36
Desember 2014 1 balkon Edisi 146, Desember 2014 www.balairungpress.com Disharmoni Peraturan Baru Perguruan Tinggi

Balkon #146

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Balkon edisi 146 "Disharmoni Peraturan Baru Perguruan Tinggi"

Citation preview

Desember 2014 1

balkonEdisi 146, Desember 2014

ww

w.ba

lairu

ngpr

ess.c

om

Disharmoni Peraturan Baru Perguruan Tinggi

balkon2

Desember 2014 3

Iklan ini dipsersembahkan oleh :

balkon4

Editorial

Laporan UtamaDisharmoni Peraturan Baru Pendidikan Tinggi

Laporan Utama Regulasi Baru Seragamkan Mahasiswa

Sisi Lain Geliat Mahasiswa di Ujung Tanduk Kebijakan

Jajak Pendapat Mengupas Kesiapan UGM hadapi Regulasi

DialektikaProblematika Pembangunan Pariwisata Yogyakarta

SiasatMenakar Pembatasan Masa Studi dalam Permendikbud 49/2014

PotretMenelisik Rekam Jejak UGM Melalui Museum

Advetrorial

OpiniMimpi Kampus Ramah Difabel

EurekaPsikososial dalam Perannya Meningkatkan Prestasi Belajar

RehalRealitas diBalik Kartun

ApresiasiArti Kehidupan dalam Media Dua Dimensi Arti Kehidupan dalam

Media Dua Dimensi

SosokBerbagi Kepedulian Lewat Seni Peran

KomunitasGerakan Pemberdayaan Desa untuk Kedaulatan Pangan

Gores

PenginterupsiBahtera Nuh

Si Iyik

balkonPenanggung Jawab

Nindias Nur Khalika

KoordinatorKrisnia Rahmadany

Tim KreatifAmanda Rachmaniar, Anis Putri,

Ganesh Cintika, Muhammad Syafiq

EditorAgung, Amal, Anggre, Ganesh, Rahma, Ria,

Rifa, Sofiyah, Tya.

RisetArfida, Bagus, Tiffany.

RedaksiAgdzhur, Ageng, Dimas, Faisal, Farras,

Hidayatmi, Isma, Joko, Kevin, Lamia, Mayang, Rizky, Surrohman, Thoriq, Yani

PerusahaanEvi, Rina, Salma, Via

Produksi dan ArtistikAdam, Alan, Aldo, Aliftya, Angin, Halvin, Hanif,

Hanin, Hansel, Maria, Nala, Niam, Tama

CoverHansel

ALAMAT REDAKSI, SIRKULASI, IKLAN, DAN, PROMOSI

Bulaksumur B-21 Yogyakarta 55281Website:

www. Balairungpress.comEmail:

[email protected] Iklan dan Pemasaran:

Manda (087812800221)Rekening BNI Yogyakarta

0258228557 a.n. Wiwit Endri Nuryaningsih

Redaksi menerima tanggapan, kesan, maupun saran pembaca sekalian yang berkaitan dengan lingkungan

UGM melalui email, atau SMS ke 08174750099 atau juga dapat langsung disampaikan ke Redaksi

Balairung di Bulaksumur B-21.

Daftar Isi

5

6

8

10

12

14

16

17

20

21

22

24

26

28

30

32

33

33

DITERBITKAN BPPM BALAIRUNG UGM

Desember 2014 5

Editorial

Dunia pendidikan tinggi telah memiliki wajah baru. Pada 26 Oktober lalu, Joko Widodo akhirnya mewujudkan angan para rektor Indonesia untuk menggabungkan pengelolaan pendidikan tinggi bersamaan dengan pengembangan riset dan teknologi (Ristek). Kala itu, para rektor yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia memandang riset-riset di perguruan tinggi tidak bersinergi dengan lembaga riset lainnya. Perguruan tinggi yang sejatinya diharapkan menjadi

wadah pengembangan Ristek pun tidak berjalan optimal.

Perbincangan ini sebenarnya persoalan lama yang belum mendapatkan titik temu. Menyitir visi UGM 2008-2012, kampus ini telah bermimpi untuk menjadi universitas riset kelas dunia. Namun, label universitas riset yang digadang-gadang itu harus dipendam karena sumber daya di dalamnya tak mendukung visi itu terwujud. Jangan tanya bagaimana peran mahasiswa dalam upaya pengembangan riset di lingkungan kampus. Jumlah mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan riset pun persentasenya minim.

Kurangnya keterlibatan mahasiswa disebabkan terlalu banyaknya beban akademik yang ditanggung. Apalagi kurikulum yang diterapkan berorientasi pada usaha penyediaan calon pekerja yang siap diserap pasar. Lihatlah Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang tertuang dalam Permendikbud No. 49 Tahun 2014 yang baru-baru ini disahkan. Standar Kompetensi Lulusan yang ditetapkan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Sedangkan KKNI disusun pemerintah sebagai acuan menetapkan jenis pekerjaan seseorang berdasarkan tingkat pendidikannya. Oleh sebab itu, alih-alih berpikir untuk mengkaji dan mengembangkan kajian ilmu yang digeluti, mahasiswa cenderung berpikir untuk lekas tamat dan segera terjun ke dunia kerja.

Masuknya logika pasar dalam sistem pendidikan menandakan bahwa sektor ini telah mengalami proses industrialisasi. Max Weber menegaskan, salah satu ciri industrialisasi adalah menerapkan prinsip rasionalisasi. Keterprediksian dan efisiensi merupakan contoh penerapan prinsip ini. Dalam pendidikan tinggi kita, keterprediksian mewujud pada doktrin-doktrin pekerjaan “ideal” berdasarkan jurusan. Jika saja selepas kuliah tak sesuai dengan prediksi ini, ia akan cenderung dianggap sebagai lulusan yang gagal.

Sedangkan soal efisiensi, salah satu rasionalisasinya diwujudkan dengan penerapan ukuran yang “ideal” bagi masa studi mahasiswa. Misalnya dalam Permendikbud No. 49 tahun 2014 ini, masa studi mahasiswa strata satu dibatasi maksimal lima tahun. Tidak ada yang tahu landasan apa yang dipakai pemerintah sehingga muncul angka ini. Yang ada hanyalah praduga dari berbagai pihak yang lagi-lagi dirasionalisasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral-etis.

Tentu saja aturan ini menuai banyak kritik. Berbagai bidang kelimuan yang berbeda karakteristiknya tidak bisa diukur dengan parameter yang sama. Bisa jadi apa yang dianggap ideal untuk bidang kajian sains dan eksakta tidak berlaku untuk kajian sosio humaniora. Ditambah lagi, belum adanya perhatian terhadap aspek psikologis mahasiswa. Bahwa tidak semua mahasiswa mampu menjalani 24 SKS mata kuliah dalam satu semester sekaligus.

Pembaca, jika semua hal di dunia dirasionalisasikan dengan hitung-hitungan yang tidak memanusiakan manusia, lantas apa bedanya hidup kita dengan kumpulan mesin yang dikonstruksi untuk mengerjakan tugas-tugas mekanis pabrik? Kondisi ini jika dibiarkan terus berlangsung hanya akan mengalienasi manusia dari hakikat kemanusiaannya. Juga hanya akan memunculkan apa yang disebut Weber sebagai disenchantment of the world, yaitu proses memudarnya pesona dunia karena segala hal yang ada di bumi ini dapat dikalkulasi secara rasional.

Pada kondisi ini, kita mendapati pendidikan mendidik manusia bertindak tanpa tahu alasan mengapa ia harus berlaku demikian. Padahal sejatinya pendidikan bersifat membebaskan dan membentuk kesadaran kritis. Tujuannya adalah membebaskan manusia dari jerat keterbelakangan. Dengan segala pembatasan tersebut, bisakah tercipta hasil riset yang mumpuni dari pemikiran mahasiswa? Sedangkan riset yang berbobot setidaknya ditandai dengan lahirnya ide, teknologi, dan inovasi baru yang membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar.

Setelah pos kementerian baru terbentuk, seharusnya kita mulai membenahi kembali sistem pendidikan tinggi agar sejalan dengan pengembangan riset. Menggabungkan perguruan tinggi dengan riset berarti pemerintah harus serius menyiapkan berbagai sumber daya di lingkungan kampus. Konsekuensinya adalah perguruan tinggi dituntut serius meletakkan riset sebagai salah satu basis kegiatan unggulan. Oleh karenanya, perlu kita tanyakan kembali, apakah Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang telah disusun sudah sejalan dengan semangat ini?

Akhirnya, selamat membaca dan berdialektika!

[Redaksi]

balkon6

Laporan Utama

Disharmoni Peraturan Baru Pendidikan TinggiPemerintah kembali mengeluarkan kebijakan mengenai standar pendidikan tinggi. Namun, terdapat ketidakjelasan dalam peraturan tersebut sehingga UGM belum memutuskan untuk menerapkannya.

September lalu, selebaran bertuliskan “Belajar saja, jangan aktif organisasi, 5 tahun sudah harus lulus” terlihat memenuhi sudut kampus Fisipol. Selebaran berukuran A3 ini ditemukan tertempel di beberapa

papan pengumuman. Dewan Mahasiswa KM Fisipol adalah penyebar dari propaganda penolakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 49/2014 tersebut. Peraturan mengenai pembatasan masa studi menjadi fokus utama penolakan yang dilakukan mahasiswa.

Permendikbud No.49/2014 sendiri merupakan ketentuan pelaksana dari Pasal 52 Undang-Undang No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang berbunyi, “Menteri menetapkan

sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi”. Permendikbud ini nantinya akan digunakan sebagai acuan Standar Pendidikan Tinggi baik untuk universitas negeri maupun swasta. Tri Widyatmoko, ST., Kepala Bidang Pendidikan Tinggi, Dinas Pendidikan dan Olahraga mengatakan, perkembangan lebih lanjut mengenai Permendikbud diserahkan langsung ke universitas masing-masing. Dalam hal ini, universitas negeri bisa langsung ke rektorat, sedangkan universitas swasta harus melalui Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta terlebih dahulu.

Sampai saat ini, UGM sendiri belum menerapkan Permendikbud No. 49/2014. Salah satu poin utama penolakan

Ilustrasi: Balairung/Halvin

Desember 2014 7

Permendikbud ini adalah Pasal 17 ayat (3) huruf d yang mengatur mengenai pembatasan masa studi. Peraturan sebelumnya, yaitu Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/2000, membatasi masa studi mahasiswa maksimal tujuh tahun. Sedangkan, peraturan yang baru akan semakin membatasi masa studi mahasiswa menjadi maksimal lima tahun.

Dilansir dari jpnn.com, Djoko Santoso, Direktur Jenderal Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud mengatakan, alasan pembatasan masa studi bertujuan untuk memudahkan adaptasi kurikulum yang dievaluasi. Dalam hal ini, ia menjelaskan kurikulum pendidikan tinggi dievaluasi secara berkala setiap empat tahun sekali. Pembatasan waktu kuliah lima tahun disebut Djoko akan menekan ketertinggalan kurikulum dibandingkan waktu kuliah tujuh tahun. Walaupun begitu, peraturan pembatasan kuliah ini tetap mendatangkan reaksi protes mahasiswa. Seperti aksi protes pembatasan masa studi yang dilakukan Dick Hutama Karim, ketua Departemen Advokasi Dema Justicia. “Kami meminta peraturan tersebut ditinjau kembali,” ujarnya.

Reaksi berbeda diungkapkan Hesa Rahardian Kaswanda, mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Ia berpendapat, pembatasan masa studi bukanlah masalah yang berarti. Ia menegaskan, keputusan itu sepenuhnya tetap berada di tangan mahasiswa. Menurutnya, kegiatan non-akademik yang sering dijadikan alasan mahasiswa meninggalkan kuliah tidak bisa ditoleransi. “Buktinya saya punya kenalan yang aktif berorganisasi tetapi bisa lulus tepat waktu dengan IPK Cumlaude,” tambah mahasiswa angkatan 2009 ini.

Permasalahan yang seharusnya diperhatikan, menurut Hesa justru dari sisi kebijakan yang dikeluarkan UGM. Contohnya, kebijakan Fakultas Hukum UGM yang menambahkan beban Satuan Kredit Semester (SKS) beberapa mata kuliah. Bagian Kurikulum Fakultas Hukum mengubah salah satu mata kuliah yang memiliki beban empat SKS menjadi tiga mata kuliah. Ketiga mata kuliah tersebut menjadi memiliki beban masing-masing tiga SKS.“Hal itu justru menambah beban mahasiswa, sehingga masa studinya lebih lama,” keluhnya.

Ir. Muhammad Waziz Wildan, M.Sc., Ph.D., Wakil Dekan Fakultas Teknik menjelaskan Fakultasnya membutuhkan masa transisi untuk siap menerapkan ketentuan-ketentuan Permendikbud Dikti tersebut. Menurutnya, perubahan batas masa studi nyatanya bukan masalah yang berarti. Hal tersebut menurutnya dikarenakan rata-rata mahasiswa teknik telah lulus dalam masa studi lima tahun. Berbeda dengan yang disampaikan Waziz, persoalan mengenai kesiapan menerapkan Permendikbud ini disinggung pula oleh Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.MEd.Sc.,Ph.D., Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan. “Berdasarkan hasil Rapat Kerja Universitas seluruh Indonesia bersama Dirjen Dikti, sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia justru belum siap untuk menerapkan Permendikbud ini, termasuk UGM,” ungkapnya.

Selain itu, menurut Iwan peraturan ini tidak realistis untuk diterapkan di UGM. Pasalnya, berdasarkan Permendikbud itu, masing-masing dosen hanya diperbolehkan membimbing maksimal sepuluh mahasiswa. Menurut Iwan, peraturan tersebut dimaksudkan agar kegiatan perkuliahan di kelas lebih fokus. Padahal, UGM memiliki 56.000-76.000 mahasiswa S1. Hal ini berbanding terbalik dengan dosen yang hanya berjumlah 3.000. “Artinya ada 20.000 lebih mahasiswa yang

tidak mendapatkan bimbingan dari dosen,” terangnya.

Efek domino juga akan dirasakan oleh mahasiswa S2 dan S3 apabila Permendikbud No. 49 tahun 2014 ini diterapkan. Pengaturan beban SKS yang harus diselesaikan oleh mahasiswa program magister terkesan rancu. Pasalnya, berdasarkan Permendikbud ini, maksimal beban SKS per semester yang boleh diambil adalah 20 SKS. Sementara pada pasal 17 ayat (1) peraturan ini memberi kesempatan untuk menyelesaikan studinya selama tiga semester. Padahal beban untuk lulus bagi mahasiswa S2 adalah 72 SKS. Banyaknya SKS yang harus ditempuh itu juga berbeda dengan beban SKS dari berbagai universitas di luar negeri. “Takutnya mahasiswa dari luar negeri tidak mau datang ke Indonesia karena harus menyetarakan SKS dengan jumlah yang cukup banyak,” tutur Iwan.

Untuk memenuhi beban SKS, mahasiswa S2 juga diwajibkan mengikuti seminar dengan beban lima SKS. Bagi mahasiwa S2, ilmu yang didapatkan dari seminar penting untuk mendukung pengembangan diri dan memperluas pengetahuan. Namun Iwan berargumen, peraturan ini menimbulkan persoalan karena tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai apa yang disebut dengan seminar. “Padahal ada banyak jenis seminar yang dapat diikuti,” jelasnya.

Tak hanya itu, peraturan mengenai publikasi Jurnal sebagai syarat pemenuhan beban SKS juga menimbulkan persoalan. Iwan menganalogikan, jika setiap tahun UGM meluluskan 3500 mahasiswa, dan dalam satu jurnal hanya dapat memuat sepuluh tulisan mahasiswa. Akibatnya, UGM wajib untuk mempublikasikan 350 jurnal yang telah terakreditasi secara nasional. Iwan berpendapat, hal ini tidak memungkinkan karena jumlah jurnal ilmiah yang terakreditasi di Indonesia masih sangat sedikit. Sebuah jurnal ilmiah baru terakreditasi ketika telah mencamtumkan abstraksi dan kata kunci dalam bahasa Inggris serta menggunakan metodologi penulisan ilmiah yang benar. Selain itu, jurnal ilmiah harus menggunakan referensi penulisan dari jurnal internasional yang telah ditinjau oleh pakar. “Jika hal ini diterapkan, orang-orang bisa masuk UGM tapi sulit untuk lulus,” tambahnya.

Oleh karena banyak permasalahan yang akan timbul, Iwan menjelaskan, UGM memutuskan untuk tidak mengimplementasikan Permendikbud No. 49/2014 dalam waktu dekat ini. “Harus ada tinjauan ulang terhadap Permendikbud ini,” tambahnya. Sri Murtiningsih, Dosen Fakultas Filsafat UGM berpendapat, pendidikan di Indonesia selama ini hanya mengacu pada tujuan akhir. Lebih lanjut, Murti memperlihatkan rasa simpatinya terhadap tatanan pendidikan yang tidak melihat proses.

Menyikapi keluarnya Permendikbud No. 49/ 2014 ini, Murti menilai, peraturan tersebut hanya berorientasi pada tujuan bukan proses. Ia menambahkan, dikeluarkannya Permendikbud ini semakin mengukuhkan perguruan tinggi sebagai pabrik penyedia tenaga kerja, bukan sebagai institusi pendidikan. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pendidikan di Indonesia sudah kehilangan substansinya. Menurutnya, seorang mahasiswa harus berkembang menjadi pribadi yang dia inginkan dan dia kuasai. Substansi dari pendidikan itu sendiri adalah proses mendidik seorang mahasiswa menjadi dirinya sendiri dalam masyarakat. “Persoalan akan menjadi ‘siapa’ setelah lulus bukanlah menjadi masalah,” tegasnya. [Ageng, Faisal, Lamia]

balkon8

Laporan UtamaLaporan Utama

Ribuan pencari kerja memadati area gedung Grha Sabha Pramana (GSP). Mereka datang mengenakan pakaian rapi sambil membawa berkas lamaran kerja di tangan. Begitu memasuki GSP, stan-stan perusahan

sudah siap menyambut kedatangan mereka. Pencari kerja itu berbondong-bondong mengunjungi tiap stan untuk mencari tahu lowongan dan teknis melamar kerja di perusahaan tersebut. Menurut panitia, tiap tahunnya lebih kurang 30 ribu pengunjung hadir memadati acara itu.

Banyaknya pencari kerja di Indonesia menuai tanggapan dari praktisi pendidikan tinggi. Menurut Prof. Dr. drh. Siti Isrina, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), perguruan tinggi harus mendorong mahasiswa untuk lulus cepat agar bisa bersaing di dunia kerja. Pasalnya di tahun 2015 Indonesia akan menerapkan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Artinya setiap lulusan sarjana dari negara-negara Asia Tenggara berpeluang untuk kerja di mana saja, termasuk di Indonesia. “Otomatis, persaingan mencari kerja menjadi semakin ketat,”ujar Siti.

Bak gayung bersambut, Prof. Dr. Amitya Kumara, M. S., Psi, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi menambahkan bahwa pemerintah telah menyadari tantangan ini. Oleh karenanya pemerintah mengeluarkan Permendikbud No 49/2014. Peraturan ini mengatur tentang standar dosen yang mengajar, kualifikasi mengajar, jumlah sks dan lama studi. UGM sendiri telah menerapkan standar ini jauh sebelum permendikbud itu diterbitkan. “Adanya standar dari Permendikbud itu diharapkan akan mengukuhkan kualitas lulusan UGM yang

kompatibel dan komparabel dengan lulusan asing,”tuturnya.

Menurut Ami, standar itu ditetapkan untuk mewujudkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). KKNI adalah salah satu rujukan nasional untuk menjamin dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan agar dunia kerja mendapat kepastian terhadap kualitas calon tenaga kerja. Pengertian tersebut tertuang pada Permendikbud No. 73/2013 tentang penerapan kerangka kualifikasi nasional Indonesia bidang pendidikan tinggi.

Terkait isi peraturan tersebut, Yuris Rezha Kurniawan, Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia, menyorot perhatian lebih pada pasal 17 ayat 3. Pasal itu menyebutkan bahwa masa studi terpakai adalah lima tahun. Menurut Yuriz, pembatasan tersebut dapat menimbulkan efek psikologis bagi mahasiswa, terutama mereka dengan keterbatasan ekonomi. Biasanya, di samping kuliah mereka juga sibuk bekerja. Kesibukan ini berpotensi mengulur masa kuliah karena mereka harus membagi waktu antara kuliah dan bekerja. “Kalau dia sudah kuliah tapi di tahun kelima belum lulus lalu dikeluarkan, itu kan membunuh mimpi mereka,” jelas Yuris.

Selanjutnya, Yuris menuturkan bahwa pembatasan masa kuliah pun berdampak pada orientasi mahasiswa. Mahasiswa akan cenderung berorientasi pada akademis saja, padahal selain mengejar nilai akademis, mahasiswa seharusnya juga berorganisasi. Menurutnya, melalui kegiatan organisasi mahasiswa dapat membangun karakter dan jaringan sehingga terbentuk mahasiswa yang terampil dan kreatif. Namun, aturan ini justru cenderung menyeragamkan mahasiswa. “Perguruan tinggi kan bukan pendidikan dasar, mahasiswa seharusnya bisa menentukan nasibnya sendiri,“ terang Yuris.

Berkaitan dengan pendidikan dan pengembangan karakter di UGM, pendapat berbeda diungkapkan oleh Amitya. Menurutnya, pendidikan karakter di UGM telah diimplementasikan lewat berbagai cara. Diantaranya dengan menyelenggarakan kegiatan PPSMB, pendidikan softskill dan career training. Fakultas Psikologi, salah satunya mengembangkan pendidikan softkill melalui workshop, training, dan mentoring. Kegiatan itu berlangsung selama mahasiswa masih menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi “Jadi nanti porsi akademis dan non akademis

Regulasi Baru Seragamkan Mahasiswa

Perguruan tinggi harusnya

membentuk mahasiswa menjadi

pribadi yang terampil dan kreatif.

Namun, aturan yang ada justru

menyeragamkan seluruh mahasiswa.

Desember 2014 9

Ilustrasi: Balairung/Hanif

seimbang,” tutur Amitya.

Menanggapi pernyataan Amitya, menurut Yuris, kegiatan PPSMB dan pendidikan softskill yang dimaksudkan sebagai pendidikan karakter juga dinilai masih jauh dari kata ideal. Kegiatan PPSMB hanyalah jembatan yang digunakan seorang mahasiswa untuk menyeberang dari dunia SMA ke dunia perkuliahan. “Oleh karena itu, PPSMB tidak ideal dijadikan sebagai proses pendidikan karakter,” jelasnya. Setali tiga uang dengan PPSMB, pendidikan sofskill juga belum memenuhi syarat ideal sebagai bentuk pendidikan karakter di UGM. “Pendidikan softskill UGM kebanyakan disajikan lewat workshop sehingga komunikasi terjalin hanya satu arah,” ujar Yuris.

Meski UGM telah menetapkan standar bagi mahasiswanya, namun penerapan Permendikbud No. 49/2014 masih simpang siur. Kesimpangsiuran itu terkait waktu pelaksanaan yang belum jelas, padahal aturan sudah diterbitkan pada Juni lalu. Menurut Amitya, peraturan ini akan diterapkan 2015 bersamaan dengan pergantian kurikulum. Sementara itu, penuturan berbeda diutarakan Ir. Muhammad Waziz Wildan, M.Sc., Ph.D, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Teknik UGM. Menurutnya, universitas belum siap menerapkan aturan ini karena kurikulum pascasarjana mesti disesuaikan terlebih dahulu. “Kemungkinan Permendikbud ini akan diterapkan pada 2016, jadi tersedia dua tahun untuk proses transisi dan revisi dari program sebelumnya,” ujarnya.

Senada dengan pernyataan di atas, Yuris berpendapat bahwa peraturan itu masih sangat prematur dan belum tepat diterapkan saat ini. Sebab, masih ada masalah dari segi kontennya, terutama terkait pasal 17 ayat 3. Menurut Yuris, masih ada diksi yang multitafsir dan berpotensi menimbulkan interpretasi yang tidak tepat “Masalahnya, tidak ada kata ‘harus’ pada pasal tersebut,” ujar Yuris. Dengan demikian, belum dapat dipastikan konsekuensi lebih lanjut jika belum lulus setelah lima tahun.

Yuris menambahkan, penekanan standar kelulusan hanya terkait dengan terpenuhinya beban 144 SKS dan perolehan IPK tidak kurang dari dua. Karena itu, mahasiswa tidak seharusnya wajib lulus lima tahun. Sayangnya, peraturan ini dalam perkembangannya ditafsirkan bahwa waktu kuliah mahasiswa dibatasi hanya lima tahun, tidak boleh lebih.

Keganjilan lain, menurut Yuris, ada di dalam pasal 17 ayat 1. Di sana tetulis

bahwa beban belajar mahasiswa adalah 48 jam sampai dengan 54 jam per minggu. Artinya kegiatan perkuliahan berlangsung 8 jam selama 6 hari sampai 9 jam selama 6 hari. “Nah, saya mempertanyakan kalau hari Sabtu juga ada kuliah, lalu kegiatan pengembangan diri mahasiswa mau ditaruh mana lagi,” ungkapnya. Menurut Yuris, pendidikan tinggi harusnya menempatkan porsi yang seimbang antara nilai kognitif dan afektif. “Kalau pendidikan tinggi hanya mengejar nilai kognitif maka mahasiswanya akan lahir sebagai orang yang tidak peka pada kondisi sosial,” pungkas Yuris. [Agdzhur, Farras, Rizky]

balkon10

Sisi Lain

meletakkan makanan di atas meja. Rutinitas ini ia lakukan setiap hari dari pukul empat sore hingga sembilan malam.

Anik memang mempunyai rutinitas yang berbeda dari mahasiswa lainnya. Ia harus merelakan waktu istirahat selepas kuliah untuk bekerja. Memang hanya pekerjaan paruh waktu, namun upah senilai Rp15.000 per hari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. “Lumayan untuk membiayai hidup saya setiap harinya,” ucap mahasiswa jurusan Sastra Arab ‘13. Tuntutan ekonomi membuat Anik harus bekerja sebagai pramusaji. “Sejak awal kuliah, orang tua saya tidak mampu untuk membiayai kuliah saya,” jelasnya.

Di sisi lain, Anik harus piawai membagi waktu antara belajar dan bekerja. Tak jarang ia harus mengorbankan waktu istirahatnya untuk belajar. “Biasanya selepas subuh saya buka buku catatan untuk mempelajari lagi mata kuliah kemarin,” ucap Anik. Bila ada tugas yang cukup berat, seperti misalnya mengidentifikasi puisi, ia memilih mengerjakannya sepulang bekerja. “Mengidentifikasi puisi membutuhkan waktu lama, karena harus diterjemahkan dahulu, kalau dikerjakan sehabis subuh nggak cukup waktunya,” jelasnya.

Sulitnya meluangkan waktu untuk kegiatan non akademis tidak dirasakan Anik seorang. Selain bekerja paruh waktu, kegiatan berorganisasi di kampus juga bisa membuat seorang

Geliat Mahasiswa

di Ujung Tanduk

Kebijakan“Menjadi mahasiswa

adalah proses menuju kedewasaan. Sayang,

sistem tidak sejalan dengan harapan.”

Hari menjelang sore di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, terik matahari mulai redup tertutupi awan. Mahasiswa yang baru selesai menghadiri kelas mulai mengerumuni Bangku Coklat, Bangku Ijo, ataupun

Bangku Item yang tersebar di halaman FIB. Bagi mahasiswa FIB, bangku-bangku tersebut memiliki arti lebih dari sekedar alat untuk duduk dengan warnanya masing-masing. Bangku-bangku itu telah menjelma menjadi tempat penampung lelah mahasiswa setelah seharian menjalani rutinitas perkuliahan. Mereka berkumpul bersama rekan-rekannya untuk sekedar bercengkrama atau menghabiskan waktu menelusuri dunia maya di bawah pohon rindang. Sementara bagi Jayantika Soviani, rutinitas dan kewajiban yang ia pikul tidak selesai di dalam ruang kuliah. Wanita yang akrab disapa Anik ini tak mengacuhkan kenyamanan yang ditawarkan di sana dan bergegas mengambil sepedanya di tempat parkir.

Anik lekas mengayuh sepedanya menuju sebuah kedai makanan yang terletak di Klebengan. Sesampainya disana, ia lantas mengambil kain sorbet dan beranjak mengambil piring kotor bekas pelanggan dan membersihkan mejanya. Selesai membersihkan meja makan, ia segera mengantarkan pesanan kepada pelanggan yang sudah menunggu. Senyuman manis tak lupa ia suguhkan kepada para pelanggan sembari

Desember 2014 11

mahasiswa kembali mempertanyakan prioritasnya. Fajar Mulyono, mahasiswa Jurusan Kimia ’11, pun merasa kesulitan membagi waktu antara kuliah dan berorganisasi. Tidak jarang ia merelakan waktu kuliah untuk mengurus kegiatan di organisasi jika jadwal keduanya berbenturan. “Untungnya dosen di sini tidak menekankan absensi sebagai tolak ukur penilaian, oleh karena itu kami berani meninggalkan kuliah untuk melakukan kegiatan di organisasi,” jelas Fajar. Sejatinya, mahasiswa Fakultas MIPA lebih ragu untuk meninggalkan praktikum dibanding meninggalkan jadwal kuliah. Fajar mengatakan, “Praktikum itu sakral, lebih penting dari kuliah biasa, karena kalau sekali tidak masuk kita harus mengulang di semester depan.”

Anik dan Fajar adalah bukti kalau menjadi mahasiswa bukan berarti hanya mengejar nilai ijazah dengan IPK tinggi yang tertera di atasnya. Sepadat-padatnya kegiatan akademis yang mereka rancang, masih ada waktu yang disisihkan baik untuk berorganisasi ataupun bekerja. Pilihan Anik dan Fajar ini dimaklumi oleh Drs. Hadi Sutarmanto, M.S.“Universitas adalah tempat mahasiswa mengasah kreatifitas dan sikap kedewasaan dengan cara mengikuti kegiatan sebanyak mungkin,” ungkap dosen psikologi sosial di UGM ini. Hadi pun berpendapat dengan banyak menggeluti kegiatan di luar

ruang kuliah, mahasiswa dapat mengasah mental mereka dengan layak.“Karena di sanalah mereka terjun langsung kelapangan dan bertukar pikiran,” jelasnya.

Selain Hadi, kegemaran mahasiswa untuk mengikuti kegiatan non akademis turut diapresiasi oleh Direktur Kemahasiswaan UGM, Dr. Drs. Senawi, M. “UGM bertujuan untuk mencetak mahasiswa yang matang secara akademis, emosional, dan religius,”ujarnya. Mengamini pendapat Hadi, Senawi juga beranggapan bahwa ketiga hal tersebut dapat dicapai jika mahasiswa ikut dan aktif dalam organisasi ataupun kegiatan lain di luar kampus. “Kematangan emosional dapat dilatih di organisasi, disana mahasiswa mampu belajar membagi waktu antara kuliah dan berorganisasi,” jelas Senawi.

Impian UGM untuk mencetak lulusan yang matang dalam ketiga aspek tersebut tampaknya mendapat batu sandungan. Hal ini terkait dengan keluarnya Permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Peraturan tersebut menerangkan bahwa mahasiswa wajib mengambil mata kuliah sebanyak 144 sks dan paling lambat harus dituntaskan dalam 5 tahun.

Menurut Hadi, mahasiswa harus mengalami proses yang cukup panjang di dalam organisasi, dan itu memakan waktu yang sulit ditentukan.“Sewaktu saya kuliah tidak ada pembatasan waktu, bisa mengikuti organisasi selama mungkin,” kata Hadi. Ia membenarkan kalau dalam waktu 5 tahun, kematangan akademis masih bisa dicapai. Namun, beda soal dengan pendewasaan mental yang menurutnya akan terhambat dengan kebijakan ini.

Selain Hadi, Anik pun merasa jika kebijakan ini menyulitkan mahasiswa yang harus membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Tanpa adanya putusan menteri, beban yang ditanggung sudah berat, apalagi ditambah keluarnya kebijakan tersebut. “Semester ini saya mengambil mata kuliah sebanyak 22 sks, saya mulai merasakan kesulitan untuk membagi konsentrasi antara kuliah dan bekerja,” pungkas mahasiswi asal Kulon Progo ini. Senada dengan Anik, Fajar menyesalkan keputusan tersebut. Ia menjelaskan, “Di Fakultas MIPA lulus lebih dari 5 tahun masih lumrah karena beban kuliah yang berat. Belum lagi ditambah kegiatan di organisasi.”

Menanggapi keluhan ini Senawi berpendapat bahwa kelancaran mahasiswa dalam menyelesaikan masa studi kembali kepada keinginan mahasiswa sendiri. “Organisasi dan kegiatan lain bukan merupakan prioritas utama mahasiswa, semua kembali pada diri masing-masing,” ungkapnya. Jiwan, mahasiswa Teknik Industri ’10 mengiyakan pendapat Senawi. Mahasiswa yang setahun lalu baru mengikuti program pertukaran pelajar ke Italia ini berpendapat kalau mahasiswa hebat adalah mahasiswa yang mampu aktif berorgansisasi dan bagus di akademis.

Di lain pihak, Hadi menganggap kebijakan ini akan berdampak pada psikologis mahasiswa. Karena menjadi mahasiswa adalah proses mencari dan menemukan identitas. Menemukan identitas tidak bisa diukur dengan cepatnya mahasiswa menjadi sarjana. Dosen psikologi tersebut manambahkan, “Kalaupun ada mahasiswa yang bisa matang secara keilmuwan,mental, dan kedewasaan selama 5 tahun itu mahasiswa luar biasa, sayangnya itu hanya berapa orang yang bisa,” pungkas Hadi. [Dimas, Kevin]

Ilustrasi: Balairung/Alan

balkon12

Jajak Pendapat

Pada akhir masa purnanya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh memberikan “hadiah” perpisahan untuk Perguruan Tinggi di tanah air. Hadiah itu berupa peraturan baru yang termaktub dalam

Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014. Kebijakan yang diresmikan pada 11 Juni 2014 ini berisi tentang pembatasan masa studi lima tahun bagi S1. Kebijakan ini dibuat dengan berlandaskan beberapa alasan, salah satunya adalah memaksimalkan kuota di Perguruan Tinggi. Alasanya daya tampung Perguruan Tinggi terutama yang berstatus negeri tentu terbatas. Kemudian pertimbangan lain Nuh ialah mengurangi beban biaya kuliah. Lebih jauh beliau menuturkan, untuk jurusan Teknik misalnya, biaya rata-rata Rp. 25 juta per tahun. Meskipun mendapat bantuan dari Kemendikbud, biaya itu terbilang masih relatif tinggi. “Kalau cepat menyelesaikan kuliah, beban biaya itu tidak terlalu tinggi” kata Nuh dilansir www.jpnn.com (20/09/2014). Seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia diberi waktu persiapan paling lama dua tahun untuk mengimplementasikannya.

Berpijak pada latar belakang tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia sampai sekarang belum menentukan sikap. Pastinya, UGM tidak mau keteteran dalam melakukan implementasi kebijakan tersebut. Pasalnya permasalahan itu bakal mempengaruhi kredibilitas UGM. Maka, perlu adanya upaya-upaya pembenahan.

Berangkat dari sana, UGM mesti berbenah dari segala sisi termasuk permasalahan mahasiswa aktif yang berjubel. Asumsinya, apabila jumlah mahasiswa masuk lebih banyak daripada yang keluar maka akan terjadi penumpukan sehingga kuota untuk tahun berikutnya dapat berkurang. Balairung

mencoba menyajikan analisis statistik yang bersumber data Direktorat Akademik. Data itu diambil periode 2009-2011*). Lalu, data tersebut dipilah mejadi enam fakultas dari 18 fakultas UGM. Sampel tersebut dipilih berdasarkan kuantitas mahasiswa aktif dengan alasan jumlah mahasiswa aktif mempengaruhi daya tampung. Enam sampel itu terdiri dari urutan tiga fakultas teratas dengan pertimbangan mahasiswa aktif terbanyak. Kemudian, tiga sisanya adalah fakultas dengan jumlah mahasiswa aktif paling sedikit. Rinciannya tiga fakultas teratas diwakili Teknik, Fisipol dan MIPA. Di pihak lain, fakultas dengan mahasiswa aktif paling sedikit diwakili Filsafat, Kedokteran Gigi dan Kedokteran Hewan.

Dari data yang diperoleh, Fakultas Teknik menyumbang mahasiswa aktif terbanyak. Pada 2009 jumlah mahasiswa aktif mencapai 5567. Sedang, pada 2010 dan 2011 secara turut-turut berbilang 5945 dan 6180. Hal ini wajar, ada beberapa alasan mengapa jumlah mahasiswa aktif Teknik bisa begitu membludak ketimbang fakultas lain di UGM. Banyaknya jumlah program studi menjadi salah satu alasan. Tercatat ada 12 program studi di Fakultas Teknik.

Sementara itu, deskripsi berbeda ditemui di Fakultas Filsafat. Jumlah mahasiswa aktif di Filsafat paling sedikit ketimbang fakultas lain. Pada kurun waktu 2009-2011 jumlah mahasiswa aktif Filsafat berturut-turut sejumlah 330, 294 dan 303. Angka ini fluktuatif tapi tidak menunjukan perubahan signifikan. Penyebabnya adalah kuota dari Filsafat yang memang setiap tahunnya kecil ketimbang fakultas lainnya.

Akan tetapi, dari semua sampel data periode 2009 - 2011 rata-rata mahasiswa aktif cenderung mengalami kenaikan. Hal ini berimbas pada pengurangan kuota bagi mahasiswa baru

Kesiapan UGM Hadapi Regulasi

“Hadapi regulasi, UGM tak bisa berjalan sendirian. Kesadaran dan kerja sama seluruh civitas

academica UGM sangat diperlukan”

Jumlah Mahasiswa Aktif UGM Kurun Waktu 2009-2011

Sumber : Direktorat Akademik UGM

Grafis: Balairung/Adam

Desember 2014 13

yang akan memasuki jenjang perkuliahan di UGM. Sebab, jelas tidak mungkin menambah kuota sementara mahasiswa aktif masih berjubel karena daya tampung yang terbatas. Maka, apabila penumpukan jumlah mahasiswa aktif terus bertambah, kesempatan para calon mahasiswa akan semakin sempit.

Di satu sisi, data yang lain juga memaparkan hal berbeda mengenai perbandingan mahasiswa yang masuk dan keluar di kurun waktu 2009 – 2011. Paling mencolok adalah yang terlihat di Fakultas MIPA. Dalam tiga tahun tersebut MIPA mengalami gangguan dalam hal kelulusan. Pada 2009 mahasiswa yang masuk sebanyak 619 sementara mahasiswa yang keluar hanya 362. Selanjutnya, pada 2010 jumlah mahasiswa yang masuk berkisar 589 sementara yang lulus adalah 310. Hal ini membuktikan terdapat pengurangan kuota pada tahun 2010 di MIPA yang semula berkuota 619 turun menjadi 589. Namun, kuota itu kembali bertambah pada 2011 sebesar 827 sementara yang keluar adalah 373. Penambahan kuota tersebut dipengaruhi oleh lama studi pada 2010 yaitu empat tahun sebelas bulan yang lebih baik dari pada 2009 yakni lima tahun delapan bulan.

Di pihak lain, paparan berbeda terjadi di Fakultas Filsafat. Jumlah mahasiswa baru dan wisudawan pada periode 2009 – 2011 cenderung berimbang. Rinciannya adalah pada tahun 2009 mahasiswa yang masuk sejumlah 40 dan 41 yang lulus. Pada 2010 jumlah yang masuk 45, sedang yang keluar 40. Hanya pada 2011 Filsafat mengalami ketimpangan jumlah, yakni jumlah mahasiswa yang masuk sebesar 92 sementara wisudawannya berjumlah 56. Meski begitu, sebenarnya jumlah mahasiswa yang aktif di Fakultas Filsafat pada periode tiga tahun tersebut cenderung konstan, yaitu berkutat pada angka 250 sampai 300 mahasiswa, sebuah angka yang tidak begitu timpang.

Akan tetapi pada realitasnya, hampir semua fakultas di UGM, jumlah mahasiswa masuk dan yang lulus tidak berimbang. Bahkan di Teknik dan MIPA pada 2011 jumlah mahasiswa yang keluar tidak mencapai setengah dari jumlah mahasiswa masuk. Lagi-lagi angka-angka berkutat di rumpun ilmu sains. Hal ini menguatkan beban kuliah antar fakultas

satu dengan yang lain jelas berbeda. Maka dari itu, hendaknya setiap fakultas tidak harus diladeni dengan kebijakan dan sistem yang sama. Misalnya, FKG yang mengenal sistem remidi. Sistem remidi memungkinkan mahasiswa mengulang sebuah mata kuliah tanpa menunggu semester yang akan datang.

Dari analisis data yang ada, maka setidaknya kita menemukan tiga hal yang harus dibenahi. Pertama, masa studi per fakultas yang berbeda-beda dan ditemukan fakta masih terdapat beberapa fakultas yang tidak memenuhi kriteria lulus lima tahun. Kedua adalah jumlah mahasiswa yang masuk dan keluar tidak berimbang antar fakultas di UGM. Ini berimbas pada pemenuhan kuota pada tahun ajaran mendatang. Ketiga, tidak semua fakultas harus ditangani dengan kebijakan yang sama mengingat setiap konsentrasi keilmuwan mempunyai beban berbeda-beda. Misalnya, di rumpun ilmu sains praktikum yang ada proporsinya cenderung lebih besar dari pada rata-rata studi keilmuan soshum.

Maka dari itu, jika ingin memenuhi hasrat akan regulasi, seharusnya diperlukan strategi-strategi yang matang, rasional dan tidak kaku. Pembenahan harus dilakukan secara menyeluruh. Jika tidak siap, agaknya resiko drop out akan mudah sekali melayang. Dampak dari hal itu adalah resiko jatuhnya akreditasi. Tentunya, UGM tidak mau namanya tercoret pula berkenaan visinya yang ingin menggapai universitas bertaraf internasional.

Terlepas dari itu semua, harusnya mahasiswa ikut andil dalam menyikapi kebijakan ini. Adanya kebijakan tersebut lantas tidak membuat mahasiswa hanya sibuk berkutat pada ruang kuliah saja. Lagi pula, penanganan kebijakan tidak melulu harus dibebankan kepada pihak UGM semata. Tapi perlu sinergi dan kerja sama dari semua civitas akademika UGM . [Bagus]

*) Data diambil dengan pertimbangan beberapa alasan. Pertama data untuk lulusan tahun 2014 belum selesai direkap karena menunggu Periode Wisuda bulan November 2014. Alasan lain ialah data periode 2012 dan 2013 dari Direktorat Akademik mengalami kehilangan karena pada periode itu terjadi pergantian pengurus administrasi. Direktorat Akademik mengaku belum sempat merapikan kembali data tersebut.

Sumber : Direktorat Akademik UGM

Perbandingan Jumlah Mahasiswa Masuk dan Keluar Kurun Waktu 2009-2011

Sumber : Direktorat Akademik UGM

balkon14

Dialektika

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang memiliki banyak potensi wisata. Diantaranya objek wisata Kaliurang, gua-gua di Gunung Kidul dan pantai-pantai di bagian Selatan. Wisatawan di Yogyakarta pun

meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY menunjukkan, pada 2013 jumlah kunjungan wisatawan ke DIY mencapai 3,536 juta. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya jumlah investasi hotel, khususnya di kota Yogyakarta. Namun,

Foto : Hansel/Bal

Pembangunan pariwisata cenderung berorientasi

komersial. Alhasil, pembangunannya kurang

mengakomodasi keberadaan budaya lokal

Problematika Pembangunan Pariwisata Yogyakarta

Foto

: B

alai

rung

/Han

sel

Desember 2014 15

pembangunan tersebut tidak dikontrol oleh regulasi yang jelas. Akibatnya, terjadi ketidakteraturan dalam pembangunan di Kota Yogyakarta.

Persoalan tersebut coba dibahas dalam diskusi bertajuk “Kota Pariwisata Berbasis Budaya”. Diskusi diselenggarakan di sekretariat BPPM Balairung, Jalan Kembang Merak B-21, Bulaksumur, Yogyakarta pada Jumat (17/10) lalu. Diskusi ini menghadirkan Destha Titi Raharja, peneliti dari Pusat Studi Pariwisata (Puspar) sebagai pembicara.

Mengawali diskusi, Destha memaparkan hal-hal penting dalam pembangunan. “Terdapat tiga domain besar pembangunan. Yang pertama yaitu kebudayaan, kemudian pendidikan dan pariwisata,” ungkapnya. Destha mengatakan, kebudayaan merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam pembangunan untuk tujuan wisata. Hal tersebut dijelaskan dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Kemudian di tingkat provinsi terdapat dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012 mengenai rencana induk pembangunan kepariwisataan di D.I. Yogyakarta.

Budaya yang dimaksud mencakup berbagai aspek seperti bahasa, gagasan atau pola pikir, dan perilaku. “Visualisasi bangunan-bangunan seperti hotel, restoran dan transportasi juga termasuk dalam karya nyata sebuah budaya,” imbuh Destha. Karena itu, adanya Perda Nomor 1 Tahun 2012 bertujuan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Destha menjelaskan, tujuan orang berwisata adalah untuk mencari hal yang berbeda dengan kehidupan mereka sehari-hari. Keberadaan aspek budaya dan tampilan ciri khas daerah membuat wisatawan dapat merasakan atmosfer yang berbeda.

Berkebalikan dengan peraturan tersebut, penerapan kebudayaan tidak terlihat pada bentuk maupun isi dari hotel. “Misalnya seperti Rich Hotel atau The Grand Palace Hotel, terlihat sangat bergaya Eropa,” ungkap Destha. Regulasi yang mengatur arsitektur belum ada. Hotel-hotel kini dipandang sebagai sampah visual karena penampakan bentuknya yang sama saja. Begitu pula dengan belum adanya peraturan mengenai seragam pegawai hotel maupun cita rasa masakannya.

Destha menjelaskan, pembangunan kepariwisataan membutuhkan tiga pilar untuk pelaksanaannya. Pilar pertama ialah lingkungan, kemudian komunitas sosial atau masyarakat. Setelah pilar-pilar tersebut terpenuhi, barulah aspek ekonomi diperhatikan agar pembangunan dapat terus berkembang. Tetapi menurut Destha, sekarang justru aspek ekonomi yang sering kali didahulukan. Pengejaran devisa membuat banyak yang berinvestasi pada pembangunan tanpa memperhatikan dua pilar sebelumnya. Investor seringkali hanya bernegosiasi dengan pemerintah tanpa menampung aspirasi masyarakat. Akhirnya yang tersisa hanya daya tawar pemerintah untuk bernegosiasi dengan investor. “Apabila pemerintah tidak cukup kuat untuk bernegosiasi, maka investor akan terus masuk dan masyarakat lokal akan terpinggirkan,” jelasnya

Hal ini terjadi karena tidak adanya sosialisasi perencanaan pembangunan hotel, padahal, pembangunan hotel memerlukan kerjasama warga setempat untuk berbagai hal,seperti pemenuhan kebutuhan akan air atau penyewaan tempat. Akibatnya, banyak unjuk rasa dan penolakan dari masyarakat terhadap hotel-hotel di Yogyakarta. “Padahal jika bisnis yang sudah berjalan terhambat atau malah terhenti,

konsumen lah yang dirugikan. Citra Yogyakarta itu sendiri juga akan memburuk,” imbuh peneliti dari Puspar tersebut.

Permasalahan utama muncul sebagai dampak berlebihnya pembangunan hotel di Yogyakarta. Pembangunan tidak memperhatikan tata ruang sehingga tumpang tindih. Hal tersebut diperparah dengan volume kendaraan bermotor yang tidak dikendalikan. Jalan-jalan semakin ramai sementara volume jalan terbatas. Pelayanan transportasi publik belum memadai sehingga terjadi kemacetan dimana-mana. “Akibatnya terjadi carut marut pada layanan pariwisata Yogyakarta,” pungkas Destha.

Ganesh Cintika Putri, salah satu peserta diskusi, menanggapi masalah tersebut. Ganesh mempertanyakan keberadaan regulasi yang menentukan lokasi pembangunan. Menurutnya, akan lebih baik bila ada kawasan yang dikhususkan untuk hotel dan lainnya untuk kawasan permukiman. “Sehingga jika ada sebuah hotel dibangun, tidak akan ada masalah mengenai dimana harus didirikan,” jelasnya.

Namun, Kota Yogyakarta belum memiliki regulasi yang mengatur tata ruang dan bangunan secara luas. Tata ruang yang ada hanya mengatur zonasi kepariwisataan seperti objek wisata. Tata ruang tersebut pun sudah tidak bisa lagi meregulasi bangunan yang sudah terlanjur didirikan. Untuk menekan angka pembangunan hotel, pemerintah kota Yogyakarta telah mengeluarkan peraturan. Salah satunya berkaitan dengan kawasan budaya yang kerap disebut kawasan pusaka. Kawasan pusaka adalah ruang-ruang yang dipandang memiliki nilai historis dan wajib untuk dilindungi dan dilestarikan. “Pelestariannya dengan cara, bangunan yang didirikan harus memiliki gaya yang sama sehingga mencerminkan nuansa yang sama yaitu khas Yogyakarta, “ kata Destha.

Tidak seperti kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman tidak membatasi pembangunan hotel. “Investor berbondong-bondong berinvestasi di Sleman. Akibatnya sama saja, pembangunan hotel tetap berjalan,” ungkap Destha. Padahal, dalam mengurangi pembangunan hotel di Yogyakarta pun, terdapat peraturan moratorium. Peraturan tersebut merupakan regulasi pembatasan investasi pembangunan hotel pada 2014 hingga 2016.

Michael Ageng Yudhapratama yang juga salah satu peserta diskusi, menganggap kebijakan moratorium tersebut tidak membawa perubahan yang berarti. Hal tersebut dikarenakan banyak perencanaan pembangunan hotel yang terlanjur disahkan. Yudha juga menyayangkan pemerintah yang masih mengutamakan pembangunan hotel dibandingkan pelestarian kebudayaan di Yogyakarta. “Bahkan cagar budaya seperti Gedung Bimo pun bisa dibongkar untuk dibangunnya hotel,” ungkapnya.

Senada dengan Yudha, Destha menyetujui adanya inkonsistensi pemerintah Yogyakarta. Peraturan moratorium justru terlihat sebagai katalis pengusaha agar cepat mengajukan perencanaan hotel. Pembatasan pembangunan perhotelan tidak dilakukan karena keuntungan yang dikejar oleh pemerintah. Akibatnya hal tersebut memberi kesan pemerintah lah yang dikendalikan oleh pengusaha. “Moratorium diberlakukan sehingga seakan-akan pemerintah memiliki kepedulian dalam mempertahankan Yogyakarta sebagai kota budaya, padahal tidak,” pungkasnya. [Mayang, Thoriq]

balkon16

Siasat

Pendidikan adalah aspek fundamental dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan dapat menjalankan tugasnya sebagai makhluk hidup paling sempuna di dunia. Adanya falsafah untuk menuntut

ilmu semenjak dari ayunan hingga liang lahat menunjukan hakikat sebuah pendidikan, bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Ia pula yang menjadi dimensi penyeimbang seperti apa yang dikatakan oleh Tan Malaka, bahwa tujuan pendidikan adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan.

Multitafsir Pasal Masa Studi

Juni 2014 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Permendikbud 49/2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi. Regulasi tersebut banyak menyita perhatian khususnya klausul tentang masa studi kuliah. Dalam pasal 17 ayat (3) Permendikbud tersebut, dikatakan bahwa masa studi terpakai bagi mahasiswa diploma empat dan program sarjana adalah 4 sampai 5 tahun. Frasa yang digunakan adalah “masa studi terpakai” bukan “masa studi yang wajib ditempuh” maupun “masa studi maksimal”.

Pada ayat 16 Permendikbud tersebut, diatur pula beban studi bahwasanya beban belajar yang dicantumkan adalah beban minimal sehingga dimungkinkan untuk mengambil beban lebih dari yang telah ditentukan. Sangat wajar jika kemudian ada yang memaknai pasal ini tidak membatasi masa studi kuliah karena rentang waktu 4-5 tahun dianggap sebagai waktu normal untuk menyelesaikan beban minimal sks bukan waktu maksimal. Ditambah lagi, dalam Permendikbud tersebut tidak akan kita temukan pasal yang mengatur konsekuensi ketika masa studi yang digunakan tidak sesuai dengan masa studi normal.

Namun, yang sangat dikhawatirkan adalah pernyataan pemerintah melalui Ditjen Dikti dalam berbagai media yang memberikan tafsir lain terhadap regulasi ini. Peraturan ini dimaknai bahwa untuk menyelesaikan beban belajar, mahasiswa harus dalam masa studi 4-5 tahun. Apabila sampai lima tahun tidak lulus, konsekuensinya pun tidak tanggung-tanggung, yaitu Drop Out (DO). Pernyataan inilah yang kemudian menjadi polemik yang berdampak secara psikologis bagi mahasiswa. Multitafsir dapat disebabkan akibat kegagalan pemerintah dalam membentuk regulasinya atau dapat juga dikarenakan kegagalan pemerintah dalam mengintepretasi regulasinya. Wajar jika kemudian di pemerintahan yang baru ini kita menuntut dilakukan peninjauan ulang terhadap Permendikbud 49/2014.

Pembatasan Masa Studi Pendidikan Tinggi

Pasal 6 UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) mengatur prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Prinsip sistem terbuka berarti penyelenggaraan pendidikan tinggi yang fleksibel dalam hal cara penyampaian, pilihan dan waktu penyelesaian

program, lintas satuan, jalur, dan jenis pendidikan. Sementara itu, prinsip multimakna

berarti pendidikan tinggi harus berorientasi pada pembudayaan,

pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup. Melihat penjelasan pasal tersebut, pembatasan masa studi dalam Permendikbud 49/2014 tentu sangat bertolak belakang dengan semangat prinsip sistem terbuka yang ada

dalam UU Dikti.

Jika pemerintah ingin tetap konsisten pada cita-cita yang termaktub dalam UU Dikti,

maka perguruan tinggi akan memiliki tantangan yang sangat besar. Menghadapi kondisi mahasiswa yang heterogen tentu saja menjadi pekerjaan rumah untuk membentuk suatu sistem pendidikan yang tidak sekadar mengedepankan intelektualitas namun juga multimakna dengan mengembangkan pembentukan karakter dan softskill. Lalu, dengan masa studi yang terbatas, mampukah perguruan tinggi menjawab tantangan tersebut ?

Yuris Rezha Kurniawan

Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia

Menakar Pembatasan Masa Studi dalam Permendikbud 49/2014

“Jika anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon,

seumur hidup dia akan menganggap dirinya bodoh.”-Albert Einsten

Ilustrasi: Balairung/Maria

Desember 2014 17

Potret

“Menelisik Rekam Jejak UGM melalui Museum”

Terletak di kompleks Kampus UGM, Bulaksumur Blok D-6 dan D-7, museum UGM didirikan

untuk memberikan gambaran sejarah perjalanan berdirinya UGM dari masa ke masa. Benda yang

ada di dalamnya berupa beberapa artefak dan peninggalan koleksi penting, seperti mesin ketik

milik Ki Hajar Dewantara yang sering digunakan oleh Prof. Dr. Sardjito serta hasil karya dosen dan

mahasiswa UGM. Tercatat semenjak Juni 2013 hingga April lalu telah lebih dari 2000 pengunjung

(pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum) yang berkunjung. Saat ini, Museum UGM telah

menjadi ikon baru dan media pembelajaran, penelitian, serta memperkuat jati diri generasi

dan sivitas akademika UGM. Namun, yang cukup disayangkan dari museum ini adalah masih

terdapatnya beberapa ruang pamer yang belum diisi.

Teks dan foto : Aliftya Amarilisyariningtyas

balkon18

Potret

Desember 2014 19

balkon20

Event

balkon20

Desember 2014 21

Opini

Anggap saja di Yogyakarta tidak ada mahasiswa difabel, mungkin tidak perlu ada pengadaan ramp, guiding block, ataupun alat penunjang bagi kaum tunadaksa tersebut di kampus. Jika saja tidak ada

mahasiswa difabel, mungkin tidak lagi penting keberadaan komunitas mahasiswa difabel, seperti UKM Difabel, atau Pusat Studi Layanan DIfabel. Pun, jika kenyataan berkata bahwa memang ada kaum difabel lulusan SMA/ sederajat yang meneguhkan hati untuk melanjutkan ke jenjang kuliah, maka toh mereka tidak akan mendapatkan fasilitas yang memadai dan justru mendapatkan diskriminasi yang menyakiti hati.

Uraian tersebut menjadi awalan sederhana untuk memberi gambaran lebih jauh akan konsekuensi atas dikesampingkannya hak mahasiswa difabel untuk memperoleh fasilitas memadai. Fasilitas memadai berarti pemenuhan hak dasar untuk dapat menjalankan aktivitas seperti biasa. Fasilitas tersebut minimal mendukung kegiatan perkuliahan dengan baik, seperti pengadaan komputer dan buku braile serta aplikasi komputer yang mengalihkan suara ke tulisan atau sebaliknya bagi mahasiswa tuna netra dan tuna rungu. Selain itu, pembuatan guiding block dan ramp di gedung-gedung perkuliahan utama tentu sangat penting untuk memperlancar aktivitas dan gerak mahasiswa difabel.

Aksesibilitas dari fasilitas tersebut bagi kaum difabel sangat penting dalam memperlancar kegiatan perkuliahan. Sebut saja jumlah mahasiswa difabel tidak mencapai angka 50%, lantas apakah pengadaan fasilitas-fasilitas untuk mahasiswa difabel ini penting? Tentu saja jika logika mengutamakan kepentingan mayoritas, kebutuhan minoritas tidak penting untuk dipikirkan. Kita akan terjebak pada hal-hal yang lebih umum namun tidak kunjung selesai. Padahal ciri negera yang “bersedia untuk maju” ialah negara yang mampu menyelesaikan hal-hal kecil hingga besar. Oleh karena itu, kampus ramah difabel bukanlah persoalan kecil. Hal tersebut karena persoalan ini berkaitan dengan hak asasi manusia atas akses pendidikan yang layak.

Keberadaan kampus-kampus di Yogyakarta yang ramah difabel dapat dihitung jari. ‘Ramah’ berarti, minimal sudah mewacanakan adanya kampus yang memfasilitasi keberadaan difabel. Kampus-kampus tersebut adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga yang sudah mendirikan Pusat Studi Layanan Difabel (PSLD) dan serta UGM dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) DIfabel-nya. PSLD UIN Sunan Kalijaga ini pertama dirintis oleh dosen UIN yang baru menyelesaikan studi di Kanada. Kampus-kampus di Kanada mayoritas telah menyediakan fasilitas yang baik bagi difabel. Hal tersebut menginspirasi terwujudnya kampus ramah difabel di UIN. Hingga saat ini, PSLD UIN Sunan Kalijaga masih tetap produktif dan mendapatkan apresiasi di tingkat domestik dan mancanegara. Berbeda halnya dengan UKM Difabel UGM yang meskipun tidak dirintis oleh dosen, namun tetap memiliki semangat luar biasa. Semangat ini datang dari mahasiswa-mahasiswa yang menginginkan aksesibilitas difabel. Salah

satunya adalah Mukhanif Yasin, Sastra Indonesia’11. Ketua UKM Difabel UGM ini mendirikan unit kegiatan peduli difabel, hingga akhirnya diakui menjadi UKM oleh Rektorat pada 7 Juli 2013.

Lebih penting dari itu, pengadaan fasilitas ini tidak hanya sekadar ada dan kemudian selesai. Namun juga menumbuhkan kesadaran masyarakat kampus mengenai keberadaan mahasiswa difabel. Keberadaan mahasiswa difabel ini juga bagian dari masyarakat. Reiki, advokasi UKM DIfabel UGM juga beranggapan bahwa jika pengadaan fasilitas ramah difabel ini tidak dibarengi kesadaran terhadap difabel, maka difabel akan tetap menjadi objek diskriminasi.

Sekarang sudah bukan zamannya diskriminasi pada difabel. Sudah saatnya ada realisasi atas pemerataan hak untuk dapat berkarya dan berekspresi bagi semua pihak. Hal tersebut penting agar pemenuhan hak difabel tidak hanya menjadi pemanis Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Hanna Nur Haqiqi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi 2011

Mimpi Kampus Ramah Difabel

Ilustrasi: Balairung/Hansel

balkon22

Eureka

Pendidikan merupakan usaha yang terencana untuk menunjang proses pembelajaran. Di Indonesia sendiri pemerintah sudah memiliki beberapa taktik untuk meningkatkan mutu pendidikan agar sesuai dengan

standar yang telah ditentukan. Salah satunya dengan menjalankan program wajib belajar sembilan tahun. Program tersebut merupakan layanan sekolah gratis bagi seluruh masyarakat untuk mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Seiring berjalannya waktu, standar program wajib sembilan tahun dirasa kurang memenuhi. Dalam program tersebut pemerintah hanya bertanggung jawab kepada siswa hingga ke jenjang SMP saja. Seperti yang kita tahu lulus dari sebuah sekolah menengah saja dirasa tak cukup. Tingkatan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi masih harus ditempuh untuk dapat bersaing di dunia kerja. Masyarakat Indonesia telah sadar akan hal itu dan mulai memperhitungkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Hal ini dapat terlihat dengan semakin ketatnya persaingan untuk masuk ke suatu perguruan tinggi. Data Dirjen Dikti Kemendiknas menunjukan bahwa jumlah Perguruan Tinggi (PTN) Negeri yang ada tidak dapat menampung kuantitas calon mahasiswa yang ada. Perguruan Tinggi Swasta (PTS) juga menjadi alternatif bagi mereka yang ingin mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Saat ini, keberadaan PTS bukan hanya sekedar universitas “pelarian” karena banyak PTS telah memiliki mutu yang tak kalah dengan PTN.

Bicara mengenai kualitas suatu perguruan tinggi, berhubungan erat dengan prestasi akamedis mahasiswanya. Indeks prestasi atau sering disingkat IP merupakan indeks atau ukuran yang mewakili hasil belajar mahasiswa selama satu semester. Tidak hanya untuk pencerminan mutu sebuah perguruan tinggi, namun IPK juga akan berpengaruh terhadap lahan kerja yang akan dituju nantinya. Sebut saja Pertamina, Telkom dan bahkan berbagai perusahaan swasta yang ada di Indonesia. Mereka memiliki kriteria tersendiri untuk nilai

Peran Psikosikososial dalam Meningkatkan Prestasi Belajar

Pendefinisian indeks prestasi mahasiswa tidak lepas dari

faktor psikososial yang turut andil di dalamnya. Lalu apakah

faktor-faktor psikososial akan meningkatkan atau justru

menjerumuskan prestasi akademis mahasiswa kedepannya?

Ilust

rasi

: B

alai

rung

/Han

if

Desember 2014 23

minimal IP yang harus dicapai bagi calon pegawainya. IP memang bukan satu-satunya faktor penentu sukses tidaknya seorang mahasiwa. Akan tetapi indeks prestasi merupakan modal yang akan membuka peluang mahasiwa untuk meraih sukses tersebut.

Mahasiswa yang memiliki prestasi akademik yang bagus, cenderung memiliki kepribadian dan softskill yang bagus pula. Untuk itu, perlu diketahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi akademik mahasiswa sehingga dampak negatif dari prestasi akademik rendah dapat diminimalkan. Mahargyantari Purwani Dewi melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk menguji peran faktor psikososial terhadap prestasi akademik mahasiswa. Penelitian ini melibatkan 368 mahasiswa dengan menggunakan metode path analysis. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang berbentuk skala. Diantaranya yaitu skala dukungan orangtua, minat pada ekstrakulikuler, efikasi diri akademik, dan motivasi belajar. Untuk memperoleh data prestasi akademik, penelitian ini menggunakan mahasiswa semester tujuh sebagai subjek penelitian.

Studi penelitian tentang faktor psikososial yang berkaitan dengan prestasi akademik dilakukan dengan FGD atau focus grup discussion (kelompok diskusi terarah). FGD tersebut membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok dengan 15 mahasiswa setiap kelompoknya. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat berapa faktor psikososial yang berhubungan dengan prestasi akademik mahasiswa. Diantaranya yaitu cara belajar, efikasi diri akademik, motivasi, minat pada ekstrakulikuler, dukungan orang tua, dukungan teman, dan musik. Menurut para mahasiwa yang melakukan FGD, faktor diataslah yang dirasa menjadi penentu baik buruknya indeks prestasi mereka.

Penelitian lebih lanjut dilakukan bulan Maret tahun 2011 pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Penelitian ini melibatkan 80 mahasiswa. Menurut hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor psikososial yang berperan dalam kesuksesan akademik mahasiswa. Diantaranya adalah faktor dukungan orang tua. Sebagian mahasiswa merasa bahwa dukungan orang tua secara emosional masih dirasa kurang. Sebaliknya, orang tua cenderung mengutamakan memberikan dukungan berupa materi. Mereka mengesampingkan dukungan emosional yang sebenarnya masih sangat dibutuhkan. Dukungan emosional tersebut dapat direalisasikan dengan memberikan respon terhadap kegiatan anak atau ketertarikan terhadap apa saja yang sedang dikerjakan. Memberikan penghargaan berupa pujian juga dapat dikategorikan sebagai sebuah dukungan emosional dari orang tua. Pujian secara tidak langsung akan memperkuat efikasi diri akademik, karena salah satu faktor efikasi adalah verbal persuation.

Selain faktor sosial, Mahargayanti juga menyebutkan adanya faktor dari dalam diri yang berperan dalam kesuksesan akademik mahasiswa. Salah satunya adalah minat mahasiswa pada kegiatan ekstrakulikuler. Keikutsertaan mahasiswa pada ekstrakulikuler dapat menambah pengetahuan baru yang dapat diaplikasikan pada kegiatan akademik. Akan tetapi sebagian dari mahasiswa merasa bahwa mengikuti ekstrakulikuler hanya akan menambah kesulitan dalam pengaturan waktu. Faktor perasaan khawatir dari orang tua bahwa ekstrakulikuler dapat mengganggu jadwal kuliah juga menyebabkan mahasiswa memiliki kecenderungan untuk tidak

berpastisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler. Padahal selain untuk menambah pengetahuan, keikutsertaan dalam kegiatan ekstrakulikuler juga dapat memperkuat efikasi diri mahasiwa.

Efikasi diri adalah keyakinan pada kemapuan diri sendiri untuk mengorganisasi atau mengelola situasi yang sedang dan akan dihadapi. Yakin terhadap kemampuan diri sendiri merupakan faktor dari dalam diri yang berperan dalam kesuksesan akademik mahasiswa. Efikasi diri akademik yang dimiliki sebagian mahasiswa masih dirasa kurang mencukupi. Mahasiwa yang memiliki efikasi diri yang rendah memiliki perilaku yang menunjukan kurangnya kepercayaan diri. Mereka tidak memiliki keberanian untuk bertanya pada saat pembelajaran berlangsung. Selain itu, mereka juga cenderung berfikir bahwa mereka akan dianggap memiliki kemampuan akademik rendah oleh mahasiswa lain jika bertanya. Beda halnya dengan mahasiswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi, dia akan cenderung yakin tehadap kemampuan yang dimiliki.

Faktor lain yang dapat diidentifikasi dan berada di dalam diri manusia adalah motivasi belajar. Motivasi belajar yang kurang dapat ditunjukkan dalam bentuk perilaku yang kurang disiplin. Misalnya pengumpulan tugas yang tidak tepat waktu, ketidaksiapan mengerjakan latihan-latihan yang diberikan dikelas maupun dirumah, dan jarang melakukan penelusuran materi perkuliahan secara individual karena lebih mengandalkan materi dari dosen. Motivasi belajar yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya berhubungan dengan rendahnya kepercayaan terhadap diri sendiri. Seseorang yang memiliki efikasi diri yang rendah akan memiliki rasa percaya diri yang rendah pula. Hal itu menyebabkan pikiran seseorang diselimuti hal yang negatif sehingga tidak memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan sesuatu.

Faktor-faktor psikososial saling berkaitan satu sama lain. Faktor psikososial tersebut akan saling mendukung jika bisa dikondisikan dengan semestinya. Dukungan orang tua berpengaruh terhadap prestasi akademik melalui minat pada ekstrakulikuler, efikasi diri akademik, dan motivasi belajar. Akan tetapi, sebagai faktor sosial dukungan orang tua tidak berpengaruh langsung terhadap prestasi akademik mahasiswa. Dengan kata lain, dukungan dari orang tua akan mempengaruhi minat, kepercayaan diri, dan motivasi belajar anak yang nantinya akan berimbas pada prestasi akademik anak.

Disertasi mengenai faktor psikososial yang ditulis oleh Mahargyantari lebih akurat karena mengambil sampel data dengan melakukan FGD. Untuk mengetahui faktor psikososial perlu mendapat penuturan secara langsung dari orang-orang yang mengalami. Faktor psikosisal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri (psikis) dan dari lingkungan (sosial) yang akan mempengaruhi tindakan dan cara berfikir seseorang. Meskipun begitu, realitanya masih banyak faktor diluar psikososial yang mempengaruhi prestasi akademik mahasiswa. Sebut saja faktor sosial media yang saat ini dekat dengan kehidupan mahasiswa. Contoh faktor-faktor yang lain yang perlu ditelisik lebih jauh adalah faktor ekonomi dan fasilitas pendidikan. Faktor ekonomi akan berhubungan erat dengan fasilitas pendidikan yang dapat menunjang proses pembelajaran. Itulah beberapa poin justru luput dari bahasan, sehingga kajian mengenai faktor psikososial dan prestasi akademik ini kurang eklektik. [Arfida]

Peran Psikosikososial dalam Meningkatkan Prestasi Belajar

balkon24

RehalRehal

Kartun merupakan gambar dengan penampilan lucu yang menceritakan suatu peristiwa. Kartun ternyata juga memiliki peran yang cukup penting dalam sejarah dunia. Tahun 2005, publik dikejutkan dengan

munculnya kartun Nabi Muhammad dengan bom sebagai surbannya di Denmark. Kartun tersebut muncul karena sang kartunis merasa terganggu dengan adanya teroris. Kartun menjadi salah satu media untuk melakukan kritik dibalut dengan wajah lucu. Artinya, berbicara tentang kartun, tidak bisa lepas dari orang yang menciptakannya.

Melalui buku Antara Tawa dan Bahaya, Kartun dalam Politik Humor ini, Seno Gumira Ajidarma menguak sisi lain dari dunia kartun. Fokusnya bukan pada kartunnya, namun dipusatkan kepada makna kartun tersebut. Selain itu, tujuannya untuk mengenalkan kartun dengan segala persoalan yang dibahasnya. Selanjutnya, penulis ingin memaparkan bagaimana tawa bisa menjelma menjadi bahaya bagi kartunisnya.

Terdapat tiga pembagian bab dalam buku ini. Pertama, menjelaskan kartun dan teori di dalam dunia kartun. Kemudian, bab dua menjelaskan kartun dan representasinya. Bagian tersebut mendiskripsikan berbagai cerita kartun di Indonesia dan maknanya. Terdapat 15 kartun yang dibahas pada bab ini. Seno memilih 10 kartunis utama dan 5 tambahannya. Bagian ketiga penulis mencoba untuk menjawab mengapa kartun bisa menjelma menjadi bahaya.

Kartun dan humor menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Dibalik makna yang tersimpan, secara konseptual kartun selalu identik dengan humor. Seperti halnya mimik muka, bahasa, dan baju yang digunakan, serta nama dari sosok kartun selalu dikemas dengan aksen humoris. Bergson tokoh teori humor awal, mengemukakan bahwa semua bentuk humor termasuk kartun jangan sampai mengerdilkan lucu dengan definisi tertentu. Maksudnya, humor tetap menjadi ciri khas dalam penggambaran kartun tanpa memojokkan pihak tertentu.

Berikut ini adalah pemaparan 15 kartun dengan ciri khas beserta maknanya. Keliek Siswoyo, merupakan seorang kartunis yang menciptakan tokoh Doyok dalam harian Pos Kota di Jakarta. Doyok merupakan sosok kartun yang mewakili aspirasi kelas bawah yang digambarkan dengan perbaduan antara tradisi Jawa dan bahasa gaul Jakarta.

Pak Tuntung dan Pak Bas adalah tokoh kartun pantomim

yang diciptakan oleh Basuki. Sosok kartun tersebut menceritakan peristiwa sehari – hari. Komik Basuki sangat khas. Ketika kartunis lain tidak membatasi narasinya, Basuki muncul dengan absennya kata – kata verba dalam kartunnya. Kata verba adalah kalimat dengan kata kerja, bukan nomina atau objektiva.

Pak Bei adalah tokoh kartun kreasi Mahdi, yang hampir setiap hari Minggu muncul di Suara Merdeka, di Semarang (1986-2004). Pak Bei merupakan sosok pesuruh yang tidak pernah melakukan tindakan dengan benar. Kartun ini muncul sebagai realitas masyarakat kelas bawah Indonesia dengan kritiknya terhadap penguasa.

Mang Ohle merupakakan sosok kartun yang muncul tahun 1926 pada Harian Pikiran Rakyat di Bandung. Mang Ohle secara berturut – turut digambar oleh kartunis Teddy M.D., Soewardi, Nataatmaja, T. Sutanto, Didin D. Basoeni, Tata Essas dan kembali kepada Didin walaupun banyak dilakukan perubahan. Tokoh ini merupakan representasi karakteristik Sunda. Dalam diri Mang Ohle terdapat pluralitas teks, bukan karena keberagaman penggambarnya meliankan karena makna kartunnya berlangsung dari momen historis yang berbeda pula. Momen historis disini maksudnya merupakan peristiwa ketika kartun dibuat.

Dwi Koendoro Brotoatmodjo merupakan kartunis yang karyanya dianggap penting. Kartun miliknya dianggap memberi kesadaran sosial dan politik. Panji Koming merupakan tokoh kartun ciptaannya. Kartun ini dimuat di harian Kompas. Panji Koming berlatar belakang dunia feodal yang melukiskan bagaimana gambaran Indonesia masa lalu.

Harian Bali Post di Denpasar, memiliki sosok I Brewok. Ia merupakan tokoh kartun yang kritis dan suka menggugat.

Kartun menjadi media kritik yang dibalut dengan wajah lucu. Tak jarang kartun bisa menjelma

menjadi bahaya bagi kartunisnya.

Realitas di Balik Kartun

Desember 2014 25

Gungun, sebagai kartunis sosok I Brewok merepresentasikan sikap orang Bali. I Brewok merupakan kartun yang berisi kritik terhadap orang Bali yang secara tidak sadar telah menjual kebudayaanya. Humor dalam I Brewok mendapatkan beban makna ideologis, yaitu identitas Bali.

Konpopilan merupakan kartun untuk orang pintar. Pembaca harus menafsirkan makna didalam kartun ini sebelum mendapat kepauasan, yaitu rasa lucu. Ade R., merupakan kartunis beraliran konpopilan. Kartun konpopilan terkesan netral, murni, asli, tanpa keberpihakan ideologis. Akan tetapi, menuntut pembacanya untuk bersikap kritis terhadap suatu peristiwa.

Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad menciptakan sosok kartun yang bernama Benny dan Mice. Mereka beranggapan, sosok Benny dan Mice merupakan kesatuan walaupun yang menciptakan dua orang. Benny & Mice merupakan sosok yang kritis terhadap berbagai persoalan di Jakarta terutama masalah gaya hidup,

Oom Pasikom merupakan tokoh kartun yang bergulat dengan ancaman dari orde lama, orde baru, dan era reformasi. Ialah GM Sudarta, sosok kartunis yang membuat tokoh kartun tersebut. Walaupun demikian, hal itu semakin memacu Sudarta untuk lebih kreatif dalam menyajikan kritik. Oom Pasikom adalah sosok yang berdamai pada konsensus sosial namun tetap kritis.

Mbah kartun Indonesia merupakan sebutan bagi kartunis dengan produktivitas tinggi. Humor yang diciptakan Johny Hidayat ini, tak sekedar lucu namun juga menjadi kritik sosial. Istilah kritik sosial digunakan bukan hanya untuk menggugat namun juga ditujukan untuk mengkritik sikap mental masyarakat Indonesia. Kartunnya, bukan hanya berbicara

tentang berita aktual melainkan juga pergaulan sehari – hari.

Put On merupakan tokoh kartun yang merepresentasikan kebudayaan Melayu Tionghoa dalam proses menjadi Indonesia. Meskipun tujuannya menghibur, namun didalamnya terdapat berbagai masalah kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi yang menggambarkan kondisi masyarakat. Kartun Put On tersebut didalamnya tersembunyi kebesaran jiwa, untuk menerima segala perlakuan tidak adil.

Lat merupakan panggilan bagi kartunis bernama Mohammad Nor Khalid ynag berasal dari Malaysia. Melalui kartun, Lat ingin mengakrabkan budaya Melayu di kancah nasional bahkan internasional. Kartun Lat merupakan kartun representasi identitas nasional Malaysia. Dia lebih memilih bernostalgia dengan pembaca dan menceritakan proses modernisasi Malaysia dengan multi-rasnya yang tergambar mesra.

Namanya Ali Oncom, merupakan sosok yang menggambarkan rakyat dari kelas pemakan oncom. Selain menegaskan kelasnya, kata oncom juga menunjukkan bahwa kelas itu berada pada konteks urban Jakarta. Ialah Budi Prihono kartunis yang menciptakan Ali Oncom. Pos Kota memuat Ali Oncom pada sisi karikaturnya. Sebagai Koran golongan urban kelas bawah, Pos Kota melalui Ali Oncom menujukkan keberadaan dunia orang miskin.

Melalui buku ini, Seno juga mendeskripsikan bahwa kartun Malaysia tak jarang menyinggung Indonesia. Mulai dari masalah Soeharto yang memenangkan kembali panggung politik Indonesia sampai persoalan asap yang meneyelimuti kota – kota di Malaysia. Namun, kartun Malaysia tidak selalu menyindir Indonesia, akan tetapi juga menyindir perilaku orang Malaysia.

Panakawan dalam komik Indonesia, memperlihatkan jejak kedudukan humor dalam politik kebudayaan. Panakawan merupakan representasi dari masyarakat kelas bawah. Namun penting pula untuk dicatat bahwa Panakawan dianggap merupakan penjelmaan dewa. Panakawan mendapat hak istemawa untuk mengoreksi penguasa dan mewakili masyarakat kelas bawah. Panakawan menghadirkan humor dalam kartunnya yang bisa dibaca oleh kelas bawah maupun penguasa.

Pemaparan 15 kartun itu, merupakan bukti bahwa setiap kartunis memiliki ideologi dan keberpihakan. Setiap kartun memiliki makna tersendiri, tidak jarang kartun merupakan media kritik bagi penguasa. Ideologi dan keberpihakan dalam kartun itulah yang telah membawa kartunis dalam bahaya.

Buku ini membawa kita memahami bahwa kartun bukan hanya sekadar memberi daya lucu. Namun, didalamnya harus memiliki makna ideologis. Beban kartun inilah yang tidak disadari oleh pembaca. Melalui buku ini, pembaca diharapkan semakin sadar bahwa menjadi seorang kartunis bisa sangat berbahaya. Selain itu, buku ini memberikan pesan bahwa kartun bukan sekedar bagian dari humor tetapi juga berpihak dan memiliki kepentingan. Seno Gumira membongkar 15 kartun di Indonesia maupun di Malaysia, sehingga memperkaya pembaca dalam memahami dunia kartun. Kemudian adanya panel – panel kartun pada 15 komik tersebut semakin mempermudah pembaca memahami kedudukan humor dan ideologi di dalam kartun. [Tiffany]

Judul : Antara Tawa dan Bahaya Kartun dalam Politik HumorPenulis : Selo Gumira AjidarmaPenerbit : Perpustakaan Populer GramediaTahun Terbit : xi + 407 hjalaman

Foto

: B

alai

rung

/Nal

a

balkon26

Apresiasi

Letaknya tepat di sisi jalan raya besar, namun tak banyak orang yang menyadari keberadaannya. Dua menara yang menjulang tinggi di sana membuat bangunan tersebut tampak berbeda dari bangunan di sekitarnya. Bangunan

yang didominasi warna hijau tersebut berada di Jalan Laksda Adisucipto. Awalnya bangunan tersebut adalah tempat tinggal pelukis Indonesia, Affandi Koesoema. Kini tempat itu telah beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan karya-karya Affandi. Sebagai penanda tempat itu hanyalah sebuah papan berbentuk persegi dengan tulisan “Museum Affandi”.

Memasuki museum Affandi kita akan melihat beberapa bangunan yang terpisah. Pada setiap bangunan tersebut terdapat karya-karya Affandi. Ia membuat karyanya dalam dua dimensi. Berbekal media dua dimensi berupa kanvas tersebut Affandi hendak menyampaikan pesan. Affandi hendak menggambarkan arti kehidupan itu sendiri melalui lukisannya. Oleh karena itu, sepanjang hidupnya ia melukis hampir semua obyek mulai dari manusia, binatang dan alam.

Salah satu bangunan di Museum Affandi adalah bangunan dengan atap berbentuk daun pisang. Bentuk atap tersebut merupakan rancangan Affandi. Ia mendapatkan inspirasi bentuk daun pisang itu ketika ia sedang berteduh dari hujan. Didalamnya, deretan lukisan beraliran naturalis terlihat terpampang rapi di dinding. Aliran ini melukiskan segala sesuatu yang sesuai dengan realita, perasaan atau situasi. Ia berusaha membuat lukisan berdasarkan apa yang ia lihat.

Meskipun demikian, ia kemudian lebih dikenal sebagai pelukis yang menganut aliran ekspresionisme. Affandi seringkali menuangkan emosinya pada lukisan-lukisan karyanya. Oleh karena itu, ketika melihat lukisannya kita akan melihat visual lukisan sekaligus emosi Affandi. Oleh karena itu, lukisannya biasanya dihubungkan dengan kekerasan atau tragedi yang ia alami. “Affandi seringkali melukiskan apa yang dialaminya saat itu juga,” jelas Afieb, salah satu petugas di Museum Affandi.

Objek yang paling menarik baginya adalah rupa dirinya yang ia lihat di pantulan cermin. Pada tahun 1944 Affandi melukis lukisan berjudul “Potret Diri”. Dalam lukisan itu ia menggambarkan ekspresi dirinya yang sedih. Pipa rokok yang selalu menemaninya saat melukis juga turut dilukis. Lukisan yang merupakan biografi visual ini tidak hanya mengungkapkan mengenai gambar dirinya sendiri, tetapi juga merupakan perkembangan dari seni lukisnya.

Ia juga mulai melukis tentang apa yang ada di luar dirinya. Learning Anatomy merupakan lukisan yang bertemakan anatomi tubuh manusia yang pernah ia buat. Sejak saat itu ia sering melukis dengan tema anatomi tubuh manusia. Suatu hari ia mumutuskan akan mengikuti perlombaan lukis dengan tema anatomi tubuh. Namun, saat itu Affandi tidak memiliki cukup uang untuk membayar model. Maka ketika itu ia meminta sang istri, Maryati, untuk dilukis tubuhnya. Maryati kemudian bersedia menjadi model lukisan asalkan wajah Maryati tidak ditampilkan dalam lukisan itu. Affandi pun

Arti Kehidupan dalam Media Dua Dimensi

Rumah tinggal itu kini menjadi tempat penyimpanan karya-karya.

Pesan tentang arti kehidupan terkandung di dalamnya.

Desember 2014 27

menyanggupi permintaan istrinya, ia akhirnya hanya melukis bagian punggung Maryati yang sedang berbaring.

Di sebelah kanan bangunan dengan atap berbentuk daun pisang, masih ada bangunan lain yang menyimpan karya Affandi. Perahu dan Matahari, salah satu judul lukisan disana, merupakan salah satu perkembangan objek lukisannya. Lukisan ini menggambarkan perahu yang sedang berlayar ditengah lautan dan dibawah sinar matahari. Terjangan ombak kemudian datang silih berganti dalam lukisan tersebut. Lukisan ini memiliki filosofis kehidupan yang tajam seolah Affandi ingin menyampaikan sebuah pesan perenungan, dalam nuansa cahaya yang suram dan mencolok. Ia mengisahkan perjuangan manusia ketika mengarungi samudera luas untuk mencapai suatu tempat yang akan dituju. Perahu disimbolkan sebagai manusia, sementara itu matahari menyimbolkan harapan. lautan samudera disimbolkan dengan Kehidupan. ombak dan badai yang datang silih berganti digambarkan sebagai rintangan, masalah, ujian dalam kehidupan.

Hal-hal tersebut seharunya tidak membuat mereka menyurutkan niat, apalagi mundur atau lari. Mereka seharusnya yakin bahwa gelombang permasalahan dalam hidup mereka akan berlalu. Dengan berbekal keyakinan, mereka dapat menjadi pejuang kehidupan yang akhirnya menghasilkan manusia hebat di masa depan. Saat mereka sukses melalui ombak dan badai kehidupan, berarti mereka bisa membuktikan bahwa mereka bisa. Mereka akan menjadi simbol manusia sukses untuk manusia yang lain.

Selain objek lukisan, teknik pewarnaan Affandi juga mengalami perkembangan. Affandi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melukis. Ia hanya duduk menggoreskan cat ke kanvasnya hingga lukisannya selesai saat itu juga. Teknik dengan menekan cat dari pipa ke kanvas ini ditemukannya secara tidak sengaja. Saat itu, ia sedang melukis tiba-tiba sikat yang biasanya digunakan patah. Sehingga, untuk terus melanjutkan lukisannya ia meremas cat langsung dari pipa ke kanvas. Sementara untuk menghasilkan garis melengkung, ia menggunakan punggung tangannya. Hasil dari teknik ini berupa lukisan Affandi yang cenderung timbul.

Mengadakan pameran merupakan cara Affandi untuk memperkenalkan karyanya kepada para pecinta seni. Pamerannya yang pertama kali digelar di Gedung Poetra di Jakarta tahun 1943. Ia kemudian mendapatkan pengakuan dari dalam negeri atas berbagai karyanya. Selain itu ia diberi amanah untuk melanjutkan pameran tur Eropa di beberapa tempat dan negara diantaranya, Brithis Museum, Belgia, London, Den Haag dan Italia. Setelah itu ia mulai mendapatkan berbagai pengakuan internasional. Penghargaan yang ia terima di antaranya adalah Menerima gelar Doktor Kehormatan dari University of Singapore. Hingga akhirnya ia pun mendapat penghargaan perdamaian Internasional dari Dag Hammerskjold Foundation dan gelar Grand Maestro di Flourence, Italia.[Hidayatmi, Isma]

Arti Kehidupan dalam Media Dua DimensiFoto: Balairung/Nala

balkon28

Sosok

Berbagi Kepedulian Lewat Seni PeranDibalik sosoknya yang nyentrik,

tersimpan masa lalu yang suram. Berbekal pengalaman hidup itulah, ia mendirikan sanggar yang menuntun para pemuda agar tidak terjebak ke

dunia negatif.

“Serdadu!? Apa menurutmu aku ini seorang lelaki!?” terdengar teriakan memenuhi sebagian gedung pameran Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosumitro (PKKH) UGM, Kamis (20/09). Beberapa orang berlenggak-lenggok

di panggung dengan raut wajah muram, marah, dan senang bersama cerita yang terus berganti. Gerak tangan dan tubuh tak mau kalah mengimbangi bibir yang terus berbicara. Kurang lebih seperti itulah pementasan drama berjudul “Rumah Tanpa Jendela” yang bertema perjuangan wanita menyamakan derajat dengan kaum pria. Tampak dari kejauhan seorang berambut putih panjang menyaksikan jalannya pertunjukkan dengan saksama. Sesekali mereka memberi tepuk tangan bersama penonton lain. Dandanan unik si sosok berambut

putih panjang, membuatnya terlihat mencolok dari penonton lain. Senyumnya yang merekah adalah tanda kepuasan si sosok pada pertunjukkan yang dipentaskan siang itu.

Dialah Liek Suyanto, instruktur dan pelatih Sanggar Archaeva, sanggar seni yang dimiliki Program Studi D3 Kearsipan, UGM yang bergerak di bidang seni peran. Pria kelahiran 72 tahun lalu ini bukanlah sosok asing dalam dunia seni peran, bukan juga secara kebetulan ditunjuk untuk menjadi instruktur sanggar seni. Kepedulian Liek Suyanto pada anak muda yang membawanya menjadi instruktur Sanggar Archaeva. “Kegelisahan saya dengan anak mudalah, yang membuat saya bersedia mengajar tanpa dibayar, jangan sampai anak muda terjerumus hal negatif,” ungkapnya.

Tentu beralasan jika Liek Suyanto berkata demikian. Orang tuanya tak pernah membiayai pendidikan Liek Suyanto kecil, hingga memaksanya merasakan susahnya hidup sejak dini.Dibesarkan di lingkungan berandalan, Liek Suyanto sudah sering bergelut dengan kerasnya dunia. Dunia Liek Suyanto berubah ketika takdir mempertemukannya dengan pimpinan Sanggar Bambu, Sunarto PM. Ia mengajak Liek Suyanto bergabung dalam Sanggar Bambu yang menjadi tempatnya mengubah nasib. Di Sanggar Bambu, seni lukislah yang

Desember 2014 29

Berbagi Kepedulian Lewat Seni Peranpertama kali diperkenalkan pada Liek Suyanto. “Saya pertama disuruh gambar sama pimpinan Sanggar Bambu, tapi saya nggak bisa, wong belum pernah gambar” cetusnya sembari mengenang saat pertama bergabung dengan Sanggar Bambu.

Dari Sanggar Bambu inilah, karyanya di bidang seni berlanjut. Liek Suyanto muda, yang masih berusia 23 tahun diijinkan untuk mendalami seni peran. Namun, perkenalannya dengan dunia seni peran, sebenarnya dimulai karena ketidaksengajaan. “Dulu Bengkel Teater kurang satu pemain waktu pentas, terus saya ditunjuk untuk main” tegasnya. Saat itu, dirinya didaulat menjadi Pangeran Hamburg, dalam teater berlatar cerita daratan Bavaria oleh W.S. Rendra. Tak disangka, pementasan teater Pangeran Hamburg sukses. Mulai saat itu, Liek Suyanto tertarik dan menemukan gairahnya di dunia seni peran. “Begitu main kok pentasnya sukses, lalu saya lakunya di seni peran,” cetusnya.

Pada 1973, Liek pindah ke Bengkel Teater, beberapa tahun setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Seni Rupa Indonesia pada 1965. Sanggar seni binaan W. S. Rendra ini membuatnya mengubah haluannya dari seni lukis ke seni peran. “Hidup saya bejo, diperkenalkan dengan Sanggar Bambu oleh Tuhan. Jika tidak, mungkin sampai sekarang

saya masih hidup menjadi berandalan,” tuturnya sembari memandang langit-langit PKKH.

Ditengah riuhnya suara penonton, Liek Suyanto melanjutkan kisahnya. Dimulai sekitar sepuluh tahun lalu, Liek Suyanto mulai terjun kelayar televisi nasional, tepatnya menjadi bintang Film Televisi (FTV). Karakter Liek Suyanto yang khas, yakni sosoknya yang nyentrik adalah poin utama untuk menancapkan namanya di dunia FTV. Dari puluhan judul FTV yang dibintanginya, “Gugur Puspa” adalah salah satu judul FTV yang paling berkesan baginya. Ia memerankan tokoh masyarakat yang memusuhi dokter. Sangat pas dengan karakter dirinya, yang terkesan selalu benci pada orang lain. Selain menggeluti seni peran di ranah FTV, ia juga mendalami seni peran film layar lebar, salah satunya berjudul “Barapati”. “Saya jadi Rajapati musuhnya Gajah Mada, karena tidak senang Gajah Mada lebih terkenal dari Hayam Wuruk,” cetus pemeran Kyai Magelang dalam film Sang Pencerah ini.

Hidup berkecukupan lewat berbagai peran dalam FTV maupun film tingkat nasional, tak membuat pendiri Sanggar Archaeva ini kehilangan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Kegelisahan Liek Suyanto dengan dunia pergaulan anak muda yang akhirnya mempertemukannya dengan Wahyudi Djaja, salah seorang pendiri Sanggar Archaeva. Liek ingin sanggar dapat menjadi tempat bertemunya karya dan gagasan yang positif, sehingga menjadi tempat belajar para pemuda. Dalam perjalanannya, sanggar ini juga mewadahi idealisme Liek di dunia seni peran sekaligus wujud kecintaannya pada anak muda lewat seni. “Saya tidak mau idealis sekali, sanggar untuk menyalurkan idealisme saya sebagai pelaku seni, sedangkan tawaran film dan FTV untuk cari makan,” imbuhnya sembari tertawa.

Wahyudi Djaja merasa kepedulian Liek Suyanto terlampau besar terhadap anak didiknya. Sikap kekeluargaan yang diterapkan, membuat sebagian besar anak didiknya merasa nyaman menimba ilmu darinya. “Pak Liek itu mementingkan anak didiknya untuk maju. Dia orang yang total dan tidak setengah-setengah,” tutur Wahyudi. Sebagai wujud kepeduliannya pada anak muda, Liek selalu memberikan peran pada seorang yang dianggap mampu di setiap komunitas seni yang ia miliki. Hal itu dilakukan Liek untuk melatih anak-anak didiknya sekaligus melatih jiwa kepemimpinan mereka. “Dia selalu mengadakan regenerasi. Dia punya Production House (PH) yang melibatkan semua anak didiknya. Itu yang saya suka dari Liek Suyanto, jadi tidak berhenti di Pak Liek saja,” lanjut Wahyudi. Bagi Liek Suyanto regenerasi selalu dibutuhkan untuk menyambung perjuangannya dalam dunia seni. “Jadi setiap pelajaran yang saya berikan tidak berhenti di satu generasi, saya memberi pelajaran pada Si A, dan Si A memberi pelajaran pada Si B,” tambah Liek Suyanto.

Meski begitu, Liek Suyanto tak ingin memaksa anak muda yang telah lepas dari sanggar binaannya untuk serius di bidang seni. Baginya hidup adalah pilihan. “Tak masalah mereka akan menjadi apa di masa depan. Saya hanya membekali masa muda mereka dengan keterampilan hidup berupa seni peran,” ujar Liek Suyanto. Kini, Liek Suyanto ingin berbagi kebahagiannya dalam dunia seni kepada kawula muda yang sedang mencari jati diri. “Hidup hanya sekali, hidup akan bahagia jika kita melakukan hal yang disukai,” pungkasnya. [Surohman]

Foto: Balairung/Tama

balkon30

KomunitasKomunitas

Sekumpulan mahasiswa berdemo di tengah terik matahari. Disertai dengan poster penolakan impor daging, mereka menuntut pemerintah untuk mengubah kebijakan impor tersebut. Mereka beralasan

ketidakstabilan pasokan pangan membuat ketahanan pangan Indonesia rentan. Hal demikian yang membuat Indonesia belum swasembada pangan. Muh. Imam Nurhidayat selaku Ketua Gerakan Indonesia Gaduhan Ternak (GIGT) mengatakan bahwa hal yang dilakukan mahasiswa tersebut tidaklah efektif. “Seharusnya mahasiswa melakukan tindakan nyata daripada sekadar berdemo,” sarannya.

Dengan latar belakang tersebut, GIGT berdiri sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam pemenuhan pangan keluarga. GIGT memandang bahwa ketahanan pangan

Indonesia tergantung ketahanan pangan keluarga, khususnya melalui bidang peternakan dan pertanian. GIGT yang berusia tiga tahun ini pada awalnya bernama Gerakan Indonesia Gaduhan Kambing. “Namun, seiring berjalannya waktu, yang kami urus bukan hanya kambing, tetapi kadang sapi juga,” kata Imam. Akhirnya nama itu diganti menjadi Gerakan Indonesia Gaduhan Ternak (GIGT). Kata gaduhan berasal dari Bahasa Jawa yang berarti pemberdayaan.

Dalam pelaksanaan pemberdayaan ternak, komunitas ini memakai sistem mudorobah. Istilah mudorobah berasal dari Bahasa Arab yang mempunyai arti bagi hasil. Perjalanan komunitas ini dimulai pada pertengahan 2012. “Mulanya kami membina desa di Boyolali pada pertengahan 2012. Kemudian, tahun 2013 kami mulai giat-giatnya mengembangkan program pemberdayaan pembuatan pupuk organik sampai Februari 2014,” terang Imam.

Untuk meningkatkan perekonomian desa, GIGT mengembangkan potensi asli desa, seperti peternakan dan pertanian. Keduanya adalah mata pencaharian yang bisa menyokong ketahanan pangan keluarga. Imam mengatakan, dengan ketahanan pangan keluarga, pemerintah tidak punya alasan untuk mengimpor bahan-bahan makanan pokok lagi. “Karena tanpa ketahanan pangan kita akan terus tergantung terhadap impor,” tambah Imam.

GIGT memberdayakanan desa yang memiliki potensi tetapi belum tersentuh oleh peyuluhan dari pemerintah maupun instansi akademik. Satya Guna Rakhmatullah, mahasiswa Ilmu

Kedaulatan pangan Indonesia hanya dapat diwujudkan dengan

gerakan nyata. Komunitas ini mewujudkannya lewat gerakan

memandirikan pemenuhan pangan keluarga di bidang peternakan dan

pertanian.

Gerakan Pemberdayaan Desa untuk Kedaulatan Pangan

Foto : Dokumentasi

Desember 2014 31

dan Industri Peternakan’10, selaku Pembina GIGT mengatakan bahwa penyuluhan dari kampus maupun pemerintah kepada kelompok peternak dan petani di desa sebetulnya sudah dilakukan. “Tetapi faktanya banyak kelompok peternak dan petani yang belum mendapatkan penyuluhan,” tambah Guna.

Selain itu, pemberdayaan ini ditujukan kepada masyarakat yang telah luntur budaya beternaknya. Pemberdayaan ini juga dilakukan pada masyarakat yang berprofesi sebagai peternak, tetapi tidak mempunyai penerus lagi.“ Hal ini terjadi karena banyak sarjana yang memilih untuk bekerja di kota dibandingkan di desa karena lebih menguntungkan menurut mereka,” kata Imam. GIGT berusaha menjadikan kegiatan beternak agar memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat, tidak sekadar profesi sampingan belaka.

Ada tiga program inti dari GIGT, yaitu pupuk organik, lahan percontohan, dan peternakan bergulir. GIGT mencoba mengubah kebiasaan petani dari penggunaan pupuk kimia ke pupuk organik. Pupuk organik ini dibuat dari feses dan urine hewan ternak. “Hal ini terbukti berhasil ketika bibit yang asalnya kuning menjadi segar setelah penyemprotan,” terang Imam. Namun, saat ini GIGT masih mencari cara pengemasan pupuk organik. Tujuannya agar dapat didistribusikan ke luar desa kelompok tani. Hal ini dilakukan karena pemanfaatan pupuk organik masih dalam lingkup satu desa.

Sementara itu, pada lahan percontohan, tanaman sayur diintegrasikan dengan pakan ternak dan tanaman kacang-kacangan yang ditanam di kebun petani. Untuk peternakan bergulir, komunitas ini menerapkan sistem bagi hasil. Praktiknya, GIGT menitipkan hewan ternak kepada masyarakat yang kemudian dipelihara oleh masyarakat. Setelah ternak menjadi besar, ternak pun dijual dan hasil penjualannya dibagi bersama GIGT.

Dalam penerapan program tersebut, setiap bulannya GIGT mengunjungi desa binaan. Akan tetapi, terkadang kunjungan ke desa binaan disesuai kebutuhan. “Kadang kami berkunjung dua bulan sekali tetapi, juga tidak sampai sebulan kami sudah berkunjung, seperti saat Gunung Merapi meletus,” ungkap Imam. Tujuan GIGT melakukan kunjungan untuk meningkatkan produktivitas para peternak dan petani.

Komunitas ini mendapat sambutan hangat masyarakat. “Mereka menyambut dengan rasa senang, karena mereka membutuhkan,” ujar Guna. Komunitas yang asalnya sekadar forum diskusi ini menempatkan masyarakat sebagai subjek. “Kami berusaha tidak menggurui masyarakat yang sebetulnya lebih paham tentang praktik peternakan dan pertanian,” terang Guna.

Komunitas yang kebanyakan penggeraknya berasal dari mahasiswa Fakultas Peternakan UGM ini bersifat independen. GIGT tidak berada di bawah naungan rektorat maupun dekanat. “Meski banyak anggota kami mahasiswa tetapi, kami tidak di bawah rektorat atau pun dekanat sehingga kami tidak tergantung pada pihak kampus,” terang Imam. Selain itu, ada juga anggota yang berasal dari mahasiswa pascasarjana bahkan masyarakat umum. Hal ini karena GIGT bersifat sukarela.

Dalam perjalanannya, komunitas ini mengalami hal-hal unik yang tidak mereka dapatkan di bangku perkuliahan. Mereka bertemu langsung dengan masyarakat dan saling tukar ilmu tentang peternakan dan pertanian yang belum mereka dapatkan di perkuliahan. Selain itu, hal menarik lainnya

yang dialami GIGT yaitu ketika berusaha menyederhanakan bahasa akademik menjadi bahasa masyarakat. Ketika proses pemberdayaan, pegiat GIGT berusaha untuk menyederhanakan bahasa akademik menjadi bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. “Teman-teman yang terbiasa menggunakan bahasa akademik terasa kaku ketika berkomunikasi dengan masyarakat,” ujar Guna. Ia menambahkan, meskipun begitu mereka menganggap hal ini sebagai tantangan.

Imam menegaskan, pendirian komunitas ini berdasarkan misi untuk mencapai Indonesia berdaulat pangan dari impor produk peternakan pada 2050. “Indonesia berpeluang mengurangi impor pangan,” ungkap Imam. Hal ini didukung oleh jumlah penduduk yang banyak serta lahan yang luas. Lingkup permasalahan kedaulatan pangan yang tidak hanya pada lahan dan produksi tetapi, lebih kepada mengubah mental masyarakat. Perubahan mental ini menyangkut bagaimana mengubah kebiasaan masyarakat yang mengkonsumsi menjadi memproduksi produk pangan. “Maka dari itu kami berusaha mendidik dan melibatkan masyarakat desa binaan sebagai subjek bukan objek dari teori-teori yang telah kami pelajari,” terang Imam. [Joko, Yani]

Foto

: D

okum

enta

si

balkon32

Gores

Ilustrasi: Balairung/Alan

Desember 2014 33

Interupsi

+ Pemeritah megatakan perkembangan lebih lanjut mengenai Permendikbud diserahkan langsung ke universitas masing-masing.

- Dengan catatan jangan sampai cuci tangan aja sih

+ Pembatasan waktu kuliah lima tahun disebut akan menekan ketertinggalan kurikulum dibandingkan waktu kuliah tujuh tahun

- Teorinya sih begitu, lha praktiknya?

Di suatu masa, banjir besar pernah melanda dunia. Diutuslah seorang manusia sebagai penyelamat. Manusia yang diberi mandat untuk menjaga kelangsungan kehidupan dunia dari banjir besar. Nuh

namanya.

Sebagai penyelamat, Nuh tidak main-main dengan perannya ini. Setelah melalui serangkaian riset dan metode percobaan, Nuh memutuskan untuk membangun sebuah bahtera. Bahtera ini bukan sembarang bahtera. Ia dibuat dari kayu, yang menurut Nuh, paling baik, paling kuat, dan paling kedap air. Bahtera tersebut, masih menurut Nuh, mampu menampung jutaan nyawa yang terancam tak dapat selamat dari air bah. Nuh memilih sendiri bahan-bahan penyusun bahteranya dari hutan-hutan purba dunia.

Dengan susah payah, ia menebang kayu-kayu raksasa itu, menarik gelondonganya ke puncak bukit tempat bahtera agung dibangun, dan memotongnya membujur, melengkung, mendatar sedemikian rupa. Potongan kayu itu satu demi satu Nuh susun menjadi kerangka bahtera agung. Kegiatan memilah kayu di hutan-hutan purba dunia hingga menyusunnya menjadi sebuah bahtera dilangsungkan Nuh berulang-ulang. Jika saja tidak dibantu campur tangan semesta, maka sudah pasti Nuh menyerah.

Bagaimana tidak menyerah? Kaum yang ia ayomi menganggap Nuh tidak rasional, tidak jelas program penyelamatannya, gila bahkan. Hal ini karena setengah kaum Nuh tidak merasa ada ancaman apapun yang harus mereka takuti, seperenamnya percaya banjir tidak akan menenggelamkan perkampungan mereka, sementara sepertiga sisanya manut suara mayoritas saja. Mereka sibuk memperdebatkan datangnya banjir, mengomentari pembangunan bahtera Nuh, memperbincangkan Nuh tiga kali sehari, dan seterusnya. Hanya hitungan jari saja yang percaya pada Nuh. Nuh pun tidak ambil pusing, ia berpikir tempat-tempat dalam bahtera yang gagal dihuni kaumnya, bisa jadi tempat untuk menyelamatkan berpasang-pasang ragam

hewan dan tumbuhan di muka bumi.

Duaaar! Petir tiba-tiba datang dari balik lapis-lapis awan hitam, menyambar-nyambar sudut-sudut horizon. Kilat tak ketinggalan datang membutakan mata, sementara dahsyatnya suara petir menulikan telinga. Tak lama, hujan yang luar biasa dahsyat turun. Dalam hitungan jam, sungai-sungai meluap, danau meluber, dan air laut pasang. Benar saja, nubuat banjir besar bukan mainan. Nuh pun sigap mengevakuasi sisa kaumnya yang percaya ditambah berpasang-pasang hewan dan tumbuhan. Sementara, mayoritas kaumnya yang tak sadar mati tenggelam dan terlupakan.

Sedemikian dahsyatnya tinggi banjir membuat bahtera Nuh terombang-ambing entah ke mana. Harapan yang tersisa dari terjangan banjir adalah menunggu air surut atau bahtera Nuh segera terdampar di daratan tinggi terdekat. Tapi, siapa yang tahu? Suasana di luar sedemikian gelap mencekam, kilat membutakan, petir menulikan. Alhasil, seluruh penumpang sabar saja bertahun-tahun mencari perlindungan dalam bahtera Nuh.

“Saudara-saudaraku, ada pengumuman yang hendak aku utarakan,” kata Nuh dengan suara menggelegar. Mendengar hal itu, seluruh penumpang merapat, menyiapkan akal-mata-hati-telinga untuk mendengar pengumuman.

“Sudah lima tahun kita terombang-ambing di atas air bah. Kini saatnya kita turun dari bahtera dan melanjutkan kehidupan,” ucap Nuh berapi-api. Penumpang terkejut, sebagian tak paham, sebagian lagi mengutuk Nuh, sisanya pasrah.

“Tapi….. Bagaimana jika air masih dalam? Bagaimana jika bahtera belum mencapai daratan? Bagaimana jika kami tak kuat berenang dan mati tenggelam?,” tanya para penumpang bahtera Nuh dengan ketakutan.

“Lha itu urusanmu. Pokoknya keputusan ini harus dilaksanakan dan terhitung berlaku efektif dua tahun dari sekarang!,” sambar Nuh.

Sudut

Si Iyik

Bahtera Nuh

Ilustrasi: Balairung/Hanin

[Penginterupsi]

balkon34

Surat Pembaca

Desember 2014 35

balkon36