1
Utama 2 Suara Pembaruan Rabu, 28 Desember 2016 [JAKARTA] Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) di- nilai telah mengabaikan pu- tusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persidangan kasus penistaan agama yang didakwakan kepada guber- nur DKI Jakarta Nonaktif Basuki Tjahaja Purnama ali- as Ahok. Majelis Hakim se- harusnya juga mempertim- bangkan Putusan MK Nomor 84/PUU-X-2012, yang mengharuskan pembe- rian peringatan terlebih dulu sebelum menerapkan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam putusan MK terse- but dinyatakan, “Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 156a KUHP seharusnya tidak da- pat diterapkan tanpa didahu- lui dengan perintah dan peri- ngatan keras untuk menghen- tikan perbuatan di dalam Suatu Keputusan Bersama 3 Menteri (menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri)”. Mahkamah berpendapat, Pasal 156a KUHP merupa- kan tindak pidana yang di- tambahkan ke dalam KUHP berdasarkan perintah dari UU Pencegahan Penodaan Agama. Ada pun rumusan Pasal 156a KUHP a quo mengatur tindak pidana da- lam perbuatan yang pada po- koknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau peno- daan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. “Kami kecewa dengan pu- tusan Majelis hakim. Dakwaan jaksa mengabaikan putusan MK yang seharusnya Ahok diberikan teguran dan diberi- kan kesempatan untuk klarifi- kasi terlebih dulu,” kata Juru Bicara Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi Umi Azalea kepada SP di Jakarta, Rabu (28/12). Karena tidak ada peri- ngatan keras terlebih dulu yang diberikan terhadap Ahok, ujarnya, maka sudah sepatutnya demi hukum dan keadilan Majelis Hakim PN Jakut menyatakan dakwaan alternatif pertama (156a KUHP) dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinyatakan ti- dak dapat diterima (de offic- ier is niet onvankelijk verkl- raad). “Secara hukum acara pidana, dakwaan alternatif pertama tersebut masih pre- matur untuk didakwakan terhadap Ahok,” ujarnya. Selain telah mengabai- kan putusan MK Nomor 84/ PUU-X-2012, Majelis Hakim belakangan juga ma- lah sepakat dengan dakwaan JPU untuk menjadikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai dasar dakwa- an. “Kami juga kecewa kare- na keputusan (fatwa) MUI malah dijadikan dasar hu- kum positif. Dalam kasus Ahok, dakwaan jaksa malah keputusannya berdasarkan fatwa MUI. Ini yang menja- di pertanyaan banyak pihak, termasuk kami,” kata Umi. Meski kecewa dengan pu- tusan hakim yang menolak eksepsi Ahok, namun Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi tetap mengapresia- si putusan itu. Nantinya, kata dia, diyakini dari keterangan sejumlah saksi di persidangan lanjutan akan membuka bah- wa tidak ada unsur pidana da- lam kasus tersebut. “Kami kecewa, tetapi masih memiliki harapan ba- gi keadilan hukum di negeri ini. Nanti, dari sejumlah saksi yang akan dihadirkan akan membuktikan bahwa tidak ada unsur pidana da- lam kasus Ahok. Semua yang terjadi hanya permain- an politik,” ujarnya. Dimensi Nonhukum Sementara, pakar hu- kum tata negara Refly Harun mengakui jika kasus hukum yang dialami Ahok terkait penistaan agama le- bih banyak berdimensi non- hukum. Refly menilai, te- kanan massa dalam kasus Ahok sungguh nyata. “Sejak awal, saya meli- hat kasus Ahok ini bukan murni persoalan hukum, te- tapi juga ada aspek nonhu- kum. Bahkan, dimensi non- hukum itu yang lebih domi- nan,” ujar Refly kepada SP di Jakarta, Rabu (28/12). Oleh karena itu, kata Refly, dia tidak heran jika Majelis Hakim PN Jkaut me- nolak eksepsi atau nota kebe- ratan terdakwa (Ahok) dan kuasa hukumnya. Menurutnya, tekanan massa dalam kasus Ahok nyata ada, sehingga bisa memengaruhi putusan hakim. “Saya berha- rap ke depan persidangan te- tap berlangsung fair, adil ba- gi semua warga negara yang ingin mendapatkan keadil- an,” tuturnya. Ketika ditanya terkait putusan MK mengenai Pasal 156 a KUHP yang di- dakwakan kepada Ahok, Refly mengaku belum membaca putusan MK ter- sebut. Sehingga, dia enggan berkomentar terkait hal ter- sebut. “Saya belum memba- ca putusan MK dan tidak mengikuti putusan sela ka- sus Ahok. Saya belum bisa berkomentar,” tuturnya. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul meni- lai, persidangan kedua kasus Ahok sudah sesuai dengan prosedur persidangan pada umumnya. Apabila ada kepu- tusan hakim yang tidak sesu- ai dengan harapan pihak-pi- hak tertentu, itu masih bisa dibuktikan di tahapan persi- dangan berikutnya. “Terlepas subtansinya, apakah telah memenuhi un- sur tindak pidana atau tidak, saya kira sidang Ahok su- dah sesuai dengan prosedur persidangan pada umum- nya,” kata Chudry. Menurutnya, dalam per- sidangan kedua Ahok, wajar jika hakim menolak eksepsi terdakwa, karena apa yang disampaikan terdakwa dan kuasa hukumya itu seharus- nya bukan termasuk materi eksepsi. “Kalau kita berbeda pen- dapat dengan hakim, itu soal lain. Saya kira, karena apa yang disampaikan Ahok ma- upun kuasa hukumnya itu bukan materi eksepsi. Jadi, wajar kalau hakim menolak eksepsinya,” ujar Chudry. Praktisi hukum Dion Pongkor menilai, tidak ada unsur penghinaan formil dalam kasus Ahok saat ber- bicara di hadapan masyara- kat Kepulauan Seribu. Jika versi asli rekaman itu dili- hat secara utuh keseluruhan dan tidak parsial, maka konteks pembicaraan Ahok lebih kepada pelaksanaan Program Bagi Hasil Budi Daya Ikan Kerapu dan bukan persoalan relasi memilih Ahok dengan pe- maknaan Surat Al Maidah Ayat 51. “Apabila dihubungkan dengan versi asli rekaman video Ahok di Kepulauan Seribu, khususnya keseluru- han kalimat pada menit ke- 24, basis niatnya adalah relasi Program Bagi Hasil Budi Daya Ikan Kerapu an- tara Pemprov DKI Jakarta dengan nelayan di Kepulauan Seribu,” katanya. Menurut Dion, unsur penghinaan formil dalam ka- sus ini tidak ada. Unsur pasal penghinaan baru terpenuhi apabila penyampaian ka- limatnya semata-mata untuk tujuan pemilihan Ahok se- bagai gubernur, sehinggga penyampaian kalimat yang dianggap menista itu meru- pakan sarana dari perbuatan yang disangkakan. Sedangkan, Ahok terli- hat santai dalam menghad- api persidangan yang mene- mpatkannya sebagai ter- dakwa kasus dugaan peni- staan agama. Dia menilai, kursi pesakitan yang sudah diduduki selama tiga kali persidangan itu sebagai kursi singgasana, karena dirinya tidak bersalah atas dakwaan yang disampaikan JPU. “Saya minta, pengadilan akan panjang. Setiap Selasa saya duduk di kursi itu, yang saya pikir, ini singga- sana. Kenapa? Saya tidak bersalah, kok. Saya akan se- dih dan malu kalau kita duduk di kursi itu karena koruspi. Ini saya malah ang- gap sebagai pahlawan demokrasi,” kata Ahok. [RIA/YUS/Y-7] Sidang Kasus Ahok Majelis Hakim Dinilai Abaikan Putusan MK P artai Demokrat kini sedang galau. Pasalnya, se- jumlah kader partai itu ba- nyak yang hengkang ke par- tai lain, terutama ke Partai Hanura. Menurut sumber SP, Partai Demokrat kini berusaha memperkuat soli- ditas internal agar tidak ada lagi kader yang “melompat pagar”. Seperti diberitakan, se- jumlah kader Partai Demokrat yang juga loyalis mantan ketua umum partai itu, Anas Urbaningrum, hengkang ke Partai Hanura. Sejumlah tokoh kunci Partai Demokrat “meloncat” ke partai yang saat ini dinakhodai Oesman Sapta Odang (OSO) itu. “Galau juga, sih. Kami cukup khawatir dengan situ- asi ini,” kata sumber SP itu di Jakarta, Selasa (27/12) malam. Dikatakan, bergabung- nya kubu Anas ke Partai Hanura dalam rangka mempersiapkan perhelatan 2019. Namun, di sisi lain, kata sumber itu, perpin- dahan loyalis Anas ke Hanura bisa juga dijadikan momentum untuk mem- perkuat soliditas internal Partai Demokrat. Demokrat, katanya, kini tengah menyiapkan strate- gi agar semakin solid da- lam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Dikatakan, posisi Partai Demokrat saat ini masih tetap menjadi partai penyeimbang yang konsis- ten mengkritik pemerintah bila ada kebijakan yang ti- dak pro rakyat. “Sehingga, Demokrat tentu tetap kon- sisten untuk memberikan kritik membangun bagi pe- merintah,” tuturnya. Seperti diketahui, sete- lah OSO terpilih menjadi Ketua Umum Partai Hanura, loyalis Anas ber- bondong-bondong merapat ke partai itu. Keberadaan kader-kader penting Demokrat itu diyakini bisa mendongkrak perolehan suara partai yang didirikan Wiranto itu, bahkan bisa menyalip Partai Demokrat. Sumber lain menyebut- kan, di Jawa Timur, pendu- kung Anas yang menama- kan diri “Sahabat AU” lang- sung konsolidasi dengan Partai Hanura. Sumber itu menyampaikan pesan khu- sus dari Anas yang saat ini mendekam di Lapas Sukasmiskin, Bandung. Anas meminta seluruh “ba- risan yang masih segaris” dengan dirinya untuk mem- berikan dukungan penuh ke Partai Hanura. [W-12] Banyak Kader Pindah, Demokrat Galau? ANTARA FOTO/POOL/EKO SISWONO TOYUDHO Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersiap menjalani sidang lanjut- an kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Jakarta, Selasa (27/12).

Banyak Kader Pindah, Demokrat Galau? P - gelora45.com filePidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul meni-lai, persidangan kedua kasus Ahok sudah sesuai dengan prosedur persidangan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Banyak Kader Pindah, Demokrat Galau? P - gelora45.com filePidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul meni-lai, persidangan kedua kasus Ahok sudah sesuai dengan prosedur persidangan

Utama2 Sua ra Pem ba ru an Rabu, 28 Desember 2016

[ J A K A RTA ] M a j e l i s Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) di-nilai telah mengabaikan pu-tusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persidangan kasus penistaan agama yang didakwakan kepada guber-nur DKI Jakarta Nonaktif Basuki Tjahaja Purnama ali-as Ahok. Majelis Hakim se-harusnya juga mempertim-bangkan Putusan MK Nomor 84/PUU-X-2012, yang mengharuskan pembe-rian peringatan terlebih dulu sebelum menerapkan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam putusan MK terse-but dinyatakan, “Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 156a KUHP seharusnya tidak da-pat diterapkan tanpa didahu-lui dengan perintah dan peri-ngatan keras untuk menghen-tikan perbuatan di dalam Suatu Keputusan Bersama 3 Menteri (menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri)”.

Mahkamah berpendapat, Pasal 156a KUHP merupa-kan tindak pidana yang di-tambahkan ke dalam KUHP berdasarkan perintah dari UU Pencegahan Penodaan Agama. Ada pun rumusan Pasal 156a KUHP a quo mengatur tindak pidana da-lam perbuatan yang pada po-koknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau peno-daan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

“Kami kecewa dengan pu-tusan Majelis hakim. Dakwaan jaksa mengabaikan putusan MK yang seharusnya Ahok diberikan teguran dan diberi-kan kesempatan untuk klarifi-kasi terlebih dulu,” kata Juru Bicara Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi Umi Azalea kepada SP di Jakarta,

Rabu (28/12).Karena tidak ada peri-

ngatan keras terlebih dulu yang diberikan terhadap Ahok, ujarnya, maka sudah sepatutnya demi hukum dan keadilan Majelis Hakim PN Jakut menyatakan dakwaan alternatif pertama (156a KUHP) dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinyatakan ti-dak dapat diterima (de offic-ier is niet onvankelijk verkl-raad). “Secara hukum acara pidana, dakwaan alternatif pertama tersebut masih pre-matur untuk didakwakan terhadap Ahok,” ujarnya.

Selain telah mengabai-kan putusan MK Nomor 84/PUU-X-2012, Maje l i s Hakim belakangan juga ma-lah sepakat dengan dakwaan JPU untuk menjadikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai dasar dakwa-an. “Kami juga kecewa kare-na keputusan (fatwa) MUI malah dijadikan dasar hu-kum positif. Dalam kasus

Ahok, dakwaan jaksa malah keputusannya berdasarkan fatwa MUI. Ini yang menja-di pertanyaan banyak pihak, termasuk kami,” kata Umi.

Meski kecewa dengan pu-tusan hakim yang menolak eksepsi Ahok, namun Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi tetap mengapresia-si putusan itu. Nantinya, kata dia, diyakini dari keterangan sejumlah saksi di persidangan lanjutan akan membuka bah-wa tidak ada unsur pidana da-lam kasus tersebut.

“Kami kecewa, tetapi masih memiliki harapan ba-gi keadilan hukum di negeri ini. Nanti, dari sejumlah saksi yang akan dihadirkan akan membuktikan bahwa tidak ada unsur pidana da-lam kasus Ahok. Semua yang terjadi hanya permain-an politik,” ujarnya.

Dimensi NonhukumSementara, pakar hu-

kum tata negara Refly

Harun mengakui jika kasus hukum yang dialami Ahok terkait penistaan agama le-bih banyak berdimensi non-hukum. Refly menilai, te-kanan massa dalam kasus Ahok sungguh nyata.

“Sejak awal, saya meli-hat kasus Ahok ini bukan murni persoalan hukum, te-tapi juga ada aspek nonhu-kum. Bahkan, dimensi non-hukum itu yang lebih domi-nan,” ujar Refly kepada SP di Jakarta, Rabu (28/12).

Oleh karena itu, kata Refly, dia tidak heran jika Majelis Hakim PN Jkaut me-nolak eksepsi atau nota kebe-ratan terdakwa (Ahok) dan k u a s a h u k u m n y a . Menurutnya, tekanan massa dalam kasus Ahok nyata ada, sehingga bisa memengaruhi putusan hakim. “Saya berha-rap ke depan persidangan te-tap berlangsung fair, adil ba-gi semua warga negara yang ingin mendapatkan keadil-an,” tuturnya.

Ketika ditanya terkait putusan MK mengenai Pasal 156 a KUHP yang di-dakwakan kepada Ahok, Refly mengaku belum membaca putusan MK ter-sebut. Sehingga, dia enggan berkomentar terkait hal ter-sebut. “Saya belum memba-ca putusan MK dan tidak mengikuti putusan sela ka-sus Ahok. Saya belum bisa berkomentar,” tuturnya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul meni-lai, persidangan kedua kasus Ahok sudah sesuai dengan prosedur persidangan pada umumnya. Apabila ada kepu-tusan hakim yang tidak sesu-ai dengan harapan pihak-pi-hak tertentu, itu masih bisa dibuktikan di tahapan persi-dangan berikutnya.

“Terlepas subtansinya, apakah telah memenuhi un-sur tindak pidana atau tidak, saya kira sidang Ahok su-dah sesuai dengan prosedur persidangan pada umum-nya,” kata Chudry.

Menurutnya, dalam per-sidangan kedua Ahok, wajar jika hakim menolak eksepsi terdakwa, karena apa yang disampaikan terdakwa dan kuasa hukumya itu seharus-nya bukan termasuk materi eksepsi.

“Kalau kita berbeda pen-dapat dengan hakim, itu soal lain. Saya kira, karena apa yang disampaikan Ahok ma-upun kuasa hukumnya itu bukan materi eksepsi. Jadi, wajar kalau hakim menolak eksepsinya,” ujar Chudry.

Praktisi hukum Dion Pongkor menilai, tidak ada unsur penghinaan formil dalam kasus Ahok saat ber-bicara di hadapan masyara-kat Kepulauan Seribu. Jika versi asli rekaman itu dili-hat secara utuh keseluruhan

dan tidak parsial, maka konteks pembicaraan Ahok lebih kepada pelaksanaan Program Bagi Hasil Budi Daya Ikan Kerapu dan bukan persoalan relasi memilih Ahok dengan pe-maknaan Surat Al Maidah Ayat 51.

“Apabila dihubungkan dengan versi asli rekaman video Ahok di Kepulauan Seribu, khususnya keseluru-han kalimat pada menit ke-24, basis niatnya adalah relasi Program Bagi Hasil Budi Daya Ikan Kerapu an-tara Pemprov DKI Jakarta d e n g a n n e l a y a n d i Kepulauan Seribu,” katanya.

Menurut Dion, unsur penghinaan formil dalam ka-sus ini tidak ada. Unsur pasal penghinaan baru terpenuhi apabila penyampaian ka-limatnya semata-mata untuk tujuan pemilihan Ahok se-bagai gubernur, sehinggga penyampaian kalimat yang dianggap menista itu meru-pakan sarana dari perbuatan yang disangkakan.

Sedangkan, Ahok terli-hat santai dalam menghad-api persidangan yang mene-mpatkannya sebagai ter-dakwa kasus dugaan peni-staan agama. Dia menilai, kursi pesakitan yang sudah diduduki selama tiga kali persidangan itu sebagai kursi singgasana, karena dirinya tidak bersalah atas dakwaan yang disampaikan JPU.

“Saya minta, pengadilan akan panjang. Setiap Selasa saya duduk di kursi itu, yang saya pikir, ini singga-sana. Kenapa? Saya tidak bersalah, kok. Saya akan se-dih dan malu kalau kita duduk di kursi itu karena koruspi. Ini saya malah ang-gap sebagai pahlawan demokrasi,” kata Ahok. [RIA/YUS/Y-7]

Sidang Kasus Ahok

Majelis Hakim Dinilai Abaikan Putusan MK

Partai Demokrat kini sedang

galau. Pasalnya, se-jumlah kader partai itu ba-nyak yang hengkang ke par-tai lain, terutama ke Partai Hanura. Menurut sumber SP, Partai Demokrat kini berusaha memperkuat soli-ditas internal agar tidak ada lagi kader yang “melompat pagar”.

Seperti diberitakan, se-jumlah kader Partai Demokrat yang juga loyalis mantan ketua umum partai itu, Anas Urbaningrum, hengkang ke Partai Hanura. Sejumlah tokoh kunci Partai Demokrat “meloncat” ke

partai yang saat ini dinakhodai Oesman Sapta Odang (OSO)

itu. “Galau juga, sih. Kami cukup khawatir dengan situ-asi ini,” kata sumber SP itu di Jakarta, Selasa (27/12) malam.

Dikatakan, bergabung-nya kubu Anas ke Partai Hanura dalam rangka mempersiapkan perhelatan 2019. Namun, di sisi lain, kata sumber itu, perpin-dahan loyalis Anas ke Hanura bisa juga dijadikan momentum untuk mem-perkuat soliditas internal Partai Demokrat. Demokrat, katanya, kini

tengah menyiapkan strate-gi agar semakin solid da-lam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Dikatakan, posisi Partai Demokrat saat ini masih tetap menjadi partai penyeimbang yang konsis-ten mengkritik pemerintah bila ada kebijakan yang ti-dak pro rakyat. “Sehingga, Demokrat tentu tetap kon-sisten untuk memberikan kritik membangun bagi pe-merintah,” tuturnya.

Seperti diketahui, sete-lah OSO terpilih menjadi Ketua Umum Partai Hanura, loyalis Anas ber-bondong-bondong merapat ke partai itu. Keberadaan

kader-kader penting Demokrat itu diyakini bisa mendongkrak perolehan suara partai yang didirikan Wiranto itu, bahkan bisa menyalip Partai Demokrat.

Sumber lain menyebut-kan, di Jawa Timur, pendu-kung Anas yang menama-kan diri “Sahabat AU” lang-sung konsolidasi dengan Partai Hanura. Sumber itu menyampaikan pesan khu-sus dari Anas yang saat ini mendekam di Lapas Sukasmiskin, Bandung. Anas meminta seluruh “ba-risan yang masih segaris” dengan dirinya untuk mem-berikan dukungan penuh ke Partai Hanura. [W-12]

Banyak Kader Pindah, Demokrat Galau?

ANTARA FOTO/POOl/EkO SiSwONO TOyudhO

Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersiap menjalani sidang lanjut-an kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta utara, Jakarta, Selasa (27/12).