19
3 PROSPEK BIOETANOL SEBAGAI PENGGANTI MINYAK TANAH Oleh : Sri Komarayati 1 & Gusmailina 1 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu no. 5, Bogor Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633414 Diterima : 12 Januari 2010 ; Disetujui : 10 Maret 2010 ABSTRAK Bioetanol (C 2 H 5 OH) merupakan salah satu bahan bakar nabati yang saat ini menjadi primadona untuk menggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bioetanol mempunyai kelebihan selain ramah lingkungan, penggunaannya sebagai campuran BBM terbukti dapat mengurangi emisi karbon monoksida dan asap lainnya dari kendaraan. Saat ini bioethanol juga bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat, pembuatannya dapat dilakukan di rumah dengan mudah, sehingga lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Dengan demikian bisnis bioetanol di Indonesia mempunyai prospek yang cerah karena bahan baku melimpah, baik singkong, tebu, aren, jagung, maupun hasil samping pabrik gula (molases). Dari sektor kehutanan bioetanol dapat dihasilkan dari sagu, nipah, dan aren. Tulisan ini mencoba menguraikan secara global tentang prospek beberapa komoditi sebagai sumber bioetanol untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai pengganti minyak tanah. Kata kunci : Bioetanol, energi, alternatif,minyak bumi, minyak tanah, prospek

baru bioetanol 7

Embed Size (px)

Citation preview

  • 3

    PROSPEK BIOETANOL SEBAGAI PENGGANTI MINYAK TANAH

    Oleh :

    Sri Komarayati 1 & Gusmailina 1

    1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu no. 5, Bogor Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633414

    Diterima : 12 Januari 2010 ; Disetujui : 10 Maret 2010

    ABSTRAK

    Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu bahan bakar nabati yang saat ini menjadi

    primadona untuk menggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat ini harganya semakin

    meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat

    diperbaharui. Bioetanol mempunyai kelebihan selain ramah lingkungan, penggunaannya sebagai

    campuran BBM terbukti dapat mengurangi emisi karbon monoksida dan asap lainnya dari

    kendaraan. Saat ini bioethanol juga bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain

    hemat, pembuatannya dapat dilakukan di rumah dengan mudah, sehingga lebih ekonomis

    dibandingkan menggunakan minyak tanah. Dengan demikian bisnis bioetanol di Indonesia

    mempunyai prospek yang cerah karena bahan baku melimpah, baik singkong, tebu, aren,

    jagung, maupun hasil samping pabrik gula (molases). Dari sektor kehutanan bioetanol dapat

    dihasilkan dari sagu, nipah, dan aren. Tulisan ini mencoba menguraikan secara global tentang

    prospek beberapa komoditi sebagai sumber bioetanol untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai

    pengganti minyak tanah.

    Kata kunci : Bioetanol, energi, alternatif,minyak bumi, minyak tanah, prospek

  • 4

    I. PENDAHULUAN A. Bioetanol

    Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar

    alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Merupakan bahan bakar

    alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena mampu menurunkan

    emisi CO2 hingga 18%, dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil seperti minyak tanah

    (Anonim, 2007a). Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di

    Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya

    sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol antara lain

    tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu,

    jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami,

    dan bagas (ampas tebu). Banyaknya variasi tumbuhan, menyebabkan pihak pengguna akan lebih

    leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat

    tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan

    dapat diatur waktu panennya, namun kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah dibandingkan

    dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya

    pun lebih sedikit (Anonim, 2008 b). Di sektor kehutanan bioetanol dapat diproduksi dari sagu,

    siwalan dan nipah serta kayu atau limbah kayu.

    Bahan bakar fosil seperi minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain

    kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bahan

    bakar berbasis produk proses biologi seperti bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang

    tidak layak/tidak dapat dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula

    (tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat (gula,pati,selulosa,

    dan hemiselulosa) dapat diproses menjadi bioetanol. Melalui proses sakarifikasi (pemecahan

    gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat

    dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol. Untuk menjaga kestabilan pasokan bahan pangan

    sebaiknya bioetanol diproduksi dari bahan-bahan yang tidak layak/tidak dapat dikonsumsi,

    seperti singkong gajah yang beracun, sampah atau limbah apapun yang mengandung karbohidrat,

    melalui proses sakarifikasi dan seterusnya (pemecahan gula seperti tersebut di atas), bahan-

    bahan tersebut dapat dikonversi pula menjadi bioetanol.

  • 5

    Produksi etanol Nasional pada tahun 2006 mencapai sekitar 200 juta liter. Kebutuhan

    etanol Nasional tersebut pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 900 juta liter (Surendro, 2006).

    Saat ini bioetanol diproduksi dari tetes tebu, singkong dan jagung. Alternatif lain bahan baku

    bioetanol yaitu biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang

    berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi komersial industri etanol atau

    butanol. Selain dikonversi menjadi biofuel, biomassa berselulosa juga dapat mendukung

    produksi komersial industri kimia seperti asam organik, aseton atau gliserol (Wymann, 2002).

    Secara lebih spesifik bioetanol adalah cairan yang dihasilkan melalui proses fermentasi

    gula dari penguraian sumber karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007).

    Bioetanol dapat juga diartikan sebagai bahan kimia yang memiliki ada sifat kesamaan dengan

    minyak premium, karena terdapatnya unsur unsur seperti karbon (C) dan hidrogen (H).

    (Khairani, 2007). Bahan baku pembuatan bioetanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan

    ber sukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete);

    bahan berpati (bahan yang mengandung pati) seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum

    biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lainlain; dan bahan berserat

    selulosa/lignoselulosa (tanaman yang mengandung selulosa dan lignin seperti kayu, jerami,

    batang pisang, dan lain-lain. Dari ketiga jenis bahan baku tersebut, terdapat bahan

    berlignoselulosa sebagai bahan yang jarang digunakan karena cukup sulit dilakukan

    penguraiannya menjadi bioetanol. Ini disebabkan adanya lignin yang merupakan senyawa

    polifenol sehingga lebih sukar diuraikan dan selanjutnya mempersulit pembentukkan glukosa

    dan jumlahnya sedikit (Khairani, 2007). Rincian macam sumber karbohidrat yang dapat

    dikonversi menjadi alkohol (etanol) berikut hasil dan rendemen (perolehan) etanol dapat dilihat

    pada Tabel 1.

    B. Biogasoline (gasohol) dan Perkembangannya

    Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan bensin dengan porsi bioetanol sampai

    dengan 25% yang dapat langsung digunakan pada mesin mobil bensin tanpa perlu memodifikasi

    mesin. Hasil pengujian kinerja mesin mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol

    E-10 (10% bioetanol ) dan gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja mesin yang lebih

    baik dari premium dan setara dengan pertamax (Anonim, 2008). Bahan bakar ini jika

    dioperasikan pada mesin berbasis gasoline akan menghasilkan emisi karbonmonoksida (CO) dan

  • 6

    senyawa lain hidrokarbon lebih sederhana hasil pembakaran (oksidasi) tidak sempurna pada

    tingkat lebih rendah dibandingkan dengan pengoperasian bahan bakar konvensional (gasoline).

    Ini disebabkan adanya etanol yang sudah mengandung oksigen (O2) sekitar 35% dapat

    meningkatkan efisiensi pembakaran/ oksidasi. Biogasoline atau dikenal juga dengan nama

    Gasohol, telah dijual secara luas di Amerika Serikat, dengan campuran 10% bioetanol (dari

    bahan baku jagung) dan 90% gasoline. Di Brazil, bioetanol untuk campuran gasoline dibuat dari

    bahan baku tebu, dan digunakan dalam kadar 10%. Di Finlandia, biogasoline yang digunakan

    memiliki kadar bioetanol 5% dan memiliki angka oktan 98. Di Jepang, sejak tahun 2005 sudah

    mulai digunakan gasoline dengan campuran 3% bioetanol, dan diharapkan pada tahun 2012

    seluruh gasoline yang dijual di Jepang sudah menggunakan biogasoline. Sejak tahun 2006

    Thailand telah menjual gasohol 95, dan direncanakan pada tahun 2012 Thailand akan mengganti

    seluruh gasoline dengan biogasoline.

    Tabel 1. Sumber, hasil panen dan rendemen alkohol sebagai hasil konversi

    Sumber karbohidrat Hasil panen ton/ha/th Perolehan alkohol liter/ton liter/ha/th

    Singkong 25 (23,6) 180 (155) 4500 (3658) Tetes tebu 3,6 270 973 Sorgum biji 6 333,4 2000 Ubi jalar 62,5 125 7812 Sagu 6,8 608 4133 Tebu 75 67 5025 Nipah 27 93 2500 Sorgum manis 80 75 6000

    Sumber: Anonim (2005); Nurdyastuti ( 2008) dan Assegaf ( 2009).

    Bulan Agustus 2006, Perusahaan minyak negara (Pertamina) telah meluncurkan produk

    biopremium, namun masih terbatas di stasiun pengisian bahan bakar utama( SPBU) berlokasi di

    Jalan. Mayjen M. Wiyono, Malang. Biopremium yang dijual dibuat dari campuran Premium

    dengan 5% bioetanol. Bioetanol untuk campuran biopremium diproduksi oleh PT Molindo Raya

    Industrial (MRI) di Lawang menggunakan bahan baku tetes tebu. Sejak diluncurkan, respon

    masyarakat cukup baik, dengan meningkatnya omzet penjualan. Sedangkan di Jakarta, sejak

    Desember 2006 sudah dapat dilihat BioPertamax di beberapa SPBU, antara lain pada SPBU di

    jalan. Tentara Pelajar, Senayan (Jakarta Selatan). Pengembangan selanjutnya di wilayah Jawa

    Barat, di mana Pertamina meluncurkan biopremium di Bandung tahun 2007. Untuk memenuhi

  • 7

    kebutuhan tersebut, direncanakan akan didirikan pabrik etanol berkapasitas 200 juta liter etanol

    per tahun oleh PT Mitra Sae Internasional di Kuningan bekerja sama dengan LBL Network

    Ltd.dari Korea Selatan dengan bahan dasar ubi kayu jenis Manihot esculanta trans.w

    (http://www.pertamina.com)

    II. POTENSI SUMBER BIOETANOL A. Sagu 1. Potensi

    Pohon penghasil sagu (Metroxylon spp) termasuk jenis palma yang banyak tumbuh di

    Indonesia bagian Timur. Sagu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK)

    dimana kandungan karbohidratnya lebih tinggi dari pada kandungan tanaman lainnya. Secara

    alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan

    terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi,

    Kalimantan dan Sumatera (Gambar 1). Tumbuhan ini merupakan asli dimana sagunya selain

    sebagai bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur

    premium dan pertamax (E) atau pada keadaan tertentu dapat digunakan secara penuh (E100),

    untuk menggerakkan (mengoperasikan) mesin mesin berdasar bensin.

    Populasi tumbuhan sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia sekitar 1,2 juta ha

    dan 90% di antaranya tumbuh di propinsi Papua dan Maluku (Flach, 1997). Kedua daerah

    tersebut termasuk pusat keragaman sagu tertinggi didunia, juga di beberapa daerah lain yang

    sudah mulai dimanfaatkan potensinya (semi budidaya). Informasi luas hutan alam sagu Indonesia

    menurut Flach (1997) yaitu 1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku

    50.000ha serta 148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi,

    Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi

    dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang efisien sebagai penghasil pati produktif dengan

    produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 kilo liter/ha/tahun.

  • 8

    A B

    Gambar 1. Tegakan sagu rakyat di Kabupaten Padang Pariaman (A), bekas tebangan sagu (B).

    Di Irian Jaya terdapat sekitar 1.406.469 ha tegakan sagu. Setiap ha tegakan sagu per

    tahun paling sedikit dihasilkan 2,5 ton pati sagu (Flach, 1983). Dengan demikian di Irian Jaya

    terdapat potensi pati sagu sekitar 3.516.176 ton sagu/tahun. Untuk kebutuhan pangan,

    masyarakat Irian membutuhkan sekitar 150.000 ton sagu/tahun. Dari data ini di Irian Jaya

    terdapat potensi sagu sekitar 3,1 juta ton yang menunggu pemanfaatannya. Di Mentawai

    terdapat sekitar 56.100 ha tegakan sagu dengan produksi sekitar 1.200 ton, berarti di Mentawai

    terdapat potensi pati sagu sekitar 139.000 ton/tahun. Di Padang Pariaman terdapat tegakan sagu

    sekitar 95.790 ha dengan produksi 5.063 ton/tahun di daerah ini terdapat potensi sagu yang

    belum dimanfaatkan sebanyak 234.412 ton sagu/tahun. Dari penjelasan tersebut, potensi sagu

    sangat tinggi dan sudah saatnya dilakukan pemanfaatan pohon sagu agar tidak mubazir. Pusat

    Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol,

    baik skala laboratorium mapun skala usaha kecil. Dan ini merupakan penelitian awal dalam

    rangka menuju optimalisasi produksi dan produktivitas bioetanol dari sagu.

    2. Pati sagu sebagai sumber bioetanol Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena unit monomernya glukosa. Kemurnian sagu

    pada pati sangat tinggi karena rendahnya kandungan lemak, protein dan senyawa lain, sehingga

    pati sagu sangat cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan turunan pati seperti dekstrin,

    dekstrose, gula, dan produk turunan lainnya. Pati sagu yang diekstrak dari empulur batang,

    pohonnya mengandung pati (27-31%), serat (20-24%) dan air (45-53%). Ekstraksi dilakukan

    dengan metode aliran air, sehingga air ikut berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. Bioetanol

    dari sagu berasal dari dua bagian yaitu pati sagu dan serat sagu. Sedangkan prosesnya

  • 9

    berlangsung dalam empat tahapan yaitu: a. hidrolisa bahan menjadi oligosakarida; b.hidrolisa

    oligosakarida menjadi gula (monosakarida); c. konversi gula menjadi bioetanol, d. pemurnian

    bioetanol.

    Pembuatan etanol dari pati dapat dilakukan secara kimia ataupun biologis. Akan tetapi

    jika berbicara bioetanol tentunya proses yang dipakai adalah secara biologis dengan

    menggunakan enzim alfa dan glucoamilase yang mampu mengurai pati menjadi gula

    (sakarifikasi) dan selanjutnya fermentasi gula menjadi bioetanol. Bioetanol dapat pula diperoleh

    dari serat berselulosa dengan menggunakan enzim selulase. Efektivitas proses ini dipengaruhi

    oleh jenis enzim, kekentalan bahan (ratio pati dan air), presentase enzim dan kondisi proses

    fermentasi. Langkah-langkah pembuatan bioetanol berbahan sagu sebagai berikut (Gambar 1a, 2

    dan 3).

    Gambar 1a. Tahapan konversi karbohidrat (pati) pada sagu menjadi bioetanol.

  • 10

    A B

    Gambar 2. Pemarutan sagu sebagai proses awal pembuatan bioetanol (A) dan Proses fermentasi (B).

    Proses fermentasi berlangsung beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan ke dalam

    fermentor. Proses ini berjalan ditandai dengan keluarnya gelembung-gelembung udara kecil-

    kecil Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi.

    Selama proses fermentasi usahakan agar suhu tidak melebihi 36oC dan pH nya dipertahankan 4.5

    5. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 2 sampai 3 hari. Salah satu tanda bahwa

    fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara.

    Gambar 3. Proses distilasi skala laboratorium untuk mendapatkan bioetanol

    Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator atau

    boiler. Panaskan dengan suhu dipertahankan sekitar 79 81oC. Pada suhu ini bioetanol sudah

    menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari

    pipa pengeluaran distilator. Pada distilasi tahap pertama, biasanya kadar bioetanol masih di

    bawah 95%. Apabila kadar bioetanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux)

    hingga kadar bioetanolnya 95%. Jika kadar bioetanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau

    penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis.

    Tambahkan kapur tohor pada etanol, biarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar

  • 11

    airnya berkurang, dan kadar bioetanol yang diperoleh dapat mencapai 98-99%. Sagu berpotensi

    menjadi bioetanol bahan bakar nabati (BBN) karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi,

    sekitar 85% dan kandungan kalori 357 kalori. Jadi diperkirakan kalau menggunakan tepung sagu

    tersebut dari 6,5 kg tepung akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol (Tarigan, 2001).

    B. Tandan Kosong Kelapa Sawit

    Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah biomassa berserat selulosa yang

    memiliki potensi besar dengan kelimpahan cukup tinggi. TKKS merupakan hasil samping dari

    pengolahan minyak kelapa sawit yang pemanfaatannya masih terbatas sebagai pupuk, bahan

    baku pembuatan matras, dan media bagi pertumbuhan jamur serta tanaman. Hasil penelitian

    Iriani (2009) dalam Muthuvelayudham dan Virethagiri (2007) bertujuan untuk mendapatkan

    kondisi sakarifikasi terbaik pada TKKS dengan menggunakan Trichoderma reesei dan

    melakukan fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae, dimana masing-masing

    menghasilkan konsentrasi gula pereduksi dan alkohol paling tinggi.TKKS yang digunakan

    selama proses sakarifikasi terlebih dulu diberi perlakuan awal yakni dengan pemanasan di suhu

    121oC, dengan tekanan 1,5 atmosfir selama 90 menit. Sakarifikasi menggunakan metode

    fermentasi padat, yakni dengan menginokulasikan suspensi spora T.reesei sebanyak 10% v/b

    (3,5-7,4`x108 sel/mL) ke dalam TKKS yang telah ditambahkan medium basal Mandels & Waber

    dan akuades dengan perbandingan 3:4, sehingga kelembaban mencapai 70 %. Sakarifikasi

    dilakukan selama 8 hari. Parameter yang diamati setiap 48 jam adalah kadar gula pereduksi,

    aktivitas enzim CMCase (endoglukanase), enzim beta-glukosidase dan pH medium. Optimasi

    suhu sakarifikasi yang dilakukan adalah pada suhu 250C, 300C dan 350C. Suhu sakarifikasi

    terbaik diperoleh pada 300C, dengan kadar gula pereduksi paling tinggi 1,46 mg/g substrat yang

    diperoleh pada hari ke-8. Selanjutnya suhu tersebut digunakan untuk penentuan pH awal terbaik

    sakarifikasi yaitu dengan nilai pH 4,5 ; 5; 5,5 ; dan 6. Konsentrasi gula pereduksi paling tinggi

    diperoleh pada pH awal medium 5,5 yakni sebesar 1,5 mg/g substrat pada hari ke-8. Sakarifikasi

    ulang dilakukan dengan menggunakan suhu dan pH awal terbaik selama 12 hari. Filtrat gula

    hasil sakarifikasi hari ke-12 digunakan sebagai substrat fermentasi alkohol. Inokulum fermentasi

    yang digunakan adalah Saccharomyces cereviseae sebanyak 5% v/b (5,35 x 108 sel/mL) sel

    diinokulasikan ke dalam medium dan difermentasi secara anaerobik selama 96 jam.

  • 12

    Parameter yang diamati adalah kadar gula pereduksi, kadar etanol, jumlah sel serta pH

    medium. Konsentrasi etanol paling tinggi yang dihasilkan pada fermentasi selama 72 jam sebesar

    0,046 % dengan konversi gula menjadi etanol sebesar 47,32%. Kandungan selulosa TKKS

    sekitar 45,80% dan hemiselulosa 26,00%. Jika berdasarkan perhitungan minimal menurut

    Badger (2002) maka potensi bioetanol dari TKKS adalah sebesar 2.000 juta liter atau

    menghasilkan panas setara dengan menggunakan 1446.984 liter bensin (Anonim, 2008a).

    Produksi bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak diusahakan karena berdasarkan

    evaluasi finansial dapat diperoleh tingkat keuntungan sebesar 75 % ( Anonim, 2008a ).

    C. Ganyong (Canna edulis)

    Di Indonesia ganyong (Canna edulis) merupakan tanaman yang memiliki banyak

    manfaat, antara lain umbi mudanya untuk sayuran, umbi tuanya dapat diekstrak patinya untuk

    dibuat tepung, sedangkan daun dan tangkainya digunakan untuk pakan ternak (Rukmana, 2000).

    Umbi ganyong mengandung karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan

    dasar untuk produksi glukosa dan fermentasi etanol. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan

    katalis asam, kombinasi asam dan enzim, serta kombinasi enzim dan enzim (Judoamidjojo et al.,

    1992). Hasil penelitian Wulansari (2004) dan Putri dan Sukandar (2008) menunjukkan bahwa

    pati ganyong memiliki karbohidrat yang didominasi pati dengan kadar 80% dan kadar air 18%.

    Pati ganyong memiliki warna putih kecokelatan dan tekstur halus. Kadar pati ganyong yang

    tinggi menunjukkan pati tersebut dapat dijadikan bahan baku melalui proses hidrolisis untuk

    pembuatan sirup berkadar glukosa tinggi menunjukkan bahwa pati ganyong berpotensi sebagai

    bahan baku untuk bioetanol melalui fermentasi glukosa atau isomernya. Jenis asam dan

    konsentrasi asam tidak berpengaruh signifikan terhadap gula pereduksi yang dihasilkan pada

    hidrolisis pati ganyong, hidrolisis optimum didapat dengan HNO3 7%. Kadar glukosa pada

    fermentasi mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan secara positif. Pada penelitian ini

    fermentasi dengan kadar glukosa hasil hidrolisis sebesar 4,81% menghasilkan etanol 4,84%,

    sedangkan dengan kadar 14%, etanol yang dihasilkan meningkat menjadi 8,6%.

  • 13

    D. Nira Sorgum (Sorgum bicolor)

    Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang

    mempunyai potensi besar dikembangkan di Indonesia karena mempunyai area adaptasi yang

    luas. Sorgum merupakan tanaman bukan asli Indonesia, melainkan berasal dari Ethiopia dan

    Sudan Afrika. Di Indonesia sorgum mempunyai beberapa nama seperti gandrung, jagung pari,

    dan jagung cantel. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat

    berproduksi pada lahan marjinal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit.

    Selama ini batang sorgum hanya digunakan untuk pakan ternak. Nira sorgum yang berasal dari

    batang tanaman sorgum dapat dimanfaatkan untuk membuat bioetanol, karena komposisi nira

    sorgum hampir sama dengan nira tebu (Tabel 2). Batang sorgum apabila diperas (dikempa) akan

    menghasilkan nira yang rasanya manis. Kadar air dalam batang sorgum kurang lebih 70 persen

    di mana sebagian besar nira sorgum terlarut dalam air tersebut. Selama ini batang sorgum yang

    menghasilkan nira biasanya hanya digunakan sebagai pakan ternak, sehingga belum memiliki

    nilai ekonomis optimal. Mengingat nira sorgum mengandung kadar glukosa yang cukup besar

    (Tabel 2), serta memiliki kualitas setara dengan nira tebu, maka sorgum boleh menjadi

    pertimbangan sebagai salah satu sumber karbohidrat penghasil bioetanol di masa depan.

    Tabel 2. Perbandingan komposisi kimia nira sorgum dengan komposisi nira tebu

    Komposisi Nira sorgum Nira tebu Brix (%) 13,60 18,40 12 19 Sukrosa (%) 10 14,40 9 17 Gula reduksi (%) 0,75 1,35 0,48 1,52 Gula total (%) 11 16 10 18 Amilum (ppm) 209 - 1.764 1,50 95 Asam akonitat (%) 0,56 0,25 Abu (%) 1,28 1,57 0,40 0,70

    Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (1996).

    Hasil penelitian Sari (2009), menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh

    adalah persentase volume starter. Setelah dilakukan optimasi terhadap variabel tersebut, kondisi

    optimum diperoleh dari proses fermentasi menggunakan ragi Saccharomyces ceerevisiae dengan

    waktu fermentasi 7 hari dan volume starter 9% (v/b), kadar glukosa 14,5%. Pada kondisi

    tersebut, diperoleh glukosa sebanyak 14,5% (v/b). Selanjutnya dari glukosa tersebut dihasilkan

  • 14

    bioetanol sebanyak11,82%. Angka tersebut mengindikasikan terjadinya konversi glukosa

    menjadi etanol yang tinggi menjadi bioetanol (46,21%). Dengan demikian sorgum yang selama

    ini hanya dikenal sebagai bahan pangan, ternyata juga berprospek sebahan baku pembuatan

    bioetanol, di mana dari 2,5 kg sorgum (berat kering) dapat diperoleh satu liter bioetanol.

    E. Tetes Tebu

    Pada molase atau tetes tebu terdapat kurang lebih 60% selulosa dan 35,5% hemiselulosa

    (dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida ini dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana

    (mono dan disakarida) yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol. Di Indonesia potensi

    produksi molase ini per ha kurang lebih 1015 ton, Jika seluruh molase per ha ini diolah menjadi

    ethanol fuel grade ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih 766 hingga 1.148

    liter/ha FGE. Produksi bioetanol berbahan baku molase layak diusahakan karena tingkat

    keuntungan finansialnya mencapai 24%.

    F. Jerami Padi

    Jerami padi mengandung kurang lebih 39% selulosa dan 27,5% hemiselulosa (dasar berat

    kering). Kedua bahan polisakarida ini, sama halnya dengan tetes tebu dapat dihidrolisis menjadi

    gula sederhana yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioetanol. Potensi produksi jerami

    padi per ha kurang lebih 10-15 ton, keadaan basah dengan kadar air kurang lebih 60%. Jika

    seluruh jerami per ha ini diolah menjadi ethanol fuel grade ethanol (FGE), maka potensi

    produksinya kurang lebih 766-1.148 liter/ha FGE (perhitungan ada di lampiran). Dengan asumsi

    harga ethanol fuel grade(FGE) sekarang adalah Rp. 5500,- per liter (harga dari pertamina), maka

    nilai ekonominya kurang lebih Rp. 4.210.765 hingga Rp. 6.316.148 /ha.

    Menurut data Biro Pusat Statistik tahun 2006, keseluruhan luas sawah di Indonesia

    adalah 11,9 juta ha. Artinya, potensi jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton. Apabila

    seluruh jerami ini diolah menjadi bioetanol maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter bioetanol

    (FGE) dengan nilai ekonomi Rp. 50.1 triliun. Menurut perhitungan, etanol dari jerami sudah

    cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional. Kandungan karbohidrat pada jerami padi

    cocok untuk diolah menjadi bioetanol, namun perlu dipertimbangkan juga terhadap hara yang

    harus dikembalikan lagi ke lahan setelah panen dilakukan.

  • 15

    Potensi bioetanol dari jerami padi menurut Kim dan Dale (2004) dalam Patel dan

    Shoba (2007), adalah sebesar 0,28 l/kg jerami. Sedangkan kalau dihitung dengan cara Badger

    (2002) dalam Patel dan Shoba (2007), adalah sebesar 0,20 l/kg jerami, sehingga dari data ini dapt

    diperkirakan potensi bioetanol dari jerami padi di Indonesia (Tabel 3). Jika berdasarkan prediksi

    minimal dengan cara Badger (2002), maka jumlah bioetanol yang dihasilkan dapat menggantikan

    bensin sejumlah 7,915 - 11,874 juta liter. Banyaknya bioetanol yang dihasilkan tersebut cukup

    untuk memenuhi kebutuhan bensin Nasional selama satu tahun.

    Tabel 3. Potensi bioetanol dari jerami padi

    Prediksi menurut Prediksi potensi bioetanol

    Kim and Dale (2004) 15,316 juta liter - 22,974 juta liter

    Badger (2002) 10,940 juta liter - 16,410 juta liter

    Sumber : Badger (2002) dan Kim and Dale (2004) dalam Patel dan Shobha (2007). G. Bonggol Pisang (Musa paradisiaca)

    Bonggol pisang (Musa paradisiaca) memiliki komposisi 76% pati (karbohidrat), 20% air,

    sisanya adalah protein dan vitamin (Yuanita, 2008). Kandungan korbohidrat bonggol pisang

    tersebut sangat berpotensi sebagai sumber bioetanol. Bonggol pisang (Gambar 4) juga dapat

    dimanfaatkan untuk diambil patinya, dimana pati tersebut menyerupai pati tepung sagu dan

    tepung tapioka. Bahan berpati yang digunakan sebagai bahan baku bioetanol disarankan

    memiliki sifat yaitu berkadar pati tinggi, memiliki potensi hasil panen yang tinggi, fleksibel

    dalam usaha tani, dan rotasi umur panen yang pendek (Prihandana, 2007).

    Gambar 4. Bonggol pisang salah satu sumber bioetanol

  • 16

    Rincian singkat pengolahan bonggol pisang menjadi etanol adalah mula-mula bonggol

    pisang tersebut dikupas dan dibersihkan dari kotoran, kemudian dipotong kecil-kecil lalu

    dikeringkan dengan cara dijemur dan diangin-anginkan sampai kering. Bonggol pisang

    diturunkan kadar airnya hingga mencapai kering udara, dengan tujuan agar lebih awet.dan kering

    sehingga dapat disimpan sebagai cadangan bahan baku (Anonim, 2008a). Selanjutnya bonggol

    pisang kering digiling dengan mesin penggiling atau ditumbuk dengan penumbuk sehingga

    menjadi serbuk halus. Serbuk bonggol pisang lalu disaring atau diayak sehingga diperoleh

    partikel kecil yang homogen. Hasil penelitian Assegaf (2009), menyimpulkan bahwa bonggol

    pisang mempunyai prospek sebagai sumber bioetanol. Metode yang diterapkan adalah melalui

    hidrolisis asam dan enzimatis, namun dari kedua metode tersebut metode hidrolisis secara

    enzimatis merupakan proses yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan katalis asam.

    H. Singkong Karet

    Singkong karet atau singkong gajah merupakan salah satu jenis pohon singkong dimana

    umbinya mengandung senyawa beracun, yaitu asam sianida (HCN), sehingga umbi tersebut tidak

    diperdagangkan dan kurang dimanfaatkan oleh masyarakat (Anonim, 2009). Oleh karena itu

    sangat tepat sekali bila singkong karet tersebut ini digunakan sebagai bahan baku bioetanol.

    Penelitian Sriyanti (2003), menunjukkan bahwa dari tiga varietas singkong yakni randu, mentega

    dan menthik, ternyata kadar gula dan alkohol tertinggi dari hasil sakarifikasi dan fermentasi

    terdapat pada varietas mentega yakni sebesar 11,8% mg (kadar gula) dan 2,94% mg (kadar

    alkohol). Menurut Sugiarti (2007) dalam Setyaningsih (2008), bahwa kandungan alkohol hasil

    fermentasi ubi kayu varietas randu sebesar 51%. Menurut Ludfi (2006) dalam Setyaningsih

    (2008), setelah dilakukan pengujian terhadap kadar alcohol pada hasil fermentasi ampas umbi

    singkong karet, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar alkohol terendah adalah

    11,70% pada waktu fermentasi 9 hari dan dosis ragi 2 gram. Sedangkan kadar alkohol tertinggi

    adalah 41,67% pada waktu fermentasi 15 hari dan dosis ragi 8 gram.

    Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan uji coba pengembangan energi

    alternatif bioetanol dari bahan dasar singkong. Untuk menghasilkan bioetanol sekitar satu liter

    dibutuhkan sedikitnya 6,5 kilogram singkong. Bioetanol tersebut nantinya dapat untuk bahan

    bakar cair dengan nilai oktan 40% atau seperti halnya nilai oktan minyak tanah (40%), premium

  • 17

    (70%), dan bahkan pertamax (90%). Biaya produksi untuk satu liter bioetanol dari singkong

    karet sekitar Rp3.000, jadi kalau dijual Rp 4.000,- lebih murah dari premium. Anonim (2007)

    menyatakan bahwa pada skala usaha rumah tangga, dari 6,5 kg singkong dengan kandungan

    karbohidrat 24% akan dihasilkan 1 liter bioetanol.

    I. Talas (Colocasia esculenta)

    Tanaman talas bentul (Colocasia esculenta L.) mempunyai nama lain dalam bahasa

    Inggris yaitu taro, old cocoyam, dasheen, eddoe, dan dalam bahasa Prancis adalah taro. Di

    Indonesia dikenal dengan nama bentul, talas dan keladi. Tanaman ini tumbuh dengan baik di

    tanah yang basah dengan temperatur 25 30oC dan dengan kelembaban yang tinggi. Talas

    tumbuh pada ketinggian 1200 m dpl (dari permukaan laut) di Malaysia, di Filipina 1800 m dpl,

    dan bahkan 2700m dpl di Papua New Guinea. Tanaman ini toleran terhadap naungan (tempat

    teduh) dan ditanam sebagai tumbuhan selingan pada pertanian. Kadar pati umbi talas 66,8%

    dengan kadar air sekitar 7,2%.

    Retno (2008) melakukan penelitian pembuatan bioetanol dari tepung talas. Setelah

    dikeringkan tepung talas selanjutnya menjalani perlakuan reaksi hidrolisa dengan bio katalis

    (enzim) alpha amylase pada pH 6,9 suhu 80oC, dan enzim glucoamylase pada pH 4,8 suhu 55oC

    untuk menghasilkan glukosa. Bioetanol yang diperoleh dari 8,7kg tepung talas sebesar 1006 ml.

    Biaya yang dibutuhkan pada pembuatan bioetanol (FGE) dari tepung talas dengan kadar 99,4 %,

    sebesar Rp. 6.625,-/ liter.

    III. BIOETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN RAMAH

    LINGKUNGAN

    Penggunaan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) dapat mengurangi

    emisi karbon monooksida dan senyawa lain(asap, gas, dan partikel padat timbal) dari kendaraan.

    Hal ini sudah dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah lebih dulu mengaplikasikan bioetanol

    tersebut, seperti Brasil dan Jepang. Perkembangan bisnis bioetanol di Indonesia seharusnya juga

    bisa menyamai kedua negara tersebut. Dengan melimpahnya bahan baku, seharusnya kita bisa

    menggantikan sebagian pemakaian BBM yang sudah semakin langka dengan bioetanol. Selain

  • 18

    untuk bahan bakar, bioethanol (FGE) dapat digunakan untuk industri kimia, farmasi, kedokteran,

    kosmetik, bahan baku aneka minuman, dan sebagainya.

    Bioetanol dapat dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat,

    pembuatannya dapat dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Selain itu juga pengoperasian

    bioetanol lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bila sehari menggunakan

    minyak tanah seharga Rp 16.000,-, maka dengan bioetanol dapat menghemat Rp 4.000,-.

    Pengalaman membuat dan menggunakan bioetanol ini diceritakan oleh seseorang bernama

    Bambang Kisudono, warga kota Surabaya yang memanfaatkan sampah dapur rumahnya untuk

    membuat dan mengembangkan bioetanol di lingkungan tempat tinggalnya. Awalnya Lembaga

    Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya (ITS) Surabaya

    dari kajiannya menyimpulkan bahwa kompor yang dirancang khusus untuk bioetanol (Gambar 5)

    terbukti lebih efisien dibandingkan kompor kerosin (minyak tanah/konvensional). Hal ini

    mendorong orang tersebut melakukan pengolahan bioetanol sendiri.

    Gambar 5. Kompor bioetanol

    Untuk kompor rumah tangga, perbandingan (rasio) penggunaan bioetanol dan minyak

    tanah adalah 1:3. Artinya adalah dengan 3 liter minyak tanah efisiensi panas yang dihasilkan

    akan setara dengan satu liter bioetanol. Dengan volume 100cc bioetanol akan membuat api

    menyala sekitar 30 - 40 menit. Bahkan menurut peneliti bioetanol Ir Sri Nurhatika MP di ITS,

    Surabaya, mengemukakan penggunaan bioetanol akan lebih efisien lagi karena 1 liter bioetanol

    sama dengan 9 liter minyak tanah. Bahan baku untuk pembuatan bioetanol terbagi tiga, yaitu

    bahan berpati, bergula, dan bahan berselulosa. Bahan baku bergula, misalnya adalah tebu, nira,

    dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya sagu, ubi kayu, jagung, biji sorgum, dan kentang

    manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh manusia. Sehingga sebaiknya pengembangan

    bioetanol masa depan lebih ditujukan kepada penggunaan bahan yang tidak dikonsumsi manusia,

  • 19

    sehingga tidak mengganggu ketahanan pangan nasional. Selanjutnya bahan berlignoselulosa

    contohnya adalah TKKS, dimana polimer selulosa lebih sulit diuraikan (dihidrolisis) daripada

    polimer pati dan hal ini perlu diperhatikan.

    IV. PENUTUP (PELUANG DAN PROSPEK)

    Bioetanol diharapkan dapat merupakan bahan bakar alternatif masa depan yang ramah

    lingkungan dan bersifat renewable, untuk menggantikan sebagian atau melengkapi konsumsi

    bahan bakar fosil (minyak bumi) yang kurang ramah lingkungan dan persediaannya semakin

    terbatas. Di Indonesia terdapat berbagai macam bahan baku berkarbohidrat tinggi yang potensial

    untuk dikonversi menjadi bioetanol seperti sagu, tandan kosong kelapa sawit, ganyong, nira

    sorgum, tetes tebu, jerami padi dan bonggol pisang.

    Diantara berbagai macam bahan baku tersebut, sagu cukup menarik perhatian untuk

    dimanfaatkan patinya sebagai bahan konversi menjadi bioetanol. Ini disebabkan potensi hutan

    alam sagu Indonesia sangat luas, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Mengingat

    variasi genetik sagu yang terbesar di dunia, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan

    sagu tersebut sebagai sumber energi alternatif masa datang. Untuk menutupi kebutuhan pangan

    dari sagu hanya 5% dari potensinya yang ada, sehingga sisanya dapat dimanfaatkan sebagai

    sumber bioetanol. Untuk pengembangan budidaya sagu, masyarakat selama ini sudah mengenal

    teknik perbanyakan tanaman sagu secara vegetatif, sehingga untuk mendorong masyarakat lebih

    giat membudidayakan sagu tidak sulit. Pemanfaatan hutan alam sagu, maupun hutan tanaman

    sagu, yang diiringi pengembangan budidaya serta berdirinya industri bioetanol dapat

    menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga akhirnya diharapkan dapat meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat.

  • 20

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. 2005. Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-Ethanol sebagai bahan bakar alternatif terbaru

    kan. Balai Besar Teknologi Pati BPPT. Jakarta.

    _______. 2007a. Apa itu Bioetanol ?. http://www.nusantara-agro-industri.com. Diakses tanggal 20 April 2009.

    _______. 2007b. Kebun penghasil bensin bioetanol. http:/www.trubus-online.com. Diakses tanggal 16 Januari 2008. _______. 2008a. Bio Ethanol Alternatif BBM. http://www. energibio.com/. Diakses Desember

    2008. _______. 2008b. Bioetanol bahan baku singkong. The Largest Aceh Community Aceh. _______. 2009. Bioetanol bahan baku singkong. http:// www.acehforum.or.id. diakses tanggal 10

    April 2009. Assegaf, F. 2009. Prospek produksi bioetanol bonggol pisang (Musa paradisiaca) menggunakan

    metode hidrolisis asam dan enzimatis. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

    Flach, M. 1983. Sago palm domestication, explanation, and production. FAG. Plant production and protection. Paper. 85 pp.

    _____.1997. Sago palm, Metroxylon sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) Promoting the Conservation and use of Underutilized and Neglected Crops, 13. IPGRI Italy and IPK. Germany. 71 pp.

    Judoamidjojo, R.M., A.A.Darwis, dan E.G.Said. 1992. Teknologi Fermentasi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

    Khairani, R. 2007. Tanaman jagung sebagai bahan bio-fuel. http://www.macklintmip-

    unpad.net/Bio-fuel/Jagung/Pati.pdf. diakses tanggal 25 Maret 2009. Mursyidin, D. 2007. Ubi kayu dan bahan bakar terbarukan. http://www.banjarmasin.net/

    pedoman%Bahan%bakar%terbarukan. Diakses tanggal 29 Maret 2008 Muthuvelayudham, R. and T. Viruthagiri. 2007. Optimizaton and modeling of cellulase protein

    from Trichoderma ressei Rut C30 using mixed substrate. African Journal of Biotechnology 6 (1): 041-046.

  • 21

    Nurdyastuti, I. 2008. Teknologi proses produksi bio-ethanol, prospek pengembangan biofuel sebagai substitusi bahan bakar minyak. Balai Besar Teknologi Pati BPPT. Jakarta.

    Patel S.J., R. Onkarappa, and K.S. Shobha. 2007. Study of ethanol production from fungal

    pretreated wheat and rice straw. The Internet Journal of Microbiology 4 (1): www.ispub.com

    Prihandana. 2007. Bioetanol ubi kayu bahan bakar masa depan. Agromedia. Jakarta. Putri dan D. Sukandar, 2008. Konversi Pati Ganyong (Canna Edulis Ker.) Menjadi Bioetanol

    Melalui Hidrolisis Asam Dan Fermentasi. Biodiversitas Volume 9, Nomor 2 April. Halaman: 112-116. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat-Tangerang.

    Retno. 2008. Pengolahan bonggol pisang menjadi keripik yang dapat diperdagangkan dan

    dijadikan tambahan pendapatan bagi petani di desa Mangunrejo Kecamatan Kepanjen. Rukmana, R. 2000. Ganyong,budidaya dan pascapanen. Yogyakarta: Kanisius. Sari, R. P. P. 2009. Pembuatan etanol dari nira sorgum dengan proses fermentasi.Jurusan Teknik

    Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Semarang. Setyaningsih. 2008. Kadar glukosa dan bioetanol hasil fermentasi gaplek singkong karet

    (Monihot glaziovii Muell) dengan dosis ragi dan waktu berbeda. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadyah Surakarta.

    Sriyanti, D.P. 2003. Mikrostek talas (Colocasia esculenta) pada berbagai macam media MS dan

    alami. Seminar teknologi pertanian spesifik lokasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan. Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta.

    Surendro,H. 2006. Biofuel, DJLPE ,Jakarta Tarigan. D. D. 2001. Sagu memantapkan swasembada pangan. Warta Penelitian dan

    Pengembangan Pertanian. 23 (5): 1-3 Wulansari, I. 2004. Kajian Pengaruh Dosis -Amilase dan Dextrozyme pada Pembuatan Sirup

    Glukosa dari Pati Sagu. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Wyman, C. E. 2002. Potential Synergies and Challenges in Refining Cellulosic Biomass to

    Fuels Biotechnol Progress. Yuanita, 2008. Pabrik sorbitol dari bonggol pisang (Musa paradisiaca) dengan proses

    hidrogenasi katalitik. Jurnal Ilmiah Teknik Kimia. ITS. Surabaya.