Upload
ry-ruyatun-hasanah-arraaziq
View
270
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jenis dan kerapatan bambu di CA Rawa Danau
Citation preview
(Sebagai Sumber Belajar Pada Subkonsep Spermatophyta di SMA Kelas X)
SKRIPSI
Oleh
RUYATUN HASANAH
051297
(Sebagai Sumber Belajar Pada Subkonsep Spermatophyta Di SMA Kelas X)
Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
RUYATUN HASANAH
051297
LEMBAR PERSETUJUAN
SKRIPSI : KERAPATAN POPULASI BAMBU DI KAWASAN CAGAR
ALAM RAWA DANAU – TUKUNG GEDE BANTEN
NAMA : RUYATUN HASANAH
NIM : 051297
SKRIPSI INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI
SERANG, 17 APRIL 2010
PEMBIMBING I
EVI AMELIA, M.Si
NIP. 197207272005012001
PEMBIMBING II
NANA HENDRACIPTA, M.Pd
MENGETAHUI,
KETUA PROGRAM STUDI BIOLOGI
SUROSO MUKTI LEKSONO, M.Si
NIP. 132 310 195
MENGESAHKAN
1. DEWAN PENGUJI
Ketua : Evi Amelia, M.Si ( )
Penguji I : Nana Hendracipta, M.Pd ( )
Penguji II : Suroso Mukti Leksono, M.Si ( )
2. DEKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Drs. H. Nandang Fathurohman, M.Pd
NIP. 195807211986101001
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 17 April 2010
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Sang Khalik Raja penguasa alam
semesta yang selalu memberikan karunia serta hidayah-Nya sehingga penulus
dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Kerapatan Populasi Bambu Di Kawasan
Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede Banten” ini. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman Nabi Muhammad SAW beserta
para keluarga dan sahabatnya.
Mungkin banyak kendala yang dihadapi pemulis selama penyusunan skripsi ini,
tetapi berkat izin Allah SWT yang disertai usaha dan kesabaran akhirnya penulis
dapat menyelesaikannya. Terselesaikannya skripsi inipun tidak luput dari
dukungan dan bantuan berbagai pihak yang terlibat, untuk itulah pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang tiada henti memberikan segala yang
penulis butuhkan tanpa menuntut balasan apapun. “Ayah, Ibu... kasih sayang
kalian takkan tergantikan oleh apapun..”
2. Ibu Evi Amelia, M.Si selaku dosen pembimbing I dengan sabar telah
memberikan pengarahan, bimbingan dan saran yang sangat berharga bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Nana Hendra Cipta, M.Pd selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan serta sarab yang penulis butuhkan.
4. Bapak Suroso Mukti Leksono, M.Si selaku dosen penelaah dan penguji yang
telah memberikan saran dan telaahnya dalam penyusunan skripsi ini.
vi
5. Ibu Mila Ermila Hendriyani, S.Si selaku dosen wali akademik yang telah
sabar membimbing serta memberikan dorongan, semangat dan wejangan
kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.
6. Para ahli (Dosen dan Guru bidang studi Biologi) yang telah bersedia
memberikan penilaian, kritik serta srannya terhadap sumber belajar berupa
buku saku hasil penelitian dalam skripsi ini.
7. Tim dosen peneliti Rawa Danau Bapak Suroso Mukti Leksono, M.Si., Bapak
Nana Hendra Cipta, M.Pd., Ibu Evi Amelia, M.Si. dan Bapak A. Syachruroji,
S.Pd. yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis
untuk melakukan penelitian di Rawa Danau dan sekitarnya.
8. Segenap dosen pengajar Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNTIRTA
yang telah mencurahkan ilmu-ilmunya.
9. Keluarga besar Bapak Uwang dan Bapak Wari serta seluruh warga kampung
Pari yang telah membantu penulis pada saat penelitian skripsi ini berlangsung.
10. Kakakku dan adik-adikku tersayang, Teh Yayah, si Kembar (Ana & Ani) dan
Khaidir yang selalu memberikan motivasi dan doa kepada penulis.
11. D’REAL Darkness Famz: Gembull, Nyi Dukun, Gembrott dan Bocil yang
tanpa bosan selalu memberikan motivasi serta bantuannya kepada penulis.
“kebersamaan yang terindah adalah saat dimana aku bersama kalian melewati
hari dengan penuh kegilaan, narsis serta canda dan tawa.... Loph U Lurrz..”.
12. Teman-teman seperjuangan Tim RD: Abank, Nka, Dede, Maya, Nenek, Nci,
Iin, Mang Ali, Amar, Encep, AM dan Kiking. “terimakasih untuk kerja sama
dan bantuannya selama penelitian”.
vii
13. Sepupuku tersayang ‘Nasrul’ juga sahabat-sahabatku ‘Vivi jLex, Asep Dudull,
Adik Cacingku & pangerannya dan Syifa Iprit’.
14. Teman-teman Bio ’05 semuanya. “ I Loph U pull Plendzz”.
15. Pihak- pihak lain yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu. Terimakasih
atas bantuannya hingga terwujudmya skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pihak yang membutuhkan informasi mengenai apa yang penulis
sampaikan dalam skripsi ini.
Serang, Maret 2010
Penulis
viii
ABSTRAK Rawa Danau dan Tukung Gede merupakan dua kawasan Cagar Alam yang berada di Kabupaten Serang, Banten, yang memiliki kekayaan jenis tumbuhan dan hewan cukup tinggi. Bambu merupakan tumbuhan dari kelompok rumput raksasa yang terdapat di kedua kawasan Cagar Alam tersebut. Penelitian dengan judul Kerapatan Populasi Bambu di Kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede, Serang – Banten ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan populasi bambu yang terdapat di kedua Cagar Alam tersebut serta kelayakan buku saku yang merupakan penerapan hasil penelitian sebagai sumber belajar siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 2009, menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dengan teknik pengambilan data kombinasi antara sistem petak tunggal dan sistem jalur. Kerapatan tertinggi pada masing-masing jalur penelitian antara lain: pada jalur I G. pseudoarundinacea sebesar 553 batang/ha, sedangkan pada jalur II G. atroviolacea sebesar 363 batang/ha. Buku saku hasil penelitian sangat baik dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta.
Kata kunci: bambu, cagar alam, kerapatan, sumber belajar
ix
ABSTRACT Rawa Danau and Tukung Gede are two Nature Preserves in Serang Regency in Banten Province which have wealth enough species of plants and animals. Bamboo forms of giant grass that found in these Nature Preserves region. This research entitled The Population Density of Bamboo in Rawa Danau – Tukung Gede Nature Preserves, Serang – Banten had purpose to know how about density of bamboo population in those region above and how worthines of pocket book that apperence assembling product of research as learning source for tenth grader of Senior High School on subconcept Spermatophyta. This research realized on Juny – July 2009 using deskriptive quantitative research method by combination sampling about single partition system and traffict lane system. Highest density in each of traffict lane are: in traffict lane I G. Pseudoarundinacea 553 stems/ha and in traffict lane II G. atroviolacea 363 stems/ha. Pocket book as research product is very well as learning source for tenth grader of Senior High School on subconcept Spermatophyta. Key words: bamboo, density, learning source, nature preserve
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
ABSTRACT.................................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... x
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
2.1. Bambu ........................................................................................... 5
2.1.1. Morfologi Bambu.............................................................. 5
2.1.2. Habitat Bambu .................................................................. 10
2.1.3. Persebaran Bambu............................................................. 10
2.1.4. Manfaat Bambu................................................................. 11
2.2. Populasi dan Kerapatan Populasi .................................................. 12
2.3. Cagar Alam Rawa Danau dan Tukung Gede ................................ 13
2.3.1. Cagar Alam Rawa Danau.................................................. 13
2.3.2. Cagar Alam Tukung Gede ................................................ 14
2.4. Materi Subkonsep Spermatophyta di SMA................................... 14
xi
2.4.1. Ciri dan Struktur Tumbuhan Berbiji ................................. 14
2.4.2. Reproduksi Tumbuhan Berbiji .......................................... 15
2.4.3. Klasifikasi Tumbuhan Berbiji ........................................... 16
2.4.4. Manfaat Tumbuhan Berbiji ............................................... 16
2.5. Sumber Belajar ............................................................................. 17
III. METODE PENELITIAN ................................................................... 20
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 20
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................. 20
3.3. Metode Penelitian ......................................................................... 20
3.4. Analisis Data ................................................................................ 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 25
4.1. Jenis-jenis Bambu yang ditemukan............................................... 25
4.2. Deskripsi Jenis-Jenis bambu yang ditemukan .............................. 26
4.3. Kerapatan dan Frekuensi Jenis Bambu ......................................... 36
4.4. Penerapan Hasil Penelitian Sains dalam Bidang Pendidikan........ 41
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 43
5.1. Simpulan .................................................................................. ... 43
5.2. Saran.............................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Sebaran spesies bambu yang ditemukan di Cagar Alam Rawa Danau –
Tukung Gede .................................................................................... 26
2. Kerapatan jenis bambu...................................................................... 36
3. Frekuensi Relatif jenis bambu........................................................... 39
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Dinochloa scandens ....................................................................... 26
2. Gigantochloa apus ......................................................................... 28
3. G. atroviolacea............................................................................... 29
4. G. pseudoarundinace ..................................................................... 30
5. Schizostachyum iraten.................................................................... 31
6. Bambusa vulgaris........................................................................... 32
7. Dendrocalamus asper .................................................................... 33
8. G. atter ........................................................................................... 35
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Peta Lokasi ................................................................................... 46
2. Format Penilaian Uji Kelayakan Buku Saku ............................... 47
3. Tabel Perhitungan Data................................................................ 50
4. Tabel Perhitungan Uji Kelayakan Buku Saku ............................. 51
5. Surat-surat
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cagar alam merupakan suatu kawasan yang dilindungi oleh pemerintah dan
merupakan salah satu tempat untuk mewujudkan upaya konservasi dalam
melestarikan keanekaragaman hayati. Rawa Danau terletak di provinsi Banten
bagian barat, menurut Whitten (1999) kawasan ini merupakan salah satu tempat
upaya konservasi yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sejak tahun
1921 dengan luas sekitar 2.500 ha. Cagar Alam Rawa Danau (CARD) merupakan
salah satu cagar alam berbentuk rawa yang menyimpan kekayaan jenis tumbuhan
dan hewan yang cukup tinggi.
Tukung Gede merupakan daerah perbukitan dengan luas sekitar 1.700 ha yang
berada di pinggiran kawah gunung api purba yang telah ditetapkan sebagai
kawasan cagar alam pada tahun 1980 (Whitten, 1999). Cagar Alam Tukung Gede
memiliki tipe vegetasi hutan pegunungan yang terbagi ke dalam dua kelompok,
yaitu hutan alam dan hutan tanam. Cagar alam Tukung Gede ditumbuhi oleh
berbagai jenis vegetasi, salah satunya adalah vegetasi dari suku rerumputan,
contohnya bambu.
Widjaja (2001) menyebutkan bahwa bambu merupakan tumbuhan bernilai
ekonomi tinggi di Jawa, dan pemakaiannya sangat luas baik untuk keperluan
sehari-hari maupun untuk hasil hasil yang diperdagangkan. Bambu termasuk
dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae atau Graminae atau suku
rerumputan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia terutama oleh
2
masyarakat Jawa. Penggunaan bambu sudah mendarah daging dalam diri
masyarakat Jawa, karena masyarakat Jawa telah memanfaatkan bambu mulai dari
akar hingga daunnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka
Indonesia diperkirakan memiliki 157 jenis bambu yang merupakan lebih dari 10%
jenis bambu di dunia. Di antara jenis-jenis bambu tersebut, 50% di antaranya
merupakan jenis bambu endemik dan lebih dari 50 % merupakan jenis bambu
yang telah dimanfaatkan oleh penduduk dan sangat berpotensi untuk
dikembangkan (Widjaja E.A & Karsono, 2005). Upaya pengembangan ini dapat
dilakukan melalui budidaya tanaman bambu yang dimaksudkan untuk tetap
melestarikan tanaman bambu.
Dalam pengembangan kurikulum saat ini, melalui KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan) pemerintah memberikan kewenangan kepada pihak sekolah
dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi,
tuntutan, kebutuhan dan karakteristik serta sosial budaya masyarakat setempat.
Kewenangan yang dimaksud adalah pengembangan materi belajar, kegiatan
belajar dan indikator pencapaian serta penilaiannya (Mulyasa, 2008).
Pengembangan materi belajar ini dapat dicapai melalui penyediaan sumber belajar
yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan.
Menurut Rohani (2004) sumber belajar adalah segala daya yang diperlukan untuk
kepentingan proses atau akltivitas pengajaran baik secara langsung maupun tidak
langsung, di luar diri peserta didik (lingkungan) yang melengkapi diri mereka
3
pada saat pengajaran berlangsung. Menurut U. S. Winataputra dan R. Ardiwinata
dalam Djamarah (2006) terdapat 5 macam sumber belajar, yaitu (1) manusia, (2)
buku/perpustakaan, (3) media massa, (4) alam lingkungan yang meliputi alam
lingkungan terbuka, alam lingkungan sejarah atau peninggalan sejaran dan alam
lingkungan manusia, (5) media pendidikan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka keanekaragaman hayati yang terdapat di
kawasan Cagar Alam Rawa danau – Tukung Gede, terutama jenis bambu yang
terdapat di kawasan cagar alam tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
belajar untuk satuan pendidikan yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu,
penelitian mengenai kerapatan populasi bambu di kawasan CARD - CATG dirasa
sangat diperlukan karena selain dapat mengetahui jenis bambu yang terdapat di
kawasan cagar alam tersebut, hasil penelitian juga dapat dijadikan sebagai sumber
belajar siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta, salah satunya adalah
sumber belajar dalam bentuk saku.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kerapatan populasi bambu yang terdapat di kawasan Cagar Alam
Rawa Danau - Tukung Gede ?
2. Apakah buku saku yang merupakan hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep
Spermatophyta ?
4
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana kerapatan populasi bambu di kawasan Cagar Alam
Rawa Danau - Tukung Gede
2. Mengetahui apakah buku saku hasil penelitian dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber belajar siswa SMA kelas X pada subkonsep
Spermatophyta
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai berbagai jenis bambu yang terdapat di
kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede serta bagaimana
kerapatan populasinya di kawasan tersebut
2. Buku saku sebagai hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu
sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bambu
Menurut Whitten (1999), bambu termasuk ke dalam salah satu kelompok suku
rumput raksasa yang banyak digunakan secara luas oleh sebagian besar
masyarakat Jawa dan Bali, terutama sebagai pengganti kayu bangunan. Tanaman
bambu sangat mudah didapatkan baik dari bambu liar yang tumbuh di mana saja
maupun dari bambu yang ditanam di dekat pemukiman. Menurut Widjaja dan
Karsono (2005), bambu merupakan jenis tanaman hasil hutan non kayu yang
banyak tumbuh hampir di seluruh hutan-hutan Indonesia, baik hutan sekunder
maupun hutan terbuka, walaupun di antaranya ada yang tumbuh di hutan primer.
Menurut Widjaja (2001), bambu mudah sekali dibedakan dengan tumbuhan
lainnya karena tumbuhnya merumpun, batangnya bulat, berlubang dan beruas-
ruas, percabangannya kompleks, setiap daunnya bertangkai, bunganya terdiri atas
sekam kelopak dam sekam mahkota serta 3-6 buah benang sari. Di Jawa
diperkirakan terdapat 60 jenis bambu yang tumbuh tersebar. Di antara 60 jenis-
jenis yang ada di Jawa, hanya 14 jenis yang merupakan jenis bambu asli pulau
Jawa yang tumbuh liar.
1.1.1. Morfologi bambu
2.1.1.1. Akar
Akar merupakan bagian terpenting bagi tanaman karena memiliki fungsi utama
dalam penyerapan mineral dan air dari tanah. Bambu memiliki akar rimpang yang
6
tumbuh di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang dapat
digunakan untuk membedakan kelompok bambu. Akar rimpang ini memiliki
bagian pangkal yang lebih sempit dibandingkan dengan bagian ujungnya dan
setiap ruas akar rimpang mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang
akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjang dan menghasilkan
buluh (Widjaya, 2001).
Dransfield (1995) menyatakan bahwa terdapat dua tipe dasar akar rimpang pada
bambu, yaitu pakimorf dan leptomorf. Tipe akar pakimorf dicirikan oleh akar
rimpangnya yang simpodial, sedangkan tipe akar leptomorf dicirikan oleh akar
rimpang yang monopodial.dari kedua tipe dasar akar rimpang tersebut, jenis-jenis
bambu di Indonesia pada umumnya mempunyai sistem perakaran tipe pakimorf.
Tipe akar pakimorf ini dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang
pendek juga.
2.1.1.2. Rebung
Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh
yang tua. Struktur rebung yang bervariasi dapat digunakan untuk membedakan
jenis bambu karena menunjukkan ciri khas warna pada ujungnya dan bulu-bulu
yang terdapat pada pelepahnya. Bulu pelepah rebung umumnya berwarna hitam,
tapi ada juga yang berwarna coklat atau putih. Beberapa jenis bambu memiliki
bulu rebung yang dapat menyebabkan kulit menjadi sangat gatal (Widjaya, 2001).
7
1.1.1.3. Buluh
Buluh bambu berkembang dari rebung. Buluh tumbuh sangat cepat dan dapat
mencapai tinggi maksimum dalam waktu beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas
dan buku-buku. Beberapa mempunyai ruas yang panjang, misalnya Scizostachyum
lima, dan ada juga yang mempunyai ruas pendek, misalnya Bambusa vulgaris dan
Bambusa blumeana (Widjaya, 2001). Menurut Dransfield (1995) ukuran diameter
buluh bambu tergantung pada jenis bambu dan lingkungan pertumbuhannya,
variasi diameternya berkisar antara 0.5 – 20 cm. Jenis Dendrocalamus asper
merupakan jenis bambu yang memiliki buluh dengan diameter terbesar
dibandingkan dengan jenis yang lain.
Pada umumnya buluh bambu tumbuh tegak, tetapi ada beberapa marga bambu
yang buluhnya tumbuh merambat, misalnya marga Dinochloa dan ada juga yang
tumbuhnya serabutan, misalnya bambu dari marga Nastus. Buku-buku pada buluh
bagian pangkal beberapa jenis bambu ada tertutup oleh akar udara, ada yang
tertutup lampang pelepah buluh yang sangat kasar, ada yang berlutut bahkan ada
juga yang tanpa tanpa ketiganya. Perbedaan dari setiap jenis bambu juga dapat
dilihat dari permukaan ruasnya, karena permukaan ruas setiap jenis bambu
tidaklah sama, mungkin memiliki bulu atau rambut halus yang gundul atau
bahkan lebat (Widjaya, 2001).
2.1.1.4. Pelepah buluh
Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas
yang terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah bulu dan ligula. Daun
8
pelepah buluh terdapat pada bagian atas pelepah, sedangkan kuping pelepah buluh
dan ligulanya terdapat pada sambungan antara pelepah dan daun pelepah buluh.
Pelepah buluh memiliki fungsi yang sangat penting sebagai penutup buluh ketika
muda. Saat buluh tumbuh dewasa dan tinggi, pada beberapa jenis bambu pelepah
buluh ini akan luruh. Pada bambu marga Dinochloa, ketika pelepah buluh luruh
akan tertinggal lampang buluh yang sangat kasar, ciri khas ini dapat digunakan
untuk membedakan bambu yang termasuk ke dalam marga ini.
Daun pelepah pada beberapa jenis bambu tampak tegak, tetapi pada umumnya
daun pelepah ini tumbuh menyebar, menyadak atau terkeluk balik. Beberapa jenis
bambu mempunyai kuping pelepah buluh dan ligula yang berkembang baik, tetapi
pada beberapajenis lainnya kuping pelepah buluh dan ligula ini berukuran kecil
atau hampir tidak tampak. Kuping pelepah buluh dan ligula merupakan ciri
penting yang dapat digunakan untuk membedakan suatu jenis bahkan marga
bambu, keduanya terkadang dengan bulu kejur atau tanpa bulu kerjur sama sekali
(Widjaya, 2001).
2.1.1.5. Percabangan
Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku bambu. Cabang dapat
digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan suatu marga bambu.
Contohnya pada marga Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa sistem
percabangannya mempunyai satu cabang yang lebih besar dibandingkan cabang
lainnnya yang lebih kecil. Cabang lateral bambu yang tumbuh pada batang utama
biasanya berkembang ketika buluh mencapai tinggi maksimum.
9
Pada beberapa marga, cabang muncul tepat di atas tanah, misalnya marga
Bambusa dan menjadi rumpun padat di dekitar dasar rumpun dengan duri atau
tanpa duri. Tetapi pada marga lain, cabangnya tumbuh jauh di atas permukaan
tanah, misalnya marga Dendrocalamus, Gigantochloa dan Schizostachyum. Duri
yang terdapat pada beberapa jenis bambu merupakan anak cabang aksiler dari
bambu atau cabanh yang tumbuh pada batang lateral yang melengkung dan
berujung lancip (Widjaya, 2001).
2.1.1.6. Helai daun dan pelepah daun
Helai daun bambu mempunyai urat daun yang sejajar seperti pada rumput atau
padi, dan setiap daunnya mampunyai tulang daun utama yang sangat menonjol.
Daunnya ada yang lebar bahkan ada juga yang kecil dan sempit seperti pada
Bambusa multiplex. Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai
daunyang berukuran panjang ataupun pendek. Pelepah dilengkapi dengan kuping
pelepah dan ligula. Kuping pelepah daun dapat berukuran besar ataupun kecil,
bahkan tidak tampak sama sekali dan pada beberapa jenis bambu kuping pelepah
ini memiliki cuping besar dan melipat keluar. Ligula pada beberapa jenis bambu
berukuran panjang dan beberapa jenis lainnya memiliki ligula yang berukuran
kecil dengan bulu kejur panjang atau tanpa bulu kejur. Ligula bambu kadang
mempunyai sisi atau pinggir yang menggerigi tidak teratur, menggerigi,
menggergaji atau rata (Widjaya, 2001).
10
1.1.2. Habitat bambu
Bambu merupakan salah satu tanaman hasil hutan non kayu yang banyak tumbuh
di hutan sekunder dan hutan terbuka walaupun diantaranya ada yang tumbh di
hutan primer (Widjaya dan Karsono, 2005). Menurut Danaatmadja (2006),
tanaman bambu sangat mudah ditemui di daerah atau wilayah beriklim tropis
seperti Indonesia mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 400 m dpl. Tempat
tumbuhnya pada tanah aluvial dengan tekstur tanah berpasir sampai berlampung
dengan ketinggian optimal 0-500 m dpl.
1.1.3. Persebaran bambu
Menurut Holtum dalam Dransfield (1995), penyebaran geografis bambu sebagian
besar dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Bambu tersebar luas di daerah atau
wilayah yang memiliki iklim tropis, subtropis serta beberapa wilayah kontinental
kecuali Eropa dan Asia Barat mulai dari dataran rendah hingga pada ketinggian
4000 m dpl. Terdapat dua jenis bambu yang memiliki penyebaran paling luas,
yaitu Bambusa vulgaris dan Bambusa multiplex. Bambusa vulgaris merupakan
tanaman bambu daerah tropis yang dapat tumbuh alami di semua habitat
terkecuali bambu yang berada di daerah sepanjang tepi sungai karena bambu
tersebut belum diketahuia sal mulanya. Sedangkan Bambusa multiplex luas di
setiap daerah beriklim tropis, subtropis dan daerah yang dipengaruhi oleh suhu
(Dransfield, 1995).
Menurut Danaatmadja (2006), beberapa jenis bambu yang terdapat di Indonesia
berasal dari 8 marga yang tersebar luas hampir di seluruh Indonesia. Tanaman
11
bambu di Indonesia ditemukan di daerah dataran rendah sampai pegunungan
dengan ketinggian sekitar 300 m dpl dan pada umumnya ditemukan di tempat
terbuka serta terbebas dari genangan air. Masing-masing jenis bambu yang
terdapat di Indonesia tidak dikenal baik oleh masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat Jawa, karena hanya beberapa jenis bambu yang tumbuh tersebar di
Jawa. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika masih dijumpai beberapa jenis
bambu yang persebarannya terbatas, kadang hanya tumbuh pada tempat tertentu,
misalnya di daerah berkapur .
1.1.4. Manfaat bambu
Tanaman bambu merupakan salah satu kelompok rumput raksasa yang digunakan
secara luas di Pulau Jawa dan Bali, terutama sebagai bahan pengganti kayu
bangunan. Selain memiliki kegunaan utama sebagai bahan alternatif pengganti
kayu bangunan, tanaman bambu juga memiliki manfaat lain yang beragam.
Pemanfaatan ini disesuaikan dengan masing-masing dari jenis bambu tersebut,
sehingga menyebabkan suatu jenis bambu tertentu hanya baik digunakan untuk
suatu hasil kerajinan tertentu.
Bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daunnya. Akar umumnya
dimanfaatkan untuk membuat ukiran bambu, sedangkan buluh bambu biasanya
dimanfaatkan untuk bahan bangunan, bahan jembatan, kerajinan tangan,
keranjang, mebel, alat-alat pertanian dan perikanan, alat rumah tangga, pipa air,
kertas, sumpit, tusuk gigi, tusuk sate dan lain sebagainya.selain itu, buluh bambu
12
juga dapat digunakan untuk membuat alat musik bambu tradisional maupun alat
musik bambu modern (Widaja, 2001).
2.2. Populasi dan Kerapatan Populasi
Menurut Leksono (2007), yang dimaksud dengan populasi adalah sekumpulan
individu organisme dari spesies yang sama dan menempati daeraha atau wilayah
tertentu pada suatu waktu yang tertentu pula. Dari pengertian ini, terdapat batasan
tersendiri untuk menyebut bahwa sekumpulan individu tersebut dapat dinyatakan
sebagai suatu populasi. Batasan tersebut adalah bahwa suatu kumpulan individu
sejenis dapat disebut sebagai suatu populasi jika antaranggota populasi tersebut
memiliki kemampuan untuk berbiak secara silang. Di luar itu, menurut Campbell
(2004) di dalam setiap populasi terdapat dua karakteristik penting, yaitu kerapatan
populasi dan penyebarannya.
Parameter paling fundamental dalam populasi adalah densitas atau kerapatan.
Kerapatan merupakan ukuran populasi atau jumlah individu dalam suatu populasi,
dengan demikian kerapatan dapat dinyatakan dalam jumlah individu perkelompok
atau persatuan panjang, luas atau volume (Leksono, 2007). Hal ini senada dengan
pendapat Campbell (2004) yang menyatakan bahwa kepadatan populasi (untuk
tumbuhan kerapatan) adalah jumlah individu persatuan luas atau volume. Nilai
kerapatan yang diperoleh dapat menggambarkan bahwa suatu jenis yang
memperoleh hasil perhitungan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian
yang besar (Fachrul, 2007).
13
2.3. Cagar Alam Rawa Danau dan Tukung Gede
1.3.1. Cagar Alam Rawa Danau
Rawa Danau merupakan salah satu satu tempat upaya konservasi yang telah
ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sejak tahun 1921 dengan luas sekitar
2.500 ha (Whitten, 1999). Cagar Alam Rawa Danau ini terletak di provinsi Banten
bagian barat dan merupakan tipe lahan basah pegunungan yang diapit oleh
pegunungan Tukung Gede Barat dan Tukung Gede Timur. Menurut Bapeda
Provinsi Banten dalam Prasdiyanto (2004), lahan basah seperti Cagar Alam Rawa
Danau merupakan bagian integral dari siklus hidrologi yang memainkan peran
kunci dalam membagi dan mengatur kualitas dan kuantitas air bagi kehidupan.
Daerah lahan basah seringakali terhubung dengan lahan basah lainnya dan kadang
terdapat transisi yang beragam antara ekosistem perairan dan ekosistem darat
hutan rawa atau padang rumput.
Cagar Alam Rawa Danau memiliki vegetasi tipe ekosistem rawa air tawar
pegunungan. Jenis tumbuhan berkayu yang mendominasi kawasan ini adalah
Ficus retusa. Alstonia spatulata, Gluta rhengas, Engenia spicata. Untuk
tumbuhan bawah didominasi oleh jenis rumput-rumputan (Dinas Kehutanan
Provinsi Jawa Barat, 2007). Terdapat empat tipe vegetasi utama yang dikenali di
Rawa Danau, yaitu hutan rawa campuran, hutan rawa yang didominasi oleh jejawi
(Ficus retusa), hutan perdu dan berbagai tipe vegetasi sekunder (Whitten, 1999).
14
1.3.2. Cagar Alam Tukung Gede
Tukung Gede merupakan daerah perbukitan dengan luas sekitar 1.700 ha yang
berada di pinggiran kawah gunung api purba pada ketinggian ± 450 m dpl dengan
suhu rata-rata 19o-25oC serta curah hujan rata-rata 2.151 mm per tahun. Tukung
Gede telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam pada tahun 1980 (Whitten,
1999). Cagar Alam Tukung Gede Cagar Alam Tukung Gede memiliki tipe
vegetasi hutan pegunungan yang terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu hutan
alam dan hutan tanam. Vegetasi hutan alamnya ditumbuhi oleh berbagai jenis
pepohonan seperti Langerstroemi sp., Sterculia coccinea dan Quercus javanicus
serta jenis tumbuhan memanjat Liana dan Epifit (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Barat, 2007).
Menurut Whitten (1999), Cagar Alam Rawa Danau dan Tukung Gede memiliki
keanekaragaman satwa yang hampir sama, karena letaknya yang sangat
berdekatan. Di kedua kawasan Cagar Alam tersebut terdapat hewan mamalia
meliputi surili yang terancam punah secara global serta owa dan berbagai jenis
lain yang menunjukkan bahwa kawasan hutan ini relatif tidak terganggu.
2.4. Materi Subkonsep Spermatophyta di SMA
2.4.1. Ciri dan Struktur Tumbuhan Berbiji
Tumbuhan berbiji atau spermatophyta merupakan tumbuhan kormus sejati. Ciri
khas spermatophyta adalah adanya biji yang dihasilkan melalui peristiwa
pembuahan atau fertilisasi. Tumbuhan berbiji memiliki jaringan pembuluh angkut,
yaitu jaringan pembuluh xilem dan floem.
15
2.4.2. Reproduksi Tumbuhan Berbiji
Tumbuhan berbiji atau spermatophyta berkembangbiak melalui 2 cara, yaitu
secara aseksual (vegetatif) dan seksual (generatif). Reproduksi vegetatif
merupakan cara perkembang biakan tanpa melewati proses peleburan dua gamet
(fertilisasi) dan akan menghasilkan keturunan yang memiliki sifat identik dengan
induknya. Sedangkan reproduksi generatif merupakan cara perkembangbiakan
tumbuhan yang melibatkan proses peleburan gamet jantan dan gamet betina
(fertilisasi) yang biasa disebut pembuahan. Dalam reproduksi generatif terdapat
dua tahap yang dilalui sebelum tumbuhan yang berkembang biak tersebut
menghasilkan keturunan, yaitu tahap penyerbukan atau polinasi dan pembuahan
atau fertilisasi.
2.4.3. Klasifikasi Tumbuhan Berbiji
Tumbuhan berbiji dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Gymnospermae
(tumbuhan berbiji terbuka) dan Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup).
Gymnospermae dicirikan oleh biji-bijinya yang tidak tertutup dan terdapat pada
permukaan sporofit yang merupakan daun pembawa sporangia. Menurut
Campbell (2003), dari sebelas divisi dalam dunia tumbuhan, empat diantaranya
dikelompokkan sebagai tumbuhan gymnospermae. Keempat divisi tumbuhan itu
adalah Cycadophyta (Sikad), Gynkgophyta), Gnetophyta dan Coniferophyta
(Konifer).
Angiospermae atau tumbuhan berbunga merupakan tumbuhan yang memiliki biji
terbungkus dalam suatu badan atau daging yang berasal dari daun buah.
16
Berdasarkan daun lembaga yang dimiliki, angiospermae dibedakan menjadi dua
kelas yaitu kelas Monocotyledonae ( memiliki satu daun lembaga) dan
Dicotyledonae (memiliki dua daun lembaga).
2.4.4. Manfaat Tumbuhan Berbiji
Tumbuhan berbiji, baik Gymnospermae maupun Angiospermae memiliki banyak
manfaat bagi kehidupan manusia. Masing-masing manfaatnya antara lain
a. Gymnospermae memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi manusia, misalnya
kayu dari pohon konifer yang banyak digunakan sebagai bahan baku kontruksi
bangunan, bahan baku kertas, penghasil getah, bahan makanan atau minuman
dan bahan obat-obatan.
b. Angiospermae memiliki manfaat yang lebih banyak lagi dibandingkan
Gymnospermae. Beberapa manfaat tersebut antara lain: sebagai bahan
bangunan, bahan pangan, bahan sandang, bahan obat-obatan serta bahan
pemberi rasa nikmat pada makanan, minuman atau lainnya
2.5. Sumber Belajar
Sumber belajar mencakup semua bahan yang dapat digunakan oleh setiap orang
dalam melakukan kegiatan belajar untuk menambah wawasan dan menggali
kompetensi yang dimilki. Menurut Rohani (2004), sumber belajar adalah segala
daya yang diperlukan untuk kepentingan proses atau akltivitas pengajaran baik
secara langsung maupun tidak langsung, di luar diri peserta didik (lingkungan)
yang melengkapi diri mereka pada saat pengajaran berlangsung. Hal ini senada
dengan pendapat Djamarah (2006) yang menyatakan bahwa sumber belajar adalah
17
bahan atau materi yang dapat menambah ilmu pengetahuan yang mengandung
hal-hal baru bagi si pelajar (peserta didik), sebab pada hakikatnya bekajar itu
merupakan proses untuk mendapatkan hal-hal yang baru sehingga terjadi
perubahan. Menurut Sudrajat (2008), yang dimaksud dengan sumber belajar atau
learning resources adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud
tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara
terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam
mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Jadi, sumber belajar
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan oleh setiap orang terutama peserta
didik untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam kegiatan belajar.
Dari beberapa pengertian di atas, diketahui bahwa pada hakikatnya sumber belajar
itu begitu luas dan lebih dari sekedar media pembelajaran. Oleh karena itu, segala
sesuatu baik yang berasal dari lingkungan sosial maupun lingkungan alam yang
sekiranya dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk keberhasilan kegiatan belajar
dapat dipertimbangkan sebagai sumber belajar.
Ada bermacam-macam sumber belajar, menurut Winataputra dan Ardiwinata
(Djamarah, 2006), sekurang-kurangnya terdapat 5 macam sumber belajar, yaitu
(1) manusia, (2) buku/perpustakaan, (3) media massa, (4) alam lingkungan yang
meliputi alam lingkungan terbuka, alam lingkungan sejarah atau peninggalan
sejarah dan alam lingkungan manusia, (5) media pendidikan. dari kelima sumber
belajar tersebut, lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang sangat
penting karena lingkungan kaya akan sumber yang dapat meningkatkan dan
memperkaya bahan pembelajaran dalam kegiatan belajar. Menurut Sudrajat
18
(2008), lingkungan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar terdiri dari :
(1) lingkungan sosial dan (2) lingkungan fisik (alam). Lingkungan sosial dapat
dijadikan sebagai sumber belajar yang digunakan untuk memperdalam ilmu-ilmu
sosial dan kemanusiaan sedangkan lingkungan alam dapat digunakan untuk
mempelajari tentang gejala-gejala alam dan keanekaragaman makhluk hidup di
alam serta dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan kecintaan mereka
terhadap alam sehingga dapat berpartispasi dalam memelihara dan melestarikan
alam.
Diantara sumber belajar yang disebutkan oleh Djamarah tersebut di atas, buku
merupakan salah satu sumber belajar yang sangat menunjang kegiatan belajar
mengajar. Menurut Hayat (DIKTI, 2003), buku pelajaran meliputi buku teks
utama dan buku teks pelengkap. Buku teks utama berisi bahan-bahan pelajaran
suatu bidang studi yang digunakan sebagai buku pokok bagi siswa dan guru,
sedangkan buku teks pelengkap adalah buku yang sifatnya membantu atau
merupakan tambahan bagi buku teks utama dan digunakan oleh guru dan siswa.
19
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede
yang secara administratif termasuk dalam tiga kecamatan, yaitu kecamatan
Padarincang, kecamatan Pabuaran dan kecamatan Mancak, kabupaten Serang.
3.1.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Desember 2009 sedangkan untuk
pengambilan data dilakukan pada bulan Juni – Juli 2009.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini antara lain
meteran, cutter atau gunting, pisau, patok, tali rapia, pensil, kertas untuk mencatat
data yang diperoleh serta buku panduan lapangan berupa buku identifikasi bambu.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian mengenai Kerapatan Populasi Bambu di Kawasan Cagar Alam Rawa
Danau – Tukung Gede ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang
menggunakan metode kombinasi antara sistem petak tunggal dan sistem jalur
(Soerianegra dan Indrawan dalam Kalima, 1996)
20
3.3.1. Penentuan Pengambilan Data
Penelitian ini tidak mencakup seluruh kawasan Cagar Alam Rawa Danau –
Tukung Gede tetapi hanya mengambil beberapa lokasi yang dianggap mewakili
kawasan tersebut, yaitu tiga jalur yang tersebar di kawasan tersebut. Pada masing-
masing jalur tersebut dibagi menjadi tiga titik atau stasiun pengamatan, yaitu titik
atas, titik tengah dan titik bawah.
3.3.2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengambilan data yang digunakan adalah kombinasi antara sistem petak
tunggal dan sistem jalur. Petak contoh berupa jalur sepanjang 2 km dibuat di tiga
jalur kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede. Tiap jalur terdiri atas
200 petak berukuran 20 x 10 m (Mueller dan Ellenberg dalam Kalima, 1996) yang
tersebar di tiga jalur kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede. Dengan
demikian banyaknya seluruh petak ada 600 buah dengan luas 12 hektar. Parameter
yang diukur adalah jenis-jenis bambu yang ditemukan serta kerapatan populasi
dari masing-masing jenis bambu yang ditemukan.
Gambar. Posisi jalur petak yang digunakan untuk pendataan
populasi bambu
21
3.3.2. Identifikasi Jenis
Identifikasi jenis bambu dilakukan dengan metode eksplorasi dari petak contoh
yang dibuat di sepanjang jalur. Pengamatan secara morfologis dan identifikasi
jenis dilakukan secara langsung di lapangan dengan mengacu pada Widjaja
(2001). sedangkan untuk spesimen (jenis bambu) yang belum diketahui namanya,
dilakukan pembuatan herbarium untuk keperluan identifikasi di Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Pusat Penelitian Pengembangan
Biologi, LIPI Bogor dengan menggunakan acuan spesimen herbarium maupun
pustaka yang ada.
3.4. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
3.4.1 Kerapatan
Nilai kerapatan dapat menggambarkan bahwa jenis dengan nilai kerapatan tinggi
memiliki pola penyesuaian yang besar. Untuk mengetahui kerapatan jenis bambu
di kawasan Cagar Alam Rawa Danau - Tukung Gede maka digunakan rumus:
Jumlah batang atau jumlah individu Kerapatan =
Luas plot (ha)
Kerapatan suatu jenis (ha) Kerapatan Relatif = x 100%
KR Kerapatan seluruh jenis (ha)
(Fachrul, 2007:46)
22
3.4.2 Frekuensi
Frekuensi dipakai sebagai parameter vegetasi yang dapat menunjukkan distribusi
atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem. Frekuensi ini dapat diketahui
dengan menggunakan rumus:
Jumlah petak ditemukan suatu jenis Frekuensi =
Jumlah seluruh petak
Frekuensi suatu jenis Frekuensi Relatif = x 100% FR Frekuensi seluruh jenis (ha)
(Fachrul, 2007)
3.5. Penerapan Penelitian Sains dalam Bidang Pendidikan
3.5.1. Buku Saku
Hasil penelitian yang telah dilakukan akan diterapkan sebagai salah satu sumber
belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta berupa buku
pelajaran. Menurut Bahrul Hayat dalam DIKTI (2003), buku pelajaran meliputi
buku teks utama dan buku teks pelengkap. Adapun buku pelajaran yang dimaksud
dalam penerapan hasil penelitian ini adalah buku teks pelengkap yang dikemas
dalam bentuk buku saku yang berisi mengenai jenis bambu yang terdapat di
kawasan Cagar Alam Rawa Danau – Tukung Gede dan bagaimana keadaan
populasinya di kawasan tersebut
.
Bahasa yang digunakan dalam pembuatan buku saku adalah bahasa Indonesia
yang ringan dan mudah difahami, hal ini bertujuan agar siswa lebih mudah
23
mengerti dan paham mengenai bambu dan berbagai manfaatnya. Penerapan hasil
penelitian dalam bentuk buku saku ini merupakan upaya penggunaan alam
sebagai sumber belajar yang diharapkan mampu menjadikan siswa lebih
mengetahui mengenai potensi yang ada di lingkungan sekitar. Hal ini ditegaskan
oleh Sudrajat (2008) yang menyatakan bahwa lingkungan alam dapat digunakan
untuk mempelajari tentang gejala-gejala alam dan keanekaragaman makhluk
hidup di alam serta dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan kecintaan
mereka terhadap alam sehingga dapat berpartispasi dalam memelihara dan
melestarikan alam. Pernyataan ini senada dengan yang dikemukakan oleh
Mulyasa (2008) mengenai hal yang perlu dipahami dalam KTSP, yaitu KTSP
dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi, karakteristik
daerah serta sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
3.5.2 Standar Penilaian Buku Saku
Buku pelajaran merupakan salah satu sumber pengetahuan bagi siswa di sekolah
dan merupakan sarana yang sangat menunjang proses kegiatan belajar mengajar.
Oleh karena itu, buku pelajaran diharapkan dapat memenuhi standar-standar
tertentu yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan (siswa dan guru), perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kurikulum.standar yang dimaksud
dalam pedoman penilaian ini meliputi persyaratan, karakteristik dan kompetensi
minimum yang harus terkandung di dalam suatu buku. Standar penilaian ini
dirumuskan dengan melihat tiga aspek utama, yaitu materi, penyajian, dan
bahasa/keterbacaan (DIKTI, 2003).
24
Setelah buku saku selesai dibuat, maka untuk mengetahui kelayakannya dilakukan
uji kelayakan terhadap buku saku tersebut. Uji kelayakan ini dilakukan melalui
penilaian oleh 9 orang ahli sebagai penguji yang terdiri atas 4 orang dosen dan 5
orang guru bidang studi Biologi.
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis Bambu yang Ditemukan
Setelah dilakukan penelitian di kawasan Cagar Alam Rawa Danau - Tukung
Gede, terdapat 8 spesies bambu yang termasuk ke dalam 5 marga, yaitu
Bambusa, Dendrocalamus, Dinochloa, Gigantochloa dan Schizostachyum. Jumlah
marga bambu yang ditemukan dalam penelitian ini lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah marga bambu yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan
oleh Misonah (2006) yang hanya menemukan 4 marga, yaitu Bambusa,
Dendrocalamus, Gigantochloa dan Phyllostachys. Berikut ini adalah tabel
mengenai jenis-jenis bambu yang ditemukan di kawasan Cagar Alam Tukung
Gede beserta dengan lokasi ditemukannya:
Tabel 1. Sebaran jenis-jenis bambu yang ditemukan di kawasan Cagar Alam
Rawa Danau - Tukung Gede
Lokasi ditemukan No Spesies
Jalur I Jalur II Jalur III Luar Jalur
1. Bambusa vulgaris - - - √
2. Dendrocalamus asper - - - √
3. Dinochlooa scandens - √ - -
4. Gigantochloa apus - √ - -
5. G. atroviolacea √ √ - -
6. G. atter - - - √
7. G. pseudoarundinacea √ - - √
8. Schizostachyum iraten √ - - -
26
Gambar 1. Dinochloa scandens
Keterangan:
Jalur I : Gunung Cinini √ : ditemukan
Jalur II : Gunung Cilik - : tidak ditemukan
Jalur III : Gunung Batu Lawang
Dari data di atas dapat terlihat bahwa pada jalur I ditemukan 3 jenis bambu, yaitu
G. pseudoarundinacea, G. atroviolaceae dan S. iraten. Pada jalur II juga
ditemukan 3 jenis bambu, yaitu G. apus, G. atroviolacea dan D. scandens.
Sedangkan pada jalur III tidak ditemukan jenis bambu. Selain itu, ditemukan juga
4 jenis bambu di luar jalur penelitian dengan 1 jenis yang sama dengan jenis yang
ditemukan di jalur I, yaitu G. Pseudoarundinacea dan 3 jenis lagi berbeda dengan
kelima jenis yang ditemukan di dalam jalur penelitian. Ketiga jenis bambu
tersebut adalah B.vulgaris, D. asper dan G. atter.
4.2 Deskripsi Jenis-jenis Bambu yang ditemukan
Berikut adalah deskripsi atau penggambaran mengenai jenis-jenis bambu yang
terdapat di kawasan Cagar Alam Tukung Gede:
1. Dinochloa scandens
Bambu ini dikenal oleh masyarakat sekitar
dengan nama bambu merambat atau awi
ngarambat, cangkoreh (Sunda). D.
Scandens memiliki rumpun yang menjalar
dan terbuka dengan panjang buluh
27
mencapai 20 m dan tumbuh menjalar. Pelepah buluhnya mudah gugur dan
tertutup rambut halus berwarna putih atau gundul. Daun pelepah buluh terkeluk
balik dan menyegitiga dengan pangkal yang menyempit sedangkan daun
bambunya gundul tanpa tertutupi rambut halus. Menurut Widjaja (2001), bambu
ini memiliki rebung keunguan, gundul dan terkadang berlilin putih. Percabangan
hanya tumbuh jauh dari permukaan tanah yang terdiri atas 1-2 cabang di setiap
bukunya tetapi hanya ada 1 cabang besar yang hanya akan tumbuh jika batang
utama terpotong. Daunnya berukuran 11-23 x 1,4-4,9 cm, kuping pelepah buluh
kecil dengan rambut kejur pendek dan ligula rata yang disertai rambut kejur yang
panjangnya mencapai 8 mm.
D. scandens tumbuh di tanah berpasir dan berkapur di hutan basah tropis dan
merupakan tanaman bambu endemik daerah Jawa bagian barat, sehingga hanya
ditemukan di daerah Jawa Barat dan Banten (Widjaja, 2001). Masyarakat sekitar
CARD – CATG belum memanfaatkan bambu jenis D. Scandens ini. Akan tetapi
menutut Widjaja (2001), bambu ini sering digunakan oleh masyarakat sebagai tali
pengikat di hutan jika tidak ada tumbuhan lain yang dapat digunakan sebagai tali.
2. Gigantochloa apus
G. apus dikenal oleh masyarakat sekitar dengan nama pring tali, pring apus
(Jawa), awi tali (Sunda). Bambu ini memiliki rumpun simpodial yang rapat dan
tegak. Rebungnya berwarna hijau tertutup rambut halus berwarna coklat dan
hitam sedangkan buluh mudanya hanya tertutup rambut halus berwarna coklat
yang tersebar di seluruh permukaan buluh. Buluh bambu yang tua tidak tertutup
28
Gambar 2. Gigantochloa apus
rambut halus tersebut, sehingga buluh
bambu tampak berwarna hijau.
Batangnya berwarna hijau keabu-abuan
atau cenderung kuning mengkilap. Daun
bambu tali memiliki permukaan bawah
yang agak berambut serta kuping
pelepah daun yang kecil dan membulat.
Menurut Widjaja (2001), rambut halus
yang tersebar pada seluruh permukaan buluh saat muda akan luruh ketika buluh
mulai menua hingga akhirnya tampak batang bambu yang berwarna hijau.
Percabangannya 1,5 m dari permukaan tanah dengan satu cabang lateral yang
berukuran lebih besar dari pada cabang lainnya., memiliki ruas yang panjangnya
mencapai 20-60 cm dengan diameter batang 4-15 cm dan tebal dindingnya
mencapai 15 mm. Daun bambu tali berukuran antara 13-49 x 2-9 cm, memiliki
kuping pelepah daun yang kecil, membulat dan gundul, juga memiliki ligula yang
rata dengan tinggi 2-4 mm.
G. apus tumbuh tersebar di Pulau Jawa dan pada daratan yang lembab di dataran
rendah hingga berbukit-bukit, bahkan dapat juga tumbuh di tanah liat berpasir
(Widjaja, 2001). Bambu tali dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk membuat
pagar, taraje (tangga sederhana), layes, reng serta kerajinan anyaman bambu
seperti bakul, tampah, kipas, irigan dan bilik.
29
Gambar 3. G. atroviolacea
3. Gigantochloa atroviolacea
G. atroviolacea dikenal oleh masyarakat
sekitar dengan nama bambu hitam, pring
wulung atau pring ireng (Jawa) dan awi
hideung (Sunda). Bambu ini memiliki
rumpun simpodial yang tegak dan rapat.
Rebung bambu hitam berwarna hijau
kehitaman dan jingga pada ujungnya,
tertutup rambut halus berwarna coklat hingga hitam. Buluh bambu ini tegak dan
tingginya mencapai 15 m. Buluh mudanya tertutup rambut halus berwarna coklat
hingga hitam yang akan meluruh ketika buluh menua sehingga buluh tua menjadi
keunguan. Pelepah buluh juga tertutup rambut halus berwarna hitam hingga
coklat, kuping pelepah buluhnya kecil membulat dengan tinggi kira-kira 1 mm.
Daun pelepah buluhnya terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal menyempit
dan memiliki daun yang gundul. Menurut Widjaja (2001), percabangannya
tumbuh jauh di atas permukaaan tanah dengan satu cabang lateral yang lebih besar
daripada cabang lainnya dan ujung cabang yang melengkung. Batang G. Apus
memiliki ruas yang panjangnya 40-50 cm dengan diameter 6-8 cm dan tebal
dindingnya mencapai 8 mm. Rambut halus berwarna coklat atau hitam yang
menutupi buluh bambu bersifat mudah luruh. Daunnya berukuran 20-28 x 2-5 cm,
memililki ligula yang menggerigi, gundul dan tingginya mencapai 2 mm.
30
Gambar 4. G. pseudoarundinacea
G. atroviolacea hanya terdapat di Pulau Jawa, tumbuh baik dan subur di daerah
yang memiliki tanah kering dan berkapur juga dapat tumbuh di tanah vulkanik
yang berwarna kemerahan (Widjaja, 2001). Masyarakat sekitar memanfaatkan
bambu hitam untuk membuat kerajinan tangan seperti kursi bambu, bilik dan
dipan. Selain itu, masyarakat juga menggunakannya untuk membuat taraje, pagar
dan tiang jemuran.
3. Gigantochloa pseudoarundinacea
G. pseudoarundinacea dikenal oleh
masyarakat sekitar dengan nama bambu
gombong, bambu ater surat atau pring
surat. Rumpun G. Pseudoarundinacea
simpodial, tegak dan padat. Rebung bambu
berwarna hijau dengan garis-garis kuning
yang tertutup rambut halus coklat atau
hitam. Bambu ini memiliki buluh yang
tingginya mencapai 7-30 m. Pada saat masih muda, buluh ini tertutup rambut
halus berwarna coklat dan ketika tua rambut halus tersebut rontok dan buluh
menjadi hijau bergaris kuning. Pelepah buluh tertutup rambut halus berwarna
coklat dan mudah luruh, kuping pelepahnya berbentuk bingkai yang
bergelombang dengan pelepah buluh yang terkeluk balik, menyetiga dengan
pangkal yang menyempit. Daunnya gundul tanpa rambut halus. Menurut Widjaja
(2001), percabangannya terletak jauh di atas permukaan tanah dengan satu cabang
lateral yang lebih besar daripada cabang lainnya. Batang bambu ini memiliki ruas
31
Gambar 5. Schizostachyum iraten
yang panjangnya mencapai 40-45 cm bahkan terkadang mencapai 60 cm, diameter
5-13 cm dan tebal dinding mencapai 20 mm. Daunnya berukuran 22-25 x 2,5-5
cm dengan kuping pelepah buluh seperti bingkai dan ligula yang rata sampai
menggerigi.
G. pseudoarundinacea merupakan tanaman bambu endemik pulau Jawa, sehingga
dapat dijumpai di seluruh wilayah Pulau Jawa. Bambu ini tumbuh baik dan subur
di daerah tropis yang lembab dengan suhu 200-320C dan kelembaban relatif
sekitar 70% (Widjaja, 2001). G. pseudoarundinacea biasanya digunakan oleh
masyarakat sekitar untuk bahan bangunan, pipa air, pagar, tusuk sate, dipan,
taraje, tiang dan rebungnya dapat dijadikan sebagai bahan sayuran.
5. Schizostachyum iraten
S. iraten dikenal oleh masyarakat sekitar
dengan namna bambu suling, bambu jepang
atau awi tamiyang (Sunda). Bambu ini
memiliki rumpun simpodial yang rapat,
rebung hijau tertutup ranbut halus berwrna
coklat, buluhnya lurus dan tegak dengan
ujung yang melengkung dan tinggi buluhnya
mencapai 12 m. Buluh muda hijau tertutup
rambut halus yang pucat dan cincin putih yang melingkar di bawah buku-buku
yang tampak jelas. Pelepah buluh tidak mudah luruh, tertutup rambut halus
berwarna coklat dan pucat. Kuping pelepah buluh tidak tampak atau seperti
bingkai yang tertutupi bulu kejur, bagian ujung pelepah merompang, daun pelepah
32
Gambar 6. Bambusa vulgaris
buluh tegak, menyegitiga dengan pangkal yang melebar. Daun bambu ini gundul
atau tidak tertutupi oleh rambut halus. Menurut Widjaja (2001), S. iaraten
memiliki percabangan yang terletak jauh dari permukaan tanah dengan cabang
yang sama besar. Batang bambu ini memiliki ruas yang panjangnya 50-120 cm,
diameter 2-5 cm, dengan dinding tpis yang tebalnya kira-kira mencapai 3-7 mm.
Daunnya berukuran 21,5-40 x 3,5-7 cm, kuping pelepah buluhnya tidak tampak
atau kecil pada tepi ujung pelepah dengan bulu kejur mencapai 8 mm, dan ketika
muda pelepah tertutup rambut halus berwarna putih kecoklatan.
S. iaraten dapat dijumpai di seluruh wilayah Pulau Jawa, bambu ini akan tumbuh
baik dan subur di daerah dengan curah hujan yang cukup. (Widjaja,2001). S.
iraten kurang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, tetapi ada saja yang
menggunakannya untuk membuat suling dan tusuk sate.
Selain kelima jenis bambu yang ditemukan pada 3 jalur penelitian, di kawasan
CARD – CATG juga terdapat beberapa jenis bambu yang tidak ditemukan di
sepanjang jalur penelitian. Beberapa jenis bambu tersebut antara lain:
1. Bambusa vulgaris
B. vulgaris dikenal oleh masyarakat sekitar
dengan nama bambu ampel. Bambu ini
ditemukan di daratan sekitar rawa (CARD)
dan daratan yang terdapat aliran airnya. B.
33
Gambar 7. Dendrocalamus asper
Vulgaris memiliki rumpun simpodial yang tumbuh tegak dan tidak terlalu rapat.
Tinggi buluhnya mencapai 20 m, tumbuh tegak dengan percabangan yang tumbuh
1,5 m dari permukaan tanah. Bambu ini memiliki pelepah buluh yang mudah
luruh, tertutup rambut halus berwarna hitam hingga coklat tua, kuping pelepah
buluh membulat dengan ujung melengkung keluar. Daunnya gundul karena tidak
tertutup rambut halus seperti pada buluhnya. Menurut Widjaja (2001), Rebung B.
vulgaris berwarna kuning atau hijau dan tertutup rambut halus berwarna coklat
hingga hitam.Batang bambunya memiliki ruas-ruas dimana setiap ruas terdiri atas
2-5 cabang dengan satu cabang lebih besar daraipada cabang lainnya. Panjang
ruas-ruas batangnya mencapai 20-45 cm dengan diameter batang 5-10 cm dan
dinding yang tebalnya 7-15 mm.daunnya berukuran 9-30 x 1-4 cm dengan kuping
pelepah buluh kecil dan ligula rata yang tingginya 1-2 mm.
B .vulgaris ditanam di seluruh Pulau Jawa dan tumbuh baik di daerah yang sangat
kering atau lembab bahkan pada daerah yang tergenang air sekalipun (Widjaja,
2001). B. vulgaris yang ditemukan di kawasan CARD merupakan B. vulgaris
dengan varietas hijau. Bambu ini dimanfaatkan masyarkat sekitar untuk membuat
pagar, tusuk sate, tusuk gigi, tiang penyangga jemuran dan galah.
2. Dendrocalamus asper
D. asper banyak dikenal masyarakat sekitar
dengan nama pring kasap (Jawa). Hal ini
dikarenakan batangnya memiliki permukaan
yang agak kasar atau kasap. D. asper ini
memiliki rumpun simpodial yang tegak dan
34
padat. Rebungnya hitam keunguan dan tertutup rambut halus membeledu
berwarna coklat hingga kehitaman. Buluh bambu berwarna hijau atau hijau tua
dan bertotol-totol putih serta buku-bukunya di kelilingi oleh akar udara. Tinggi
buluh bambu ini mencapai 20 m, tegak dengan ujung yang melengkung. Daun
pelepah buluhnya terkeluk balik, menyegitiga dengan dasar menyempit. Daunnya
gundul tidak tertutupi rambut halus. Menurut Widjaja (2001), bambu ini memiliki
percabangan di tengah buluh atau 1.5-3 m dari permukaan tanah, cabang terdiri
atas 5-11 cabang di setiap ruas dengan sebuah cabang yang lebih besar daripada
cabang lainnya. Bambu D. asper memiliki ruas batang yang panjangnya mencapai
40-50 m dan diameter 12-18 cm. Pelepah buluhnya mudah luruh, tertutup rambut
halus berwarna hitam hingga coklat tua membeledu, kupingnya membulat dan
kadang mengeriting hingga dasar daun pelepah buluh. Daunya berukuran 24-30 x
2,5-4 cm dengan bagian bawah yang agak berambut dan kuping pelepah daun
yang bearukuran kecil.
Di daearah lain, D. asper ini dikenal dengan nama bambu betung (Indonesia) atau
awi bitung (Sunda). D. asper tumbuh tersebar di seluruh pulau Jawa dan tumbuh
baik di tanah alluvial tropis yang lembab dan basah, tetapi juga dapat tumbuh di
daerah kering di dataran rendah maupun dataran tinggi (Widjaja, 2001). D. asper
dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai bahan kontruksi bangunan, seperti untuk
membuat tiang penyangga rumah bambu atau saung. Selain itu bambu ini juga
digunakan untuk membuat kursi bambu, dipan, taraje, tiang penyangga dan
rebungnya dapat dijadikan sebagai sayuran.
35
Gambar 8. Gigantochloa atter
3. Gigantochloa atter
G. atter dikenal oleh masyarakat sekitar
dengan nama bambu ater atau awi ater
(Sunda). Bambu ini memilliki rumpun
simpodial dan tegak. Tinggi buluhnya
mencapai 22 m, saat masih muda buluh ini
masih tertutupi rambut halus berwarna
hitam tetapi menjadi gundul ketika buluh
menua sehingga batang bambu terlihat berwarna hijau hingga hijau tua. Daun
pelepah buluhnya terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal sempit serta
memiliki kuping pelepah yang membulat atau membulat dengan ujung
melengkung keluar. Daunnya gundul dan memiliki kuping pelepah daun kecil
yang tingginya sekitar 1 mm. Menurut Widjaja (2001), bambu ini memiliki
rebung hijau hingga keunguan yang tertutup rambut halus berwarna hitam.
Percabangannya tumbuh jauh di atas permukaan tanah, satu cabang lateral yang
lebih besar daripada cabang lainnya dengan ujung cabang yang melengkung.
Batang bambu ini memiliki ruas yang panjangnya mencapai 50 cm, diameter 5-10
cm dan dinding yang tebalnya mencapai 8 mm. Pada daun pelepah buluh terdapat
bulu kejur sepanjang 6 mm , memiliki ligula menggerigi yang tingginya mencapai
3-6 mm. Sedangkan untuk daunnya, bambu ini memiliki daun berukuran 20-44
x3-9 cm dan ligula daun yang rata.
G. atter tumbuh tersebar di Pulau Jawa juga di pulau lain di Indonesia. Tumbuh
baik di daerah tropis yang lembab, tetapi masih dapat tumbuh di daaerah kering di
36
dataran rendah hingga dataran tinggi (Widjaja, 2001). G. atter banyak digunakan
oleh masyarakat sekitar sebagai tiang penyangga pada rumah bambu dan saung.
Selain itu, bambu ini juga digunakan masyarakat untuk membuat taraje, pagar
bambu, tiang jemuran, tusuk sate, layes atau reng serta untuk membuat dipan.
4.3 Kerapatan dan Frekuensi Jenis Bambu
4.3.1. Kerapatan Populasi Bambu
Hasil perhitungan kerapatan populasi jenis bambu pada masing-masing jalur
penelitian di Cagar Alam Tukung Gede dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Kerapatan (Ki) Jenis Bambu
Ki (batang/ha) No Spesies
Jalur I Jalur II Jalur III
1 D. scandens - 16,7 -
2 G. apus - 137 -
3 G. atroviolacea 107 363 -
4 G. pseudoarundinacea 553 - -
5 S. iraten 120 - -
Dari tabel di atas, diketahui kerapatan rata-rata masing-masing jenis bambu yang
ditemukan pada masing-masing jalur/stasiun. Pada jalur I kerapatan jenis bambu
tertinggi dimiliki oleh jenis bambu G. pseudoarundinacea dengan nilai kerapatan
sebesar 553 batang/ha. Untuk bambu jenis S. iraten memiliki nilai kerapatan
sebesar 120 batang/ha yang berarti nilai tertinggi kedua untuk kerapatan jenis
bambu di jalur I. Sedangkan untuk nilai kerapatan terendah di jalur I, dimiliki oleh
bambu jenis G. atroviolacea dengan nilai 107 batang/ha.
37
Perbedaan nilai kerapatan tersebut dikarenakan oleh kondisi lingkungan pada jalur
I memiliki tanah yang relatif lembab sehingga lebih sesuai untuk pertumbuhan
bambu jenis G. pseudoarundinacea yang menurut Widjaja (2001) dapat tumbuh
subur pada kondisi tanah yang cenderung lembab. Kondisi tanah yang lembab
seperti itu juga sesuai untuk habitat bambu jenis S. iraten, karena bambu jenis ini
cenderung dapat tumbuh dengan baik pada keadaan tanah yang relatif lebih
lembab (Widjaja, E, 2001). Oleh sebab itulah bambu S. iraten memiliki nilai
kerapatan pada urutan kedua setelah bambu G. pseudoarundinacea. Sedangkan
untuk bambu jenis G. atroviolacea, memiliki nilai kerapatan terendah
dibandingkan dengan kedua bambu tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi
lingkungan yang cenderung lembab kurang sesuai untuk pertumbuhan bambu
jenis ini.
Pada jalur II, kerapatan jenis bambu tertinggi dimiliki oleh jenis bambu G.
atroviolacea dengan nilai kerapatan sebesar 363 batang/ha. Untuk bambu jenis G.
apus memiliki nilai kerapatan sebesar 137 batang/ha yang berarti nilai tertinggi
kedua untuk kerapatan jenis bambu di jalur II. Sedangkan untuk nilai kerapatan
terendah di jalur II, dimiliki oleh bambu jenis D. scandens dengan nilai 16,7
batang/ha.
Kerapatan bambu jenis G. atroviolacea memiliki nilai kerapatan paling tinggi
dibanding dengan II jenis bambu lain yang ditemukan di jalur II karena keadaan
lingkungan di titik bawah pada jalur II dimana banyak ditemukan bambu jenis G.
38
atroviolacea memiliki kondisi tanah yang agak kering, berwarna kemerahan serta
cenderung berkapur dan berpasir. Hal ini menyebabkan bambu jenis G.
atroviolacea ini tumbuh lebih subur pada jalur II dibandingkan dengan
pertumbuhannya pada jalur I yang memiliki kondisi tanah relatif lebih lembab.
Kondisi tanah yang cenderung agak kering seperti ini juga sesuai untuk
pertumbuhan bambu jenis G. apus. Walaupun bambu jenis ini tumbuh lebih subur
pada tanah yang lembab, tetapi dapat juga tumbuh pada tanah yang relaif kering
atau agak kering (Widjaja, 2001). Dan untuk jenis bambu yang memiliki nilai
kerapatan terendah adalah bambu jenis D. scandens. Bambu jenis ini ditemukan
hanya pada jalur penelitian II di daerah puncak Gunung Cilik karena daerah pada
sekitar puncak Gunung Cilik memiliki kondisi tanah yang berpasir dan sedikit
agak berkapur sehingga sesuai untuk pertumbuhan bambu jenis D. Scandens, hal
ini sesuai dengan peernyataan Widjaja (2001) yang menyatakan bahwa D.
scandens dapat tumbuh di tanah berkapur dan berpasir.
Sedangkan pada jalur III tidak ada jenis bambu dengan kerapatan tertinggi
maupun terendah, karena tidak ditemukan jenis bambu pada jalur ini. Hal ini
disebabkan oleh kondisi lingkungan terutama kondisi tanah pada jalur III yang
berkerikil dan berbatu-batu cukup besar dengan keadaan lereng yang cukup curam
sehingga tanaman bambu tidak dapat menyesuaikan diri akibat tidak tercukupinya
kebutuhan mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Keadaan ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Misonah (2006) yang menyatakan
bahwa setiap jenis bambu mempunyai tingkat kemampuan/toleransi yang berbeda
39
dalam menanggapi kondisi lingkungan, sehingga pada area di luar batas ambang
toleransinya jenis bambu yang bersangkutan tidak dapat tumbuh dan berkembang.
4.3.2. Frekuensi Jenis Populasi Bambu
Frekuensi jenis dapat menunjukkan bagaimana distribusi atau penyebaran
populasi jenis bambu yang terdapat di Cagar Alam Tukung Gede.
Tabel 3. Frekuensi Relatif (FR) Jenis Bambu
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa FR yang tertinggi pada masing-masing
jalur penelitian. Pada jalur I, FR tertinggi yaitu pada G. pseudoarundinacea
sebesar 66,7% dan pada jalur II FR tertinggi yaitu pada G. apus sebesar 50,2%,
sedangkan pada jalur III tidak ada jenis bambu yang memiliki FR tertinggi karena
tidak ditemukan jenis bambu pada jalur ini.
FR jenis bambu tertinggi pada masing-masing jalur penelitian memiliki nilai yang
besarnya berbeda-beda, hal ini disebabakan oleh faktor lingkungan terutama
kondisi tanah yang dimiliki masing-masing jalur berbeda-beda. Selai itu,
perbedaan ini juga disebabkan oleh kemampuan masing-masing jenis bambu
untuk dapat tumbuh dengan baik sesuai dengan keadaan lingkungan yang
FR (batang/ha) No Spesies
Jalur I Jalur II Jalur III
1 D. scandens - 24,9% -
2 G. apus - 50,2% -
3 G. atroviolacea 16,7% 24,9% -
4 G. pseudoarundinacea 66,7% - -
5 S. iraten 16,7% - -
40
mendukung pertumbuhannya. Pada jalur I FR jenis bambu tertinggi dimiliki oleh
jenis bambu gombong atau pring surat (G. pseudoarundinaceae) dengan nilai
66,7%. Nilai ini menunjukkan bahwa bambu jenis G. pseudoarundinaceae
memiliki distribusi paling luas di jalur I dibandingkan dengan bambu jenis G.
atroviolacea dan S. iraten yang memiliki nilai FR sama yaitu sebesar 16,7%. Hal
ini dikarenakan pada jalur I memiliki kondisi lingkungan yang sesuai untuk
pertumbuhan bambu jenis G. pseudoarundinacea, baik dari segi kondisi tanah
maupun ketersediaan mineral tanah yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya.
Tetapi tidak demikian untuk bambu jenisn G. atroviolacea dan S. IrateN. Kedua
jenis bambu ini kurang sesuai untuk tumbuh pada kondisi tanah yang terdapat di
jalur I, hal tersebut mungkin dikarenakan mineral yang dibutuhkan keduanya
kurag terpenuhi sehingga keduanya tidak dapat tumbuh dengan baik.
Pada jalur II, nilai FR tertinggi dimiliki oleh bambu jenis G. apus dengan nilai
sebesar 50%.. Nilai ini menunjukkan bahwa bambu jenis G. apus memiliki
distribusi lebih luas di jalur II dibandingkan dengan bambu jenis G. atroviolacea
dan D. scandens yang memiliki nilai FR sama yaitu sebesar 24,9% karena G. apus
ditemukan di lebih dari 1 petak di titik tengah pada jalur pengamatan II saat
penelitian. Sedangkan untuk G. atroviolacea dan D. scandens hanya ditemukan di
1 petak pengamatan yang berbeda. G. atroviolacea ditemukan di petak pada titik
bawah jalur pengamatan II dan D. scandens ditemukan di petak pada titik atas
jalur pengamatan II. Titik bawah pada daerah pengamatan di jalur II memiliki
kondisi lingkungan dengan kondisi tanah yang sedikit agak kering dan berwarna
kemerahan seperti tanah liat. Kondisi tanah seperti ini cocok untuk pertumbuhan
41
bambu jenis G. atroviolacea, karena bambu ini dapat tumbuh dengan dengan baik
pada kondisi tanah liat berpasir atau pada tanah yang berwarna kemerahan.
Sedangkan untuk titik atasnya memiliki kondisi tanah yang sedikit mengandung
kapur sehingga pada titik pengamatan ini ditemukan bambu jenis D. scandens
yang memang cocok untuk tumbuh pada daerah yang tanahnya mengandung
kapur dan agak berpasir.
Berbeda halnya dengan keadaan FR pada jalur III, pada jalur penelitian ini tidak
ditemukan jenis bambu apapun. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan terutama
kondisi tanah pada jalur III yang berkerikil dan berbatu-batu menyebabkan tidak
tercukupinya kebutuhan mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bambu
karena mengandung sedikit tanah. Hasil ini senada dengan pendapat Lessard
(Hugraheni dalam Misonah, 2006) yang menyatakan bahwa beberapa pengamatan
menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah berpengaruh terhadap ukuran batang
baik panjang ruas maupun diameter tebal dinding, tetapi tidak terhadap jumlah
ruas. Pada umumnya jenis bambu yang kecil membutuhkan tanah-tanah yang
tingkat kesuburannya sedang, baik pada tanah yang curam maupun datar, asal
tidak terlalu lereng dan berbatu.
4.4 Penerapan Hasil Penelitian Sains dalam Bidang Pendidikan
Hasil penelitian yang telah dilakukan kemudian diterapkan sebagai sumber belajar
bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep Spermatophyta dalam bentuk buku saku
yang berisi tentang jenis-jenis bambu yang terdapat di kawasan CARD – CATG
serta manfaatnya bagi masyarakat sekitar. Buku saku yang dibuat berpedoman
42
pada standar kurikulum nasional yang berlaku yaitu Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dengan berdasarkan pada:
Standar Kompetensi (SK) : Memahami Manfaat Keanekaragaman Hayati
Kompetensi Dasar (KD) : Mendeskripsikan Ciri-ciri Divisio dalam Dunia
Tumbuhan dan Peranannya bagi Kelangsungan Hidup
di Bumi
Untuk mengetahui bagaimana kelayakannya sebagai sumber belajar, maka telah
dilakukan penilaian atau uji kelayakan terhadap buku saku tersebut. Uji kelayakan
ini telah dilakukan oleh 9 orang ahli yang terdiri atas 4 orang Dosen dan 5 orang
Guru bidang studi Biologi yang berasal dari 3 SMA berbeda.
Berdasarkan tabel hasil uji kelayakan (lampiran 5: 54), dapat diketahui bahwa
setelah dilakukan uji ahli, buku saku yang merupakan penerapan hasil penelitian
dalam bidang pendidikan memiliki skor kelayakan rata-rata sebesar 31,8 atau
dengan persentase kelayakan sebesar 88,1%. Angka tersebut menunjukkan bahwa
buku saku mengenai jenis-jenis bambu yang terdapat di kawasan CATG –CARD
sangat baik digunakan sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada
subkonsep Spermatophyta. Buku saku ini dianggap sangat baik dijadikan sebagai
sumber belajar karena materi dan cara penyajiannya yang menarik disertai dengan
gambar dan foto yang menunjang memudahkan siswa untuk memahami konsep
yang ingin disampaikan sehingga dinilai dapat dijadikan sebagai sumber belajar
yang baik dan bermanfaat untuk menambah wawasan pengayaan siswa. Adapun
saran yang diberikan penguji untuk perbaikan buku saku antara lain mengenai
43
penggunaan istilah sebaiknya disesuaikan dengan pokok bahasan serta pemaparan
penjelasan gambar hendaknya lebih diperjelas lagi.
44
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
1. Kerapatan populasi bambu di tiga jalur penelitian di kawasan CATG berbeda-
beda. Kearapatan tertinggi pada masing-masing jalur penelitian antara lain:
pada jalur I G. pseudoarundinacea memiliki nilai kerapatan tertinggi yaitu
sebesar 553 batang/ha dan G. atroviolacea memiliki angka kerapatan terkecil
dengan 170 batang/ha, pada jalur II G. atroviolacea memiliki angka kerapatan
tertinggi dengan nilai 363 batang/ha dan D. scandens memiliki angka
kerapatan terkecil dengan 16,7 batang/ha.
2. Hasil penelitian yang diterapkan dalam bentuk buku saku sangat baik
dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa SMA kelas X pada subkonsep
Spermatophyta
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman jenis bambu
yang terdapat di kawasan CARD – CATG karena diperkirakan masih ada jenis
bambu lain yang tidak teramati saat penelitian ini
2. Dalam pembuatan buku saku, penggunaan istilah hendaknya disesuaikan
dengan pokok bahasan serta penjelsan atau keterangan gambar perlu lebih
diperjelas.
45
DAFTAR PUSTAKA Campbell, N. A, Jane B. Reece dan L. G Mitchell. 2003. Biologi jilid II. Erlangga.
Jakarta: xxii+572 hlm.
__________. 2004. Biologi jilid III. Erlangga. Jakarta: xxi+510 hlm.
Danaatmadja, O. 2006. Bambu, Tanaman Tradisional yang Terlupakan. http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Bambu-Tanaman-Tradisional-yang-Terlupakan,1. 4 Mei 2009. pk. 17.38
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Penilaian Buku Pelajaran Sains. Pusat Perbukuan DEPDIKNAS.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2007. CA Rawa Danau http://www.google.co.id/gwt/n?u=http%3A%2F%2Fwww.dishut.jabarprov.go.id%2Findex.php%3Fmod%3DmanageMenu%3D474%26idMenu%3D477&_gwt_pg=1&hl=in&source=m. 24 Maret 2009. pk. 15.46
_____________. 2007. CA Tukung Gede http://www.google.co.id/gwt/n?q=CA+TUKUNG+GEDE&hl=in&eivQ3LSZDlIpPu7APS9dXiAw&source=m&sa=X&oi=blended&ct=rest&cd=1&rd=1&u=http%3A%2F%2Fwww.dishut.jabarprov.go.id%2Findex.php%3Fmod%3DmanageMenu%3D474%26idMenu%3D476. 26 Maret 2009. pk. 12.30
Djamarah, S. B dan A. Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta. Jakarta: xi+226 hlm.
Dransfield, S. dan E. A. Widjaya. 1995. Plant Resources op South-East Asia 7: Bamboos. Backhuys Publisher. Leiden: 189 hlm.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta: viii+198 hlm.
Kalima, T. 1996. Flora Rotan di Pulau Jawa serta Kerapatan dan Persebaran Populasi Rotan di Tiga Wilayah kawasan Taman nasional Gunung
46
HalimunJawa Barat. Tidak diterbitkan. Skripsi. Universitas Indonesia. Depok: 110 hlm.
Leksono, A. 2007. Ekologi: Pendekatan deskriptif dan kuantitatif. Bayumedia Publishing, Malang.
Misonah. 2006. Distribusi Tumbuhan Bambu di Kabupaten Temanggung. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Mulyasa. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung: ix+302 hlm.
Rohani. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Rhineka Cipta. Jakarta: i+245 hlm.
Sudjadi, B dan S. Laila. 2006. Biologi Sains dalam Kehidupan 1B untuk SMA Kelas X. Yudhistira. Surabaya.
Sudrajat, A. 2008. Sumber Belajar untuk Mengefektifkan Pembelajaran siswa. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/15/sumber-belajar-untuk-mengefektifkan-pembelajaran-siswa/. 29 April 2009. pk. 16.36
Whitten, T., R.E. Soeriaatnadja dan S.A. Afiff. 1999. Ecologi Jawa dan Bali Jilid II. Prenhallindo. Jakarta. xxii+972 hlm.
Widjaya, E. A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor.
_________. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor.
Widjaya, E. A dan Karsono. 2004. Keanekaragaman Bambu di Pulau Sumba. Biodiversitas 2 (6): 95-99.
47
Lampiran 1
KUNCI IDENTIFIKASI
1. Akar rimpang simpodial dengan leher pendek hingga panjang........................2
2. . a. Buluh serabutan atau menjalar......................................................................3
b. Buluh tegak...................................................................................................4
3. Buluh menjalar, lampang pelepah buluh tampak jelas...................................11
4. Akar rimpang dengan leher pendek, rumpun tertutup dan padat, bagian ujung
pelepah buluh tidak mencembung....................................................................5
5. a. Percabangan sama besar pada buku-buku bagian tengah buluh..................,6
b. Percabangan lebih besar pada buku-buku bagian tengah buluh...................7
6. Rebung berwarna hijau hingga kuning coklat dengan bulu coklat hingga
hitam, cabang tumbuh pada buluh bagian atas setelah 1-2 m di atas tanah....12
7. Percabangan menyebar, cabang terdiri atas banyak cabang.............................8
8. Buluh agak padat, hijau, dengan garis kunig, kuning dengan garis hijau, hitam
atau hijau tutul coklat, umumnya pelepah buluh tertutup bulu coklat hingga
hitam jarang yang putih, daun melanset.............................................................9
9. a. Buluh berbuku-buku, ruas pendek pada buluh tengah, pelepah buluh
tertutup bulu hitam, daun pelepah buluh tegak hingga menyebar..............13
b. buluh tegak, lurus, ruas lebih panjang pada buluh tengah, pelepah buluh
tertutup bulu coklat muda hingga coklat tua, daun pelepah buluh tegak,
menyebar hingga terkeluk balik pada bagian tengah.................................10
10. a. Buluh bawah relatif pendek, buluh tengah lebih panjang, buluh muda tidak
ditutupi lilin, akar udara hanya terdapat di bagian pangkal buluh.............14
48
b. Buluh bawah pendek, buluh tengah lebih panjang, akar udara terdapat pada
bagian pangkal hingga tengah buluh, buluh muda sering ditutupi oleh lilin,
bagian bawah buluh muda tertutup bulu coklat
beledu..........................................................................Dendrocalamus asper
11. Rebung keunguan, gundul, kuping pelepah buluh tidak jelas, sering diakhiri
bulu kejur yang panjangnya mencapai 3 mm, ligula kupung pelepah buluhnya
rata, ligula pelepah daun rata dengan bulu kejur mencapai 8
mm.................................................................................Dinochloa scandens
12. Daun pelepah buluh terkeluk balik, buluh berdiameter lebih kecil dari 3 cm,
kuping pelepah buluh tidak tampak, ujung pelepah buluh merompang dan
rata.................................................................................Schizostachyum iraten
13. Buluh tanpa duri, daun pelepah buluh tegak dan mudah luruh, buluh muda
hijau tanpa garis kuning, memiliki kuping pelepah buluh dengan bulu coklat
hingga hitam, daunnya melanset tanpa garis putih, kuping pelepah buluh
membulat, melengkung keluar dengan bulu kejur
melimpah..............................................................................Bambusa vulgaris
14. a. Kuping pelepah buluh bercuping dan membulat tanpa bulu kejur, tepi
pelepah buluh tidak melengkung ke dalam................................................15
b. Kuping pelepah buluh berbingkai, bulu pada pelepah buluh dan ruas cooklat
hingga kehitaman.......................................................................................16
15. a. Buluh hijau tua keunguan, rebung kehitaman dengan ujung
jingga...................................................................Gigantochloa atroviolacea
b. Buluh hijau tua, rebung hijau keunguan.............................................G. atter
49
16. a. Buluh hijau dengan garis kekuningan, pelepah buluh mudah luruh, kuping
pelepah buluh tanpa bulu kejur..................................G. pseudoarundinacea
b. Buluh hijau, pelepah buluh tidak mudah luruh, kuping pelepah buluh tanpa
apendiks, daun pelepah buluh terkeluk balik, bulu kejur pada pelepah buluh
panjang...............................................................................................G. apus
50
Lampiran 2
PETA LOKASI
Kawasan
Gn.Gede
51
Lampiran 3
FORMAT PENILAIAN UJI KELAYAKAN BUKU SAKU
Petunjuk pengisian
1. Mohon Bapak/Ibu memberi jawaban yang sejujurnya pada setiap
aspek/indikator pada tabel penilaian.
2. Bari tanda (√) pada setiap indikator yang sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu.
Keterangan:
a) Skor 1 apabila hanya satu kriteria yang dipenuhi.
b) Skor 2 apabila hanya dua kriteria yang dipenuhi.
c) Skor 3 apabila ketiga kriteria dipenuhi.
3. Jawaban dan saran dari Bapak/Ibu sangat diharapkan demi perbaikan kualitas
buku selanjutnya.
4. Skor Kelayakan:
a) 0-12 = Cukup layak
b) 13-24 = Layak
c) 25-36 = Sangat layak
PenilaianNo. Aspek Indikator 1 2 3
1.
Kelengkapan materi a) Mencakup materi yang ada dalam kurikulum
yang berlaku. b) Meliputi kompetensi dasar. c) Tidak terjadi pengulangan yang berlebihan.
2.
Keakuratan materi a) Kebenaran konsep (definisi, rumus, hukum dan
sebagainya) b) Aplikasi konstektual dalam kehidupan nyata. c) Informasi jelas, akurat dan memungkinkan
dapat menambah pemahaman konsep sesuai dengan pokok bahasan.
3.
Materi
Materi mengikuti sistematika keilmuan. a) Materi disajikan dari yang sederhana ke yang
sulit.
52
b) Menekankan pada pengalaman langsung. c) Memungkinkan dapat mengembangkan
keterampilan proses
4.
Materi dapat meningkatkan kompetensi sains. a) Merencanakan dan melakukan kerja ilmiah. b) Mengidentifikasi objek dan fenomena dalam
sistem yang ada di alam. c) Menerapkan konsep sains dengan teknologi
dan kehidupan.
5.
Sistematika penyajian a) Materi disajikan secara sederhana dan jelas. b) Materi disajikan scara sistematis dan logis. c) Terdapat penjelasan awal (advace organizer)
dan tujuan pembelajaran.
6.
Tampilan umum. a) Gamabar ilustrasi, gambar nyata dan lainya
sesuai dengan konsep. b) Judul dan keterangan gambar sesuai dengan
gambar. c) Gambar disajikan dengan jelas, menarik dan
berwarna.
7.
Penyajian mempertimbangkan kebermakanaan dan kebermanfaatan a) Mengaitkan konsep dengan kehidupan nyata b) Menawarkan kegiatan yang dapat
mengembangkan ketrampilan proses. c) Memudahkan siswa dalam memahami suatu
konsep.
8.
Penyajian
Melibatkan siswa secara aktif. a) Terdapat kegiatan siswa yang bermanfaat. b) Melakukan pengamatan/observasi. c) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil
karya pada orang lain.
9.
Bahasa Indonesia yang baik dan benar. a) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar. b) Menggunakan aturan EYD c) Menggunakan bahasa ilmiah populer.
10.
Bahasa
Peristilahan a) Menggunakan peristilahan yang sesuai dengan
konsep pokok bahasan.
53
b) Terdapat penjelasan untuk peristilahan yang sulit dan tidak umum.
c) Penulisan peristilahan berbeda dengan teks lain
11.
Kejelasan bahasa a) Bahsa yang digunakan sederhana dan lugas. b) Bahasa yang digunakan tidak berbelit-belit dan
mudah dipahami. c) Tidak terlalu banyak anak kalimat.
12.
Kesesuaian bahasa a) Bahasa disesuaikan dengan tahap
perkembangan siswa (komunikatif) b) Struktur kalimat sesuai dengan tingkat
penguasaan kognitif siswa. c) Bahasa mengembangkan kemampuan berpikir
logis dalam memahami konsep-konsep IPA.
Jumlah skor Kelayakan
Sumber: Standar Penilaian Buku Pelajaran Sains, 2003: 10-13)
Komentar/saran:
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
Serang, .......................2010
Penguji,
.......................................
NIP
54
Lampiran 4
Tabel 4. Data Kr dan Fr di jalur 1 (Gunung Cinini)
T1 T2 T3
No Jenis P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15
∑ F L (ha) Ki Kr (%) Fi Fr (%)
1 Gigantochloa pseudoarundinacea - - - - - - 29 - - - - - 16 - 121 166 4 0,3 553 70,9 0,27 66,7
2 Gigantocchloa atroviolaceae - - - - - - - - - - - - - 32 - 32 1 0,3 107 13,7 0,07 16,7
3 Schyzostachyum iraten - - - - - - - - - - 36 - - - - 36 1 0,3 120 15,4 0,07 16,7
Jumlah 0 0 0 0 0 0 29 0 0 0 36 0 16 32 121 234 6 0,9 780 100 0,4 100
Tabel 5. Data Kr dan Fr di jalur 2 (Gunung Cilik)
T1 T2 T3 No Jenis
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 ∑ F L (ha) Ki Kr (%) Fi Fr (%)
1 Gigantochloa apus - - - - - 14 - - - - 27 - - - - 41 2 0,3 137 26,5 0,13 50
2 Gigantocchloa atroviolacea - - - - - - - - - - - - 109 - - 109 1 0,3 363 70,3 0,07 25
3 Dinochloa scandens - - - - - - 5 - - - - - - - - 5 1 0,3 16,7 3,23 0,07 25
jumlah 0 0 0 0 0 14 5 0 0 0 27 0 109 0 0 155 4 0,9 517 100 0,27 100
55
Lampiran 5
Tabel 6. Hasil uji kelayakan buku saku
Skor Kelayakan* No Penguji (Ahli)
Materi Penyajian Bahasa ∑ skor
(%)
1 Dosen 1 12 11 12 35 97,222222
2 Dosen 2 10 12 8 30 83,333333
3 Dosen 3 12 10 7 29 80,555556
4 Dosen 4 9 10 8 27 75
5 Guru 1 12 11 11 34 94,444444
6 Guru 2 12 12 10 34 94,444444
7 Guru 3 9 10 11 30 83,333333
8 Guru 4 12 11 11 34 94,444444
9 Guru 5 10 12 11 33 91,666667
Total 98 99 89 286
Rata-rata 10,888889 11 9,8888889 31,77777888,11
*dihitung menggunakan rumus :
Skor mentah % kelayakan = x 100% Skor maksimum
56
Lampiran 6
SILABUS
Nama Sekolah : SMA/MA Mata Pelajaran : Bilologi Kelas/Semester : X (Sepuluh)/Genap Standar Kompetensi : 3. Memahami manfaat keanekaragaman Hayati.
Kompetensi Dasar
Materi pembelajaran Kegiatan pembelajaran Indikator Penilaian
Alokasi waktu (menit)
Sumber/Bahan/Alat
3.3 Mendeskrip sikan ciri-ciri Divisio dalam dunia tumbuhan dan peranannya dalam kelangsung-an hidup di bumi.
Plantae • Ciri-ciri umum plantae
organisme eukariotik multiseluler, autotrof, vaskuler dan nonvaskuler, reproduksi secara generatif dan vegetatif. Meliputi tumbuhan lumut, tumbuhan paku dan tumbuhan biji.
• Tumbuhan lumut
Tumbuhan yang sudah menyesuaikan dengan lingkungan darat yang lembab dan basah. Memiliki pergiliran keturunan. Belum memiliki jaringan pengangkut, tidak berkormus. Meliputi lumut daun dan lumut hati.
• Tumbuhan paku Tumbuhan yang hidup di
• Menggunakkan contoh tumbuhan
yang dibawa siswa (lumut, paku, tumbuhan biji) menemukan cirri-ciri umum plantae dan cirri-ciri tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji.
• Menemukan dasar
pengelompokkan tumbuhan lumut, paku, dan tumbuhan biji.
• Melakukan studi literatur
menemukan penggolongan aneka tumbuhan pada tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji.
• Mengidentifikasi alat reproduksi
lumut dan paku dari lingkungan sekitar.
• Mengamati alat reproduksi
• Mengidentifikasi cirri-ciri
umum plantae. • Membedakan tumbuhan
lumut, paku dan biji berdasarkan ciri-cirinya.
• Klasifikasi pada
tumbuhan lumut, tumbuhan paku, dan tumbuhan biji.
• Menjelaskan cara-cara
perkembangbiakan tumbuhan lumut,paku dan biji.
• Membuat charta
perkembangbiakan dan siklus hidup tumbuhan
Jenis tagihan: Tugas individu, tugas kelompok, unjuk kerja, ulangan. Bentuk instrumen: Produk (laporan hasil pengamatan ciri-ciri umum plantae, cirri-ciri khusus tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji, dan klasifikasi tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji), pengamatan unjuk kerja, pengamatan sikap, tes pilihan ganda, tes uraian.
4X45’
Sumber: buku acuan yang relevan. Alat: OHP/computer, LCD, kaca pembesar, pisau, centong, cangkul. Bahan: LKS,bahan presentasi, berbagai jenis tumbuhan lumut, paku dan tumbuhan biji.
57
darat yang basah dan lembab, memiliki jaringan pengangkut, berkormus, dan bermetagenesis. Meliputi paku homospor, paku heterospor, dan paku peralihan.
• Tumbuhan biji (Spermatophyta) Spermatophyta berkembangbiak menggunakan biji. Meliputi Angiosppermae dan Gymnospermae.
• Peranan plantae bagi kelangsungan hidup di bumi Plantae amat penting bagi kelangsungan hidup di bumi yaitu sebagai sumber produsen dan sumber oksigen.
tumbuhan biji (angiospermae dan gymnospermae).
• Melakukan studi literatur tentang
perkembangbiakan, dan karakteristik lainnya menemukan daur hidup dari tumbuhan lumut, paku dan biji melalui kerja kelompok.
• Menggali informasi nama-nama
daerah tanaman yang tumbuh di lingkungan sekitarnya, peran dan manfaatnya bagi lingkungan dan masyarakat sekitar (misalnya tanaman obat, peneduh, penghasil getah, bumbu masak, dll).
• Membuat tabel hasil penggalian informasi pemanfaatan plantae sesuai kegunaannya di lingkungan masyarakat.
lumut, tumbuhan paku dan tumbuahan biji.
• Menemukan peranan
berbagai jenis plantae tertentu yang ada di lingkungannya terhadap ekonomi dan lingkungan.
• Menyatakan data contoh plantae Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk berbagai kebutuhan.
• Membuat tabel hasil penggalian informasi pemanfaatan plantae.
2X45’ 2X45’
58
Lampiran 7
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Nama Sekolah : SMA / MA Mata Pelajaran : Biologi Kelas / Semester : X (sepuluh) / 2 (dua) Alokasi waktu : 4 x 45 menit
Standar Kompetensi : Memahami manfaat keanekaragaman
hayati
Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan ciri-ciri Divisio dalam dunia
tumbuhan dan peranannya dalam
kelangsungan hidup di bumi.
I. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Siswa mampu mengidentifikasi cirri-ciri umum Spermatophyta.
2. Siswa dapat menjelaskan jenis-jenis bambu yang teramati
3. Siswa dapat menjelaskan manfaat dan peranan bambu bagi masyarakat
II. INDIKATOR PEMBELAJARAN
1. Siswa mampu mengidentifikasi cirri-ciri umum Spermatophyta.
2. Siswa dapat menjelaskan jenis-jenis bambu yang teramati
3. Siswa dapat menjelaskan manfaat dan peranan bambu bagi masyarakat
III. MATERI AJAR
1. Spermatophyta
2. Identifikasi bambu
3. Peranan plantae bagi kehidupan di bumi
59
IV. METODE PENGAJARAN:
1. Ceramah
2. Pengamatan
V. KEGIATAN PEMBELAJARAN
1. Kegiatan Awal
Absensi
Mengulas materi pertemuan sebelumnya
Motivasi: Apakah kalian tahu jenis-jenis bambu apa saja yang sering
kalian jumpai di sekitar rumah?
2. Kegiatan Inti
Guru membawa siswa ke daerah sekitar wilayah sekolah untuk melakukan
pengamatan jenis-jenis dan kerapatan populasi bambu secara langsung
Guru menjelaskan materi menggunakan metode ceramah tentang
Spermatophyta dan metode demonstrasi mengenai cara dan teknik
identifikasi serta pengamatan yang tepat
Guru membagi siswa kedalam beberapa kelompok pengamatan dan
membagikan lembar pengamatan Bambu kepada masing-masing
kelompok
Masing-masing kelompok observasi langsung di lokasi pengamatan
kemudian mencatat dan mengidentifikasi jenis-jenis bambu yang
ditemukan dengan menggunakan kunci Identifikasi yang terdapat dalam
buku saku disertai penghitungan jumlahnya
Guru membimbing siswa dalam identifikasi bambu dan perhitungan
kerapatan populasinya
3. Kegiatan Penutup
Guru dan siswa menyimpulkan kembali materi yang telah dipelajari
Memberi tugas individu tentang hasil pengamatan yang dilakukan
Salam penutup
60
VI. SUMBER BELAJAR
1. Buku Paket Biologi X B
2. Laboratorium Alam
3. Buku saku Jenis-jenis Bambu di Kawasan CARD - CATG
VII. PENILAIAN
- Jenis Tagihan: Laporan kerja praktek, tugas kelompok
- Bentuk Insrument: uraian bebas
Instrument
1. Laporan Kerja Praktek
Tabel hasil pengamatan Bambu
No Nama
Marga Jenis Jumlah Frekuensi
Kerapatan
Jenis
Frekuensi
Jenis
2. Uraian bebas
Jawablah dengan singkat dan jelas!
1. Sebutkan 3 ciri utama tumbuhan Spermatophyta!
2. Jelaskan mengapa bambu dijuluki sebagai rumput raksasa?
3. Jelaskan bagaimana ciri utama bambu dari marga Gigantochloa, Dinochloa dan
Schizostachyum?
4. Bagaimanakah manfaat bambu terhadap kehidupan manusia? Jelaskan dan
sebutkan manfaatnya!
5. Apa saja peran dan manfaat keberadaan tanaman bambu bagi lingkungan?