yang dimaksud

dengan kewarganegaraan dan siapakah warga negara Indonesia? 2) Prinsip-prinsip dasar

apa yang melandasi hubungan timbal-balik antara negara dan warga negara? 3)

Bagaimana implementasi hak dan kewajiban warga negara? 4) Evaluasi kritis terhadap

pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara.

1. Apa yang Dimaksud dengan Kewarganegaraan?

Secara umum kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang

menyangkut warga negara. Namun demikian, pemahaman yang sederhana ini memiliki

sejarah panjang dan kompleks. Sebagai objek pemikiran, kewarganegaraan telah muncul

sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM). Pada masa itu, warga negara diidentikkan dengan

orang bebas. Sebaliknya, para budak dan—dalam konteks saat itu—kaum perempuan serta

anak-anak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga mereka tidak dapat disebut

sebagai warga negara.

Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga negara memiliki status

istimewa, antara lain dapat berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang dan dalam

pelaksanaan administrasi negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya, serta dapat

masuk dinas militer—yang penting artinya bagi pertahanan negara. Aktivitas-aktivitas

tersebut menunjukkan bahwa pusat kehidupan warga negara mencakup setiap aspek

kehidupan, mulai dari politik, agama, budaya, hingga pertahanan negara. Warga negara

dalam pengertian masa Yunani Kuno juga dapat dikatakan lebih menekankan kemampuan

seseorang untuk mengemban tanggung jawab negara (Poole, 1999: 25).

Pada masa kerajaan Romawi (± 1 M), kewarganegaraan pada awalnya dimaknai

sebagai pemilikan atas status istimewa bagi para tuan tanah dan orang-orang kaya.

Selanjutnya, seiring dengan meluasnya imperium Romawi, timbullah tuntutan-tuntutan

rakyat di wilayah-wilayah taklukan. Rakyat yang memiliki latar belakang budaya yang

berbeda menuntut diperlakukan secara terhormat seperti warga kerajaan Roma. Selain itu

mereka juga menuntut perlindungan dari kerajaan. Jadi kewarganegaraan tidak lagi

diartikan sebagai rasa tanggung jawab terhadap negara, melainkan lebih merupakan

tuntutan legal agar rakyat di wilayah taklukan diperlakukan setara dengan rakyat/warga

kerajaan.

Perubahan penting mengenai pengertian kewarganegaraan terjadi di abad XVIII dan

XIX. Pada abad XVIII, khususnya di Eropa Barat, terjadi perubahan luar biasa dalam hal

bentuk negara, ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan dengan

bentuk negara-bangsa modern. Bila dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi abdi raja,

maka dalam negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan radikal itu

dimungkinkan oleh terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi,

republik, dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di negara-bangsa modern (Habermas, 1996:

185—289.)

Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan

solidaritas rakyat yang berlandaskan faktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan

keturunan. Rakyat yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat

oleh kesadaran nasionalnya karena negara pun mulai melembagakan 1) nilai HAM yang

menghargai kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara, 2)

prinsip negara republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip

demokrasi yang mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Ketiga

prinsip tersebut memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal yang

kemudian terwujud dalam hak-hak sipil.

Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap

pendefinisian bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan

oleh faktor budaya, bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah, kini mendapat pengakuan baru

sebagai kesatuan warga negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal

itu, hubungan negara dan warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal-balik,

yang membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar

kesejahteraan dan kebahagiaan. Status legal, dalam wujud hak-hak sipil, merupakan

seperangkat hak bagi individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan

ini bagi warga negara merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara

(Habermas, 1996: 285—289).

Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran bahwa mereka wajib

berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara-bangsa. Mereka

sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan dan otonomi

politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan dan

status legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang kewarganegaraan.

Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara pun yang tidak

mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak warga negara untuk

membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang bukan.

2. Siapakah Warga Negara Indonesia?

Berikut ini dipaparkan sejarah singkat status penduduk Indonesia pada masa

pemerintahan kolonial Belanda dan masa pascakemerdekaan.

a. Status Rakyat Indonesia pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Kasus: Status

Rakyat di Jawa)

Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia, khususnya Pulau Jawa, situasi

masyarakat saat itu sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki adalah raja dan

keluarga. Anak tangga di bawahnya diduduki oleh para pejabat tinggi yang mengabdi raja,

anak tangga di bawahnya lagi diduduki kaum ulama, militer, dan elit politik lain yang

memiliki kekuasaan legal. Dalam masyarakat yang hierarkis demikian, raja berhak

menuntut kebaktian dari rakyat. Rakyat biasa adalah abdi raja yang tidak memiliki

kebebasan individu, apalagi otonomi politik. Jadi, konsep kewarganegaraan belum dikenal.

Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa, dan kekuasaan

raja-raja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur Belanda memisahkan staf

administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya menjadi dinas

sipil. Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak langsung, yaitu

memerintah rakyat dengan perantaraan elit birokrat Jawa yang dikenal sebagai golongan

priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut berubah dengan

munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu keanggotaan dalam

masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang ditentukan oleh ras.

Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, hanya orang

Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara penduduk pribumi hanya

mendapat jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun terdapat pemisahan fisik. Orang-

orang Jawa dilarang memasuki perkumpulan, lapangan olah raga, sekolah, dan

permukiman orang Belanda (Kartodirdjo, 1999: 206, 209, 211).

Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial, melainkan juga

melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus

kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih

mendapat tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional

ini diperkuat lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elit administrasi atau

birokrasi yang dahulu adalah abdi raja. Kaum elit yang diangkat di tiap kabupaten

kemudian melahirkan kelas tersendiri di masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Elit

priyayi tersusun sebagai berikut: para bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh

patih, wedana, mantri, dan juru tulis. Jenjang-jenjang jabatan tersebut kemudian

digolongkan atas “priyayi gedhe” dan “priyayi cilik.” Barulah lapisan di bawah priyayi cilik

diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut “wong cilik” (Kartodirdjo, 1999: 83).

Wong cilik merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik dalam

pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori sekolah,

yaitu: sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi pribumi dengan

bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan pengantar bahasa

daerah, dan sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang demikian ketat

menyebabkan terbatasnya kesempatan penduduk pribumi, khususnya wong cilik. Untuk

dapat diterima masuk ke sekolah dengan sistem Belanda, harus dipenuhi syarat berikut:

orang tua adalah elit yang memiliki kedudukan tinggi dalam birokrasi kolonial. Untuk

memasuki sekolah dengan pengantar bahasa Belanda pun, calon murid harus berasal dari

keluarga dengan status pegawai negeri tertentu dan dengan gaji tertentu pula.

Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah

dengan pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum

terpelajar pribumi mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan

sekolah-sekolah tersebut yang berhasil memperoleh kedudukan dalam birokrasi, memiliki

status terhormat di masyarakat dan mereka hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara

itu, mereka yang tidak memilih bekerja di birokrasi di kemudian hari banyak yang menjadi

tokoh-tokoh pergerakan nasional.

Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat otokratis dan menerapkan sentralisasi

dengan birokrasi yang amat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat

keresidenan hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas

pejabat-pejabat pribumi.

Baru pada tahun 1903, yakni setelah diberlakukannya Undang-undang

desentralisasi dan otonomi penduduk, lembaga politik berupa Badan Perwakilan didirikan.

Dalam pelaksanaannya, UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti

minimal, karena dewan daerah tidak mampu mencapai seluruh rakyat. Anggota-

anggotanya hanya terdiri dari orang Belanda dan elit pribumi yang terpilih karena

mekanisme penunjukan dan pemilihan tidak langsung. Pendek kata, desentralisasi tidak

mampu mendorong partisipasi politik rakyat dan bahkan organisasi atau pertemuan politik

dilarang oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1999: 43—44).

Pada tahun 1916 pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk

volksraad atau dewan rakyat. Namun keberadaannya tidak dapat disamakan dengan

parlemen. Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan

untuk merancang anggaran dan membuat undang-undang. Halnya demikian karena

parlemen di Belandalah yang sesungguhnya memegang kekuasaan legislatif di Hindia

Belanda.

Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan

Belanda. Volksraad diubah menjadi badan ko-legislatif dengan kekuasaan untuk

mengajukan petisi mengubah UU serta mengundangkannya. Namun, sejauh itu, volksraad

masih juga belum mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh, komposisi

keanggotaan masih didominasi orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan secara tidak

langsung, hak pilih rakyat dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang

berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus gulden)/tahunlah yang boleh memilih, padahal

massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata f40—f50/tahun.

Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan

kolonial tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk

Indonesia. Bangsa Indonesia—khususnya masyarakat Jawa—semakin terpilah-pilah, baik

karena diskriminasi rasial maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah

Belanda memang telah mengatur status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch

Onderdaan. Namun demikian, status penduduk belum menunjukkan status

kewarganegaraan yang sesungguhnya. Di tanah jajahan, tetap dibedakan status warga

negara Belanda dan status penduduk pribumi. Menurut perundang-undangan yang berlaku

(tahun 1854, 1892, 1910), di Hindia Belanda terdapat tiga kategori kewargaan, yakni

Belanda, pribumi (dengan status sebagai bawahan Belanda), dan bangsa Timur Asing

(Kartodirdjo, 1999: 48, 192).

b. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan

Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis, “. . . pemerintahan Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. . .” Siapa saja yang tercakup dalam

pengertian bangsa Indonesia di sini? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh pergerakan

nasional dengan latar belakang yang beragam. Mereka mempunyai latar belakang agama

yang berbeda, demikian pula suku dan ras serta daerah asal. Ada yang berasal dari Jawa,

Sumatera, Ambon, Sulawesi, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Perumus UUD juga bukan hanya

laki-laki, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Kesemuanya mewakili

berbagai golongan dan aliran politik. Sejak awal, keberagaman masyarakat telah menjiwai

perumusan UUD 1945, dan keberagaman tersebut dapat disatukan karena kepedulian yang

luar biasa dari para tokoh akan kepentingan rakyat. Sumbangan pemikiran mereka antara

lain adalah rumusan tentang bangsa Indonesia. Yang ditetapkan sebagai bangsa Indonesia

adalah bangsa Indonesia asli atau bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga

negara.2 Ketentuan terakhir ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menerima

keturunan Arab, Tionghoa, atau bangsa lain—yang telah lama menetap di Indonesia—

sebagai warga negara Indonesia.

Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945 warga

negara memiliki status legal yang sama, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di

dalamnya. Sebagai tambahan, dalam UUD 1945, Pasal 26, tertera pula kata-kata penduduk

selain warga negara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang

tinggal di Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan melaksanakan

kewajiban yang sama dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena terkait dengan

kedaulatan negara-negara lain.

c. Menjadi Warga Negara Indonesia

Secara prosedural, kewarganegaraan Indonesia diatur dalam undang-undang

tentang kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan ada beberapa UU tentang kewarganegaraan

yang telah dikeluarkan, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946, UU RI Nomor 62 Tahun 1958, UU

RI Nomor 4 Tahun 1969, UU RI Nomor 3 Tahun 1976, dan UU RI Nomor 12 Tahun 2006.

Selain UU juga terdapat peraturan-peraturan lain berupa Keputusan Presiden, Instruksi

Presiden, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman

dan Menteri Dalam Negeri. Perubahan-perubahan UU tersebut mencerminkan adanya

dinamika dalam masyarakat maupun interaksi penduduk antarbangsa yang begitu cepat.

Pelarian orang-orang yang mencari suaka politik, perkawinan antarbangsa, masalah

kriminal oleh pelaku kejahatan lintas negara, dsb. merupakan beberapa fenomena yang

dapat menggambarkan semakin peliknya masalah kewarganegaraan sehingga hampir

setiap negara harus mampu mendefinisikan kembali siapa yang dimaksud dengan warga

negaranya.

2 Lihat UUD 1945, Pasal 26.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan empat asas yang digunakan untuk

menentukan kewarganegaraan yakni ius sanguinis, ius solii, kewarganegaraan tunggal, dan

kewarganegaraan ganda. Asas ius sanguinis merupakan asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Asas ius soli merupakan asas yang

menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran

(diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan diatur dalam UU). Asas kewarganegaraan

tunggal merupakan asas yang menetapkan satu kewaraganegaraan bagi setiap orang. Asas

kewarganegaraan ganda merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi

anak-anak yang diatur dalam UU.3 Indonesia tidak mengakui penduduk dengan

kewarganegaraan ganda (bipatride), kecuali anak-anak dan penduduk tanpa

kewarganegaraan.

Kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas dasar: 1) kelahiran, 2) pemberian

status, 3) pengangkatan, 4) permohonan, 5) naturalisasi, 6) perkawinan, dan 7)

kehormatan.

Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya

adalah WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis):

anak tetap WNI, walau dia dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah

apatride.

Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda,

negara dapat memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri

dengan salah satu orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan

WNI.

Dengan dasar pengangkatan, seorang anak WNA—yang berumur 5 tahun (atau kurang)

—yang diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak

berusia 18 tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI

dan asing (WNA). Pada awalnya ia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI

untuk mengikuti ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pemerintah dapat

3 Lihat Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 (Jakarta: Visimedia) hlm. 27-28.

mengabulkan permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya,

agar tidak terjadi kewarganegaan ganda.

Kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada orang asing yang sungguh-

sungguh ingin menjadi WNI melalui naturalisasi.

Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami

atau istri yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan

syarat bahwa ia harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu.

Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing

tertentu yang telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang

bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan

itu dilakukan oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.

d. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia

Bila seseorang telah menjadi WNI, negara akan mengakuinya untuk seumur

hidupnya, sekalipun ia bertempat tinggal di luar negeri. Namun WNI dapat kehilangan

kewarganegaraannya karena hal-hal berikut ini:4 a) atas kemauan sendiri menjadi WNA; b)

melanggar asas kewarganegaraan tunggal (ketentuan ini berlaku bagi WNI yang memiliki

kewarganegaraan asing dan tidak mau melepaskan status WNA-nya); c) masuk dinas

tentara asing tanpa seizin Presiden; d) tinggal di luar wilayah negara Indonesia, tidak

dalam rangka dinas negara selama 5 tahun berturut-turut dan, sebelum jangka 5 tahun

berakhir, dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk mempertahankan

kewarganegaraannya, serta setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak

mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI; dan e) perkawinan dengan WNA

(kententuan ini berlaku bagi, WNI, perempuan atau laki-laki yang menikah dengan

pasangan dari negara yang memiliki peraturan bahwa orang asing yang menikah dengan

warga negaranya harus menjadi warga negaranya pula). Oleh negara, kewarganegaraan

seseorang dapat dinyatakan hilang karena pada prinsipnya negara tidak menginginkan

warga negaranya memiliki loyalitas ganda, terhadap Indonesia dan terhadap negara lain.

4 Lihat UU Nomor 12 Tahun 2000, Bab IV, tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23, 26, dan 28.

WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya secara otomatis membebaskan dirinya

dari hak dan kewajiban sebagai WNI.

WNI yang telah kehilangan kewarganegaraanya karena mengikuti orang lain

(status suami/istri yang WNA) pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali

menjadi WNI, dengan syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya. Demikian

pula dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang

berkewarganegaraan asing.5

3. Prinsip-Prinsip dalam Hubungan Timbal-Balik: Negara dan Warga Negara

Hubungan antara negara dan warga negara merupakan hubungan timbal-balik yang

melibatkan unsur hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hubungan itu secara

mendasar terbangun dari tujuan awal terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana

tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3)

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk mencapai tujuan tersebut, UUD telah menetapkan prinsip-prinsip dasar6 yang

menjadi pedoman berbangsa dan bernegara bagi pemerintahan maupun rakyat. Prinsip-

prinsip itu meliputi sila-sila Pancasila, prinsip negara kesatuan yang berbentuk republik,

prinsip kedaulatan rakyat, dan prinsip negara hukum.7

Prinsip negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan bentuk negara di mana

wewenang legislatif dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan

terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat

memiliki wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah

berdasarkan hak otonomi (sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir, kekuasaan

tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat.

Dalam negara kesatuan, kedaulatan tak terbagi karena pemerintah pusat memegang

kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan 5 Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara

Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37.6 Lihat sila-sila Pancasila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.7 Lihat UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen), Pasal 1, tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara.

legislatif lain selain badan legislatif pusat. Jika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan

bagi daerahnya, hal itu tidak berarti bahwa daerah itu berdaulat sebab pengawasan

kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi warga

negara di dalam negara yang berbentuk kesatuan, hanya ada satu pemerintahan saja

(Strong, sebagaimana dikutip Budiardjo, 2008: 269—270).

Pertimbangan para pendiri bangsa atas bentuk negara kesatuan adalah agar di bawah

pemerintah pusat tidak ada negara lagi, seperti di negara federal atau konfederasi. Hakikat

dari pertimbangan tersebut adalah upaya untuk menghindari terjadinya perpecahan

bangsa dan negara; atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang

memberi peluang kepada gerakan separatisme. Namun ketetapan atas bentuk negara

kesatuan juga diiringi oleh satu ketentuan pula, yakni bahwa pemerintah pusat tetap

memperhatikan kepentingan daerah.

Prinsip Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan merupakan hak atau kekuasaan tertinggi

untuk memerintah. Kedaulatan rakyat berarti rakyat memiliki hak atau kekuasaan tertinggi

untuk memerintah diri mereka sendiri. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam

mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam sidang-sidang BPUPKI dikemukakan pertimbangan

bahwa kedaulatan rakyat merupakan bentuk kedaulatan yang dianggap dapat mencegah

terjadinya negara kekuasaan yang absolut atau negara penindas. Agar negara tidak menjadi

negara penindas, para perumus UUD 1945, khususnya Bung Hatta, menekankan

pentingnya jaminan pada rakyat dalam bentuk kemerdekaan untuk berpikir. Usulan para

perumus kemudian tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum amandemen). Hasil

rumusan BPUPKI kemudian tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa

kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Kedaulatan rakyat dalam MPR dicerminkan dalam komposisi keanggotaan yang terdiri dari

wakil-wakil golongan (seperti serikat pekerja, golongan tani, dsb.) dan wakil-wakil daerah.

Kekuasaan MPR adalah menetapkan UUD dan GBHN, serta mengangkat Presiden dan wakil

Presiden. Dalam UUD 1945 (sebelum amandemen), MPR memegang kekuasaan tertinggi

dan Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara.

MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami ujian berat khususnya pada

masa Orde Baru. Dalam negara telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang diawali oleh

dominasi mutlak dalam kehidupan politik, yang telah menyulut Gerakan Reformasi dan

berakhir dengan pengunduran diri Presiden Soeharto (Budiardjo, 2008: 313). Setelah itu,

terjadi perubahan politik yang signifikan yaitu berlangsungnya demokratisasi untuk

mewujudkan kedaulatan rakyat. Perubahan diawali dengan melakukan empat kali

amandemen terhadap UUD 1945; dua di antaranya ialah masa jabatan Presiden dibatasi

dan warga negara berhak memilih pasangan Presiden dan wakil Presiden secara langsung.

Pemilihan langsung juga dilakukan terhadap anggota DPR dan kepala daerah. Selain itu,

juga diberlakukan desentralisasi—yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat pada

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Pemerintah

daerah juga mengalami demokratisasi dengan dihilangkannya kedudukan kepala daerah

sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah.

Dalam UUD 1945 (sesudah amandemen), perubahan terbesar menyangkut MPR

adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan

pelaksana kedaulatan rakyat. Keanggotaan MPR kini mencakup unsur DPR dan DPD. MPR

kini berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara dengan DPR, DPD, BPK,

MA dan MK, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN, mengeluarkan

Ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden bila

Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya)

(Budiardjo, 2008: 350). Lantas siapa pemegang kedaulatan rakyat saat ini?

UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin

kedaulatan rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan Presiden,

penetapan pemilihan Presiden secara langsung dan desentralisasi). Namun, yang paling

mendasar dalam amandemen UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui pemilu,

yaitu dengan memilih wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD serta memilih Presiden dan kepala

daerah secara langsung. Jika pejabat-pejabat terpilih tersebut gagal mengemban amanat

rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat (melalui MPR dan atas usul DPR) untuk

memberhentikan Presiden8 serta hak untuk tidak memilih kembali anggota-anggota

DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat.

Prinsip Negara Republik. Ide republik secara teoretis mendukung kedaulatan

rakyat. Prinsip ini mengisyaratkan adanya kebebasan—bukan dalam arti liberal, yaitu

kebebasan dari intervensi pihak (negara) lain, tetapi dalam arti independensi, yaitu

8 Lihat UUD 1945 sesudah amandemen, pasal 7A.

kebebasan dari dominasi pihak lain. Kebebasan rakyat dalam negara republik selalu

disertai oleh tanggung jawab rakyat untuk mempertahankan independensi negara. Bentuk

tanggung jawab ini merupakan aktivitas politik atau partisipasi warga negara untuk

membentuk diri sekaligus membangun negara (Poole, 1999: 83). Jadi, dengan adanya

prinsip independensi, maka dalam negara yang berbentuk republik diharapkan tidak ada

lagi dominasi dari negara lain dan di tingkat warga negara tidak ada lagi perbudakan atau

ketergantungan kepada orang lain.

Bentuk negara republik merupakan ketetapan yang dipilih oleh semua tokoh bangsa

yang merumuskan UUD. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengalaman bangsa yang

pernah hidup dalam bentuk kerajaan yang despotis dan feodalis serta pemerintahan

kolonial Belanda yang menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan

kedaulatan rakyat ketimbang bentuk negara lainnya seperti monarki yang melanggengkan

dinasti (kekuasaan turun-temurun). Dalam negara republik, negara akan merumuskan

kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat dalam berpendapat, berkumpul, dsb.

Prinsip Negara Hukum. Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan

tuntunan hukum dan bukan dengan kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan

sumber norma yang mengatur pemerintahan maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-

cita bangsa, sistem pemerintahan dan kerangka kerja bagi pemerintah. UUD berisi otoritas

tertinggi yang daripadanya seluruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-

pejabat terpilih berasal dan diatur. Begitu pentingnya UUD sehingga setiap Presiden yang

dilantik harus mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala

UU dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya.9

Dalam UUD terkandung pula prinsip-prinsip dasar yang mengikat negara dan warga

negara yaitu Pancasila, negara kesatuan dengan bentuk republik, kedaulatan rakyat dan

negara hukum.10 Prinsip-prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal

menyangkut hak dan kewajiban warga negara—yang tidak dapat terpenuhi tanpa

kehadiran institusi politik/negara; sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat

dipertahankan tanpa kesadaran nasional (nasionalisme) warga negara. Hubungan inilah

9 Lihat Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amandemen, Pasal 9.10 Di sini tidak hanya dalam konteks warga negara sebagai individu yang memiliki otonomi politik tetapi juga

sebagai manusia yang memiliki otonomi pribadi.

yang melahirkan kewajiban bagi tiap warga negara untuk memelihara dan

mempertahankan negara. Sementara itu, untuk mendapatkan hak itu negara harus

menjalankan kewajibannya, yaitu memberikan kondisi bagi terpenuhinya hak-hak warga

negara. Kewajiban negara, dalam UUD 1945, telah termaktub dalam tujuan negara

sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen).

4. Hak dan Kewajiban Warga Negara

Secara umum, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang

satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Klaim atau tuntutan tersebut adalah

klaim yang sah atau dapat dibenarkan, karena orang yang mempunyai hak bisa menuntut

bahwa orang lain akan memenuhi atau menghormati hak itu (Bertens, 2000: 178—179).

Ada beberapa jenis hak yang kita kenal, yaitu a) hak legal dan moral, b) hak khusus dan

umum, c) hak positif dan hak negatif, d) hak individual dan sosial (Bertens, 2000: 179—

187).

Hak legal adalah hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang,

peraturan hukum, atau dokumen legal lainnya. Umpamanya, ketika pemerintah

mengeluarkan peraturan tentang kenaikan gaji pegawai negeri, maka setiap pegawai

negeri berhak mendapat tunjangan itu. Hak moral adalah hak yang berfungsi dalam sistem

moral. Contohnya ialah sepasang suami istri yang berjanji untuk saling setia, atau

seseorang peminjam uang berjanji untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya dari

orang lain. Hak moral belum tentu merupakan hak legal, tetapi banyak hak moral yang

sekaligus juga merupakan hak legal. Misalnya, janji antarteman, yang dilakukan secara

pribadi, hanya terbatas pada hak moral saja. Sedangkan hak legal belum tentu

menampilkan nilai etis sehingga harus dikritik dengan norma moral. Sebagai contoh,

negara-negara kolonial di masa silam sering mengetengahkan hak-hak legal mereka untuk

menguasai wilayah jajahan, namun tentu dipertanyakan nilai etis dari penjajahan itu

sendiri.

Hak khusus timbul karena relasi khusus antar-beberapa orang atau karena fungsi

khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain, misalnya hak orang tua untuk

dihormati anak-anaknya, hak untuk menggunakan gelar doktor setelah menyelesaikan

persyaratan untuk mendapat gelar tersebut, dsb. Hak umum diperoleh seseorang bukan

karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini

sering disebut hak asasi manusia.

Dengan hak negatif, seseorang bebas melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu;

dengan kata lain, siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang melakukan atau memiliki

sesuatu. Contohnya ialah hak atas kehidupan, kesehatan, keamanan, kepemilikan, hak

beragama, berkumpul, mengemukakan pendapat, dan mengikuti hati nurani. Konkretnya

ialah bahwa, antara lain, negara atau siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang menulis

pendapatnya di surat kabar. Hak positif adalah hak seseorang yang membolehkan orang

lain berbuat sesuatu untuknya. Sebagai contoh, semua orang yang terancam bahaya berhak

bahwa orang lain membantu menyelamatkannya. Contoh lain adalah hak atas makanan,

pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak.

Hak individual dan hak sosial sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang Hak

Asasi Manusia (DUHAM). Hak individual ialah hak yang dimiliki individu terhadap negara;

negara tidak dapat menghalangi individu mewujudkan hak ini. Contohnya ialah hak

mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, dan hak mengemukakan pendapat.

Hak individual termasuk hak-hak negatif. Sementara yang dimaksud dengan hak sosial

adalah hak yang dimiliki seseorang sebagai anggota masyarakat seperti hak atas pekerjaan

yang layak dan hak atas pendidikan. Hak ini bersifat positif.

Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal-balik dengan kewajiban? Kewajiban

memang sering kali memiliki hubungan timbal-balik dengan hak, namun hubungan itu

tidak bisa dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Dalam konteks kehidupan

bermasyarakat dan bernegara, kita lihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak

individual hampir selalu sesuai dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang

lain yang sedang menikmati hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit.

Sebagai contoh, setiap orang memiliki hak atas pendidikan. Tetapi itu tidak berarti bahwa

saya sebagai guru memberi pengajaran kepada orang-orang tertentu. Hak sosial semacam

ini sesuai dengan kewajiban masyarakat, atau negara, untuk mengatur kehidupan

sedemikian rupa sehingga setiap warga negara memperoleh apa yang menjadi haknya.

Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan sosial.

a. Hak Asasi Manusia

Pembahasan tentang hak dan kewajiban tidak akan lengkap bila hak asasi manusia

tidak dimasukkan. Pengetahuan tentang sejarah penegakan HAM dapat membantu

memahami arti penting HAM dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejarah penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk menjadi manusia

dan untuk melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, perbudakan, genosida, dsb. Dari

perspektif sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada bangsa-bangsa dapat

dikelompokkan ke dalam tiga generasi (Budiardjo, 2008: 212). Generasi pertama lahir di

negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran akan hak-hak sipil dan

politik. Generasi kedua merupakan generasi dengan kesadaran akan hak ekonomi, sosial,

dan budaya, yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis pada masa Perang Dingin

(tahun 1945—1970-an). Pemikiran tentang HAM pada generasi kedua ini didukung oleh

banyak pemikir Barat serta negara-negara yang baru merdeka di Asia-Afrika. Generasi

ketiga ialah generasi yang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak atas

perdamaian dan hak atas pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.

Perjuangan HAM dari generasi pertama yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh

penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Ketika itu, Raja John “dipaksa”

untuk mengakui hak kelompok aristokrat yaitu hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas

corpus). Hak ini sendiri dituntut sebagai imbalan atas dukungan kaum aristokrat dalam

membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang.

Perumusan HAM semakin berkembang seiring dengan munculnya pemikiran-

pemikiran tentang hak alamiah manusia yang digaungkan untuk menentang pemikiran

bahwa hak memerintah berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-raja.

Hak alamiah, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke (1632—1704) dan pemikir lain

seperti Jean Jacque Rousseau, meliputi hak atas hidup, hak akan kebebasan, dan hak untuk

memiliki harta benda. Di samping itu juga muncul pemikiran bahwa penguasa yang

memerintah harus mendapat persetujuan rakyat. Hasil pemikiran dan perjuangan HAM

terbesar pada XVII dan XVIII itu adalah hancurnya monarki absolut yang memberi

kewenangan kepada raja untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun

demikian, pada masa itu hanya kelompok aristokrat dan kelas menengah saja yang dapat

menikmati HAM, sementara rakyat biasa tetap dipandang sebagai abdi yang harus

menerima perintah dari penguasa. Hak asasi yang berhasil mereka perjuangkan itu masih

terbatas pada hak politik seperti hak atas kebebasan dan kesetaraan serta hak untuk

menyatakan pendapat. Hak-hak tersebut dituangkan dalam Bill of Rights di Inggris pada

tahun 1689 dan satu abad kemudian dalam Bill of Rights di AS (1783) dan Declaration des

droits de l’homme et du citoyen di Prancis (1789).

Menginjak awal abad XX, terjadi banyak peristiwa penting di dunia yang

mempengaruhi generasi kedua perjuangan HAM, yaitu 1) Depresi Besar yang bermula di

AS dan kemudian menjalar ke penjuru dunia pada tahun 1929—1934; 2) tampilnya Hitler

sebagai pemimpin Jerman yang menyebabkan pembunuhan jutaan orang Yahudi di kamp

konsentrasi; 3) meletusnya dua Perang Dunia; dan 4) tampilnya blok negara sosialis dan

komunis. Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan penderitaan yang luar biasa pada

jutaan manusia: mati karena kelaparan, peperangan, dan genosida.

Rumusan HAM warisan liberalisme yang menekankan hak-hak alamiah ternyata tidak

memadai sehingga perlu semakin dipertajam dan bahkan direinterpretasikan. Hak-hak

yang semula disebut hak alamiah diubah menjadi HAM (human rights) yang menekankan

kebebasan individu yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan hak untuk

mendirikan, dan bergabung dalam organisasi. Perubahan paling signifikan dibandingkan

dengan keadaan pada abad XVII dan XVIII adalah bahwa hak-hak politik diberikan kepada

seluruh rakyat dengan tujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan

kekuasaan pemerintah. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan hak-hak tersebut antara lain

ialah Presiden F. D. Roosevelt dari AS yang merumuskan empat kebebasan, yaitu

kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari

ketakutan, dan kebebasan dari kemiskinan.

Kemajuan HAM pada generasi kedua juga ditandai oleh kesadaran untuk

merumuskan HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar universal bagi tingkah

laku manusia (Budiardjo, 2008: 218). PBB telah merintis upaya ini dengan mencanangkan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 dan kemudian

diperkuat dengan dua kovenan internasional tentang hak politik dan sipil dan hak

ekonomi, sosial, dan budaya.

Yang menarik dari generasi kedua ini adalah upaya-upaya negara-negara blok sosialis

dan negara-negara yang baru merdeka (negara-negara “Dunia Ketiga”) untuk

mengembangkan hak-hak sosial dan ekonomi yang meliputi hak atas pekerjaan, hak atas

penghidupan yang layak, dan hak atas pendidikan. Mencuatnya tuntutan akan hak-hak

tersebut antara lain adalah sebagai reaksi terhadap rumusan HAM negara-negara Barat

yang lebih menonjolkan kebebasan individu dan hak politik ketimbang hak-hak sosial dan

ekonomi yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, berbeda dengan

pelaksanaan hak politik dalam pemikiran liberal yang membatasi peran pemerintah, maka

pelaksanaan hak-hak sosial dan ekonomi justru mendorong pemerintah untuk terlibat

dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Generasi ketiga dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang

tersebar di Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukan

pun mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Upaya mereka mulai menonjol

pada tahun 1980-an, dengan tekanan pada hak atas perdamaian dan hak atas

pembangunan. Selain itu, konsep kekhasan nasional, wilayah, latar belakang budaya dan

agama juga diterima sebagai bahan pertimbangan. Penerimaan terhadap upaya negara-

negara Dunia Ketiga ini dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993). Isi deklarasi itu

merupakan kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara Dunia Ketiga.

Sumbangan Indonesia dalam forum itu adalah penekanan pada perlunya hak asasi

ditingkatkan dalam konteks kerja sama internasional atas dasar penghormatan terhadap

kesetaraan negara-negara yang berdaulat dan terhadap identitas nasional masing-masing

(Budiardjo, 2008: 244—245).

b. HAM dalam UUD 1945

Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai

sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi

kewajibannya sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan,

khususnya menyangkut pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum amandemen dan

yang sesudah amandemen. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal tentang HAM

tidak dicantumkan secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi

para perumus UUD 1945 sehingga mereka tidak memasukkan pasal-pasal tersebut?

Perdebatan di antara para tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI bermuara pada

rumusan hak-hak warga negara. Secara historis, sebagian besar pemikiran para tokoh itu

dilatarbelakangi oleh antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun telah melihat

bahwa rumusan HAM dari negara-negara Barat sendiri sangat bercorak liberal dan

individualistis, dan gagal menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat yang saat itu

diguncang depresi. Di samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh semakin tajamnya

konflik buruh–majikan dan juga timbulnya persaingan antarnegara. Dampak persaingan

antarnegara inilah yang kemudian melahirkan kolonialisme dan imperalisme.

Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk

mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka nilai keadilan sosial, kekeluargaan,

dan gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal

mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya, juga diyakini dapat

membawa perdamaian dunia bila diterapkan oleh bangsa-bangsa lain. Dengan latar

belakang sejarah tersebut, para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak warga negara

sependapat bahwa HAM tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun, mereka tetap

berpegang pada prinsip kedaulatan rakyat, sehingga rakyat tetap diberi hak untuk

mengeluarkan pendapat dan bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan

dalam pemerintahan. Kemerdekaan atau hak tersebut harus diberikan untuk mencegah

terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip kedaulatan rakyat, sila-sila Pancasila juga

sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara seperti terlihat dari sila keadilan sosial

dalam perumusan hak pendidikan, pemeliharaan fakir miskin dan anak terlantar oleh

negara, dan dari sila pertama yang menjiwai pasal tentang kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama

dan kepercayaannya.11

Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya

amandemen UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap

pada masa Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi

Militer (DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus

Semanggi I dan II, kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso telah menimbulkan

jatuhnya banyak korban. Hal ini menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang

menegakkan HAM di Indonesia. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada

tahun 1998. Akhirnya, di bawah pemerintahan Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No.

11 Lihat UUD 1945 (sebelum amandemen) Pasal 27, 29, 31 dan 34. Lihat juga perdebatan para tokoh bangsa Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223.

XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di

dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak. Secara formal, perjuangan penegakan

HAM mencapai puncaknya dengan masuknya pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam

UUD 1945 sesudah amandemen. HAM melengkapi hak-hak sosial warga negara yang

sangat ditekankan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Secara umum, HAM dalam UUD

meliputi hak untuk hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh

keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas dari penyiksaan, serta hak untuk

memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial pun semakin dijamin dengan

penegasan atas hak atau jaminan sosial.12 Perubahan signifikan lainnya adalah

pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara.

c. Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari

Secara formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam UUD.

Hak-hak itu meliputi hak umum, hak negatif dan positif, serta hak individual dan sosial.

Bagaimana implementasi hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara

praktis? Untuk melihat aspek praktis dari pasal-pasal tentang hak warga negara, maka

berikut ini hak-hak itu akan diuraikan dalam tiga kategori, yakni keamanan, kesetaraan,

dan kemerdekaan.

(1) Keamanan

Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini

tentu akan diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara

dan keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan

pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh setiap orang karena ancaman terhadap

penduduk bisa datang dari luar yaitu serangan bangsa lain, dan secara internal berupa

tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal tentang

HAM. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang juga dijamin

keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya tindakan penangkapan

tanpa alasan yang mencukupi. Bila terjadi kekeliruan dalam penangkapan, penahanan, atau

12 Selengkapnya, lihat pasal 28 A–J, UUD 1945 (sesudah amandemen).

penuntutan, maka seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini secara

khusus diatur dalam KUHAP.13

(2) Kesetaraan

Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi

dan status sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga

negara mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan

yang sama di hadapan hukum.14

(3) Kemerdekaan (indepedensi)

Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat

bagi kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari

kebebasan dalam pengertian liberal, karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai

“persona” atau pribadi yang bermartabat di dalam negara. Inilah hakikat individu sebagai

warga negara yang tidak hanya diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam

negara, melainkan juga memiliki hak untuk mengajukan tuntutan terhadap negara.

Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga menuntut tanggung jawab untuk

memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara. Tanggung jawab untuk ini sendiri

bukanlah bentuk paksaan melainkan merupakan bentuk aktivitas bebas warga negara,

yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83).

Bila ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang dilakukan tiap-tiap warga negara

sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya. Hal ini dijelaskan

berikut ini.

Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi.15 Dalam

kehidupan sehari-hari kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakn yang

berpengaruh luas seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan

bakar minyak (BBM), meningkatkan pajak penjualan, jaminan sosial, dsb. Dalam

13 UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 95.14 Lihat Pasal 27 UUD 1945 (sesudah amandemen).15 Lihat Pasal 28 dan 28 F, UUD 1945 (sesudah amandemen).

menghadapi keijakan-kebijakan tersebut, hak untuk mengeluarkan pendapat dan

mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk mengawal pemerintah agar

bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus mengetahui apa yang

dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap kritis bila

ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat. Hak untuk

mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak, dan menggunakannya bila

diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering kali aparat negara

melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara

tersebut sadar akan hak-haknya maka ia pun dapat terhindar dari perlakuan yang tidak

adil tersebut. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi

juga terkait erat dengan kebebasan pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan

mengacu kepada sarana-sarana untuk mengeluarkan pendapat dalam wujud tulisan,

seperti koran, majalah, buku, dsb., serta sumber-sumber informasi modern seperti radio,

televisi, dan internet.

Hak berserikat. Dengan kemerdekaan berserikat, rakyat dapat membentuk

organisasi-organisasi, mulai dari klub olah raga, asosiasi profesi, hingga partai politik.

Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum, kampanye, dsb.

Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan

kepercayaannya masing-masing. Dengan hak yang telah ditetapkan dalam pasal 29 ini16

pemerintah menjamin rakyat untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan

prinsip kesetaraan, maka pemerintah tidak akan memperlakukan rakyat secara berbeda

karena agama yang dipeluknya.

Hak untuk memilih dalam pemilu. Hak untuk memilih merupakan salah satu hak

yang penting sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab warga negara. Dalam pemilihan

umum, warga negara memilih orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahan dan

suara pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang terpilih. Jadi, kalau ternyata

bahwa mereka yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik maka warga

negara berhak untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Pemenuhan hak

ini secara bertanggung jawab akan memastikan pergantian kepemimpinan secara tertib

dan damai.

16 Lihat Pasal 29, UUD 1945.

Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam kehidupan

bermasyarakat kita menjumpai persoalan-persoalan yang begitu kompleks dan tidak dapat

diatasi oleh pemerintah semata-mata. Masalah itu antara lain ialah kemiskinan,

pengangguran, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelesaian masalah-masalah

tersebut mengundang partisipasi aktif warga negara, baik secara individu maupun melalui

organisasi semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga bantuan hukum, atau

bentuk lembaga lain untuk membantu meringankan beban masyarakat. Dengan demikian

partisipasi dalam pemerintahan tidak hanya berupa hak untuk memilih atau dipilih untuk

menduduki jabatan-jabatan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dalam kehidupan

masyarakat.

d. Batasan-batasan terhadap Hak dan Kebebasan Warga Negara

Dengan pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga

negara dapat melaksanakan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita

mengenal bahwa kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu maka

Pasal 73 dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah

mengatur batasan-batasan tentang hak dan kebebasan warga negara. Hal itu dilakukan

untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta

kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Hak atau kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara

yang menganut sistem demokrasi karena dengan itu warga negara dapat memperoleh

informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dsb. Demokrasi akan berkembang bila

warga negara dapat menggunakan hak berpendapat itu tanpa rasa takut. Namun, warga

negara tidak boleh menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan berbicara serta

kebebasan pers dengan tujuan untuk mencemarkan nama baik orang lain, menghasut,

berbohong, atau membocorkan rahasia negara yang dapat membahayakan negara. Pihak

yang nama baiknya dicemarkan berhak meminta perlindungan dari yang berwajib. Hal ini

diatur dalam KUHP Pasal 310.

Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu

ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya

kepada aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak

menggangu hak orang lain, misalnya pengguna jalan raya. Kebebasan berserikat pun

memiliki batasan-batasan, misalnya kegiatan kelompok tidak akan ditoleransi bila

melanggar ketertiban umum atau menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan

kelompok-kelompok lain.

Dari batasan-batasan terhadap kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak

warga negara bukanlah tak terbatas, karena hak warga negara, sebagai seorang individu,

harus berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara (pemerintah)

dapat menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara.

Hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga negara dan ketertiban

masyarakat secara umum. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga

memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, maka tiap warga negara diharapkan menyadari

bahwa untuk memenuhi hak-haknya secara penuh ia pun wajib menghargai hak-hak orang

lain pula.

e. Kewajiban Warga Negara

Pembicaraan tentang hak warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban

warga negara. Kewajiban warga negara menuntutnya melakukan sesuatu dan jika dia tidak

melakukannya maka dia dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan dapat

dipenjara. Kewajiban menuntut pemenuhannya walaupun warga negara (mungkin) enggan

melakukannya. Berbeda dengan kewajiban, warga negara juga memiliki tanggung jawab,

yaitu apa yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab sebenarnya merupakan bentuk

kewajiban juga, tetapi pemenuhannya hanya secara sukarela atau tanpa paksaan. Seperti

halnya pemenuhan hak-hak warga negara, pemenuhan kewajiban warga negara juga

merupakan tindakan yang memastikan penyelenggaraan negara berjalan baik.

Beberapa kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain ialah 1)

menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan, 2) membela negara, 3) membayar pajak,

4) mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah), dan 5) menghormati hak asasi orang lain.

(1) Menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan17

17 Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (sesudah amandemen).

Kalau negara menerapkan prinsip hukum, maka konsekuensinya adalah bahwa

hukum harus dijunjung, baik oleh pemerintah maupun oleh warga negara. Bilamana

hukum tidak dipatuhi, maka sulit bagi pemerintah untuk menegakkan ketertiban,

melindungi keamanan dan keselamatan warga negara, serta melindungi harta milik

mereka. Hukum dapat berupa peraturan lalu lintas, hukum pidana—yang mengatur agar

tindakan seseorang/sekelompok orang tidak merugikan pihak lain—dan berbagai

peraturan yang ditujukan agar masyarakat dapat hidup bersama dengan rukun.

(2) Membela negara

Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting.18

Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan negara dan bangsa, dan dengan

demikian juga keamanan warga negara.

(3) Membayar pajak

Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya

antara lain ialah untuk membangun fasilitas yang amat vital seperti pembangunan jalan,

gedung-gedung pemerintah dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji

aparat negara, seperti tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan

negara dan menjaga ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani

rakyat.

(4) Mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah)19

Bagi warga negara, sekolah merupakan sarana yang penting untuk

mempersiapkannya menjadi warga negara yang baik. Melalui sekolah seseorang

mendapatkan pendidikan yang bukan hanya berupa pengetahuan melainkan juga

keterampilan dan kemampuan dasar sebagai warga negara—seperti kemampuan

menyuarakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan, kemampuan untuk mencari dan

memilah informasi, dsb. Di Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara adalah

mengikuti pendidikan dasar.

18 Lihat Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 (sesudah amandemen).19 Lihat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (sesudah amandemen).

(5) Menghormati hak asasi orang lain20

Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga

dihormati orang lain. Rasa saling hormat mengarah kepada terciptanya ketertiban dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari,

interaksi sosial merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam

keluarga, tempat kerja, dan kampus. Dalam interaksi-interaksi tersebut tidak jarang

dijumpai adanya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Solusi dari konflik disebut

menghormati hak asasi bila tidak melibatkan tindak kekerasan, tidak menghasut, tidak

menjarah harta milik orang lain, tidak melarang orang beribadah menurut agama atau

kepercayaannya atau, dalam hal perusahaan, pimpinan perusahaan tidak melakukan

tindakan seperti tidak membayar gaji pegawai, dan dalam hal yang melibatkan kaum muda,

tidak melakukan keributan yang menggangu kenyamanan orang lain.

Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga

negara juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak

sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima

pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dsb.

Tingkah laku menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi.

Toleransi sangat dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi, karena di alam

demokrasi, tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Bila pertukaran ide

tidak disertai oleh toleransi maka akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di

masyarakat yang memiliki keberagaman latar belakang. Dalam konteks ini, tiap warga

negara memiliki tanggung jawab untuk menghargai pendapat orang lain.

Di samping menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak

orang lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak

orang, seperti memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak peralatan telepon umum,

dsb.

5. Kewajiban dan Hak Negara

20 Lihat Pasal 28 J, UUD 1945 (sesudah amandemen).

Di atas telah dikemukakan bahwa negara dan warga negara memiliki hubungan

timbal-balik, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak

dan kewajiban negara (pemerintah) dan warga negara bersumber dari, dan diatur dalam

UUD. Kewajiban negara secara implisit termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yakni pada

alinea keempat yang berisi tujuan negara yang harus dilaksanakan setiap pemerintahan

yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Keempat tujuan tersebut yang menjiwai kewajiban dan tanggung jawab negara

sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal UUD,21 yaitu bahwa negara harus membuat

kebijakan-kebijakan untuk dapat memenuhi hak-hak warga negara, yaitu hak atas

kehidupan, hak beragama, hak mengemukakan pendapat, hak untuk mendapat pekerjaan

yang layak, pendidikan, dan seterusnya.

Pemenuhan kewajiban negara tentu memiliki konsekuensi bagi warga negara—

yang pada gilirannya menjadi hak negara. Warga negara wajib memelihara dan

mempertahankan kemerdekaan negara dan sejumlah kewajiban warga negara yang lain

sebagaimana telah diuraikan pada subbab sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa upaya

bela negara, mematuhi hukum, membayar pajak, dan lain-lain merupakan aktivitas-

aktivitas warga negara untuk memenuhi hak negara. Hanya melalui tindakan timbal-balik

dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak—negara dan warga negara—

tujuan negara akan tercapai, dan, sebaliknya, hak-hak warga negara akan terpenuhi pula.

6. Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal-balik antara Negara dan Warga

Negara

Bila negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD,

Indonesia tidak demikian. UUD 1945 (sebelum amandemen) telah mencakup hak asasi di

dalamnya. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 27—31 yaitu tentang hak di bidang

politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Budiardjo, 2008: 248).

21 Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28; Pasal 28 A–J; Pasal 29 ayat (2); Pasal 30 ayat (1); Pasal 31 ayat (1) dan (2); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), UUD 1945 (sesudah amandemen).

Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik.

Penjajahan Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis

terhadap paham-paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme.

Liberalisme misalnya telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi.

Liberalisme pula yang mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul

benih-benih kolonialisme yang berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika.

Liberalisme dan kapitalisme yang dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an juga

menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara Barat dan memicu terjadinya perang

antarnegara. Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme tersebut telah menyadarkan

tokoh-tokoh bangsa bahwa hak-hak politik seperti hak mengeluarkan pendapat dan

berserikat yang ditekankan di alam liberalisme tidak mampu mengangkat kesejahteraan

masyarakat atau kesetaraan di bidang ekonomi, padahal kesejahteraan merupakan

masalah krusial bagi negara-negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Sebagai jawaban

atas masalah tersebut, maka dalam perumusan UUD, keadilan sosial lebih ditekankan.22

Namun, di tengah kuatnya arus pemikiran untuk lebih menekankan hak atau kemerdekaan

warga negara di bidang sosial dan ekonomi, ada tokoh seperti Hatta yang tetap kokoh

untuk mencantumkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat. Tujuan

pencantuman hak tersebut tidak lain untuk mencegah timbulnya negara kekuasaan yang

berpotensi menindas rakyat.

Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan

pendapat dan berserikat, maka UUD 1945 sebelum amandemen telah mencantumkan hak-

hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan patut

diketengahkan di sini, yakni bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti hak bangsa

untuk menentukan nasib sendiri (lihat Pembukaan UUD 1945), hak ekonomi dan sosial

seperti hak mendapat pengajaran, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk fakir miskin

dan anak terlantar, dst. Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun kemudian, yakni

pada tahun 1948 (Budiardjo, 2008: 244). Dengan demikian, dari sudut sejarah pemikiran,

kita patut menghargai pemikiran-pemikiran tokoh pendiri bangsa kita.

22 Lihat Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945 (sebelum amandemen).

Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap bila tidak mencakup aspek

tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara

sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa

kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat

dinikmati sepenuhnya oleh warga negara, karena adanya batasan-batasan seperti

pembubaran partai politik dan pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang seperti

kekerasan militer (pemberlakuan daerah operasi militer /DOM) di Aceh, kasus Tanjung

Priok, dan kasus Trisakti. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan

ekonomi dan masalah-masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kronis, telah

mendorong berbagai elemen masyarakat melakukan gerakan reformasi untuk mengakhiri

pemerintahan Soeharto.

Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah

bahwa ketika negara menjadi negara kekuasaan maka negara (dalam hal ini pemerintah)

memakai kekuasaan untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri

sehingga dalam praktik rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering

kali terjadi ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep

“kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas

kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Sebagai contoh, dalam

kasus penggusuran, penduduk diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas

rumah sakit. Dalam kasus seperti ini, masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi

dalam kasus penggusuran untuk pendirian pusat komersial, interpretasi tentang

“kepentingan umum” dapat bertolak belakang karena dapat dipandang sebagai

pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang “keamanan”, tidak pernah jelas

kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai upaya

untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir “kepentingan umum”, “keamanan

umum” dan “stabilitas nasional” merupakan monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251—

253). Negara dengan demikian telah menampilkan diri sebagai negara kekuasaan.

Menghadapi situasi demikian, maka memasuki era Reformasi, berbagai elemen

masyarakat menuntut penguatan hak asasi. Upaya ini berhasil dengan diundangkannya UU

RI Nomor 39 Tahun 1999. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan kemajuan

hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan

kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU

Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga telah

menguatkan hak asasi perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang

kewarganegaraan RI terdapat pasal yang mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu

WNI dan ayah WNA. Dengan UU ini, status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah

mengikuti kewarganegaraan ibunya sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada

usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana

perdagangan orang diterbitkan agar bila perkawinan berakhir dengan perceraian, hak asuh

anak tetap pada ibu.

Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak

warga negara di bidang sosial-ekonomi dan budaya. Saat ini Indonesia masih terbelit oleh

masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi.

Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-tujuan yang

digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh dari

harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi persoalan sehingga

timbul rasa ketidakadilan di kalangan rakyat.

Di pihak warga negara, yang juga patut mendapat perhatian khusus adalah bahwa

perilaku kebebasan tanpa batas seperti tindak anarki, amuk massa, tindakan-tindakan yang

tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, perilaku korupsi, dsb. merupakan

cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk ketertiban bersama dan

menciptakan keadilan.

Dengan melihat keadaan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa masalah

keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup

berbangsa dan bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut

memerlukan peran negara. Namun, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu

rumit dan beragam, negara juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi politik

warga negara merupakan kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui

hubungan kerja sama atau hubungan timbal-balik antara negara dan warga negaralah

penyelenggaraan negara dapat terarah pada cita-cita bersama sebagaimana tertuang dalam

pembukaan UUD 1945.

BAB VINDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami dinamika

hubungan antarbangsa di dunia, serta mampu membangun sikap

terbuka dan kritis terhadap peran politik Indonesia di dunia

internasional.

1. Hubungan Antarbangsa

Hubungan antarbangsa tidak selamanya serasi karena menyangkut kepentingan

nasional masing-masing. Kepentingan nasional antara dua bangsa/negara dapat berbeda,

malah saling berbenturan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan

biasanya disebut konflik. Dalam perkembangannya konflik dapat meruncing dan berlanjut

dengan penggunaan senjata. Keadaan terakhir itu disebut perang.

Gambaran plastis hubungan antara dua negara dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, integrasi (kerja sama); hal ini dapat terjadi karena kepentingan dua negara

sejalan. Kedua, konflik (pertentangan); hal ini dapat terjadi karena kepentingan masing-

masing negara saling bertentangan. Untuk yang kedua ini, ada beberapa cara

penyelesaiannya yaitu tindak kekerasan, penekanan atau pemaksaan (coersion), dan

akomodasi. Tindak kekerasan biasanya berupa penyelesaian dengan perang bersenjata.

Dalam hal penekanan atau pemaksaan, biasanya salah satu negara melakukan gerakan

provokasi agar negara lainnya takut/tunduk, misalnya dengan mengadakan latihan militer

di daerah perbatasan. Akomodasi ialah keadaan kedua bangsa saling menghormati dengan

koeksistensi, kompromi, dan kompetisi kepentingan secara sehat.

Peningkatan atau eskalasi konflik antarnegara bagaikan sebuah spektrum. Eskalasi

dimulai apabila salah satu negara merasa dirugikan yaitu ketika, umpamanya, upayanya

untuk memakai produksi sendiri terganggu. Keadaan ini biasanya berlanjut dengan

peningkatan tarif bea masuk, kuota perdagangan, pembatasan peredaran valuta asing,

konsesi dagang dengan negara (mitra) tertentu, hal yang sudah barang tentu akan dibalas

oleh negara yang tidak mendapat konsesi dengan cara boikot dan/atau sabotase atas

barang negara “lawan” (yang tidak memberi konsesi). Keadaan ini, yang mirip dengan

keadaan perang tetapi tanpa penggunaan senjata, disebut perang dingin.

Dalam perang dingin dapat terjadi “perang terbatas” dengan tanda-tanda seperti

penahanan kapal “lawan” dengan muatannya, insiden perbatasan, dan huru-hara yang

dikendalikan dari luar. Perang panas atau perang terbuka dimulai dengan pencaplokan

atau aneksasi teritorial, kemudian pernyataan perang yang dilanjutkan dengan

penggunaan satuan-satuan Angkatan Perang (Darat, Laut, dan Udara). Bahkan perang dapat

menjadi tidak terkendali apabila tidak segera diselesaikan. Perang tidak terkendali apabila

kedua pihak menggunakan senjata nuklir, biologi, dan kimia (Eccles, 1959: 13).

Untuk mengatasi eskalasi seperti itu masing-masing negara biasanya menyiapkan

warga negaranya untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara maupun upaya

pertahanan- keamanan. Bagi bangsa Indonesia kedua upaya ini merupakan hak dan

kewajiban. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 ayat (1) UUD 1945. Ini

merupakan keunikan hukum tentang hak dan kewajiban warga negara di Indonesia.

Sejarah konflik antarmanusia, antarmasyarakat maupun antarbangsa selalu

melibatkan masyarakat atau bangsa lain sehingga terbentuk blok-blok. Pada abad XVII dua

blok yang saling berhadapan adalah dinasti Bourbon di Eropa Barat dengan dinasti

Hapsburg di Eropa Tengah. Pasca-Perang Dunia I, sekitar tahun 1920-an dunia seolah-olah

dibagi hanya atas dua sebagai dunia Barat dan sisanya, yaitu negara-negara yang dianggap

tidak dipengaruhi oleh Barat (Huntington, 1998: 23—26). Dalam pengertian ini negara

koloni dianggap masuk ke blok Barat. Pada pertengahan abad XX, pasca-Perang Dunia

(masa perang dingin), di samping blok Barat dan blok Timur muncul pula blok lain yaitu

negara-negara yang baru merdeka.

2. Peran Indonesia dalam Hubungan Antarbangsa

Butir keempat dari tujuan nasional Indonesia sebagaimana tertulis pada Alinea

keempat Pembukaan UUD 1945 asli merupakan “politik bebas aktif”. Kebijakan politik

bebas aktif dilakukan untuk menghadapi kenyataan adanya dua blok negara pemenang

Perang Dunia II. Pembentukan kedua blok didasarkan pada ideologi yang berkembang

pada abad XX, masing-masing blok liberal (blok Barat) dan blok sosialis (blok Timur).

Kedua blok itu berupaya menyelesaikan konflik dengan perang dingin, yang sebenarnya

merupakan upaya koersi kedua blok tersebut. Blok Barat merangkul mantan musuhnya

dalam Perang Dunia II, Jerman Barat, dan dimasukan dalam pakta pertahanan Atlantik

Utara (NATO). Jepang dirangkul dan dipayungi oleh Amerika Serikat selama Jepang

bersedia menjadi negara demokrasi liberal, termasuk sistem agraria dan pendidikan

(Robert, 2004: 1062). Akibatnya, Jepang dan Jerman Barat menjadi raksasa ekonomi baru

dengan tingkat kesejahteraan tinggi. Kedua negara itu mengalahkan negara-negara

pemenang perang; Jerman Barat, misalnya, lebih pesat perekonomiannya daripada Prancis.

Ini tidak lain karena Jepang dan Jerman Barat meminimalkan biaya keamanan nasionalnya

yang telah dipayungi oleh blok Barat (sekutu). Kedua blok (Barat dan Timur) berupaya

menarik negara-negara merdeka baru ke dalam blok mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Langka dan Myanmar

(dahulu Birma) berupaya agar negara baru tidak terseret ke dalam salah satu kubu, dengan

maksud agar dapat meredakan ketegangan dunia. Gerakan yang dipelopori Indonesia itu

mendapat respons dari Mesir pasca-tergulingnya monarki dan berhasil mengadakan

Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal Gerakan Non-

Blok. Pada era Perang Dingin 1960-an ke dalam blok baru itu kemudian bergabung

Yugoslavia yang sedikit merenggang dengan blok negara-negara demokrasi sosialis.

Negara-negara Amerika Latin yang sebelumnya pro Barat, pada era ini bergabung dengan

negara-negara Asia dan Afrika. Negara-negara yang tergabung dalan gerakan non-blok

dikenal sebagai negara dunia ketiga atau negara sedang berkembang (NSB). Dalam gerakan

ini Indonesia termasuk negara pemrakasa (Huntington, 1998: 24—25).

Gerakan non-blok berperan penting dalam meredam konflik atau perang dingin.

Namun, sangat disayangkan bahwa pimpinan (elit politik) negara-negara pemrakasa

kurang memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda sehingga terkesan kurang

demokratis. Sepeninggal mereka, gerakan non-blok menjadi kurang efektif, apalagi setelah

krisis ekonomi, sosial, budaya, dan politik melanda negara-negara anggotanya, mengingat

bahwa syarat utama gerakan ini adalah kestabilan politik pada masing-masing negara

peserta.

Di era “Perang Dingin 1960-an” juga terjadi krisis politik di Indonesia. Presiden

Soeharto sebagai kepala pemerintahan memprioritaskan pengamanan dalam negeri dan

sekaligus pembangunan ekonomi dalam negeri. Secara tidak langsung arah politik kita

cenderung ke demokrasi liberal. Gerakan selanjutnya berupaya melakukan pemurnian

ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan merumuskan paradigma tata

kehidupan nasional dengan menyusun doktrin-doktrin dasar. Legitimasi doktrin-doktrin

dasar adalah Wawasan Nusantara sebagai geopolitik dan Ketahanan Nasional sebagai

geostrategi melalui ketetapan MPR. Implementasi kedua doktrin itu dalam politik luar

negeri dimulai dengan upaya pembangunan stabilitas politik dan ekonomi di kawasan

regional. Hubungan dengan negara tetangga yang selama itu “kurang baik” dibangun

kembali dengan mendirikan perhimpunan negara Asia Tenggara (Association of South East

Asia Nations, ASEAN).

3. Berbagai Kecenderungan di Era Globalisasi

Dekade akhir abad XX dan awal abad XXI disebut masa (era) globalisasi. Pada masa

ini setiap negara menjadi negara terbuka untuk perdagangan bebas. Era globalisasi

ditandai oleh kemajuan teknologi dalam bidang transportasi—terutama setelah pesawat

terbang digunakan sebagai angkutan masal, baik untuk penumpang maupun barang—

telekomunikasi—yang kini telah berkembang menjadi teknologi informatika—serta

semangat perdagangan bebas. Pada era ini pula orang terdorong menjadi warga negara

dunia (kosmopolit). Negara maju dan kaya mencita-citakan dunia tanpa batas. Dunia tanpa

batas akan merugikan bangsa yang sedang berkembang apabila bangsa itu tidak memiliki

karakter nasional yang kuat dan intelektual yang tinggi. Tidaklah mengherankan apabila

akan terjadi konflik antarnegara maupun interen negara nasional yang dipicu oleh

perbedaan persepsi mengenai nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konflik fisik masih terjadi baik dalam rangka perebutan wilayah secara fisik

maupun melalui maya, yaitu melalui pengaruh budaya, ekonomi dan sebagainya, yang

berawal dari perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu tidaklah salah apabila Wright

berkata bahwa perang fisik dipicu oleh 1) dunia yang “menciut” sebagai akibat kemajuan

teknologi transportasi, 2) “percepatan” jalannya sejarah sebagai akibat kemajuan teknologi

telekomunikasi, 3) penemuan persenjataan baru (yang lebih modern), dan 4) kebangkitan

demokrasi. Dari keempat penyebab perang itu, tiga di antaranya menyebabkan

penggunaan sumber daya alam—terutama yang tidak dapat diperbaharui—yang

berlebihan. Oleh karena itu isu era globalisasi diidentikkan dengan pemanasan global dan

perebutan wilayah sumber daya alam (Wright, 1942: 4—7).

Di era ini muncul konsep “dunia tanpa batas” yang pada hakikatnya adalah

perkembangan dari berdirinya perusahaan-perusahaan multinasional (multinational

corporations), yang tidak lain merupakan bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Dalam konsep

ini seorang pembeli dianggap sebagai raja, tetapi dalam kenyataannya dia terpaksa

membeli barang hanya demi menjaga gengsi—memakai merek tertentu. Persaingan

penjualan hasil produk akan dimenangkan oleh perusahaan yang mampu merakit barang

berkat penyebaran teknologi (dispersion of technology). Perusahaan besar akan tetap

membina perusahaan kecil dan mungkin ikut membiayai penelitian dan pengembangan

sehingga produknya dijadikan modal tetap sebagai biaya tetap (fixed cost). Masalah mata

uang dan negara (currency and country) akan menjadi kendala apabila perusahaan itu

dimiliki oleh satu negara. Oleh karena itu perusahaan yang berupaya mempengaruhi

konsumen menjadi perusahaan multi-nasional yang didirikan oleh beberapa negara

(Ohmae, 1991: 34—71).

Berdasarkan uraian di atas, tidaklah salah apabila dikatakan bahwa era globalisasi

merupakan bentuk kolonisasi perusahaan multinasional melalui dunia maya, yang

mengarah kepada penjajahan sosial, budaya, ekonomi, dan ideologi, dan tidak mustahil

juga akan mengarah kepada tindak-tindak kriminal antarnegara. Sudah barang tentu

konsep ini akan ditolak oleh negarawan dan politisi nasional yang patriotik. Akibat

lanjutannya, tidak mustahil terjadi tindak-tindak kriminal yang diikuti oleh gerakan politik

yang akan berakhir dengan kejatuhan negara nasional baru.

Pada awal era globalisasi, blok demokrasi sosialis mendapat bencana multi-dimensi

yang berawal dengan krisis ekonomi, berlanjut dengan krisis politik, dan berakhir dengan

kebangkitan demokrasi, terutama sejak runtuhnya tembok Berlin. Akibatnya, banyak

negara demokrasi sosialis terpaksa harus segera melakukan perubahan dengan

menyesuaikan diri dengan mitra dan lingkungan strategisnya. Semangat untuk

mengadakan perubahan segera dan cepat juga melanda banyak negara lain, termasuk

negara maju.

Euforia runtuhnya tembok Berlin dan keinginan terbentuknya dunia tanpa batas

menjadikan banyak negara menjadi tidak aman dan damai. Timbul konflik, baik

antarnegara maupun di dalam negara nasional sendiri. Konflik-konflik yang semula

berbasis ekonomi banyak diselesaikan melalui politik sambil menunjukkan identitas

masyarakat (Huntington, 1998: 21). Banyak negara nasional pecah menjadi negara kecil

yang berbasis etnik. Kelompok-kelompok etnik saling berhadapan dan berjuang untuk

kepentingan etniknya dan tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan.

Kecenderungan politik sebenarnya menjadi penyebab awal kebangkitan demokrasi,

terutama di negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Krisis

ekonomi dianggap sebagai penyebab awal kecenderungan ekonomi global. Dalam hal ini

sistem politik negara-negara Barat dianggap “lebih baik” daripada yang dilaksanakan di

negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu isu-

isu demokrasi dan hak asasi manusia yang didengung-dengungkan Barat menjadi

mendunia.

Kecenderungan ekonomi terjadi karena pergeseran pusat perekonomian dunia ke

arah kawasan negara-negara Pasifik. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Kanada

bergeser ke Barat karena melihat kesempatan yang lebih besar. Jepang muncul menjadi

raksasa ekonomi. Negara-negara Eropa yang takut ditinggalkan berupaya “tampak” ikut

berperan. Rusia juga bereaksi dengan berusaha menampakkan kekuatannya di kawasan

Pasifik,

Kecenderungan sosial budaya juga diakibatkan oleh kemajuan teknologi

telekomunikasi dengan makin berkembangnya teknik informatika. Apa yang terjadi di

dunia pada saat yang bersamaan dapat diketahui melalui media elektronik di rumah-

rumah masyarakat lainnya. Budaya dan kearifan lokal bersaing ketat dengan budaya pop

yang mendunia. Kecenderungan yang mengutamakan hak daripada kewajiban mulai

ditinggalkan sehingga muncul Gerakan Tanggung Jawab Insani (Human Responsibilities

Movement). Oleh karena itu, pendidikan kepribadian dan karakter perlu dibangun dengan

baik dan terus-menerus.

Kecenderungan bentuk pertahanan keamanan dipengaruhi oleh runtuhnya blok

Timur yang merupakan isyarat perubahan pada visi, misi, strategi, dan konsep politik

nasional. Konsep visi dan misi pertahanan keamanan diciptakan oleh masing-masing

negara. Namun yang patut diwaspadai adalah keinginan Barat, terutama negara-negara

Anglo-Sakson (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru) untuk tetap

menguasai dunia. Kalau pada abad pertengahan kolonialisme berbentuk fisik, maka kini

berbentuk demokrasi dan ekonomi liberal. Isu-isu yang mereka kembangkan adalah

perang melawan terorisme internasional dan penegakan demokrasi.

Pada era ini, dunia seolah-olah pecah karena pengaruh perkembangan kebangkitan

budaya bangsa (Huntington, 1998: 207). Timbul benturan budaya yang berlanjut dengan

pecahnya negara nasional menjadi negara yang bersifat etnik atau agama. Sudan menjadi

negara terakhir (sampai dengan tahun 2011) yang pecah menjadi negara nasional yang

bersifat etnik dengan menjadi Sudan (dengan mayoritas penduduk beragama Islam) dan

Sudan Selatan (dengan mayoritas penduduk Kristen dan yang belum beragama).

Berdirinya negara-negara nasional baru dengan pendekatan budaya/etnik dan

agama menambah pengelompokan satuan budaya. Banyaknya satuan budaya dapat

dikelompokkan menjadi satuan budaya besar yang merupakan garis perbatasan (frontier)

budaya. Menurut Huntington kini ada sembilan satuan budaya besar atau utama.

Kesembilan garis perbatasan budaya tersebut adalah 1) budaya Barat yang meliputi

negara-negara dengan mayoritas penduduk Kristen Barat yang juga dikenal sebagai

negara-negara Barat modern sekuler; 2) budaya Amerika Latin, mulai dari Mexico hingga

Argentina (kecuali tiga negara Guyana (eks jajahan Inggris, Belanda, dan Perancis); 3)

budaya Afrika, mulai dari Afrika Tengah sampai ke Selatan; 4) budaya Islam di wilayah

yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang mencakup a) Afrika Utara, b) sebagian

Balkan, c) Somalia, d) sebagian wilayah eks Uni Sovyet, dan e) Indonesia; 5) budaya Sinik

yang meliputi wilayah Cina, Vietnam, dan Korea; 6) budaya Hindu; 7) budaya Kristen

Ortodoks yang meliputi wilayah dengan mayoritas penganut agama Kristen Ortodoks di

perbatasan sebelah Timur dari Eropa Tengah hingga eks Uni Sovyet; 8) budaya Buddha di

daerah Asia Tenggara; dan 9) budaya Jepang (Sinto) yang meliputi Jepang, termasuk

Sachalin Utara. Garis perbatasan ini saling mempengaruhi melalui budaya, sosial, ajaran

agama, etnik, dan perdagangan dan mungkin dapat mengarah ke politik kekuatan

(Huntington, 1998: 27, 28, 159).

4. Indonesia dan Globalisasi

Indonesia pada awal era ini juga dilanda bencana nasional, yang berawal dari krisis

ekonomi dan moneter dan kemudian berkembang menjadi krisis budaya yang menyentuh

segenap sendi kehidupan bangsa. Masyarakat kita berpikir dan bertindak cepat atas dasar

intuisi tanpa memperhitungkan akibat perilakunya. Salah satu akibatnya adalah budaya

kekerasan menjadi menonjol. Penggunaan kekerasan yang menonjol ini juga merupakan

salah satu cerminan dari kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 4—7).

Pasca-robohnya Federasi Uni Sovyet, blok Barat—terutama negara-negara dengan

latar belakang mayoritas etnik Anglo-Sakson—kehilangan musuh. Mereka tetap berusaha

melebarkan pengaruhnya ke arah negara yang lemah sebagai perwujudan konsep

ruangnya. Apabila pada masa lalu (awal abad XX) konsep ruang diwujudkan melalui

mekanisme politik dan militer, maka pada masa pasca-Perang Dingin hal itu diwujudkan

melalui kekuatan ekonomi. Pada era globalisasi upaya mereka itu dilakukan dengan dalih

demokratisasi di negara yang kurang demokratis, upaya melindungi dan membantu

gerakan hak asasi manusia, dan memerangi terorisme. Negara-negara itu memiliki

kekuasaan mutlak sehingga Lord Acton (1834—1902) mengatakan “Power tends to corrupt,

and absolute power corrupts absolutely” (Cohen dan Cohen, 1980: 1).

Untuk menghadapi kondisi ini, kerja sama bilateral saja tidak cukup sehingga harus

dikembangkan kerja sama regional dan internasional. Kerja sama itu tidak dalam bentuk

pakta pertahanan, karena hal itu akan mengarah kepada perlombaan pengembangan

kesenjataan. Kerja sama regional dan internasional hendaknya merupakan implikasi

doktrim geopolitik dan geostrategi dalam dimensi internasional dan ditujukan untuk

meningkatkan daya tawar untuk menghadapi negara-negara adidaya.

Dimensi internasional doktrim ketahanan nasional dijabarkan melalui konsep

ketahanan regional. Wilayah regional diartikan sebagai daerah sekitar negara dengan

penekanan pada wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis dan dapat berupa

persamaan ras, budaya, dan sumber daya. Pembentukan kesatuan negara regional

diharapkan meningkatkan ketahanan nasional masing-masing negara anggota. Oleh

karena itu ketahanan regional sangat tergantung pada semangat kebersamaan di antara

anggota dan adaptasi sesama anggota, dengan komponen stabilitas politik, kekuatan

ekonomi, dan kekuatan militer yang siaga.

Kerja sama regional merupakan strategi untuk menghadapi negara yang lebih kuat

sehingga negara-negara anggota mempunyai posisi tawar yang lebih kuat pada era

perdagangan global. Pada kasus ini Indonesia telah memprakarsai pembentukan

Perhimpunan Negara Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations, ASEAN) pada

tahun 1967, yang pada awalnya terdiri dari lima negara, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia,

Singapura, dan Thailand. Jumlah negara anggota ASEAN pada saat ini telah berkembang

menjadi sepuluh negara yaitu setelah Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar

(dahulu Burma), dan Vietnam bergabung.

Konsep pembentukan ASEAN ini merupakan konsep geostrategi berlapis. Bagi

Indonesia ASEAN merupakan lapis pertama geostrategi, sedangkan keikutsertaan

Indonesia dalam Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan konsep geostrategis

lapis kedua. Kerja sama regional lapis pertama sesungguhnya merupakan posisi garis

perbatasan budaya karena terbentuk berdasarkan kesamaan budaya.

Konsep ASEAN kini banyak dikembangkan pada era globalisai dengan pembentukan

badan atau forum seperti 1) South East Asia Association for Regional Cooperation (SAARC),

2) South-Pacific Forum (SPF), dan 3) Gulf Countries Council. Bahkan kini negara-negara

Eropa daratan membentuk Uni Eropa, meskipun sebelumnya telah terbentuk pesatuan

negara-negara Skandinavia yaitu Swedia, Norwegia, dan Denmark, dan persatuan negara-

negara BENELUX (Belgia, Nederlan, dan Luksemburg), Ini menunjukkan bahwa

proksimitas geografi lebih diutamakan untuk mempermudah kohesi dan respon bersama

menghadapi perubahan global yang tidak menentu.

Untuk menghadapi negara-negara sedang berkembang, negara maju—baik adidaya

maupun negara “kecil”—menciptakan hambatan yang seolah-olah “wajar” dengan

ketentuan-ketentuan seperti: 1) eco-labeling, 2) International Standard Organization Code,

dan 3) International Safety Management Code. Untuk itu diperlukan daya tawar kolektif

(collective bargaining power) dari negara-negara sedang berkembang sekawasan. Konsep

inilah yang merupakan konsep ketahanan nasional Indonesia yang disebut ketahanan

berlapis.