Banjir Jakarta 2009

Embed Size (px)

Citation preview

Memandang Banjir Mengunakan Kacamata LainOleh Ir Maman Djumantri, Msi Einstein menyusun teori relatifi tas E=mC2 bukan untuk mendorong manusia membuat bencanadi muka bumi ini, dengan menciptakan rudal, nuklir, bom atom, dan sebagainya. Akan tetapi bertujuan menyadarkan kita untuk menghadapi hari esok sebijaksana mungkin dengan menghargai hukum alam (sunatullah), menerima jalan pikiran orang lain meski dari sudut pandang yang berbeda, serta mengajak kita berpandangan holistic. Teori ini menjadi inspirasi banyak hal, misalnya, rekayasa transformasi energi kinetis, energi cahaya dan energi panas ke dalam energi listrik atau sebaliknya, pengembangan alat transportasi yang digerakkan oleh gaya electromagnetic, pemanfaatan sinar laser, sinar X, sinar dan pada bidang kedokteran, dan genetics, serta pemikiran untuk mencari hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi proses keseimbangan alam, dan sebagainya. Tak ketinggalan pula memberikan inspirasi kepada para penulis/novelist dan sutradara fi lm yang mengkritisi persoalan kerusakan lingkungan melalui karya-karya futuristiknya yang layak diberikan Academy Award maupun Nobel prize. Seperti karya novelist sekaligus sutradara kondang Roland Emmerich, berjudul THE DAY AFTER TOMORROW, sebuah cerita fi ktif tentang tahun duaribuan yang cukup mengerikan. Saat itu, di Kota New York yang telah penuh-sesak dengan super-block dan gedung-gedung pencakar langit (sebagai gambaran Amerika yang telah maju secara keseluruhan), bertepatan dengan diselenggarakannya UN Conference of Global Warming, terjadi serangkaian bencana alam meliputi angin topan, tornado, gempa bumi, gelombang pasang/ tsunami, dan banjir bandang serta proses pembekuan air dan udara lembab. Fenomena alam ini merupakan dampak dari terus-meningkatnya efek rumah-kaca, global warming (pemanasan bumi), kerusakan hutan tropis di Kalimantan, hujan asam, dan kerusakan lapisan ozon, yang berlangsung terus-menerus hingga melampaui ambang batas kerusakan lingkungan (ecological injury threshold level). Suatu proses alamiah dalam mencari titik-keseimbangan alam baru. Pada pertengahan film ini, diceritakan Prof. Dr. Adrian Hall seorang paleoclimatologist (diperankan oleh Quaid) yang sedang melakukan riset tentang pola perubahan iklim dalam upaya penyelamatan dunia dari global warming, dengan sepenuh daya ikut ambil bagian dalam mitigasi bencana, seraya mencari anaknya Sam (diperankan oleh Gyllenhaal) yang sedang mengikuti scholastic competition di New York yang kebetulan saat itu terjadi peluapan air bah ke kota itu dan diikuti oleh proses pembekuan air dan udara di seluruh Kota New York.

Ketegangan semakin memuncak ketika semua teknologi yang dikerahkan sama sekali tidak dapat menanggulangi bencana alam ini, karena tidak ada integrasi dan koordinasi dari semua pihak. Dengan kebebasan individual dan egosektornya, masing-masing pihak bergerak sendirisendiri. Dari seluruh tantangan psychologic-nya, Dr. Hall berjalan terus menuju pusat penyebab kejadian ke arah Benua Antartica, sementara keluarganya dan seluruh penduduk Kota New York mengungsi ke Selatan ( Mexico). Pada akhir fi lm ini, diceritakan, bencana alam banjir ini ternyata diselesaikan oleh proses alam itu sendiri. Yakni dengan berlangsungnya pembekuan air bah tersebut, karena telah dimulainya Masa Es (beginings of the new Ice Age) di AS. Film yang satu ini dipromosikan melalui kalimat :

10.000 years ago, one storm changed the face of our planet (earth). On May 28 th, it will happen again. Dari sinopsis film tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa: (i). Banjir merupakan fenomena alam/gejala alam lokasi tertentu sebagai respon dari adanya perubahan faktor-faktor alam (termasuk perubahan unsur-unsur iklim yang merupakan siklus) dan/atau faktor-faktor non-alam, maupun aktivitas manusia yang melampaui daya dukung lingkungan (carrying capacity). Banjir yang melampaui daya tampung suatu lokasi itu telah mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, bahkan dapat menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, sehingga banjir yang demikian itu dianggap sebagai bencana banjir; (ii). Secanggih apapun teknologi mempunyai keterbatasan- keterbatasan dalam menanggulangi banjir yang sudah mencapai klimaks. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat melawan kekuatan alam. (iii).Tindakan antisipatif seperti perencanaan dan pengelolaan lingkungan yang matang akan lebih bijaksana daripada melakukan tindakan-tindakan penanggulangan setelah terjadi bencana. Bagaimana di negeri kita ? Penduduk miskin yang umumnya belum memiliki tempat tinggal dan usaha yang layak, jumlahnya meningkat. Tahun 2004 tercatat 36,10 juta jiwa (16,66% dari penduduk nasional). Tahun 2006 menjadi 39,05 juta jiwa (17,75%). Sedangkan target RPJM Nasional 8,2%. Angka

pengangguran juga meningkat dari 10,25 juta jiwa (9,86%) tahun 2004 menjadi 11,1 juta jiwa (10,4%) tahun 2006. Target RPJM Nas. 5,1% pengangguran terbuka tahun 2009. Sementara itu, dalam sektor permukiman, daya beli rakyat yang rendah, bunga bank yang tinggi, biaya perizinan dari Pemda dan BPN yang dinilai masih tinggi, lahan yang langka dan mahal terutama di perkotaan, menyebabkan banyak orang mendirikan bangunan (baik untuk tinggal maupun usaha) di lahan yang relatif murah. Padahal secara geografi s sebagian besar wilayah Indonesia ini berada pada kawasan rawan bencana alam, termasuk bencana banjir. Dari hasil olahan data dasar dari Bakornas Penanggulangan Bencana Dep.Sos-Dep. ESDM, selama periode 1998-2007 tercatat sebanyak 302 kejadian banjir dengan korban 1.006 jiwa dan kerugian sejumlah 191.312 juta rupiah. Sementara itu program dan kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan banjir belum memperlihatkan kinerja yang cukup berarti baik dilihat dari segi output, outcome, benefi t, maupun impact, padahal dana yang telah dikeluarkan sudah trilyunan rupiah. Di sisi lain, adanya kesulitan dalam membedakan antara bencana banjir yang murni diakibatkan karena faktor alam (fl oods natural disaster), dengan bencana banjir yang diakibatkan dari faktor aktivitas/tindakan manusia atau bencana banjir buatan manusia sendiri (fl oods man made disaster), telah membiaskan penyusunan kebijakan, program aksi nasional, dan kegiatan penanggulangan bencana (alam) banjir itu sendiri.Tabel 1. Frekwensi Bencana Alam di Indonesia Selama Perioda

Apa arti dari semuanya ini ? Dari data/informasi sederhana yang disajikan di atas, dapat disimpulkan dengan makin bertambahnya penduduk maka semakin meningkat, sementara itu kawasan budidaya yang layak untuk aktifi tas sosial ekonomi terbatas ketersediaannya dan tidak tersebar merata sehingga mahal harganya terutama di kawasan perkotaan. Akhirnya penduduk memilih lahan di lokasi bantaran/sempadan sungai atau memilih lahan-lahan di pinggiran kota (fringe area) seperti dataran rendah, legokan, sawah, rawa, empang, kebun-kebun kecil rakyat, atau saluran/paritmati yang kondisinya bila akan dibangun kudu diurug. Semua kegiatan ini secara disengaja atau tidak, menimbulkan modifi kasi lingkungan (termasuk iklim). Misalnya, lokasilokasi tersebut tidak lagi berfungsi sebagai resapan dan reservoir. Akibatnya air mengalir ke tempat yang lebih rendah, lebih lanjut terakumulasi di suatu lokasi dan pada gilirannya terjadilah banjir. Penanggulangan banjir selama ini lebih bersifat rescue/symptom, dilakukan dengan memompa, meninggikan lantai bangunan, membuat tanggul, dan usaha lainnya sedemikian sehingga air terusir. Yang namanya air selalu mencari tempat

rendah, maka air mencari lagi tempat yang lebih rendah. Selama kegiatan manusia tidak mengganggu alam, atau hanya sedemikian kecil skalanya sehingga tidak mengganggu siklus proses-proses alami, lingkungan akan bertahan, baik dalam sifatnya yang lebih alamiah maupun sebagai hasil yang seimbang dari kerjasama manusia-a lam. Akan tetapi, segera setelah perturnbuhan populasi atau ke giatan kotanya mengganggukeseimbanganalam, lingkunganakanmenderita, dan obat satu-satunya hanyalah bila manusia mengambil bagian dalam evolusi alam/lingkungan alamiyah.

Perlu Pelurusan Mindset/Mental-Models Terhadap Banjir/Kawasan Berpotensi Banjir Mindset/mental-models yang telah melekat dan tertanam pada kebanyakan orang mengenai banjir atau kawasan yang mempunyai potensi (kemungkinan besar) terjadinya banjir (selanjutnya disingkat: kawasan berpotensi banjir), selalu negatif, sehingga tak heran terhadap kawasan seperti ini diberi predikat : kawasan perlindungan setempat, kawasan yang tidak boleh dibangun atau tidak boleh ada kegiatan, kawasan bersarat, kawasan rawan bencana banjir, dan sekeranjang predikat aberatif lainnya. Teori Relatifi tas menjelaskan bahwa terhadap suatu hal/fenomena dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda/ berlawanan yang kedua-duanya benar. Seorang ibu rumah-tangga mengatakan bahwa penggorengan itu cekung karena ia melihatnya dari permukaan yang cekung, sedang suaminya mengatakan bahwa penggorengan itu cembung karena ia melihatnya dari sisi yang cembung. Tapi mereka mempunyai tujuan yang sama (shared vision) yakni menggoreng sesuatu.

Dari logika dasar teori relatifi tas inilah penulis memandang banjir atau kawasan berpotensi banjir dari sisi lain (positive thinking). kesimpulan sinopsis di atas) yakni fenomena/gejala alam yang lumrah sebagai respon dari adanya perubahan faktorfator alam dan/atau aktivitas manusia, untuk mencapai keseimbangan alam baru (water balance). Soal terjadinya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, dan kerugian harta-benda, itu sifatnya insiden, sangat tergantung dari bagaimana-kita-merencanakan, mengelola, mengembangkan kawasan tersebut, tergantung bagaimana kita menyikapinya/menyiasatinya, sehingga banjir tidak menjadi musibah, melainkan jadi anugrah, nikmah, hikmah, dan berkah. Karena itu banjir harus dijadikan kawan, bukan lawan/musuh yang harus diperangi. Mari kita r e - l e a r n pada sejarah ribuan tahun yang lalu. Banjir bandang di Armenia pada zaman Nabi Nuh AS merupakan bencana buat kaum yang menolak beriman tetapi nikmah dan hikmah buat umat Nabi Nuh AS. Untuk melawan banjir, kaum yang menolak beriman

membangun menara setinggi-tinginya dengan teknologi konstruksi yang canggih saat itu, sedangkan Nabi Nuh AS untuk berkawan dengan banjir dibuat bahtera atas petunjuk/hidayah dari Allah SWT. Gambar 3. Banjir di Mamaroneck, New York, pada 15 April, 2007 Banjirpun bisa jadi nikmah, hikmah, dan berkah buat para seniman, budayawan, arsitek, pengusaha, produsen barang dan jasa, produsen dan insan perfi man, dan yang lainnya. Dengan banjir di Bengawan Solo, Gesang teriinspirasi menciptakan lagu Bengawan Solo. Dengan melihat banjir di Nagoya, Kitaro terinspirasi menciptakan musik-musik dan koreografi yang senafas dengan riak gelombang dan mengalirnya air. Jadi, biarkanlah kawasan berpotensi banjr itu menjadi kawasan banjir (ruang terbuka non hijau) dan jangan direncanakan untuk aktivitas manusia dengan intensitas tinggi. Apabila terpaksa akan dilakukan, maka aktivitasnyalah yang harus menyesuaikan dengan ekologi kawasan banjir tersebut tanpa mengganggu siklus air.

Tentang hal ini kita punya`pengalaman berharga. Kearifan kearifan lokal pada kawasan yang telah terbiasa banjir atau berpotensi banjir sudah nampak sejak jaman baheula . Dapat kita lihat misalnya rumah-rumah panggung dari suku Batak Mandailing, Minangkabau, Melayu-Jambi, Lampung Selatan, Badui/Banten, Betawi tempo doeloe (lihat rumah Si Pitung), Kampung Naga, Priangan Timur (dengan bale kambangnya), Bali (dengan bale bengongnya), Dayak/Kalimantan, Sungai Mahakam (dengan rumah apung dan pasar apungnya), Makassar, Tanah Toraja, dan masih banyak lagi. Ini perlu dilestarikan bahkan lebih dikembangkan mulai dari arsitektur, jenis transportasi, gaya hidup tradisionalnya seperti pola makanan, mode pakaian, seni budaya, sampai kepada pola pergaulannya. Para arsitek dan urban designer tempo doeloe telah lama memanfaatkan unsur air ini dalam menata lokasi/kawasan (berpotensi) banjir. Dapat kita lihat misalnya: kolam ikan di halaman rumah di desa-desa Priangan, taman air di keratonkeraton di Jawa dan Bali, kolam di Mesjid Raya Banda Aceh, kolam di sekitar MunTaj Mahal di India, dan sebagainya. Barangkali sudah saatnya dikembangkan penataan (ruang) kawasan/kota banjir yang disesuaikan dengan ekologi kawasan berpotensi banjir. Dapat kita bandingkan misalnya dengan perkembangan prasarana dan sarana transportasi air di negeri Belanda. Hasil dari usaha-usaha yang serasi juga dapat kita nikmati misalnya kalau kita berlayar sepanjang Sungai Rhein : kebun anggur, kebun desa, pabrik-pabrik kecil, klab pe rahu, semuanya berorientasi dan direncanakan pada jiwa yang sesuai dengan mengalirnya sungai. Juga hal yang sama dapat disaksikan di desa-desa di Swiss, yang cocok dengan sisi gunungnya, padang-padangnya yang subur dan saluran-saluran airnya yang mengikuti kontur itu. Pengembangan kawasan/kota banjir juga akan memberi kesempatan lebih luas dalam berkreasi sekaligus berproduksi seperti: arsitektur rumah panggung, rumah apung, dan pasar apung, penciptaan alat transportasi amphiby, beragam jenis perahu karet, berbagai bentuk rumah makan, variasi tenda kafetaria, futsal air dan olah-raga air lainnya, ternak air, buahbuahan, sayuran dan tanaman hias air dan air-air lainnya.

Pola Baru Pengelolaan/Manajemen Banjir Secara Terpadu (Integrated Floods Management) Pola baru Pengelolaan Banjir Terpadu (Integrat-ed Floods Management) ini adalah alternative upaya penanganan masalah banjir, yakni berdasarkan pendekatan ekologi dengan cara menemukenali faktor-faktor kunci (akar permasalahan) penyebab banjir serta mengelola factor faktor tersebut. Dipandang dari Teori Gunung Es (Iceberg Theory), penanggulangan bencana (alam) banjir selama ini yang telah menelan biaya besar itu, hanyalah berupa symptomatic solving problem atau temporal rescue, sehingga apabila selesai dipecahkan masalahnya, akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar lagi. Begitu seterusnya sehingga menjadi never ending process. Penanggulangan banjir dengan cara-cara konvensional (sebatas-mengusir-air) perlu diubah dengan pola pengelolaan banjir terpadu (integrated fl oods management) dengan menentukan komponen-komponen lingkungan apa saja yang ada, yang dapat merupakan faktor tidak terakumulasinya air di satu tempat secara berlebihan dan penghambat aliran permukaan (run off

), tetapi memperlancar siklus alami air (natural water recycling). Ini meliputi penggunaan vegetasi yang berfungsi sebagai perangkap atau penahan air, pengontrolan secara alami seperti penanaman tanaman yang menyerap banyak air, pembuatan terasering dan saluran/parit sesuai kontur, tanaman penutup tanah (ground cover), serta langkahprefentif seperti normalisasi fungsi saluran, kanal, parit, dsb; pengelolaan sampah (reduce, re-use, and recycle), membuat sumur resapan, pintu pembagi, bak kontrol, perbaikan tata letak, zonasi, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa pola ini menekankan pada sifat yang menyeluruh dalam pendekatannya & berdasarkan sepenuhnya pada prinsip prinsip ekologi. Kekuatan suatu rumah (pada gambar 7) akan ditentukan oleh fondasi dan tiang-tiangnya. Begitu pula keberhasilan pola pengelolaan banjir terpadu ini akan sangat bergantung pada gabungan komponen pengelolaan yang digunakan. Walaupun penggabungan cara konvensional masih Gambar 7. Pola Pengelolaan Banjir Secara Terpadu mendapat penekanan yang khusus, tetapi pada hakekatnya, semua komponen pengelolaan yang berguna dan juga kegiatan agronomis yang berkaitan dengan air/pengairan, harus dipadukan dalam pola yang terkoordinasikan untuk memperoleh pola pengelolaan yang kekar dan secara ekonomis menguntungkan, serta tidak merusak lingkungan Dalam pelaksanaannya agar pola baru ini berhasil baik, kita harus betulbetul memahami fondasinya, yaitu

a. Keadaan ecosystem (sistem ekologi); b. Tingkat-ambang-ekonomi--(economic threshold); c. Pengambilan data volume air. d. Budaya setempat (local habit, behviour)

a. Ecosystem (Ecological System) Selama perjalanannya menuju titik terendah, air akan mendapat hambatan-hambatan dari lingkungannya seperti panjang saluran, vegetasi, jenis tanah, jenis batuan, dan sebagainya. Sesuai keadaan ekosistemnya,--setiap-lokasi/ kawasanakan berbeda jumlah/volume airnya. Karena itu statusnya dalam ekosistem dapat dibagi ke dalam tiga tipe : Banjir Utama (Key Floods), volume airnya selalu di atas tingkat kerusakan ekonomis; Banjir Sewaktu-waktu (Occasional Floods), volume airnya kadang-kadang melewati tingkat kerusakan

ekonomisnya; dan Banjir Potensial (Potential Floods), volume airnya selalu rendah tetapi secara potensial dapat menjadi Banjir Utama/Key Floods.

b. Ambang Ekonomi (Economic Threshold) Nilai ambang ekonomi perlu diketahui karena dalam pola yang baru ini, falsafah kita bukan untuk menghilangkan banjir, tetapi hanya untuk menurunkan volume air sampai tingkat ambang ekonomisnya. Ini berarti penanggulangan banjir dengan cara pemompaan air, pembuatan sodetan, dan sebagainya hanya digunakan bila volume air telah mencapai tingkat kerusakan ekonomisnya (gambar 8). Penekanan volume air dari tingkat ambang ekonomis ke tingkat keseimbangan yang tidak merugikan dibebankan kepada faktor-faktor lingkungan alami (termasuk unsurunsur iklim) yang terdapat di alam.

c. Pengambilan Data Volume Air Informasi tentang keadaan ekosistem (tipe banjir, factor lingkungan, alam, unsur-unsur iklim) serta nilai ambang ekonomis bagi setiap lokasi/ kawasan, hanya dapat diperoleh dengan melakukan survey sebelumnya. Itulah sebabnya, pengambilan data volume air yang teratur serta peramalannya, merupakan fondasi bagi berhasil nya pengelolaan banjir. Berdasarkan informasi tadi, kemudian dtentukan komponen-komponen apa saja yang akan kita gunakan dalam pengelolaan banjir.

d. Budaya Setempat Dalam pola baru ini masyarakat setempat diajak bertanggungjawab bersama Pemerintah (shared vision, shared resources, and shared actions). Pemerintah tidak usah terlalu banyak mengatur, cukup sebagai enabler, facilitator, & catalisator. Manajemen Banjir sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat dengan mendasarkan pada budaya setempat yang telah terinternalisasi sejak lama yang tercermin dalam sikap, prilaku, dan kebiasaan mereka dengan penuh kearifan. Misal nya konsep spiritual yang mensucikan danau, situ, dan sungai sehingga mereka pantang membuang sampah ke situ. Pemerintah, LSM, NGO, berkewajiban menyadarkan & meluruskan pandangan terhadap sikap, prilaku dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi. Dalam hal ini diperlukan capacity building atau pemberdayaan masyarakat untuk memperluas wawasan ekologi dan meningkatkan kesadaran lingkungan. Gambar 8. Kurfa TeoritisFluktuasi Volume Air Gambar 9. Banjir di Kalimantan Tengah